analisis dampak produksi, tenaga kerja dan

advertisement
RESPONS SEKTOR BERAS INDONESIA DALAM
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN: ANALISIS DAMPAK
PRODUKSI, TENAGA KERJA DAN KESEJAHTERAAN
RIZA ROSANDY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Respons Sektor Beras
Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN: Analisis Dampak Produksi,
Tenaga Kerja dan Kesejahteraan” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Riza Rosandy
NIM H151137214
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN
RIZA ROSANDY Respons Sektor Beras Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi
ASEAN: Analisis Dampak Produksi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Dibimbing
oleh HERMANTO SIREGAR dan SAHARA.
Dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi pada tahun 1998 dan keinginan untuk
menciptakan kawasan ASEAN yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi,
maka sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimulai pada tahun 2003.
MEA bertumpu pada empat pilar dasar, yaitu: (i) Pasar Tunggal dan Basis
Produksi; (ii) Kawasan Ekonomi yang Berdaya Saing; (iii) Pembangunan
Ekonomi yang Merata; dan (iv) Integrasi dengan Ekonomi Global. Beberapa
sektor yang diprioritaskan untuk diliberalisasi tercantum dalam ASEAN
Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors (PIS), diantaranya
adalah produk pertanian, tekstil dan produk tekstil, produk dari karet, produk dari
kayu, perikanan dan otomotif. Liberalisasi sektor barang akibat MEA
dikhawatirkan akan terus menurunkan produksi beras, jumlah pekerja di sektor
pertanian Indonesia. Sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
dampak liberalisasi komoditas beras pada MEA terhadap produksi, tenaga kerja
dan kesejahteraan Indonesia dan menganalisis alternatif kebijakan sektor beras
dan kebijakan yang sesuai bagi Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data utama yang bersumber dari basis data
GTAP 8. Model ekonomi yang digunakan adalah model keseimbangan umum.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa implementasi MEA dapat meningkatkan
produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan di Indonesia. Dalam analisis kebijakan
alternatif ditemukan bahwa, kebijakan dukungan domestik melalui subsidi benih
dapat meningkatkan produksi, tenaga kerja, kesejahteraan dan surplus neraca
perdagangan. Kebijakan ini dapat diterapkan untuk saat ini karena dapat menjaga
tingkat efisiensi produksi petani. Kebijakan liberalisasi penuh di sektor beras
ternyata dapat menyebabkan penurunan produksi, tenaga kerja, kesejahteraan dan
neraca perdagangan. Hal ini dapat dikarenakan tingginya konsumsi beras dan
tidak tergantikan. Hasil yang mengejutkan terjadi pada kebijakan proteksi penuh
sektor beras, yang menghasilkan nilai positif pada produksi dan tenaga kerja
namun negatif untuk kesejahteraan. Selain itu, jika skema ini diterapkan,
ditakutkan akan memicu negara lain untuk melakukan hal kebijakan serupa. Pada
penelitian selanjutnya terkait sektor beras, dapat digunakan data kelompok tenaga
kerja yang lebih rinci seperti data Survei Sosial Ekonomi Nasional. Selain itu
dapat pula menggunakan basis data GTAP 9, yang baru diluncurkan pada akhir
tahun 2015.
Kata kunci: Masyarakat Ekonomi ASEAN, kebijakan beras, Global Trade
Analysis Project
SUMMARY
RIZA ROSANDY Indonesian Rice Sector Response in the ASEAN Economic
Community: Impact Analysis of Production, Labor and Welfare. Supervised by
HERMANTO SIREGAR and SAHARA.
According to the economic crisis in year 1998 and a will to create the
ASEAN region that is stable, prosperous and highly competitive, then the history
of the ASEAN Economic Community (AEC) began in 2003. AEC relies on four
basic pillars, namely: (i) the Single Market and Production Base; (ii) Competitive
Economic Region; (iii) Equitable Economic Development; and (iv) Integration
with the Global Economy. Some sectors are prioritized for liberalized listed in
ASEAN Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors (PIS),
including agricultural products, textiles and textile products, rubber products,
wood products, fisheries and automotive. Liberalization of the goods sector by
AEC will continue to reduce rice production and also the number of workers in
Indonesian agricultural sector. So the purpose of this study aims to analyze the
impact of the liberalization of commodity rice to AEC on production, labor and
welfare Indonesia and analyze alternative policies in rice sector and appropriate
policy for Indonesia.
This study uses primary data sourced from GTAP database 8. The economic
model used is a general equilibrium model. The results show that MEA
implementation can increase production, employment and welfare in Indonesia. In
the alternative policy analysis found that, domestic support policies by subsidizing
seeds can increase production, employment, welfare and trade surplus. This policy
can be applied for now because it can maintain the level of efficiency of
production of farmers. Full liberalization policy in the rice sector was found to
cause a decline in production, employment, welfare and trade balance. This can be
due to the high consumption of rice and irreplaceable. The surprising result
occurred in the rice sector policy of full protection, which resulted in a positive
value on production and employment, but negative for welfare. In addition, if the
scheme is implemented, it feared would lead other countries to do similar policies.
In subsequent studies related to the rice sector, can use the data group more
detailed labor force as the National Economic Social Survey data. Moreover, it
can also use the GTAP database version 9, which was launched in late 2015.
Keywords: ASEAN Economic Community, Rice policy, the Global Trade
Analysis Project
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RESPONS SEKTOR BERAS INDONESIA DALAM
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN: ANALISIS DAMPAK
PRODUKSI, TENAGA KERJA DAN KESEJAHTERAAN
RIZA ROSANDY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sri Mulatsih, MScAgr
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT, yang atas izin-Nya tesis yang berjudul
“Respons Sektor Beras Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN: Analisis Dampak Produksi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan” ini
akhirnya dapat terselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak liberalisasi
komoditas beras pada MEA terhadap produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan
Indonesia. Selain itu tesis ini juga menganalisis dampak kebijakan sektor beras
dan kebijakan yang sesuai bagi Indonesia.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hermanto
Siregar, M.Ec sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Sahara, SP, M.Si, yang
telah banyak memberikan arahan dan masukan selama penulisan tesis ini. Melalui
bimbingan dari komisi pembimbing tersebut akhirnya penulis dapat
menyelesaikan studi S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi IPB dan mendapat
gelar Magister Sains. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sri
Mulatsih, M.ScAgr sebagai penguji luar komisi yang turut memberikan masukan
yang berharga terhadap penelitian ini, sehingga tesis ini dapat menjadi lebih baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, yaitu
Achmad Sanusi dan Yus Rostiati yang selalu memberikan doa dan dukungan
dalam berbagai bentuk. Doa dan dukungan kedua orang tua telah menjadikan
penulis untuk bekerja lebih keras lagi dalam menyelesaikan studinya. Ucapan
terima kasih juga diberikan kepada Kementerian Perdagangan yang telah
memberikan beasiswa, teman-teman Batch II IPB Beasiswa Kemendag, rekanrekan di Ditjen. Perundingan Perdagangan Internasional, Ibu Prof. Rina Oktaviani
dan Dr. Eka Puspitawati dari ITAPS IPB, yang telah memberikan bantuan dan
dukungan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan serta
keterbatasan dalam tesis ini. Akhirnya, dengan segala kekurangan yang ada dalam
materi, penulis berharap tesis ini dapat memberikan sumbangan kecil bagi
perbaikan kebijakan ekonomi di Indonesia sekaligus menambah khazanah ilmu
pengetahuan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016
Riza Rosandy
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
iv
iv
v
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
3
5
5
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Tinjauan Empiris
Alur Pemikiran
7
7
11
12
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
13
13
13
4 GAMBARAN UMUM
Kinerja Perdagangan Beras
Sentra Produksi Beras
Perkembangan Konsumsi Beras
Kinerja Ekspor dan Impor Beras Indonesia
Negara Tujuan Ekspor dan Negara Asal Impor Beras Indonesia
Kebijakan Beras Indonesia
23
23
23
24
25
25
26
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Produksi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan
Analisis Alternatif Kebijakan
29
29
33
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Implikasi Kebijakan
Saran
39
39
40
41
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
47
RIWAYAT HIDUP
`
53
iv
DAFTAR TABEL
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Halaman
Aggregasi sektor dalam GTAP
14
Daftar skenario kebijakan
15
Perkembangan produksi padi di provinsi sentra di Indonesia, 2008 – 2012
24
Perkembangan ekspor, impor dan neraca perdagangan komoditas beras,
periode tahun 2008 – 2012
25
Subsidi benih dan pupuk di Indonesia periode tahun 2013-2016
27
Simulasi MEA: produksi beras di dunia
29
Simulasi MEA: produksi berbagai sektor di Indonesia
30
Simulasi MEA: permintaan faktor input primer di Indonesia (dalam %)
31
Simulasi MEA: perubahan GDP riil negara di dunia
32
Produksi sektor di Indonesia pada berbagai skenario (dalam %)
33
Permintaan unskilled labor sektor di Indonesia (dalam %)
34
Perubahan neraca perdagangan sektor barang Indonesia (Juta US$)
35
Perubahan GDP rill negara di dunia (Juta US$)
36
DAFTAR GAMBAR
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Halaman
Produksi gabah, beras, konsumsi beras dan luas lahan padi di Indonesia
periode tahun 2007- 2012
3
Penentuan harga keseimbangan
9
Dampak penurunan tarif
10
Alur pemikiran
12
Pemanfaatan GTAP dengan alat RunGTAP dan penyelesaiannya
16
Struktur produksi model GTAP
20
Struktur konsumsi dalam model GTAP
21
Struktur impor model GTAP
22
Kontribusi subsektor pertanian Indonesia berdasarkan rata-rata nilai ekspor
dan impor periode tahun 2008 – 2012
23
Perkembangan konsumsi bahan makanan yang mengandung beras rumah
tangga Indonesia periode tahun 2004-2013
24
Komitmen tarif impor beras di ASEAN tahun 2010 dan 2015
28
v
DAFTAR LAMPIRAN
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Perkembangan basis data GTAP
Aggregasi lengkap negara
Nilai output seluruh sektor di Indonesia (Juta US$)
Guncangan/shock simulasi 1 MEA
Guncangan/shock simulasi 2 Liberalisasi penuh
Guncangan/shock simulasi 3a (subsidi benih)
Guncangan/shock simulasi 3b (subsidi pupuk)
Guncangan/shock simulasi 3c (subsidi kredit)
Guncangan/shock simulasi 4 proteksi penuh
Halaman
45
45
46
46
47
48
48
49
49
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam kurun waktu 1990 – 2000 banyak negara melakukan integrasi
ekonomi yang diawali dengan Free Trade Agreement (FTA). Tercatat pada tahun
2000 sebanyak 73 persen negara di dunia yang mewakili 47 persen populasi dunia
telah melakukan liberalisasi perdagangan (Wacziarg dan Welch 2003). Hingga
tahun 2015, dalam basis data World Trade Organization (WTO) tercatat telah
terdapat 268 Regional Trade Agreements (RTAs) dan 27 berbentuk Preferential
Trade Arrangements (PTAs).
Pada tahun 2001, pembahasan Multilateral Trading System oleh WTO
menemui kegagalan, khususnya mengenai pembahasan agenda Doha
Development Agenda. Kegagalan tersebut dikarenakan adanya perbedaan
kepentingan antara negara maju dan negara berkembang. Salah satu penyebabnya
adalah terkait isu-isu sensitif seperti sektor pertanian dan Non Agricultural Market
Access. Kegagalan tersebut ternyata, turut mempercepat terbentuknya beberapa
FTA. Dari FTA yang terbentuk tersebut, ada yang bersifat PTAs maupun RTAs.
FTA tidak hanya membantu dalam perluasan pasar, tetapi juga membantu
dalam menciptakan persaingan yang lebih besar, meningkatkan efisiensi dan
pertumbuhan yang lebih baik bagi perekonomian negara-negara peserta (Urata
2002). Sebagai salah satu contoh sebuah FTA yang berkembang menjadi integrasi
ekonomi adalah European Union (EU) pada tahun 1993. Kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan mata uang tunggal Euro pada tahun 1999. Menurut Achsani
dan Partisiwi (2010) integrasi ekonomi telah mendorong kawasan ini menjadi
lebih efisien dan lebih memiliki daya saing. EU dibentuk berdasarkan teori
Optimum Currency Area. Teori yang diutarakan oleh Mundell (1961) ini
menyebutkan bahwa, untuk kawasan yang ekonominya terintegrasi dengan sangat
tinggi lebih baik menggunakan single currency atau rezim nilai tukar tetap. Ciriciri yang harus tampak dalam sebuah integrasi ekonomi adalah: (i) Arus bebas
barang dan jasa; (ii) Arus bebas aset fisik dan keuangan; dan (iii) Arus bebas
tenaga kerja.
Indonesia adalah salah satu pendiri dari Association of Southeast Asia
Nations (ASEAN) atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Perhimpunan
Bangsa Bangsa Asia Tenggara. Organisasi ini berdiri melalui Deklarasi Bangkok
pada tanggal 8 Agustus 1967 di kota Bangkok, Thailand. Pada awalnya ASEAN
merupakan organisasi geopolitik dan ekonomi yang anggotanya terdiri dari
negara-negara di wilayah Asia Tenggara. Namun baru pada tahun 1977 terjadi
kesepakatan untuk meliberalisasikan arus barang melalui penurunan tarif.
Liberalisasi tersebut diawali dengan PTA, disusul dengan skema Common
Effective Preferential Tariff for ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) pada
tahun 1992.
Dengan dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi pada tahun 1998 dan keinginan
untuk menciptakan kawasan ASEAN yang stabil, makmur dan berdaya saing
tinggi, maka sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimulai. Pada tahun
2
1997 para Kepala Negara ASEAN menyepakati ASEAN Vision 2020.
Kesepakatan ini akan menjadikan ASEAN sebagai: (i) suatu pasar tunggal dan
basis produksi; (ii) mengubah keanekaragaman menjadi karakter kawasan menjadi
peluang bisnis yang saling melengkapi; serta (iii) membuat ASEAN menjadi lebih
dinamis dan menjadi segmen yang lebih kuat sebagai bagian dari rantai pasok
global (Oktaviani et al., 2010). Keberhasilan penerapan MEA nantinya akan
ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial ekonomi di
kawasan.
Itakura (2014) mengatakan, walaupun masih terdapat perdebatan dalam
dampak integrasi ekonomi akibat liberalisasi, untuk kasus integrasi ekonomi
ASEAN masih memberikan efek positif terhadap kesejahteraan. Hakim (2004)
juga mengatakan bahwa Indonesia akan mendapatkan keuntungan dengan
meningkatnya ekspor yang dikarenakan perluasan akses pasar. Namun Achsani
dan Partisiwi (2010) mengingatkan, bahwa integrasi ekonomi akan membawa
dampak pada pembentukan grup-grup negara yang diuntungkan dan dirugikan.
Sehingga masalah integrasi ekonomi harus dilakukan dengan prinsip hati-hati.
Lebih lanjut dikatakan bahwa, biasanya negara maju akan berkumpul pada satu
grup yang diuntungkan. Kemudian negara berkembang ada di grup lain yang
dirugikan. Grup ini tidak akan jauh berbeda baik pada masa krisis maupun setelah
krisis.
MEA adalah salah satu RTAs didunia selain EU dan United States of
America (USA). Pada tahun 2003, seluruh Kepala negara ASEAN menyepakati
tiga pilar untuk mewujudkan ASEAN Vision 2020 yang dipercepat menjadi akhir
tahun 2015 yaitu: (i) ASEAN Economic Community; (ii) ASEAN Political-Security
Community; dan (iii) ASEAN Socio-Cultural Community. Ketiga pilar ini
kemudian dijadikan sebagai dasar dari Piagam ASEAN/ASEAN Charter pada
tahun 2007. Untuk memastikan tercapainya tujuan sesuai waktu yang telah
ditentukan dalam roadmap, maka ditetapkan juga ASEAN Economic Community
Blueprint.
Sebagaimana tercantum dalam Piagam ASEAN, MEA adalah pilar yang
berfokus pada bidang kerja sama perekonomian dan bertumpu pada empat pilar
dasar, yaitu: (i) pasar tunggal dan basis produksi; (ii) kawasan ekonomi yang
berdaya saing; (iii) pembangunan ekonomi yang merata; dan (iv) integrasi dengan
ekonomi global.
Jadwal penurunan tarif untuk MEA diatur dalam ASEAN Trade in Goods
Agreement (ATIGA). ATIGA mengamanatkan penurunan tarif menjadi nol
sampai lima persen dan harus sudah berlaku sejak tahun 2010. Indonesia sendiri
sudah menurunkan sekitar 98.87 persen pos tarif AFTA di ATIGA menjadi nol
persen terhitung sejak bulan Januari 2010. Namun demikian menurut ASEAN,
Indonesia tetap menempatkan empat pos tarif beras (HS1006) dalam Highly
Sensitive List (HSL).
