Koreksi Atmosfer Citra SPOT-6 Menggunakan Metode MODTRAN4

advertisement
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Koreksi Atmosfer Citra SPOT-6 Menggunakan Metode MODTRAN4
Atmospheric Correction of SPOT-6 Image With MODTRAN4 Method
Liana Fibriawati1*)
1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
LembagaPenerbangandanAntariksa Nasional (LAPAN)
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK–Nilai reflektansi sangat penting dalam proses klasifikasi objek citra digital yang penyimpangannya
menyebabkan kesalahan dalam interpretasi citra. Hal inidisebabkan oleh penyerapan, hamburan, dan pantulan atmosfer
yang menyebabkan perbedaan nilai reflektansi citra satelit dan objek sebenarnya. Pada penelitian ini dilakukan koreksi
atmosfer dengan metode MODTRAN4 pada citra SPOT-6 level ortho untuk menghilangkan pengaruh atmosfer pada
citra, sehingga nilai reflektansi citra sesuai dengan nilai reflektansi objek sebenarnya di permukaan bumi. Hasil koreksi
atmosfer dianalisis visual dan dibandingkan pola reflektansi citra. Hasil penelitian ini menunjukkan adanyaperbaikan
pola reflektansi pada objek vegetasi, lahan terbuka,dan air sungai pada citra SPOT-6 seperti referensi reflektansi NASA.
Penelitian ini menunjukkan metode MODTRAN4 sebagai salah satu metode yang sesuai untuk melakukan koreksi
atmosfer pada citra SPOT-6.
Kata kunci:Atmosfer, SPOT-6, MODTRAN4
ABSTRACT–Reflectance isimportant parameter in digital image object classification. Reflectance distortion causes an
error in theinterpretation ofimages. This is caused bythe absorption, scattering, and reflection of the atmosphere that
resulted in difference between the reflectance of satellite image and real object. In this research, atmospheric
correction with MODTRAN4 method on SPOT-6 image levels ortho to eliminate atmospheric effect on the image, so the
image reflectance correspond to the real object reflectance on earth surface. Atmospheric correction results was
analyzed visually and compared to changes in the pattern of spectral reflectance image. The results showed an
improvement in spectral reflectance patterns on the objects of vegetation, bare land, and water in SPOT-6 image like
the spectral reflectance reference from NASA. This study concluded that MODTRAN4 method is one of the suitable
method to use in atmospheric correction on SPOT-6 image.
Keywords: Atmosphere, SPOT-6, MODTRAN4
1.
PENDAHULUAN
Pengambilan data citra penginderaan jauhdengan sensor optis memerlukan sumber energi dari
gelombangelektromagnetik yang dipancarkan matahari. Gelombang elektromagnetik dari matahari diterima
oleh objek dipermukaan bumi, kemudian dipantulkan kembali kesensorsatelit. Nilai pantulan yang
diterimasensor diubah menjadi nilai reflektansi, kemudian digunakan untuk interpretasi citra. Nilai
reflektansi objek yang diterima oleh sensor satelit dipengaruhi oleh penyerapan, hamburan dan pantulan
atmosfer menyebabkan nilai reflektansi pada citra satelit tidak sama dengan nilai reflektansi objek
sebenarnya di permukaan bumi. Nilai reflektansisangat penting dalam proses klasifikasi objek pada citra
secara digital. Koreksi atmosfer perlu dilakukan untuk menghilangkan pengaruh atmosfer dan
mengembalikan nilai reflektansi sesuai dengan nilai reflektansi objek sebenarnya di permukaan bumi.
Meskipun begitu, di Indonesia belum banyak penelitian mengenai koreksi atmosfer karena pemahaman teori
untuk koreksi atmosfer tidak mudah dan terbatasnya data penunjang.
Koreksi atmosfer untuk penginderaan jauh dimulai pada tahun 1970. Metode koreksiatmosfer terdiri atas
tiga metode yaitu transfer radiatif, koreksi relative berdasarkan karakteristik citra dan regresi linear
permukaan. Diantara metode tersebut, model transfer radiatif lebih banyak digunakan pada citra satelit
dengan ketelitian perhitungan reflektifitas yang lebih tinggi (Jiaojun dkk., 2008). Metode dengan algoritma
transfer radiatif seperti metode 6S (Second Simulation of the Satellite Signal in the Solar Spectrum) dan
MODTRAN (Moderate Spectral Resolution Atmospheric Transmittance Algorithm And Computer Model).
Metode ini mengambil kondisi atmosfer di atas area pengamatan meliputi interaksi dengan gas dan partikel
di atmosfer, interaksi dengan permukaan bumi dan perbedaan arah transmisi melewati atmosfer kembali ke
sensor (Golden dkk., 1999). Metode MODTRAN juga dapat mengurangi nilai reflektansi objek pada citra
-98-
Koreksi Atmosfer Citra SPOT-6 Menggunakan Metode MODTRAN4 (Fibriawati, L.)
hiperspektral secara signifikan. Metode ini mengambil reflektansi permukaan pada 400–2500 nm dari data
hiperspektral (Yuanliu dkk.,2008).
Metode MODTRAN4 sudah tersedia padasoftware ENVI dengan nama FLAASH (Fast Line-of-sight
Atmospheric Analysis of Spectral Hypercubes). FLAASH dikembangkan oleh SSI (Spectral Science, Inc.)
dan AFRL(Air Force Research Labs). FLAASH adalah alat koreksi atmosfer menggunakan metode
MODTRAN4 yang sudah dapat mengoreksicahayatampak, NIR (Near Infrared) dan SWIR (Short-wave
Infrared) sampai panjang gelombang 3 μm. FLAASH dapat menghilangkan pengaruh gangguanatmosfer
denganmemperoleh parameter yang lebih akurat dari reflektivitas, emisivitas, suhu permukaan dan fisik
permukaan. FLAASH mempunyai metode pengambilan nilai aerosoldan rata-rata jarak pandang
menggunakan rasio reflektansi piksel gelap berdasarkan penelitian Kaufman (FLAASH, 2009).Model
MODTRAN4 yang terdapat pada FLAASH mengurangi efek atmosfer secara efektif pada SPOT-5 sehingga
meningkatkan informasi citra dengan akurasi yang lebih baik daripada model QUAC (Yunkai dan Fan Zeng,
2012). Rudjord dan Trierpernah melakukan penelitian dengan FLAASH untuk berbagai data satelit seperti
Landsat-7, Quickbird, dan Worldview-2. Hasilnya, disimpulkan bahwa FLAASH mempunyai jangkauan
yang luas dan dapat digunakan pada berbagai satelit. FLAASH menyebabkan perubahan yang signifikan
terutama pada band biru dan hijau (Rudjord dan Trier, 2012).
Koreksi atmosfer dengan software FLAASHyang mengadopsi metode MODTRAN4 belum
banyakdilakukan untuk citra SPOT-6 karena citra SPOT-6 baru diluncurkan 12 September 2012 (ASTRIUM,
2015). Padahal citraSPOT-6 merupakan data citra yang banyak digunakan oleh kementeriandan lembaga lain
untukmenghasilkan petapertanahan, tata batas kawasan hutan, lahan baku sawah, perencanaan lahan
pertanian, pemetaan irigasi, pemantauan daerah pertambangan, dan pembuatan blok sensus (Rikin, 2015).
BIG (Badan Informasi Geospasial) menggunakan citra resolusi tinggi, salah satunya citra SPOT-6 untuk
memetakan batas administrasi desa (BIG, 2015). BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan)
menggunakan citra SPOT-6 untuk kepentingan pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan
negara.
Pada penelitian ini dilakukan analisis hasil koreksi citra yang dilakukan dengan metode MODTRAN4
dengan tujuan untuk mengurangi pengaruh atmosfer pada citra SPOT-6, dengan mengembalikan pola
spektralreflektansi citra sesuai dengan referensi spektral reflektansi NASA. Hal ini dilakukan dengan analisis
visual melalui perubahan warna dan perbandingan pola spektral dengan reflektansi NASA (Bowker dan
Davis, 1985).
2.
METODE
Pada penelitian ini digunakan citra SPOT-6 level ortho dengan tanggal perekaman 30 Januari 2014.
Menurut dokumen teknik ASTRIUM, citra SPOT-6 level ortho mempunyai ketelitian10 meter. Citra SPOT6 mempunyai band biru (450-520 nm), hijau (530-590 nm), merah (625-695 nm), near infrared (760-890
nm) dan pakromatik (450-475 nm). Citra SPOT-6 mempunyai resolusi spasial 6 meter untuk multispektral
dan 1.5 meter untuk pankromatik. Daerah yang dikaji dalam penelitian ini adalah Provinsi Kalimantan Barat
yangmerupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 100 meter di atas permukaan laut seperti Gambar
1.
(A)
(B)
Gambar 1. (a) Daerah kajian di Provinsi Kalimantan Barat ; (b) Datacitra SPOT-6 level ortho
tanggal 30 Januari 2014 dengan komposit band merah hijau biru.
Beberapa data masukan koreksi atmosfer dengan FLAASH yaitu jenis sensor (SPOT-6), latitude (0.262),
longitude (109.443), tanggal perekaman citra SPOT-6 (30 Januari 2014), waktu perekaman (02:42:38.81),
-99-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ketinggian sensor (695 km), ketinggian permukaan tanah (0.1 km), ukuran piksel (6 meter), model atmosfer
(tropical), model aerosol (rural), jarak pandang (40 km), sudut azimuth matahari (121.38) dan sudut elevasi
matahari (52.84). Data tersebut dimasukkan manual ke software FLAASH, sesuai diagram alir berikut.
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian.
Software yang digunakan untuk penelitian ini adalah FLAASH pada software ENVI 5.1. Metode yang
digunakan pada FLAASH ini mengacu pada metode koreksi atmosfer MODTRAN4 dengan tujuan untuk
mengurangi pengaruh gangguan atmosfer pada data citra satelit, sehingga nilai reflektansi yang diperoleh
mendekati nilai reflektansi objek sebenarnya di permukaan bumi. Koreksi geometrik merupakan langkah
pertama yang harus dilakukan, untuk memperbaiki posisi citra agar sesuai dengan koordinat objek
sebenarnya di permukaan bumi. Data yang digunakan adalah citra SPOT-6 level ortho yang mempunyai
ketelitian 10 meter sehinggatidakdiperlukankoreksigeometrik. Citra SPOT-6 diambil pada musim penghujan,
yaitu tanggal 30 Januari 2014. Diasumsikan pada musim penghujan gangguan pada atmosfer tinggi. Citra
SPOT-6 level ortho diubah menjadi citra radian pada ENVI 5.1. Hasil proses ini berupa citra radian dengan
format BIL (band- interlevae-by-line), tipe data floating point, faktor skala 0,1 sesuai dengan tipe data
masukan FLAASH.
Menurut modul FLAASH, model ini menggunakan persamaan standar dari radiansi spektral piksel yang
diterima dengan lambertian planar standar, yang berdasarkan pada spectrum matahari (tidak termasuk radiasi
termal) oleh sensor :
=
+
+
…………………………………………..…………………………………….(1)
Dimana :
L
= radiansi spektral pada sensor

= reflektansi permukaan pada piksel
e
= rata-rata reflektansi permukaan
S
= albedo pada atmosfer
= radiansi hamburan balik atmosfer
A, B = koefisien dari kondisi atmosfer dan geometrik
= energi radiansi yang dipantulkan dari objek
= energi radiansi yang dihamburkan oleh atmosfer
-100-
Koreksi Atmosfer Citra SPOT-6 Menggunakan Metode MODTRAN4 (Fibriawati, L.)
Nilai A,B,S dan
ditentukan dari perhitungan MODTRAN4 yang menggunakan sudut pengamatan,
sudut matahari dan ketinggian. FLAASH menggunakan rata-rata radiansi untuk memperkirakan reflektansi
dengan persamaan :
=
(
)
+
…………………………………………………..………………………………………………………………….(2)
Dimana, Le adalah rata-rata radiansi citra.
Model atmosfer yang digunakan pada FLAASH yaitu model atmosfer standar dari metode MODTRAN4.
Koreksi atmosfer pada penelitian ini menggunakan model aerosol rural karena aerosol di daerah kajian tidak
dipengaruhi industri, modela erosol retrieval menggunakan band merah dan biru, initial visibility diisi
dengan 15 m karena citra berkabut.
Hasil koreksi atmosfer berupa citra reflektansi, dianalisis secara visual dan perubahan pola reflektansi.
Analisis visual dilakukan dengan mengambil area yang sama pada citra sebelum dan setelah koreksi
atmosfer, diamati perubahan warna yang tampak dari citra. Analisis pola reflektansi dilakukan dengan
mengambil satu piksel yang sama pada objek vegetasi, lahan terbuka dan air pada citra sebelum dan setelah
koreksi atmosfer. Diamati perubahan pola reflektansi sebelum dan setelah koreksi atmosfer. Pola reflektansi
citra hasil koreksi atmosfer dengan dibandingkan dengan referensi pola reflektansi NASA.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Koreksi atmosfer dilakukan untuk menghilangkan pengaruh atmosfer pada citra dengan memperbaiki
pola reflektansinya. Pada software ENVI terdapat tiga plugin koreksi atmosfer yaitu: FLAASH (Fast Lineof-sight Atmospheric Analysis of Spectral Hypercub), QUAC (Quick Atmospheric Correction) dan DOS
(Dark Object Subtraction). FLAASH menggunakan metode MODTRAN4 dan memerlukan parameterparameter tambahan yang harus diperhatikan seperti koordinat latitude longitude, ketinggian sensor,
ketinggian permukaan objek, tanggal dan waktu perekaman data citra satelit, model atmosfer, model aerosol
dan jarak pandang. QUAC menentukan parameter koreksi atmosfer langsung dari spektrum piksel yang
diamati dalam sebuah scene citra, tanpa informasi tambahan. DOS merupakan koreksi absolut dimana nilai
reflektan pada satelit dikonversikan menjadi nilai reflektan permukan (surface reflectance) dengan asumsi
bahwa terdapat objek gelap yang mempunyai nilai pantulan mendekati 0, misalnya air jernih dalam dan
hutan lebat. Pada penelitian ini menggunakan koreksi atmosfer FLAASH karena dari referensi hasilnya
lebih efektif menghilangkan pengaruh atmosfer dibandingkan QUAC dan DOS. Hasil penelitian koreksi
atmosfer berupa citra reflektansi dibandingkan dengan citra sebelum dikoreksi, ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Citra SPOT-6 Ortho (Sebelum Koreksi Atmosfer)
dan Citra SPOT-6 Setelah Koreksi Atmosfer
Visual (warna citra)
Objek
Citra SPOT-6 Ortho
Pola Spektral
Citra SPOT-6 Koreksi
Atmosfer
Vegetasi
Lahan
Terbuka
-101-
Citra SPOT-6 Ortho
Citra SPOT-6 Koreksi
Atmosfer
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Air
Sungai
Pada tabel 1 ditunjukkan tiga objek yang diamati perubahannya yaitu vegetasi ditandai dengan kotak
berwarna merah, lahan terbuka ditandai dengan kotak kuning dan air ditandai dengan kotak biru. Secara
visual tidak ada perubahan warna untuk ketiga objek. Kabut (haze) masih nampak pada citra setelah di
koreksi atmosfer. Hal ini menunjukkan analisis visual tidak dapat menunjukkan adanya perubahan setelah
koreksi atmosfer. Untuk itu perlu dilakukan analisa pada pola spektral setiap objek. Dari tabel diatas, untuk
objek vegetasi terlihat adanya perubahan pola reflektansi setelah dikoreksi atmosfer. Ada penurunan pola
reflektansi yang signifikan pada band biru (450-520 nm) dan hijau (530-590 nm), sedangkan pola reflektansi
band merah (625-695 nm) dan near infared (760-890 nm) tidak berubah. Pola reflektansi untuk objek lahan
terbuka pada citra SPOT-6 level ortho justru menyerupai pola reflektansi vegetasi, hal ini dipengaruhi oleh
pantulan objek vegetasi disekitarnya.
