ketukangan - arsitekturindonesia.org

advertisement
k e tu k a nga n
kesadaran material
bawah sadar arsitektural
Ketukangan
Kesadaran Material, Bawah Sadar Arsitektural
KETUKANGAN: KESADARAN MATERIAL, BAWAH SADAR ARSITEKTURAL
Modernitas datang di Indonesia dengan wajah penjajah. Sejak itu, sejarah bicara dalam suara
sumbang, dengan kaca cembung. Meminjam metafor Pramoedya Ananta Toer, bangsa yang
terjajah hidup bagaikan sebuah preparat yang diletakkan dalam “rumah kaca”. Tetapi,
perbandingan dengan preparat tidak tepat. Dalam “rumah kaca” itu kita berada dalam dua
posisi sekaligus: sebagai yang dipandang dan yang memandang. Dalam memandang ke luar
maupun ke dalam, mau tak mau kita membanding-bandingkan diri, laku yang disebut
Bennedict Anderson (yang mengutip tokoh nasionalisme Filipina, Jose Rizal,) sebagai "the
spectre of comparisons." Dalam Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an, dari "rumah kaca"
itu, dari "spectre of comparison" itu, ada persoalan "menolak Barat" atau "mengikuti Barat".
Sementara itu, yang terjadi hari demi hari adalah praxis yang tidak sepenuhnya mengikuti
gagasan mengenai identitas dan tak bisa dibatasi oleh proyek-proyek pengukuhan identitas.
Dalam hal ini, arsitektur merupakan contoh yang baik. Usaha memproduksi dan mencipta
telah, selalu, dan akan terkait dengan dengan tenaga, ketrampilan, informasi dan bahan yang
ada. Dalam kondisi itu, praxis menunjukkan tidak semua hal mengikuti kehendak, menolak,
atau mengadopsi modernitas. Ide dan rencana yang dirumuskan dengan sadar pada akhirnya
dibentuk oleh proses yang tak bisa diperhitungkan, bahkan sebelumnya tak disadari.
Terkait dengan hal itu, kami mau menggaris-bawahi bahwa dalam pengalaman kerja
arsitektur Indonesia ada yang bisa kita sebut "the architectural unconscious."
Yaitu:
"ketukangan". Mengikuti Richard Sennett dalam The Craftsman, “ketukangan”, ditandai oleh
komitmen untuk mengerjakan sesuatu sebaik-baiknya. "Ketukangan", bahkan juga "seni" (fine
arts) dan juga
arsitektur, merupakan hibriditas antara berbagai jenis kerja – tetapi tetap
dengan dasar "kesadaran material". Kesadaran material, atau "material conciousness" adalah
kesadaran bekerja “melalui” dan “dengan” perkakas yang ada pada kita. Artinya kepekaan
kepada tenaga manusia, bahan, lingkungan alam, dan semua yang kongkrit, berubah, dan
majemuk. Dalam perjalanan sejarah arsitektur Indonesia yang tak bisa menghidar dari
gulungan modernitas, “ketukangan” merupakan jalan alternatif ke arah
memanusiakan
kembali kerja yang menjadi terasing karena kapitalisme. Kita tahu, dalam kapitalisme, kerja
bukanlah kesenangan, melainkan komoditi. Di sinilah ketukangan merupakan jawaban
ekonomis, estetis, bahkan etis terhadap materialitas.
KETUKANGAN:
KESADARAN MATERIAL, BAWAH SADAR ARSITEKTURAL
Fundamentals. Absorbing modernity: 1914 – 2014.
Tema Venice Architecture Biennale tahun 2014 memaksa kita untuk melihat seratus tahun
sejarah arsitektur “kita” dalam “persinggungan”nya dengan modernitas. Pada pengantarnya,
Rem Koolhaas meminta tiap peserta pameran untuk menunjukkan, dengan caranya masingmasing, proses terkikisnya “karakter nasional” karena diadopsinya sifat universal sebuah
bahasa modern yang melahirkan sebuah repertoar tunggal dari kancah tipologi yang
beraneka-ragam.
Kita langsung dihadapkan pada beberapa pertanyaan sekaligus.
Siapakah “kita” dalam sejarah (arsitektur)? Bagaimana bentuk “persinggungan” dengan
modernitas yang terjadi? Dan sebelum bisa menjawab apakah benar modernitas mengikis
“karakter (arsitektur) nasional” kita, bukankah harus dijawab lebih dahulu pertanyaan tentang
apakah “kita” memiliki “karakter (arsitektur) nasional”? Dan di dasar semua pertanyaan itu,
kita harus mencari apa yang “fundamental” dalam perjalanan seratus tahun arsitektur di
Indonesia yang berurusan dengan modernitas.