Bagi Indonesia, beras merupakan komoditas pertanian yang strategis secara
sosial-budaya, ekonomi dan politik. Hal tersebut senada dengan negara anggota
ASEAN lainnya, dimana keberadaan produk pertanian khususnya beras adalah
mutlak bagi keberlangsungan ekonomi dan kehidupan. Selain itu beras juga
merupakan makanan pokok paling penting dan merupakan sumber utama
pemenuhan gizi. Melihat pentingnya urusan beras tersebut, maka di Indonesia
kebijakan beras banyak melibatkan peran Kementerian dan Lembaga.
3
Perumusan Masalah
70
70
60
60
50
50
40
40
30
30
20
20
10
10
0
Juta Hektar
Juta Ton
Sebuah perjanjian perdagangan bebas (FTA) adalah perjanjian antara dua
atau lebih Negara dengan kesepakatan untuk menghilangkan hambatan
perdagangan baik tarif dan kuota impor (Urata 2002). Seiring dengan
penghapusan hambatan perdagangan, beberapa FTA juga memasukkan aturan
yang mengatur investasi asing langsung, perlindungan hak kekayaan intelektual,
isu-isu lingkungan dan tenaga kerja dalam perjanjian mereka (Cooper 2014).
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari
FTA, oleh karena sudah mengintegrasikan tiga sektor utama yaitu perdagangan
barang, perdagangan jasa dan investasi.
Dalam MEA menurut ASEAN Framework Agreement for the Integration of
Priority Sectors (PIS) terdapat sektor yang integrasinya diprioritaskan. Sektor
tersebut diantaranya adalah produk pertanian, tekstil dan produk tekstil, barang
dari karet, barang dari kayu, perikanan dan otomotif. Perjanjian ini
mengamanatkan agar segala bentuk hambatan tarif dan nontarif yang termasuk
dalam PIS harus dihilangkan sejak tahun 2012. Beras menjadi salah satu produk
pertanian yang akan diintegrasikan. Menurut Krugmann dan Obstfeld (2003)
liberalisasi dapat meningkatkan surplus konsumen namun menurunkan surplus
produsen. Sehingga dalam implementasi penuh MEA nantinya, petani sebagai
produsen beras akan dirugikan oleh kebijakan ini. Menurut Oktaviani et al. (2008)
sebagian besar negara ASEAN bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber
utama dari produk domestik bruto (PDB).
Gabah
Beras
Konsumsi
Luas Lahan
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPS dan Kementerian Pertanian, 2015
Gambar 1 Produksi gabah, beras, konsumsi beras dan luas lahan padi di Indonesia
periode tahun 2007-2012
Gambar 1 menunjukkan tingkat produksi gabah yang kemudian diolah
menjadi beras dan konsumsi beras di Indonesia. Pada gambar terlihat bahwa
tingkat produksi dan konsumsi beras saling berimpitan (produksi hanya
4
mencukupi konsumsi). Selain itu luas lahan padi juga hanya meningkat sedikit
sekali pada periode tahun 2007-2009. Hal ini mengakibatkan terjadi defisit
persediaan beras yang besar pada tahun 2010. Dikarenakan peningkatan konsumsi
tidak diikuti oleh peningkatan produksi yang signifikan. Hal ini kemudian
menyebabkan meningkatnya harga beras sekitar 39 persen pada akhir tahun 2010
(Kemendag, 2014). Namun pada tahun 2012 defisit tersebut kemudian berhasil
diturunkan, dengan menutupi defisit persediaan beras tersebut dengan melakukan
kebijakan impor beras dan operasi pasar (Bulog melepaskan stok beras ke pasar).
Dalam ATIGA, HSL adalah salah satu kategori dalam Protocol on the
Special Arranggement for Sensitive and Highly Sensitive Products. ATIGA
mengamanatkan agar penghapusan tarif harus dilakukan paling lambat tanggal 1
Januari 2010. Bagi negara yang tidak bisa memenuhi amanat tersebut dapat
melakukan waiver (melepaskan kewajiban) dan mendaftarkan produknya di
kategori HSL. Syarat dilakukannya waiver tersebut diatur dalam Protocol to
Provide Special Consideration for Sugar and Rice. Syarat tersebut ialah jika latar
belakang diajukannya waiver adalah untuk memenuhi dan mengupayakan
keamanan pangan yang dapat menciptakan stabilitas ekonomi (menghindari
domestic market failure). Kemudian negara yang menggunakan skema tersebut
dikenakan kewajiban untuk mengajukan argumen waiver dalam bentuk tertulis
dalam sidang Dewan AFTA. (Hertanti, 2012).
Menurut teori Hecksker-Ohlin sebagaimana dijelaskan oleh Krugman dan
Obstfeld (2003) menunjukan bahwa keunggulan komparatif dipengaruhi oleh
interaksi antara faktor produksi yang banyak dimiliki dan teknologi produksi yang
dapat mempengaruhi intensitas pemakaian faktor produksi untuk membuat suatu
barang. Teori ekonomi lain mengatakan bahwa liberalisasi perdagangan dengan
mengurangi dan menghilangkan hambatan tarif dan nontarif akan menciptakan
efisiensi, skala ekonomi, persaingan, faktor produktivitas dan arus perdagangan,
sehingga, meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Barro dan Martin, 2004;
Wacziarg dan Welch, 2003). Namun liberalisasi perdagangan juga dianggap
berkontribusi terhadap peningkatan kemiskinan dan ketimpangan di kawasan
perkotaan dan pedesaan (Castilho et al., 2010). Bahkan Warr (2014) mengatakan
bahwa liberalisasi yang terjadi di Indonesia tidak akan menghasilkan peningkatan
pendapatan bagi unskilled labor dalam hal ini petani.
Menurut Oktaviani et al. (2014) berdasarkan analisis Revealed Comparative
Advantage (RCA), Indonesia memiliki keunggulan komparatif di sektor pertanian,
produk kayu, perikanan, produk karet dan elektronika. Ditambah dengan tenaga
kerja usia produktif yang melimpah, seharusnya lebih memperkuat keunggulan
komparatif Indonesia di sektor pertanian.
Dengan demikian, berdasarkan rumusan permasalahan di atas diperlukan
suatu analisis respons sektor beras Indonesia yang diakibatkan oleh liberalisasi
perdagangan melalui MEA, antara lain:
1.
Bagaimanakah dampak liberalisasi perdagangan terhadap produksi beras,
tenaga dan kesejahteraan kerja di Indonesia?
2.
Kebijakan seperti apa yang harus diterapkan Indonesia untuk sektor beras?
5
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan
penelitian ini antara lain:
1.
Menganalisis dampak liberalisasi komoditas beras pada MEA terhadap
produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan Indonesia.
2.
Menganalisis alternatif kebijakan sektor beras dan kebijakan yang sesuai
bagi Indonesia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan tentang dampak
liberalisasi perdagangan terhadap sektor pertanian. Khususnya dampak terhadap
produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan sektor pertanian subsektor tanaman
pangan. Sekaligus juga dapat digunakan sebagai alat evaluasi terhadap kebijakan
ekonomi dan perdagangan yang diambil pemerintah, sehingga ke depan dihasilkan
kebijakan yang menguntungkan bagi ekonomi nasional.
Ruang Lingkup Penelitian
1.
2.
3.
4.
5.
Adapun ruang lingkup pada penelitian ini antara lain:
Berfokus pada variabel produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan.
Data utama menggunakan basis data GTAP versi 8 (tahun dasar 2004 dan
2007).
Difokuskan pada komoditas beras di Indonesia, namun hanya menganggap
terdapat satu jenis beras dengan kualitas yang sama di seluruh negara.
Mengasumsikan sektor beras berada pada pasar persaingan sempurna.
Mengunakan agregasi sepuluh Negara, Sembilan sektor barang dan satu
sektor jasa.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Teori Perdagangan Internasional
Teori perdagangan internasional adalah teori yang menunjukkan adanya
keuntungan yang timbul dari adanya keuntungan perdagangan (gain from trade).
Dalam masa globalisasi saat ini, menurut Dumairy (1997) saat ini hampir tidak
ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan perdagangan dengan negara
lain. Hal ini dikarenakan dua perbedaan mendasar yaitu perbedaan dalam sumber
daya alam dan sumber daya manusia.
Perdagangan internasional terjadi bila di dalamnya terlihat akan
memberikan keuntungan atau manfaat bagi kedua belah pihak, atau setidaknya
salah satu pihak dan tidak ada pihak lain yang dirugikan. Hal ini berarti pula
bahwa perdagangan internasional pada umumnya akan meningkatkan
kesejahteraan bagi pihak-pihak yang melakukannya. Keuntungan yang diperoleh
dari adanya perdagangan ini disebut gain from trade. Namun besarnya manfaat
yang diperoleh masing-masing pihak yang melakukan perdagangan ditentukan
oleh kekuatan masing-masing pihak dalam proses tawar-menawar.
Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya, sama halnya
dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan
bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari
keuntungan, Krugman dan Obstfeld (2003) mengungkapkan bahwa alasan utama
terjadinya perdagangan internasional adalah karena mereka berbeda satu sama lain
dan ingin mencapai skala ekonomi (economic of scale). Menurut Tambunan
(2001), faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan internasional dapat dilihat
dari teori penawaran dan permintaan. Dari teori penawaran dan permintaan
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi
karena adanya kelebihan produksi dalam negeri (penawaran) dengan kelebihan
permintaan negara lain.
Free Trade Area dan Integrasi Ekonomi
Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam
Smith pada abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute comparative).
Teori Adam Smith tersebut kemudian disempurnakan oleh David Ricardo (1817)
dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative Advantage).
Berbeda dengan konsep keunggulan absolut yang menekankan pada biaya riil
yang lebih rendah, keunggulan komparatif lebih melihat pada perbedaan harga
relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan.
Menurut David Ricardo (Hady, 2001), perdagangan dapat dilakukan oleh
negara yang tidak memiliki keunggulan absolut pada kedua komoditas yang
diperdagangkan dengan melakukan spesialisasi produk yang kerugian absolutnya
lebih kecil atau memiliki keunggulan komparatif. Hal ini dikenal sebagai Hukum
Keunggulan Komparatif (Law of Comparative Advantage). Keunggulan
komparatif dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan
8
production comparative advantage (labor productivity). Asumsi yang digunakan
(Salvatore, 1997):
a) Hanya terdapat dua negara dan dua komoditas;
b) Perdagangan bersifat bebas;
c) Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak
ada mobilitas antara dua negara;
d) Biaya produksi konstan;
e) Tidak terdapat biaya transportasi; dan
f) Tidak ada perubahan teknologi.
Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu negara
akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan
spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat
berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang dimana negara tersebut
berproduksi relatif kurang atau tidak efisien.
Berdasarkan analisis production comparative advatage (labor productivity)
dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan
internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana
negara tersebut berproduksi lebih produktif serta mengimpor barang dimana
negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif. Dengan kata lain,
cost comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika
suatu negara memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam
tenaga kerja dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi.
Production comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai
jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih banyak suatu
barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja
yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan perdagangan diperoleh jika
negara melakukan spesialisasi pada barang yang memiliki cost comparative
advantage dan production advantage.
Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh HeckscherOhlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model HO mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama,
perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan
faktor produksi (factor endowment) di antara masing-masing negara. Satu negara
dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor
komoditas padat kapital (capital-intensive goods) dan sebaliknya negara dengan
kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditas
padat tenaga kerja (labor-intensive goods).
Terkait integrasi ekonomi sebagai perluasan dari FTA, menurut Krugman
dan Obsfeld (2003) adalah kelompok negara dalam daerah tertentu dengan kerja
sama ekonomi yang intensif dimana perdagangan barang dan jasa sebagai faktor
produksi bebas bergerak. Oleh karena itu, integrasi ekonomi dapat juga dilihat
sebagai alat untuk mengakses pasar yang lebih luas dan mendorong pertumbuhan
ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan nasional (National welfare). Lebih
lanjut, tahap integrasi ekonomi tersebut seperti yang telah dilakukan oleh
European Union (EU) menurut Bela Balassa (1928-1991) dimulai bertahap yang
dimulai dari: (i) free exchange area; (ii) customs union; (iii) common market; (iv)
economic union; dan (v) economic and monetary union.
9
Pendekatan Keseimbangan Umum dalam Perdagangan
Pada pendekatan keseimbangan umum/general equlibrium, perubahan
dalam suatu pasar akan berakibat perubahan pula di pasar lainnya. Perubahan
inilah yang tidak dapat ditangkap oleh metode partial equilibrium. Pendekatan ini
memperlakukan pasar sebagai suatu sistem. Secara sederhana teori keseimbangan
umum dapat dijelaskan dengan menggunakan model “ekonomi dua pasar”.
Dengan model ini dimisalkan, ada suatu perusahaan yang memproduksi dua
barang sebagaimana terlihat dalam Gambar 2 dimana PP adalah kurva
kemungkinan produksi (production posibility frontier). Pertama harga kedua
barang tersebut diberikan sebesar Px dan Py. Pada tingkat harga ini perusahaan
akan memproduksi kedua barang dengan kombinasi x1 dan y1. Untuk
memaksimalkan keuntungan perusahaan akan memproduksi kedua barang ini
disepanjang garis PP. Pada x1 dan y1, rasio kedua barang
sama dengan rasio
dari marginal cost (RPT), sehingga keuntungan di titik ini akan maksimum.
Pada sisi lain, garis C menunjukan budget constraint dan tingkat permintaan
konsumen untuk barang X dan Y ada di x1’ dan y1’. Pada tingkat harga ini akan
terjadi excess demand untuk barang X dan excess supply pada barang Y. Jika
pasar bekerja maka akan menyebabkan Px naik dan Py turun. Kemudian akan
meningkatkan rasio harga barang
dan garis C akan semakin curam ke C*.
Perusahaan dalam hal ini akan merespon perubahan harga ini dengan mengubah
produksi searah jarum jam dalam garis PP. Sementara konsumen akan melakukan
substitusi barang x dengan barang y. Akhirnya keseimbangan baru terjadi di x*
dan y*, dengan rasio harga yang baru
dengan tingkat harga ini penawaran dan
permintaan berada dalam kondisi keseimbangan.
Sumber: Nicholson 2005
Gambar 2 Penentuan harga keseimbangan
10
Secara teoritis, sebagaimana pemikiran kaum klasik maupun neo-klasik,
sistem perdagangan bebas antar negara akan dapat menciptakan manfaat yang
maksimal. Namun demikian, mekanisme pasar tidak selalu berjalan secara
sempurna. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali terdapat campur tangan
(intervensi) pemerintah yang berakibat pada munculnya distorsi pasar. Beberapa
bentuk intervensi yang sering ditemukan antara lain adalah berupa pemberlakuan
tarif impor, pemberian subsidi ekspor dan berbagai bentuk dukungan domestik
lainnya yang semuanya berdampak pada munculnya distorsi pasar. Salah satu
bentuk intervensi yang dapat mendistorsi dalam perdagangan adalah melalui tarif.
Pemberlakuan Tarif
Tarif adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap suatu produk yang
masuk atau keluar dari suatu negara. Tarif yang dikenakan terhadap produk yang
diimpor disebut tarif impor, sedangkan tarif yang dikenakan terhadap produk
ekspor disebut dengan tarif ekspor. Secara teoritis, pajak yang berasal dari tarif
memberikan pemasukan bagi pemerintah. Dampak pemberlakuan tarif bisa
berbeda antara negara. Pada negara-negara kecil yang tidak mampu
mempengaruhi harga dunia, penerapan tarif hanya akan merubah harga di negara
tersebut, sementara harga dunia tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, pada
kasus negara besar, penerapan tarif akan mampu mempengaruhi harga dunia
melalui term of trade.
Sumber: Nicholson 2005
Gambar 3 Dampak penurunan tarif
Dalam Gambar 3, Nicholson menjelaskan salah satu contoh mengenai
dampak liberalisasi (penurunan tarif) terhadap produksi jagung (X) di Inggris.
Penurunan tarif akan menyebabkan produksi barang X berpindah dari titik E ke
titik A. Konsumsi barang juga akan berpindah dari titik E ke titik B. Jika barang
produksi barang X barang padat modal, maka harga relatif dari modal akan turun
sebagai akibat dari perpindahan ini.
11
Tinjauan Empiris
Hasil berbagai penelitian mengenai dampak liberalisasi pertanian terhadap
ekonomi masih menjadi perdebatan. Berbagai metode juga sudah digunakan
dalam menjawab dampak liberalisasi tersebut. Berikut adalah beberapa penelitian
terdahulu, antara lain:
Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan Terhadap
Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia (Sitepu, 2002). Dengan
menggunakan spesifikasi model penawaran dan permintaan beras menggunakan
persamaan simultan dan metode Two Stage Least Square (2SLS) Walaupun sudah
menemukan bahwa terjadi pelandaian produksi dan penurunan surplus produsen,
namun belum dapat menjawab dampaknya terhadap tenaga kerja.
Implications of the US-South Korea Free Trade Agreement (KORUS FTA)
on Agricultural Exports from the US (Konduru et al., 2014). Penelitian tentang
dampak KORUS FTA pada ekspor produk pertanian (anggur) Amerika Serikat
(AS). Metode analisis adalah estimasi permintaan impor. Hasilnya menunjukan
bahwa produk anggur Amerika Serikat (AS) akan semakin kompetitif karena
adanya penurunan tarif dan pengurangan hambatan tarif. Selain itu diketahui pula
bahwa, bagi AS perjanjian ini akan meningkatkan ekspor anggur, namun bagi
Korea Selatan akan mengurangi produksi karena tingginya impor anggur dari AS.
