BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Hakikat

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Hakikat Nilai Agama dan Moral
2.1.1 Pengertian Nilai
Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun persaan yang diyakini sebagai
suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran, perasaan,
keterkaitan maupun perilaku. Namun, akan berbeda jika nilai itu dikaitkan dengan
agama, karena nilai sangat erat kaitannya dengan perilaku dan sifat-sifat manusia,
sehingga sulit ditentukan batasannya dan keabstrakannya itu. Dalam kamus bahasa
Indonesia, nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan. Sedangkan menurut Muda (2006 : 387) bahwa nilai adalah sifat-sifat yang
penting bagi kemanusiaan.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai
merupakan suatu konsep yang mengandung tata aturan yang dinyatakan benar oleh
masyarakat karena mengandung sifat kemanusiaan yang pada gilirannya merupakan
persaan umum, identitas umum yang oeh karenanya menjadi syariat umum dan akan
tercermin dalam tingkah laku manusia.
2.1.2 Hakekat Agama
Dalam bahasa Arab, agama berasal dari kata ad-din yang artinya sejumlah aturan
yang disyariatkan Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya yang menyembah kepada-Nya,
baik aturan-aturan yang menyangkut kehidupan duniawi dan yang berkenaan dengan
ukhrowi. Menurut Harun Nasution (dalam Nata 2010: 9) kata agama tersusun atas dua
kata kata a = tidak dan gam = pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap di tempat,
diwarisi turun-temurun. Sedangkan menurut Muda (2006: 18) agama adalah prinsip
kepercayaan kepada tuhan dengan aturan-aturan syarat-syarat tertentu.
8
1
Dari berbagai pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa nilai agama
islam adalah sejumlah tata aturan yang menjadi pedoman manusia agar dalam setiap
tingkah lakunya sesuai dengan ajaran agama Islam sehingga dalam kehidupannya dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan lahir dan batin dunia dan akhirat.
1. Sumber Nilai Agama
Nilai-nilai agama merupakan bagian dari nilai material yang terwujud dalam
kenyataan pengalaman rohani dan jasmani. Nilai-nilai agama (religi) merupakan
tingkatan integritas kepribadian yang mencapai tingkat budi (insan kamil). Nilai-nilai
agama sifatnya mutlak kebenarannya, universal dan suci. Kebenaran dan kebaikan
agama mengatasi rasio, perasaan, keinginan, nafsu-nafsu manusiawi dan mampu
melampaui
subjektifitas
golongan,
ras,
bangsa dan stratifikasi sosial. Islam
merupakan ajaran yang dapat membina pribadi muslim seutuhnya dalam wujud sifatsifat iman, taqwa, jujur, adil, sabar. Cerdas, disiplin, tenggang rasa, bijaksana dan
tanggung jawab.
Agama bertujuan membentuk pribadi yang cakap untuk hidup dalam masyarakat
di kehidupan dunia yang merupakan jembatan menuju akhirat. Agama mengandung
nilai-nilai rohani yang merupakan kebutuhan pokok kehidupan manusia, bahkan
kebutuhan fitrahnya karena tanpa landasan spiritual yaitu agama manusia tidak akan
mampu mewujudkan keseimbangan antara dua kekuatan yang bertentangan yaitu
kebaikan dan kejahatan. Nilai-nilai agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam
kehidupan sosial, bahkan tanpa nilai tersebut manusia akan turun ketingkat kehidupan
hewan yang amat rendah karena agama mengandung unsur kuratif terhadap penyakit
sosial. Menurut Arifin (1987: 121) Nilai itu bersumber berlaku dalam pranata kehidupan
manusia dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu;
a). Nilai ilahi, yaitu nilai yang berasal dari Tuhan melalui para nabi dan rasul-Nya,
yang berbentuk taqwa, iman, adil, yang diabadikan dalam wahyu ilahi. Nilai-nilai
ilahi selamanya tidak mengalami perubahan. Karena nilai-nilai ilahi fundamental
dan mengandung kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku pribadi dan selaku
anggota masyarakat, serta tidak berkencenderungan untuk berubah mengikuti selera
hawa nafsu manusia dan berubah-ubah sesuai dengan tuntutan perubahan sosial, dan
tuntutan individual.
b). Nilai Insani, yaitu nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup dan
berkembang dari peradaban manusia, dan nilai bersifat dinamis. Sedangkan
keberlakuan dan kebenarannya bersifat relatif (nisbi) yang dibatasi oleh ruang dan
waktu.