Ini sebuah pekerjaan yang tak mudah.
*
Modernitas datang di Indonesia dengan wajah penjajah. Sejak itu, sejarah bicara dalam suara
sumbang, dengan kaca cembung. Meminjam metafor Pramoedya Ananta Toer, bangsa yang
terjajah hidup bagaikan sebuah preparat yang diletakkan dalam “rumah kaca”.
Tetapi sebenarnya memakai perbandingan dengan preparat tidak tepat. Dalam “rumah kaca”
itu kita berada dalam dua posisi sekaligus: sebagai yang dipandang dan yang memandang.
Sebagai yang dipandang oleh tatapan kolonial, kita diletakkan seakan-akan dalam kurun
waktu yang lain. Meminjam istilah Jonathan Fabian, (dalam Time and the Other) di sini
tatapan kolonial melakukan "denial of coevalness", menampik kenyataan bahwa yang dijajah
hidup sebaya atau dalam kurun waktu yang sama dengan yang menjajah. Yang terjajah
diletakkan sebagai Yang-Lain yang masih hidup di dunia yang lampau: bukan "modern",
yang hampir sinonim dengan "baru", melainkan "tradisional," yang maknanya hampir sama
dengan "lama", bahkan "terkebelakang".
Dalam
tatapannya, pemerintah penjajahan juga mereduksi semua anggota masyarakat
kolonial ke dalam satuan-satuan yang bisa dikategorikan, dibungkus dan dipisahkan oleh
indeks atau label yang ditentukan oleh yang berwenang. Indeks atau label itu seakan-akan
merupakan esensi mereka.
Tetapi di dalam "rumah kaca", seperti disebut di atas, posisi kita tidak hanya pasif. Kita juga
memandang, baik memandang ke luar maupun ke dalam. Dengan kata lain, ada ambiguitas
dalam melihat. Karakter kaca yang opasitasnya bisa berubah dari transparansi ke refleksi,
tergantung dari intensitas cahaya di kedua sisinya, memungkinkan the ambiguity of seeing itu.
Dalam memandang ke luar maupun ke dalam, mau tak mau kita membanding-bandingkan
diri.
Kita terpukau oleh apa yang disebut Bennedict Anderson (yang mengutip tokoh
nasionalisme Filipina, Jose Rizal,) sebagai "the spectre of comparisons." Ketika memandang
Indonesia, mau tak mau kita berpikir tentang dunia Barat, dan begitu pula sebaliknya.
Anderson (dalam The Spectre of Comparisons) mengambarkannya sebagai "kesadaran
ganda yang baru dan resah," a new, restless double-consciousness.
Kesadaran kebangsaan (nationhood) bermula dari situ. Tetapi tidak hanya itu. Dalam
pukauan "spectre of comparison" itu, juga tumbuh pandangan baru tentang dunia, nilai-nilai,
selera, gaya hidup, pola konsumsi. Semua didorong oleh dua kehendak:
(1) kehendak
mengukuhkan "beda" atau "keunikan diri" (dengan sebutan, misalnya, "karakter nasional")
atau sebaliknya (2) kehendak mengadopsi yang "modern", yang "baru", dan meninggalkan
yang "lama".
Dalam bahasa yang umum dikenal di Indonesia, seperti kita dapatkan dalam Polemik
Kebudayaan di tahun 1930-an, dari "rumah kaca" itu, dari "spectre of comparison" itu, ada
persoalan "menolak Barat" atau "mengikuti Barat". Kedua kehendak itu sebenarnya sama:
keduanya melihat bahwa keduanya bertolak dari pengukuhan identitas. Dengan kata lain:
"yang Barat" dan yang "nasional" atau "Timur" diperlakukan sebagai identitas yang sudah
transparan dan final.
Sementara itu, dalam perjalanan waktu, yang terjadi hari demi hari dari dan di dalam "rumah
kaca" adalah praxis yang tidak sepenuhnya mengikuti gagasan mengenai identitas dan tak
bisa dibatasi oleh proyek-proyek pengukuhan identitas. Dalam hal ini, arsitektur merupakan
contoh yang baik. Di antara harapan dan kecemasan yang jadi ciri penghuni "rumah kaca" –
kita bisa menyebutnya sebagai "post-colonial anxiety" – usaha memproduksi dan mencipta
telah, selalu, dan akan terkait dengan dengan tenaga, ketrampilan, informasi dan bahan yang
ada.
