BAB II KAJIAN TEORITIS A. Pengertian Jumlah Pencari Kerja 1

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Pengertian Jumlah Pencari Kerja
1. Pencarian Kerja
Salah satu alasan mengapa selalu ada pengangguran dalam
perekonomian adalah pencarian kerja. Pencarian kerja (job search)
adalah proses yang mempertemukan pekerja dengan pekerjaan yang
sesuai dengannya. Apabila semua pekerja dan semua jenis
pekerjaan sama, sehingga semua pekerja cocok dengan semua jenis
pekerjaan, maka pencarian kerja tidak akan menjadi masalah.
Pekerja-pekerja
yang
diberhentikan
akan
secepatnya
menemukan pekerjaan baru yang sesuai dengannya. Tetapi, pada
kenyataannya, para pekerja mempunyai selera yang berbeda-beda,
pekerjaan-pekerjaan yang ada sangat berbeda satu sama lain, dan
informasi mengenai calon pekerja dan lowongan pekerjaan tersebar
dengan lambat diantara berbagai perusahaan serta rumah tangga
dalam perekonomian1
2. Kebijakan Publik dan Pencarian Kerja
Meskipun pengangguran friksional tidak dapat dihindari,
jumlah
tepatnya
masih
bisa
diperkirakan.
Semakin
cepat
penyebaran informasi lowongan pekerjaan dan ketersediaan
pekerja, semakin cepat suatu perekonomian dapat mempertemukan
pekerja dengan perusahaan yang membutuhkannya. Internet,
1
N. Gregory Mankiw, Pengantar Teori Ekonomi Makro Edisi 3 (Jakarta:
Salemba Empat, 2006), 141
15
16
misalnya, dapat menolong mempercepat proses pencarian kerja dan
mengurangi pengangguran friksional. Selain itu kebijakan publik
memainkan
peranan
penting.
Jika
suatu
kebijakan
dapat
mengurangi waktu yang dibutuhkan orang-orang yang menganggur
untuk mendapatkan pekerjaan baru, maka kebijakan tersebut dapat
mengurangi
tingkat
pengangguran
alamiah
dalam
suaru
perekonomian.
Program-program pemerintah berusaha untuk memudahkan
pencarian kerja dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah
melalui badan tenaga kerja pemerintah, yang memberikan informasi
lowongan pekerjaan. Cara lainnya adalah melalui program-program
pelatihan publik, yang bertujuan mempermudah penyaluran tenaga
kerja dari perusahaan-perusahaan yang mengalami penurunan ke
perusahaan-perusahaan yang mengalami pertumbuhan dan untuk
menolong kelompok-kelompok tertentu keluar dari kemiskinan.
Pendukung program-program ini yakin bahwa hal ini akan
membuat perekonomian berjalan lebih efesien dan menjaga
angkatan kerja terus bekerja dan megurangi ketidakadilan
sehubungan perekonomian pasar yang senantiasa berubah.
Para pengkritik program ini mempertanyakan apakah
pemerintah harus terlibat dalam proses pencarian kerja. Mereka
berpendapat bahwa lebih baik membiarkan pasar tenaga kerja
mempertemukan
para
pekerja
dengan
pekerjaannya.
Pada
kenyataannya, kebanyakan pencari kerja di AS berlangsung tanpa
campur tangan pemerintah. Iklan surat kabar, situs-situs lowongan
kerja di internet, kantor-kantor penempatan tenaga kerja bagi
mahasiswa yang baru lulus, pemburu kerja, dan iklan dari mulut ke
17
mulut membantu penyebaran informasi lowongan pekerjaan dan
calon tenaga kerja.
Demikian pula, kebanyakan pendidikan pekerja dilakukan
secara mandiri, baik melalui sekolah-sekolah maupun melalui
pelatihan kerja. Para pengkritik ini berpendapat bahwa pemerintah
tidak lebih baik bahkan lebih buruk dalam menyebarkan informasi
yang tepat kepada calon pekerja dan memutuskan pelatihan tenaga
kerja apa yang paling baik. Mereka berpendapat bahwa keputusankeputusan ini lebih baik diambil oleh pencari kerja dan perusahaanperusahaan yang bersangkutan.2
3. Lapangan Kerja
Luasnya lapangan kerja yang tersedia akan ditentukan oleh
kebijakan
investasi,
produksi
yang dihasilkan
dan
cara
pembangunan yang diterapkan apakah labour intensive atau capital
intensive serta besarnya modal yang diinvestasikan. Lapangan kerja
yang ada di negara-negara sedang berkembang (under developing
countries) sangat terbatas akibat daripada kebijaksanaan investasi
yang dilakukan pada masalalu ditujukan kepada sektor pertanian
(perkebunan, peternakan dan perikanan) demi kepentingan negara
penjajah, sedangkan lapangan kerja yang tercipta pada sektor ini
sangat kecil. Produksi yang dihasilkan adalah produksi primer dari
pertanian dan ektraktip mineral dari pertambangan yang proses
produksinya pendek sehingga lapangan kerja yang tercipta sedikit.
Modal
yang
diinvestasikan
relatif
kecil
sehingga
perusahaan, pabrik-pabrik yang berdiri kecil-kecil akibatnya
2
N. Gregory Mankiw, Pengantar Teori Ekonomi Makro Edisi 3..., 143
18
lapangan kerja yang tercipta sedikit. Situasi perekonomian Dunia
yang tidak menentu sedangkan negara-negara sedang berkembang
(under developing countries) sangat tergantung pada ekspor barangbarang produksi yang primer, yang harus diproses lebih lanjut
supaya nilai pakai dan niali tukarnya lebih besar.
Untuk memperluas lapangan kerja ini hendaknya proses
produksi diperpanjang dengan jalan mendirikan beraneka ragam
industri. Produksi primer dari sektor pertanian diolah menjadi
barang jadi dengan mendirikan serangkaian pabrik. Untuk
memperluas lapangan kerja ini negara sedang berkembang (under
developing countries) mengalami kesulitan karena kekurangan
modal, kekurangan tenaga ahli dan kurangnya perintis-perintis
wiraswasta.
