konsep metafisika emmanuel lévinas

advertisement
Ahmad Jauhari
KONSEP METAFISIKA EMMANUEL LÉVINAS
Ahmad Jauhari
Dosen Tamu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstrak: Berangkat dari keprihatiannya atas kecenderungan filsafat
Barat yang berpusat pada subjek, sekaligus biang-keladi atas pelbagai
kebiadaban dunia modern, Levinas menerobos gagasan pendahulunya,
yakni Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Bertolak dari
fenomenologi Husserl dan ontologi Heidegger, Levinas menemukan
bahwa filsafat subjek bukanlah dasar metafisika, melainkan bila dikuak
lebih mendalam, filsafat subjek inti dasarnya adalah the Other.
Karenanya, the Other bagi Levinas merupakan dasar metafisika, bukan
pada filsafat subjek. Karenanya, Levinas menyimpulkan bahwa, dasar
filsafat bukanlah terletak pada metafisika, melainkan metafisika justru
bertolak dari etika, sebagai the Other yang memungkinkannya.
Kata Kunci: Fenomenologi, Metafisika, Etika, The Other, Wajah,
Tanggung Jawab, Ontologi, Interioritas, Eksterioritas
Pendahuluan
Dalam diskursus modernisme, pengandaian cara bertindak dan sikap terhadap
realitas, bertitik-tolak dari diktum Descartes, bahwa “aku berpikir maka aku ada”
(cogito ergo sum). Fakta ini hendak menggambarkan bahwa manusia (sang aku) sebagai
pusat dalam memperlakukan realitas. Implikasi dari diktum tersebut memungkinkan
manusia menegasikan realitas di luar kesadaran dirinya. Juga sekaligus menatap “yang
lain”, menjadi legitim untuk dikuasai dan eksploitasi seturut kehendak sang aku.
Konsekuensi logis dari diktum tersebut, menjadikan kehidupan modern penuh sesak
dengan eksploitasi manusia, bukan hanya terhadap makhluk lain, melainkan juga
terhadap sesamanya. Kolonialisme, diskriminasi, perusakan alam, dan seterusnya,
merupakan akibat dari peneguhan subjek sebagai pusat realitas. Bagaimana nasib “yang
lain”, yang sesungguhnya juga mempunyai eksistensinya sendiri? Apa yang terjadi
dikesadaran subjek tentang “yang lain”? Dalam sudut ini, Emmanuel Levinas
menawarkan cara pandang baru di dalam diskursus filsafat kontemporer. Gagasan yang
YAQZHAN Volume 2, Nomor 1, Juni 2016
15
Ahmad Jauhari
mencoba menatap “yang lain” sebagai dasar metafisika. Dan, bahwa etika justru
menjadi dasar dari filsafat, bukan metafisika.
Tulisan ini, tak berhasrat merangkum pikiran Levinas. Melainkan hanya gambar
yang terpecah-pecah. Pertama, biografi singkat tentang Levinas, menjadi suguhan
pembuka. Kedua, narasi beranjak ke latar belakang pada tiga kenyataan, yang ikut
berperan membantuk orisinalitas pikiran-pikiran Levinas. Ketiga, tulisan ini mulai
terfokus pada inti ajaran Levinas, tentang “Orang Lain” (Autrui, I’Autre), yang menjadi
dasar metafisikanya. Keempat, mulai melihat implikasi dari metafisika “Orang Lain”,
tentang bagaimana Levinas menatap “Wajah” (Visage) serta “Tanggung Jawab”.
Akhirnya, tulisan ini ditutup dengan posisi Levinas dalam diskursus metafisika.
Biografi & Bibliografi Levinas
Emmanuel Lévinas terlahir di Kaunas, Lituania dari keluarga Yahudi, pada 12
Januari 1906. Lituania termasuk bagian dari Rusia. Ia dibesarkan di bawah
pemerintahan Tsar, daerah di mana agama Yahudi dan studi Talmud cukup kuat
berakar. Levinas sendiri bercerita bahwa ia dibesarkan dengan tradisi Alkitab Ibrani dan
menyerap karya-karya sastra klasik Rusia, yakni Tostoi dan Puschkin.1 Tahun 1923,
Levinas muda masuk di Universitas Strasbourg di Prancis. Tahun 1928-1929, ia belajar
pada Husserl di Freiburg-im-Breisgau. Levinas menyelesaikan studinya di Universitas
Sorbonne tahun 1930 dengan disertasi La theorie de I’intuition dans la phenomenologie
de Husserl (The Theory of Intuition in Husserl’s Phenomenology). Karya ini merupakan
usaha memperkenalkan Fenomenologi Husserl di Prancis. Setahun kemudian, ia
memperoleh kewarganegaraan Prancis.
