15 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan Agama Islam di

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan Agama Islam di Persekolahan
1. Realita Pendidikan Agama Islam di sekolah umum
Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia.
Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang
bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari betapa pentingnya peran agama
bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi nilai-nilai agama dalam
kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keharusan, yang ditempuh melalui
pendidikan, baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Dalam lingkungan sekolah, mata pelajaran agama atau Pendidikan Agama
Islam merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang harus diikuti oleh setiap
siswa di sekolah baik tingkat, SD, SLTP, SLTA maupun Perguruan Tinggi. Hal
ini terbukti dengan diwajibkannya Pendidikan Agama Islam dimuat dalam
kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Sebagaimana termaktub dalam
Undang-Undang Dasar no 20 tahun 2003 pasal 37 ayat 1 yaitu “mewajibkan
Pendidikan Agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan
tinggi.” (Sisdiknas, 2010:170)
Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama
diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertaqwa
kepada Allah SWT dan berakhlāq mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan
15
manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin,
harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial.
Namun, realita yang dihadapi sekarang bersenjangan dengan visi misi serta
tujuan Pendidikan Agama Islam. Dalam beberapa survei tentang proses
pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah, masih banyak kendala yang
dihadapi. Bahkan tidak sedikit para tokoh menyatakan bahwa Pendidikan Agama
Islam masih banyak kekurangan dan kelemahan.
Muhaimin (2009: 23) menyatakan bahwa :
Kenyataan tersebut ditegaskan oleh menteri agama RI, Muhammad Maftuh
Basyuni (Tempo, 24 November 2004), bahwa Pendidikan Agama Islam yang
berlangsung saat ini cenderung lebih mengedepankan aspek kognisi
(pemikiran) daripada afeksi (rasa) dan psikomotorik (tingkah laku). Menurut
istilah Komaruddin Hidayat (Fuaduddin Hasan Bisri, 1999), Pendidikan
Agama Islam lebih berorientasi pada belajar tentang agama, sehingga hasilnya
banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya
tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya.
Menurut istilah Amin Abdullah (Muhaimin, 2009: 23) menyatakan bahwa :
Pendidikan Agama Islam lebih banyak terkonsentrasi pada persoalanpersoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif, dan kurang concern
terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif
menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta
didik lewat berbagai cara, media dan forum.
Mochtar Buchori (Muhaimin, 2009: 24) menyatakan bahwa :
Kegiatan agama yang berlangsung selama ini banyak bersikap menyendiri,
kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja
semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai
yang kompleks. Karena itu seharusnya para guru/pendidik agama bekerja
sama dengan guru-guru non-agama dalam pekerjaan mereka sehari-hari.
16
Pernyataan senada telah dinyatakan oleh Soedjatmoko (Muhaimin, 2009:24),
bahwa :
Pendidikan agama harus berusaha berintegrasi dan bersinkronisasi dengan
pendidikan non-agama. Pendidikan agama tidak boleh dan tidak dapat
berjalan sendiri tetapi harus berjalan bersama dan bekerja sama dengan
program-program pendidikan non-agama kalau ingin mempunyai relevansi
terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat’.
Rasdianah (Muhaimin, 2009:24) mengemukakan beberapa kelemahan
Pendidikan Agama Islam di sekolah, baik dalam pemahaman materi Pendidikan
Agama Islam maupun dalam pelaksanaannya, yaitu :
a. Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada paham fatalistik;
b. Bidang akhlāq berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami
sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama; c. Bidang ibadah diajarkan
sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses
pembentukan kepribadian; d. Dalam bidang hukum (fiqih) cenderung
dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan
kurang memahami dinamika dan jiwa hukum islam; e. Agama Islam
cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas
serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan; f. Orientasi mempelajari alQurān masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah
pada pemahaman arti dan penggalian makna.
Di lain pihak, Towaf (Muhaimin, 2009:25) telah mengamati adanya
kelemahan-kelemahan Pendidikan Agama Islam di sekolah, antara lain:
a. Pendekatan masih cenderung normatif, dalam arti pendidikan agama
menyajikan norma-norma yang sering kali tanpa ilustrasi konteks sosial
budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai
nilai yang hidup dalam keseharian; b. Kurikulum Pendidikan Agama Islam
yang dirancang di sekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum
kompetensi atau minimum informasi, tetapi pihak guru PAI sering kali
terpaku padanya, sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan
pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh; c. Sebagai dampak yang
menyertai situasi tersebut di atas, maka guru PAI kurang berupaya menggali
berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama,
sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton; d. Keterbatasan
17
sarana/prasarana, sehingga pengelolaan cenderung seadanya. Pendidikan
agama yang diklaim sebagai aspek yang penting sering kali kurang diberi
prioritas dalam urusan fasilitas.
Atho’ Mudzhar (Muhaimin, 2009:25) mengemukakan hasil studi Litbang
Agama dan Diklat keagamaan tahun 2000, bahwa
Merosotnya moral dan akhlāq peserta didik disebabkan antara lain akibat
kurikulum pendidikan agama yang terlampau padat materi, dan materi
tersebut lebih mengedepankan aspek pemikiran ketimbang membangun
kesadaran keberagaman yang utuh, selain itu, metodologi pendidikan agama
kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan serta terbatasnya
bahan-bahan bacaan keagamaan. Buku-buku paket pendidikan agama saat ini
belum memadai untuk membangun kesadaran beragama, memberikan
keterampilan fungsional keagamaan dan mendorong perilaku bermoral dan
berakhlāq mulia pada peserta didik. Dalam konteks metodologi hasil
penelitian Furchan (1993) juga menunjukkan bahwa penggunaan metode
pembelajaran PAI di sekolah kebanyakan masih menggunakan cara-cara
pembelajaran tradisional, yaitu ceramah monoton dan statis akontekstual,
cenderung normatif, monolitik, lepas dari sejarah, dan semakin akademis.
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa berbagai kritik dan
sekaligus yang menjadi kelemahan dari pelaksanaan pendidikan agama lebih
banyak bermuara pada aspek metodologi pembelajaran seperti :
a. Kurang bisa mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna”
dan “nilai” atau kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan
yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik.
b. Kurang dapat berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program
pendidikan non-agama.
c. Kurang mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di
masyarakat atau kurang ilustrasi konteks sosial budaya, dan/atau bersifat statis
akontekstual dan lepas dari sejarah, sehingga peserta didik kurang menghayati
18
nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian. Selain aspek
metodologi, aspek lain yang menjadi sorotan ialah menyangkut aspek muatan
kurikulum atau materi Pendidikan Agama Islam, sarana Pendidikan Agama
Islam, termasuk di dalamnya buku-buku dan bahan-bahan ajar Pendidikan
Agama Islam.
2. Paradigma Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum
Muhaimin (2009: 31-43) menyebutkan ada tiga macam paradigma
pengembangan
Pendidikan
Agama
Islam,
yaitu
Paradigma
Dikotomis,
Paradigma Mechanism, dan Paradigma Organism atau Sistemik. Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
a. Paradigma Dikotomis
Dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana,
dan kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari
dua sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada,
bulat dan tidak bulat, pendidikan keagamaan dan non-keagamaan atau pendidikan
agama dan pendidikan umum, demikian seterusnya. Pandangan dikotomis
tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek
kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Seksi yang mengurusi masalah
keagamaan disebut sebagai seksi kerohanian. Dengan demikian pendidikan
keagamaan
dihadapkan
dengan
pendidikan
non-keagamaan,
pendidikan
keislaman dengan non-keislaman, pendidikan agama dengan pendidikan umum,
demikian seterusnya.
19
Pendidikan agama seolah-olah hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual,
sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan
teknologi serta seni, dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang
menjadi bidang garap pendidikan non-agama. Pandangan dikotomis inilah yang
menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan. Istilah pendidikan agama dan
pendidikan umum, atau ilmu agama dan ilmu umum sebenarnya muncul dari
paradigma dikotomis tersebut.
Paradigma
dikotomis
mempunyai
implikasi
terhadap
pengembangan
Pendidikan Agama Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan
masalah dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman al‘ulūm al-dīniyyaħ (ilmu-ilmu keagamaan) yang merupakan jalan pintas untuk
menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap
terpisah dari agama. Demikian pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat
keagamaan yang normatif, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk
menjadi pelaku (actor) yang loyal (setia), memiliki sikap commitment
(keberpihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang
dipelajari. Sementara itu kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional,
analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu ditindih oleh
pendekatan keagamaan yang normatif dan doktriner tersebut.
b. Paradigma Mekanisme
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (Muhaimin, 2009: 35), secara
etimologis mechanism berarti: hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau
20
hal saling bekerja seperti mesin, yang masing-masing bergerak sesuai dengan
fungsinya. Paradigma mechanism memandang kehidupan sebagai penanaman dan
pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan
berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa
komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya
sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau
tidak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas nilai agama,
nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetik,
nilai biofisik, dan lain-lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan
salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan
lainnya (Muhaimin, 2009: 35-36).
Dari hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa di sekolah-sekolah masih ada
proses sekularisasi ilmu, yakni pemisahan antara ilmu agama dan pengetahuan
umum. Nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan seolah-olah hanya merupakan bagian
dari mata pelajaran pendidikan agama, sementara mata pelajaran yang lain
mengajarkan bidang ilmunya seolah-olah tidak ada hubungannya dengan masalah
nilai keimanan dan ketaqwaan.
c. Paradigma Organism
Meminjam istilah biologi, organism dapat berarti susunan yang bersistem dari
berbagai bagian jasad hidup untuk suatu tujuan (Depdikbud, 1996). Dalam
konteks pendidikan islam, paradigma organism bertolak dari pandangan bahwa
21
aktivitas kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponenkomponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan
tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilainilai agama.
Pandangan semacam ini menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran
yang dibangun dari fundamental dictrines dan fundamental values yang tertuang
dan terkandung dalam al-Qurān dan al-Sunnaħ şahīhaħ sebagai sumber pokok.
Ajaran dan nilai-nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi
yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilainilai insani yang mempunyai hubungan vertikal linear dengan nilai Ilahi/agama
(Muhaimin, 2009: 35-36).
Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan diharapkan dapat
mengitegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta
mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kematangan profesional, dan sekaligus
hidup di dalam nilai-nilai agama.
Paradigma organisme atau sistematik ini dapat dilakukan apabila para guru
memahami keterkaitan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan dengan mata
pelajaran/bidang studi yang dibinanya. Dalam konteks ini ada dua permasalahan
yang dihadapi para guru, yaitu; 1) para guru/dosen harus melek (menguasai)
bidang keilmuannya dan 2) para guru/dosen harus mampu menerjemahkan bidang
ilmu tersebut dengan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan yang terkandung dalam
22
ajaran agama islam. Paradigma tersebut seyogianya berjalan secara alamiah, tidak
melalui proses yang mengada-ada. Sebab, dalam kenyataannya ada beberapa
konsep ilmu pengetahuan yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam nilai-nilai
tersebut. Melalui paradigma tersebut bukan berarti setiap pokok bahasan harus
dilegalkan dengan ayat-ayat al-Qurān atau al-hadīŝ, melainkan dari setiap pokok
bahasan tersebut diambil hikmah yang dapat diambil peserta didik bagi kehidupan
(nilai spiritual)-Nya (Muhaimin, 2009: 36-37).
B. Urgensi Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Pendidikan Agama Islam hendaknya ditanamkan sejak kecil, sebab pendidikan
pada masa kanak-kanak merupakan dasar yang menentukan untuk pendidikan
selanjutnya.
Sebagaimana menurut pendapat Zakiyah Daradjat (1991: 48) bahwa: “pada umumnya
agama, seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan yang
dilaluinya sejak kecil”.
Jadi, perkembangan agama pada seseorang sangat ditentukan oleh pendidikan
dan pengalaman hidup sejak kecil, baik dalam keluarga, sekolah, maupun dalam
lingkungan masyarakat terutama pada masa pertumbuhan perkembangannya. Oleh
sebab itu, seyogianyalah Pendidikan Agama Islam ditanamkan dalam pribadi anak
sejak ia lahir bahkan sejak dalam kandungan dan kemudian hendaklah dilanjutkan
pembinaan pendidikan ini di sekolah, mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan
perguruan tinggi.
1. Ditinjau dari Pengertian Pendidikan Agama Islam
23
Dalam
situs
(http://suhatman-ate.blogspot.com
/2009/01/
pentingnya-
pendidikan-agama-islam. html) yang ditulis oleh Suhatman pada hari Rabu
tanggal tujuh Januari 2009. Menjelaskan bahwa urgensi Pendidikan Agama Islam,
dapat dilihat dari segi pengertian dan tujuan Pendidikan Agama Islam itu sendiri.
Di dalam GBPP PAI di Sekolah umum, dijelaskan bahwa Pendidikan Agama
Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami,
menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan/atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati
agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat
untuk mewujudkan persatuan nasional.
Dari pengertian tersebut dapat ditemukan beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, yaitu sebagai berikut:
a. Pendidikan Agama Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan
bimbingan, pengajaran dan/atau latihan yang dilakukan secara berencana dan
sadar atas tujuan yang ingin dicapai.
b. Peserta didik yang ingin disiapkan untuk mencapai tujuan dalam arti ada yang
dibimbing, diajari dan/atau dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman,
penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran Agama Islam.
c. Pendidik atau Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) yang melakukan
kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan secara sadar terhadap para
peserta didiknya untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam.
24
d. Kegiatan
(pembelajaran)
Pendidikan
Agama
Islam diarahkan
untuk
meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran
Agama Islam dari peserta didik, yang disamping untuk kesalehan atau kualitas
pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial.
