Bab V Kesimpulan Agama, tradisi dan adat istiadat

advertisement
Bab V
Kesimpulan
Agama, tradisi dan adat istiadat merupakan hal penting dalam kehidupan
orang Melayu, baik Proto Melayu maupun Deutro Melayu. Begitu pentingnya
adat, sehingga memunculkan istilah “biar mati anak, asal jangan mati adat”.
Artinya, anak atau manusia manapun pastinya akan mati, tetapi kematian itu
jangan menjadikan adat tidak berlaku. Hal tersebut dikarenakan bagi orang
Melayu kematian adat dapat merusak tatanan kehidupan. Oleh sebab itu, adat
diharapkan tidak bergantung pada hidup mati seseorang, tetapi tetap dipelihara
oleh masyarakat yang memerlukannya (Hamidy 2001, h.47). Hal ini menunjukkan
bahwa bagi orang Melayu, termasuk Suku Laut, adat istiadat serta budaya
merupakan sesuatu yang harus dipelihara secara terus menerus untuk memastikan
tatanan kehidupan yang telah dibentuk sejak lama itu tidak punah. Sehingga
dengan begitu keberadaan atau eksistensi mereka pun bisa diakui. Akan tetapi,
melihat apa yang terjadi pada kelompok masyarakat Suku Laut ini membuat kita
bertanya, apakah mereka tidak membutuhkan lagi adat dan tradisi itu? Ataukah
ada alasan lain yang menyebabkan mereka terpaksa untuk berubah?
Masyarakat Suku Laut merupkana agen utama dalam proses panjang
perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mereka alami. Akan tetapi, diluar itu
masih ada aktor-aktor lain yang terlibat dalam konversi masyarakat Suku Laut dan
mengarahkan mereka untuk melakukan perubahan. Aktor-aktor tersebut mewakili
berbagai pihak, mulai dari pemerintah seperti Departemen Sosial yang
bekerjasama dengan Kantor Depertemen Agama dan BAPPEDA pada masa Orde
93
Baru, Pemerintah Kota Batam, Dinas Sosial Kota Batam dan BAZ Kota Batam;
LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) seperti LAZ Masjid Raya Batam; hingga
aktifis atau pemerhati masyarakat Suku Laut.
Pemerintah dalam hal ini memiliki pengaruh yang cukup besar.
Sebagaimana yang dipaparkan oleh Selo Soemardjan (1993, hh. 76-77) dalam
tulisannya bahwa pada saat perubahan-perubahan sosial budaya itu berjalan secara
lambat yang biasanya terjadi pada kelompok masyarakat suku terasing
dikarenakan mereka tidak banyak mendapat pengaruh dari luar, maka perubahan
itu merupakan akibat yang diatur oleh pihak yang berkuasa untuk mengaturnya.
Oleh karena itu, di dalam masyarakat yang dikategorikan terasing tersebut,
pemerintah setempat sebagai pihak yang memiliki otoritas dan kekuasaan
merupakan aktor yang paling berpengaruh. Dengan kata lain, Soemardjan
menyebutnya sebagai perubahan yang direkayasa oleh pihak yang berkuasa,
dalam hal ini adalah pemerintah.
Hal ini jelas terlihat pada masa Orde Baru ketika pemerintah berupaya
“merumahkan” masyarakat Suku Laut dan membuat mereka memilih Agama
Islam sebagai identitas keagamaan mereka. Akan tetapi, setelah berakhir masa
Orde Baru, konversi masyarakat Suku Laut banyak diambil alih oleh lembagalembaga serta kelompok-kelompok sosial masyarakat yang aktif dan memberikan
perhatian lebih terhadap persoalan masyarakat Suku Laut, seperti LAZ MRB serta
aktivis atau pemerhati masyarakat Suku Laut lainnya.
