Global Warming versus Plant Quarantine Issues

advertisement
Global Warming versus Plant Quarantine Issues
Oleh : Ummu Salamah Rustiani
(Fungsional Ahli Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian)
===========================================================
PENDAHULUAN
Pengaruh perubahan iklim global terhadap penyakit tanaman telah menjadi
perbincangan hangat pada dekade terakhir ini. Perkembangan riset terhadap
perubahan iklim belakangan terjadi dengan cepat, begitu juga halnya riset pola
hubungan antara inang-patogen yang sangat dipengaruhi secara substansial oleh
perubahan suhu dan konsentrasi CO2 secara global.
Perubahan suhu dan CO2 secara global disebabkan salah satunya oleh
adanya penggunaan bahan-bahan penyebab rusaknya lapisan ozon (Ozone
depleting layer compounds). Sejak pertemuan Montreal tahun 1987, negara seluruh
dunia sepakat untuk mengurangi penggunaan bahan yang termasuk daftar
penyebab lapisan ozon rusak. Salah satu bahan yang menjadi isu kesepakatan
negara-negara dunia tersebut adalah Methyl Bromide (CH3Br). Methyl Bromide telah
digunakan sebagai salah satu fumigan perlakuan karantina tumbuhan sejak tahun
1930. Oleh karena itu penghentian penggunaan CH3Br mulai tahun 2005 untuk
negara maju dan 2015 untuk negara sedang berkembang menjadi orientasi utama
kesepakatan pada Copenhagen Amendment tahun 1992, yang merupakan tindak
lanjut dari Montreal Protocol (Anonim, 2011).
Karantina Tumbuhan Indonesia, yang merupakan anggota International Plant
Protection Convention, telah meratifikasi perjanjian negara-negara anggota IPPC
tahun 1992, tentang isu pemanasan global. IPPC merupakan organisasi dibawah
FAO, beranggotakan 164 negara, yang bertujuan mencegah penyebaran dan
introduksi Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) pada tanaman dan produk
tanaman. Isu pemanasan global yang menjadi perhatian utama adalah penggunaan
CH3Br sebagai perlakuan karantina dan pengaruh pemanasan global terhadap
pergeseran peta distribusi OPT Karantina.
Beberapa studi menyatakan bahwa
perubahan suhu akan mempengaruhi patogen maupun inangnya sehingga perlu
dilakukan analisis risiko untuk masing-masing patosistem hubungan inang dengan
OPT untuk menentukan pengaruh perubahan iklim terhadap
peta distribusi
geografis OPT Karantina (Lopez et.al., 2012).
1
Perubahan iklim akan menimbulkan dampak pergeseran pola distribusi
spatial patogen dan pola distribusi geografis inang karena adanya pergesaran zona
agroklimat.
Adanya perubahan pola distribusi tersebut akan membawa dampak
perubahan status keberadaan penyakit di suatu daerah/ lokasi. Pada paper kali ini
akan mengulas tentang dua isu utama karantina terhadap adanya pemanasan global
yaitu penggunaan Methyl Bromide berikut perlakuan alternatif penggantinya serta
dampak pemanasan global terhadap patogen dan perubahan distribusi geografis
OPT karantina.
Methyl Bromide : OZONE DEPLETING LAYERS
Methyl Bromide (MB) telah lebih dari 70 tahun digunakan sebagai fumigan
untuk perlakuan karantina terhadap beberapa serangga gudang, serta sebagai
fumigan tanah yang sangat efektif mengendalikan beberapa nematoda, serangga
tanah, patogen dan gulma.
Fumigan ini popular dikarenakan mempunyai daya
bunuh yang cepat, berspektrum luas, dan tidak berpengaruh terhadap komoditas.
Namun sejak tahun 1992, fumigan ini ditetapkan sebagai salah satu substansi kimia
penyebab rusaknya ozon. Oleh karena itu penggunaan fumigan ini dibatasi sejak
tahun 2005 di semua negara maju dan 2015 di semua negara berkembang (Fields
dan White, 2002).