Oleh beberapa ahli tentang Levinas, disebut-sebut ada dua bukunya yang cukup
berpengaruh. Pertama, karya yang ditulis pada tahun 1961 yakni Totalite et infini: Essai
sur l’exteriorite (Totality and Infinity: An Essay on Exteriority). Tema sentral yang
dibahas adalah tentang “Wajah”. Kedua, karya yang ditulis tahun 1974, yakni
Autrement qu’etre ou au-dela de l’essence (Otherwise than Being or Beyond Essence),
yang membahas tentang “Tanggung Jawab”. Di samping dua karya di atas, ada
beberapa karya Levinas, yakni Ethique et Infini, 1982 (Ethics and Infinity), De
1
Seán Hand (ed), Emmanuel Levinas: The Levinas Reader, (Blackwell, Oxford UK & Cambrige
USA, 1989), hlm. 121.
YAQZHAN Volume 2, Nomor 1, Juni 2016
16
Ahmad Jauhari
l’existence a l’existant, 1947 (Existence and Existents), En decouvrant l’ existence avec
Husserl et Heidegger, 1949 (Menemukan Eksistensi bersama Husserl dan Heidegger),
Humanisme de l’ autre home, 1972 (Humanisme manusia lain), Sur Maurice Blanchot,
1976 (Tentang Maurice Blanchot), dan beberapa kumpulan artikel di pelbagai majalah.2
Sumber Pemikiran Levinas
Riwayat hidup Levinas di atas sedikit memberi gambaran, bahwa pemikiran
Levinas berdasar pada tiga sumber; tradisi Yahudi, sejarah filsafat Barat, dan
pendekatan Fenomenologis. Latar belakang hidup seseorang cukup berpengaruh di
kemudian hari. Itu juga berlaku bagi Levinas. Ia dibesarkan dalam tradisi Yahudi.
Levinas bahkan—menurut kesaksiannya sendiri—dibesarkan dengan Alkitab Ibrani.
Dua filsuf Yahudi abad ke-20, yakni Martin Buber dan Franz Rosenzweig, memainkan
peran yang cukup penting. Karya Rosenzweig tentang Stern der Erlösung (Bintang
Penebusan), memang cukup mempengaruhi refleksi Levinas. Bahkan dalam buku
Totality and Infinity ia mengatakan karya Rosenzweig tersebut tidak dikutip secara
eksplisit, oleh sebab sangat terasa kehadirannya dalam keseluruhan isi buku Levinas.3
Meski Levinas terlahir sebagai Yahudi, tidak berarti ia ‘menampakkan’
keyahudiannya. Yang jelas, Levinas menulis karya-karyanya dalam dua macam
karangan: karya-karya religius dan filosofis. Dua hal itu harus dibedakan, dan itu tidak
berarti harus dipisahkan. Levinas sungguh-sungguh mewarnai tulisannya secara
filosofis, bukan teologis. Ia terkadang menggunakan simbol-simbol dan alam pikir
Yahudi, tapi dimaksudkan untuk ‘menerangi’ refleksinya tentang manusia secara
filosofis. Dalam karya-karya filosofisnya, ia tidak pernah menggunakan otoritas kitab
suci sebagai penopang karyanya. Dalam bukunya tentang Totality and Infinity, Levinas
selalu memperbincangkan sejarah filsafat Barat, mulai dari Platon hingga Heidegger. Ia
selalu mengajukan kritik terhadap tradisi filsafat Barat, khususnya menyangkut
fundamen dasar filsafat Barat.
Sejak kedatangan Levinas di Freiburg, untuk berguru pada Husserl dan
Heidegger, nuansa pendekatan Fenomenologi tak dibisa ditampik. Dalam awal karyanya
tentang Totality and Infinity, ia menulis “the presentation and the development of the
2
Adriaan Theodoor Peperzak, Beyond: The Philosophy of Emmanuel Levinas, (Evanston Illinois:
Northwestern University Press, 1997), hlm. 222.
