Panorama Rasionalitas

advertisement
Panorama Rasionalitas 2011
Panorama Rasionalitas
(Dari Yunani Hingga Modernitas)
Apakah filsafat? Jika dibahasakan dengan mudah, filsafat adalah elaborasi relasi saya
(manusia) dengan dunia. Filsafat berada pada rincian aneka kepentingan refleksi pemahaman
dunia saya. Dunia di sini bukan semata dunia fisik, alam, gunung, sungai, sawah. Melainkan
dunia dalam arti yang luas, mendalam, melimpah. Dunia mencakup segala perkara yang
berurusan dengan hidup saya (hidup, mati, makna hidup, Tuhan, kejahatan). Filsafat menyoal
tentang manusia, karena soal manusia adalah soal dunia hidup saya. Filsafat merefleksikan
‘Siapakah aku,’ karena wacana tentag aku sebagai manusia yang menyejarah menunjuk langsung
kepada dunia hidupku. Dan, demikian, bahkan filsafat menggaggas tentang Tuhan, karena
refleksi ‘Sang Ada Absolut’ mengisi ruang hidupku. Dengan singkat kata, filsafat berupa
elaborasi hubungan saya dengan dunia yang saya hidupi.
Jika kita melihat secara singkat, elaborasi relasi manusia dengan dunia dalam sejarah
perkembangan filsafat akan dijumpai suatu alur yang mengalir. Mula-mula, pada zaman sebelum
filsafat (dalam artian umum), manusia memahami dunia dengan segala peristiwanya dalam
mitos-mitos. Hujan, misalnya, merupakan tangisan dewi. Penjelasan hujan sebagai tangisan dewi
merupakan mitos, sebab penjelasan itu tidak menyentuh halnya.
Menurut pemikiran modern, hujan tidak lain merupakan jatuhnya uap air dari udara
setelah mencapai titik suhu kenisbian tertentu. Namun, harus dipahami bahwa mitos tidak
mengatakan salah benar suatu penjelasan. Dalam pemahaman kemudian, akan dijumpai bahwa
mitos sebenarnya bukanlah dimaksudkan untuk menjelaskan halnya (hujan) atau proses
peristiwanya (berupa air turun dari atas). Melainkan mitos dimaksudkan untuk melukiskan relasi
manusia dengan alam, dengan dunianya, bahkan dengan realitas yang mengatasi hidupnya.
Misalnya, apabila hujan turun berlebihan dan menyebabkan banjir, orang langsung bertanya apa
yang dikehendaki dewa terhadap manusia. Atau, banjir dimengeri dalam kaitannya dengan
bentuk ungkapan kemarahan dewa/dewi atas hidup manusia yang dirasa tidak memenuhi
ketentuan yang digariskan oleh sang penyelenggara kehidupan. Jadi, mitos bukan penjelasan hal
atau peristiwa hujannya melainkan elaborasi relasi manusia dengan dunianya.
Periode awal kelahiran filsafat Yunani ditandai dengan campur baur mentalitas berpikir.
Tidak sepenuhnya mitos ditinggalkan. Tetapi gerakan intelektual yang berusaha menarik garis
1
Panorama Rasionalitas 2011
tegas antara penjelasan mitologis dan ilmiah juga makin menghebat. Apa yang disebut sebagai
‘ilmiah’ dalam periode awal filsafat Yunani jelas berbeda dengan periode modern. Ilmiah dalam
Yunani awali berkaitan dengan argumentasi, refleksi, predikasi. Sedangkan dalam periode
modern, keilmiahan menunjuk kepada metodologi. Apalagi dengan kebangkitan ilmu-ilmu
empiris (ilmu yang mendasarkan diri pada fakta, data, realtias) yang mengalir kepada ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu sosial, pergumulan keilmiahan berarti pergumulan seputar metodologi.
Elaborasi filsafat Yunani awali berkutat pada pencarian arche.
Arche merupakan terminologi filosofis untuk menyebut prinsip, asal-usul. Dengan
menemukan arche, orang bisa menjelaskan segala apa yang ada dalam suatu cara yang
mengesankan. Misalnya, bagaimana segala yang ada ini hendak dijelaskan? Segala yang ada
berasal dari air. Airlah prinsip ada. Itu pendapat Thales. Filosof lain akan memiliki pandangan
lain, prinsip segala yang ada adalah udara. Ada lagi yang menyebut tanah. Tapi, ada juga yang
berkata ketiga-tiganya, air, udara dan tanah. Dan seterusnya. Pandangan filsafat Yunani awali –
karena menyebut air, udara dan semacamnya – disebut filsafat alam. Maka, para filosof awali
adalah para filosof alam.
