1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah suatu fase perkembangan yang dinamis dalam
kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan periode transisi dari masa anakanak kemasa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik,
mental, emosional dan sosial yang berlangsung pada dekade kedua masa
kehidupan (Santrock, 2003). Saat ini masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa
rata-rata lebih cepat sekitar dua tahun dibandingkan dengan beberapa dekade yang
lalu. Ketika seorang anak mengalami perubahan fisik, psikis, dan pematangan
fungsi seksual disebut masa pubertas. Khususnya pada perempuan pubertas
ditandai dengan menstruasi pertama (menarche). Cepatnya transisi tersebut
menyebabkan remaja mengalami stresor psikososial karena belum siap dengan
perubahan- perubahan yang terjadi pada masa transisi (Goldberger dan breznitz,
1982 cit oleh Sudiyanto, 1998).
Stresor psikososial adalah segala bentuk fenomena yang muncul dalam
lingkungan seseorang, baik dalam lingkungan kerja, lingkungan tempat tinggal
maupun lingkungan masyarakat, yang bersifat dapat mengganggu keseimbangan
mental individu bersangkutan (Kaplan et al., 2007). Stresor dapat menimbulkan
gangguan kesehatan reproduksi, salahsatunya yaitu gangguan menstruasi. Hal
tersebut terjadi karena stresor dapat memberikan pengaruh terhadap kerja
hipotalamus. Hipotalamus merupakan pusat dari koordinasi syaraf-syaraf tubuh,
salah satunya adalah syaraf yang mengatur pengeluaran hormon Gonadotropin.
Nukleus arkuatus adalah bagian dari hipotalamus yang berfungsi untuk
menyekresi GnRH(Gonadotropin Releasing Hormone) secara pulsatil selama
beberapa menit yang terjadi selama 1-3 jam. Kerja dari nukleus arkuatus ini dapat
dipengaruhi stres, sehingga dapat memodifikasi intensitas pelepasan GnRH dan
frekuensi pulsatile (Guyton and Hall, 1997). Keadaan ini akan mempengaruhi
pelepasan LH (Luteinizing Hormon) dan FSH (Follicle Stimulating Hormon) yang
berperan besar dalam terjadinya menstruasi, sehingga jadwal menstruasi bisa lebih
1
cepat atau lebih lambat dari biasanya. Jadwal menstruasi yang berubah akan
mempengaruhi siklus menstruasi, karena siklus menstruasi adalah jarak antara
mulainya haid yang lalu dan mulainya haid berikutnya (Saifuddin et al., 2007).
Masalah ini akan diperberat dengan adanya stresor baru yang berkepanjangan
seperti halnya stresor pasca bencana alam. Salahsatu bencana yang terjadi di
Indonesia adalah bencana erupsi Merapi.
Bencana alam seperti bencana erupsi Merapi dapat menyebabkan
kerusakan yang luar biasa, tidak hanya fisik tetapi juga mental yang akan memicu
munculnya gangguan jiwa, dan sering bertahan sampai masa remaja bahkan masa
dewasa (Hubbard et al., 1995). Remaja merupakan kelompok yang sangat rentan
terkena gangguan mental akibat bencana alam. Remaja yang terpapar bencana
lebih beresiko mengalami gangguan mental dibandingkan dengan remaja yang
tidak terpapar bencana. Remaja di Kecamatan Cangkringan Sleman mengalami
peristiwa yang sangat traumatis dibandingkan warga di Kecamatan lainnya akibat
erupsi Merapi pada tanggal 25 Oktober sampai 30 November 2010 yang sangat
dahsyat. Selain erupsi Merapi remaja di Kecamatan Cangkringan juga sering
terpapar banjir lahar dingin (Sumarni, 2014).
Kecamatan Cangkringan terdiri dari 5 desa, yaitu desa Argomulyo,
Glagaharjo, Kepuharjo, Umbulharjo, dan Wukirsari. Kecamatan Cangkringan
merupakan kecamatan yang terkena dampak erupsi gunung Merapi paling parah.
