pandangan hukum islam terhadap perlindungan

advertisement
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN DALAM PERKARA PIDANA DI
INDONESIA
(Kajian Terhadap Pasal (1) UU No. 13 Tahun 2006)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Daimatul Ihsan
NIM : 206043103772
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Desember 2010
Daimatul Ihsan
ii
KATA PENGANTAR
‫بسم اهلل الر حمن الرحيم‬
Puji dan syukur dengan tulus kami persembahkan kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan taufiq, hidayah serta inayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi ini, yang disusun dan ditulis dalam
rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW,
keluarga, sahabat dan para pengikutnya serta orang-orang yang menyeru dengan
seruannya dengan berpedoman dengan petunjuknya.
Suka cita selalu menyelimuti penulis seiring dengan selesainya penyusunan
skripsi ini. Hal tersebut tidak lain karena dorongan dan bantuan berbagai pihak. Oleh
karenanya penulis megucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang
terhormat:
1.
Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA, selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum dan Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag,
selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum.
iii
3.
Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA. selaku Pembimbing, yang telah rela
memberikan bimbingan dengan penuh ketekunan, kesabaran dan perhatian
hingga terselesaikannya skripsi ini.
4.
Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
mewariskan ilmunya kepada penulis dengan konsep ikhlas.
5.
Pimpinan, staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah serta Perpustakaan Umum
Iman Jama yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
pengumpulan bahan dalam skripsi ini.
6.
Ayahanda tercinta Wangsit dan Ibunda tercinta Tasmilah, yang selalu
mendo‟akan dan memberikan bantuan serta dorongan baik berupa moril maupun
materiil hingga selesainya penulisan skripsi ini.
7.
Mas Supriyono yang telah banyak membantu do‟a morel dan mareril sehingga
segala sesuatu berjalan dengan lancar.
8.
Teman-teman sekampung yang telah mendukung dan memberi motifasi sehingga
selalu semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
9.
Teman-teman seperjuangan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah periode 2006, teman-teman yang tidak disebutkan satu persatu yang
telah turut mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Bapak Rizal, ibu Yen beserta keluarga dan ibu Yerli yang telah banyak
membantu.
iv
Atas semuanya itu, penulis hanya dapat memanjatkan do‟a kepada Allah Swt
semoga amal baiknya diterima dan mendapatkan balasan yang lebih baik. Amin…
Akhirnya penulis memanjatkan do‟a dan memohon semoga Allah Swt
memberikan kemanfaatan atas skripsi ini baik bagi penulis sendiri maupun pembaca
pada umumnya, serta melimpahkan pertolongan dan kebenaran kepada kita semua.
Amin…
Jakarta, 18 November 2010
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................................
i
DAFTAR ISI .................................................................................................................
iv
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .........................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................................
7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...........................................................
8
D. Review Studi Terdahulu .........................................................................
9
E. Metode Penelitian ...................................................................................
10
F. Sistematika Penulisan ............................................................................
12
KERANGKA TEORITIS
A. Saksi .......................................................................................................
14
B. Korban .....................................................................................................
26
C. Perlindungan Hukum .............................................................................
31
D. Pidana .....................................................................................................
33
PANDANGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PERKARA
PIDANA DALAM UU NO 13 TAHUN 2006
A. UU No. 13 Tahun 2006 ...........................................................................
38
B. Kajian Pasal (1, 5 sampai 9) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 .......
44
C. Perlindungan Hukum Dalam UU No. 13 Tahun 2006 Terhadap Saksi .............
54
vi
BAB IV
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM
KASUS PIDANA DI INDONESIA
A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Perlindngan Saksi dan
Korban ..................................................................................................
60
B. Pandangan Hukum Positif Terhadap Perlindungan Saksi dan
C.
BAB V
Korban ..................................................................................................
65
Analisa Perbandingan Antara Hukum Islam dan Hukum Positif ....................
71
PENUTUP
A. Kesimpulan ..........................................................................................
77
B. Saran-Saran ..........................................................................................
78
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................
79
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perlindungan saksi dan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional
nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya
hak-hak saksi dan korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundangundangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban
kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran
dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai
landasan konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat
pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat
itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak
sepenuhnya benar.
Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah
keterangan saksi yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya
suatu tindak pidana (korban yang menjadi saksi). Keberadaan saksi dan korban
sangat penting mengingat sering kali aparat penegak hukum mengalami kesulitan
dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang di sebabkan
tidak dapat menghadirkan saksi. Ketidak hadiran saksi dan korban memenuhi
panggilan atau permintaan aparat penegak hukum ini sering kali di sebabkan
1
adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu yang ditujukan
kepada saksi dan korban.
Kedudukan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana saat ini belum
ditempatkan secara adil bahkan cenderung terlupakan. Kondisi ini berimplikasi
pada dua hal yang fundamental, yaitu tidak adnya perlindungan hukum bagi saksi
dan korban dan tidak adanya putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi
korban, pelaku maupun masyarakat luas.
Peradilan adalah suatu tugas suci yang di akui oleh seluruh bangsa, baik
mereka yang tergolong bangsa-bangsa yang telah maju ataupun yang belum. Di
dalam peradilan yang terkandung perintah menyuruh baik dan mencegah yang
buruk menyampaikan hak kepada yang harus menerimanya dan menghalangi
orang yang zalim dari pada berbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum.
Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila peradilan itu
tidak terdapat dalam suatu masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi
masyarakat yang kacau balau.
Walaupun tidak sepenuhnya dipercaya, pengadialan tetap merupakan
tumpuan masyarakat dalam mengusung keadilan yang dicita-citakan. Hal ini
meniscayakan lembaga pengadilan untuk mampu mengeluarkan keputusan yang
tidak memihak, membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah.
Sumber-sumber yang di pergunakan hakim dalam mengambil keputusan di
sebut sebagai “alat bukti”. Setiap alat bukti berbeda-beda kekuatan satu dengan
yang lainnya, yang secara langsung dapat mempengaruhi keputusan yang di
2
hasilkan. Jika kekuatan alat bukti dapat di akui, maka seseorang hakim untuk
memutuskan perkara memerlukan waktu yang tidak singkat, sehingga hakim
merasa yakin dengan keputusannya.
.
Keberpihakan hukum terhadap saksi dan korban yang sangat timpang terlihat
dari beberapa peraturan yang lebih banyak memberikan hak-hak istimewa kepada
tersangka atau terdakwa. KUHAP sebagai landasan untuk beracara dalam perkara
pidana ternyata cendrung lebih banyak memberikan porsi perlindungan terdakwa
dan tersangka dari pada kepada saksi. Dengan kondisi ini, KUHAP sendiri
menjadi tameng hukum yang efektif bagi dinikmati hak-hak terdakwa dan
tersangka dan posisi yang sebaliknya justru dialami oleh para korban dan saksi,
mereka tidak mendapat hak-hak yang seharusnya mereka terima sebagai seorang
yang ikut berperan dalam penegakan hukum. Saksi dan korban sangat jarang
bahkan tidak pernah mendapatkan hak pemulihan bagi dirinya dan keluarganya. 1
Logika sederhana kenapa kemudian penting untuk melindungi para saksi dan
korban.
Keberadaan lembaga perlindungan saksi dan korban menjadi sedemikian
pentingnya, di Indonesia pada saat ini mengingat lembaga penegak hukum seperti
kepolisian dan kejaksaan membutuhkan instrumen hukum untuk melakukan
pekerjaan perlindungan saksi dan korban berstandarkan prinsip Internosional.
1
Supriadi Widodo Eddyono,dkk, perlindumgan saksi dan korban Pelanggaran HAM Bera
(jakarta:ELSAM,2005). h. 1.
3
Undang-undang perlindungan saksi dan korban adalah jalan utama untuk
memperbaiki konsep lembaga perlindungan saksi dan korban di Indonesia.
Proses peradilan pidana yang mulanya berupa putusan hakim dipengadilan
sebagaimana yang terjadi saat ini, tampak cenderung melupkan dan meninggalkan
saksi dan korban. Para pihak terkait antara jaksa penuntut umum tersangka/
terdawa, penasehat hukum, saksi dan korban serta hakim dengan didukung alat
bukti yang ada, cenderung berpumpun (fucus) pada pembuktian atas tuduhan jaksa
penuntut umum, atas jaksa dan
tersangka / terdakwa. Proses peradilan lebih
kepada perbuatan tersangka / terdakwa memenuhi rumusan pasal hukum pidana
yang dilanggar atau tidak. Dalam proses seperti itu tampak hukum acara pidana
sebagai landasan beracara dengan tujuan untuk mencari kebenaran materiil
(substantial
truth)
sebagai
kebenaran
yang
selengkap–lengkapnya
dan
perlindungan hak asasi manusia (protection of human righ) tidak seluruh tercapai.2
Dilupakannya unsur saksi dan korban dalam proses peradilan cenderung
menjauhkan putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi pelaku maupun
masyarakat.. Dalam beberapa kasus, saksi dan korban dapat berperan dengan
berbagai derajat kesalahan dari yang tidak bersalah sama sekali hingga derajat
yang lebih salah dari para pelaku.
2
Angkasa,dkk ,”Kedudukan korban tindak pidana Dalam sistem peradilan Pidana “(Kajian
Model Perlindungan Hukum Bagi Korban Serta Pengembangan Model Pemidanaan Dengan
Mempertimbangkan Peranan Korban), Penelitian Hukum “ Supremasi Hukum “Vol.12 No.2 Agustus
2007,FH UNIB Bengkulu,hal.119-128.
4
Ketika terjadi suatu tindak pidana biasanya paling dirugikan adalah korban.
Tetapi saat terjadi pemeriksaan di kepolisian, kemudian stigmatisasi negatif dari
masyarakat - untuk kejahatan kekerasan seksual, pergantian kerugian memakan
waktu yang lama – kalaupun ada berminggu-minggu, serta bentuk perlindungan
dari negara yang tidak jelas. Secara pisikologis korban lebih “tersiksa” dari pada
saksi ketika harus berhadapan dengan masyarakat.
Pasal 3, 4 dan 5 DUHAM pada dasarnya menegaskan hak hidup dan
mendapatkan perlindungan pada diri setiap orang, tanpa membeda - bedakan suku
warna kulit dan agama yang dianutnya.3
Jadi, perlindungan tidak hanya diberikan kepada orang yang sedang
teraniaya (korban) melainkan kepada orang yang menganiaya (pelaku) itu sendiri
yaitu dengan jalan melepaskan tangannya dari perbuatan aniaya (zalim) tersebut.
Dalam konteks persidangan hakim membutuhkan sesuatu yang otentik dan
orisinil yang kemudian dapat dijadikan pegangan yang kuat untuk mengambil
suatu putusan. Saksi dan korban merupakan dari persidangan yang keterangannya
sangat dibutuhkan untuk mendapatkan kebenaran materi.
Menurut Hukum Islam ada beberapa tindak pidana yang ancaman saksinya
sangat berat sampai mati. Seperti perkara pembunuhan, murtad
(keluar dari
agama Isalm), dan bughat pemberontakan. Sedangkan hukuman mati adalah
bagian dari hukuman yang sifatnya irreversible, yaitu hukuman yang seketika
3
Ahmat Kosasi.HAM Dalam perspektif Islam, Menyingkapi Persamaan dan perbedan antara
Isalm dan Barat, (Jakarta salemba Diniyah.2003), h. 68
5
dijatuhkan dan dilaksanakan maka tidak ada kesempatan bagi hakim untuk
memperbaiki.
Untuk hukum seperti ini hakim harus mendapatkan keterangan yang
orisinil dan se-aktual mungkin lebih para saksi dan korban. Dari pada korban yang
kemudian menjadi saksi korban, hakim juga perlu menggali keterangan yang
terkait dengan perkara yang sedang ditanganinya. Bukan hanya karena ancaman
hukuman yang dijatuhkan berat, tetapi dari pada untuk menghargai hak tersangka
untuk tidak di perdana, baik secara sosial maupun legal formal sebelum adanya
hukum ( in kraht van gewijscd ).
Keberadaan saksi dan korban sebagai bagian dari alat bukti merupakan
sesuatu yan wajib. Dalam kitab Undang-undang Hukum Acara pidana diterangkan
bahwa alat bukti yang sah ada lima, yaitu; 1. keterangan saksi; 2. keterangan ahli;
3. surat; 4. petunjuk; 5. keterangan terdakwa. 4
Dalam hukum acara pidana keberadaan saksi dan korban merupakan faktor
yang sangat penting. Keterangan korban juga merupakan dari keterangan saksi.
Hukum Islam juga mengatur eksistensi keterangan saksi, korban yang juga
menjadi saksi.
Sebelumnya memang telah ada peraturan yang mengatur tentang
perlindungan saksi dan korban, namun dikhususkan untuk tindak pidana tertentu,
sehingga belum dapat menampung perlindungan terhadap saksi dan korban untuk
tindak pidana secara umum yang semakin beragam dan komplek pada zaman
4
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana pasal 184
6
sekarang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, akhirnya pada tanggal 18 juli
2006, DPR mengesahkan Undang-Undang tentang perlindungan saksi dan
korban.5 Dengan demikian bagaimana tinjauan hukum islam dan hukum positif
dalam menyikapi tindak soal terkait tentang perlindungan saksi dan korban di
Indonesia.