Di Indonesia, itu berarti semua hal yang terdapat dalam modus produksi pra-industrial dan
industrial (bahkan kemudian juga pasca-industrial) berbareng di satu kurun waktu: adanya
tenaga kerja yang surplus, tradisi kerja tangan yang kuat, waktu kerja yang lebih longgar,
masih kuatnya kerja kolektif, banyaknya bahan-bahan yang masih langsung diambil dari
alam, kuatnya peran perkakas (tools) – tetapi juga diterapkannya manajemen modern,
masuknya kapitalisme, dan kemudian, di abad ke-21, teknologi digital.
Dalam kondisi itu, praxis justru menunjukkan tidak semua hal mengikuti kehendak, menolak,
atau mengadopsi modernitas. Ide dan rencana yang dirumuskan dengan sadar pada akhirnya
dibentuk oleh proses yang tak bisa diperhitungkan, bahkan sebelumnya tak disadari.
Terkait dengan hal itu, kami mau menggaris-bawahi bahwa dalam pengalaman kerja
arsitektur Indonesia ada yang bisa kita sebut "the architectural unconscious."
Yaitu: "ketukangan".
Analog dengan yang pernah dikatakan Nirwan Dewanto dalam pengantarnya untuk pameran
S. Teddy D., bahwa gambar adalah bawah-sadar lukisan, "ketukangan" merupakan bawahsadar arsitektur. Dalam sejarahnya, "ketukangan" – yang merupakan proses kerja para
tukang (artisan) – tidak jarang berkembang menjadi "kekriyaan" (craftmanship). Kerja yang
dilakukan dengan tubuh dan tangan – yang berbeda dengan kerja mendesain – berkembang
menjadi kerja yang bersifat canggih.
Jika kita mengikuti ulasan Richard Sennett dalam The Craftsman, "kekriyaan" atau dalam
cakupan yang lebih luas “ketukangan”, ditandai oleh komitmen untuk mengerjakan sesuatu
sebaik-baiknya. Artinya "ketukangan" tidak terbatas pada ketrampilan kerja tangan. Meskipun
demikian, sependapat dengan Sennett, kita tetap melihat bahwa "ketukangan", bahkan juga
"seni" (fine arts) dan juga arsitektur, merupakan campuran (hibriditas) antara berbagai jenis
kerja – tetapi tetap dengan dasar "kesadaran material".
Kesadaran material, atau "material conciousness" dalam istilah Sennett, adalah kesadaran
bekerja “melalui” dan “dengan” perkakas yang ada pada kita. Dengan kata lain, kesadaran
seorang craftsman untuk menghasilkan sesuatu yang berkualitas disertai kepekaan kepada
apa yang terpaut dengan perkakas itu. Artinya kepekaan kepada tenaga manusia, bahan,
lingkungan alam, dan semua yang konkrit, berubah, dan majemuk. Dalam perjalanan sejarah
arsitektur Indonesia yang tak bisa menghindar dari gulungan modernitas, “ketukangan”
merupakan jalan alternatif ke arah memanusiakan kembali kerja yang menjadi terasing
karena kapitalisme. Kita tahu, dalam kapitalisme, kerja bukanlah kesenangan, melainkan
komoditi.
Di sinilah ketukangan merupakan jawaban ekonomis, estetis, bahkan etis terhadap
materialitas.
*
Instalasi yang kami desain adalah representasi dari “rumah kaca”, sebuah kritik terhadap
konstruksi identitas. Pada bidang-bidang dindingnya akan diproyeksikan bagaimana
“ketukangan”, sebuah praxis yang dalam setiap kondisi adalah tanggapan yang kreatif,
kadang subversif, terhadap modernitas. Kami mencoba menyajikan kondisi tersebut dalam
periodisasi kesejarahan, seperti tema biennale yang berikut, meskipun dalam hal
“ketukangan” waktu bersifat relatif, tidak deterministik.