Jarak Kecamatan Cangkringan dari puncak gunung Merapi adalah 8 Km. Letusan
terakhirnya terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010, yang menyebabkan 275 orang
tewas, 576 orang dirawat inap, dan mengakibatkan sebanyak 287.699 orang harus
mengungsi ke 743 daerah pengungsian. Terdapat 2.682 hunian tetap (Huntap)
korban Merapi di Kecamatan Cangkringan, tersebar dalam 13 daerah huntap,
yaitu Gondang II, Gondang III, Kuwang, Dongkelsari, Karangkendal, Plosokerep,
Banjarsari, Batur, Pagerjurang, Gading, Jetis Sumur, Randusari, dan Kenthingan.
Masing-masing kepala keluarga memperoleh 100 meter persegi (Sumarni, 2014).
Perpindahan tempat tinggal ke huntap mengakibatkan berbagai stresor baru.
Perpindahan tempat tinggal ke huntap dianggap menimbulkan stresor baru
karena remaja harus menyesuaikan diri dengan tetangga-tetangga baru, orang tua
harus mencukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga orang tua harus bekerja keras
dan ayah sering meninggalkan rumah, dalam waktu lama. Pasca Erupsi Merapi
sebagian orang tua beralih mencari pekerjaan dengan menambang pasir sampai
larut malam di sungai Gendol dan bekerja di Lava Tour Merapi. Masuknya
peralatan modern seperti bego-bego yang menguasai penambangan pasir semakin
membuat para orangtua yang dahulu biasanya menambang pasir tersisih dan
sekarang hanya tinggal sebagai buruh yang mengambil dan membersihkan sisa
pasir di bak truk. Munculnya wisata Lava Tour pasca erupsi Merapi menjadikan
sebagian besar orang tua baik ibu atau ayah bekerja di tempat wisata sampai larut
malam (Sumarni, 2014).
Pekerjaan yang dilakukan di Lava tour Merapi antara lain, tukang parkir,
pemandu wisata, dan penjual makanan. Kondisi seperti ini akan berdampak pada
berkurangnya keharmonisan kedua orang tua, meningkatnya konflik kekerasan
dalam rumah tangga, perceraian orang tua dan munculnya perselingkuhan yang
menyebabkan remaja tidak betah dirumah. Kesibukan orang tua dalam mencari
nafkah juga sangat mempengaruhi pola asuh pada anaknya sehingga kurang
memperhatikan perkembangan masa anak-anak yang menginjak remaja. Kondisi
yang dijelaskan di atas akan memperberat resiko terjadinya stresor pada remaja.
Selain itu pengaruh lingkungan wisata Lava
tour Merapi dari kali Gendol
membuat remaja-remaja SMP tergiur ikut menjadi pekerja Lava tour atau
pembawa pasir di kali gendol karena dapat menambah penghasilan orang tua dan
mereka beranggapan dapat meringankan beban orang tua. Di sisi lain derasnya
arus wisatawan asing dan domestik yang berperilaku pacaran bebas di Lava tour
Merapi membuat remaja ikut meniru gaya pacaran tersebut (Sumarni, 2014).
Pada tanggal 27 April 2014 Merapi mengalami erupsi kecil yang disusul
dengan gempa yang berulang-ulang dalam waktu hampir dua minggu. Erupsi
Merapi masih membuat trauma yang menimbulkan stresor pada remaja sampai
saat ini seperti halnya ketakutan akan adanya banjir lahar dingin dan puting
beliung. Hal tersebut diketahui ketika cuaca mulai gelap, ada kilat dan hujan,
remaja akan panik bahkan ada sebagian remaja yang menangis ketakutan akan
timbulnya banjir lahar dingin. Peristiwa traumatik akan menyebabkan stresor jika
terjadi berulang-ulang dan berkepanjangan jika tidak mendapatkan penanganan
yang benar. Stresor tersebut
akan mempengaruhi pelepasan LH (Luteinizing
Hormone) dan FSH (follicle-stimulating hormone) yang dapat mempengaruhi
terjadinya gangguan menstruasi. Takeda (2013a) menyatakan ada korelasi antara
keparahan dari sindrom pramenstruasi dengan stresor akibat bencana alam. Hal
tersebut dikaitkan dengan ketidakmatangan sumbu hipotalamus-hipofisisovarium, gangguan siklus menstruasi yang cukup umum selama fase kehidupan
(Agarwal and Venkat, 2009).
