negara hukum mitos dan aliran positivisme

advertisement
TANGGUNG JAWAB PIDANA DOKTER
DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Oleh: Rosmala Dewi Sakti Prawira S.H., M.H 1
Abstract
It is perfectly clear, that commiting a professional
error has more severe
consequences, which particularly consist in the fact that the trust placed in the
proffesion can be hurt budly, damaging the particular professionalgroup as well as
those who have made use of the professional service especially.
Keywords : medical professional, medical law.
A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan yang dicapai saat ini
sudah sangat mendukung dalam bidang pengobatan internasional di dunia. Hal ini
terbukti
dengan terwujudnya derajat kesehatan masyarakat
yang
optimal.
Perkembangan ilmu dan tekhnologi di bidang kesehatan itu juga diiringi dengan
perkembangan hukum di bidang kesehatan, sehingga secara bersamaan para pelaku
kesehatan terutama dokter, akan menghadapi masalah hukum juga yang timbul dari
kegiatan, perilaku, sikap dan kemampuannya dalam menjalankan profesi kesehatan.
Bersamaan dengan isu-isu yang menuntut agar hukum memainkan perannya
guna melindungui pasien dari tindakan-tindakan malpraktek yang terdengar semakin
1
Dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Bangka Belitung
keras, yang membawa banyak kasus yang diangkat ke pengadilan dengan gugatan
perdata atau tuntutan pidana akibat terjadinya malpraktek atau kurang memadainya
pelayanan kesehatan. Untuk mengantisipasi dan memberikan perlindungan hukum
kepada masyarakat selaku pasien atau sebagai pengguna pelayanan medis dari
dokter sebagai profesi pelaku kesehatan. Kemampuan untuk mengetahui dan
memahami perangkat hukum yang berisi kaidah-kaidah ataupun prosedur yang
berlaku di bidang kesehatan sangat diperlukan. Karena hanya dari pemahaman inilah
kemajuan dari ilmu dan tehnologi kesehatan itu dapat dimanfaatkan sesuai porsinya
atau dengan kata lain sebagaimanamestinya. Berdasarkan hal tersebut, penulis hendak
membahas tentang Tanggung Jawab Pidana Dokter Dalam Pelayanan Kesehatan.
B. Peniadaan Pidana
Dasar-dasar peniadaan pidana yang menyebabkan seseorang tidak dapat
dipidana yang bersifat umum dalam undang-undang (strafuitslutingsgronden) yang
harus dibedakan dengan hal-hal yang menyebabkan tidak dapat dituntutnya
sipembuat/sipelaku (vervolgingsuitsluitinggronden) walaupun bagi kedua-duanya
sama, yang pada pada kenyataannya si pembuat tidak di pidana karena perbuatannya.
Padahal yang disebutkan pertama (strafuitslutingsgronden) jaksa penuntut umum
telah mengajukan surat dakwaan. Terdakwa telah diperiksa dalam sidang pengadilan,
bahkan telah diajukannya Requisitoir (tuntutan) oleh Jaksa Penuntut, dan telah
terbukti terwujudnya tindak pidana itu oleh si pembuat, termasuk profesi seorang
dokter. Namun, karena terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipidananya si
pembuat, majelis hakim tidak menjatuhkan pidana (veroordeling) kepadanya,
melainkan menjatuhkan putusan pelepasan dari tuntutan hukum (onslag van alle
rechtsvervolging). Putusan (disebut bebas) itu dijatuhkan terhadap pokok perkaranya
atau terhadap tindak pidana yang didakwakan.
Undang-undang tidak melarang jaksa penuntut umum untuk menghadapkan
tersangka ke sidang pengadilan dalam hal adanya dasar peniadaan pidana. Berbeda
pada hal yang disebutkan kedua, karena pada alasan atau dasar peniadaan penuntutan
yang tidak membenarkan jaksa penuntut umum untuk mengajukan tersangka ke
sidang pengadilan (menuntutnya), misalnya tanpa adanya pengaduan mengajukan
juga si pembuat tindak pidana aduan ke sidang pengadilan penetapan majelis hakim
akan berisi bahwa jaksa penuntut umum tidak berwenang menuntut (niet-ontvankelijk
verklaring van het Openbaar Ministerie), tidak diperlukan lagi pembuktian tentang
telah terwujud atau tidaknya tindak pidana itu. Artinya pokok perkara tidak perlu
diperiksa oleh majelis sehingga juga tidak diputus pokok perkaranya. Majelis hanya
memutus tentang tidak berwenangnya Negara (in casu jaksa Penuntut Umum)
menuntut perkara itu. Tindakan yang dilakukan majelis hakim ini bukanlah vonis,
tetapi berupa penetapan (beschikking) belaka.
