ALIH KODE, CAMPUR KODE, DAN INTERFERENSI

advertisement
Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011
ALIH KODE, CAMPUR KODE, DAN INTERFERENSI YANG TERJADI DALAM
PEMBICARAAN BAHASA INDONESIA DAN BAHASA MELAYU TERNATE
(Tinjauan Deskriptif Terhadap Anak-anak Multikultural Usia 6-8 Tahun Di Kelas II SD
Negeri Kenari Tinggi 1 Kota Madia Ternate)
Oleh: Rijal Muharam
ABSTRAK
Alih kode, campur kode, dan interferensi yang terjadi dalam pembicaraan bahasa Indonesia dan
bahasa Melayu Ternate anak-anak multikultural disebabkan karena. Pertama, bahwa anak-anak
dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya cepat terpengaruh oleh bahasa masyarakat
setempat. Karena, kontak bahasa yang dilakukan oleh anak-anak itu secara bertahap akan
mempengaruhi daya nalar anak dan anak-anak akan cenderung menggunakan setiap kata-kata
yang telah diperolehnya bahkan tanpa batas waktu tertentu anak-anak bisa dan dapat menghafal
setiap kosakata bahasa Melayu setempat. Kedua, bahwa alih kode, campur kode, dan interferensi
yang terjadi dari bahasa Indonesia ke bahasa Melayu Ternate merupakan hal yang baru untuk
diteliti dan penelitian ini merupakan penelitian pertama tentang pengaruh bahasa Melayu Ternate
ke bahasa Indonesia. Karena, penelitian-penelitian terdahulu hanya meneliti tentang bahasabahasa daerah yang ada di Provinsi Maluku-Utara, dan itupun digabungkan dengan rekamanrekaman sejarah masa lalu. Ketiga, di lihat dari hasil penelitian yang ada. Maka, pengguna bahasa
yang memakai bahasa Melayu Ternate kurang lebih 65% menandakan sebuah angka yang cukup
signifikan untuk dapat dikatakan bahwa: anak-anak sekolah dasar masih cenderung menggunakan
bahasa Melayu Ternate sebagai bahasa pengantar dan pergaulan tanpa mengenal kondisi atau
konteks berbahasa. Keempat, untuk pelaksanaan penelitian ini ada berbagai faktor yang menjadi
kendala. Faktor tersebut adalah faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor pendukung
adalah siswa atau anak-anak multikultur masih dapat menggunakan bahasa Indonesia dan
mengerti akan setiap ucapan dalam bahasa Melayu Ternate karena ada kesamaan atau kemiripan
kosakata. Faktor penghambat adalah sebagai kalangan minoritas anak-anak lebih cenderung
menggunakan bahasa Melayu Ternate tanpa adanya sebuah kontrol.
Kata kunci: alih kode, campur kode
PENDAHULUAN
Salah satu bagian dari daerah di Indonesia yang memiliki khasanah masyarakat yang
majemuk dan multikultur yaitu Kota Ternate yang secara hukum pemerintahan berada dalam
wilayah Provinsi Maluku-Utara. Dalam rute perdagangan, Ternate memiliki andil dan peranan
yang cukup besar kala itu. Khususnya, di kawasan timur Nusantara setelah runtuhnya Majapahit
dan Sriwijaya. Jauh sebelum rute perdagangan ini diketahui oleh bangsa-bangsa Eropa, kota
Ternate telah didatangi oleh pedagang-pedagang Asia sendiri. Antara lain: Bangsa Arab, Persia,
Gujarat dan Cina dan juga pedagang-pedagang dari Negeri Melayu sendiri yang turut meramaikan
jalur perdagangan rempah-rempah seperti: Pedagang dari Jawa Timur (Tuban dan Gresik),
Pedagang dari Jawa Tengah ( Demak dan Pekalongan), serta Pedagang dari Jawa Barat (Cirebon
dan Banten). Sedangkan dari Sumatra banyak didominasi oleh pedagang-pedagang dari pesisir
pantai Perlak, Malaka, Aceh, dan Palembang. Tidak ketinggalan Pedagang dari Sulawesi yang
turut andil melakukan interaksi dagang seperti: suku Bugis dan Makasar bahkan suku Bajo atau
lebih dikenal dengan orang laut telah meramaikan rute perdagangan ini. Pada periode selanjutnya
ISSN 1412-565X
197
Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011
tepat sekitar abad ke XV barulah bangsa eropa mulai menemukan bandar Ternate. Sebut saja,
Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris yang sempat merasakan sepak terjang perdagangan
rempah-rempah.
Dari uraian di atas dapat digambarkan bagaimana situasi interaksi dengan dunia luar yang
telah terjadi ratusan tahun lalu dan telah membentuk keberagaman dan kemajemukan pada
masyarakat Ternate dengan berbagai latar belakang etnik, ras, suku, dan agama yang berbeda.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa budaya Melayu di Indonesia Timur telah mengakar di MalukuUtara sangat kuat. Dari sini juga akan memberikan suasana dan kondisi sosiolinguistik yang
menarik untuk diuraikan serta diklasifikasi berdasarkan pengetahuan serta persiapan-persiapan
yang didukung dengan berbagai literatur yang sangat komperensif dan terstruktur.
