CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: STUDI KASUS THE WAHIDINSTITUTE Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Syaefullah 107033201757 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 ABSTRAK Skripsi ini memfokuskan pada pembahasan The Wahid Institute sebagai civil society dalam memperjuangkan kebebasan beragama, toleransi, dan nilainilai demokrasi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa peran The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama dan melindungi kelompok minoritas. Hal ini sesuai dengan visi The Wahid Institute yakni mewujudkan citacita intelektual Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia, bangsa yang sejahtera, serta umat manusia yang berkeadilan sosial dan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diinspirasi oleh Islam. Penelitian ini menggunakan studi pustaka dan wawancara dengan Ahmad Suaedy Direktur The Wahid Institute, Subhi Azhari Monitoring dan Advokasi The Wahid Institute, dan Alamsyah M. Dja’far Kampanye dan Media The Wahid Institute. Penelitian ini menjelaskan, bahwa The Wahid Institue rutin melakukan advokasi terhadap korban kekerasan agama, aliran kepercayaan, rumah ibadah, dan kelompok minoritas. Salah satu pembelaan yang dilakukan The Wahid Institute ialah kepada Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor, Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi, aliran Syiah di Sampang, Madura, dan kasus Ahmadiyah Cikeusik Banten. Dalam skripsi ini menggunakan strategi yang dilakukan oleh kelompok kepentingan dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan keadilan sosial. Pertama, melalui penegak hukum. Kedua, pendekatan terhadap pemerintah. Ketiga, pendekatan dalam hukum. Keempat, pendekatan ke publik. Kelima, demonstrasi, dan keenam, menyuarkan protes. Dengan kerangka teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjungan The Wahid Institute bisa terwujud dengan melakukan pendekatan kepada aparat pemerintah maupun lembaga penegakan hukum. i KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Penulis dapat menyelesaikan salah satu kewajiban akademik yang merupakan prasyarat dalam rangka meraih gelar Sarjana Sosial di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Ucapan terima kasih tak lupa penulis haturkan kepada berbagai pihak yang ikut memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini yang berjudul “Civil Society dan Kebebasan Beragama di Indonesia: Studi Kasus The Wahid Institute”. Adapun ucapan terima kasih penulis haturkan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Ali Munhanif, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si selaku dosen pembimbing, dan Sekretaris Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Kepada seluruh dosen dan staf pengajar Program Studi Ilmu Politik yang telah banyak memberikan ilmunya selama penulis menempuh proses perkuliahan. ii 5. Kepada Bapak Ahmad Suaedy, Bapak M Subhi Azhari, dan Bapak Alamsyah M. Dajafar yang telah meluangkan waktunya untuk bersedia di wawancara, serta kepada staf The Wahid Institute yang telah memberikan data-data mengenai isu kekerasan agama. 6. Kepada kedua orang tuaku yang telah memberikan kasih sayang serta doanya. 7. Kepada kawan-kawan diskusi Indonesian Culture and Academic (INCA), Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), dan teman-teman Ilmu Politik angkatan 2007, Adi Ridwan, Siswo, Beni Azhar, Lupih Nurhadi, Deni Humaidi, Adik Saiful Safkri, Neneng, Siti Masitoh. Semoga Allah SWT Yang Maha Pemurah dapat memberikan petujuk dan hidayah-Nya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis masih banyak kekuranagan dalam melakukan penelitian ini, oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran dari dosen, pembimbing, dan penguji. Jakarta, 1 Januari 2014 Penulis Syaefullah iii DAFTAR ISI ABSTRAK ........................................................................................................ i KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ............................................................................................ vi DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. vii BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ................................................................... 1 B. Pertanyaan Penelitian ................................................................ 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 9 D. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 9 E. Metodologi Penelitian................................................................ 11 F. Sistematika Penelitian ............................................................... 12 BAB II CIVIL SCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA A. Konsep Civil Society ................................................................. 14 B. Civil Society dan Demokrasi .................................................... 22 C. Kebebasan Beragama ............................................................... 26 BAB III THE WAHID INSTITUTE DAN PLURALISME DI INDONESIA A. Sejarah Singkat The Wahid Institute ......................................... 31 B. Visi dan Misi The Wahid Institute ............................................ 37 C. Pluralisme dan Toleransi di Indonesia ...................................... 40 C.1 Pluralisme ........................................................................... 40 C.2 Toleransi ............................................................................. 44 BAB IV PERAN THE WAHID INSTITUTE TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA A. Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor ....................... 54 B. Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bekasi ............ 59 iv C. Aliran Syiah di Sampang Madura ............................................ 64 D. Ahmadiyah di Cikeusik Banten ............................................... 68 E. Tantangan The Wahid Institute dalam Memperjuangkan Kebebasan Beragama di Indonesia ........................................ BAB V 74 KESIMPULAN A. Kesimpulan ............................................................................. 78 B. Saran ....................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... ix LAMPIRAN.................................................................................................... xviii v DAFTAR TABEL Tabel I Korban Intoleransi dan Diskriminasi 2010 .................................. 50 Tabel II Korban Intoleransi dan Diskriminasi 2011 .................................. 51 Tabel III Korban Intoleransi dan Diskriminasi 2012 .................................. 52 vi DAFTAR SINGKATAN ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia AD/ART : Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga AKKB : Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan AS : Amerika Serikat BASRA : Badan Urusan Silaturahmi Ulama CMARs : Center Marginalized Communites Studies DEPAG : Departemen Agama DPRD : Dewan Parwakilan Rakyat Daerah FKUB : Forum Kerukunan Umat Beragama FKUI : Forum Kerukunan Umat Islam FORDEM : Forum Demokrasi GKI : Gereja Kristen Indonesia GOLKAR : Golongan Karya GOR : Gelanggang Olahraga HAM : Hak Asasi Manusia HKBP : Huria Kristen Batak Protestan ICCPR : International Covenant on Civil Political Right ICMI : Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia ICRP : Indonesian Conference on Religion and Peace IMB : Izin Mendirikan Bangunan INPRES : Instruksi Presiden JAI : Jamaah Ahmadiyah Indonesia KEMENAG : Kementrian Agama KOMNASHAM : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia KTP : Kartu Tanda Penduduk KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana LBH : Lembaga Bantuan Hukum LSI : Lembaga Survey Indonesia vii LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MA : Mahkamah Agung MENDAGRI : Menteri Dalam Negeri MUI : Majlis Ulama Indonesia MUNAS : Musyawarah Nasional NI : Negara Islam NU : Nahdlatul Ulama ORBA : Orde Baru ORMAS : Organisasi Masyarakat PBNU : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PCNU : Pimpinan Cabang Nahdaltul Ulama PEMDA : Pemerintah Daerah PEMKOT : Pemerintah Kota PERDA : Peraturan Daerah PERGUB : Peraturan Gubernur PMB : Peraturan Menteri Bersama PN : Pengadilan Negeri PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negeri RI : Republik Indonesia SDI : Syarikat Dagang Islam SDI : Serikat Dagang Islam SEJUK : Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman SK : Surat Keputusan SKB : Surat Keputusan Bersama UU : Undag Undang UUD : Undang Undang Dasar YLBHI : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia viii BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah The Wahid Institute merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bertujuan mengembangkan Islam yang damai, toleransi, penegakan hukum, multilkulturalisme, dan nilai-nilai demokrasi. Mulai tahun 2005, The Wahid Institute melakukan pendokumentasian terkait isu kebebasan beragama di Indonesia.1 Sejak berdiri pada 7 September 2004, The Wahid Institute memiliki visi yang sesuai dengan cita-cita intelektual Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia dan umat manusia yang berkeadilan sosial dengan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, dan Hak Azasi Manusia (HAM) yang diinspirasi nilai-nilai Islam.2 Dalam kiprahnya, selama ini The Wahid Institute rutin melakukan pemantauan yang difokuskan kepada penggalian data dan informasi. Seperti kasus Ahmadiyah di Cikeusik Banten, aliran Syiah di Sampang Madura, sengketa rumah ibadah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi, serta pembelaan terhadap korban 1 The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakian dan Toleransi di Indonesia 2010 (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), ii. 2 The Wahid Institute, http://www.wahidinstitute.org/Tentang_Kami, diunduh pada 2 Januari 2013. 1 kekerasan dan kebebasan beragama di Indonesia.3 Oleh karena itu, The Wahid Institute mempunyai peran yang signifikan terhadap kebebasan beragama, multikulturalisme, dan nilai-nilai demokrasi. Setidaknya ada dua peran penting yang dilakukan oleh The Wahid Institute, yaitu, pertama, yang berkaitan dengan tindakan pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Kedua, berkaitan dengan masa depan kebebasan beragama di Tanah Air.4 Akhir-akhir ini banyak aksi kekerasan, penganiayaan, dan anarki sosial yang mengatasnamakan agama. Selain itu, perusakan tempat ibadah dari aliran kepercayaan, kelompok minoritas dan penodaan kegiatan ritual keagamaan yang kerap terjadi di sejumlah tempat di Indonesia adalah bukti nyata tidak terbantahkan.5 Di antara banyaknya aksi kekerasan di Indonesia, pertama, kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, Bogor, Jawa Barat. Selama ini, pendirian rumah ibadah GKI Yasmin Bogor telah diizinkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) pada 13 Juli 2006. Walikota Bogor telah mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) melalui Surat Keputusan Walikota Nomor 645.8372 Tahun 2006.6 3 The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakian dan Toleransi di Indonesia 2010, 1. 4 The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama, Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), 12. 5 Departemen Agama RI, Riuh di Beranda Satu, Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Seri II (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2011), 82. 6 Kontras, Laporan Pemantauan Pemolisian dan Hak Atas Berkeyakinan, Beragama, dan Beribadah (Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor, Ciputat, Cikeusik & Jemaat Kristen HKBP Ciketing dan GKI Taman Yasmin) (Jakarta: Kontras, 2012), 18. 