Penatalaksanaan Syok Septik pada Pasien dengan

advertisement
LAPORAN KASUS
Penatalaksanaan Syok Septik pada Pasien
dengan Sindrom Kardiorenal
Vera Irawany
Case Summary
Cardiorenal syndrome is a clinicopathologic disorder in which a primary insult in the kidney or inthe
heart initiates a series of secondary functional and
morphologic responses in the other organs.
This case was a 73 years old man with septic shock secondary to Hospital Acquired Pneumonia and urinary
tract infection. Patient past medical histories were
chronic heart failure and diabetes mellitus.
Septic patients would induced acute heart failure followed by declined renal function (AKIN STAGE II) and
complicated cardiorenal syndrome.
The succesful patients management is depend on the
implementation of 3 pilars of septic such as fluid resuscitation until hemodynamics target were achieved, appropriate and adequate antibiotics, as well as a source
control. The goals of initiation of CRRT (CCVHD) were
correction of renal function and cytokine removal.
PENDAHULUAN
Sindrom kardiorenal (Cardiorenal syndrome,
CRS) adalah suatu terminologi yang semakin
sering digunakan untuk mendeskripsikan kumpulan
gejala klinis yang merupakan suatu interaksi antara
penyakit kardiovaskular baik akut maupun kronik
Bagian Anetesiologi dan Terapi Intensif
Rumah Sakit Umum Fatmawati
Jl. Fatmawati Cilandak, Jakarta Selatan
Korespondensi : [email protected]
102
dan acute kidney injury (AKI) atau penyakit gagal
ginjal kronik.1,2 Beberapa ahli memilih istilah sesuai
dengan penyakit awal sebagai penyebab, seperti
sindrom renokardiak jika penyakit gagal ginjal
kronik sebagai penyakit primer yang memberikan
respons adalah sistem kardiovaskuler dan jika
sebaliknya disebut sebagai cardiorenal syndrome.
(Tabel 1)3,4,5
Sistem klasifikasi ADQI untuk CRS, dibagi
menjadi 5 subtipe berdasarkan organ pertama yang
lebih dulu mengalami gangguan (jantung vs ginjal)
dan berdasarkan bingkai waktu proses kejadian
timbulnya sindrom (akut vs kronik) serta tambahan
subtipe berdasarkan adanya suatu kondisi sistemik
yang menjadi penyebab utama gangguan pada kedua
organ jantung dan ginjal. (Tabel 2) 2,6,7
Klasifikasinya Sindrom Kardiorenal:2
Sindrom kardiorenal akut (tipe 1)
Perburukan fungsi jantung yang akut
menyebabkan terjadinya gangguan fungsi ginjal.
Tipe 1 CRS menyatakan adanya perburukan fungsi
ginjal sebagai akibat gagal jantung akut dan atau
acute coronary syndrome (ACS). Antara 27-40%
pasien yang dirawat dengan ADHF akan mengalami
AKI, dengan mortalitas dan morbiditas yang lebih
tinggi serta masa rawat yang lebih lama.
Sindrom kardiorenal kronik (tipe 2)
Tipe ini lebih mengacu kepada pasien yang menga
lami CKD sebagai akibat komplikasi penyakit CHF.
Merupakan keadaan yang lazim ditemukan dimana
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Vera Irawany
Tabel 1. Faktor Risiko pada sindrom kardiorenal1
Klinis
i. Usia tua
ii. Adanya komorbid (DM, hipertensi tidak terkontrol dan anemia)
iii. Penggunaan obat-obatan:
a. obat anti inflamasi
b. diuretik (tiazid, loop diuretic)
c. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor/ angiotensin receptors blockers
Jantung
i. Riwayat gagal jantung atau gangguan fraksi ejeksi ventrikel kiri
ii. Riwayat infeksi miokardium
iii. Fungsional status (Functional class) berdasarkan New York Heart Association
iv. Peningkatan jantung troponin
Ginjal
i. Gagal Ginjal kronik (penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR), peningkatan BUN, kreatinin atau cystatin)
Tabel 2. Sistem klasifikasi ADQI untuk sindrom kardiorenal2
CRS tipe 1
CRS tipe 2
CRS tipe 3
CRS tipe 4
CRS tipe 5
Gangguan primer
Gagal jantung dekompensasi akut Gagal jantung kronik
AKI
CKD
Gagal jantung dan CKD terjadi bersamaan
pada pasien yang dirawat dengan CHF lebih dari
60% akan mengalami penurunan fungsi ginjal.
