Sistem dan Jenis Upacara Keagamaan Terkait dengan Aktivitas

advertisement
Sistem dan Jenis Upacara Keagamaan Terkait
dengan Aktivitas Subak di Bali
Oleh
I Ketut Suda
Fakultas Pendidikan Agama dan Seni,
Universitas Hindu Indonesia, Denpasar
e-mail: [email protected]
Dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, berkembang unit-unit kesatuan
sosial yang mempunyai tugas dan fungsi masing-masing. Adapun unit-unit kesatuan
sosial tersebut meliputi, desa, banjar, sekehe, dan organisasi subak. Berbicara soal
subak dapat mengacu pada ketentuan Perda Bali No.02/PD/DPRD/1972 yang
mengatakan ‘’subak merupakan masyarakat hukum adat yang bersifat sosio-religius
yang secara historis didirikan sejak dahulu kala dan berkembang terus sebagai
organisasi penguasa tanah
dalam bidang pengaturan air dan lain-lain untuk
persawahan dari satu sumber air dalam suatu daerah’’.
Batasan ini dikritisi Pitana (1997) dengan mengatakan bahwa subak
sebagaimana dimuat pada Perda Bali tersebut, belum sepenuhnya tepat, sebab pada
kenyataannya satu sumber air bisa dimanfaatkan oleh beberapa subak, dan
sebaliknya bisa jadi satu subak mendapatkan air dari beberapa sumber. Ada lagi
sumber lainnya mengatakan bahwa ‘’subak adalah organisasi petani di Bali yang
didasarkan pada hukum atau aturan tradisional, seperti aturan sosio-agraris, agama,
ekonomi, dan dinamika alam (Anon,2002).
Apapun batasan tentang subak yang telah dikemukan di atas, tidak akan
dibahas secara lebih rinci dalam kajian ini, sebab tulisan ini akan mencoba
menajamkan perhatian pada persoalan sistem dan jenis upacara keagamaan yang
berkaitan dengan aktivitas subak di Bali. Dari hasil studi yang dilakukan Tim peneliti
FFI (Fauna & Flora Internasional) tentang Jasa Lingkungan Budaya Sistem Subak di
Bali (2015) dengan mengambil lokasi penelitian di Kawasan Subak Jati Luih,
Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, ditemukan setidaknya ada 13 jenis upacara
yang dilakukan oleh para petani di lingkungan subak, baik yang berada di kawasan
Warirsan Budaya Dunia (WBD) maupun yang berada di luar kawasan WBD. Adapun
ketiga belas jenis upacara tersebut antara lain : (1) upacara magpag toya; (2) nuasain
(ngerastiti pangwiwit nandur); (3) ngerasakin (mecaru di carik); (4) nyepi di carik I
(selama 3 hari setelah padi berumur 1 bulan); (5) nyepi di carik II (selama 2 hari
setelah padi berumur 2 bulan); (6) nyepi di carik III (selama 1 hari setelah padi
berumur 3 bulan); (7) upacara mohon air suci ke pekendungan; (8) upacara mohon air
suci ke pura bedugul; (9) upacara ngusaba; (10) upacara nganyarin; (11) mantenin
padi di lumbung; (12) upacara nuunang tegteg; dan (13) upacara ngutang tain asep.
Hal menarik dari semua jenis dan sistem upacara yang dilakukan oleh para
petani subak di Bali terkait dengan aktivitas pertanian yang digelutinya adalah,
hampir semua informan yang diwawancarai menyatakan tidak memahami makna,
baik simbolik maupun filosofis dari pelaksanaan upacara tersebut. Namun, mereka
tetap melaksanakannya dengan hati yang tulus ikhlas dan penuh rasa bhakti. Kondisi
ini bisa terjadi, salah satunya disebabkan oleh sistem pengetahuan masyarakat Bali
terkait dengan pelaksanaan upacara keagamaan cenderung lebih bersandar pada
tradisi mule keto (memang begitu) dibandingkan dengan tradisi nyastra
(melaksanakan tradisi tertentu atas dasar teks-teks sastra).
Akibatnya, banyak tradisi, baik dalam bentuk sistem ideel, seperti: gagasan,
nilai, dan norma-norma, yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Bali; sistem
sosial, seperti berbagai bentuk perilaku manusia berpola, termasuk sistem
pelaksanaan upacara keagamaan; maupun dalam bentuk berbagai artepak yang
dihasilkan manusia Bali, kurang dipahami maknanya oleh masyarakat Bali sendiri.
Padahal berdasarkan ajaran Tatwa (filsafat agama) secara umum dapat dipahami
makna persembahan yang digunakan dalam proses upacara keagamaan
Hindu
dengan mengacu pada filsafat Ketuhanan yang mengatakan bahwa Tuhan itu bersifat
Acintya (tak terpikirkan); Tuhan bersifat impersonal god (tak berwujud); Tuhan
bersifat transendent (sangat luhur); dan Tuhan bersifat Wyapi Wyapaka (Tuhan
memenuhi segala sesuatu yang ada di jagat raya ini (Suja, 1999:67).
Berangkat dari berbagai kemuliaan Tuhan tersebut, dan keterbatasan manusia
biasa dalam berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa, inilah kemudian
masyarakat Hindu di Bali, mempersonifikasikan perwujudan Tuhan itu melalui
berbagai bentuk sesajen dan berbagai macam upacara keagamaan yang pada
hakikatnya bermakna sebagai upaya untuk memudahan manusia berkomunikasi
dengan Sang Penciptanya.
Hal ini didasarkan atas wahyu Tuhan, sebagaimana
disebutkan dalam Bhagavadgita, Bhg. IX.26 yang berbunyi:
‘’ptram puspam phalam toyam
Yo me bhaktya praycchati
Tad aham bhaktyupahrtam
Asnami prayatat manah’’
Bhg.IX.26
Artinya:
Siapa yang sujud kepada-Ku, dengan persembahan setangkai daun,
sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, atau seteguk air, Aku terima
sebagai bhakti pesembahan dari orang yang berhati suci.
Berangkat dari isi sloka di atas, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa
sarana persembahan yang digunakan oleh umat Hindu untuk berkomunikasi dengan
Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasinya, secara garis besar hanya
terdiri atas empat unsur, yakni daun-daunan, bunga-bungaan, biji-bijian, dan air. Akan
tetapi mengingat dalam praktiknya, agama Hindu di Bali banyak dipengaruhi oleh
faktor adat dan budaya, maka penggunaan sarana persembahan yang dalam istilah
Balinya sering disebut upakara ini, kadang-kadang dikembangkan sesuai dengan
prinsip desa, kala, dan patra (tempat, waktu, dan keadaan), sehingga keberadaannya,
berbeda antara satu daerah dengan daerah lainya. Jadi, apapun bentuk sesajen yang
dipersembahkan oleh masyarakat Bali kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, pada
hakikatnya merupakan perwujudan rasa bhaktinya kepada Tuha Yang Maha Esa dan
Betara-Betari junjungannya, dan sekaligus sebagai simbolisasi dari cara masyarakat
Bali untuk berkomunikasi dengan Tuhannya.
Download