*
PERIODISASI KESEJARAHAN
Arsitek Belanda, Tukang Hindia: 1914-1942
Awal abad ke-20 merupakan periode yang dinamis. Di Eropa berkembang gerakan Arts &
Crafts yang merupakan reaksi artistik terhadap desakan industrialisasi yang pesat. Gerakan
ini menyarankan keterlibatan penuh para desainer dan artisan terhadap berbagai bentuk
karya rancang dan seni. Arsitektur didorong untuk menjadi sebuah gesamtkuntswerk – karya
seni total - yang merangkai kegiatan merancang dan perwujudannya dalam satu keutuhan,
dari skala gedung hingga perabotan.
Gerakan ini masuk ke nusantara bersama dengan arsitek-arsitek Belanda yang berkarya di
Hindia Belanda. Mereka – diantaranya P.A.J. Moojen, E. Cuypers, F. Ghijsels, T. Karsten,
W.C. Schoemaker – yang datang belakangan ini mengkritik rancangan-rancangan yang
langsung diadopsi dari model-model di Eropa dan mempromosikan model-model baru yang
dihasilkan dari “sintesa”. Arsitek Henri Maclaine-Pont mempunyai tempat istimewa. Bukan
hanya karena wujud karyanya yang menonjol, namun juga karena ia mewakili praktik kritis
zamannya. Motivasinya awalnya pragmatis, ia kekurangan tenaga tukang lokal yang trampil
yang bisa mewujudkan proyek-proyeknya. Namun karena ia aktif menulis dan meneliti situssitus arkeologi, Maclaine-Pont menemukan bahwa teknik ketukangan lokal pernah mencapai
kejayaannya pada masa lampau sehingga ia berkesimpulan bahwa ketukangan lokal pantas
“maju” dengan tidak berhenti pada teknik-teknik tradisional dan bahan-bahan lokal, namun
juga menguasai ilmu keteknikan modern Eropa dan menghasilkan bentuk-bentuk baru yang
“modern” sekaligus “lokal”.
Paparan kami menyoroti wujud arsitektur Maclaine-Pont – Aula Barat ITB dan Gereja Puh
Sarang – yang merupakan interpretasi bentukan bangunan adat yang dihasilkan lewat
eksperimentasi struktur dan konstruksi modern. Ruang-ruang pada kedua bangunan ini
adalah hasil dari gagasan arsitektonika yang dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk
“membina” dan “menaikkan” kemampuan tukang. Peran dan posisi arsitek yang digagas oleh
Maclaine-Pont digambarkan sebagai agen perubahan yang sadar dan percaya diri – sebagai
“pembina” yang bekerja di belakang tabir rasionalitas. Bentuk dan ruang arsitekturnya
merupakan upaya melampaui apa yang sudah dilakukan sebelumnya, dan dipasang sebagai
sebuah tolok akhir yang harus dicapai dalam proses pembangunannya.
Monumen-monumen Kecil bagi Bangsa: 1945-1966
Memasuki pertengahan abad ke-20, sejarah jadi saksi bahwa arsitektur berperan sebagai
etalase bagi tatanan politik dunia. Negara-bangsa baru bermunculan dan menghendaki
berbagai atribut arsitektural untuk melengkapi identitas budaya dan sosial mereka di tengah
tatanan dunia modern yang baru. Dalam arsitektur modernis, Sukarno menemukan sebuah
solusi model untuk “nation building” dan untuk mengatasi keragaman Indonesia yang
“menggelisahkan”. Di masa ini, Indonesia dibayangi disintegrasi wilayah dan secara sosial
budaya dihadapkan pada tantangan akan kesatuan bangsa. Sukarno merasa karakter
arsitektur modernis yang bersih, terbuka, dinamis, dan netral, dapat berperan sebagai simbol
identitas kebangsaan yang baru, lepas dari beban kultural masa lalu dan bayang-bayang
kolonialisme. Sukarno membangun berbagai “monumen” dalam bentuk tugu, patung, gedunggedung pemerintahan, infrastruktur jalan, dan stadion.
Peran sentral Friedrich Silaban dalam karya-karya monumental era ini (Masjid Istiqlal, Bank
Indonesia, dan lain-lain) bisa dilihat dalam perspektif yang berbeda ketika ditinjau dari
karyanya yang paling intim: rumahnya sendiri. Berada di pinggir wacana proyek-proyek
monumental, rumah Silaban menunjukkan perhatian besar pada tektonika dan ketukangan.