Koreksi atmosfer membuat pola reflektansi pada band biru, sedikit meningkat pada band hijau, meningkat
tajam pada band merah, sedangkan pada band near infared tetap. Pola reflektansi untuk lahan terbuka ini
meningkat sebanding dengan panjang gelombangnya. Pola reflektansi objek air, mengalami perubahan pola
reflektansiyang cukup signifikan.Penurunan tajam terjadi pada band biru, sedangkan untuk band hijau,
merah, dan near infrared mengalami peningkatan. Untuk mengetahui perubahan pola reflektansi setelah
koreksi atmosfer telah sesuai, dibandingkan dengan data referensire flektansi NASA. Untuk analisis yang
lebih akurat, pola reflektansi dari citra hasil koreksi atmosfer dibandingkan dengan data referensi NASA
seperti pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Perbandingan Pola Spektral Objek pada Citra SPOT-6 Ortho (Sebelum Koreksi
Atmosfer) dan Citra SPOT-6 Setelah Koreksi Atmosfer
Objek
Pola Reflektansi Objek pada Citra
SPOT-6 Koreksi Atmosfer
Vegetasi
Lahan Terbuka
-102-
Pola Reflektansi Objek Referensi
NASA
Koreksi Atmosfer Citra SPOT-6 Menggunakan Metode MODTRAN4 (Fibriawati, L.)
Air Sungai
Terlihat pada tabel 2, objek vegetasi pada citra hasil koreksi atmosfer memiliki pola reflektansi yang
sesuai dengan data referensi NASA. Tipe pola reflektansi untuk objek vegetasi dibagi menjadi empat
wilayah. Pada band biru reflektansi rendah, membentuk puncak pada band hijau, kembali rendah di
bandmerah, dan naik drastis pada band near infrared.
Reflektansi pada band biru dan band merah rendah disebabkan karena penyerapan energi klorofil untuk
fotosintesis (Liew, 2015). Sedangkan band near infrared mempunyai reflektansi yang lebih tinggi karena
pada panjang gelombang 700 – 1200 nm struktur daun bersifat memantulkan energi. Koreksi atmosfer
dengan metode MODTRAN4 ini baik untuk objek vegetasi karena dapat memperbaiki pola reflektansinya
menjadi seperti referensi NASA.
Objek lahan terbuka pada citra hasil koreksi atmosfer juga mempunyai pola reflektansi yang sesuai
dengan referensi NASA. Pola reflektansi tanah umumnya meningkat linear dengan peningkatan panjang
gelombangnya (Liew, 2015).Koreksi atmosfer dengan metode MODTRAN4 baik digunakan untuk objek
lahan terbuka. Pola reflektansi air sungai juga sesuai dengan referensi NASA. Pola reflektansinya
meningkat sebanding dengan peningkatan panjang gelombang. Jika diperhatikan, pola reflektansi untuk
objek air sungai ini hampir sama dengan lahan terbuka, tapi lebih landai. Karena air sungai pada citra di
Tabel 1 diatas mempunyai kenampakan yang keruh. Hal ini disebabkan karena adanya endapan berupa
tanah atau lumpur yang menyebabkan peningkatan pola reflektansi pada band merah dan near infrared.
Dari semua sampel objek yang diambil, pola reflektansi citra SPOT-6 hasil koreksi atmosfer dengan
metode MODTRAN4 mengalami perbaikan pola reflektansi sesuai dengan data referensi NASA. Penelitian
ini belum membandingkan nilai reflektansi objek pada citra SPOT-6 setelah dikoreksi atmosfer dengandata
pengukuran reflektansi lapangan. Hal ini karena pengukuran reflektansi objek di lapangan harus dilakukan di
waktu yang berdekatan dengan waktu satelit melakukan perekaman di atas area penelitian agar kondisi
atmosfer tidak banyak berubah. Hal ini tentu tidak mudah, membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
4.
KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa secara visual tidak tampak perubahan
warna pada hasil koreksi atmosfer dengan metode MODTRAN4. Koreksi atmosfer dengan metode
MODTRAN4 dapat digunakan untuk memperbaiki pola reflektansi objek vegetasi, lahan terbuka dan air
sungai pada citra SPOT-6 sesuai data referensi NASA. Penelitian ini menunjukkan metode MODTRAN4
sebagai salah satu metode yang sesuai digunakan untuk melakukan koreksi atmosfer padacitra SPOT-6.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Mahdi Kartasasmita, Ibu Fadila Muchsin, dan Bapak
Hedi Ismaya yang telah membimbing penulis dalam pemahaman teori. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada Dr.RikeYudianti yang telah membantu dalam proses perbaikan penulisan pada karya tulis ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Yang, J., Chen, Y., dan Zhang Y., (2008).Effect on Atmospheric Correction byInputting Parameters of Model.
RemoteSensing Application.
Adler-Golden, S.M., Matthew, M.W.,Bernstein, L.S., dan Levine, R.Y., (1999). AtmosphericCorrection for Shortwave
SpectralImagery Based on MODTRAN4.Imaging Spectrometry.pp.61-69.
Yuanliu, Runsheng, Shengwei, Suming, dan Bokun, (2008). Atmospheric Correction ofHyperspectral Data Using
MODTRAN Model. Remote Sensing of the Environment: 16th National Symposium on Remote Sensing of China.
FLAASH,Use ’s Guide.,(2009). Atmospheric Correction Module: QUAC and FLAASH User’s Guide. Version4.7.ITT
VisualInformation Solution Inc.
-103-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Yunkai, dan Fan, Z., (2012). AtmosphericCorrection ComparisonofSPOT-5Image Based on Model FLAASH andModel
QUAC. International Archives of the Photogrammetry, RemoteSensingand Spatial Information Sciences,Volume
XXXIX-B7.
Rudjord, dan Trier, D., (2012). Evaluation of FLAASH Atmospheric Correction. Norsk Regnesentral Note.
ASTRIUM.SPOT-6SPOT-7TechnicalSheet, diunduh tanggal 10 Maret 2015 dari http://www.geo-airbusds.com/files/
pmedia/public/r12317_9_spot6-7_technical_ sheet.pdf
Rikin,dan Ari,S., (2015). Lapan Serahkan DataPenginderaan Jauh Resolusi Tinggi pada11 Instansi, diakses tanggal 3
April 2015 dari http://lapan.go.id/ index.php/subblog/read/2015/1161/ Lapan-Serahkan-Data-Penginderaan- JauhResolusi-Tinggi-pada-11- Instansi/932
BIG.,(2015). BIG-LAPAN Kolaborasi dalam PenyediaanCitra Satelit Resolusi Tinggi untuk Pemetaan Skala Besar,
diakses tanggal 7 April 2015 dari http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/big-lapan-kolaborasi-dalampenyediaan-citra-satelit-resolusi-tinggi- untuk-pemetaan-skala-besar
Bowker, D.,dan Davis, R.,(1985). Spectral Reflectances of Natural Targets for Use in Remote Sensing Studies. NASA
Reference Publication 1139.
Liew, S.C., (2015). Optical Remote Sensingdiakses tanggal 3 April 2015 dari
http://www.crisp.nus.edu.sg/research/tutorial/optical.htm
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016
Moderator
JudulMakalah
Pemakalah
Diskusi :
:
:
:
Winanto
Koreksi Atmosfer Citra SPOT-6 menggunkan Metode MODTRAN4
Liana Fibriawati (LAPAN)
Pertanyaan: Galdita Aruba Chulafak (LAPAN)
Apakah pernah dicoba metode yang sama pada objek air di sungai dan air laut dengan TSS berbeda?
Bagaimana kelebihan metode FLASH(MODTRAN)?
Jawaban :
Dengan menggunakan MODTRAN4 bisa diletakkan bahwa untuk air laut hasilnya kurang bagus. Kenapa
flash, karena memasukkan parameter di lingkungan sedangkan DOS tidak Versi yang terakhir tahun 2015.
Pertanyaan: Zylshal (LAPAN)
Diambil beberapa titik atau area agar merata dan diambil sample yang lain?
Jawaban :
Menggunakan data LAPAN mengenai spektral objek. Spektrometer bisa digunakan untuk validasi.
-104-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Koreksi Radiometrik Data Citra Landsat Menggunakan Semi Automatic
Classification Plugin pada Software QGIS
Radiometric Corrections of Landsat Image Using Semi Automatic
Classification Plugin on QGIS Software
Ahmad Sutanto1*), dan Arum Tjahjaningsih1
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN, Jakarta, Indonesia
*)
E-mail : [email protected]
ABSTRAK –Data Landsat-8 dikoreksi radiometrik menggunakan koreksiTop of Atmosphere (ToA) yang meliputi ToA
reflektansi dan koreksi matahari. Koreksi ToA reflektansi dilakukan dengan mengkonversi nilai Digital Number ke
nilai reflektansi. Koreksi ToA adalah koreksi pada citra yang dilakukan untuk menghilangkan distorsi radiometrik yang
disebabkan oleh posisi matahari. Posisi matahari terhadap bumi berubah bergantung pada waktu perekaman dan lokasi
obyek yang direkam. Data citra satelit yang digunakan adalah citra satelit Landsat 8 tahun 2014 dan 2015, citra Landsat
7 tahun 2000, citra Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan 2011 wilayah Aceh bagian selatan. Perangkat lunak yang
digunakan adalah QGIS 2.8.1 yang merupakan Free and Open Source Software.
Kata kunci: Landsat-8, Koreksi Top of Atmosphere (ToA), Digital Number, Reflektansi, QGIS.
ABSTRACT-Landsat-8 is corrected using the radiometric correction that includes TOA Reflectance and correction of
the sun. TOA Reflectance correction is done by converting the value of Digital Number to the reflectance values. Top of
Atmosphere (TOA)correction is a correction to the image radiometric to eliminate distortions caused by the position of
the sun. The position of the sun to the earth is changed depending on the recording time and location of the object to be
recorded. Satellite image data used is Landsat-8 satellite images in 2014 and 2015, Landsat 7 in 2000, Landsat 5 in
2009, 2010 and 2011 in South Aceh region. The software used is QGIS 2.8.1 is a Free and Open Source Software.
Keywords: Landsat-8, Correction Top of Atmosphere (TOA), Digital Number, Reflectance, QGIS
1.
PENDAHULUAN
Koreksi radiometrik sangat diperlukan untuk mengubah nilai digital number menjadi nilai Reflektansi
pada citra Landsat agar mendekati nilai obyek yang sebenarnya dipermukaan bumi. Koreksi Radiometrik
menghilangkan pengaruh dinamika atsmosfer atas yang terjadi. Proses koreksi radiometrik ini merupakan
tahap awal dalam pengolahan data citra Landsat untuk beberapa aplikasi. Data citra satelit yang digunakan
adalah citra satelit Landsat 8 tahun 2014 dan 2015, citra Landsat 7 tahun 2000, citra Landsat 5 tahun 2009,
2010 dan 2011 wilayah Aceh bagian selatan. Perangkat lunak yang digunakan adalah QGIS 2.8.1 yang
merupakan Free and Open Source Software.
Koreksi Top of Atmosphere (ToA) adalah koreksi pada citra yang dilakukan untuk menghilangkan
distorsi radiometrik yang disebabkan oleh posisi matahari. Posisi matahari terhadap bumi berubah
bergantung pada waktu perekaman dan lokasi obyek yang direkam. Koreksi ToA dilakukan dengan cara
mengubah nilai digital number ke nilai reflektansi (Rahayu dan Candra, 2014).
2.
TEORI DASAR
Data Landsat-8 dikoreksi radiometrik menggunakan koreksi ToA yang meliputi ToA Reflektansi dan
koreksi matahari. Koreksi ToA Reflektansi dilakukan dengan mengkonversi nilai DN ke nilai reflektansi.
Berdasarkan (USGS, 2014), persamaan konversi untuk koreksi ToA reflektansi yaitu:
Lλ=ML∗Qcal+AL ........................................................................................................................ ………….(1)
dimana:
Lλ = TOA reflektansi, tanpa koreksi untuk sudut matahari .
ML = REFLECTANCE_MULT_BAND_x , di mana x adalah nomor Band
AL = REFLECTANCE_ADD_BAND_x , di mana x adalah nomor Band
-105-
Koreksi Radiometrik Data Citra Landsat Menggunakan Semi Automatic Classification Plugin pada Software QGIS (Sutanto A.,dkk.)
Qcal = Nilai digital number ( DN )
Untuk citra Landsat yang relatif bersih, sebuah reduksi variabilitas antar scene dapat dihasilkan melalui
normalisasi untuk irradians matahari dengan mengkonversi radians spektral, seperti yang dihitung pada
persamaan di atas, menjadi reflektas planetari atau albedo. Reflektansi gabungan permukaan dan atmosfer
bumi dihitung dengan menggunakan rumus berikut (NASA, 2011).
ρp=(π∗Lλ∗d2)/(ESUNλ∗cosθs) .................................................................................................... …......(2)
dimana :
ρp = nilai reflektansi TOA, ( rasio antara energi yang terpantul dan energi total)
Lλ = nilai radiansi spektral pada perangkat sensor satelit
d = jarak bumi dan matahari dalam satuan astronomi ( bisa dilihat pada metadata Landsat)
ESUNλ = Nilai rata-rata dari irradians matahari pada exo-atmosfer
θs = sudut zenith matahari dalam satuan derajat,
θs = 90o – θe, dimana θe adalah sudut elevasi matahari.
Nilai dari raflektansi permukaan daratan dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
ρ=[π∗(Lλ−Lp)∗d2]/(ESUNλ∗cosθs) ................................................................................................... ………...(3)
dimana :
Lp = path radiance
Lp = ML∗DNmin+AL−0.01∗ESUNλ∗cosθs/(π∗d2)
DNmin = nilai digital minimum pada band tertentu ( bisa dilihat di metadata Landsat)
Nilai ESUN [W /(m2 * μm)] untuk sensor satelit Landsat terdapat pada tabel berikut :
Tabel 1.Nilai ESUN [W /(m2 * μm)] untuk Sensor Satelit Landsat
Band
1
2
3
4
5
7
Landsat 4*
1957
1825
1557
1033
214.9
80.72
Landsat 5**
1983
1769
1536
1031
220
83.44
Landsat 7**
1997
1812
1533
1039
230.8
84.90
*sumber : Chander dan Markham (2003)
** sumber : Finn, dkk.(2012)
Untuk data citra Landsat 8 nilai dari ESUN menggunakan rumus berikut :
ESUN=(π∗d2)∗RADIANCE_MAXIMUM/REFLECTANCE_MAXIMUM....................................... ………….(4)
Dimana nilai dari RADIANCE_MAXIMUM and REFLECTANCE_MAXIMUM dapat dilihat pada
metadata citra landsat 8.