3
Kees Bertens, Fenomenologi Prancis, (Jakarta: Diktat STF. Driyarkara, 1981), hlm. 25.
YAQZHAN Volume 2, Nomor 1, Juni 2016
17
Ahmad Jauhari
nations employed owe everything to the phenomenological method. Intentional analysis
is the search for the concrete”.4 Dapat dikatakan bahwa gagasan-gagasan (nations)
Levinas sangat berhutang budi pada metode fenomenologis, oleh sebab inti
fenomenologi adalah analisa intensional—yang tentu berbeda maknanya dari maksud
Husserl maupun Heidegger.
Dalam pandangan Levinas, saripati fenomenologi merupakan gagasan tentang
intensionalitas (kesadaran yang mengarah pada sesuatu). Dengan itu Husserl mau
memperbaharui pandangan Descartes tentang kesadaran. Kesadaran bagi Descartes,
dipahami sebagai yang terpisah dari realitas. Husserl datang dengan ajaran
intensionalitas. Ia hendak menekankan bahwa kesadaran selalu berarti sadar akan
sesuatu. Kesadaran selalu intensional (mengarah pada sesuatu). Intensionalitas bukan
salah satu ciri kesadaran, melainkan kodrat kesadaran itu sendiri.5
Akan tetapi, pandangan Husserl semacam ini, menuai kritik dari Levinas. Dalam
disertasinya tentang teori intuisi, kritik Levinas pada Husserl bahwa intensionalitas
ajaran Husserl terdapat pandangan yang terlalu intelektualistik terhadap intuisi. Kritik
yang hampir serupa juga dilontarkan oleh Heidegger—murid Husserl. Bagi Heidegger,
kesadaran hanyalah salah satu cara Ada (Being) menampakkan diri. Jadi, Ada
mendahului kesadaran, bukan sebaliknya.6 Maka, fenomenologi Husserl adalah suatu
epistemologi, sebab menyangkut ‘pengetahuan tentang dunia’, isi kesadaran. Sedang
fenomenologi Heidegger merupakan suatu ontologi, karena terkait dengan ‘kenyataan’.7
Dalam arti inilah, Levinas mengikuti Heidegger. Intensionalitas dibengkokkan
oleh Heidegger, ke arah suatu ontologi baru, yakni suatu filsafat tentang Ada (Being).
Tapi, Levinas membubuhkan catatan pinggir pada Heidegger:
“If at the beginning our reflections are in large concept of ontology and of the
relationship which man sustains with Being, they are also governed by a profound need
to leave the climate of that philosophy, and by the conviction that we cannot leave it for
a philosophy that would be pre-Heideggerian. The concept which appears to preside
over the Heideggerian interpretation of human existence is that of existence conceived
as ecstasy—which is only possible as an ecstasy toward the end”.8
4
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, terj. Alphonso Lingis,
(Pittsburg: Duquesne University Press, 1969), hlm. 28.
5
Kees Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, Jilid II. (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 461.
6
H. Spiegelberg, The Phenomenological Movement: a historical interduction, The Hague:
Martinus Nijhoff, 1982, hlm. 648.
7
F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit,
Jakarta: KPG, 2003), hlm. 29.
8
Pada mulanya, refleksi-refleksi (kami) ini, sebagai besar menimba inspirasi dari filsafat Martin
Heidegger. Di situ ditemukan suatu konsepsi tentang ontologi, dan tentang hubungan yang dipelihara
YAQZHAN Volume 2, Nomor 1, Juni 2016
18
Ahmad Jauhari
Dalam penglihatan Levinas, Heidegger memaknai eksistensi manusiawi dalam
kerangka ekstasis. Hal itu akan menjadi mungkin jika ekstasis dilanjutkan sampai titik
penghabisannya (toward the end). Ek-sistensi artinya manusia selalu terarah ke luar.
Dalam arti ini manusia ditandai ekstasis. Itulah cara Heidegger memaknai
“intensionalitas”. Heidegger menatap intensionalitas sebagai keterarahan pada dunia.
Levinas melanjutkan pandangan ini pada titik penghabisannya. Keterarahan itu
‘menunjuk’ kepada Orang Lain atau “Wajah’ (Visage).