Silaban merancang rumahnya hingga ke tiap sudut, diselesaikan dengan pengolahan detail
yang prima. Dibangun dengan material yang “modern” pada masanya (1959-1960) – baja,
beton bertulang, tegel teraso, serta paduan batu-batu lokal – rumah ini adalah hasil abstraksi
dari renungan mengenai hunian dan lokalitas. Posisi arsitek dalam sosok Silaban adalah
sebagai seorang yang intelek dan rasional, yang terlibat dalam setiap jengkal karya
terbangunnya. Arsitek memprakira beban konstruksi, menentukan tulang beton, mengatur
hubungan antar elemen, dan semuanya dilakukan dengan perhitungan lewat teori-teori,
rumus-rumus, serta asumsi-asumsi. Tidak dengan coba-coba.
Fenomena menarik terjadi pada praxis “tepian”. Kebutuhan akan hunian rakyat pada masa
awal kemerdekaan hingga dekade 1970 kebanyakan dipenuhi secara swadaya oleh
masyarakat, lewat tukang-tukang atau aneemer profesional. Mereka adalah para ahli gambar
dan bangunan yang memulai karirnya lewat pendidikan menengah pada masa kolonial.
Mereka dididik untuk bekerja sebagai asisten arsitek, namun setelah tidak lagi ada arsitek
Belanda yang berpraktek di Indonesia, mereka akhirnya maju sebagai arsitek.
Banyak bangunan institusional dan rumah tinggal era ini yang menampilkan bentuk dan
konstruksi yang unik dan “nakal”; proporsi bangunan yang “aneh”, tiang dan dinding yang
miring, lempengan beton tipis yang lebar tanpa penopang, atap-atap unik yang terpancung,
dinding-dinding yang kaya akan ornamen dan material, pelat beton lipat, dan lain sebagainya.
Arsitektur ini dijuluki “jengki”, mengadopsi sebutan yang sama untuk berbagai hal “baru” yang
diasosiasikan dengan “yankee” atau “Amerika”. Termasuk di dalamnya gaya rambut, sepeda,
hingga celana. Pada arsitektur ini, ketukangan tampil ke depan dan muncul tanpa beban
kultural yang besar. Berbagai bentuk, artikulasi, dan konstruksinya justru seolah lahir dari
proses coba-coba ketimbang rencana teliti pada gambar.
Melampaui Batas Peran dan Identitas: 1966-1998
Pada dekade 1970, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat akibat
terbukanya ekonomi global. Namun Indonesia juga berada dalam pemerintahan yang represif
terhadap kebebasan berekspresi. Arus modal, barang, jasa dan manusia memberdayakan
masyarakat menengah-atas perkotaan, namun pada saat bersamaan menghasilkan kantongkantong masyarakat yang miskin dan tidak terjangkau pembangunan ekonomi.
Bali berkembang kembali menjadi tujuan wisata internasional dan dipromosikan sebagai
wisata kultural yang lengkap. Pembangunan hotel-hotel di Bali membangkitkan kembali
wacana arsitektur tradisional dan craft dalam “merayakan” identitas ke-Bali-an dalam
mendukung
industri
pariwisatanya.
Pengusaha
dan
seniman
mancanegara
ikut
mempengaruhi perkembangan estetika dan arsitektur hotel pada dekade 1980. Wija
Waworuntu, misalnya, merombak sebuah hunian di kawasan Sanur menjadi salah satu hotel
butik pertama di Bali, dan mengundang arsitek Srilanka Geoffrey Bawa untuk merancang
komplek resort Batujimbar. Hotelier Adrian Zecha memulai jaringan hotel butik elitnya –
Amanresorts – di Bali: menawarkan pengalaman “otentik” tinggal di rumah-rumah tradisional
Bali dengan pelayanan yang mewah. Efek dari kondisi ini meluas. Kerajinan mengambil posisi
sentral dalam arsitektur, bahkan mendominasi tampilan arsitektur rumah tinggal di kota-kota
besar. Sentra-sentra kerajinan kayu, batu candi, dan marmer menyediakan berbagai kreasi
yang mendukung pasar ini.
Seiring dengan “mengeras”-nya identitas Bali, negara juga berperan dalam membentuk kotakkotak identitas baku berdasarkan daerah administrasi provinsi. Sebuah cultural theme-park
Taman Mini Indonesia Indah digagas oleh Tien Soeharto untuk mempromosikan hal tersebut.
Keragaman kultural Indonesia direduksi menjadi 27 entitas propinsi, disandingkan dengan 27
rumah adat dan 27 pasang pakaian adat. Bangunan-bangunan pemerintahan dan publik juga
“dihimbau” untuk merepresentasikan kedaerahannya dengan cara yang serupa.
