BAB II TINJAUAN PUSTAKA Rasa percaya diri yang baru dan sehat

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Rasa Percaya Diri
Rasa percaya diri yang baru dan sehat dikembangkan dari dalam kepribadian
individu itu sendiri. Rasa percaya diri bukan dengan mengkompensasi kelemahan
kepada kelebihan, namun bagaimana individu tersebut mampu menerima dirinya apa
adanya, mampu mengerti seperti apa dirinya dan pada akhirnya akan percaya bahwa
dirinya mampu melakukan berbagai hal dengan baik (Lauster, 1956).
Rasa percaya diri adalah keyakinan pada kemampuan-kemampuan sendiri,
keyakinan pada adanya suatu maksud di dalam kehidupan, dan kepercayaan bahwa
dengan akal budi mereka akan mampu melaksanakan apa yang mereka inginkan,
rencanakan dan harapkan (Davies, 2004).
Rasa percaya diri merupakan keberanian menghadapi tantangan karena
memberi suatu kesadaran bahwa belajar dari pengalaman jauh lebih penting daripada
keberhasilan atau kegagalan. Rasa percaya diri penting untuk berpartisipasi dalam
kehidupan publik, seperti halnya ketika bergabung dengan suatu masyarakat yang
didalamnya terlibat di dalam suatu aktivitas atau kegiatan, rasa percaya diri
meningkatkan keefektifan dalam aktivitas atau kegiatan (Hakim, 2005).
Rasa percaya diri merupakan sikap mental individu dalam menilai diri
maupun objek sekitar sehingga individu tersebut memiliki keyakinan akan
kemampuan diri dalam melakukan sesuatu sesuai kemampuan (Ghufron, 2011).
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah
keyakinan pada kemampuan-kemampuan sendiri, keberanian untuk menghadapi
tantangan karena memberi suatu kesadaran bahwa belajar dari pengalaman jauh lebih
penting daripada keberhasilan atau kegagalan, suatu layanan terhadap diri sendiri
sehingga individu mampu menangani segala situasi dengan tenang, dan kepercayaan
bahwa dengan akal budi akan mampu melaksanakan apa yang diinginkan, rencanakan
dan harapkan.
2.1.1 Ciri-ciri Individu yang Memiliki Rasa Percaya Diri
Ciri-ciri individu yang memiliki rasa percaya diri (Hakim, 2005), yaitu:
a. Bersikap tenang dalam mengerjakan sesuatu
b. Mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai
c. Mampu menetralisir ketegangan yang muncul dalam situasi tertentu
d. Mampu menyesuaikan diri dan berkomunikasi
e. Memiliki kondisi mental dan fisik yang menunjang penampilan
f. Memiliki kecerdasan yang cukup
g. Memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup
h. Memiliki keahlian dan ketrampilan lain yang menunjang kehidupan
i. Memiliki kemampuan bersosialisasi
j. Memiliki latar belakang pendidikan keluarga yang baik
k. Memiliki pengalaman hidup yang menempa mental dan ketahanan di
berbagai situasi
l. Bersikap positif dalam menghadapi masalah
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri anak yang memiliki
rasa percaya diri yaitu, yakin pada diri sendiri, tidak bergantung pada orang lain,
merasa dirinya berharga, tidak menyombongkan diri, memiliki keberanian untuk
bertindak, mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai, menetralisir
ketegangan yang muncul dalam situasi tertentu, kemampuan bersosialisasi, dan
bersikap positif dalam menghadapi masalah.