Sindrom renokardial akut (type 3)
Penurunan fungsi ginjal yang akut menyebabkan
gangguan yang akut pula pada fungsi jantung
Sindrom renocardial kronik (type 4)
Tipe ini mengacu pada kelainan/gangguan
jantung sekunder yang terjadi akibat kondisi CKD.
Sindrom kardiorenal selular (type 5)
Keadaan sistemik yang mengakibatkan gangguan
secara simultan pada kedua organ yakni jantung dan
ginjal, baik akut maupun kronik. Misalnya sepsis,
lupus eritematosus, amyloidosis dan sebagainya.
KASUS
Seorang laki-laki usia 73 tahun, masuk Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
dirujuk dari rumah sakit (RS) swasta dengan syok
septik akibat bronkopneumonia. Pasien sempat
dirawat di ruang rawat intermediate selama 3
hari. Keluhan utama saat masuk RS swasta adalah
pasien lemas dan tak nafsu makan sejak seminggu
sebelumnya. Keluhan lain adalah mual tapi tidak
Volume 2 Nomor 2 April 2012
Gangguan sekunder
Acute Kidney Injury (AKI)
Chronic Kidney Disease (CKD)
Gagal jantung akut
Gagal jantung kronik
muntah, intake makanan hanya separuh biasanya.
Demam disangkal. Batuk ada, tidak berdahak.
Kadang-kadang merasa sesak.Tidur dengan posisi
setengah duduk.
Pasien mempunyai riwayat diabetes mellitus
sejak 10 tahun, berobat teratur. Riwayat penyakit
jantung koroner pasca pemasangan stent
Percutaneous Coronary Interventasi (PCI) tahun
2007 dan 2010. Aktivitas sehari-hari sudah terbatas.
Hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan di
RS swasta adalah pemeriksaan darah perifer kadar Hb
17,9 g/dL Ht 52%, Leukosit 24.800/uL, Trombosit
314.000/uL, Ureum/kreatinin 176 mg/dL/2,5 mg/
dL, creatinine clearance test hitung 16,9 ml/menit
GDS 189 mg/dL, SGOT/SGPT 3328 U/L/1913 U/L,
asam urat 15,9 mg/dL, Na/K/Cl 133/4,7/97 mmol/L,
PT 14,9 (11,7)/aPTT 171 (31,9), Fibrinogen/Ddimer 353,5/300, AGD: pH 7,400CO2 /26,2PO2/146
HCO-3/16,1 BE/-7,6 Sat O2/99%, CKMB: 92
Troponin T <100. Hasil pemeriksaan toraks adalah
kardiomegali dengan infiltrat dikedua lapang paru,
sedangkan pemeriksaan echokardiografi tampak
disfungsi ventrikel kiri, hipertensi pulmonal, global
hipokinetik, hasil pemeriksaan urinalisa albuminuria
(3+), bilirubin (+), eritrosit penuh, granula kasar (+),
bakteri (+), yeast (+).