Namun tetap ada praktik-praktik kritis yang berusaha menggugat “stabilitas” tersebut, baik
secara estetis maupun etis. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, imam Katolik sekaligus arsitek,
berusaha berpihak pada yang termarjinalkan. Di Kali Code, Yogyakarta, Y.B. Mangunwijaya
melakukan penataan permukiman di bantaran sungai yang telah lama dianggap pemerintah
sebagai
sarang
masalah
sosial
yang
perlu
diberantas.
Mangunwijaya
melakukan
pendampingan sosial dan melakukan perbaikan fasilitas lingkungan. Arsitektur perkampungan
tersebut dibentuk oleh upaya konstruksi swadaya dengan bimbingan dari sang arsitek.
Pada Peziarahan Sendangsono dan Wisma Kuwera, Mangunwijaya mempekerjakan dan
membina tukang-tukang untuk berkreasi dan mengekspresikan kemampuan masing-masing
dengan material yang mudah diperoleh. Mangunwijaya memberikan ruang gerak bagi
ekspresi ketukangan, sekaligus merintis peran arsitek sebagai penggerak pengembangan
ketrampilan dan pelatihan konstruksi bagi para tukang. Arsitek jadi “pemimpin” dengan
gagasan dan strategi politik tertentu, sementara arsitektur (bentuk, ruang, material, dan
konstruksi) “hanya” sebagai media.
Sementara itu, Yuswadi Saliya (bersama Kiki Dharmawan dalam Atelier 6) melakukan
pendekatan modernis tapi tetap peka dengan konteks lingkungan dan tantangan iklim pada
proyek Hilton Executive Club. Proyek yang berangkat dari modul ‘segitiga’ yang digubah
melalui permainan skala dan proporsi menjadi 2 bentukan massa dan ruang seperti atap
Tajug besar. Proyek ini juga mulai menggunakan teknologi beton secara maksimal. Koridorkoridor yang dinaungi oleh kantilever pergola beton adalah ekspresi kecanggihan teknologi
dan ketukangan pada masanya.
Ragam Peran dan Peluang: 1998-2014
Indonesia, juga dunia, kini jauh lebih terbuka dan cair. Proses yang lebih cair dan dinamik
terjadi pada masyarakat menengah atas perkotaan yang menjadi pasar terluas bagi praktik
arsitektur kontemporer di Indonesia. Bagi kebanyakan arsitek Indonesia, merancang rumah
tinggal pribadi masih merupakan “makanan pokok”.
Di beberapa kota seperti Jakarta dan Bandung, muncul praktik-praktik yang berpengaruh dan
memberikan dampak yang cukup luas dalam industri arsitektur pada segmen ini. Arsitek
senior Tan Tjiang Ay merupakan tokoh yang telah menentukan patokan kualitas yang tinggi.
Karya-karyanya selalu sederhana, namun cermat, teliti, dan sangat disiplin dalam
memperlakukan bentuk, ruang, dan elemen-elemen arsitektural. Karya-karyanya memberi
perlindungan terhadap hujan, matahari, dan ketidaknyamanan lain dengan cara yang tidak
berlebihan. Proporsi ruang-ruang dan elemen-elemennya ditimbang dengan cermat. Materialmaterial yang berbeda ditampilkan tidak lebur dan tetap hadir sebagai instalasi –
mencerminkan kerja sistematik dari para tukangnya. Meskipun “sederhana”, arsitektur Tan
Tjiang Ay mensyaratkan keterlibatan sekumpulan ahli mumpuni, mulai dari kontraktor, tukang
batu, tukang dinding, tukang aci, tukang kayu, tukang cor beton, tukang besi, tukang pasang
keramik, tukang furniture. Tan Tjiang Ay telah memberikan tolok ukur baru pada kualitas
ketukangan.
Pada konteks layanan jasa yang sama, ada beberapa upaya untuk mengekplorasi material
dan merangkainya dengan cara unik sehingga dapat diwujudkan dengan baik meskipun
dengan anggaran yang terbatas. Kualitas ruang yang hadir ditentukan oleh ekspresi bahanbahan dan tektonika yang digunakan. Contohnya Le Bo Ye (Andra Matin) dan Rumah Baja
Wisnu (Ahmad Djuhara). Pada beberapa kesempatan lain – di mana anggaran tidak seketat
pada kasus sebelumnya – kebebasan diberikan pada tukang dengan arahan arsitek untuk
mengolah material lokal, termasuk bahan/elemen bangunan bekas, sehingga tampil unik dan
memberikan ciri khas bagi proyek-proyek tersebut dan turut menentukan kualitas ruang yang
baru, diantaranya: Potato Head, Bali dan Rumah Agus Suwage (Andra Matin) dan Rumah
Setiabudi (Adi Purnomo).