Metafisika tentang “the other”
Memulai langkah ke gurun metafisika Levinas, ada tiga kata kunci yang mesti
dilewati, yakni istilah Totalitas, Tak Berhingga, dan Eksterioritas. Tiga hal ini berdasar
pada judul karya besar filosofis Levinas, 1961 (Totality and Infinity: An Essay on
Exteriority).
Istilah Totalitas, bagi Levinas, bernada kurang baik. Seluruh perjalanan filsafat
Barat, bagi Levinas, selama ini bertumpu pada totalitas. Dengan kata lain, filsafat Barat
hendak membangun sebuah rancang-bangun realitas yang berpangkal pada “ego”
sebagai rujukannya. Tradisi filsafat, selama ini, bertolak dari “aku” dan hendak kembali
pada “aku”. Tatanan berpikir semacam ini disebut Levinas sebagai la philosohie du
Même (the philosophy of the Same). Arti même dalam bahasa Prancis bermakna “diri”
(self) maupun “sama” (same). Realitas ini dapat ditelusur dari pernyataan Plotinus
bahwa jiwa tidak pernah pergi ke sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri dan tidak
berada dalam sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri.9
Pernyataan Descartes tentang cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada),
seolah mempertegas hal ini. Realitas ini masih juga menyusup dalam pemikiran Husserl
maupun Sartre. “Ada” bagi mereka, dimengerti sebagai “imanensi” atau “interioritas”.
manusia dengan Ada. Tapi refleksi-refkelsi kami ini ditandai juga oleh kebutuhan untuk meninggalkan
suasana pemikiran Heidegger itu, biarpun tetap yakin bahwa pemikirannya tidak mungkin ditinggalkan
untuk beralih ke suatu filsafat pra-Heideggerian. Rupanya, pengertian dominan yang menguasai
interpretasi Heidegger tentang eksisitensi manusiawi adalah eksisitensi dipahami sebagai ekstasis. Nah,
hal itu hanya mungkin sebagai ekstasis sampai titik penghabisannya. Emmanuel Levinas, Existence and
existents, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1978), hlm. 19. Baca juga, Bertens, Filsafat Barat Kontemporer,
Jilid II, hlm. 462
9
Kees Bertens, Fenomenologi Prancis, (Jakarta: Diktat STF. Driyarkara, 1981), hlm. 27.
YAQZHAN Volume 2, Nomor 1, Juni 2016
19
Ahmad Jauhari
Filsafat yang selalu bertumpu pada totalisasi itu tadi, disebut Levinas sebagai
“ontologi”. Ontologi menurut Levinas merupakan pemikiran tentang ‘yang sama’ (to
auto), tentang ‘diri sendiri’.
Totalitas yang sedemikian rigor, tiba-tiba didobrak oleh datangnya “Yang Tak
Berhingga”. Secara prinsipil, realitas ini dimengerti bukan untuk dimasukkan ke dalam
lingkup pengetahuan maupun kemampuan “ego”. Yang tak Berhingga itu adalah
“Orang Lain” (Autrui, I’Autre). Totalitas yang telah saya susun dengan “susah-payah”,
seketika hancur berantakan, oleh sebab perjumpaan dengan Orang Lain. Artinya, orang
lain hadir dengan keberlainannya.10
Di mata Levinas, filsafat Barat selama ini memandang adanya sesama manusia
belum pernah dilihat dengan semestinya. Orang Lain, bagi Levinas merupakan fenomen
sui generis, suatu fenomen yang sama sekali unik. Orang Lain bukan bagian dari
totalitas “ku”. Ia selalu tampak sebagai suatu eksterioritas. Suatu kepadatan yang tak
terselami. Orang Lain bukanlah “alter-ego”. Saya tidak dapat menjumpai Orang Lain,
dengan bertolak dari “ego”. Dia lain sama sekali. Orang Lain merupakan si Pendatang,
ia Orang Asing (l’Etranger). Bagi Levinas, ‘metafisika’ bermakna pemikiran yang
membuka diri bagi dimensi yang tak Berhingga, dengan hadirnya ‘yang lain’ (to
heteron). Satu tesis pokok Levinas adalah metafisika ditempatkan melampaui ontologi,
oleh sebab perjumpaan dengan Orang Lain merupakan momentum etis. Karenanya
kodrat metafisika pada dasarnya bersifat etis. Maka, metafisika dan etika, bagi Levinas
tidak dapat dipisahkan. Etika adalah “filsafat pertama”. Istilah filsafat pertama adalah
nama yang dipakai Aristoteles, guna menunjuk metafisika.11 Prioritas metafisika
melampaui ontologi, menurut Levinas, bersinergi dengan apa yang dikatakan Plato
bahwa idea “Baik” harus ditempatkan di seberang idea “Ada”. Inilah yang dinamakan
momentum etis.