Akulturasi kebudayaan serta munculnya komunitas imigran dapat ditemukan dalam bentuk
pemukiman-pemukiman penduduk yang ada di Kota Ternate. Pusat pemukiman-pemukiman itu
berada tepat di pinggiran-pinggiran pusat kota serta ada juga yang berada tepat di tengah-tengah
kota yang merupakan pusat niaga dan juga pusat perbelanjaan baik yang bersifat moderen dan
tradisional. Pemukiman- atau perkampungan ini dinamai oleh masyarakat Ternate sesuai dengan
asal daerahnya masing-masing. Contohnya: kampung Palembang yang berada tepat di bagian
selatan pusat perbelanjaan Ternate Maal, kampung Arab atau lebih dikenal dengan kampung
Tengah berada tepat pada bagian barat pusat perbelanjaan Ternate Maal dan kampung arab ini
kalau dipantau secara keseluruhan maka letaknya tepat ditengah pasar moderen dan pasar
tradisional. Ada juga kampung Cina yang bersebelahan dengan kampung Arab, namun posisi
kampung Cina ini berada tepat disamping kiri kampung Arab atau posisinya dibagian selatan
kampung Arab. Kebanyakan mereka para imigran Cina yang telah beranak-pinak layaknya
masyarakat pribumi dapat dikatakan, menguasi roda perekonomian yang ada di kota Ternate.
LANDASAN TEORETIS
1. Bilingualisme (kedwibahasawan) dan Bagian-bagiannya.
Istilah bilingualisme (inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga
kedwibahasawan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan
bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara
sosiolinguistik secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh
seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12,
Fishman 1975:73).
Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua
bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat BI), dan yang kedua
adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduannya (disingkat B2).Orang yang dapat
menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga
dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas
(dalam bahasa Indonesia juga disebut juga kedwibahasawan). Selain istilah bilingualisme dengan
segala penjabarannya ada juga istilah multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga
keanekabahasawan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
198
ISSN 1412-565X
Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011
Mackey (1956:155) mengatakan kedwibahasawan adalah pemakaian yang bergantian
dari dua bahasa.Merumuskan kedwibahasawan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau
lebih oleh seseorang (the alternative use of two or more languages by the same individual).
Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasawan dilihat dari segi
penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat
ketrampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.
Haugen (1968:10) berpendapat kedwibahasawan adalah tahu dua bahasa.Jika diuraikan
secara lebuh umum maka pengertian kedwibahasawan adalah pemaakaian dua bahasa secara
bergantian baik secara produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau oleh
masyarakat.Kedwibahasawan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup
mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.
Bloomfield (1958:56) menjelaskan bahwa: kedwibahasawan merupakan kemampuan
untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan
kedwibahasawan sebagai penguasaan yang sama baiknya atas dua bahasa atau native like control
of two languages. Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti
penutur asli sangatlah sulit diukur.
2. Interferensi dan Pengertiannya
Dwibahasawan melakukan interferensi dari satu bahasa kebahasa lain ketika komunikasi
berlangsung, baik lisan maupun tulisan. Martinet (Badudu, 1985:170) mengatakan bahwa hanya
orang „jenius‟ saja yang mampu menggunakan dua bahasa atau lebih tanpa terjadi pada dirinya
gejala yang disebut interferensi bahasa.
Pendapat Briere tersebut senada dengan pendapat yang diungkapkan oleh Denish Girard
(1972:570). Ia mengumakakan bahwa bahasa kedua yang mirip dengan bahasa ibu atau bahasa
pertama dapat menumbulkan peluang untuk dicampuradukan. Pencampuradukan dua bahasa
inilah yang menimbulkan gejala interferensi. Menurut Oksaar (1975: 65) jumlah interferensi
antara dua bahasa yang serupa lebih besar daripada dua yang berbeda.
Interferensi adalah:
The errors by carrying over the speech habits of the native language or dialect into a
second language or dialect. (Hartman dan Stork 1972:115).
(= kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau
dialek ibu ke dalam bahasa atau dialek kedua).
Dengan berpatokan pada pendapat Hartman dan stork Alwasilah (1990:131) memandang
interferensi sebagai kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kebiasan-kebiasan ujaran bahasa
atau dialek ibu kedalam bahasa atau dialek kedua. Selanjutnya, Alwasilah menyatakan bahwa
interferensi bisa terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosa kata,dan makna bahkan budaya baik
dalam ucapan maupun tulisan terutama ketika seorang sedang mepelajari bahasa kedua.
Pernyataan ini menggambarkan bahwa interferensi dapat terjadi pada semua lapisan bahasa ketika
seseorang melakukan kegiatan berkomunikasi atau ketika berbicara. Baik lisan, maupun tulisan.