Perkembangan filsafat Yunani mencapai puncak sistematis pada pemikiran Aristoteles.
Plato dari sendirinya perlu juga disebutkan di sini. Tetapi, elaborasi tentang relasi dunia dengan
manusia ditemukan dalam cara yang mengesankan pada Aristoteles, tanpa mengecilkan peran
hebat dari filsafat Plato juga. Bagi Aristoteles, relasi manusia dengan dunia identik dengan relasi
rasio (akal budi) dan realitas. Artinya, pengetahuan manusia tentang dunia adalah pengetahuan
rasional tentang realitas. Dalam Aristoteles, untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat,
apa yang disebut dengan pengetahuan adalah soal relasi kesesuaian antara apa yang ada
dalam akal budi dengan objek real yang diketahui (di luar akal budi). Plato tidak
memikirkan demikian. Kesejatian pengetahuan platonis menunjuk dan merujuk pada Forma atau
Idea. Kesejatian maksudnya keuniversalan.
Berbeda dengan Aristoteles yang realis, Plato adalah seorang idealis. Kembali kepada
Aristoteles. Dalam Aristoteles, pengetahuan itu memiliki makna, jika pengetahuan itu benar,
sahih, valid. Dan apa yang dimaksudkan dengan soal kebenaran, kesahihan, kevalidan adalah
soal verifikasi apa yang ada dalam rasio dengan objek realnya di luar rasio. Jika suatu
pengetahuan akal budi benar, itu maksudnya pengetahuan itu sesuai dengan objek real (objek
nyata sehari-hari seperti kuda, meja, dll). Dan, kebalikannya, jika pengetahuan salah, artinya
2
Panorama Rasionalitas 2011
pengetahuan itu tidak sesuai dengan objeknya. Contoh, Indonesia terdiri dari tujuh belas ribu
pulau. Ini benar hanya apabila memang ada sekian jumlahnya dalam kenyataan. Bila ternyata
tidak sampai tujuh belas ribu pulau, berarti pengetahuan itu salah. Dengan demikian, kebenaran
suatu ilmu pengetahuan – dalam cara berpikir Aristotelian – ialah kebenaran objektif.
Kebenaran objektif berarti kebenaran yang menunjuk kepada realitas objeknya. Dalam filsafat
Aristotelian, kebenaran objektif adalah kebenaran universal. Berbeda dengan Plato, kebenaran
universal tidak pernah menunjuk kepada objek real. Sebab objek real adalah percikan (model)
dari realitas universal, Idea. Gagasan Aristoteles menjadi semacam pondasi metodologi
untuk ilmu pengetahun modern. Maksudnya, ilmu pengetahuan bertumpu pada objek realnya.
Suatu pernyataan ilmiah ditarik dari realitas objektifnya. Inilah sebabnya seringkali filsafat
Aristoteles disebut sebagai filsafat esse. Artinya, filsafat Aristotelian bertolak dari ada, dari
realitas, dari segala apa yang ada.
Dalam konteks epistemologis, filsafat Aristotelian terus berlangsung sampai Descartes
muncul. Descartes adalah pendobrak gaya justifikasi model Aristotelian. Dia tidak bertolak dari
objek, melainkan dari subjek. Apa artinya bertolak dari subjek? Artinya bertolak dari apa yang
paling melukiskan subjektivitasnya, yaitu rasio, akal budi, kesadaran diri. Filsafat Descartes
seringkali disebut sebagai filsafat kesadaran, semata-mata karena ia melucuti pengetahuan dari
dimensi objektifnya. Pengetahuan itu urusan kesadaran. Urusan apa yang paling menentukan
subjektivitas seseorang. Orang mengetahui kapal, misalnya, itu berarti akal budi orang itu sedang
‘menyadari’ kapal. Descartes berkata dengan benar, cogito ergo sum (saya berpikir maka saya
ada). Kesadaran mendahului ada. Atau, cogito (saya menyadari, berpikir) mendahului sum
(realitas ada saya). Filsafat Descartes juga disebut filsafat Cogito, filsafat ‘saya berpikir’, atau
dengan kata lain filsafat kesadaran. Ergo Sum (maka saya ada) lantas mengalir dari kesadaran.