Akibat hukum dari putusan pelepasan dari tuntuan hukum dengan penetapan
yang berisi penuntut umum tidak berwenang mengadili juga mengandung perbedaan
yang mendasar. Karena putusan lepas dari tuntutan hukum mengenai tindak pidana
yang didakwakan atau mengenai pokok perkaranya, putusan itu tunduk pada
ketentuan ayat 91) Pasal 76 KUHP. Artinya, setelah putusan itu tunduk pada
ketentuan ayat (1) Pasal 76 KUHP. Artinya, setelah putusan itu mempunyai kekuatan
hukum tetap (kracht van gewijsde zaak), perbuatan itu tidak dapat lagi diajukan
penuntutan kedua kalinya. Akan tetapi, terhadap penetapan yang berisi penuntut
umum tidak berwenang menuntut, karena penetapan majelis hakim itu tidak tunduk
pada ketentuan Pasal 76 KUHP. Ketika dasar peniadaan penuntutan itu telah
ditiadakan, misalnya dalam tindak pidana aduan (delik aduan), harus telah
dipenuhinya syarat pengaduan, maka terhadap pembuat, jaksa penuntut umum wajib
mengajukan tuntutan ke sidang pengadilan kembali.
Dalam Bab III KUHP telah menentukan tujuh dasar yang menyebabkan tidak
dapat dipidananya si pelaku pidana, yaitu:
a. Adanya
ketidakmampuan
bertanggung
jawab
si
pembuat/pelaku
(ontoerekeningsvatbaarheid, pasal 44 ayat 1).
b. Adanya daya paksa (overmacht, pasal 48);
c. Adanya pembelaan terpaksa/noodweer, pasal 49 ayat 1);
d. Adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwerexes, Pasal 49
Ayat 2);
e. Karena menjalankan perintah UU (Pasal 50)
f. Karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 Ayat 1)
g. Karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (Pasal
51 Ayat 2).
Menurut doktrin hukum pidana, tujuh hal penyebab tidak di pidananya
sipembuat/pelaku dapat dibedakan menjadi dua dasar, yakni (1) atas dasar
pemaaf (schulduitsluitingsgronden), yang bersifat subjektif dan melekat pada
diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan
berbuat dan (2) atas dasar pembenar (rechtsvaardinginggronden), yang
bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin
si pembuat).
Pada umumnya, pakar hukum memasukkan ke dalam dasar maaf yaitu:
a. Ketidakmampuan bertanggung jawab
b. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas;
c. Hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik.
Sementara yang selebihnya masuk ke dalam dasar pembenar, yaitu:
a. Adanya daya paksa;
b. Adanya pembelaan terpaksa;
c. Sebab menjalankan perintah UU;
d. Sebab menjalankan perintah jabatan yang sah
Tidak dipidananya si pembuat karena pemaaf (fait d’excuse) walaupun
perbuatannya terbukti melanggar UU yang artinya perbuatannya itu tetap bersifat
melawan hukum, namun karena hilang atau hapusnya kesalahan pada diri si pembuat,
perbuatannya itu tidak dipertanggungjawabkan kepadanya. Dia dimaafkan atas
perbuatannya. Contohnya seorang dokter yang dipaksa untuk memberikan kadar
suntikan dosis obat berlebih pada pasien.
Berlainan dengan alasan pembenar, tidak dipidananya si pembuat/ pelaku,
karena perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukum perbuatannya. Walaupun
dalam kenyataannya perbuatan si pembuat telah memenuhi unsur tindak pidana,
tetapi karena hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, si pembuatnya tidak
dapat dipidana. Contohnya seorang dokter yang mengambil tindakan operasi yang
mendesak sebagai pertolongan terakhir tanpa persetujuan keluarga pasien walaupun
pasien kemudian meninggal dunia.
Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelidiki keadaan jiwa
si pembuat untuk menentukan apakah si pembuat berada dalam keadaan tidak mampu
bertanggung jawab, yaitu:2
1) Dengan metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala atau
keadaan yang abnormal yang kemudian dihubungkan dengan
ketidakmampuan bertanggung jawab;
2) Dengan metode psikologis, artinya dengan menyelidiki ciri-ciri itu dinilai
untuk menarik kesimpulan apakah orang itu mampu bertanggung jawab
ataukah tidak ;
3) Dengan metode gabungan, kedua cara tersebut di atas digunakan secara
bersama-sama. Di samping menyelidiki tentang gejala-gejala abnormal juga
dengan meneliti ciri-ciri psikologis orang itu untuk menarik kesimpulan
apakah dia mampu bertanggung jawab ataukah tidak.
2
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, RajaGrafindo, Jakarta, 2002, h.24
Cara yang sebaiknya digunakan Majelis hakim menyelidiki untuk
memperoleh keyakinan yang objektif, artinya sesuainya antara keyakinan yang
terbentuk dengan kebenaran materiil (sesungguhnya) tentang keadaan jiwa si
pembuat itu diserahkan pada masing-masing hakim.
Apabila terdapat keragu-raguan tentang keadaan jiwa si pembuat, sebagian
ahli hukum, misalnya JONKERS, berpendapat bahwa hakim tidak diperkenankan
menjatuhkan pidana. Akan tetapi ada juga pendapat lain, misalnya dari Pompe, yang
menyatakan hakim tetap menjatuhkan pidana. Alasannya karena kemampuan
bertanggung jawab pidana bukanlah merupakan bagian inti (bestanddeel) dari tindak
pidana, tapi tidak mampu bertanggung jawab itu merupakan dasar peniadaan pidana.3
Apabila dihadapkan permasalahan seperti itu, penulis lebih cenderung pada pendapat
Jonkers, karena apabila ada keragu-raguan mengenai berbagai hal yang menyangkut
kesalahan terdakwa, keadaan keraguan itu harus menguntungkan terdakwa, dan tidak
boleh merugikan terdakwa. Hal ini bersesuaian dengan hukum acara pidana. Dalam
hukum acara pidana pidana, pembuktian oleh jaksa penuntut umum di sidang
pengadilan diarahkan, selain pada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, juga
untuk membentuk keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. Atas keyakinan
yang dibentuk berdasarkan alat bukti (dalam Pasal 183 KUHAP sekurang-kurangnya
dua alat bukti), barulah pidana dijatuhkan. Pidana dijatuhkan atas dasar minimal dua
alat bukti yang ada, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana. Ketentuan ini merupakan
3
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, h. 124
asas minimal pembuktian, yang tidak boleh dilanggar oleh hakim. Dan untuk perkaraperkara pidana karena kesalahan dari profesi seorang dokter biasanya agak sulit untuk
dibuktikan.
C. Kesalahan dan Kelalaian Dokter
I. Kesalahan dan unsur-unsurnya
Kesalahan dokter timbul akibat terjadinya tindakan yang tidak sesuai atau
tidak memenuhi prosedur medis yang seharusnya dilakukan. Kesalahan seperti ini
dimungkinkan terjadi karena faktor kesengajaan atau kelalaian dari seorang dokter.
Menurut C. Berkhouwer & L.D. Vorstman, suatu kesalahan dalam melakukan
profesi bisa terjadi karena adanya tiga faktor, yaitu:4
1) Kurangnya pengetahuan
2) Kurangnya pengalaman, dan
3) Kurangnya pengertian
Mengenai kesalahan dalam melaksanakan profesi, terutama profesi dokter,
merupakan hal yang sangat penting karena menurut Hoekema5, bahwa: …is perfectly
clear, that commiting a professional error has more severe consequences, which
particularly consist in the fact that the trust placed in the proffesion can be hurt
4
Bahdar Johan Nasution, Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, h.50
Soerjono Soekanto, Hukum Disiplin Tenaga Kesehatan dan Korelasinya dengan Hukum
Administrasi Negara, Djambatan, Jakarta, 1987, h. 45
5
budly, damaging the particular professionalgroup as well as those who have made
use of the professional service especially.