2.1.2 Aspek-Aspek Rasa Percaya Diri
Menurut Lauster (Ghufron, 2011) anak yang memiliki rasa percaya diri positif
adalah:
a. Keyakinan akan kemampuan diri yaitu sikap positif anak tentang dirinya
bahwa anak mengerti sungguh-sungguh akan apa yang dilakukannya.
b. Optimis yaitu sikap positif anak yang selalu berpandangan baik dalam
menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan kemampuannya.
c. Obyektif yaitu anak yang percaya diri memandang permasalahan atau
sesuatu sesuai dengan kebenaran yang semestinya, bukan menurut kebenaran
pribadi atau menurut dirinya sendiri.
d. Bertanggung jawab yaitu kesediaan anak untuk menanggung segala sesuatu
yang telah menjadi konsekuensinya.
e. Rasional yaitu analisa terhadap sesuatu masalah, sesuatu hal, sesuatu
kejadian dengan menggunakan pemikiran yang dapat diterima oleh akal dan
sesuai dengan kenyataan.
Menurut Kumara (dalam Isaningrum, 2007) individu yang memiliki rasa
percaya diri merasa yakin akan kemampuan dirinya, sehingga bisa menyelesaikan
masalahnya karena tahu apa yang dibutuhkan dalam hidupnya, serta mempunyai
sikap positif yang didasari keyakinan akan kemampuannya. Individu tersebut
bertanggung jawab akan keputusannya yang telah diambil serta mampu menatap
fakta dan realita secara obyektif yang didasari keterampilan. Dari uraian di atas maka
dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki rasa percaya diri yaitu diantaranya
memiliki rasa keyakinan akan kemampuan diri, optimis, obyektif, bertanggung jawab
serta memiliki pemikiran rasional.
2.1.3 Indikator dari kepercayaan diri
Kepercayaan diri secara bahasa menurut Vandenbos (2006) adalah percaya
pada kapasitas kemampuan diri dan terlihat sebagai kepribadian yang positif.
Pendapat itu menunjukkan bahwa orang yang percaya diri memiliki keyakinan untuk
sukses.
Kepercayaan diri menurut Elly Risman yaitu seseorang di katakan percaya
diri apabila ia merasa nyaman tentang dirinya sendiri dan penilaian orang lain
terhadap dirinya sendiri.
Sementara itu, (Hervita, 2005) menyatakan bahwa kepercayaan diri ialah suatu sikap
atau perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak
cemas dalam bertindak, merasa bebas, tidak malu dan tertahan sekaligus mampu bertanggung
jawab atas yang diperbuat.
Dari Lauster dan Guilford (1956) yang menjadi ciri maupun indikator dari
kepercayaan diri yaitu :
1. Individu merasa adekuat terhadap tindakan yang dilakukan.
Hal ini didasari oleh adanya keyakinan tehadap kekuatan, kemampuan,
dan ketrampilan yang dimiliki. Ia merasa optimis, cukup ambisius, tidak
selalu memerlukan bantuan orang lain, sanggup bekerja keras, mampu
menghadapi tugas dengan baik dan bekerja secara efektif serta
bertanggung jawab atas keputusan dan perbuatannya.
2. Individu merasa diterima oleh kelompoknya.
Hal ini dilandasi oleh adanya keyakinan terhadap kemampuannya dalam
berhubungan sosial. Ia merasa bahwa kelompoknya atau orang lain
menyukainya,
aktif
menghadapi
keadaan
lingkungan,
berani
mengemukakan kehendak atau ide‐idenya secara bertanggung jawab dan
tidak mementingkan diri sendiri.
3. Individu memiliki ketenangan sikap.
Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan dan
kemampuannya. Ia bersikap tenang, tidak mudah gugup, cukup toleran
terhadap berbagai macam situasi.
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasa Percaya Diri
Rasa percaya diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Ghufron, 2011):
a. Faktor internal, meliputi:
1. Konsep diri
Terbentuknya percaya diri pada seseorang diawali dengan perkembangan
konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan suatu kelompok. Menurut Centi
(2000), konsep diri merupakan gagasan tentang dirinya sendiri. Individu yang
mempunyai rasa rendah diri biasanya mempunyai konsep diri negatif,
sebaliknya individu yang mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep
diri positif.