Hasil studi pendahuluan pada bulan Juli diketahui bahwa setiap bulannya
dari empat SMP di kecamatan Cangkringan ada siswa yang mengeluh mengalami
gangguan menstruasi, dari beberapa siswa yang mengaku mengalami gangguan
menstruasi yang disebabkan oleh adanya masalah stresor psikososial. Pada bulan
Maret 2013 ada 20 orang yang mengalami gangguan menstruasi dari SMP-SMP
di cangkringan. Hal tersebut diketahui dari laporan PIKR pukesmas Cangkringan.
Masalah menstruasi jika tidak diketahui dan tidak mendapatkan
penanganan dengan benar dapat menggangu prestasi belajar remaja karena ketika
mengalami gangguan menstruasi terkadang remaja tidak masuk sekolah. Brabin
and Barr (1999) menyatakan di Nigeria diketahui bahwa masalah-masalah
menstruasi yang ditemukan adalah 12,1% kehilangan darah yang berlebihan
(menorhagia) dan 26,9% keluhan nyeri yang sangat (dismenorhe) dalam setiap
menstruasi. Pengaruhnya sangat besar pada remaja putri karena mereka sering
tidak hadir disekolah dan tidak mampu melakukan pekerjaan sehari-hari selama
menstruasi. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti bermaksud
mengadakan penelitian untuk mengetahui hubungan antara stresor psikososial
dengan gangguan menstruasi pada remaja SMP pasca erupsi Merapi di Kecamatan
Cangkringan Kabupaten Sleman Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan dapat
dirumuskan dalam pernyataan sebagai berikut: apakah stresor psikososial
berhubungan dengan gangguan menstruasi pada remaja SMP pasca erupsi Merapi
di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Yogyakarta ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui hubungan antara stresor psikososial dengan gangguan menstruasi
pada remaja SMP pasca erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten
Sleman Yogyakarta.
6
D. Manfaat Penelitian
1. Menjadi salah satu sumber informasi bagi instansi kesehatan (Dinas
kesehatan, rumah sakit, dan puskesmas) untuk penanganan dan upayaupaya apa yang harus dilakukan untuk mencapai efektifitas penanganan
masalah kesehatan reproduksi khususnya pada remaja pasca bencana alam.
2. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan
keilmuan khususnya yang berhubungan dengan gangguan stresor
psikososial dan gangguan menstruasi remaja pasca bencana alam.
3. Sebagai masukan bagi peneliti lain untuk mengembangkan penelitian
selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan topik penelitian
ini adalah:
1. Takeda et al., (2013a), melakukan penelitian tentang Premenstrual symptoms and posttraumatic stress disorder in Japanese high school students 9
months after the great East-Japan earthquake. Rancangan penelitian yang
digunakan adalah cross sectional dengan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara keparahan
dari sindrom pramenstruasi dengan stress akibat bencana alam. Perbedaan
dengan penelitian ini adalah pada subjek penelitian yaitu adalah siswa
SMA dan lokasi penelitian di Sendai timur laut Jepang, dan variabel bebas
yaitu Posttraumatic Stress Disorder (PTSD).
2. Takeda et al., (2013b), melakukan penelitian tentang Relationship between
Dismenorhe and Posttraumatic Stress Disorder in Japanese High School
Students 9 Months after the GreatEast Japan Earthquake. Rancangan
penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas
nyeri haid meningkat secara signifikan sesuai dengan tingkat keparahan
nyeri haid pasca gempa di jepang. Perbedaan dengan penelitian ini adalah
7
pada subjek penelitian yaitu siswa SMA dan lokasi penelitian yaitu di
negara Jepang, dan variabel bebas yaitu Posttraumatic Stress Disorder
(PTSD).
3. Agarwal and Venkat, (2009) melakukan penelitian tentang Questionnaire
Study on Menstrual Disorders in Adolescent Girls in Singapore.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa gangguan siklus menstruasi dan disminore
cukup umum dikalangan remaja Singapura. Perbedaan dengan penelitian
ini adalah pada subjek penelitian dan lokasi penelitian yaitu remaja di
Singapura.
Download