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah di paparkan diatas maka
penulis
tertarik
untuk
membahas
dan
mengkaji
lebih
tentang:
“PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERKARA PIDANA DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF” (Kajian UndangUndang RI No. 13 Tahun 2006).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar permasalahan ini lebih terarah dan terfokus berdasarkan latar
belakang dari uraian diatas, dalam hal ini penulis akan mencoba membatasi
penelitian ini hanya mengenai masalah yang menyangkut: Saksi dan korban dalam
perkara pidana, dalam pandangan Fiqih konvensioal terhadap perlindungan saksi
dan korban dalam perkara pidana di indonesia.
Untuk memudahkan dalam pembahasan skripsi ini maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan saksi dan korban dalam perkara pidana di Indonesia
5
Lihat Undang-Undang Perlindungan Saksi Dan Korban (Jakarta : Sinar Grafika Offset,
2006)
7
mana perlindungan hukum terhadap saksi dan korban perkara pidana dalam perspektif hukum Islam
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dari latar belakang dan perumusan masalah yang di kemukakan diatas,
maka dapat diakui bahwa:
1. Tujuan penelitian :
a. Untuk mengetahui posisi saksi dan korban dalam perkara pidana menurut
Hukum Islam
b. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perlindungan hukum
terhadap saksi dan korban dalam perkara pidana dalam undang-undacng
Nomer 13 Tahun 2006.
c. Untuk mengetahui tentang perlindungan hukum terhadap saksi dan korban
dalam undang-undang perlindungan saksi.
2. Kegunaan penelitian :
a. Hasil penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
hukum baik hukum islam maupun hukum positif.,
b. Diharapkan
dapat
menjadi
salah
satu
sumbangan
pemikiran
dan
memperkaya kepustakaan (Khasanah intelektual khususnya dalam bidang
hukum), dan dapat menambah wawasan para pembaca tentang perlindungan
saksi dan korban di Indonesia khususnya yang berkenaan dengan
pelanggaran dalam perlindungan saksi kejahatan. Seperti tindak kejahatan
terhadap saksi.
8
D. Review Studi Terdahulu
Dalam baberapa literatur yang berada di perpustakaan FSH, penulis
mengambil untuk di jadikan sebuah perbandingan mengenai upaya perlindungan
hukum bagi saksi.
Abdul Razak (SJPMH 2008) dengan judul skripsi pandangan hukum islam
terhadap perlindungan saksi dalam perkara pidana di Indonesia menurut UndangUndang No. 13 tahun 2006 penulis membahas tentang kajian teori terhadap
kebijakan perlindungan saksi. Materi yang terdapat dalam skripsi ini menitik
beratkan kepada proses pemberian restitusi, pelayanaan, rehabiltasi, kesehatan dan
sosial oleh pemerintah, serta kajian teori yang tertulis hanya seputar isi materi
yang terdapat dalam Undang-Undang tahun 2006.
Husni Mubarok (SJJS 2008) dengan judul skripsi kedudukan LPSK di
Indonesia (HI) penulis membahas tentang bagaimana konsep lembaga LPSK yang
di cerminkan dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang LPSK dalam
kajian HI.
Rahmad Tri Fianto (SJ PMH 2009) Dengan judul skripsi peranan lembaga
perlindungan saksi dan korban dalam memberikan perlindungan bagi saksi dan
korban menurut perspektif hukum pidana positif dan hukum pidana Islam, penulis
membahas atau memberi gambaran tentang LPSK serta peran lembaga LPSK
dalam upaya memberikan perlindungan dan bantuan.
9
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Sebenarnya
banyak yang mendefinisikan apa itu penelitian kualitatif. Bahwa penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dan lain-lain., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu kontek khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.6
Penelitian ini terdiri dari penelitian hukum normatif (penelitian hukum
kepustakaan) yang mengkaji asas-asas dan norma-norma suatu sistem hukum.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian ini juga
menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan satu variabel dengan
menyajikannya apa adanya.
2. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini di peroleh dengan menggunakan teknik studi
dokumentasi, yakni mengkaji : bahan hukum, terdiri dari bahan hukum primer
dan bahan hukum skunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum
6
Lexi J Morang, Metode Penelitian Kuaalitatif (Bandung, Remaja Rosda Karya, 2005 ) cet
ke-21. h.6
10
yang mengikat. Dalam kaitan ini peraturan perundang-undangan yaitu kitab
Undang-undang hukum pidana dan Undang-undang dan Undang-undang
Republik Indonesia Nomer 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-undang Hukum
acara pidana serta Undang-undang Republik Indonesia Noner 13 Tahun 2006
tentang perlindungan saksi dan korban.
Sedangkan bahan hukum sekundernya adalah buku-buku hukum serta
catatan dan tulisan-tulisan lain yang mendukung dan memperjelas bahan hukum
primer serta bahan hukum lain yang penulis dapatkan baik melalui penelusuran
buku-buku yang berkaitan, surfing internet, artikel-artikel, jurnal-jurnal ataupun
dari sumber lainnya.
3. Teknik Analisa Data
Dalam menganalisis data, di terapkan teknik analisis ini secara
kualitatif. Jadi, dengan teknik ini penulis berusaha untuk mengkualifikasikan
data-data yang telah di peroleh dan di susun, kemudian melakukan interpretasi
dan formulasi.
Untuk mencapai sasaran sesuai yang di harapkan maka sistematika
pembahasan ini di bagi menjadi lima bab. Teknik penulisxan yang di gunakan
dalam skripsi ini mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas
syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
11
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut :
BAB I Merupakan bagian pendahuluan atau berisikan pengantar, yang
memuat latar belakang masalah, pembahasan dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, review terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Dimaksudkan dengan pendahuluan, agar para pembaca sudah dapat mengetahui
garis besar penelitian. Bab pertama ini adalah sebagai pengantar.
BAB II Terdiri dari Dua sub bab yang membahas tentang, Pengertian
Saksi, Macam-macam dan Syarat-syarat Saksi, Hak-hak dan Tujuan Saksi, Dasar
Hukum sub kedua tentang korban dan Hak-hak korban
BAB III Terdiri dari Tiga sub, sub yang pertama tentang UU No 13 tahun
2006,Sejarah, tujuan pembentukannya, landasan hukumnya, susunan dan isi. Sub
kedua tentang kajian pasal 1 UU No 13 2006, Sub ketiga tentangPerlindungan
hukum dalam UU No. 13 tahun 2006
BAB IV Merupakan Perlindungan saksi dan korban dalam kasus pidana di
Indonesia. Bab ini terbagi menjadi tiga sub bab. Sub pertama pandangan Hukum
Islam tentang perlindungan saksi dan korban, Sub kedua tentang pandangan
hukum positif positif terhadap perlindungan saksi dan korban, sub ketiga tentang
Analisis pandangan hukum positif dan hukum islam terhadap perlindungan saksi
dan korban
12
BAB V Adalah penutup, terdiri kesimpulan dan saran-saran. Bab V sebagai
kesimpulan adalah konsekuensi dari metodologi. Pengambilan kesimpulan ini
harus di lakukan untuk menemukan jawaban yang di ajukan pada penelitian ini.
13
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. SAKSI
1. Pengertian Saksi
Saksi menurut bahasa Indonesia adalah “orang yang melihat atau
mengetahui”7. Kemudian kata saksi dalam bahasa Arab adalah ( ٌ‫شَاهِذ‬
)
lafadz ( ٌ‫ ) شَهِذ‬yaitu orang yang mengetahui dan menerangkan apa yang dia
ketahuinya, kata jamaknya adalah ( ُ‫ ) شُهَذَاء‬masdarnya ( ُ‫ ) الشَهَا َدج‬yang berarti
kabar yang pasti.8
Dikatakan pula bahwa kesaksian (ُ‫ ) الشَهَا َدج‬semakna dengan kata “ ‫“ إعالم‬
(pemberitahuan), berdasarkan Firman Allah:
) 18 : 3 / ‫ هُ َى ( ال عمشن‬     
Artinya : “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia”. . .
(QS. 3 (Ali-Imran) : 18
7
W. J. S. Purwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1976),
h. 825
8
Ahmad Warson al-Munawir, Kamus Al-Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997)
ed. 2, h. 746.
14
Disini arti (‫ )شَهِذ‬adalah (‫( )علم‬mengetahui). Syahid adalah orang yang
membawa kesaksian dan menyampaikannya, sebab dia menyaksikan apa yang
tidak diketahui orang lain.9‫ا‬
Dalam hukum Islam, kesaksian disebut dengan (ُ‫ )الشَهَا َدج‬yang dapat
didefinisikan sebaga berikut; dalam kitab Qolyubi wa Umairah dijelaskan
bahwa kesaksian adalah :
10
.ِ‫جلِسِ القَضَآء‬
ْ َ‫ً م‬
ِ ‫شهَادَجِ ف‬
َ ‫ظ ال‬
ِ ‫ك ِتلَ ْف‬
ّ‫ح‬
َ ‫خ‬
ِ ‫إِخْثَا ُس صَذَ َج ِإلِثْثَا‬
Artinya:
“Pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak
dengan ucapan kesaksian di depan sidang pengadilan”.
Pada umumnya dalam beberapa kitab Fiqih tidak ditemukan definisi
saksi secara gamblang dan jelas, yang lebih dititik beratkan kebanyakan adalah
definisi kesaksian atau (ُ‫)الشَهَا َدج‬. Oleh sebab itu terlebih dahulu dijelaskan
beberapa pengertian tentang kesaksian yang dikemukakan oleh para fuqoha,
antara lain yaitu:
a. Menurut Muhammad Salam Madzkur, bahwa yang dimaksud dengan
kesaksian adalah:
ِ‫علًَ الغَ ْيش‬
َ ‫ك‬
ّ‫ح‬
َ ‫خ‬
ِ ‫شهَادَ ِج إلِثْثَا‬
َ ‫ظ ال‬
ِ ‫حكْ ِم ِتلَ ْف‬
ُ ‫س ال‬
ِ ِ‫جل‬
ْ َ‫ً م‬
ِ ‫شهَادَ ُج عِثَاسَ ِج عَهِ اخْثَا ِس صَ َذقَ ف‬
َ ‫ال‬
Artinya: “Kesaksian adalah istilah mengetahui pemberitahuan seseorang
yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk
menerapkan suau hak terhadap orang lain”.11
9
Sayyid Sabiq, Terj-Mahyuddin Syaf, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif,1994), cet
ke-4, Jilid 14, h. 55.
10
ٍ Ibnul Hamman, Sarah Fathul Qodir ( Mesir: Mustafa al-Babil al-Hadad , 1970) Jilid VII, h. 415
11
Muhammad Salam Madzkur. Al-qada fi al-islam, (al-qahirah: dar al-Nahdahal-Arabiyah,
1964), h. 83
15
b. Menurut Ibnu al-Hamman, bahwa yang dimaksud dengan kesaksian adalah:
.ِ‫جلِسِ القَضَآء‬
ْ َ‫ً م‬
ِ ‫شهَادَجِ ف‬
َ ‫ظ ال‬
ِ ‫ك ِتلَ ْف‬
ّ‫ح‬
َ ‫خ‬
ِ ‫إِخْثَا ُس صَذَ َج ِإلِثْثَا‬
Artinya: “pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hal dengan
ucapan kesaksian di depan pengadilan”. 12
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
kesaksian itu harus memenuhi unsur-unsur yaitu:
1) Adanya suatu persengketaan dalam perkara sebagai obyek.
2) Dalam obyek tersebut terdapat hak yang harus di tegakkan oleh hakim.
3) Adanya orang memberitahukan apa yang dia ketahuinya.
4) Orang memberitahukan obyek tersebut harus berita yang sebenarnya.
5) Pemberitahukan itu diberitahukan kepada yang berhak menerimanya, dan
pemberitahuan itu dengan suatu ucapan kesaksian.13
Kesaksian merupakan salah satu alat bukti yang kuat bagi hakim dalam
menetapkan suatu hukum eksistensinya kesaksian sebagai salah satu alat bukti
terdapat Firman Allah SWT :
           
       
    
)282 : 2 / ‫ (الثقشاج‬   
   
12
Ibnu Hamman, Syarah Fath al- Qadir, (misr: Mustafa al-Babi al-Hadad, 1970 ) jilid VII, h.
415
13
Abdul Rahman Umar, Kadudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum,(Jakarta: PT.
Pustaka al-Husna, 1986), Cet. Ke-1, h. 36
16
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu) jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya
jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil.(QS. 2 (al-Baqarah). 282
Bagian akhir ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang saksi tidak
boleh menolak diminta keterangannya. Sebab memberi kesaksian hukumnya
adalah fardhu kifayah.14
Sebab tuntutan untuk memberi atau mendatangkan kesaksian bersifat
pasti. Allah SWT berfirman Qs Al Baqarah 283
)283 : 2 / ‫(الثقشاج‬        
Artinya: “Dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian.
dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia
adalah orang yang berdosa hatinya”( QS. 2 (al-Baqarah). 283)
Ada yang mengatakan bahwa hal itu merupakan pendapat jumhur
ulama‟. sedangkan yang dimaksud dengan bagian akhir ayat di atas, yakni
untuk melaksanakan kesaksian, karena hakekat mereka menjadi saksi. Seorang
saksi hakekatnya adalah pihak yang bertanggung jawab. Jika dpanggil, maka ia
berkewajiban untuk memenuhinya. Jadi hal itu sebagai Fardhu „Ain. Jika tidak,
maka kedudukan sebagai fardhu kifayah.