Dari berbagai sumber nilai keagamaan tersebut, maka dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa setiap tingkah laku manusia haruslah mengandung nilai-nilai agama
Islam yang pada dasarnya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah yang harus senantiasa
dicerminkan oleh setiap manusia dalam tingkah lakunya di kehidupan sehari-harinya
dari hal-hal kecil sampai yang besar sehingga ia akan menjadi manusia yang
berperilakuutama dan berbudi mulia.
2. Penanaman Nilai Agama Dan Moral
Menurut Suyadi (2010: 125-131) Penanaman nilai-nilai agama pada anak adalah
menulis diatas lembaran kertas berlapis tembaga dengan tinta emas tersebut, sehingga
anak dapat menerima rasa beragama sesuai dengan tahap perkembangannya. Beberapa
hal yang harus dipahami dalam perkembangan nilai-nila-nilai moral dan keagamaan
pada anak yaitu sebagai berikut:
a. Makna Agama Bagi Anak
Perlu ditekankan bahwa rasa beragama berbeda dengan pengetahuan tentang agama,
baik orang dewasa maupun anak-anak. Apa perbedaannya? Pengetahuan agama
adalah konfirmasi tentang agama yang bersumber dari kitab suci, sedangkan rasa
beragama adalah buah dari pengetahuan terhadap agama tersebut.
b. Asal Muasal Munculnya Rasa Beragama Pada Anak Usia Dini
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, munculnya agama dalam diri anak
berawal dari mengenal tuhan melalui kata-kata. Memang, pada awalnya anak
bersikap acuh tak acuh terhadap kata tuhan tersebut. Namun, seiring dengan
perkembangan otaknya, kemudian didukung oleh fungsi mata yang mulai mampu
menatap ekspresi kepatuhan orang dewasa kepada tuhan, anak mulai gelisah dan dan
ragu-ragu. Kegeliisahan tersebut disebabkan anak-anak belum mempunyai
pengalaman empiris mengenai
tuhan sama sekali, sedangkan ia sendiri sering
menyaksikan ekspresi kepatuhan orang-orang dewasa kepada tuhan.
c. Tahap-tahap Perkembangan Moral Kegamaan Pada Anak Usia Dini
Telah banyak psikolog yang mencoba melakukan penelitian untuk menkaji
perkembangan keagamaan (religiutas) pada anak. Akan tetapi, semuanya kandas di
tengah jalan dan terhenti pada perkembangan fisik-motorik, kognitif, bahasa, dan
sosial-emosional. Walaupun demikian, mereka tidak aharapan. Dana, sebatas
mereka mampu, mereka menggunakan pendekatannya masing-masing dalam
meneliti perkembangan keagamaan pada anak. salah satu psikolog yang
menggunakan metode ini adalah Piaget. Ia mengkaji perkembangan keagamaan
pada anak dengan pendekatan moral-kognitif.
2.1.3 Hakekat Moral
Moral berasal dari kata latin mores berarti tatacara, kebiasaan dan adat. Menurut
Muda 2006: 378) bahwa moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum
mengenai akhlak, akhlak dan budi pekerti, atau kondisi mental yang mempengaruhi
seseorang menjadi tetap bersemangat, berani, disiplin dan sebagainya. Aspek
perkembangan moral menurut Isjoni (2011: 113) meliputi: 1) mengenal aturan, 2)
mengenal sopan santun, 3) salah dan benar, 4) baik dan buruk. Istilah moral selalu
terkait dengan kebiasaaan, aturan, atau tatacara suatu masyarakat tertentu, ermasuk pula
dalam moral adalah aturan-aturan atau nilai-nilal agama yang dipegang masyarakat
setempat.