Namun Korea Selatan berharap sektor anggurnya dapat meningkatkan efisiensi
dan daya saing dengan dibantu oleh pemerintah.
Does Trade Reduce Poverty? A View From Africa (Goff dan Singh 2014).
Tujuan penelitian ini adalah dampak yang ditimbulkan dari keterbukaan
perdagangan terhadap kemiskinan. Dengan menggunakan regresi nonlinear
keterbukaan perdagangan pada 30 negara Afrika pada periode 1981-2010.
Penelitian ini menemukan bahwa keterbukaan perdagangan berpotensi
mengurangi kemiskinan di negara yang memiliki sektor keuangan yang ketat,
tingkat pendidikan dan institusi pemerintahan yang kuat. Namun metode ini tidak
dapat menjawab dampaknya terhadap output pertanian, tenaga kerja dan berapa
besar penurunan kemiskinan yang terjadi.
Penelitian India-Korea CEPA:Potentials and Realities (Ahmed 2010),
bertujuan untuk meneliti dampak ekonomi (kesejahteraan, output sektoral dan
tenaga kerja). Metode yang digunakan adalah keseimbangan parsial dan
keseimbangan umum. Hasilnya adalah dari skenario liberalisasi penuh, Korea
akan diuntungkan dan India akan merugi. Namun kedua Negara akan mendapat
keuntungan signifikan dari peningkatan arus perdagangan. Walaupun sudah
menggunakan GTAP, akan tetapi dalam meneliti kesejahteraan petani
menggunakan Trade Creation dan Trade Diversion.
Sebenarnya beberapa metode penelitian dapat digunakan untuk meneliti
dampak liberalisasi perdagangan, namun demikian tetap harus disesuaikan dengan
tujuan penelitiannya. Untuk meneliti dampak liberalisasi secara makro, ternyata
metode keseimbangan umum adalah metode yang paling tepat. Hal ini
dikarenakan metode keseimbangan umum, sangat baik dalam mengidentifikasi
negara-negara atau sektor yang menang dan kalah. Selain itu metode ini juga
dapat digunakan untuk menangkap efek di berbagai output, penggunaan faktor,
efek perdagangan dan tingkat kesejahteraan yang dihasilkan antar negara sebagai
12
akibat dari perubahan kebijakan perdagangan baik bilateral, regional dan
multilateral (Ahmed 2010).
Alur Pemikiran
Dengan diawali oleh pembentukan ASEAN pada tahun 1967 sebagaimana
terlihat dalam Gambar 4. Dilanjutkan dengan ide pembentukan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015. MEA berpijak pada tiga pilar,
dan fokusnya adalah liberalisasi barang di kawasan ASEAN. Liberalisasi barang
ini kemudian akan berdampak ke produsen dan konsumen, karena barang impor
akan mudah sekali masuk. Dari program GTAP, dengan menggunakan tiga file
utama akan dilakukan agregasi negara dan sektor yang akan dianalisis dan
dilakukan shock/guncangan. Setelah dilakukan guncangan inilah nantinya akan
terlihat dampak perubahan terhadap produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan.
Kemudian dari hasil perubahan tersebut dapat disimpulkan kebijakan yang tepat
untuk sektor beras Indonesia.
Gambar 4 Alur pemikiran
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data utama yang digunakan bersumber dari basis data Global Trade
Analysis Project (GTAP) versi 8 dengan tahun dasar 2004 dan 2007 (Narayan et
al. 2012). GTAP dikeluarkan oleh Centre for Global Trade Analysis, Purdue
University, Departemen Ekonomi Pertanian yang berkembang sejak tahun 1993
dan dipimpin serta diprakarsai oleh Prof. Thomas Hertel dalam sebuah
konsorsium. Data GTAP terdiri dari data input output 129 negara dan 57 sektor
dan 5 faktor input primer. Daftar lengkap perkembangan basis data GTAP dapat
dilihat pada lampiran 1.
Metode Analisis
Untuk menganalisis digunakan model Computable General Equilibrium
(CGE) dengan multinegara dan multikomoditas melalui model GTAP. Model
GTAP merupakan model komparatif statik sehingga perubahan persentase yang
dihasilkan dalam model menggambarkan perubahan yang terjadi sebelum dan
setelah kebijakan. Pada dasarnya model GTAP sama saja dengan model CGE
nasional. Baik model GTAP ataupun model CGE sama-sama menggunakan
konsep-konsep dasar arus pengeluaran dan pembelian antar pelaku ekonomi.
Keduanya merupakan model struktural yang dibangun dengan dasar teori-teori
mikroekonomi yang menjelaskan lebih detail perilaku-perilaku di masing-masing
agen ekonomi (behavioral equations).
Perbedaan utama antara model CGE nasional dan model GTAP terletak
pada cakupan wilayah. Pada model CGE, interaksi antara agen-agen yang berbeda
berlangsung hanya dalam satu negara atau wilayah, sedangkan di dalam model
GTAP interaksi antara agen-agen berlangsung antar negara/wilayah. Selain itu,
GTAP juga mencakup transportasi global dan mobilitas investasi. Dengan
demikian, model GTAP mampu menjelaskan dampak kebijakan antar negara,
sementara dalam model CGE terbatas hanya dalam satu wilayah atau negara saja.
Pada model GTAP secara eksplisit dilakukan permodelan pada margin
transportasi internasional. Suatu global bank juga dibentuk dalam model sebagai
perantara dari investasi dan tabungan dunia. Sistem permintaan konsumen diduga
dengan menggunakan Constant Difference of Elasticities (CDE) untuk
menangkap kepekaan terhadap perbedaan harga dan pendapatan antar negara
(Hertel et al, 2000). Selain itu, aliran barang dalam perdagangan internasional
mengikuti model Armington (1969) dimana setiap produk dibedakan berdasarkan
asal negara. Setiap barang diasumsikan substitusi yang tidak sempurna satu sama
lainnya untuk komoditas yang diproduksi di dalam negeri. Dengan asumsi ini,
model dapat menangkap aliran perdagangan antar dua negara. Kelemahan model
ini adalah mengasumsikan sistem pasar persaingan sempurna dan skala usaha
yang konstan pada aktivitas produksi.
14
Aggregasi GTAP
Untuk mengagregasikan basis data GTAP, digunakan aplikasi gtapagg.exe
versi 8. Aplikasi ini dapat dibeli melalui jalur online1. Tahap awal dalam
menggunakan metode GTAP adalah mengaggregasikan Negara, sektor dan faktor
input primer. Untuk aggregasi negara dapat dilihat pada Lampiran 2. Untuk sektor
diaggregasikan ke dalam sepuluh sektor baru sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
Aggregasi sektor ini memfokuskan pada sektor barang, sehingga sektor jasa
dikumpulkan ke dalam satu sektor sebagaimana yang dilakukan oleh Yamamoto
et al. (2007). Untuk faktor input dibagi kedalam lima faktor, yaitu: Land,
Unskilled Labor, Skilled Labor, Capital dan Natural Resources.
No Nama Sektor
Tabel 1 Aggregasi sektor dalam GTAP
Kode Sektor GTAP
Keterangan
1
2
3
4
Padi
Beras
PanganLain
TaniTernak
5
6
Tambang
Mamin
Paddy rice.
Processed rice.
Wheat; Cereal grains nec.
Vegetables, fruit, nuts; Oil seeds;
Sugar cane, sugar beet; Plantbased fibers; Crops nec;
Cattle,sheep,goats,horses;
Animal products nec; Raw milk;
Wool, silk-worm cocoons;
Forestry; Fishing; Meat:
cattle,sheep,goats,horse; Meat
products nec.
Mining and Extraction
Processed Food
7
8
9
Tekstil
Pupuk
Manufaktur
Textiles and Clothing
Fertilizer
Light and Heavy Manf
10
Jasa
Utilities and Services
Sumber : GTAP versi 8
1
https://www.gtap.agecon.purdue.edu/databases/pricing.asp
Paddy
Processed rice
Wheat n Cereal grains
Other Agriculture and Livestoc
Coal; Oil; Gas; Minerals nec.
Vegetable oils and fats; Dairy
products; Sugar; Food products nec;
Beverages and tobacco products.
Textiles; Wearing apparel.
Chemical,rubber,plastic prods.
Leather products; Wood products;
Paper products, publishing;
Petroleum, coal products; Mineral
products nec; Ferrous metals; Metals
nec; Metal products; Motor vehicles
and parts; Transport equipment nec;
Electronic equipment; Machinery and
equipment nec; Manufactures nec.
Electricity; Gas manufacture,
distribution; Water; Construction;
Trade; Transport nec; Sea transport;
Air transport; Communication;
Financial services nec; Insurance;
Business services nec; Recreation and
other services;
PubAdmin/Defence/Health/Educat;
Dwellings.
15
Simulasi Kebijakan
Simulasi guncangan harus disesuaikan dengan tujuan penelitian. Untuk
menjawab tujuan pertama digunakan skenario MEA/Simulasi 1. Pada simulasi ini
tarif seluruh barang antar anggota ASEAN diturunkan menjadi nol persen, kecuali
untuk sektor padi dan beras. Hal ini berdasarkan Lampiran dari ASEAN Trade in
Goods Aggrement tentang List of Highly Sensitive List. Variabel yang akan dilihat
perubahan nilainya adalah Industry Output (qo), Demand for Endowment (qfe)
dan Equivalent Variation (ev).
Untuk menjawab tujuan kedua dilakukan serangkaian simulasi kebijakan
yaitu Simulasi 2, 3 dan 4. Simulasi 2 adalah skenario liberalisasi penuh, dengan
asumsi kawasan ASEAN dianggap sudah terintegrasi penuh sehingga tidak ada
lagi tarif. Simulasi 3a adalah Skenario dukungan domestik melalui subsidi benih.
Asumsi pada skenario ini adalah sudah terjadi liberalisasi penuh di ASEAN dan
Indonesia menerapkan subsidi pada sektor padi/gabah sebesar 40.92%. Hal ini
dikarenakan selama periode 2013-2016 subsidi benih telah mengalami
peningkatan rata-rata tahunan 48% dengan share benih pada subsidi tersebut
sebesar 84%. Simulasi 3b adalah skenario dukungan domestik. Asumsi pada
simulasi ini adalah terjadi liberalisasi penuh dengan subsidi pada sektor pupuk
sebesar 1%. Hal ini karena selama periode 2013-2016 subsidi pupuk telah
mengalami peningkatan rata-rata tahunan 24%. Selain itu dalam database GTAP
menurut Sturm (2011), sektor pupuk hanya memiliki bagian tiga persen dari
sektor crp (chemical rubber and plastic products). Simulasi 3c adalah skenario
dukungan domestik melalui subsidi bunga kredit. Asumsi pada simulasi 3c adalah
terjadinya liberalisasi penuh dan subsidi bunga kredit sebesar 7% untuk sektor
padi dan beras. Terakhir adalah simulasi 4, yaitu skenario proteksi penuh. Asumsi
pada simulasi 4 ini adalah terjadi liberalisasi penuh, namun sektor padi dan beras
dinaikkan tarif impornya hingga 99%.
Berbagai simulasi yang dilakukan tersebut kemudian dilihat dampaknya
terhadap produksi beras (qo), unskilled labor (qfe), trade balance (DTBal) dan
Equivalent Variation (ev). Skenario guncangan/shock yang digunakan dalam
penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Daftar skenario kebijakan
No
1
Nama
Sim 1
2
Sim 2
3
Sim 3a
Sim 3b
Keterangan Guncangan (Shock)
Skema MEA melalui guncangan pada
tarif impor (tms) seluruh barang
menjadi nol kecuali sektor padi dan
beras
Skema liberalisasi penuh melalui
penurunan tarif impor (tms) seluruh
barang menjadi nol persen.
Skema dukungan domestik melalui
Subsidi benih dengan peningkatan
subsidi sektor padi (to) sebesar
40.92%.
Skema dukungan domestik melalui
Subsidi Pupuk dengan peningkatan
subsidi sektor pupuk (to) sebesar 1%.
Dasar Hukum
ASEAN Trade In Goods
Agreement Annex1 List of
Highly Sensitive List.
ASEAN Trade In Goods
Agreement (Free Flow of
Goods).
Permentan NOMOR 9/
Permentan/ OT.140/3/2015
Tentang Pedoman Subsidi
Benih Tahun Anggaran 2015.
Permentan Nomor 130/
Permentan/ SR.130/11/2014
Tentang Kebutuhan dan Harga
Eceran Tertinggi (HET) Pupuk
Bersubsidi Untuk Sektor
16
No
4
Nama
Keterangan Guncangan (Shock)
Sim 3c
Skema dukungan domestik melalui
Subsidi bunga kredit 7% melalui (to)
padi dan beras.
Sim 4
Skema Proteksi Penuh, Melalui
peningkatan tarif impor (tms) sektor
padi dan beras hingga mencapai 99 %.
Dasar Hukum
Pertanian Tahun Anggaran
2015.
Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 79/pmk.05/2007
tentang kredit ketahanan
pangan dan energi.
Inpres No. 5 Tahun 2015
Tentang Kebijakan Pengadaan
Gabah/Beras dan Penyalurannya oleh Pemerintah.
Pengolahan GTAP
Proses agregasi sektor dan negara/wilayah merupakan salah satu tahap
pengolahan data di dalam model GTAP. Pada tahap tersebut juga dilakukan
penyesuaian closure dan shock sesuai dengan tujuan penelitian. Model GTAP
dengan basis datanya dan guncangan yang telah disusun, kemudian diolah dengan
menggunakan software RunGTAP versi 3.62 dapat diunduh gratis. Tahapan
pengolahan data dalam aplikasi tersebut dijelaskan mengikuti Gambar 5. Dengan
menggunakan perangkat lunak RunGTAP akan dihasilkan keluaran (output)
seperti file solusi (solution file), perubahan volume (volume changes) dan
dekomposisi (decomposition).
Sumber : Hertel dan Tsigas, 1997
Gambar 5 Pemanfaatan GTAP dengan alat RunGTAP dan penyelesaiannya
Hubungan di dalam model GTAP dirangkum di dalam hubungan antara
bermacam-macam nilai agregat. Persamaan-persamaan yang telah dirubah dalam
perubahan persentase merupakan persamaan-persamaan yang akan ada di dalam
model utama GTAP. Seluruh notasi, variabel, parameter, persamaan dan lain-lain
dapat dibaca lebih rinci pada Hertel (1997).
Struktur model GTAP terdiri dari persamaan-persamaan simultan yang
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: (1) Persamaan yang
17
menggambarkan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran oleh setiap agen
ekonomi di suatu region (accounting relationship), dan (2) persamaan yang
menjelaskan suatu perilaku agen ekonomi (behavioral equations). Semua set,
subset, parameter dan variabel bentuk nominal (value/ levels form) dinotasikan
dengan huruf kapital. Sedangkan variabel dalam bentuk persentase perubahan
(percentage change) atau bentuk linier dinotasikan dengan huruf kecil. Sebagai
contoh: PM(i, r) adalah variabel bentuk level untuk harga pasar komoditas i di
region r, dan pm(i, r) = [dPM(i, r)] / PM(i, r) adalah bentuk linier dari variabel
harga tersebut. Set, sub-set, parameter dan variabel yang digunakan dalam model
GTAP standar disajikan pada lampiran. Berikut ini diuraikan secara ringkas
struktur model GTAP standar yang bersumber dari Hertel (1997).
Dalam model GTAP ekonomi sebuah region dipresentasikan oleh satu
rumah tangga regional (regional household) yang memperoleh income dari hasil
penjualan endowment, VOA (value of output at agents prices), penerimaan pajak,
dan industri (TAXES). Selain itu, pajak juga diterima dari wilayah lain (rest of the
world) berupa pajak ekspor (XTAX) dan pajak impor (MTAX). Penghasilan
rumah tangga wilayah tersebut selanjutnya dialokasikan sebagai pengeluaran
(expenditures) sektor rumah tangga swasta (PRIVEXP), rumah tangga pemerintah
(GOVEXP), dan sebagai tabungan ke global bank (SAVE).
Konsumsi rumah tangga swasta, VDPA (value of domestic purchases by
private households at agent’s prices) diasumsikan mengikuti fungsi pengeluaran
CDE (Constant Difference of Elasticity). Konsumsi rumah tangga pemerintah,
VDGA (value of domestic purchases by government households at agent’s prices)
dipresentasikan dengan fungsi utilitas Cobb Douglas sehingga porsi pengeluaran
untuk seluruh komoditas adalah konstan. Dalam model GTAP diasumsikan bahwa
tabungan seluruhnya digunakan sebagai investasi (NETINV) melalui bank global.