Emisi gas MB akan sampai pada lapisan ozon sebanyak 70-90%. Emisi gas
MB ini menghasilkan bromine sampai ke lapisan stratosphere bumi, yang diketahui
akan berkontribusi terhadap rusaknya lapisan ozon bumi secara signifikan. Bromin
sangat efisien merusak ozon, dengan cara menghilangkan atom Oksigen dari gas
O3 menjadi gas BrO yang mempunyai kerja repetitif sehingga mendegradasi ozon.
Masing-masing atom bromine yang berasal dari MB akan mempunyai kemampuan
merusak molekul ozon 60 kali lebih banyak dibanding efek chlorin yang berasal dari
Clorofluorocarbon (Coakley et. al., 1999).
Penggunaan MB yang mulai setahap demi setahap dikurangi, menyebabkan
perkembangan teknik perlakuan karantina sebagai pengganti MB berkembang
pesat.
Beberapa teknik perlakuan tersebut bahkan telah efektif diaplikasikan
sehingga telah dilakukan secara komersial di beberapa negara maju, seperti USA,
Jerman, Australia, dan Jepang. Teknik-teknik yang hingga kini berkembang untuk
mengurangi penggunaan MB antara lain :
2
1. Perlakuan panas,
2. Perlakuan pendinginan,
3. Perlauan iradiasi sinar Gamma,
4. Perlakuan kontrol atmosfer,
5. Perlakuan gelombang elektromagnetik,
6. Perlakuan menggunakan bahan fumigant lain (Phosphine),
Perlakuan kombinasi antara beberapa teknik juga telah dilakukan studi yang intensif.
Perlakuan untuk menangkap efek gas yang dihasilkan pada saat perlakuan, juga
mengalami perkembangan maju. Seperti misal di Yakima, Washington State, USA
telah dikembangkan suatu alat untuk menangkap gas MB hasil perlakuan untuk
digunakan kembali pada perlakuan berikutnya (Fields dan White, 2009; Hallman,
1998).
PENGARUH PERUBAHAN IKLIM GLOBAL terhadap PATOGEN
Pembicaraan masalah penyakit tanaman tidak terlepas dari konsep segitiga
penyakit, dimana epidemik penyakit akan terjadi apabila tiga faktor tersebut saling
berhubungan, yakni faktor patogen yang virulen, faktor tanaman inang yang rentan,
serta faktor lingkungan yang menunjang perkembangan penyakit. Penelitian
beberapa ahli telah menunjukkan bahwa penyakit , gulma dan serangga
berkontribusi sebesar 36.5% terhadap produksi tanaman di seluruh bumi, yang
menyebabkan kerugian hasil setara dengan $ 220 milyar US per tahun ( Agrios,
2005). Studi perubahan iklim meliputi peningkatan suhu, kelembaban, dan
konsentrasi CO2, dapat menyebabkan ketiga faktor mengalami efek melalui
beberapa cara (Petzoldt dan Seaman, 2010). Studi analisis risiko pengaruh
perubahan iklim telah dilakukan beberapa peneliti. Analisis risiko adanya pengaruh
perubahan iklim terhadap beberapa patogen ternyata memberi efek yang berbedabeda, tergantung dari jenis patogen. Beberapa patogen menunjukkan kejadian
peningkatan epidemik bila terjadi peningkatan suhu dan konsentrasi CO2 sebagai
akibat pemanasan global, namun untuk patogen lainnya justru mengalami
penurunan kejadian penyakit (Tabel 1).
Sejak abad terakhir, ilmuwan sudah meramalkan suhu global akan
menaikkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi. Jika dibandingkan dengan
kondisi iklim 150 tahun lalu, rata-rata suhu permukaan bumi telah meningkat 0.76°C
3
dan akan meningkat lagi hingga 2.4 sampai 6.4°C pada periode 2090-2099 (Lopez
et. al., 2012; Chakraborty et.al., 2000). Konsentrasi CO2 yang tingi, peningkatan
suhu, serta perubahan presisipitasi hujan akan memicu gejala cuaca ekstrim yang
akan berpengaruh terhadap perkembangan penyakit dan produksi tanaman.