2 Pada 10 Februari 2008, pembangunan rumah ibadah GKI Taman Yasmin tersebut menuai protes dan unjuk rasa bertajuk “selamatkan aqidah umat” yang berlangsung di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor dan Balai Kota Bogor. Acara ini dihadiri oleh organisasi masyarakat (ormas) Islam Kota Bogor yang dikoordinir oleh Forum Umat Islam (FUI) dan warga sekitar perumahan Taman Yasmin dan Tanah Sareal, Bogor. Mereka menuntut pembubaran Ahmadiyah di Bogor dan penolakan terhadap pembangunan tempat ibadah GKI Taman Yasmin dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tanah Sareal tersebut. Akhirnya tuntutan diterima oleh Pemerintah Kota Bogor. Pada 14 Februari 2008, Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 503/367/208-OTK Perihal Pembekuan IMB Gereja GKI Taman Yasmin. Pada Tanggal 25 Februari 2008, Wali Kota Bogor mengeluarkan surat Nomor 503/367/HUK Perihal Pembatalan Rekomondasi Walikota yang tertera dalam Surat Keputusan Walikota Nomor IMB601/389/Pem Perihal Pembangunan GKI Taman Yasmin.7 Kedua, kasus penyegelan Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi Jawa Barat. Selama dua tahun jemaat HKBP Filadelfia tidak bisa menjalankan ibadah sebagaimana mestinya. Mereka beribadah di tepi jalan Desa Jejalen Jaya, Tambun, Bekasi, karena bangunan HKBP Filadefia disegel berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 7 Tahun 1996. Kemudian jemaat HKBP Filadelfia melaporkan kasus ini ke PTUN Bandung pada tahun 2010. Pengadilan Tata Usaha 7 Kontras, Laporan Pemantauan Pemolisian dan Hak Atas Berkeyakinan dan Hak Atas Berkeyakinan, Beragama, dan Beribadah (Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor, Ciputat, Cikeusik & Jemaat Kristen HKBP Ciketing dan GKI Taman Yasmin), 20. 3 Negeri (PTUN) Bandung pun mengabulkan tuntutan HKBP Filadelfia. PTUN menganggap bahwa penghentian dan pelarangan kegiatan ibadah melanggar HAM dan UUD 1945.8 Ketiga, kekerasan terhadap aliran Syiah. Peristiwa ini terjadi pada Kamis 29 Desember 2011. Sekitar 500 massa yang mengatasnamakan pengikut aliran Sunni merusak pesantren milik warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, Madura. Atas kejadian tersebut, 253 warga Syiah diungsikan ke Gelanggang Olah Raga (GOR) Wijata Kusuma, Sampang Madura. Peristiwa ini adalah kasus kedua yang terjadi pada bulan April 2011. Saat itu masyarakat tidak setuju dengan keberadaan Syiah karena ajarannya yang bertentangan dengan Islam. Dalam perkembangannya mereka mengancam warga Syiah untuk; 1) Menghentikan semua kegiatannya dan kembali kepada ajaran Islam. 2) Meninggalkan (di usir) wilayah Sampang tanpa ganti rugi lahan. 3) Jika dua poin tersebut tidak dilaksanakan, maka jemaat Syiah harus mati.9 Setelah menerima tindakan kekerasan dan penyerangan, Roisul Hukama melaporkan Ustadz Tajul Muluk selaku pimpinan Syiah ke Polres Sampang atas tuduhan penodaan agama, khususnya pernyataan bahwa Al-Qur’an tidak asli lagi. Akibatnya Tajul Muluk dipidana selama dua tahun penjara. Menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri, Tajul Muluk melakukan penyebaran ajaran Syiah di 8 The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX Desember 2011- Januari 2012 (Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 10. 9 Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011, (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada, 2011), 29. 4 Mushola dan Masjid dengan mengajarkan bahwa rukun Islam ada 8 dan rukun iman ada 5. Lalu, Tajul Muluk mengajukan banding, namun Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur malah memperberat hukuman kepada Tajul Muluk menjadi 4 tahun penjara.10 Keempat, kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, pada 6 Februari 2011. Kejadian ini megakibatkan tiga orang meninggal dunia, lima orang luka-luka, dan satu rumah milik jemaat Ahmadiyah rusak. Kasus penyerangan terhadap jemaat Ahmdiyah di Cikeusik Banten, merupakan kekerasan terbesar terhadap jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Akibat kasus Ahmadiyah di Cikeusik tersebut, mulai berkembang aturan yang membatasi kegiatan jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Misalnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung, Peraturan Bupati (Perbub) Pandeglang, Banten Erwan Kurtubi, No. 5 Tahun 2011, tanggal 21 Februari 2011, dan Peraturan Gubernur (Pergub) Banten Ratu Atut Chosiyah No. 5 Tahun 2011, tanggal 11 Maret 2011 tentang pelarangan Ahmadiyah.11 10 Uli Parulian Sihombing, Ketidakadilan dalam Beriman Hasil Monitoring Kasus-Kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia (Jakarta, Setara Institute, 2012), 55. 11 Peraturan Bupati Pandeglang Banten No. 5 Tahun 2011; Larangan melakukan aktivitas atau kegiatan dalam bentuk apapun di wilayah Kabupaten Pandeglang. Kegiatan dimaksudkan sebagai bentuk penyebaran faham, menceritakan, menganjurkan atau segala usaha, upaya perbuatan penyebaran paham. Alasan, untuk menjaga dan memelihara kondusifitas dan stabilitas keamanan, ketenteraman dan ketertiban di Kabupaten Pandeglang Banten. Kemudian, peraturan Gubernur Banten No. 5 Tahun 2011; Larangan kepada penganut dan pengurus Jemaat Ahmadiyah Indnesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, melakukan aktivitas atau kegiatan berupa penyebaran ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan, langsung mapun melalui media cetak ataupun media elektronik; memasang papan nama atau identitas lain Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dapat diketahui umum; memasang nama pada masjid, mushola, lembaga pendidikan dan lainlain dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI); menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah 5 Menyikapi kasus di atas tersebut, The Wahid Institute melakukan perjuangan pembelaan terhadap korban kekerasan dan kelompok minoritas. Antara lain; pertama, mendesak kepada pemerintah untuk lebih tegas menghadapi organisasi masyarakat (ormas) pelaku kekerasan atas nama agama. Kedua, pengaturan mengenai agama oleh pemerintah baik pusat maupun daerah harus melibatkan kelompok minoritas yang menjadi objek kekerasan. Ketiga, mendesak Presiden agar memerintahkan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk merevisi dan mencabut peraturan yang bertentangan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan.12 The Wahid Institute menilai negara tidak tegas dalam menangani kasus kekerasan dan kebebasan beribadah. Negara absen, lalai, dan lambat dalam mengatasi kasus kekerasan yang bernuansa SARA. Bahkan, negara dinilai sebagai aktor kekerasan yang kerap kali melakukan intimidasi terhadap kelopok minoritas, aliran kepercayaan, dan rumah ibadah di Indonesia.13 Dalam hal ini, ada dua bentuk cara negara dalam melakukan pelanggaran. Pertama, dengan cara tindakan aktif yang memungkinkan terjadinya pembatasan, pembedaan, campur tangan, atau membatasi hak-hak seseorang dalam beragama dan berkeyakinan. Kedua, dengan cara membiarkan hak-hak seseorang menjadi Indonesia (JAI) dalam segala bentuknya; menyebarkan dan menafsirkan kegiatan menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), 33-34. 12 The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011, 11. 13 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, ed., Mengatur Kehidupan Beragama: Menjamin Kebebasan, Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyainan (Jakarta: Setara Institute, 2011), 44. 6 terlanggar, termasuk membiarkan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak diproses secara hukum.14 Tindakan yang dilakukan oleh aktor negara tersebut melanggar UUD Negara RI 1945 Pasal 28 I ayat (1), Pasal 28 E, dan UU No. 29 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 4.15 Kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan tertentu merupakan hak setiap orang untuk menentukan pilihan sesuai dengan keimanan yang diyakininya. Semua orang berhak memiliki hak atas berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hal ini juga mencakup akan kebebasan memeluk agama, baik secara individu maupun secara kolektif dan di ranah publik maupun privat.16 Secara historis, jauh sebelum kemerdekaan para founding father menyikapi dan menghormati perbedaan keyakinan tersebut dengan baik. Gagasan yang dibangun dengan merumuskan “Bhineka Tunggal Ika” untuk mewujudkan cita- 14 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, ed., Politik Diskriminasi Rezim Susilo Bambang Yudhoyono, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: Setara Institute, 2012), 19. 15 Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan:“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan. Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Sementara Pasal 4 UU No. 29 Tahun 1999 tentang HAM; “ hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaa di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun” Lihat Undang-Undang Dasar 1945, dan UU Tahun 1999. 16 Sukron Kamil dan Chaidir S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM, Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan non-Muslim (Jakarta, Center For Studi Religion and Culture (CSRC), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 15. 7 cita luhur bangsa.17 Hal ini sesuai dengan pandangan Ahmad Syafii Maarif, bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, semua prinsipnya dapat diterima Islam.18 Etos Islam saling menghargai akan perbedaan, egaliterian, humanisme, dan pluralistik. Salah satu syarat terwujudnya masyarakat yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang majemuk atau pluralis. Kemajemukan merupakan sunnatullah (hukum alam). Masyarakat yang majemuk memiliki budaya dan aspirasi beraneka ragam, tetapi mereka harus memiliki kedudukan yang sama, serta tidak ada superioritas etnis, agama, suku, dan kelompok yang lainnya.19 Untuk mengetahui lebih jelas lagi mengenai peran The Wahid Institute terhadap kebebasan beragama di Indonesia, maka dalam skripsi ini akan memfokuskan pembahasannya pada tema “Civil Society dan Kebebasan Beragama di Indonesia: Studi Kasus The Wahid Institute.” B. Pertanyaan Penelitian Fokus penelitian ini mengenai tema “Civil Society dan Kebebasan Beragama di Indonesia: Studi Kasus The Wahid Institute.” Maka penelitian ini akan menganalisa tentang kebebasan beragama di Indonesia. Oleh karena itu, rumusan masalahnya dibatasi pada: 1. Bagaimana The Wahid Institute sebagai civil society memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia? 17 Tohirin el-Ashary, “Memaknai Kemerdekaan dan Pluralisme,” Buletin Kebebasan “Memaknai Kemerdekaan dan Pluralisme, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 03/V/2007), 11. 18 Lutfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia, (Jakarta: Freedom Institute, 2011), 137. 19 Nur Achmad, Pluralitas Agama Kerukunan Dalam Keragaman (Jakarta: Kompas, 2001), 11. 8 2. Apa tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini, pertama, mengetahui konsep civil society di Indonesia. Kedua, untuk mengetahui bagaimana perjuangan The Wahid Institute terhadap nilai-nilai kebebasan beragama di Indonesia. Ketiga, mengetahui tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia Selain itu, tujuan penelitian ini ingin memotret The Wahid Institute sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kajian, penelitian, isu HAM, kekerasan yang mengatasnamakan agama, kelompok minoritas, kebebasan beragama, dan nilai-nilai demokrasi. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah ingin mengetahui konsep kebebasan beragama dan pentingnya nilai-nilai dalam kehidupan beragama maupun dalam bernegara. Kemudian ingin mengetahui konsep civil society di Indonesia. D. Tinjauan Pustaka Pembahasan dalam penelitian ini didasari oleh penelitian Ihsan Ali-Fauzi dan Saiful Mujani tentang “Gerakan Kebebasan Sipil Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syari’ah.” Penelitian ini bekerja sama dengan Lembaga Survey Indonesia (LSI), Freedom Institute, Indonesia Institute, dan Jaringan Islam Liberal (JIL). Penelitian ini membicarakan peran gerakan sosial terhadap Perda Syari’ah yang mengancam kebebasan sipil dan kebebasan beragama di Tanah Air. Hasil 9 penelitiannya adalah advokasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil mengenai Perda Syari’ah di Pandeglang, Banten, setidaknya perda-perda Syari’ah mulai di perdebatkan kembali mengenai perlu atau tidaknya perda-perda itu direvisi atau dihapuskan. Namun di Bulukumba, Padang, ternyata kegiatan advokasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil mengalami kontraproduktif. Dukungan mengenai perdaperda Syari’ah yang sudah merosot selama satu-dua tahun, kini mulai menguat kembali dengan adanya kegiatan advokasi perda Syariah tersebut.20 Penelitian lain dilakukan oleh Aniqotul Ummah dalam skripsinya, “Advokasi ICRP sebagai Civil Society terhadap Kasus Ahmadiyah di Indonesia.” Skripsi ini memfokuskan perjuangan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) terhadap jemaat Ahmdiyah. Hasil penelitiannya adalah pertama, pemerintah tidak berani menentukan sikap terhadap Ahmadiyah. Hal ini terlihat lamanya proses pengambilan keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai Ahmadiyah. Misalnya, penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah yang harus diundur beberapa kali karena rumitnya masukan dari berbagai pihak. Kedua, di internal jemaat Ahmadiyah sendiri terjadi pergeseran yang semula komunitas Ahmadiyah tertutup dan bersikap mengalah jika berhadapan dengan negara, maka dengan adanya advokasi yang dilakukan oleh ICRP 20 Ihsan Ali-Fauzi dan Saiful Mujani, Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syari’ah (Jakarta: Nalar, 2009). 