3.
PROSES DAN HASIL
Perhitungan numerik untuk koreksi radiometrik/ ToA ini dapat lakukan dengan menggunakan
tools/plugin yang tersedia pada software QGIS 2.8.1. Plugin tersebut bernama Semi Automatic Classification
Plugin. Pada menu utama di QGIS pilih SCP =>Pre Processing =>Landsat.
-106-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 1. Menu Semi-Automatic Classification Plugin pada SoftwareQGIS
Selanjutnya akan muncul jendela Landsat conversion to TOA reflectance and brighness temperature.
Gambar 2. Jendela Landsat Conversion to TOA Reflectance and Brighness Temperature
Pada tab Landsat ini dapat mengkonversi data Landsat 4, 5, 7, dan 8 dari nilai Digital Number (DN)
menjadi nilai reflektansi. Berikut ini penjelasan bagian-bagian yang ada pada tab Landsat ini :

[ Select directory ]: pilih direktori/folder yang berisi data citra Landsat lengkap dengan band masingmasing. Nama-nama band Landsat harus diakhiri dengan angka yang menunjukan band tersebut; jika
metafile ( file dengan akhiran MTL) berada pada direktori tersebut maka metadata akan otomatis
terisi.

[ Select directory ] [optional]: Pilih file MTL jika metafile (file dengan ekstensi .txt atau .met
dengan akhiran MTL) berada pada direktori yang berbeda dnegan direktori yang berisi data Landsat.

Brightness temperature in Celsius : jika dipilih/diklik maka brightness temperature akan diubah ke
satuan Celsius (jika Landsat thermal band terdapat pada metadata). Jika tidak dipilih/diklik maka
temperatur dalam satuan Kelvin.

Apply DOS1 atmospheric correction : jika dipilih/diklik, maka koreksi Dark Object Subtraction
diterapkan pada setiap band kecuali band termal;
-107-
Koreksi Radiometrik Data Citra Landsat Menggunakan Semi Automatic Classification Plugin pada Software QGIS (Sutanto A.,dkk.)

Use NoData value (image has black border) : jika dipilih/diklik, piksel-piksel yang punya nilai
‘NoData’ tidak dikutsertakan dalam perhitungan DNmin; hal ini berguna bila citra Landsat punya
black border (biasanya nilai pikselnya = 0).
Pada kegiatan ini telah dilakukan koreksi radiometrik/ToA pada band NIR, Red dan Green pada citra
satelit Landsat 8 tahun 2014 dan 2015, citra Landsat 7 tahun 2000, citra Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan
2011 wilayah Aceh bagian selatan scene path/row : 131/057. Pada citra Landsat citra Landsat 8 band
NIR, Red dan Green berada pada band 5, 4, dan 3. Pada citra Landsat 7 dan Landsat 5 band NIR, Red dan
Green berada pada band 4, 3, dan 2. Berikut gambar citra yang sudah dikoreksi radiometrik pada Landsat
8, Landsat 7 dan Landsat 5.
(a)
(c)
(b)
Gambar 3. Citra Landsat 7 Wilayah Aceh Selatan Scene Path/Row: 131/057 Tanggal 5 Maret 2000 yang Telah
Dikoreksi Radiometrik. (A) Band NIR (Band 4), (B) Band Red (Band 3), (C) Band Green (Band 2).
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Citra Landsat 5 Wilayah Aceh Selatan Scene Path/Row : 131/057 Tanggal 18 Februari 2009 yang Telah
Dikoreksi Radiometrik. (A) Band NIR (Band 5), (B) Band Red (Band 4), (C) Band Green (Band 3).
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. Citra Landsat 5 Wilayah Aceh Selatan Scene Path/Row : 131/057 Tanggal 20 Januari 2010 yang Telah
Dikoreksi Radiometrik. (A) Band NIR (Band 5), (B) Band Red (Band 4), (C) Band Green (Band 3).
-108-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a)
(b)
(c)
Gambar 6. Citra Landsat 5 Wilayah Aceh Selatan Scene Path/Row : 131/057 Tanggal 8 Februari 2011 yang
Telah Dikoreksi Radiometrik. (A) Band NIR (Band 5), (B) Band Red (Band 4), (C) Band Green (Band 3).
(b)
(a)
(c)
Gambar 7. Citra Landsat 8 Wilayah Aceh Selatan Scene Path/Row : 131/057 Tanggal 23 Mei 2014 yang Telah
Dikoreksi Radiometrik. (A) Band NIR (Band 5), (B) Band Red (Band 4), (C) Band Green (Band 3).
(a)
(b)
(c)
Gambar 8. Citra Landsat 8 Wilayah Aceh Selatan Scene Path/Row : 131/057 Tanggal 18 Januari 2015 yang Telah
Dikoreksi Radiometrik. (A) Band NIR (Band 5), (B) Band Red (Band 4), (C) Band Green (Band 3).
4. TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan pada Kapustekdata yang telah menyediakan data untuk kegiatan
penelitian ini, serta Kepala Bidang SDWD atas dukungan yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Chander,G., dan Markham,B.,(2003). Revised Landsat-5 TM Radiometric Calibration Procedures And Postcalibration
Dynamic Ranges Geoscience And Remote Sensing.IEEE Transactions on, 41: 2674 - 2677
Finn,M.P., Reed,M.D, dan Yamamoto,K.H.,(2012). A Straight Forward Guide for Processing Radiance and Reflectance
for EO-1 ALI, Landsat 5 TM, Landsat 7 ETM+, and ASTER. Unpublished Report from USGS/Center of Excellence for
Geospatial Information Science, 8 p,
-109-
Koreksi Radiometrik Data Citra Landsat Menggunakan Semi Automatic Classification Plugin pada Software QGIS (Sutanto A.,dkk.)
http://cegis.usgs.gov/soil_moisture/pdf/A%20Straight%20Forward%20guide%20for%20Processing%20Radiance%20
and%20Reflectance_V_24Jul12.pdf
NASA (Ed.) (2011). Landsat 7 Science Data Users Handbook Landsat Project Science Office at NASA’s Goddard Space
Flight Center in Greenbelt, 186 http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov/pdfs/Landsat7_Handbook.pdf
USGS(2014). Using the USGS Landsat 8 Product. http://landsat.usgs.gov/Landsat8_Using_Product.php [Februari 2014]
Rahayu, dan Chandra, D.S.,(2014). Koreksi Radiometrik Citra Landsat-8 Kanal Multispektral Menggunakan Top of
Atmosphere (ToA) untuk Mendukung Klasifikasi Penutup. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
:
:
Pemakalah
Diskusi
:
:
Winanto
Koreksi Radiometrik Data Citra Landsat
Classification Plugin pada software QGIS
Ahmad Sutanto (LAPAN)
Menggunkan Semi
Automatic
Maryani Hartuti (Pusfatja LAPAN):
Bagaimana jika metode koreksi radiometrik inid ibandingkandenganmetode yang lain? Apakah sudah pernah
dilakukan?
Jawaban:
Kami bisa menjelaskan secara singkat bahwa pada Plug in Koreksi Radiometrik yang terdapat pada QGIS
menggunakan metode koreksi radiometrik yang biasa digunakan NASA dalam mengkoreksi data LANDSAT
mereka. Dari sumber pembuat plug in ini (Luca Congedo, Semi Automatic Classification Plugin, 2015)
diperoleh informasi bahwa koreksi yang dilakukan menggunakan metode DOS1 Correction. Memang di
dalam tulisan kami tidak melakukan metode lain dalam koreksi ini, karena memang metode yang tersedia
pada plug in ini cuma satu. Penulis paper yang lain yaitu Ibu Liana (Pustekdata) melakukan beberapa metode
lalu membandingkannya. Dalam tulisan beliau ternyata metode DOS ini yang memiliki hasil yang paling
bagus.
-110-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Penerapan Metode MPCA pada Citra Landsat Menggunakan
PCA Plugin pada software QGIS
Application of Multitemporal Principal Component Analysis Method on
Landsat Image Using PCA Plugin in QGIS Software
Ahmad Sutanto1*), dan Arum Tjahjaningsih1
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN, Jakarta, Indonesia
E-mail : [email protected]
ABSTRAK – Analisis komponen utama (Principal Component Analysis (PCA)) digunakan untuk menjelaskan struktur
matriks varians-kovarians dari suatu set variabel melalui kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut. Secara umum
komponen utama dapat berguna untuk reduksi dan interpretasi variabel-variabel. Pelaksanaan komputasi numerik pada
data citra Landsat untuk proses perhitungan nilai MPCA (Multitemporal Principal Component Analysis). Perhitungan
MPCA ini menggunakan data nilai reflektansi dari Band Green, Red dan NIR (Near Infra Red) yang berasal dari citra
Landsat dari dua waktu yang berbeda. Data citra satelit yang digunakan adalah citra satelit Landsat 8 tahun 2014 dan
2015, citra Landsat 7 tahun 2000, citra Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan 2011 wilayah Aceh bagian selatan. Perangkat
lunak yang digunakan adalah QGIS 2.6.1 yang merupakan Free and Open Source Software.
Kata kunci: MPCA, Landsat, Reflektansi, QGIS.
ABSTRACT- Principal Component Analysis (PCA) is used to describe the structure of the variance - covariance
matrix of a set of variables through a linear combination of these variables. In general, principal components can be
useful for the reduction and interpretation of variables. Implementation of numerical computation on Landsat imagery
data for the calculation of the value of Multitemporal Principal Component Analysis (MPCA). MPCA calculations used
data from the reflectance values Band Green, Red and NIR (Near Infra Red) derived from Landsat imagery from two
different times. Satellite image data used is Landsat 8 satellite images in 2014 and 2015, Landsat 7 in 2000, Landsat 5
in 2009, 2010 and 2011 the Aceh region to the south. The software used is QGIS 2.6.1 is a Free and Open Source
Software.
Keywords: MPCA, Landsat, Reflectance, QGIS.
1.
PENDAHULUAN
Pelaksanaan komputasi numerik pada data citra Landsat untuk proses perhitungan nilai MPCA
(Multitemporal Principal Component Analysis). Perhitungan MPCA ini menggunakan data nilai reflektansi
dari Band Green, Red dan NIR (Near Infra Red) yang berasal dari citra Landsat dari dua waktu yang
berbeda. Data citra satelit yang digunakan adalah citra satelit Landsat 8 tahun 2014 dan 2015, citra Landsat 7
tahun 2000, citra Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan 2011 wilayah Aceh bagian selatan. Perangkat lunak yang
digunakan adalah QGIS 2.6.1 yang merupakan Free and Open Source Software.
2.
TEORI DASAR
Analisis komponen utama (Principal Component Analysis (PCA)) digunakan untuk menjelaskan struktur
matriks varians-kovarians dari suatu set variabel melalui kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut.
Secara umum komponen utama dapat berguna untuk reduksi dan interpretasi variabel-variabel. Prosedur
PCA pada dasarnya adalah bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara
menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara
variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali
atau yang biasa disebut dengan principal component. Setelah beberapa komponen hasil PCA yang bebas
multikolinearitas diperoleh, maka komponen-komponen tersebut menjadi variabel bebas baru yang akan
diregresikan atau dianalisa pengaruhnya terhadap variabel tak bebas (Y) dengan menggunakan analisis
regresi (Soemartini, 2008).
Pada kegiatan ini digunakan metode analisis komponen utama multiwaktu atau Multitemporal Principal
Component Analysis (MPCA) untuk membuat citra sintetis. Lebih lanjut, Jaya (2005) menjelaskan bahwa
pada metode MPCA digunakan untukmengevaluasi wilayah yang berubah (change) dengan menggunakan
konsep:
-111-
Penerapan Metode MPCA pada Citra Landsat Menggunakan PCA Plugin pada software QGIS (Sutanto, A., dkk.)
1. Komponen stable brightness (SB) yang didefinisikan apabila besarnya nilai eigenvector (weight) dari
setiap saluran (band) hampir sama dengan tanda aljabar yang positif. Indeks ini umumnya terdapat
pada komponen utama satu.
2. Komponen stable greeness (SG) yang didefinisikan apabila saluran merah dari kedua waktu
mempunyai tanda aljabar yang sama tetapi berlawanan dengan tanda aljabar saluran inframerah dari
kedua waktu. Sebagai contoh tanda aljabar kedua saluran merah positif pada kedua tahun yang
berbeda sedangkan tanda aljabar kedua saluran inframerah negatif, atau sebaliknya.
3. Komponen delta brightness (DB), ditandai dengan adanya kesamaan tanda aljabar saluran merah dan
inframerah dari waktu yang sama tetapi bertentangan tanda aljabar pada saluran merah dan inframerah
pada waktu yang berbeda. Sebagai contoh, tanda aljabar pada tahun sebelumnya pada saluran merah
dan inframerah positif sedangkan untuk saluran merah dan inframerah pada tahun sesudahnya negatif
atau dapat juga sebaliknya.
4. Komponen delta greeness (DG) yang merupakan kebalikan dari SB. Sebagai contoh tanda aljabar
untuk saluran merah positif dan inframerah negatif untuk tahun sebelumnya, maka tanda aljabar untuk
tahun sesudahnya.
3.
PROSES DAN HASIL
Pembuatan citra sintetik MPCA berasal dari nilai reflektansi dari Band Green, Red dan NIR (Near Infra
Red) yang berasal dari citra Landsat dari dua waktu yang berbeda. Pembuatan citra sintetik MPCA pada
kegiatan ini menggunakan :
 citra Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 7 tahun 2000.
 citra Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 5 tahun 2009.
 citra Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 5 tahun 2010.
 citra Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 5 tahun 2011.
 citra Landsat 8 tahun 2015 dan citra Landsat 7 tahun 2000.
 citra Landsat 8 tahun 2015 dan citra Landsat 5 tahun 2009.
 citra Landsat 8 tahun 2015 dan citra Landsat 5 tahun 2010.
 citra Landsat 8 tahun 2015 dan citra Landsat 5 tahun 2011.
 citra Landsat 8 tahun 2015 dan citra Landsat 8 tahun 2014.
Pada citra Landsat 5 dan 7 saluran inframerah dekat terdapat pada saluran 4 sedangkan saluran merah
terdapat pada saluran 3. Pada citra Landsat 8 saluran inframerah dekat terdapat pada saluran 5 sedangkan
saluran merah terdapat pada saluran 4.
Perhitungan numerik untuk MPCA ini dapat lakukan dengan menggunakan tools / plugin yang tersedia
pada software QGIS 2.6.1. Tools/plugin tersebut bernama PCA. Pertama-tama kita buat susunan band yang
memuat nilai reflektansi band Green, Red dan NIR. Pada menu utama di QGIS pilih SCP => Band set.
Gambar 1. Menu Semi-Automatic Classification Plugin pada software QGIS
-112-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Selanjutnya akan muncul jendela Semi-Automatic Classification Plugin. Pilih band yang akan disusun
pada kolom band list lalu klik Add rasters to set. Susunan band dapat diatur pada kolom Band set definition.
Kita dapat mengatur urutan band dengan menggunakan fasilitas control bands. Selanjutnya klik Create
virtual raster of band set lalu muncul jendela Save virtual raster. Pilih folder tempat penyimpanan file dan
ketik nama file virtual raster.