Di sisi produsen (industri), penerimaan diperoleh dari hasil penjualan
barang konsumsi ke rumah tangga swasta (VDPA) dan pemerintah (VDGA),
penjualan barang input antara ke industri lain (VDFA), serta penjualan barang
investasi ke sektor tabungan (NETINV). Di samping hasil penjualan di pasar
domestik, produsen juga memperoleh penerimaan dari hasil ekspor barang ke
region lain (Rest of the world). Nilai penerimaan ekspor tersebut dinyatakan
sebagai value of exports at market prices by destination (VXMD). Oleh karena
setiap industri diasumsikan beroperasi pada kondisi zero profit maka jumlah
penerimaan produsen seluruhnya dibelanjakan untuk pembelian faktor primer
(VOA), input antara yang diproduksi di dalam negeri (VDFA) dan input antara
yang berasal dari impor (VIFA).
Sifat multi-region dari model GTAP selain ditunjukkan dengan bank global
juga oleh adanya sektor perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari satu
region lain (Rest of the world). Region lain tersebut memperoleh penerimaan
impor dari rumah tangga swasta (VIPA), rumah tangga pemerintah (VIGA), dan
industri (VIFA). Penerimaan tersebut selanjutnya dibelanjakan untuk barang
impor (VXMD), pembayaran pajak ekspor (VTAX) dan pajak impor (MTAX)
kepada rumah tangga regional.
Seluruh hubungan yang menggambarkan hubungan antara penerimaan dan
pengeluaran oleh setiap agen ekonomi di suatu region (accounting relationship)
tersebut di dalam model GTAP dituliskan dalam bentuk persamaan-persamaan.
Persamaan-persamaan tersebut menjelaskan distribusi penjualan ke pasar wilayah
18
di dalam model ekonomi terbuka dengan pajak, sumber pengeluaran rumah
tangga dan pemerintah, sumber pengeluaran perusahaan dan pendapatan faktor
rumah tangga, disposisi dan sumber pendapatan regional, sektor global, dan
kondisi keseimbangan umum (market clearing). Berikut akan dijelaskan
persamaan-persamaan tersebut.
Sumber Pengeluaran Rumah Tangga dan Pemerintah
Nilai pengeluaran rumah tangga swasta pada harga agen (Value of Private
household purchases at Agents’ prices, VPA(i,s), suatu barang adalah
pengeluaran agregatnya terhadap barang-barang yang diproduksi domestik
(domestically produced good, VDPA(i,s), dan komposit dari impor barang-barang
pada harga agen (composite imports of this good at agents’ prices, VIPA(i,s).
Nilai pengeluaran domestik oleh rumah tangga swasta pada harga pasar (Value of
domestic purchases by the Private household at Market prices, VDPM(i,s),
ditentukan setelah ditambahkan pajak komoditas domestik (domestic commodity
taxes, DPTAX(i,s), dari pengeluaran barang-barang domestik (expenditure on
domestic good, VDPA(i,s). Seperti juga pada pengeluaran barang-barang yang
diproduksi domestik, untuk mendapatkan nilai impor dari rumah tangga swasta
pada harga pasar (Value of Imports by the Private household at the Market prices,
VIPM(i,s), pajak untuk komoditas rumah tangga swasta IPTAX(i,s), ditambahkan
dari nilai komposit impor pada harga agen (value of composite imports at agents’
prices, VIPA(i,s). Hubungan nilai pengeluaran pemerintah mekanismenya juga
sama seperti pada rumah tangga swasta.
Sumber Pengeluaran Perusahaan dan Pendapatan Faktor Rumah Tangga
Input perusahaaan terdiri dari faktor antara dan faktor primer. Aliran input
antara dapat dijelaskan sebagai nilai pembelian perusahaan untuk komoditas i,
sektor j, di region s pada harga agen (Value of Firms’ purchases of i, by sector j,
in region s at Agents’ prices, VFA(i,j,s)), termasuk komponen domestik (the
domestic components, VDFA(i,j,s)) dan komponen impor (imported components,
VIFA(i,j,s)). Penambahan pajak domestik DFTAX(i,j,s) dari VDFA(i,j,s)
menghasilkan nilai komponen domestik pada harga pasar (Value of Domestic
components at Market prices, VDFM(i,j,s). Demikian pula jika ingin
mendapatkan nilai pasar komponen impor (market value of imported components,
VIFM(i,j,s)), diperoleh dari VIFA(i,j,s) dikurangi pajak impor (imports taxes
IFTAX(i,j,s)).
Disposisi dan Sumber Pendapatan Regional
Di dalam model GTAP, Hertel dan Tsigas (1997) mengasumsikan bahwa
terdapat ”rumah tangga super” pada masing-masing ekonomi yang disebut rumah
tangga regional. Keuntungan asumsi ini adalah kesejahteraan rumah tangga ini
menawarkan penggunaan kesejahteraan regional yang diwakili, yang
memfasilitasi analisis antar region jika ada intervensi kebijakan.
Sebagai model GDP nasional, pengeluaran permintaan akhir (pengeluaran
rumah tangga super) harus seimbang atau sama dengan pendapatan rumah tangga.
Seluruh pendapatan di dalam suatu region diasumsikan ditambahkan pada rumah
tangga di region tersebut. Pendapatan regional terdiri dari pembayaran faktor
dikurangi depresiasi ditambah pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah.
19
Sektor Transportasi dan Sektor Bank Global
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, terdapat dua sektor global di dalam
model GTAP, yaitu sektor transportasi dan sektor bank global. Nilai jasa
transportasi global untuk komoditas tertentu yang dikirim pada rute tertentu
VTWR(i,r,s), berbeda nilai fob dan cif. Sedangkan total permintaan untuk jasa
transportasi internasional yang agregat sepanjang seluruh rute dan komoditas.
Harga jasa transportasi diasumsikan sama untuk semua rute dan komoditas.
Sektor bank global berperan sebagai penghubung antara tabungan dan
investasi. Investasi regional bersih (depresiasi) membentuk suatu komposit barang
investasi (GLOBINV). Seluruh rumah tangga regional menunjukkan harga yang
sama untuk tabungan (PSAVE) dan tabungan agregatnya harus sama dengan
investasi global. Investasi regional bersih ditambah modal stok, VKB(r),
memberikan periode akhir modal stok, VKE(r). Belakangan tidak tersedia
penggunaan produksi selama periode sekarang, seperti perlakuan stok modal di
dalam model nasional. Awalnya (tersedia untuk penggunaan dengan segera) stok
modal dialokasikan kepada sektor-sektor berdasarkan fungsi CET (constant
elasticity transformation) jika diperlakukan sebagai komoditas yang tidak
bergerak.
Kondisi Keseimbangan Umum
Penawaran dan permintaan pada setiap komoditas, termasuk faktor-faktor
produksi, harus sama di dalam model keseimbangan umum. Demikian pula
dengan nilai penawaran harus sama dengan nilai permintaan. Untuk komoditas
yang diperdagangkan, nilai output dihubungkan dengan nilai penjualan. Kuantitas
output pada gilirannya akan berhubungan dengan penggunaan input melalui
fungsi produksi. Hubungan terakhir yang digambarkan juga dalam nilai. Untuk
melengkapi keseimbangan umum, penawaran faktor harus sama dengan
permintaan untuk faktor; atau ekuivalen, dimana nilai harus sama. Untuk faktor
yang mobile, kondisinya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Untuk faktor
yang tidak mobile, permintaan pada industri harus sama dengan penawaran.
Permintaan spesifik menurut fungsi transformasi. Ini harus ditambahkan ke
penawaran. Sehingga, QO = QFE. Tapi QFE secara langsung proporsional dengan
QO dan menambahkan 1 dengan asumsi fungsi produksi dan tingkah laku
perusahaan. Dengan harga pasar untuk faktor, VOM = VFE.
GTAP memasukkan seluruh persamaan yang diperlukan untuk
keseimbangan umum, pada sebagian besar model CGE, variabel pengganti (slack)
masuk di dalam variasi persamaan yang membuat persamaan-persamaan tersebut
menjadi model yang mudah diubah. Pada GTAP variabel slack dimasukkan ke
dalam persamaan market clearing untuk komoditas yang diperdagangkan dan
faktor-faktor yang mobile, diantara yang lain. Di pasar, variabel slack berarti
bahwa harga dapat diset menjadi eksogen dengan penawaran dan permintaan
dalam kondisi keseimbangan bisa berubah, merefleksikan kelebihan penawaran
atau permintaan, dan memfasilitasi analisis keseimbangan parsial.
Behavioral Equations
Bagian kedua struktur model GTAP berisi persamaan-persamaan yang
menjelaskan suatu perilaku agen ekonomi (behavioral equations). Berikut
dijelaskan persamaan-persamaan terstruktur yang menjelaskan suatu perilaku agen
20
ekonomi, yaitu struktur produksi, konsumsi, impor, kesejahteraan dan
makroekonomi.
Struktur Produksi
Struktur produksi dari sebuah industri pada satu region diasumsikan
mengikuti fungsi produksi secara berjenjang (nested), constant returns to scale
(CRS) dan dalam pasar persaingan sempurna. Sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 6, untuk menghasilkan sebuah output, qo(j,s), produsen/industri akan
mengkombinasikan penggunaan nilai tambah faktor primer, qva(j,s), dengan input
antara, qf(i,j,s), berdasarkan fungsi produksi Leontief.
Faktor produksi primer terdiri dari: land, skilled and un-skilled labor,
capital, dan natural resources. Jumlah faktor produksi primer yang digunakan
adalah sebesar qfe(i,j,s), dimana setiap faktor dapat saling bersubstitusi melalui
fungsi constant elasticity of substitution (CES).
Sumber : Hertel dan Tsigas, 1997
Gambar 6 Struktur produksi model GTAP
Input antara (intermediate inputs) dibedakan menjadi yang berasal dari
produksi dalam negeri qfd(i,j,s) dan barang impor, qfm(i,j,s) berdasarkan asumsi
Armington. Barang impor tersebut merupakan gabungan impor dari beberapa
region lain yang ada di dalam model yang diasumsikan dengan fungsi CES.
Fungsi CES secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:
(
)
[
]
Dimana:
Y = Output
X1 = Input 1
X2 = Input 2
21
A = Parameter Efisiensi
g = Parameter Subtitusi
σ = Parameter elastisitas, dimana ( σ =
)
Konsumsi
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, rumah tangga regional akan
mengalokasikan pendapatannya (income) untuk konsumsi rumah tangga swasta,
rumah tangga pemerintah, dan investasi. Gambar 7 mengilustrasikan perilaku
ketiga agen ekonomi untuk aktivitas konsumsi.
Konsumsi rumah tangga swasta dispesifikasikan dalam fungsi Constant
Difference of Elasticity (CDE). Fungsi CDE digunakan karena memiliki
karakteristik seperti yang diharapkan, dimana preferensi rumah tangga tidak
bersifat homothetic. Fungsi CDE yang non-homothetic secara konsisten dapat
menjelaskan perubahan konsumsi akibat perubahan tingkat pendapatan rumah
tangga.
Sumber: Hertel dan Tsigas, 1997
Gambar 7 Struktur konsumsi dalam model GTAP
Impor
Di dalam model GTAP, terdapat tiga sumber permintaan input antara, yaitu:
sektor industri (produsen), sektor pemerintah, dan sektor rumah tangga.
Selanjutnya diasumsikan bahwa bagian impor dari ketiga sektor tersebut memiliki
komposisi regional yang sama, meskipun secara agregat bagian impor tersebut
dapat berasal dari sumber yang berbeda. Impor dibedakan menurut negara asal,
22
sehingga menimbulkan biaya transportasi yang nilainya proporsional terhadap
nilai perdagangan. Harga domestik dari barang impor yang masuk ke region r dari
region s adalah sama dengan jumlah harga Freight on Board (FOB) ekspor dari
region s, pajak ekspor di region s, biaya transportasi, dan tarif impor yang berlaku
di region r. Gambar 3.4 menunjukkan agregasi impor dan biaya transportasi yang
dari model GTAP.
Sumber : Hertel dan Tsigas, 1997
Gambar 8 Struktur impor model GTAP
Kesejahteraan
Perubahan kesejahteraan di sebuah region dalam model GTAP dinyatakan
dalam equivalent variation, EV(r), yang dihitung dengan persamaan:
EV(r) = u(r) * INC(r)/100,
dimana u(r) adalah persentase perubahan kesejahteraan per kapita dan
INC(r) adalah pendapatan (income) sebuah region. Dalam basis data GTAP, nilai
EV(r) dihitung berdasarkan nilai US$ tahun versi GTAP terbaru dalam satuan juta
(million). Selanjutnya, kesejahteraan dunia (WEV) dihitung dengan
menjumlahkan seluruh kesejahteraan region.
Penutup Makroekonomi
Sebagai penutup makroekonomi, model GTAP menggunakan persamaan
identitas, sebagai berikut:
S–I=X+R–M
Persamaan tersebut menyatakan bahwa tabungan (S) dikurangi investasi (I)
adalah sama dengan surplus neraca transaksi berjalan, dimana R adalah
penerimaan transfer luar negeri. Oleh karena nilai R tidak terdapat dalam basis
data GTAP maka dalam simulasi model nilai R tersebut dianggap nol. Tingkat
tabungan, investasi dan neraca transaksi berjalan ditetapkan secara eksogen.
4 GAMBARAN UMUM
Kinerja Perdagangan Beras
Beras merupakan kebutuhan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk
Indonesia. Bahkan sebagian penduduk yang makanan pokoknya nonberas seperti
sagu atau yang lainnya, saat ini diperkirakan banyak beralih mengkonsumsi beras.
Produksi beras dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat, walaupun
mempunyai kecenderungan laju pertumbuhannya sedikit melambat. Di sisi lain,
pertumbuhan penduduk Indonesia melaju dengan cepat, yakni 1.49% per tahun
pada periode tahun 2000-2010 (Statistik Indonesia 2011, BPS).
Menurut Kementerian Pertanian (2013) kinerja perdagangan komoditas
pertanian dilihat dari neraca perdagangan luar negeri komoditas pertanian pada
tahun 2008-2012 mengalami surplus 11.32 juta ton. Namun defisit besar terjadi
dalam tanaman pangan, peternakan dan hortikultura sebagaimana terlihat pada
Gambar 9.
100,00%
90,00%
80,00%
70,00%
60,00%
50,00%
40,00%
30,00%
20,00%
10,00%
0,00%
Ekspor
Impor
Peternakan
Tanaman
Pangan
Hortikultura
Perkebunan
Sumber: Kementerian Pertanian 2013
Gambar 9 Kontribusi subsektor pertanian Indonesia berdasarkan rata-rata nilai
ekspor dan impor periode tahun 2008 – 2012.
Sentra Produksi Beras
Menurut Kementerian Pertanian (Kementan), tanaman padi selama ini
dibudidayakan hampir di semua provinsi di Indonesia sepanjang tahun tanpa
mengenal musim. Berdasarkan data produksi dari Pusat Data dan Informasi
Kementan, rata-rata lima tahun terakhir pada periode 2008 – 2012, sebesar 77%
produksi padi di Indonesia disumbang oleh 9 provinsi. Sentra produksi padi masih
didominasi oleh Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang masing-masing
memberikan kontribusi sebesar 17.22% (setara 11.23 juta ton GKG), 17.20%
(11.22 juta ton GKG), dan 14.87% (9.7 juta ton GKG). Daftar lengkap sentra
produksi beras tersebut dapat terlihat pada Tabel 3.
24
Tabel 3 Perkembangan produksi padi di provinsi sentra di Indonesia, 2008 – 2012
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Provinsi
Jawa Timur
Jawa Barat
Jawa Tengah
Sulawesi Selatan
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Lampung
Sumatera Barat
Kalimantan Selatan
Lainnya
Indonesia
2008
10,475
10,111
9,136
4,083
3,341
2,971
2,341
1,966
1,954
24,422
60,326
Produksi (Ribu Ton)
2009
2010
2011
11,259 11,644
10,577
11,323 11,737
11,634
9,600 10,111
9,392
4,324 4,382
4,512
3,528 3,582
3,607
3,125 3,272
3,385
2,674 2,808
2,941
2,106 2,211
2,280
1,957 1,842
2,038
25,762 26,523
25,969
64,399 66,469
65,757
2012
12,199
11,272
10,233
5,003
3,716
3,295
3,101
2,368
2,086
27,981
69,056
Share
(%)
17.22
17.20
14.87
6.84
5.45
4.92
4.25
3.35
3.03
40.08
100
Sumber: BPS (Diolah Pusdatin Kementan)
Perkembangan Konsumsi Beras
Menurut Kementerian Pertanian (2014), saat ini di negara-negara Asia
menunjukkan kecenderungan peningkatan produksi dan ekspor beras dengan
angka konsumsi yang menurun. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan
urbanisasi, konsumsi per kapita beras mempunyai kecenderungan menurun di
negara-negara Asia Tengah dan berpenghasilan tinggi seperti Jepang, Taiwan dan
Republik Korea. Tapi, hampir seperempat populasi di Negara Asia masih
tergolong miskin dan belum memiliki akses yang cukup terhadap beras seperti
Afghanistan, Korea Utara, Nepal dan Vietnam. Di Indonesia masyarakatnya
sekitar 90% mengonsumsi beras, namun sejak tahun 2004 total konsumsi beras
pertahunnya terus menurun. Besar penurunan konsumsi beras Indonesia dari tahun
2004-2013 mencapai 9.85% sebagaimana terlihat pada Gambar 10.
