BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN
DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teori
1. Pembelajaran Sejarah
a. Pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan
sebagai hasil pengalaman individu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya (Sumaadmadja, 2003:121). Menurut Leo Agung dan Sri
Wahyuni (2013:3) pembelajaran dapat diartikan sebagai proses kerja sama
antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang
ada, baik potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri maupun
potensi yang ada di luar diri siswa sebagai upaya untuk mencapai tujuan
belajar tertentu. Kegiatan pembelajaran sebagai suatu sistem mengandung
sejumlah komponen yang meliputi tujuan, bahan pembelajaran, kegiatan
belajar pembelajaran, metode, media atau alat peraga, sumber, dan evaluasi.
Winkel (1991:21) menyatakan pembelajaran adalah seperangkat
tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar siswa, dengan
memperhitungkan kejadian-kejadian ekstrim yang berperan terhadap
rangkaian kejadian-kejadian intern yang berlangsung dialami siswa.
Sementara menurut Gagne dalam Eveline dan Hartini (2014:12),
11
12
mendefinisikan pembelajaran sebagai pengaturan peristiwa secara seksama
dengan maksud agar terjadi belajar dan membuatnya berhasil dan berguna.
Pada pengertian lainnya, Winkel (1991:23) mendefinisikan pembelajaran
sebagai pengaturan dan penciptaan kondisi-kondisi ekstern sedemikian rupa,
sehingga menunjang proses belajar siswa dan tidak menghambatnya.
Belajar adalah suatu proses yang aktif, maksud aktif disini ialah
seseorang yang mengikuti kegiatan belajar akan ikut serta dalam proses itu
secara aktif. Orang yang belajar itu mempelajari apa yang sedang
dilakukannya, apa yang dirasakannya dan apa yang sedang dipikirkannya.
Dari proses belajar tersebut akan ada tanggapan atau reaksi terhadap apa
yang sedang terjadi sewaktu proses belajar. Jika tidak ada reaksi atau
tanggapan maka tidak ada hasil dari proses belajar tersebut.
Dimyati & Mudjiono (2013: 7) menyatakan bahwa bila seseorang
belajar maka akan terjadi perubahan mental pada orang tersebut. Belajar
merupakan tindakan dan prilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan,
maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Proses belajar terjadi berkat
siswa memperoleh sesuatu yang ada dilingkungan sekitar. Lingkungan yang
dipelajari oleh siswa berupa keadaan alam, benda-benda, hewan, tumbuhan,
manusia atau hal-hal yang dapat dijadikan sumber belajar.
Belajar menurut pandangan para ahli, menurut pandangan Skiner
belajar adalah suatu prilaku. Pada saat orang belajar maka responnya akan
menjadi lebih baik. Sedangkan dalam pandangan Gagne, belajar merupakan
suatu kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah
13
belajar orang memilki ketrampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai.
Timbulnya kapabilitas tersebut adalah dari stimulus yang berasal dari
lingkungan, dan proses kognitif yang dilakukan oleh pembelajar. Dengan
demikian, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat
stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas
baru. Berbeda dengan Gagne, menurut pandangan Piaget berpendapat
bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan
interaksi terus menerus dengan lingkungan. Lingkungan itu mengalami
perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi
intelektual semakin berkembang.
Sobri Sutikno (2014:11) dari beberapa ahli menyatakan proses belajar
pada siswa terjadi karena adanya serangkaian kegiatan yang disusun oleh
guru dalam bentuk pembelajaran. Pembelajaran merupakan salah satu tugas
utama guru. Pembelajaran menekankan pada proses, cara, perbuatan
menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Hal itu sesuai pendapat
Dimyati dan Mudjiono (2013:17) yang menyatakan pembelajaran dapat
diartikan juga sebagai kegitan yang ditunjukan untuk membelajarkan siswa.
Pandangan
lain
menurut
Winkel
(1991)
pembelajaran
merupakan
seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar
peserta didik, dengan diperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang
berperan terhadap rangkaian kejadian-kejadian internal yang berlangsung di
dalam perserta didik.
Proses pembelajaran seharusnya diselenggaran secara interktif,
14
inspiratif dalam suasana menyenangkan, menggairahkan dan memotivasi
siswa untuk berpartisipasi aktif, serta kemandirian sesuai dengan bakat,
minat dan perkembanagn fisik serta psikologis siswa. Sedangkan untuk
materi pembelajaran, materi pelajaran menjadi salah satu aspek terpenting
dalam sebuah proses pembelajaran karena menjadi inti dari proses itu. Hal
ini sebagaimana yang diungkapkan Wina Sanjaya (2008:141) bahwa
pentingnya materi pelajaran dalam pembelajaran, bahkan dalam pengajaran
yang berpusat pada materi pelajaran (subject-centred teaching), materi
pelajaran merupakan inti dari kegiatan pembelajaran. Materi pelajaran
(learning material) adalah segala sesuatu yang menjadi isi kurikulum yang
harus dikuasai oleh siswa sesuai dengan kompetensi dasar dalam rangka
pencapaian standar kompetensi setiap mata pelajaran dalam satuan
pendidikan tertentu. Materi pelajaran sendiri dibedakan menjadi 3 yaitu; 1)
pengetahuan (knowladge), 2) ketrampilan (skill), 3) sikap (atitude). Untuk
sumber materi pembelajaran yang dapat dimanfaatkan untuk proses
pembelajaran dapat berasal dari; tempat atau lingkungan, orang atau
narasumber dan objek. Objek atau benda merupakan sumber informasi yang
akan membawa siswa pada pemahaman yang lebih sempurna pada sesuatu.
Situasi yang memungkinkan terjadinya kegiatan belajar yang optimal
adalah situasi dimana peserta didik dapat berinteraksi dengan guru atau
bahan pengajaran di tempat tertentu yang telah diatur dalam rangka
tercapainya tujuan. Situasi ini dapat dioptimalkan dengan menggunakan
metode dan atau media yang tepat, agar dapat diketahui keefektifan kegiatan
15
belajar mengajar, maka setiap proses dan hasilnya harus dievaluasi. Belajar
mempunyai prinsip, yaitu perubahan tingkah laku, belajar merupakan
proses, belajar merupakan bentuk pengalaman (Suprijono, 2008: 4).
Berkaitan dengan sumber materi pembelajaran, dalam pembelajaran
konvensional sekarang ini tidak jarang guru memberikan buku teks sebagai
satu-satunya sumber belajar. Namun apakah buku pelajaran itu merupakan
satu-satunya sumber bahan belajar ? dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan, teknologi informasi, dan tuntutan kurikulum seperti pada
KTSP yang menuntut siswa agar tidak hanya sekedar menguasai informasi
teoritis, seharusnya guru mencari dapat mencari sumber alternatif lain yang
terdapat di sekitar kita.
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembelajaran secara
garis besar ada dua faktor, internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan
dengan pribadi guru sebagai pengelola kelas. Sedangkan faktor eksternal
berkaitan dengan kondisi yang timbul atau datang dari luar pribadi guru,
seperti keluarga dan lingkungan pergaulan di masyarakat.
Sedangkan untuk karakteristik pembelajaran menurut Edi Suardi
(dalam Basuki, 2012:9) adalah :
1) Pembelajaran memiliki tujuan yakni membentuk anak didik dalam suatu
perkembangan tertentu.
2) Ada suatu prosedur yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
3) Kegiatan pembelajaran ditandai dengan suatu materi khusus.
16
4) Ditandai dengan aktivitas anak didik.
5) Dalam kegiatan pembelajaran membutuhkan disiplin.
6) Ada batas waktu.
7) Ebaluasi.
Berdasarkan
uraian
di
atas
maka
dapat
disimpulkan
bahwa
pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan oleh guru/pendidik agar
terjadi proses belajar pada diri siswa/peserta didik. Siswa/peserta didik
dikatakan telah mengalami proses belajar jika ada perubahan prilaku pada
siswa/peserta didik tersebut, seperti; ketrampilan, pengetahuan, sikap, dan
nilai.
b. Pembelajaran Sejarah
Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang
asal-usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau
berdasarkan metode dan metodologi tertentu. Terkait dengan pendidikan di
sekolah dasar hingga sekolah menengah pengetahuan masa lampau tersebut
mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih
kecerdasan, membentuk sikap, watak dan keperibadian peserta didik
(Sapriyana, 2009:208).