2. Hak- Hak dan Tujuan Saksi
a. Hak-Hak Saksi
14
Fardhu kifayah, adalah suatu kuwajiban yang harus dilakukan oleh sebagian orang, bila tidak
ada yang mengerjakan kewajiban tersebut berdosa., Abdullah bin Muhammad, terj- Abd. Ghaffar,
Tasfsir Ibnu katsir, (Pustaka Imam asy-Syafi‟I, 2001),cet. Ke-1, jilid 1, h. 565.
17
Disini akan dijelaskan bahwa ada dua bagian dalam hak-hak saksi, di
antaranya adalah :
1) Hak Allah
Hak-hak Allah terbagi menjadi tiga macam, yaitu :
a) Tidak dapat diterima saksi yang kurang dari empat orang laki-laki.
Yaitu zina. Keempat orang laki-laki tersebut memandang perbuatan
perbuatan zina dengan tujuan bersaksi.15
Allah SWT berfirman:
)4: 24 / ‫ (الىىس‬
        
   
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baikbaik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, Maka deralah mereka” (QS. 24 (an-Nur ):4)
b) Hak kedua dari hak-hak Allah adalah hak di mana diterima kesaksian
dua orang laki-laki. Penyusun menjelaskan hal ini dengan ucapan:
yaitu hukuman selain zina, hukuman minum arak.
Allah SWT berfirman
) 282 :2 / ‫ ( الثقشج‬  
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orangorang lelaki (di antaramu)” (QS. 2 (al-Baqarah) :282)
Allah SWT berfirman :
) 2 : 65 / ‫ (الطالق‬
15
Musthafa Died al-Bigha, Fiqh Sunnah, (Surabaya : Insan Amanah, 1424 H), h. 512.
18
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil”
(QS. 65 (ath-Thalak) : 2)
c) Hak ketiga dari hak Allah adalah hak dimana diterima di terima
kesaksian seorang laki-laki. Yaitu hilal bulan ramadhan saja, bukan
bulan lainnya. Hikmah dan diterimanya kesaksian seseorang dalam hal
ini adalah untuk berhati-hati dalam urusan berpuasa. Sebab keliru
dalam mengerjakan ibadah akan lebih ringan mafsadahnya dari pada
keliru meninggalkan ibadah. Karena itulah dalam hal menetapkan
tanggal satu sawal tidak dapat di terima kecuali sedikitnya ada dua
orang saksi.16
2) Hak Adami
Hak adami ada tiga macam yaitu :
a) Pertama; adalah hak dimana tidak dapat diterima, kecuali dua saksi
laki-laki.17
Allah SWT berfirman
          
)106: 5 / ‫ (المائذج‬   
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu
menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah
(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu”
(QS. 5 (al-Maidah) : 106
Allah SWT berfirman dalam
16
17
Ibid
Musthafa Dieb al-Bigha, Op. Cit., h. 503
19
   
    
   
)2: 65 / ‫ (الطالق‬ 
Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar”.(QS. )Ath –
talak( : 2)
Dalam ketiga nash di atas, saksi-saksi disebutkan dalam lafadz
mudzakar. Maka untuk hak-hak sejenis yang tidak dapat disebutkan
dalam ayat atau hadis, dikiaskan dalam hal di atas.
b) Di sini dapat diterima salah satu dari ketiga hal: dua orang saksi lakilaki dan dua orang wanita atau satu saksi dan sumpah pendakwa.
Namun sumpahnya harus harus dilakukan setelah kesaksian saksinya
dan saksi itu di nyatakan adil.18
Pendakwa dalam sumpahnya harus menyebutkan bahwa saksinya
benar mengenai apa, dimana dia bersaksi untuk pendakwa. Jika pendakwa
tidak bersumpah dan menuntut terdakwa untuk bersumpah, maka dia
berhak demikian. Jika terdakwa tidak mau bersumpah, maka pendakwa
boleh untuk sumpah balik menurut pendapat yang lebih jelas.
Allah SWT berfirman Al Baqarah 282
18
Musthafa Dieb al- Bigha, Op. Cit., h. 510
20
            
    
     
) 282 : 2 / ‫ (الثقشج‬  
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di
antaramu). jika tak ada dua oang lelaki,
Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka
yang seorang mengingatkannya”. (QS .2 (al-Baqarah) 282)
c) Ketiga adalah hak di mana bisa di terima bila di terima salah satu dari
dua hal, boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan, boleh
empat orang wanita. Penyusun menjelaskan hak ini dengan perkataan:
hak ini adalah sesuatu yang biasanya disaksikan oleh kaum laki-laki,
namun jarang, misalnya bersalin, haid dan susuan.
Ketahuilah bahwa tidak ada hak yang bisa ditetapkan berdasarkan
dua kesaksian wanita dan sumpah. Adapun hak-hak Allah, kesaksian
kesaksian wanita tidak diterima, hanya kesaksian laki-laki saja yang
diterima.
b. Tujuan Saksi
Kesaksian adalah menyampaikan perkara yang sebenarnya, untuk
membuktikan sebuah kebenaran dengan mengucapkan lafaz-lafaz kesaksian
di hadapan sidang pengadilan, inilah definisi kesaksian. Seperti mendengar,
21
melihat dan hal-hal yang serupa. Oleh karena itu untuk menyampaikan
kesaksian dinamakan dengan memberi sebuah kesaksian.19
Kesaksian tidak boleh didasarkan pada dzan, seperti bukti
meyakinkan yang berasal dari penginderaan oleh satu panca indra, maka
masyarakat di bolehkan bersaksi dengan bukti-bukti semacam itu. Semua
bukti yang tidak berasal melalui jalan ini, maka kesaksian atas bukti-bukti
itu tidak di perbolehkan. Sebab, Kesaksian tidak ditegakkan kecuali dengan
sesuatu yang meyakinkan. Dengan demikian kesaksian tidak boleh
ditetapkan dengan jalan as sama‟ (mendengar dari orang lain). Artinya orang
yang hendak bersaksi tidak boleh memberi kesaksian yang menyatakan : “
saya mendengar dari orang”, atau “ saya mendengar bahwa orang-orang
berkata”, atau yang lainnya. Namun demikian dikecualikan pada sembilan
kasus. Pada sembilan kasus tersebut boleh memberikan kesaksian yang as
sama‟. yaitu pada kasus pernikahan, nasab, kematian, dan peradilan. Pada
empat kasus ini tidak di jumpai adanya perbedaan pendapat tentang di
terimanya kesaksian dengan jalan as sama‟.
Jadi jelaslah pula bahwa hakekat kesaksian adalah menyampaikan
kebenaran, yaitu berita yang benar dan meyakinkan yang disampaikan oleh
orang yang jujur/benar. Kesaksian merupakan upaya untuk membuktikan
kebenran. Bukti juga disyariatkan untuk menampakkan kebenaran.
19
Ahmad ad-Daur, Terj-Syamsuddin Ramadlan, Hukum Pembuktian Dalam Islam, (Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, 2002), cet ke-1. h. 24
22
Berdasarkan hal ini maka kesaksian dengan penyangkalan murni tidak dapat
diterima, sebab hal ini bertentangan dengan definisi kesaksian. Namun jika
pengingkaran lebih dulu di awali dengan sebuah pembuktian, maka
kesaksiannya dengan demikian di perbolehkan. Karena kesaksian itu secara
otomatis bukan lagi menjadi kesaksian di dalam pembuktian. Oleh karena itu
di katakan “tidak bolehnya memberi kesaksian dengan penyangkalan murni,
tidak di katakan penyangkalan saja”, karena diperbolehkan memberi
kesaksian dengan penyangkalan yang diperkuat dengan bukti..20
4. Dasar Hukumnya
Dalam Al Quran ditegaskan, Allah SWT berfirman :
)‫ ا‬35: 3 / ‫ ( الىساء‬  
       
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah” (QS. 3
(an-Nisa) :135)
Kesaksian, wajib ditunaikan oleh saksi jika dalam menunaikannya tidak
ada bahaya yang menimpa baik badannya, kehormatannya, hartanya, ataupun
keluarganya. Apabila saksi itu banyak dan tidak dihawatirkan kebenaran akan
di sia-siakan, maka kesaksian pada saat yang demikian menjadi sunnah,
sehingga bila seorang saksi terlambat menyampaikannya tanpa alasan, maka ia
tidak berdosa.21
20
21
Ibid.
Mustafa Dieb al-Bigha, Op. Cit., h. 510
23
Apabila persaksian tidak ditentukan, maka haram mengambil upah atas
persaksian itu, kecuali bila saksi keberatan dalam menempuh perjalanan untuk
menyampaikannya, maka ia boleh mengambil ongkos itu, apabila kesaksian itu
tidak ditentuka. Kesaksian itu fardhu „ain bagi orang yang memikulnya, bila ia
dipanggil untuk itu dihawatirkan kebenaran akan hilang, bahkan wajib apabila
dihawatirkan lenyapnya kebenaran meskipun dia tidak dipanggil untuk itu.22
Seperti yang telah ditegaskan dalam Firman-Nya :
)283: 2 / ‫ (الثقشج‬        
Artinya: “Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.
dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka sesungguhnya ia
adalah orang yang berdosa hatinya”. (QS. 2 (al-Baqarah) 283
Hukum mengemukakan kesaksian ada dua jalan, sebelum peristiwa
terjadi dan sesudah peristiwa terjadi. Yang dimaksud sebelum peristiwa terjadi
adalah kesediaan menjadi saksi dalam peristiwa tersebut, dalam hal ini Allah
SWT berfirman dalam surat al Baqarah ayat : 282 yang berbunyi :
)282: 2 / ‫ (الثقشج‬    
   
Artinya: “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil” (QS. 2 (al-Baqarah) 282)
Berdasarkan ayat di atas, dibutuhkan atau tidaknya saksi tergantung dari
istiwa tersebut, dan juga berkesedianya menjadi saksi sebelum peristiwa terjadi
, dalam suatu peristiwa dimana adanya saksi menjadi salah satu syarat sahnya
peristiwa tersebut seperti saksi akad nikah. Menurut madzhab syafi‟i, maka
22
Ibid.
24
hukumnya fardhu kifayah. sedangkan terhadap orang yang diminta menjadi
saksi, hukuymnya fardhu „ain.23
Adapun dalam pertistiwa di mana adanya saksi tidak menjadi syarat
sahnya peristiwa tersebut, kemudian menjadi saksi hukumnya sunnah, karena
adanya saksi dapat di tetapkan adanya hak, baik seseorang jika dikemudian hari
terjadi perselisihan tentang hak tersebut. Kemudian kesaksian setelah terjadi,
menurut tujuan syara‟, menjadi saksi dan mengemukakannya adalah wajib.
Oleh karena itu, barang siapa yang menemui peristiwa yang ia saksikan sendiri
dan di dasari oleh pikiran dan perasaannya, maka menyembunyikan kesaksian
dapat di ibaratkan memenjarakan kesaksian didalam hatinya.24
Kasus terhadap seseorang dimana hanya dia yang dapat mengemukakan
kesaksiannya. Sedangkan hak di dalam peristiwa tersebut tidak akan dapat di
tegakkan tanpa adanya kesaksian tersebut, maka hukum mengemukakan
kesaksian baginya adalah fardhu „ain. Dalam hukum positif, saksi adalah alat
bukti yang sangat vital. Keterangan saksi dijadikan alat bukti seperti dalam
pasal 185 ayat (1) KUHAP, yaitu bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti
ialah apa-apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.25
B. KORBAN
23
Abdullah bin Muhammad, terj-Abd. Ghaffar, Tafsir Ibnu Katsir, h. 65.
Ibid
25
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004).
24
25
1. Pengertian Korban
Dalam Khazanah fiqih Islam. Istilah yang dipergunakan untuk “korban”
ialah al-majniy „alaih (yang menderita).26 Korban merupakan pihak hukum
yang mengalami penderitaan fisik maupun mental, kerusakan, luka atau segala
bentuk kerugian, tidak hanya dari sudut pandang hukum, tetapi juga dari sudut
ekonomi, sosial, politik maupun budaya.
Korban yaitu pihak yang menderita kerugian baik karena terluka,
kehilangan / kerusakan harta kekayaan, sosial, maupun trauma emosional
sebagai akibat dari suatu perbuatan tindak pidana yang untuk semua itu korban
tidak dimintai pertanggung jawaban, yang telah ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan pidana. Yang termasuk kriteria korban ialah leluarga
korban dan mereka yang menerima akibat yang sama dengan korban karena
mencegah tindak pidana, membantu korban atau membantu petugas penegak
hukum melawan pelaku tindak pidana.27
Korban adalah siapa saja yang rasa sakitnya dan penderitaannya (akibat
suatu jarimah) diabaikan oleh Negara (state) sedang Negara memiliki sumber
daya yang lengkap sekali untuk menburu dan menghukum sang pelaku tindak
pidana yang mesti bertanggung jawab rasa sakit dan penderitaannya itu.
26
Abd al-Qadir al- „Audah, al-Tasyri‟ al-Jinaiy al-Islamiy, (Beirut: al-Muassah al-Risalah)
Juz ke-2, h. 37.
27
Asmawi, Aplikasi masalah dalam perlindungan korban kejahatan menurutr hokum islam,
(Laporan penelitian Individual, program penelitian DIPA, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta,
2007) h. 64.
26
Secara umum, korban merupakan perorangan atau golongan yang
menderita secara fisik, mental, dan sosial karena tindakan kejahatan, bahkan
korban dapat menderita karena trauma yang berkepanjangan jika ia melaporkan
perbuatan si pelaku kejahatan dan memberikan kesaksian yang memberatkan
pelaku tindak pidana di pengadilan.
