bab ii tinjauan pustaka

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelembagaan
2.1.1 Pengertian Kelembagaan
Suatu kelembagaan merupakan suatu sistem kompleks yang sengaja dibuat
manusia untuk mengatur cara, aturan, proses, dan peran masing-masing komponen
pendukung di dalamnya untuk mencapai tujuan tertentu. Komponen pendukung di
dalam suatu kelembagaan yaitu antara lain subjek atau orang sebagai penggerak
sistem, segala aturan dan cara yang mengatur jalannya suatu sistem di dalam
kelembagaan yang melibatkan banyak peran subjek tersebut.
Pengertian kelembagaan menurut para ahli berbeda-beda sesuai pemikirannya
masing-masing. Menurut Soekanto (2002) istilah kelembagaan diartikan sebagai
lembaga kemasyarakatan yang mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya
norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut.
Sedangkan menurut Tjondronegoro (1977) dalam Pranadji (2003) perihal pengertian
tentang lembaga cenderung menyempitkan makna lembaga dalam kaitan perbedaan
dengan organisasi. Cenderung menempatkan makna lembaga dengan pendekatan ciri
kemajuan masyarakat.
Selain itu Soemardjan dan Soelaeman (1974) menuliskan bahwa lembaga
mempunyai fungsi sebagai alat pengamatan kemasyarakatan (social control) artinya
kelembagaan dapat bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat yang berperan
besar terhadap sirkulasi kelembagaan tersebut. Sedikit berbeda dengan Rahardjo
(1999) yang dikutip oleh Pasaribu (2007), konsep kelembagaan yang dianut oleh
masyarakat menggunakan konsep lembaga sosial yang secara lebih sederhana
diartikan
sebagai
kompleks
norma-norma
atau
kebiasaan-kebiasaan
untuk
mempertahankan nilai-nilai yang dipandang sangat penting dalam masyarakat.
Sedangkan dalam kasus kelembagaan usaha, Susanty (2005) memaparkan
bahwa kelembagaan usaha atau kelembagaan kesejahteraan sosial dapat diartikan
sebagai suatu sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi atau digunakan dalam
kegiatan usaha kesejahteraan sosial (UKS). Melalui kelembagaan itu pula hubungan
antar manusia diatur oleh sistem norma dan organisasi sosial mengatur hubungan
manusia tersebut. Sementara dalam hal hubungan perilaku yang terjadi dalam suatu
6
organsiasi sosial, Rahayuningsih (2004) mengatakan di dalam suatu kelompok
terdapat pengaruh dari perilaku organisasi (kelompok) terhadap perilaku perorangan.
Sebaliknya perilaku perorangan juga memberikan pengaruh terhadap norma dan
sistem nilai bersama yang biasanya menjadi perilaku kelompok.
Berdasarkan
beberapa pendapat tentang pengertian kelembagaan yang telah dipaparkan di atas
dapat disimpulkan bahwa kelembagaan merupakan suatu sistem yang sarat dengan
nilai dan norma yang kompleks yang bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia di
dalam kelembagaan pada khususnya maupun manusia di luar kelembagaan pada
umumnya.
Norma-norma yang tumbuh dalam masyarakat memiliki tingkatan kekuatan
mengikat tersendiri. Seperti yang dipaparkan Soekanto (2002) dalam Sosiologi
sebagai Pengantar mengatakan, untuk dapat membedakan kekuatan mengikat normanorma tersebut dikenal adanya empat pengertian, yaitu:
a) Cara (usage)
b) Kebiasaan (folkways)
c) Tata kelakuan (mores), dan
d) Adat-istiadat (custom)
Setiap tingkatan di atas memiliki kekuatan memaksa yang semakin besar
mempengaruhi perilaku seseorang untuk mentaati norma.
Begitu pula yang dipaparkan oleh Soemardjan dan Soelaeman (1974) bahwa
setiap tingkatan tersebut menunjukkan pada kekuatan yang lebih besar yang
digunakan oleh masyarakat untuk memaksa para anggotanya untuk mentaati normanorma yang terkndung di dalamnya.
2.1.2 Pembentukan dan Perubahan Kelembagaan
Menurut Soekanto (2002) proses pembentukan suatu lembaga kemasyarakatan
disebut proses institutionalization yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu norma
yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan, yang
dimaksud ialah sampai norma itu dikenal oleh masyarakat, diakui, dihargai, dan
kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembentukan lembaga
kemasyarakatan berasal dari perilaku masyarakat yang lama kelamaan menjadi
perilaku masyarakat yang disebut tata kelakuan dan adat istiadat.