103
Penatalaksanaan Syok Septik pada Pasien dengan Sindrom Kardiorenal
Tabel 3. Pemantauan hemodinamik selama di ICU
Keterangan: TDS: tekanan darah sistolik; TDD: tekanan darah disistolik, MAP: mean arterial pressure; HR: heart rate; CI/SUI: Cardiac Index/ Stroke Volume Index; RR: respiratory rate ; SAT: saturasi
oksigen (%); CVP : central volume pressure ; BK: balance komulatif; NE: norepinefrine; DOBU:
dobutamin; CRRT: continous renal replacement teraphy; HD: hemodialisis
Tabel 4. Pemantauan fungsi ginjal selama di ICU
Keterangan : CRRT : continous renal replacement theraphy; HD: Hemodialisis
104
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Vera Irawany
Tabel 5. Pemantauan parameter infeksi selama di ICU
Keterangan : RR: respiratory rate; PCT : procalitonin; CPIS : Clinical Pulmonology Infection Score
Pasien dirujuk dengan masalah syok septik akibat
bronkopneumonia, gagal jantung kongensif riwayat
supra ventricular tachicardy (SVT) dan diabetes
melitus (DM) tipe 2 dengan nefropati diabetik gagal
ginjal kronik stadium 4.
Terapi yang sudah diberikan adalah furosemide
20mg/jam, dobutamin 10 ug/kg/mnt, norepinefrin 1
ug/kg/mnt, amiodaron 300 mg/6jam, insulin (lantus
1x14 U dan actrapid 3x6 U), ascardia, enoxiparine
1x0,4 mg dan meropenem 1x1 g.
Pemeriksaan fisik pada saat masuk Intensive Care
Unit (ICU); pasien tampak sesak, posisi setengah
duduk. Kesadaran apatis, tekanan darah 106/58
mmHg, frekwensi nadi 100 x/menit (dengan topangan
noradrenalin 0,8 ug/kg/menit dan dobutamin 10 ug/
kg/menit melalui vena perifer). Pernapasan spontan
dengan sungkup muka O2 8 l/menit, frekwensi napas
20-30x/menit. Saturasi 96-100%. Suhu afebris,
ekstremitas dingin dan pitting edema pada tungkai.
Pemeriksaan dada: bunyi jantung I-II normal, suara
tambahan sulit dinilai, terdapat ronki kasar di kedua
lapang paru. Pemeriksaan abdomen dalam batas
normal
Diagnosis masuk ICU adalah septik syok akibat
pneumonia (Hospital Aqcuired Pneumia/HAP) dan
infeksi saluran kemih(ISK), dengan gagal jantung
dan edema paru serta AKI F atau AKIN stage 2
g cardiorenal syndrome. Pengelolaan pasien ini
adalah segera dilakukan resusitasi cairan, pemberian
antibiotik empirik untuk mengatasi infeksi serta
Volume 2 Nomor 2 April 2012
pengelolaan gagal jantung dan edema paru.
Pemeriksaan USG (pre scanning) vena cava
inferior dilakukan untuk melihat indeks kolapsibilitas,
sekaligus dilakukan pemasangan kateter vena sentral
dan kateter hemodialisis serta arteri line untuk
pemantauan hemodinamik, terutama untuk menilai
delivery oksigen (DO2), curah jantung (cardiac
output = CO) dan isi sekuncup (stroke volume = SV)
serta tahanan vaskuler sistemik (systemic vascular
Resistance = SVR).
Pemantauan hemodinamik dengan menggunakan
alat Vigileo, dihitung SVR ternyata rendah (sesuai
syok septik) serta dilakukan fluid challenge test
menggunakan stroke volume sebagai target.
Dilakukan loading kristaloid tiap 200ml untuk
menilai kenaikan SV. Oleh karena pasien tampak
bertambah sesak napas karena overload cairan, dan
meskipun pasien sudah mendapatkan terapi diuretik
(furosemide sampai dosis 20mg/jam), tetapi urin 3
jam pertama di ICU hanya 50ml, maka diputuskan
untuk melakukan Renal Replacement Therapy
(RRT), yaitu CVVHDF direncanakan dengan: resep
fluid removal: 50ml/jam, replacement: 1000ml/jam,
dialisat: 1000ml/jam
Continous RRT dimulai sejak hari pertama selama
48 jam. Cairan yang dikeluarkan lebih dari 4000ml
dalam 48 jam. Sehingga dari balans +1150ml di hari
pertama (belum termasuk balans pasien selama di RS
swasta sebelumnya) menjadi +250ml di hari ketiga.