Untuk mengetahui seluk beluk tentang interferensi dari beberapa pakar atau ahli bahasa
yang ada. Maka, kami akan munguraikan pendapat Rusyana. Rusyana (1984:54) merumuskan
defenisi interferensi sebagai penggunaan unsur-unsur yang termasuk ke dalam bahasa ketika
berbicara atau menulis dalam bahasa lain. Lebih luas lagi, Rusyana menyatakan bahwa
ISSN 1412-565X
199
Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011
interferensi bisa mencakup 3 aspek, yaitu: (1) Penggunaan unsur-unsur yang termasuk kedalam
suatu bahasa waktu berbicara atau menulis dalam bahasa lain; (2) Penerapan dua buah sistim
secara serempak kepada suatu unsur bahasa; atau (3) Akibatnya berupa penyimpangan dari
norma masing-masing bahasa yang terjadi dalam tuturan penutur dwibahasawan.
3. Berbicara Bahasa Indonesia.
Berbicara dikategorikan sebagai keterampilan berbahasa yang bersifat produktif.
Keterampilan ini dapat diwujudkan dalam bentuk berpidato, presentasi makalah, melakukan
wawancara, berbicara monolog, ceramah khotbah, dan deklamasi. Bentuk-bentuk kegiatan ini
sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Gagasan, pikiran, dan perasaan manusia
diekspresikan kepada pihak lain, diantaranya, melalui keterampilan ini. Jika seseorang tidak mahir
berbicara maka orang lain akan mengalami kesulitan dalam memahami gagasan atau buah
pikirannya. Seseorang yang melamar pekerjaan, kemudian dia diwawancarai tentang pengetahuan,
kemampuan, dan pengalaman yang berkaitan dengan dunia kerjanya, tetapi dia
mengungkapkannya secara tidak sistematis, berbelit-belit, dan terbata-bata, tentu saja dia akan
gagal dalam wawancara itu.
Orang memang harus berbicara dalam berbagai situasi, tetapi dengan sendirinya orang
tidak bisa asal bicara dalam berbagai kesempatan dan dalam berbagai situasi. Ini berarti,
seseorang yang berbicara dituntut oleh ekologi bahasa untuk berbicara dengan asas kesantunan
berbahasa. Dengan sendirinya, pembicara dituntut oleh aturan-aturan dan syarat-syarat yang harus
dipenuhi. Tentu saja, seseorang tidak mungkin berbicara dengan anggota tubuh yang kaku.
Berbicara tidak tergesa-gesa dan tidak terlalu lambat. Volume suara tidak mungkin terlalu keras
melengking dan terlalu lemah, atau terlalu datar. Demikian juga halnya dengan struktur
kebahasaan yang digunakan dan intonasi suara sangat menentukan makna informasi yang
disampaikan di dalam pembicaraan.
Seorang pembicara harus memilih ragam bahasa yang sesuai dengan ekologi bahasa
(lingkungan pembicaraan). Jika struktur kebahasaan salah dan tidak sesuai dengan ragam serta
ekologi bahasa maka akan menimbulkan terhambatnya komunikasi, mungkin akan terjadi salah
tafsir, salah interpretasi, dan salah penempatan makna yang dikehendaki. Demikian juga pilihan
kata yang dipakai harus sesuai dengan ekologi bahasa, topik pembicaraan, dan tingkat penerima
pembicaraan kita atau lawan bicara kita. Dengan demikian, keterampilan berbicara merupakan
keterampilan yang kompleks. (Shihabuddin, 2008: 196).
Pada ketrampilan berbicara kita juga mengenal prinsip-prinsip dasar ketika proses
berbahasa itu berjalan, karena dalam penyampaian informasi atau dalam bahasa inggris disebut
informative speaking dilaksanakan kalau seseorang berkeinginan untuk: (1) Memberi atau
menanamkan pengetahuan; (2) Menetapkan atau menentukan hubungan-hubungan antara bendabenda; (3) Menerangkan atau menjelaskan sesuatu proses; dan (4) Menginterpretasikan atau
menafsirkan sesuatu persetujuan ataupun menguraikan sesuatu tulisan.
Semua fariabel-fariabel di atas merupakan situasi-situasi informatif karena masing-masing
ingin membuat pengertian-pengertian atau makna-makna menjadi jelas.Apa yang dimilki, yang
dipahami oleh si pembicara dikomunikasikan kepada rekan-rakannya atau kimunitas pembelajar.
Namun, suatu pernyataan sederhana terhadap fakta-fakta baru, jelaslah tidak menandai segala
200
ISSN 1412-565X
Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011
perlengkapan yang dapat meyakinkan haruslah dipergunakan untuk membuat para pendengar atau
lawan bicara menyadari sifat atau hakekat yang dikemukakan.
Bahasa dapat memasuki wilayah politik dapat dilihat dari adanya politisasi terhadap
penggunaan bahasa Indonesia oleh kelompok gerakan perlawanan sebelum kemerdekaan,
pemerintah Orde Lama, Orde Baru, era reformasi dan era pasca reformasi melalui berbagai cara
seperti penggunaan kata-kata tertentu yang menjadi „ikon’ pada era-era tersebut, hingga
“pembakuan bahasa. ”Politisasi bahasa ini biasanya menjadi bagian dari upaya pemerintah pada
waktu itu untuk memperkuat rezim kekuasaannya” (Hooker dalam Latif dan Ibrahim, 1998: 58).