Setelah itu kita masuk pada perhitungan MPCA, pastikan Plugin PCA sudah terinstall pada QGIS. Jika
belum maka harus diinstall dengan memanfaatkan tools Manage and Install Plugins. Bila sudah terinstall,
langkah berikutnya pada menu utama klik Plugins => PCA => PCA. Muncul jendela PCA, pilih data input
file (file virtual raster yang tadi dibuat). Tentukan jumlah Principal component (dalam contoh ini ada 6
principal component). Pilih folder tempat outputfile dan ketik nama file citra sintetik MPCA yang akan
dibuat.
Gambar 2. Langkah Perhitungan MPCA pada Software QGIS
-113-
Penerapan Metode MPCA pada Citra Landsat Menggunakan PCA Plugin pada software QGIS (Sutanto, A., dkk.)
Berikut ini tampilan hasil citra sintetik MPCA dan hasil pengolahan statistiknya yang berasal dari
pengolahan nilai reflektansi dari Band Green, Red dan NIR citra Landsat 8 tahun 2014 dan 2015, citra
Landsat 7 tahun 2000, citra Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan 2011 untuk wilayah Geumpang, Aceh.
(a)
(b)
Gambar 3. Hasil MPCA dari Data Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan Data Landsat 7 Tanggal 5 Maret 2000 Wilayah
Geumpang, Aceh (a) Hasil Citra Sintetik MPCA, (b) Hasil Statistik MPCA.
-114-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a)
(a)
(b)
Gambar 4. Hasil MPCA dari Data Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan Data Landsat 5 Tanggal 18 Februari 2009
Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil Citra Sintetik MPCA, (b) Hasil Statistik MPCA.
-115-
Penerapan Metode MPCA pada Citra Landsat Menggunakan PCA Plugin pada software QGIS (Sutanto, A., dkk.)
(a)
(b)
Gambar 5. Hasil MPCA dari Data Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan Data Landsat 5 Tanggal 20 Januari 2010
Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil Citra Sintetik MPCA, (b) Hasil Statistik MPCA.
-116-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a)
(b)
Gambar 6. Hasil MPCA dari Data Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan Data Landsat 5 Tanggal 8 Februari 2011
Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil Citra Sintetik MPCA, (b) Hasil Statistik MPCA.
-117-
Penerapan Metode MPCA pada Citra Landsat Menggunakan PCA Plugin pada software QGIS (Sutanto, A., dkk.)
(a)
(b)
Gambar 7. Hasil MPCA dari Data Landsat 8 Tanggal 18 Januari 2015 dan Data Landsat 7 Tanggal 5 Maret 2000
Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil Citra Sintetik MPCA, (b) Hasil Statistik MPCA.
-118-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a)
(b)
Gambar 8. Hasil MPCA dari Data Landsat 8 Tanggal 18 Januari 2015 dan Data Landsat 5 Tanggal 18 Februari 2009
Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil Citra Sintetik MPCA, (b) Hasil Statistik MPCA.
-119-
Penerapan Metode MPCA pada Citra Landsat Menggunakan PCA Plugin pada software QGIS (Sutanto, A., dkk.)
(a)
(b)
Gambar 9. Hasil MPCA dari Data Landsat 8 Tanggal 18 Januari 2015 dan Data Landsat 5 Tanggal 20 Januari 2010
Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil Citra Sintetik MPCA, (b) Hasil Statistik MPCA.
-120-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a)
(b)
Gambar 10. Hasil MPCA dari Data Landsat 8 Tanggal 18 Januari 2015 dan Data Landsat 5 Tanggal 8 Februari 2011
Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil Citra Sintetik MPCA, (b) Hasil Statistik MPCA.
-121-
Penerapan Metode MPCA pada Citra Landsat Menggunakan PCA Plugin pada software QGIS (Sutanto, A., dkk.)
(a)
(b)
(b)
Gambar 11. Hasil MPCA dari Data Landsat 8 Tanggal 18 Januari 2015 dan Data Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014
Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil Citra Sintetik MPCA, (b) Hasil Statistik MPCA.
4. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan pada Kapustekdata yang telah menyediakan data untuk kegiatan
penelitian ini, serta Kepala Bidang SDWD atas dukungan yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Soemartini (2008). Principal Component Analysis (PCA) Sebagai Salah Satu Metode Untuk Mengatasi Masalah
Multikolinearitas. FMIPA Universitas Padjadjaran, Bandung.
-122-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Jaya, I.N.S., (2005). Teknik Mendeteksi Lahan Longsor Menggunakan Citra SPOT multi Waktu, Studi Kasus di
Teradomari, Tochio dan Shidata Mura, Niigata, Jepang. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 10:31–48.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Nama Pemakalah
Diskusi
(Tidak ada diskusi)
: Penerapan Metode MPCA Pada Citra Landsat Menggunakan PCA
Plugin Pada Software QGIS
: Ahmad Sutanto
:
-123-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
_________________________________________________________________________________________________________
Pengembangan Nilai Kualitas Radiometrik untuk Citra Landsat-8
(Fase I: Identifikasi Kabut)
Development of Landsat-8 Image Radiometric Quality Score
(Phase I: Haze Identification)
Kustiyo1*), dan Anis Kamilah Hayati1
1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK – Kualitas radiometrik citra menunjukkan seberapa baik citra tersebut bebas dari pengaruh kesalahan
radiometrik, setidaknya ada 2 parameter yang dapat diperoleh dari data Landsat-8 dan digunakan untuk menilai kualitas
radiometrik, yaitu adanya kabut (haze) dan adanya awan atau jarak dari awan. Sebagai langkah awal dari
pengembangan kualitas radiometrik citra, penelitian ini mengembangkan teknik untuk mengidentifikasi haze dari data
Landsat-8. Data yang digunakan adalah data Landsat-8 yang sudah terkoreksi geometrik ortho kemudian dilakukan
koreksi radiometrik TOA (Top Of Atmosferic) dan BRDF (Biderectional Reflectance Distribution Function). Analisa
yang digunakan adalah membandingkan teknik tasseled cap haze transformation, simplified tasseled cap haze
transformation, haze optimized transform, dan algoritma pengembangan dengan teknik supervised haze transformation.
Algoritma yang dikembangkan menggunakan histogram 2 dimensi (scaterplot 2D) dari kanal kanal birudan merah,
analisa dilakukan berdasarkan data contoh (sample) reflektansi vegetasi dan lahan terbuka dari tiga kelas haze (tanpa
haze, sedikit haze, dan banyak haze). Dengan menggunakan analisa visual, dipilih algoritma terbaik dalam mendeteksi
haze yaitu supervised haze transformation.
Kata kunci:kualitas citra, radiometrik, identifikasi haze
ABSTRACT – Image radiometric quality score is the score that shows how good the image from radiometric error. At
least there are two parameters derived from Landsat-8 image that can be used to assess the radiometric quality, that
are haze and cloud or cloud distance. As an initial work of the image radiometric quality score development, this
research developed the haze identification technique from Landsat-8 image. This research used the Landsat-8 ortho
rectified image, then radiometric correction (Top Of Atmospheric and Bidirectional Reflectance Distribution Function)
was applied. We analyzed tasseled cap haze transformation, simplified tasseled cap haze transformation, haze
optimized transform, and supervised haze transformation. The development of supervised haze transformation
algorithms used the 2 dimensions (2D) histogram (scaterplot) between blue and red band. Analysis was carried out
based on the sample reflectance of vegetation and bare soil in the three classes of haze (no haze, less haze, and much
haze). By using the visual investigation, the best result in the haze detection was supervised haze transformation.
Keywords: image quality, radiometric, hazeidenfication
1.
PENDAHULUAN
Satelit penginderaan jauh mengidentifikasi objek permukaan bumi dengan mengukur nilai radian
objekpada lokasi koordinat tertentu, selanjutnya nilai radian dapat dikonversi menjadi nilai reflektan,
dimana nilai reflektan ini merepresentasikan objek pada lokasi tertentu. Nilai reflektan sebuah objek dapat
berbeda dari yang sebenarnya tergantung dari kondisi atmosfer pada saat perekaman, informasi kualitas citra
khususnya informasi kualiatas nilai reflektan sangat diperlukan dan merupakan hal yang sangat penting dari
pemanfaatan citra penginderaan jauh (Xia, 2015), kualitas citra yang baik akan menghasilkan informasi
tematik yang akurat untuk pemanfaatan citra. Setidaknya ada dua parameter dasar yang digunakan untuk
menentukan kualitas citra penginderaan jauh, yaitu (1) ketelitian geometrik, yang mengukur ketelitian lokasi
pada setiap elemen piksel pada citra, dan (2) keletitian radiometrik, yang mengukur perbedaan reflektan yang
diukur oleh sensor disatelit dengan reflektance sebenarnya (George, 2005).Beberapa penelitian terkait
kualitas citra sudah banyak dilakukan, antara lain penggunaan signal-to-noise ratio(Fiete, 2001), penggunaan
universal reconstruction method (Shen, 2010), penggunaan visual information fidelity index (Shao, 2013),
penggunaan comprehensive evaluation factor (Wang, 2014), penggunaan statistik dan analisa secara visual
(Shahrokhy, 2004), dan kualitas citra untuk data citra resolusi tinggi (Mattia, 2009).
Kualitas radiometrik ditentukan oleh kualitas sensor dan kondisi atmosfer pada saat perekaman. Yang
dimaksud dengan kualitas radiometrik pada penelitian ini dibatasi pada kualitas atau kondisi atmosfer.
-124-
Pengembangan Nilai Score Kualitas Radiometrik untuk Citra Landsat-8 (Fase I: Identifikasi Haze) (Kustiyo, dkk)
Kualitas atmosfer sebuah citra dipengaruhi oleh kondisi awan dan haze (Shahrokhy, 2004)yang ditunjukkan
oleh nilai/score tertentu, makin tinggi score maka makin tinggi kualitas citra. Dengan menggabungkan score
awan dan scorehaze, yaitu dengan mengambil nilai yang paling rendah(kualitas paling rendah) dari kedua
score awan dan haze tersebut maka akan didapatkan kualitas radiometrik citra.
Penelitian ini difokuskan untuk identifikasi haze sebagai bagian dari penyusuan kualitas kualitas citra
secara keseluruhan. Beberapa metoda identifikasi hazeyang sudah dikembangkan antara lain tasseled cap
haze transformation,simplified tasseled cap haze transformation (Kautth, 1976; Crist, 1984; Crist,1985;
Lavreau, 1991; Huang, 2002; Moro, 2007),dan hazeoptimized transform (Zhang, 2002; Zhang, 2003). Dalam
penelitian ini akan dilakukan perbandingan dari empat teknik yaitu tiga teknik yang sudah pernah
dikembangkan, dan satu teknik yang disampaikan dengan menggunakan algoritma supervised menggunakan
kanal yang sama yaitu kanal biru dan kanal merah.
2. METODE
2.1. Data dan Lokasi Penelitian
Data yang digunakan adalah data Landsat-8 scene 122065 perekaman tahun 2015 yang mencakup
sebagian wilayah Jawa Barat bagian selatan. Dari 23 citra yang ada dipilih 5 scene yang relatif bebas awan,
data dengan tanggal perekaman 28 Juni 2015 digunakan sebagai sample data, sedangkan data lainnya
digunakan untuk ujicoba atau validasi, yaitu 31 Agustus 2015, 03 November 2015, 06 Januari 2016, dan 13
Mei 2016
Level data yang digunakan adalah L1T, dimana data sudah dikoreksi geometrik tegak menggunakan titik
kontrol yang diperoleh secara otomatis menggunakan teknik image mathching, sedangkan secara radiometrik
data yang digunakan sudah dalam bentuk radian dengan mengalikan gain dan offset yang terdapat dalam
metadata.
2.2. Pengolahan awal
Pengolahan awal yang digunakan adalah koreksi radiometrik berupa koreksi Top of Atmosferic (TOA)
dan Bidirectional Reflectance Distrubution Function (BRDF). Hasil koreksi radiometrik berupa nilai
reflektan dengan nilai antara 0 sampai 1, selanjutnya dikalikan dengan 60000 agar dapat disimpan dalam
nilai 16-bit interger. Sedangkan pengolahan koreksi geometrik tidak dilakukan karena data yang digunakan
sudah dalam level pengolahan L1T.
2.3. Deteksi Haze
Deteksi haze dilakukan
dengan menggunakan empat macam algoritma, yaitu tasseled cap
hazetransformation, simple tasseled cap hazetransformation,hazeoptimized transform dan penghitungan
indekshazedengan supervised algorithm. Sebelum dilakukan deteksi haze, terlebih dahulu dilakukan
pemisahan air menggunakan kanal short wave infra red-2 (swir-2) dengan menggunakan nilai batas, jika nilai
reflektan kanal swir-2 < 0.067 atau nilai digital kanal swir-2 hasil pengolahan awal <4000 maka dikelaskan
menjadi air.
2.3.1. Tasseled Cap Haze Transformation (TCHT)
Metoda TCHT ini dikemukakan oleh Kauth R. J. dan G. Thomas (1976). Parameter hazediturunkan dari
Landsat-8OLI menggunakan persamaan berikut :
TCHT =0.846 x K2 - 0.073x K3 - 0.46 x K4 - 0.0032 x K5 -0.049 x K6 + 0.0119 x K7 + 0.7879………..(1)
Dimana :
Ki: nilai reflektan kanal-i dari data Landsat-8,
TCHT: haze indeks dari transformasi tasseled cap ke-4.
2.3.2. Simple Tasseled Cap Haze Transformation (STCHT)
Metoda ini merupakan penyederhanaan metoda tasseled cap ke-4, dengan hanya mengambil kanal dengan
koefisien yang paling berpengaruh atau nilai koefisiennya relatif besar dibandingkan dengan koefisien
lainnya. Penyederhanaan metoda STCHTmenggunakan persamaan :
STCHT = 0.846 × K2 - 0,46 × K4................................................................................................................... (2)
Dimana:
-125-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
K2: nilai reflektan kanal-2 (biru),
K4: nilai reflektan kanal-4 (merah),
STCH: haze indeks dari transformasi tasseled cap yang disederhanakan.
2.3.3. HazeOptimized Transform (HOT)
Metoda HOT ini dikemukakan oleh Zhang dan Guindon (2002)dengan membuat transformasi yang
didasarkan pada pengamatan dua dimensi (2-D) antara kanal biru dengan kanal merah. Selanjutnya dibuat
garis regresi linier sederhana untuk objek darat yang bebas awan dan bebas haze, kemudian dihitung sudut
kemiringannya, dan dituangkan dalan persamaan:
HOT = sinθ × K2 - cosθ × K4 ........................................................................................................................ (3)
Dimana:
K2: nilai reflektan kanal-2 (biru),
K4: nilai reflektan kanal-4 (merah),
HOT: hazeindeks dari transformasi, dan
θ: sudut garis regresi dengan garis horisontal.
(a)
(b)
Gambar 1. Perhitungan HOT scene 122065 26 Juni 2016. (a) Citra RGB natural color bebas awan
(b) Grafik 2D kanal Blue dan kanal Red
Berdasarkan pemilihan area yang bebas awan dan pembuatan diagram 2D dari scene 122065 tanggal 26 Juni
2015 seperti tampak pada Gambar 1, maka didapat sudut θsebesar 70o, sehingga persamaan HOT untuk data
yang digunakan adalah :
HOT = 0.940 × K2 - 0.342 × K4 .................................................................................................................... (4)
Dimana:
K2: nilai reflektan kanal-2 (biru),
K4: nilai reflektan kanal-4 (merah), dan
HOT: hazeindeks dari transformasi.