Pada poin ini, saya berpikir/menyadari mendahului realitas ada saya. Ketika saya berpikir, setan
pun tidak dapat menyangkalnya atau bahkan ketika saya bertanya, apakah saya sedang berpikir,
justru itu menunjukkan bahwa saya sedang berpikir/menyadari. Dengan demikian, dalam
Descartes, seluruh elaborasi mengenai ada saya berangkat dari kesadaran.
Karena kesadaran memiliki karakter subjektif, maka juga soal pengetahun benar atau
salah sangat berurusan dengan subjektivitas. Artinya, dalam cara berpikir demikian, objektivitas
(kebenaran yang berkaitan dengan objeknya) mulai ditinggalkan. Nanti Descartes akan
menegaskan bahwa apa yang disebut dengan pengetahuan adalah ingatan sejauh manusia
3
Panorama Rasionalitas 2011
menyadari. Pengetahuan manusia adalah ‘bawaan’ sejak lahir. Mengenal atau mengetahui berarti
mengingat kembali ide bawaan sejak lahir tersebut. (Mirip gagasan Plato, but let’s go on)
Dikatakan
bahwa
Descartes
mendobrak
filsafat
Aristotelian,
di
mana
letak
pendobrakkannya? Di sini, bahwa sejak Descartes peran rasio makin mengemuka dan
menghebat. Maksudnya, akal budi manusia benar-benar hampir menjadi segalanya dalam tataran
filsafat. Rasionalisme, dalam konteks epistemologis, praktis menunjuk pada filsafat Descartes.
Kepastian ilmu pengetahuan bukan lagi perkara relasi atau kaitan rasio dengan realitas,
melainkan perkara kesadaran rasional manusia. Kerja tentang perkara sesuai atau tidaknya
antara akal budi dengan objek realnya ditinggalkan. Ide tentang subjektivitas atau subjektivisme
(kalau itu berurusan dengan paham) berangkat dari filsafat Cartesius (Rene Descartes).
Rasionalisme Cartesian mengalami puncak elaborasi pada filsafat Immanuel Kant. Dalam
Kant, ilmu pengetahuan bukan ingatan (Descartes), bukan pula kesesuaian antara rasio dan
realitas (Aristoteles), melainkan sintetis apriori. Artinya, pengetahuan itu ada dalam akal budi
sendiri yang memiliki struktur kategoris. Seakan-akan akal budi itu sendiri yang memproduksi
pengetahuan. Kant menulis buku Critique Of Pure Reason, buku yang menggariskan filsafatnya
tentang akal budi murni. Murni artinya tidak tercampur. Tak tercampur apa? Tak tercampur
pengalaman. Pengetahuan itu disebut sintetis apriori sebab pengetahuan itu tidak mengandaikan
pengalaman. Bagi Kant, realitas itu tertutup. Akal budi kita tidak mungkin menembusnya.
Mengenai realitas, Kant membedakan dua hal: realitas dalam dirinya sendiri dan dalam dalam
penampakkannya. Suatu pengetahuan tentang realitas dalam dirinya sendiri tidak mungkin
(misal, tentang Tuhan). Kesadaran kita tertutup sama sekali mengenai suatu realitas dalam
dirinya sendiri. Pengetahuan kita adalah seputar penampakkannya. Karena tesis filosofis yang
demikian, maka dalam Kant, manusia sesungguhnya tidak tahu apa-apa. Maksudnya, bukan tidak
peduli, tapi skema pengetahuan manusia tentang realitas sudah ada dalam akal budinya. Bukunya
yang sangat terkenal itu diberi judul Critique, bukan karena mengemukakan kritik-kritik tapi
buku itu menjadi semacam diskursus final dan tuntas tentang pengetahuan manusia. Disebut
Critique juga lantaran akal budi atau rasio perlu didisiplinkan. Mengapa perlu didisiplinkan?
Karena rasio atau akal budi memiliki batasan-batasannya. Filsafat Kant membuat krisis
metafisika Aristotelian dan itu berarti juga teologi Kristiani (karena teologi Kristen bergerak dari
model berpikir Aristotelian). Mengapa? Karena dengan Kant, Esse atau realitas seakan tidak
diperlukan lagi. Pengetahuan sudah tercakup dalam akal budi manusia sedemikian rupa. Critique
4
Panorama Rasionalitas 2011
of pure reason menisbikan pengalaman akan realitas. Padahal Thomas Aquinas misalnya, kalau
memberi kuliah tentang pembuktian eksistensi Tuhan berangkat dari pengalaman akan realitas.
