Laporan Final Kalimantan Wide Survey 2

advertisement
 Laporan Final Kalimantan Wide Survey 2 2012‐2013 Ucapan Terima Kasih Survey sebaran orangutan Kalimantan Wide Survey 2 telah terlaksana berkat partisipasi yang luar biasa dari para pihak yang memiliki kepedulian terhadap konservasi orangutan. Dalam kesempatan ini ijinkan kami untuk mengucapkan terima kasih yang tulus atas keterlibatan teman‐teman sekalian mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan sampai berakhirnya survey ini dilaksanakan. Rekan‐rekan lembaga: FOKKAB, WWF‐KalBar, Riak Bumi, Sylva Indonesia pc. Universitas Tanjung Pura, Titian, Yayasan Palung, AKAR, PRCF Indonesia, Yayasan Dian Tama, Lembaga Living Indonesia, FK3I, Yayasan Orangutan Indonesia, OF‐UK, BKSDA Pangkalan Bun, dan ECOSITROP PPHT Universitas Mulawarman. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kami haturkan bagi masyarakat yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu dan perusahaan (PT. Alas Kusuma Group), yang telah berkontribusi luar biasa dalam membantu kami mengumpulkan data keberadaan orangutan total di 17 Kabupaten di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Akhir kata, ijinkan kami juga mengucapkan terima kasih bagi pihak Departemen Kehutanan yang telah merestui terlaksananya survey. Kepada pihak TNC (The Nature Conservancy) yang telah memfasilitasi semua kebutuhan pendanaan selama survey. Tak ada gading yang tak retak, mohon maaf sekiranya ada pihak‐pihak tertentu yang belum kami sebutkan satu persatu dalam kesempatan ini. Penyusun, FORINA Ringkasan Ground check survey orangutan di Kalimantan (KWS 2) dimulai dengan persiapan berupa workshop antara FORINA dengan pihak Balai KSDA (Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah), 10 LSM, 2 Universitas (Tanjung Pura dan Mulawarman) di Samarinda (6 Mei 2012), Pontianak (9 Juni 2012) dan Pangkalan Bun (16 Juni 2012). Tahapan berikutnya adalah refreshment penggunaan alat survey bersamaan dengan peminjaman alat. Kegiatan KWS 2 dilakukan total di 36 grid/lokasi dilaksanakan selama periode empat bulan yang dimulai dari minggu kedua Juli 2012 dan berakhir pada minggu kedua November 2012. Wilayah kerja difokuskan di luar kawasan konservasi yang merupakan 78% dari luasan sebaran orangutan borneo. Metode ground check berdasarkan grid yang terpilih dilaksanakan oleh 2 orang surveyor/ grid/lokasinya yang bertugas sebagai pelacak keberadaan orangutan dan pencatatan data menggunakan alat pendukung berupa teropong, GPS, range finder, dan kamera. Selain keberadaan orangutan, surveyor juga mendata kondisi habitat maupun ancaman terkini. Hasil analisis data menunjukkan hanya terdapat 11 grid/lokasi (30,5 %) yang terindikasi kuat masih memiliki sebaran populasi orangutan di wilayahnya berdasarkan penemuan sarang orangutan, walaupun tidak semuanya berada di habitat yang baik, tetapi cenderung di habitat yang telah terfragmentasi atau di hutan sekunder. Adanya pembukaan perkebunan kelapa sawit dan tambang setelah survey KWS 1 di beberapa grid/lokasi telah menjadi ancaman nyata keberadaan orangutan, begitu pula perburuan satwa liar yang sebagian besar dilakukan oleh kaum pendatang, serta adanya kekeliruan pemahaman informasi keberadaan orangutan di KWS 1. I. Pendahuluan a. Latar belakang Orangutan, satu‐satunya kera besar Asia, dibedakan menjadi dua jenis (Delgado dan van Schaik, 2000, Groves, 2001, Chen dan Li, 2001) Pongo abelii yang terdapat di Sumatera (provinsi Aceh dan Sumatera Utara) dan Pongo pygmaeus yang tersebar di Kalimantan (provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur; Sarawak dan Sabah di Malaysia). Berdasarkan variasi morfologi dan genetik, populasi orangutan kalimantan dikelompokkan ke dalam tiga anak jenis (Groves, 2001; Warren etal, 2001), yaitu: Pongo pygmaeus pygmaeus yang tersebar di bagian Barat Laut Kalimantan (Taman Nasional Betung Kerihun, Taman Nasional Danau Sentarum, dan sekitarnya), Utara Sungai Kapuas sampai Timur Laut Serawak. Pongo pygmaeus wurmbii memiliki sebaran di Barat Daya Kalimantan, bagian Selatan sungai Kapuas dan bagian Barat sungai Barito. Pongo pygmaeus morio yang terbatas sebarannya di Sabah dan bagian Timur Kalimantan sampai sejauh sungai Mahakam. Dalam rangka implementasi salah satu Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan untuk memperbarui peta sebaran orangutan Kalimantan, The Nature Concervancy (TNC) bekerjasama dengan Forum Orangutan Indonesia (FORINA) mengidentifikasi daerah sebaran populasi orangutan Kalimantan yang masih ada. Setelah di akhir tahun 2008 dan dilanjutkan pada tahun 2009 dilakukan serangkaian survey wawancara orangutan di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur (KWS 1) dengan partisipasi total 19 lembaga yang ada di KalIimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Informasi mengenai sebaran habitat dan populasi orangutan dari survey wawancara ini, dilanjutkan dengan kegiatan KWS 2 berupa "ground check survey" yang telah dilaksanakan di 36 lokasi di Kalimantan pada 2012. Kumpulan data yang baru dan sistem informasi geografis tersebut diharapkan dapat memberikan informasi dasar untuk rencana tata ruang dalam rangka konservasi habitat orangutan Kalimantan. b. Tujuan Kegiatan survei lapangan orangutan ini bertujuan untuk: 1. Melakukan verifikasi lapangan mengenai potensi sebaran baru orangutan berdasarkan informasi dari survey KWS 1 (wawancara) 2. Memperbaharui informasi tentang sebaran orangutan di Kalimantan 3. Memperkirakan kemampuan okupansi (patch occupancy) habitat oleh orangutan di lansekap multifungsi di Kalimantan 4. Mengidentfikasi faktor‐faktor yang akan mempengaruhi capaian target peningkatan 3% populasi berdasarkan target CBD 2020. II. Metode A. Workshop Workshop KWS 2 dilakukan berturut‐turut di Kalimantan Timur (6 Mei 2012), Kalimantan Barat (9 Juni 2012) dan Kalimantan Tengah (16 Juni 2012). Total peserta yang menghadiri workshop tersebut 28 orang yang terdiri dari 10 LSM, 2 Universitas (Tanjung Pura dan Mulawarman) dan BKSDA (Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah). Inti acara workshop adalah membangun kesepahaman dan kesepakatan pengumpulan data yang dimulai dengan penjelasan mengenai kegiatan KWS 2 oleh FORINA dan dilanjutkan dengan presentasi mengenai teknis pelaksanaan kegiatan KWS2, serta diskusi mengenai pelaksanaan KWS 2 (pembagian wilayah kerja) termasuk mengumpulkan masukan dan saran pelaksanaan KWS 2 berdasarkan pengalaman pelaksanaan KWS 1. B. Refreshment (penyegaran) penggunaan alat survey Pengetahuan dasar mengenai orangutan dan ketrampilan penguasaan alat survey telah diberikan kepada para surveyor setahun sebelumnya oleh FORINA. Ketrampilan dalam penguasaan alat adalah sangat penting agar data yang dikumpulkan benar dan valid sehingga dalam analisa data hasilnya juga dapat dipertanggung jawabkan. Untuk memastikan kualitas pengambilan data di lapangan, kepada para surveyor diberikan