Sebagaimana pendapat Mansur (dalam Mursid, 2010: 48) bahwa pendidikan
anak usia dini merupakan suatu proses pembinaan tumbuh kembang anak usia lahir
hingga enam tahun secara menyeluruh, yangn mencakup aspek fisik dan non fisik,
dengan memberikan rangsangan bagi perkembangan jasmani dan rohani (moral dan
spiritual) motorik, akal pikir, emosional dan sosial yang tepat agar anak dapat tumbuh
dan berkembang secara optimal. Pada masa bayi anak belum mengenal perilaku moral
atau perilaku yang sesuai atau tidak sesuai dengan kebiasaan orang-orang disekitamya.
Semakin bertambah hari, bertambah pula usianya anak bertambah pula pengetahuan
terhadap lingkungan sekitarya. Pengetahuannya tentang perilaku yang boleh atau tidak
boleh atau perilaku yang sesuai dengan kebiasaan lingkungan sekitar dimengerti
berdasar pendidikan dari orang dewasa disekitamya. Orang tua dan orang dewasa lain
yang terlibat dalam pendidikan anak harus mengajarkan pada anak perilaku apa saja
yang benar dan kurang sesuai dengan aturan atau kebiasaan setempat. Anak juga harus
diberi kesempatan untuk turut ambil bagian dalam kegiatan kelompok sehingga anak
dapat belajar berbagai perilaku yang sesuai dengan harapan kelompok dan perilaku
yang tidak sesuai dengan harapan kelompok.
1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan anak.
Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama orang tua. Dia belajar
untuk mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Menurut
Yusuf (2006: 133-134) bahwa sikap orang tua perlu diperhatikan sehubungan dengan
perkembangan moral anak diantaranya sebagai berikut:
a. Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakukan yang sama dalam melarang
atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak
yang dilarang oleh orang tua pada suatu waktu, harus dilarang apabila dilakukan
kembali pada waktu lain.
b. Sikap orang tua terhadap keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu.
Atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu proses
peniruan (imitasi).
c. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak. Termasuk disini panutan
dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang
religious (agamais), dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang
nilai-nilai agama kepada anak, maka anak mengalami perkembangan moral
yang baik.
d. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma
Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur,
maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak
jujur.
2. Proses Perkembangan Moral
a. Pendidikan langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku
yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orangtua, guru atau orang
dewasa lainnya. Disamping itu, yang paling penting dalam pendidikan moral
ini, adalah keteladanan dari orang tua, guru atau orang dewasa lainnya dalam
melakukan nilai-nilai moral.
b. Identifikasi. Yaitu dengan cara mengidentikasi atau meniru penampilan atau
tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orangtua, guru,
kiai, artis atau orang dewasa lainnya).
c. Proses coba-coba (trial dan erorr), yaitu, dengan cara membangkitkan tingkah
laku moral secara tiba-tiba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau
penghargaan akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang
mencatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.
3. Fase Perkembangan Moral
Menurut Hurlock (2000: 80-81) bila moralitas yang sesungguhnya harus
mencapai perkembangan moral harus terjadi dalam fase yang jelas. Sebagai berikut:
1. Perkembangan perilaku moral. Anak dapat belajar untuk berprilaku sesuai
dengan cara yang disetujui melalui coba-ralat melalui pendidikan langsung, atau
melalui identifikasi.
2. Perkembangan konsep moral. Fase kedua ini perkembangan moral adalah fase
belajar tentang konsep moral, atau prinsip-prinsip benar dan salah dalam bentuk
abstrak dan verbal. Latihan dalam prinsip moral karenanya harus menunggu
hingga anak telah mempunyai kemampuan mental untuk membuat generalisasi
dan mentransfer prinsip tingkah laku dari situasi ke situasi yang lain.