Dengan produksi urin di hari ketiga > 1ml/kg/jam.
105
Penatalaksanaan Syok Septik pada Pasien dengan Sindrom Kardiorenal
Dengan CRRT ketergantungan akan dosis
norepinefrin (NE) tampak sangat jauh berkurang.
Sebelumnya MAP dipertahankan diatas 70mmHg
dengan dosis NE 0,8-1ug/kg/menit tetapi setelah
program CRRT dosis NE adalah 0,1ug/kg/menit
untuk mempertahankan MAP yang sama. Parameter
hemodinamik seperti CO, CI dan SV tampak
membaik walaupun pada hari ke VII, VIII, IX terlihat
sedikit menurun kembali. (Tabel 3 dan 4)
Selama RRT, tetap diberikan cairan kristaloid
rumatan 20ml/jam dan albumin 20% 100ml sebagai
volume ekspander dan untuk menarik cairan di
jaringan yang edema. Antibiotik empirik tetap
diberikan dengan terapi dosis. Adanya HAP dan ISK
dengan kemungkinan kuman multiresistens maka
digunakan terapi antibiotik meropenem 3x1 g dan
amikasin 1x1 g.
Infeksi yang menyebabkan syok pada pasien ini
diduga pneumonia yang didapatkan dari RS swasta
dan juga infeksi saluran kemih yang dibuktikan
dengan hasil urinalis ditemukan bakteri dan jamur.
Pada hari kesembilan, keluar hasil kultur sputum
yakni candida albicans sehingga pemberian anti
fungal dimulai pada hari X. (Tabel 5)
Selain mengalami infeksi pasien ini mengalami
CRS yang diakibatkan proses gagal jantung kronik
yang dialami. Kadar ureum dan kreatinin pada
saat masuk ICU memang tinggi (176/2,5 mL/dL)
tetapi setelah CRRT turun menjadi 56/2,1ml/dL.
Tetapi kadarnya naik terus karena produksi urin
yang menurun sejak CRRT dihentikan (dari 0,58004ml/kg/jam maka pada hari kedelapan dilakukan
hemodialisis. Selama perawatan pasien tetap
dirangsang diuresisnya menggunakan furosemide
baik drip kontinu ataupun pemberian intermittent
sampai hari ke delapan.
Setelah mendapatkan anti fungal, tampak
kondisi semakin baik seperti tampak pada parameter
hemodinamik (CO dan SV) semakin baik sampai
akhirnya MAP dicapai tanpa katekolamin eksogen
(NE).
Pasien dirawat di ICU selama 14 hari, selanjutnya
dirawat oleh bagian kardiologi sekitar 1 minggu dan
pulang.
PEMBAHASAN
Pada kasus di atas masalah yang ditegakkan
adalah septik syok yang disebabkan oleh pneumonia
(HAP) dan ISK pada pasien dengan komorbitas gagal
jantung kronik dan diabetes mellitus yang oleh sebab
sepsis menjadi acute decompensated Heart Failure
(ADHF) (edema paru) disertai penurunan fungsi
106
ginjal (AKI F atau AKIN stage 2) yang kini dikenal
sebagai suatu sindrom kardiorenal.
Gagal jantung kongestif (Congestive Heart
Failure/CHF) adalah kondisi kronik yang umum
ditemukan dalam 2% populasi dewasa dan dengan
jumlah perawatan lebih 1 juta orang dalam 1 tahun.
Sehingga menjadikannya sebagai penyebab rawat
inap nomor satu pada populasi usia > 65 tahun di
Amerika Serikat. AKI sebagai komplikasi pada
sepertiga kasus, menyebabkan masa perawatan
lebih lama tiga kali lipat, kemungkinan untuk
rawat inap ulang dan angka mortalitas 22% lebih
tinggi. Penurunan keluaran terjadi pada kelompok
pasien yang memiliki peningkatan serum creatinin
paling sedikit 0,33 mg/dL dari kadar creatinin pada
saat pertama kali masuk perawatan karena gagal
jantung.1
Pada pasien dengan CHF, hampir 25% mengalami
penurunan laju filtrasi glomerulus (glomerulus
filtration rate/GFR) terlepas dari derajat penurunan
fungsi ventrikel kiri.Suatu penelitian kohort
prospektif pada 754 pasien dengan CHF ditemukan
hanya 17% dengan GFR >90ml/menit. Pada studi
yang lebih besar, ADHERE (Acute Decompensated
Heart Failure National Registry), terjadi penurunan
GFR pada 30% dari 107.362 individu dengan CHF.