10 setidaknya jemaat Ahmadiyah lebih terbuka dan membangun jejaring dengan agama-agama lain.21 D. Metodologi Penelitian Skripsi ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang menggunakan pengumpulan data melalui wawancara dan studi pustaka. Pertama, pendekatan kualitatif adalah penelitian empiris yang data-datanya bukan berbentuk angka.22 Kedua, wawancara (interview) dengan cara tanya-jawab. Tujuan wawancara adalah mengumpulkan data atau informasi (keadaan, gagasan/pendapat, sikap/tanggapan, keterangan dan sebagainya) dari pihak The Wahid Institute terkait dengan perannya dalam melakukan pembelaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia.23 Ketiga, studi pustaka, yang bertujuan memperoleh data bacaan buku-buku, jurnal, buletin, majalah, dan artikel yang termuat di berbagai media cetak maupun media elektronik. Beberapa referensi atau daftar pustaka yang menjadi sumber dalam skripsi ini adalah; Laporan Tahunan The Wahid Institute, Laporan Setara Institute, Laporan Tahunan Center for Religion and Cross-culture Studies (CRCS) UGM, Kontroversi Gereja di Indonesia CRCS UGM, jurnal Titik-Temu Dialog Peradaban Nucholis Madjid Society (NMSC) Paramadina, buletin Kebebasan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Majalah Tempo, dan untuk sumber media eloktronik website www.wahidinstitute.org. 21 Aniqotul Ummah, Advokasi ICRP Sebagai Civil Society Terhadap Kasus Ahmadiyah di Indonesia (Jakarta: FISIP UIN JAKARTA, 2012) 22 Lorain e Blaxter, dkk., How To Research Seluk-Beluk Melakukan Riset (Jakarta: PT. Indexs Kelompok Gramedia, 2006), 93. 23 Arif Subiantoro, dan FX Suwarto, Metode dan Teknik Penelitian Sosial (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007), 97. 11 Sedangkan data primer skripsi ini, diperoleh melalui wawancara dengan narasumber langsung dengan Ahmad Suaedy Direktur Eksekutif The Wahid Institute, Subhi Azhari divisi Monitoring dan Advokasi The Wahid Institute, dan Alamsyah M. Dja’far divisi Media dan Kampanye. Wawancara ini diharapkan mampu menggali signifikansi peran The Wahid Institute terhadap kebebasan beragama di Indonesia. Sementara itu, teknik penulisan dalam penelitian ini menggunakan analisis data yang bersifat kualitatif dengan teknik pembahasan deskriptif analisis yang bertujuan menggambarkan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia. Pengumpulan data, perumusan masalah, dan penulisan dalam skripsi ini kemudian disesuaikan dengan standar panduan penyusunan proposal dan penulisan skripsi yang diterbitkan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.24 E. Sistematika Penelitian Agar penulisan ini terarah dan lebih sitematis, maka penelitian ini dibagi menjadi lima bab, dengan sistematika sebagai berikut: Pada Bab Pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab yang menjelaskan pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian. Bab Kedua, berisi gambaran umum tentang civil society serta civil society dan demokrasi, strategi kelompok kepentingan, yang menjelaskan peran civil 24 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta, Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2012), 12. 12 society terhadap nilai-nilai demokrasi, dan pembahasan tentang kebebasan beragama. Bab Ketiga, menjelaskan sejarah singkat berdirinya The Wahid Institute, visi dan misi, toleransi dan pluralisme di Indonesia. Bab Keempat, dalam bab ini membahas peran The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia. Terkait kasus rumah ibadah GKI Taman Yasmin Bogor, Gereja HKBP Filadelfia Bekasi, Syiah di Sampang Madura, Ahmadiyah di Cikeusik Banten, dan tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama. Bab Kelima, bab penutup yang membahas kesimpulan permasalahan yang dihadapi dan penulis mengajukan beberapa saran. 13 BAB II CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA A. Konsep Civil Society Secara harfiah, civil society sendiri adalah terjemahan dari istilah latin, civilis societas. Istilah ini pada awalnya digunakan oleh Cicero (106–43 S.M) – seorang orator dan pujangga Roma yang hidup pada abad pertama sebelum Kristus. Menurut Cicero, civil society bisa disebut sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengakuan hidup. Konsep Cicero mencakup kondisi masyarakat yang memiliki budaya dan menganut norma-norma kesopanan tertentu.1 Sejauh ini terdapat beberapa perkembangan penafsiran civil society dari berbagai pemikir sosial dan politik. Konsep civil society pertama kali dicetuskan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, yang lahir di Semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun 384 S.M, dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 S.M.2 Aristoteles menggunakan istilah koinonia politike, atau dalam bahasa Latin societas civilis, yang berarti masyarakat politik (political society). Istilah koinonia politike ini digunakan oleh Aristoteles untuk menggambarkan sebuah masyarakat politik dan etis warga negara yang mempunyai kedudukan sama di depan hukum.3 Selain itu, istilah koinania politike 1 M. Dawam Rahadjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), 137. 2 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta, UI-Press dan Tintamas, 1986), 115. 3 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1999), 47. 14 ialah komunitas politik tempat warga terlibat langsung dalam berbagai ajang ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Dalam buku Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, konsep civil society kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679)4 dan John Locke (1632-1704).5 Menurut Hobbes, civil society yang identik dengan negara merupakan perwujudan dari kekuasaan absolut. Civil society hadir untuk meredam konflik agar tidak terjadi chaos dan tindakan anarki. Civil society berfungsi untuk mengontrol dan mengawasi perilaku politik warga yang memiliki kekuasaan mutlak. Sedangkan menurut John Locke, civil society berfungsi untuk menjaga kebebasan warga dan melindungi hak-hak milik individu.6 Pemahaman civil society merupakan sebuah gagasan yang menjadi interest para filsuf pencerahan. Salah satu tokohnya adalah Adam Ferguson (1776), filsuf dari Skotlandia, yang memahami civil society sebagai ”sebuah visi etis dalam berkehidupan bermasyarakat.” Ferguson 4 menggunakan istilah ini untuk Thomas Hobbes adalah pemikir politik abad ke XVII, gagasanya berkaitan dengan negara dan kekuasaan. Hobbes mengibaratkan negara sebagai Leviathan, atau sejenis monster yang ganas dan memberi rasa takut kepada siapa yang melanggar hukum, Leviatan tidak segan-segan untuk menjatuhi vonis hukuman mati. Dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), 165. 5 John Locke adalah seorang pemikir politik dengan gagasan besarnya adalah kemerdekaan individu serta Hak Asasi Manusia (HAM) yang di tulis dalam karyanya Two Treatises of Government. Karyanya tersebut menjadi rujukan wacana politik demokrasi di Amerika. Locke juga sebagai peletak dasar negara konstitusional dan penganjur konstitusional di zaman modern. Locke sendiri dilahirkan 29 Agustus 1632 di Wrington, sebuah desa di Somerset Utara, Inggris Barat. Dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, 181-182. 6 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2006), 44-45. 15 mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculya kapitalisme. M. A.S Hikam dalam buku Islam, Demokrasi, dan Pemberdayaan Civil Society, mengutip pendapat Ferguson yang mengatakan bahwa munculnya ekonomi pasar dapat melunturkan tanggung jawab publik terhadap sesama warga negara karena kecenderungan pemuasan kepentingan pribadi. Oleh karena itu, civil society dapat menghalangi munculnya tindakan kesewenangan pemerintah. Dalam civil society itulah solidaritas bisa muncul yang diilhami oleh sikap saling menyayangi antar sesama warga.7 Di dalam buku tersebut, konsep civil society mengalami perubahan pada paruh akhir abad ke 18. Menurut Thomas Paine (1737-1809), seorang aktivis liberal, perlu adanya pemisahan antara civil society dan negara. Peran negara harus dibatasi sekecil-kecilnya karena keberadaannya merupakan keniscayaan yang buruk (necessary evil) belaka. Civil society merupakan ruang dimana dapat mengembangkan kepribadiannya secara bebas dan memberikan peluang bagi pemuasan kepentingannya. Karena itu, civil society berperan terhadap kontrol negara.8 Berbeda pandangan dengan Thomas Paine, dalam buku Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial karya M Dawam Rahadjo, Hegel (1770-1831), seorang pemikir sosial politik Jerman, berpendapat bahwa civil society sesungguhnya merupakan produk masyarakat borjuis. Hegel membagi kehidupan modern ini menjadi tiga wilayah, yakni keluarga, civil 7 8 Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society, 115. Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society, 116. 16 society, dan negara. Keluarga merupakan ruang pribadi yang ditandai hubungan harmonis antar individu dan menjadi tempat sosialisasi pribadi anggota masyarakat. Kemudian civil society dimaknai sebagai lokasi pemenuhan kepentingan ekonomi baik individu maupun kelompok. Sementara negara merupakan representasi dari ide universal yang melindungi kepentingan politik warga. Dengan demikian negara mempunyai hak intervensi kepada civil society, karena civil society mengandung potensi konflik. Civil society tidak bisa dilepaskan dari kontrol negara.9 Dalam buku itu M. Dawam Rahadjo mengutip pendapat Karl Marx10, bahwa civil society adalah sebagai masyarakat borjuis. Bagi Marx, masyarakat borjuis mencerminkan kepemilikan yang bermuatan materialisme, dimana setiap orang mementingkan dirinya sendiri, dan setiap orang berjuang melawan yang lainnya.11 Konsepsi lain ditemukan dalam buku Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society; Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, ia mengutip pendapat Tocqueville (1805-1859) bahwa civil society bukan subordinat negara. Civil society merupakan suatu entitas yang keberadaannya dapat menerobos batas-batas kelas, 9 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, 48. Karl Mark adalah tokoh pemikir sosial politik dari Jerman. Karya yang dihasilakan Mark selama bertahun-tahun hidupnya di London adalah Das Kapital sebagai karya besar (magnum opus). Dalam karyanya tersebut, sebagai usaha Mark untuk memberikan analisa sejarah dan dinamikan masyarakat kapitalis. Mark juga mengkritik toeri ortodoksi Adam Smith dan david Ricardo tentang ekonomi pasar bebas. Dalam Doyle Paul Johnson dan diterjemahkan oleh Robert M.Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: PT Gramedia, 1986), 126. 11 M. Dawam Rahadjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, 142. 