Pada konteks akademis, sejarah merupakan suatu bidang ilmu atau
bidang studi yang memerlukan imajinasi kesejarahan yang kritis dalam
pengkajiannya. Hal ini dimaksudkan untuk menempatkan sejarah dalam
setting historis yang fenomenologis. Sejarah tidak selalu menyangkut past
event atau peristiwa-peristiwa masa lampau, tetapi juga berhubungan atau
17
menyangkut peristiwa-peristiwa mutakhir (current events) (Suyatno,
2000:31).
Belajar sejarah merupakan proses meningkatkan pemahaman siswa agar
mampu berpikir kritis sehingga dapat mengkaji setiap perubahan yang
terjadi di lingkungannya serta memiliki kesadaran akan perubahan sehingga
dapat menyikapi niai-nilai yang terkandung dalam setiap pristiwa sejarah.
Sedangkan pembelajaran sejarah yang baik adalah pembelajaran yang dapat
menumbuhkan kemampuan siswa dalam melakukan konstruksi kondisi
masa sekarang dengan mengkaitkan atau melihat masa lalu yang menjadi
basis topik pembelajaran sejarah. Agar tidak terjerumus pada pembelajaran
yang konservatif, kemampuan kontruksi ini harus dikemukakan secara kuat.
Wineburg (2001) mengungkapkan bahwa pembelajaran sejarah merupakan
proses internalisasi nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan kesejarahan
dari serangkaian peristiwa yang dirancang dan disusun sedemikian rupa
untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar peserta
didik.
Pendapat A. Arif Musadad (2011: 3) ada empat kegunaan yang dimiliki
dalam memperlajari sejarah, yaitu (1) guna edukatif, karena dapat
memberikan kearifan bagi yang mempelajarinya, (2) guna inspiratif, karena
dapat memberi inspirasi tentang gagasan dan konsep yang dapat digunakan
untuk memecahkan persoalan-persoalan masa kini, (3) guna rekreatif,
karena dengan membaca tulisan sejarah dapat seakan-akan melakukan
lawatan sejarah dengan menerobos batas waktu dan tempat menuju masa
18
lampau dan terlibat dalam peristiwa yang terjadi tersebut, dan (4) guna
instruktif, untuk menunjang bidang-bidang ketrampilan tertentu.
Mata pelajaran Sejarah Indonesia merupakan bagian dari mata pelajaran
kelompok A (wajib) yang diberikan pada jenjang pendidikan. Dengan
membaca dan mengakrabkan peserta didik dengan fakta-fakta sejarah secara
detail, maka pelajaran sejarah menjadi menarik dan dapat memberi
pengaruh kepada siswa. I Gde Widja dalam Setianto (2012: 497)
menyatakan bahwa pembelajaran sejarah adalah perpaduan antara aktivitas
belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari pristiwa masa lampau
yang erat kaitannya dengan masa kini.
Pengajaran sejarah yang merupakan wacana intelektual itu harus
menampilkan diri sebagai art, seni yang memberi kenikmatan intelektual.
Seni sebagai mode of discourse terpantul dalam sistematika penyajian kisah
dan gaya bahasa serta rasionalitas dalam pengajuan keterangan peristiwa.
Betapapun besarnya hasrat untuk memupuk aspirasi normatif tertentu,
strategi pendidikan sejarah sebaiknya dimulai dengan pemahaman bahwa
sejarah adalah sebuah corak wacana intelektual yang kritis dan rasional,
bukan khotbah yang memakai ilustrasi dengan kisah-kisah di masa lalu. Jika
patokan awal ini dipakai, maka ada beberapa tahap atau tingkat kematangan
intelektual yang dapat diterapkan kepada peserta didik. Di satu pihak dapat
menentukan tingkat pemahaman sejarah, dan dipihak lain dapat memberikan
tingkat kekhusussan pengetahuan kesejarahan. Kedua hal ini tentu saja
berakibat pada bentuk wacana yang akan dipakai dan tingkat kecanggihan
19
akademis dalam menerangkan peristiwa sejarah atau level of explanation
(Suyatno, 2000: 29-31).
Pendapat I Gede Widja (1989: 13) menyatakan jika pembelajaran
sejarah memiliki peran penting dan fundamental dalam kaitannya dengan
tujuan dari belajar sejarah, melalui pembelajaran sejarah dapat juga
dilakukan penilaian moral saat ini sebagai ukuran menilai masa lalu.
Berdasarkan pendapat I Gde Widja dalam pembelajaran sejarah dapat
dilakukan penilaian moral saat ini dan masa lalu,
Aman (2011: 73)
mengartikan pembelajaran sejarah sebagai proses yang menjadikan peserta
didik mampu mengaktualisasikan diri sesuai dengan potensi dirinya dan
menyadari keberadaannya untuk ikut serta dalam menentukan masa depan
yang lebih manusiawi bersama-sama orang lain. Mata pelajaran sejarah
berperan penting dalam rangka menumbuhkan rasa nasionalisme pada diri
siswa. Adapun standar isi menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006,
dikemukakan bahwa materi sejarah :
1) Mengandung
nilai-nilai
kepahlawanan,
keteladanan,
kepeloporan,
patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang
mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik.
2) Memuat khazanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk
peradaban bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan
pendidikan yang mendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan
peradaban bangsa Indonesia di masa depan.
20
3) Menanamkan kesadaran persatuan dan persodaraan serta solidaritas
untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi
bangsa.
4) Sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi
krisis multidimensial yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
5) Berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung
jawab dalam memelihara keseimbanan dan kelestarian lingkungan.
Kaitannya dengan pembelajaran sejarah, seharusnya guru sejarah juga
harus meningkatkan profesionalismenya. Adapun profesionalisme guru
sejarah tersebut ditandai dengan ciri seperti: (1) memiliki rasa percaya diri
yang mantap dan kuat. Guru sejarah harus bangga dengan profesi yang
diembannya. Mereka tidak merasa profesinya lebih rendah dari profesiprofesi lain, (2) pengetahuan kesejarahannya mantap, yaitu luas, mendalam,
relevan, dan update, (3) memiliki keterampilan yang tinggi terutama dalam
menerapkan prinsip-prinsip metodologi pembelajaran sejarah modern, (4)
selalu bersikap kreatif inovatif, yaitu selalu berusaha menemukan alternatifalternatif yang terbaik dalam mencapai sasaran pembelajaran yang bersifat
antisipasif terhadap tuntutan perkembangan, dan (5) mempunyai berbagai
karya jurnal (Suswandari, 2010: 36).
2. Tujuan Pembelajaran Sejarah
Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tujuan pembelajaran sejarah
di sekolah adalah agar siswa memperoleh kemampuan berpikir historis dan
pemahaman
sejarah.
Melalui
pembelajaran
sejarah
siswa
mampu
21
mengembangkan kompetensi untuk berpikir secara kronologis dan memiliki
pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan untuk memahami dan
menjelaskan proses perkembangan dan perubahan masyarakat serta keragaman
sosial budaya dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri bangsa di
tengah-tengah kehidupan masyarakat dunia. Pembelajaran sejarah juga
bertujuan agar siswa menyadari adanya keragaman pengalaman hidup pada
masing-masing masyarakat dan adanya cara pandang yang berbeda terhadap
masa lampau untuk memahami masa kini dan membangun pengetahuan serta
pemahaman untuk menghadapi masa yang akan datang (Pusat Kurikulum,
2006).
Adapun tujuan pembelajaran sejarah di SMA, menurut Permendiknas No.
22 Tahun 2006 menyatakan agar siswa memilki kemampuan sebagai berikut :
1) Membangaun kesadaran peserta didiktentang pentingnya waktu dan tempat
yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa
depan.
2) Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara
benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan.
3) Menumbuhkan
apresiasi
dan
penghargaan
peserta
didik
terhadap
peninggalan sejarah sebagai bukti perdaban bangsa Indonesia di masa
lampau.
4) Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya
bangsa Indonesia di masa lampau.
22
5) Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari
bangsa yang memilki rasa bangga dan cinta tanah air yang dpat
diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun
internasional.
Pendapat Leo Agung (2013: 56) menyatakan pengajaran sejarah disekolah
bertujuan agar siswa memperoleh kemampuan berpikir historis dan
pemahaman sejarah. Melalui pembelajaran sejarah siswa diharapkan mampu
mengembangkan kompetensi untuk berpikir secara kronologis dan memilki
pengetahuan masa lampau yang dapat digunakan untuk memahami dan
menjelaskan proses perkembangan dan perubahan masyarakat serta keragaman
sosial budaya dalam rangka menumbuhkan jati diri bangsa di tengah-tengah
masyarakat dunia. Sedangkan tujuan pembelajaran sejarah adalah :
1) Mendorong siswa untuk berpikir kritis analitis dalam memanfaatkan
pengetahuan tentang masa lampau untuk memahami kehidupan masa kini
dan yang akan datang.