2.1.4 Aspek-aspek Nilai, Agama dan Moral
Dalam Permendiknas No. 58 disebutkan bahwa aspek-aspek yang termasuk
dalam perkembangan nilai agama dan moral pada anak usia dini meliputi:
1. Mengenal Tuhan melalui agama yang dianutnya.
2. Meniru gerakan beribadah.
3. Mengucapkan doa sebelum dan/atau sesudah melakukan sesuatu.
4. Mengenal perilaku baik/sopan dan buruk.
5. Membiasakan diri berperilaku baik.
6. Mengucapkan salam dan membalas salam.
2.2 Pengertian Pembiasaan
Dalam upaya mencapai suatu tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien, guru
atau pendidik harus bisa memilih dan menggunakan metode yang tepat guna dalam
melaksanakan kegiatan pembelajarannya. Metode adalah suatu cara yang dalam
fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Hardini dan Puspitasari (2012:
13) berpendapat bahwa metode pembelajaran merupakan cara-cara yang ditempuh guru
untuk menciptakan situasi pengajaran yang menyenangkan dan mendukung bagi
kelancaran proses belajar dan tercapainya prestasi belajar anak yang memuaskan. Lebih
lanjut Djamarah dan Zain (2010:76) menyatakan bahwa metode adalah suatu cara yang
memiliki nilai strategis dalam kegiatan belajar mengajar, nilai strategisnya adalah
metode dapat mempengaruhi jalannya kegiatan belajar mengajar.
Secara etimologi, pembiasaan berasal dari kata “biasa”. Dalam kamus besar
Bahasa Indonesia, “biasa” berarti 1) Lazim atau umum, 2) Seperti sedia kala, 3) Sudah
merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dengan adanya
prefiks “pe” dan sufiks “an” menunjukkan arti proses. Sehingga pembiasaan dapat
diartikan dengan proses membuat sesuatu/seseorang menjadi terbiasa. Menurut Arief
(2002: 110) bahwa dalam kaitannya dengan metode pengajaran pendidikan agama
Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan
untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap, bertindak sesuai dengan tuntunan
ajaran Islam. Metode Pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara teratur dan
berkesinambungan untuk melatih anak agar memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu,
yang umumnya berhubungan dengan pengembangan kepribadian anak seperti emosi,
disiplin, budi pekerti, kemandirian, penyesuaian diri, hidup bermasyarakat, dan lain
sebagainya.
Pembiasaan menurut Aqib (2009: 28) merupakan upaya yang dilakukan untuk
mengembangkan perilaku anak, yang meliputi perilaku keagamaan, sosial, emosional
dan kemandirian. Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Sedangkan
menurut Drajat (2005: 73) kebiasaan adalah pola untuk melakukan tanggapan terhadap
situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu dan yang dilakukan secara
berulang-ulang untuk hal yang sama. Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja
dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan
sebenarnya berintikan pengalaman, yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang diamalkan.
Metode pembiasaan juga tergambar dalam Al-Qur’an dalam penjabaran materi
pendidikan melalui kebiasaan yang dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini termasuk
merubah kebiasaan–kebiasaan yang negatif. Kebiasaan ditempatkan oleh manusia
sebagai sesuatu yang istimewa. Ia banyak sekali menghemat kekuatan manusia, karena
sudah menjadi kebiasaan yang sudah melekat dan spontan, agar kekuatan itu dapat
dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan dalam berbagai bidang pekerjaan, berproduksi
dan aktivitas lainnya.
Dalam kaitan pembentukan tingkah laku melalui pembiasaan yang dilakukan
secara terus menerus dalam kehidupan anak sehari-hari dimaksudkan untuk
mempersiapkan anak sedini mungkin untuk mengembangkan sikap dan perilaku yang
didasari nilai pancasila dan agama. Menurut Moeslichatoen (2004: 8) bahwa cara
pembiasaan yang dilakukan guru perlu ditekankan pada pengendalian diri. Kemampuan
mengendalikan diri memungkinkan anak dapat memahami dan menghayati tingkah laku
mana yang dapat diterima oleh masyarakat. Memungkinkan anak menyadari bahwa
dirinya dapat mengembangkan tanggung jawab terhadap diri sendiri juga terhadap orang
lain.