Dalam
situs
(http://suhatman-ate.blogspot.com
/2009/01/
pentingnya-
pendidikan-agama-islam. html) dijelaskan bahwa
Usaha pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah diharapkan agar
mampu membentuk kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosial sehingga
Pendidikan Agama Islam diharapkan jangan sampai: 1). Menumbuhkan
semangat fanatisme; 2). Menumbuhkan sikap intoleran dikalangan peserta
didik dan masyarakat Indonesia; dan 3). Memperlemah kerukunan hidup
beragama serta persatuan dan kesatuan nasional (Menteri Agama RI, 1996).
Hasilnya Pendidikan Agama Islam diharapkan mampu menciptakan ukhuwah
islāmiyyaħ dalam arti luas, yaitu ukhuwah fi al-‘ubūdiyyaħ, ukhuwah fi alinsāniyyaħ, ukhuwah fi al-waţāniyyaħ wa al-nasab, dan ukhuwah fi din alIslām.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang pluralistik, dalam arti masyarakat
yang serba plural, baik dalam agama, ras, etnis, budaya dan sebagainya,
pembelajaran Pendidikan Agama Islam diharapkan mampu mewujudkan Ukhuwah
Islāmiyyaħ dalam arti luas tersebut. Sungguh pun masyarakat berbeda-beda
agama, ras, etnis, tradisi, dan budaya, tetapi bagaimana melalui keragaman ini
dapat dibangun suatu tatanan yang rukun, damai dan tercipta kebersamaan hidup
serta toleransi yang dinamis dalam membangun bangsa Indonesia.
Akan tetapi keadaan di atas, bukanlah menjadi jaminan bahwa realitas
pendidikan islam di Indonesia berjalan dengan baik. Bahkan, pendidikan agama
dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Hal ini terlihat ketika minat masyarakat
25
untuk menyekolahkan putra/putri mereka ke lembaga-lembaga pendidikan agama
semisal madrasah maupun pesantren. Lembaga pendidikan agama menjadi
prioritas kedua setelah sekolah. Salah satu alasannya adalah kualitas lembaga
pendidikan agama lebih rendah dibandingkan sekolah.
Adapun faktor-faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan islam, sebagai
berikut:
a.
Internal : Kualitas SDM yang rendah
SDM di sini lebih terfokus pada kualitas guru (ustaż/aħ) yang rendah.
Contohnya, banyak guru yang tidak ber-background dari lulusan sarjana
Pendidikan Agama Islam (S1/akta empat mengajar), guru yang mengajar bukan
pada spesialisasinya (sarjana hukum Islam mengajar bahasa Arab), atau pun tugas
guru yang belum sepenuhnya terlaksana.
Mengenai
tugas
guru,
Suhatman
(http://suhatman-ate.
blogspot.com
/2009/01/pentingnya-pendidikan - agama-islam.html) menyatakan bahwa tugas
guru Pendidikan Agama Islam adalah berusaha secara sadar untuk membimbing,
mengajar dan/atau melatih siswa agar dapat :
a. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT yang telah
ditanamkan dalam lingkungan keluarga.
b. Menyalurkan bakat dan minatnya dalam mendalami bidang agama serta
mengembangkanya secara optimal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk
dirinya sendiri daan dapat pula bermanfaat bagi orang lain.
26
c. Memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahankelemahanya dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan islam dalam
kehidupan sehari-hari.
d. Menangkal dan mencegah pengaruh negatif dari kepercayaan, paham atau
budaya lain yang membahayakan dan menghambat perkembangan keyakinan
siswa.
e. Menyesuaikan diri dengan lingkunganya, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial yang sesuai dengan ajaran Islam.
f. Menjadikan ajaran islam sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.
g. Mampu memahami, mengilmui pengetahuan Agama Islam secara menyeluruh
sesuai dengan daya serap siswa dan keterbatasan waktu yang tersedia.
Selain
kualitas
SDM
yang
rendah,
Mohammad
Ali
(http://www.
ispi.or.id/2010/09/19/pengembangan-pendidikan-agama-islam-di-sekolah/)
menambahkan faktor penyebab rendahnya kualitas Pendidikan Agama Islam.
Bahwa pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dan evaluasi juga menjadi penyebab
rendahnya kualitas Pendidikan Agama Islam.
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah masih menunjukkan
keadaan yang memprihatinkan. Banyak faktor yang menyebabkan
keprihatinan itu, antara lain pertama, dari segi jam pelajaran yang disediakan
oleh sekolah secara formal, peserta didik dikalkulasikan waktunya hanya 2
jam pelajaran per minggu untuk mendidik agama. Coba bandingkan dengan
mata pelajaran lainnya yang bisa mencapai 4 – 6 jam per minggu.
Implikasinya bagi peserta didik adalah hasil belajar yang diperolehnya sangat
terbatas.
27
Adapun dalam proses evaluasi, Mohammad Ali pun dalam situs (http://www.
ispi.or.id/2010/09/19/pengembangan-pendidikan-agama-islam-di-sekolah/)
menyatakan bahwa :
Mengenai evaluasi Pendidikan Agama Islam ini terkadang terjadi hal-hal yang
di luar dugaan. Misalnya ada peserta didik yang jarang sekolah, malas dan
merasa terpaksa mengikuti pelajaran agama, tetapi ketika dievaluasi dia
mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik yang
rajin belajar agama. Artinya yang salah itu adalah evaluasinya karena yang
dilakukan hanyalah mengukur unsur kognitifnya saja. Oleh karena itu evaluasi
Pendidikan Agama Islam jangan hanya mengandalkan evaluasi kemampuan
kognitif saja, tetapi harus dievaluasi juga sikap, prakteknya atau keterampilan
(psikomotor) dan sikapya (afektif). Guru melakukan pengamatan terhadap
perilaku sehari-hari peserta didik tersebut apakah peserta didik itu şalāħ?
Kalau dilaksanakan apakah şalāħnya benar sesuai tata caranya? Evaluasi ini
sebetulnya menentukan status peserta didik tentang hasil belajarnya itu apakah
sudah mencapai tujuan yang ingin dicapai atau tidak. Kalau tujuan agama itu
adalah supaya peserta didik bisa menjalankan Agama Islam dengan baik maka
evaluasinya harus sesuai, dan evaluasinya itu bukan hanya hafal tentang
kaidah-kaidah tentang kemampuan kognitif saja tetapi juga yang bersifat
praktikal.
b. Eksternal : Globalisasi, Demokratisasi, dan Liberalisasi Islam.
Pendidikan Islam mempunyai tantangan berat untuk menghadapi era
globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi Islam. Lembaga pendidikan agama
harus mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan di atas. Misalnya dengan
memperbaiki kualitas SDM dan SDA. SDM menyangkut kualitas guru maupun
input peserta didik, sedangkan SDA menyangkut infrastruktur atau sarana
prasarana, media pendidikan maupun kurikulum yang up to date.
2.
Ditinjau dari Tujuan Pendidikan Agama Islam
Selain dilihat dari segi pengertian Pendidikan Agama Islam, Urgensi
Pendidikan Agama Islam juga tidak terlepas dari tujuan pendidikan itu sendiri.
28
Dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional, Pendidikan Agama Islam di
sekolah memegang peranan sangat penting. Oleh karena itu, Pendidikan Agama
Islam di Indonesia dimasukan ke dalam kurikulum nasional yang wajib diikuti
oleh semua siswa mulai SD sampai dengan Perguruan tinggi.
Dalam
situs
(http://suhatman-ate.blogspot.com
/2009/01/
pentingnya-
pendidikan-agama-islam. html) dijelaskan bahwa
Secara umum, Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk meningkatkan
keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang
Agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT serta berakhlāq mulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (GBPP PAI, 1994).
Dari tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang ingin ditingkatkan
dan dituju oleh kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam, yaitu :
a. Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran Agama Islam.
b. Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual)
c. Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik
dalam menjalankan ajaran islam.
d. Dimensi pengamalanya, dalam arti bagaimana ajaran islam yang telah
diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu
mampu
menumbuhkan
motivasi dalam dirinya untuk menggerakan,
mengamalkan, dan mentaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan
pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Serta
mengaktualisasikan
dan
merealisasikannya
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
29
dalam
kehidupan
Di dalam GBPP mata pelajaran Pendidikan Agama Islam kurikulum 1999,
tujuan PAI tersebut lebih dipersingkat lagi, yaitu: ”agar siswa memahami,
menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran islam sehingga menjadi manusia
muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlāq mulia”.
Rumusan tujuan PAI ini mengandung pengertian bahwa proses Pendidikan Agama
Islam yang dilalui dan dialami oleh siswa di sekolah dimulai dari tahapan kognisi,
yakni pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap ajaran dan nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran islam, untuk selanjutnya menuju ketahapan afeksi, yakni
terjadinya proses internalisasi ajaran dan nilai agama ke dalam diri siswa, dalam
arti menghayati dan meyakininya. Tahapan afeksi ini terkait erat dengan kognisi,
dalam arti penghayatan dan keyakinan siswa menjadi kokoh jika dilandasi oleh
pengetahuan dan pemahamanya terhadap ajaran dan nilai Agama Islam (tahapan
psikomotorik) yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Dengan demikian, akan
terbentuk manusia muslim yang beriman, bertaqwa, dan berakhlāq mulia.
Mengingat betapa pentingnya Pendidikan Agama Islam dalam mewujudkan
harapan setiap orang tua, masyarakat dan membantu terwujudnya tujuan
pendidikan nasional, maka Pendidikan Agama Islam harus diberikan dan
dilaksanakan di sekolah dengan sebaik-baiknya.
C. Konsep Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
30
Untuk mengetahui pengertian Pendidikan Agama Islam yang tepat, alangkah
baiknya kita mengutip beberapa pengertian yang telah diungkapkan oleh para
ahli.
Dalam
situs
(http://starawaji.wordpress.com
/2009/05/02/
pengertian-
pendidikan-agama-islam-menurut-berbagai-pakar/) yang ditulis oleh Starawaji
pada tanggal dua mei 2009, dan situs (http:// islamblogku. blogspot.
com/2009/07/ pengertian-dan-tujuan-pendidikan-agama 1274.html) yang ditulis
oleh Abdul Azis pada tanggal 31 Juli 2009 mengungkapkan berbagai pengertian
Pendidikan Agama Islam dari beberapa tokoh sebagai berikut :
Menurut Abdurrahman An-Nahlawi menyatakan bahwa :
ِ ِ
‫اﻹﺳﻼَم‬
‫ﻲ‬ ‫اﻟﻤﻨْـ َﻔ ِﺴ‬

ْ ‫دي إﻟﻰ ا ْﻋﺘﻨَﺎق‬
ْ ُ‫اَﻟﺘﺮﺑﻴّﺔ‬
ْ ‫ﺬي ﻳُـ ْﺆ‬
ْ ‫واﻹﺟﺘﻤﺎﻋﻲ اﻟ‬
ُ ‫ﻈﻴﻢ‬
ُ ْ‫ـﻨ‬‫ﺔُ ﻫ َﻲ ا ﻟﺘ‬‫اﻹﺳﻼَ ﻣﻴ‬
ِ ‫وﺗَﻄْﺒﻴـ َﻘﺔ ﻛﻠّﻴﺎ ﻓﻰ ﺣﻴﺎة اﻟ‬
‫ﺎﻋ ِﺔ‬
َ ‫ْﺠﻤ‬
ّ ْ
َ
ْ
َ ‫ْﻔﺮد َواﻟ‬
Artinya; “Pendidikan islam ialah pengaturan pribadi dan masyarakat yang
karenanya dapatlah memeluk islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan
baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan kolektif”.
Mustofa Al-Ghulayani menyatakan bahwa :
Pendidikan Agama Islam ialah menanamkan akhlāq yang mulia di dalam jiwa
anak dalam masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan petunjuk dan
nasihat, sehingga akhlāq itu menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam)
jiwanya kemudian buahnya berwujud keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja
untuk kemanfaatan tanah air.’
Menurut M. Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa:
31
Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan
hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlāq dan keterampilannya. Karena itu,
Pendidikan Agama Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam
keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi
masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.
Menurut Zakiah Daradjat menyatakan bahwa
Pendidikan Agama Islam adalah Pendidikan melalui ajaran-ajaran Agama
Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya
setelah selesai dari pendidikan itu ia dapat memahami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran-ajaran agama islam yang telah diyakininya secara
menyeluruh, serta menjadikan ajaran Agama Islam sebagai suatu pandangan
hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di
akhirat kelak.
Sedangkan menurut Ahmad Tafsir (http://blog.uin-malang.ac.id/muttaqin
/2011/03/13/pengertian-dan-tujuan-pendidikan-agama-islam/) menyatakan bahwa,
Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa agar
memahami ajaran islam (knowing), terampil melakukan atau mempraktekkan
ajaran islam (doing), dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari
(being).
Adapun definisi Pendidikan Agama Islam yang disebutkan dalam Kurikulum
2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SD dan MI
menyebutkan bahwa :
Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa,
berakhlāq mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya
kitab suci al-Qurān dan hadīŝ, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,
latihan, serta penggunaan pengalaman.
Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa para ahli didik islam
berbeda pendapat mengenai rumusan Pendidikan Agama Islam. Ada yang
32
menitikberatkan pada segi pembentukan akhlāq anak, ada pula yang menuntut
pendidikan teori pada praktek, sebagian lagi menginginkan terwujudnya
kepribadian muslim dan lain-lain. Namun dari perbedaan pendapat tersebut dapat
di ambil kesimpulan, bahwa adanya titik persamaan yang secara ringkas dapat di
kemukakan sebagai berikut: Pendidikan Agama Islam ialah bimbingan yang
dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia
memiliki kepribadian muslim yang sejati.
2. Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional
Dalam
situs
(http://stitattaqwa.blogspot.com/2011/06/sejarah-pendidikan-
islam-di-indonesia.html) dinyatakan bahwa secara yuridis, posisi pendidikan
Agama (Islam) berada pada posisi yang sangat strategis, baik pada UUSPN No. 2
Tahun 1989 maupun dalam UUSPN No. 2 Tahun 2003. Pada UUSPN 1989
dinyatakan, bahwa pendidikan nasional bertujuan
Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta
rasa tanggung jawab kemasyarakatan yang kebangsaan.