Sebanyak 21% memiliki serum creatinin >2mg/
dL dan 9% memiliki kadar serum creatinin >3mg/
dL. Penurunan fungsi ginjal ini secara bermakna
memberikan dampak pada angka morbiditas dan
mortalitas. Dari suatu penelitian meta analisis pada
80.098 pasien CHF baik yang dirawat maupun yang
tidak dirawat, dengan GFR<53ml/menit berhubungan
dengan 51% mortalitas 1 tahun dibandingkan dengan
mortalitas 1 tahun GFR<90ml/menit sebesar 38%.
Apabila GFR >90ml/menit dapat dipertahankan
maka berhubungan dengan 24% mortalitas dalam 1
tahun.
Secara singkat tatalaksana ADHF pada fungsi
ginjal yang terganggu adalah:8.10,14
1. Diuretik sebagai terapi utama (88%)
2. Antagonis mineralokortikoid (spironolakton)
3. Hormon natriuretik: nesiritide (memberikan efek
vasodilatasi)
4. Vasodilator: mengurangi bendungan & memperbaiki CI
5. Inotropik: kontroversi, hanya pada keadaan hipotensi dapat digunakan
6. Akuaretik/antagonis reseptor V2
7. Antagonis reseptor adenosine A1: vasokonstriksi arteriol aferen sehingga renal blood flow
berkurang
8. Ultrafiltrasi: mengatur balans cairan
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Vera Irawany
9. Levosimen dan yang cara kerjanya dengan terikat troponin C jantung sehingga stabilisasi ikatan dengan kalsium yang dapat memperbaiki
kontraktilitas miokard.
Sementara tata laksana syok septik berdasarkan
Surviving Sepsis Campaign adalah menjalankan
3 pilar sepsis yakni resusitasi (Protocol Rivers),
antibiotik yang adekwat dan source control.2
Pada pasien ini, yang telah memiliki risiko yang
besar untuk terjadinya CRS yaitu penyakit jantung
koroner yang diderita dengan riwayat PCI 2 kali,
disertai dengan DM tipe 2 sejak lebih dari 10 tahun.
Maka lambat laun fungsi ginjalnya ikut menurun,
walaupun sampai saat sebelum pasien sakit kritis
produksi urin masih normal dan belum menjalani
hemodialisis.
Pada saat pertama kali pasien datang ke RS swasta,
diagnosis bronkopneumonia sudah ditegakkan tetapi
karena penanganan yang tidak adekwat maka infeksi
berlanjut dan akhirnya keadaan jantungnya yang
biasanya compensated menjadi failure yang sangat
mungkin disebabkan kebutuhan oksigen jaringan
pada sepsis meningkat dan dengan cardiac reserve
yang minimal, terjadilah hipoperfusi.
Tatalaksana yang tidak adekwat pada CRS
sangat mungkin terjadi, apalagi bila pasien ADHF
datang dengan syok septik. Keputusan klinis
sangat sulit ditentukan seperti misalnya parameter
sederhana yang dapat digunakan untuk menilai
target resusitasi, atau apakah pasien ini masih fluid
responsiveness atau sudah tercukupi preload-nya.