Di dalam ketentuan yang diatur dalam KUHP, kesalahan merupakan unsur
dari pertanggungjawaban pidana agar dapat dipidananya seseorang. Oleh karena itu
keterkaitan kesalahan dan pidana dapat terlihat jelas, karena kesalahan itu merupakan
dasar untuk dapat dipidananya seseorang. Yang artinya unsur kesalahan merupakan
unsur mutlak dalam penjatuhan pidana. Kesalahan akan dianggap ada, apabila dengan
kesengajaan atau karena kelalaian telah melakukan perbuatan atau menimbulkan
keadaan-keadaan yang dilarang oleh hukum pidana dan yang dilakukan dengan
bertanggung jawab. Secara teoretis yang menjadi objek dalam hukum, meliputi
seluruh peristiwa hukum yang dapat menimbulkan gangguan bagi masyarakat.
Menurut Poernomo; unsur melawan hukum menjadi dasar bagi suatu tindak
pidana, karena selain bertentangan dengan undang-undang, termasuk pula perbuatan
yang bertentangan dengan hak seseorang atau kepatutan masyarakat.6
Pengertian perbuatan melawan hukum seperti apa yang dikemukakan oleh J.B. Van
Bemmelen:7
1. Bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat
mengenai orang lain atau barang.
2. Bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang.
3. Tanpa hak atau wewenang sendiri.
6
7
Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990, h.76
Op.Cit, Soekanto, h.149
4. Bertentangan dengan hak orang lain.
5. Bertentangan dengan hukum objektif.
Dalam hukum pidana terdapat dua ajaran mengenai sifat melawan hukum,
yakni: ajaran melawan hukum formal dan ajaran melawan hukum materiil. Menurut
ajaran melawan hukum formal, suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur-unsur
dari rumusan suatu tindak pidana (delik) atau telah cocok dengan rumusan pasal yang
bersangkutan. Pada ajaran melawan hukum materiil untuk dapat menjatuhkan pidana
terhadap suatu perbuatan tidak cukup hanya dengan melihat: apakah perbuatan itu
telah memenuhi rumusan pasal tertentu dalam KUHP, melainkan perbuatan itu juga
harus dilihat secara materiil. Maksudnya apakah perbuatan itu bersifat melawan
hukum secara sungguh-sungguh yaitu dilakukan dengan bertanggung jawab atau
tidak.
Dalam ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk-bentuk kesalahan
terdiri dari berikut ini:
1. Kesengajaan, yang dapat dibagi menjadi:
a) Kesengajaan dengan maksud, yakni di mana akibat dari perbuatan itu
diharapkan timbul, atau agar peristiwa pidana itu sendiri.
b) Kesengajaan dengan kesadaran sebagai suatu keharusan atau kepastian
bahwa akibat dari perbuatan itu sendiri akan terjadi, atau dengan
kesadaran sebagai akan terjadi, atau dengan kesadaran
sebagai suatu
kemungkinan saja.
c) Kesengajaan bersyarat (dolus eventualis). Yang diartikan sebagai
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan diketahui akibatnya, yaitu
yang mengarah pada suatu kesadaran bahwa akibat yaitu yang mengarah
pada suatu kesadaran bahwa akibat yang dilarang kemungkinan besar
terjadi.
Menurut Sudarto (Tamba 1990:230-231): Kesengajaan bersyarat atau dolus
eventualis ini disebutnya dengan teori ”apa boleh buat” sebab disini keadaan batin
dari si pelaku mengalami dua hal, yaitu:
1) Akibat itu sebenarnya tidak diketahui, bahkan ia benci atau takut akan
kemungkinan timbulnya akibat tersebut
2) Akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila akibat
atau keadaan itu timbul juga, apa boleh buat, keadaan itu harus diterima.
Yang berati ia sadar akan resiko yang dihadapi.