Hak hidup, hak milik hak keamanan, hak kehormatan, hak keturunan,
hal jiwa dianggap sebagai urgensi dalam pandangan syari‟at Islam, syariat
diturunkan oleh Allah SWT untuk melindungi dan tidak boleh dilanggar oleh
siapapun. Bahkan Allah SWT telah menetapkan hukuman untuk memberikan
dan jaminan perlindungan agar tidak terjadi pelanggaran di kalangan umat
manusia di muka bumi ini.28
Hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dimiliki manusia
menjalankan proses kehidupan. Perlindungan atas hak ini diberikan dalam
segala yang berkaitan dengan usaha manusia untuk membangun kehidupan,
mempertahankan dan
meningkatkan kualitas kehidupan dilingkungan
sekitarnya. Hak hidup di berikan kepada semua umat manusia.29
Hak untuk hidup merupakan salah satu hak yang sangat dilindungi
dalam ajaran islam. Berbagai ajaran yang terkandung dalam Al Qur‟an dan As
Sunah menegaskan dukungan dan jaminan atas hak hidup manusia, termasuk di
28
Yusuf al-Qardhawy, Fiqih Daulah Dalam Perspekrtif al-Qur‟an dan al-Sunah, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 1997), cet. Ke-1, h. 71.
29
Maulana Abul A‟la Maududi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta; Bumi Aksara) h .
21-23
27
dalamnya hukum-hukum yang mengatur tentang larangan bagi sesama manusia
untuk merugikan salah satu pihak.30
Nilai-nilai kemanusaan dipertahankan sangat ketat dalam pelaksanaan
hukum pidana islam. Pemberlakuan hukuman hanya berlaku bagi orang yang
terbukti bersalah. Pihak keluarga sebagai ahli waris dari korban tidak boleh
memberikan hukuman yang semena-mena dan harus memperhatikan nilai-nilai
kemanusiaan. Dengan alasan kemanusiaan inilah maka hukuman bisa terhapus
jika pihak keluarga korban memaafkan pelaku tindak pidana walaupun pelaku
tindak pidana tetap mendapat hukuman pengganti dari hukuman pokok.31
Hukuman pidana yang dijatuhkan semata-mata ditentukan oleh Negara melalui
undang-undang terlepas dari kehendak korban / ahli warisnya dan jenis
sanksinya.
Hal tersebut dijelaskan dalam Al Qur‟an surat Al Baqarah ayat 178,
Allah SWT berfirman:
ًَ‫ح ّشِ وَا ْلعَثْ ُذ تِا ْلعَثْ ِذ وَاألوْثًَ تِاألوْث‬
ُ ْ‫ح ُش تِال‬
ُ ْ‫ص فِي الْقَ ْتلًَ ال‬
ُ ‫علَ ْيكُ ُم الْقِصَا‬
َ ‫ة‬
َ ِ‫يَا أَ ُيهَا الَزِيهَ آمَىُىا كُت‬
‫ف مِهْ سَ ّتِكُ ْم‬
ٌ ‫ك تَخْفِي‬
َ ‫ن َرِل‬
ٍ ‫حسَا‬
ْ ِ‫ف َوأَدَاءٌ ِإلَيْ ِه تِإ‬
ِ ‫ع تِا ْل َم ْعشُو‬
ٌ ‫ي ٌء فَاتِّثَا‬
ْ َ‫ه عُفِيَ لَ ُه مِهْ أَخِيهِ ش‬
ْ َ‫َفم‬
)١٧٨ :2 / ‫ك َفلَ ُه عَزَابٌ َألِي ٌم (الثقشج‬
َ ‫حمَ ٌح َفمَهِ اعْتَذَي َتعْ َذ َرِل‬
ْ َ‫َوس‬
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi
30
Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam (Jakarta: Gema Insani Press
1999), h. 60.
31
Al- „Audah, al-Tasyri‟ al-Jinaiy al-Islamiy, h. 38
28
ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih
(QS. 2 (Al-Baqarah) : 178)
Perlunya diberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak
kejahatan secara memadai tidak saja menjadi isu nasional, melainkan juga isu
internasional. Padahal, telah kita ketahui bahwa dalam persidangan keberadaan
korban itu sangat menentukan baik atau salahnya seseorang agar menghasilkan
penegakan keadilan yang efektif.
Dalam kaitan pemeriksaan suatu tindak pidana sering kali korban
kejahatan hanya diposisikan sebagai
pemberi kesaksian baik
dalam
pemeriksaan ataupun dalam pengadilan, sebagai pelapor dalam proes
penyidikan, dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci
penyelesaian perkara. Sebaliknya, pada saat korban tidak dapat memenuhi
kewjibannya sebagai saksi di persidangan, ia dikenakan sanksi.
Dalam setiap penangan perkara pidana, aparat penegak hukum sering
kali di hadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan yang
bekesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus dilindungi
untuik memulihkan penderitaannya. Karena telah menjadi korban kejahatan
(baik
secara
mental,
fisik,
maupun
materil)
dan
kepentingan
tersangka/terdakwa/terpidana sekalipun ia bersalah, tetapi dia tetap sebagai
manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh di langgar.
29
Terlebih apabila atas perbuatannya belum ada putusan hakim yang
menyatakan pelaku bersalah; dan karena itu ia harus dianggap sebagi orang
yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah). Perlindungan tidak hanya
diberikan kepada orang yang sedang teraniaya (korban) melainkan kepada
orang yang menganiaya (pelaku) itu sendiri yaitu dengan jalan melepaskan
tangannya dari perbuatan aniaya (zalim) tersebut.32
. C. Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yaitu “Perlindungan” dan
“Hukum”. Artinya perlindungan menurut hukum dan undang-undang yang
berlaku. Bahwa pada hakekatnya tidak ada orang yang salah 100% dan tidak ada
orang yang benar 100%. Apabila seseorang dituduh bersalah maka orang yang
dituduh bersalah itu harus diperiksa dan diadili sesuai hukum dan undang-undang
yang berlaku. Apabila seseorang yang dituduh bersalah akan tetapi diperiksa dan
diadili tidak sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku maka apa bedanya
orang yang memeriksa dan mengadili dengan orang yang dituduh bersalah itu.33
Pengertian Perlindungan hukum menurut peraturan perlindungan hukum
adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada warganegara
32
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan Perbedaan
Antara Islam dan Barat, (Jakarta, Salemba Diniyah, 2003), h. 69.
33
Perlindungan Hukum. http://www.google.com.
30
dalam melaksankan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan
ketentua perundang-undangan yang berlaku (UU 40/1999).34
Secara teoritis bentuk perlindungan terhadap saksi/ atau korban kejahatan
dapat diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan atau kerugian
oleh korban.35 Sebagai contoh untuk kerugian yang sifatnya mental atau psikis
tentunya cukup ganti rugi dalam bentuk materi atau uang tidaklah memadahai
apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban. Sebaliknya, apabila
korban hanya menderita kerugian secara materil (seperti, harta benda hilang)
pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan.36
Dengan mengacu pada beberapa kasus kejahatan yang pernah terjadi, ada
beberapa bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yang lazim diberikan,
antara lain:
1. Pemberian Restitusi dan Kompensasi.
Restitusi yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Sedangkan kompensasi yaitu ganti
kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan
ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.37
2. Konseling
34
Ibid.
Didik M. Arif Mansyur. dan Elisatris Gultom S.H., M.H. Urgensi Pelindungan Korban
Kejahatan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) ed. I, h. 165.
36
Ibid.
37
Penjelasan Pasal 35 UU No. 26 th. 2000.
35
31
Diberikan kepada korban sebagai akibat munculnya dampak negatif
yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana. Pemberian bantuan dalam bentuk
konseling sangat diberikan kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma
berkepanjangan, seperti pada kasus-kasus menyangkut kesusilaan.38
3. Pelayanan atau Bantuan Medis
Pemberian pelayanan atau bantuan medis itu dibrikan kepada korban yang
menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang
dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau
surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat
bukti).
4. Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap
korban kejahatan yang harus diberikan terhadap korban kejahatan baik diminta
maupun tidak diminta oleh korban.
5. Pemberian Informasi
Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan
proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban.39
D. Pidana
1. Pengertian pidana
38
39
Dalam Pasal 6 huruf B UU No. 13. Th. 2006. Perlindungan Saksi dan Korban.
Ibid,. h. 171
32
Pidana berasal dari kata straabaarfeitf (Belanda), yang pada dasarnya
dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melaku-kan suatu
tindak pidana. Dalam pengertian yang lengkap dinyatakan oleh prof. Satochid
kartanegara bahwa hukum pidana materil berisikan peraturan-peraturan tentang
berikut ini.40
Menurut moeljatno pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi
siapa yang melanggar aturan tersebut. 41
a. Perbuatan yang dapat diancam dengan pidana (Strafbare feiten)misalnya:
1) Mengambil barang milik orang lain.
2) Dengan sengaja merampas nyawa orang lain.
2. Jenis pidana dan tindakan bagi orang dewasa
Adapun mengenai bentuk pidana yang di jatuhkan utamanya mengacu
kepada KUHP. Namun untuk untuk pidana khusus, ternyata ada perluasan atau
penambahan bentuk atau jenis pidana tambahan diluar yang termaktub dalam
KUHP.Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (WvS) telah menetapkan
40
41
Bambang Waluyo,SH. Pidana dan pemidanaan, (Sinar Grafika, 2004) h.6
Evi Hartanti, SH. Tindak Pidana Korupsi (Sinar Grafika: 2007), cet. I, h. 7
33
jeniss-jeenis pidana yang termaktub dalam pasal 10. Diatur dua pidana yaitu
pidana pokok dan pidana tambahan.42
Jenis-jenis pidana menurut pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut:43
a. Pidana pokok meliputi:
1) Pidana mati
Jenis pidana mati yang dalam dalam praktek sering menimbulkan
perbedaan diantara yang setuju dan tidak setuju. Bagaimanapun pendapat
yang tidak setuju adanya pidana mati, namun kenyataan yuridis formal
pidana mati memang dibenarkan, seperti maker pembunuhan terhadap
presiden(pasal 104) Pembunuhan berencana (pasal 340) dan sebagainya.
2) Pidana penjara;
Sehubungan dengan pidana penjara yang dapat menjadi jus
constituendum, yaitu sebagai berikut:
a) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu
tertentu. Waktu tertentu dijatuhkan paling lama lima belas tahun
betturut-turut. Atau paing singkat satu hari.
b) Jika dapat dipilih antara pidana mati atau penjara seumur hidup; atau
ika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana
pnjara lma belas tahun maka pidana penjara dapat dijatuhkan untuk
waktu dua pulh tahun berturut-turut.
42
43
Bambang Waluyo,SH. h. 26
Ibid., h. 10
34
c) Jika pidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang
sepuluh tahun pertama dengan berkelakuan baik, menteri kehakiman
dapat mengubah sisa pidana tersebut menjadi pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
d) Pelepasan bersyarat.
3) Pidana kurungan
Dinyatakan dalam pasal 27 bahwa pidana kurungan yang dapat
dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, paling lama ½
(satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang
dewasa. Mengenai apakah yang dimaksud maksimum ancaman pidana
kurungan bagi orang dewasa, adalah maksimum acaman pidana kurungan
terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan
dalam KUHP atau undang-undang lainnya yaitu penjelasan pasal 27, yang
berbunyi: “Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½
(satu perdua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang
dewasa”.
4) Pidana denda
Seperti pidana penjara dan pidana kurungan maka penjatuhan
pidana denda terhadap anak nakal paling banyak juga ½ (satu perdua) dari
maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. Pada pasal 28 ayat
1 yang berbunyi, “Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak
35
nakal paling banyak ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana
denda bagi orang yang dewasa”.
b. Pidana tambahan meliputi
1) Pencabutan beberapa hak-hak tertentu
Pencabutan hak yang diperoleh oleh terpidana dapat dijatuhkan
sesuai dengan kebutuhan walaupun tidak tercantum dalam perumusan
tindak pidana dan pencabutan hak bebas dalam menentukan lama atau
tidaknya pencabutan hak tersebut.
2) Perampasan barang-barang tertentu
Pidana perampasan barang-barang dapat dijatuhkan apabila
ancaman pidana penjara tidak lebih dari tujuh tahun atau jika terpidana
hanya dikenakan tindakan. Adapun barang-barang yang dirampas adalah:
a) Barang milik terpidana atau orang yang seluruhnya atau sebagian
besar diperoleh dari tindak pidana.
b) Barang yang ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana.
c) Barang yang digunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan
tindak pidana.
d) Barang yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak
pidana.
e) Barang yang dibuat atau diperuntukkan bagi terwujudnya tindak
pidana.
36
3) Pengumuman putusan hakim
Dalam hal diperintahkan supaya putusan diumumkan maka harus
ditetapkan cara melaksanakan perintah tersebut dan jumlah biaya pengumuman
yang harus ditanggung oleh terpidana. Namun apabila biaya pengumuman itu
tidak dibayar oleh terpidana maka berlakulah ketentuan pidana mengganti untuk
pidana denda (vide pasal 100 RUU)
37
38
BAB III
PANDANGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PERKARA PIDANA
DALAM UU NO 13 TAHUN 2006
A. UU NO 13 TAHUN 2006
1. Sejarah Terbentuknya.
Kerberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung kepada
alat bukti yang berhasil diungkap atau diketemukan. Dalam proses persidangan,
terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap
akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum.