Dekade pertama di milenium baru juga merupakan dekade penuh gejolak dan bencana.
Beberapa daerah di Indonesia mengalami runtutan bencana yang dampaknya tidak pernah
terbayangkan sebelumnya. Gempa dan tsunami di Aceh (2004), gempa di Padang, Sumatera
Barat (2009), gempa di Yogyakarta (2009), letusan Merapi (2010), serta berbagai bencana
alam dan lingkungan lainnya. Hal ini menyadarkan kembali masyarakat Indonesia bahwa kita
membutuhkan ketahanan sosial yang baik untuk dapat menghadapi bencana yang senantiasa
dapat hadir.
Sebuah pendekatan yang menarik ditampilkan lewat proses pembangunan kembali dusun
Ngibikan, Bantul, Yogyakarta yang melibatkan mandor Maryoto, dengan bantuan arsitek Eko
Prawoto. Pada kasus ini peran arsitek berada berdampingan dengan masyarakat pengguna
dan pelakunya. Eko Prawoto menawarkan sebuah sistem kuda-kuda limasan sederhana
tahan gempa, yang mudah dikerjakan. Kuda-kuda ini diperuntukkan sebagai struktur utama
bagi rumah-rumah permanen baru sebagai pengganti rumah-rumah yang rusak. Setelah
bersama-sama mendata kerusakan dan kerugian, masyarakat Ngibikan juga bersama-sama
menghitung jumlah material yang bisa digunakan kembali maupun yang harus didatangkan,
serta tenaga kerja yang mereka miliki. Bermodalkan sistem yang disepakati mereka mulai
membangun kembali rumahnya tanpa dukungan sama sekali dari pihak luar. Kisah sukses ini
menyadarkan banyak pihak bahwa ketahanan sosial masyarakat terhadap bencana
sebenarnya bisa dibangun tanpa biaya yang mahal dan tanpa banyak campur tangan dari
pihak luar. Pada kasus ini, arsitek dan arsitektur justru memberikan banyak kontribusi ketika
memberikan ruang dan takaran yang tepat pada sebuah proses sosial masyarakat.
Ketika area-area terpencil juga turut berkembang, ada kekhawatiran bahwa akan banyak
kearifan, pengetahuan, serta ketrampilan lokal yang akan memudar. Sebuah upaya yang
sangat unik telah dilakukan sekelompok arsitek dalam program Rumah Asuh. Rumah Asuh
berperan bukan sebagai perancang dan perencana, namun justru berperan sebagai perekam
dan penghubung donatur dengan masyarakat adat serta instansi dan tokoh-tokoh lokal terkait
untuk menyatukan upaya dalam membangun kembali rumah-rumah adat. Kesulitan dana,
kelangkaan material, ketiadaan tenaga ahli diupayakan oleh advokasi Rumah Asuh sehingga
tradisi membangun dan ketukangan lokal dapat dilanjutkan.
Upaya untuk merespon isu-isu lingkungan dilakukan dengan mengeksplorasi konstruksi dan
melalui manajemen lingkungan hidup. Paulus Mintarga, arsitek yang juga kontraktor,
mengembangkan dua propertinya untuk dijadikan workshop dan showroom kreatif Rempah
Rumah Karya dan penginapan Rumah Turi di Solo.
Upaya lain juga dilakukan dengan menggunakan kembali material (seperti bambu) yang
sudah ada namun dengan cara dan kesadaran akan keberlanjutan (dengan menghitung dan
membandingkan
embodied
energy,
biaya
persiapan,
konstruksi
serta
biaya-biaya
lingkungan). Demonstrasi yang menarik telah dilakukan pada OBI Eco Campus Jatiluhur
(Andry Widyowijatnoko), Green School (PT Bambu), Gereja Bambu (E. Pradipto), Rumah di
Tanah Teduh (Adi Purnomo).