Beberapa analisis terhadap efek perubahan tersebut telah diselenggarakan di
tingkat global dan regional. Perubahan iklim akan menimbulkan dampak pergeseran
pola distribusi spatial patogen dan pola distribusi geografis inang karena adanya
pergesaran zona agroklimat (Lopez et. al., 2012; Chakraborty et.al., 2000).
Adanya perubahan pola distribusi tersebut akan membawa dampak
perubahan status keberadaan penyakit di suatu daerah/ lokasi. Karantina sebagai
suatu alat baik secara regional maupun global akan berhubungan dengan status
suatu OPT di wilayahnya masing-masing. Status keberadaan OPT Karantina yang
berubah akibat dampak perubahan iklim akan menyebabkan timbulnya penyakitpenyakit baru yang sebelumnya belum pernah dilaporkan ada di suatu wilayah. Oleh
karena itu perlu diketahui dampak perubahan iklim terhadap patogen, sehingga
dapat dibuat suatu analisis risiko menetap dan menyebarnya suatu patogen di suatu
wilayah, berdasarkan model perubahan iklim dengan variabel patogen, tanaman,
dan lingkungan (iklim) sebagai parameter dalam studi tentang epidemik penyakit
tanaman (Contrares-medina et.al., 2009).
Pengaruh Peningkatan Konsentrasi CO2 terhadap Patogen
Pengaruh peningkatan konsentrasi CO2 akan memberi efek yang berbeda
terhadap patogen yang diteliti. Efek tersebut dapat berupa efek negatif maupun
positif terhadap patogen.
Efek negatif patogen tentu akan menguntungkan
kehidupan mahluk hidup lain di muka bumi ini. Efek negatif yang timbul diantaranya
produksi koloni yang menurun, penurunan daya perkecambahan konidia cendawan
patogen, penurunan keparahan penyakit, dan penurunan kejadian penyakit.
Penurunan kejadian penyakit juga telah dilaporkan oleh Runion et. al. (2010) pada
Pinus taeda yang terinfeksi 2 cendawan patogen utama yakni Cronartium quercuum
dan Fusarium circinatum (Tabel 2).
Pengaruh positif terhadap patogen yakni peningkatan CO2 justru akan
memacu pertumbuhan dan perkembangan patogen, diantaranya meningkatkan
indeks penyakit karat, meningkatkan jumlah lesio per tanaman, peningkatan jumlah
4
titer virus per tanaman sakit, serta peningkatkan kejadian penyakit Blast karena
tanaman padi menjadi lebih rentan pada konsentrasi CO2 yang tinggi (Tabel 3).
Perubahan iklim juga akan merubah fisiologi tanaman antara lain ketahanan
tanaman terhadap patogen. Pada legume daerah tropis, yakni Stylosanthes scabra,
keparahan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Coletotrichum gloesporioides
akan menurun pada kultivar yang sebelumnya diketahui merupakan kultivar rentan
terhadap antraknosa, karena adanya peningkatan konsentrasi CO2, namun pada
kultivar tahan tidak terjadi penurunan keparahan penyakit (Chakraborty et al., 2000).
Tabel
2.
Pengaruh Konsentrasi CO2 (ambient dan elevated) terhadap
Perkembangan dan Variabel Penyakit Karat pada Bibit Pinus taeda
terinfeksi cendawan C.quercuum f.sp.fusiforme
Parameter
Ambient CO2
Elevated CO2
Height (cm)
23.1
26.2
P values
LSD
0.020
2.2
Run
1
Diameter (mm)a
3.9
4.2
0.124
0.4
Infection (%)
46.4
32.4
0.170
23.2
27.8
15.9
0.048
11.8
10.0
10.4
0.742
3.4
RAM (%)b
Gall length (mm)
Gall diameter (mm)
2
Height (cm)
5.2
5.4
23.9
0.413
26.1
0.6
0.039
2.1
Diameter (mm)
4.6
5.1
0.009
0.3
Infection (%)
28.5
22.9
0.515
17.8
RAM (%)
19.2
5.0
0.130
22.5
Gall length (mm)
11.5
10.5
0.678
4.9
Gall diameter (mm)
5.1
4.7
0.654
2.0
Pengaruh Peningkatan Suhu dan Radiasi UV terhadap Patogen
Perubahan suhu dan presipitasi curah hujan akibat perubahan iklim akan
merubah stadia pertumbuhan patogen, laju perkembangan dan patogenesis
patogen, serta juga akan merubah fisiologi dan
ketahanan tanaman inangnya.