10 17 memiliki kapasitas politik yang cukup tinggi, dan menjadi kekuatan pengimbang intervensi negara.12 Oleh karena itu, gagasan Tocqueville dijadikan sebagai sumber referensi gerakan pro-demokrasi di negara Barat maupun di Indonesia. Perkembangan civil society di Indonesia mulai tumbuh atas kesadaran masyarakat untuk mendirikan organisasi modern pada abad ke 20. Dengan berdirinya organisasi Budi Utomo (1908), Syarikat Dagang Islam (SDI) (1911), Muhammadiyah (1912), dan organisasi lainnya. Hal ini menandakan, civil society di Indonesia sudah berkembang pada masa kolonialisme Belanda.13 Di Indonesia, istilah civil society atau pun masyarakat sipil menggunakan istilah masyarakat madani–yang dimunculkan oleh Dato Anwar Ibrahim, wakil P.M. Malaysia. Istilah masyarakat madani sebagai padanan dari civil society, ketika itu disampaikan oleh Dato Anwar Ibrahim pada acara Forum Istiqlal 26 September 1995. Masyarakat madani ia kaitkan dengan konsep kota ilahi, kota peradaban, atau masyarakat kota, yang tersentuh oleh peradaban maju. Kemudian istilah masyarakat madani dipopulerkan cendikiawan muslim seperti Nurcholis Madjid atau (Cak Nur) dan Dawam Rahadjo. 14 Guna memperkaya dan menyempurnakan makna konsep civil society, maka penggalian elemen-elemen dasarnya dari berbagai perspektif seperti tradisi pemikiran, filsafat, adat istiadat masyarakat, dan agama, demi relevansi harus terus dilakukan. Salah satu elemen dasar yang sangat penting dalam pembentukan 12 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, 51. M. Din Syamsudin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: Logos, 2002), vii. 14 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, 7. 13 18 civil society adalah agama, yang dalam hal ini adalah Islam sebagai agama mayoritas. Islam merupakan sistem nilai yang harus digali secara menyeluruh. Secara demografis, Islam merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia. Islam memiliki energi doktrinal dalam mempengaruhi perilaku para pemeluknya.15 Banyak kalangan para pemikir, cendikiawan dan pengamat politik muslim yang berpendapat tentang kesesuaian ajaran-ajaran Islam dengan masyarakat madani (civil society). Hal ini secara aktual pernah diterapkan oleh Nabi Muhammad sendiri dalam perwujudan masyarakat madani itu. Ketika beliau mendirikan dan memimpin negara-kota Madinah.16 Mitsaq Al-Madinah (Piagama Madinah) adalah dokumen politik pertama dalam sejarah umat manusia, yang meletakan dasar-dasar pluralisme dan toleransi. Dalam piagam tersebut ditetapkan adanya pengakuan kepada semua penduduk Madinah, tanpa memandang perbedaan agama dan suku, sebagai anggota umat yang tunggal (ummatan wahidah) dengan hak-hak dan kewajiban sama. Menurut Cak Nur, Madinah merupakan suatu model bangunan masyarakat nasional modern yang lebih baik dari yang diimajinasikan, dan menjadi contoh sebenarnya bagi nasionalisme, patriotisme serta egaliter. Oleh karena itu, usaha umat Islam di zaman modern ini menjadikan Madinah sebagai rujukan masyarakat madani.17 15 Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif “Rumah Demokrasi”, 6. Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta, dan Tantangan, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999), 3. 17 Nurcholish Madjid, “Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani,” dalam Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Grasindo, dan UIN Jakarta Press, 2002), 3. 16 19 Cak Nur berpendapat, sebagai suri tauladan umat manusia, Nabi Muhammad telah memberikan contoh bagaimana mewujudkan semangat ketuhanan Yang Maha Esa yang berhubungan langsung dengan sosial, keagamaan, dan politik yang berjiwa kemajemukan (plural) di dalam masyarakat Madinah. Nabi Muhammad SAW telah mewariskan model bagaimana mengatur masyarakat dan menyelesaikan persoalan umat manusia.18 Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang kharismatik yang disegani banyak orang, baik kalangan awam, intelektual, akademisi, serta para tokoh elit politik. Nabi Muhammad SAW adalah sosok politikus berkelas dan diplomat ulung yang tidak tertandingi.19 Menurut Din Syamsudin, Madinah merupakan kota yang berhubungan erat dengan kata “tamadun” yaitu berperadaban. Madinah merupakan lambang peradaban yang kosmopolit, bukan suatu “din” atau agama. Dengan demikian, cita-cita Islam ialah terwujudnya suatu masyarakat yang berperadaban tinggi. Hal ini juga pernah dijelaskan oleh Al-Farabi mengajukan teori tentang “masyarakat utama” (al-madinah al-fadilah). Suatu masyarakat yang berorientasi menegakan persatuan dan kesatuan. Al-Farabi menekankan perlunya kolektifitas sosial dan etika kolektif dalam mencapai kebahagiaan yang hakiki. 20 Dengan demikian, masyarakat madani bakal terwujud jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyarakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari 18 Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani,” Titik-temu, Jurnal Dialaog Peradaban, Vol. 1, No. 2 Januari-Juni 2009, (Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS), 2009), 16. 19 Khalil Abdul Karim, Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Arab (Yogyakrta: LKiS, 2005), x. 20 M. Din Syamsudin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, 98. 20 prikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara positif dan optimis. Yaitu, pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik.21 Oleh karena itu, civil society merupakan perkumpulan masyarakat politik, yang taat kepada hukum, menjalin persaudaaran, toleransi, dan menjamin kebebasan beragama. Tidak hanya itu, civil society sebagai penegak demokrasi, penegakan terhadap hukum yang tidak adil dan melindungi apapun bentuk kekerasan. Dalam hal ini, melaksanakan undang-undang dan melindungi setiap warga negara merupakan suatu keharusan yang harus dilaksanakan oleh siapa pun begitu juga negara. Demi mewujudkan masyarakat yang berperadaban serta menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan. Dalam praktiknya, perjuangan yang dilakukan oleh civil society sering mengalami kendala cukup berat. Misalnya, pemerintahan yang otoriter, adanya sikap masyarakat yang eklusif terhadap kemajemukan bangsa. Padahal, nilai-nilai keberagaman merupakan khazanah kekayaan Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Untuk mewujudkan perjuangan civil society dalam menegakan demokrasi dan kebebasan beragama di Indonesia, maka menggunakan strategi yang dilakukan oleh kelompok kepentingan. Pertama, melalui pendekatan terhadap penegak aparat hukum. Kedua, pendekatan terhadap pemerintah atau negara. 21 Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999), 176. 21 Ketiga, pendekatan dalam hukum. Keempat, pendekatan ke pubik, kelima, demonstrasi, dan keenam, menyuarakan protes.22 Selama ini, strategi kelompok kepentingan masih digunakan oleh civil society dalam melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas, kebebasan beragama, nilai-nilai demokrasi, dan penegakan hukum di Indonesia, sehingga perjuangannya lebih efektif dan dapat memberikan resolusi permasalahan yang ada. Akan tetapi strategi kelompok kepentingan tidak akan terlaksana dengan baik, jika masih ada sikap pemerintah yang tidak adil, kurang bijak, serta sikap apatis pemerintah terhadap konflik yang terjadi di masyarakat. Setidaknya, melalui pendekatan strategi kelompok kepentingan ini konflik-konflik kekerasan yang terjadi di masyarakat dapat berkurang. B. Civil Society dan Demokrasi Civil society lebih dari sekedar gerakan pro demokrasi. Civil society mengacu kepada kehidupan masyarakat yang berkualitas dan bertamadun (civility).23 Oleh karena itu, Civil society dapat memberikan sumbangan bagi konsolidasi demokrasi, karena dapat menjembatani antara pemerintah dan masyarakat. Civil society dapat menstabilkan harapan, mempermudah komunikasi antara masyarakat dan pemerintah. Hal ini akan membuat masyarakat tidak terasingkan dengan sistem pemerintah yang ada, dan berfungsi sebagai wahana untuk melawan pemerintahan 22 Michael G. Roskin, Political Science an Introduction (United State: Pearson, 2003), 188–191. 23 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Tantangan, dan Fakta, 7. 22 yang tirani. Kemudian memperkuat norma-norma sipil bagi prilaku warga, yakni menekankan pentingnya toleransi, kebersamaan, dan keikutsertaan dalam menghadapi persoalan bangsa.24 Bahkan, menurut para pakar sosial politik modern, civil society bertujuan untuk menolak kesewenangan kekuasaan elite yang mendominasi kekuasaan negara. Hal ini merupakan manifestasi dari penanaman demokrasi.25 Adapun pandangan Ernest Gellner, civil society merupakan masyarakat yang terdiri atas berbagai institusi non-pemerintahan yang cukup kuat untuk mengimbangi negara.26 Sedangkan menurut kelompok devlopmentalis dan Neo-Tocquevelian seperti Putnam, civil society adalah asosiasi perantara. Civil society adalah wilayah antara negara dan struktur keluarga yang dihuni oleh organisasi, menikmati posisi otonom berhadapan dengan negara, dan memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan publik.27 Hal ini tergambar dalam teori sistem David Easton, civil society merupakan salah satu penekan kebijakan dan sebagai kontrol terhadap pemerintah yang meyimpang, sehingga output yang dihasilkan lebih baik.28 Tapi, civil society juga bisa bekerjasama dengan negara, tidak mesti 24 Saiful Mujani, Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Yayasan Wakaf Paramadina, dan Freedom Institute, 2007), 20. 25 Fahmi Huwaidy, Demokrasi Oposisi, dan Masyarakat Madani (Bandung: Mizan, 1996), 296. 26 Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan (Bandung: MIZAN Anggota IKAPI, 1995), 6. 27 Fuad Fahrudin, Agama dan Pendidikan Demokrasi Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (Jakarta: Pustaka Alvabet dan Yayasan INSEP, 2006), 40. 28 Muhtar Mas’ud dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1993), 5. 23 bermusuhan. Ini telah terbukti antara lain di bidang pendidikan, kesehatan dan lain sebagainnya yang ternyata antara civil society dapat bekerjasama.29 Oleh karena itu, untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi membutuhkan etika diskursif yang dalam bahasa Habermas, etika diskursif yang menjamin bahwa setiap orang berhak secara bebas tanpa ancaman dari orang lain. Adanya tujuan deliberasi publik atau musyawarah adalah konsensus atau mufakat yang diterima secara ikhlas oleh semua partisipan masyarakat.30 Konsep civil society meneguhkan gerakan sosio-kultural. Dalam paham civil society, rakyat bukan subordinat negara, melainkan partner yang setara. Begitu juga dalam Islam, tidak boleh ada lembaga agama yang memaksakan konsepkonsepnya kepada para pengikutnya, atas dasar hak satu kelompok.31 Umat Islam merupakan salah satu elemen bangsa yang memiliki peran terhadap nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Dukungan organisasi-organisasi besar Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, terhadap upaya demokratisasi memiliki peran penting membina umat Islam yang hidup dalam culture yang toleran terhadap perbedaan, merawat kemajemukan bangsa, dan nilai-nilai demokrasi.32 Menurut Abdurahman Wahid (Gus Dur), demokratisasi merupakan sesuatu yang strategis dan fungsional untuk menjawab persoalan bangsa, karena 29 Budhi Munawar-Rachman, Membela Kebebebasan Beragama Percaakapan Tentang Liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme (Jakarta: Democrazy Project, Edisi Digital, Buku 1, 2011), 290. 30 Donny Gahral Adian, “Demokrasi dan Kemaslahatan Umum,” dalam Jurnal Titik Temu, Vol. 5, No. 1, Juli – Desember 2012 (Jakarta: Nurcholis Madjid Society (NCMS), 2012), 45. 31 Komarudin Hidayat dan Gaus AF, Islam, Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), xix. 32 Sunaryo, “Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia Politik Identitas dan Kekerasan atas Nama Agama,” dalam Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban (Volume 3, Nomor 1, Juli – Desember ), (Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS), 2010), 147. 