Lapangan
kerja
yang
banyak
adalah
pada
sektor
perindustrian, karena itu hendaknya pemerintah membangun
beraneka amcam industri atau memberikan dorongan kepada
masyarakat untuk membangun industri karena industrilah yang
menjadi harapan untuk menyerap tenaga kerja yang banyak. Sistem
pembangunan yang diterapkan juga sangat mempengaruhi luasnya
lapangan kerja. Jika pembangunan diterapkan secara labour
intensive atau padat karya akan tercipta banyak lapangan kerja
tetapi produktivitas, kualitas produksi yang dihasilkan rendah.
Tetapi bila mana pembangunan yang diterapkan berdasarkan capital
intensive atau utama modal lapangan kerja yang tercipta sedikit,
tetapi produktivitas dan kualitas produksi yang dihasilkan banyak
serta baik mutunya.
19
Masalah perluasan tenaga kerja ini mulak harus dilakukan
bilamana hal ini tidak berhasil, maka akan timbul banyak
pengangguran, kejahatan-kejahatan dan gejolak-gejolak sosial yang
dapat mempengaruhi kestabilan pemerintah.
Usaha-usaha untuk memperluas lapangan kerja dapat
dilakukan dengan cara:
1. Memperbanyak modal yang diinvestasikan baik kepada sektor
pertanian maupun pada sektor industri lain-lainnya.
2. Memperpanjang proses produksi sehingga produksi yang
dihasilkan menjadi barang-barang setengah jadi. Ini berarti
harus mendirikan beraneka macam pabrik yang akan dapat
menyerap tenaga kerja dengan banyak.
3. Memberikan bimbingan, latihan-latihan dan bantuan modal,
pemasaran kepada home industry supaya berkembang dan
lapangan kerja semakin banyak.
4. Menciptakan situasi dan memberikan dorongan kepada para
tenaga ahli/terampil supaya mereka jangan hanya mencari
pekerjaan tetapi hendaknya mereka itu pencipta pekerjaan
dengan jalan berwiraswasta.3
B. Konsep-Konsep yang Berlaku di Pasar Kerja
Konsep dasar pasar kerja tidak jauh berbeda dengan konsep
dasar pasar barang dan modal. Inti dari konsep tersebut adalah
bahwa setiap pasar selalu mempunyai pembeli dan penjual.
Demikian pula dengan pasar kerja, pembelinya adalah para
3
Julius R. Latumaerissa, Perekonomian Indonesia dan Dinamika Ekonomi
Global (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015), 62
20
pengusaha/ produsen/ majikan, sedangkan penjualnya adalah para
tenaga kerja yang mencari pekerjaan.
Dewasa ini banyak dijumpai para pembeli dan penjual di
pasar kerja terutama di negara-negara sedang berkembang seperti
Indonesia. Oleh sebab itu, keputusan yang terjadi dipasar kerja
sangat dipengaruhi oleh seorang pengusaha baru akan menaikkan
tingkat upah yang diberlakukan di perusahaannya apabila
pengusaha dari perusahaan lain yang sejenis melakukan juga
kenaikan tingkat upah bagi para tenaga kerjanya.
Jadi jelas bahwa pasar kerja merupakan seluruh aktifitas
dari para pelaku yang tujuannya adalah mempertemukan pencari
kerja dan lowongan kerja. Sifat dari pasar kerja itu sendiri
ditentukan oleh para pelaku tersebut. Misalnya, suatu instansi
pemerintah memerlukan tenaga kerja (sebagai pengganti pensiun),
maka akan dilaksanakan pembukaan lowongan kerja di seluruh
negara yang bersangkutan. Keadaan ini menumbulkan adanya pasar
kerja yang sifatnya nasional. Akan tetapi, apabila seorang
pengusaha
membuntuhkan
tenaga
kerja
(misalnya
seorang
pengetik) maka ia akan dapat dengan mudah mencari di wilayah
sekitar tempat berusaha.
Keadaan ini menyebabkan adanya pasar kerja lokal. Kedua
bentuk pasar kerja di atas (nasional dan lokal) dapat disebut juga
sebagai pasar kerja ekstern (external labour market). Tetapi apabila
perusahaan mengisi
lowongan
pekerjaan yang ada
dalam
perusahaan dengan melaksanakan promosi dari dalam itu sendiri,
maka disebut sebagai pasar kerja intern (internal labour market).
Selain itu ada dua bentuk lain dari pasar kerja yang dikenal dengan
21
“dual labour market” yaitu pasar kerja primer (primary labour
market) dan pasar kerja sekunder (secondary labour market).4
C. Etos Kerja dalam Perspektif Islam
Membicarakan etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan
dasar pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan,
tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap
masalah etos kerja. Adanya etos kerja yang kuat memerlukan
kesadaran pada orang bersangkutan tentang kaitan suatu kerja
dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh, yang
pandangan hidup itu memberinya keinsafan akan makna dan tujuan
hidupnya. Dengan kata lain, se-seorang agaknya akan sulit
melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika pekerjaan itu tidak
bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya
yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung.
Menurut Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah
hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai
kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah
SWT.
Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim,
menyatakan bahwa:
“Bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang
sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fikir dan
zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya
sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan
menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik
(khaira ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
4
Afrida BR, Ekonomi Sumber Daya Manusia........, 202
22
dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya. Dalam bentuk
aksioma, Toto meringkasnya dalam bentuk sebuah rumusan:
KHI = T, AS (M,A,R,A)
KHI = Kualitas Hidup Islami
T = Tauhid
AS = Amal Shaleh
M = Motivasi
A = Arah Tujuan (Aim and Goal/Objectives)
R = Rasa dan Rasio (Fikir dan Zikir)
A = Action, Actualization.
Dari rumusan di atas, Toto mendefinisikan etos kerja dalam
Islam (bagi kaum Muslim) adalah: “Cara pandang yang diyakini
seorang Muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan
dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai suatu
manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya mempunyai nilai
ibadah yang sangat luhur.”