refreshment (penyegaran) penggunaan alat oleh FORINA bersamaan dengan peminjaman alat. C. Ground check 1. Potensi sebaran baru orangutan Untuk memetakan potensi sebaran baru orangutan perlu di lakukan analisa lebih lanjut terhadap data KWS 1 (wawancara), karena data perjumpaan dalam survey ini tidak merujuk ke lokasi orangutan yang pasti. Dalam memperkirakaan lokasi perjumpaan orangutan, di asumsikan bahwa perjumpaan hanya terjadi di sekitar desa yang dapat di tempuh dengan jalan kaki dan perkiraan kemampuan jalan responden adalah 10 Km dari desa dimana mereka tinggal. Dengan menggunakan perangkat GIS, setiap titik desa dimana terdapat perjumpaan dengan orangutan akan di ukur jarak terdekat ke sebaran orangutan yang sudah teridentifikasi dari peta PHVA (Singleton etal, 2004) dan jarak terdekat ke potensi habitat yang sesuai untuk orangutan berdasarkan tutupan lahan. Untuk memudahkan pemetaan potensi sebaran sebaran orangutan terbaru kami membuat grid yang akan berfungsi sebagai proxy untuk perkiraan keberadaan orangutan. Grid yang dibuat untuk seluruh Kalimantan dengan luasan per grid adalah 50 Km2 (7.012 km x 7.012 km) luasan tersebut di tentukan berdasarkan luasan habitat minimum yang mampu menampung populasi orangutan yang viable di Kalimantan (Wich etal, 2008). Grid akan dipergunakan untuk memberikan batasan sebaran dimana hanya grid yang bertampalan > 50% dengan lokasi desa yang sudah di buffer 10 Km. Dalam menentukan grid yang sesuai untuk di‐ikutkan dalam desain sampling, grid yang di pilih adalah grid yang di dalamnya hanya memiliki <40% luasannya berupa tutupan lahan (Peta tutupan lahan tahun 2005‐2006, Kementerian Kehutanan, 2010) yang tidak bervegetasi yang dipastikan bukan habitat orangutan (contohnya: tubuh air, tempat terbuka, pemukiman, alang‐alang, kebun sawit dll). Kemudian system grid ini juga akan dipergunakan untuk membantu pemilihan lokasi survey. 2. Pemilihan lokasi survey Orangutan merupakan primata yang paling adaptif, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya orangutan mampu memanfaatkan habitat selain hutan primer atau sekunder, seperti semak dan belukar tua, bahkan yang terperangkap dalam sisa hutan alam di Hutan Tanaman Industri (HTI) yang bersifat monokultur (Meijaard etal 2010). Kondisi seperti ini memberikan tantangan tersendiri dalam menentukan daerah mana yang akan di survai, karena sering kali tutupan lahan akan saling bertampalan, terpencar atau berkelompok. Beranjak dari kondisi ini, pemilihan lokasi untuk survai orangutan kali ini akan menggunakan pendekatan system grid sebagai sampling unit untuk memudahkan menentukan lokasi dan batasan wilayah survey. Pendekatan system grid dalam menentukan wilayah survey satwa liar sudah banyak di gunakan (Wikramanayake etal, 2004). Dengan mempertimbangkan luasan dan sumberdaya, pemilihan sampel grid hanya di lakukan sebanyak 5% dengan pemilihan secara acak bertingkat (stratified random sampling) berdasarkan proporsi jumlah grid per provinsi. Hasilnya, sebanyak 33 grid terpilih (Gambar 1) dengan karakter grid umumnya berada di dataran rendah (< 500 m dpl) dengan kelerengan datar. Gambar 1. Peta lokasi awal survey. 3. Penempatan jalur pengamatan Penempatan jalur pengamatan diharapkan dapat menggunakan metode jari‐jari dengan pusat lokasi camp dan empat jalur dengan arah berbeda yang panjang masing‐masing jalur yang di lalui adalah minimal 1 Km per jalur. Penentuan lokasi berdasarkan kemudahan akses untuk di jalani dan keamanan untuk pengamat. Semua jalur yang di lalui di petakan dengan memanfaatkan fasilitas automatic tracking (perekaman setiap 5 detik) yang terdapat dalam GPS. 4. Observasi Seperti kera besar lainnya di Afrika (gorila, bonobo dan simpanse), orangutan membuat sarang tidur setiap hari dengan lokasi yang berbeda. Disetiap lokasi pada pengamatan di jalur, semua sarang yg dijumpai dicatat (lokasi, nama pohon, jarak sarang ke jalur/ transek, kelas sarang (1, 2, 3 dan 4; Gambar 2), ketinggian, posisi sarang) diberi tanda dengan pita dan posisi sarang diambil GPS‐nya serta diambil fotonya. Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Gambar 2. Kelas sarang orangutan yang dijumpai di KWS 2. 5. Kualitas habitat Selain informasi keberadaan orangutan, informasi mengenai kondisi habitat juga dikumpulkan untuk mendapatkan gambaran kualitas habitat orangutan. Deskripsi habitat berdasarkan tutupan hutan dan kondisi bio‐fisik lokasi seperti ketinggian, topografi dan dominasi vegetasi, termasuk data fruit trail di jalur pengamatan. Informasi keberadaan jenis satwa lainnya yang dijumpai selama pengamatan juga melengkapi kualitas habitat, termasuk tekanan terhadap hutan. 6. Peralatan Selama melaksanakan KWS 2,kami dilengkapi oleh peralatan yang terbatas jumlahnya (FORINA dan hasil pembelian KWS 2) sebanyak 5 set yang digunakan untuk setiap team, terdiri dari: 2 GPS 76 CSX, 2 Lesser range finder ‘Leica’, 2 Teropong ‘Bushnell’, 2 Kompas, 1 Kamera digital dengan GPS ‘Nikon’ dan Flagging tape. Gambar 3. Peralatan survey KWS 2. III. Hasil dan Pembahasan Kegiatan KWS 2 dilakukan di luar kawasan konservasi yang merupakan 78% dari luasan sebaran orangutan borneo. Dengan segala keterbatasan yang ada, total survey ini mencakup 36 grid/lokasi yang dilaksanakan selama periode empat bulan, dimulai dari minggu kedua Juli 2012 di Kalimantan Tengah dan berakhir pada minggu kedua November 2012 di Kalimantan Barat oleh total 32 orang dari 15 lembaga (Lampiran 1 dan 2). Dikarenakan keterlambatan penyediaan peta grid, ada pertukaran/penambahan tiga grid yang semula total grid adalah 33 menjadi 36, yang pelaksanaannya surveynya menjadi kontribusi langsung dari WWF‐Kalimantan Barat dan PT. Alas Kusuma Group. Keterbatasan yang dijumpai selama persiapan maupun pelaksanaan survey itu sendiri, selain jumlah alat yang terbatas (hanya 5 set), juga faktor pendukung vital lainnya, yaitu peta kerja. Peta kerja (grid/ID) yang diharapkan sudah tersedia sejak sebelum workshop, akhirnya baru dapat terealisir pada akhir Agustus 2012. Sementara persiapan dan pelaksanaan survey harus segera dilaksanakan karena waktu yang harus disesuaikan dengan bulan Ramadhan dan masa panen masyarakat. Oleh karena itu, tidak semua grid yang sudah terpilih akhirnya dapat disurvey, ada beberapa grid yang digantikan dengan lokasi lainnya. A. Kalimantan Barat (21) Survey dilaksanakan oleh 9 LSM dan Universitas (PRCF Indonesia, Yayasan Dian Tama, SYLVA pc Untan, Yayasan Titian, AKAR, Yayasan Palung, Riak Bumi, Lembaga Living Indonesia dan FK3I). Sementara WWF‐
KalBar melakukan survey di kawasan Kalimantan Tengah yang jalur masuknya lebih dekat melalui Kalimantan Barat. Gambar 4. Peta kerja dan hasil KWS 2 di Kalimantan Barat. 1. Sambas Hanya ada satu grid (ID 832) yang terpilih mewakili kabupaten Sambas, tepatnya di hutan adat Desa Sabung, Kecamatan Subah. Hutan sekunder yang tersisa terfragmentasi dan tidak ditemukan tanda‐