2. Harga diri
Harga diri yaitu penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri. Individu yang
memiliki harga diri tinggi akan menilai pribadi secara rasional dan benar bagi
dirinya serta mudah mengadakan hubungan dengan individu lain. Individu yang
mempunyai harga diri tinggi cenderung melihat dirinya sebagai individu yang
berhasil percaya bahwa usahanya mudah menerima orang lain sebagaimana
menerima dirinya sendiri. Akan tetapi individu yang mempuyai harga diri
rendah bersifat tergantung, kurang percaya diri dan biasanya terbentur pada
kesulitan sosial serta pesimis dalam pergaulan.
3.Kondisi fisik
Perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada rasa percaya diri. Anthony
(2002), mengatakan penampilan fisik merupakan penyebab utama rendahnya
harga diri dan percaya diri seseorang.
4. Pengalaman
Pengalaman yang mengecewakan adalah paling sering menjadi sumber
timbulnya rasa rendah diri. Apalagi jika pada dasarnya individu memiliki rasa
tidak aman, kurang kasih sayang dan kurang perhatian.
b. Faktor eksternal meliputi:
1. Pendidikan
Pendidikan mempengaruhi percaya diri individu. Anthony (2002) lebih lanjut
mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah cenderung membuat
individu merasa dibawah kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang
pendidikannya lebih tinggi cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu
bergantung pada individu lain. Individu tersebut akan mampu memenuhi
keperluan
hidup
dengan
rasa
percaya
diri
dan
kekuatannya
dengan
memperhatikan situasi dari sudut kenyataan.
2. Pekerjaan
Bekerja dapat mengembangkan kreatifitas dan kemandirian serta rasa percaya
diri. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rasa percaya diri dapat muncul dengan
melakukan pekerjaan, selain materi yang diperoleh. Kepuasan dan rasa bangga
di dapat karena mampu mengembangkan kemampuan diri.
3. Lingkungan
Lingkungan disini merupakan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Dukungan yang baik yang diterima dari lingkungan keluarga seperti anggota
kelurga yang saling berinteraksi dengan baik akan memberi rasa nyaman dan
percaya diri yang tinggi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua
faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri pada individu, yaitu faktor
internal dan eksternal. Faktor internal meliputi konsep diri, harga diri dan
keadaan fisik. Faktor eksternal meliputi pendidikan, pekerjaan, lingkungan
dan pengalaman hidup.
Menurut Kevorkian (2010) bahwa membesarkan anak yang percaya
pada dirinya sendiri berarti membesarkan seorang pemenang. Percaya diri
adalah sebuah sikap diri sikap yang merasa pantas, nyaman dengan diri
sendiri dari penilaian orang lain, serta memiliki keyakinan yang kuat.
Maka sifat tidak percaya diri datang apabila pribadi tersebut tidak
merasa pantas, nyaman dan tenang dengan dirinya. Orang yang tidak percaya
diri akan merasa dirinya salah dan memiliki perasaan khawatir Risman (dalam
Syaifullah, 2010). Sedangkan menurut Syaifullah (2010) percaya diri
merupakan sikap positif yang dimiliki seorang individu yang membiasakan
dan memupukkan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, lingkungan serta situasi
yang dihadapinya untuk meraih apa yang diinginkan.
Pribadi seseorang yang memiliki sikap percaya diri diantaranya memiliki ciriciri :
a. Percaya dengan kemampuan diri sendiri.
b. Mengutamakan usaha sendiri tidak tergantung dengan orang lain.
c. Tidak mudah mengalami rasa putus asa.
Pribadi yang percaya diri akan selalu antusias dalam melakaukan suatu
tindakan memiliki tekad, tekun dan pantang menyerah.
d. Berani menyampaikan pendapat. Berpendapat merupakan suatu hak yang
dimiliki oleh setiap orang, tetapi tidak semua orang memiliki keberanian
untuk menyampaikan pendapat, rasa takut dan khawatir untuk berbicara
merupakan salah satu ciri-ciri sikap tidak percaya dengan kemampuannya.
Seorang yang memiliki sikap percaya diri diantaranya adalah barani untuk
menyampaikan pendapat yang dimlikinya didepan orang banyak.
e. Mudah berkomunikasi dan membantu orang lain. Manusia adalah makhluk
sosial, akan selalu bersosialisai dan berinteraksi.