2.3.4. Supervised Haze Transform (SHT)
Metoda ini menggunakan algoritma supervised dengan mengambil training sample pada wilayah bebas
haze, sedikit haze, dan banyak haze untuk objek vegetasi dan lahan terbuka, dimana diusahakan objek
vegetasi dan lahan terbuka mempunyai tutupan lahan yang sama. Selanjutnya dilakukan pengamatan dua
dimensi (2-D) antara kanal biru dengan kanal merah, dan dibuat garis yang menghubungkan reflektansi
vegetasi dan lahan terbuka bebas awan, kemudian dihitung sudut kemiringannya, dan dituangkan dalan
persamaan:
SHT = tanθ × K2 - K4 ................................................................................................................................. (5)
-126-
Pengembangan Nilai Score Kualitas Radiometrik untuk Citra Landsat-8 (Fase I: Identifikasi Haze) (Kustiyo, dkk)
Dimana:
K2: nilai reflektan kanal-2 (biru),
K4: nilai reflektan kanal-4 (merah),
SHT: haze indek, dan
θ: sudut antara garis bebas awan dengan garis horisontal.
(a)
(b)
Gambar 2. Perhitungan SHT scene 122065 26 Juni 2016. (a) Citra RGB natural color
(b) Grafik 2D kanal Blue dan kanal Red
Berdasarkan training sample dari scene 122065 tanggal 26 Juni 2015 seperti tampak pada Gambar 2(a),
maka dibuat diagram 2D seperti tampak pada Gambar 2(b), maka didapat sudut θsebesar 73o, sehingga
persamaan SHT untuk data yang digunakan adalah :
SHT = 3.27 × K2 - K4 .................................................................................................................................. (6)
Dimana:
K2: nilai reflektan kanal-2 (biru),
K4: nilai reflektan kanal-4 (merah),
SHT: haze indek.
2.4. Scoring Haze Indeks
Haze indeks selanjutnya dikonversi menjadi nilai scoreantara 1 sampai 100, dimana nilai 1 menunjukkan
piksel paling hazy, nilai 99 menunjukkan piksel paling sedikit haze (least hazy), sedangkan nilai 100
menunjukkan piksel bebas haze. Konversi indeks haze menjadi score antara 1-100 menggunakan
transformasi linier. Untuk menyeragamkan rumus dari ketiga rumus(TCHT, HOT, dan STCHT) yang
merupakan kombinasi linier dari kanal-2 dan kanal-4, maka rumus disederhanakan dengan transformasi
linier yang disampaikan pada tabel 1.
Indeks haze
STCHT
HOT
SHT
3.
Tabel 1. Formula IndeksHaze Setelah Diseragamkan
Sebelum diseragamkan
Setelah diseragamkan
STCHT= 0.846 × K2 - 0,46 × K4 STCHT =1.84×K2 - K4
HOT = 0.940 × K2 - 0.342 × K4
HOT= 2.75 × K2-K4
SHT = 3.27 × K2 - K4
SHT= 3.27 × K2 - K4
HASILDAN PEMBAHASAN
Pembahasan dilakukan dengan membandingkan dua kelompok metoda, pertama dilakukan pembandingan
antara hasil TCHT dan STCHT, dan kedua dilakukan pembandingan hasil dari tiga metoda STCTH, HOT,
dan SHT dimana hanya berbeda pada coefisien transformasi. Metoda terbaik ditentukan berdasarkan kriteria
(1) tidak ada kesalahan omisi, yang artinya semua haze masuk dalam range score 1-99, (2) kesalahan komisi
minimal, yang artinya bukan haze yang didetek sebagai haze adalah minimal. Selanjutnya metoda yang
terpilih diuji menggunakan data perekaman lainnya pada lokasi yang sama.
3.1. Perbandingan hasil TCHT dan STCHT
Dilihat dari coefisien transformasi, maka akar kuadrat dari jumlah kuadrat koefisien transformasi untuk
TCHT adalah sqrt (0.8462+(-0.073) 2+(-0.46) 2+(-0.0032) 2+(-0.049) 2+0.01192) = 0.9671, sedangkan akar
kuadrat dari jumlah kuadrat koefisien transformasi untuk STCHT adalah sqrt (0.8462 +(-0.46) 2) = 0.9630.
-127-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Kedua angka tersebut menunjukkan bahwa perbedaan hasil antara TCHT dan STCHT hanya 0.0041 atau
0.4%.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. Perhitungan TC4 dan STC4 scene 122065 26 Juni 2016. (a) Citra RGB natural color
(b) Citra RGB-654 (c) hasil transformasi TC4 (d) hasil transfomasi STC4
Dari Gambar 3 tampak bahwa secara garis besar tidak ada perbedaan yang berarti antara hasil TCHT dan
hasil STCHT. Jika dilihat lebih rinci, pada hasil TCHT terlihat adanya bercak-bercak kosong (bebas haze)
ditengah haze seperti pada gambar Gambar 3(c), pada kenyataannya haze merupakaan komponen udara yang
biasanya menyebar dan terdistribusi secara merata dan saling berhubungan, secara visual bercak-bercak
bebas haze adalah merupakan haze. Adanya area bebas haze ditengah haze merupakan efek dari
penggunaaan kanal-5(Near Infra Red), kanal-6 (Short Wave Infra Red-1) dan kanal-7 (Short Wave Infra
Red-2), dimana ketiga kanal ini tidak sensitif terhadap haze. Hasil STCHT pada Gambar 3(d) lebih realistik,
dimana tidak ada area bebas haze di tengah haze. Hasil STCHT lebih baik dibandingkan dengan hasil TCHT
di wilayah yang diteliti, selanjutnya pada kajian berikutnya hanya digunakan algoritma STCHT.
3.2. Perbandingan HasilSTCHT, HPT dan SHT
Range histogram hasil dari ketiga algoritma STCHT, HOT dan SHT bervariasi, sehingga perlu dilakukan
normalisasi, sehingga kegita histogram mempunyai mean dan standar deviasi yang sama. Gambar 4(a)
merupakan area yang digunakan untuk perbandingan, sedangkan Gambar 4(b) adalah histogram hasil
normalisasi dari ketiga algoritma.
(a)
(b)
Gambar 4. Perhitungan Histogram IndeksHazeScene 122065 26 Juni 2016. (a) Citra RGB Natural Color
(b) Histogram IndeksHaze untuk Algoritma HOT(Red) SHT(Green) STCHT (Blue)
-128-
Pengembangan Nilai Score Kualitas Radiometrik untuk Citra Landsat-8 (Fase I: Identifikasi Haze) (Kustiyo, dkk)
Dari ketiga histogram (Gambar4(b)) tampak adanya 2 puncak pada semua histogram, puncak pertama
menunjukkan wilayah dengan haze, sedangkan puncak kedua menujukkan wilayah tanpa haze. Pemisahan
wilayah bebas haze dengan haze dilakukan dengan mengambil nilai paling rendah dari kedua puncak
histogram. Jika range nilai histogram adalah a sampai c dengan b adalah nilai antara a-c yang merupakan
lembah dari dua puncak, maka piksel bebas haze dengan nilai >b diberi score 100, sedangkan
pikselhazedengan nilai a sampaibdiberiscore 1-99 dengan transformasi linier, dimana nilai a menjadi 1 dan
nilaib menjadi 99.
(a)
(b)
Gambar 5. PerhitunganCitra Indeks HazeScene122065 26 Juni 2016.
(a) STCHT, (b)HOT, (c)SHT
(c)
Gambar 5 menunjukkan citra hasil indekshaze untuk ketiga metoda dengan latar belakang citra komposit
natural color, warna biru menunjukkan score kualitas lebih rendah yang artinya wilayah hazy, sedangkan
warna hijau menunjukkan score kualitas yang lebih tinggi atau sedikit haze. Secara umum ketiga gambar
adalah mirip, artinya ketiga metoda cukup bagus dalam mendeteksi haze. Analisa perbandingan hasil secara
visual dari Gambar 5 disampaikan pada Tabel 1.
Metoda
STCHT
HOT
SHT
Tabel 1. Analisa perbandingan hasil secara visual
Kesalahan Omisi
Kesalahan Komisi
Masih ada lubang ditengah
Air masuk dalam
warna biru dan cyan
klasifikasi haze
Masih ada lubang ditengah
warna cyan
-
Masih ada objekobjek kecil
masuk dalam klas haze
Masih ada objekobjek kecil
masuk dalam klas haze
Keterangan
Haze diatas objek vegetasi
dan lahan terbuka
terpisahkan
Lebih global
Hasil dari algortiama STCHT menunjukkan masih adanya efek landcover dibawah haze, sedangkan
algortima HOT menunjukkan efek landcover tidak berpengaruh. Dengan kata lain makin tinggi koefisien
transformasi untuk kanal biru maka hasilnya makin global dan efek tutupan lahan dibawah haze jadi tidak
tampak. Dari hasil pada tabel 1, maka algoritma SHT terpilih karena tidak terdeteksi adanya kesalahan
omisi, sedangkan kesalahan komisinya sama dengan kesalahan komisi pada algortima HOT.
3.3. Uji Coba Metodologi
Metoda terpilih yaitumetoda SHT, metodainidiujikan untuk scene yang sama dengan tanggal perekaman
yang berbeda. Metoda SHT dengan koefisien kanal-2 sebesar3.27 diujicobakan untuk scene 122065 dengan
empatperekaman, yaitu tanggal 31 Agustus 2015, 03 November 2015, 06 Januari 2016, dan 13 Mei 2016.
Hasil ujicoba algoritma terpilih disampaikan pada Gambar 6.
Secara garis besar ke-4 scene hasil ujicoba menunjukkan bahwa tidak adanya kesalahan omisi, artinya
semua haze teridentifikasi, dan masih ada beberapa kesalahan komisi seperti adanya lahan terbuka yang
terdeteksi sebagai haze.
-129-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a1) Komposit Natural Color 131-08-2015
(a2) Indeks Haze 131-08-2015
(b1) Komposit natural color 03-11-2015
(b2) Indeks Haze 03-11-2015
(c1) Komposit natural color 06-01-2016
(c2) Indeks haze 06-01-2016
(d1) Komposit natural color 13-05-2016
(d2) Indeks haze 13-05-2016
Gambar 6. Hasil uji coba metoda terseleksi (SHT)
4.
KESIMPULAN
Ketiga algoritma yaitu STCHT, HOT, SHT hanya berbeda pada koefisien pengali untuk kanal blue,
koefisien yang kecil menghasilkan klasifikasi haze dengan masih menampakkan karakteristik objek
dibawahnya, sedangkan koefisien makin besar karakteristik objek dibawahnya tidak kelihatan dan makin
homogen. Berdasarkan analisa kesalahan, maka SHT paling paling baik karena tidak ada kesalahan omisi,
untuk pengolahan selanjutnya algoritma SHT dengan koefisien pengali 3.27 akan digunakan untuk
menentukan haze.
-130-
Pengembangan Nilai Score Kualitas Radiometrik untuk Citra Landsat-8 (Fase I: Identifikasi Haze) (Kustiyo, dkk)
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Kami ucapkan terima kasih kepada Kepala Bidang Program dan Fasilitas yang telah menyediaakan akses
data Landsat-8 secara langsung ke server pengolahan data Landsat-8, dan semua tim akusisi dan pengolahan
data standar Landsat-8.
DAFTAR PUSTAKA
Crist, E.P., dan Cicone, R.C., (1984). Application of the Tasseled Cap concept to simulated Thematic Mapper
data.Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, 50(3):343-352.
Crist, E.P., dan Cicone, R.C., (1984). Comparisons of the dimensionality and features of simulated Landsat-4 MSS and
TM data.Remote Sensing of Environment, 14(1-3):235-246.
Crist, E.P.,dan Cicone, R.C., (1984). A Physically-Based Transformation of Thematic Mapper Data---The TM Tasseled
Cap.IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 3:256-263.
Crist, E.P., (1985). A TM tasseled cap equivalent transformation for reflectance factor data.Remote Sensing of
Environment, 3:301-306.
Huang, C., Wylie, B., dkk., (2002). Derivation of a tasselled cap transformation based on Landsat 7 at-satellite
Reflectance.International Journal of Remote Sensing, 23(8):1741-1748.
Kauth, R.J., dan Thomas, G., (1976). The tasseled cap—a graphic description of the spectral-temporal development of
agricultural crops as seen by Landsat. Proceedings of the Symposium on Machine Processing of Remotey Sensed
Data, West Lafayette, Indiana, LARS, Purde University.
Lavreau, J., (1991). De-hazing Landsat thematic mapper images.Photogrammetric engineering and remote sensing,
57(10):1297-1302.
Mattia,C.,
dan
Laura,
D.V.,
(2009).
Procedure
for
High
Resolution
Satellite
Imagery
QualityAssessment.Sensors,9:3289-3313
Moro, G.D.,dan Halounova, L., (2007). Haze removal for high-resolution satellite data: a case study.International
Journal of Remote Sensing, 28(10):2187-2205.
Xia, Y., dan Chen., Z., (2015). Quality Assessment for Remote Sensing Images: Approaches and ApplicationsSystems,
Man, and Cybernetics(SMC), IEEE International Conference on, Kowloon.
Zhang, Y., dan Guindon, B., dkk. (2002). An image transform to characterize and compensate for spatial variations in
thincloud contamination of Landsat images. Remote Sensing of Environment,82(2-3):173-187.
Zhang, Y.,dan Guindon, B.,(2003).Quantitative Assessment of a Haze Suppression Methodology for Satellite Imagery:
Effect on Land Cover Classification Performance.IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing,
41(5):1082-1089.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
JudulMakalah
:
:
Pemakalah
Diskusi :
:
Hidayat Gunawan
Pengembangan Nilai Score Qualitas Radiometrik untuk Citra Landsat-8 Fase I
Identifikasi Haze
Kustiyo (LAPAN)
Pertanyaan: Ahmad Maryanto (LAPAN)
Jika sudah ditemukan indeksnya, apakah orientasi akhir dari penelitian itu?
Jawaban:
Mozaik bebas awan. Penelitian ini baru salah satu fase yaitu deteksi haze. Ada juga fase yang lain yaitu
deteksi awan. Skor antara kedua deteksi tersebut digabungkan baru kemudian didapatkan nilai thresholdnya.
Dimainkan threshold-nya, kemudian baru bias dilihat threshold mana yang paling baik untuk mosaic bebas
awan.
Pertanyaan: Ferman SetiaNugroho (LAPAN)
Apa hanya berfokus pada omisi saja karena merupakan bagian yang tidak ada kesalahan? Bagaimana dengan
komisinya?
Jawaban:
-131-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Sebetulnya menggunakan omisi dan komisi, namun komisi masih ada objek darat yang terdeteksi sebagai
haze, sehingga dilihat omisinya saja di mana nilai SHT relative lebih smooth.
Pertanyaan:HidayatGunawan (LAPAN)
Dalam rangka cloud free mosaik, maka ada usaha untuk membuat cloud masking, namun dirasa tidak cukup
karena adalagi faktor haze, sehingga diperlukan haze mosaik. Bagaimana dengan asap/smoke apakah
kedepan ad arencana mendeteksi smoke. Apakah nantinya smoke dianggap haze, karena smoke itu
merupakan aerosol sedangkan haze adalah air?