Berdasarkan cerita panjang mengenai masyarakat Suku Laut yang telah
dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, memperlihatkan bahwa berbagai perubahan
94
yang terjadi pada masyarakat Suku Laut tersebut disebabkan oleh adanya aspekaspek struktural. Perubahan yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya perubahan
yang terjadi pada masyarakat Suku Laut dalam berbagai aspek kehidupannya
seperti agama, adat istiadat, dan aspek kultural lainnya, tetapi juga perubahan pola
ekonomi dan pola relasi antar aktor yang terlibat dalam proses panjang konversi
yang sudah berjalan sejak lama dan bertahap tersebut. Dengan demikian, apa yang
dialami oleh masyarakat Suku Laut ini merupakan bentuk dari perubahan sosial
yang berjalan secara lambat atau perlahan (evolusi).
Struktur sosial ekonomi berperan dalam mendorong adanya konversi
agama terhadap masyarakat Suku Laut. Konversi agama dipahami sebagai alat
perubahan yang memang menjadi kebutuhan masyarakat Suku Laut. Artinya,
struktur ini memang menghambat masyarakat Suku Laut untuk mempertahankan
eksistensi dari aktualisasi tradisi beragama mereka, tetapi struktur yang
menunculkan konversi itu juga memberikan peluang baru bagi masyarakat Suku
Laut. Dengan kata lain, struktur itu mendorong perubahan dari masyarakat suku
laut sehingga mereka memiliki peluang dan harapan baru untuk memperbaiki taraf
kehidupan serta pengakuan sebagai warga negara yang memiliki akses untuk
memperoleh kesejahteraan.
Islamisasi yang dilakukan terhadap Suku Laut menjadi fase akhir dari
proses panjang perubahan sosial agar mereka bisa diterima sebagai bagian dari
masyarakat dan mendapatkan pengakuan sebagai warga negara yang memiliki hak
setara dengan masyarakat sukubangsa lainnya. Islamisasi juga merupakan salah
satu cara umtuk meyempurnakan agama mereka yang selama ini dianggap tidak
95
jelas sehingga secara perlahan bisa menghapus stigmatisai orang Suku Laut yang
selama ini dianggap terasing dan terbelakang. Dari berbagai pembahasan di babbab sebelumnya juga terlihat jelas bagaimana Agama Islam tersebut menjadi
instrumen yang digunakan oleh pemerintah maupun swasta dalam upaya
pembangunan yang berorientasi pada modernisasi.
Maka jelas sudah jawaban dari rumusan masalah yang diajukan dalam
penelitian ini, bahwa proses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Suku
Laut sebenarnya sudah berjalan sejak lama dan secara perlahan melalui proses
konversi terhadap masyarakat Suku Laut di berbagai sisi kehidupan mereka, mulai
dari pendaratan, islamisasi, dan pendidikan tanpa menimbulkan konflik atau
perlawanan yang masif dari masyarakat Suku Laut. Konversi itu adalah bagian
dari proses perubahan sosial yang sudah pasti terjadi pada masyarakat Suku Laut
yang hidup di tengah-tengah lingkungan dan masyarakat yang mengalami
perubahan sangat cepat. Apalagi Islam itu sendiri bukanlah hal baru bagi meraka,
bahkan sudah menjadi bagian dari budaya dan tradisi masyarakat Suku Laut sejak
lama. Sehingga, ketika pola-pola relasi lainnya sudah berubah maka konversi
agama hanya akan mengikuti saja proses perubahan tersebut. Persoalan agama
hanya tinggal menunggu waktu saja untuk dikonversi. Jika tidak, maka Suku Laut
akan sulit untuk diterima dan diakui sebagai bagian dari masyarakat. Mereka
harus menerima konversi tersebut agar bisa bertahan hidup di tengah-tengah
masyarakat sebagai kelompok masyarakat yang “normal”, bukan “masyarakat
terasing dan terbelakang”. Dengan kata lain, islamisasi itu hanya sebagai
formalitas dari apa yang sudah berlajan sejak lama. Dalam hal ini, agama menjadi
96
instrumen power agar masyarakat Suku Laut biasa mengakses resources (sumber
daya).
97
Download