2) Memahami bahwa sejarah merupakan bagaian dari kehidupan sehari-hari
3) Mengembangkan kemampuan intelektual dan ketrampilan untuk memahami
proses perubahan dan keberlanjutan masyarakat.
Pendidikan sejarah dalam hal ini memiliki peran yang sangat penting
terkait dengan patriotism. Sebagaimana yang diungkapkan oleh S. Hamid
Hasan (2011:54) bahwa salah satu konten atau isi dari pendidikan sejarah
adalah menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, revolusioner,
23
patriotik, dan nasionalisme. Berpijak pada uraian di atas maka dalam nilai
patriotisme terkandung antara lain:
-
Pengakuan dan penghargaan terhadap identitas bangsa Indonesia, seperti
bendera, lambing Negara, lagu kebangsaan, budaya bangsa, serta ideology
Negara.
-
Penerimaan terhadap prinsip-prinsip perbedaan dalam kehidupan seperti
kebhinekaan, tidak mementingkan suatu golongan, konsep Empat Pilar
Kebangsaan.
-
Menentang segala bentuk ketidakadilan, imperialisme, dan kolonialisme.
-
Kerelaan berkorban untuk bangsa dan Negaranya, kecintaan terhadap
tanah airnya, berjiwa patriotic dan cinta kebenaran.
3. Karakteristik Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran di kelas seharusnya sesungguhnya menggunakan landasan
konstruktivistik dengan strategi pembelajaran kontekstual yang merupakan
konsep belajar dimana guru membantu siswa mengaitkan materi yang akan
diajarkan dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari (Yamin, 2008: 151).
Inti dari pembelajaran sejarah adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai
kepahlawanan, kecintaan terhadap bangsa, jati diri, dan budi pekerti kepada
peserta didik. Melalui proses belajar sejarah bukan semata-mata menghafal
fakta, tetapi peserta didik juga dapat mengenal kehidupan pribadi dan
24
bangsanya dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan nasional dan
menanamkan semangat cinta tanah air dan jiwa patriotic (Sutianto, 2012: 483).
Setiap disiplin ilmu memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan
dengan disiplin ilmu-ilmu lain. Demikian juga dalam pembeljaran sejarah
memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa karakteristik pembelajaran
sejarah (Heri Susanto, 2014: 34) adalah sebagai berikut :
1) Pembelajaran sejarah mengajarkan tentang kesinambungan dan perubahan.
2) Pembelajaran sejarah mengajarkan tentang jiwa zaman.
3) Pembelajaran sejarah bersifat kronologis.
4) Pembelajaran sejarah pada hakekatnya adalah mengajarkan tentang
bagaimana prilaku manusia.
5) Kulminasi dari pembeajaran sejarah adalah memberikan pemahaman akan
hukum-hukum sejarah.
Jika menurut Heri Susanto ada lima poin yang menjadi karakteristik
pembelajaran sejarah, menurut Leo Agung karakteristik pembelajaran sejarah
adalah sebagai berikut :
1) Sejarah terkait dengan masa lampau. Masa lampau berisi pristiwa dan
pristiwa sejarah hanya terjadi satu kali. Jadi, pembelajaran sejarah adalah
pembelajaran pristiwa sejarah dan perkembangan masyarakat yang telah
terjadi. Sementara itu, materi pokok pembelajaran adalah produk masa kini
berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada. Karena itu, pembelajaran
sejarah harus lebih cermat, kritis, berdasarkan sumber-sumber, dan tidak
memihak menurut kehendak sendiri dan kehendak pihak-pihak tertentu.
25
2) Sejarah bersifat kronologis. Oleh karena itu, pengorganisasian materi pokok
pembelajaran sejarah haruslah didasarkan pada urutan kronologi pristiwa
sejarah.
3) Dalam sejarah ada tiga unsur penting, yakni manusia, ruang, dan waktu.
Dengan demikian, dalam mengembangkan pembelajaran sejarah harus
selalu diingat siapa pelaku pristiwa sejarah, di mana dan kapan.
4) Perspektif waktu merupakan dimensi yang sangat penting dalam sejarah.
Sekalipun sejarah itu erat kaitannya dengan masa lampau, waktu lampau itu
terus berkesinambungan sehingga perspektif waktu dalam sejarah antara
lain masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Pemahaman ini
penting bagi guru sehingga dalam mendesain materi pokok pembelajaran
sejarah dapat dikaitkan dengan persoalan masa kini dan depan.
5) Sejarah adalah prinsip sebab-akibat. Hal ini perlu dipahami oleh setiap guru
sejarah, bahwa dlam merangkai fakta yang satu dengan yang lain, dlam
menjelasakan pristiwa sejarah yang satu dengan yang lain perlu mengingat
prinsip sebab-akibat. Pristiwa yang satu disebabkan oleh pristiwa yang lain
dan pristiwa sejarah yang satu akan menyebabkan pristiwa sejarah yang
berikutnya.
6) Sejarah pada hakikatnya adalah suatu pristiwa sejarah dan perkembangan
masyarakat yang menyangkut berbagai aspek kehidupan seperti politik,
ekonomi, sosial, budaya, agama, keyakinan, dan oleh karena itu, memahami
sejarah dengan pendekatan multidimensial sehingga dalam pengembangan
26
materi pokok dan uraian materi pokok untuk setiap topik haruslah dilihat
dari berbagai aspek.
4. Kurikulum
Kurikulum secara estimologis berasal dari bahasa latin currere yang
berarti
to
run
(menyelenggarakan)
atau
to
run
the
course
(menyelenggarakan suatu pengajaran) (Hidayat, 2011:2). Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu
(Depdiknas, 2003). Dalam pengertian ini menunjukkan dua dimensi
pokokkurikulum yaitu produk dan proses yang keseluruhan mencakup aspek
materi (content), pengalaman siswa (experience), tujuan kegiatan belajarmengajar (objectives), dan hasil kegiatan belajar-mengajar (outcomes)
(Silverius, 2004: 27).
Berdasarkan pengertian kurikulum di atas terdapat beberapa hal yang
dapat disimpulkan mengenai arti kurikulum. Pertama, kurikulum dapat
dipandang sebagai produk, artinya menunjukkan satu dokumen hasil
perencanaan, pengembangan, dan konstruksi dari materi pembelajaran.
Kedua, kurikulum sebagai program yaitu meliputi semua peristiwa yang
direncanakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Ketiga, kurikulum sebagai
kegiatan belajar, artinya mementingkan suatu proses yaitu bagaimana
peserta didik belajar dan bagaimana hasilnya. Keempat, kurikulum sebagai
27
pengalaman yaitu merupakan sesuatu yang sungguh-sungguh dilakukan
meliputi semua unsur pengalaman peserta didik.
Hakikat dari kurikulum ialah rencana awal yang dibuat untuk
membimbing, mengayomi, dan mendisiplinkan anak belajar di sekolah,
disajikan dalam bentuk dokumen yang mudah ditemukan, disusun
berdasarkan pada tingkat-tingkat generalisasi dan perkembangan peserta
didik, dapat diamati oleh pihak yang tidak berkepentingan sekalipun, dan
membawa misi perubahan tingkah laku. Kurikulum sebagai suatu bentuk
rencana yang harus fleksibel agar bisa memberi kemungkinan setiap saat
untuk dilakukan perbaikan seperlunya dalam proses implementasinya.
Kurikulum sebagai suatu bentuk dokumen harus memberikan petunjuk yang
cukup rinci mengenai berbagai hal yang perlu dilakukan oleh kepala sekolah
dan guru serta dapat disimpan dalam dalam perangkat computer yang bisa
diakses oleh berbagai pihak melalui jaringan internet.
Menurut Hamalik (2006: 23), “Kurikulum sebagai suatu sistem
keseluruhan memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan antara
satu dengan yang lainnya yaitu tujuan, materi, metode, organisasi, dan
evaluasi”. Komponen tujuan, di dalam kurikulum suatu sekolah ada dua
jenis, yaitu tujuan yang ingin dicapai sekolah secara keseluruhan dan tujuan
yang ingin dicapai disetiap bidang studi. Komponen materi, merupakan
bahan pengajaran yang ditetapkan atas dasar tujuan-tujuan yang ingin
dicapai dalam bidang studi yang bersangkutan. Komponen metode, yaitu
28
cara penyampaian materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan
kurikulum.
