BAB IV Hasil dan Pembahasan

advertisement
10
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan metode General Linear Model
(GLM) univariate untuk melihat interaksi antara faktor superovulasi dengan litter
size.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah total leukosit dan persentase diferensial leukosit yang meliputi
netrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit pada anak domba yang dilahirkan
oleh induk domba kontrol dan yang disuperovulasi dengan litter size 1 dan litter
size 2 didapatkan pada penelitian ini. Dari pengukuran diferensial sel darah putih
tersebut, dihitung nilai rasio N/L (netrofil/limfosit) untuk mengetahui tingkat
cekaman. Hasil penghitungan jumlah dan diferensial sel darah putih pada setiap
kelompok perlakuan memberikan gambaran nilai yang berbeda, seperti terlihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 Rataan jumlah leukosit (x1000/mm3), netrofil (%), eosinofil (%), basofil
(%), limfosit (%), monosit (%), dan rasio N/L
KO
SO
SO
LS SO*LS
LS 1 (n=3)
LS 2 (n=6)
LS 1 (n=3)
LS 2 (n=6)
Leukosit
8.43±0.55
7.87±0.55
9.66±0.64
10.27±0.50
*
Netrofil
30.67±16.26 24.00±11.09 19.00±4.00 27.83±13.41
Eosinofil
2.00±2.64
3.00±2.76
2.67±2.08
2.5±2.34
Basofil
0.00±0.00
0.00±0.00
0.00±0.00
0.00±0.00
Limfosit 61.66±18.23
68.67±8.91 73.67±4.16 64.67±14.08
Monosit
5.67±3.78
4.33±2.50
4.67±2.08
5.00±2.37
N/L
0.59±0.50
0.37±0.22
0.26±0.07
0.50±0.36
Ket: KO = Kontrol; SO = Superovulasi; LS = Litter size; * = berpengaruh signifikan (P<0.05)
Jenis
Superovulasi pada induk sebelum perkawinan dapat meningkatkan jumlah
leukosit anak yang dilahirkannya. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi yang
lebih kecil dari 0.05 (P<0.05). Sebaliknya, litter size dan interaksi antara
superovulasi dan litter size tidak mempengaruhi jumlah leukosit anak domba.
Kenaikan leukosit dapat diartikan dengan kenaikan limfosit yang berfungsi untuk
merespons antigen dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah
atau meningkatkan imunitas (kekebalan) selular (Ganong 2002). Hal ini
membuktikan bahwa superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dapat
meningkatkan kekebalan dan tidak menyebabkan stres pada anaknya. Stres dapat
menurunkan respons kekebalan, khususnya pada penurunan jumlah leukosit
(eosinofil, monosit, limfosit) yang berfungsi pada alat pertahanan tubuh, produksi
antibodi tubuh akan turun, demikian juga daya fagositasnya terhadap bakteri,
virus, dan kuman-kuman lain.
Perlakuan superovulasi pada induk domba, litter size yang dihasilkan, dan
interaksi antara keduanya tidak berpengaruh pada netrofil, basofil, eosinofil,
limfosit, monosit, dan rasio N/L anak domba. Hal ini dapat dilihat dari nilai
signifikansi superovulasi, litter size, dan interaksi antara keduanya yang berada di
atas 0.05 (P>0.05). Hal ini membuktikan bahwa superovulasi pada induk domba
dan litter size yang dihasilkan tidak menyebabkan stres metabolik pada anaknya,
11
dikarenakan superovulasi dapat memperbaiki performa dan kekebalan anak yang
dihasilkan. Superovulasi meningkatkan konsentrasi hormon‐hormon kebuntingan
dan hormon metabolisme (tiroid) (Mege et al. 2007). Hormon metabolisme
selama kebuntingan mengatur pertumbuhan dan perkembangan fetus, memberi
signal pada proses maturasi dan nutrisional dalam uterus sehingga meningkatkan
laju metabolisme dan konsumsi oksigen fetus (Fowden 2003; Fowden dan
Forhead 2004).