Dalam konteks ini, Levinas menggunakan istilah yang cukup menarik:
substitution (mengganti tempat orang lain; menjadi sandera bagi orang lain). Sandera
dalam arti, menggantikan posisi orang lain (Bertens, 1985: 468). Bagi pemikiran
ontologis, tak memuat pemahaman substitusi. Ontologi hanya memperbincangkan
10
Franz Magnis-Suseno, Etika Abad-20: 12 Teks Kunci, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 106
.
Emmanuel Levinas, “Is Ontology Fundamental?”, terj. Peter Atterton, Philosophy Today, vol.
33, Musim Panas 1989, hlm. 123.
11
YAQZHAN Volume 2, Nomor 1, Juni 2016
20
Ahmad Jauhari
tanggung jawab bagi dirinya sendiri. Maka, Levinas berusaha memberikan pendasaran
yang lain sama sekali dengan cogito Descartes. Jika Descartes mendasarkan
subyektivitas pada cogito ergo sum (aku berfikir, jadi aku ada). Levinas
mendasarkannya pada Respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab, jadi aku ada).12
Menatap “Wajah” & “Tanggung Jawab”
Untuk membahas dua istilah di atas, ada sebuah nukilan wawancara Philippe
Nemo dengan Levinas yang terangkum dalam buku Ethique et Infini, (Ethics and
Infinity), 1982. Pertama-tama Nemo menanyakan tentang apa yang terjadi bila
“memandang” orang lain? Pandangan atau memandang, dalam kaca mata Levinas
mengindikasikan pada pengenalan atau persepsi. Padahal pengenalan mengandaikan
keterarahan pada Orang Lain bagaikan sebuah obyek. Maka, bagi Levinas, akses kepada
Wajah dari semula bersifat etis.13
Wajah, bagi Levinas merupakan makna dan makna menurutnya itu tanpa
konteks. Artinya, “Wajah tidak bisa menjadi isi yang dapat Anda tangkap dengan
pemikiran; Wajah tidak bisa dirangkum, ia menghantar Anda ke seberang”. Kemudian
Nemo mempertajam, relasi etis ini, di satu pihak ada di seberang pengetahuan. Di pihak
lain, pembicaraan saya dengan Orang Lain, begitu sebaliknya, tercantum dalam
percakapan, bukankah percakapan itu sendiri adalah sesuatu yang termasuk
pengetahuan? Percakapan, menurut Levinas dibedakan antara mengatakan (le dire) dan
apa yang dikatakan (le dit). Le dire bermakna mengatakan. Hal ini dipakai Levinas
untuk menunjuk kehadiran Wajah sekaligus sebagai penerimaan pertanggungjawaban
atas Orang Lain. Jadi, le dire itu bersifat metafisis, yang termasuk konteks dari “yang
lain”. Sedang le dit maknanya apa yang pada kenyataannya dikatakan. Dengan kata lain,
apa yang dirumuskan dalam bahasa. Hal ini, le dit berarti mengandung sifat ontologis,
yang termasuk dalam konteks “yang sama”.14
Kenyataan ini, dapat direfleksikan sebagai berikut: misalnya, Andi sedang naik
Bus, duduk bersebelahan dengan seorang nenek, yang tak dikenal Andi sebelumnya.
Andi mulai mengobrol tentang keluarganya, tujuannya atau tentang apa saja. Tindakan
12
Ibid. hlm. 469
Kees Bertens (ed), Fenomenologi Eksistensial, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 82-83.
14
Franz. Magnis-Suseno, Etika Abad-20: 12 Teks Kunci, hlm. 107.
13
YAQZHAN Volume 2, Nomor 1, Juni 2016
21
Ahmad Jauhari
itu oleh Levinas disebut le dire (mengatakan). Sedangkan kata-kata yang dipakai oleh
Levinas disebut sebagai le dit (apa yang dikatakan).