Interaksi merupakan suatu hal yang tak dapat dipisahkan oleh manusia,
manusia dilahirkan dan hidup tidak dapat dipisahkan satu sama lain,
seseorang membutuhkan seseorang lainnya, karena tanpa adanya kerjasama
dan bantuan orang lain seorang individu tidak bisa menopang hidupnya untuk
memenuhi kebutuhan.
f. Tanggung jawab dengan tugas-tugasnya
Pribadi yang percaya diri akan selalu memiliki tanggung jawab pada dirinya
sendiri, yaitu selalu mengerjakan apa yang menjadi tugas dalam menjalankan
suatu tindakan, dikerjakan dengan tekun dan rajin.
g. Memiliki cita-cita untuk meraih prestasi.
Sifat percaya diri hanya dimiliki oleh orang yang bersemangat berjuang dan
memiliki kemauan keras, berusaha dan merealisasikan memimpi-mimpinya
untuk menjadi kenyataaan.
Pribadi yang percaya diri dari uraian diatas akan dijadaikan sebagai kisi-kisi
dalam membuat angket sikap percaya diri. Sosok pribadi yang percaya diri cenderung
bisa melawan tantangan hidup yang melintang dalam bentuk apa pun dengan berbuat
sesuatu yang bijak dan professional.
Hakim (2002), Menjelaskan bahwa rasa percaya diri siswa di sekolah bisa di
bangun melalui berbagai macam bentuk kegiatan sebagai berikut :
1. Memupuk keberanian untuk bertanya
2. Peran guru/pendidik yang bertanya pada siswa
3. Melatih berdiskusi dan berdebat
4. Mengerjakan soal di depan kelas
5. Bersaing dalam mencapai prestasi belajar
6. Aktif dalam kegiatan pertandingan olah raga
7. Belajar berpidato
8. Mengikuti kegiatan ekstrakulikuler
9. Penerapan disiplin yang konsisten
10. Memperluas pergaulan yang sehat.
Fase-fase perkembangan Menurut (Desmita,2009)
a. Perioode I, umur 0-7 tahun, yaitu periode penangkapan dan pengenalan
dunia luar
dengan pancaindra.
b. Periode II, umur 7-12 tahun, yaitu periode abstrak dimana anak mulai
menilai perbuatan manusia atas dasar baik-buruk dan mulai timbul insan
kamil,
c. Periode III, umur 12-18 tahun, yaitu periode penemuan diri dan kepekaan
sosial,
d. Periode IV umur 18 ke atas, yaitu periode pendidikan perguruan tinggi.
Dari individu yang satu dengan yang lain memiliki rasa percaya diri yang
berbeda-beda, tergantung dari fase perkembangannya. Usia rata-rata anak Indonesia
saat masuk Sekolah Dasar adalah 6 atau 7 tahun, ini menunjukkan bahwa fase
perkembangan anak pada periode II, pada usia ini anak akan senang bermain, senang
bergerak, senang bekerja dalam kelompok dan senang melakukan sesuatu secara
langsung. Menurut Havighurts (Desmita,2009) tugas perkembangan anak usia
sekolah meliputi 1) menguasai ketrampilan fisik yang diperlukan dalam permainan
dan aktifitas fisik, 2) membina biduo sehat, 3) belajar bergaul dan bekerja kelompok,
4) belajar membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam
masyarakat, 5) mencapai kemandirian pribadi. Dengan adanya tugas perkembangan
pada diri siswa, maka sikap untuk menumbuhkan rasa percaya diri sangatlah penting,
percaya diri pada seorang anak akan muncul jika anak telah mengalami pengalaman
pribadi dalam melakukan tindakan yang memberi keberhasilan. Selain itu guru juga
harus senantiasa menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa, misalnya dalam
pembelajaran siswa selalu dilibatkan langsung dalam kegiatan belajar mengajar, agar
siswa dapat merasakan langsung dan dapat memberikan pengalaman bagi dirinya.