Kurikulum mata pelajaran sejarah untuk tingkat SMA mengacu kepada
prinsip fleksibel, yang rancangan pembelajarannya memperhatikan peserta
didik dalam memahami masa lampaunya agar mampu menghadapi
persoalan hidupnya di masa kini, juga memperhatikan di mana siswa
berada, dan mengingat kepada potensi atau kemampuannya yang berbeda
(Sukmadinata,
2003:
150).
Prinsip
ini
dapat
dilakukan
dengan
memanfaatkan ruang lingkup bahan pelajaran sejarah lokal, sejarah
nasional, dan sejarah umum yang cakupannya cukup luas melalui rentangan
ruang dan waktu.
Pembelajaran sejarah di SMA, dilihat dari tujuan dan penggunaannya,
dapat dibedakan atas sejarah empiris dan sejarah normative. Sejarah empiris
menyajikan subtansi kesejarahan yang bersifat akademis (untuk tujuan yang
bersifat ilmiah). Sejarah normative menyajikan substansi kesejarah yang
dipilih menurut ukuran nilai dan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Penelitian ini mengintegrasikan nilai-nilai patriotisme dalam kajian biografi
Sultan Mahmud Badaruddin II dalam pembelajaran sejarah agar melalui
kajian tersebut siswa dapat memahami nilai-nilai patriotisme terhadap
bangsa yang terimplementasikan dalam bentuk tindakan dan prilaku siswa,
dan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang telah direncanakan
dalam kurikulum. Sikap ini dapat terbentuk apabila siswa memahami makna
mempelajari sejarah. Dengan demikian peran guru sangat penting dalam
29
menentukan persepsi siswa terhadap pentingnya memahami dan menghargai
sejarah, serta mampu memaknai nilai-nilai sejarah di masa lalu dan
menyesuaikannya
dengan
nilai-nilai
tersebut
pada
kehidupannya
bermasyarakat.
Kesultanan Palembang ialah salah satu kerajaan bercorak Islam yang
ada di lingkungan Sumatera Selatan. Pada silabus dan RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran) materi yang khusus mempelajari Kesultanan
Palembang bersifat influisif, tetapi masuk pada materi pokok ciri-ciri pokok
sistem dan struktur sosial masyarakat di kerajaan-kerajaan bercorak Islam di
berbagai daerah dan ada pada indikator mengidentifikasi ciri-ciri pokok
sistem dan struktur sosial masyarakat di kerajaan-kerajaan bercorak Islam di
berbagai daerah.
Pada pembahasan tokoh Sultan Mahmud Badaruddin II menjadi
penambahan materi guru mata pelajaran untuk khazanah keilmuan sejarah
lokal agar siswa mengetahui sejarah dan nilai-nilai terkandung dalam
pembelajaran sejarah dalam kajian biografi Sultan Mahmud Badaruddin II.
5. Nilai Patriotisme
a. Konsep Nilai
Nilai-nilai merupakan bagian dari keutamaan dan menjadi bagian
hakiki, yang mesti menjadi pertimbangan ketika pendidik ingin mendesain
pendidikan karakter. Dalam sejarah pendidikan, masyarakat melihat bahwa
pendidikan karakter seringkali dimaknai sebagai sebuah proses penanaman
nilai-nilai dan keutamaan dalam diri anak sehingga para siswa kita mampu
30
melaksanakan
nilai-nilai
tersebut
agar
dapat
menjadi
individu
berkeutamaan. Untuk itulah, sering kali tercampur baur diskusi dan wacana
pendidikan nilai dengan beberapa istilah lain, seperti pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan agama, etika, dan sopan santun.
Istilah-istilah demikian memang termasuk dalam bagian penting dalam
pendidikan karakter. Nemun masing-masing dari istilah itu memiliki
pengertian yang berbeda (Albertus, 2010: 193-205).
Secara garis besar nilai dibagi dalam dua kelompok besar yaitu nilai
nurani (values of being) dan nilai memberi (values of giving), nilai nurani
adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian menjadi prilaku serta
cara kita memperlakukan orang lain. Nilai yang termasuk di dalamnya
adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, pengendalian diri, potensi,
disiplin, tahu batas, kemurnian dan kesesuaian. Sedangkan nilai memberi
adalah nilai yang perlu dipraktekan atau diberikan, kemudian diterima
sebanyak yang diberikan. Yang termasuk dalam nilai memberi adalah setia,
dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, baik hati, ramah, adil
dan murah hati. Nilai adalah suatu yang abstrak, namun di dalam
masyarakat memilki nilai-nilai satu sama lain berbeda yang tercermin dari
tingkah laku.
Hal itu senada dengan apa yang disimpulkan oleh Kosasih Djahiri,
(1983:8) mengenai nilai yang merupakan sistem keyakinan yang menjadi
standar dan kerangka acuan yang menjadi milik seseorang mengenai baik
dan buruk, adil dan tidak adil dan berharga atau tidak berharga.
31
Menurut Fukuyama (dalam Salim, 2007: 25) dalam hal pembentukan
tatanan nilai, nilai-nilai sebenarnya merupakan pengendapan pola berpikir
rasional manusia yang dapat muncul secara spontan. Manusia yang dinamis
melahirkan hubungan interaktif dengan lingkungan yang mendukungnya ke
arah masa depan. Kesadaran akan kebebasan harus melahirkan sikap dan
tanggung jawab dan bila seseorang menginginkan hidup yang damai dan
harmonis, harus ada toleransi dan tanggung jawab bersama.
Faitar (2009: 21) menjelaskan perbedaan sebagai pembelajaran dalam
hidup bermasyarakat. Hal ini dilihat dari pernyataan sebagai berikut:
“The different cultures, societies and religions emphasize the importance of
educating members of an international community in such a way that they
may become better representatives and avtive exponents of a global future”.
Perbedaan budaya, social, dan agama menjadi hal yang penting dalam
pembelajaran
dengan
mengutamakan
nilai
dasar
humanistic
yang
mengarahkan hidup untuk menghargai perbedaan kebangsaan, usia, jenis
kelamin, dan kepercayaan spiritual.
Penanaman sikap dan nilai hidup melalui pendidikan formal perlu
direncanakan dan dirancang secara matang. Direncanakan dan dirancang
tentang nilai-nilai apa saja yangakan diperkenalkan, metode dan kegiatan
apa yang dapat digunakan untuk menawarkan dan menanamkan nilai-nilai
tersebut. Nilai-nilai hidup yang diperkenalkan dan ditanamkan merupakan
realitas yang ada dalam masyarakat (Zuriah, 2007: 38-39).
32
Sedangkan untuk sifat dari nilai, Kosasih Djahiri (1983: 3-8)
mengemukakan bahwa nilai itu ideal dan sifatnya sama dengan ide, karena
ia abstrak. Pengertian abstrak ini tidak dapat dilihat atau ditangkap oleh
panca indera. Maka nilai bukan sekedar benar atau salah, karena sifat nilai
itu nisbi, sehingga dapat
mudah terjadi perbedaan penilaian. Nilai
ditentukan oleh suatu objek dan nilai merupakan sesuatu yang dihayati oleh
seseorang untuk memilih mana yang penting, tidak benar dan tidak baik.
Nilai diperoleh dan berkembang karena pengaruh kebudayaan, lingkungan,
masyarakat dan yang akan memberi arah yang diwujudkan pada seseorang
dalam bersikap dan berprilaku.
Berdasarkan uraian menurut para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa nilai adalah sesuatu kebudayaan atau sikap yang abstrak karena tidak
dapat dirasa oleh panca indra, berharga karena menjadi sistem keyakinan
yang menjadi dasar penentu prilaku seseorang, dan mengandung harapan
atau suatu hal yang diingini manusia, yang menjadikan nilai bersifat
normatif yang diwujudkan dalam sikap dan prilaku.
b. Patriotisme
Nilai patriotisme menjadi sangat penting karena dalam pengaruh
kebudayaan luar yang mulai berkembang berimbas pada amnesia history,
tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara semakin mudah dipengaruhi
oleh budaya luar yang lebih banyak telah menggerogoti nilai-nilai
patriotisme. Patriotisme sering disamakan atau digabungkan dengan sikap
nasionalisme.