tanda keberadaan orangutan, padahal sebelumnya (KWS 1) masyarakat masih sempat beberapa kali berjumpa orangutan maupun sarangnya. Sejak 2010 terjadi pembukaan hutan besar‐besaran untuk perkebunan kelapa sawit (paling tidak ada 5 perusahaan) dan transmigrasi (juga membuka hutan untuk program plasma sawit). Di tahun 2010 juga dibuka akses pos lintas batas melalui HL Gn. Senujuh. Perladangan dan perkebunan masyarakat turut menambah tekanan. 2. Bengkayang Blok hutan ID 768 masuk kedalam daerah penyangga Cagar Alam Gn Nyiut (Resort Sanggau Ledo) dari arah Dusun Semadum (Desa Pisak, Kecamatan Tujuh Belas). Kondisi hutan masih sangat baik, landai berbukit dengan tutupan hutan yang rapat dan dominansi Dipterocarpaceae. Namun tidak ditemukan tanda‐tanda keberadaan orangutan, hal ini disebabkan karena adanya kegiatan perburuan satwa liar yang aktif dilakukan masyarakat sejak dahulu hingga kini, bahkan surveyor berjumpa dengan pemburu yang baru saja sukses mendapatkan rusa. Menurut masyarakat, sekitar 10 tahun yang lalu orangutan terakhir ditembak di hutan ini. Namun guide lokal yang mendampingi, terakhir melihat orangutan di hutan ini tahun 1998. Selain perburuan, tekanan lain adalah adanya kemungkinan dibukanya tambang di hutan ini (beberapa perusahaan telah melakukan survey sejak awal 2012). Blok hutan Batang Abek (Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang) tepatnya di utara ID 837‐838 adalah hutan dataran rendah dan sebagian berawa yang kondisinya masih bagus (dijumpainya elang dan terdengarnya suara owa), didominasi Dipterocarpaceae namun tidak dijumpai tanda‐tanda keberadaan orangutan. Selain perburuan satwa liar dan pembalakan liar yang dilakukan masyarakat dari luar, blok hutan ini juga mulai dibuka untuk persawahan masyarakat Dusun Pareh sendiri, dimana setiap KK nya mendapatkan jatah 1 ha. Ancaman berikutnya, seluruh blok hutan ini ternyata telah masuk kedalam HGU perusahaan sawit, walaupun saat ini belum terlihat aktifitas pembukaan lahan oleh perusahaan. Hasil ground check ID 768 dan blok hutan Batang Abek telah mengkonfirmasi hasil KWS 1, bahwasanya memang tidak ditemukan indikasi keberadaan orangutan di wiliayah ini. 3. Landak Ada tiga grid yang mewakili Kabupaten Landak, yaitu ID 740, ID 658 dan ID 630. ID 740 masih satu bentang alam dengan ID 768 yaitu kawasan buffer CA Gn Nyiut. Blok hutan ID 740 masuk dari arah Desa Tengon, Kecamatan Air Besar, hutan berbukit ini kondisinya sudah terfragmentasi sehingga digolongkan sebagai belukar tua walaupun masih ditemukan pohon bengkirai dan pohon kayu lainnya, namun tidak dijumpai tanda‐tanda keberadaan orangutan. Perburuan satwa liar yang telah dilakukan sejak lama dan perambahan telah menjadi ancaman utama keberadaan satwa liar di blok hutan ini. ID 630 adalah blok hutan sekunder berbukit yang sebagian kawasannya sudah masuk kedalam pemukiman Desa Dange Aji, Kecamatan Air Besar. Hasil ground check tidak menjumpai tanda‐tanda keberadaan orangutan di blok hutan ini. Padahal berdasarkan hasil wawancara KWS 1, masyarakat masih mengindikasikan keberadaan orangutan. Sebagian kawasan ini telah menjadi perladangan, perkebunan dan persawahan masyarakat, perburuan satwa liar untuk pemenuhan protein juga menjadi ancaman sejak lama. Ancaman ke depan adanya ekspansi perkebunan sawit oleh perusahaan besar. ID 658 adalah blok hutan berbukit yang sebagian hutannya telah berubah menjadi perkebunan karet dan persawahan Dusun Sengangen, Desa Tahu, Kecamatan Meranti. Tidak dijumpai tanda‐tanda keberadaan orangutan di hutan ini. Ke‐tiga grid ini (bersama ID 768) letaknya memang di sekitar CA Gn Nyiut, namun hasil ground check tidak membuktikan keberadaan orangutan. Kemungkinan jika memang masih ada, orangutan telah menyingkir jauh kedalam inti kawasan. Untuk itu perlu dilakukan ekspedisi terpadu yang waktunya cukup lama untuk membuktikannya. 4. Sanggau Diwakili oleh tiga grid, yaitu ID 460, ID 512 dan ID 564. ID 512 adalah blok hutan sepadan sungai (hutan tersisa 10‐50m di kiri‐kanan sungai Kapuas menuju danau Lait) dengan Desa Lalang dan Desa Subah, Kecamatan Tayan Hilir sebagai dua desa terdekat. Secara umum tutupan kanopi dilokasi survey yang masih berhutan masih cukup baik dengan tajuk antar pohon yang saling menyambung. Di sisa hutan tidak ditemukan indikasi keberadaan orangutan. Menurut masyarakat kemungkinan orangutan dapat dijumpai di grid ID 511 atau 510, karena informasi terakhir hingga tahun 2011 mereka masih menangkap satu orangutan untuk dipelihara dari wilayah tersebut. Kawasan hutan ID 512 ini telah dibuka oleh 3 perusahaan kelapa sawit dan satu perusahaan besar tambang bauksit. ID 564 adalah petak survey yang ternyata sejak tahun 1985 telah menjadi perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh dua perusahaan besar (salah satunya adalah BUMN). Petak ini secara administratif masuk kedalam Desa Tanap, Desa Sebuduh dan Desa Kelompu, Kecamatan Kembayan. Selain kebun sawit milik perusahaan, banyak perkebunan kelapa sawit milik masyarakat atau kelompok tani dengan sistem plasma yang dikelola secara bersama‐sama oleh masyarakat melalui Koperasi Unit Desa (KUD) dengan perusahaan. Kondisi lain selain perkebunan kelapa sawit adalah perkebunan karet milik masyarakat dan persawahan. Berdasarkan informasi masyarakat, orangutan kemungkinan masih dapat dijumpai di HL Bentuang, Hutan Noyan dan Hutan Keraban. ID 460 adalah blok hutan berbukit yang masih baik kondisinya dengan ditandai tajuk yang masih rapat dan dominasi Dipterocarpaceae, namun tidak dijumpai tanda‐tanda keberadaan orangutan di hutan ini, bahkan masyarakat di tiga desa sekitar hutan ini menyatakan terakhir melihat orangutan sekitar tahun ’80‐an. Desa terdekat Melawi Makmur (pemekaran Desa Pampang Dua), Kecamatan Meliau berbatasan dengan Kabupaten Ketapang. Sebagian (kaum tua) masyarakat disini dulu dikenal sebagai pemburu ulung satwa liar, bahkan mereka berburu hingga ke hutan‐hutan di Ketapang. Ancaman lainnya, saat ini kawasan sudah dikuasai 3‐4 perusahaan kelapa sawit dan satu perusahaan tambang bauksit. 