Jawaban:
Pada penelitian ini smoke tidak bias dimasukkan karena tidak terdeteksi oleh band 2 dan 4, sedangkan haze
menggunakankedua band tersebut. Ke depan akan dilakukan penelitian deteksi smoke.
-132-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pengembangan Nilai Kualitas Radiometrik untuk Citra Landsat-8
(Fase I: Identifikasi Awan dan Penghitungan Jarak Awan)
Development of Landsat-8 Image Radiometric Quality Score
(Phase I: Cloud Identification and Cloud Distance Calculation)
Kustiyo1*), Randy Brahmantara1, dan Wismu Sunarmodo1
1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK – Kualitas radiometrik citra menunjukkan seberapa baik citra tersebut bebas dari pengaruh kesalahan
radiometrik, setidaknya ada 2 parameter yang dapat diperoleh dari data Landsat-8 dan digunakan untuk menilai kualitas
radiometrik, yaitu adanya kabut (haze) dan adanya awan atau jarak dari awan. Sebagai langkah awal dari
pengembangan kualitas radiometrik citra, penelitian ini mengembangkan teknik untuk mengidentifikasi awan dan cara
menghitung jarak awan dari data Landsat-8. Data yang digunakan adalah data Landsat-8 yang sudah terkoreksi
geometrik ortho dan terkoreksi radiometrik TOA (Top Of Atmosferic) dan BRDF (Biderectional Reflectance
Distribution Function) . Teknik deteksi awan yang digunakan adalah menggunakan kanal visible dan kanal cirrus, kanal
visible untuk mendeteksi awan tebal yang berwarna putih pada kombinasi warna sebenarnya (true color), sedangkan
kanal cirrus untuk mendeteksi awan tinggi. Masking air juga dilakukan untuk memisahkan obyek air dengan obyek
lainnya. Kelas awan diberi nilai 100 yang menunjukkan tingkat ketelitian deteksi awan yang tinggi, selanjutnya dibuat
buffer awan secara bertahap dengan ketelitian deteksi awan lebih rendah, pixel paling dekat dengan awan diberi nilai
99, sedangkan pixel paling jauh dengan jarak 100 pixel diberi nilai 1. Dengan teknik ini maka pixel pixel yang ragu
dalam pengekelasan awan dan bayangan awan akan masuk dalam jangkauan jarak awan. Awan awan kecil yang
bergerombol akan terkelompok dalam satu cluster awan dan jarak awan. Dengan teknik ini diharapkan semua awan
akan terkelaskan dengan nilai score 100 sampai 1, sedangkan pixel yang yakin bukan awan diberi nilai nol (0).
Kata kunci:kualitas citra, awan, jarak awan
ABSTRACT –Image radiometric quality score is the score that shows how good the image from radiometric error. At
least there are two parameters derived from Landsat-8 image that can be used to assess the radiometric quality, that
are haze and cloud or cloud distance. This research used the ortho rectified and radiometric corrected (Top Of
Atmospheric and Biderectional Reflectance Distribution Function) Landsat-8 images. As an initial work of the image
radiometric quality score development, this research developed the cloud identification technique from Landsat-8
image and calculated the cloud distance. It used the visible and cirrus band, visible band was used to identify the thick
cloud, but the cirrus band to detect high cloud. Water masking was applied to separate water and others. Cloud
assigned to score 100 (highest confident cloud), then cloud buffer was assigned gradually using score 99 to 1 (the lest
confident cloud). Using this technique, the possible cloud in surrounding cloud and cloud shadow are in the range of
cloud distance. Many small clouds in surrounding will be clustered become cloud and its distance. All cloud will be
scored to 100 to 1, and pixel with certain no cloud assigned with value zero (0).
Keywords: image quality, cloud, cloud distance
1.
PENDAHULUAN
Satelit penginderaan jauh mengidentifikasi obyek permukaan bumi dengan mengukur nilai radian obyek
pada lokasi koordinat tertentu, selanjutnya nilai radian dapat dikonversi menjadi nilai reflektan, dimana nilai
reflektan ini merepresentasikan obyek pada lokasi tertentu. Nilai reflektan sebuah obyek dapat berbeda dari
yang sebenarnya tergantung dari kondisi atmosfer pada saat perekaman, informasi kualitas citra khususnya
informasi kualiatas reflektan sangat diperlukan dan merupakan kunci keberhasilan dari pemanfaatan citra
penginderaan jauh(Xia, 2015), kualitas citra yang baik akan menghasilkan informasi tematik pemanfaatan
citra yang akurat. Setidaknya ada dua parameter dasar yang digunakan untuk menentukan kualitas citra
penginderaan jauh, yaitu (1) ketelitian geometrik, yang mengukur ketelitian lokasi pada setiap elemen pixel
pada citra, dan (2) keletitian radiometrik, yang mengukur perbedaan reflektan yang diukur oleh sensor satelit
dengan reflektance sebenarnya (George, 2005).Beberapa penelitian terkait kualitas citra sudah banyak
dilakukan, antara lain penggunaan signal-to-noise ratio (Fiete, 2001), penggunaan universal reconstruction
-133-
Pengembangan Nilai Score Kualitas Radiometrik untuk Citra Landsat-8 (Fase I: Identifikasi Haze) (Kustiyo, dkk.)
method Shen, 2010), penggunaan visual information fidelity index (Shao, 2013), penggunaan comprehensive
evaluation factor (Wang, 2014), penggunaan statistik dan analisa secara visual (Shahrokhy, 2004), dan
kualitas citra untuk data citra resolusi tinggi (Mattiacrespi, 2009).
Kualitas radiometrik ditentukan oleh kulaitas sensor dan kondisi atmosfer pada saat perekaman, yang
dimaksud dengan kualitas radiometrik pada penelitian ini dibatasi pada kualitas atau kondisi atmosfer pada
saat perekaman. Kualitas atmosfer sebuah citra dipengaruhi oleh kondisi awan dan haze (Shahrokhy, 2004).
Kualitas citraditunjukkan oleh nilai/score tertentu, makin tinggi score maka makin tinggi kualitas citra.
Penelitian ini difokuskan untuk identifikasi awandan bayangannya dari data Landsat-8, sebagai bagian
dari penyusuan kualitas kualitas citrasecara keseluruan.Awan dapat dibagi menjadi dua kategori: awan tebal
dan tipis, awan tebal relatif lebih mudah untuk diidentifikasi karena nilai reflektansi yang tinggi pada
kanalvisible, tetapi identifikasi awan tipis lebih sulit karena adanya efek obyek di bawah awan (Gao dan
Kaufman, 1995; Gao dkk., 1998; 2002).Salah satu pendekatan dalam identifikasi awan dan bayangan awan
adalah secara manual, pendekatan ini memakan waktu yang lama. Metoda yang banyak diteliti menggunakan
data dengan resolusi spasial rendah seperti Advanced Resolusi Sangat Tinggi Radiometer (AVHRR) dan
Moderate Resolution Imaging Spectrometer-radiometer (MODIS). Sensor ini biasanya dilengkapi dengan
lebih dari satu kanalthermal, dan kanal yang sensitif terhadap kandungan uap air, yang keduanya berguna
untuk deteksi awan tipis (Ackerman dkk., 1998; Derrien dkk., 1993; Saunders dan Kriebel, 1998).
Identifikasi awan dari data Landsat sudah banyak dilakukan antara lain: Automated Cloud Cover
Assessment (ACCA) sistem (Irish, 2000; Irish dkk., 2006), tetapi ACCA tidak dapat mengidentifikasi awan
tipis (cirrus). Identifikasi awan juga dapat dilakukan dengan mengidentifikasi ada tidaknya bayangan awan,
setiap awan biasanya ada bayangannya (Kustiyo, 2012). Penelitian ini menggunakan data Landsat-8, dimana
pada sensor OLI mempunyai kanal yang khusus untuk mendeteksi awan cirrus.
2. METODE
2.1. Data dan Lokasi Penelitian
Data yang digunakan adalah data Landsat-8 scene 122/065 perekaman tahun 2015 yang mencakup
sebagian wilayah Jawa Barat bagian selatan. Dari 23 citra yang ada dipilih 5 scene yang relatif bebas awan,
data dengan tanggal perekaman 28 Juni 2015 digunakan sebagai sample data, sedangkan lainnya digunakan
untuk ujicoba atau validasi, yaitu 31 Agustus 2015, 03 November 2015, 06 Januari 2016, dan 13 Mei 2016
Level data yang digunakan adalah L1T, dimana data sudah dikoreksi geometrik tegak menggunakan titik
kontrol yang diperoleh secara otomatis menggunakan teknik image mathching, sedangkan secara radiometrik
data yang digunakan sudah dalam bentuk radian dengan mengalikan gain dan offset yang terdapat dalam
metadata.
2.2. Pengolahan awal
Pengolahan awal yang digunakan adalah koreksi radiometrik berupa koreksi Top of Atmosferic (TOA)
dan Bidirectional Reflectance Distrubution Function (BRDF). Hasil koreksi radiometrik berupa nilai
reflektan dengan nilai 0 -1, selanjutnya dikalikan dengan 60000 agar dapat disimpan dalam nilai 16-bit
interger. Sedangkan pengolahan koreksi geometrik tidak dilakukan karena data yang digunakan sudah dalam
level pengolahan L1T.
2.3. Deteksi Awan dan Bayangan
Pada tahap awal deteksi awan dan bayangan dilakukan secara terpisah, selanjutnya diterapkan hubungan
spasial antara awan dan bayangannya (Kustiyo, 2012). Pengembangan dari metoda yang sebelumnya adalah
digunakannya kanal cirrus Landsat-8 yang mendeteksi awan tipis, dan digunakannya teknik scoring dari
nilai 1-100 yang menunjukkan kualitas radiometrik karena pengaruh awan. Nilai 1 menunjukkan awan
dengan tingkat akurasi tinggi (certain cloud), sedangkan nilai 100 menunjukkan bukan awan (certain nocloud). Deteksi awan yang dilakukan disini adalah deteksi certain cloud, dan certain shadow.
2.3.1. Deteksi Awan
Metoda yang digunakan denganmenggabungkan 3 indek, disebut sebagai index x,y,z yang menunjukkan
ruang 3 dimensi, sbb:
-134-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
sebuah pixel dikelompokkan sebagai awan, jika:
x<0.9, y>9000/60000, dan z>7000/1000 …………………………………………..(1)
dimana:
x = RefGreen
y = RefSWIR1 / RefNIR
z = RefSWIR2
Awan yang dimaksud adalah certain cloud, indek x digunakan untuk mendeteksi awan, indek y digunakan
untuk memisahkan awan dengan lahan terbuka, sedangkan indek z digunakan untuk memisahkan awan
dengan air.
2.3.2. Deteksi Bayangan Awan
Metoda yang digunakan menggunakan metoda yang dikembangkan oleh Kustiyo 2012, sbb:
sebuah pixel dikelompokkan sebagai bayangan awan, jika:
RefSWIR1 + RefNIR <0.7 …………………………………………………………..(2)
Jika jumlah reflektance SWIR1 dan NIR kurang dari 0.7, maka dikelompokkan menjadi certain shadow.
2.4. Penghitungan Jarak Awan
Jarak awan disini merupakan jarak relatif dengan nilai jarak 1 sampai 100. Nilai 1 menunjukkan jarak ke
awan paling dekatdengan kualitas radiometrik yang paling jelek, sedangkan nilai 100 menunjukkan jarak ke
awan palingjauh dengan kualitas radiometrik yang paling baik.
2.4.1. Penghitungan Jarak Spektral Awan
Jarak spektral dihitung berdasarkan tingkat kedekatan spektral dari certain cloud, jika secara spektral
dekat dengan certain cloud diberi score 1, makin jauh dari certain cloud diberi nilai jarak lebih besar, jarak
paling besar diberi score 100. Secara gambar-2D jarak spektral cloud digambarkan seperti pada gambar
1.Nilai 1 menunjukkan nilai kualitas radiometrik rendah, sedangkan nilai 100 menunjukkan nilai kalitas
radiometrik yang baik. Jarak spektral yang sebenarnya dihitung menggunakan 3 paramater yang digunakan
dalam identifikasi awan. Jarak spektral diterapkan untuk awan tebal dan awan tipis.
Gambar 1. Gambaran perhitungan jarak spektral awan
-135-
Pengembangan Nilai Score Kualitas Radiometrik untuk Citra Landsat-8 (Fase I: Identifikasi Haze) (Kustiyo, dkk.)
Gambar 2. Gambaran perhitungan jarak spasial awan
2.4.2. Penghitungan Jarak Spasial Awan
Jarak spasial awan dihitung berdasarkan jarak spasial pada koordinat bumi dari certain cloud, jika dekat
secara spasial dengan certain cloud diberi score 1, makin jauh dari certain cloud diberi nilai jarak lebih besar,
jarak paling besar diberi score 100. Secara gambar-2D jarak spasialawan digambarkan seperti pada gambar
2.Nilai 1 menunjukkan dekat dari awandengan nilai kualitas radiometrik rendah, sedangkan nilai 100
menunjukkan jauh dari awan dengan nilai kalitas radiometrik yang baik.
2.5. Scoring Awan dan Bayangan
Nilai score awan, bayangan dan jarak digabung menjadi menjadi score akhir, yang menunjukkan kualitas
radiometrik akibat pengaruh awan dan bayangan. Nilai score yang digunakan adalah1 sampai 100,nilai 1
menunjukkan kualitas radiometrik yang paling jelek sedangkan nilai 100 menunjukkan kualitas radiometrik
yang paling baik.Score akhir dihitung dengan rumus sbb:
sa=min(s1,s2,s3) …………………………………………………………….
sb=min(s4,s5,s6) ……………………………………………………………..
sb’=1-(sb/100)………..…………………………………………….………..
s=sa*sb’ ……………………………………………………………………...
(3)
(4)
(5)
(6)
dimana:
s1: score jarak spektral awan tebal;
s2: score jarak spektral awan tipis;
s3: score jarak spektral bayangan;
s4: score jarak spasial awan tebal;
s5: score jarak spasial awan tipis;
s6: score jarak spasial bayangan;
sa: gabungan score jarak spektral;
sb: gabungan score jarak spasial;
s=score akhir.
3. HASILDAN PEMBAHASAN
3.1. Deteksi awan
Gambar 3(a) menunjukkan gambar kombinasi citra natural color kanal 432 dari data Landsat-8 scene
122065, tanggal 26 Juni 2016.Hasil klasifikasi certain cloud untuk awan tebal disampaikan pada Gambar
3(c), sedangkan hasil klasifikasi certain cloud untuk awan tipis disampaikan pada Gambar 3(b), sedangkan
Gambar 3(d) menunjukkan gabungan keduanya. Pada gambar 3(d), warna merah menunjukkan awan tipis,
warna hijau menunjukkan awan tebal, sedangkan warna kuning menunjukkan teridentifikasi sebagai
keduanya.