33
Secara substansial patriotisme adalah sikap rela berkorban serta
kepeloporan terhadap bentuk perlawanan terhadap kolonialisme dan
sekaligus memuat prinsip-prinsip atau nilai-nalai yaitu kesatuan, kebebasan,
persaudaraan dan hasil usaha. Patriotisme adalah sikap yang berani, pantang
menyerah dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Patriotisme berasal
dari kata “patriot” dan “isme” yang berarti sikap kepahlawanan atau jiwa
pahlawan, atau “heroism” dan dalam bahasa inggris “patriotism” (Jurnal
RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M. Psi. Jakarta, 18 Februari 2004).
Syafrial mendefinisikan bahwa patriotisme merupakan sikap yang
berani, pantang menyerah dan rela berkorban demi bangsa dan negara
(Syafrial, Lentera, Vol.2, No.04, 2011: 99). Berdasarkan definisi tersebut
dapat dirumuskan indikator sikap patriotisme sebagai berikut:
1) Sikap yang Berani
Menurut Irons (2003: 5) keberanian merupakan suatu tindakan
memperjuangkan sesuatu yang dianggap penting dan mampu
menghadapi segala sesuatu yang dapat menghalanginya meskipun
terdapat halangan karena percaya kebenarannya. Pemikiran tersebut
sejalan
dengan
mendefinisikan
Peterson
keberanian
dan
Seligman
sebagai
(2004:
kekuatan
199)
yang
emosional
yang
melibatkan keinginan untuk mencapai tujuan pribadi walaupun
terdapat halangan baik yang bersifat internal maupun eksternal dalam
pencapaiannya.
34
Adapun pengertian keberanian menurut Paul Findley (1995: 10)
adalah sifat mempertahankan dan memperjuangkan sesuatu yang
dianggap benar dengan menghadapi segala bentuk bahaya, kesulitan,
kesakitan, dan lain-lain. Seseorang yang berjiwa patriotisme mampu
mengendalikan ketakutan dan bertindak selaras dengan rasa kewajiban
atau putusan rasional. Sikap yang berani ditunjukkan dengan
tingginya rasa percaya diri. Percaya diri merupakan keyakinan dalam
diri seseorang untuk dapat menangani segala sesuatu dengan tenang
(Thursan Hakim, 2002: 4).
2) Pantang Menyerah
Pantang menyerah adalah sebuah wujud kepribadian seseorang
yang gigih, tanpa bosan bangkit dari satu kegagalan ke kegagalan
yang lain dan akhirnya mencapai keberhasilan (Anis Matta, 2004: 61).
Euis Sunarti (2005: 70) mendefinisikan pantang menyerah adalah
memperjuangkan tujuan hingga berhasil dan keadaan yang diinginkan
menjadi kenyataan. Patriot yang pantang menyerah tidak mudah
mengeluh, bekerja keras, gigih, tekun, dan bersungguh-sungguh.
Sikap pantang menyerah berkaitan erat dengan kemampuan
menjaga motivasi diri. Hal tersebut sesuai dengan fungsi dari motivasi
sebagai pendorong manusia untuk berbuat, penentu arah perbuatan,
penyeleksi perbuatan yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa
yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan
menyisihkan tujuan-tujuan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut
35
(Sardiman, 2006:85). Sedangkan definisi dari motivasi adalah
keinginan yang terdapat pada seorang individu yang merangsang
untuk melakukan tindakan (Winardi, 2000: 312).
3) Rela Berkorban demi Bangsa dan Negara
Rela berkorban adalah kesediaan dengan
ikhlas
untuk
memberikan segala sesuatu yang dimilikinya sekalipun menimbulkan
penderitaan bagi dirinya sendiri demi kepentingan bangsa dan negara
(Simanjuntak: 2007: 30). Sesuatu yang dimiliki tersebut dapat berupa
waktu, tenaga, pikiran, bahkan badan dan nyawanya sendiri. Rela
berkorban artinya kesediaan untuk mengalami penderitaan atau
siksaan demi kepentingan atau kebahagiaan orang lain maupun orang
banyak (Anis Matta, 2004: 61). Seorang patriot akan mengorbankan
semua yang dimilikinya tersebut demi orang lain, demi rakyat, demi
kesejahteraan negaranya.
Setia kawan merupakan salah satu bentuk dari rela berkorban karena
mengandung aspek-aspek solidaritas, empati dan bukan sebaliknya tak acuh,
masa bodoh dengan orang lain atau egois. Solidaritas adalah kata lain dari
kasih, yang menggerakkan kaki, tangan, hati dan seluruh kepribadian
manusia. Tujuan dari solidaritas adalah berbagi kehidupan dengan sesama
yang menderita, dan menolong kebangkitannya untuk memperoleh
kebebasan, keadilan, dan hak serta martabatnya (I. Sandyawan Sumardi,
2005: 87).
36
Patriotisme memiliki perbedaan dengan nasionalisme. Nasionalisme
lebih bernuansa dominasi, superioritas atas kelompok bangsa lain,
sedangkan patriotisme lebih menekankan pada dua hal yaitu blind and
constructive patriotism yaitu patriotisme buta dan patriotisme konstruktif.
Patriotisme konstruktif menurut pendapat ini adalah sebuah keterikatan
bangsa dan negara dengan ciri khas mendukung adanya kritik dan
pertanyaan
dari
anggotanya
terhadap
barbagai
kegiatan
yang
dilakukan/terjadi sehingga diperoleh suatu perubahan positif terhadap
barbagai kegiatan yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan bersama
(Blank, 2003 : 76).
Berdasarkan pendapat
di
atas,
dijelaskan bahwa patriotisme
merupakan bentuk kerelaan atas sikap yang dimiliki sebagai sebuah ikatan
dari warga negara untuk bersikap ikhlas berkorban demi kelompok atau
ikatan sebagai warga dan bagian masyarakat. Ketika makna secara umum
didefinisikan, kata patriotisme sebagai bentuk kerelaan berkorban demi nusa
dan bangsa dalam berperang menghadapi lawan. Namun ketika negara ini
telah merdeka, maka patriotisme bernuansa lain, yakni sebagai bentuk
kerelaan untuk mengabdi kepada kepentingan negara dan bangsa atau dalam
ikatan kelompok dalam masyarakat (Sarijo, 2010 : 14).
Pendapat lain, patriotisme merupakan sebuah keterkaitan (attachment)
seseorang pada kelompoknya (suku, bangsa, partai politik) dan lain
sebagainya. Keterkaitan ini nampak dalam hal kerelaan atas ikatan
seseorang dalam mengidentifikasikan dirinya pada suatu kelompok sosial
37
agar menjadi sebuah sikap loyal atau kesetiaan. Lahirnya patriotisme dan
nasionalisme tidak dapat dilepaskan dari cita-cita kemerdekaan dan harga
diri manusia yang telah diwariskan atau juga diterapkan oleh pendahulu
bangsa ini. Cita-cita kemerdekaan inilah yang mendorong lahirnya negara
dan bangsa. Dalam setting patriotisme dan nasionalisme tersebut
mengungkapkan bahwa selama berabad-abad dahulu kesetiaan orang
ditunjukkan kepada negara, berbangsa, organisasi politik, raja feodal, suku,
negara kota, kerajaan dinasti dan golongan (Staub, 1997 : 65).
Sedangkan menurut Muhammad Hatta (dalam Djumarwan, 2000: 18)
menjelaskan bahwa nasionalisme sebagai paham yang tidak ditentukan oleh
bangsa yang sama dan agama yang serupa, melainkan kemampuan untuk
bersatu. Dimana ada kemauan untuk bersatu dalam perikatan yang bernama
bangsa, maka diwaktu itulah timbul nasionalisme. Jadi pengertian
nasionalisme merupakan suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat bahwa rakyat
adalah suatu golongan dan satu bangsa yang kemudian orang berupaya
untuk mempersatukan persamaan itu dan berniat untuk membentuk suatu
nation state atau negara bangsa.
Patriot berarti pecinta atau pembela tanah air, sedangkan patriotisme
adalah semangat cinta tanah air, yaitu sikap seseorang yang bersedia
mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah
airnya (Lukman Ali, 1995 : 737). Sikap patriotisme berkaitan dengan cara
pandang terhadap negara dan bangsa. Kita mengetahui bahwa indonesia
merupakan suatu kesatuan yang utuh, yaitu kesatuan politik; sosial budaya;
38
ekonomi; dan pertahanan keamanan.hal tersebut merupakan esensial dan
falsafah negara yaitu pancasila dan UUD 1945 (Muadjat, 1991: 24).