Umpamanya dalam jalan pertama bukti eksistensi Tuhan, Aquinas menyebut pengalaman bahwa
segala apa yang ada ini bergerak. Nah, gila bukan itu filsafat Kantian. Ia benar-benar membuntu
secara telak diskursus tentang Tuhan dari pengalaman.
Ilmu-ilmu empiris memiliki jalur yang lain lagi. Para ahli ilmu empiris (natural scientist)
menggagas keilmiahan dalam suatu cara yang baru sama sekali. Keilmiahan berurusan dengan
metodologi. Metodologi ilmiah bagi para ilmuwan ilmu-ilmu alam berarti metodologi penelitian
yang memiliki komponen karakteristik: eksperimental, kalkulatif, matematis. Segala apa yang
tidak bisa dihitung, dikalkulasi, distatistikkan itu omong kosong belaka. Cuma ilusi. Para
punggawa ilmu-ilmu empiris tidak main-main. Sebab, memang siapakah yang dapat
membuktikan bahwa dalil-dalil matematis tidak abadi. Tidak ada yang dapat melampaui
kepastian kebenaran matematis.
Gaya berpikir yang mengedepankan cara-cara perhitungan semacam ini – dalam
perkembangan filsafat selanjutnya – disebut positivisme. Artinya sebagaimana dimaksudkan
dalam terminologinya sesuatu itu disebut sahih, valid, benar kalau bisa ‘diletakkan’. Maksudnya,
sesuatu itu meyakinkan bila dapat dihitung, dikalkulasi, dieksperimentasikan. August Comte
adalah tokoh positivisme untuk bidang ilmu sosial, yang kemudian akan dikenal dengan sebutan
sosiologi. Warisan positivisme Comte diteruskan oleh para ahli sosial yang hampir semuanya
meninggalkan cara-cara berpikir yang spekulatif, bawaan semangat abad pertengahan.
Comte di sosiologi. Di bidang psikologi (dimulai oleh Wilhem Wundt yang mendirikan
laboratoriun untuk penelitian psikologi yang kemudian dikenal sebagai psikologi eksperimental),
model-model eksperimentasi dengan hitungan-hitungan prediktif juga sangat dominan. Dalam
ilmu psikologi, gaya berpikir yang semacam itu lantas pada awal abad keduapuluhan disebut
sebagai psikologisme. Positivisme dalam psikologi menjadi puncak kejayaan perkembangan
ilmu-ilmu humanistik.
Tetapi, seorang ahli matematika yang amat tersohor justru gelisah. Gelisah oleh
pertanyaan, benarkah sebuah ilmu pengetahuan itu baru meyakinkan kalau sudah menunjukkan
hitungan matematis yang sahih dan valid? Tidakkah, bila demikian halnya, kebenaran itu seakan
lantas hanya menjadi hak paten dari satu dua orang yang bernama ilmuwan belaka? Benarkah
5
Panorama Rasionalitas 2011
kebenaran itu hanya milik dari segelintir orang yang tahu statistik, hitungan aritmatika,
geometri? Ahli matematika itu adalah Edmund Husserl.
Husserllah pencetus fenomenologi, meski Brentano mengatakan terlebih dahulu hal yang
kurang lebih sama. Apakah fenomenologi? Fenomenologi itu filsafat, ilmu pengetahuan
sekaligus metodologi. Fenomenologi membuka horizon cara berpikir baru dalam filsafat
sekaligus menggebrak kesombongan para ilmuwan positivistik dan menjadi sekaligus metode
untuk meraih kebenaran yang mencengangkan.
“Kembali kepada benda-benda itu sendiri”. Demikianlah emblem fenomenologi Husserl
yang diperkenalkannya sebagai upaya menolak penjelasan psikologisme dan positivisme atas
realitas ini.1 Menurut Husserl, kita tidak perlu memaksakan kategori-kategori pemikiran kita atas
realitas. Sebaliknya, biarlah realitas menampakkan diri apa adanya. 2 Apa yang ditampakkan oleh
realitas sejauh ia ada, dapat ditangkap oleh kesadaran. Kesadaran karena itu tidaklah pasif. Pada
poin ini, Husserl dapat berkata bahwa kesadaran adalah kesadaran yang bertujuan.