Padahal, adanya saksi dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan
dalam proses peradilan pidana. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak
terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi dan korban takut memberikan
kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak
tertentu.
Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap
tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan
perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau
39
menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang
telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.44
Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan
keamanan yang memadai atas laporannya sehingga ia tidak merasa terancam
atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan
hukum atau keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang
memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu
tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena hawatir atau
takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
Perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana di
Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan pasal 68
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya
mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat
perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh
karena itu, sudah saatnya perlindungan saksi dan korban diatur dengan undangundang tersendiri.
Berdasarkan asas persamaan di depan hukum (equality before of law)
yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam proses
peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok
44
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2006) cet.
Ke-1. h. 18
40
materi muatan yang diatur dalam undang-undang tentang perlindungan saksi
dan korban meliputi:45
1. Perlindungan dan hak saksi dan korban;
2. Lembaga perlindungan saksi dan korban;
3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan
4. Ketentuan pidana
2. Tujuan pembentukannya
Perlu di tegaskan kembali bahwa tujuan pembentukan Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban (PSK), untuk memberikan perlindungan
terhadap saksi harus diberikan atas dua hal: perlindungan hukum dan
perlindungan khusus terhadap ancaman.
Perlindungan hukum dapat berupa kekebalan yang diberikan kepada
pelapor dan saksi agar tidak dapat digugat secara atau dituntut secara perdata.
Tentu dengan catatan, sepanjang yang bersangkutan memberikan kesaksian
atau laporan dengan i‟tikat baik atau yang bersangkutan bukan pelaku tindak
pidana itu sendiri. Perlindungan hukum lain berupa larangan bagi siapapun
untuk membocorkan nama pelapor atau kewajiban merahasiakan nama pelapor
disertai dengan ancaman pidana terhadap pelanggarannya.
Semua saksi, pelapor, dan korban memerlukan perlindungan hukum
ini. Perlindungan khusus kepada saksi, pelapor dan korban diberikan oleh
45
Ibid., Cet. Ke-1. h. 19, lihat juga penjelasan undang-undang nomor 13 tahun 2006
41
Negara untuk mengatasi kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa,
dan harta bendanya, termasuk keluarganya.
Karena itu, perlindungan pun harus meliputi perlindungan atas
keamanan pribadi dari ancaman fisik, mental, dan harta benda. Perlindungan
semacam ini harus dilakukan terhadap seluruh saksi atau pelapor, termasuk
Vincentius Amin Sutanto, sebagai saksi dan pelapor dugaan tindak pidana
Asian Agri meski dia terlibat tindak pidana tersendiri.46
3. Landasan hukumnya
Adapun yang menyebabkan adanya landasan hukum ini yang mendasari
di bentuknya Undang-undang No. 13 tahun 2006 ini adalah:
1. Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia
(HAM), pasal 1dan 3, dan pasal 7.
2. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi.
3. Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan korupsi.
4. Peraturan pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang tata cara perlindungan
khusus terhadap pelapor dan saksi dan,
5. Peraturan ini ditindak lanjuti dengan peraturan kepala kepolisian Negara
Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005, yang belaku sejak 30 desember
2005.
46
Yunus Husein, “Sang Pelapor dan Perlindungan Saksi” Saturday 12 Januari 2008
42
4. Susunan dan isi
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 ini terdiri dari 7 bab, dan 46
pasal. Pada bab I ketentuan umum undang-undang ini memuat empat pasal.
Pasal ini menjelaskan tentang perlindungan saksi dan korban berasaskan
kepada: penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan,
tidak diskriminatif, dan kepastian hokum.47
Bab II terdiri dari enam pasal dan di bagi dalam 12 ayat, dimulai dari
pasal 5 sampai dengan pasal 10. Dalam pasal ini menerangkan tentang
masalah perlindungan dan hak saksi untuk mendapatkan bantuan medis dan
rehabilitasi psiki-sosial. Adapun isi perlindungan yang di jelaskan adalah
saksi, korban, dan pelapor tidak dapat di tuntut secara hukum baik pidana
maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah di
berikannya.48
Bab III terdiri dari 17 pasal dan di bagi dalam 32 ayat, dimulai dari
pasal 11 sampai 27. Undang-undang ini menjelaskan tentang pertanggung
jawaban Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).49
Bab IV terdiri dari 9 pasal dan dibagi dalam 9 ayat, di mulai dari pasal
28 sampai 36. Undang-undang ini menjelaskan tentang syarat pemberian
perlindungan dan bantuan, Tata cara pemberian perlindungan.50
47
Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, Ibid., h. 2
Ibid,. h. 3
49
Ibid,.h. 6
50
Ibid,. h. 11
48
43
Bab V terdiri dari 7 pasal dan dibagi dalam 5 ayat, dimulai dari pasal
37 sampai 43. Undang-undang ini menjelaskan tentang sanksi hukuman
pidana
bahwa
setiap
orang
yang
memaksakan
kehendaknya
baik
menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan saksi
dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud pasal
5 ayat (1) huruf a atau hururf d sehingga saksi dan/atau korban tidak
memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat manapun, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000 (empat puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) 51
Bab VI terdiri dari 1 pasal, yang terdiri dari 4 ayat. Undang-undang ini
menjelaskan tentang yang mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi
dan/atau korban tetap dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan udang-undang ini.
Bab VII terdiri dari 2 pasal, dimulai dari pasal 45 sampai 46. Undangundang ini menjelaskan tentang LPSK harus dibentuk dalam waktu paling
lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-undang ini diundangkan.
51
Ibid,. h. 14
44
B. Kajian Pasal –Pasal tentang perlindungan Hukum dalam Undang-Undang
No. 13 Tahun 2006
1) Pasal (1)
1) Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau
ia alami sendiri.
2) Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang di akibatkan oleh suatu tindak pidana.
3) lembaga perlindungan saksi dan korban, yang selanjutnya di singkat LPSK,
adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan
perlindungan dan hak-hak lain kkepada saksi dan/atau korban sebagaimana
diatur dalam Undang-undang itu.
4) Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik
langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan saksi dan/atau korban
merasa takut dan/atau merasa di paksa untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam
suatu proses peradilan pidana.
5) Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garus lurus
keatas atau kebawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang
mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang mempunyai tanggungan
saksi dan/atau korban.
45
6) Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan
untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib di
lksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan Undang-Undang
ini.
2. Pasal 5
Dalam pasal 5 seorang saksi dan korban berhak :
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik maupun
psikologis dari
orang lain yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah
diberikannya atas suatu perkara pidana;
b. hak untuk memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan;
c. hak untuk mendapatkan nasihat hukum;
d. hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan;
e. hak untuk mendapatkan penterjemah;
f. hak untuk bebas dari pertanyaan yang menjerat;
g. hak untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
h. hak untuk mendapatkan informasi mengenai keputusan pengadilan;
i. hak untuk mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan;
j. hak untuk mendapatkan identitas baru;
k. hak untuk mendapatkan tempat kediaman baru (relokasi); dan/atau
l. hak untuk memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
46
Hak-hak yang diberikan kepada saksi diatas belum cukup memberikan hak-hak
kepada saksi dan korban secara lebih spesifik misalnya :
1. hak untuk memperoleh pendampingan.
2. hak mendapatkan kepastian atas status hukum
3. hak atas jaminan tidak adanya sanksi dari atasan berkenaan dengan keterangan
yang diberikan
4. Hak untuk mendapatkan pekerjaan pengganti
5. Hak korban untuk dimintai pendapat pada setiap proses pemeriksaan dan pendapat
korban sebagai sarana atau bahan untuk penjatuhan pidana kepada si pelaku.
Hak-hak tersebut sebetulnya merupakan hak yang sangat penting mengingat
dalam beberapa kasus saksi dan korban sangat membutuhkan seorang pendamping
yang akan memberikan konseling atau dalam korban mengalami trauma dan
membutuhkan pihak-pihak yang bisa dipercaya untuk mendampinginya. Adanya
pendamping akan membuat saksi menjadi lebih nyaman karena ada orang yang
dikenalinya, saksi/korban. lebih percaya diri karena ditemani, adanya dukungan fisik
terutama saksi/korban yang sudah tua ataupun lemah, dukungan pendampingan ini
juga akan membantu saksi dan korban melewati masa-masa sulit terutama bila
saksi/korban mengalama retraumatisasi.
Adanya hak akan pendampingan ini juga memberikan landasan yuridis bagi
para pendamping yang selama ini mendampingi saksi/korban dalam memberikan
kesaksian dipengadilan. Para pendamping saksi/korban ini tidak diakui dalam sistem
hokum pidana kita sehingga kadangkala mendapatkan perlakuan yang tidak
47
semestinya dan sering dituding sebagai pihak yang memandu saksi dalam
memberikan keterangan.
Hak untuk tidak ada sanksi bagi saksi atas kesaksiannya dari atasan saksi
harus juga dijamin dalam undang-undang ini. Saksi-saksi yang sering merupakan
pihak yang lemah atau tidak mempunyai relasi kekuasaan yang sama dengan
terdakwa seringkali menerima resiko pemecatan ataupun resiko lain yang
berhubungan dengan pekerjaannya. Saksi-saksi yang rentan semacam ini adalah
misalnya saksi-saksi yang melibatkan tindak pidana korporasi atau kasus perburuhan.
Saksi lain yang juga rentan atas sanksi atasan adalah saksi dalam kasus pelanggaran
HAM berat dimana saksi ini, dari militer ataupun kepolisian, potensial menjadi saksi
untuk terdakwa yang merupakan atasannya atau bekas pimpinannya sedangkan saksi
masih aktif bertugas dikesatuannya.
Hak untuk mendapatkan pekerjaan pengganti atas saksi korban harus juga
dijamin dalam undang-undang ini. Hak ini diberikan kepada korban atas kehilangan
pekerjaan akibat tindak pidana yang terjadi pada dirinya, korban kejahatan yang dapat
memperolah hak ini adalah korban yang sebelumnya memang telah mempunyai
pekerjaan. Sedangkan hak atas pekerjaan pengganti pada saksi juga harus diberikan
ketika saksi ikut dalam program perlindungan saksi misalnya jika saksi membutuhkan
atau menerima hak relokasi.
Hak mendapatkan kepastian atas status hukum menjadi hak yang perlu dipikirkan
untuk diberikan terutama pada saksi-saksi yang mencoba untuk mengungkapkan
kasus-kasus kejahatan kepada masyarakat tetapi para saksi tersebut malah sering
48
dituntut balik dengan tuntutan pencemaran nama baik dan sebagainya, para saksi
menjadi korban dari apa yang meraka suarakan. Hak atas status hukum bukan berarti
bahwa seseorang tidak dapat dijadikan tersangka atau terdakwa tetapi lebih kearah
pemberian posisi pada saksi yang mengungkapkan suatu tindak pidana untuk menjadi
korban atas kesaksiannya tersebut.
3. Pasal 6
Dalam pasal 6 korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selai
berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, mereka juga berhak
mendapatkan bantuan medis; dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Penjelasan ketentuan tentang bantuan medis ini adalah bahwa tindak
kekerasan pada dasarnya menyebabkan penderitaan fisik pada korban dan dalam
hal ini negara berkewajiban untuk memberikan bantuan pada korban untuk
membantu menyembuhkan luka-lukanya. Sedangakan penjelasan menganai
bantuan rehabilitasi psiko-sosial adalah adanya korban yang menderita trauma
atau masalah kejiwaan lainnya, bantuan psikolog sangat diperlukan untuk
membentunya kembali menjalani kehidupan yang telah dikacaukan oleh adanya
kekerasan. Pengertian rehabilitasi haruslah secara jelas ditentukan yang
mencakupi pelayanan hukum, psikologis, perawatan medis, dan pelayanan atau
perawatan lainnya, maupun tindakan untuk memulihkan martabat dan reputasi
(nama baik) sang korban.
Dalam ketentuan tentang pemberian bantuan medis dan rahabilitasi psiko
sosial ini tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa bantuan ini dapat
49
diberikan sesegera mungkin kepada korban atau segera setelah korban mengalami
kejahatan terhadap dirinya. Ketentuan mengenai bantuan yang sifatnya segera ini
seharusnya juga menjadi ketentuan yang baku agar para korban dapat
mendapatkan penanganan secara cepat sehingga tujuan atas pemulihan terhadap
korban ini tercapai.
4. Pasal 7
1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yan berat;
b. hak atas restetusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku
tindak pidana
2) Keputusan mengenai kompensasi dan restetusi di berikan oleh pengadilan
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restetusi di atur
dengan peraturan pemerintah
Peraturan pemerintah ini mengatur tata cara melaksanakan konpensasi,
restitusi, dan rehabilitasi kepada pihak korban, dari mulai proses di terimanya
salinan putusan kepada instansi pemerintah terkait saksi dan korban sampai
dengan pelaksanaan pengumuman pengadilan dan pelaksanaan laporan. Dan dari
keterangan diatas maka undang-undang ini di perlengkap lebih terperinci yang di
nyatakan pada Bab I pasal 2 ayat 1 sampai 2, dan Bab II pasal 3 ayat 1 sa mpai
pasal 5 yang berisikan tentang:
Ayat (1)
50
Yaitu tentang kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi di berikan kepada
korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.
Ayat (2)
“ proses pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1) harus di laksanakan secara cepat, tepat dan layak.”