Suatu perubahan suhu bisa secara langsung mempengaruhi penyebaran penyakit
5
infeksius dan daya tahan hidupnya pada suatu musim. Perubahan suhu mungkin
akan menyebabkan perkembangan yang berbeda-beda untuk patogen penyebab
penyakit tanaman, yang mungkin bahkan akan menginduksi suatu kejadian epidemik
penyakit. Peningkatan suhu dengan kelembaban tanah yang sesuai akan
meningkatkan evapotranspirasi sebagai hasil koindisi mikroklimat yang lembab pada
tanaman dan akan mendorong kearah kejadian penyakit yang sesuai di bawah
kondisi-kondisi ini.
Perubahan suhu merupakan salah satu faktor penentu perkembangan
penyakit yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum, Acidivorax avenae,
dan Bulkhorderia glumae. Bakteri dapat berkembang biak pada suhu yang sesuai
untuk perkembangannya. Ketika suhu meningkat, lama musim dingin dan laju
pertumbuhan dan reproduksi patogen mungkin akan bermodifikasi. Sama halnya
dengan kejadian penyakit tular vektor yang juga berubah ketika suhu tinggi. Iklim
secara substansial dapat mempengaruhi perkembangan dan distribusi serangga
vektor penyakit.
Perubahan mungkin juga akan menyebabkan perubahan distribusi geografis,
peningkatan laju perkembangan populasi, meningkatkan jumlah serangga per
generasi, perubahan sinkronisasi antara inang dengan patogen, serta perubahan
interaksi interspesisfik dan risiko invasi pepindahan penyakit. Karena siklus hidup
serangga yang pendek dengan mobilitas, potensial reproduksi, dan fisiologi yang
sensitif terhadap suhu, akan menyebabkan perubahan cepat terhadap pola distribusi
dan populasi serangga vektor penyakit, yang berarti juga peningkatan kejadian
penyakit sebagai akibat langsung penyebaran serangga vektornya (Lopez, 2012).
Hal ini juga seperti diungkapkan oleh Wiyono (2007), bahwa dinamika populasi
serangga vektor virus yakni Bemisia tabaci yang tinggi menyebabkan timbulnya
epidemik penyakit virus Gemini pada tanaman cabai dan tomat di beberapa sentra
produksi di Pulau Jawa akibat peningkatan suhu dan kemarau panjang.
Iradiasi sinar ultra violet (UV) mempunyai peran penting dalam regulasi
penyakit secara alamiah. Menurut penelitian membuktikan bahwa sinar UV yang
bersumber dari cahaya matahari mempengaruhi patogen dalam kaitan dengan
akumulasi fitoaleksin yang akan memicu ketahanan tanaman terhadap infeksi
patogen penyebab penyakit (Lopez, 2012).
6
Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Distribusi Patogen
Perubahan iklim akan menimbulkan dampak pergeseran pola distribusi spatial
patogen dan pola distribusi geografis inang karena adanya pergesaran zona
agroklimat.
Tanaman-tanaman
spesifik
daerah
subtropik
dengan
adanya
peningkatan suhu akan bergeser ke daerah yang lebih dingin. Pergeseran inang
tersebut akan membawa serta pergeseran patogen yang menginfeksi inang yang
bersangkutan.