108
106
Kilogram
104
102
100
98
Konsumsi Beras Indonesia
(Kg/Kapita/Tahun)
96
94
92
Sumber: Susenas, BPS 2014
Gambar 10 Perkembangan konsumsi bahan makanan yang mengandung beras
rumah tangga Indonesia periode 2004 – 2013
25
Kinerja Ekspor dan Impor Beras Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara produsen beras di dunia, bahkan
pada masa lalu merupakan negara dengan swasembada beras. Produksi beras
Indonesia sebagian besar ditujukan untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri.
Tingginya pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi pertumbuhan produksi
beras, merubah Indonesia menjadi negara importir beras. Kinerja perdagangan
beras terkait aktivitas ekspor impornya dapat dilihat pada tabel Tabel 4. Selama
periode tahun 2008-2012, ekspor total beras Indonesia mengalami peningkatan
volume dan nilai dengan rata-rata sebesar 33.81% dan 44.39%. Peningkatan
ekspor ini lebih disebabkan karena peningkatan ekspor yang cukup signifikan
pada tahun 2009. Sementara tahun 2010 terjadi penurunan ekspor yang cukup
tajam baik volume maupun nilainya.
Realisasi impor beras Indonesia jauh lebih besar dibandingkan ekspornya
dan terus mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 107.65% (volume) dan
126.21% (nilai). Hal ini menyebabkan neraca perdagangan beras Indonesia selalu
mengalami defisit. Defisit neraca perdagangan beras Indonesia dari tahun 2008 –
2012 cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 108.39%
(volume) dan 127.91% (nilai). Defisit neraca perdagangan terbesar pada periode
ini terjadi pada tahun 2011 yang mencapai 2.74 juta ton atau setara dengan US$
1.51 miliar.
Tabel 4 Perkembangan ekspor, impor dan neraca perdagangan komoditas beras,
periode tahun 2008 – 2012
Tahun
Uraian
Ekspor
-Volume
(Ton)
-Nilai (ribu
US$)
Impor
-Volume
(Ton)
-Nilai (ribu
US$)
Neraca
-Volume
(Ton)
-Nilai (ribu
US$)
2008
2009
2010
2011
2012
Pertumb.
(%)
2008-2012
1,222
3,389
810
1,065
1,091
33.81
935
2,037
560
1,272
1,335
44.39
289,274
250,276
687,583
2,744,261
1,927,563
107.65
123,783
107,955
360,790
1,509,257
1,006,973
126.61
-288,052
-246,887
-686,773
-2,743,196
-1,926,472
108.39
-122,848
-105,918
-360,230
-1,507,985
-1,005,638
127.91
Sumber: BPS (Diolah Pusdatin Kementan)
Negara Tujuan Ekspor dan Negara Asal Impor Beras Indonesia
Menurut BPS, negara tujuan ekspor beras Indonesia pada tahun 2012
sebagian besar adalah ke Singapura dan Timor Leste, masing-masing senilai US$
521.06 ribu dan US$ 384.79 ribu. Kontribusi kedua negara dari total nilai ekspor
beras Indonesia adalah masing-masing 39.04% dan 28.83%. Negara lainnya
26
adalah Amerika sebesar 12.7% (US$ 169.51 ribu), dan Jerman sebesar 11.62%
(US$ 155.14 ribu).
Impor beras Indonesia utamanya berasal dari Vietnam dan Thailand. Jika
dilihat dari sisi harga, harga beras Vietnam berada pada level yang lebih rendah
dibandingkan harga beras Thailand. Besarnya kontribusi nilai impor dari Vietnam
dan Thailand masing-masing sebesar 57.16% (US$ 575.6 juta) dan 21.92% (US$
220.68 juta).
Negara lainnya asal impor beras Indonesia adalah India dan Pakistan,
masing-masing sebesar 13.49% (US$ 135.85 juta) dan 5.43% (US$ 54.71 juta).
Total kontribusi keempat negara utama ini mencapai 98%, sementara sembilan
negara lainnya hanya berkontribusi sekitar 2% saja.
Kebijakan Beras Indonesia
Secara umum kebijakan sektor beras di Indonesia saat ini adalah melindungi
produsen beras ketika musim panen dan konsumen ketika masa tanam. Kebijakan
ini hampir sama dengan kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Sri Lanka
terhadap sektor berasnya (Weerahewa, 2006). Berbeda dengan Indonesia dan Sri
Lanka, Pemerintah Bangladesh lebih menyerahkan stok berasnya kepada sektor
swasta dan terbukti berhasil menurut Dorosh (2001) dikarenakan sektor berasnya
berada pada pasar persaingan sempurna.
Awal mulanya kebijakan tersebut adalah ketika terjadi krisis ekonomi pada
tahun 98 yang mengakibatkan pada meningkatnya harga-harga. Para petani di
Indonesia harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih tinggi dari periode sebelum
masa krisis untuk pembelian input produksi. Ditambah lagi dengan membanjirnya
beras impor sebagai dampak dari liberalisasi pertanian oleh WTO. Kedua hal
tersebut menyebabkan pada penurunan efisiensi petani dan harga gabah serta
terganggunya keamanan pangan. Dampak akhirnya adalah, petani padi menjadi
malas menanam padi karena tidak kompetitifnya pasar beras dalam negeri (Hadi
dan Wiryono 2005). Menurut Ninno et al. (2007) bagi negara berkembang,
keamanan pangan masih menjadi prioritas baik untuk kesejahteraan maupun
kestabilan politik. Karena pentingnya keamanan pangan, maka diperlukan campur
tangan pemerintah melalui kebijakan.Hadi dan Wiryono (2005) mengatakan
bahwa pertanian Indonesia memiliki dua jenis kebijakan yaitu tarif dan non tarif.
Kombinasi dua kebijakan ini terbukti berhasil menurunkan impor dan
meningkatkan harga dalam negeri, jumlah produksi, surplus produsen dan
pendapatan petani.
Untuk menggiatkan kembali para petani padi, pada tahun 2000-an
pemerintah mulai mengatur tata niaga padi. Langkah awalnya adalah
membendung beras impor melalui kebijakan tarif sebesar Rp. 430/kg atau setara
30% tariff ad valorem. Dalam perjalanananya tarif tersebut akhirnya ditingkatkan
menjadi Rp.450/kg melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No.65/PMK.011/2011. Kementerian Perdagangan mengatur dari sisi importasinya
melalui keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor : 9/MPP/KEP/1/2004 tentang ketentuan impor beras. Sehingga tidak
sembarang perusahaan yang dapat mengimpor beras. Kemudian pada tahun 2014
ketentuan tersebut dirubah melalui Peraturan Menteri Perdagangan R.I. Nomor
19/M-DAG/PER/3/2014. Perubahan ini dimaksudkan untuk menguatkan sanksi
27
hukum bagi importir beras yang tidak melaksanakan impor beras sesuai
ketentuan.
Dari sisi produsen pemerintah memberikan subsidi untuk benih dan pupuk.
Sering terjadinya kelangkaan pupuk khususnya pupuk Urea, SP 36, ZA dan NPK,
maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77
Tahun 2005 Tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang Dalam
Pengawasan. Kebijakan pemberian subsidi pupuk banyak dilakukan oleh negara
berkembang seperti Indonesia, Malaysia dan India. Pemberian subsidi ini menurut
Ramli et al. (2012) masih diperlukan oleh Malaysia untuk menjaga produksi padi
dan berasnya. Di India kebijakan ini menurut Sharma dan Thaker (2009) telah
dilaksanakan sejak tahun 2000 dan terbukti telah menstimulasi peningkatan
produksi padi dan produktifitas petani.
Kementerian Pertanian sampai saat ini, terus memberikan subsidi pupuk dan
alat mesin pertanian untuk meningkatkan produktivitas petani. Tugas ini diemban
oleh Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian yang salah satu fungsinya adalah
melaksanakan kebijakan di bidang pengelolaan lahan, air irigasi, pembiayaan,
pupuk, pestisida dan alat mesin pertanian. Kementerian Keuangan melalui PMK
Nomor 198/PMK.05/2012 menerbitkan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi.
Dimaksudkan agar dapat meningkatkan kemampuan permodalan petani sehingga
terjaga daya belinya. Selain itu Kementerian Keuangan juga menyiapkan
anggaran untuk meningkatkan harga pembelian gabah sebesar sepuluh persen
sebagaimana tertuang dalam Inpres No 5 Tahun 2015. Hal ini untuk memberikan
kepastian harga jual kepada petani padi, sehingga mereka tetap memiliki
keinginan untuk menanam padi.
Dalam rangka meningkatkan produksi tanaman pangan yang berkualitas dan
untuk membantu para petani agar dapat membeli benih padi nonhibrida, yang
terjangkau dan berkualitas maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 129/PMK.02/2010 Tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan,
dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Benih Padi Nonhibrida, Jagung Komposit,
Jagung Hibrida, dan Kedelai Bersertifikat.
Tabel 5 Subsidi benih dan pupuk di Indonesia periode tahun 2013-2016
Subsidi Benih
Subsidi Pupuk
(Miliar RP)
(Miliar Rp)
2016
1,020.00
30,100.00
2015
939.41
39,475.70
2014
1,564.80
21,048.80
2013
414.40
17,617.80
Sumber : NKRAPBNdan RAPBN 2013-2016
Tahun
Berdasarkan nota keuangan RAPBN 2016 Subsidi benih telah mencapai
Rp.1.02 triliun dan untuk pupuk mencapai Rp.30.10 triliun. Nilai ini jika
dibandingan dengan nilai subsidi benih dan pupuk pada tahun 2013 telah
mengalami peningkatan rata-rata tahunan masing-masing sebesar 49 persen dan
24 persen. Subsidi benih yang paling besar terjadi di tahun 2014 sedangkan
subsidi pupuk pada tahun 2015.
Perlindungan untuk konsumen dilakukan melalui pengendalian harga beras
melalui operasi pasar yaitu dengan menjual stok beras BULOG, Namun pada
28
akhir tahun 2014 pemerintah melakukan kebijakan penghentian impor beras, oleh
karena ingin mendorong swasembada pangan. Dengan demikian dalam menjaga
harga melalui pengendalian suplai beras, pemerintah mengandalkan sepenuhnya
pada beras domestik.
Pada forum internasional, dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
Indonesia tetap memperjuangkan agar produk pertanian mendapat perlakukan
khusus karena menyangkut keberlangsungan hidup. Di forum ASEAN dalam
sidang Dewan AFTA, Indonesia juga memperjuangkan agar beras tetap
dimasukkan dalam HSL. Hal ini harus dilakukan oleh karena, integrasi ekonomi
ASEAN turut memasukkan beras dan produk pertanian masuk ke dalam sektor
yang liberalisasinya diprioritaskan. Sehingga segala hambatan tarif dan nontarif
untuk produk ini harus dihapuskan. Amanat ini tercantum dalam dokumen ASEAN
Trade in Goods Agreement.
40
Tarif Impor Beras
(%)
35
30
25
20
15
10
2010 (ATIGA)
2015 (AEC)
5
0
Sumber
:
http://www.asean.org/communities/asean-economic-community/item/annex-2-tariffschedules
Gambar 11 Komitmen tarif impor beras di ASEAN tahun 2010 dan 2015
Dari gambar di atas dapat terlihat bahwa Negara Filipina, Indonesia,
Malaysia, Kamboja dan Myanmar masih menerapkan tarif masuk untuk beras.
Kondisi yang sebaliknya terjadi di Negara Thailand, Vietnam, Singapura dan
Brunei.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Produksi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan
Fokus dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah untuk menurunkan tarif
masuk. Diharapkan dengan penurunan tarif tersebut, akan terjadi peningkatan
daya saing kawasan ini. Menurut Kruggman dan Obsfeld (2003) liberalisasi
melalui penurunan tarif akan menurunkan harga di negara pengimpor sekaligus
menurunkan surplus produsen di negara pengimpor. Turunnya surplus produsen
akan menyebabkan penurunan produksi, sehingga Indonesia memerlukan untuk
melindungi sektor berasnya. Perlindungan ini dilakukan dengan mengenakan tarif
impor beras, sebagaimana jadwal penurunan tarif ASEAN Trade in Goods
Agreement (ATIGA). Hal ini berbeda dengan Vietnam dan Thailand yang
memilih untuk membebaskan tarif impor berasnya. Dengan masih menerapkan
tarif pada sektor beras, Indonesia berharap dapat menjaga produksi sektor beras
dalam negeri. Hasil analisis dampak perlindungan tarif beras dalam MEA
disajikan dalam Tabel 6, 7 dan 8 berikut ini.
Tabel 6 Simulasi MEA: Produksi Beras di Dunia
Negara
Indonesia
Philippines
Thailand
Vietnam
xSEAsia
India
China
USA
EU_25
RestofWorld
Produksi
(dalam %)
0.23
-13.02
1.20
4.79
-4.64
0.07
0.12
0.52
0.26
0.19
Baseline
(Juta US$)
11,706.89
3,532.45
6,549.09
4,634.24
3,033.59
33,219.06
15,061.51
2,820.72
2,758.87
70,842.61
Setelah Simulasi
(Juta US$)
11,734.06
3,072.43
6,627.82
4,856.28
2,892.83
33,241.07
15,080.31
2,835.26
2,765.92
70,975.04
Sumber: Basis data GTAP versi 8
Berdasarkan Tabel 6, negara ASEAN yang sektor berasnya diuntungkan
ketika MEA diterapkan adalah Vietnam, Thailand dan Indonesia. Produksi beras
ketiga negara ini akan meningkat masing-masing pada angka 4.79%, 1.2% dan
0.23%. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh CIS (2011), dimana implementasi
MEA akan lebih menguntungkan sektor beras Vietnam dan Thailand. Kedua
negara ini diuntungkan oleh MEA, karena industri berasnya saat ini sudah efisien.
Vietnam terkenal dengan harga berasnya yang murah dan Thailand adalah Negara
eksportir beras. Sehingga meningkatnya akses pasar direspons oleh industri
berasnya melalui peningkatan produksi untuk memenuhi permintaan ekspor. Lain
halnya yang terjadi dengan sektor beras Indonesia, peningkatan produksi beras ini
kemungkinan didapatkan dari masih berlakunya kebijakan tarif impor untuk beras
dan rendahnya harga faktor input primer. Hal ini membuktikan bahwa, dampak
30
kebijakan tarif masuk bagi sektor beras adalah positif bagi produksi beras
domestik Indonesia.
Negara Filipina merupakan negara yang paling terkena dampak buruk,
dengan penurunan produksi beras hingga mencapai -13.02 persen. Negara
ASEAN lainnya yang tergabung dalam kelompok XSEAsia juga akan mengalami
penurunan produksi sebesar -4.64%. Tingginya penurunan produksi di negaranegara ini dapat dikarenakan beras domestik yang berharga mahal digantikan oleh
beras impor yang harganya lebih murah. Hasil ini dapat menjadi jawaban kenapa
Negara Filipina dan Negara ASEAN lainnya masih menerapkan tarif impor yang
tinggi untuk beras. Dimana Filipina menerapkan tarif impor beras sebesar 40%
dan Malaysia 20%.
Tabel 7 Simulasi MEA: produksi berbagai sektor di Indonesia
Sektor
Padi
Beras
PanganLain
TaniTernak
Tambang
Mamin
Tekstil
Pupuk
Manufaktur
Jasa
Produksi
(dalam %)
0.24
0.23
-0.41
0.09
-0.11
-0.45
0.24
-0.61
0.31
0.02
Baseline
(Juta US$)
10,969.67
11,706.89
3,571.15
60,180.11
64,498.06
60,372.16
29,056.63
62,009.02
159,846.16
378,725.91
Setelah Simulasi
(Juta US$)
10,995.73
11,734.06
3,556.59
60,236.48
64,429.05
60,097.91
29,126.60
61,633.79
160,343.08
378,804.28
Sumber: Basis data GTAP versi 8
Dampak implementasi MEA terhadap output sektoral di Indonesia dapat
terlihat pada Tabel 7. Sektor-sektor yang meningkat produksinya adalah
Manufaktur (0.31), Padi (0.24%), Tekstil (0.24%), Beras (0.23), TaniTernak
(0.09%). Tingginya peningkatan di sektor Manufaktur sejalan dengan rilis
Manufacturing PMI Index yang mencapai nilai indeks 47.8 (TE 2015), nilai ini
berada di atas Lebanon dan Hongkong. Tingginya indeks ini juga menandakan
keunggulan daya saing di sektor tersebut. Namun menurut Jayanthakumaran
(2002), peningkatan produksi di sektor manufaktur akibat liberalisasi harus
diwaspadai karena tidak selalu terjadi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan
sensitivitas data akibat perubahan kebijakan. Sektor lain yang memiliki daya saing
ketika MEA adalah Tekstil. Daya saing di sektor tekstil ditopang oleh banyaknya
jumlah tenaga kerja di Indonesia. Ditambah lagi dengan masih berlakunya sistem
kerja outsourcing sektor buruh di Indonesia.