Dalam memperkenalkan nilai agama dan moral pada anak, Hurlock (dalam
Moeslichatoen, 2004: 8-9) dapat dilakukan dengan cara: 1) Mendorong anak bertingkah
laku sesuai sesuai yang diharapkan dan menghilangkan tingkah aku yang yang tidak
diharapkan. 2) Tingkah laku yang diharapkan apabila dilakukan anak akan memberikan
konsekuensi yang menyenangkan, sedang tingkah laku yang tidak diharapkan akan
menumbuhkan penyesalan pada diri anak. 3) Tingkah laku yang diharapkan apabila
dibina secara terus menerus pada saatnya akan terjadi dengan sendirinya, atas prakarsa
anak sendiri meskipun tidak ada pengawasan dari guru. 4) Anak perlu mendapat
kesempatan untuk mengubah tingkah laku yang tidak diharapkan itu.
Demikian halnya dengan cara mendidik anak. Untuk dapat membina agar anak
mempunyai sifat-sifat terpuji, tidaklah mungkin dengan menggunakan penjelasan
pengertian saja, akan tetapi perlu membiasakannya untuk melakukan hal-hal yang baik
yang diharapkan nanti dia akan memiliki sifat itu, serta menjauhi sifat tercela.
Kebiasaan dan latihan itulah yang membuat dia cenderung untuk melakukan yang baik
dan meninggalkan yang buruk. Maka, semakin kecil umur anak, hendaknya semakin
banyak latihan dan pembiasaan agama dilakukan pada anak. Dan semakin bertambah
umur anak, maka hendaknya semakin bertambah pula penjelasan dan pengertian tentang
agama itu diberikan sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa metode
pembiasaan berarti cara untuk melakukan suatu tindakan dengan teratur dan telah
terpikir secara baik-baik dan dilakukan secara berulangulang sehingga menjadi suatu
kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan.
2.2.1 Bentuk-bentuk Pembiasaan
Pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan
dalam kehidupan sehari-hari anak sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Pembiasaan
ini meliputi aspek perkembangan moral dan nilai-nilai agama, pengembangan sosio
emosional dan kemandirian. Dari program pengembangan moral dan nilai-nilai agama
diharapkan dapat meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan yang maha Esa dan
membantu terbinanya sikap anak yang baik. Menurut Isjoni (2010: 63) bahwa dengan
pengembangan sosio emosional anak diharapkan dapat memiliki sikap membantu orang
lain, dapat mengendalikan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Adapun bentuk-bentuk pembiasaan pada anak menurut Aqib (2009: 58) dapat
dilaksanakan dengan cara berikut: 1) Kegiatan rutin, adalah kegiatan yang dilakukan di
sekolah setiap hari, misalnya berbaris, berdo’a sebelum dan sesudah melakukan
kegiatan. 2) Kegiatan spontan adalah kegiatan yang dilakukan secara spontan, misalnya
meminta tolong dengan baik, menawarkan bantuan dengan baik, dan menjenguk teman
yang sakit. 3) Pemberian teladan adalah kegiatan yang dilakukan dengan member
teladan/contoh yang baik kepada anak, misalnya memungut sampah di lingkungan
sekolah dan sopan dalam bertutur kata. 3) Kegiatan terprogram adalah kegiatan yang
deprogram dalam kegiatan pembelajaran (program semester, SKM, dan SKH) ,
misalnya makan bersama dan menjaga kebersihan lingkungan sekolah.
2.2.2 Langkah-langkah Pelaksanaan Pembiasaan
Kebiasaan baik yang dibentuk dan dikembangkan melalui proses pendidikan
yang baik, misalnya kebiasaan dalam berkomunikasi , pengaturan dan penggunaan
waktu secara tepat, bersikap baik dan tepat, memilih permainan dan menggunakan saran
dengan tepat. Anak perlu dibiasakan sejak dini untuk mengatur dan menggunakan
waktu secara tepat, agar kelak bisa menjadi orang disiplin dan bertanggung jawab.
Pembiasaan sebaiknya ditanamkan dari hal-hal kecil dan yang mudah dilakukan oleh
anak usia dini. Misalnya mengatur waktu antara menonton TV dengan bermain, belajar,
istirahat dan kegiatan-kegiatan yang lainnya. Apabila kebiasaan ini sudah dimiliki oleh
anak , maka anak sendiri akan menyesuaikan berbagai tindakannya sehingga tidak
saling merugikan atau
menghambat.