Adanya pengaruh penyuntikan PMSG yang merupakan mimik dari FSH dan
LH pada peningkatan konsentrasi hormon tiroid diduga karena adanya homologi
reseptor LH dan hormon tiroid. Hormon tiroid terlibat dalam penyediaan aliran
nutrisi, mineral, dan sangat vital dalam penyediaan ATP selama kebuntingan
(Manalu et al. 1998). Berdasarkan penelitian Mege et al. (2007) peningkatan
hormon metabolisme yang distimulasi perlakuan superovulasi juga disertai oleh
peningkatan konsentrasi zat‐zat nutrien penting bagi induk maupun fetus selama
kebuntingan, yaitu trigliserida, protein, dan glukosa. Ketersediaan nutrisi induk
selama kebuntingan baik melalui suplai dari makanan maupun hasil metabolisme
induk berperan penting untuk organogenesis normal fetus dan berpengaruh pada
bobot lahir dan performa produksi anak setelah lahir. Fungsional kelenjar
endometrium uterus, yang berfungsi menyediakan nutrisi berupa susu uterus
untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan embrio dalam kandungan, di
bawah kendali hormon‐hormon kebuntingan terutama progesteron dan estradiol
(Ford et al. 2002; Vallet et al. 2002). Superovulasi sebelum perkawinan
memperbanyak korpus luteum sehingga meningkatkan konsentrasi estradiol dan
progesteron yang dapat memacu pertumbuhan prenatal anak dalam kandungan
dan pertumbuhan postpartum (Adriani et al. 2007), terutama pada litter size
kurang dari tiga. Korpus luteum merupakan penghasil hormon kebuntingan, yaitu
progesteron, yang berfungsi untuk memelihara kebuntingan. Hormon tersebut
juga berfungsi dalam merangsang pertumbuhan dan perkembangan uterus dan
plasenta (Adriani et al. 2004; Manalu et al. 2000; Mege et al. 2007).
Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 1
cenderung menurunkan persentase netrofil anak yang dilahirkannya. Hal ini bisa
disebabkan oleh adanya infeksi parasit yang biasanya disertai dengan penurunan
netrofil dalam darah perifer (Khajatun et al. 1996). Netrofil ialah lini pertahanan
utama terhadap invasi mikroorganisme, trauma jaringan, atau gejala peradangan
lain dengan cara migrasi ke jaringan yang terinfeksi bakteri, menembus dinding
kapiler dengan cara diapedesis. Apabila terjadi perlukaan pada jaringan, netrofil
dimobilisasi dari posisi marginal ke daerah yang terluka itu sehingga jumlah
netrofil dalam sirkulasi berkurang.
Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 2
cenderung meningkatkan persentase netrofil anak yang dilahirkannya. Hal ini
sesuai dengan penelitian Nugraha (2011), yaitu domba yang disuperovulasi
memiliki rata-rata jumlah netrofil lebih tinggi daripada kontrol pada akhir
kebuntingan. Tingginya konsentarasi estradiol dan litter size pada domba dengan
perlakuan superovulasi yang menyebabkan hal tersebut. Induk domba yang
disuperovulasi sebelum perkawinan mengalami cekaman yang lebih tinggi akibat
tingginya litter size (Andriyanto dan Manalu 2011) dan hal ini terjadi pula pada
anaknya. Pada saat dalam kandungan, jumlah fetus yang lebih banyak
12
mengakibatkan adanya persaingan dalam mendapatkan asupan makanan dan
oksigen sehingga fetus mengalami cekaman.
Jumlah korpus luteum sangat erat kaitannya dengan jumlah anak yang
dikandung, yang juga sangat erat kaitannya dengan konsentrasi progesteron dan
estradiol pada domba (Manalu et al. 1995). Superovulasi sebelum perkawinan
pada induk yang melahirkan anak kembar dapat meningkatkan konsentrasi
estradiol yang lebih tinggi daripada induk yang melahirkan anak tunggal (Adriani
et al. 2007). Menurut Tornquist dan Rigas (2010) hormon tersebut merupakan
hormon steroid yang dapat meningkatkan jumlah netrofil. Tingginya estradiol
meningkatkan kadar corticotrophin releasing hormone (CRF) (Roy et al. 1999)
yang disekresikan oleh hypothalamus dan akan melewati sistem portal untuk
dibawa ke hipofisisis anterior. Selanjutnya, reseptor CRH akan menstimulasi
hipofisis anterior untuk mensintesis Adrenocorticotropin Hormon (ACTH) dari
prekursornya, POMC (propiomelanocortin) serta mengsekresikannya ke seluruh
pembuluh. Selama stres, jumlah ACTH yang disekresikan oleh hipofisis anterior
melebihi jumlah ACTH yang diperlukan untuk menimbulkan pengeluaran
maksimal glukokortikoid (Ganong 2002). Korteks adrenal akan terangsang
mensekresikan corticosteroid yang akan mempengaruhi membran sel-sel hati
(Prabowo 2007).