Dan di lanjutkan juga untuk lebih jelas dan terarah dengan sempurna dan ayat
tersebut kepada ayat 1 sampai 5 pasal 3 bab II yang berupa:
Ayat (1)
Instansi pemerintah terkairt bertugas melaksanakan pemberian kompensasi
dan rehabilitasi berdasarkan putusan pengadilan HAM yang telam memperoleh
kekuatan hukum tetap. Dan penjelasan ayat 2 adalah:
Ayat (2)
Dalam hal kompensasi dan /atau rehabilitasi menyangkut pembiayaan dan
perhitungan keuangan Negara, pelaksanaannya dilakukan oleh departemen
Keuangan. Kemudian pasal 4 adalah:
Pasal (4)
Pemberian restitusi dilaksanakan oleh oleh pelaku atau pihak ketiga
berdasarkan perintah yang tercantum dalam amar putusan pengadilan HAM.
Yang selanjutnya dalam pasal 5 adalah:
Pasal (5)
Pelaksanan putusan pengadilan HAM oleh instansi pemerintah terkait
sebagaimana di maksud dalam pasal 3 ayat (1) wajib dilaporkan kepada
51
pengadilan HAM yang mengadili perkara yang bersangkutan dan jaksa agung
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan di laksanakan.
Adapun salinan dari keterangan tentang undang-undang yang mengatur masalah
perlindungan saksi dari ancaman, tata cara memperoleh perlindungan,
mendapatkan restitusi, rehabilitasi, kompensasi, dan penghentian untuk tidak
bersangkutan kembali oleh LPSK, yaitu guna untuk mengetahui kepastian hokum
dan peraturan perlindungan saksi dan korban dari tindak kejahatan.
5. Pasal 8
Perlindungan dan hak-hak saksi dan korban di berikan sejak tahap penyelidikan
dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana ketentuan diatur
dalam Undang-Undang ini.
6.
Pasal 9
1) saksi dan/atau korban yang measa dirinya berada dalam ancaman yang
sangant besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa
hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang di periksa.
2) Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
memberikan kesaksiannya secara tertulis yang di sampaikan kepada pejabat
berwenamg dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang
memuat tentang kesaksian terebut.
52
3) Saksi dan/atau korban sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) dapat pula di
dengar kesaksiannya secara langsung melalui alat elektronik dengan di
dampingi oleh pejabat yang berwenang.
Ketentuan mengenai kesaksian tanpa hadir dipersidangan diatas mensyaratkan
beberapa hal yaitu adanya suatu ancaman yang sangat berat yang dalam
penjelasannya dikatakan sebagai ancaman yang menyebabkan saksi tidak dapat
memberikan memberikan kesaksiannya, pengertian ancaman yang sangat berat ini
tidak jelas apakah juga mencakup mengenai kondisi psikologis saksi maupun korban
(trauma) atas kejahatan yang terjadi sehingga menjadi faktor yang bisa dikatakan
ancaman yang sangat berat. Syarat yang lainnya adalah adanya persetujuan hakim,
dan mekanisme pemberaian kesaksian tersebut harus diberikan dihadapan pejabat
yang berwenang atau dihadapan pejabat yang berwenang. Persyaratan ini tidak
melibatkan atau tidak mengatur mengenai peranan lembaga perlindungan saksi dan
korban untuk memberikan saran/konsultasi dan informasi tertentu atas kondisi saksi
atas ancaman tertentu.
Mengenai bentuk kesaksian atas saksi yang dalam kondisi ancaman yang
sangat berat ini, masih terdapat bentuk pemberian kesaksian lainnya yang belum
dimasukkan dalam kondisi khusus ini. Pada ayat 2 kesaksiannya secara tertulis dan
ditandatangani oleh saksi pada berita acara, bentuk kesaksian secara merekam suara
saksi (viva voce) ataupun transkrip tertulis belum dimasukkan dalam ketentuan ini.
Ketentuan tentang dibolehkannya model pemeriksaan dengan merekam suara saksi
maupun transkrip tertulis sudah diatur dalam hukum internasional.6 Ayat 3, saksi
53
memberikan kesaksian secara langsung melalui sarana elektronika yang lazim dikenal
dengan media teleconference, model kesaksian ini telah lazin digunakan dalam
praktek peradilan internasional. Namun, bentuk kesaksian yang lainnya dalam rangka
melindungi saksi ketika mendapatkan ancaman yang sangat berat patut juga untuk
dimasukkan misalnya dengan tindakan untuk menahan bukti dan informasi tertentu
dan digantikan dengan suatu ikhtisar yang dilakukan oleh jaksa penuntut sebelum
dimulainya persidangan karena adanya kekhawatiran bahwa informasi tersebut akan
menimbulkan bahaya yang gawat bagi korban dan saksi.
C. Perlindungan Hukum Dalam UU No. 13 Tahun 2006 Terhadap Saksi
1. Perlindungan Hukum dari Ancaman Terhadap Saksi
Hampir setiap Negara memiliki peraturan perlindungan, khususnya di
Indonesia, bahwa Negara ini mempunyai tata tertib untuk memperoleh sebuah
perlindungan hukum terhadap saksi dari ancaman orang yang bersangkutan,
maka dari itu pemerintah membentuk Undang-undang dan telah dijelaskan oleh
isi memperoleh perlindungan hukum dari ancaman terhadap saksi yaitu dalm
pasal 8-10 yang sebagimana diterangkan dalam pasal 8 adalah bahwa:52
“Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap
penyelidikan di mulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.
52
Ibid,. h. 16
54
Kemudian saksi yang dirinya terancam dan tidak dapat hadir secara
langsung dipengadilan dan disebabkan ancaman yang begitu mencekam, jadi
saksi juga bisa memberikan keterangan dengan menggunakan alat elektronik
dan didampingi oleh beberapa pejabat yang berwenang. Dari isi keterangan
tersebut dapat dijelaskan dengan lebih sempurna pada pasal 9 ayat 1 sampai 3
yang menyatakan bahwa:
1) Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang
sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa
hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.
2) Saksi dan/atau korban sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dapat
memberikan kesaksinnya secara tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat
yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang
memuat tentang kesaksian tersebut.
3) Saksi dan/atau korban sebagaiman dimaksud dalam pasal (1) dapat pula di
dengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan
didampingi oleh pejabat yang berwenang.
Dengan demikian yang dijelaskan dalam pasal tersebut tentang
melindungi saksi dari ancaman yang berat dan menyampaikan kesaksiannya
dengan tulisan atau sarana elektronik. Jadi dari saksi yang terancam tersebut
selain mendapatkan perlindungan juga mendapat kebebasan hukum atau
peringanan hukum di karenakan sudah ingin memberikan laporan untuk
mengungkap kejahatan orang tersebut. Di dalam penjelasan tentang bebas dari
55
hukum atau keringanan hukum di jelaskan kembali dengan lebih terarah dalam
pasal 10 ayat 1 sampai 3 berupa :
(1)Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana
maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atu diberikannya.
(2)Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat di
bebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah. Tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan
hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
(3)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap saksi,
korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan iktikad
baik.53
Dari pasal tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam tata cara memperoleh
perlindungan pada pasal 29 sampai 32 yang di maksud menjelaskan tentang
bagaimana memperoleh tata cara perlindungan hukum bahwa tata cara
memperoleh perlindungan hukum yaitu diterangkan dalam pasal 29 sampai 30
yang berisikan bahwa:
a. Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun
atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara
tertulis kepada LPSK
b. LPSK segera melakukan pemeriksaan kepada permohonan sebagaimana di
maksud dalam huruf a;
53
Ibid,. h. 5
56
c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
permohonan perlindungan diajukan54
Dari pasal 29 ini juga ditindak lanjuti dalam pasal 30 yang menerangkan
tentang penerimaan permohonan saksi dan korban dan pernyataan kesediaan
untuk mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi. Adapun yang lebih
menyangkut dalam pembahasan ini dijelaskan pada pasal 30 berupa:
(1)Dalam hal LPSK menerima permohonan saksi dan/ korban sebagaiman
dimaksud dalam pasal 29, saksi dan/atau korban menandatangani pernyataan
kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban.
(2)Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi
dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berisikan bahwa:
a. Kesedian saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dan proses
peradilan;
b. Kesedian saksi dan/atau korban untuk mentaati aturan yang berkenaan
dengan keselamatannya.
c. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara
apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama dia dalam
perlindungan LPSK;
d. Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberikan kepada
siapapun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan
e. Hal-hal lain yang di anggap perlu olek LPSK
54
Ibid,. h. 11
57
Dari keterangan ini yang dikeluarkan oleh LPSK kepada saksi berupa
kesediaan saksi dan korban untuk memberikan kesaksian, mentaati peraturan
dari LPSK dan tidak berhubungan dengan sembarang orang tanpa persetujuan
LPSK dan lain-lain.
Dengan demikian LPSK juga wajib memberikan perlindungan
sepenuhnya terhadap saksi dan koban termasuk juga dengan keluarganya, dari
mulainya pernyatan dan penjelasan di sini juga lebih jelas diterangkan dalam
pasal 31, yaitu:
“LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi
dan/atau korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanginya
pernyataan kesediaan sebagaiman di maksud dalam pasal 30”.55
Oleh karena itu LPSK juga harus lebih fokus untuk memberikan
perlindungan terhadapap saksi agar saksi tidak mengalami keresahan ketika
memberikan
keterangan
atau
dalam
mengajukan
untuk
memperoleh
perlindungan saksi juga dapat menghentikan perlindungan karena adanya
inisiatif untuk di hentikannya perlindungan oleh LPSK atau juga melanggar
ketentuan perjanjian, dan lebih jelasnya lagi di terangkan dalam pasal 32 yang
mencakup tentang:
(1)Perlindungan atas keamanan saksi dan/atau korban hanya dapat di hentikan
berdasarkan alasan:
55
Ibid,. h. 12
58
a. Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya di
hentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
b. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan
perlindungan saksi dan/atau korban berdasarkan atas permintaan pejabat
yang bersangkutan;
c. Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam
perjanjian; atau
LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi
memerlukan perlindungan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang
meyakinkan.
(2)Penghentian perlindungan keamanan seorang saksi dan/atau korban harus di
lakukan secara tertulis.
Dari sini jelaslah bahwa perjanjian perlindungan dan penghentian
perlindungan sudah diatur dari pasal 32.
59
BAB IV
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM KASUS
PIDANA DI INDONESIA
A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Perlindungan Saksi dan Korban
Hukum Islam bersumberdari al-Qur‟an, al-Hadits dan ijma‟ para sahabat
dan tabi‟in. Al-Qur‟an dan al-Hadits melengkapi sebagian besar dari hokumhukum Islam, kemudian para sahabat menambahkan atas hukum-hukum itu.
Aneka hokum yang diperlukan untuk menyelesaikan kemuskilan-kemuskilan yang
terjadi dalam masyarakat. Karena dapat dikatakan bahwa syari‟at (hukum) Islam
adalah hokum-hukum yang bersifat umum yang dapat diterapkan dalam
perkembangan hukum Islam menurut kondisi dan situasi masyarakat. Hukum
Islam mempunyai gerak yang tetap dan perkembangan yang terus menerus
karenanya hukum Islam senantiasa berkembang dan perkembangan itu merupakan
tabi‟at hukum Islam yang terus hidup.56
Menurut hukum Islam kesedian menjadi saksi dan mengemukan kesaksian
oleh orang yang menyaksikan peristiwa atau perkara pidana hukumya fardhu
kifayah.57 Hal ini didasarkan pada dalil-dalil yang antara lain sebagai berikut:
Firman Allah SWT
56
Hasbi Ash-Shiddiqi, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) h. 44
Abdurrahman umar, Kedudukan saksi dalam peradilan menurut hukum (Jakarta: PT.
Pustaka al-Husna, 1986), cet ke 1 h. 41
57
60
)283 : 2 / ‫(الثقشاج‬         
Artinya: “Dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian.
dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia
adalah orang yang berdosa hatinya”( QS. 2 (al-Baqarah). 283)
)282: 2 / ‫ (الثقشج‬    
    
Artinya: “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil” (QS. 2 (al-Baqarah) 282)
Muhammad Abduh menjelaskan makna ayat-ayat diatas bahwa seseorang
yang menemui peristiwa pidana yang ia saksikan dan disadari oleh pikirannya dan
hati nuraninya maka dapat diibaratkan ia memenjarakan kesaksian tersebut dalam
hatinya, yang dengan demikian menjadikan dirinya itu orang yang berdosa.58
Sabda Rasulullah saw:
“Dari Zaid dan Khalid al-Juhani, bahwasanya Nabi saw. Telah bersabda:
Apakah tidak kukabarkan kepadamu tentang sebaik-baiknya saksi? Yaitu orang
yang memberikan kesaksiannya sebelum ia diminta mengemukakannya” (HR. alBaihaqi dan al-Tirmidzi)
Ayat dan hadits diatas jelas mengemukakan kesaksian dalam suatu perkara
pidana di pengadilan mengemukakan kesaksian dalam suatu perkara dipengadilan
merupakan suatu hal yang sangat ditekankan oleh Allah dan Rasulnya, terutama
terhadap seseorang dimana hanya dia sendiri yang dapat mengemukan kesaksian,
sedangkan hak di dalam peristiwa tersebut tidak akan ditegaskan tanpa adanya
kesaksian.