Agar pembiasaan dapat segera tercapai dan hasilnya baik, maka harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1. Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat, jadi sebelum anak itu mempunyai
kebiasaan lain yang berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan.
2. Pembiasaan hendaknya dilakukan secara terus menerus (berulangulang) dijalankan
secara teratur sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis. Tapi juga
butuh pengawasan dari orang tua, keluarga maupun pendidik.
3. Pendidikan hendaklah konsekuen, bersikap tegas dan tetap teguh terhadap
pendiriannya yang telah diambil. Jangan member kesempatan anak untuk melanggar
pembiasaan yang telah ditetapkan.
4. Pembiasaan yang mula-mulanya mekanistis harus semakin menjadi pembiasaan
yang disertai kata hati anak itu sendiri.
Kebiasaan lain perlu dipupuk dan dibentuk adalah berkomunikasi dengan
anggota keluarga, misalnya mendiskusikan hal-hal yang mereka saksikan di lingkungan.
Kebiasaan berkomunikasi dan berdiskusi akan memupuk kemampuan anak dalam
berinteraksi sosial dan pengembangan diri. Surya (2001: 5) Dalam hal ini orang tua
mempunyai peran yang sangat besar dan penting terutama melalui metode pembiasaan
dan keteladanan. Sedangkan upaya untuk memelihara kebiasaan yang baik menurut
Sudharto dan Izzaty (2007: 11-12) dilakukan dengan cara:
1.
Melatihkan hingga benar-benar paham dan bisa melakukan tanpa kesulitan. Sesuatu
hal yang baru tentu tidak mudah dilakukan semua anak, maka pembiasaan bagi
mereka perlu dilakukan sampai anak dapat melakukan. Pendidik perlu membimbing
dan mengarahkan agar anak-anak mampu melakukan
2.
Mengingatkan anak yang lupa melakukan. Anak-anak perlu diingatkan dengan
ramah jika lupa atau dengan sengaja tidak melakukan kebiasaan positif yang telah
diajarkan tapi jangan sampai mempermalukan anak. Teguran sebaiknya dilakukan
secara pribadi.
3.
Apresiasi pada masing-masing anak secara pribadi. Pemberian apresiasi dapat
membuat anak senang, tetapi harus hati-hati agar tidak menimbulkan kecemburuan
pada anak yang lain.
4.
Hindarkan mencela pada anak. Guru merupakan profesi yang professional, maka
seluruh perilaku dalam mendidik anak diupayakan agar menguntungkan bagi
perkembangan anak dengan tidak mencela anak, walau terdapat kesalahan atau
kekurangan padanya.
2.2.3 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembiasaan
Pembiasaan merupakan metode yang tepat diterapkan pada pendidikan anak usia
dini, mengingat pada masa anak-anak mudah diberi pengaruh dan mudah mengikuti apa
yang diajarkan padanya. Namun demikian, dalam setiap metode pembelajaran dalam
pendidikan, tentu terdapat kelebihan dan kekurangan. Sama halnya dengan metode
pembiasaan terdapat kelebihan dan kekurangan. Menurut Arief (2002: 115-116)
kelebihan dan kekurangan metode pembiasaan adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan
Kelebihan metode pembiasaan adalah:
1) Dapat menghemat waktu dan tenaga dengan baik
2) Pembiasaan tidak hanya berkaitan dengan aspek lahiriah saja tetapi juga
berhubungan dengan aspek batiniah.
3) Pembiasaan dalam sejarah tercatat sebagai metode yang paling berhasil dalam
pembentukan kepribadian anak.
2. Kekurangan
Kekurangan pada penerapan metode ini adalah membutuhkan tenaga pendidik yang
benar-benar dapat dijadikan sebagai contoh teladan di dalam menanamkan suatu
nilai kepada anak didik. Oleh karena itu pendidik yang dibutuhkan dalam
mengaplikasikan pendekatan ini adalah dibutuhkannya pendidik pilihan yang
benarbenar mampu menyelaraskan antara perkataan dengan perbuatan. Sehingga
tidak ada kesan bahwa pendidik hanya mampu memberikan nilai saja tetapi tidak
mampu mengamalkan nilai yang disampaikannya kepada anak didik.