Menjelang kelahiran, kortisol disekresikan oleh fetus yang mengalami
cekaman. Hewan yang mengalami cekaman akan membangun pertahanan diri
dengan berbagai bentuk pertahanan (Permatasari 2010). Meningkatnya netrofil
merupakan salah satu respons imun yang terjadi jika terjadi cekaman (Zahorec
2001; Tornquist dan Rigas 2010). Kortisol yang tinggi dapat menginduksi
tingginya jumlah netrofil yang dikeluarkan dari sumsum tulang ke aliran darah
dan menurunnya diapedesis ke jaringan. Sejumlah besar netrofil terdapat di
sepanjang permukaan endotel pembuluh darah dan dapat dengan cepat
dimobilisasi saat terjadi cekaman akut atau infeksi (Kern 2002).
Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 1
cenderung meningkatkan persentase eosinofil anak yang dilahirkannya. Tingginya
eosinofil dapat diakibatkan oleh infestasi parasit dan alergi (Theml et al. 2004;
Tornquist dan Rigas 2010), reaksi alergi, dan penyakit kulit atopik (Kern 2002;
Theml et al. 2004). Eosinofil berperan dalam toksifikasi protein asing maupun
racun yang dihasilkan oleh bakteri dan parasit yang masuk ke dalam tubuh
melalui saluran pencernaan, mukosa saluran pernapasan, dan saluran kemih.
Adanya kerusakan jaringan menyebabkan terjadinya proses degranulasi sel mast
sehingga histamin terbebaskan dan menyebabkan efek kemotaksis yang
merangsang sumsum tulang mengeluarkan eosinofil ke sirkulasi darah.
Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 2
eosinofil cenderung menurunkan persentase anak yang dilahirkannya. Hal ini
sesuai dengan penelitian Nugraha (2011) yang mendapatkan domba yang
disuperovulasi memiliki rata-rata eosinofil yang lebih rendah dibandingkan
dengan domba kontrol pada saat kebuntingan. Pada ruminansia, jumlah eosinofil
menurun jika terjadi cekaman atau pemberian kortikosteroid (Tornquist dan Rigas
2010). Jain (1993) melaporkan bahwa penurunan jumlah eosinofil terlihat dalam
kondisi stres, yang ditandai dengan peningkatan pelepasan glukokortikoid oleh
korteks adrenal. Glukokortikoid ini akan menurunkan pelepasan eosinofil dari
sumsum tulang sehingga jumlah eosinofil dalam sirkulasi menurun.
13
Basofil tidak ditemukan pada anak domba dari induk di setiap kelompok
perlakuan. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maheshwari et
al. (2001) dengan kambing sebagai hewan cobanya dan Nugraha (2011) dengan
domba sebagai hewan cobanya yang hanya menemukan basofil pada awal
kebuntingan. Basofil normalnya berjumlah kurang dari 1% dari jumlah sel darah
putih (Kern 2002) atau kurang dari 10 sel dari 1000 sel darah putih. Basofil
bersama dengan sel mast dan eosinofil dianggap sebagai efektor penting dalam
gangguan alergi (Costa et al. 1997). Tidak ditemukannya basofil pada penelitian
ini menandakan anak domba tidak mengalami alergi maupun infeksi. Basofilia
pada mamalia domestik biasanya dikaitkan dengan gangguan hipersensitif
berperantara IgE dan biasanya disertai dengan eosinofilia (Pohlman 2010).
Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 1
cenderung meningkatkan persentase limfosit anak yang dilahirkannya. Fungsi
utama limfosit ialah merespons antigen dengan membentuk antibodi yang
bersirkulasi di dalam darah atau meningkatkan imunitas (kekebalan) selular
(Ganong 2002). Hal ini membuktikan superovulasi sebelum perkawinan pada
induk domba dapat meningkatkan kekebalan anak yang dilahirkannya.
Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 2
cenderung menurunkan persentase limfosit anaknya. Limfosit dapat menjadi
parameter terhadap adanya cekaman. Dalam kondisi cekaman, kadar limfosit
dalam darah akan menurun (Zahorec 2001; Tornquist dan Rigas 2010). Hal ini
disebabkan oleh sekresi kortisol dari korteks adrenal fetus yang mengalami
cekaman. Tingginya kortisol saat terjadi cekaman menekan sistem imun sehingga
menyebabkan produksi limfosit berkurang (Tornquist dan Rigas 2010). Penurunan
jumlah limfosit juga dapat disebabkan oleh peningkatan konsentrasi hormon
estrogen. Hormon estrogen berefek sama seperti kortisol yang dapat menghambat
proliferasi limfosit (Crighton 1984).
Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 1
cenderung menurunkan persentase monosit anak yang dilahirkannya. Jain (1993)
melaporkan jumlah monosit dalam darah dipengaruhi oleh konsentrasi
kortikosteroid. Steroid menginduksi penurunan jumlah monosit yang akan
menghambat pelepasan monosit dari sumsum tulang atau terjadi penurunan
jumlah produksi. Penurunan monosit dapat terjadi pada stadium awal dari stress,
tetapi setelah stadium akut maka diikuti oleh peningkatan jumlah monosit
(Schalm dan Jain 1986).
Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 2
cenderung meningkatkan persentase monosit anaknya. Kenaikan jumlah monosit
terjadi akibat adanya respons untuk melakukan fagositosis benda asing, seperti
jaringan yang mati (sel debris), sel rusak, atau sel yang tidak berfungsi. Monosit
biasanya hadir pada periode akhir peradangan akut dan kronis, khususnya pada
kasus brucellosis, endocarditis lenta, listeriosis, dan tuberculosis (Theml et al.
2004).
Persentase monosit pada domba berada pada kisaran normal. Persentase
monosit normal berkisar antara 3-8% dari jumlah leukosit normal (Effendi 2003).
Hal ini menandakan domba penelitian tidak mengalami infeksi akut maupun
kronis. Ruminansia memiliki jumlah monosit kurang dari 1000 sel/mm3 dalam
darah (Weiss dan Souza 2010). Monosit merupakan sistem pertahanan pertama
dalam tubuh bersama netrofil. Monosit dapat berubah menjadi makrofag jika
14
masuk ke jaringan (Effendi 2003) sehingga jarang dijumpai dalam jumlah besar di
dalam sirkulasi darah normal. Hal serupa dipaparkan oleh Reece (2006) bahwa
monosit bersirkulasi di dalam darah kurang dari 24 jam sehingga jumlahnya
dalam darah normal sangat sedikit. Monosit berada di sirkulasi darah dalam waktu
yang pendek, kemudian masuk ke dalam jaringan dan berubah menjadi makrofag
akibat adanya respons untuk melakukan fagositosis benda asing, seperti bakteri
dan jaringan yang mati (sel debris), sel rusak, atau sel yang tidak berfungsi.
Rasio N/L atau netrofil/limfosit dapat menggambarkan tingkat stres. Nilai
N/L dapat merefleksikan kenaikan kadar kortisol plasma yang merupakan salah
satu hormon stres (Widowski et al. 1989). Superovulasi dan litter size tidak
memiliki pengaruh pada rasio N/L. Rasio N/L anak domba pada setiap perlakuan
lebih rendah dari penelitian yang dilakukan oleh Tornquist dan Rigas (2010) yang
menyatakan domba dewasa memiliki rasio N/L sekitar 1,00, sedangkan domba
yang baru lahir nilainya lebih besar dari 1,00.
Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 2
cenderung meningkatkan rasio N/L anak yang dilahirkannya. Tingginya rasio N/L
pada anak domba dari induk yang disuperovulasi semakin menguatkan dugaan
bahwa superovulasi memberikan cekaman tersendiri terhadap anak domba dari
induk yang disuperovulasi. Hal ini dikarenakan superovulasi sebelum perkawinan
dapat meningkatkan konsentrasi estradiol dan progesteron (Adriani et al. 2007).
Tingginya estradiol menyebabkan meningkatnya kadar corticotrophin releashing
hormone (Roy et al. 1999) sehingga kadar kortisol juga tinggi. Keadaan ini
menggambarkan terjadinya stres.
Litter size yang lebih tinggi pada domba yang disuperovulasi juga
memberikan cekaman pada fetus. Hal ini disebabkan oleh adanya persaingan
fetus dalam mendapatkan asupan makanan dan oksigen, sedangkan jumlah
makanan, oksigen, dan ruang yang tersedia terbatas. Pada keadaan stres, hormon
kortisol meningkat. Kortisol dapat meningkatkan jumlah netrofil dan menghambat
proliferasi limfosit sehingga nilai rasio N/L meningkat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Superovulasi berpengaruh pada peningkatan kekebalan anak domba.
Sementara itu, superovulasi ataupun litter size yang dihasilkan tidak menyebabkan
stres pada anak domba.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang dengan hewan coba yang lebih
banyak, dengan harapan agar dapat memberikan pengaruh yang signifikan pada
diferensiasi leukosit. Perlu juga dilakukan pengukuran kortisol darah untuk
mengetahui tingkat stres.
Download