Struktur kesadaran sebagai intensionalitas ini memang masih menempatkan manusia
tetap sebagai pusat makna. Karena itu, yang dicari dalam fenomenologi ini adalah apa makna
hidup manusia. Maka, dalam fenomenologi Husserl, tema sentral diletakkan pada lebenswelt,
yakni dunia hidup kita sehari-hari. Bagaimana Husserl memulai analisa fenomenologisnya untuk
sampai kepada benda-benda itu sendiri (esensi benda itu)?
Husserl memperkenalkan sebuah metode yang disebut reduksi fenomenologis. Reduksi
fenomenologis adalah sebuah penundaan (epoche, bracketing) terhadap pandangan sehari-hari
untuk sampai kepada halnya. Ada tiga tahap reduksi.3 Pertama, reduksi fenomenologis yang
memaksudkan penyingkiran segala sesuatu yang bersifat subjektif. Kedua, reduksi eidetik yang
1
Lih. Dermot Moran. An Introduction to Phenomenology. London: Routledge, 2000. Hal. 9. Bdk. Edmund
Husserl. Ideas I. bag. Introduction di mana ia berkata, “Kritikku terhadap metode psikologi tidaklah bermaksud
untuk menolak sama sekali nilai psikologi itu sendiri….Yang aku kritik adalah bahwa metode psikologi memberikan
kepastian hampa dalam arti metodenya sendiri itu cacat sehingga cara kerja ini perlu diangkat ke taraf yang lebih
tinggi. Taraf yang lebih tinggi inilah yang dinamakan Fenomenologi Murni atau Transendental di mana disiplin ilmu
ini berurusan dengan Science of Essence (as an ‘eidetic’ science).” (Terjemahan dari penulis sendiri)
2
Sebagai Contoh, jika Anda ditanya, “Apakah matahari itu?” Anda mungkin menjawab bahwa matahari adalah
pusat tata surya. Jawaban ini memang tidak salah. Tapi, secara fenomenologis, jawaban ini belum dapat dikatakan
benar. Seorang fenomenolog adalah seorang pemula dalam arti pemula dalam segala pengetahuan. Seorang
fenomenolog justru mempertanyakan segala hal (pendapat orang, ide, gagasan dan sebagainya). Seorang
fenomenolog tidak mengikuti begitu saja apa yang dikatakan atau apa yang telah ditetapkan sebagai demikian. Jadi,
bagi seorang fenomenolog, matahari itu pertama-tama adalah panas. Panas karena fenomena atau gejala pertama
yang kita rasakan dari matahari adalah panas.
3
Mudji Sutrisno & F Hardiman (eds.). Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hal. 9091.
6
Panorama Rasionalitas 2011
memaksudkan penyingkiran sementara objektivitas yang menyelubungi esensi benda tersebut.
Reduksi pada tahap kedua ini sesungguhnya merupakan penundaan anggapan terhadap strukturstruktur yang mendasari adanya benda tersebut. Dan ketiga, reduksi transendental yang
memaksudkan penyingkiran terhadap kesadaran yang bukan kesadaran murni. Ketika kita
sampai pada kesadaran murni berarti kita sampai kepada apa (esensi) yang menampakkan diri
apa adanya kepada kita.
Struktur kesadaran yang bersifat intensionalitas membuat Husserl mampu untuk
membuka kembali Cogito tertutupnya Descartes. Ini terjadi karena pengalaman akan dunia
mendahului semua pengetahuan.4 Dunia, karena itu, dalam kerangka fenomenologi tidak berada
atau terlepas dari manusia. Dunia dan manusia adalah satu. Tanpa dunia, segala pemahaman dan
pengetahuan tidaklah mungkin terjadi. Salah satu murid Husserl, Heidegger, akan melengkapi
tapi sekaligus mendobrak pendirian gurunya ini. Bagi Heidegger, dalam perjalanan selanjutnya,
ego transendental Husserl justru identik dengan realitas murni. Dengan kata lain, ego
transendental tidak menambah sesuatu yang baru.5 Mengapa? Bagi Heidegger, pemikiran
Husserl masih berorientasi pada kesadaran itu sendiri. Heidegger melihat bahwa ada yang lebih
mendasar dari persoalan relasi kesadaran dengan realitas, yakni keber-ada-an. Dengan bantuan
fenomenologi6, Heidegger berupaya menggarap permasalahan ini. Dalam Being and Time (buku
utama Heidegger), penggunanan fenomenologi justru menjadikan karyanya tersebut bersifat
hermeneutis7. Dengan kata lain, Heidegger berupaya melihat seluruh perkembangan sejarah
pemikiran filosofis dalam kerangka hermeneutis. Hal ini terutama menyangkut tema Ada
yang merupakan persoalan utama Heidegger. Karena itu, ontologi harus menjadi fenomenologi
tentang Ada. Selanjutnya, fenomenologi harus menjadi hermeneutika mengenai eksistensi.