RENCANA ANGGARAN BIAYA VENICE ARCHITECTURE BIENNALE
A. ANGGARAN BIAYA RUMAH KACA
No
Keterangan
B. ANGGARAN BIAYA PROYEKTOR
Jumlah
Harga per Unit
Total Harga
I Pekerjaan Baja
1 Panggung IWF 200 / Koridor
No
Keterangan
1 Projector
500,00 m2
975.000
487.500.000
Jenis
Panasonic
2 Projector Mount
Balok Baja Tepi Kolom
3 Dataton
Watchpax ++
Besi Balok Anak/Siku
4 Accessories
Cabling, Power, Switcher, etc
170,00 m2
600.000
102.000.000
3 Mur Baut/Skrup
1,00 ls
30.000.000
30.000.000
4 Zinkromat + Cat Hitam Naja
1,00 ls
30.000.000
30.000.000
II Pekerjaan Kaca
Kaca Area Prologue (I Glass) - Smart
1 Glass
43,00 m2
25.000.000
1.075.000.000
2 Kaca 3x2,4 m tebal 19 mm
30,00 unit
36.000.000
1.080.000.000
Kaca 2x2,4 m tebal 19 mm
10,00 unit
25.000.000
250.000.000
264,00 m2
4.000.000
1.056.000.000
3 Stiker Auropluss
Canon REALiS WUX400ST
4000 lumens
Panasonic PT-RW430UK
500,00 m2
300.000
1,00 ls
30.000.000
30.000.000
3 Cat Baja Lantai / Floor Paint
170,00 m2
800.000
136.000.000
150.000.000
1,00 ls
60.000.000
60.000.000
1,00 ls
20.000.000
20.000.000
1 Manpower 30 hari (15 orang)
1,00 ls
150.000.000
150.000.000
2 Uninstall Manpower 10 hari (12 orang)
1,00 ls
60.000.000
IV Pekerjaan Instalasi di Site
Pekerjaan Instalasi Baja
Pekerjaan Instalasi Kaca
60.000.000
Rp4.716.500.000
http://www.projectorcentral.com/CanonREALiS_WUX400ST.htm
http://www.projectorcentral.com/Panaso
nic-PT-RW430UK.htm
Panasonic Short Throw lens
Panasonic PT-DZ770UK*
Panasonic Short Throw lens
1 Plastik + Plywood 3 mm di cat hitam
Aksesoris Perkuatan Kaca , Ketel - Mur
2 Baut / Pelat dsb
TOTAL
500
22.500
48
2.300
110.400
1
20.000
USD
4000 lumens
III Pekerjaan Lain-lain
4 Biaya
y Peralatan
g p dan Alat Bantug
5 Kontainer
5.500
45
247.500
20.000
USD 400.400
Pilihan Proyektor
7000 lumens
Total Harga
45
TOTAL
Pelat Stiffener
2 Pelat Baja Tebal 3 mm
Jumlah Harga per Unit
http://www.projectorcentral.com/Panaso
nic-PT-RW430UK.htm
*model tahun 2012
ketersediaan mungkin terbatas
6.900
5.500
2.000
http://www.projectorcentral.com/Panaso
nic-PT-DZ770UK.htm
17.100
2.000
JADWAL KERJA KURATOR VENICE ARCHITECTURE BIENNALE
RINCIAN SUSUNAN KERJA
Rekrutmen asisten peneliti,asisten grafis, tim video fotografi
Riset materi
Revisi/ proses kelengkapan rancangan instalasi
Revisi/ proses kelengkapan RAB
Proses administrasi kontrak kerja & berbagai pemesanan materi
Revisi/ proses kelengkapan rancangan instalasi
Persiapan produksi video
Penyusunan program-program kegiatan tambahan
Persiapan produksi video
Penyusunan brosur, leaflet, dan buku program
Dokumentasi video (Jakarta)
Rencana instalasi final
Dokumentasi video (Bandung)
Dokumentasi video (Yogyakarta)
Editing video
Pendekatan dengan pihak panitia untuk penyelarasan teknis
Editing akhir video
Pembentukan tim advance dan koordinasi dengan pihak panitia
Biennale/ event organizer
Penyelarasan akhir brosur, leaflet, dan buku program
Penyelarasan akhir teknis lapangan
Tim advance melakukan koordinasi dengan pihak panitia Biennale/
event organizer untuk persiapan
Proses pembangunan instalasi
Proses pencetakkan brosur, leaflet, dan buku program
Proses pemasangan perangkat elektronik
Penyelarasan akhir video
Penyelenggaraan Biennale
Pembongkaran instalasi
Pengiriman barang-barang ke Indonesia
Penerimaan barang-barang di Indonesia
2013
September
Oktober
November
2014
Desember
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli-November
Desember
Download