Oleh karena itu dilakukanpemeriksaan USG vena
cava inferior untuk melihat kolapsibilitasnya. Insersi
kateter vena sentral dan kateter hemodialisis serta
arteri line dengan USG guided untuk pemantauan
hemodinamik, terutama untuk menilai delivery
oksigen, curah jantung (cardiac output = CO) dan
isi sekuncup (stroke volume = SV) serta tahanan
vaskuler sistemik (systemic vascular Resistance =
SVR). Pemantauan hemodinamik ini dapat membantu
menegakkan, diagnosis syok septik yaitu dengan
dapat menjelaskan adanya nilai SVR yang rendah
karena bila hanya melihat keadaan klinis yaitu tanda
bendungan dan overload yang nyata / bermakna maka
klinisi akan ragu untuk melakukan resusitasi cairan.
Oleh karena itu pada pasien ini, diputuskan untuk
melakukan pemantauan hemodinamik semi invasif
dengan pemasangan alat Vigileo untuk menilai CO,
SV, fluid responsiveness (SVV) dan SVR.15
Setelah alat monitor hemodinamik Vigileo
terpasang, dihitung SVR ternyata rendah (sesuai
dengan syok septik) serta dilakukan fluid challenge
test menggunakan stroke volume sebagai target
Volume 2 Nomor 2 April 2012
karena nilai stroke volume variation (SVV) tidak
cocok pada pasien yang bernapas spontan. Nilai CI
rendah, stroke volume naik lebih dari 10% setelah di
loading kristaloid 200ml. Masalah terjadi manakala
cairan dibutuhkan untuk mengisi intravaskuler yang
kosong padahal pasien dalam keadaan hypervolemia
(overload) akibat kegagalan pompa jantung kiri
untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi jaringan
yang meningkat pada keadaan sepsis.
Sungguhpun sudah diketahui bahwa pasien
overload dan harus dikurangi preload-nya tapi jika
ginjal sudah gagal untuk mengatur keseimbangan
cairan dan elektrolit maka diperlukan cara lain untuk
mengeluarkan kelebihan cairan dari dalam tubuh
(extra corporal).
Gangguan pada ginjal dapat memperberat beban
kerja jantung sehingga memberikan kontribusi
pada syok yang berkepanjangan dan hipoperfusi
organ, sehingga optimalisasi hemodinamik sedini
mungkin dan memiliki target hemodinamik sangat
diindikasikan agar hipotensi sistemik dapat segera
teratasi dan produksi urin dapat dipertahankan dalam
batas normal.8,10,12,14,15
Pada keadaan gagal ginjal persisten yaitu produksi
urin sangat rendah maka, hemofiltrasi (veno-venous
hemofiltration) dapat digunakan dengan tujuan untuk
membuang sitokin dan membantu memperbaiki
fungsi ginjal.9
Pasien ini sudah diberikan furosemide sampai 20
mg/jam tetapi urin hanya sekitar 50 cc dalam 3 jam
(<0,3ml/kg/jam), maka diputuskan untuk dilakukan
CRRT selain untuk mengeluarkan sitokin sepsis yang
membuat depresi pada miokardium dan vasodilatasi
pembuluh darah, sekaligus upaya untuk mengurangi
beban jantung (preload reduction) dan mengurangi
beban ginjal untuk mengatur balans cairan dan
elektrolit.
Pasien menjalani CVVHDF dengan penarikan
cairan >4000ml dalam 48 jam, sehingga yang paling
tampak pada awal jam pertama penarikan cairan
adalah tanda-tanda bendungan berkurang. Pasien
mulai merasa lebih enak dan tidak terlalu sesak,
compliance jantung membaik dengan membaiknya
SV dan CO. Pada pasien ini yang semula direncanakan
untuk menggunakan ventilasi mekanik, tidak jadi
dilakukan bantuan ventilasi meskipun observasi
pernapasan dilakukan secara ketat.
Keuntungan lain dari CVVHDF lain adalah
lepasnya ketergantungan pada obat norepinefrin
tampak sangat jelas yaitu dalam 48 jam dosis NE
turun dari 1ug/kg/menit ke 0,2ug/kg/menit.