Sementara itu, Rahmawati Caco, berpendapat bahwa:
Bagi orang yang ber-etos kerja islami, etos kerjanya
terpancar dari sistem keimanan atau aqidah islami berkenaan
dengan kerja yang bertolak dari ajaran wahyu bekerja sama dengan
akal. Sistem keimanan itu, menurutnya, identik dengan sikap hidup
mendasar (aqidah kerja). Ia menjadi sumber motivasi dan sumber
nilai bagi terbentuknya etos kerja Islami.
Etos kerja Islami di sini digali dan dirumuskan berdasarkan
konsep iman dan amal shaleh. Tanpa landasan iman dan amal
shaleh, etos kerja apa pun tidak dapat menjadi islami. Tidak ada
amal saleh tanpa iman dan iman akan merupakan sesuatu yang
mandul bila tidak melahirkan amal shaleh. Kesemuanya itu
mengisyaratkan bahwa iman dan amal shaleh merupakan suatu
rangkaian yang terkait erat, bahkan tidak terpisahkan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat
dipahami bahwa etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilainilai (values) yang terkandung dalam Al-Qur‟an dan al-Sunnah
23
tentang “kerja” – yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh
setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang
kehidupan. Cara mereka memahami, menghayati dan mengamalkan
nilai-nilai Al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang dorongan untuk bekerja
itulah yang membentuk etos kerja Islam.5
D. Pengertian Pendapatan
1. Pendapatan Perkapita
Salah satu ukuran yang sering digunakan sebagai indikator
pembangunan
adalah
pendapatan
perkapita.
Selain
dapat
membedakan antara negara-negara maju dan negara-negara yang
sedang berkembang, pendapatan perkapita (walaupun sangat kasar)
dianggap pula dapat memberikan gambaran tentang perubahan
tingkat kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara atau antar
negara.
Suatu negara dianggap berhasil melaksanakan pembangunan
bila pertumbuhan ekonomi masyarakatnya cukup tinggi, yakni
dilihat dari produktivitas negara tersebut setiap tahunnya. Dalam
bahasa teknis ekonominya, produktivitas ini diukur oleh Produk
Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP) dan
Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product (GDP).
Oleh karena GNP atau GDP mengukur hasil keseluruhan
dari suatu negara, padahal besar negara ( dalam arti jumlah
penduduknya ) berlainan, maka digunakan ukuran per kapita GNP
atau per kapita GDP. Dengan mengetahui produksi rata-rata setiap
5
Mohammad Irham, “Etos Kerja dalam Perspektif Islam” Jurnal Substantia,
Vol. 14, No. 1, (April 2012), 15
24
orang dapatlah diperbandingkan GNP per kapita atau GDP
perkapita yang satu dengan negara yang lain.
Pendapatan
perkapita
sebagai
indikator
keberhasilan
pembangunan tidak luput dari kelemahan. Segera menjadi jelas
bahwa GNP tau GDP yang dihasilkan sebuah bangsa, tidak berarti
bahwa GNP atau GDP yang dimiliki oleh semua penduduknya
secara merata. Mungkin terjadi, sebagian kecil orang di dalam
negara tersebut memiliki kekayaan yang melimpah sedangkan
sebagian besar lainnya hidup dalam kemiskinan. Kalau kekayaan ini
diratakan dalam perkapita GNP atau perkapita GDP akan diperoleh
nilai yang tinggi. Kemiskinan akan tertutup oleh adanya kekayaan
yang luar biasa yang dimiliki oleh sebagian kecil masyarakat tadi. 6
Dalam bentuk yang lebih spesifik, nilai pendapatan
perkapita sebagai indeks untuk menunjukkan perbandingan tingkat
kesejahteraan dan jurang tingkat kesejahteraan dikritik karena
perbandingan secara demikian mengabaikan adanya perbedaanperbedaan dalam hal-hal berikut diantara berbagai negara:
a. Komposisi umur penduduk
Di negara berkembang proporsi penduduk yang dibawah
umur dan orang-orang muda adalah lebih tinggi dari negara
maju. Dengan demikian, perbandingan pendapatan setiap
keluarga dikedua golongan negara itu tidaklah seburuk seperti
yang digambarkan dengan membandingkan tingkat pendapatan
perkapita mereka.
6
Santi R. Siahaan, dkk, Pengantar Ekonomi Pembangunan
Universitas HKBP Nommensen, 2001), 39
(Medan:
25
b. Distribusi pendapatan masyarakat
Disamping tingkat pendapatan, distribusi pendapatan
merupakan faktor penting lainnya yang menentukan keadaan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Faktor ini tidak
diperhatikan dalam membandingkan tingkat kesejahteraan
masyarakat dan perubahannya dari masa ke masa, jika indeks
yang digunakan adalah tingkat pendapatan perkapita.
Pada akhir-akhir ini, dari pengamatan atas hasil-hasil
pembangunan di negara berkembang, makin luas kesadaran
bahwa walupun dalam sejarah pembangunan negara maju telah
terbukti pembangunan ekonomi pada akhirnya akan diikuti oleh
distribusi pendapatan yang lebih merata, pada tingkat
permulaan
dari
pembangunan
ekonomi
keadaan
yang
sebaliknya akan berlaku.
Perkembangan
menunjukkan
dibanyak
bahwa
dalam
negara
proses
berkembang
tersebut
distribusi
pendapatan keadaannya menjadi lebih tidak merata. Keadaan ini
telah
menimbulkan
ketidakpuasan
terhadap
usaha-usaha
pembangunan dibeberapa negara berkembang karena dianggap
usaha
tersebut
hanya
menguntungkan
sebagian
kecil
masyarakatnya.
Pembangunan ekonomi bukanlah melulu bertujuan
untuk menciptakan modernisasi dalam suatu masyarakat, tetapi
yang lebih penting lagi adalah menciptakan kehidupan yang
lebih baik kepada seluruh masyarakat tersebut. Secara adil
selalu diinginkan agar usaha-usaha pembangunan akan dapat
dikecap oleh seluruh masyarakat secara merata. Tujuan ini tidak
26
akan tercapai apabila pembangunan ekonomi mengakibatkan
distribusi pendapatan masyarakat menjadi semakin memburuk.