Maksud dari pernyataan di atas dapat kita telusuri melalu sebuah perjuangan dan
gerakan-gerakan yang dilakukakan oleh para kalangan terpelajar yang berjiwa revolusioner untuk
berpikir bagaimana menyatukan satu pemahaman budaya lewat penyeragaman bahasa negara.
Sehingga, sebelum kemerdekaan sampai ketika merdeka telah terjadi beberapa rapa kali kongres
bahasa sampai-sampai ide dari setiap gagasan yang dicetuskan menghasilkan apa yang kita kenal
dengan kongres pemuda (sumpah pemuda). Ini dimasudkan, bahwa pemerintah juga turut campur
tangan dalam membijaki persoalan bahasa negara. Campur tangan ini sudah tentu menjadi sebuah
ukuran yang nantinya menjadi cikal bakal lahirnya Undang-undang yang harus diterima oleh
seluruh bangsa ini untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagi bahasa negara dan bahasa dalam
dunia pendidikan.
Sedangkan bahasa bisa memasuki wilayah sosial dapat dilihat dari adanya anggapan
positif maupun negatif terhadap pengguna bahasa dan bahasa tertentu.Contoh, adanya anggapan
negatif terhadap masyarakat pengguna bahasa dari kelas sosial tertentu seperti bahasanya orang
yang mempunyai status sosial tinggi lebih halus dari pada bahasanya orang yang status sosialnya
rendah, meskipun anggapan ini belum tentu benar.
Bahasa juga dapat memasuki wilayah budaya dapat dilihat dari bahasa Jawa-nya
masyarakat yang tinggal di pesisir pantai utara pulau Jawa biasanya mempunyai ciri-ciri bernada
tinggi, lugas dan apa adanya. Sedangkan bahasa Jawa-nya masyarakat yang tinggal di pedalaman
pulau Jawa mempunyai ciri-ciri bernada lebih rendah atau lebih pelan, lebih halus dan lebih sering
menggunakan unggah-unggah (tata cara bersifat khususnya bagi suku Jawa pedalaman untuk
membangun kesan sopan terhadap orang lain).
Keterampilan berbahasa yang terealisasikan dalam wujud performansi bahasa dapat
dibedakan menjadi dua macam, yakni keterampilan berbahasa yang bersifat reseptif dan
keterampilan berbahasa yang bersifat produktif. Performansi bahasa untuk masing-masing
keterampilan ini adalah mendengarkan dan membaca untuk keterampilan yang bersifat reseptif,
sedangkan berbicara dan menulis untuk keterampilan yang bersifat produktif. Hal ini dapat
dipahami lebih jelas seperti disajikan dalam kutipan di bawah ini:
Performansi yang bersifat reseptif adalah penggunaan bahasa untuk memahami pesan,
pendapat, perasaan, dan sebagainya yang disampaikan oleh orang atau kelompok lain,
yang dapat berupa kegiatan mendengarkan dan membaca. Adapun performansi
berbahasa produktif adalah penggunaan bahasa untuk mengomunikasikan pesan,
gagasan, perasaan, dan sebagainya kepada orang lain, yang hal ini dapat berupa kegiatan
berbicara dan menulis. Keempat keterampilan berbahasa ini lebih dikenal sebagai
keterampilan berbahasa atau language skills (Depdiknas, 2003:4)
201
ISSN 1412-565X
Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011
4. Bahasa Melayu Ternate (BMT) dalam tinjauan Sosiolinguistik dan Penelitian Bahasa di
Maluku Utara
Wilayah Maluku Utara merupakan suatu wilayah kebahasaan yang memiliki ciri-ciri yang
khas yang tidak terdapat di wilayah lainnya di Nusantara. Sebab itu tidak mengherankan kalau
sejumlah ahli lingustik pernah mengadakan penelitian yang mendalam atas struktur kebahasaan
wilayah ini.
Penelitian atau setidaknya pencatatan bahasa-bahasa di Maluku Utara telah dilakukan
sejak lima abad lalu. Pada dua dekade pertama abad ke – 17, yaitu pada tahun 1623, seorang
misionaris Belanda pertama (dan ketiga) di Indonesia, menyusun sebuah kamus Melayu TernateBelanda yang memuat 2500 kata. Dapat dikatakan ini merupakan kamus Melayu Ternate-Belanda
pertama.
Pada rentang masa 1600-1800, penelitian bahasa-bahasa di Maluku Utara, atau lebih
tepatnya pencatatan bahasa-bahasa di Maluku-Utara dilakukan atau didominasi oleh para
misionaris Belanda. Pencatatan terutama difokuskan pada daftar kosakata dan penyusunan teks
dua bahasa, terhadap salah satu atau beberapa bahasa daerah di Maluku Utara dan terjemahan
bebasnya dalam bahasa Belanda. Bahasa Melayu Ternate (BMT) yang sudah sejak lama menjadi
lingua-franca bagi masyarakat Maluku Utara telah diteliti sejak paruh kedua abad ke-19. Pada
tahun 1878, P. Van der Crab, menyusun sebuah manuskrip yang menjelaskan sejarah kesultanan
Ternate dari abad ke-14 yang ditulis dalam bahasa Melayu Ternate formal dan terjemahannya
dalam bahasa Belanda.