Begitu pula situs (http://stitattaqwa.blogspot.com/2011/06/sejarah-pendidikanislam-di-indonesia.html) menjelaskan bahwa dalam UUSPN 2003 dinyatakan
pada pasal 1 ayat 5 UUSPN 2003, Pendidikan nasional adalah pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan Perubahannya yang bersumber pada
ajaran agama, keanekaragaman budaya Indonesia, serta tanggap terhadap
perubahan zaman.
33
Dalam Pasal 4 UUSPN 2003 dinyatakan bahwa :
Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlāq mulia, berbudi mulia, sehat, berilmu, kompeten, terampil, kreatif,
mandiri, estetis, demokratis, dan memiliki rasa kemasyarakatan dan
kebangsaan.
Mencermati Pasal 1 ayat 5 dan pasal 4 UUSPN 2003 tersebut, terlihat
bagaimana Pendidikan Agama (Islam) berada pada posisi strategis, di banding
materi pendidikan lainnya. Orientasi pelaksanaannya bukan hanya pada
pengembangan IQ akan tetapi EQ dan SQ secara harmonis. Hal ini terlihat dari
amanat Pasal 13 Ayat 1 huruf a UUSPN 2003, yaitu setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Dengan
mengacu pada pasal ini, pesan edukasi yang diharapkan agar pendidikan mampu
melahirkan output yang beriman dan bertaqwa (sesuai dengan ajaran agama yang
diyakini), berakhlāq mulia, serta memiliki kualitas intelektual yang tinggi.
Dalam
situs
(http://stitattaqwa.blogspot.com/2011/06/sejarah-pendidikan-
islam-di-indonesia.html) dijelaskan bahwa dalam struktur sosial kebudayaan,
pendidikan Islam paling tidak mengandung empat unsur yang kemudian dijadikan
sebagai dustur kebudayaan suatu bangsa, yaitu:
a. Unsur etika (moral) untuk membentuk ikatan-ikatan sosial.
b. Unsur estetika untuk membentuk cita rasa umum.
c. Logika terapan untuk menentukan bentuk-bentuk aktivitas umum.
34
d. Teknologi terapan yang sesuai dengan semua jenis yang ada dalam ragam
masyarakat atau “industri”.
Merujuk pada batasan di atas, maka praktek pendidikan islam merupakan
penjabaran keempat unsur tersebut. Pendidikan Islam seyogianya menjadi sarana
pembentukan situasi “berpengetahuan” dan berakhla mulia. Prosesnya bukan
berupa rangkaian indoktrinasi pengetahuan dan mencampakkan keempat unsur
pendidikan di atas dalam bingkai yang terpisah-pisah. Proses pendidikan yang
dilakukan seyogianya merupakan proses pemberian sejumlah informasi mengenai
pengalaman untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peserta didik diarahkan
untuk menemukan bentuk pengetahuan yang diinginkan, sesuai dengan kebutuhan
masa depannya yang pasti berbeda dengan lingkungan dan persoalan yang
dialami seorang pendidik.
3. Visi Misi Pendidikan Agama Islam
a. Visi Pendidikan Islam
Menurut Abuddin Nata (2010: 41-42) secara terminologi, “visi yaitu
tujuan jangka panjang, cita-cita masa depan, keinginan besar yang ingin
diwujudkan, angan-angan, khayalan, dan impian ideal tentang sesuatu yang
ingin diwujudkan”.
Dan jika dihubungkan pengertian visi tersebut dengan pendidikan islam,
maka visi pendidikan islam dapat diartikan sebagai tujuan jangka panjang,
cita-cita masa depan, dan impian ideal yang ingin diwujudkan oleh
pendidikan Islam. Visi pendidikan islam ini selanjutnya dapat menjadi
sumber motivasi, inspirasi, pencerahan, pegangan dan arah bagi
35
perumusan misi, tujuan, kurikulum, proses belajar, guru, staf murid,
manajemen, lingkungan, dan lain sebagainya (Nata, 2010:44).
Visi pendidikan islam sesungguhnya melekat pada cita-cita dan tujuan
jangka panjang ajaran Islam itu sendiri, yaitu mewujudkan rahmat bagi
seluruh umat manusia, sesuai dengan firman Allah SWT :
ִ
ִ
$%&'( ☺ ִ!"#
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam”.(QS.al-Anbiy ā’:107)
Ayat tersebut oleh Imam al-Maraghiy (Nata, 2010: 44) ditafsirkan sebagai
berikut :
Bahwa maksud dari ayat yang artinya tidaklah Aku utus engkau
Muhammad melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam, adalah
bahwa tidaklah Aku utus engkau Muhammad dengan al-Qurān ini, serta
berbagai perumpamaan dari ajaran agama dan hukum yang menjadi dasar
rujukan untuk mencapai bahagia dunia dan akhirat, melainkan agar
menjadi rahmat dan petunjuk bagi mereka dalam segala urusan kehidupan
dunia dan akhiratnya.
Dengan demikian, visi pendidikan islam dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Menjadikan pendidikan islam sebagai pranata yang kuat, berwibawa, efektif,
dan kredibel dalam mewujudkan cita-cita ajaran Islam” (Nata, 2010:44).
b. Misi Pendidikan Islam
Menurut Abuddin Nata (2010: 45) misi (mission) dapat diartikan sebagai
tugas-tugas atau pekerjaan yang harus dilaksanakan dalam rangka mencapai
visi yang ditetapkan. Dengan demikian, antara visi dan misi harus memiliki
hubungan fungsional-simbiotik, yakni saling mengisi dan timbal balik. Dari
36
satu sisi visi mendasari rumusan misi, sedangkan dari sisi lain, keberadaan
misi akan menyebabkan tercapainya visi. Misi merupakan jawaban atas
pertanyaan what are you will doing (apa yang akan dikerjakan). Karena
pekerjaan merupakan kegiatan, maka misi harus berisi berbagai kegiatan yang
mengarah kepada tercapainya visi.
Berdasarkan uraian di atas, maka misi pendidikan islam dapat dirumuskan
sebagai berikut.
1) Mendorong timbulnya kesadaran umat manusia agar ingin melakukan
kegiatan belajar dan mengajar.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-‘Alaq (96) ayat 1-5, yaitu
:
ִ0 /
3 ִ4
$>(
&-./
$%(
3 ִ4
<3 =
=?)*@A4,
)*֠,
1֠2,
6
56789:;,
ִ0/
)*֠,
&- E*#/ 5-CD 1֠2, $B(
.-E#
56789:;,
5-CD
$(
$( HEI!J
“(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, (2)
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (3) bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha Pemurah, (4) yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam, (5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya”. (QS. al-‘Alaq:1-5)
2) Melaksanakan kegiatan belajar mengajar sepanjang hayat.
Sebagaimana dalam hadīŝ Nabi Muhammad SAW :
37
“Tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai ke liang lahat”. (HR. BukhariMuslim)
3) Melaksanakan program wajib belajar.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
“Bahwa menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap muslim, dan
sesungguhnya bagi yang menunutut ilmu itu akan dimintakan ampunan
oleh segala sesuatu, sampai binatang yang ada di laut”. (HR. Ibn Abd alBarr dari Anas)
4) Melaksanakan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Selain berdasarkan pada hadīŝ, sebagaimana terdapat pada hadīŝ
tentang wajib belajar, program pendidikan anak usia dini juga berdasarkan
pada isyarat Rasulullah yang terkait dengan membangun rumah tangga,
serta berbagai kewajiban orang tua terhadap anaknya. Rasulullah SAW
misalnya menganjurkan agar seorang pria memilih wanita calon istri yang
taat beragama, şalīhaħ, dan berakhlāq mulia.
5) Mengeluarkan manusia dari kehidupan żulumāt (kegelapan) kepada
kehidupan yang terang benderang.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Ahzāb ayat 43 :
OPQ*R D
LB"M7N=J
/PQִXB)Y=R#
L ]
`֠ab
1֠2,
!K
SUVEQWC :ִ☺![\#,
_
56Z
#,
$B( e☺fU cE☺*#/
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya
(memohonkan ampunan untukmu), supaya dia mengeluarkan kamu dari
38
kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha
Penyayang kepada orang-orang yang beriman”. (QS. al-Ahzāb:43)
6) Memberantas sikap jahīliyyaħ.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Fatĥ ayat 26 :
i,=)k@ h֠2, a<ִ!ִX *g
Emf☺*n,
p1qrE
=Ol/!!֠
mflִo*#,
_L M=
SUVtRuvִ
Lc
Emf
s,
E☺*#, L M= w
Eִ☺ab
.-l1*#
m3ִU i,yq֠@ Q1*xV#,
s, |֠@ _ ִl K z{
$>( e☺R= IP.~ (}<PQ/
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka
kesombongan (yaitu) kesombongan jahīliyyaħ lalu Allah menurunkan
ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan
Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-taqwa dan adalah mereka
berhak dengan kalimat taqwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah
Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. al-Fatĥ:26)
7) Menyelamatkan manusia dari tepi jurang kehancuran yang disebabkan
karena pertikaian.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Āli-‘Imrān ayat 103 :
,
_
i,☺uNV=,
(<0€b
i,!֠)kEM
,
a
7:ִ☺!q
!R☺ִX
i,=)P@*g,
☯P,ִ„= HP‚P@ *g OPQ*R D
OPQ/!!֠
c/
kwUA†!/
39
ִ,2#rE
HP‚.E0rE
k2 _L M= HP‚P@ q‡5
m#,
56Z
ˆ
)*k=U
ִ0#‡R@ Q z‰Z OP@REqrE
wUVJ,P
OPQE#
s,
cZv=J
$%&B( `„VzE /PQsִ!E#
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat
Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi
jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk” (QS. Āli-‘Imrān:103).
8) Melakukan pencerahan batin kepada manusia agar sehat rohani dan
jasmaninya.
Allah SWT berfirman :
(`,P)\*#,
Ž
„JB1J
56
Pk2
a

=pZ‹Œq
!K
cE☺"#
$>( ,78ִ5 c☺2\#,
“Dan kami turunkan dari al-Qurān suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qurān itu tidaklah
menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (QS. AlIsrā’:82).
9) Menyadarkan
manusia
agar
tidak
melakukan
perbuatan
yang
menimbulkan bencana di muka bumi, seperti permusuhan dan peperangan.
Allah SWT berfirman :
$’A4,
‘c
 ==f,
i,„u8*k!M
ִluE 
40
a
ִ„!/
7: m` _ “!ִ☺E” ‰ִ5
–Z
•JB)E֠
,
$( cu8.E☺*#,
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya
rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS.
Al-a’rāf: 56).
10) Mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang paling
sempurna di muka bumi.
Allah SWT berfirman :
?ִf,P c~X/ *)@ „EE#
—˜ִ#*#,
Lc
Ol

–Z Ol
*ִ֠[ B).E0*#,
.-l•E
* ִ5
6š☺Z
:0—f2™#,
#˜)eab
_L M=
$'&( ›fu•*kEM
“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan” (QS. Al-Isrā’:70).
Berdasarkan uraian di atas, yang diungkapkan Abuddin Nata (2010: 45) dapat
dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut :
Pertama, visi dan misi pendidikan Islam bersumber pada visi dan misi
ajaran islam, karena pendidikan islam adalah memasyarakatkan ajaran islam
41
agar dipahami, dihayati dan diamalkan oleh umat manusia sehingga tercapai
kebahagiaan hidup secara seimbang, dunia dan akhirat.
Kedua, visi dan misi pendidikan lebih lengkap dibandingkan dengan visi
dan misi pendidikan Barat. Visi dan misi pendidikan Barat hanya menekankan
salah satu aspek dari kehidupan manusia, yakni aspek rasio dan fisik. Adapun
visi dan misi pendidikan islam selain menekankan rasio dan fisik, juga
spiritual, moral, dan sosial, sehingga tercapai kehidupan manusia yang
seutuhnya.
Ketiga, visi dan misi pendidikan islam tidak hanya sejalan dengan visi dan
misi pendidikan modern saat ini, bahkan melampauinya. Program wajib
belajar, pendidikan seumur hidup, pendidikan berwawasan global, pendidikan
untuk semua, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan pendidikan yang
unggul sebagaimana yang diprogramkan pada dua tahun terakhir ini, ternyata
sudah merupakan bagian dari visi dan misi pendidikan islam.
Keempat, saat ini terdapat lembaga pendidikan islam yang tergolong
unggul, maju dan diakui oleh dunia internasional, dan terdapat pula lembaga
pendidikan islam yang tergolong kurang maju, bahkan nyaris bubar. Hal yang
demikian terjadi, antara lain karena lembaga pendidikan islam tersebut tidak
memiliki visi dan misi pendidikan yang ingin dicapainya. Atau memiliki visi
dan misi pendidikan, namun tidak ada keinginan untuk melaksanakannya.
4. Sumber Pendidikan Agama Islam
42
Sumber pendidikan islam yang dimaksudkan di sini adalah semua acuan atau
rujukan yang darinya memancarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan
ditransinternalisasikan dalam pendidikan Islam.
Menurut Hasan Langgulung (Nata, 2010: 75), bahwa sumber pendidikan
Islam yaitu al-Qurān, al-Sunnaħ, ucapan para sahabat (mażhab al-ŞahābÎ),
kemaslahatan umat (maşālih al-mursalāħ), tradisi atau adat yang sudah
dipraktikan dalam kehidupan masyarakat (al-‘urf), dan hasil ijtihād para ahli’.
Selain itu ada pula yang meringkaskan sumber pendidikan islam menjadi tiga
macam, yaitu al-Qurān, al-Sunnaħ, ijtihād.