5. Ketapang Sebagai kabupaten yang diindikasikan memiliki sebaran orangutan yang terluas, ada enam grid yang mewakili untuk disurvey, yaitu Hutan Kenipai, ID 315, ID 417, ID 420, Beginci Darat dan Senduruhan. Blok hutan Kenipai (letaknya 15 km sebelah barat ID 408) adalah petak survey yang masuk dari Dusun Lelayang dalam wilayah administratif Desa Kualan Hilir dan Desa Sekucing Bulin (pemekaran) Kecamatan Simpang Hulu. Hutan sekunder rawa gambut dan berbukit ini masih didominasi pohon Dipterocarpaceae walaupun sebagian telah menjadi lading dan belukar. Team survey menemukan indikasi keberadaan orangutan berupa satu sarang orangutan (kelas 3) di hutan Kenipai. Masyarakat juga baru saja menembak mati orangutan jantan besar di bulan Agustus 2012 di hutan yang sama, bahkan sebelumnya mereka telah menembak mati satu betina dan melihat tiga individu orangutan lainnya sedang makan buah. ID 315 petak survey yang tepatnya masuk dalam Desa Tanjung Bulang, Kecamatan Tumpang Titi. Menurut informasi dari beberapa masyarakat yang sering berburu disana, mereka sering menjumpai orangutan di Hutan Bukit Lumut dan Bukit Buhan yang juga merupakan jantungnya Hutan Lindung. Pada saat musim buah antara bulan Desember‐Februari masyarakat yang berburu atau mencari madu sering menjumpai orangutan dan sarangnya, akan tetapi karena pada saat survey tidak bertepatan dengan musim buah sehingga tidak ditemukan individu orangutan melainkan hanya 1 sarangnya saja (kelas 3) tepatnya 1 km di utara ID 315. Lokasi in satu hamparan dengan kawasan Hutan Lindung dan Hutan Desa di wilayah yang namanya Bukit Buhan dan daerah Buru Bayan, dimana orangutan sering dijumpai masyarakat sekitar. ID 417 petak survey yang secara administratif masuk dalam Desa Tanjung Maju, Kecamatan Laur. Lokasi ini diapit beberapa desa lain, membuat hutan diwilayah ini semakin menyempit, lokasi yang dikatakan berhutan berada di selatan desa ini dan berada diluar grade ID 417. Hampir 90 % hutan di wilayah ini merupakan perkebunan karet masyarakat. Sejak 10 tahun terakhir masyarakat mulai menambang emas dengan cara tradisional maupun dengan menggunakan mesin. Mata pencaharian masyarakat di desa ini mayoritas memang berkebun karet dan berladang secara berpindah.Team tidak menjumpai tanda‐tanda indikasi keberadaan orangutan di blok hutan yang tersisa. Hal ini juga diperkuat dengan informasi dari masyarakat bahwa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir tidak pernah dijumpai lagi orangutan, alasannya karena selain diburu juga habitat yang ada di wilayah ini sudah tidak sesuai lagi. Berdasarkan informasi warga, kami mengkonfirmasi adanya warga Desa Kenanga (desa yang masuk dalam lokasi survey) yang memelihara satu anak orangutan (Gambar 5). Orangutan ini diperoleh dari seorang pemburu ketika melakukan perburuan babi hutan diwilayah Dusun Cali, Desa Pangkalan Teluk, Kecamatan Nanga Tayap. Gambar 5. Orangutan peliharaan di Desa Kenanga, KWS2_LLI_FORINA 2012. ID 420 petak survey yang secara administratif masuk dalam Desa Kuala Randau, Kecamatan Simpang Hilir. Hutan di wilayah ini sudah dikonversi menjadi perkebunan karet masyarakat. Desa Kuala Randau juga diapit beberapa desa lain, wilayah berhutannya juga sudah menyempit. Hanya pulau‐pulau hutan kecil yang menyebar. Hampir 90 % wilayah ini merupakan perkebunan karet. Areal hutan diwilayah ini juga menjadi konsesi perusahaan kayu di era tahun 1990an. Sekarang wilayah ini telah didominasi oleh tanaman karet dan perladangan berpindah. Mata pencaharian masyarakat di desa ini mayoritas berkebun karet dan berladang secara berpindah. Sejak 10 tahun terakhir masyarakat mulai menambang emas dengan cara tradisional (merekek) maupun dengan menggunakan mesin dan sekarang mereka sudah melakukan cuci blok dalam artian mengulang kembali lokasi yang pernah mereka kerjakan dulu. Team tidak menjumpai tanda‐tanda indikasi keberadaan orangutan di blok hutan ini. Senduruhan Survey dilakukan di hutan Gn Lawang Sui Bahana secara adminidtratif masuk dalam Dusun Perayon, Desa Senduruhan, Kecamatan Hulu Sungai. Hutan berbukit yang masuk dalam kawasan lindung ini masih dalam kondisi bagus walau pernah menjadi kawasan HPH perusahaan dengan dominasi pohon Dipterocarpaceae. Pemburu dari daerah lain secara berkelompok mencari binatang yang mempunyai nilai jual tinggi seperti orangutan dan burung enggang. Team menemukan indikasi keberadaan orangutan berupa 11 sarang orangutan (kelas 3‐4). Beginci Darat Survey dilakukan tepatnya di hutan Desa Lubuk Kakap (hutan Lomonyak), Kecamatan Hulu Sungai. Kawasan hutan berbukit ini masih baik dan masuk kedalam kawasan HPH perusahaan dengan dominasi pohon Dipterocarpaceae. Informasi dari masyarakat, orangutan bisa dilihat pada musim buah beringin dan buah hutan lainnya yaitu di bulan Nopember dan Desember. Di kawasan hutan ini team menemukan indikasi keberadaan orangutan berupa 15 sarang orangutan (kelas 1‐4). 6. Kayong Utara Kabupaten Kayong Utara (KKU) adalah pemekaran dari Kabupaten Ketapang sejak 2004‐2005. ID 326 adalah petak survey yang secara adminisratif masuk kedalam wilayah Desa Pampang Harapan, Desa Harapan Mulia dan Desa Sedahan Jaya, Kecamatan Sukadana. Semua kawasan masuk kedalam buffer zone Taman Nasional Gn Palung, sisa kawasan survey adalah kawasan yang tidak berhutan atau terbuka, banyak persawahan, perkebunan dan perumahan masyarakat. ID 359 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam wilayah Desa Padu Banjar, Kecamatan Simpang Hilir. Petak ini juga bagian dari hutan lindung yang luasnya sekitar 6.000 ha, namun hutannya lebih banyak yang terbuka. Terbuka karena adanya lahan yang dijadikan masyarakat sekitar desa untuk perkebunan buah‐buahan dan pertanian serta gedung walet, termasuk parit jumbo oleh eksavator untuk pembuangan air dari lahan persawahan. Di hutan yang tersisa team menemukan indikasi keberadaan orangutan berupa lima sarang orangutan (kelas 1‐4). 7. Kubu Raya ID 453 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam wilayah Desa Sungai Asam, Kecamatan Sungai Raya. Mayoritas penduduk desa ini adalah etnis Madura yang bermukim setelah kerusuhan etnis tahun 2001. Lokasi ini diapit beberapa desa lain, wilayah berhutannya juga sudah menyempit. 90 % wilayah ini merupakan perkebunan karet dan palawija. Team survey tidak menjumpai indikasi keberadaan orangutan. Menurut informasi, sebenarnya sebelum ada lahan yang dibuka untuk relokasi pengungsi ex kerusuhan social < 3 km dari kampong 10 tahun yang lalu masih dijumpai sarang orangutan. Namun karena sekarang hutan rawa gambut yang ada di sekitar kampung sudah dibuka, maka tidak dijumpai lagi orangutan maupun sarangnya. Masyarakat masih menjumpai orangutan di hutan kecil yang berada di wilayah Sungai Rasau. Berkurangnya wilayah berhutan selain karena untuk pembukaan kebun karet dan perladangan masyarakat, juga dikarenakan 10 tahun terakhir ada perusahaan kayu yang mengekploitasi hutan di wilayah ini. 8. Kapuas Hulu Kabupaten ini diwakili oleh dua grid, yaitu ID 594 dan Setulang ID 594 adalah petak survey yang dikenal sebagai blok hutan Sg Kusen ini berbatasan dengan Kabupaten Sintang, secara administratif masuk dalam wilayah empat Desa yaitu Entipan, Tua Abang, Kenepai Komplek, dan Sekadau, Kecamatan Semitau. Kondisi hutan rawa dan dataran rendah primer. Team tidak menemukan indikasi keberadaan orangutan pada saat survey, hal ini dikarenakan tidak bertepatan dengan musim buah, menurut informasi dari masyarakat yang biasa berladang dan berburu di area sekitar hutan ketika musim buah pada bulan Januari‐Maret, baik sarang dan individu orangutan dapat ditemukan, bahkan sekitar bulan Juni 2012 penduduk setempat pernah menembak orangutan dilokasi Sg Kusen untuk dikonsumsi. Ancaman lainnya adalah mulai ada pembukaan perkebunan