Di pertengahan tahun 2007 yang lalu, pusat bahasa telah melakukan pemetaan
kekerabatan bahasa-bahasa di Maluku Utara. Namun hasil penelitian tersebut sampai sekarang
belum terealisasi bahkan juga belum dipublikasikan. (Gufran Ali Ibrahim, 2009 dalam
Metamorfosa Sosial dan Kepunahan Bahasa)
Pada umumnya bahasa-bahasa di Nusantara ini tergolong bahasa Austronesia. Keadaan di
Maluku Utara pun demikian. Tetapi disamping bahasa-bahasa yang tergolong Austronesia itu
terdapat pula bahasa-bahasa yang memilki ciri-ciri yang lain sama sekali sehingga disebut bahasabahasa Non-Austronesia itu lebih banyak terdapat di sekitar Kepala Burung (Irian Jaya) sehingga
para ahli bahasa menamakan bahasa Non-Austronesia yang terdapat di Indonesia itu sebagai
bahasa Non-Austronesia dari kelompok West Papua Phylum.(R. Z. Leirissa,1999 Dalam Sejarah
Kebudayaan Maluku).
Jejak Melayu di Ternate (Maluku Utara umumnya) adalah bahasa Melayu Ternate (BMT).
Untuk membuat penjelasan yang baik mengenai bagaimana bahasa Melayu Ternate di Maluku
Utara sebagai sebuah bukti yang paling valid dari jejak Melayu di Ternate, persoalan ini apabila
kita letakan dalam kerangka lanskap sosiolinguistik Maluku Utara, bagaimana peran bahasa
daerah Ternate (BDT) dan bahasa daerah Tidore, serta bagaimana semakin meluasnya peran
bahasa Melayu Ternate sebagai „penyambung linguistik‟ bagi berbagai etnik yang ada di Maluku
Utara.
BMT dalam situasi sosiolinguistik Maluku Utara merupakan lingua franca bagi lebih
kurang 34 sub etnik dengan 34 bahasanya masing-masing. Dalam amatan paling terakhir, sukusuku di Maluku Utara semakin menguasai BMT, dan pada sebagian penutur bahasa suku ada
kecondongan semakin meninggalkan bahasa sukunya dan semakin bisa dan biasa menggunakan
202
ISSN 1412-565X
Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011
BMT tidak hanya untuk komunikasi intrasuku, bahkan dalam satu perkampungan yang
monolingual sekalipun. Kecondongan ini semakin tampak pada anak-anak muda dan keluarga
berusia muda (rumah tangga muda). Rata-rata mereka yang ada dalam kecondongan ini adalah
selapis generasi penutur bahasa etnik dalam rentang usia 20-30 tahun yang tersebar di sebagian
desa di beberapa Kabupaten yang ada di Provinsi Maluku Utara. (Gufran, 2009:111).
Temuan Penelitian dan Pembahasan.
1. Interferensi Leksikal Berupa Kata Dasar
Data interferensi yang menunjukkan adanya interferensi bahasa Melayu Ternate ke dalam
pembicaraan bahasa Indonesia tampak dalam kalimat ini.: (1) Biskuit sama air!; (2) Ooh, kalu ibu
guru yang Roby suka ibu Sumi sudah!; (3) Roby suka lagi, Cuma Roby lebe suka pa ibu Sumi!;
(4) kalu lapar wulan makang!; (5) di gereja batu!; dan (6) Deng Wulan!
Kosakata sama, kalu, pada data (1-2) merupakan kosakata yang dipengaruhi oleh bahasa
yang di luar dari Melayu Ternate yang secara leksikal berinterferensi ke dalam bahasa Indonesia
hanya dengan penggunaan yang kurang keefektifan dalam penggunaan kata tersebut seharusnya
menggunakan kata dengan dan kosakata kalu tersebut nampak kehilangan fonem vokal dalam
pengucapannya kita dapat melihat hal tersebut dapat dikatakan penghilangan vokal /a/ yang
seharusnya menjadi /kalau/.
Kosakata lebe, makang, batu, dan deng. Pada data (3-6) juga merupakan kosakata yang
berinterferensi ke dalam bahasa Indonesia secara leksikal. Kata lebe (3) bermakna “lebih”, kata
makang (4) berdasarkan penggunaan bahasa dapat dilihat dari sebuah fonem yang berlebihan
dalam pengucapan dari kata dasar /makang/ ini membuktikan terhadap peneliti bahwa kata dasar
yang benar dan makna dalam bahasa Indonesia seharusnya /makan/. Ini berarti konsonan /g/ dapat
menimbulkan pengucapan yang menjadi interferensi terhadapa penggunaan bahasa Indonesia.