Patogen dengan kisaran inang yang luas, seperti cendawan
Rhizoctonia, Sclerotinia, Sclerotium, serta pathogen nekrotrof lainnya menjadi lebih
agresif sehingga akan berpindah dari tanaman budidaya ke tanaman alami, atau
sebaliknya patogen dari hutan alami bisa juga berpindah ke tanaman budidaya. Hal
ini yang menyebabkan terjadinya masalah penyakit-penyakit baru yang sebelumnya
tidak pernah dilaporkan di suatu area ((Chakraborty et al., 2000). Laporan oleh
Wiyono (2007) menyebutkan bahwa di beberapa wilayah di Indonesia, telah terjadi
peningkatan kejadian penyakit kresek padi yang disebabkan oleh bakteri
Xanthomonas campestris pv.oryzae dan virus Gemini pada cabai dan tomat dengan
sangat signifikan. Laporan tersebut menunjukkan bahwa selama tiga tahun terakhir
dimana banyak terjadi perubahan iklim, menyebabkan pergeseran distribusi
penyakit, lebih-lebih penyakit tersebut dapat dipencarkan melalui percikan air hujan.
Namun hal ini masih perlu pembuktian ilmiah yang lebih dalam.
Pola pergeseran distribusi ini akan menjadi sulit diprediksikan ketika
pengaruh iklim terhadap patogen tidak dapat digeneralisasi. Oleh karena itu,
pemodelan pola distribusi penyakit berdasarkan iklim lebih ditekankan untuk
dipelajari kasus per kasus, yakni spesifik berdasarkan patogen, inang, serta pola
hubungan patogen dan inang.
Metodologi untuk pemodelan perubahan iklim
terhadap distribusi penyakit kurang berkembang cepat. Beberapa perangkat lunak
yang tersedia saat ini seperti BIOCLIM (Busby, 1991), HABITAT (Walker dan Cock,
1991), atau CLIMEX (Sutherst dan Maywald, 2005), merupakan model simulasi
untuk mengetahui potensi distribusi penyakit berbasis iklim (Chakraborty et.al.,
2000).
Melalui analisis menggunakan perangkat tersebut dapat diprediksi potensi
kesesuaian suatu patogen dapat berkembang di suatu wilayah baru. Pengetahuan
ini sangat berguna bagi karantina dalam menentukan status keberadaan suatu
penyakit di wilayahnya, sehingga membantu dalam melakukan penilaian risiko
introduksi patogen ke suatu wilayah baru.
7
SIMPULAN
Penggunaan Methyl Bromide (MB) hingga tahun 2015 akan dikurangi (untuk
Negara berkembang) atau sudah harus dihentikan (untuk negara maju), untuk itu
perlu dikembangkan penelitian tentang alternatif perlakuan pengganti MB. Beberapa
perlakuan pengganti MB telah berkembang diantaranya perlakuan fisik (panas,
pendinginan, kontrol atmosfer) hingga perlakuan kimiawi menggunakan bahan selain
MB. Perlakuan juga ditujukan untuk menangkap gas emisi MB dan mengolahnya
untuk kembali dimanfaatkan sebagai perlakuan fumigasi.
Dampak pemanasan global terhadap patogen meliputipengaruh peningkatan
konsentrasi CO2 dan peningkatan suhu serta iradiasi sinar UV. Pengaruh
konsentrasi CO2 dapat secara positif maupun negatif. Dampak negatif terhadap
patogen antara lain menyebabkan produksi koloni yang menurun, penurunan daya
perkecambahan konidia cendawan patogen, penurunan keparahan penyakit, dan
penurunan kejadian penyakit.
Dampak positif terhadap patogen antara lain
meningkatkan indeks penyakit karat, meningkatkan jumlah lesio per tanaman,
peningkatan jumlah titer virus per tanaman sakit, serta peningkatkan kejadian
penyakit. Pengaruh peningkatan suhu dn iradiasi sinar UV menyebabkan perubahan
stadia pertumbuhan patogen, laju perkembangan dan patogenesis patogen, serta
juga akan merubah fisiologi dan ketahanan tanaman inang. Radiasi sinar UV yang
berasal dari cahaya matahari mempengaruhi patogen dalam kaitan dengan
akumulasi phytoalexins atau adanya pigmen bersifat melindungi di dalam jaringan
tanaman inang.