Dalam perkembangannya, suatu kelembagaan dapat mengalami perubahan baik
cepat ataupun lambat, kecil ataupun besar maupun dikehendaki atau tidak
dikehendaki. Masih menurut Soekanto (2002), perubahan yang terjadi pada lembaga-
7
lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem
sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perilaku di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat. Menurut Ibrahim (2002) dalam Pasaribu
(2007), komponen-komponen kelembagaan yang dapat mengalami perubahan
mencakup : (1) Perubahan unsur-unsur lembaga kemasyarakatan itu sendiri, seperti
sebagian norma-norma dalam lembaga kemasyarakatan berubah atau bisa juga
perubahan funsi lembaga itu; (2) Perubahan lembaga dalam arti kemasyarakatan lama
hilang dan diganti dengan lembaga yang baru.
2.1.3 Komponen Utama Kelembagaan
Mengutip dari Pasaribu (2007), kelembagaan tersusun atas tiga komponen
utama yaitu hak kepemilikan (property rights), batas yurisdiksi dan aturan
representatif. Hak kepemilikan mengandung makna sosial, muncul dari konsep hak
(right) dan kewajiban (obligation) yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat dan
tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal
kepentingannya terhadap sumberdaya. Karena itu, pernyataan hak milik memerlukan
pengesahan dari masayarakat dimanapun ia berada. Implikasi dari hal ini adalah : (1)
hak seseorang adalah kewajiban orang lain, (2) hak yang dicerminkan oleh
kepemilikan adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya.
Hak milik dapat diperoleh dari penemuan, pemberian atau warisan dan pembelian.
Batas yuridiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu
kelembagaan dalam suatu masyarakat. Konsep batas yuridiksi dapat mencakup
wilayah kekuasaan atau batas otorita yang dimiliki oleh suatu institusi, atau
mengandung makna keduanya.
Aturan representatif merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme
pengambilan keputusan organisasi. Aturan representatif mengatur siapa yang berhak
berpartisipasi terhadap apa yang terdapat dalam proses pengambilan keputusan.
Sedangkan menurut Pranadji (2003) kelembagaan yang bercirikan terhadap
kemajuan masyarakatnya memiliki beberapa elemen pendukung diantaranya sebagai
berikut.
1) Kompetensi SDM
Komponen kompetensi yang dimaksud disini mencakup:
a) Ketrampilan yang cukup pada individu,
b) Kematangan emosional yang tinggi,
c) Kemampuan bekerjasama yang bersifat mutualistik,
8
d) Apresiasi terhadap tata-nilai maju,
e) Apresiasi tinggi terhadap penggunaan ilmu pengetahuan di bidang manajemen
dan keorganisasian sosial yang progresif, dan
f) Responsif terhadap kepemimpinan futuristik.
2) Tata Nilai Maju
Untuk mengidentifikasi dan menentukan gambaran kemajuan yang dicapai
masyarakat, baik dalam tingkat kelompok tani, desa, maupun negara diperlukan
beberapa komponen tata nilai seperti di bawah ini.
a) Penghargaan terhadap kerja keras,
b) Rajin (tidak malas),
c) Produktif (tidak konsumtif),
d) Hemat (tidak menghabiskan aset strategis),
e) Rasa malu dan harga diri tinggi,
f) Prestasi-kompetitif ,
g) Sabar dan rendah hati (tidak pemarah dan suka pamer),
h) Haus inovasi (tidak resisten terhadap inovasi),
i) Cara kerja/berpikir sistematik dan terorganisir,
j) Daya empati tinggi
k) Rasional dan impersonal (tidak seenaknya dan mengikuti selera pribadi)
l) Bervisi jangka panjang yang jelas.