Tujuan perlindungan saksi menurut hukum Islam tidak terlepas dari tujuan
hidup manusia itu sendiri, yaitu mengabdi kepada Allah. Hukum buat agama Islam
58
Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1960), h. 132
61
hanya berfungsi mengatur kehidupan manusia, baik pribadi maupun dalam
hubungan mansyarkat yang sesuai dengan kehendak Allah, untuk kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, hukum dalam agama Islam
terlingkup dalam masalah ta‟abbudi.
Sesuai dengan tujuan hukum Islam (ta „abbudi) di atas, maka metode
penemuan hukumnya adalah deduktif dan kasuistik. Setiap peristiwa hukum
haruslah diatur menurut aturan-aturan pokok yang ada dalam sumber-sumber
pokok hukum Islam yaitu Al Qur‟an dan Hadits Nabi. Dalam Islam adanya hukum
terlepas dari ada atau tidaknya suatu masyarakat.
Dalam hukum Islam, martabat dan hak hidup manusia serta hak-hak yang
melekat padanya telah mendapatkan perhatian yang maksimal. Dengan demikian
manusia memiliki hak al Karamah (hak pemuliaan) dan hak al Fadhilah
(pengutamaan manusia). Apalagi misi Rasulullah SAW adalah rahmatan lil
„alamin, dimana keselamatan atau kesejahteraan merupakan tawaran untuk
manusia dan alam semesta. Misi atau tujuan hukum islam di atas disebut al Khams
(lima prinsip dasar) yang meliputi:59
a. Hifzhud din, memberikan jaminan hak kepada umat islam untuk memelihara
dan keyakinan. Sementara itu islam juga menjamin sepenuhnya atas kelompok
agama yang bersifat lintas etnis, oleh karena itu islam menjamin kebebasan
agama.
59
Ramli Atmasasta, HAM dan Penegakan Hukum (Bandung, Bina Cipta, 1997) h. 159
62
b. Hifzhun Nafs, jaminan hak atas setiap jiwa manusia, untuk tumbuh dan
berkembang secara layak. Dalam hal ini Islam menutut adanya keadilan hak
kemerdekaan, bebas dari penganiayaan dan kesewenang-wenangan.
c. Hifzhul Aql, adanya suatu jaminan atas kebebasan berkreasi, kebebasan
mengeluarkan opini. Dalam hal ini Islam melarang terjadinya pengrusakan akal
dalam bentuk penyiksaan, minuman keras dan lain-lain.
d. Hifzhul Nasl, jaminan atas kehidupan privasi setiap individu, perlindungan atas
profesi, jaminan masa depan dan keturunan. Free sex, zina, serta homoseksual,
menurut syara‟ adalah perbuatan yang dilarng karena bertentangan dengan
hifzhul-nasl.
e. Hifzul Mal, jaminan atas pemilikan harta benda dan lain-lain. Dan larangan
adanya tindakan mengambil hak dari harta orang lain, seperti mencuri, korupsi,
monopoli, dan lain-lain.
Seorang saksi dalam kasus perkara pidana dipengadilan hendaknya
diketahui setatusnya. Status saksi adakalanya berfungsi sebagai syarat hukum dan
adakalanya ia berfungsi sebagai alat bukti. Bahkan, adakalanya ia berfungsi
sebagai syarat hokum sekaligus syarat pembuktian.
Kesaksian dalam setiap kasus pidana islam menempati urutan kedua
setelah pengakuan. Keadaan seorang saksipun dalam hukum islam sangat
dilindungi dari ancaman-ancaman yang memberatkannya untuk memberikan
keterangan dalam sebuah proses pengadilan baik itu ancaman dari pelaku maupun
dari yang lain.
Untuk mengungkap suatu kasus pidana maka keberadaan seorang saksi
sangat urgen. Karena, tanpa adanya seorang saksi maka laporan bisa dibatalkan.
Islam sangat melindungi hak-hak kebebasan hidup seseorang, baik orang tersebut
63
dalam keadaan baik maupun dalam melakukan tindak criminal. Seseorang tidak
dapat dihadapkan ke pengadilan tanpa adanya laporan dan kedudukan laporan
tidak akan kuat tanpa adanya kesaksian dari seorang saksi.
Perlindungan seorang saksi mutlak harus terjamin karena biasanya seorang
yang mendapatkan tekanan atau ancaman untuk bersaksi cenderung memberikan
kesaksian palsu dalam suatu perkara pidana dipengadilan karena seandainya
seorang saksi memberikan kesaksian dengan sejuurnya maka ia merasa takut
jiwanya akan terancam.
Maka sehubungan dengan hal tersebut perlu di lakukan perlindungan bagi
saksi yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana.
Kesaksian merupakan salah satu alat bukti yang penting karena saksi merupakan
orang yang mendengar, melihat, dan mengalami sendiri tindak pidana. Demikian
pentingnya posisi keterangan saksi maka keberadaannyapun harus selalu
terlindungi dari segala ancaman yang memberatkannya untuk memberikan
kesaksian.
Dalam proses peradilan tindak pidana yang berat baik hukum Islam
maupun hukum positif keberadaan saksi perlu di berian perlindungan baik fisik
maupun mental dari ancaman, gangguan, terror kekerasan dari pihak manapun.
Dengan jaminan pemberian perlindungan tersebut diharapkan saksi dapat
memberikan keterangan yang benar sehingga proses peradilan bisa brjalan dengan
baik.
B. Pandangan Hukum Positif Terhadap Perlindungan Saksi dan korban
64
Undang-undang tentang saksi memberikan perlindungan dalam semua
tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Dalam hal ini
perlindungan saksi berasaskan kepada :
a. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia.
b. Rasa aman.
c. Keadilan.
d. Tidak diskriminatif.
e. Kepastian hukum
Tujuan saksi menurut Hukum islam diatur dalam pasal 4 UU Nomer 13
Tahun 2006 Tentan perlindungan saksi dan korban yang isinya adalah:
Pasal 4
“Perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada
saksi dan korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses
peradilan pidana”60
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat
bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama
yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak
adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal, adanya saksi
merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana.
Keberadaan saksi dalam proses peradilan pidana selama ini kurang
mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak
60
Lihat UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan saksi dan Korban, bab I ketentuan
Umum
65
terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi takut untuk
memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari
pihak lain.
Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap
tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan
perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau
menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah
terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
Pelapor yang demkian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan
yang memadai atas laporannya sehingga ia tidak merasa terancam atau
terintimidasi baik hak maupun jiwanya, yang dimaksud perlindungan adalah
segala pemenuhan segala hak dan pemberian untuk memberikan rasa aman kepada
saksi yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan
ketentuan dengan Undang-Undang ini. Dengan jaminan perlindungan hukum dan
keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan
masyarakat tidak lagi merasa takut lagi melaporkan tindak pidana yan
diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwnya terancam
oleh pihak tertentu.
Pada saat memberikan keterangannya, saksi harus dapat memberikan
keterangannya yang sebenar-benarnya. Untuk itu, saksi harus merasa aman dan
bebas saat diperiksa di muka persidangan. Ia harus tidak boleh ragu-ragu
menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, walau mungkin keteranganya itu
66
memberatkan si terdakwa. Pasal 173 KUHAP yang berbunyi:61 “Hakim ketua
sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya
terdakwa, untuk itu ia minta terdakwa teradakwa keluar adari ruang sidang akan
tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada
terdakwa diberitahukan semua hal waktu tidak hadir”, memberikan kewenangan
kepada majlis hakim untuk memungkinkan seorang saksi didengar keterangannya
tanpa kehadiran terdakwa. Alasannya jelas: mengakomodir kepentingan saksi
sehingga ia dapat berbicara dan memberikan keterangannya secara lebih leluasa
tanpa para takut, khawatir, ataupun tertekan.
Saksi juga harus dibebaskan dari rasa takut, khawatir akan dampak dari
keterangan yan diberikannya. Seseorang mungkin saja menolak untuk bersaksi,
atau kalaupun dipaksa berbohong karena ia tidak mau mempertaruhkan nyawanya
atau nyawa keluarganya gara-gara keterangannya yang memberatkan terdakwa. Di
sisi lain seseorang menolak memberikan keterangan karena mengalami trauma
hebat akibat peristiwa pidana sehingga tidak memiliki kemampuan untuk
menceritakan ulang peristiwa yang dialaminya itu.Tidak sedikit kasus yang tidak
bisa dibawa kemuka persidangan ataupun berhenti di tengah jalan karena
persoalan yang satu ini. Kasus-kasus seperti kejahatan korupsi atau kejahaan
narkotika yang melibatkan sindikat, atau kasus-kasus kekerasan berbasis gender
menjadi contoh kasus yang sering kali tidak diproses karena tidak ada saksi yang
mau dan tidak berani memberikan keterangan yang sebenarnya karena rasa
61
Lihat KUHAP
67
ketakutan. Maka yang terjadi kemudian adalah bukan saja gagalnya sebuah
tuntutan untuk melakukan proses peradilan yang bersih, jujur, dan berwibawa
untuk memenuhi rasa keadilan, tetapi juga pelanggaran hak-hak asasi individual
yang terkait dalam kasus tersebut.
Dengan demikian maka jelas bahwa ketersediaan mekanisme perlindungan
saksi amat penting untuk menjamin diperolehnya kebenaran materiil sekaligus
untuk memenuhi rasa keadilan untuk semua, termasuk bagi saksi yang terkait.
Lembaga perlindungan saksi dan korban sebaiknya dibangun berdasarkan
perspektif saksi dengan menjadikan faktor keamanan sebagai prioritas utama.
Saksi perlu diberi rasa kepercayaan bahwa pengadilan yang akan di hadapinya
adalah sebuah pengadilan yang berwibawa dan dapat dipercaya mampu
melindungi dirinya sebelum, pada saat, dan setelah memberikan kesaksian.
Dalam konstek seperti ini, maka yang dibutuhkan bukan hanya pemberian
fasilitas keamanan fisik saja, tetapi juga jasa konsultasi psikologi. Hal ini selain
dapat membantu saksi siap memberikan keterangan, juga dapat menjadi alat bantu
memulihkan saksi sebagai persiapan untuk kembali memulai hidupnya.
Perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum di
atur secara khusus, Pasal 50 sampai pasal 68 Undang-Undang Nomer 8 tahun 1981
tentang hukum acara pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau
terdakwa
untuk
memberikan
perlindungan
dari
berbagai
kemungkinan
pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, Sudah saatnya perlindungan saksi
dan korban diatur dengan Undang-Undang tersendiri.
68
Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang
menjadi salah satu cirri Negara hukum, saksi dalam proes peradilan pidana harus
di beri jaminan perlindungan hukum.
Sering kali hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan,
tetapi saksi tidak mengetahui perkembangan kasus yang telah berlanjut. Oleh
karena itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus di
beritahukan kepada saksi agar ia tidak buta dalam menanggapi kasus tersebut.
Informasi ini penting untuk di ketahui saksi sebagai tanda penghargaan atas
kesediaan saksi dalam pross peradialn tersebut.
Ketakutan saksi akan adanya balas dendam dari terdakwa cukup beralasan
dan ia berhak diberi tahu apabila seseorang terpidana yang dihukum penjara akan
dibebaskan, agar ia berhati-hati dalam kelangsungan kehidupannya. Berdasarkan
dari berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan yang terorganisir, saksi
dapat terancam walaupun terdakwa sudah di hukum. Dalam kasus-kasus tertentu,
saksi dapat diberi identitas baru, apabila keamanan saksi sudah sangat
menghawatirkan, pemberian tempat baru bagi saksi harus dipertimbangkan agar
saksi dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan, yang dimaksud dengan di
berikannya kediaman baru adalah tempat tertentu yang bersifat sementara dan
dianggap aman.
Lembaga Perindungan Saksi dan Korban (LPSK), adalah lembaga yang
bertugas dan bewenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada
69
saksi. LPSK adalah merupakan lembaga yang mandiri,62 yaitu lembaga yang
independen,63 tanpa campur tangan dari pihak manapun, sehingga tidak ada yang
dapat menyogok ataupun menguasai lembaga tersebut, LPSK berkedudukan di ibu
kota Negara republik Indonesia dan mempunyai perwakilan di daerah sesuai
dengan keperluan. Dalam pelaksanaan tugas LPSK dibantu oleh sebuah sekretariat
yang bertugas memberikan perlawanan administrasi bagi kegiatan LPSK,
sekretariatnya dipimpin oleh seorang sekretaris yang berasal dari Pegawai Negri
Sipil dan biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Bantuan diberikan kepada saksi atas permintaan tertulis dari yang
bersangkutan atau orang yang mewakilinya kepada LPSK, kelayakan diberikannya
bantuan kepada saksi itu semua itu atas penentuan dari LPSK.
Dalam melaksanalkan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat
bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang.
C. Analisa Perbandingan Antara hukum Islam dan Hukum Positif.
62
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 13 Tahun 2006 tentang
perlindungan saksi dan Korban
63
Komisi Indipenden yaitu komisi yang berdiri sendiri dan berkaitan erat dengan
pemberhentian anggota komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur
dalam Undang-undang pembentukan komisi yang bersangkutan.
70
Uraian secara ringkas pada bagian-bagian terdahulu dalam beberapa bab,
terdapat persamaan dan perbedaan antara pandangan hukum positif dan hukum
Islam terhadap pembahasan perlindungan saksi dan korban dalam kasus pidana di
Indonesia yaitu:
1. Persamaan
Dari uraian sebelumnya yang dimaksud dengan perlindungan saksi
adalah segala upaya pemenuhan pemberian bantuan untuk memberikan rasa
aman kepada saksi agar dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia
alami sendiri.