2.3 Upaya Meningkatkan Kemampuan Mengenal Nilai Agama dan Moral Melalui
Pembiasaan
Anak-anak belum mampu berpikir abstrak, karena perkembangan pemikiran
logis baru mulai pada umur tujuh tahun. Mereka berpikir terkait dengan apa yang
dapat dijangkaunya dengan panca inderanya, karena
itu
cara
mereka
berpikir
dikatakan inderawi. Di antara panca indera yang paling besar pengaruhnya dan lebih
lama tinggal di otak adalah penglihatan, kemudian pendengaran, sedangkan sisanya
sentuhan, penciuman, dan pencicipan. Anak yang dibesarkan oleh kedua orang tuanya
yang taat beribadah dan sayang kepada anak-anaknya, akan menyerap nilai-nilai
agama dari orang tuanya.
Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa anak-anak pada usia dini datang ke
sekolah dengan pengalamannya masing-masing, sesuai dengan keadaan orang tuanya.
ada yang pertumbuhan kepribadiannya sarat dengan nilai-nilai agama, ada yang
sebaliknya. Seorang pendidik yang sadar akan selalu berusaha mencari metode yang
lebih efektif dan mencari pedoman-pedoman pendidikan yang berengaruh dalam upaya
mempersiapkan anak secara mental, moral, saintifikal, spiritual, dan sosial sehingga
anak tersebut mampu meraih puncak kesempurnaan, kedewasaan, dan kematangan
berfikir.
Metode pembelajaran adalah cara yang dilakukan guru untuk membelajarkan
anak agar mencapai kompetesi yang ditetapkan. Adapun beberapa upaya dalam
meningkatkan mengenal nilai-nilai agama islam melalui mengucap syair pada anak,
sebagai berikut.
a. Pembiasaan, yang dimaksud pembiasaan adalah segi praktek nyata dalam proses
pembentukan dan persiapannya. Periode anak ini hendaknya lebih banyak
mendapatkan pengajaran dan pembiasaan ketimbang pada usia dan periode lainnya.
Suatu kesulitan bagi para pendidik (bapak-ibu dan para guru) dengan menekankan
anak sejak dini untuk melakukan kebaikan.
Untuk membiasakan timbulnya sifat-sifat terpuji tidaklah mungkin dengan
adanya penjelasan saja tentang pengertian, tetapi perlu pembiasaan untuk
melakukan yang baik yang diharapkan nantinya dapat mempunyai sifat-sifat
itu, dan menjauhi sifat-sifat tercela. Kebiasaan-kebiasaan dan latihan itulah
yang membuat kecenderungan untuk melakukan yang baik dan menjauhi yang
tidak baik. Oleh karena itu, pembiasaan sangat cocok pada masa anak-anak.
b. Keteladanan, yang dimaksud dengan keteladanan di sini adalah seseorang yang
memberikan suatu contoh yang baik, akhlak yang tangguh, memahami jiwa agama
yang benar, disamping itu kemampuannya mengikuti perkembangan zaman.
c. Hiwar (dialog), yaitu hubungan percakapan antara seorang anak dengan orang
tuanya. Ini merupakan suatu keharusan bagi orang tua atau pendidik terhadap anakanaknya sebab dengan hal ini akan terjadi percakapan yang dinamis, lebih mudah
dipahami, lebih berkesan, dan orang tua atau pendidik sendiri sejauh mana
tingkat perkembangan pemikiran dan sikap yang dimiliki anaknya. Banyak hal
sebenarnya yang bisa didialogkan antara orang tua dan pendidik pada anak-anaknya
dan dari situlah orang tua dan pendidik bisa mengarahkan anak-anaknya. Oleh
karena itu, kemampuan berdialog mutlak harus ada pada setiap orang tua dan
pendidik.
Selain ketiga cara yang dilalakukan guru dalam upaya mengajarkan kepada anak
tentang nilai-nilai agama dan moral upaya lain yang ingin capai adalah guru atau
pendidik. 1) Nilai keimanan; Yang tertanam kokoh dalam jiwa anak akan memberikan
warna dan corak dalam kehdupan mereka sehari-hari, dikarenakan adanya pengakuan
dalam dirinya tentang kekuatan yang menguasai dan melindunginya, yaitu Allah.