3) Kepemimpinan
Kepemimpinan yang dibahas disini bukan menekankan pada tipe kepemimpinan
seseorang melainkan pada komponen apa saja yang menentukan suatu kepemimpinan
untuk memajukan masyarakat pertanian dan pedesaan. Komponen kepemimpinan
yang dimaksud adalah:
a) Integritas personal yang tinggi yang melekat pada pribadi seorang pemimpin.
b) Visi ke depan yang jelas dan implementatif
c) Kemampuan seorang pemimpin memberi inspirasi dan mengarahkan anggota
masyarakatnya
d) Memiliki kemampuan untuk mengabdi pada masyarakatnya
e) Mempunyai keunggulan atau keistimewaan yang signifikan dan sangat
interaktif dengan kebutuhan masyarakat
f) Memiliki kemampuan dalam pemecahan konflik yang terjadi di masyarakat
9
g) Memiliki kemampuan dalam berkomunikasi yang baik dengan anggota
masyarakat yang dipimpinnya
h) Mengajarkan penggunaan rasionalitas yang tinggi pada setiap pengambilan
keputusan
i) Menjunjung tinggi kewajiban untuk menegakkan sistem kerja kolektif
masyarakat yang dipimpinnya.
4) Struktur dan Organisasi Sosial
Struktur sosial yang sehat adalah cerminan dari diferensiasi dan spesialisasi
pekerjaan
yang sehat.
Sedangkan
organisasi sosial
bisa
didekati
dengan
memperhatikan sistem kemitraan dan keterlibatan masyarakat untuk tujuan di bidang
pemenuhan kebutuhan pokok, peningkatan kegiatan ekonomi dan ketenagakerjaan,
penguatan identitas individu dan sosial, pengelolaan pemerintahan, pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup, dan sistem pemeliharaan keteraturan sosial
yang telah terbentuk.
5) Manajemen Sosial
Manajemen sosial terkait erat dengan sistem pengambilan keputusan yang
bersifat kolektif.
6) Hukum dan Pemerintahan
Aspek hukum dapat ditelusuri dari konsistensi anatar norma ideal yang
dirumuskan dalam bentuk aturan dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan aspek pemerintahan ditekankan pada penagturan untuk peningkatan
kreativitas dan peran masyarakat agar tercapai kesejahteraan bersama.
2.2 Kelembagaan Hutan Rakyat
Kelembagaan tradisional yang tumbuh dan berkembang di masyarakat seperti
hukum adat sering dianggap tidak sesuai atau bahkan mengganggu kepentingan
hukum positif yang berlaku. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, sebenarnya
aturan-aturan adat yang ada di tengah masyarakat di dalam dan di sekitar hutan
memiliki suatu kearifan yang mendalam.
Kelembagaan adat sangat besar pengaruhnya pada pola tingkah laku kehidupan
sosial masyarakat di sekitar hutan. Aturan-aturan adat yang ada merupakan
peninggalan leluhur yang tetap harus dijaga dan dipatuhi walaupun aturan-aturan adat
tersebut tidak tertulis. Aturan adat bagi masyarakat merupakan hukum yang mengikat
dan memiliki sanksi yang tegas atas segala pelanggaran yang dilakukan. Secara luas
10
kelembagaan adat yang ada tidak hanya mengatur dan mengatasi tentang konflik
sosial yang terjadi dalam masyarakatnya namun juga mengatur tentang pola perilaku
masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan yang ada di sekitar mereka. Hal ini
adalah wajar mengingat hutan merupakan lingkungan hidup mereka dan juga sebagai
tempat untuk mmemenuhi kebutuhan hidup yang serba sederhana. Dengan kata lain,
kerusakan hutan berarti ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat sekitarnya
(Yanuar 2001).
Peran kelembagaan dalam pengelolaan hutan rakyat sangat penting diperhatikan
keseimbangannya. Seperti yang disebutkan dalam Ngadiono (2004) bahwa tujuan
pengelolaan hutan rakyat adalah terwujudnya hutan rakyat yang memiliki
keseimbangan fungsi lingkungan, sosial dan ekonomi. Beberapa komponen
keseimbangan tersebut antara lain: (1) Data dasar tingkat desa; (2) Tujuan dan
sasaran; (3) Instrumen kebijakan dalam kegiatan hutan desa; (4) Program dan
kegiatan hutan desa; (5) Dukungan kelembagaan dan dana. Menurut Ngadiono (2004)
dana merupakan unsur penting dalam mewujudkan program dan kegiatan. Oleh
karena itu, sistem dukungan pendanaan harus dibicarakan sejak awal dengan
masyarakat. Kelembagaan akan mencakup 2 (dua) hal yaitu: (1) Organisasi
masyarakat dan organisasi pengelola hutan rakyatnya; dan (2) Aturan hukum dan
norma yang berkaitan dengan sistem pengelolaan hutan rakyat.
2.2.1 Kedudukan Kelembagaan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Ada beberapa kendala yang mengiringi perjalanan pengusahaan hutan rakyat.