24 demokrasi dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan bangsa.33 Begitu juga organisasi Muhammadiyah34 yang memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani yang mempunyai keyakinan nilai-nilai ilahiah, demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan dan berahlak muliah (al-ahlakul karimah).35 Oleh karena itu, civil society sebagai ujung tombak penegakan demokrasi di Indonesia. Maka, dengan adanya civil society memungkinkan tumbuhnya diskusi dan kerja sama memupuk kepercayaan terhadap orang lain, menjalin persaudaraan, dan kerja sama dengan umat lain adalah modal sosial untuk meretas kecurigaan, melampaui rasa toleran, dan permusuhan. Dengan demikian, demokrasi bukan sekadar prosedur kekuasaan, bukan pula sebagai sistem yang ditentukan oleh mereka yang mayoritas. Demokrasi adalah pengakuan dan penerimaan terhadap prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan, toleransi, pluralisme, keadilan, pengakuan terhadap hak-hak umat beragama, hak hidup, hak untuk memperoleh kekayaan, dan kepada kelompok minoritas. Namun, perjuangan civil society terhadap demokrasi tidak akan berjalan dengan mulus. Tentu akan ada hambatan yang dialami civil society dalam menegakan demokrasi. Misalnya, dengan munculnya kelompok radikal yang mengancam kebebasan beragama, penegakkan hukum yang dipandang masih 33 Al – Zastrouw, “Gus Dur dan Demokrasi” dalam M. Fajrul Falakh dkk., Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), 136 34 Organisasi Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912, 7 Djulhijjah 1330 H. Oleh Kiyai Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abubakar adalah imam dan khatib masjid besar Kauman Yogyakarta. Sementara Ibunya adalah anak K.H. Ibrahim. Menurut silsilah, keluarga Ahmad Dahlan merupakan keturunan Maulana Malik Ibrahim, seorang wali yang menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Dalam Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan: Sang Pencerah, Pendidik, dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2010), 17-18. 35 Majlis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah (Jakarta: Kompas, 2010), LI. 25 tebang pilih. Lalu, adanya tindakan sikap pemerintah yang otoriter, para pengambil kebijakan yang melakukan diskriminasi kepada kelompok minoritas di Indonesia. Bahkan, pemerintah juga melakukan pembiaran terhadap korban kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. D. Kebebasan Beragama Persoalan utama dari kasus kebebasan beragama di Indonesia adalah ketidakmampuan pemerintah dalam melindungi hak warga negaranya untuk beragama sesuai dengan undang-undang. Dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat 1. Setiap warga negara berhak memeluk agama sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Maka perlakuan atas kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah secara semena-mena adalah perlakuan yang melanggar konstitusi.36 Kebebasan beragama juga tertuang dalam International Covenant on Civil Political Right (ICCPR). Indonesia sudah meratifikasi ICCPR melalui Undangundang No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil Political Right (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), hal ini tercatat dalam pasal 18 ICCPR.37 36 Zuly Qodir, “Kaum Minoritas dan Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Elza Peldi Taher, ed., Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi (Jakarta: Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), dan Kompas, 2009), 401. 37 UU No. 12 Tahun 2005 Pasal 18: 1. Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencangkup kebebasan kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersamasama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengalaman, dan pengajaran. 2. Tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. 3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan utuk mellindungi, keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Lihat, The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2008), 8-9. 26 Sementara dalam Islam, prinsip saling menghormati antar para pemeluk agama yang berbeda sangat ditekankan. Hal ini sesuai dengan firman Allh SWT, lakum dienukum waliyadin. “Berpegang teguhlah engkau pada agamamu dan aku berpegang pada agamaku.” (QS. Al-kafirun, ayat 6). Toleransi dalam beragama merupakan salah satu dasar ajaran Islam.38 Dengan kata lain, prinsip keyakinan setiap manusia terhadap Tuhannya tidak boleh dipaksakan karena bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Allah berfirman dalam al-Qur’an: “Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada thaghut (Syaitan) dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Maha Menghetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256). Ayat tersebut menjelaskan pentingnya toleransi terhadap pemeluk agama lain. Bahwa kemajemukan masyarakat sesungguhnya merupakan bagian dari kehendak Tuhan. Al-Qur’an, kitab suci umat Islam secara amat ekplisit menyatakan bahwa keanekaragaman budaya, bahasa, ras dan warna kulit merupakan ciptaan Tuhan dan sekaligus menunjukkan kebesarannya.39 Oleh karena itu, kemajemukan dan multikulturalisme tidak bisa dipisahkan dari kehidupan warga negara Indonesia. Dengan demikian, keberagaman sebagai mozaik kekayaan bangsa yang harus dilestarikan dan dijaga oleh seluruh masyarakat Indonesia. 38 Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1987), xi. 39 Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi (Jakarta: Paramadina, 2003), 164. 27 Islam tidak menafikan pluralitas dalam masyarakat. Pluralitas dan multikulturalisme merupakan sunnahtullah (hukum Tuhan). Hal ini termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal” (QS. Al-Hujuraat: 13).40 Ayat di atas tersebut, memberikan gambaran kepada umat manusia akan pentingnya keberagaman dalam kehidupan beragama dan bernegara. Pasalnya, keberagaman bukanlah sesuatu yang baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, nilai-nilai keberagamanpun sudah tertera sangat jelas dalam “Bhineka Tunggal Ika” dan dilndungi oleh konstitusi negara. Lebih dari itu, keberagaman menjadi tonggak perekonomian negara ini. percampuran berbagai etnik ialah mesin yang menghasilkan budaya negeri ini, itulah makna keberagaman dalam bernegara. Para ulama telah mencoba merumuskan ajaran Islam kompatibel dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dengan merujuk kepada ulama Islam klasik yang pertama kali menemukan konsep maqasid syari’ah yaitu; Imam Ghazali (w.1111 M). Ulama besar abad ke-12 tersebut mencoba merumuskan dasar syari’at Islam yang disebut dengan maqasid syari’ah ialah: penghargaan terhadap hak dasar kebebasan dasar manusia. (al-kulliyah alkhamsyah), yaitu hak hidup (hifzh nafs), hak kebebebasan beropini dan berekpresi (hifzh al-aql), hak 40 Budhy Munawar-Rachman, Islam dan Liberalisme (Jakarta: Fredrich Naumann Stiftung, 2011), 213. 28 kebebasan reproduksi (hifzh al-nasl), hak memilik properti (hifzh mal), dan terakhir hak untuk beragama (hifzh al-dien).41 Dengan demikian, ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai toleransi dan kebebasan beragama dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, Islam sangat kompatibel dengan konstitusi dan dasar negara Bangsa Indonesia. Selama ini, persoalan keragaman dan kebebasan beragama di Indonesia masih buruk, karena banyak aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) kepada kelompok minoritas dan aliran kepercayaan yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah di Cikeusik Banten, pada 11 Februari 2011 dan Syiah di Sampang Madura, pada 29 Desember 2012. Oleh karena itu, untuk mewujudkan adanya jaminan kebebasan beragama di Indonesia dengan berbagai cara. Contohnya, melalui pendekatan ke pemerintah untuk melaksanakan konstitusi negara serta melindungi setiap warga negara dalam beragama dan berkeyakinan. Kemudian mengadakan seminar, dialog, pendidikan kewarganegaraan, toleransi, serta keberagaman kepada masyarakat umum dan kepada kelompok radikal yang mengancam kebebasan beragama di Indonesia. Semestinya negara menjamin warga negara dalam memeluk kepercayaan, dan beribadah berdasarkan UUD 1945. Dalam ajaran Islam, agama tidak berhak memaksa seseorang dalam memeluk kepercayaan agama tertentu. Dengan 41 Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia.” dalam Abdul Hakim, dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisme Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid (Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Paramadina, 2007), 211. 29 demikian, kebebasan beragama, toleransi dan multikulturalisme merupakan sunatullah yang harus di jaga oleh setiap warga negara Indonesia. Akhirnya, sebagai kesimpulan dari bab ini, bahwa salah satu elemen dasar dalam pembentukan civil society (masyarakat politik) adalah agama. Dan civil society hanya akan terwujud bilamana adanya sikap keterbukaan (inklusivitas) dalam masyarakat. Oleh karena itu, agar konsep masyarakat madani bisa ditegakkan, maka sikap toleransi dalam beragama menjadi hal yang diperlukan. Masyarakat beragama harus menyadari jika keberagaman merupakan salah satu bagian dari sunatullah, agar harmonisasi antar umat beragama tetap terjaga. 30 BAB III THE WAHID INSTITUTE DAN PLURALISME DI INDONESIA A. Sejarah Singkat The Wahid Institute Berdirinya The Wahid Institute terinspirasi dari sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai tokoh pluralisme dan Bapak bangsa. Maka, dalam pembahasan ini akan mendeskripsikan tentang pemikiran Gus Dur, sejarah singkat berdirinya The Wahid Institute, pluralisme dan toleransi di Indonesia. Gus Dur lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, di Denanyar Jombang Jawa Timur. Ia anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya bernama K.H. Wahid Hasyim, putra K.H. Hasyim Asyari,1 pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Sedangkan Ibunya bernama Hj. Solehah, juga putri tokoh besar NU, K.H. Bisri Syamsuri pendiri pondok pesantren Jombang dan Ro’is Am Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) setelah K.H. Abdul Wahab.2 NU sebagai organisasi keagamaan mempunyai kontribusi terhadap perkembangan sosial keagamaan dan negara. Perkembangan NU ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh NU salah satunya, Gus Dur cucu dari Hadratussyaikh 1 Kiai Hasyim Asyari dilahirkan di Jombang pada bulan Februari1871 dan meninggal di Jombang pada bulan Juli 1947. Dia adalah adalah pendiri NU pada tahun 1926. Keluarga Hasyim Asy’ari adalah keturunan Raja Brawijaya VI, yang berkuasa di Jawa pada abad XVI M, dan terkenal sebagai raja terakhir kerajaan Hindu-Budha yang tersebasar di Jawa, Kerajaan Majapahit. Bahkan yang lebih penting lagi, tokoh lagendaris Jaka Tinggkir, putera Brawijaya VI, dianggap sebagai orang yang memperkenalkan agama Islam di daerah pantai timur laut pulau Jawa. Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta; LKiS Group, 2002), 26-27. 2 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 338–339. 31 Hasyim Asyar’i, pendiri NU.3 Organisasi kegamaan tersebut memiliki doktrinan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja),4 Gus Dur adalah mantan ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ia mampu mengubah wajah NU yang bersifat ekslusif, menjadi inklusif, modern, dan moderat. Semangat memperjuangkan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan politik nasional.5 Karenanya, suatu keharusan bersama memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi di negeri ini.6 Selain berkiprah di NU, Gus Dur membentuk juga suatu organisasi Forum Demokrasi (FORDEM) pada Maret 1991, dan Ia terpilih sebagai juru bicaranya. Ketenaran dan pengaruh Gus Dur membuat organisasi baru ini mendapatkan kepercayaan publik. Forum Demokrasi didirikan untuk memberikan kekuatan pengimbang terhadap lembaga-lembaga seperti Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang mendorong tumbuhnya pemikiran sektarianisme. Organsisai Forum Demokrasi merupakan kelompok kecil yang anggotanya bukan 3 NU: Organisasi keagamaan yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Radjab 1344 H.) dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh K.H. Hasyim Asya’ri, K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Sansuri, K.H. Ridwan, K.H. Nawawi, K.H. Doromuntaha (menantu K.H. Cholil Bangkalan). Lihat Nur Khalik Ridwan, NU dan Neoliberalisme dan Harapan Menjelang Satu Abad (Yogyakarta: LkiS, 2008), 1. 