Sikap percaya diri seorang anak tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
perkembangan anak saja, tetapi ada faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi
adanya sikap percaya diri pada anak diantaranya adalah :
a. Faktor lingkungan keluarga
Keadaan keluarga merupakan lingkungan hidup yang pertama dan utama
dalam kehidupan setiap manusia, lingkungan sangat mempengaruhi pembentukan
awal rasa percaya diri pada seseorang. Rasa percaya diri merupakan suatu keyakinan
seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang ada pada dirinya dan diwujudkan
dalam tingkah laku sehari-hari.
b. Pendidikan formal
Sekolah bisa dikatan sebagai lingkungan kedua bagi anak, dimana sekolah
merupakan lingkungan yang paling berperan bagi anak setelah lingkungan keluarga
di rumah. Sekolah memberikan ruang pada anak untuk mengekpresikan rasa percaya
dirinya terhadap teman-teman sebayanya.
c. Pendidikan non formal
Salah satu modal utama untuk bisa menjadi seseorang dengan kepribadian
yang penuh rasa percaya diri adalah memiliki kelebihan tertentu yang berarti bagi diri
sendiri dan orang lain. Rasa percaya diri akan menjadi lebih mantap jika seseorang
memiliki suatu kelebihan yang membuat orang lain merasa kagum dan dirinya
memiliki prestasi. Kemampuan atau keterampilan dalam bidang tertentu bisa
didapatkan melalui pendidikan non formal misalnya: mengikuti kursus bahasa asing,
jurnalistik, bermain alat musik, seni vokal, keterampilan memasuki dunia kerja,
pendidikan keagamaan dan lain sebagainya. Sebagai penunjang timbulanya rasa
percaya diri pada diri individu yang bersangkutan. Siswa sekolah dasar berada pada
pendidikan formal, dimana tugas gurulah yang akan menumbuhkan sikap percaya diri
siswa. Selain adanya faktor eksternal, sikap percaya diri juga dipengaruhi oleh siswa
itu sendiri baik kondisi jiwanya maupun kondisi fisiknya. Rasa cemas, rasa
ketidakmampuan, ketidakberdayaan serta ketidaksanggupan untuk menghadapi suatu
tantangan inilah yang menjadi penyebab adanya sikap percaya diri itu lemah. Sikap
percaya diri dapat dipupuk dengan adanya suatu keberhasilan dan prestasi belajar.
Dari uraian diatas dapat simpulkan bahwa sikap percaya diri adalah keyakinan akan
kemampuan yang dimiliki oleh diri sendiri. Sikap percaya diri akan menghasilkan
berbagai perasaan dalam melakukan suatu tindakan. Sikap percaya diri dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu faktor dalam dirinya yang meliputi konsisi jiwa dan fisiknya,
serta faktor dari luar yaitu lingkungan, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat.
2. Prestasi belajar
Pendidikan anak sekarang bukan lagi kemewahan yang hanya ditunjuk untuk
segelintir orang, tetapi merupakan kebutuhan untuk semua orang. Anak harus dididik
lebih tinggi dan mempelajari keahlian yang lebih maju, yang akan membawa mereka
untuk mencapai prestasi belajar dan prestasi belajar itu adalah penguasaan
pengetahuan atau ketrampilan yang dilambangkan melalui mata pelajaran, lazimnya
ditunjukan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru.
Prestasi belajar merupakan hasil kegiatan belajar, yaitu sejauh mana peserta
didik menguasai bahan pelajaran yang diajarkan, yang diikuti oleh munculnya
perasaan puas bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan baik. Hal ini berarti prestasi
belajar hanya bisa diketahui jika telah dilakukan penilaian terhadap hasil belajar
siswa.
2.1.5. Pengertian Remaja
Fase remaja adalah masa transisi atau peralihan dari akhir masa kanak-kanak
menuju masa dewasa. Dengan demikian, pola pikir dan tingkah lakunya merupakan
peralihan
dari
anak-anak
menjadi
orang
dewasa
(Damaiyanti,
2008).