Sektor-sektor yang menurun produksinya akibat diterapkannya MEA
adalah Pupuk (-0.61%), Mamin (-0.45%), Panganlain (-0.41%) dan Tambang (0.11%). Turunnya beberapa sektor produksi menunjukkan kurangnya daya saing
di sektor tersebut, sehingga tidak dapat merespons perluasan akses pasar dengan
peningkatan produksi dan ekspor. Untuk sektor yang kurang berdaya saing dalam
MEA, rendahnya harga akan direspon dengan mengurangi produksi, dan akan
mengurangi kebutuhan faktor input primer. Kondisi ini pada akhirnya akan
memaksa produsen untuk melakukan efisiensi dalam berproduksi dengan
31
mengurangi karyawan. Turunnya produksi sektor Panganlain dapat diakibatkan
oleh kalah bersaing dengan sektor Panganlain dari impor. Sehingga mengurangi
keinginan petani untuk menanam Jagung, Ubi, Singkong dan Kedelai sebagai
kelompok sektor Panganlain. Dengan demikian terjadi peningkatan konsumsi
bahan pangan lain yang berasal dari impor untuk mensubstitusi kalori dari beras
misalnya gandum.
Tabel 8 Simulasi MEA: permintaan faktor input primer di Indonesia (dalam %)
Sektor
Padi
Beras
PanganLain
TaniTernak
Tambang
Mamin
Tekstil
Pupuk
Manufaktur
Jasa
UnSkLab
0.30
0.13
-0.34
0.15
-0.13
-0.29
0.13
-0.36
0.15
0.00
SkLab
0.38
0.30
-0.42
0.21
-0.15
-0.59
0.32
-0.76
0.39
0.03
Capital
0.38
0.30
-0.42
0.21
-0.15
-0.59
0.32
-0.77
0.39
0.03
Sumber: Basis data GTAP versi 8
Berdasarkan Tabel 8, implementasi MEA akan meningkatkan permintaan
tenaga kerja unskilled labor di sektor padi (0.30%), Manufaktur (0.15%),
TaniTernak (0.15) Beras (0.13%) dan Tekstil (0.13%). Meningkatnya permintaan
tenaga kerja di sektor Padi dan Beras tersebut dikarenakan masih adanya
perlindungan tarif pada beras. Adanya kebijakan tersebut, pekerja di kedua sektor
akan terlindungi dari persaingan dengan beras impor. Selain itu produktivitas
mereka terus didorong oleh pemerintah melalui berbagai program pelatihan.
Sektor manufaktur, tani ternak dan tekstil dikenal sebagai sektor andalan
pemerintah. Sektor-sektor tersebut akan menambah tenaga kerja untuk memenuhi
peningkatan produksi akibat meningkatnya permintaan.
Untuk tenaga kerja terdidik/SkillLabor, sektor yang paling tinggi
permintaan tenaga kerjanya adalah manufaktur, kemudian diikuti oleh sektor Padi,
Tekstil, Beras dan Taniternak. Perlu diketahui, bahwa dalam MEA tenaga kerja
terdidik dapat bergerak bebas di seluruh kawasan ASEAN. Artinya kesempatan
kerja ini tidak hanya berlaku untuk tenaga kerja domestik, melainkan tenaga kerja
luar negeri. Namun bebas bergeraknya tenaga kerja terdidik tersebut harus
berdasarkan Mutual Recognition Arranggement (MRA) terlebih dahulu.
Akibat dari liberalisasi dan perlindungan tarif akan mengurangi
permintaan tenaga kerja unskilled di sektor lain, seperti pupuk (-0.36%),
Panganlain (-0.34), Mamin (-0.29%) dan sektor Tambang (-0.13%). Turunnya
permintaan tenaga kerja Unskilled (UnSkLab) di sektor Pupuk, Mamin dan
Panganlain, diakibatkan oleh penurunan produksi. Dengan masuknya barang
impor, maka produsen domestik akan merespons dengan mengurangi
produksinya. Hal ini supaya tidak terjadi kelebihan penawaran barang di pasar
yang akan memicu turunnya harga yang lebih dalam. Karena produksi pupuk
domestik berkurang, akibatnya adalah menurunnya permintaan tenaga kerja di
sektor tersebut. Selain itu terjadi juga perpindahan pekerja antarsektor. Sehingga
32
pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja di salah satu sektor, dapat
kembali bekerja di sektor yang lebih berdaya saing.
Dengan meningkatknya produksi yang akan meningkatkan permintaan
tenaga kerja, maka akan terjadi juga peningkatan modal (capital). Modal ini akan
dipakai untuk membiayai tenaga kerja dan intermediate input/barang antara untuk
berproduksi. Peningkatan modal yang terjadi, akan bergerak bersamaan dengan
peningkatan permintaan tenaga kerja. Sumber modal ini dapat berasal dari
investor lokal maupun luar negeri, karena pada era MEA arus modal juga akan
diliberalisasikan juga. Namun tetap akan menguntungkan pasar saham/keuangan
di Indonesia dengan cerminan meningkatnya Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG).
Tabel 9 Simulasi MEA: Perubahan GDP Riil negara di dunia
Negara
GDP Riil
(Juta US$)
Indonesia
Philippines
Thailand
Vietnam
xSEAsia
India
China
USA
EU_25
RestofWorld
85.86
191.60
577.47
6.21
1859.33
-195.26
-540.61
-482.97
-518.00
-1234.89
Sumber: Basis data GTAP versi 8
Tingkat kesejahteraan dapat dilihat dari berbagai variabel, salah satunya
nilai equivalent variation (EV) Pant et al (2000). Nilai EV ini menurut Huff et al.
(1996) terdiri dari empat komponen yaitu Terms of Trade Effects, Allocative
(efficiency) effect, Endowment effects dan Technology effects. Dalam skema MEA,
negara ASEAN yang akan mengalami peningkatan kesejahteraan adalah
XSEAsia, Thailand, Filipina, Indonesia dan Vietnam. Positifnya peningkatan
kesejahteraan di Negara ASEAN, mencerminkan bahwa MEA akan
menguntungkan ekonomi kawasan. Peningkatan akses pasar di kawasan ini akan
mendorong peningkatan ekspor Negara pesertanya. Peningkatan GDP Riil ini
adalah muara dari peningkatan yang terjadi di produksi, permintaan tenaga kerja
dan modal.
Meningkatnya kesejahteraan akibat liberalisasi di seluruh sektor barang
tersebut sejalan dengan penelitian Warr (2014). Warr mengatakan secara total
keuntungan kesejahteraan akibat liberalisasi perdagangan akan didapat dari
liberalisasi seluruh sektor daripada melakukan liberalisasi di sektor pertanian saja.
Lee dan Plummer (2011), mengatakan pengurangan hambatan perdagangan sangat
diperlukan di ASEAN jika ingin menikmati keuntungan dari penerapan MEA.
Namun Segerstorm dan Sugita (2012) mempunyai pandangan lain dengan
meningkatnya kesejahteraan ini dan mengatakan, terkadang sektor yang tidak
diliberalisasikan malah lebih tinggi peningkatan produksinya dibanding yang
diliberalisasikan.
33
Analisis Alternatif Kebijakan
Untuk menjawab tujuan kedua maka dilakukan beberapa simulasi, untuk
mencari kebijakan sektor beras yang sesuai bagi Indonesia. Hal ini dilakukan
untuk melihat dampak ekonomi dari masing-masing kebijakan tersebut terhadap
sektor beras. Simulasi lainnya tersebut antara lain liberalisasi penuh, dukungan
domestik (subsidi benih, pupuk dan kredit) dan proteksi penuh. Kemudian hasilhasil tersebut dibandingkan, khususnya melihat perubahan positif pada variabel
produksi, permintaan unskilled labor, trade balance dan GDP riil. Asumsi yang
mendasari setiap simulasi adalah liberalisasi penuh. Liberalisasi penuh dianggap
pasti akan terjadi di kawasan ASEAN, jika hendak mengintegrasikan
ekonominya. Namun dalam integrasi tersebut, masing-masing Negara masih
diperkenankan untuk membuat kebijakan sektoralnya masing-masing.
Tabel 10 Produksi sektor di Indonesia pada berbagai skenario (dalam %)
Sektor
Padi
Beras
PanganLain
TaniTernak
Tambang
Mamin
Tekstil
Pupuk
Manufaktur
Jasa
MEA
(Sim1)
Liberalisasi
Penuh
(Sim2)
0.24
0.23
-0.41
0.09
-0.11
-0.45
0.24
-0.61
0.31
0.02
-0.64
-0.72
-0.22
0.19
-0.11
-0.38
0.25
-0.57
0.34
0.03
Dukungan Domestik
Subsidi
Benih
(Sim3a)
5.61
5.73
-1.67
-0.43
-0.17
-0.68
-0.01
-0.90
0.10
-0.02
Subsidi
Pupuk
(Sim3b)
-0.49
-0.56
-0.46
0.10
-0.37
-0.68
-0.48
1.97
-0.07
0.04
Subsidi
Kredit
(Sim3c)
2.01
2.11
-0.81
-0.08
-0.14
-0.50
0.14
-0.71
0.23
0.01
Proteksi
Penuh
(Sim4)
4.64
5.01
-1.38
-0.40
-0.09
-0.81
0.22
-0.71
0.22
-0.04
Sumber: Basis data GTAP versi 8
Dari Tabel 10, terlihat bahwa skenario subsidi benih adalah yang terbaik
diikuti oleh skenario proteksi penuh, subsidi kredit dan MEA. Sedangkan skenario
yang berdampak buruk terhadap sektor beras adalah liberalisasi penuh dan subsidi
pupuk.
Skenario subsidi benih paling baik karena akan meningkatkan produksi
beras sebesar 5.73%. Peningkatan produksi ini akibat efisiensi dan produktivitas
petani yang meningkat. Subsidi benih akan meningkatkan keinginan petani padi
untuk menanam, sehingga produksi padi meningkat. Dengan meningkatnya
produksi padi maka, padi yang dikonversi menjadi beras akan ikut meningkat.
Selain itu, subsidi benih sekaligus akan menggoda petani Panganlain untuk
menanam padi. Hal ini sejalan dengan terjadi penurunan produksi dan tenaga
kerja yang dialami oleh sektor pangan lain.
Skenario proteksi penuh ternyata mampu meningkatkan produksi beras
Indonesia sebesar 5.01% dan tidak banyak menurunkan produksi sektor lain.
Penghentian impor beras sebenarnya dapat dimungkinkan menurut Kementerian
Pertanian (2013). Dengan nilai Self Sufficiency Ratio (SSR) beras Indonesia dari
tahun 2008-2012 mencapai lebih dari 90 persen. Hal ini berarti hampir sebagian
34
besar kebutuhan beras dalam negeri sudah dapat dipenuhi oleh produksi domestik.
Menurut Hadi (2005) melalui kebijakan proteksi Indonesia telah berhasil
menurunkan impor dan meningkatkan harga dalam negeri, jumlah produksi,
surplus produsen dan pendapatan petani. Namun hal yang perlu diingat adalah,
skenario ini dapat mempengaruhi pendapatan nasional negara lain, sehingga
dikhawatirkan akan memicu negara lain untuk melakukan kebijakan serupa.
Menurut Klarkson dan Kulkarni (2010) pemberian dukungan domestik terkadang
memicu negara lain untuk melakukan hal serupa (retaliasi).
Skenario subsidi kredit secara teori memang mampu dalam meningkatkan
produksi sebesar 2.11%. Namun dalam pelaksanaannya skenario ini akan
terbentur pada masalah akses petani dalam mendapatkan subsidi tersebut. Masalah
yang masih ada dalam penyaluran subsidi tersebut menurut Ashari (2009) adalah:
(i) syarat pengajuan yang cukup ketat, karena disamakan dengan kredit lainnya;
(ii) jangka waktu dari pengajuan dan pencairan masih lama; (iii) syarat jaminan
mengharuskan tanah sudah bersertifikat; dan (iv) syarat minimal luas lahan.
Skenario MEA hanya mampu untuk meningkatkan produksi beras sebesar
0.23%. Ternyata pengenaan tarif impor beras sebesar Rp. 450/kg belum dapat
meningkatkan produksi beras domestik. Peningkatan ini tidak sebanding dengan
penurunan produksi di sektor lain yang mencapai (-0.61) di sektor pupuk, (0.45%) di sektor Mamin dan (-0.41%) di sektor Panganlain.
Kedua skenario yang dapat menurunkan produksi beras di Indonesia
hingga mencapai kisaran angka -0.70 persen adalah Liberalisasi penuh dan
Subsidi pupuk. Turunnya produksi beras dalam skenario Subsidi pupuk, karena
sektor pupuk hanya memiliki share tiga persen dari total sektor dalam Chemical
Rubber and Plastics (crp) dalam basis data GTAP. Sehingga kemungkinan yang
terjadi adalah subsidi tersebut tidak sampai ke petani.
Menurut Haryadi (2007) hampir semua negara ASEAN akan mengalami
penurunan output komoditas pertanian akibat liberalisasi penuh. Khusus bagi
Indonesia sektor padi dan gula adalah yang paling besar. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Kementerian Pertanian berdasarkan perhitungan nilai RSCA, dengan
mengatakan komoditas beras Indonesia secara umum tidak mempunyai daya saing
di pasar dunia. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RSCA yang negatif, bahkan
hingga -0.99 persen pada tahun 2010 dan 2011.
Tabel 11 Permintaan unskilled labor sektor di Indonesia (dalam %)
Sektor
Padi
Beras
PanganLain
TaniTernak
Tambang
Mamin
Tekstil
Pupuk
MEA
(Sim1)
0.30
0.13
-0.34
0.15
-0.13
-0.29
0.13
-0.36
Liberalisasi
Penuh
(Sim2)
-0.63
-0.43
-0.22
0.18
-0.12
-0.23
0.15
-0.32
Dukungan Domestik
Subsidi
Benih
(Sim3a)
6.07
3.26
-1.12
0.05
-0.25
-0.55
-0.16
-0.66
Subsidi
Pupuk
(Sim3b)
-0.53
-0.34
-0.50
0.05
-0.43
-0.43
-0.28
1.11
Subsidi
Bunga
(Sim3c)
2.19
1.21
-0.58
0.11
-0.17
-0.36
0.03
-0.46
Proteksi
Penuh
(Sim4)
4.99
2.87
-0.95
-0.03
-0.14
-0.60
0.02
-0.51
35
Sektor
Manufaktur
Jasa
MEA
(Sim1)
Liberalisasi
Penuh
(Sim2)
0.15
0.00
0.19
0.02
Dukungan Domestik
Subsidi
Benih
(Sim3a)
-0.11
-0.18
Subsidi
Pupuk
(Sim3b)
-0.04
0.02
Subsidi
Bunga
(Sim3c)
0.06
-0.06
Proteksi
Penuh
(Sim4)
0.00
-0.14
Sumber: Basis data GTAP versi 8
Tabel 11 menunjukkan bahwa skenario subsidi benih, proteksi penuh,
subsidi kredit, dan MEA berdampak positif pada tenaga kerja sektor beras padi
dan beras di Indonesia. Skenario yang berdampak buruk pada sektor beras di
Indonesia adalah subsidi pupuk dan liberalisasi penuh.
Tingginya permintaan tenaga kerja unskilled di sektor beras sebesar
3.26%, sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa jika terjadi perlindungan
domestik yang besar di satu sektor, maka akan mendorong pengalihan sumber
daya input (lahan, tenaga kerja dan modal) yang lebih besar ke dalam sektor
tersebut dan dapat mengurangi output sektor lain. Demikian pula halnya yang
terjadi pada skenario proteksi penuh yang permintaan tenaga kerjanya meningkat
2.87%, skenario subsidi kredit sebesar 1.21% dan skenario MEA 0.13%. Skenario
liberalisasi penuh akan menurunkan permintaan tenaga kerjas di sektor beras,
karena masih terjadinya banjir beras impor yang menurunkan keinginan petani
untuk menanam.
Tabel 12 Perubahan neraca perdagangan sektor barang Indonesia (Juta US$)
Sektor
Padi
Beras
PanganLain
TaniTernak
Tambang
Mamin
Tekstil
Pupuk
Manufaktur
Jasa
MEA
(Sim1)
Liberalisasi
Penuh
(Sim2)
1.49
14.71
2.04
136.79
-116.3
-222.56
38.08
-308.87
289.08
-120.56
1.99
-106.33
5.51
168.23
-123.82
-202.12
39.50
-300.97
302.41
-117.15
Dukungan Domestik
Subsidi
Benih
(Sim3a)
21.51
261.54
-30.12
-56.03
-88.77
-290.07
6.19
-385.19
109.22
-118.82
Subsidi
Pupuk
(Sim3b)
2.30
-97.89
7.19
129.27
-167.15
-317.08
-81.15
571.32
-289.19
2.30
Subsidi
Kredit
(Sim3c)
3.69
67.84
-8.89
69.16
-106.94
-238.87
25.29
-337.06
206.16
-117.86
Proteksi
Penuh
(Sim4)
-0.94
465.23
-15.76
-19.90
-77.39
-316.03
40.74
-329.07
287.21
-117.85
Sumber: Basis data GTAP versi 8
Sebagaimana Tabel 12, skenario kebijakan proteksi penuh adalah yang
terbaik. Kemudian diikuti oleh skenario subsidi benih, subsidi kredit dan MEA.