Adapun sumber-sumber pendidikan islam selengkapnya, ialah sebagai berikut:
a. Al-Qurān
Kata al-Qurān berasal dari kata qara’a artinya membaca. Oleh karena itu,
Qurān dapat diartikan “bacaan”. Disebut al-Qurān karena ia harus menjadi
bacaan umat islam sepanjang hayat. Al-Qurān adalah kitab suci ummat islam
yang merupakan kumpulan firman Allah yang diterima oleh nabi Muhammad
SAW. Secara lafaż dan makna dengan perantaraan malaikat Jibrīl dalam
bahasa arab. Lafażnya yang berbahasa Arab itu dimasukkan oleh Allah
melalui perantaraan malaikat Jibrīl ke dalam dada nabi Muhammad,
kemudian beliau membacanya dan terus menyampaikannya kepada umatnya,
Mukhtar Yahya (Tim Dosen PAI UPI, 2008: 33).
43
Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk
keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihād, yaitu; 1) ‘aqīdaħ, 2)
ibadah, 3) mu’āmalaħ, 4) akhlāq, 5) hukum, 6) kisah umat terdahulu, 7)
dasar-dasar ilmu pengetahuan tentang alam semesta. Adapun ajaran yang
terkandung dalam al-Qurān itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang
berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut ‘aqīdaħ, dan yang
berhubungan dengan amal yang disebut syarī’aħ.
Al-Qurān diturunkan oleh Allah SWT dengan fungsi antara lain agar
menjadi petunjuk (al-hidāyaħ), sebagai sumber pokok ajaran islam, sebagai
peringatan dan bahan pelajaran, menjelaskan perbedaan antara yang hak dan
batil (al-furqān), wasit atau hakim yang memutuskan berbagai perkara dalam
kehidupan (al-hakīm), keterangan atas semua perkara (al-bayyinaħ), obat
penenang dan penyembuh jiwa (al-syifā’), serta rahmat bagi seluruh alam
(rahmatan lil ‘ālamīn).
b. Al-Sunnaħ
Al-Sunnaħ secara lughawi (bahasa) artinya kebiasaan atau tradisi.
Sedangkan menurut istilah ilmu hadīŝ adalah segala apa yang dilakukan oleh
Nabi SAW. Baik berupa perkataan (qauly), perbuatan (fi’ly) atau berupa
pembiaran (taqriry) atas perbuatan sahabat. Adapun yang disebut taqriry
adalah apa yang dilakukan salah seorang sahabat di hadapan Nabi SAW.
Kemudian Nabi membiarkannya dan tidak melarang perbuatan tersebut.
44
Sunnaħ merupakan sumber ajaran kedua sesudah al-Qurān. Seperti alQurān, sunnaħ juga berisi ‘aqīdaħ dan syarī’aħ. Sunnaħ berisi petunjuk
(pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk
membina umat manusia menjadi manusia seutuhnya atau muslim bertaqwa.
c. Hasil pemikiran para ahli dalam Islam (Ijtihād)
Ijtihād (selanjutnya ditulis ijtihād) berasal dari kata ijtahada artinya
berusaha, bersungguh-sungguh atau mengerahkan segala kemampuan. Secara
istilah didefinisikan para ahli Uşūl Fiqh, sebagai usaha mujtahīd (orang yang
berijtihād)
dengan
segenap
kesungguhan
dan
kesanggupan
untuk
mendapatkan ketentuan hukum sesuatu masalah dengan menggunakan
metodologi yang benar, dari kedua sumber hukum al-Qurān dan al-sunnaħ
(Asjmuni Abdurrahman, 2002:193).
Dari definisi ahli uşūl fiqh di atas, ijtihād bukanlah dilakukan oleh
sembarang orang, melainkan orang yang memiliki otoritas untuk melakukan
ijtihād, yaitu “mujtahīd”. Selain itu, para mujtahid pun harus melakukan
ijtihādnya dengan penuh “kesungguhan” dan dalam bidang yang sangat
dikuasainya (bidang kesanggupannya), disertai “metodologi” yang benar.
Sumber hukumnya adalah pertama, ayat-ayat al-Qurān yang berjumlah lebih
dari 6000 ayat, baik sebagai kesatuan yang utuh-bulat, satu kesatuan surat per
surat maupun secara parsial ayat perayat kedua, hadīŝ-hadīŝ nabi yang juga
berjumlah ribuan dan melalui seleksi yang ketat tentang keşahihannya dan
ketiga, ijma’ para sahabat Nabi. Bagaimanakah metodologinya, para imam
45
mujtahīd mutlak merumuskannya dengan langkah-langkah yang gamblang,
tapi ketat. Adapun metode yang dimaksud ialah qiyās (empat mażhab),
istihsān (imam Hanafi), maşālih mursalāh (Imam Malik), dan istidlāl (Imam
Syafi’i).
Ijtihād dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan
termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada al-Qurān dan alsunnaħ. Namun demikian, ijtihād harus mengetahui kaidah-kaidah yang diatur
oleh para mujtahīd tidak boleh bertentang dengan isi al-Qurān dan al-sunnaħ
tersebut. Karena itu ijtihād dipandang sebagai salah satu sumber hukum islam
yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah Rasulullah wafat dan sasaran
ijtihād ialah segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan, yang senantiasa
berkembang.
5. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Tujuan pendidikan merupakan gambaran kondisi akhir atau nilai-nilai
yang ingin dicapai dari suatu proses pendidikan. Setiap tujuan pendidikan
memiliki dua fungsi, yaitu a. menggambarkan tentang kondisi akhir yang
ingin dicapai, dan b. memberikan arah dan cara bagi semua usaha atau proses
yang dilakukan (Mikarsa, 2008:1.11).
Zakiyah Daradjat (2006:29), menyatakan bahwa :
Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha
kegiatan selesai. Maka pendidikan, karena merupakan suatu usaha dan
kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan,
tujuannya bertahap dan bertingkat. Tujuan pendidikan bukanlah suatu
46
benda yang berbentuk tetap dan statis, tetapi ia merupakan keseluruhan
dari kepribadian seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek
kehidupannya.
Menurut Abdul Majid (2008:72) bahwa :
Perumusan tujuan pendidikan islam harus berorientasi pada hakikat
pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya, misalnya tentang: a. Tujuan
dan tugas hidup manusia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas
hidup tertentu (QS. Āli-‘Imrān:191). Tujuan diciptakannya manusia hanya
untuk mengabdi pada Allah SWT. Indikasi tugasnya berupa ibadah
(sebagai ‘abd Allāh) dan tugas sebagai wakil-Nya di muka bumi (khalīfaħ
Allāh). b. Memperhatikan sifat-sifat dasar (nature) manusia. Yaitu konsep
tentang manusia sebagai makhluk yang unik yang mempunyai beberapa
potensi bawaan seperti; fitrah, bakat, minat, sifat dan kecenderungan pada
al-ĥanīf (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa agama Islam. c.
Tuntutan masyarakat, tuntunan ini baik berupa pelestarian nilai-nilai
budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat,
maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam
mengantisipasi perkembangan dunia modern. d. Dimensi-dimensi
kehidupan ideal Islam, dimensi kehidupan dunia ideal Islam mengandung
nilai yang meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia untuk
mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat,
serta mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk
meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan, sehingga
manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau
materi yang dimiliki.
Sedangkan menurut Fadhil al-Jamali (Majid, 2008:83)
Merumuskan tujuan pendidikan islam dengan empat macam, yaitu a.
Mengenalkan manusia akan peranannya di antara sesama titah makhluk
dan tanggung jawabnya di dalam hidup ini. b. Mengenalkan manusia akan
interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat. c.
Mengenalkan manusia akan alam dan mengajak mereka untuk mengetahui
hikmah diciptakannya serta memberi kemungkinan kepada mereka untuk
mengambil manfaat darinya. d. Mengenalkan manusia akan pencipta alam
(Allah) dan menyuruhnya berbadah kepada-Nya.
Muhtar Yahya (Majid, 2008:83)
Merumuskan tujuan pendidikan islam dengan sederhana sekali, yaitu
memberikan pemahaman ajaran-ajaran islam pada peserta didik dan
47
membentuk keluhuran budi pekerti sebagaimana misi Rasulullah SAW.
Sebagai pengemban perintah menyempurnakan Akhlāq manusia, untuk
memenuhi kebutuhan kerja (QS. Al-Naĥl: 97, al-An’ām:132) dalam
rangka menempuh hidup bahagia dunia dan akhirat (QS. Al-Qaşaş:77)’.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tujuan Pendidikan Agama
Islam adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang ajaran islam,
keterampilan mempraktekkannya, dan meningkatkan pengamalan ajaran islam
itu dalam kehidupan sehari-hari. Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa
tujuan utama Pendidikan Agama Islam adalah keberagamaan, yaitu menjadi
seorang muslim dengan intensitas keberagamaan yang penuh kesungguhan
dan didasari oleh keimanan yang kuat.
6. Fungsi Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam mempunyai fungsi sebagai media untuk
meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT, serta sebagai wahana
pengembangan sikap keagamaan dengan mengamalkan apa yang telah didapat
dari proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Zakiyah Daradjat berpendapat dalam bukunya Metodik Khusus Pengajaran
Agama Islam bahwa :
Sebagai sebuah bidang studi di sekolah, Pengajaran Agama Islam
mempunyai tiga fungsi, yaitu: pertama, menanamtumbuhkan rasa
keimanan yang kuat, kedua, menanamkembangkan kebiasaan (habit
vorming) dalam melakukan amal ibadah, amal saleh dan akhlāq yang
mulia, dan ketiga, menumbuh kembangkan semangat untuk mengolah
alam sekitar sebagai anugerah Allah SWT kepada manusia.
48
Dari pendapat di atas dapat diambil beberapa hal tentang fungsi dari
Pendidikan Agama Islam yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa kepada
Allah SWT yang ditanamkan dalam lingkup pendidikan keluarga.
b. Pengajaran, yaitu untuk menyampaikan pengetahuan keagamaan yang
fungsional.
c. Penyesuaian, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat bersosialisasi dengan
lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam.
d. Pembiasaan, yaitu melatih siswa untuk selalu mengamalkan ajaran islam,
menjalankan ibadah dan berbuat baik.
Sedangkan menurut Kurshid Ahmad (Mujib, 2008:69), fungsi pendidikan
islam adalah sebagai berikut:
a. Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkattingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat
dan bangsa, b. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan
perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill
yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif
untuk menemukan pertimbangan perubahan sosial dan ekonomi.
Di samping fungsi-fungsi yang tersebut di atas, hal yang sangat perlu di
ingatkan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan sumber nilai, yaitu
memberikan pedoman hidup bagi peserta didik untuk mencapai kehidupan
yang bahagia di dunia dan di akhirat.
D. Sekolah Dasar Negeri
49
1. Pengertian Sekolah Dasar
Dalam situs (http:// id.wikipedia.org /wiki/Sekolah_dasar) dijelaskan bahwa
Sekolah Dasar (SD) Elementary School adalah jenjang paling dasar pada
pendidikan formal di Indonesia. Sekolah dasar ditempuh dalam waktu enam
tahun, mulai dari kelas satu sampai kelas enam. Di dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar disebutkan
bahwa pendidikan dasar merupakan pendidikan sembilan tahun, terdiri atas
program pendidikan enam tahun di sekolah dasar dan program tiga tahun di
sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Dengan demikian, sekolah dasar
merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar.
Sekolah dasar (SD), menurut Waini Rasyidi (Mikarsa, 2008:17) menyatakan
bahwa pada hakikatnya merupakan satuan atau unit lembaga sosial (sosial
institution) yang diberi amanah atau tugas khusus (specific task) oleh masyarakat
untuk menyelenggarakan pendidikan dasar secara sistematis. Dengan demikian,
sebutan sekolah dasar merujuk pada satuan lembaga sosial yang diberi amānaħ
spesifik oleh masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan dasar penggalan
pertama selama enam tahun untuk dilanjutkan pada penggalan pendidikan dasar
kedua selama tiga tahun di SLTP atau satuan pendidikan yang sederajat.
Atas dasar pemahaman tentang beberapa definisi pendidikan maka dapat
mendefinisikan pendidikan sekolah dasar bukan hanya memberi bekal
kemampuan intelektual dasar dalam membaca, menulis dan berhitung saja
50
melainkan juga sebagai proses mengembangkan kemampuan dasar peserta didik
secara optimal dalam aspek intelektual, sosial, dan personal, untuk dapat
melanjutkan pendidikan di SLTP atau yang sederajat.
Sekolah dasar diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak
diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan sekolah dasar
negeri (SDN) di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen
Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah
kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan
sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural,
sekolah dasar negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan
kabupaten/kota.
2. Landasan Yuridis Sekolah Dasar
Ibrahim Bafadal (2009:5) menyatakan bahwa di Indonesia penyelenggaraan
sekolah dasar berpijak pada beberapa peraturan perundang-undangan sebagai
landasan yuridis. Ada tiga peraturan perundang-undangan yang dijadikan
landasan yuridis penyelenggaraan sekolah dasar, baik sebagai satuan pendidikan
maupun dalam kerangka sistem pendidikan nasional, yaitu Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), dan peraturan Pemerintahan
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (PP Nomor
28 Tahun 1990)
51
a. Di dalam pembukaan UUD 1945 diisyaratkan bahwa upaya mencerdaskan
bangsa (tentu melalui pendidikan) merupakan amanat bangsa. Sedangkan
pada BAB XII Pasal 31 ayat (2) ditegaskan bahwa Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang
diatur dengan undang-undang (Bafadal, 2009: 5).
b. Di dalam UUSPN ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas
kesempatan yang seluas-luasnya mengikuti pendidikan agar memperoleh
pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya
setara dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan tamatan
pendidikan dasar (Bab III Pasal 6). Pendidikan dasar diselenggarakan untuk
mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan
keterampilan dasar yang diperlukan untuk kehidupan dalam masyarakat serta
menyiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti
pendidikan menengah (Bab III Pasal 13)
c. Di dalam PP Nomor 28 Tahun 1990 ditegaskan bahwa pendidikan dasar
merupakan pendidikan sembilan tahun, terdiri atas program pendidikan
enam tahun di sekolah dasar dan program pendidikan tiga tahun di sekolah
lanjutan tingkat pertama (SLTP). Dengan demikian, sekolah dasar
merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan pada jenjang pendidikan
dasar (Bafadal, 2009: 5).