Menurut Dorland (2011), “remaja atau adolescence adalah periode di antara pubertas
dan selesainya pertumbuhan fisik, secara kasar mulai dari usia 11 sampai 19 tahun”.
Menurut Sigmun Freud (1856-1939), dalam Sunaryo (2004) mengatakan bahwa fase
remaja yang berlangsung dari usia 12-13 tahun hingga 20 tahun.
Masa remaja merupakan masa pencarian jati diri seseorang dalam rentang
masa kanak-kanak sampai masa dewasa. Pada masa ini, pola pikir dan tingkah laku
remaja sangat berbeda pada saat masih kanak-kanak. Hubungan dengan kelompok
(teman sebaya) lebih erat dibandingkan hubungan dengan orang tua.
2.1.6. Remaja Awal
Menurut Sarwono (2006) Remaja Awal (Early Adolescence) Seorang remaja
pada tahap ini berusia 10-12 tahun masih terheran–heran akan perubahan-perubahan
yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai
perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat
tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang
bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebihlebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”. Hal ini
menyebabkan para remaja awal sulit dimengerti orang dewasa.
2.1.7 Ciri Perkembangan Remaja
• Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami
masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan
dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
• Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanakkanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas,
keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan
menentukan pola perilaku, nilai, dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.
• Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan
tubuh, minat, dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai
yang dianut, serta keinginan akan kebebasan.
• Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha
untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.
• Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian
karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat
banyak orang tua menjadi takut.
• Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang
kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang
lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam
cita-cita.
• Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan
didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam
memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok,
minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks.
Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka
inginkan. Disimpulkan adanya perubahan fisik maupun psikis pada diri remaja,
kecenderungan remaja akan mengalami masalah dalam penyesuaian diri dengan
lingkungan. Hal ini diharapkan agar remaja dapat menjalani tugas perkembangan
dengan baik-baik dan penuh tanggung jawab
2.1.8. Tahap Perkembangan Remaja
Tahap perkembangan remaja dimulai dari fase praremaja sampai dengan fase
remaja akhir berdasarkan pendapat Sullivan (1892-1949). Pada fase-fase ini terdapat
beragam ciri khas pada masing-masing fase.
1.
Fase Praremaja
Periode transisi antara masa kanak-kanak dan adolesens sering sikenal
sebagai praremaja oleh profesional dalam ilmu perilaku (Potter&Perry,
2005). Menurut Hall seorang sarjana psikologi Amerika Serikat, masa
muda (youth or preadolescence) adalah masa perkembangan manusia yang
terjadi pada umur 8-12 tahun.
Fase praremaja ini ditandai dengan kebutuhan menjalin hubungan
dengan teman sejenis, kebutuhan akan sahabat yang dapat dipercaya,
bekerja sama dalam melaksanakan tugas, dan memecahkan masalah
kehidupan, dan kebutuhan dalam membangun hubungan dengan teman
sebaya yang memiliki persamaan, kerja sama, tindakan timbal balik,
sehingga tidak kesepian (Sunaryo, 2004). Tugas perkembangan terpenting
dalam fase praremaja yaitu,belajar melakukan hubungan dengan teman
sebaya dengan cara berkompetisi, berkompromi dan kerjasama.
2.
Fase Remaja Awal (early adolescence)
Fase remaja awal merupakan fase yang lanjutan dari praremaja. pada fase ini
ketertarikan pada lawan jenis mulai nampak. Sehingga, remaja mencari suatu pola
untuk memuaskan dorongan genitalnya. Menurut Steinberg (dalam Santrock, 2002)
mengemukakan bahwa masa remaja awal adalah suatu periode ketika konflik dengan
orang tua meningkat melampaui tingkat masa anak-anak. Sunaryo (2004)
berpendapat bahwa, hal terpenting pada fase ini, antara lain:
1)
Tantangan utama adalah mengembangkan aktivitas heteroseksual.