Dinamisasi rasa kebangsaan dalam upaya mencapai cita-cita bangsa
tumbuh menjadi wawasan kebangsaan. Rasionalisasi rasa dan wawasan
kebangsaan akan melahirkan suatu paham yang disebut paham patriotism.
Paham patriotism adalah gagasan-gagasan, pikiran-pikiran yang bersifat
nasional. Berdasarkan rasa dan paham patriotisme tersebut timbul semangat
kebangsaan, yaitu kerelaan berkorban untuk kepentingan tanah air sebagai
wujud dari patriotisme.
Guru perlu memiliki sikap patriotisme yang kuat. Hal ini disebabkan
sebagai posisi guru seperti halnya pendidikan, merupakan sektor yang amat
penting dan strategis bagi pemerintah, keluarga, dan individu dalam
kapasitasnya masing-masing. Hal tersebut berarti bahwa perencanaan
pendidikan selain harus mampu mengakomodasi aspirasi pendidikan yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat; memperhatikan relevansinya
dengan kebutuhan masyarakat, berorientasi pada ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sedang dan akan berkembang, juga perlu memperhatikan
keutuhan bangsa dan negara (Nining kristanti, 2011: 26).
Selanjutnya, dikemukakan bahwa jiwa nasionalisme dan patriotisme
menyatu dalam suatu sumber energi untuk menjayakan bangsa, mengelola
tanah air demi kemajuan dan kemakmuran bersama. Jiwa nasionalisme
dimiliki setiap bangsa di dunia, baik negara kuat maupun negara lemah,
negara besar maupun negara kecil. Lebih lanjut dikemukakan bahwa jiwa
39
patriotisme adalah jiwa cinta dan kesetiaan sesama bangsa dan jiwa cinta
dan kesetiaan terhadap tanah air (Roeslan Abdoelgani, 1998: 13).
Jiwa patriotisme tidak dapat dibeli atau dipisahkan. Dia akan tumbuh
sendiri atas dasar kesadaran dan penuh rasa tanggung jawab. Kesadaran
akan identitas nasional merupakan unsur-unsur dasar dari patriotisme. Jiwa
nasionalisme dan patriotisme tidak pernah menjadi usang dan kolot, dan
selalu relevan sepanjang masa. Pada negara maju, nasionalisme dan
patriotisme tetap dikembangkan sekalipun gejala saling ketergantungan
semakin menonjol, kerjasama antar negara tumbuh dimana-mana serta
paham kewilayahan ada diberbagai kawasan dunia. Jiwa patriotisme dan
nasionalisme tercermin dalam sikap mandiri, meningkatkan kualitas
manusia.
Selanjutnya, Ruslan Abdoelgani (1998: 13) menyebutkan bahwa
patriotisme memiliki tiga unsur pokok, yaitu : (1) merupakan iman terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, (2) hasrat untuk mengelola tanah air dengan
kekayaan alamnya, (3) kesediaan membela tanah air. Lebih lanjut dikatakan
bahwa ilmu sejarah merupakan salah satu sumber jiwa patriotisme dan
nasionalisme mempunyai peranan penting dalam menggerakkan sejarah.
Yaitu merupakan dorongan bagi semangat perjuangan untuk mewujudkan
cita-cita nasional.
Membina patriotisme berarti membina semangat membela Negara
yang diimplementasikan berupa pendidikan dengan pembe;ajaran biografi
para pahlawan. Semangat patriotisme dalam bentuknya yang lain adalah
40
dorongan dan motivasi yang tinggi dalam mengejar dan mencitakan
kemajuan serta kesejahteraan bangsa. Semangat kebangsaan mampu
menegakkan semua aktivitas yang dapat menempatkan negara dan bangsa
Indonesia di dalam era globalisasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas yang dimaksud patriotisme adalah
kecintaan dan pengabdian dari setiap warga negara terhadap Negara yang
menjadi tumpah darahnya, kecintaan terhadap Negara secara langsung akan
membat kecendrungan seseorang bersikap positif dalam hal memerihara
fasilitas negara, berprilaku, dan berpikir.
6. Sultan Mahmud Badaruddin II
Sultan Badaruddin II mewarisi tahta dari ayahnya Sultan Muhamad
Bahauddin pada 1804. Secara ekonomi dan politik, Kesultanan Palembang
pada waktu itu berada dalam kondisi mapan dan stabil. Di bidang ekonomi,
sejak akhir abad XVIII Palembang mengalami keuntungan besar melalui
perdagangan gelap. Hal itu disebabkan lemah dan kemudian hancurnya armada
laut VOC, sehingga tidak mampu melakukan pengawasan di perairan di
Palembang khususnya di Selat Bangka. Kondisi itu dimanfaatkan secara
maksimal oleh sultan untuk mengeruk keuntungan dengan mengabaikan
setoran wajib ke Batavia sesuai kontrak. Situasi menguntungkan itu terus
berlangsung, sehingga pada masa pemerintahan Daendels (1808-1811) semua
peraturan tentang perdagangan yang diterapkan semasa VOC dihapuskan. Pada
masa ini kondisi Palembang ditinjau dari segi politik dalam keadaan stabil
(ANRI, Bundel Palembang No. 19). Pada masa mudanya, Sultan Badaruddin
41
II yang bergelar Pangeran Ratu belum menunjukkan sifat-sifat kedewasaannya.
Ia memiliki sifat mudah tersinggung, kurang tertarik pada urusan
pemerintahan, dan sering berlindung di belakang para bangsawan dan para
pembantunya. Sewaktu Sultan Bahauddin wafat, Pangeran Ratu diangkat
menjadi sultan dengan gelar Sultan Ratu Mahmud.
Badaruddin II dan adiknya Pangeran Adi Menggala diangkat menjadi
Pangeran Adipati. Pengangkatan itu sesuai dengan ketentuan bahwa yang
berhak naik tahta adalah putera mahkota. Akan tetapi, tampaknya Pangeran
Adipati kurang berkenan atas pengangkatan tersebut. Hal itu mendapat
dukungan dari sekelompok orang, yang kemungkinan adalah golongan
bangsawan (ANRI, Bundel Palembang No. 38.1). Gelar „Pangeran Adipati‟
dalam beberapa naskah Melayu berarti „Menteri Pertama‟ atau „Perdana
Menteri‟. Di Kesultanan Palembang, Pangeran Adipati berarti pejabat pertama
kerajaan (Bataviaasch Courant, Sabtu, 4 Agustus 1821).
Sejak Sultan Badaruddin II naik tahta, pihak Belanda terus berusaha
mendekati Sultan, agar kontrak-kontrak yang telah disetujui sebelumnya
dengan para pendahulu Sultan dapat diamankan. Salah satu langkah yang
mereka tempuh adalah dengan memberikan berbagai informasi kepada Sultan
Badaruddin
II,
misalnya
tentang
adiknya,
Pangeran
Adipati,
yang
membangkang dan masalah lain yang berkaitan dengan perdagangan. Mereka
tetap ragu tentang masa depan hubungan kedua bangsa. Mereka mencurigai
sultan sebagai orang yang tidak patuh terhadap pemerintah kolonial.
Berdasarkan surat-surat Residen Belanda di Palembang kepada Gubernur
42
Jenderal di Batavia, dinyatakan bahwa Sultan Badaruddin II berupaya untuk
melepaskan diri dari pemerintah kolonial. Dibuktikan dengan hasil pengamatan
terhadap dari sikap-sikap sultan, yang menunjukkan keengganan untuk
menjalin hubungan harmonis dengan mereka. Terlihat pula dari pelanggaran
terhadap kontrak yang telah disepakati sebelumnya antara sultan Palembang
dan Kompeni. Kontrak terakhir antara Palembang dan Belanda terjadi pada
1791 dan faktanya Sultan Badaruddin II tetap melakukan pelanggaran. Kontrak
1791 menyebutkan antara lain bahwa VOC adalah pemegang monopoli timah
dan lada di Kesultanan Palembang, larangan keras bagi kapal-kapal asing
untuk berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Palembang, dan perdagangan gelap
harus dicegah (Farida, 2012: 51).
Tampaknya ada usaha pihak Belanda untuk membenahi berbagai
pelanggaran terhadap isi kontrak yang ada, namun tidak mendapat respon dari
Sultan. Dalam konteks ini, mereka malah membandingkan antara Sultan
Badaruddin II dan ayahnya. Dapat diketahui dari pernyataan Residen Aartquim
Palm yang membandingkan Sultan Badaruddin II dengan ayahnya.