2. Kealpaan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 359 KUHP
Dalam kepustakaan, disebutkan bahwa untuk menetukan adanya kesalahan
yang mengakibatkan dipidananya seseorang harus memenuhi empat unsur,
yaitu:
1. Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan itu bersifat melawan
hukum.
2. Mampu bertanggung jawab;
3. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan;
4. Tidak adanya alasan pemaaf
Unsur-unsur diatas dapat dapat dijadikan parameter untuk menentukan ada
tidaknya kesalahan dokter dalam melakukan perawatan.
II. Kelalaian dan Unsur-unsurnya
Kelalaian menurut hukum pidana terbagi dua macam, Pertama, ”kealpaan
perbuatan”, maksudnya ialah apabila hanya dengan melakukan perbuatannya itu
sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul
dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP. Kedua, ”Kealpaan
akibat”, Kealpaan akibat ini baru merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari
kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana,
misalnya cacat atau matinya orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 359, 360, 361
KUHP.
Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang
dokter adalah ”kelalaian akibat” Oleh karena itu yang dipidana adalah penyebab dari
timbulnya akibat, misalnya tindakan seorang dokter yang menyebabkan cacat atau
matinya orang yang berada dalam perawatannya, sehingga perbuatan tersebut dapat
dicelakan kepadanya, yang terlebih dahulu harus dicari dulu sebab terjadinya
peristiwa pidananya.
D. Tanggung Jawab Pidana Dalam Pelayanan Kesehatan
Hukum pidana menganut asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan”, yang
selanjutnya disebutkan dalam Pasal 2 KUHP di sebutkan, “Ketentuan pidana dalam
dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan
suatu delik di Indonesia”. Perumusan pasal ini menentukan bahwa setiap orang
berada dalam wilayah hukum Indonesia, dapat dimintakan pertanggungjawaban
pidananya atas kesalahan yang dibuatnya. Berdasarkan pada ketentuan itu, profesi
dokter tidak terlepas dari ketentuan pasal tersebut. Apalagi seorang dokter dalam
pekerjaannya sehari-hari selalu berkecimpung dengan perbuatan yang diatur dalam
KUHP. Meskipun hukum pidana mengenal adanya penghapusan pidana dalam
pelayanan kesehatan, yaitu: alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagaimanan halnya
yang terdapat di dalam yurisprudensi, namun tidak serta merta alasan pembenar dan
pemaaf tersebut menghapus suatu tindak pidana bagi profesi dokter. Salah satu
yurisprudensi yang memuat alasan pembenar dan alasan Pemaaf dalam pelayanan
kesehatan adalah (Soekanto dan Muhammad, 1983:75): Yurisprudensi dalam kasus
“Natanson V. Klien tahun 1960”, Yurisprudensi ini berisi “Persetujuan (Informed
Consent)” sebagai peniadaan pidana. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa profesi
dokter dibebaskan dari segala tanggung jawab pidana, sebab alasan pembenar dan
alasan pemaaf bagi tindakan dokter, hanya terdapat pada pengecualian-pengecualian
tertentu seperti ketentuan yang diatur dalam Pasal 15 UU No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan. Dalam ketentuan ini tenaga kesehatan dibenarkan melakukan abortus
berdasarkan indikasi medis untuk menyelamatkan ibu hamil.
Berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana maupun dari
yurisprudensi, telah mengakui adanya alasan penghapus pidana yang tidak terulis.
Perkembangan ini merupakan ketentuan hukum yang hidup, oleh karenanya dapat
dikualifikasikan sebagai suatu alasan penghapusan pidana yang tidak tertulis.