2)
Terjadi perubahan fisiologis
3)
Terdapat pemisahan antara hubungan erotik yang sasarannya adalah lawan
jenis dan keintiman dengan jenis kelamin yang sama
4)
Jika erotik dan keintiman tidak dipisahkan, maka akan terjadi hubungan
homoseksual
5)
Timbul banyak konflik akibat kebutuhan kepuasan seksual, keamanan dan
keakraban.
6)
Tugas perkembangan yang penting adalah belajar mandiri dan melakukan
hubungan dengan jenis kelamin yang berbeda.
3.
Fase Remaja Akhir
Fase remaja akhir merupakan fase dengan ciri khas aktivitas seksual yang
sudah terpolakan. Hal ini didapatkan melalui pendidikan hingga terbentuk pola
hubungan antarpribadi yang sungguh-sungguh matang. Fase ini merupakan inisiasi ke
arah hak, kewajiban, kepuasan, tanggung jawab kehidupan sebagai masyarakat dan
warga negara.
2.2. Teori Proses dan Tahapan
Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang
sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung
memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke
dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas, melihat burung
kenari dan memberinya label "burung" adalah contoh mengasimilasi binatang itu
pada skema burung si anak.
Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan
atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan
skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang
baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung unta dan mengubah
skemanya tentang burung sebelum memberinya label "burung" adalah contoh
mengakomodasi binatang itu pada skema burung si anak.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah
dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses
penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan
equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisinya dengan
pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan
seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di
atas.
2.3. Teori Sinematografi
Cinematography terdiri dari dua suku kata Cinema dan graphy yang berasal dari
bahasaYunani: Kinema, yang berarti gerakan dan graphoo yang berarti menulis. Jadi
Cinematography bisa diartikan menulis dengan gambar yang bergerak.
Di dalam kamus istilah TELETALK yang disusun oleh Peter Jarvis terbitan
BBC TelevisionTraining, Cinematography diartikan sebagai The craft of making
picture (pengrajin gambar).
Sinematografi memiliki objek yang sama dengan fotografi yakni menangkap
pantulan cahaya yang mengenai benda. Karena objeknya sama maka peralatannya
pun mirip. Perbedaannya fotografi menangkap gambar tunggal, sedangkan
sinematografi menangkap rangkaian gambar. Penyampaian ide pada fotografi
memanfaatkan gambar tunggal, sedangkan pada sinematografi memanfaatkan
rangkaian gambar. Jadi sinematografi adalah gabungan antara fotografi dengan teknik
rangkaian gambar atau dalam sinematografi disebut montase atau montage.
Dalam Sinematografi kita mempelajari bagaimana membuat gambar bergerak,
seperti apakah gambar2 itu, bagaimana merangkai potongan2 gambar yang bergerak
menjadi rangkaiaan gambar yang mampu menyampaikan maksud tertentu atau
menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan suatu ide tertentu.
Maka secara konkrit bahasa yang digunakan dalam sinematografi adalah suatu
rangkaian beruntun dari gambar bergerak yang dalam pembuatannya memperhatikan
ketajaman gambar, corak penggambarannya, memperhatikan seberapa lama gambar
itu ditampilkan, iramanya dan sebagainya yang kesemuanya merupakan alat
komunikasi non verbal
Dalam buku teori-teori komunikasi yang ditulis oleh B Aubrey Fisher,dikutip
definisi komunikasi yang baik dari Fotheringham bahwa komunikasi dapat dipandang
baik atau efektif apabila ide, tema, informasi dsb yang disampaikan dapat dipandang
“sama” atau mempunyai kesamaan bagi orang-orang yang terlibat dalam perilaku
komunikasi. Berkaitan dengan sinematografi, hal seperti yang disampaikan diatas
perlu diperhatikan karena menyampaikan sesuatu, ide, gagasan, informasi, tema
dengan menggunakan gambar tentu tidaklah semudah penyampaian dengan
menggunakan tulisan.
Download