Akan berbeda dari kosakata /batu/ (5). Kata /batu/ adalah kata benda yang terdapat dalam bahasa
Indonesia akan tetapi ini akan menimbulkan ambiguitas yang muncul jika digunakan dalam
bahasa Melayu Ternate, hal ini terbukti bahwa dalam pengertian yang sebenarnya dari bahasa
Melayu Ternate kata /batu/ dapat diartikan dalam penggunaannya memiliki makna sebuah nama
yaitu /batu/ dalam kalimat setelah diikuti oleh kata yang mendukungnya menjadi sebuah kalimat
bahwa kata /batu/ itu yaitu benteng bangunan yang ornamennya dihiasi oleh batu hias yang
menunjukkan sebuah bangunan yang dikelilingi oleh batu hias. Lain halnya dengan kata /deng/
dalam kalimat (6) ini dapat diteliti pengucapan dalam menghilangkan sebagian fonem vokal dan
konsonan dalam bahasa Indonesia /dengan/ sedangkan yang digunakan dalam bahasa Melayu
Ternate /deng/ ini menunjukkan penghilangan vokal dan konsonan /an/.
Oleh karena itu, data interferensi dari (1-6) dalam pemakaian bahasa Indonesia seharusnya
menjadi kalimat berikut ini: (1) Biskuit dengan air!; (2) Ooh, kalau ibu guru yang Roby suka ibu
Sumi sudah!; (3) Roby suka lagi, Cuma Roby lebih suka pa ibu Sumi!; (4) kalau lapar wulan
makan!; (5) Bangunan gereja yang dinding-dindingnya terbuat dari batu alam!; dan (6) Dengan
Wulan!
2. Interferensi Leksikal Berupa Kata Penghubung ke dalam Bahasa Indonesia
Data interferensi yang menunjukkan adanya interferensi bahasa Melayu Ternate ke dalam
bahasa Indonesia tampak dalam kalimat ini.
203
ISSN 1412-565X
Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011
1)
Ibu Sumi bae skali, tapi kalu tamang-tamang yang malawang ibu jaga suka pukul pa dorang!
Kata penghubung yang melekat dalam dalam kalimat percakapan antara peneliti dan
responden ini menunjukkan adanya interferensi terhadap bahasa Indonesia. Kata penghubung
/tapi kalau/ dan /maka/ baru muncul setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kata ini
secara implisit masih tidak menunjukkan adanya kata penghubung yang jelas. Oleh karena itu,
peneliti memahami betul jika dalam penggunaan kalimat dalam bahasa Melayu Ternate dapat
mempengaruhi terhadap bahasa Indonesia dengan begitu jelas khususnya dalam penggunaan kata
penghubung.
(7a) Ibu Sumi baik sekali, tapi kalau teman-teman yang tidak memperhatikan apa
yang diperintahkan oleh ibu Sumi maka mereka dipukul.
(8).Me barang mama, kalu bumasa itu jaga lat-lat!
Data interferensi yang menunjukkan adanya interferensi bahasa Melayu Ternate ke dalam
bahasa Indonesia tampak dalam kalimat ini.
Kata penghubung /Me barang/ dan /kalu/ untuk menelaah dari percakapan di atas tampak
penggunaan kata penghubung dalam kalimat tersebut dapat dikategorikan dalam kata penghubung
sebab akibat sehubungan dengan penggunaan kata penghubung /me barang/ dan /kalu/dapat
diartikan /karena/ dan /kalau/. Hal ini membuat peneliti harus mampu dalam mengkajinya dan
lebih intensif dalam memahami penggunaan kata penghubung dalam percakapan atau
pembicaraan tersebut. Untuk memudahkan dalam menentukan pengaruh bahasa Melayu Ternate
terhadap bahasa Indonesia yang memunculkan interferensi bahasa Indonesia. Oleh karena itu,
interferensi kata penghubung bahasa Melayu Ternate ke dalam bahasa Indonesia pada kalimat (8)
dalam pemakaian bahasa Indonesia seharusnya seperti berikut ini.
(8a) Karena ibu, kalau masak waktunya suka telat.
3.
Interferensi Leksikal Berupa Pengulangan Kata ke dalam Pembicaraan Bahasa
Indonesia
Penggunaan kata ulang berkaitan dengan kondisi masyarakat yang multilingual. Kondisi
yang multilingual itu sekurang-kurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa
daerah sebagai bahasa ibu oleh sebagian masyarakat Indonesia. Dalam kondisi seperti itu, penutur
bahasa mempunyai pilihan bahasa yang akan digunakan dalam komunikasi. Untuk hal ini peneliti
akan menguraikan dari penggunaan kata ulang yang berlangsung dalam percakapan atau
pembicaraan antara peneliti dengan responden.
Data interferensi yang menunjukkan adanya interferensi bahasa Melayu Ternate ke dalam
pembicaraan bahasa Indonesia tampak dalam kalimat ini: (1) Deng tamang-tamangdorang nae di
sekolah pe tingkat deng torang; (2) Me barang mama, kalu bumasa itu jaga lat-lat!; (3) Banyak,
teman-teman yang lain ngomongnya bentak-bentak!; (4) tara tau itu‟ Cuma dia langsung lari
capat-capat!; dan (5) Torang jaga main ujang-ujang, deng baku lempar deng pece!
Kata ulang /tamang-tamang/, /lat-lat/, /bentak-bentak/, /capat-capat/ dan /ujang-ujang/.