Hal ini selaras dengan penggunaan antibiotik
kombinasi (meropenem dan amikasin tanpa adjust
107
Penatalaksanaan Syok Septik pada Pasien dengan Sindrom Kardiorenal
dosage saat CVVHDF) untuk mengatasi masalah
HAP dan ISK. Namun saat RRT dihentikan,
tampaknya efek amikasin terhadap ginjal tampak
(ureum & creatinine naik) walaupun dosis sudah
diturunkan menjadi 2 hari dan dan akhirnya
pemberian amikosin dihentikan, sehingga kadar
ureum dan kreatinine membaik.
KESIMPULAN
Sindrom kardiorenal terjadi pada pasien yang
mengalamai sepsis berat dan syok septik. Patogenesis
terjadinya CRS dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang mempengaruhi baik fungsi jantung dan atau
ginjal, termasuk keadaan syok yang dihubungkan
dengan hipoperfusi ginjal, vasodilatasi pembuluh
darah sistemik maupun intrarenal, reaksi inflamasi
jaringan, disfungsi endotel dan terjadinya gangguan
permeabilitas vaskular.
Pada kasus sepsis berat dan syok sepsis
keberhasilan terapi terletak pada penatalaksanaan
yang adekwat dan implementasi dari 3 pilar sepsis
yakni resusitasi cairan sedini mungkin dapat mencapai
target hemodinamik, pemberian antibiotik yang tepat
dan adekwat serta source control yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Berbari AE, Mancia G. Cardiorenal syndrome:
mechanism, risk and treatment. Italia : SpringerVerlag ; 2010
2. Davenport A, Anker SD, Megazaa A, Palazzuoli
A, Vescovo G, Bellomo R, et al. ADQI 7:
the clinical management of the cardio-renal
syndromes:work group statements from the
7th ADQI consensus conference. Nephrol Dial
Transplant. 2010; 25: 2077–89.
3. Cruz DN, Bagshaw SM. Heart-Kidney
Interaction:Epidemiology
of
Cardiorenal
Syndromes.Int J Nephrol. 2011;2011:(351291).
4. Ronco C. The cardiorenal syndrome: basis and
108
common ground for a multidisciplinary patientoriented.Cardiorenal Med. 2011;1:3–4
5. Viswanathan G, Gilbert S. The cardiorenal
syndrome: making the connection. Int J Nephrol.
2011;2011:(283137).
6. Chan E J, Dellsperger K J. Update on cardiorenal
syndrome: clinical conundrum. Advances in
peritoneal dialysis. 2011;27
7. Ronco C, McCullough P, Abker SD, Anand I,
Aspromonte N, Baghsaw SM, et al. Cardio-renal
syndromes: report from the consensus conference
of the acute dialysis quality initiative. European
heart journal. 2010; 31: 703–11
8. Chan EJ, Dellsperger KC. Cardiorenal
syndrome: the clinical cardiologists’ perspective.
Cardiorenal Med. 2011;1:13–22
9. Vincent JL, Abraham E, Moore FA, Kochanek
PM, Fink MP. ed. Textbook of critical care. 6th
ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2010
10. Sarraf M, Schrier R W. Cardiorenal syndrome
in acute heart failure syndromes. Int J Nephrol.
2011; 2011:(293938).
11. Sarraf M, Masoumi A Schrier R W. Cardiorenal
syndrome in acute decompensated heart failure
clin J Am Soc Nephrol. 2009;4:2013-26.
12. Kamath S A. The role of ultrafiltration in patients
with decompensated heart failure. Int J Nephrol.
2011;2011:(190230).
13. House AA, Haapio M, Lassus J, Bellomo R
and Ronco C. Pharmacological management of
cardiorenal syndromes. Int J Nephrol. 2011;2011:
630809.
14. Ronco C, Haapio M, House AA, Anavekar N,
Bellomo R. Cardiorenal syndrome. M. Am coll
cardio.2008;52:19.
15. Sipahi I, Fang J C. Treating Heart Failure on
Dialysis: Finally Getting Some Evidence J. Am.
Coll. Cardiol. 2010;56:1709-1711
16. McGee W T, Headly J M, Frazier J A. Quick guide
to cardiopulmonary care. 2nd ed. Edwards.
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Download