Hal ini dikemukakan oleh Andayani (2003) sebagai berikut : (1) Teknologi, (2) Modal
usaha, (3) Manajemen usaha tani, (4) Skill (kemampuan), (5) Kondisi fisik lahan
usaha, dan (6) Kebijakan pemerintah. Akan tetapi Andayani dalam tulisannya juga
menekankan pada penguatan kelembagaan dalam rangka melaksanakan usaha
perhutanan rakyat yang berkesinambungan, karena apabila dalam melaksanakan
produksi masih dilakukan secara individu diduga posisi tawarnya akan rendah.
Kedudukan kelembagaan dalam hutan rakyat menurut Ngadiono (2004)
merupakan unsur yang tidak kalah penting dengan unsur dukungan pendanaan hutan
rakyat itu sendiri. Karena di dalam kelembagaan mencakup organisasi masyarakat dan
aturan hukum yang berkaitan dengan sistem pengelolaan hutan rakyat.
2.2.2 Ruang Lingkup Kelembagaan Hutan Rakyat
Hutan rakyat sebagaimana hutan negara juga membutuhkan sistem pengelolaan
yang terencana yang mendukung pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan rakyat itu
11
sendiri. Karena pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan secara personal akan
berbeda dengan pengelolaan secara kelompok. Pengelolaan hutan rakyat dengan
membentuk kelembagaan atau organisasi di dalamnya akan semakin menumbuhkan
interaksi dan koordinasi antar anggota sehingga tujuan bersama akan cepat tercapai.
Kelembagaan hutan rakyat sebagaimana sub sektor kehutanan yang lainnya memiliki
keterkaitan antara satu dengan lainnya. Keterkaitan tersebut nantinya akan
memberikan efek terhadap kemajuan pembangunan kehutanan secara menyeluruh.
Lingkup kelembagaan social forestry makro digambarkan secara lintas sektoral.
Berhasil tidaknya pelaksanaan kegiatan hutan rakyat tidak bergantung dari pihakpihak yang berkecimpung dalam sektor kehutanan, tetapi juga tergantung dari sektorsektor lain seperti pertanian, perkebunan, transmigrasi, kementrian, dan UKM.
Pelaksanaan kegiatan dikoordinir oleh suatu komisi yang disebut komisi social
forestry. Komisi social forestry beranggotakan pemerintah, swasta, perguruan tinggi,
LSM, dan masyarakat. Untuk selanjutnya hasil yang diharapkan dari pelaksanaan
serangkaian kegiatan adalah terwujudnya good corporate governance atau sistem
pemerintahan yang baik (Ngadiono 2004).
2.3 Kelompok Tani Hutan
Kelompok
tani
hutan
(KTH)
merupakan
sekumpulan
orang
yang
mengelompokkan diri dalam usaha-usaha dalam bidang pengelolaan tanah hutan
negara yang tumbuh dan berkembang dari, oleh, dan untuk meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan anggotanya untuk mencapai tujuan bersama (Perum Perhutani,
1987 dalam Permana, 1998). Sedangkan Suharjito (1994) menyatakan bahwa
pembentukan kelompok tani merupakan awal dari sebuah upaya mewujudkan
partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan negara.
Mulyana (2001) dalam Puspita (2006) menyatakan kriteria pemilihan petani
sebagai KTH itu adalah kedekatan dengan hutan, hak-hak yang sudah ada,
ketergantungan dan pengetahuan lokal. Keempat dimensi itu sangat erat kaitannya
dengan sumber daya hutan dan mudah untuk dikenali. Selanjutnya dalam tulisannya
juga dikatakan proses pembentukan KTH adalah sebagai berikut :
1. Pembentukan kelompok
2. Penguatan kelembagaan
3. Penyuluhan
4. Insentif
12
Menurut Suharjito (1994) pengertian pembinaan KTH adalah suatu proses yang
timbul dalam suatu hubungan antara pembina atau petugas Perum Perhutani bersama
dengan instansi terkait dengan kelompok tani (KTH) binaan dalam upaya menemukan
dan memecahkan masalah atau mengembangkan kegiatan kelompok. Tujuan
pembinaan yang ingin dicapai tentunya tidak terlepas dari tujuan perhutanan sosial
pada umumnya, yaitu memaksimalkan partisipasi masyarakat sekitar hutan untuk
bersama-sama membangun dan mengelola hutan secara penuh tanggung jawab dalam
pembangunan hutan dan lingkungan sekitar.
Download