Pada data (15-19) merupakan kata ulang bahasa Melayu Ternate yang secara leksikal
berinterferensi ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Kata ulang /tamang-tamang/ kata ulang
tersebut dalam pemakaian bahasa Indonesia seharusnya menjadi “teman-teman” , kata ulang /latlat/ kalau kata ulang tersebut dalam pemakaian bahasa Indonesia menjadi “telat-telat”, Kata ulang
/ bentak-bentak / kata ulang tersebut dalam pemakaian bahasa Indonesia seharusnya menjadi
ISSN 1412-565X
204
Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011
“keras-keras” , Kata ulang / capat-capat / kata ulang tersebut dalam pemakaian bahasa Indonesia
seharusnya menjadi “cepat-cepat” , dan kata ulang / ujang-ujang / kata ulang tersebut dalam
pemakaian bahasa Indonesia seharusnya menjadi “hujan-hujan”.
4. Interferensi Leksikal Berupa Frasa ke dalam Pembicaraan Bahasa Indonesia.
Data interferensi yang menunjukkan adanya interferensi bahasa Melayu Ternate ke dalam
pembicaraan bahasa Indonesia tampak dalam kalimat ini: (1) Di Santiong, dorang pe rumah
bagus!; (2) Pohong gora deng mangga!; (3) iyo sumakang, Cuma wulan hanya makang pisang
goreng saja!; (4) Tara tau; (5) masih lapar om, Wulan itu lebe suka makang nasi deng ikang!; (6)
kalu manganto baru Bila tidor. Tapi, Bila kalu mau balajar nanti su abis sambayang magrib!; (7)
iyo deng pisang goreng lagi. Barang pisang goreng sadap, jadi Bila suka!; dan (8) ngga ngerti!
Penggunaan kelompok kata dua atau lebih yang ada dalam data di atas sebagai berikut.
Frasa /dorang pe/, / Pohong gora deng/, / iyo sumakang/, / Tara tau/, / deng ikang/, / kalu
manganto/, / su abis Sambayang/, /Barang pisang/ dan / ngga ngerti/. Pada data (20-27)
merupakan kata ulang bahasa Melayu Ternate yang secara leksikal berinterferensi ke dalam
bahasa Indonesia. Frasa / dorang pe / kelompok kata tersebut dalam pemakaian bahasa Indonesia
seharusnya menjadi “mereka punya”. Frasa / Pohong gora / kelompok kata tersebut dalam
pemakaian bahasa Indonesia seharusnya menjadi “pohon jambu”. Frasa / iyo sumakang /
kelompok kata tersebut dalam pemakaian bahasa Indonesia seharusnya menjadi “iya sudah
makan”. Frasa / Tara tau / kelompok kata tersebut dalam pemakaian bahasa Indonesia
seharusnya menjadi “tidak tahu”. Frasa / deng ikang / kelompok kata tersebut dalam pemakaian
bahasa Indonesia seharusnya menjadi “dengan ikan”. Frasa / kalu manganto/, / kelompok kata
tersebut dalam pemakaian bahasa Indonesia seharusnya menjadi “kalau ngantuk”. Frasa / su abis
Sambayang / kelompok kata tersebut dalam pemakaian bahasa Indonesia seharusnya menjadi
“setelah selesai sembahyang”. Frasa / Barang pisang / kelompok kata tersebut dalam pemakaian
bahasa Indonesia seharusnya menjadi “karena pisang”. Frasa / ngga ngerti / kelompok kata
tersebut dalam pemakaian bahasa Indonesia seharusnya menjadi “tidak mengerti”.
Dari hasil penelitian dapat diketahui dari penggunaan frasa, baik frasa endosentris maupun
frasa eksosentris mampu mempengaruhi bahasa yang ada di Indonesia. Meskipun ini bukan
berarti bahwa bahasa Melayu Ternate dapat merusak bahasa Indonesia. Tetapi anak-anak yang
ada di daerah Ternate atau di Provinsi Maluku utara secara umum masih cukup mendominasi
pemakaian bahasa ibunya. Tentu ini membuktikan interferensi bahasa Melayu Ternate masih kuat
terhadap pembicaraan dalam bahasa Indonesia.
PENUTUP
Berdasarkan deskripsi dan analisis data yang telah diuaraikan, serta hasil observasi ketika
di lokasi penelitian, dapat disimpulkan beberapa pemikiran berikut ini.
SIMPULAN
(1) anak-anak multikultur di Kota Madia Ternate lebih cenderung menggunakan kosakata
atau frasa dalam bahasa Melayu Ternate. (2) alih kode dan campur kode yang terdapat dalam
penggunaan kosa-kata atau frasa bahasa Melayu Ternate, secara keseluruhan berjumlah 165 kosakata dengan rincian kata-kata yang mengalami kesamaan berjumlah 73 buah kosa-kata. Ini
ISSN 1412-565X
205
Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011
menunjukan bahwa pemakain bahasa Melayu Ternate kurang lebih 65% sehingga tidak dapat
dipungkiri interferensi masih saja terjadi bagi pengguna bahasa. (3) pertanyaan yang sampaikan
oleh peneliti ketika pengambilan data tetap menggunakan bahasa Indonesia. Namun, tanggapan
atau jawaban balik yang diberikan oleh responden masih menggunakan bahasa Melayu Ternate
dengan berbagai variasi dialek etniknya. (4) cara dan penyampaian ketika merespon setiap
pertanyaan dari peneliti memang tepat sasaran. Maksudnya, apa yang disampaikan oleh para
responden walau tidak terarah dari segi kebahasaan secara gramatikal. Namun, peneliti dapat
mengerti dan menangkap setiap makna yang terkandung dalam setiap kosakata atau frasa yang
mereka lontarkan. (5) setelah diperhatikan terdapat apa yang kita kenal dengan interferensi. Jadi
interferensi juga terjadi pada kelompok kosakata yang lazim disebut leksikal. Leksikal yang
terdapat dalam interferensi bahasa Melayu Ternate ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia
adalah: interferensi leksikal berupa kata dasar, interferensi leksikal berupa kata penghubung ke
dalam bahasa Indonesia, interferensi leksikal berupa pengulangan kata ke dalam bahasa
Indonesia, interferensi leksikal berupa frasa ke dalam bahasa Indonesia dan interferensi leksikal
kalimat ke dalam bahasa Indonesia. Interferensi juga terdapat dalam kategori fonologi, morfologi,
simantik dan sintaksis.