-136-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. Deteksi awan scene 122065, tanggal 26 Juni 2016. (a) Citra RGB natural color
(b) awan cirrus (c) awan tebal (d) awan tebal dan awan cirrus
Dari gambar 3 tampak bahwa cara pendeteksian awan harus dipisahkan antara deteksi awan tebal dengan
warna tipis, kenampakan awan tebal tidak transparan, sedangkan awan tipis nampak transparan pada
kombinasi natural color. Dengan mengkombinasikan awan tebal dan awan tipis menjadi satu kelas awan,
maka awan terkelaskan semua. Awan tipis selain dapat dideteksi dengan kanal thermal (Kustiyo, 2012),
maka awan tipis juga dapat dideteksi dengan kanal cirrus. Pada penelitian ini tidak digunakan kanal thermal
dengan alasan antara lain resolusi kanal cirrus yang lebih baik dibanding kanal thermal, dan tidak setiap hasil
perekaman data Landsat selalu terdapat kanal thermal. Kanal thermal diperolah melalui sensor TIRS yang
terpisah dengan sensor OLI, sedangkan kanal cirrus tergabung dalam sensor OLI.
3.2. Jarak awan
Gambar 4 menunjukkan jarak spektral awan baik untuk awan tebal (Gambar 4a) dan awan tipis (Gambar
4b). Warna biru menunjukkan certain cloud sedangkan warna dengan range dari merah (score 1) ke hijau
(score 99) menunjukkan mungkin awan (maybe cloud), sedangkan untuk pixel yang pasti bukan awan
dengan score 100 adalah transparan. Warna merah sampai hijau menunjukkan kualitas radiometrik yang
bervariasi dari 1 sampai 99, sedangkan warna biru menunjukkan kualitas radiometrik 0 (paling jelek).
(a)
(b)
Gambar 4. Perhitungan jarak spektral awan scene 122065, tanggal 26 Juni 2016.
(a) Jarak spektral awan cirrus, (b) Jarak spektral awan tebal
-137-
Pengembangan Nilai Score Kualitas Radiometrik untuk Citra Landsat-8 (Fase I: Identifikasi Haze) (Kustiyo, dkk.)
Citra hasil perhitungan jarak spektral dikalikan dengan citra jarak spasial awan diperoleh citra akhir.
Hasil akhir score kualitas radiometrik awan disampaikan pada Gambar 5.
.
Gambar 5. Score kualitas radiometrik scene 122065, tanggal 26 Juni 2016.
3.3. Uji Coba Metodologi
Metoda terpilihdiujikan untuk scene yang sama dengan tanggal perekaman yang berbeda. Metoda
diujicobakan untuk scene 122065 dengan empatperekaman, yaitu tanggal 12 Juni 2015, 14 Juli2015, 15
Agustus 2015, dan 31 Agustus2015. Hasil ujicoba disampaikan pada Gambar 6.
Secara garis besar ke-4 scene hasil ujicoba menunjukkan bahwa tidak adanya kesalahan omisi, artinya
semua awan teridentifikasi. Jikaawantidakteridentifikasipadacertain cloud, makaawanterindikasipada score
1sampai99.Denganteknikini, makaalgoritmadiharapkandapatditerapkanuntuk scene dan area lainnya,
karenamengakomodiradanyaketidakpastianidentifikasiawan.
-138-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a1) Komposit natural color, 12-06-2015
(a2) Indek cloud,12-06-2015
(b1) Komposit natural color,14-07-2015
(b2) Indek cloud,14-07-2015
(c1) Komposit natural color,15-08-2015
(c2) Indek cloud,15-08-2015
(d1) Komposit natural color,31-08-2015
(d2) Indek cloud,31-08-2015
Gambar 6. Hasil uji coba kualitas radiometrik (cloud score)
4.
KESIMPULAN
Dari ujicoba algoritma yang diterapkan untuk scene dengan perekaman yang berbeda menunjukkan
bahwa semua awan terdeteksi dengan baik, awan yang mudah diidentifikasi masuk dalam kelas certain cloud
dengan score 1, sedangkan awan yang sulit diidentifikasi masuk dalam kelas dengan score 1-99. Dengan
teknik ini, maka Algoritma diharapkan dapat diterapkan untuk scene dan area lainnya, Karena
mengakomodir adanya ketidakpastian identifikasi awan. Teknik ini dapat diterapkan untuk operasional
dalam menentukan kualitas radiometrik citra khususnya kualitas radiometrik karena pengaruh awan.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Kami ucapkan terima kasih kepada Kepala Bidang Program dan Fasilitas yang telah menyediakan akses
data Landsat-8 secara langsung ke server pengolahan data Landsat-8. Juga berserta tim akusisi dan
pengolahan data standar Landsat-8.
-139-
Pengembangan Nilai Score Kualitas Radiometrik untuk Citra Landsat-8 (Fase I: Identifikasi Haze) (Kustiyo, dkk.)
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman,S.A., Strabala,K.I., Menzel,W.P., Frey,R.A., Moeller, C.C., dan Gumley, L.E., (1998). Discriminating Clear
Sky From Clouds with MODIS.Journal of Geophysical Research, 103(24): 32141–32157.
Derrien,M., Farki, B., Harang, L., LeGleau, H., Noyalet, A., Pochic, D., dan Sairouni, A., (1993). Automatic Cloud
Detection Applied to NOAA-11/ AVHRR Imagery.Remote Sensing f Environment, 46(3):246–267.
Gao, B.C., dan Kaufman, Y.J., (1995). Selection ff The 1.375-Μm MODIS Channel for Remotesensing of Cirrus
Clouds and Stratospheric Aerosols from Space. American Meteorological Society, 52:4231–4237.
Gao,B.C., Kaufman, Y.J., Han, W., dan Wiscombe, W.J. (1998). Correction of Thin Cirruspath Radiance in The 0.4–1.0
mm Spectral Region using The Sensitive 1.375 mm Cirrus Detecting Channel.Journal of Geophysical Research,
103(24):32169–32176.
Gao,B.C., Yang, P., Han, W., Li,R.R., dan Wiscombe, W.J., (2002). An Algorithm ising Visible and 1.38-mm Channels
to Retrieve Cirrus Cloud Reflectances from Aircraft And Satellite Data.IEEE Transactions on Geoscience and
Remote Sensing, 40(8):1659–1668.
Irish, R., (2000). Landsat-7 Automatic Cloud Cover Assessment Algorithms for Multispectral, Hyperspectral, and
Ultraspectral Imagery. The International Society for Optical Engineering, 4049:348–355.
Huanfeng,S.,Yaolin, L., Tinghua, A.,Yi, W., dan Bo, W.(2010). Universal Reconstruction Method for Radiometric
Quality Improvement of Remote Sensing Images.International Journal of Applied Earth Observation and
Geoinformation, 12(4):278–286.
Irish,R., Barker, J.L., Goward,S.N. dan Arvidson, T. (2006). Characterization Of The Landsat-7 ETM+ Automated
Cloud-Cover Assessment (ACCA) Algorithm.Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 72(10):1179–
1188.
Joseph, G.,(2005). Fundamentals of Remote Sensing, Universities Press (India) Private Limited.
Kustiyo, Dianovita, Ismaya, H., Rahayu, M.I., dan Adiningsih, E.S., (2012). New Automated Cloud and Cloud-Shadow
Detection using Landsat Imagery.International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences. 9(2).
Lin, W., Xu, W., Xiao, L., dan Shao, X.,(2014).No-Reference Remote Sensing Image Quality Assessment using A
Comprehensive Evaluation Factor.Proc. SPIE 9124.
Mattia, C., dan Laura, D.V., (2009). Procedure for High Resolution Satellite Imagery Quality Assessment.Sensors, 9:
3289-3313
Robert, D.F., danTheodore, T.,(2001). Comparison of SNR Image Quality Metrics for Remote Sensing Systems.Optical
Enineering, 40(4):574-585.
Saunders, R.W., dan Kriebel, K.T., (1998). An Improved Method for Detecting Clear Sky and Cloudy Radiances from
AVHRR Data.International Journal of Remote Sensing, 9(1):123–150.
Shahrokhy, S.M.,(2004). Visual and Statistical Quality Assessment and Improvement of Remotely Sensed Images,
ISPRS proceedings XXXV, 950.
Yu, S., Fucun, S., dan Hongbo, L.,(2013). A No-Reference Remote Sensing Image Quality Assessment Method Using
Visual Information Fidelity Index,Proceedings of 2013 Chinese Intelligent Automation Conference, 325-332.
Xia, Y.,dan Chen, Z.,(2015). QualityAssessment for Remote Sensing Images: Approaches and Applicationssystems,
Man, and Cybernetics(SMC), IEEE International Conference on, Kowloon, 2015, 1029-1034.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
JudulMakalah
:
:
Pemakalah
Diskusi :
:
Dr. EtyParwati
Pengembangan Nilai Kualitas Radiometrik untuk Citra Landsat-8 (Fase I:
Identifikasi Awan dan Penghitungan Jarak Awan)
Kustiyo (LAPAN)
Pertanyaan: Eko Susilo (KKP)
Untuk penggunaan threshold 7000 dan 9000, manakah yang lebih baik? Nilai-nilai 7000 dan 9000 tersebut
apakah ada referensinya? Ataukah hasil pengembangan? Bagaimana hasilnya bila digunakan untuk laut?
Jawaban :
Kami membuat range 7000-9000 untuk klasifikasi awan karena banyaknya scene. Tiap-tiap kanal terdapat
response spektral yang berbeda-beda, misal untuk green ada di mana. Penggunaan belum digunakan di laut,
masih di darat saja.
-140-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Ortorektifikasi Citra Satelit Resolusi Tinggi
Menggunakan Berbagai Metode Ortorektifikasi
Orthorectification Of High Resolution Satellite Imagery
Using Various Orthorectification Methods
Jali Octariady1*), Elyta Widyaningrum1, dan Marda Khoiria Fajari1
1
Badan InformasiGeospasial (PusatPemetaanRupabumidanToponim (PPRT))
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK – Kebutuhan akan peta skala besar terutama untuk kegiatan rencana detil tata ruang (RDTR) semakin
mendesak. Peta dengan ketelitian 2.5m dan skala 1 : 5000 dibutuhkan untuk kegiatan rencana detil tata ruang. Salah
satu sumber data yang dapat digunakan untuk membuat peta tersebut adalah citra satelit resolusi tinggi yang telah
terkoreksi geometris. Koreksi geometris dilakukan dengan ortorektifikasi menggunakan data DEM dan GCP. Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai metode ortorektifikasi terhadap ketelitian citra terortorektifikasi
yang dihasilkan. Area penelitian berada pada 3 pulau yang ada di pulau Lombok yakni Gili Trawangan, Gili Meno, dan
Gili Air. Ortorektifikasi dilakukan menggunakan 3 metode ortorektifikasi, rigorous model, aproksimasi model
menggunakan data RPC dari vendor, dan aproksimasi model menggunakan data RPC dari GCP. Data tambahan yang
digunakan dalam proses ortorektifikasi adalah 8GCP hasil pengukuran lapangan menggunakan GPS Geodetic metode
statik dan SRTM DEM 30m. Evaluasi ketelitian menggunakan 7 ICP pada rentang kepercayaan 90% (CE90) dilakukan
untuk melihat pengaruh berbagai metode ortorektifikasi terhadap ketelitian citra terortorektifikasi yang dihasilkan. Hasil
evaluasi menunjukkan adanya perbedaan nilai ketelitian dari masing-masing citra terortorektifikasi yang dihasilkan.
Kata kunci:citra terortorektifkasi, rigorous model, aproksimasi model, ketelitian
ABSTRACT - The need for large-scale maps, especially for the detailed spatial plan (RDTR) activities is increasingly
urgent. Map with 2.5m precision and scale of 1: 5000 required for the detailed spatial plan activities. One source of
data that can be used to create such maps are high-resolution satellite imagery that has been geometrically corrected.
Geometric correction is done with orthorectification using DEM data and GCP. This study was conducted to determine
the effect of various orthorectification methods to the accuracy of orthorectified image produced. The study Areaof this
research is on three islands in Lombok island, namely Gili Trawangan, Gili Meno, and Gili Air. Orthorectification
conducted using three methods, that is rigorous models, approximation models using RPC from the vendor, and
approximation models using RPC from the GCP. Additional data used in the orthorectification process is 8 GCP results
from field measurements using GPS Geodetic methods of static and SRTM DEM 30m. Evaluation of accuracy using 7
ICP in the range of 90% confidence (CE90) was conducted to see the effect of various method orthorectification to
orthorectified image generated. The evaluation results indicate a differences in the value of the accuracy of each
orthorectified image generated.
Keywords: orthorectified image, rigorous model, approximation model, accuracy
1.
PENDAHULUAN
Dewasa ini, kebutuhan akan peta skala besar terutama untuk kegiatan rencana detil tata ruang (RDTR)
semakin mendesak. Peta dengan ketelitian tinggi, yakni mencapai ketelitian 2.5m dan skala 1 : 5000
dibutuhkan untuk kegiatan rencana detil tata ruang. Salah satu sumber data yang dapat digunakan untuk
membuat peta tersebut adalah citra satelit resolusi tinggi yang telah terkoreksi geometris.
Untuk memenuhi kebutuhan akan ketersediaan citra satelit resolusi tinggi, maka pada tahun 2015 BIG
bekerja sama dengan LAPAN melakukan pembelian citra dalam jumlah yang besar. Tak kurang dari
setengah luas wilayah Indonesia tercover oleh citra yang dibeli oleh BIG tersebut. Wilayah-wilayah yang
dibeli adalah wilayah-wilayah yang masuk dalam prioritas pembangunan nasional. Gambar 1 menunjukkan
area yang di cover oleh citra yang telah dibeli oleh BIG. Dengan tersedianya citra ini diharapkan, percepatan
dalam proses pembuatan peta skala besar 1 : 5000 terutama untuk pembuatan peta RDTR dapat terlaksana.
-141-
Ortorektifikasi Citra Satelit Resolusi Tinggi Menggunakan Berbagai Metode Ortorektifikasi (Octariady, J., dkk.)
Gambar 1. Cakupan Citra Satelit Resolusi Tinggi yang Dibeli BIG Bekerjasama dengan LAPAN
Citra satelit yang telah dibeli kemudian perlu dilakukan koreksi geometris atau pengolahan sehingga bisa
digunakan untuk proses pembuatan peta skala besar 1 : 5000 untuk berbagai keperluan, RDTR salah satunya.
Ortorektifkasi citra perlu dilakukan sehingga berbagai kesalahan pada citra satelit bisa terkoreksi sehingga
citra sudah seperti peta. Data Digital Elevation Model (DEM) dan Ground Control Point (GCP) diperlukan
untuk proses ortorektifikasi citra.
Kualitas citra yang terortorektifikasi dipengaruhi oleh beberapa hal yakni metode ortorektifikasi yang
digunakan, ukuran resolusi spasial dari citra satelit, jumlah dan distribusi TKT yang digunakan dalam proses
ortorektifikasi, dan kualitas DEM (Barazzetti, dkk., 2010; Kasser dan Egels, 2002).
Ada 2 metode ortorektifikasi yang biasa dilakukan yakni rigorous model dan aproksimasi model(Aguilar,
dkk., 2012). Masing-masing metode akan menghasilkan hasil yang berbeda. Penelitian ini dilakukan untuk
mengkaji ketelitian citra terortorektifikasi yang dihasilkan dari berbagai metode ortorektifikasi.
2.
METODE
Penelitian ini dilakukan menggunakan beberapa data yakni, 1 scene citra satelit Worldview-2, SRTM
DEM 30m, dan beberapa titik GCP hasil pengukuran menggunakan GPS Geodetic metode statik.
2.1 Citra Satelit Worldview-2
Citra satelit resolusi tinggi Worldview-2 yang digunakan merupakan hasil akuisisi tahun 2014 dengan
resolusi spasial 0.5m. Citra yang digunakan masih raw data, belum dilakukan pengolahan sama sekali. Level
dari citra Worldview-2 yang digunakan adalah level ORStandar2A.