Kebijakan proteksi penuh akan meningkatkan surplus perdagangan dari sektor
Beras sebesar 465.23 juta US$. Sektor lain yang mengalami dampak positif akibat
skenario proteksi penuh adalah sektor tekstil dan manufaktur. Sektor yang
mengalami dampak buruk akibat skenario ini adalah sektor Pupuk, Mamin, Jasa,
36
Tambang, Taniternak dan Pangan lain. Skenario ini akan melindungi petani beras
secara total dari beras impor, sehingga petani akan semakin giat untuk menanam
padi. Dengan demikian sangat dimungkinkan terjadinya surplus beras, yang
kemudian dapat di ekspor. Secara teori skenario ini paling baik, namun dalam
impelementasi di lapangan Indonesia harus siap jika terjadi kebijakan serupa
(retaliasi) dari Negara rekan ASEAN lainnya.
Kebijakan dukungan domestik melalui subsidi benih dapat meningkatkan
surplus neraca perdagangan di sektor beras sebesar 261.54 juta US$. Kebijakan
subsidi benih juga akan memberikan dampak buruk pada sektor lain. Untuk
implementasi kebijakan, subsidi benih adalah yang paling mungkin saat ini.
Skenario ini menghasilkan dampak yang positif pada output, unskskilled labor,
neraca perdagangan dan GDP riil. Namun akan menyebabkan defisit neraca
perdagangan pada sektor Pupuk, Mamin, Tambang, Taniternak dan Panganlain.
Skenario liberalisasi penuh adalah yang paling buruk terhadap sektor
beras. Skenario ini dapat menyebabkan defisit dari sektor beras sebesar -106.33
juta US$. Kebijakan ini akan membuat terjadi banjir beras impor, produk
ekstraksi dan tekstil di Indonesia. Hal ini dapat terjadi dikarenakan tingginya
investasi negara maju di kawasan ASEAN. Negara Vietnam dan Thailand
misalnya telah membuka sektor investasinya secara besar-besaran dan didukung
oleh fasilitas yang mendukung. Barang-barang inilah yang akan masuk ke
Indonesia, dengan harga murah karena masuk tanpa tarif. Walaupun terjadi banjir
impor di sektor tersebut, Indonesia dapat meningkatkan ekspor di beberapa sektor
misalnya Manufaktur, Panganlain dan Mamin. Peningkatan ekspor Manufaktur
sebesar 289.08 juta US$, mengindikasikan kuatnya daya saing sektor tersebut.
Sehingga dapat menjadi sinyal bagi pemerintah untuk segera meningkatkan daya
saing sektor tersebut.
Tabel 13 Perubahan GDP riil negara di dunia (Juta US$)
Sektor
Indonesia
Philippines
Thailand
Vietnam
xSEAsia
India
China
USA
EU_25
RestofWorld
MEA
(Sim1)
Liberalisasi
Penuh
(Sim2)
85.86
191.6
577.47
6.21
1859.33
-195.26
-540.61
-482.97
-518
-1234.89
81.47
186.43
591.07
29.46
1858.57
-190.38
-542.65
-487.6
-524.4
-1247.25
Dukungan Domestik
Subsidi
Benih
(Sim3a)
59.28
200.22
560.23
-37.61
1856.76
-214.66
-541.51
-488.81
-519.65
-1245.92
Subsidi
Pupuk
(Sim3b)
69.94
188.21
590.81
31.28
1845.86
-211.4
-540.03
-533.85
-573.76
-1176.06
Subsidi
Kredit
(Sim3c)
97.27
189.72
583.88
13.21
1858.21
-195.21
-542.07
-488.54
-523.66
-1245.00
Proteksi
Penuh
(Sim4)
-89.21
215.94
539.98
-103.03
1860.91
-215.13
-536.75
-456.32
-491.83
-1204.61
Sumber: Basis data GTAP versi 8
Sebagaimana terlihat pada Tabel 13, dampak seluruh kebijakan di sektor
beras sebagian besar menghasilkan dampak yang positif bagi GDP riil kecuali
pada skenario proteksi penuh. Kebijakan dukungan domestik melalui subsidi
bunga kredit adalah yang tertinggi dengan peningkatan sebesar 97.27 juta US$,
37
kemudian diikuti oleh skenario MEA, liberalisasi penuh, subsidi pupuk dan
subsidi benih.
Kebijakan proteksi penuh dapat menurunkan pendapatan nasional
Indonesia sebesar (-0.81) persen. Sedangkan kebijakan MEA dan Liberalisasi
penuh menghasilkan angka yang tidak terlalu berbeda. Penurunan GDP Riil dapat
dikarenakan perlindungan sektor padi dan beras menyebabkan seluruh penduduk
di Indonesia harus membayar harga pangan yang lebih besar. Sekaligus
mencerminkan juga bahwa beras tidak dapat tergantikan, walaupun sudah ada
makanan pangan lain selain beras.
Secara umum dari sisi kawasan ASEAN, kebijakan sektor beras Indonesia
tidak akan berdampak buruk. Hanya saja jika Indonesia menerapkan kebijakan
proteksi penuh dan subsidi benih maka Negara Vietnam akan mengalami
penurunan GDP riil. Hal ini dapat dimungkinkan oleh karena saat ini, Indonesia
paling banyak mengimpor beras dari Vietnam.
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis, penerapan MEA melalui perlindungan beras akan
berdampak positif pada produksi beras, jumlah tenaga kerja unskilled sektor beras dan
meningkatkan kesejahteraan Indonesia. MEA akan meningkatkan GDP riil Indonesia
yang disebabkan oleh turunnya harga input produksi. Hal ini nantinya akan memicu
efisiensi dan daya saing produk dari Indonesia. Kebijakan juga akan meningkatkan
surplus neraca perdagangan sektor beras. Penerapan MEA juga dapat menyebabkan
penurunan produksi beberapa sektor di Indonesia misalnya Pupuk, Mamin, Panganlain
dan Tambang akibat kurangnya daya saing.
Positifnya dampak penerapan MEA terhadap sektor beras, telah menepis
anggapan akan meningkatnya pengangguran di pedesaan. Penerapan MEA malah akan
meningkatkan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled) dan terdidik (skilled) di sektor
beras. Pemerintah harus memastikan peningkatan tenaga kerja terdidik tersebut harus
diisi oleh tenaga kerja dari Indonesia. Karena penerapan MEA akan membuka
kesempatan pekerja terdidik atau skilled labor di seluruh negara ASEAN. Tenaga kerja
yang sudah terdidik tersebut berdasarkan pengaturan saling pengakuan (Mutual
Recognition Arrangements/MRAs yang telah disepakati ASEAN, antara lain:
Engineering Services (jasa teknik rekayasa), Nursing Services (jasa keperawatan),
Architectural Services (jasa arsitektur), Surveying services (jasa pemetaan), Tourism
Professional (jasa profesi pariwisata), Accountancy Services (jasa akuntansi), Medical
Practitioners (jasa medis) dan Dental Practitioners (jasa dokter gigi).
Skenario liberalisasi penuh untuk sektor beras, nampaknya masih belum dapat
dilakukan oleh pemerintah. Ditakutkan penerapannya akan berdampak buruk pada
produksi, tenaga kerja dan neraca perdagangan sektor beras di Indonesia. Namun
liberalisasi penuh, jika dinilai secara keseluruhan tetap dapat meningkatkan
kesejahteraan. Namun dengan pengorbanan turunnya produksi di beberapa sektor
misalnya Padi, Beras, Panganlain, Tambang, Mamin dan Pupuk. Hal ini menguatkan
teori bahwa liberalisasi sebenarnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun
jika diterapkan maka akan mengurangi produksi sektor yang tidak memiliki daya saing.
Kebijakan proteksi penuh sektor beras ternyata dapat meningkatkan produksi
beras, jumlah unskilled labor serta meningkatkan kesejahteraan. Skema kebijakan ini
dapat diterapkan mengingat sebenarnya Indonesia telah dapat mencukupi kebutuhan
beras nasionalnya. Namun skema ini tentunya akan meningkatkan harga beras akibat
tidak efisiennya dalam berproduksi. Dengan demikian mahalnya harga beras di
Indonesia ternyata bukan pada kurangnya stok dalam negeri, akan tetapi dikarenakan
kurangnya daya saing dan pola distribusi beras yang kurang baik. Selain itu skenario
proteksi penuh juga akan mendorong negara lain melakukan hal serupa (retaliasi).
Untuk mengatasi permasalahan pada sektor beras Indonesia maka, kebijakan
subsidi benih adalah pilihan terbaik saat ini. Kebijakan tersebut menghasilkan nilai
positif dalam analisis bersamaan dengan subsidi kredit, kedua kebijakan ini dapat
meningkatkan produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan. Jika Indonesia sudah mampu
meningkatkan produksi beras dan efisiensi maka, subsidi tersebut dapat secara perlahan
dicabut. Perlu diperhatikan bahwa, kebijakan dukungan domestik jika tidak hati-hati
40
dalam penerapannya dapat berdampak buruk pada penurunan produksi sektor lain. Hal
ini dapat terjadi jika subsidi yang diberikan terlalu besar dan salah sasaran.
Negatifnya hasil analisis dalam subsidi pupuk dikarenakan dalam basis data
GTAP 8, sektor pupuk hanya memiliki share tiga persen dari sektor crp. Sektor pupuk
ini digabungkan dengan sektor lain seperti bahan kimia, karet dan produk plastik. Hal
ini juga mengisyaratkan bahwa subsidi pupuk yang diberikan ke industri pupuk tidak
dapat serta merta dinikmati oleh industri beras Indonesia.
Implikasi Kebijakan
Peran pemerintah dalam mengatur produksi dan perdagangan beras masih
dibutuhkan karena rendahnya daya saing dan mahalnya harga. Untuk itu, dalam
meningkatkan produksi beras, pemerintah dapat memilih kebijakan yang berdampak
positif pada produksi, tenaga kerja dan pendapatan nasional. Kebijakan subsidi benih
terbukti berdampak positif terhadap ketiga variabel dalam penelitian. Kebijakan subsidi
pupuk Indonesia sudah terlalu besar dan dapat salah sasaran. Untuk itu diperlukan
perubahan sistem pembayaran dan distribusi pupuk subsidi, sekaligus memperbaiki
syarat penerima subsidi.
Selain memberikan subsidi, pemerintah harus membuka lahan baru untuk tanaman
pangan, khususnya di provinsi yang produksi berasnya sedikit. Indonesia mengalami
peningkatan luas lahan padi yang lambat sejak tahun 2007. Selain itu harus menjaga
jangan sampai terjadi konversi lahan dari sawah ke tanaman sumber biofuel, perumahan
dan industri. Sekaligus menggunakan teknologi baru baik dalam penggunakan lahan dan
alat produksi. Misalnya dengan menggunakan teknologi untuk menanam di atas lahan
suboptimal.
Implementasi penuh MEA akan membuka lapangan kerja bagi tenaga kerja
terampil (skilled labor). Untuk itu diperlukan peningkatan sumber daya manusia di
bidang pertanian. Hal ini harus dilakukan supaya tingginya permintaan tenaga kerja di
sektor pertanian di ASEAN dan di Indonesia dapat diisi oleh tenaga terampil dari
Indonesia.
Jika pemerintah ingin melindungi sektor beras melalui tarif diharapkan, besaran
tarifnya dapat disesuaikan. Karena dengan tarif yang diterapkan saat ini, hanya sedikit
dampaknya dalam meningkatkan produksi beras. Peran Kementerian Perdagangan
(Kemendag) dapat dilakukan dengan tetap mengajukan waiver pada Dewan AFTA.
Dengan waiver tersebut maka, Indonesia tetap dapat memasukkan beras dalam Highly
Sensitive List. Penerapan Angka Pengenal Impor (API) untuk beras masih tetap dapat
dilakukan, mengingat jika terjadi banjir beras impor maka akan berdampak buruk pada
produksi beras Indonesia. Kemendag juga tetap menyuarakan agar negara berkembang
tetap dapat mengecualikan beras dalam daftar liberalisasi di forum multilateral (WTO).
Dengan demikian tarif bound rate atau batas atas untuk beras masih tetap tinggi.
Fokus Kementan dalam sektor beras adalah meningkatkan produksi beras, baik
melalui peningkatan produktivitas petani tanaman pangan, atau dengan membuka lahan
baru untuk petani beras. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, produksi beras
nasional masih didominasi oleh pulau Jawa. Sehingga perluasan lahan pertanian
tersebut haruslah di luar pulau Jawa.
Berdasarkan Skenario Liberalisasi penuh stok beras nasional harus ditingkatkan
sebesar satu persen dari posisi saat ini. Untuk mengisi stok beras nasional, pemerintah
41
harus mendahulukan untuk menyerap beras dari Koperasi Petani. Jika Koperasi Petani
tidak dapat menyanggupi baru kemudian keran beras impor dapat dibuka. Operasi pasar
juga harus dilakukan secara rutin di setiap provinsi, dan tidak menunggu harga naik
terlebih dahulu. Peserta penyalur beras Bulog juga harus diperluas, misalnya dengan
mengikutsertakan toko retailer. Dengan demikian masyarakat tidak harus berbondongbondong untuk antri dipasar hanya untuk mendapatkan beras murah.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam hal pemberian Kredit Ketahanan
Pangan dan Energi, seharusnya memberikan petunjuk teknis yang mempermudah akses
petani baik syarat maupun jaminan. Dengan mudahnya akses petani ke permodalan
maka akan menghindari petani dari berhutang pada pihak lain. Selain itu dapat juga
menghindari petani dari menjual sawahnya untuk membayar hutang.
Saran
1.
2.
3.
Mengunakan kelompok tenaga kerja yang lebih rinci, seperti dalam SUSENAS
yang membagi rumah tangga ke dalam 10 kelompok. Sehingga dampak terhadap
rumah tangga ketika pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN dapat dilihat lebih
rinci per kelompok.
Diperlukan penyesuaian model GTAP yang lebih baik dan dapat menggambarkan
kondisi ekonomi yang sebenarnya sehingga bias dari hasil analisis dapat dikurangi.
Pada akhir tahun 2015, konsorsium GTAP telah merilis GTAP versi 9. Pada versi
ini basis data GTAP menambahkan 13 negara, perbaikan data input-output dan
penyesuaian pajak-pajak. Dengan versi tersebut diharapkan dapat mendapatkan
hasil yang mendekati kondisi sebenarnya.
43
DAFTAR PUSTAKA
Achsani N. A. dan Partisiwi T. 2010. Testing the Feasibility of ASEAN+3 Single
Currency Comparing Optimum Currency Area and Clustering Approach
Department of Economics and Graduate School of Management and Business
Bogor Agricultural University, Indonesia.
Ahmed S. 2010. India-Korea CEPA: Potentials and Realities. New Delhi, Jamia
Millia Islamia (Central University).
Armington, Paul, 1969, "A Theory of Demand for Products Distinguished by
Place of Production", International Monetary Fund Staff Papers, XVI (1969),
159-78.
Ashari. 2009. Optimalisasi Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian di
Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 7 No.1, Maret 2009:21-42.
[ASEAN] Charter of Association of Southeast Asian Nations. [Internet].
[Diunduh 2015 Oktober]. Tersedia pada: http://www.asean.org/archive/
publications/ASEAN-Charter.pdf.
[ASEAN] ASEAN Trade in Goods Agreement. [Internet]. [Diunduh 2015
Oktober]. Tersedia pada: http://www.asean.org/images/2012/ Economic/
AFTA/annex/ASEAN%20Trade%20in%20Goods%20Agreement,%20Chaam
,%20Thailand,%2026%20February%202009.pdf.
[ASEAN] Protocol on the Special Arrangement for Sensitive and Highly
Sensitive. [Internet]. [Diunduh 2015 Oktober]. Tersedia pada:
Products,http://www.asean.org/images/2012/Economic/AFTA/Common_Effe
ctive_Preferential_Tariff/Protocol%20on%20the%20Special%20Arrangemen
t%20for%20Sensitive%20and%20Highly%20Sensitive%20Products%20.pdf.
[ASEAN], list of highly sensitive products. [Internet]. [Diunduh 2015 Oktober].
Tersedia
pada:
http://www.asean.org/communities/asean-economiccommunity/ item/ annex-1-list-of-highly-sensitive-products.
[ASEAN] Association of South East Asian Nations. 2008. AEC Blue Print, ISBN
978-979-3496-77-1, ASEAN Secretariat Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik. [Internet]. [Diunduh 2015 Oktober]. Tersedia pada:
http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/53#subjekViewTab3|accordiondaftarsubjek3.
Balassa B. 1961. The Theory of Economic Integration. London, Allew and
Unwin.
Barro R.J., and Martin X.S. 2004. Economic Growth Second Edition.
Massachusetts London, The MIT Press Cambridge.
Castilho M., Menendez M. dan Sztulman A., 2010. Trade Liberalization,
Inequality and Poverty in Brazilian States. Document the Travail, DT/201002.