sawit. Setulang Survey dilakukan di hutan primer Bukit Sangkuang dekat Dusun Sumpak, Kecamatan Batang Lupar. Team menemukan indikasi keberadaan orangutan berupa 18 sarang orangutan (kelas 1‐3) dan suara dahan patah akibat pergerakan orangutan. Ancaman saat ini lebih pada perburuan satwa liar. Hasil di Setulang telah mengkonfirmasi hasil KWS 1 sebelumnya, berupa ditemukannya sarang orangutan sebagai indikasi keberadaan orangutan di lokasi tersebut. Namun untuk ID 594 sebaiknya perlu ada pengulangan survey kembali pada saat musim buah. 9. Sintang Lokasi yang dituju sebenarnya adalah Desa Kepala Jungai (Kecamatan Nanga Embalau), namun karena keterbatasan transportasi, waktu dan biaya, lokasi Desa Nanga Kemangai (Kecamatan Ambalau) dijadikan alternatif wilayah studi survey orangutan. Kawasan ini berupa hutan sekunder yang dibeberapa tempat sudah menjadi semak belukar dengan kemiringan > 30o. Lokasi ini masih sering dijadikan tempat berburu oleh masyarakat karena masih terdapat rusa, beruang madu, babi hutan dan lain‐lain. Kawasan ini pernah di temukan orangutan oleh masyarakat beberapa tahun yang lalu dan ditembak oleh masyarakat. Tetapi untuk saat ini populasi orangutan di tempat ini sudah semakin berkurang. Team survey juga tidak menemukan indikasi keberadaan orangutan, mungkin dikarenakan tekanan perburuan sehingga mereka jauh masuk kedalam hutan primer. B. Kalimantan Tengah (10) Rekan‐rekan di Kalimantan Tengah melakukan survey terawal, yaitu di minggu ke‐dua bulan Juli 2012. Oleh karena itu, mereka belum dibekali peta grid, karena peta kerja tersebut baru terealisir pada akhir Agustus 2012. Sementara survey harus segera berjalan karena keterbatasan alat dan waktu. Maka ada beberapa grid/ID yang bergeser ke sebelah grid/ID yang seharusnya. Dalam pelaksanaannya survey di Kalimantan Tengah dilakukan oleh Yayasan Orangutan Indonesia (YAYORIN), Orangutan Foundation‐UK (OF‐UK) dan BKSDA SKW II Pangkalan Bun, serta WWF KalBar (spesial berkontribusi untuk wilayah Katingan yang masuk dalam konsesi PT. SBK Nanga Nuak). Gambar 6. Peta kerja dan hasil KWS 2 di Kalimantan Tengah. 1. Kotawaringin Barat ID 088 adalah petak survey berupa hutan sekunder rawa air tawar yang berada di wilayah hutan AURI Pangkalan Iskandar di Desa Sei Tendang (Kampung Raja), Kecamatan Kumai. Kondisi hutan masih cukup baik dan terjaga keamanannya. Team survey menjumpai indikasi keberadaan sarang orangutan sebanyak 13 sarang orangutan (kelas 1‐4). ID 138 adalah petak survey berupa hutan rawa yang terfragmentasi oleh kebun sawit masyarakat dan kebun sawit perusahaan dengan pohon Terantang yang mendominasi hutan yang tersisa. Kawasan ini secara administratif masuk kedalam wilayah Desa Lada Mandala Jaya, Kecamatan Arut Selatan. Team survey menjumpai indikasi keberadaan sarang orangutan berupa dua sarang orangutan (kelas 2) di hutan yang tersisa. 2. Sukamara ID 151 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam Desa Jihing, Kecamatan Balai Riam. Hutannya sekunder dataran rendah dan rawa musiman terdiri dari hutan yang terfragmentasi kebun campuran terdiri dari tanaman alami dan tanaman kebun. Hutan desa saat ini sedang dibuka oleh dua perusahaan perkebunan kelapa sawit dan ada rencana KUD Jihing juga akan membuka perkebunan sawit. Team survey tidak menemukan indikasi keberadaan orangutan di hutan desa yang tersisa. Masyarakat desa menyatakan tidak pernah bertemu orangutan sepanjang hidupnya di hutan desa ini. ID 194 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam Desa Nibung Terjun, Kecamatan Permata Kecubung. Hutan sekunder berbukit dengan mayoritas anakan pohon dan semak, jalur ini terdiri dari hutan kebun campuran dan semak. Hutan ini pernah mengalami kebakaran hebat pada tahun 1997‐1998 dan saat ini ada pembukaan lahan oleh tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit. Team survey tidak menemukan indikasi keberadaan orangutan di hutan desa yang tersisa. Berdasarkan informasi dari warga Desa Nibung Terjun, bahwa orangutan pernah terlihat di hutan‐hutan dekat desa mereka sekitar ± 15 tahun lalu. Mereka menyatakan, di hutan Bukit Arahan yang berjarak ± 11 Km arah utara Desa Nibung Terjun (kemungkinan di ID 227‐228) diperkirakan masih ada orangutan, karena pada tahun 2009 warga pernah berjumpa dengan orangutan di lokasi hutan tersebut. 3. Katingan ID 414 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam Desa Tumbang Kaburai, Kecamatan Katingan Hulu. Hutan sekunder tua berbukit dengan dominasi pohon Dipterocarpaceae ini sebagian besar masuk kedalam wilayah Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, sisanya masuk dalam HPH PT. SBK Nanga Nuak. Team melakukan survey di wilayah HPH PT. SBK Nanga Nuak dan mereka tidak menemukan indikasi keberadaan orangutan. Info masyarakat, mereka juga tidak pernah menjumpai orangutan di luar wilayah Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Masyarakat luar sering datang ke wilayah ini untuk berburu satwa liar. ID 350 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam Desa Penda Nange, Kecamatan Katingan Hulu. Hutan sekunder tua berbukit dengan dominasi pohon Dipterocarpaceae ini masuk kedalam wilayah HPH PT. SBK Nanga Nuak. Team survey tidak menemukan indikasi keberadaan orangutan. Tekanan perburuan satwa liar sangat tinggi, mereka umumnya adalah pemburu dari luar wilayah ini. ID 390 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam Desa Tanjung Batik, Kecamatan Katingan Hulu. Hutan berbukit yang sudah menjadi semak, hutan yang kondisinya agak baik hanya di sepadan Sungai Katingan Hulu, wilayah ini masuk kedalam wilayah HPH PT. SBK Nanga Nuak. Team survey tidak menemukan indikasi keberadaan orangutan. 4. Seruyan ID 233 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam Desa Teluk Bayur, Kecamatan Seruyan Tengah. Hutan sekunder yang sudah terfragmentasi luas menjadi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet masyarakat. Hutan yang masih tersisa di desa Teluk Bayur masih banyak memiliki tumbuhan buah‐buahan yang merupakan sumber makanan bagi beberapa jenis satwa yang masih banyak bisa ditemui didalam hutan tersebut. Satwa yang hidup didalam hutan desa Teluk Bayur masih cukup banyak ditemui, seperti: Kijang, rusa, babi hutan, kera ekor panjang, ayam hutan, burung beo, enggang, murai, dll. Kondisi hutan yang masih memiliki cukup banyak tumbuhan jenis ulin semakin terjepit dikarenakan banyaknya tekanan terhadap hutan tersebut, seperti: penambangan emas liar, perladangan berpindah, pembukaan lahan pertanian, dan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Team survey tidak menemukan indikasi keberadaan orangutan. Info masyarakat terakhir melihat orangutan sekitar empat tahun yang lalu di wilayah ini. 5. Barito Timur ID 267 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam Desa Dayu, Kecamatan Karusen Janang. Sebagaian besar hutan di sekitar Desa Dayu telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit sejak 2010. Adapun hutan yang tersisa adalah hutan yang bercampur dengan kebun‐kebun milik warga. Team survey tidak menemukan indikasi keberadaan orangutan. Berdasarkan informasi dari warga Desa, mereka tidak pernah lagi melihat orangutan di hutan sekitar desa sejak beralih fungsi. Team juga melakukan kunjungan ke Desa sekitar. Kades Murutuwu menyatakan, bahwa ditahun 2007‐2010, masih sering dijumpai orangutan di hutan sekitar desa. Namun untuk saat ini sangat sulit menemukan orangutan, karena hutan‐hutan yang ada telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Kades Desa Pasar Panas juga menyatakan, pada tahun 2005/2006 masyarakat sering bertemu dengan orangutan, bahkan saat terjadi kebakaran besar di tahun 2007 banyak orangutan memasuki kebun‐