Saran
Ada beberapa saran yang akan peneliti sampaikan dalam penelitian ini berkaitan dengan
upaya meningkatkan Proses Pembicaraan Bahasa Indonesia Anak-anak Multikultural.
1) Untuk lebih meningkatkan Proses Pembicaraan Bahasa Indonesia Anak-anak Multikultural
peranan pendidik dalam hal guru harus lebih intensif memberikan inovasi serta cara berbahasa
yang baik dengan melihat aturan-aturan yang harus dilaksanakan oleh para siswa atau anakanak . Terutama guru bidang studi bahasa Indonesia yang mempunyai kewenangan penuh
terhadap peningkatan dan penggunaan bahasa yang berlaku di sekolah.
2) Pihak-pihak terkait yang mempunyai kewenangan penuh dalam hal ini pimpinan atau kepala
sekolah agar lebih antusias dalam mengambil dan memberikan setiap kebijakan yang
menyangkut dengan aturan menggunakan bahasa pada suasana belajar mengajar di sekolah
yang harus diikuti oleh seluruh pelaku-pelaku pendidikan. Bila perlu, jadikan Bahasa Indonesia
sebagai budaya keseharian bagi siswa atau anak-anak pada saat melakukan kegiatan berbahasa
lewat pembicaraan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan (1981) Berbicara Sebagai Suatu ketrampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa.
Chaer, A (1994). Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, A (2002). Psikolinguistik, Jakarta: Rineka Cipta.
King, L (2008). Seni Berbicara,Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sumarsono, Partana P. (2002). Sosiolingiustik, Yogyakarta: Sabda.
(2008). Teori dan Aplikasi Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi.Surakarta:Sebelas Maret Universty
Press.
206
ISSN 1412-565X
Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011
Rahayu, M. (2007). Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi.Jakarta: Grasindo.
Rahardi, K(2006). Bahasa Kaya Bahasa Berwibawa. Yogyakarta : Andi.
Yakin, A.M (2005). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pilar Media.
Budimansyah, Suryadi. (2008). PKN dan Masyarakat Multikultural. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Ansori, S.D. Sumiyadi. (2009). Bahasa dan Sastra Dalam Perspektif Pendidikan. Bandung :
Jurdiksatrasia FPBS UPI.
Sugiyono. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Moleong, J.L. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.
Rakhmat, J. (2007). Retorika Moderen Pendekatan Praktis. Bandung: Rosda.
Vismaia dan Jaja. 2009. Riksa Bahasa 3 Penyandingan Bangsa melalui Pengajaran Bahasa bagi
Penutur Asing. Bandung: Risqi Press.
Tarigan, G.H. (1988). Metodologi Pengajaran Bahasa 1. Bandung: Angkasa.
A,N. Nasar. (2004). Bahasa Indonesia Dalam Karangan Ilmiah. Bandung:
Humaniora.
Kushartanti, Yuwono U. Dan Lauder M. (2007). Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mar‟at, S. (2005). Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: Reflika Aditama.
Natalia, M M. Dewi, I K. (2008). Aplikasi NLP Dalam Pembelajaran. Bandung: Tinta Emas.
Yusuf, S. (2008). Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Bandung: Rosda.
Rahardi, K.R. (2006). Dimensi-Dimensi Kebahasaan. Yogyakarta: Erlangga.
Hudson, R. A. (1985). Sociolinguistics. Australia. Cambridge University Press.
Anwar, K. (1995). Beberapa Aspek Sosio-Kultural Masalah Bahasa. Yogyakarta: Gajah Mada
Universty Press.
Wijana, D.P. Rohmadi, M. (2006). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tarigan, G. (1992). Prinsip-Prinsip Dasar Metode Riset Pengajaran Dan Pembelajaran Bahasa.
Bandung: Angkasa.
Depdikbud, (1997). Ternate Sebagai Bandar Di Jalur Sutra. CV Putra Sejati Raya Jakarta.
Depdiknas (2003). Kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP dan MTs. Jakarta: Balai
Pustaka.
BIODATA SINGKAT
Penulis adalah Mahasiswa S2 SPS Universitas Pendidikan Indonesia
207
ISSN 1412-565X
Download