3. Tujuan dan Fungsi Sekolah Dasar
a. Tujuan
52
Tujuan pendidikan adalah seperangkat hasil pendidikan yang tercapai oleh
peserta didik setelah diselenggarakannya kegiatan pendidikan. Seluruh
kegiatan pendidikan, yakni bimbingan pengajaran, dan atau latihan diarahkan
untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam konteks ini, tujuan pendidikan
merupakan suatu komponen sistem pendidikan yang menempati kedudukan
dan fungsi sentral. Itu sebabnya, setiap tenaga kependidikan perlu memahami
dengan baik tujuan pendidikan, supaya berupaya melaksanakan tugas dan
fungsinya untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan (Hamalik,
2010: 4).
Menurut Oemar Hamalik (2010: 4) tujuan pendidikan disusun secara
bertingkat, mulai dari tujuan pendidikan yang sangat luas dan umum sampai
ke tujuan pendidikan yang spesifik dan operasional. Tingkat-tingkat tujuan
pendidikan itu meliputi; 1) tujuan pendidikan nasional, 2) tujuan institusional,
3) tujuan kurikuler, 4) tujuan pembelajaran (instruksional), yang mencakup
tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus.
1) Tujuan pendidikan nasional
Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan yang ingin dicapai dalam
sistem pendidikan nasional. Selama 25 tahun terakhir ini, tujuan
pendidikan nasional di negara kita telah mengalami perubahan, sesuai
dengan perkembangan pembangunan di tanah air (Hamalik, 2010: 4).
(a) Sejak tahun 1966 berlaku tujuan pendidikan nasional yang
menyatakan bahwa “tujuan pendidikan nasional adalah membentuk
53
manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti
yang dikehendaki oleh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan
isi
Undang-Undang
Dasar
1945”
(TAP
MPRS
No.
XXVII/MPRS/1966).
(b) Sejak tahun 1973 berlaku tujuan pendidikan nasional sebagai berikut:
Tujuan Umum Pendidikan Nasional adalah membentuk manusia
pembangunan yang ber-Pancasila dan membentuk manusia Indonesia
yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggungjawab,
dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat
mengembangkan kecerdasan yang tinggi, dan disertai budi pekerti
yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia
sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang
Dasar 1945 (TAP MPR No. IV/MPR/1973).
(c) Sejak tahun 1978 berlaku tujuan pendidikan nasional sebagai berikut:
Pendidikan Nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk
meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa,
kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat
kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat
menumbuhkan
manusia-manusia
pembangunan
yang
dapat
membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab
atas pembangunan bangsa (TAP MPR No. IX/MPR/1978).
54
(d) Sejak tahun 1989, dengan diberlakukannya Undang-undang No. 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan Pendidikan
Nasional dirumuskan kembali sebagai berikut: Pendidikan Nasional
bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
(e) Dalam GBHN 1993 ditetapkan tujuan pendidikan nasional yang lebih
rinci sebagai berikut:
Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia
Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri,
maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja,
professional, bertanggungjawab, dan pruduktif serta sehat jasmani
dan rohani…menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa
cinta
tanah
air,
meningkatkan
semangat
kebangsaan
dan
kesetiakawanan sosial serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap
menghargai
jasa
para
pahlawan,
depan…(TAP MPR No. II/MPR/1993).
2) Tujuan institusional
55
serta
berorientasi
masa
Di dalam Buku I Kurikulum Pendidikan Dasar tahun 1994 dijelaskan
bahwa pendidikan dasar bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar
kepada siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi,
anggota masyarakat, warga negara, dan anggota umat manusia serta
mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah. Oleh
karena sekolah dasar merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan
dasar sebagaimana telah ditegaskan di muka, tujuan institusional sekolah
dasar
adalah
bekal
kemampuan
dasar
kepada
siswa
untuk
mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat,
warga negara, dan anggota umat manusia serta mempersiapkan siswa
untuk mengikuti pendidikan menengah. Sebagaimana ditetapkan di dalam
pasal 13 Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan
nasional, yaitu pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan
sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan
dasar yang diperlukan untuk hidup di dalam masyarakat serta
mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk
mengikuti pendidikan menengah (Bafadal, 2009: 6).
3) Tujuan kurikulum
Tujuan kurikulum adalah tujuan yang ingin dicapai oleh suatu
program studi, bidang studi dan suatu mata ajaran, yang disusun
berdasarkan
tujuan
institusional.
56
Perumusan
tujuan
kurikulum
berpedoman pada kategorisasi tujuan pendidikan/taksonomi tujuan, yang
dikaitkan dengan bidang-bidang studi bersangkutan.
4) Tujuan pembelajaran (instruksional)
Tujuan pembelajaran adalah tujuan yang ingin dicapai setelah selesai
diselenggarakannya suatu proses pembelajaran, misalnya satuan acara
pertemuan, yang bertitik tolak pada perubahan tingkah laku siswa. Tujuan
ini disusun berdasarkan tujuan kurikulum (Hamalik, 2010: 6).
Berkenaan dengan tujuan operasional pendidikan SD, dinyatakan di
dalam kurikulum Pendidikan Dasar yaitu memberi bekal kemampuan dasar,
membaca, menulis dan berhitung, pengetahuan dan keterampilan dasar yang
bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya, serta
mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan di SLTP.
b. Fungsi
Sejak dilaksanakannya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun,
fungsi pendidikan SD telah mengalami perubahan yang mendasar. Pendidikan
SD tidak lagi menjalankan fungsi terminal melainkan menjalankan fungsi
transisional. Artinya, bagi setiap anak usia sekolah (6-13 tahun), menamatkan
pendidikan di SD bukan lagi sebagai kondisi akhir dari pendidikan formal
yang diharapkan melainkan sebagai tujuan antara karena setelah itu semua
pihak harus membantu individu tamatan SD untuk melanjutkan pendidikan di
SLTP atau sederajat (Mikarsa, 2008:1.16).
57
Fungsi yang sangat mendasar dan menonjol dari pendidikan SD adalah
fungsi edukatif, daripada fungsi pengajaran, di mana upaya bimbingan dan
pembelajaran diorientasikan pada pembentukan landasan kepribadian yang
kuat. Dari sudut perkembangan individu, fungsi tersebut sangat sesuai dengan
tingkat dan karakteristik perkembangan siswa SD. Fungsi ini diwujudkan
dengan modeling, yaitu memberikan contoh konkret dan keteladanan perilaku
yang etis, normatif dan bertanggung jawab dalam setiap berinteraksi dengan
siswa (Mikarsa, 2008:1.17).
Fungsi pengembangan dan peningkatan merupakan penjabaran dari fungsi
edukatif yang harus dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan
melalui kegiatan bimbingan dan konseling.
4. Aktivitas Pendidikan
Sumayyah (http:// cahayalaili. blogspot.com /2011/05/ konsep- dasarmanajemen-sekolah-dasar.html) menyatakan bahwa secara garis besar, aktivitas
pendidikan di sekolah dasar, baik negeri maupun swasta, dapat dibagi menjadi
tiga kelompok. Pertama, aktivitas pembelajaran kurikuler, seperti pembelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), pembelajaran Pendidikan
Agama (PA), pembelajaran Bahasa Indonesia (BI), pembelajaran Matematika
(Mat), pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS), pembelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian
58
(Kertakes), pembelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), dan
pembelajaran
Muatan
Lokal
(Mulok).
Kedua,
aktivitas
pembelajaran
ekstrakurikuler, seperti kegiatan Pramuka, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS),
olahraga, kesenian, dan Patroli Keamanan Sekolah (PKS). Ketiga, aktivitas
pembelajaran lainnya adalah upacara bendera yang diselenggarakan pada setiap
hari senin dan senam pagi. Masing-masing jenis aktivitas pembelajaran tersebut
memiliki tujuan kurikuler. Namun, semua aktivitas pembelajaran harus dipadukan
sedemikian rupa dan diarahkan kepada pencapaian satu tujuan, tepatnya tujuan
institusional sekolah dasar. Demikian pula, agar antara aktivitas pembelajaran
yang satu dan yang lainnya tidak tumpang tindih, dan fasilitas sekolah dapat
didayagunakan secara optimal, sekolah dasar menuntut adanya manajemen yang
baik. Di sinilah letak pentingnya manajemen yang baik di sekolah, sebagaimana
divisualisasikan dengan Gambar 2.1 Tampaknya tidak ada kesuksesan
penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar tanpa adanya manajemen yang baik
di dalamnya.
Struktur Aktivitas Sekolah Dasar
Aktivitas
Tujuan
Pembelajaran
Tujuan
Kurikuler
Kurikuler
Pembelajaran
Tujuan
Ekstra
kurikuler
Ekstrakurikul
er
Pembelajaran
59
Tujuan
Lainnya
Lainnya
Bagan 2.1
Tujuan
Institusional
(Bafadal, 2009:54)
5. Kurikulum Sekolah Dasar
a.
Pengertian Kurikulum
Kurikulum adalah suatu rangkaian mata pelajaran berikut metode
penyampaiannya yang menjadi patokan penyampaian ilmu pengetahuan.
Secara ringkas kurikulum merupakan dasar dari pendidikan. (sistem
Pendidikan di masa Kholifah). Menurut Saylor (1981), kurikulum yaitu; 1)
perangkat bahan ajar, 2) rumusan hasil belajar yang dikehendaki, 3)
penyediaan kesempatan belajar, 4) kewajiban peserta didik (Kurikulum SD
PIT Bhaskara, 2010:4).
Ahmad Tafsir (2008: 99) menyatakan bahwa esensi kurikulum ialah
program. Kata ini memang terkenal dalam ilmu pendidikan. Kurikulum ialah
program dalam mencapai tujuan pendidikan.
Sedangkan menurut Muhaimin (2008: 166) menyatakan bahwa kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan
tertentu ini adalah tujuan pendidikan nasional yang dijabarkan ke dalam
60
tujuan-tujuan atau standar-standar yang lebih operasional, serta kesesuaiannya
dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, sosial budaya masyarakat,
kebutuhan dan potensi SD/MI dan peserta didik.
Pengertian kurikulum yang lebih luas diberikan oleh para pendidik yaitu
segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar di dalam kelas, di
halaman sekolah maupun di luarnya, atau segala kegiatan di bawah tanggung
jawab sekolah yang mempengaruhi anak dalam belajarnya. Isi kurikulum
merupakan perangkat bidang studi, mata pelajaran, atau pokok-pokok sajian
yang mengandung unsur-unsur rumusan mata pelajaran, garis besar pokok
bahasan, penilaian dan petunjuk pelaksanaannya. Semua hal tersebut ditata
berdasarkan waktu, tempat, sarana, dan tenaga yang dibutuhkan (Kurikulum
SD PIT Bhaskara, 2010:4).
b.
Struktur Kurikulum
Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang
harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Kedalaman
muatan kurikulum pada setiap mata pelajaran dituangkan dalam kompetensi
yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum
dalam struktur kurikulum (Muhaimin, 2008: 228)
Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa struktur dan muatan Kurikulum
61
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut:
1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlāq mulia.
2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian.
3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
4) Kelompok mata pelajaran estetika.
5) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
Adapun cakupan Kelompok Mata Pelajaran tersebut sebagai berikut :
5) Agama dan akhlāq mulia
Kelompok mata pelajaran agama dan akhlāq mulia dimaksudkan
untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlāq mulia. Akhlāq
mulia mencakup estetika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan
dari pendidikan agama (Muhaimin, 2008: 229).
6) Kewarganegaraan dan Kepribadian
Kelompok
mata
pelajaran
kewarganegaraan
dan
kepribadian
dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik
akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara serta penngkatan dirinya sebagai manusia.
Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan
patriotisme bela negara, perhargaan terhadap hak-hak asasi manusia,
kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender,
62
demokrasi, tanggungjawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan
membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan
nepotisme (Muhaimin, 2008: 228).
7) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada
SD/MI/SDLB/Paket A dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan
mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mennanamkan
kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif, dan mandiri
(Muhaimin, 2008: 228).
8) Estetika
Kelompok mata pelajaran estetika dimaksudkan untuk meningkatkan
sensitivitas,
kemampuan
mengekspresikan
dan
kemampuan
mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan
mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan
ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati
dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan
sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis (Muhaimin,
2008: 228).
9) Jasmani, olahraga dan kesehatan
Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan pada
SD/MI/SDLB/Paket A dimaksudkan untuk meningkatkan potensi fisik
serta menanamkan sportivitas dan kesadaran hidup sehat. Budaya hidup
63
sehat termasuk kesadaran, sikap, dan perilaku hidup sehat yang bersifat
individual ataupun yang bersifat kolektif kemasyarakatan seperti
keterbatasan dari perilaku seksual bebas, kecanduan narkoba, HIV/AIDS,
demam berdarah, muntaber, dan penyakit lain yang potensial untuk
mewabah (Muhaimin, 2008: 228).
Struktur kurikulum SD/MI meliputi substansi pembelajaran yang
ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama 6 (enam) tahun, yakni mulai
kelas satu sampai dengan kelas enam. Struktur kurikulum disusun berdasarkan
SKL dan SK dan KD mata pelajaran dengan ketentuan sebagai berikut.
1) Kurikulum SD memuat delapan mata pelajaran, sedangkan kurikulum MI
memuat sembilan atau 12 mata pelajaran karena ditambah Bahasa Arab
atau 12 (PAI meliputi al-Qurān, hadīŝ, ’akīdah akhlāq, fiqh, dan Sejarah
Kebudayaan Islam), muatan lokal, dan pengembangan diri seperti tertera
pada tabel struktur kurikulum.
2) Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan
kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, yang
materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada.
Substansi muatan lokal telah ditentukan diatur tersendiri oleh SD/MI
dalam Bab IV tentang muatan lokal.
3) Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan
64
kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi
SD/MI.