44
[CIS] Center for International Studies, 2011. The Impact of the ASEAN
Economic Community (AEC) on Thai Rice, the University of the Thai
Chamber of Commerce (UTCC).
Clarkson N. dan Kulkarni K.G., 2010. Effects of India’s Trade Policy nn Rice
Production And Exports. Korbel School of International Studies, University
of Denver, 2201 South Gaylord Street, Denver, CO 80209.
Cooper W.H. 2014. Free Trade Agreements: Impact on U.S. Trade and
Implications for U.S. Trade Policy, Congressional Research Service Report 75700, U. S. Congress Research Service, Washington, D.C.
Dorosh PA. 2001. Trade Liberalization and National Food Security: Rice Trade
between Bangladesh and India. World Development Vol.29, No.4, pp.673—
689,2001.
Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia. Jakarta, Erlangga.
Dunn Jr, R.M. 2000. International Economics. Fifth Edition. NewYork,
Routledge.
Hadi P. dan Wiryono B. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi Terhadap Ekonomi
Beras di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 23 No.2, Oktober
2005:159-175.
Hady H. 2001. Ekonomi internasional (BUKU SATU): Teori dan kebijakan
keuangan internasional. Jakarta. Ghalia Indonesia.
Hakim D.B. 2004. The Implications of the ASEAN Free Trade Area (AFTA) on
Agricultural Trade (A Recursive Dynamic General Equilibrium Analysis).
Institut für Agrarökonomie Georg-August-Universität Göttingen Germany.
Haryadi. 2007. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan Sektor Pertanian
Terhadap Kinerja Ekonomi Negara Maju dan Berkembang. [Disertasi]
Sekolah Pascasarjana, IPB.
Hertel T.W. dan Tsigas M.E. 1997. Structure of GTAP Global Trade Analysis,
Modeling and Applications. New York, Cambridge University Press.
Hertanti R. 2012. Kajian atas dampak pasal 1 angka 5 ASEAN Charter Mengenai
Pembentukan Pasar Tunggal & Basis Produksi Terhadap Sektor Pangan
Indonesia, [Thesis]. Depok, Universitas Indonesia.
Hessi R. 2009. Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri serta
Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia, [Thesis]. Bogor (ID):
Sekolah, IPB.
Huff, Karen, Hertel, Thomas W. 1996. Decomposing the Welfare Changes in the
GTAP Model. GTAP Technical Paper No.15, Purdue University.
Itakura K. 2014. Impact of liberalization and improved connectivity and
facilitation in ASEAN.Journal of Asian Economics.
Jayanthakumaran The Impact of Trade Liberalisation on Manufacturing Sector
Performance in Developing Countries: A Survey of the Literature, Working
Paper Series 2002. Department of Economics, University of Wollongong.
45
Kementerian Pertanian. 2013, Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Vol.4
No.1 Tahun 2013, ISSN2086-4949.
Kementerian Perdagangan R.I. 2014. Data Perkembangan Harga Beras Medium
Tahun 2000-2014. Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri.
Krugman P. dan Obstfeld M. 2003. International Economics Theory and Policy
Sixth Edition.Addison Wesley, New York.
Lee H. dan Plummer M.G. (2011). Assessing the Impact of the ASEAN Economic
Community, OSIPP Discussion Paper: DP-2011-E-002.
Mulwanyi A. 2010. The Impact of Government Purchase Price Rice Policy on
Producers’ And Consumers’welfare In Indonesia. [Thesis]. Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana, IPB.
Narayanan, G., Badri, Aguiar A and McDougall R, 2012. Global Trade,
Assistance, and Production: The GTAP 8 Data Base, Center for Global Trade
Analysis, Purdue University.
Nicholson W. 2005. Microeconomic Theory:Basic Principles and Extension Ninth
Edition. Thomson Southwestern.
Ninno CD., Dorosh PA, Subbarao K. 2007. Food aid, domestic policy and food
security: Contrasting experiences from South Asia and sub-Saharan Africa.
Food Policy. Volume 32, Issue 4, August 2007, Pages 413–435.
Oktaviani R., Puspitawati E. dan Haryadi. 2008. Impacts of ASEAN Agricultural
Trade Liberalization on ASEAN-6 Economies and Income Distribution in
Indonesia. Asia Pacific Research and training Network on Trade Working
Paper Series, no.51.
Oktaviani R., Novianti, Widyastutik T. 2010. Kebijakan Perdagangan
Internasional:Aplikasinya di Indonesia jilid 2. Departemen Ilmu Ekonomi
FEM IPB.
Pant H, Brown S, Buetre B, dan Tulpule V. 2000. Measurement and
Decomposition of Welfare Changes in GTEM. ABARE Conference Paper
2000.11
Ramli N. N., Shamsudin M.N., Mohamed Z., dan Radam A. The Impact of
Fertilizer Subsidy on Malaysia Paddy/Rice Industry Using a System
Dynamics Approach. International Journal of Social Science and Humanity,
Vol. 2, No. 3, May 2012.
Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Haris Munandar [Penerjemah].
Jakarta, Erlangga.
Segerstrom P.S. dan Sugita Y.,2012. The Impact of Trade Liberalization on
Industrial Productivity. Stockholm School of Economics, Sweden.
Sharma V.P. dan Thaker H.,2009. Fertilizer Subsidy in India: Who are the
Beneficiaries?. Indian Institute of Management Ahmedabad-380 015 INDIA.
Sitepu R.K. 2002.Dampak kebijakan ekonomi dan liberalisasi perdagangan
terhadap penawaran dan permintaan beras di Indonesia [Tesis]. Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana, IPB.
46
Sturm, V. 2011. Taking into account the emissions from the production and use of
mineral fertilizers by imposing a ‘carbon tax’. GTAP Resource #3646.
Tambunan, T.H. 2001. Industrialisasi di Negara sedang Berkembang:kasus,
Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta.
[TE] Trading Economics. ASIA Manufacturing PMI [Internet]. [Diakses Oktober
2015]
Tersedia
pada:
http://www.tradingeconomics.com/countrylist/manufacturing-pmi.
Urata S. 2002. Globalization and the Growth in Free Trade Agreements, Asia
Pacific Review, 9(1), 20-32.
Yamamoto Y., Sawauchi D.dan Masuda K. 2007. Does Agricultural Trade
Liberalization under FTA Reduce Pollution from Agriculture? : The Case of
the Japan-Korea FTA. Research Faculty of Agriculture, Hokkaido University,
Hokkaido, Japan.
Wacziarg R. dan Welch K. 2003. Trade Liberalization and Growth: New
Evidence NBER Working Paper No. 10152 December 2003 JEL No. F1, F4,
O4.
Warr P. 2014. Agricultural liberalization, poverty and inequality: Indonesia and
Thailand. Journal of Asian Economics.
Weerahewa J., 2006. Rice Market Liberalization and Household Welfare in Sri
Lanka: a General Equilibrium Analysis. Canadian Agricultural Trade Policy
Research Network Working Paper. CATPRN Working Paper 2006-1.
47
LAMPIRAN
Lampiran 1 Perkembangan basis data GTAP
Versi
Tanggal Rilis
Keterangan
GTAP 1 Data Base
GTAP 2 Data Base
GTAP 3 Data Base
GTAP 4 Data Base
GTAP 5 Data Base
GTAP 5.4 Data Base
30 Negara 30 Sektor (tahun dasar 1992)
45 Negara 50 Sektor (tahun dasar 1995)
66 Negara 57 Sektor (tahun dasar 1997)
78 Negara 57 Sektor (tahun dasar 1997)
GTAP 6 Beta Data
Base
GTAP 6 Data Base
GTAP 7 Data Base
GTAP 8 Data Base
1993
1994
1996
1998
Juni 2001
November
2003
November
2004
May 2005
December 2008
Maret 2012
GTAP 9 Data Base
May 2015
87 Negara, 57 Sektor (tahun dasar 2001)
87 Negara, 57 Sektor (tahun dasar 2001)
113 Negara, 57 Sektor (tahun dasar 2004)
129 Negara 57 Sektor (tahun dasar 2004
dan 2007)
140 Negara 57 Sektor (tahun dasar 2004,
2007 dan 2011)
Sumber: Center for Global Trade Analysis 2015
Lampiran 2 Aggregasi lengkap negara
Region
Description
Indonesia
Philippines
Thailand
Vietnam
Other
Southeast Asia
Indonesia.
Philippines.
Thailand.
Viet Nam.
Cambodia; Lao People's Democratic Republ;
Malaysia; Singapore; Rest of Southeast Asia.
India
China
India
China
India.
China; Hong Kong.
USA
EU_25
USA
European
Union 25
United States of America.
Austria; Belgium; Cyprus; Czech Republic;
Denmark; Estonia; Finland; France; Germany;
Greece; Hungary; Ireland; Italy; Latvia; Lithuania;
Luxembourg; Malta; Netherlands; Poland;
Portugal; Slovakia; Slovenia; Spain; Sweden;
United Kingdom.
New Code
Indonesia
Philippines
Thailand
Vietnam
xSEAsia
old regions
48
Region
Description
RestofWorld Rest of World
New Code
old regions
Australia; New Zealand; Rest of Oceania; Japan;
Korea; Mongolia; Taiwan; Rest of East Asia;
Bangladesh; Nepal; Pakistan; Sri Lanka; Rest of
South Asia; Canada; Mexico; Rest of North
America; Argentina; Bolivia; Brazil; Chile;
Colombia; Ecuador; Paraguay; Peru; Uruguay;
Venezuela; Rest of South America; Costa Rica;
Guatemala; Honduras; Nicaragua; Panama; El
Salvador; Rest of Central America; Caribbean;
Switzerland; Norway; Rest of EFTA; Albania;
Bulgaria; Belarus; Croatia; Romania; Russian
Federation; Ukraine; Rest of Eastern Europe; Rest
of Europe; Kazakhstan; Kyrgyztan; Rest of Former
Soviet Union; Armenia; Azerbaijan; Georgia;
Bahrain; Iran Islamic Republic of; Israel; Kuwait;
Oman; Qatar; Saudi Arabia; Turkey; United Arab
Emirates; Rest of Western Asia; Egypt; Morocco;
Tunisia; Rest of North Africa; Cameroon; Cote
d'Ivoire; Ghana; Nigeria; Senegal; Rest of Western
Africa; Central Africa; South Central Africa;
Ethiopia; Kenya; Madagascar; Malawi; Mauritius;
Mozambique; Tanzania; Uganda; Zambia;
Zimbabwe; Rest of Eastern Africa; Botswana;
Namibia; South Africa; Rest of South African
Customs ; Rest of the World.
Sumber: Database GTAP Versi 8
Lampiran 3 Nilai Output seluruh sektor di Indonesia (Juta US$)
Sumber: Rungtap Versi 3,62
Lampiran 4 Guncangan/shock simulasi 1 MEA
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
49
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms("PanganLain","Philippines","Indonesia") = 0.0000;
Shock tms("PanganLain","Thailand","Indonesia") = 0.0000;
Shock tms("PanganLain","Vietnam","Indonesia") = 0.0000;
Shock tms("PanganLain","xSEAsia","Indonesia") = -0.0008;
Shock tms("TaniTernak","Philippines","Indonesia") = -0.2255;
Shock tms("TaniTernak","Thailand","Indonesia") = -0.3922;
Shock tms("TaniTernak","Vietnam","Indonesia") = -0.2623;
Shock tms("TaniTernak","xSEAsia","Indonesia") = -0.7967;
Shock tms("Tambang","Philippines","Indonesia") = -0.8897;
Shock tms("Tambang","Thailand","Indonesia") = -0.0208;
Shock tms("Tambang","Vietnam","Indonesia") = -0.0327;
Shock tms("Tambang","xSEAsia","Indonesia") = -0.0456;
Shock tms("Mamin","Philippines","Indonesia") = -1.8958;
Shock tms("Mamin","Thailand","Indonesia") = -13.6526;
Shock tms("Mamin","Vietnam","Indonesia") = -10.1585;
Shock tms("Mamin","xSEAsia","Indonesia") = -11.1692;
Shock tms("Tekstil","Philippines","Indonesia") = -2.4273;
Shock tms("Tekstil","Thailand","Indonesia") = -1.0167;
Shock tms("Tekstil","Vietnam","Indonesia") = -1.9045;
Shock tms("Tekstil","xSEAsia","Indonesia") = -5.8323;
Shock tms("Pupuk","Philippines","Indonesia") = -1.9500;
Shock tms("Pupuk","Thailand","Indonesia") = -2.5093;
Shock tms("Pupuk","Vietnam","Indonesia") = -2.2501;
Shock tms("Pupuk","xSEAsia","Indonesia") = -5.6894;
Shock tms("Manufaktur","Philippines","Indonesia") = -1.5964;
Shock tms("Manufaktur","Thailand","Indonesia") = -2.6844;
Shock tms("Manufaktur","Vietnam","Indonesia") = -2.2865;
Shock tms("Manufaktur","xSEAsia","Indonesia") = -2.6637;
Shock tms("Jasa","Philippines","Indonesia") = 0.0000;
Shock tms("Jasa","Thailand","Indonesia") = 0.0000;
Shock tms("Jasa","Vietnam","Indonesia") = 0.0000;
Shock tms("Jasa","xSEAsia","Indonesia") = 0.0000;
Lampiran 5 Guncangan/Shock simulasi 2 Liberalisasi penuh
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
50
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Lampiran 6 Guncangan/shock simulasi 3a (subsidi benih)
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock to("Padi","Indonesia") = 40.92;
Lampiran 7 Guncangan/Shock simulasi 3b (subsidi pupuk)
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
51
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock to("Pupuk","Indonesia") = 0.57;
Lampiran 8 Guncangan/shock simulasi 3c (subsidi kredit)
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Indonesia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock to("Padi","Indonesia") = 7;
Shock to("Beras","Indonesia") = 7;
Lampiran 9 Guncangan/shock simulasi 4 Proteksi Penuh
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Indonesia","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Philippines","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Thailand","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"Vietnam","xSEAsia") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Philippines") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Thailand") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms(TRAD_COMM,"xSEAsia","Vietnam") = target% 0 from file tms.shk;
Shock tms("PanganLain","Philippines","Indonesia") = 0.0000;
52
Shock tms("PanganLain","Thailand","Indonesia") = 0.0000;
Shock tms("PanganLain","Vietnam","Indonesia") = 0.0000;
Shock tms("PanganLain","xSEAsia","Indonesia") = -0.0008;
Shock tms("TaniTernak","Philippines","Indonesia") = -0.2255;
Shock tms("TaniTernak","Thailand","Indonesia") = -0.3922;
Shock tms("TaniTernak","Vietnam","Indonesia") = -0.2623;
Shock tms("TaniTernak","xSEAsia","Indonesia") = -0.7967;
Shock tms("Tambang","Philippines","Indonesia") = -0.8897;
Shock tms("Tambang","Thailand","Indonesia") = -0.0208;
Shock tms("Tambang","Vietnam","Indonesia") = -0.0327;
Shock tms("Tambang","xSEAsia","Indonesia") = -0.0456;
Shock tms("Mamin","Philippines","Indonesia") = -1.8958;
Shock tms("Mamin","Thailand","Indonesia") = -13.6526;
Shock tms("Mamin","Vietnam","Indonesia") = -10.1585;
Shock tms("Mamin","xSEAsia","Indonesia") = -11.1692;
Shock tms("Tekstil","Philippines","Indonesia") = -2.4273;
Shock tms("Tekstil","Thailand","Indonesia") = -1.0167;
Shock tms("Tekstil","Vietnam","Indonesia") = -1.9045;
Shock tms("Tekstil","xSEAsia","Indonesia") = -5.8323;
Shock tms("Pupuk","Philippines","Indonesia") = -1.9500;
Shock tms("Pupuk","Thailand","Indonesia") = -2.5093;
Shock tms("Pupuk","Vietnam","Indonesia") = -2.2501;
Shock tms("Pupuk","xSEAsia","Indonesia") = -5.6894;
Shock tms("Manufaktur","Philippines","Indonesia") = -1.5964;
Shock tms("Manufaktur","Thailand","Indonesia") = -2.6844;
Shock tms("Manufaktur","Vietnam","Indonesia") = -2.2865;
Shock tms("Manufaktur","xSEAsia","Indonesia") = -2.6637;
Shock tms("Jasa","Philippines","Indonesia") = 0.0000;
Shock tms("Jasa","Thailand","Indonesia") = 0.0000;
Shock tms("Jasa","Vietnam","Indonesia") = 0.0000;
Shock tms("Jasa","xSEAsia","Indonesia") = 0.0000;
Shock tms("Beras","Philippines","Indonesia") = 99.0000;
Shock tms("Beras","Thailand","Indonesia") = 80.3171;
Shock tms("Beras","Vietnam","Indonesia") = 84.1955;
Shock tms("Beras","xSEAsia","Indonesia") = 81.7592;
Shock tms("Padi","Philippines","Indonesia") = 99.0000;
Shock tms("Padi","Thailand","Indonesia") = 80.5869;
Shock tms("Padi","Vietnam","Indonesia") = 99.0000;
Shock tms("Padi","xSEAsia","Indonesia") = 99.0000;
Download