Perkembangan pertama yang mengakui adanya alasan penghapusan pidana yang tidak
tertulis sejak adanya pengakuan Hoge Raad pada tahun 1916 tentang afwezigheid
van alleschuld (avas), yang berarti tiada pidana tanpa kesalahan, atau yang terkenal
dengan adagium geen straf zonder schuld (Senoadji, 1985: 82)
Di Indonesia terdapat pengakuan terhadap ajaran melanggar hukum materiil,
melalui putusan Mahkamah Agung RI No.42K/Kr/1965 tanggal 8 januari 1966 dan
Putusan mahkamah Agung No.81K/ Kr/ 1973 tanggal 30 maret 1977, hal itu
dipandang sebagai alasan penghapusan pidana, khususnya alasan pembenaran yang
bersifat tidak tertulis. Isi putusan tersebut pada dasarnya sebagai berikut:8
1. Putusan Mahkamah Agung R.I. No.42K/kr/1965
Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan
hukum, bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundangan, melainkan
juga berdasarkan asas-asas keadilan dan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan
bersifat umum;
2. Putusan Mahkamah Agung R.I. no. 81/Kr/1973
8
Op.Cit Bahder Johan Nasution, h.75
Asas
materiele
wederrechtelijkeid
merupakan
buitenwettelijkheid
uitsluitingsgrond dan sebagai suatu alasan buitenwette-lijk sifatnya merupakan fait
d’excuse yang tidak terulis, seperti dirumuskan oleh doktrin dan yurisprudensi.
Sesuai dengan pendapat Moeljatno, membagi alasan penghapusan pidana
menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf. Pada alasan pembenar, yang dihapus
adalah sifat “melanggar hukum” dari suatu perbuatan, sehingga yang dilakukan oleh
terdakwa menjadi suatu perbuatan yang patut dan benar. Pada alasan pemaaf yang
dihapus adalah kesalahan terdakwa, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap
dipandang sebagai perbuatan yang melanggra hukum, akan tetapi tidak dipidana
karena tidak ada kesalahan.9
Dari yurisprudensi tersebut, terlihat adanya alasan penghapusan pidana bagi
tindakan yang dilakukan oleh dokter, yaitu alasan penghapus pidana yang berada di
luar UU. Dengan demikian bagi seorang dokter yang melakukan perawatan, jika
terjadi penyimpangan terhadap suatu kaidah pidana, sepanjang dokter yang
bersangkutan melakukannya dengan memenuhi standar profesi dan standar kehatihatian, dokter saja kepadanya tidak dikenakan suatu pidana, jika memang terdapat
alasan yang khusus untuk itu, yaitu alasan penghapus pidana.
C.Berkhouwer S dan D. Vortman menyebutkan: Seorang dokter dapat
dikatakan melakukan kesalahan professional apabila dia tidak memeriksa, tidak
menilai, tidak berbuat atau tidak meninggalkan hal-hal yang akan diperiksa, dinilai,
9
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, h. 137
diperbuat atau ditinggalkan oleh para dokter pada umumnya di dalam situasi yang
sama.10
Dari rumusan pendapat C. Berkhouwer S dan d. Vortman di atas, melihat
bahwa unsur kehati-hatian dalam melaksanakan profesi kesehatan sangat penting.
Dalam berbagai yurisprudensi ditentukan bahwa unsur kehati-hatian merupakan dasar
untuk menentukan terjadinya kesalahan dokter.
Dalam segala kinerjanya, profesi dokter dalam melaksanakan perawatan
memang dituntut untuk bekerja berdasarkan pada pengetahuan dan pengalamannya,
dengan tetap terikat pada syarat-syarat yang telah ditentukan. Meskipun pada
akhirnya hasil akhirnya terkadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Karena
dokter juga adalah seorang manusia biasa dengan keterbatasan yang keberadaannya
tidak sepenuhnya benar-benar kita harapkan, karena terkadang keadaan yang ada
diluar pengetahuannya.
Seorang dokter yang melakukan perawatan hampir selalu menghadapi risiko.
Menurut J. Guwandi, risiko yang dihadapi dokter dalam melakukan perawatan dapat
digolongkan menjadi 3 macam, yaitu: kecelakaan (accident), tindakan medis (risk of
treatment), salah penilaian (error of judgement).11
Resiko yang ada merupakan hal-hal yang pasti akan ditemui profesi dokter,
baik tindakan diagnosa maupun terapeutiknya. Apabila tindakan tersebut telah
10
Loc. Cit. Bahder Johan Nasution, h.76
Koeswadi, Hermien Hadiati, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press, surabaya,
1984, h.15
11
dilakukan dengan hati-hati, teliti dan sudah bertdasarkan standar profesi medis, hal
dapat menjadi pertimbangan bahwa tindakan dokter itu tidak dapat dipersalahakan.