4 Ahlusunnah Wal-Jamaah, sebuah paham keagamaan-yang dikalangan NU–bersumber pada; Al-Qur’an, As–Sunnah, Al-Ijma’ dan Qiyas. Secara Harfiah Ahlusunnah Wal-Jamaah berarti pernganut Sunnah Nabi Muhammd dan Jamaah (sahabat-sahabatnya). Secara ringkas, segolongan pengikkut sunnah (jejak) Rasulullah Alaihi Wassalam yang di dalamnnya melaksanakan ajaranajaran beliau berjalan di atas garis yang telah dipraktekan oleh Jamaah (sahabat Nabi). lihat Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga. 1992), 21. 5 Ahmad Syafii Maarif dan Muhhamad Najib, “Upaya Memahami Sosok Kontraversial Gus Dur,” dalam Ahmad Suaedy dan Ulil Absar Abshar Abdalah, ed., Gila Gusdur Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKiS, 2000), 4. 6 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm.190. 32 hanya dari NU, malah bukan muslim, kebanyakan dari mereka adalah Katolik dan Protestan.7 Tujuan lain berdirinya Forum Demokrasi ialah untuk memperjuangkan tegaknya demokrasi pada level kelembagaan maupun kesadaran masyarakat. Namun secara khusus, berdirinya Forum Demokrasi dilatarbelakangi peristiwa kasus perusakan kantor tabloid Monitor pada bulan Oktober 1990, kantor tersebut dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara surveinya yang menyinggung umat Islam. Menurut Gus Dur, kasus Monitor menunjukan bahwa beberapa kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi keagamaan dengan mengedepankan kelompok mereka.8 Pada tahun 1999, Gus Dur diangkat menjadi Presiden Indonesia ke-4. Pengangkatan ini menunjukan penghargaan dan apresiasi terhadap sosok Gus Dur sebagai pemikir, aktivis, politisi yang pluralis dan demokratis. Maka, sebagai seorang demokrat dan pluralis, Gus Dur mengusulkan pencabutan TAP MPRS No XXV Th 1966 mengenai Komunisme/Marxisme/Leninisme. pelarangan TAP ini terhadap menjadi PKI landasan dan ajaran perlakuan diskriminatif terhadap anggota dan aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI). Perjuangan Gus Dur bukan membela PKI, atau ajaran Komunisme, Marxisme Leninisme, tetapi membela suatu prinsip demokrasi dan HAM, suatu prinsip yang telah ditancapkan dengan kokoh dalam UUD 1945 Republik 7 Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid, 224– 8 M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2010), 49-49. 225. 33 Indonesia. Gus Dur menjelaskan bahwa TAP MPRS No XXV Th 1966 tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan melanggar HAM.9 Pada level praktis dan kebijakan, Gus Dur melakukan pembelaan terhadap kelompok etnis Tionghoa di Indonesia. Dengan demikian, salah satu keputusan politik Gus Dur pada Januari 2000, mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2000, isinya mencabut Inpres No 14/1967 yang dibuat Suharto tentang agama, kepercayaan, adat istiadat Cina.10 Selain melakukan tindakan aktif, Gus Dur banyak memberikan kontribusi pemikiran, salah satunya mengenai “pribumisasi Islam”. Gagasan ini di latarbelakangi dengan keinginan kuat Gus Dur dalam mempertemukan budaya (adat) dengan norma Islam (syariah).11 Ide besar gagasan Gus Dur mengenai “pribumi Islam” adalah agar umat Islam Indonesia mempunyai pandangan luas, menjungjung tinggi toleransi, menghargai orang lain dan kebebasan beragama di Indonesia. Munculnya gagasan “pribumisasi Islam” yang membuatnya dikenal sebagai pejuang humanis. Wawasan humanisme ini membuat Gus Dur tidak lelah berbicara tentang bahaya ancaman kekerasan politik yang bisa saja mengatasnamakan agama. Ia juga berbicara penting sikap non-sektarian dan toleransi antar agama di dalam sebuah bangsa yang heterogen, semisal Indonesia. 9 Ahmad Suaedy dan Raja Juli Antoni, ed., Para Pembaharu Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggara (Jakarta: Southeast Asian Muslims (Seamus) For Freedom and Enlightenment, 2009), 18-19. 10 M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, 60. 11 Ulumul Qur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, no. 3, vol. IV Tahun 1995 (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), dan ICMI, 1995), 33. 34 Maka, ide Gus Dur dapat ditelusuri melalui pada tahun 1980-an tentang tiga ukhwah; ukhwah Islamiyah, ukwah wathoniah, ukhwah basyariah.12 Oleh karena itu, Greg Barton menempatkan Gus Dur, Ahmad Wahid, Djohan Effendi dan Nurcholis Madjid (Cak Nur), sebagai kelompok neomodernisme Islam, pemikiran yang berorientasi mengembangkan keterbukaan dan kebebasan.13 Gus Dur yang beranggapan bahwa prinsip-prinsip humanitarian adalah jantung Islam itu sendiri. Dengan kata lain, Islam diturunkan Allah dalam rangka kepentingan umat manusia seluruhnya. Dengan demikian, kelompok itu dengan teguh menegakan nilai-nilai egalitarianisme, humanisme, keadilan, tanpa membedakan latar belakang agama, etnis, budaya, dan semacamnya. Pandangan kelompok neomodernisme yaitu penanaman aplikasi nilai-nilai yang merupakan bentuk kongkrit ibadah sosial sama pentingnya dengan ibadah yang bersifat ritual.14 Kemudian, gagasan Gus Dur dalam “Islam: Idiologi Ataukah Kultural”?. Gus Dur menekankan pentingnya mengembangkan Islam melalui wilayah kultural. Karenannya, Islam bisa berkembang melalui jalur tersebut. Gus Dur menolak gagasan Negara Islam (NI), karena bangsa kita beranekaragam yang pantas di hormati hak pendapat dan hak hidupnya.15 Al-Qur’an sendiri tidak 12 Ahmad Amir Azis, Neo Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999), 34. 13 Ahmad Suaedy, Prespektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru Demokratisasi (Jakarta: The Wahid Institute, Seeding Plural and Peaceful Islam, 2009), 307. 14 Abd A’la, “Kemenangan Gus Dur Angin Sejuk Bagi Iklim Keagamaan di Indonesia,” dalam Irwan Suhanda, Perjalanan Politik Gus Dur (Jakarta: Kompas, 2010), 22. 15 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute Seeding Plural and Peaceful Islam, 2006), 50. 35 pernah menyebut-nyebut sebuah “Negara Islam” (daulah Islamiyah) hanya menyebut negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).16 Maka dengan spirit kemajemukan (heteregonitas) dalam kehidupan berbangsa dapat mendirikan negara tidak berdasarkan salah satu agama tertentu.17 Melainkan kepada pancasila sebagai asas bangsa Indonesia, dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Atas perjuangan dan pemikirannya, Gus Dur dinobatkan sebagai “Bapak Tionghoa”. Gus Dur bukan hanya banyak melahirkan pemikiran dan kebijakan yang menghormati masyarakat Tionghoa, tetapi mensejajarkan mereka dengan dengan kelompok yang ada di bumi Nusantara dari berbagai agama, adat-istiadat yang berbeda.18 Gus Dur juga disebut sebagai “Bapak Pluralisme” oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada 24 Agustus 2005. Begitu juga sejumlah tokoh lintas agama, Jaringan Doa Nasional Tionghoa Indonesia, dan warga Ahmadiyah menganugrahi Gus Dur sebagai “Bapak Pluralisme” Indonesia. Idiologi pluralisme Gus Dur dan penghormatan terhadap pluralitas sepenuhnya berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam dan juga tradisi keilmuan NU itu sendiri.19 Membela kaum minoritas, kebebasan beragama, toleransi, HAM, dan nilainilai demokrasi yang dilakukan oleh Gus Dur tidak berhenti disitu. Pasca lengser 16 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, 16. Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 104. 18 M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, 59. 19 M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, 63-64. 17 36 dari kursi kepresidenan pada tahun 2002, Gus Dur mendirikan lembaga The Wahid Institute pada 7 september 2004. The Wahid Institute adalah lembaga yang berusaha mewujudkan prinsip dan cita-cita intelektual Gus Dur dalam membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, multikulturalisme dan toleransi kepada kaum muslim di seluruh dunia. Lembaga ini diinisiasi oleh almarhum Gus Dur, Dr. Gregorius James Barton, Yenny Zannuba Wahid, dan Ahmad Suaedy.20 Gus Dur memiliki peran sangat penting dalam membangun sikap toleransi atas kemajemukan bangsa, kebebasan beragama, dan perlindungan kelompok minoritas yang ada di Indonesia. Tentu saja perjuangan Gus Dur dalam membela kelompok minoritas, kebebasan beragama, dan toleransi didasarkan pada pemahaman ajaran Islam dan juga tradisi keilmuan di NU. Dan untuk melestarikan pemikiran dan perjuangannya terhadap kebebasan beragama di Indonesia, maka Gus Dur berinisiatif mendirikan lembaga The Wahid Institute tersebut. B. Visi dan Misi The Wahid Institute Visi; terwujudnya cita-cita intelektual Gus Dur untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia, bangsa yang sejahtera, dan umat manusia yang berkeadilan sosial dan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi HAM yang diinspirasi Islam. The Wahid Institute berusaha memperjuangkan untuk terciptanya dunia yang damai dan adil dengan 20 Lihat “Sejarah The Wahid Institute” http://www.wahidinstitute.org/wahid-id/tentangkami/sejarah-the-wahid-institute.html#, di unduh pada 19 Oktober 2013. 37 mengembangkan pandangan Islam yang moderat serta bekerja untuk kesejahteraan bagi manusia. Misi; 1) Mengembangkan, merawat dan menyebarluaskan nilai-nilai Islam yang damai dan toleran. 2) Mengembangkan dialog-dialog antar budaya lokal dan internasional demi memperluas harmoni Islam dengan berbagai kebudayaan budaya dan agama di dunia. 3) Mendorong inisiatif untuk memperkuat masyarakat sipil dan tata kelola pemerintah. 4) Mempromosikan partisipasi aktif dari beragam kelompok agama dalam membangun dialog kebudayaan dan dialog perdamaian. 5) Mengembangkan inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. 21 Kemudian, The Wahid Institute memandang pentingnya hubungan agama dan negara. Faktanya, agama tidak bisa dipisahkan dari negara, karena sumbangsih agama bagi kebangsaan cukup besar. Sehingga, adanya upaya memasukan kerangka nilai-nilai agama di dalam negara. Seperti halnya, Kementrian Agama (Kemenag), KUA, dan Undang-undang Pernikahan. Namun, awal berdirinya Kementerian Agama menuai banyak polemik dari orang non-muslim yang tidak setuju dengan lembaga tersebut, dengan alasan hanya akan mengakomodir kelompok tertentu saja. Kemudian, akhir-akhir ini penolakan tersebut muncul kembali, karena Kementerian Agama mengakui hanya enam agama resmi saja. Padahal, agama di Indonesia banyak sekali seperti, agama Zoroatser dan Thaoisme. Lalu, adanya diskriminasi terhadap aliran kepercayaan. 21 Lihat “Tentang The Wahid Institute” http://wahid institute.org/wahid-id/tentangkami/tentang-the-wahid-institue.html, diunduh 26 September 2013. 38 Akan tetapi, yang jadi permasalahanya adalah pada praktek pelayanan Kementrian Agama itu sendiri, apakah pelayananya diskrimatif atau tidak. Jadi, bukan pada Kementrian Agama dibubarkan atau tidak. Semestinya, yang diatur Kementerian Agama bukan keyakinannya, tapi masalah fasilitas keagamaan. Negara tidak boleh campur tangan dalam urusan agama bahkan menentukan aliran sesat atau tidak sesat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan keadilan sosial dan toleransi di Indonesia, The Wahid Institute menginginkan negara Pancasila. Karena dapat mengakomodir semua kepentingan, dan idiologi dari semua golongan. Pancasila merupakan titik temu yang dapat menyatukan seluruh elemen masyarakat Indonesiaan. Dengan demikian, Pancasila merupakan hasil yang sudah final, dan harus dijaga oleh setiap elemen masyarakat seluruh Indonesia. Karena itu, nilainilai Pancasila adalah dasar idiologi bangsa dan bernegara. Pancasila bukan hanya wacana, melainkan untuk mewujudkan menanamkan nilai-nilai etika, kebersamaan, dan kebebasan beragama di Indonesia. Dalam hal ini, The Wahid Institute berperan terhadap persoalan kebebasan beragama. Menurut Alamsyah M. Dja’far divisi Media dan Kampanye The Wahid Institute, bahwa pentingnya menghargai semua warga negara, baik yang beragama dan yang tidak beragama. Berdasarkan UU Kovenan International, Pasal 18 Tahun 2005 mengenai hak sipil dan politik. Bahwa, setiap orang berhak untuk memeluk kepercayaan yang diyakininya, berpindah agama, dan melindungi orang yang tidak beragama (Ateis). Oleh karena itu, setiap orang yang menganut 39 kepercayaan maupun orang yang tidak beragama harus tetap dilindungi. Begitu juga, dengan aliran-aliran agama baru di Indonesia.22 Jadi, persoalan kebebasan beragama harus terpatri pada setiap individu untuk menghormati kepercayaan pemeluk agama lain dalam kehidupan beragma dan bernegara. Kemudian, pemerintah sebagai lembaga negara harus melindungi kelompok minoritas serta aliran kepercayaan. Bahkan, yang lebih penting lagi pemerintah serta para penegak hukum menjalankan konstitusi negara, dan undang-undang kovenanan hak sipil dan politik tahun 2005 tersebut. Sedangkan untuk sumber dana The Wahid Institute bersumber dari; keluarga Gus Dur, Yayasan Tifa, Asia Foundation, Kedutaan Australia, Kedutaan Amerika Serikat (AS).23 C. Pluralisme dan Toleransi di Indonesia C.1 Pluralisme Merujuk kamus besar Bahasa Indonesia, Pluralisme ialah keadaam masyarakat yang majemuk.24 Secara terminologis, “plural” adalah bentuk dasar dari kata pluralisme, yang artinya lebih dari satu. Sedangkan secara etimologi, memiliki banyak arti, Sebagian ada yangg berpendapat, pluralisme adalah sebuah pengakuan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari etnis, suku, warna kulit dan satu kelompok saja. Jadi, pluralisme mengakui adanya perbedaan dimana-mana. 22 Wawancara Pribadi dengan Bapak Alamsyah M. Dja’far, pada 10 Januari 2014. Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013. 24 Pusat Bahasa Departemen pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 883. 23 40 Menurut pandangan Cak Nur, pluralisme adalah sistem nilai yang memandang positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri. Pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa perbedaan-perbedaan diantara manusia merupakan keniscayaan yang harus diterima.25 Pluralisme adalah perangkat budaya untuk mendorong pengayaan budaya bangsa. Maka, budaya Indonesia tidak lain adalah hasil interaksi yang kaya (resourcefull) dan dinamis antar pelaku budaya yang beranekaragam. Jadi, pluralisme tidak hanya dimaknai sebagai kemajemukan, beranekaragam, atau terdiri dari berbagai suku atau agama, justru menggambarkan perpecahan, bukan pluralisme. Pluralisme tidak boleh dipahami sebagai kebaikan negatif (negative good), yang dilihat dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Seharusnya, pluralisme dipahami sebagai pertalian sejati kebihenekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan, pluralisme suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan antar mahluk Tuhan. Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antar sesama, hal ini merupakan kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. ”Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan golongan yang lain, maka pastilah bumi akan 25 Miftahul Arief, “Menebar Kembali Pluralisme Agama” Buletin Kebebasan, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 03/V/2007), 12. 41 hancur, namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam”. (Q.S. Al-Baqarah, ayat 251).26 Menurut Gus Dur, pluralisme berkaitan dengan gagasan kebangsaan. Pluralitas dalam kehidupan berbangsa menurutnya, adanya status antar golongan mayoritas dan golongan minoritas agama dalam kehidupan berbangsa.27 Pluralisme adalah upaya untuk membangun tidak saja persoalan normatif teologis tetapi kesadaran sosial, dimana kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang plural dari segi agama, sosial, etnis, dan berbagai keragaman sosial lainnya. Oleh karena itu, pluralisme bukan teologis semata, melainkan konsep sosiologis.28 Gus Dur juga menegaskan hal tersebut, bahwa keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat manusia. Karena perbedaan itu rahmat, Gus Dur optimis bahwa keberagaman akan membawa kemaslahatan bangsa bukan memecah bangsa. Kemudian, Gus Dur mendasarkan perlunya universal-kebebasan, keadilan, dan musyawarah untuk menghadirkan pluralisme sebagai agen kemaslahatan bangsa.29 Sedangkan menurut Syafii Maarif, pluralitas etnis, bahasa lokal, agama, dan latar belakang sejarah, kita jadikan sebagai mozaik kultural yang sangat kaya, 26 Nurcholish Madjid, “Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani,” dalam Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Grasindo, dan UIN Jakarta Press, 2002), 5. 27 Ahmad Amir Azis, Neo Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, 61. 28 Moh Shofan, Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama (Yogyakarta, Samudra Biru, 2011), 48. 29 Benyamin F Intan, “Gus Dur pejuang Pluralisme Sejati”, dalam Rumadi, ed., Damai Bersama Gus Dur (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), 70. 42 demi terciptanya sebuah taman sari Indonesia yang memberikan kenyamanan bagi siapa saja yang menghirup udara di Nusantara ini.30 Pluralisme lebih identik dengan paham masyarakat terbuka (open society) yang diperkenalkan oleh filsuf dan di kembangkan oleh Karl Poper. Paham masyarakat terbuka ini memungkinkan tegaknya demokrasi dan mencegah setiap bentuk otoritarianisme. Selain itu, masyarakat terbuka mengandung inovasi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang akan mendorong masyarakat kearah yang lebih baik.31 Oleh karena itu, pluralisme merupakan keberagaman untuk menyatukan berbagai aspek budaya, etnis, agama, dan golongan. Dengan adanya pluralisme dapat mewujudkan masyarakat yang berperadaban, dan taat pada hukum. Pluralisme sebagai hal yang paling penting bagi kehidupan bernegara dan beragama untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan, toleransi, kebhienekaan dan nilai demokrasi. Namun, pluralisme tidak akan tewujud tanpa adanya kesadaran sosial yang tinggi dalam menghormati perbedaan agama, etnik dan golongan. Kemudian, adanya peran pemerintah dalam menjalankan konstitusi dan bersikap adil bagi semua kelompok. Dalam masyarakat plural, setiap toleransi sangat dibutuhkan. Sebab tanpa toleransi, pluralisme sangat rentan dipecah-belah. Hal ini pula yang terjadi di Indonesia saat ini. Masyarakat Indonesia yang plural baik etnis, ras maupun agama, tapi tidak di barengi dengan toleransi, sering mengakibatkan konflik 30 Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia, makalah Orasi Ilmiah disampaikan pada acara Nurcholis Madjid Memorial Lecture (Jakarta; Paramadina, 21 Oktober 2009), 14. 31 M Dawam Rahadjo, “Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme” Buletin Kebebasan, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 04/V/2007), 6. 43 horizontal berkepanjangan. Karena itulah sikap toleransi dalam masyarakat yang plural menjadi sangat penting. C. 2 Toleransi Toleransi yang dalam bahasa Arabnya disebut al-tasamuh sesungguhnya merupakan salah satu diantara sekian ajaran inti dalam Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain seperti kasih (rahman), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (maslahah ummah), dan keadilan (adl).32 Menurut pemikir Islam, seperti Al-Kindi (w. 873 M), ada lima prinsip toleransi, pertama, kebenaran adalah tugas penting manusia. Kedua, seseorang tidak bisa menguasai semua kebenaran. Ketiga, semua orang bisa terpleset dalam kesalahan, keempat, menghargai orang lain dan pendahulu yang susah payah mencari kebenaran. Dan kelima, toleransi diperlukan guna meyikapi perbedaan guna membangun masa depan.33 Oleh karena itu, toleransi dan pluralisme sebagai fondasi kekuatan untuk mewujudkan kesatuan bangsa, berkeadilan, dan kebihenekaan. Realitasnya, persoalan pluralisme dan toleransi masih sering terjadi konflik di berbagai daerah. Seperti halnya pada massa Orde Baru (ORBA) konflik bermuatanan etnisitas, dan kelompok keagamaan masih sering terjadi. Namun, pemerintah secara serius meminimalisir konflik melalui pendekatan keamaanan. Konflik antar-agama dalam sekala relatif sedikit, karena peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang bergerak menggunakan kekerasan kepada pihak- 32 Abd Muqsith Ghazali, “Cetak Biru Toleransi Beragama,” dalam Abd Muqsith Ghazali, ed., Ijtihad Islam Liberal Upaya Merumuskan Keberagaman yang Dinamis (Jakarta; Jaringan Islam Liberal, 2005), 45. 33 Irwan Maqsudi, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Berama, 31. 44 pihak yang dicurigai memicu konflik. Seringnya, konflik yang terjadi bermuatan etnisitas, dan ada juga bermuatan simbol-simbol kegamaan. Maka, agar konflik tidak meluas antar umat agama adanya kerjasama mendukung pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah Orde Baru.34 Pasca reformasi 1998, persoalan pluralisme dan toleransi beragama di Indonesia tidak hanya menjadi kenyataan sosial namun juga menjadi diskursus politik dan hukum. Telah banyak regulasi yang lahir terkait pengaturan toleransi beragama di Indonesia. Regulasi-regulasi tersebut mengatur berbagai aspek menyangkut penciptaan iklim toleransi di tengah masyarakat. Seperti halnya, regulasi pendirian rumah ibadah dan regulasi menyangkut aliran-aliran keagamaan.35 Aturan pendirian rumah ibadah menjadi satu paket dalam Peraturan Menteri Bersama (PMB) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No. 9 dan No. 8 tahun 2006 tentang “Pedoman tugas Kepala Daerah/Wakil dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah.”36 Faktanya, penerapan PMB tersebut sering dilanggar oleh pemerintah daerah, bahkan melakukan tindakan intimidsi, kekerasan, penyegelan rumah ibadah, dan pembekuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor, dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi. 34 Yeni Zannuba Wahid, dkk, Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting, (Jakarta: The Wahid Institute, 2012), 71-72. 35 Yeni Zannuba Wahid, dkk., Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting, 2-3. 36 Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010 (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies) Universitas Gadjah Mada, 2010), 36. 45 Persoalan GKI Taman Yasmin Bogor dan Gereja HKBP Filadelfia Bekasi sering mengalami tindakan diskriminasi, penyegelan tempat ibadah yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat tertentu, dan pembekuan IMB yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain itu, adanya keputusan Presiden tentang pembubaran Ahmadiyah. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri), Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, atau pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dan warga masyarakat.37 Begitu juga dengan adanya peraturan daerah (Perda) yang mendasarkan keputusannya kepada SKB tersebut. Keputusan ini didukung Jaksa Agung Basrief Arif mendukungan penetapan perda pelarangan Ahmadiyah dengan alasan kepala daerah lebih mengetahui kondisi sosial masyarakatnya. Sependapat dengan itu, 37 Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri: Pertama, Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Kedua, memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Ketiga, Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya. Keempat, memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/ atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Kelima, warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keenam, memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini. Ketujuh, Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan (Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2008). Lihat The Wahid Institute, Monthly Report on Religious Issues, Edisi Juni 2008 (Jakarta: The Wahid Institute, 2008), 46 Menteri Dalam Negeri berpendapat bahwa perda-perda tersebut tidak bertentangan dengan SKB. Kemudian, Menteri Agama menganggap peraturan daerah sudah tepat.38 Sebelumnya, pada tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan Ahmadiyah sesat. Kemudian, pada tahun 2005 MUI mengukuhkan fatwa Ahmadiyah sesat. Dengan alasan, meningkatnya penolakan terhadap Ahmadiyah di pentas dunia global, khususnya negara-negara yang berpenduduk muslim, serta menguatnya kelompok-kelompok konservatif yang mengancam kerukunan antar-umat beragama.39 Sependapat degan MUI, Menteri Agama Suryadharma Ali beranggapan bahwa jemaat Ahmadiyah harus dibubarkan, karena kalau tidak potensi konflik akan terus meningkat dan mengganggu kerukunan umat beragama. Ahmadiyah adalah cikal bakal terjadi konflik di masyarakat. Menteri Agama juga beralasan bahwa Ahmadiyah bertentangan dengan pokok ajaran Islam, karena itu harus diberhentikan berbagai aktifitasnya.40 Akan tetapi, fatwa MUI dan SKB Tiga Menteri sebenarnya tidak mampu menyelasaikan masalah Ahmadiyah. SKB Ahmadiyah di lapangan justru meligitimasi tuntutan massa dan konsiderasi pemerintah mengeluar kebijakankebijakan diskriminatif terhadap Ahmadiyah.41 38 Zainal Abidin Bagir dkk, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011 (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada, 2011), 38 39 Ismail Hasani-Bonar dan Tigor Naipospos, Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011), 26-27. 