Dalam hal ini hanya segolongan kecil saja masyarakat yang
menikmati hasil pembangunan.
c. Pola pengeluaran masyarakat
Pola pengeluaran masyarakat di berbagai negara
kadang-kadang sangat berbeda dan perbedaan ini menyebabkan
dua negara yang sama pendapatan perkapitanya belum tentu
menikmati kesejahteraan yang sama. Misalnya dua orang yang
berpendapatan sama, tetapi salah seorang diantaranya harus
mengeluarkan biaya pengangkutan yang lebih tinggi untuk
bekerja, harus berpakaian rapih, dan sebagainya, tidak dapat
dikatakan sebagai mencapai tingkat kesejahteraan yang sama
tingginya.
Perbedaan iklim menimbulkan perbedaan dalam corak
pengeluaran
masyarakat
di
negara
maju
dan
negara
berkembang. Orang-orang di negara maju harus mengeluarkan
uang lebih banyak untuk mencapai suatu tingkat kesejahteraan
yang sama dengan di negara berkembang. Kebanyakan negara
maju iklimnya lebih dingin dari negara sedang berkembang.
Oleh
sebab
itu,
penduduknya
harus
membuat
pengeluaran yang lebih banyak untuk perumahan, pemanasan,
pakaian, dan makanan untuk menikmati suatu tingkat
kehidupan yang sama
yang dapat
dikecap di
negara
berkembang. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa perbedaan
dalam corak dan pola pengeluaran masyarakat menyebabkan
perbandingan
tingkat
kesejahteraan
di
antara
berbagai
27
masyarakat yang didasarkan kepada tingkat pendapatan
perkapita adalah kurang sempurna.
d. Komposisi pendapatan nasional
Demikian pula, dua masyarakat dengan pendapatan per
kapita yang sama, tingkat kesejahteraannya akan sangat berbeda
apabila komposisi produksi nasionalnya sangat berlainan. Suatu
masyarakat akan mengecap tingkat kesejahteraan yang lebih
rendah dari yang dicerminkan oleh pendapatan perkapitanya
apabila proporsi pendapatan nasional yang berupa pengeluaran
untuk pertahanan dan untuk pembentukan modal lebih tinggi
daripada di negara lain yang sama pendapatan per kapitannya.
Komposisi
produksi
nasional
seperti
ini
tidak
memberikan kepada penduduk negara itu kepuasan yang sama
besarnya seperti apabila komposisinya lebih banyak berupa
produksi barang-barang yang akan dikonsumsikan oleh
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan.
e. Perbedaan masa lapang
Ketidaksempurnaan pendapatan per kapita sebagai alat
pembanding kesejahteraan masyarakat bersumber pula dari
perbedaan masa lapang yang dinikmati berbagai masyarakat.
Dalam hal ini, pendapatan per kapita sebagai indeks tingkat
kesejahteraan dikritik dengan alasan bahwa dua masyarakat
yang berpendapatan rata-rata sama besarnya, tidak dapat
dianggap mempunyai kesejahteraan yang sama apabila masa
bekerja untuk memperoleh pendapatan itu berbeda.
28
f. Keadaan pengangguran
Akhirnya, pembangunan ekonomi yang digambarkan
berdasarkan kepada lajunya tingkat pertambahan pendapatan
perkapita dianggap kurang sempurna karena cara demikian
tidak memberikan gambaran mengenai perubahan-perubahan
dalam masalah pengangguran yang dihadapi.
Di samping kenaikan tingkat pendapatan masyarakat,
tujuan penting lain dari pembangunan ekonomi adalah untuk
menciptakan kesempatan kerja. Pembangunan ekonomi yang
dilaksanakan bukan saja harus berusaha agar pendapatan
masyarakat bertambah, tetapi juga harus sanggup mengurangi
jumlah pengangguran yang terdapat di negara berkembang.
Tujuan ini hanya akan dicapai apabila pertambahan kesempatan
kerja berkembang lebih cepat dari pertambahan tenaga kerja.
Menilai kesuksesan usaha pembangunan berdasarkan
kepada data perkembangan pendapatan perkapita saja tidak
akan menunjukkan apakah tujuan menciptakan kesempatan
kerja sebanyak seperti yang diharapkan tersebut dapat dicapai.
Dengan demikian adalah kurang sempurna untuk menunjukkan
hasil-hasil yang dicapai dalam usaha-usaha pembangunan
dengan hanya menunjukkan tingkat pertumbuhan pendapatan
perkapita yang tercapai.7
7
Sadono Sukirno, Ekonomi Pembanguan Proses, Masalah, dan Dasar
Kebijakan (Jakarta: Kencana, 2011), 58
29
2. Pendapatan Pribadi
Pendapatan pribadi dapatlah diartikan sebagai semua jenis
pendapatan,
termasuk
pendapatan
yang
diperoleh
tanpa
memberikan suatu kegiatan apapun, yang diterima oleh penduduk
suatu negara. Dari istilah pendapatan pribadi ini dapatlah
disimpulkan bahwa dalam pendapatan pribadi itu telah masuk juga
pendapatan yang tidak tergolong di dalam pendapatan nasional.
Salah satu dari pada pendapatan yang bersifat demikian dalah
pembayaran pindahan.
Setiap tahun berbagai negara terutama negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, banyak membuat pengeluaran berupa
pembayaran pindahan. Pembayaran tersebut merupakan pemberianpemberian yang dilakukan oleh Pemerintah kepada berbagai
golongan masyarakat dimana para penerimanya tidak perlu
memberikan suatu balas jasa atau usaha apapun sebagai
imbalannya.
Pengeluaran pemerintah yang dapat digolongkan sebagai
pembayaran pindahan antara lain adalah bantuan-bantuan yang
diberikan kepada para penganggur, uang pensuin yang dibayarkan
kepada pegawai pemerintah yang tidak bekerja lagi, bantuanbantuan kepada orang cacat, bantuan kepada bekas prajurit, dan
berbagai macam beasiswa yang diberikan Pemerintah. Penerimapenerima berbagai jenis pendapatan ini tidak perlu melakukan suatu
pekerjaan kepada Pemerintah untuk memperoleh bantuan-bantuan
tersebut. Dengan demikian pembayaran itu bukanlah pendapatan
yang tercipta sebagai akibat dari penggunaan suatu jenis faktor
produksi.