Dalam menjawab perjumpaan dengan orang lain, yang berlangsung dengan cara
kekerasan, benci dan penghinaan. Levinas menjawab, pengandaian tentang pembalikan
itu, bagi Levinas, dianggap ada keberatan lain yang jauh lebih besar, yakni kenyataan
hukum akibat munculnya pihak ketiga.15 Tetapi bagi Levinas, apa pun motivasi yang
menjelaskan pembalikan itu, pengandaian tentang Wajah menjadi hal yang utama.
Menyangkut tanggung jawab untuk Orang Lain, Levinas memahami tanggung
jawab sebagai struktur hakiki, pertama dan fundamental dari subyektivitas (dalam
konteks etis). Tanggung jawab, baginya adalah tanggung jawab untuk Orang Lain.
Dimengerti sebagai tanggung jawab untuk yang tidak menjadi urusan saya, atau bahkan
yang tidak menyangkut saya. Bagi Levinas, akses kepada Wajah tidak berlangsung
melalui jalan persepsi, melalui intensionalitas yang terarah pada persamaan. Jadi, saat
Orang Lain memandang saya, segera saya bertanggung jawab atas dia, bahkan tanpa
perlu saya mengambil tanggung jawab terhadap dia; tanggung jawab itu bertumpu atas
diri saya. Itulah tanggung jawab melebihi apa yang saya lakukan. Biasanya, orang
bertanggung jawab atas apa yang dilakukan orang itu sendiri. Levinas bahkan
mengatakan bahwa “tanggung jawab itu pada awal mula adalah suatu bagi-Orang-Lain
(pour autrui)”. Itu berarti tindakan (saya) bertanggung jawab atas tanggung jawabnya
itu sendiri. Hal ini bertentangan dengan Sartre, misalnya, yang melihat subyektivitas
sebagai “pour soi” (bagi dirinya).16
Subyektivitas, bagi Levinas bukanlah pour soi (bagi dirinya), sebagaimana
Sartre melainkan pour autrui (bagi-Orang-Lain). “Dekatnya Orang Lain” (proximite,
proximity), bukan dalam arti ruang; ia famili dekat saya dan seterusnya, melainkan ia
(Orang Lain) mendekati saya, dan sekaligus “mendera dan menyandera” saya untuk
bertanggung jawab. Hal ini tidak dapat disamakan dengan intensionalitas yang
mengarah pada kenyataan bahwa saya “mengenal” Orang Lain. Mengenal berarti
memandang Orang Lain bagaikan obyek.
Relasi intersubyektif, bagi Levinas merupakan suatu relasi non-simetris. “Dalam
arti ini”, kata Levinas, “saya bertanggung jawab atas Orang Lain tanpa menunggu
balasannya, sekalipun itu mengakibatkan saya kehilangan nyawa”. Justru dalam relasi
15
16
Ibid..
Ibid.
YAQZHAN Volume 2, Nomor 1, Juni 2016
22
Ahmad Jauhari
non-simetris inilah aku menjadi “subyek”. Levinas memakai kata “subyek”, dalam
konteks bahasa aslinya (Latin), “subjectum”, yang berasal dari “subjicere”, artinya
“menaklukkan”. Maka, dalam arti inilah aku justru “menaklukkan” Orang Lain. Ada
satu ungkapan dari Dostoyevski, dalam novel “Karamazov Bersaudara”, yang sering
dikutip Levinas. “Kita semua bersalah atas segalanya dan atas semua orang di hadapan
semua orang dan saya lebih bersalah daripada siapa pun”.17
Yang menjiwai ide tanggung jawab untuk manusia lain, menurut Levinas adalah
“dés-inter-essement”.