Menurutnya, Sultan Muhamad Bahauddin sangat baik, tidak ada yang mampu
menyamainya (ANRI, Bundel Palembang No. 38.1). Kebaikan Sultan
Bahauddin tentunya tidak terlepas dari
hubungan baik yang terjalin
antarkeduanya, namun sikap-sikap yang ditunjukkan oleh Sultan Badaruddin II
membuat mereka meragukan tetap terbinanya hubungan yang ada.
Sebagai contoh, semasa Sultan Badaruddin II masih sebagai Pangeran
Ratu, terjadi peristiwa penjarahan terhadap kapal Belanda yang mengangkut
43
kebutuhan bahan oleh penduduk Palembang. Residen melaporkan peristiwa
tersebut kepadanya, akan tetapi laporan itu tidak dihiraukan, sehingga harus
diserahkan kepada Sultan Bahauddin II. Setelah naik tahta, Sultan Badaruddin
II dalam usia 38 atau 39 tahun, usia yang cukup matang untuk memegang
tampuk pemerintahan atas Kesultanan Palembang. Sultan cepat belajar
mengenai segala sesuatu tentang pemerintahan di Kesultanan itu, dan Sultan
mampu melaksanakan pemerintahan dengan baik. Dia dikenal sebagai sultan
yang sangat teguh pada pendiriannya. Akan tetapi di sisi lain, putra mahkota
sultan yang bergelar Pangeran Ratu melemahkan citra pemerintahannya karena
tingkah lakunya yang buruk seperti hidup bebas dan tinggi hati. Meskipun
demikian, di sisi lain Pangeran Ratu juga mempunyai sikap positif yaitu mudah
bergaul (ANRI, Bundel Palembang No. 38.1; Java Gouvernement Gazette, 4
Juli 1812). Disebutkan pula bahwa sejak awal pemerintahannya, Sultan
Badaruddin II telah bercita-cita akan masa depan negerinya yang lepas dari
cengkeraman pemerintah kolonial. Oleh karena itu Sultan mempersiapkan diri
untuk melepaskan diri dari pengaruh kolonial Belanda, Daendels hadir sebagai
pemimpin baru di wilayah Hindia Timur. Daendels melakukan berbagai
perubahan yang tentunya berpengaruh terhadap Kesultanan Palembang. Dalam
perdagangan timah, Daendels menetapkan sistem hutang atau dibayar dengan
beras (pemerintah Belanda mengalami krisis keuangan akibat berbagai
pertempuran dan blokade Inggris) dalam pembayarannya. Padahal sebelumnya
pembayaran dilakukan secara tunai. Apabila Sultan menolak kebijakan
tersebut, harga timah akan diturunkan dan diancam dengan ekspedisi militer.
44
Di samping itu, berbagai tindakan Daendels kepada para penguasa pribumi di
Pulau Jawa, Contohnya di Kesultanan Banten. Daendels
memaksa sultan
mengerahkan tenaga cuma-cuma sebanyak 1000 orang per hari untuk
membangun pangkalan armada Belanda di Selat Sunda, mengancam akan
memindahkan istana “Puri Intan” dan memaksa sultan Banten memindahkan
keratonnya, sampai akhirnya pasukan Belanda menghancurkan keraton pada
bulan November 1808 (Marihandono, 2005: 87-89).
Tindakan Daendels tersebut mengakibatkan citra pemerintah Belanda di
Palembang jelek. Akibatnya, ancaman Daendels tersebut mendorong Sultan
Badaruddin II melakukan persiapan dengan cara mengumpulkan para menteri,
depati, penggawa dan rakyat dari uluan (Batangari Sembilan) dan iliran untuk
bergotong-royong membuat benteng Borang. Benteng Borang merupakan
benteng utama di Kesultanan Palembang. Sementara itu, di mata pemerintah
kolonial Belanda, Sultan Badaruddin II merupakan sosok raja yang
diperhitungkan. Sultan dikenal sebagai penguasa yang kuat, cekatan, cerdik,
berani, berwibawa, bersahabat dan ahli perang, Sultan Badaruddin II digelari
oleh ahli-ahli sejarah Belanda dengan nama “macan” dan “srigala”, karena
pasukan Palembang berhasil menghancurkan benteng-benteng dan armada
Belanda dalam dua kali peperangan pada 1819 (ANRI, Bundel Palembang
No.38.1; Sevenhoven, 1971:6).
Pada sisi lain, Sultan memiliki sifat negatif yaitu emosional dan keras
kepala (menolak orang lain menentang kemauannya) (ANRI, Bundel
Palembang No.38.1; Woelders, 1975: 15, 85-86). Delapan tahun pertama masa
45
pemerintahan Sultan Badaruddin II, Kesultanan Palembang sangat maju.
Palembang merupakan salah satu kerajaan yang paling kaya di antara raja-raja
Melayu lainnya, terutama di Sumatra. Sebagian besar kekayaannya diperoleh
dari timah, kondisi itu sangat berbeda dengan kerajaan tetangganya yaitu Jambi
yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Raja Minangkabau dari
Pagaruyung dan dihadapkan pada perang saudara antara Sultan Mohildin dan
kerabatnya (Locher-Scholten, 2008: 45-46). Hal itu dapat diketahui dari
laporan Raffles
kepada Gubernur Jenderal Lord Minto yang menyatakan
bahwa Kesultanan Palembang sangat makmur. Berkaitan dengan itu, Raffles
menempatkan Sultan Badaruddin II sebagai raja yang paling awal didekatinya
dalam upaya mendapat dukungan menaklukkan Pulau Jawa. Di samping itu, di
mata Inggris Kesultanan Palembang juga sangat penting karena letaknya yang
strategis antara Jawa dan semenanjung Malaya (Farida, 2012: 53). Dengan
demikian, sangat wajar apabila Raffles menempatkan Kesultanan Palembang
pada urutan pertama kerajaan yang harus didekati.
B. Penelitian yang Relevan
Berikut ini beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan
bahasan dalam penelitian ini:
(1) Sujarwo (2002) yang berjudul “Pengembangan Kepribadian Bangsa dan
Patriotisme Pada Siswa Melalui Pengajaran IPS Sejarah. Studi Kasus di
SLTP Negeri 1 Karangmalang Sragen” Program Pascasarjana Universitas
Negeri Jakarta.
46
Penelitian ini menyimpulkan bahwa keberhasilan proses belajar mengajar
sangat dipengaruhi oleh kompetensi guru yang dibentuk oleh latar belakang
pendidikan. Pengalaman mengajar, beban mengajar, kewibawaan, pelatihan
atau penataran, dan penguasaan ilmu-ilmu social lainnya. Upaya pengajaran
sejarah nasional dalam pengembangan kepribadian bangsa dan patriotisme
dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya penggunaan metode role
playing (bermain peran), discovery/inquiry penugasan (membuat kliping
dengan memberikan ulasan dan menanyakan pengalaman tokoh-tokoh
veteran dan daerahnya), menyiapkan pesan yang tersirat dalam peristiwaperistiwa sejarah yang diajarkan serta mengkaitkan dengan foklor yang ada
didaerahnya.
(2) Suparno (2001) yang berjudul “Pelestarian Nilai-Nilai Patriotisme Melalui
Pembelajaran Sejarah Nasional Indonesia. Studi Kasus di SMU Negeri 2
Boyolali” Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Penelitian ini menyimpulan bahwa pelajaran Nasional Indonesia sangat
berperan dalam rangka pelestarian nilai-nilai atriotisme. Akan tetapi, upaya
pelestarian nilai-nilai patriotism melalui pembelajaran Sejarah Nasional
Indonesia di SMU Negeri 2 Boyolali belum dapat berjalan secara optimal
dilaksanakan karena ada beberapa hambatan. Adapun hambatan tersebut
berkaitan dengan tidak adanya unsur penunjang pengajaran yang bersifat
eksternal seperti: kondisi geografis, kondisi ekonomi orang tua siswa, dan
masyarakat. Faktor internalnya seperti: status dan latar belakang guru, metode
mengajar, tidak tersedianya fasilitas dan media pengajaran, tidak ada buku
47
pegangan siswa, serta kelemahan fisik siswa karena jarak sekolah yang cukup
jauh. Metode yang digunakan guru pelajaran Sejarah di SMU Negeri 2
Boyolali adalah metode ceramah bervariasi, yaitu guru secara monolog
memberikan apa yang diketahuinya, harapan, himbauan, penekanan materi
dan diselingi dengan diskusi atau Tanya jawab. Sedangkan strateginya adalah
dengan memberikan tugas atau PR, melakukan karya wisata, dan
memperingati hari-hari nasional. Kemudian media yang digunakan adalah
peta Sejarah, atlas, OHP, video, TV, dan gambar-gambar pahlawan, serta halhal lain yang sesuai dengan materi.