30
Di dalam perhitungan pendapatan nasional didapati pula
suatu bentuk lain dari pembayaran pindahan, dan ia lebih lazim
disebut dengan istilah: subsidi atau bantuan, yaitu bantuan
pemerintah kepada perusahaan-perusahaan yang penting artinya
dalam perekonomian, dan bantuan kepada para petani. di banyak
negara maju para petani dibantu oleh Pemerintah dengan cara
memberikan pembayaran tambahan kepada mereka apabila harga
penjualan produksi mereka di pasar sangat rendah sekali.
Subsidi atau bantuan adalah juga tergolong sebagai
pembayaran pindahan karena penerima subsidi tidak perlu
membayar kembali bantuan-bantuan yang Pemerintah berikan
kepada mereka. Akan tetapi berbeda dengan pembayaran pindahan
yang disebutkan terdahulu, subsidi adalah termasuk kedalam
pendapatan nasional karena subsidi yang diterima oleh perusahaanperusahaan dan para petani dari Pemerintah adalah termasuk
kedalam pendapatan nasional yang dihitung menurut harga faktor
(cara produksi). Apabila suatu perusahaan menerima subsidi dari
Pemerintah maka subsidi ini pada akhirnya akan diterima oleh
faktor-faktor produksi, maka ia harus merupakan bagian dari
pendapatan nasional. Ini berarti subsidi bukan saja termasuk dalam
pendapatan pribadi tetapi juga termasuk pendapatan nasioanal.
Pendapatan masyarakat lain yang tidak tergolong kepada
pendapatan nasional tetapi termasuk di dalam pendapatan pribadi
adalah pendapatan yang berupa bunga ke atas hutang negara dan
bunga ke atas pinjaman untuk konsumsi. Sebab-sebabnya keduadua jenis bunga tersebut tidak termasuk sebagai pendapatan
nasional lah diterangkan dalam bagian yang lalu. Karena
31
pendapatan pribadi meliputi semua pendapatan masyarakat tanpa
menghiraukan apakah pendapatan itu diperoleh dari menyediakan
faktor-faktor produksi atau tidak, maka wajiblah kedu-dua jenis
bunga di atas dimasukkan ke dalam pendapatan pribadi.
Uraian yang baru dilakukan menerangkan tentang jenis
pendapatan yang tidak termasuk kedalam pendapatan nasional tapi
merupakan bagian dari pendapatan pribadi. Sekarang baiklah dilihat
pula keadaan yang sebaliknya, yaitu melihat pendapatan yang
tergolong adalam pendapatan nsional tetapi tidak masuk sebagai
pendapatan pribadi. Pendapatan yang dimaksud adalah: (1)
keuntungan perusahaan yang tidak dibagikan, (2) pajak yang
dikenakan pemerintah ke atas keuntungan perusahaan, dan (3)
kontibusi yang dilakukan oleh perusahaan dan para pekerja kepada
dana pensiun.8
E. Pemerataan Pendapatan
Selain
pendapatan
perkapita,
distribusi
pendapatan
merupakan faktor penting lainnya yang menentukan kesejahteraan
masyarakat.
Faktor
membandingkan
ini
tingkat
sering
tidak
kesejahteraan
diperhatikan
masyarakat
dalam
dan
perubahannya dari waktu ke waktu. Berdasarkan pengalaman
sejarah negara-negara maju, pada tahap awal pembangunan
ekonomi, distribusi pendapatan cenderung menurun. Akan tetapi
pada akhirnya distribusi pendapatan itu menjadi lebih baik. Namun
demikian, pengalaman negara-negara maju tersebut berbeda dengan
8
Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1981), 62
(Jakarta: Lembaga
32
apa yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang.
Pengalaman
banyak
negara-negara
sedang
berkembang
menunjukkan bahwa dalam proses pembangunan tersebut justru
menyebabkan distribusi pendapatannya menjadi lebih buruk.
Terjadi peningkatan jumlah penduduk yang hidup diabawah “garis
kemiskinan” dan meningkatnya jumlah tenaga yang menganggur.
Keadaan di atas tentu akan menimbulkan ketidakpuasan
terhadap usaha-usaha pembangunan di beberapa negara sedang
berkembang, karena hasil-hasil pembangunan tersebut dianggap
hanya dinikmati oleh sebagian kecil anggota masyarakat. Ini berarti
bahwa pembangunan ekonomi belum tercapai sepenuhnya. Oleh
karena itu timbul keinginan untuk memasukkan aspek pemerataan
dalam ukuran keberhasilan pembangunan.
Dalam perencanaan pembangunan, masalah yang perlu
mendapatkan
perhatian
bukan
hanya
bagaimana
mencapai
produktivitas yang tinggi tetapi juga bagaimana agar distribusi
pendapatan relatif merata sekaligus memperhatikan nasib penduduk
yang berada dibawah garis kemiskinan. Tidak semua negara yang
berhasil meningkatkan GNP perkapitanya berhasil juga dalam
memeratakan hasil-hasil pembangunannya. Terdapat “trade off”
antara pertumbuhan dengan distribusi pendapatan, yang membawa
implikasi bahwa pemerataan dalam pembagian pendapatan dapat
dicapai apabila laju pertumbuhan diturunkan. Demikian juga
sebaliknya, pertumbuhan yang tinggi akan disertai kemerosotan
dalam pembagian pendapatan.
Dengan demikian dapat dikatakan, bangsa atau negara yang
berhasil melakukan pembangunan adalah mereka yang disamping
33
tinggi
pertumbuhan
(produktivitasnya),
pendapatan
juga
terdistribusi relatif merata. Profesor Dudley Seers, misalnya
menemukakan bahwa : Suatu periode dikatakan sebagai periode
pembangunan jika distribusi atau pemerataan pendapatan menjadi
bertambah baik dari waktu-waktu sebelumnya.9
F. Kesenjangan Pendapatan
Kesenjangan pendapatan bisa diidentifikasi dalam tiga
kelompok besar yaitu:
1. Perbedaan dalam alokasi kepemilikan sumber daya dan faktor
produksi seperti tenaga kerja, modal tanah, dan teknologi.