Eksistensi di sini merujuk pada eksistensi manusia lantaran hanya manusia yang dapat
mempertanyakan adanya sehingga dapat membuka ruang (kemungkinan) untuk memahami Ada.
4
Dalam perjalanan selanjutnya, Ricoeur akan mengatakan bahwa karena kesadaran adalah kesadaran akan sesuatu,
maka bahasa adalah bahasa mengenai sesuatu. Pemahaman ini menghantar Ricoeur pada analisanya mengenai
diskursus di mana peristiwa dan makna terkandung di dalamnya dan bersamaan dengan itu siapa subjek dari
diskursus akan diulas olehnya juga. Lih. Ricoeur. The Hermeneutical Function of Distanciation dalam majalah
Philosophy Today (1973).
5
Dalam kata pengantarnya terhadap fenomenologi Husserl. Lih. Merleau-Ponty. Phenomenology of Perception.
Colin Smuth (terj.). London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1962.
6
Lih. Richard E Palmer. Hermeneutics. Hal. 128-132.
7
Secara khusus dapat dilihat pada Being & Time, bag. 8 yang berbicara mengenai metode investigasi
fenomenologis. Hal. 49-63.
7
Panorama Rasionalitas 2011
Pada poin ini, eksistensi manusia diistilahkan Heidegger dengan Dasein yang artinya ada (Sein)
di sana (Da).
Tidak digunakannya konsep manusia (human being, man), menurut Heidegger, lantaran
konsep tersebut kerap dipahami sebagai yang sudah jadi, selesai, statis dan dalam arti tertentu
cenderung dilihat sebagai objek (dalam relasinya dengan subjek). Karena itu, terminologi ‘di
sana’ hendak menunjukkan suatu proses menjadi, dinamis yang hanya selesai ketika Dasein mati.
Tapi, bagaimana Dasein dapat mengenal dirinya sebagai demikian? Untuk menjawab ini perlulah
memahami apa yang dimaksud Heidegger dengan dunia. Bagi Heidegger, Dasein haruslah
dipahami sebagai berada-dalam-dunia. Dunia dalam pemahaman Heidegger bukanlah berada
dalam pengertian objek. Artinya, dengan meneliti dunia, kita dapat menghasilkan pemahaman
mengenai diri kita sendiri. Misal, seorang ilmuwan yang mencari data bagi kepentingannya.
Ilmuwan ini dalam usahanya mencari data justru memisahkan diri dengan apa yang hendak
dicari itu. Bahkan tanpa disadari juga kerap ilmuwan menetapkan kategori-kategori pemikiran
atas apa yang diteliti. Karena itu, hasilnya justru tanpa disadari sudah berada dalam kerangka
kesadaran si ilmuwan. Inilah yang kemudian menjadi kritik terhadap nilai kesahihan dari
pengetahuan yang dihasilkan. Dengan kata lain, dapat ditanyakan, apakah ilmu sungguh-sungguh
bebas nilai (nilai kepentingan, kekuasaan, subjek si peneliti, dan sebagainya).
Dunia adalah tempat Dasein mengada, tempat penyingkapan Dasein (pengungkapan Ada itu
sendiri). Dasein tanpa dunia adalah tidak mungkin sebab Dasein tidak akan pernah dapat melihat
dan memahami entias-entitas lainnya (seperti benda-benda, manusia lainnya) juga dirinya lepas
dari dunia ini. Lebih lanjut, penggunaan tanda hubung (-), menegaskan ketakterpisahan Dasein
dengan dunia. Dari poin tersebut dapat dimengerti bahwa bagi Heidegger kesadaran bukanlah
semata kesadaran akan sesuatu, melainkan kesadaran pada dasarnya adalah kesadaran dalam atau
sebagai sesuatu. Maksudnya, kita tidak sekedar menyadari sesuatu melainkan sesuatu itu turut
membentuk kesadaran kita.
8
Download