kebun warga. Sekitar 16 Km sebelah timur dari Desa Pasar Panas ditemukan satu sarang orangutan (kelas 2) yang terletak di pinggir jalan lintasan batu bara. Lokasi ini masih wilayah Kalimantan Tengah, namun desa tersebut berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Selatan (Kabupaten Tabalong). 6. Pulang Pisau ID 077 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam Desa Buntoi, Kecamatan Maliku. Hutan sekunder rawa gambut ini sudah terfragmentasi oleh perkebunan karet masyarakat dan bekas kebakaran. Team survey tidak menemukan indikasi keberadaan orangutan di hutan yang tersisa, tapi masih menjumpai kijang, rusa, babi hutan, dan monyet ekor panjang. Berdasarkan informasi masyarakat, hutan yang masih baik dan kemungkinan masih dihuni orangutan berada sekitar ± 17 kilometer kearah barat yang berbatasan langsung dengan TN Sebangau. C. Kalimantan Timur (5) Survey ground check KWS 2 di Kalimantan Timur baru dijalankan diakhir bulan Oktober 2012. Survey dilakukan oleh satu lembaga yaitu ECOSITROP PPHT Universitas Mulawarman, Samarinda. Gambar 7. Peta kerja dan hasil KWS 2 di Kalimantan Timur. 1. Kutai Kartanegara ID 487 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam Desa Mulawarman, Kecamatan Tenggarong Sebrang. Habitat lokasi pengamatan merupakan hutan sekunder dengan tutupan kanopi 40 – 50% dan vegetasi dominan jenis Gmelina arborea sisa penanaman eks Perusahaan HTI. Terdapat juga semai dan pancang dari tumbuhan hutan yang diprediksi tersebarkan oleh burung dan mamalia seperti ficus obscura, Macaranga gigantea dll. Kawasan ini masuk kedalam HGU perusahaan tambang besar dan sebagian besar sudah dieksplorasi batubaranya. Team survey menjumpai indikasi keberadaan sarang orangutan di pinggiran sisa‐sisa hutan, sebanyak tiga sarang orangutan (kelas 3‐4). Melihat hasil diprediksi bahwa orangutan di grid ini hanya terdiri dari beberapa orangutan saja yang terjebak di kantung‐kantung hutan eks‐HTI. ID 445 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam Desa Lebahu Ulak, Kecamatan Kota Bangun. Habitat lokasi pengamatan sebagian besar merupakan kebun sawit. Lokasi ini dilintasi jalan poros Tenggarong – Kota bangun. Hampir sepanjang jalan merupakan semak belukar dan hutan sekunder muda. Selain itu juga terdapat kebun karet dan durian masyarakat dan areal penggemukan sapi. Terdapat kantung‐kantung hutan didalam areal perkebunan sawit dengan luasan sekitar 1‐2 ha, akan tetapi tidak dijumpai adanya sarang orangutan. ID 544 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam Desa Sedulang, Kecamatan Muara Kaman. Habitat lokasi pengamatan merupakan hutan sekunder bersemak, sebagian merupakan rawa air tawar. Lokasi ini terbagi oleh jalan baru yang menghubungkan jalan poros Samarinda‐Busang dan Desa Sedulang. Jalan ini dibuat dengan menimbun rawa setinggi 1 meter. Tutupan hutan sekunder yang terfragmentasi hanya di utara lokasi ini yang terbagi menjadi dua bagian besar habitat yaitu hutan sekunder dan perkebunan sawit. Team survey di hutan sekunder ini menjumpai 21 sarang orangutan (kelas 1‐4), artinya diprediksi keberadaan orangutan masih berada di sekitar areal ini. 2. Kutai Timur ID 693 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam Desa Mugi Indah (SP2), Kecamatan Batu Ampar. Habitat lokasi pengamatan merupakan areal eks‐HPH perusahaan besar yang sudah tidak aktif selama ± 2 tahun. Setelah perusahaan HPH ini tutup masyarakat sekitar perusahaan maupun luar perusahaan masuk melakukan kegiatan illegal logging. Selama pengamatan terlihat juga kelompok illegal logger dari luar Kalimantan. Secara keseluruhan habitat di kawasan ini terbuka karena aktivitas illegal logging. Vegetasi lokasi pengamatan didominasi oleh tumbuhan pioneer yang ditutupi oleh liana akibat pembukaan hutan secara besar‐besaran seperti Macaranga gigantea, Macaranga hoseii dll. Selain tumbuhan pioneer terdapat juga jenis komersil seperti Shorea sp dan Eusideroxylon zwageri (Ulin). Jenis Ulin ini terlihat masih cukup banyak terlihat dari jalur pengamatan, terbukti dengan banyaknya illegal logger yang berada di areal tersebut. Team survey menemukan indikasi keberadaan orangutan berupa satu sarang orangutan di pinggir jalan (8 km selatan grid namun masih satu hamparan hutan sekunder yang terfragmentasi) menuju lokasi dan satu sarang lainnya didalam lokasi (kelas 4). 3. Berau ID 866 adalah petak survey yang secara administratif masuk kedalam Desa Talisayan (SP4), Kecamatan Talisayan. Habitat lokasi pengamatan merupakan areal hutan lindung dengan tutupan vegetasi 70 – 80 %. Hutan ini merupakan gugusan karst dengan kondisi hutan yang masih sangat bagus. Bukaan untuk ladang dan illegal logging masih sangat kecil. Komposisi tumbuhan masih lengkap, mulai dari semai, pancang maupun tingkat pohon didominasi oleh tumbuhan hutan primer seperti Shorea sp, Ficus pencekik, Eusideoxylon zwageri dan jenis tumbuhan khas hutan primer Kalimantan lainnya. Selama pengamatan tidak dijumpai adanya indikasi keberadaan orangutan. Informasi dari lurah setempat bahwa warganya yang berprofesi sebagai pencari burung pernah berjumpa dengan orangutan dengan jarak 4 hari perjalanan dari desa. Lokasi informasi ditemukannya orangutan diprediksi ada di wilayah Kutai Timur. Gambar 8. Peta hasil survey KWS 2. IV. Diskusi Team survey KWS 2 telah melakukan ground check total di 36 grid/lokasi dengan total panjang transek 268,98 km. Dari hasil survey ini, hanya 11 grid/lokasi (30,5%) yang membuktikan keberadaan orangutan berdasarkan temuan sarang orangutan dengan kelas sarang yang variatif (kelas 1‐4). Namun, pada kenyataannya semua grid/lokasi yang terpilih memang tidak selalu merupakan hasil positif informasi dari KWS 1. Tabel 1. Resume hasil KWS 2. Total transek (km) Total lokasi/ID Konfirmasi ADA Konfirmasi TIDAK ADA Kalimantan Barat 171,05 21 6 15 Kalimantan Tengah 57,667 10 2 8 Kalimantan Timur 40,2 5 3 2 Dari hasil verifikasi lapangan mengenai potensi sebaran baru orangutan berdasarkan informasi dari survey KWS 1 (wawancara), tidak semua grid/lokasi mewakili data KWS 1 (satu grid di Kalimantan Barat dan dua grid di Kalimantan