Kesalahan dokter, biasanya berkenaan dengan hak dan kewajiban kedua
belah pihak yang terikat dalam transaksi terapeutik, yaitu pasien dan dokter, yang
meliputi:
1) Masalah informasi yang diterima oleh pasien sebelum dia memberikan
persetujuan untuk menerima perawatan;
2) Masalah persetujuan tindakan medis akan dilakukan oleh dokter atau tenaga
kesehatan;
3) Masalah kehati-hatian dokter atau tenaga kesehatan yang melaksanakan
perawatan
Permasalahan pokok dalam kerangka hukum kesehatan yang pada garis
besarnya mengatur dua persoalan yang mendasar, yaitu: Standar Pelayanan Medis
(standard of care) yang pada pokoknya membicarakan kewajiban-kewajiban dokter.
Dan standar profesi medis (Standard of Profession) yang timbul karena adanya dasar
kealpaan berbentuk: kewajiban; pelanggaran kewajiban; penyebab; kerugian.
Pada dasarnya seorang dokter baru dimintakan pertanggungjawabannya dimuka
pengadilan kalau sudah timbulnya kerugian bagi pasien. Kerugian itu timbul akibat
adanya pelanggaran kewajiban di mana sebelumnya telah dibuat suatu persetujuan.
Sekalipun kewajiban dokter itu tidak secara rinci dimuat dalam kontrak terapeutik,
namun kewajiban seorang dokter sudah tercakup dalam standar pelayanan medis.
Sedangkan standar pelayanan medis itu dibuat berdasarkan hak dan kewajiban dokter,
baik yang diatur dalam kode etik maupun yang diatur dalam perundang-undangan.
Dalam Pasal 53 ayat 2 UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, disebutkan
bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban mematuhi standar
profesi dan menghormati hak pasien. Hak-hak pasien yang dimaksudkan di sini
antara lain adalah hak memperoleh informasi, hak memberikan persetujuan, hak atas
rahasia kedokteran dan hak atas pendapat kedua. Hak informasi di sini dapat diartikan
sebagai hak untuk memperoleh informasi mengenai semua tindakan medis serta
akibatnya, baik informasi itu diberikan secara lisan maupun secara tertulis. Secara
luas informasi medis dapat diartikan sebagai hal ikhwal yang menyangkut tindakan
medis yang akan diambil atas diri pasien.
Tentang pentingnya hak atas informasi ini dikemukakan oleh Koeswadji,
sebagai berikut:”…tidak mungkin seseorang memberikan persetujuannya untuk
dirawat (atau dirawat lebih lanjut) bila tidak berdasarkan pada informasi yang
lengkap mengenai segala aspek serta kemungkinan akibat (dampak) perawatan yang
akan dideritanya untuk dapat dan mampu mengambil keputusan mengenai hidup dan
kehidupan selanjutnya. Persetujuan (untuk perawatan) tanpa ada informasi (mengenai
segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakitanya) tidaklah sah menurut
hukum.12
12
Ibid, h.57
Hak selanjutnya adalah hak persetujuan, dalam ilmu hukum kesehatan hak
ini dikenal dengan istilah Informed Consent. Munculnya hak (consent) apabila
didahului dengan penjelasan dan pemberitahuan (informed) tentang tindakan medis
yang akan diambil, mengapa tindakan harus diambil dan apa hasilnya maupun
kemungkinanan efeknya bagi pasien. Semua keterangan yang diberikan harus jelas
dan dapat dimengerti oleh pasien, sehingga dengan kesadarannya sendiri pasien akan
memberikan persetujuan tindakan medis. Dengan demikian “persetujuan” merupakan
dasar bagi pembenaran dilakukannya salah satu tindakan terapeutik tertentu,
persetujuan baik yang diberikan secara tertulis maupun diam-diam mempunyai arti
dalam pandangan hukum.