Mereka yang memiliki sumber daya faktor produksi tersebut
relatif lebih mampu mengakumulasi kekayaan dibandingkan
dengan mereka yang kurang atau tidak memiliki sama sekali
faktor produksi.
2. Ketidaksempurnaan pasar akibat adanya kebijakan ekonomi
yang diskriminatif seperti praktik monopoli, proteksi, subsidi,
bias informasi dan lain-lain. Akibat dari distorsi pasar tersebut
pihak produsen pemilik fasilitas akan menerima keuntungan
yang lebih besar dari yang seharusnya didapat (di atas
kewajaran), sementara dilain pihak produsen tanpa hak istimewa
dan konsumen berada pada posisi yang selalu dikalahkan.
3. Ketimpangan pendapatan juga bisa diakibatkan oleh struktur
perekonomian yang tidak seimbang, baik antar sektor maupun
antar pelaku ekonomi. Adanya kenyataan nilai tukar (term of
trade) antara sektor pertanian dan sektor industri yang timpang
9
Santi R. Siahaan, dkk, Pengantar Ekonomi Pembangunan..., 41
34
dan disparitas gaji antara buruh dengan manajer puncak adalah
sebagian contoh dari rapuhnya struktur perekonomian sehingga
mengakibatkan ketimpangan yang semakin menganga. 10
Adelman dan Morris dalam Lincolin mengemukakan
delapan penyebab ketidakmerataan distribusi pendapatan yaitu :
1. Pertambahan penduduk yang tinggi akan memicu penurunan
pendapatan perkapita.
2. Inflasi dimana pendapatan atas uang bertambah namun tidak
diikuti secara proporsional oleh pertambahan produksi
barang-barang.
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah.
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang
padat modal (capital intensive) sehingga presentase
pendapatan dari tambahan modal lebih besar dari pada
presentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga
angka pengangguran pun bertambah.
5. Rendahnya mobilitas sosial.
6. Pelaksaan kebijakan industri subtitusi impor yang
mengakibatkan kenaikkan pada harga barang-barang hasil
industri guna melindungi usaha –usaha golongan kapitalis.
7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara sedang
berkembang dalam perdagangan dengan negara –negara
maju, sebagai akibat adanya ketidakelastisan permintaan
terhadap barang-barang ekspor negara sedang berkembang.
8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti
pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
Masalah pemerataan merupakan suatu hal yang kompleks,
karena sering kali sering berkaitan dengan nilai-nilai sosial suatu
masyarakat. Sebagian masyarakat memandang pemerataan sebagai
suatu tujuan yang bernilai karena adanya implikasi moral dan
hubungan yang erat dengan unsur kelayakan dan keadilan sosial.
10
Ahmad Eran Yustika, Pembangunan dan
Perekonomian Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2002), 97
Krisis
Memetakan
35
Selain itu, masalah pemerataan juga berkaitan juga dengan upaya
pengentasan
kemiskinan,
sehingga
dapat
meningkatkan
kesejahteraan sosial masyarakat.
Dalam setiap upaya pencapaian pemerataan oleh pemerintah
terdapat berbagai rintangan yang harus dihadapi antara lain:
1. Pendanaan yang diperlukan sangatlah besar. Adanya kendala
anggaran disebagian besar negara sedang berkembang kiranya
akan membatasi ruang gerak bagi upaya-upaya pengurangan
tingkat kesenjangan.
2. Upaya tersebut sering kali tidak tepat sasaran karena tidak
mampu menjangkau golongan miskin di negeri tersebut. Hal ini
disebabkan oleh terbatasnya interaksi antara perdesaan dan
sektor-sektor informal (yang merupakan representasi golongan
miskin) dengan institusi-institusi formal, misalnya institusi
keuangan dan tentu saja pemerintah terkait.
3. Adanya hambatan politik, dimana golongan masyarakat
berpendapatan rendah sering kali memiliki kekuatan politik
yang lebih kecil dari pada golongan masyarakat berpendapatan
tinggi. Hal ini tentu saja akan menghalangi setiap upaya
pengalokasian pengeluaran yang ditujukan untuk golongan
miskin.11
11
Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan (Yogyakarta: Unit penerbit dan
Percetakan STIM YKPN Yogyakarta, 2010), 284
36
G. Distribusi Ekonomi Islam: Upaya Mewujudkan Keadilan
Distributif
Keadilan distributif adalah prinsip utama dalam ekonomi
Islam. Sistem ekonomi Islam menghendaki bahwa dalam hal
penditribusian harus didasarkan pada dua sendi, yaitu kebebasan
dan keadilan. Kebebasan di sini adalah kebebasan yang dibingkai
oleh nilai-nilai tauhid dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum
kapitalis, yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan
manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak
mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan
unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara
individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan
masyarakat lainnya.
Sedangkan keadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari
larangan dalam al-Qur‟an (QS. Al-Hasyr [59]: 7) yang berbunyi :
           
         
             
    
Artinya: Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan
Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari
penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul
kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
37
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Amat keras hukumannya.(QS Al-Hasyr : 7)12
Maksudnya agar supaya harta kekayaan tidak hanya beredar
di antara orang-orang kaya saja, tetapi diharapkan dapat memberi
kontribusi
kepada
kesejahteraan
masyarakat
sebagai
suatu
keseluruhan. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi Islam,
penumpukan kekayaan oleh sekelompok orang harus dihindarkan
dan
langkah-langkah
dilakukan
secara
otomatis
untuk
memindahkan aliran kekayaan kepada masyarakat yang lemah.