Timur). Namun secara keseluruhan dari yang terwakili (total 33 grid/lokasi), tujuh grid di Kalimantan Barat dan empat grid di Kalimantan Tengah (33,33%) menunjukan hasil yang tidak sesuai dengan hasil KWS 1. Ke‐11 grid ini yang semula memberikan informasi positif keberadaan orangutan, ternyata setelah dilakukan ground check (KWS 2), team survey tidak menemukan indikasi keberadaan orangutan di lokasi tersebut. Berbagai penjelasan dapat disampaikan, mulai dari (1) adanya perubahan fungsi hutan sebagai habitat orangutan menjadi a. perkebunan kelapa sawit (perusahaan) yang pembukaannya dilakukan sejak tahun 2009 di dua lokasi di Sanggau (ID 512 dan 564) dan satu lokasi di Sambas (ID 832) Kalimantan Barat dan di Barito Timur (ID 267) serta di Seruyan (ID 233) di Kalimantan Tengah, b. pemekaran desa mengakibatkan pembukaan hutan untuk dijadikan perkebunan karet dan perladangan masyarakat, seperti di Ketapang (ID 417) Kalimantan Barat, c. selain perkebunan kelapa sawit tetapi juga tekanan illegal logging dan perburuan, seperti di Kapuas Hulu (ID 594); atau bahkan (2) adanya kekeliruan pemahaman informasi keberadaan orangutan di KWS 1 mengenai posisi sebenarnya keberadaan orangutan, seperti di dua lokasi di Sukamara (ID 151 dan 194) Kalimantan Tengah yang ternyata posisi keberadaan orangutan itu jauh 10‐20 km ke utara, kemudian di Landak (ID 630) Kalimantan Barat daerah penyangga Cagar Alam Gn Nyiut karena adanya tekanan perburuan yang tinggi sejak dahulu, kemungkinan keberadaan orangutan memang sudah sulit untuk dijumpai dan jikapun masih ada, keberadaannya sudah semakin masuk jauh kedalam zona inti (perlu pembuktian survey yang komperhensif) dan di Kayong Utara (ID 326) Kalimantan Barat, bahwa hanya bagian grid yang menjadi wilayah hutan Taman Nasional Gn Palung yang dihuni oleh orangutan, diluar itu tidak lagi karena sudah menjadi pemukiman, sawah, kebun karet bahkan rumah‐rumah walet. Hasil ground check ini juga memperbaharui informasi tentang sebaran orangutan di Kalimantan. Tidak hanya mendapatkan data tentang lokasi baru sebaran orangutan namun juga daerah mana saja yang populasinya sudah punah (konfirmasi hasil KWS 1). Namun untuk mengetahui jumlah sebaran pastinya, jelas survey detail sangat diperlukan, apalagi karena sebagian besar sarang orangutan yang dijumpai umumnya sudah dikelas 3‐4 (Gambar 9), yang artinya keberadaan orangutan di lokasi tersebut sudah lebih dari 2 bulan (ke
elas 3) hinggga 1‐2 tahun
n (kelas 4) yang lalu (Maathewson etaal, 2008). Arrtinya, orangutan
n yang diindiikasikan kebeeradaannya oleh o
team su
urvey, sebagian besar, keemungkinan sudah s
bergerak ke daerah laainnya (musim buah) ataau bahkan su
udah menjadi korban perrburuan atau
u land clearing p
perusahaan. A
Apalagi melih
hat kondisi haabitatnya yan
ng sebagian b
besar adalah hutan yang ssudah terfragmeentasi akibat konversi dan
n semakin meemudahkan aakses perburu
uan. Atau, kaarena lebih m
mudah mendetekksi/melihat keberadaan saarang kelas 3 3 yang warnaa sarangnya sudah coklatt semua, seh
hingga lebih mud
dah terlihat d
di hutan yangg didominasi warna hijau dibandingkan dengan sarrang kelas 1 (daun hijau sem
mua), sarang kelas 2 (bagiian atas sudaah mulai cokklat, tetapi baagian bawah masih hijau)), dan sarang kelas 4 (hanya ttinggal rantin
ng penyangga) (Wich dan B
Boyko, 2011). 60
50
40
30
Sarang
20
10
0
kelas 1 kelas 2
kelas 3
kelas 4
9. Persentase
e kelas sarangg (n = 91) yangg dijumpai paada KWS 2. Gambar 9
Luasan haabitat orangu
utan dapat diiperkirakan dari d hasil survvey ini karena menggunakkan grid yangg luas 2
masing‐m
masing grid 50
0 km , kemam
mpuan okupan
nsi (patch occcupancy) habitat oleh oran
ngutan di lanssekap multifunggsi ini sebetulnya dapat diprediksi. Jikaa kita berasumsi bahwa jaalur yang dip
pakai untuk survey dapat mewakili kondissi grid/lokasi, survey ini tellah membukttikan bahwa m
memang ada 11 x 50 km2 = 550 ngutan kalimaantan baru yaang telah dikkonfirmasi. Naamun kita tetap harus beerhati‐
km2 luas sebaran oran
hati dalam perhitungannya, sebab tidak semua kondisi habitat h
sama walaupun masih m
dalam
m satu grid/lokassi. Seperti yaang sudah disampaikan d
sebelumnya,, banyak grid
d/lokasi ditemukannya sarang orangutan
n sudah dalam kondisi habitat yang teerdesak (hutan yang terfraagmentasi cukup parah), b
bukan hutan priimer yang lu
uas. Bahkan di d hutan prim
mer pun, bukan menjadi jaminan dijumpainya indikasi keberadaan orangutan. Peta land cover Kalimantan yang digunakan untuk survey ini, juga hanya dari tahun 2009. Padahal hasil diatas sudah membuktikan adanya perubahan tutupan lahan sejak tahun 2009 yang berkontribusi langsung dengan tidak ditemukannya indikasi keberadaan orangutan, walaupun sejarahnya ada. Identifikasi faktor‐faktor dilapangan yang akan mempengaruhi capaian target peningkatan 3% populasi berdasarkan target CBD 2020, sudah cukup jelas. Keberadaan populasi orangutan, terutama 78% yang berada di luar kawasan konservasi di Kalimantan, semakin nyata terdesak (menurun). Beberapa grid/lokasi survey ini juga merupakan buffer dari kawasan konservasi (CA Gn Nyiut, TN Gn Palung, TN Bukit Baka Bukit Raya). Hasil ini juga memperlihatkan adanya tekanan nyata bagi kelangsunga hidup populasi orangutan di dalam kawasan konservasi. Semua ini akibat perubahan fungsi hutan dari habitat orangutan menjadi perkebunan, pertambangan, dan ladang. Keberadaan mereka di kawasan yang memang diperuntukan baik untuk HP, HPT bahkan APL cepat atau lambat akan kalah bersaing. Namun hal ini bukan artinya terus membiarkan saja. Terutama karena fungsi keberadaan orangutan di habitatnya yang sangat membantu ekosistem maupun masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, pembangunan berkelanjutan yang digaungkan pemerintah hendaknya dapat mengatasi masalah ini. Bahkan di Rencana Aksi Strategi Konservasi Orangutan Indonesia (2007‐2017), sudah banyak dijabarkan klausul‐klausul yang disarankan dapat menangani masalah ini. Antara lain dalam Tata Ruang pemerintah daerah dan pusat yang berkaitan dengan pemberian ijin pembukaan hutan, kemudian juga pendekatan BMP (Better Management Practices) bagi perusahaan‐perusahaan terutama yang memang masih dijumpai keberadaan orangutan di HGU nya. Adanya komitmen nyata di lapangan dari semua pihak, termasuk penegak hukum maupun kebijakan‐kebijakan yang mendukung konservasi, mutlak dilaksanakan. IV. Kesimpulan 1. Hanya 11 grid/lokasi (30,5%) dari KWS 2 yang membuktikan keberadaan orangutan berdasarkan temuan sarang orangutan dengan kelas sarang yang variatif (kelas 1‐4). Namun, pada kenyataannya semua grid/lokasi yang terpilih memang tidak selalu merupakan hasil positif informasi dari KWS 1. 