4) Pendekatan pembelajaran pada kelas I sampai kelas III dilaksanakan
dengan ”pendekatan tematik”, sedangkan pada kelas IV sampai VI
dilaksanakan dengan ”pendekatan mata pelajaran” (Muhaimin, 2008:
230).
5) Substansi mata pelajaran IPA dan IPS merupakan ”IPA Terpadu” dan
”IPS Terpadu”.
Struktur Kurikulum SD/MI
Kelas dan Alokasi Waktu
Komponen
I
II
III
IV, V
dan VI
A. Mata pelajaran
1. Pendidikan Agama Islam
(3) 6
2. Pendidikan Kewarganegaraan
2
3. Bahasa Indonesia
5
TEMATIK
4. Bahasa Arab
2*)
5. Matematika
(5) 6
6. Ilmu Pengetahuan Alam
(4) 5
7. Ilmu Pengetahuan Sosial
3
65
8. Seni Budaya dan Keterampilan
4
9. Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan Kesehatan
4
B. Muatan Lokal
2
C. Pengembangan diri
2**)
Jumlah
1.
2.
3.
4.
29
30
31
39
Tabel 2.1
PAI di MI terdiri atas: al-Qurān dan hadīŝ, ‘akīdaħ dan akhlāq, fikih SKI
*) Bahasa Arab merupakan ciri khas madrasah
**) = Ekuivalen dua jam pembelajaran
( ) = angka di dalam kurung merupakan beban belajar yang tercantum
dalam Permendiknas, sedangkan angka di luar kurung merupakan beban
belajar tambahan karena ingin mencapai keunggulan-keunggulan tertentu
sebagaimana terkandung dalam visi, misi dan tujuan sekolah/madraah
sebagai berikut.
a. Unggul dalam pembinaan keagamaan Islam
b. Unggul dalam peningkatan prestasi UNAS
6) Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana
tertera dalam struktur kurikulum. SD/MI dimungkinkan menambah
maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan.
7) Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 35 menit.
8) Proses
pembelajaran
menekankan
keterlibatan
siswa
dengan
menggunakan berbagai pendekatan pembelajaran yang aktif, kreatif,
efektif, dan menarik/menyenangkan, kontekstual, mengembangkan
budaya baca, keteladanan, integratif dan situasional.
66
9) Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah kelas I
sampai II = 29 s.d. 31 jam, kelas III = 31 s.d. 33 jam, dan kelas IV sampai
kelas VI = 39 jam per minggu (Muhaimin, 2008: 230-231).
Selanjutnya dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan pula bahwa:
1) Kelompok
mata
pelajaran
agama
dan
akhlāq
mulia
pada
SD/MI/SDLB/Paket A
Dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan,
kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga,
dan kesehatan (Kurikulum SD PIT Bhaskara, 2010: 5).
2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian pada
SD/MI/SDLB/Paket A, dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan
agama, akhlāq mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan
pendidikan jasmani (Kurikulum SD PIT Bhaskara, 2010: 5).
3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada
SD/MI/SDLB/Paket A dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan
bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial,
keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal yang relevan (Kurikulum SD
PIT Bhaskara, 2010: 5).
4) Kelompok
mata
pelajaran
estetika
pada
SD/MI/SDLB/Paket
A
dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni, dan budaya,
67
keterampilan, dan muatan lokal yang relevan (Kurikulum SD PIT
Bhaskara, 2010: 5).
5) Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan pendidikan kesehatan,
ilmu pengetahuan alam, dan muatan lokal yang relevan (Kurikulum SD
PIT Bhaskara, 2010: 5).
c.
Fungsi Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Ramayulis (2008:152) menyatakan bahwa “kurikulum berfungsi sebagai
pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya
ke arah tujuan tertinggi pendidikan islam, melalui akumulasi sejumlah
pengetahuan, keterampilan dan sikap”.
Menurut Arifuddin Arif (2008:89-90) dan Abdul Majid (2008:134)
menyatakan bahwa :
Fungsi kurikulum dalam pendidikan adalah sebagai: 1) alat untuk
mencapai tujuan dan untuk menempuh harapan manusia sesuai dengan
tujuan yang dicita-citakan; 2) pedoman dan program harus dilakukan oleh
subjek dan objek pendidikan; 3) fungsi kesinambungan untuk persiapan
pada jenjang sekolah berikutnya dan penyiapan tenaga kerja bagi yang
tidak melanjutkan; dan 4) standar dalam penilaian kriteria keberhasilan
suatu proses pendidikan, atau sebagai batasan dari program kegiatan yang
akan dijalankan pada caturwulan, semester, maupun pada tingkat
pendidikan tertentu.
Sedangkan menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani dalam
bukunya Filsafat Pendidikan Islam yang diterjemahkan Hasan Langgulung
(Nata, 2010:130) menyatakan bahwa :
Kurikulum dalam pendidikan islam memiliki fungsi yang berbeda atau
yang lebih khusus, yaitu sebagai alat untuk mendidik generasi muda
68
dengan baik dan mendorong mereka untuk membuka dan
mengembangkan kesediaan-kesediaan, bakat-bakat, kekuatan-kekuatan,
dan keterampilan mereka yang bermacam-macam dan menyiapkan mereka
dengan baik untuk melaksanakan fungsinya sebagai khalīfaħ di muka
bumi.
Adapun fungsi kurikulum, jika diuraikan adalah sebagai berikut :
1) Bagi sekolah/madrasah yang bersangkutan:
a) Sebagai alat untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam yang
diinginkan atau dalam istilah KBK disebut standar kompetensi PAI,
meliputi fungsi dan tujuan pendidikan nasional, kompetensi lintas
kurikulum, kompetensi tamatan/lulusan, kompetensi bahan kajian PAI,
kompetensi mata pelajaran PAI (TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA),
kompetensi mata pelajaran kelas (kelas I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX,
X, XI, XII).
b) Pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan Pendidikan Agama Islam
di sekolah/madrasah.
2) Bagi sekolah/madrasah di atasnya:
a) Melakukan penyesuaian.
b) Menghindari keterulangan sehingga boros waktu.
c) Menjaga kesinambungan.
3) Bagi masyarakat:
a) Masyarakat
sebagai
pengguna
lulusan
(users),
sehingga
sekolah/madrasah harus mengetahui hal-hal yang menjadi kebutuhan
masyarakat dalam konteks pengembangan PAI.
69
b) Adanya kerja sama yang harmonis dalam hal pembenahan dan
pengembangan kurikulum PAI.
Kurikulum yang digunakan di Sekolah Dasar ialah Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Adapun yang dimaksud dengan istilah (KTSP)
ialah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi
yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan.
Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan memberikan otonomi
yang lebih besar, di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap
tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas, efisiensi,
dan pemerataan pendidikan (Mulyasa, 2006: 21).
Secara umum, tujuan diterapkannya KTSP ialah untuk memandirikan
memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi)
kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan
pengambilan keputusan secara partisipasif dalam pengembangan kurikulum
(Mulyasa, 2006: 21).
Adapun secara khusus tujuan diterapkannya KTSP sebagaimana menurut
Mulyasa (2006: 22) adalah untuk:
1) Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah
dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan
sumber daya yang tersedia.
2) Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
70
3) Meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang
kualitas pendidikan yang akan dicapai.
d.
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Islam
pada Sekolah Dasar
DEPDIKNAS (2008: 45) menyatakan bahwa Pendidikan Agama Islam
diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia
dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT
dan berakhlāq mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur,
adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis, dan
produktif, baik personal maupun sosial. Tuntutan visi ini mendorong
dikembangkannya standar kompetensi sesuai dengan jenjang persekolahan
yang secara nasional ditandai dengan ciri-ciri :
1) Lebih menitikberatkan pencapaian kompetensi secara utuh selain
penguasaan materi.
2) Mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan
yang tersedia.
3) Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan
untuk mengembangkan strategi dan program pembelajaran sesuai dengan
kebutuhan dan ketersediaan sumber daya pendidikan (DEPDIKNAS,
2008:45).
Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu
berupaya menyempurnakan iman, taqwa, dan akhlāq, serta aktif membangun
71
peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan
peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh
dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam
pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun
global (DEPDIKNAS, 2008: 44-45).
Pendidikan Agama Islam di SD/MI bertujuan untuk :
1) Menumbuhkembangkan ‘akīdaħ melalui pemberian, pemupukan, dan
pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan,
serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi
manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketaqwaannya
kepada Allah SWT.
2) Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlāq mulia
yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif,
jujur,
adil,
etis,
berdisiplin,
bertoleransi
(tasāmuħ),
menjaga
keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya
agama dalam komunitas sekolah (DEPDIKNAS, 2008:45).
Adapun ruang lingkup Pendidikan Agama Islam sebagaimana menurut
(DEPDIKNAS, 2008:45) meliputi aspek-aspek sebagai berikut; a) al-Qurān
dan hadīŝ, b) ‘aqīdaħ, c) akhlāq, d) fiqh, e) tarīkh dan Kebudayaan Islam.
Pendidikan Agama Islam menekankan keseimbangan, keselarasan, dan
keserasian antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia
72
dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan
hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Sedangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus
dikembangkan pada SD/MI sebagaimana menurut DEPDIKNAS (2008:4657) ialah sebagai berikut :
1) Standar kompetensi pada aspek al-Qurān
Adapun standar kompetensi yang harus dikembangkan pada aspek al-Qurān
sebagaimana menurut DEPDIKNAS (2008:46-57) yaitu:
a) menghafal al-Qurān surat pendek pilihan, b) menghafal al-Qurān, c)
membaca al-Qurān surat pendek pilihan, d) mengenal kalimat dalam alQurān, e) mengenal ayat-ayat al-Qurān, f) membaca surat-surat al-Qurān, g)
mengartikan al-Qurān surat pendek pilihan.
Sedangkan kompetensi dasar dari aspek al-Qurān yaitu:
a) melafalkan QS al-Fātihaħ dengan lancar, b) menghafal surat QS alFātihaħ dengan lancar, c) menghafal QS al-Kauŝar dengan lancar, d)
menghafal QS al-Naşr dengan lancar, e) menghafal QS al-‘Aşr dengan lancar,
f) mengenal huruf hijāiyyaħ, g) mengenal tanda baca (harakaħ), h) membaca
huruf hijāiyyaħ bersambung, i) menulis huruf hijāiyyaħ bersambung, j)
membaca kalimat dalam al-Qurān, k) menulis kalimat dalam al-Qurān, l)
membaca huruf al-Qurān, m) menulis huruf al-Qurān, n) membaca QS alFātihaħ dengan lancar, o) membaca QS al-Ikhlāş dengan lancar, p) membaca
QS al-Kauŝar dengan lancar, q) membaca QS an-Naşr dengan lancar, r)
73
membaca QS al-‘Aşr dengan lancar, s) membaca QS al-Lahab dan al-Kāfirûn,
t) mengartikan QS al-Lahab dan al-Kāfirûn, u) membaca QS al-Mā’ûn dan
al-Fīl, v) mengartikan QS al-Mā’ûn dan al-Fīl, w) Membaca QS al-Qadr dan
al-‘Alaq ayat 1-5, x) Mengartikan QS al-Qadr dan al-‘Alaq ayat 1-5, y)
Membaca QS al-Mā’idah ayat 3 dan al-Hujurāt ayat 13, z) Mengartikan QS
al-Mā’idah ayat 3 dan al-Hujurāt ayat 13.
2) Standar kompetensi pada aspek ‘aqīdaħ
Adapun standar kompetensi yang harus dikembangkan pada aspek ‘aqīdaħ
sebagaimana menurut DEPDIKNAS (2008:46-57) yaitu:
a) mengenal rukun iman, b) mengenal dua kalimat syahadaħ, c) mengenal
asmāul husnā, d) mengenal sifat wajib Allah, e) mengenal sifat mustahīl
Allah, f) mengenal sifat jaiz Allah, g) mengenal malaikat dan tugasnya, h)
mengenal kitab-kitab Allah, i) mengenal Rasul-Rasul Allah, j) meyakini
adanya hari akhir, k) meyakini adanya Qadha dan Qadar.
Sedangkan kompetensi dasar aspek ‘aqīdaħ yaitu:
a)
menunjukkan
ciptaan
Allah
SWT
melalui
ciptaan-Nya,
b)
menyebutkan enam rukun iman, c) menghafal enam rukun iman, d)
melafalkan syahadat tauhid dan syahadat rasul, e) menghafal dua kalimat
syahadaħ, f) mengartikan dua kalimat syahadaħ g) menyebutkan lima dari
asmāul husnā , h) mengartikan lima dari asmāul husnā , i) menyebutkan lima
sifat wajib Allah, j) mengartikan lima sifat wajib Allah, k) menyebutkan sifat
mustahil Allah, l) mengartikan sifat mustahīl Allah, m) menyebutkan sifat jaiz
74
Allah, n) mengartikan sifat jaiz Allah, o) menjelaskan pengertian malaikat, p)
menyebutkan tugas-tugas malaikat, p) menyebutkan nama-nama kitab Allah
SWT, r) menyebutkan nama-nama Rasul yang menerima kitab-kitab Allah
SWT, s) menjelaskan al-Qurān sebagai kitab suci terakhir, t) menyebutkan
nama-nama Rasul Allah SWT, u) menyebutkan nama-nama Rasul Ulul ‘Azmi
dari para Rasul, v) membedakan nabi dan rasul, w) menyebutkan nama-nama
hari akhir, x) menjelaskan tanda-tanda hari akhir, y) menunjukkan contohcontoh Qadha dan Qadar, z) menunjukkan keyakinan terhadap Qadha dan
Qadar.
3) Standar kompetensi pada aspek akhlāq
Adapun standar kompetensi yang harus dikembangkan pada aspek akhlāq
sebagaimana menurut DEPDIKNAS (2008:46-57) yaitu:
a) membiasakan perilaku terpuji, b) mencontohkan perilaku terpuji, c)
menghindari perilaku tercela.