Selain itu, sendi
kebebasan sistem ekonomi Islam
memberikan peluang dan akses yang sama dan memberikan hakhak alami kepada semua orang. Kepemilikan individu dilindungi
tetapi perlu diimbangi dengan rasa tanggung jawab dan dibatasi
oleh landasan moral dan hukum. Dalam kerangka moral Islam
setiap individu tidak akan melalukan monopoli, tindakan korupsi,
mengabaikan kepentingan orang lain untuk diri sendiri, keluarga
atau kerabat. Semua individu memiliki peluang dan kesempatan
yang sama untuk berusaha dan mengalokasikan pendapatannya
secara
efisien
tanpa
mengganggu
keseimbangan
ekonomi
masyarakat.
Melalui
prinsip-prinsip
ekonomi
Islam
pula,
tidak
memungkinkan individu menumpuk kekayaan secara berlebihan
sementara mayoritas masyarakat berada dalam kemiskinan dan
tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Keberhasilan sistem
ekonomi Islam terletak pada sejauh mana keselarasan dan
12
Tim Penerjemah Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an
Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung, CV
Penerbit Diponogoro,2008)
38
keseimbangan dapat dilakukan antara kebutuhan material dan
kebutuhan akan pemenuhan etika dan moral itu sendiri. Islam
memandu nilai kebebasan dan keadilan ini dalam kerangka tauhid,
yaitu menyadari potensi yang ada pada diri manusia adalah
anugerah ilahi yang harus digunakan untuk pengabdian dan
menjalankan misi moral yang tidak berkesudahan di muka bumi
ini.13
H. Hubungan Antar Variabel
Terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengangguran
yang tinggi dengan semi pengangguran di satu pihak dan
kemiskinan yang meluas dengan distribusi pendapatan yang tidak
adil (tidak merata) dipihak yang lain. Mereka yang bekerja tidak
secara teratur atau hanya bekerja serabutan paro-waktu biasanya
digolongkan diantara mereka yang berpenghasilan sangat miskin.
Mereka yang bekerja dan dibayar secara teratur di sektor
pemerintah maupun swasta termasuk kelompok berpenghasilan
menengah (sedang) atau atas. Akan tetapi kita akan keliru bila
berasumsi bahwa setiap orang yang tidak mempunyai pekerjaan
adalah sama sekali miskin, sedangkan mereka yang bekerja purna
waktu
relatif mempunyai penghasilan yang cukup baik. Ini
disebabkan karena banyaknya pekerja di wilayah kota secara
„sukarela‟ menganggur, dalam arti bahwa mereka sedang mencaricari pekerjaan yang sesuai atau khusus.
13
Anita Rahmawati, “Distribusi dalam Ekonomi Islam Upaya Pemerataan
Kesejahteraan Melalui Keadilan Distributif” Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Kudus, Volume 1, No.1, (Juni 2013), 10
39
Pengharapannya yang tinggi itu barangkali didasarkan pada
kualitas kecakapan atau keterampilan dan pendidikan yang telah
diperolehnya. Mereka menolak menerima pekerjaan yang mereka
anggap kurang sesuai atau bahkan „memalukan‟ dan tidak bersedia
melakukannya,
karena
mereka
merasa
memiliki
dukungan
keuangan dari sumber-sumber lain (misalnya saudara, kenalan atau
dari tukang-tukang kredit setempat). Orang-orang demikian ini
menurut definisinya digolongkan sebagai pengangguran tetapi tidak
miskin.
Demikian pula, ada banyak individu yang barangkali telah
bekerja secara purna waktu, yaitu bila dilihat dari jumlah jam kerja
perharinya, tetapi walaupun demikian memperoleh penghasilan
yang teramat kecil. Banyak pekerja yang bekerja untuk dirinya
sendiri dibidang-bidang yang dinamakan sektor „informal‟ kota
(misalnya para pedagang, penjaga kaki lima, penyedia jasa kecilkecilan,
para
pekerja
dibengkel
dan
sebagainya)
dapat
diklasifikasikan demikian juga. Orang-orang seperti itu, menurut
batasan definisinya dapat digolongkan bekerja penuh (fully
employed) tetapi seringkali tetap miskin.
Walaupun terdapat kekecualian seperti tersebut diatas, yang
menyangkut hubungan antara pengangguran dan kemiskinan, satu
hal tetap benar yaitu bahwa salah satu mekanisme menurunnya
kemiskinan dan ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan di
negara-negara yang sedang berkembang adalah berupa ketentuanketentuan mengenai pengupahan yang cukup serta pemberian
kesempatan bagi si miskin untuk bekerja produktif.
40
Penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih banyak tidak
harus
dipandang
sebagai
satu-satunya
jalan
keluar
untuk
memecahkan permasalahan kemiskinan. Yang lebih diperlukan
adalah langkah-langkah kongkret di bidang sosial maupun ekonomi
yang menjangkau kawasan lebih luas. Namun, ketentuan mengenai
perlunya membuka lapangan pekerjaan yang lebih banyak serta
kesempatan yang lebih luas untuk bekerja harus diusahakan dalam
rangka memecahkan masalah itu. Oleh karena itu, pekerjaan harus
merupakan unsur yang paling penting bagi setiap strategi
pembangunan yang sasarannya adalah mengurangi kemiskinan.14
I. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Menurut penelitian yang dilakukan M. Lukmanul Hakim
tentang kesenjangan dan pengaruh Aglomerasi, PDRB perkapita,
pertumbuhan ekonomi, serta tenaga kerja terhadap kesenjangan
pendapatan di wilayah Tapal Kuda Provinsi Jawa Timur Tahun
2001-2011. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
kesenjangan pendapatan di Wilayah Tapal Kuda relatif rendah, hal
ini bisa dilihat dari nilai rata-rata indeks Williamsonnya yang
kurang dari 0,5 di tiap Kabupaten/Kota. Kota Surabaya merupakan
satu-satunya kota yang memiliki nilai indeks Williamson tinggi
diatas 0,5 yang berarti kesenjangannya tinggi dan Kota Probolinggo
adalah Kota dengan tingkat kesenjangan paling rendah yaitu 0,01.