2. Ada 11 grid/lokasi yang berdasarkan hasil KWS 1 ada orangutan, namun konfirmasi KWS 2 (ground check) menunjukkan hasil tidak ditemukannya indikasi keberadaan orangutan. Adanya perubahan fungsi lahan sejak 2009, tekanan ancaman akibat pemekaran desa (kebutuhan lahan), semakin mudahnya akses perburuan (akibat perubahan fungsi hutan) dan adanya kekeliruan pemahaman informasi keberadaan orangutan di KWS 1, ditenggarai menjadi penyebab tidak terkonfirmasinya hasil KWS 1. 3. Hasil ground check ini juga memperbaharui informasi tentang sebaran orangutan di Kalimantan. Tidak hanya mendapatkan data tentang lokasi baru sebaran orangutan namun juga daerah mana saja yang populasinya sudah punah (konfirmasi hasil KWS 1). 4. Walaupun luasan habitat orangutan dapat diperkirakan dari hasil survey ini melalui perhitungan patch occupancy berdasarkan luasan grid 50 km2/grid, namun kita tetap harus berhati‐hati dalam perhitungannya, sebab tidak semua kondisi habitat sama walaupun masih dalam satu grid/lokasi. Peta land cover Kalimantan yang digunakan untuk survey ini, juga hanya dari tahun 2009. Padahal hasil diatas sudah membuktikan adanya perubahan tutupan lahan sejak tahun 2009. 5. Adanya tekanan berupa perubahan fungsi hutan dari habitat orangutan menjadi perkebunan, pertambangan, dan ladang termasuk akses perburuan satwa liar, serta minimnya penegakan hukum tidak hanya di luar kawasan konservasi, namun juga di daerah penyangga kawasan konservasi adalah faktor‐faktor dilapangan yang teridentifikasi akan mempengaruhi capaian target peningkatan 3% populasi berdasarkan target CBD 2020. V. Rekomendasi 1. Persiapan survey, terutama pengadaan peta survey berikut informasi lokasi/lapangan yang terbaru sangatlah krusial dalam suksesnya survey di lapangan. Informasi (peta) ini sangat diperlukan mulai sejak workshop, penentuan lokasi kerja, pembuatan budget dan implikasi di lapangan. 2. Jumlah alat survey yang minim (yang seharusnya juga dibantu oleh pihak TNC), juga telah mempengaruhi kelancaran survey. 3. Memanfaatkan hasil KWS 2 ini untuk masukan bagi (1) Pemda (Provinsi, Kabupaten, Kota) dalam membuat kebijakan terutama dalam kaitannya dengan Tata Ruang serta pemberian ijin penggunaan lahan (untuk perkebunan, pertambangan, dsb) untuk melindungi sisa habitat beserta populasi orangutan yang ada; (2) penegak hukum, terkait dengan maraknya perburuan akibat dari pembukaan hutan, termasuk penegakan hukum bagi perusahaan yang terlibat dalam perburuan satwa liar dilindungi atau melakukan land clearing dengan api. 4. Perlunya ground check grid/lokasi lain, terutama grid/lokasi disekitar atau satu bentang alam dengan grid/lokasi yang telah disurvey dan diinformasikan keberadaan orangutan yang tersisa. 5. Menindak lanjuti survey ground check ini dengan survey populasi. Daftar Pustaka Chen F‐C dan Li W‐H, Genomic divergences between human and other hominoids and the effective population size of the commom ancestor of humans and chimpanzees. Am.J.Hum.Genet, 2001. 68: p. 444‐456. Delgado R dan van Schaik CP, The behavioral ecology and conservation of the orangutan (Pongo pygmaeus): A tale of two islands. Evol. Anthrop, 2000. 9: p. 201‐18. Groves, C. P. 2001. Primate taxonomy. Smithsonian Institution Press. Washington, DC. Mathewson, P.D., Evaluating orangutan census techniques using nest decay rates: Implications for population estimates. Ecological Applications, 2008. 18(1): p. 208‐221. Meijaard, E., et al., Unexpected Ecological Resilience in Bornean Orangutans and Implications for Pulp and Paper Plantation Management. PloS one, 2010. 5(9): p. e12813. Singleton, I., et al., Orangutan Population and Habitat Viability Assessment: Final Report. 2004: IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, MN. Warren, K.S., et al., Speciation and intrasubspecific variation of Bornean orangutans, Pongo pygmaeus pygmaeus. Molecular Biology and Evolution, 2001. 18: p. 472‐480. Wich, S.A., et al., Distribution and conservation status of the orang‐utan (Pongo spp.) on Borneo and Sumatra: how many remain? Oryx, 2008. 42(03): p. 329‐339. Wich dan Boyko, Which factors determine orangutan nest' detection probability along transects? Tropical Conservation Science, 2011. 4 (1): p. 53‐63. Wikramanayake, E., et al., Designing a conservation landscape for tigers in human‐dominated environments. Conservation biology, 2004. 18: p. 839‐844. LAMPIRAN Tabel 1. Jadwal survey KWS 2 dan hasil survey: hijau = ada sarang orangutan, merah = tidak ada. Institusi Kalimantan Barat Y Dian Tama Y Palung Lokasi (Kabupaten) Ketapang Ketapang AKAR Kayong Utara Kayong Utara Ketapang Ketapang PRCF Bengkayang Landak Riak Bumi Sanggau Y Titian Kapuas Hulu Sintang SYLVA Kapuas Hulu Sambas Sanggau Sanggau FK3I Landak Landak Bengkayang LLI Ketapang Ketapang Kubu Raya Kalimantan Tengah YAYORIN Sukamara Sukamara Barito Timur BKSDA SKW II P Seruyan ID Senduruhan Beginci Darat 359‐Padu Banjar 326‐
Pampang Htn Kenipai 315‐Tj Bulang 768‐
Bengkilu 740‐Tengon Pelaik 460‐
Pampang Dua Setulang Nanga Kemangai 594‐Selupai 832‐
Keraban 512‐Lalang 564‐
Semayang 630‐Dange Aji 658‐Tahu Semunying Jaya 417‐Tj Maju 420‐Kuala Randau 453‐Sg Asam 151‐Jihing 194‐Nibung Terjun 267‐Dayu 233‐Tlk Bulan Jul 2 3
4
Agt 1 2 Sep 2 3
4
Okt 1 2 3 4 Nov 1 2
Bun OF‐UK WWF‐KalBar Pulang Pisau Kotawaringi
n Barat Kotawaringi
n Barat Katingan Katingan Kalimantan Timur UNMUL Katingan Kutai Kartanegara Kutai Kartanegara Kutai Kartanegara Berau Kutai Timur Bayur 077‐Buntoi 138‐Lada Mandala 088‐Kp Raja 350‐Penda Nange 414‐Tbg Kaburai 390‐Tj Batik 544‐
Sedulang 445‐Lebahu Ulak 487‐
Mulawarma
n 866‐SP4 Talisayan 693‐SP2 Mugi Indah Tabel 2. Daftar nama coordinator dan surveyor KWS 2. No. Lembaga Surveyor Kontak Email Kalimantan Barat Koordinator FOKKAB 1 PRCF‐Indonesia 2 Yayasan Dian Tama 3 Yayasan Palung 4 Sylva UNTAN 5 AKAR 6 Yayasan Titian 7 FK3I Albertus Tjiu 0812‐5624019 [email protected]
Imanul Huda 0811‐572003 [email protected]
Barian C. Wawan P Priyono 0812‐57115808 [email protected]
Marianus Abeng Tri Nugroho 0856‐50861276 [email protected]
Herry Handoko Agusti Randi 0856‐54545949 [email protected]
Andika M. Syukur W Putra 0812‐53255586/0857‐53534045 [email protected]
Aspariman Rangga Irawan 0856‐54585226 0813‐52500087/0857‐50014901 [email protected]
Heriyadi 0852‐52239881 M. Syamsuri 0813‐45277282 [email protected]
Baruni Hendri 0852‐52130044 8 Riak Bumi Denny O Bakara 0852‐45008998 [email protected]
Jem Sami 0852‐45682400 Yadi Purwanto 0852‐45670963 [email protected]
Muh. Sidiq I Khadaffi 0857‐51479299 Mukhlis/Kekeng 0852‐45737406 Kalimantan Tengah Chairul Saleh 0811‐102902 [email protected]
Koordinator Iman Sapari 0815‐86197302 [email protected]
Andiko S Pamungkas 0852‐35606436 Ahmad Fauzi 0853‐45787373 Binsar Togatorop 0852‐49308580 [email protected]
Muda Yulivan 0853‐90373183 Uduk 0813‐48535850 [email protected]
Kalimantan Timur ECOSITROP PPHT Koordinator UNMUL ECOSITROP PPHT 1 UNMUL Dian Hardadi Yaya Rayadin 0813‐47639693 [email protected]
Nur Qomari 0852‐50251004 Hendra Masrun 0852‐50406773 Ari Meididit 0813‐11129922 9 LLI 10 WWF‐Kalimantan Barat YAYORIN 1 YAYORIN 2 BKSDA SKW II 3 OF‐UK 
Download