(3) Sarijo (2010) yang berjudul “Nilai-Nilai Patriotisme Yang Terkandung
Dalam Materi Pembelajaran Sejarah Perkembangan Islam Di Indonesia”
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai patriotisme pada umumnya
boleh dikaitkan dengan semangat, perasaan, sikap, kesadaran, idealism yang
menyentuh soal-soal kebangsaan, kenegaraan, kesetiaan pada kelompok,
tanggung jawab, perjuangan, pengorbanan,kecintaan, ketahanan diri dan
sumbangan warganegara terhadap negara bangsa dan agama. Patriotisme
memuat tentang nilai-nilai yang harus dikaji dan dipahami siswa, sehingga
siswa akan mampu mengimplementasikan nilai-nilai itu ke dalam kehidupan
sehari-hari yang harus dipahami dan kemudian diterapkannya dalam
kehidupan di sekolah, di rumah, dan dalam bermasyarakat. Cara guru
menyampaikan materi patriotism pada pembelajaran sejarah tentang sejarah
perkembangan agam dan kebudayaan Islam dengan cara: menunjuk siswa
48
untuk memerankan sikap yang harus dilakukan sebagai warga negara saat
negara atau kedaulatan kerajaan Islam saat itu yang menghadapi ancaman
musuh. Guru memberikan tugas kelompok pada siswa untuk melakukan
diskusi tentang sikap patriotisme yang perlu dikembangkan dalam
menghadapi serta mempertahankan wilayahnya dari ancaman asing, guru
meminta siswa mencari contoh patriotime pada sikap pendahulu bangsa
waktu
menyebarkan
Islam
di
Indonesia,
melalui
diskusi
dengan
membahasnya antar kelompok siswa. Guru menggunakan meia berupa atlas,
peta, dan globe serta gambar-gambar peninggalan sejarah Islam agar siswa
lebih konkrit menerima konsep materi.
(4) Rizka Fauzan (2013) yang berjudul “Pembelajaran Nilai Patriotisme Melalui
Materi Sejarah Lokal Geger Cilegon 1888” Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa hasil-hasil pembelajaran telah
menunjukan adanya
peningkatan pemahaman sejarah lokal
tentang
perjuangan Haji Wasid dalam peristiwa Geger Cilegon sebagai jati diri
masyarakat Banten, sehingga menumbuhkan perasaan memiliki terhadap
sejarah lokal yang ada di Banten. Pembelajaran nilai patriotisme Haji Wasid
dalam peristiwa Geger Cilegon menjadi salah satu faktor yang membuat
siswa menunjukan sifat semangat kebangsaan pada saat pembelajaran dan di
luar pembelajaran. Pada saat pembelajaran, bentuk semangat kepahlawanan
siswa ditunjukkan pada saat diskusi berlangsung, seperti aktif bertanya,
menjawab, mengikuti pembelajaran hingga akhir, tidak mengganggu jalannya
49
pembelajaran, dan datang tepat pada waktunya. Di luar pembelajaran, bentuk
semangat kebangsaan siswa ditunjukkan dengan menjaga kebersihan sebelum
jam pelajaran, mengikuti kegiatan upacara bendera, rajin masuk sekolah,
menjaga lingkungan sekolah, membuat tempat sampah, dan terlibat dalam
kegiatan ektrakurikuler yang membangun semangat patriotisme.
(5) Nining Kristanti (2011) yang berjudul “Guru IPS Sejarah Dalam Membentuk
Kepribadian Dan Sikap Patriotisme. Studi Kasus Pada Siswa SMP di
Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Sragen” Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa keberadaan guru-guru mata
pelajaran IPS Sejarah SMP di Kecamatan Ngrampel telah sesuai dengan
jurusannya, namun dari usaha peningkatan proses pembelajaran sejarah dalam
membentuk kepribadian dan sikap patriotisme belum Nampak karena baru
sebagian guru yang menerapkannya. Kendala yang dihadapi guru dalam
membentuk kepribadian antara lain bahwa perkembangan manusia termasuk
kepribadiannya ditentukan oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor
internal berkaitan dengan status dan latar belakang guru, metode mengajar,
kurangnya buku pegangan siswa, serta kelemahan fisik siswa yang lelah
karena mesti membantu orang tua dan jarak sekolah dari rumah yang cukup
jauh. Faktor eksternal berkaitan dengan kondisi geografis, kondisi sosial
ekonomi orang tua siswa dan kondisi sosial budaya masyarakat di lingkungan
sekolah. Upaya pemecahan hambatan dalam pembentukan kepribadian dan
sikap patriotisme dilakukan melalui berbagai cara dari pihak penentu
50
kebijakan kurikulum, kemampuan guru dalam pembelajaran, keteladanan,
metode dan media pembelajaran, sistem evaluasi, sikap siswa dalam mentaati
tata tertib sekolah, sarana prasarana, kegiatan upacara bendera, kegiatan
ekstrakurikuler, pembiasaan, lomba, dan lingkungan. Upaya pengajaran
sejarah nasional Indonesia dalam mengembangkan kepribadian dan sikap
patriotisme juga dengan penggunaan metode role playing (bermain peran),
discovery/inquiry, penugasan (membuat kliping dengan memberi ulasan dan
menanyakan pengalaman tokoh-tokoh veteran di daerahnya), menyisipkan
pesan yang tersirat dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang diajarkan serta
mengkaitkan dengan floklor yang ada di daerahnya serta mengkaitkan dengan
peristiwa masa lalu dengan peristiwa masa kini, sehingga pelajaran sejarah
tidak terjerumus pada hafalan dari fakta-fakta sejarah dan teks book oriented.
C. Kerangka Berpikir
Dewasa ini banyak siswa-siswi yang tidak mengenal pahlawan daerahnya
masing-masing dan tidak mengetahui bagaimana perjuangan pahlawan lokal
tersebut demi mempertahankan kemerdekaan di masa kolonial, hal ini berimbas
pada siswa yang berperilaku tidak mencintai daerahnya terlebih Negara dalam
bentuk merusak fasilitas sekolah, bahkan fasilitas tata kota. Tetapi dibeberapa
kasus ingatan siswa terhadap kepahlawanan pahlawan lokal terlupakan, tentu saja
hal ini dikarenakan pembelajaran Sejarah mengenai pahlawan lokal tidak dikemas
heroic oleh guru mata pelajaran tersebut.
Pembelajaran sejarah menjadi sangat penting ketika nilai-nilai patriotisme
siswa dipertanyakan. Inti dari pembelajaran sejarah dengan pembahasan biografi
51
Sultan Mahmud Badaruddin II, diharapkan tertanamkan bagi siswa nilai-nilai
patriotisme yang secara tidak langsung mengurangi sikap anarkis siswa dan
mengarahkan siswa pada kecintaannya terhadap tanah air.
Faktor utama yang mendorong keberhasilan proses pembelajaran dikelas
adalah guru. Untuk itu guru yang bersangkutan hendaknya mampu melaksanakan
perannya dengan baik sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Seorang guru
diwajibkan tidak hanya menguasai dan mampu secara professional mengajarkan
mata pelajaran sejarah, tetapi juga mampu menanamkan nilai-nilai patriotisme
dari kajian biografi Sultan Mahmud Badaruddin II dalam kegiatan pembelajaran.
Lebih jelas lagi dapat dilihat skema kerangka berpikir yang oleh peneliti berikut:
52
Input
Proses
Lunturnya sikap
Patriotisme siswa
dalam lingkungan
sekolah.
Siswa yang tidak
percaya diri dengan
produk dalam negeri.
Pembelajaran
berbasis biografi
yang
mengandung
nilai-nilai
kejuangan/patriot
isme Sultan
Mahmud
Badaruddin II.
Siswa kurang
mengenal perjuangan
pahlawan lokal yang
hidup disekitar
lingkungan siswa.
Feed back
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir
Output
Siswa lebih
mengenal dan
mencintai nilainilai historis
daerahnya.
Tumbuhnya
rasa cinta tanah
air dan
berprilaku
percaya diri
dengan produk
dalam negeri
kaitannya
dengan
semangat
patriotisme
siswa.
Download