Perubahan iklim akan menimbulkan dampak pergeseran pola distribusi
spatial patogen dan pola distribusi geografis inang. Pola pergeseran distribusi ini
akan menjadi sulit diprediksikan ketika pengaruh iklim terhadap patogen tidak dapat
digeneralisasi, karena ada yang dapat berefek positif dan ada juga menimbulkan
dampak negatif terhadap patogen. Oleh karena itu, pemodelan pola distribusi
penyakit berdasarkan iklim lebih ditekankan untuk dipelajari kasus per kasus, yakni
spesifik berdasarkan patogen, inang, serta pola hubungan patogen dan inang.
8
DAFTAR PUSTAKA
Agrios G.H. 2005. Plant pathology (fifth edition). Amsterdam : Academic Pr. 948
hal.
Anonim. 2010. Methyl Bromide : quarantine and preshipment uses. United Nation
Office at Nairobi (UNON). Publishing Service Section.Ozone Secretariat
[diunduh dari http://ozone.unep.org tanggal 04/03/2012].
Chakraborty A., Tiedemann A.V. dan Teng P.S. 2000. Climate chane: potential
impact on plant diseases. Environmental Pollution 108:317-326.
Coakley S.M., Scherm H., dan Chakraborty S. 1999. Climate change and plant
diseases management. Annu.Rev.Phytopathol.37:399-426.
Contreras-medina L.M., Torres-pacheco I., Guevara-gonzalez R.G., Romero-toronzo
R>J>, Terol-villalobos I.R., dan Osornio-rios R.A.
2009.
Mathematical
modelling tendencies in plant pathology. African Journal of Biotechnology
8(25):7399-7408.
Fields P.G. dan White N.D.G. 2001. Alternatives to Methyl Bromide treatments for
stored-product and quarantine insect. Ann.Rev.Entomol.47: 331-359.
Hallman G.J. 1998. Potential quarantine treatment against plum curculio to replace
methyl bromide. Proceeding Ann.Int. Res.Conf.Methyl bromide.Alternat.
Emission Reduct . : 121-1 – 121-2.
Lopez, R.Y., Torres-pacheco I., Gonzalez R>G., Hernandez-Zul M.I., Quijanocaranza J.A., dan Rico-garcia E. 2012. review: The effect of climate chane
on plant diseases. African Journal of Biotechnology 11(10):2417-1428.
Petzoldt C. dan Seaman A. 2010. Climate chane effects on insect and pathogens.
Climate
chane
and
agriculture:
Promoting
Practical
and
Profitable
Responses. [diunduh dari http://www.cornel.edu tanggal 01/03/2012].
Runion G.B., Prior S.A. dan Mitchell R.J. 2010. Effects of elevated atmospheric
CO2 on two southern forest diseases. New Forest 39:275-285.
Wiyono S. 2007. Perubahan iklim, pemicu ledakan hama dan penyakit tanaman.
[diunduh dari http://www.agriculturesnetwork.org. tanggal 02/03/2012].
9
LAMPIRAN
Tabel 1.
Studi Analisis Risiko Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Epidemik
Penyakit Tanaman
Author
Study
Result
Evans et al. (2007)
In the UK, the effects of climate
epidemics will not only increase
change on Phoma were assessed
in severity but also spread
(Leptosphaeria maculans)
northwards by the 2020s
Future scenarios of downy mildew on
Predicted an increase of the
grapevine (Plasmopara viticola) were
disease
simulated from the results of two
decade
climate change models. The results
more
Salinari et al. (2006)
suggested
disease
that
would
the
incidence
increase
and
of
pressure
to
in
each
consequence
favorable
of
temperature
conditions
the
production of grapes in northwestern
Italy would decrease.
Van Standen et al. (2004)
Climate modeling was conducted to
A much smaller area of South
predict the habitat distribution of
Africa is predicted to be suitable
pathogenic
for
fungi
Sphaeropsis
the
occurrence
of
C.
sapinea and Cryphonectria cubensis
cubensis than for S. sapinea,
in South Africa and the potential
but a range shift westward in
distribution
suitable habitat for C. cubensis
of
pathogens
under
10
climate change.