Istilah
ini,
sebagaimana
dalam
kata
bahasa
Inggris
“disinterestedness”, istilah Prancis itu pun bermakna sikap tanpa pamprih, sikap tidak
mencari kepentingan sendiri. Istilah itu dibentuk dari kata Latin “interesse”
(kepentingan), tapi juga “esse” (ada). Levinas ingin menunjukkan, dengan kata itu,
bahwa subyektivitas dengan tanggung jawabnya melepaskan diri dari kepentingan diri
dan bahkan dari Ada. Maka, tendensi subyek, bagi Levinas, tidak egosentris, melainkan
bagi Orang Lain. Sehingga, Dia-konia (istilah Yunani, yang berarti: pelayanan, bantuan)
mendahului setiap dia-log.18
“…Tanggung jawab”, kata Levinas, “ialah apa yang secara eksklusif bertumpu
pada saya dan yang—secara manusiawi—tidak dapat saya tolak. Beban ini adalah
martabat tertinggi dari yang unik”.19 Sehingga subyek dapat menggantikan diri bagi
semua orang. Tapi tak seorang pun dapat menggantikan diri bagi subyek. Itulah
identitas ku, kata Levinas, yang tidak terasingkan sebagai subyek. Jadi, sayalah yang
bertanggung jawab bukan saja atas perbuatan-perbuatan saya, melainkan juga atas
perbuatan-perbuatan orang lain. Dengan hal ini, saya tidak dapat mengatakan bahwa
orang lain bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan saya. Jadi benarlah apa yang
dikatakan Dostoyevski, dalam novel Karamozov Bersaudara, di mana Starets (Sang
Rahib) Zosima berkata: “Setiap orang di antara kita bersalah terhadap terhadap semua
orang lain, dan saya lebih bersalah daripada siapa pun”.20
17
Kees Berten, Filsafat Barat Kontemporer: II, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 469.
Kees. Bertens (ed), Fenomenologi Eksistensial, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 91.
19
Ibid.
20
Ibid.
18
YAQZHAN Volume 2, Nomor 1, Juni 2016
23
Ahmad Jauhari
Penutup
Metafisika Levinas, yang bertolak dari orang lain, paling tidak, memberi
rangsangan baru dalam diskursus metafisika, walau Levinas sendiri memberikan makna
berbeda antara metafisika dan ontologi. Realitas ini membuka cakrawala baru yang
unik. Lewat Orang Lain, saya “tersandera” olehnya dalam tanggung jawab total atas
sesama. Kehadiran ketakberhinggaan ini, membuka diri, sehingga mencakup segalagalanya, sebagai kerangka acuan segenap sikap (diri) yang terhingga.
Kecenderungan filsafat dewasa ini adalah agnostisisme, anggapan bahwa
“tentang Allah orang tidak dapat mengetahui sesuatu”. Bahasa profetis Levinas, yang
tidak takut meminjam istilah-istilah religius, untuk menjelaskan pertemuan dengan
orang lain, sungguh melawan arus. Tetapi, justru di situlah arti penting Levinas. Filsafat
Levinas, yang berangkat dari “yang lain”, merupakan titik tolak yang ampuh terhadap
kecenderungan filsafat dewasa ini, yang bertumpu pada “apriori agnostisistik”. Dengan
mengalami
ketakberhinggan,
subyek
mampu
untuk
bersikap
terhingga.
Ketakterhinggaan menyentuh subyek, yang terhimbau mutlak untuk mengiyakan “yang
lain” dengan ketakterhinggaannya.
Daftar Pustaka
Bertens, Kees. 1981. Fenomenologi Prancis. Jakarta: Diktat STF. Driyarkara.,
. 1985. Filsafat Barat Kontemporer: II. Jakarta: Gramedia.
. 1987. Fenomenologi Eksistensial. Jakarta: Gramedia.
Hardiman, Budi. 2003. Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju
Sein und Zeit. Jakarta: KPG.
Hand, Seán. (ed). 1989. Emmanuel Levinas: The Levinas Reader. Oxford UK &
Cambrige USA: Blackwell.
Hansel, Georges. 1999. “Emmanuel Levinas (1906-1995)”, terj. Robert Doran,
Philosophy Today, vol. 43.
Levinas, Emmanuel. 1969. Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, terj. Alphonso
Lingis. Pittsburg: Duquesne University Pres.s
. 1989. “Is Ontology Fundamental?”, terj. Peter Atterton,
Philosophy Today, vol. 33, Musim Panas.
. 1978. Existence and existents, The Hague: Martinus Nijhoff,
YAQZHAN Volume 2, Nomor 1, Juni 2016
24
Ahmad Jauhari
Magnis-Suseno, Franz. 2006. Etika Abad-20: 12 Teks Kunci. Yogyakarta: Kanisius.
. 2000. 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Peperzak, Adriaan Theodoor. 1997. Beyond: The Philosophy of Emmanuel Levinas.
Evanston. Illinois: Northwestern University Press.
Spiegelberg, Herbert. 1982. The Phenomenological Movement: a Historical
interduction. The Hague, Martinus Nijhoff.
YAQZHAN Volume 2, Nomor 1, Juni 2016
25
Download