Citra ini mengcover 3 pulau kecil yang ada di pulau lombok yakni pulau Gili Trawangan, Gili Meno, dan
Gili Air. Luar ke tiga pulau ini ±713,451 Ha.Berdasarkan pada kenampakan DEM, topografi dari ketiga
pulau ini relatif datar dengan setengah areanya adalah pemukiman. Gambar 2 dibawah menyajikan
kenampakan citra dan DEM dari area penelitian ini. Permukaan daratan berada pada rentang 0 – 79m di atas
permukaan laut.
Gambar 2. Kenampakan Citra Worldview-2 dan SRTM DEM 30m Daerah Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air
2.2 SRTMDEM 30m
DEM SRTM dihasilkan dari kegiatan Shuttle Radar Topograpy Mission (SRTM). SRTM merupakan
proyek internasional yang dipelopori oleh National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) dan National
Aeronautics dan Space Administration (NASA) (NASA, 2009; Farr, dkk., 2007; Farr dan Kobrick, 2000).
Pelaksanaan proyek ini menggunakan dua antena radar. Sebuah antena pemancar sekaligus penerima
-142-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
gelombang yang terletak di badan pesawat dan antena penerima lain terletak di ujung tiang yang berjarak 60
m dari badan pesawat (USGS, 2008; Farr, dkk., 2007; Jarvis, dkk., 2004).
DEM ini memiliki resolusi spasial 30m dengan ketelitian vertikal lebih baik dari 16m dan memiliki
sistem referensi tinggi pada Earth Gravitational Model 1996 (EGM 96) pada sebagian besar area yang
dilingkupinya (Reuter, dkk., 2007). DEM ini dapat diperoleh pada site USGS (www.earthexplorer.usgs.gov).
2.3 Ground Control Point (GCP)
GCP yang digunakan dihasilkan dari pengamatan GPS Geodetic metode statik. Pengukuran dilakukan
secara radial dengan mengikatkan pada satu titik referensi CORS BIG. Lamanya pengamatan untuk masingmasing titik GCP adalah 45menit. Pengolahan data secara post processing dilakukan setelah seluruh titik
berhasil diukur. Sebanyak 15 titik yang tersebar secara merata diseluruh cakupan citra diukur di lapangan. 8
titik digunakan sebagai titik kontrol dan sisanya sebagai titik uji.
Kebanyakan objek yang dipilih sebagai GCP adalah objek kolam renang dan jalan beton. Objek ini
dipilih karena objek seperti inilah yang sesuai dengan kriteria yang diberikan oleh BIG. Adapun kriteria
objek yang diterapkan diantaranya:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Objek yang dijadikan GCP/ICP dapat diidentifikasi secara jelas dan akurat pada citra dan lapangan
Objek berada pada permukaan tanah.
Objek bukan merupakan bayangan.
Objek tidak memiliki pola yang sama.
Objek merupakan permanen dan diam serta diyakini tidak akan mengalami perubahan atau
pergeseran pada saat pengukuran GNSS.
Bentuk objek jelas dan tegas.
Warna objek kontras dengan warna disekitarnya.
Terdapat akses yang mudah menuju lokasi ICP.
Bukan berada di sudut atau pojok bangunan.
Sebaran dari masing-masing titik GCP dan ICP yang digunakan dalam penelitian ini, disajikan pada
Gambar 3.
Gambar 3. Sebaran GCP dan ICP Daerah Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air
2.4 Metode Ortorektifikasi
Ada 2 metode ortorektifikasi yang digunakan yakni metode rigorous dan metode aproksimasi. Metode
rigorous dilakukan dengan menggunakan data aphemeris satelit sedangkan metode aproksimasi dilakukan
dengan menggunakan data RPC dari vendor. Metode aproksimasi yang dilakukan pada penelitian ini ada 2
metode yakni metode aproksimasi dengan menggunakan data RPC yang diperoleh dari vendor dan metode
aproksimasi dengan menggunakan data RPC yang dibuat berdasarkan GCP.
-143-
Ortorektifikasi Citra Satelit Resolusi Tinggi Menggunakan Berbagai Metode Ortorektifikasi (Octariady, J., dkk.)
2.4.1 Rigorous Model
Rigorous model 3D atau model matematik fisik yang dapat menyajikan secara akurat gerakan sensor
satelit di ruang angkasa dan hubungan antara ruang citra satelit dan ruang tanah. Penggunaan metode ini
tergantung pada tersedianya informasi mengenai sensor dan data ephemeris satelit. Metode ini hanya bisa
dilakukan apabila data mengenai sensor satelit dan data ephemeris satelit tersedia. Data mengenai satelit dan
data ephemeris satelit terdapat pada file *.ATT dan *.EPH pada citra satelit. Oleh karena setiap satelit
memiliki sensor dan data ephemeris satelit yang berbeda-beda maka model matematik fisik yang digunakan
pun berbeda antara satu satelit dengan satelit lainnya (Aguilar, dkk., 2012). Model matematik ini tergolong
sulit untuk terpenuhi karena tergantung pada informasi sensor satelit yang diberikan oleh pembuat citra.
Meskipun demikian, metode pendekatan menggunakan model Toutin dapat digunakan untuk mengatasi
masalah ini (Chmiel, dkk., 2004).
2.4.2 Aproksimasi Model
Model aproksimasi atau model empirik memberikan perkiraan hubungan antara ruang gambar dan ruang
objek tanpa membutuhkan informasi mengenai pergerakan sensor di ruang angkasa, ephemeris satelit
ataupun kondisi satelit. Dalam hal ini, model matematik yang digunakan untuk proses transformasi sistem
koordinat citra ke sistem koordinat tanah adalah rational function(Aguilar, dkk., 2012). Pada prinsipnya
model matematik rational function membuat korelasi antara titik di piksel dan titik di tanah berdasarkan pada
rasio dari dua fungsi polinomial orde tiga (Chmiel, dkk., 2004). Persamaan 1 dan 2 merupakan persamaan
matematis rasio fungsi polinomial yang digunakan pada rational function, sedangkan persamaan 3
merupakan persamaan polinomial orde tiga dengan maksimum 20 koefisien (OGC, 1999):
=
=
=
+
(
)
(
)
………………………………………………………………………...… (1)
(
)
(
)
+
+
………………………………………………………………….……… (2)
+
+ ∙∙∙
+
Keterangan :
rn, cn
Xn, Yn, Zn
p1, p2, p3, p4
a1,a2,…,ai
3.
+
+
+
………………………..….. (3)
: baris dan kolom piksel indeks dalam ruang gambar.
: nilai koordinat titik objek pada ruang tanah.
: fungsi polinomial orde tiga.
: koefisien polinomial.
HASILDAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menghasilkan 3 buah citra terortorektifikasi yakni citra terortorektifikasi dengan metode
rigorous (toutin model), citra terortorektifikasi dengan metode RPC dari vendor, dan citra terortorektifikasi
dengan metode RPC dari GCP. Gambar 4 menunjukkan kenampakan dari tiap-tiap citra yang dihasilkan.
Secara sekilas, tampak tidak ada perbedaan antara ke 3 citra yang dihasilkan. Namun secara geometrik, pada
setiap bagian citra terdapat pergesaran antara satu dengan yang lainnya. Pergeseran yang terjadi menandakan
adanya pengaruh metode ortorektifikasi terhadap citra ortorektifikasi yang dihasilkan.
-144-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Citra hasil ortorektifikasi (a) toutin model (b) RPC dari vendor dan (c) RPC dari GCP
Sebanyak 7 titik uji hasil pengukuran GPS Geodetic metode statik digunakan untuk menguji ketelitian
geometrik dari masing-masing citra yang dihasilkan. Hasil evaluasi menunjukkan besarnyaselisih nilai
koordinat hasil ukuran dilapangan terhadap koordinat pada citra berada pada rentang 0,06m hingga 2,3m
pada posisi titik uji. Tabel 1 menunjukkan besarnya nilai selisih koordinat (X,Y) pada citra terhadap hasil
pengukuran lapangan pada berbagai metode ortorektifikasi.
Tabel 1. Nilai Selisih Koordinat di Lapangan terhadap Koordinat pada Citra yang Dihasilkan
Nama Titik
ICP_276
ICP_280
ICP_289
ICP_270
ICP_269
ICP_284
ICP_286
Toutin Model
(DX) (m)
(DY) (m)
-0.9134
-0.4373
1.0044
0.5612
1.4577
-2.2708
0.0938
-0.4237
0.8628
-0.2134
0.2057
-0.0622
0.3543
0.7154
RPC dari vendor
(DX) (m)
(DY) (m)
-0.4207
0.0649
0.4963
0.5653
1.4870
-1.2803
-0.3936
-0.4101
-0.1620
-1.1962
-0.2917
-0.5269
-0.1788
-0.2616
RPC dari GCP
(DX) (m)
(DY) (m)
-0.4206
-0.4526
1.0044
0.5612
1.4577
-2.2708
0.0938
-0.4237
0.3916
-0.2100
0.2057
-0.0622
0.3543
0.7154
Berdasarkan pada nilai selisih tersebut maka dilakukan perhitungan nilai RMSE dan ketelitian pada
masing-masing citra yang dihasilkan. Perhitungan nilai ketelitian dilakukan pada rentang 90% (CE90)
dengan menggunakan 7 titik uji. Tabel 2 menunjukkan besarnya nilai RMSE beserta ketelitian dari masingmasing citra yang dihasilkan.
Tabel 2. Nilai RMSE dan Ketelitian dari Masing-masing Citra yang Dihasilkan
Toutin Model
RMSE (m)
Ketelitian (m)
1.27014
1.92744
RPC dari vendor
RMSE (m)
Ketelitian (m)
0.98854
1.50011
RPC dari GCP
RMSE (m)
Ketelitian (m)
1.19860
1.81887
Berdasarkan pada Tabel 2, diketahui bahwa ketelitian dari masing-masing citra yang dihasilkan adalah
1.92744m untuk Toutin model, 1.50011 untuk RPC dari vendor, dan 1.81887 untuk RPC dari GCP.Hasil ini
menunjukkan bahwa ketelitian citra yang dihasilkan dengan metode Toutin model dan metode aproksimasi
menggunakan data RPC hasil dari GCP hampir sama. Hasil yang jauh lebih baik dihasilkan oleh citra
terortorektifikasi menggunakan metode aproksimasi menggunakan data RPC dari vendor dengan ketelitian
mencapai 1.50011m. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa untuk daerah Gili Trawangan, Gili Meno,
dan Gili Air dengan karakteristik permukaan topografi yang relatif datar dan berpulau, metode ortorektifikasi
yang dapat menghasilkan citra terortorektifikasi yang paling teliti adalah metode aproksimasi menggunakan
data RPC dari vendor.
-145-
Ortorektifikasi Citra Satelit Resolusi Tinggi Menggunakan Berbagai Metode Ortorektifikasi (Octariady, J., dkk.)
Mengacu pada formula yang diterapkan pada standar ASPRS, citra yang dihasilkan dengan metode
Toutin model bisa digunakan untuk pembuatan peta dasar dengan skala 1 : 3.859 kelas 3 ( ≈ 4000). Citra
yang dihasilkan dengan metode aproksimasi menggunakan data RPC dari GCP bisa digunakan untuk
pembuatan peta dasar dengan skala 1 : 3.638 kelas 3 ( ≈ 4000) sedangkan citra yang dihasilkan dengan
metode aproksimasi menggunakan data RPC dari vendor bisa digunakan untuk pembuatan peta dasar dengan
skala 1 : 3000 kelas 3. Dengan demikian peta-peta yang dihasilkan oleh ketiga metode ini, semuanya bisa
digunakan untuk pembuatan peta RDTR skala 1 : 5000.
4.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan metode ortorektifikasi mengakibatkan perbedaan ketelitian citra
yang dihasilkan. Citra hasil ortorektifikasi yang paling teliti pada daerah Gili Trawangan, Gili Meno, dan
Gili Air dihasilkan dari metode aproksimasi menggunakan dataRPCdari vendor dengan ketelitian yang
mencapai 1.50011m dan bisa digunakan untuk pembuatan peta skala 1 : 3000. Seluruh citra yang dihasilkan
pada penelitian ini bisa digunakan untuk pembuatan peta RDTR skala 1 : 5000 untuk daerah Gili Trawangan,
Gili Meno, dan Gili Air.
DAFTAR PUSTAKA
Kasser, M., dan Egels, Y.,(2002). Digital Photogrammetry, London, Taylor & Francis.
Aguilar, M.A., Saldana, M.D.M., dan Aguilar, F.J., (2012). Assessing Geometric Accuracy of the Orthorectification
Process from GeoEye-1 and WorldView-2 Panchromatic Images. International Journal of Applied Earth
Observation and Geoinformation,21:427–435.
Barazzetti, Luigi, Brovelli, Antonia, M., Valentini, dan Luana (2010). LiDAR Digital Building Models for True
Orthophoto Generation. Applied Geomatics, 2:187-196.
Chmiel, J., Kay, S., dan Spruyt, P.,(2004). Orthorectification and Geometric Quality Assessment of Very High Spatial
Resolution Satellite Imagery for Common Agricultural Policy Purposes. XXth ISPRS Congress Technical
Commission IV, 35(B4):1019-1024.
Farr, T.G. dan Kobrick, M.,(2000). Shuttle Radar Topography Mission produces a wealth of data. Union Eos, 81:583585.
Farr, T.G., Rosen, P.A., Caro, E., Crippen, R., Duren, R., Hensley, S., dan Kobrick, M.,(2007). The Shuttle Radar
Topography Mission. American Geophysical Union, 45.
Jarvis, A., Rubiano, J., Nelson, A., Farrow, A., dan Mulligan, M.,(2004). Practical Use of SRTM Data in the Tropics –
Comparisons with Digital Elevation Models Generated from Cartographic Data. Working Document, 198:1-35.
Reuter, H.I., Nelson, A., dan Jarvis, A.,(2007). An Evaluation of Void Filling Interpolation Methods for SRTM Data
International Journal of Geographic Information Science, 21(9):983-1000.
OGC. (1999). The OpenGIS™ Abstract Specification Topic 7: The Earth Imagery Case (Version 4). Open GIS
Consortium, OpenGIS™ Project Document Number 99-107
NASA. (2009). Shuttle Radar topography Mission the mission to Map the World, diakses 18 Juni 2016 dari
http://www2.jpl.nasa.gov/srtm/
USGS. (2008). Interferometry and SRTM - An Overview, diakses 18 Juni 2016 dari
http://srtm.usgs.gov/data/interferometry.php
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
:
:
Pemakalah
Diskusi :
:
Winanto
Ortorektifikasi Citra Satelit Resolusi Tinggi Menggunakan Berbagai Metode
Ortorektifikasi
Jali Octariady (BIG)
Pertanyaan: Ayom Widipaminto (LAPAN)
1. Mengapa menggunakan DEM SFTR ?
2. Ketelitian dengan data citra koreksi vertikal 16 m. Kapan untuk menyelesaikan data yang sudah digital?
Jawaban:
1. Karena sedang tidak memiliki absis.
2. Hanya menggunakan data 2D. Ketinggiannya diabaikan 1:5000. Rencana tahun 2018 sudah ke orto semua.
-146-
Download