Sedangkan standar kompetensi dari aspek akhlāq yaitu :
a)
membiasakan
perilaku
jujur,
b)
membiasakan
perilaku
bertanggungjawab, c) membiasakan perilaku hidup bersih, d) membiasakan
perilaku disiplin, e) menampilkan perilaku rajin, f) menampilkan perilaku
tolong-menolong, g) menampilkan perilaku hormat terhadap orang tua, h)
menampilkan adab makan dan minum, i) menampilkan adab belajar, j)
menampilkan perilaku rendah hati, k) menampilkan perilaku hidup sederhana,
l) menampilkan adab buang air besar dan kecil, m) mencontohkan perilaku
75
hormat dan santun kepada guru, n) menampilakan perilaku sopan dan santun
kepada tetangga, o) menampilkan perilaku percaya diri, p) menampilkan
perilaku tekun, q) menampilkan perilaku hemat, r) menampilkan perilaku setia
kawan, t) menampilkan perilaku kerja keras, u) menampilkan perilaku
penyayang terhadap hewan v) menampilkan perilaku penyayang terhadap
lingkungan, w) meneladani taubatnya nabi Adam as, x) meneladani perilaku
masa kanak-kanak nabi Muhammad SAW, y) meneladani perilaku nabi Ayyūb
as, z) meneladani perilaku na'bi Mūsā as, aa) meneladani perilaku Nabi ‘Īsā
as, bb) meneladani perilaku khalīfaħ Abū Bakr ra, cc) meneladani perilaku
‘Umar bin Khaţāb ra, dd) menghindari perilaku dengki seperti Abū Lahab dan
Abū Jahl, ee) menghindari perilaku bohong seperti Musailamaħ al-Każāb, ff)
meneladani perilaku kegigihan perjuangan kaum Muhajirīn dalam kehidupan
sehari-hari di lingkungan peserta didik, gg) meneladani perilaku tolongmenolong kaum Anşār dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan peserta
didik.
4) Standar kompetensi pada aspek Fiqh
Adapun standar kompetensi yang harus dikembangkan pada aspek fiqih
sebagaimana menurut DEPDIKNAS (2008: 46-57) yaitu:
a) mengenal tata cara bersuci (țaharaħ), b) mengenal rukun islam, c)
membiasakan bersuci (țaharaħ), d) mengenal tata cara wudu’, e) menghafal
bacaan şalāħ, f) membiasakan şalāħ secara tertib, g) melakukan şalāħ fardhu,
76
h) mengenal ketentuan-ketentuan şalāħ, i) melaksanakan dzikir dan do’a, j)
mengumandangkan ażan dan ‘iqāmaħ, k) mengenal puasa wajib, l) mengenal
ibadah pada bulan Ramadhan, m) mengetahui kewajiban zakat.
Sedangkan kompetensi dasar dari aspek fiqh yaitu:
a) menyebutkan pengertian bersuci, b) mencontoh tata cara bersuci, c)
menirukan ucapan rukun islam, d) menghafal rukun islam, e) menyebutkan
tata cara berwudu’, f) mempraktekkan tata cara berwudu’, g) membiasakan
wudu’ dengan tertib, h) melafalkan bacaan şalāħ, i) menghafal bacaan şalāħ,
j) mencontohkan gerakan şalāħ, k) mempraktekkan şalāħ secara tertib, l)
menghafal bacaan şalāħ, m) menampilkan keserasian gerakan dan bacaan
şalāħ, n) menyebutkan şalāħ fardhu, o) mempraktikkan şalāħ fardhu, p)
menyebutkan rukun şalāħ, q) menyebutkan sunnnah şalāħ, r) menyebutkan
syarat sah dan syarat wajib şalāħ, s) menyebutkan hal-hal yang membatalkan
şalāħ, t) melakukan dzikir setelah şalāħ, u) membaca do’a setelah şalāħ, v)
melafalkan lafal ażan dan ‘iqāmaħ, w) mengumandangkan ażan dan ‘iqāmaħ,
x) menyebutkan ketentuan-ketentuan puasa Ramadhan, y) menyebutkan
hikmah puasa, z) melaksanakan tarāwih di bulan Ramadhan, aa)
melaksanakan tadarrus al-Qurān, bb) menyebutkan macam-macam zakat, cc)
menyebutkan ketentuan zakat fitrah.
5) Standar kompetensi pada aspek tarīkh
Adapun standar kompetensi yang harus dikembangkan pada aspek tarīkh
sebagaimana menurut DEPDIKNAS (2008:46-57) yaitu:
77
a) menceritakan kisah nabi, b) menceritakan kisah sahabat nabi, c)
menceritakan kisah Abū Lahab, Abū Jahl, dan Musailamaħ al-Każāb, d)
menceritakan kisah kaum Muhajirīn dan kaum Anşār.
Sedangkan kompetensi dasar dari aspek tarīkh yaitu:
a) menceritakan kisah nabi Adam as, b) menceritakan kisah kelahiran
nabi Muhammad SAW, c) menceritakan perilaku masa kanak-kanak nabi
Muhammad SAW, d) menceritakan kisah nabi Ibrāhīm as, e) menceritakan
kisah nabi Ismā’īl as, f) menceritakan kisah nabi Ayyūb as, g) menceritakan
kisah nabi Mūsā as, h) menceritakan kisah nabi ‘Īsā as, i) menceritakan kisah
khalīfaħ Abū Bakr ra, j) menceritakan kisah ‘Umar bin Khaţāb ra, k)
menceritakan perilaku Abū Lahad dan Abū Jahl, l) menceritakan perilaku
Musailamaħ al-Każāb, m) menceritakan perjuangan kaum Muhajirīn, n)
menceritakan perjuangan kaum Anşār.
1) Tujuan Pendidikan Agama Islam di SD
Dalam buku DEPDIKNAS (2008:45) menyatakan bahwa pendidikan
agama Islam di SD/MI bertujuan untuk :
a) Menumbuhkembangkan ‘akīdaħ melalui pemberian, pemupukan, dan
pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta
pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia
muslim yang terus berkembang keimanan dan ketaqwaannya kepada
Allah;
78
b) Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlāq mulia
yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif,
jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasāmuh), menjaga keharmonisan
secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam
komunitas sekolah.
Sedangkan dalam Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SKKMP)
(Mulyasa, 2010:97) menjelaskan bahwa :
Kelompok mata pelajaran agama dan akhlāq Mulia bertujuan: membentuk
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta berakhlāq mulia. Tujuan tersebut dicapai melalui
muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu
pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga, dan kesehatan.
2) Indikator-indikator Keberhasilan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah
Dasar
Dalam GBPP mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada kurikulum
yang telah disempurnakan tahun 1999 dijelaskan bahwa; untuk jenjang
pendidikan dasar, indikator-indikator keberhasilan lulusannya ialah dengan
landasan iman yang benar siswa;
a) Mampu membaca, menulis dan memahami ayat-ayat pilihan dengan
indikator-indikator; (1) siswa mampu membaca ayat-ayat pilihan; (2)
siswa mampu menulis ayat-ayat pilihan; (3) siswa mampu memahami
terjemahan ayat-ayat pilihan.
b) Siswa mengetahui, memahami dan meyakini unsur-unsur keimanan
dengan indikator-indikator; (1) siswa mengetahui, memahami dan
79
meyakini Allah dan sifat-sifat-Nya; (2) siswa mengetahui, memahami dan
meyakini malaikat-malaikat dan rasul-rasul-Nya; (3) siswa mengetahui,
memahami dan meyakini kitab-kitab Allah, hari akhir dan qadha dan
qadar.
c) Siswa mengetahui sejarah nabi Muhammad SAW dan perkembangan
Agama Islam, dengan indikator-indikator sebagai berikut; (1) siswa
mengetahui sejarah nabi SAW periode Mekkah; (2) siswa mengetahui
sejarah periode nabi SAW periode Madinah; (3) siswa mengetahui
perkembangan Agama Islam sejak nabi SAW periode Madinah; (4) siswa
mengetahui perkembangan Agama Islam sejak nabi SAW, zaman
khulafāur rāsyidīn, islam di negara-negara lain dan islam di Indonesia.
d) Siswa mengetahui fiqh ibadah, mu’āmalaħ dan jināyaħ dengan indikatorindikator; (1) siswa mengetahui dan memahami ketentuan-ketentuan
şalāħ, puasa, zakat dan haji; (2) siswa mengetahui dan memahami
mu’āmalaħ, munakahāt dan jināyaħ.
e) Siswa berbudi luhur/berakhlāq mulia, dengan indikator-indikator; (1)
siswa melaksanakan tuntutan akhlāq terhadap dirinya sendiri; (2) siswa
melaksanakan tuntutan akhlāq terhadap sesama; (3) siswa melaksanakan
tuntutan akhlāq terhadap makhluk lain.
6. Pendidikan Agama Islam di Sekolah dasar negeri
Pendidikan Agama Islam sangat diperlukan dalam pembelajaran Sekolah
terutama Sekolah Dasar (SD), oleh karena itu pembelajaran PAI ini harus selalu
80
ditingkatkan. Kondisi Pendidikan Agama Islam di sekolah dasar, tidak jauh
berbeda dengan kondisi Pendidikan Agama Islam di sekolah umum. Sebagaimana
penelitian terdahulu menyebutkan bahwa proses pendidikan Agama Islam masih
banyak kekurangan dan kelemahan. Adapun kekurangan dan kelemahannya
(Muhaimin, 2009: 23) mengungkapkan sebagai berikut :
a. Pendidikan Agama Islam yang berlangsung saat ini cenderung lebih
mengedepankan aspek kognisi (pemikiran) daripada afeksi (rasa) dan
psikomotorik (tingkah laku) (Tempo, 24 November 2004).
b. Pendidikan Agama Islam lebih berorientasi pada belajar tentang agama,
sehingga hasilnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama,
tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang
diketahuinya Komaruddin Hidayat (Bisri, 1999).
c. Pendidikan Agama Islam lebih banyak terkonsentrasi pada persoalanpersoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif, dan kurang concern
terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif
menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta
didik lewat berbagai cara, media dan forum (Abdullah,1998).
Masalah di atas merupakan sebagian dari beberapa masalah yang dihadapi
Pendidikan Agama Islam di persekolahan. Dan jika permasalahan ini tidak segera
dicari jalan keluarnya, maka Pendidikan Agama Islam akan semakin menurun dan
terpuruk.
7. Optimalisasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar
Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa agar
memahami (knowing), terampil melaksanakan (doing), dan mengamalkan (being)
Agama Islam melalui kegiatan pendidikan. Tujuan pendidikan Agama Islam di
sekolah (bukan di madrasah) ialah murid memahami, terampil melaksanakan, dan
melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi orang
81
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT berakhlāq mulia dalam kehidupan
pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ahmad
Tafsir
(http://
sdislamalhuda.
wordpress.com
/2009/11/05/
meningkatkan-mutu-pendidikan-agama-islam-di-sdi-al-huda/) menjelaskan bahwa
“optimalisasi Pendidikan Agama Islam (PAI) tidak berarti penambahan jumlah
jam pelajaran di sekolah, tetapi melalui optimalisasi upaya Pendidikan Agama
Islam. Itu berupa optimalisasi mutu guru Agama Islam dan optimalisasi sarana.
Karakteristik utama PAI adalah banyaknya muatan komponen being, di samping
sedikit komponen knowing dan doing. Hal ini menuntut perlakuan pendidikan
yang banyak berbeda dari pendidikan bidang studi umum. Pembelajaran untuk
mencapai being yang tinggi lebih mengarahkan pada usaha pendidikan agar murid
melaksanakan apa yang diketahuinya itu dalam kehidupan sehari-hari. Bagian
paling penting dalam PAI ialah mendidik murid agar beragama, memahami
agama (knowing) dan terampil melaksanakan ajaran agama (doing) hanya
mengambil porsi sedikit saja. Dua yang terakhir ini memang mudah. Berdasarkan
pengertian itulah Pendidikan Agama Islam memerlukan pendekatan pendekatan
naql, akal dan qalb. Selain itu juga diperlukan sarana yang memadai sehingga
mendukung terwujudnya situasi pembelajaran yang sesuai dengan karakter
Pendidikan Agama Islam. Sarana ibadah, seperti masjid/muşallā, mushaf alQurān, tempat bersuci/tempat wudu’ merupakan salah satu contoh sarana
Pendidikan Agama Islam yang dapat dipergunakan secara langsung oleh siswa
untuk belajar Agama Islam. Peningkatan mutu guru Agama Islam diarahkan agar
82
ia mampu mendidik muridnya untuk menguasai tiga tujuan tadi. Untuk itu perlu
ditingkatkan kemampuannya dalam penguasaan materi pelajaran agama,
penguasaan metodologi pengajaran, dan peningkatan keberagamaannya sehingga
ia pantas menjadi teladan muridnya”.
Ahmad Tafsir juga dalam situs (http:// sdislamalhuda. wordpress.com
/2009/11/05/
meningkatkan-mutu-pendidikan-agama-islam-di-sdi-al-huda/)
menyatakan bahwa banyak orang memberikan penilaian terhadap keberhasilan
guru Agama Islam (GAI). Pada umumnya, mereka menyatakan bahwa GAI
banyak gagal dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Islam. Penelitian
menunjukkan bahwa pada aspek knowing dan doing guru agama tidak gagal;
mereka banyak gagal pada pembinaan aspek keberagamaan (being). Muridmuridnya memahami ajaran Agama Islam, terampil melaksanakan ajaran itu,
tetapi mereka sebagiannya tidak melaksanakan ajaran Islam tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari. Mereka memahami hukum dan cara şalāħ lima,
terampil melaksanakan şalāħ lima, tetapi sebagian dari murid itu tidak
melaksanakan şalāħ lima. Mereka tahu konsep jujur, mereka tahu cara
melaksanakan jujur, tetapi sebagian dari mereka tetap sering tidak jujur dalam
kehidupannya sehari-hari. Jadi, aspek keberagamaan itulah yang sangat penting
untuk ditingkatkan.