Pengakuan ini diharapkan mampu mendorong anak untuk berbuat sesuai dengan yang
dikehendaki oleh Allah. 2) Berkata yang baik dan sopan; hal ini dilakukan agar anak
terbiasa mengucap atau berkata kepada orang lain dengan kata yang baik dan dapat
memberikan salam kepada siapa saja ia bertemu. Mengucap salam diajarkan kepada
anak semenjak anak dilahirkan sampai menginjak umur dewasa.
2.3 Kajian Penelitian yang Relevan
Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti telah menelusuri beberapa hasil
penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini diantaranya adalah:
1. Pertama, Skripsi saudari Ainun Ni’mah (3104298) lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo jurusan PAI Tahun 2009, yang berjudul “Implementasi Metode
Pembiasaan Pada Pendidikan Agama Islam Di SDIT Harapan Bunda Pedurungan
Semarang.
Berdasarkan
penelitian
tersebut,
menunjukkan
bahwa
dalam
implementasi metode pembiasaan pada pendidikan agama Islam dinilai sangatlah
tepat karena dalam implementasi metode pembiasaan anak dilatih dan dibiasakan
untuk berfikir dan bersikap sesuai dengan ajaran agama Islam serta mengamalkan
ajaran-ajaran agama Islam dengan baik dan benar.
2. Skripsi yang berjudul “Implementasi Metode Pembiasaan Dalam Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam Di Tk Aisiyah Kradenan3 Trucuk Klaten” oleh Sri
Wahyuni (073111415) Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo jurusan PAI lulus Tahun
2009. Dari penelitian tersebut hasilnya adalah bahwa penerapan metode pembiasaan
dalam pembelajaran agama Islam di TK Aisiyah Kradenan 3 Trucuk –Klaten
dilakukan melalui tahap perencanaan dengan menyiapkan program satuan kegiatan
harian, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan, dengan melaksanakan proses
pembelajaran yang berorientasi pada pembiasaan anak yang dilakukan dengan
berbagai cara baik disesuaikan arah pembiasaan yang telah dirancang, selanjutnya
merupakan model pembiasaan dengan membiasakan kebersihan dengan memeriksa
pakaian, kuku dan tubuh mereka, membiasakan untuk membaca Al Qur’an,
menghafal surat-surat pendek, membiasakan membaca do’a-do’a harian dalam
kehidupan sehari-hari, pada setiap proses pembelajaran, membiasakan menutup
kegiatan belajar mengajar dengan do’a bersama dan saling bersalaman. Dengan
demikian maka sangatlah tepat ketika metode pembiasaan dijadikan sebagai metode
yang diterapkan bagi anak usia dini, dalam hal ini adalah peserta didik dari TK
Aisiyah Kradenan 3 Trucuk- Klaten.
Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya mengandung persamaan yaitu
menggunakan metode pembiasaan sebagai alternative dalam memperkenalkan
pendidikan agama Islam, termasuk menanamkan nilai agama dan moral pada anak usia
dini. Sedangkan perbedaan terletak pada lokasi penelitian.
2.4 Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah: “Jika kegiatan pembiasaan
dilakukan dalam pembelajaran maka kemampuan anak dalam mengenal nilai agama dan
moral Islam di Kelompok Bermain Idhata Desa Titidu Kecamatan Kwandang
Kabupaten Gorontalo Utara dapat ditingkatkan.
2.5 Indikator Kinerja
Berdasarkan hipotesis tindakan di atas, maka yang dijadikan indikator kinerja
dalam penelitian ini adalah terjadi peningkatan kemampuan mengenal nilai agama dan
moral yakni senantiasa mengucap dan menjawab salam dari 6 orang anak
atau
persentase 40% menjadi 14 orang anak atau persentase 93.33% dari jumlah anak
seluruhnya 15 orang setelah dibelajarkan nilai agama dan moral melalui pembiasaan
pada Kelompok Bermain Idhata Desa Titidu Kecamatan Kwandang Kabupaten
Gorontalo Utara.
Download