14
Michael P. Todaro, Ekonomi Untuk Negara Berkembang...., 308
41
Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi pada masingmasing kabupaten/kota di Wilayah Tapal Kuda yang berbeda-beda,
tidak semua variabel bebas dalam penelitian ini signifikan. Secara
parsial variabel aglomerasi dan PDRB berpengaruh signifikan
secara statistik terhadap variabel kesenjangan pendapatan karena
nilai probabilitas t hitung lebih kecil dari α (5%), sedangkan
variabel pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja berpengaruh tetapi
tidak signifikan secara statistik karena nilai probabilitas thitung
lebih besar dari α (5%).
Dari uji F hitung variabel aglomerasi, PDRB, pertumbuhan
Ekonomi, dan Tenaga Kerja secara simultan berpengaruh dan
signifikan secara statistik, karena nilai F hitung lebih kecil dari α
(5%). Variabel independen dalam model ini mampu menjelaskan
variasinya dari variabel dependen sebesar 98,64%. Sedangkan
sisanya 1,36% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar model
dalam penelitian. 15
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hadi Sasana,
Universitas Diponogoro Semarang, tentang analisis pengaruh
desentralisasi
fiskal
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
dan
kesenjangan antar daerah serta penyerapan tenaga kerja dan
kesejahteraan masyarakat di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa
Tengah, dapat ditarik simpulan bahwa : pertumbuhan ekonomi
berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif
15
M. Lukmanul Hakim, “Analisis Faktor- Faktor yang Mempengaruhi
Kesenjangan Pendapatan di Wilayah Tapal Kuda Provinsi Jawa Timur Tahun 20012011,” Skripsi Universitas Jember, 2014
42
terhadap kesejahteraan masyarakat di Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah.
Lalu kesenjangan ekonomi antar daerah berpengaruh
signifikan dan mempunyai hubungan yang negatif terhadap
kesejahteraan masyarakat di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah. Dan tenaga kerja terserap berpengaruh signifikan dan
mempunyai
hubungan
yang
positif
terhadap
kesejahteraan
masyarakat dikabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 16
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Trio Kurnawan dari
Universitas Muhammadiah Malang tentang analisis kesenjangan
pendapatan Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Timur 2008-2012,
dengan data-data yang digunakan adalah data sekunder yang yang
tidak diambil secara langsung dari lapangan, tetapi data yang sudah
diolah sebelumnya
dan dipublikasikan oleh instansi
yang
berkompeten bersumber dari data base Badan Pusat Statistik,
seperti data PDRB, data pendapatan perkapita, data jumlah
Penduduk.
Data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis
pertumbuhan, Indeks Williamson Tipologi Klassen Hasil analisis
menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata dari kurun
waktu tahun 2008-2012. Dimana rata-rata pertumbuhan ekonomi
untuk seluruh Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Timur tahun 2009
16
Hadi Sasana “ Analisis Dampak Pertumbuhan Ekonomi, Kesenjangan
Antar Daerah dan Tenaga Kerja Terserap Terhadap Kesejahteraan di Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Tengah Dalam Era Desentralisasi Fiskal,” Jurnal Bisnis urnal Bisnis
Ekonomi (JBE), Vol. 16, No.1, (Maret 2009)
43
sebesar 8.23 %, Tahun 2010 sebesar 7.36 % Tahun 2011 sebesar
7.23 %, tahun 2012 sebesar 7.15.
Analisis
kesenjangan
pendapatan
memakai
Indeks
Wiliamson menghasilkan koefisien yang berkisar antara 1.07
hingga 1.14. Nilai indeks tersebut sebenarnya memberikan indikasi
bahwa kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/ kota di Jawa
Timur relatif tinggi dalam kurun waktu tahun 2008 sampai tahun
2012. Pembagian wilayah menurut tipologi Klassen terrdapat 4
tipologi yaitu Tipologi I: Daerah maju dan berkembang pesat yaitu
Kabupaten Gresik. Tipologi II : Daerah berkembang cepat yaitu
Bojonegoro Kota Batu. Tipologi III : Daerah Daerah maju tetapi
tertekan yaitu Sidoarjo, Kota Kediri, Kota Malang, Kota
Probolinggo, Kota Mojokerto, Kota Madiun dan Kota Surabaya,
Tipologi IV: Daerah relatif tertinggal yaitu Pacitan, Ponorogo,
Trenggalek, Tulungangung, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang,
Jember,
Banyuwangi,
Bondowoso,
Situbondo,
Probolinggo,
Pasuruan, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan,
Ngawi, Tuban, Lamongan, Bangkalan, Sampang, Pamekasan,
Sumenep, Kota Blitar, Kota Pasuruan.17
Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sebelumnya
karena dalam penelitian sebelumnya tidak meneliti tentang
pengaruh jumlah pencari kerja dan di penelitian ini penulis
bermaksud untuk mengetahui seberapa besar pengaruh jumlah
17
Trio Kurniawan, “Analisis Kesenjangan Pendapatan Kota/Kabupaten di
Provisi Jawa Tengah Tahun 2008-2012,” Skripsi Universitas Muhammadiah Malang,
2014
44
pencari kerja terhadap kesenjangan pendapatan antar daerah di
Provinsi Banten.
J. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu penjelasan sementara tentang
perilaku, fenomena atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau
akan terjadi. Hipotesis merupakan pernyataan peneliti tentang
hubungan antar variabel-variabel dalam penelitian, serta merupakan
pernyataan yang paling spesifik.
Hipotesis berupa pernyataan mengenai konsep yang dapat
dinilai benar atau salah jika menunjuk pada suatu fenomena yang
diamati atau diuji secara empiris. Fungsi hipotesis adalah sebagai
pedoman untuk mengarahkan penelitian agar sesuai dengan apa
yang kita harapkan.18
Ho: Diduga tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara X
(Jumlah Pencari Kerja) terhadap Y (Kesenjangan Pendapatan
Antar Daerah di Provinsi Banten).
Ha: Diduga terdapat pengaruh yang signifikan antara X (Jumlah
Pencari Kerja) terhadap Y (Kesenjangan Pendapatan Antar
Daerah di Provinsi Banten)
18
Mudrajad Kuncoro, Metode Riset Untuk Bisnis & Ekonomi : Bagaimana
Meneliti dan Menulis Tesis? (Jakarta: Erlangga, 2013), 59
Download