Chakraborty et al. (2002)
Kocmánková et al. (2007)
Anthracnose and host models were
Favorable areas for hosts were
evaluated under the effects of climate
identified, and wheat rust was
change..
modeled
A model to assess the severity of
A marked shift of the disease in
Phytophthora infestans under climate
the
change was developed.
higher altitude.
infestation
pressure
Table 3. Pengaruh Peningkatan Konsentrasi CO2 terhadap Perkembangan
Penyakit (Lopez et.al., 2012).
Author
Study
Hibberd et al. (1996)
The
Tiedemann
and
Firstching
(2000).
Effect
effect
of
elevated
The percentage of conidia that
concentrations of CO2 on the
progressed to produce colonies
infection of barley by Erysiphe
was lower in plants grown in
graminis was determined.
700 than in 350ppm CO2.
Interactive effects of elevated
Elevated CO2 increased the
CO2 and O3 levels on wheat
photosynthetic
leaves infected with leaf rust
diseased plants by 20 and 42%
fungus Puccinia triticina were
at the ambient and elevated
described.
ozone
rates
of
the
concentrations,
respectively.
Jwa and Walling (2001).
Chakraborty et al. (2002).
The effects of elevated CO2
The
concentrations
counterbalanced the negative
on
the
extra
CO2
development of Phytophthora
effect
parasitica (root rot) in tomato
infection
were evaluated.
productivity.
The
germination
rates
of
of
the
on
completely
pathogenic
overall
plant
spore germination was reduced
11
to
conidia of C. gloeosporioides
and extended incubation period
were determined.
was
at
700
Anthracnose
ppm,
and
severity
was
reduced.
Karnosky et al. (2002).
Elevated CO2 and tropospheric
Three- to five-fold increases in
O3 concentrations were related
levels of rust infection index
to
were found.
infection
by
rust
(Melampsora medusae f. sp
tremuloidae) in aspen (Populus
tremuloides Michx.)
Pangga et al. (2004).
The
relative
canopy
importance
size
resistance
and
to
of
Up to twice as many lesions per
induced
plant were produced in the high
Colletotrichum
CO2
because
plants,
the
gloeosporioides was examined
enlarged canopy trapped many
at
more pathogen spores.
atmospheric
CO2
concentrations of 350 and 700
ppm. Susceptible Stylosanthes
scabra (Fitzroy) were evaluated
in
a
controlled
environment
facility (CEF) and the field.
Kobayashi et al. (2006).
Pyricularia oryzae Cavara and
Rice
Rhizoctonia solani Kühn were
elevated
evaluated.
were more susceptible to leaf
plants
grown
CO2
in
an
concentration
blast than those in ambient
CO2.
Eastburn et al. (2010).
The effects of carbon dioxide
Changes
(CO2) and ozone (O3) on three
composition
altered
soybean
expression.
Elevated
diseases
(downy
in
atmospheric
disease
CO2
mildew, Septoria and sudden
reduced downy mildew disease
death
severity. But increased brown
syndrome)
were
determined in the field.
spot severity and without effect
in sudden death syndrome.
Strengbom and Reich (2006).
The incidence of leaf spot on
Disease incidence was lower in
mature
plots with either elevated [CO₂]
rigida
leaves
was
of
Solidago
assessed.
The
or enriched N (-57 and -37%,
12
incidence
of
disease
was
reduced by half under ECO2
respectively) than in plots with
ambient conditions.
concentrations.
Matros et al. (2006).
The response of tobacco to
The titre of viral coat-protein
potato virus Y was evaluated.
was
markedly
reduced
in
leaves under these conditions
at both nitrogen levels. The
accumulation
of
phenylpropanoids, may result in
an earlier confinement of the
virus at high CO2.
Lake and Wade (2009).
Runion et al. (2010).
Interactions between Erysiphe
The
cichoracearum and Arabidopsis
colonies (networks of mycelia)
thaliana under elevated levels
on mature leaves increased
of CO2 were assessed.
significantly
number
of
established
elevated
In general, disease incidence
CO2
was decreased by exposure to
concentrations on two southern
elevated CO2, and increased
forest
the
The
effects
of
atmospheric
diseases
quercuum
and
(Cronartium
Fusarium
circinatum) were assessed.
latent
period
(time
to
sporulation) for fusiform rust on
red oak seedlings.
13
Download