Dalam perspektif hukum positif, kesaksian seorang saksi sangat penting,
karena tanpa adanya seorang saksi maka laporan bisa dibatalkan.
Dalam perspektif hukum islampun apabila seorang melihat sendiri
dan/atau mengalami sendiri peristiwa tindak pidana maka ia tidak boleh
menyembunyikan kesaksiannya. Karena, apabila ia sampai menyembunyikan
suatu kebenaran (persaksiannya) Allah menghukuminya sebagai orang yang
berdosa hatinya, sebagaiman firman Allah dalam surat al-Baqarahayat 283:
283 2
Artinya:“Dan janganlahkamu para saksi meyembunyikan persaksian. Dan barang
siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya.”
71
Sekilas kelihatannya sama dengan penetapan perlindungan diberikan
didalam hukum positif dan hukum Islam. Hukum posirtif lebih menjurus
kepada perlindungan seorang saksi, sedangkan dalam hukum Islam tidak
dijelaskan secara spesifik tentang perlindungan saksi, walaupun demikian
perlindungan terhadap manusia dianjurkan dalam hukum Islam. Perlindungan
saksi mutlak harus terjamin karena biasanya seorang saksi yang mendapatkan
ancaman cenderung memberikan kesaksian palsu dalam suatu perkara pidana di
pengadilan.
Karena seandainya seorang saksi memberikan kesaksiannya dengan apa
adanya selaras dengan yang ia ketahui atau yang ia lihat, maka ia akan terancam
oleh pihak terdakwa atau pihak tertentu yang tak ingin kejahatannya
terbongkar.
2. Perbedaan
Dalam hukum positif, saksi yang menyatakan kesaksiannya di depan
pengadilan sebelumya harus bersumpah dan harus berjanji atas kebenaran
persaksiannya. Sebagaimana pasal 160 ayat (3) KUHAP. Dikatakan bahwa
“Sebelum memberikan kesaksian/keterangan, saksi wajib mengucapka sumpah
atau janji menurut agamanya masing-masing bahwa ia akan memberikan
kesaksian atau keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang
sebenarnya”.
Begitupun didalam hukum Islam saksi sebelum memberikan keterangan
yang ia ketahui diwajibkan untuk bersumpah, karena di dalam alat-alat
72
pembuktian yang pokok adalah: Pengakuan, kesaksian, sumpah, menolak
sumpah, fakta yang dapat digunakan, itu berarti dalam sebuah persaksian sangat
penting karena pernyataan seorang saksi akan mempertaruhkan nasib si
terdakwa, apakah ia bersalah ataukah tidak bersalah.
Bentuk dari sumpah itu sendiri memang sama di dalam hukum positif
dan hukum Islam namun terdapat perbedaan di dalamnya, hukum positif akan
tetap mengambil keterangan dari seorang saksi yang tidak mau bersumpah
sebelumnya, akan tetapi pernyataan tersebut bukan sebuah kesaksian melainkan
hanyalah sebuah keterangan yang dapat menguatkan keterangan hakim.
Sebaliknya hukum Islam tidak akan menerima apabila pernyataan saksi tersebut
tidak dilandasi dengan sumpah. Dalam hal lembaga yang akan mengurus atau
yang bertanggung jawab atas perlindungan saksi, hukum positif memiliki
undang-undang yang mengatur untuk lembaga tersebut, yaitu lembaga
perlindungan saksi dan korban (undang-Undang pasal 1 ayat (6) “Perlindungan
adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan
rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK
(Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) atau lembaga lainnya yang sesuai
dengan Undang –Undang”.
Dari persamaan dan perbedaan itu semua hukum Islam dan hukum
positif bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dalam memberikan
keterangan pada sertiap proses peradilan pidana.
73
Perlindungan saksi mutlak harus terjamin karena biasanya seorang saksi
yang mendapatkan anca man cenderung memberikan kesaksian palsudalam
suatu perkara pidana di pengadilan. Karena seandainya seorang saksi
memberikan kesaksiannya dengan apa adanya selaras dengan yang ia ketahui
atau yang ia lihat, maka ia akan terancam oleh pihak terdakwa atau pihak
tertentu yang tak ingin kejahatannya terbongkar.
3. Perbedaan
Dalam hukum positif, saksi yang menyatakan kesaksiannya di depan
pengadilan sebelumya harus bersumpah dan harus berjanji atas kebenaran
persaksiannya. Sebagaiman pasal 160 ayat (3) KUHAP. Dikatakan bahwa
“Sebelum memberikan kesaksian/keterangan, saksi wajib mengucapka sumpah
atau janji menurut agamanya masing-masing bahwa ia akan memberikan
kesaksian atau keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang
sebenarnya”.
Begitupun di dalam hukum Islam saksi sebelum memberikan keterangan
yang ia ketahui diwajibkan untuk bersumpah, karena di dalam alat-alat
pembuktian yang pokok adalah: Pengakuan, kesaksian, sumpah, menolak
sumpah, fakta yang dapat digunakan, itu berarti dalam sebuah persaksian sangat
penting karena pernyataan seorang saksi akan mempertaruhkan nasib si
terdakwa, apakah ia bersalah ataukah tidak bersalah.
Bentuk dari sumpah itu sendiri memang sama di dalam hukum positif
dan hukum Islam namun terdapat perbedaan di dalamnya, hukum positif akan
74
tetap mengambil keterangan dari seorang saksi yang tidak mau bersumpah
sebelumnya, akan tetapi pernyataan tersebut bukan sebuah kesaksian melainkan
hanyalah sebuah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keterangan
hakim.
Sebaliknya hukum Islam tidak akan menerima apabila pernyataan saksi
tersebut tidak dilandasi dengan sumpah. Dalam hal lembaga yang akan
mengurus atau yan bertanggung jawab atas perlindungan saksi, hokum positif
memiliki undang-undang yang mengatur untuk lembaga tersebut, yaitu lembaga
perlindungan saksi dan korban (undang-Undang pasal 1 ayat (6) “perlindungan
adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan
rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK
(Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) atau lembaga lainnya yang sesuai
dengan Undang –Undang”.
Dari persamaan dan perbedaan itu semua hokum Islam dan hokum
positif bertrujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dalam
memberikan keterangan pada sertiap proses peradilan pidana.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian, akhirnya rumusan masalah dalam penelitian
mendapatkan jawabannya.
Penulis mengambil kesimpulan bagaimana pentingnya kedudukan saksi
dan korban dalam perkara pidana di Indonesia yaitu sebagai berikut:
a. kedudukan saksi dan korban dalam perkara pidana sangat penting mengingat
sering kali aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mencari dan
menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang di lakukan oleh pelaku tindak
pidana tersebut, yang di sebabkan tidak dapat menghadirkan saksi dan
korban.di karenakan seorang saksi dan korban merasa dirinya kurang
mendapatkan perhatian dan perlindungan hukum dan keadilan yang memihak
kepada seorang saksi dan korban.
b. Dalam Islam memberikan jaminan perlindungan bagi saksi dan korban terhadap
keselamatan jiwanya itu merupakan tujuan dasar hukum Islam (maqasid alsyariah). Penerapan hukum Islam yang tepat dan benar akan menjamin rasa
keadilan, rasa keadilan ini tidak hanya berlaku terhadap orang Islam saja, tetapi
juga untuk seluruh umat manusia karena Islam ditujukan untuk menyelamatkan
umat manusia ( rahmatan lil „alamin)
76
B. Saran
Berkenaan dengan karya tulis ilmiah (skripsi)ini tulis menyampaikan saran
sebagai berikut:
1. Masyarakat sebagai sobjek hukum harus selalu mematuhi peraturan peraturan
yang berlaku sehingga hukum bisa berjalan efektif sebagai mestinya
2. Negara atau pemerintah melalui lembaga perlindungan saksi dan korban harus
memperhatikan nasip saksi dan korban sebelum persidangan,sedang dalam
proses persidangann ataupun sesudah persidangan.
3. Pejabat penegak hukum khususnya Hakim harus berlaku adil dalam
memutuskan masalah dan mendengarkan kesaksian di pengadilan agar tidak
terjadi ketimpangan antara yang benar dan yang salah.
4. Bagi para akademisi khususnya di bidang hukum untuk lebih aktif mengadakan
penyuluhan kepada masyarakat awam dan mensosialisasikan kepada mereka
bagaimana tata cara perlindungan hukum bagi saksi dan korban agar tidak
terjadi ketakutan bagi saksi dan korban untuk melaporkan kejahatan tindak
pidana.
77
DAFTAR PUSTAKA
AL-Qur‟an al-Karim
Abbas, Sirojudin, Sejarah dan keagungan Madzhab Syafi‟I, (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1995) Cet Ke-7
Abbas, Sudirman Ahmad, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Banyu
Kencana, 2003). Cet. Ke-1
Abul A‟la Maududi, Maulana hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta; Bumi
Aksara)
Abu-Zahrah, Ushul Fiqh, Terjemahan, Bandung : Ar-Risalah, 1992, cet.1
Ad-Daur, Ahmad, Terjemah – syamsuddin Ramlan, Hukum pembuktian dalam
Islam, Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. 2002, cet ke-1
al-Qardhawy, Yusuf Fiqih daulah dalam perspekrtif al-Qur‟an dan al-Sunah,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997), cet. Ke-1
Asmawi, Aplikasi masalah dalam perlindungan korban kejahatan menurut hukum
islam, (Laporan penelitian Individual, program penelitian DIPA, Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2007)
Arif Mansyur, Dikdik M. dan Elisatris Gultom S.H., M.H. Urgensi Pelindungan
Korban Kejahatan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) ed. I,
Ash- Shiddieqy, Hasbi, Peradilan dan Hukunm Acara Islam, Yogyakarta : AlMa‟arif, 1964
Al-Bigha, Mustafa Dieeb, Fiqih Sunnah, Surabaya : Insan Amanah,
1424 H
Afandi, Ali, Hukum waris, Hukum keluarga, Hukum Pembuktian : Menurut
Undang-Undang Hukum Perdata (PW), Jakarta,: PT Bina Aksara, 1986,
cet. ke-3
al-Qadir al- „Audah, Abd al-Tasyri‟ al-Jinaiy al-Islamiy, (Beirut: al-Muassah alRisalah) Juz ke-2
Eddyono, Widodo Supriadi dkk, perlindumgan saksi dan korban Pelanggaran
78
HAM Berat (jakarta:ELSAM,2005)
Ghozali, Bahri dan Djumadris, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Pedoman Ilmu
jaya, 1992), Cet. Ke-1
Kosasi, Ahmat, HAM Dalam perspektif Islam, Menyingkapi Persamaan dan
perbedan antara Isalm dan Barat, (Jakarta salemba Diniyah.2003)
Marbun, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta, Pustaka Bina Harapan), 2006,
cet, ke-1
Hamzah, Andi, Kamus Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia), 1986, cet. ke-1
Haliman, Hukum Pidana Syariat Islam menurut ajaran Ahlu Sunnah, (Jakarta
Bulan Bintang. 1971)
Hamman, Ibnu syarah Fath al- Qadir, (misr: Mustafa al-Babi al-Hadad, 1970 )
jilid VII
Hartanti, Evi SH. Tindak Pidana Korupsi (Sinar Grafika: 2007), cet. I,
Hussain, Syekh Syaukat Hak asasi Manusia Dalam Islam (Jakarta: Gema Insani
Press 1999)
Ibrahim, Muslim Pengantar Fiqh Muqaaran, (Jakarta: P.T Gelora aksara pratama),
Cet. Ke-1
Madzkur, Muhammad Salam. Al-qada fi al-islam, (al-qahirah: dar al-NahdahalArabiyah, 1964)
Malik, Abduh Muhammad Zina dan Hukumannya menurut pandangan Hukum
Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 2003)
Mubarak, Jaih, Sejarah Perkembangan Hukum Islam,( Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003)
Muhammad, al-Kahlani, bin Ismail, as-Shon‟ani, Subul as-Salam, (Mesir:
Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960), Cet. 4
Muhammad, Abdullah bin terj-Abd. Ghaffar, Tafsir Ibnu Katsir
79
Muslich, Ahmad, Wardi, Hukum Pidana Islam, jakarta, Sinar Grafika, 2005
Purwadarmita,W. J. S. kamus umum bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka,
1976)
Poewardaminta, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1976
Qurtubi, Al, al-Jami‟ al-Ahkam Al-Qur‟an, (al-Qahirah: Dar al-Kitab al-Arabi,
1967), jilid III
Rusyd, Ibnu bidayatul Mujtahid, jilid 3
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, terj (Bandung : Al-Ma‟arif, 1987) cet ke-2
Shihab, Quraish M. Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), cet ke-1,
Vol. 1
Umar, al-Rahman, Abdu, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut hukum
Islam, (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna, 1986), Cet. Ke 1
Undang-Undang Perlindungan Saksi Dan Korban, Jakarta : Sinar Grafika Offset,
2006, cet. ke-1
Waluyo, Bambang SH. Pidana dan pemidanaan, (Sinar Grafika, 2004).
Warson, Ahmad al-Munawir, kamus al-munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1997) ed. 2,
KUHP (Jakarta : PT. Rinika Cipta, 2004)
KUHAP (Jakarta : PT. Rinika Cipta, 2004)
http://www.google.com.
80
Download