E. Sekolah Dasar Islam Terpadu
1. Pengertian Sekolah Dasar Islam Terpadu
83
Sekolah dasar terpadu ialah sekolah yang diproyeksikan untuk dapat
menampung semua anak Sekolah Dasar (SD), termasuk di dalamnya anak
berkelainan dan anak berbakat. Penyelenggaraannya tidak berbeda dengan
sekolah dasar lainnya. Meskipun ada kegiatan-kegiatan yang khusus untuk anak
berkelainan atau berbakat, kegiatannya tidak mengganggu atau mengurangi
pelayanan pendidikan bagi anak biasa. Ada juga yang mengartikan bahwa SD
Terpadu adalah sekolah dasar yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak
normal dan penyandang cacat maupun normal secara bersama-sama dengan
menggunakan kurikulum sekolah dasar konvensional (Bafadal, 2009: 5).
Adapun yang menjadi perbedaan kegiatan itu, antara lain :
a. Adanya usaha pengintegrasian atau pembauran beberapa anak berkelainan
pada kelas sekolah dasar biasa.
b. Adanya guru pembimbing khusus yang mendampingi atau membantu guru
kelas demi kelancaran proses belajar mengajar.
c. Adanya anak-anak penyandang ketunaan yang diharuskan mengikuti
kurikulum sekolah dasar biasa.
d. Siswanya terdiri dari anak-anak berusia 7-13 tahun.
Dalam
situs
(http://
www.citra-azzahra.co.cc/
index.php?
option
=com_content &view= article&id= 6&Itemid =28) dijelaskan bahwa SDIT
(Sekolah Dasar Islam Terpadu) ialah sebuah lembaga pendidikan swasta yang
bercirikan islam setaraf sekolah dasar umum biasa, yang memadukan kurikulum
standar sekolah negeri dengan Pendidikan Agama Islam. Adapun ciri spesifik
84
SDIT adalah waktu belajar yang di mulai dari pukul 07.00-15.00 (Fullday) (Yanto
2005).
Pada umumnya sekolah dasar islam terpadu ini menggunakan metode
penggabungan dua pendidikan, yakni pendidikan reguler dan pendidikan ‘aqīdaħ
(Agama Islam). Sehingga jam belajar yang di perlukan di sekolah ini akan lebih
banyak dibandingkan dengan jam belajar di sekolah reguler. Kegiatan siswa di
dalam menuntut ilmu akan lebih banyak di sekolah dibandingkan porsi siswa
belajar di rumah. Sekolah merupakan rumah kedua untuk siswa menuntut ilmu
dan mengembangkan pengetahuan. Waktu yang lama untuk belajar di sekolah
akan membuat para siswa menjadi bosan dan merasa lelah, sehingga sekolah
terpadu harus memiliki fasilitas yang baik agar siswa merasa nyaman dan
rekreatif di dalam belajar (http:// www.citra-azzahra.co.cc/ index.php? option
=com_content &view= article&id= 6&Itemid =28).
Siswa yang belajar di sekolah dasar islam terpadu ini akan berbeda dengan
siswa yang belajar di sekolah reguler atau formal pada umumnya, yakni mereka
akan lebih banyak berinteraksi antar sesama maupun berinteraksi dengan alam
sekitar sewaktu di sekolah. Jam belajar yang ada di sekolah membuat siswa tidak
perlu lagi mengikuti kursus atau les di luar sekolah, karena biasanya sekolah dasar
terpadu sudah memiliki mata pelajaran yang lebih banyak dibandingkan dengan
sekolah formal biasa, misalnya Bahasa Inggris, komputer, baca tulis al-Qurān,
musik, dsb. Dengan adanya sekolah dasar islam terpadu semoga akan membuat
sistem pendidikan untuk anak-anak akan lebih maksimal dibandingkan
85
pendidikan reguler lainnya dan menciptakan generasi penerus bangsa yang
memiliki keahlian di dalam berbagai bidang (Kliping Media Indonesia 15 Juni
2002).
2. Kurikulum Sekolah Dasar Islam Terpadu
Kurikulum yang digunakan dalam sekolah dasar islam terpadu, sama seperti
kurikulum yang digunakan oleh Sekolah Dasar Negeri yaitu Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Namun, di sekolah dasar islam terpadu Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini dipadukan dengan muatan-muatan
pendidikan islam yang ingin dicapai oleh sekolah tersebut.
Untuk pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar islam terpadu sama seperti
pelajaran di sekolah dasar negeri yaitu Agama, Kewarganegaraan, Jasmani dan
Kesehatan, Teknologi Informatika dan Komunikasi, Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Bahasa Daerah, Bahasa Asing, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam,
Sejarah, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya dan Keterampilan.
Namun, selain pelajaran wajib dari pemerintah yang harus diajarkan kepada
para siswa. Sekolah dasar islam terpadu juga menambahkan pelajaran dan
kegiatan yang mengacu pada visi dan misi sekolah tersebut. Seperti ; Ibadahibadah Praktis, Pesantren Ramadhan, Ajang lomba/Olympiade /Musabaqaħ,
Super Camp (Student Camp), Outbound, Pameran & hasil karya, Computer Skill,
Bakti Sosial, Life Skill, Library Visit, Peringatan hari besar islam & nasional,
Apresiasi Seni & Keterampilan (PPKA), Marketing Day, Writing Skill, Kerja
86
bakti, Renang / Sport Day, Mabit (Malam Bina Iman & Taqwa), Mentoring dan
lain-lain.
3. Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar Islam Terpadu
Menurut Abdul Khoir (Media Indonesia, 2002: 16), sekolah dasar islam
terpadu lahir dari keinginannya untuk memadukan pendidikan agama dan
pengetahuan umum. Tentu waktunya harus panjang dari sekolah dasar biasa yang
banyak mengajarkan pelajaran umum atau madrasah yang banyak mengajarkan
pendidikan agamanya. Keberadaan sekolah terpadu dengan karakteristiknya itu
diperoleh dari adopsi dan meramu pada kasus madrasah dan riset dari sekolahsekolah di luar negeri.
Salah satu kendala yang dihadapi Pendidikan Agama Islam di sekolah selama
ini, ialah terbatasnya waktu belajar. Karena pembelajaran Pendidikan Agama
Islam di sekolah biasa hanya dua jam pelajaran selama satu minggu.
Sebagaimana menurut Prof. Dr. Mohammad Ali (http:// www.ispi.or.id
/2010/09/19/
pengembangan-
pendidikan-agama-islam-di-sekolah/),
bahwa
“kendala dan tantangan dalam pelaksanaan pembelajaran Agama Islam di sekolah
antara lain karena waktunya sangat terbatas, yaitu hanya dua jam pelajaran per
minggu. Dan jika pembelajaran PAI ini ingin optimal, maka guru yang menjadi
ujung tombak pembelajaran di lapangan/sekolah, perlu merumuskan model
pembelajaran sebagai implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), khususnya kurikulum mikro pada kurikulum Agama Islam di sekolah.
Cara yang bisa ditempuh guru dalam menambah pembelajaran Pendidikan Agama
87
Islam melalui pembelajaran ekstrakurikuler dan tidak hanya pembelajaran formal
di sekolah. Pembelajaran dilakukan bisa di sekolah, yaitu di kelas atau di muşallā.
Bisa pula di rumah atau tempat yang disetujui. Waktu belajarnya tentu diluar jam
pelajaran formal. Cara ini memang membutuhkan tambahan fasilitas, waktu, dan
tenaga guru, tapi itulah tantangan guru yang tidak hanya mengajar tetapi memiliki
semangat dakwah untuk menyebarkan ilmu di mana pun dan kapan pun. Untuk
itu diperlukan koordinasi dan kerja sama yang baik antara guru dengan orang tua.
Selain itu pula beliau menjelaskan (http://www.ispi.or.id /2010/09/19/
pengembangan- pendidikan- agama- islam- di-sekolah/) bahwa “penyelenggaraan
Pendidikan Agama Islam di sekolah penuh tantangan, karena secara formal
penyelenggaraan pendidikan islam di sekolah hanya dua jam pelajaran per
minggu. Jadi apa yang bisa mereka peroleh dalam pendidikan yang hanya dua jam
pelajaran. Jika sebatas hanya memberikan pengajaran agama islam yang lebih
menekankan aspek kognitif, mungkin guru bisa melakukannya, tetapi kalau
memberikan pendidikan yang meliputi tidak hanya kognitif tetapi juga sikap dan
keterampilan, guru akan mengalami kesulitan. Kita tahu bahwa sekarang di kotakota pada umumnya mengandalkan pendidikan islam di sekolah saja, karena
orang-orangnya sibuk dan jarang sekali tempat-tempat yang memungkinan
mereka belajar Agama Islam. Jadi guru ini kalau dipercaya untuk mendidik
Pendidikan Agama Islam di sekolah, keislaman mereka ini adalah tanggung jawab
moral. Oleh karena itu jangan hanya mengandalkan guru-guru yang hanya
mengajar di sekolah saja, akan lebih baik apabila menciptakan berbagai kegiatan
88
ekstrakurikuler yang memungkinkan mereka bisa belajar Agama Islam lebih
banyak lagi.”
Dan masih dalam situs yang sama (http://www.ispi.or.id/2010/09/19/
pengembangan- pendidikan-agama-islam-di-sekolah/) beliau menjelaskan bahwa
“Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah bagi peserta didik
mengandalkan pendidikan agamanya hanya dari sekolah. Namun bagi peserta
didik yang tinggal di daerah yang ada madrasah dīniyyaħ atau pesantren
mengikuti Pendidikan Agama Islam di sekolah tidak terlalu banyak menghadapi
masalah, karena mereka bisa sekolah dan bisa juga belajar Agama Islam di
dīniyyaħ atau pesantren. Tetapi kondisi semacam ini pada masa sekarang sudah
sulit dijumpai. Ada beberapa kemungkinan yang dihadapi oleh peserta didik,
yaitu peserta didik belajar Agama Islam dari sisa waktu yang dimiliki oleh orang
tuanya. Peserta didik belajar Agama Islam dengan mengundang ustāż ke
rumahnya. Ada pula peserta didik yang hanya mengandalkan Pendidikan Agama
Islam dari sekolahnya tanpa mendapatkan tambahan belajar agama dari tempat
lain. Dalam Pendidikan Agama Islam banyak yang mesti dikuasai oleh peserta
didik, seperti berkaitan dengan pengetahuan, penanaman ‘aqīdaħ, praktek ibadah,
pembinaan perilaku atau yang dalam Undang-Undang disebut pembinaan akhlāq
mulia. Kendala dan tantangan dalam pelaksanaan pembelajaran Agama Islam di
sekolah antara lain karena waktunya sangat terbatas, yaitu hanya dua jam
pelajaran per minggu. Menghadapi kendala dan tantangan ini, maka guru yang
menjadi ujung tombak pembelajaran di lapangan/sekolah, perlu merumuskan
89
model pembelajaran sebagai implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), khususnya kurikulum mikro pada kurikulum Agama Islam di sekolah.
Cara yang bisa ditempuh guru dalam menambah pembelajaran Pendidikan Agama
Islam melalui pembelajaran ekstrakurikuler dan tidak hanya pembelajaran formal
di sekolah. Pembelajaran dilakukan bisa di sekolah, yaitu di kelas atau di muşallā.
Bisa pula di rumah atau tempat yang disetujui. Waktu belajarnya tentu diluar jam
pelajaran formal. Cara ini memang membutuhkan tambahan fasilitas, waktu, dan
tenaga guru, tapi itulah tantangan guru yang tidak hanya mengajar tetapi memiliki
semangat dakwah untuk menyebarkan ilmu di mana pun dan kapan pun. Untuk
itu diperlukan koordinasi dan kerja sama yang baik antara guru dengan orang
tua.”
Dari kondisi tersebut, permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran
Pendidikan Agama Islam, SD Islam terpadu mencoba menjawabnya. Dalam
sistem pembelajaran, SD islam terpadu menambahkan jam pelajaran pada
pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Sehingga pembelajaran pada segi praktik
lebih bisa dipelajari secara mendalam.
Sebagaimana Menurut Abdul Khoir (Kliping Media Indonesia, 15 Juni 2002)
bahwa yang membedakan antara sekolah dasar negeri dan sekolah dasar terpadu
yaitu metode dan lamanya waktu belajar. Sekolah dasar islam terpadu meredusir
kurikulum internasional dengan metode (active learning). Namun metode ini
harus disesuaikan dengan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah
tersebut. Pada sekolah dasar negeri pembelajaran Kegiatan Belajar Mengajar
90
(KBM) dimulai dari pukul 07.00 s/d 12.00. Sedangkan sekolah dasar islam
terpadu pembelajaran Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dimulai dari pukul
07.30 s/d 14.00 untuk kelas I dan II. Sedangkan untuk kelas III sampai VI dari
pukul 07.30 s/d 16.00.
Selain perbedaan jam pelajaran, sekolah dasar islam terpadu juga
mengutamakan pembelajaran pada segi praktik daripada teoritik. Karena kalau
kita mempraktikan sesuatu sudah pasti kita tahu teorinya. Sedangkan belum tentu
kalau kita tahu teori tapi bisa mempraktikannya. Hal ini terbukti pada beberapa
kegiatannya. Seperti a. Kegiatan şalāħ berjamaah, b. Mengerjakan shaum
Sunnaħ, c. Mengerjakan şalāħ Sunnaħ dan lain sebagainya. Ini merupakan bukti
bahwa sekolah dasar islam terpadu, bukan hanya mengajarkan materi tetapi juga
berusaha menanamkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-harinya.
Bahkan menurut Abdul Khoir, ‘walaupun usia sekolah jenis ini relatif masih
muda, jumlah sekolah islam terpadu yang ada saat ini relatif tidak mencukupi
dibandingkan minat orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya’. Itu
membuktikan bahwa sekolah islam terpadu yang mempunyai sistem pembelajaran
yang berbeda dengan sekolah dasar biasa, sangat diminati oleh orang
tua/masyarakat.
91
Download