Dalam kaitannya dengan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UU
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, persetujuan/rekam medik menjadi sangat
penting. Hal ini disebabkan gugatan ganti rugi langsung tanpa melalui prosedur
pidana menghadapi banyak kendala, seperti kesulitan memperoleh bukti-bukti baik
oleh pasien maupun oleh keluarganya. Sedangkan untuk perkara pidana dalam
membuktikan adanya culpa lata bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah bagi
penuntut umum. Dalam kondisi seperti ini, sesuai dengan hukum pembuktian dalam
perkara pidana Pasal 184 KUHP tentang Alat Bukti, maka persetujuan/rekam medik
sangat menentukan, karena dari rekam medik dan atau consent yang diajukan sebagai
alat bukti dapat diketahui terapi apa yang dilakukan terhadap pasien. Apakah sudah
sesuai dengan standar profesi atau belum? Dari consent dapat pula diketahui apakah
dalam melakukan diagnosa atau terapi medis, dokter sudah bekerja sesuai dengan apa
yang disetujui pasien. Sehingga dengan demikian, hakim dapat menentukan apakah
dokter dapat dipersalahkan atau tidak. Sejalan dengan itu Koeswadji (1992:146)
menyebutkan: Salah satu jalan reliable untuk menyakinkan bahwa setiap orang
memperhatikan apa yang diinformasikan secara lengkap dan akurat mengenai
pelayanan kesehatan ini ialah dengan cara membuat rekaman tertulis. Suatu rekam
medik kesehatan yang baik membantu perawatan pasien secara professional, di
samping memberikan refleksi mengenai kualitas, mutu, derajat perawatan atau
pelayanan kesehatan, rekam medik yang tertulis itu mertupakan kunci dalam suatu
proses peradilan baik perdata maupun pidana, yang berkenaan dengan standar
pelayanan medis dan standar profesi yang bertujuan untuk menentukan ada atau
tidaknya kesalahan dokter.
Mengenai masalah kelalaian dokter terhadap pasien, di Indonesia belum ada
putusan Mahkamah Agung mengenai hukuman terhadap dokter yang melakukan
kelalaian. Dengan diundangkannya UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka
ancaman pidana terhadap kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang
mengakibatkan pasien menderita cacat atau luka-luka, tidak lagi semata-mata
mengacu pada ketentuan Pasal 359, 360 dan 361 KUHP, karena di dalam UU
kesehatan sendiri telah merumuskan ancaman pidananya. Ancaman tersebut dimuat
dalam Pasal 82 UU No.23 Tahun1992 tentang Kesehatan pada Ayat 1 huruf (a)
disebutkan…barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja
melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 32
Ayat (4)…dipidana dengan penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda
paling banyak seratus juta rupiah.
Ketentuan yang dimaksud oleh Pasal 32 Ayat (4) di ats, bermaksud untuk
melindungi pasien dari tindakan dokter yang tidak mempunyai keahlian dan
kewenangan, untuk melakukan perawatan sehingga menimbulkan kerugian atau
penderitaan bagi pasien. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal tersebut diancam
dengan hukuman pidana sesuai dengan maksud Pasal 82 UU No.23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, apabila pasien menderita cacat hukumannya ditambah seperempat
dan apabila meninggal dunia hukumannya ditambah sepertiganya.
E. Penutup
Bertolak
belakang
dengan
peristiwa-peristiwa
hukum
kesehatan
Internasional yang banyak menggunakan yurisprudensi, di Indonesia belum banyak
perkara-perkara tentang kesehatan yang menyangkut kesalahan dokter yang diputus
oleh Mahkamah Agung RI. Yang diharapkan apabila dikemudian hari timbul
masalah-masalah seperti ini, sangat perlu untuk mengadakan perbandingan ilmu
hukum dengan Negara lain yang pernah menangani perkara hukum yang sama
dengan yurisprudensi-yurisprudensinya, terutama di bidang kesehatan karena
kelalaian dan kesalahan dokter terhadap pasiennya, yang bertujuan agar dapat
diperoleh pemecahan masalah hukum secara adil dan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, RajaGrafindo, Jakarta, 2002
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991
Bahdar Johan Nasution, Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2005
Koeswadi, Hermien Hadiati, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University
Press, Surabaya.
Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,
1990.
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983.
Soerjono Soekanto, Hukum Disiplin Tenaga Kesehatan dan Korelasinya dengan
Hukum Administrasi Negara, Djambatan, Jakarta, 1987
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Download