40 The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2010 Pluralisme Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), 45. 41 Ismail Hasani-Bonar dan Tigor Naipospos, Menjamin Kebebasan, Mengatur Kehidupan Beragama: Laporan Studi Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (Jakarta: Seatara Institute, 2011), 125. 47 Selain SKB Tiga Menteri, adanya regulasi penodaan agama yang tercantum KUHP 156a dan UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama (selanjutnya disebut sebagai UU Penodaan Agama), yakni mengeluarkan perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama (KHUP 156a).42 Seperti halnya, kasus Lia Aminudin, aliran kepercayaan yang bernama Salamullah didakwa melakukan penodaan agama (Pasal 156 a KHUP), penyebaran rasa permusuhan (Pasal 157 ayat 1 KHUP), dan perbuatan tidak menyenangkan (Pasal 335 KHUP).43 Kemudian, kasus penyerangan dan pengusiran terhadap warga Syiah di Sampang Madura, yang mengakibatkan pesantren dan rumah Tajul Muluk dibakar massa yang tidak senang dengan keberadaan Syiah. Sehingga warga Syiah terpaksa mengungsi Gelanggang Olahraga (GOR) di Sampang. Atas kejadian tersebut, pimpinan Syiah Tajul Muluk didakwa telah melakukan penodaan agama. Terkadang aturan-aturan tersebut didukung oleh lembaga keagamaan yang banyak melakukan tindakan diskriminatif, dan melemahnya tindakan negara dalam menyikapai persoalan kebebasan beragama. Imbasnya, adanya tindakan kekerasan struktural terhadap kaum minoritas. Contohya, gereja-gereja yang tidak diakui dan ditekan eksistensinya, ada juga oraganisasi-organisasi keagamaan lain 42 Zainal Abidin Bagir, dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012 (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies) Universitas Gadjah Mada, 2012), 14. 43 Uli Parulian Sihombing, ed., Ketidakadilan dalam Beriman Hasil Monitoring Kasuskasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian Atas Dasar Agama di Indonesia, Jakarta: The Indonesia Legal Resources Center (ILRC), 2012), 36. 48 seperti Islam Jama’ah, tarekat mistik, dan aliran kepercayaan lainnya yang mendapatkan perlakuan diskriminatif dari aparatur negara, pemerintah maupun oleh non-state actor..44 Hal ini menggambarkan bahwa toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia semakin buruk. Dengan maraknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikal terhadap kelompok-kelompok minoritas, Ahmadiyah, perusakan rumah ibadah, aliran kepercayaan, dan aliran Syiah. Begitu juga dengan sikap pemerintah yang bersikap intoleran dengan melakukan pembekuan IMB rumah ibadah GKI Taman Yasmin Bogor, dan HKBP Filadelfia Bekasi. Selain itu, pemerintah melakukan pembiaran terhadap kasus kekerasan yang bernuasa agama di Inonesia, kelompok minoritas, serta aparat penegak hukum tidak tegas dalam menangani kasus kekerasan dan perusakan rumah ibadah. Menurut laporan The Wahid Institute, korban tindakan intoleransi dan diskriminasi selama 2010 ini berjumlah 153 korban. Korban tertinggi adalah perorangan/individu 35 korban, kemudian jemaat gereja di berbagai daerah 28, kelompok masyarakat 20, korban dari warga Ahmadiyah di berbagai daerah 18 dan komunitas yang diduga sesat 15.45 Untuk lebih lengkapnya lihat tabel di bawah ini. 44 Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multkultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan (Jakarta: KOMPAS, 2003), 48-49. 45 The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2010 Pluralisme Kebebbasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, 75-76. 49 Tabel 1. Korban Intoleransi dan Diskriminasi 2010 No Korban Jumlah 1 Individu 35 2 Jemaat gereja di berbagai daerah 29 3 Kelompok masyarakat 20 4 Warga Ahmadiyah di berbagai daerah 19 5 Komunitas ynag diduga sesat 15 6 Dunia usaha 8 7 Pemimpin dan aliran pengikut Abraham 7 8 Umat Buddha Tanjung Balai 4 9 Instasi pemeritahan 5 10 Pengikut aliran surga Eden 2 11 Umat Konghucu 2 12 Pemimpin dan pengikut aliran akmaliyah 2 13 Pengikut ahl al-bait Indonesia Jawa Timur 1 14 Pemimpin dan pengikut Brayat Agung 1 15 16 17 Jemat LDII 1 Pengikut tharikat Fatoriyah 1 Santri dan Pengasuh Pesantren Fajar 1 Hidayah LSM 1 Komunitas LGBT 1 Total 155 Sumber; Laporan The Wahid Institute 2010. 18 19 Sedangkan tahun 2011 korban intoleransi dan diskriminasi diantaranya; Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah kelompok yang paling sering menjadi korban tindak intoleransi karena keyakinan mereka dianggap berbeda dari mainstream umat Islam dengan 65 kasus (26%). Korban berikutnya adalah individu yang dianggap berbeda dari mainstream 42 kasus (17%), Pemilik usaha 50 atau pedagang 24 kasus (10%), umat Kristen 20 kasus (8%). Berikut tabel selengkapnya.46 Tabel 2. Korban Intoleransi 2011 No Korban Jumlah % 1 Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) 65 26 2 3 Individu Pemilik usaha / pedangang 42 24 17 10 4 5 Umat Kristen Pejabat / pengawai pemerintahan 21 16 9 7 6 7 8 9 10 Kelompok atau individu terduga sesat Tempat ibadah Jemaat GKI Yasmin Artis / pelaku seni Kelompok pelajar / siswa 16 15 11 7 6 7 6 4 3 2 11 12 13 14 15 16 17 18 Properti umum Pengikut Syiah Peneliti / akademisi LSM Polisi Warga NU Ormas Agama Media 4 5 3 3 4 2 2 1 2 2 1 1 2 1 1 0 Sumber: Laporan The Wahid Institute 2011. Pada tahun 2012, korban tertinggi dialami oleh umat Kristen dengan 39 kali, berikutnya individu atau korban perorangan dengan 35 kali, diikuti pengikut Syi’ah 27 kali dan kelompok atau aliran yang terduga menyebarkan aliran sesat dengan 26 kali, berikutnya dari pelaku usaha 21 kali dan JAI 19 kali, selekapnya bisa di lihat tabel di bawah ini.47 46 The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebbasan Beragama Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011, 50. 47 The Wahid Institute, Ringkasan Eksekutif Laporan Akhir Tahun Kebebbasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011, 34-35. 51 Tabel 3. Korban Intoleransi 2012 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Korban Jumlah Umat Kristen 39 Individu 35 Pengikut Syiah 27 Kelompok terduga sesat 26 Pelaku Usaha 21 JAI 19 Kelompok warga masyarakat 17 Properti umum 13 Rumah ibadah 12 Anggota ormas agama 7 Pejabat/aparat negara 5 Kelompok pelajar 2 Umat Hindu 2 Pengacara 2 LSM 2 Pejabat lembaga Internasional 2 Umat Konghucu 1 Geraka Ahmadiyah Indonesia 1 Media massa 1 Pengikut agama lokal 1 Perguruan tinggi 1 Kelompok umat Islam 1 LGBT 1 Seniman 1 Sumber; Laporan The Wahid Institute, 2012. Berdasarkan tabel di atas tersebut, bahwa tindakan intoleransi dan diskriminasi di Indonesia masih sering terjadi. Baik itu konflik rumah ibadah intimidasi aliran kepercayaan, dan tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas. Seharusnya, para penegak hukum mencegah aksi kekerasan tersebut, memberikan pemahaman nilai-nilai demokrasi dan toleransi kepada masyarakat. 52 Maka, dengan toleransi dapat mewujudkan masyarakat yang damai, menghargai perbedan umat beragama, aliran kepercayaan, membangun masyarakat adil, berperadaban, dan demokratis. Kemudian, adanya peran pemerintah sebagai resolusi kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Lalu, sikap pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, menjamin kebebasan beragama, melindungi hak asasi manusia, bersikap adil, dan tegas dalam melaksanakan konstitusi UUD dasar 1945 sebagi fondasi negara Indonesia. Akan tetapi, dalam penerapan toleransi di masyarakat masih banyak mengalami kendala diantaranya; SKB tiga Menteri, peraturan daerah, dan fatwa MUI tentang penyesatan kepada aliran kepercaan. Selain itu, adanya regulasi undang-undang PNPS 1965 tentang pencegahan dan penodaan agama di Indonesia. Kemudian, masih banyak sikap masyarakat yang intoleran terhadap kelompok agama lain. Maka, dengan hadirnya The Wahid Institut juga diharapkan dapat mewujudkan prinsip-prinsip dan cita-cita intelektual Gus Dur dalam membangun bangsa, mendorong terciptanya masyarakat yang demokrasitis, pluralisme, mulikulturalisme, kebebasan beragama, dan toleransi. Oleh karena itu, toleransi sebagai kekuatan bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera baldatun thoyibatun wa rabbun ghofur. Serta, toleransi sebagai khazanah untuk membangun integritas etnis, budaya, bahasa, dan kearifan lokal. 53 BAB IV PERAN THE WAHID INSTITUTE TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA Persoalan toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia masih sering terjadi di berbagai daerah. Adanya tindakan kekerasan atas nama agama terhadap kelompok-kelompok minoritas, perusakan rumah ibadah, dan aliran kepercayaan menjadi salah satu buktinya. Oleh karena itu, The Wahid Institute melakukan peran advokasi terhadap para korban kekerasan, seperti Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi, Syiah di Sampang, Madura, dan Ahmadiyah di Cikeusik Banten. A. Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor Salah satu masalah yang sering mencuat dalam isu rumah ibadah adalah masalah perijinan, masalah yang seringkali memicu ketegangan antaragama. Meskipun ada aturan tentang perijinan pendirian rumah ibadah, namun dalam praktiknya tidak selalu diterapkan sebagaimana mestinya. Konflik tempat ibadah bisa muncul karena ijin tempat ibadah belum keluar karena berbagai alasan, atau karena ijin yang sudah keluar kemudian dipermasalahkan pihak lain.1 Persoalan pendirian rumah ibadah di Indonesia sudah lama mengganggu keharmonisan antar pemeluk agama. Sejak rezim Orde Baru sampai sekarang, persoalan pendirian rumah ibadah masih menimbulkan ketegangan. Acap kali 1 The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2008), 52. 54 terjadi tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama di Indonesia.2 Sebut saja, permasalahan pendirian rumah ibadah GKI Taman Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi. Pada 13 Juli 2006, GKI Taman Yasmin telah mendapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Walikota Bogor dan masyarakat setempat. Bahkan, peletakan batu pertama pendirian GKI Taman Yasmin dihadiri oleh Lurah, Camat, Danramil, Bimas Kristen, Asisten Daerah I, dan tokoh masyarakat setempat. Namun, dengan berbagai alasan yang tidak jelas, IMB GKI Taman Yasmin dibekukan oleh Pemerintah Kota Bogor pada tanggal 14 September 2008. Pembekuan gereja tersebut mengakibatkan gereja tidak dapat melanjutkan pembangunannya lagi. Pembekuan rumah ibadah GKI Taman Yasmin sebenarnya muncul dari Lurah Curug Mekar pada akhir Tahun 2006. Dengan alasan, kedatangan GW Bush ke Indonesia, yang ditakutkan akan menjadikan jemaat GKI Taman Yasmin sebagai sasaran protes dan kemarahan atas kedatangan GW Bush yang kristen dan banyak melakukan kejahatan terhadap umat muslim di Timur Tengah. Kemudian adanya kegiatan menjelang tablig akbar oleh A‟A Gym.3 Selain pembekuan IMB GKI Taman Yasmin Bogor, Walikota Bogor juga menggembok gereja di jalan KH. Abdullah Bin Nuh, Taman Yasmin Bogor, 10 April 2010. Akibatnya, jemaat gereja terpaksa beribadah di trotoar, persis di depan gereja. Lalu, ibadah mereka juga dijaga oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Pada 27 Agustus 2010, Pemerintah Kota (Pemkot) sebetulnya sempat 2 Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS), 2011), 13. 3 Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta, 86. 55 membuka segel gereja, plus berita acara resmi. Anehnya, sehari setelahnya di gembok kembali. Kasus ini mulai bergulir sejak tahun 2008 setelah Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Yusman Yopie, membekukan IMB pembangunan GKI Taman Yasmin, Bogor. Alasannya banyak desakan dari ormas Islam se-Kota Bogor.4 Pada tanggal 8 Maret 2011, Walikota Bogor Diani Budiarto menerbitkan kembali Surat Keputusan (SK) Walikota Bogor Nomor 503.45-135 tahun 2011 tentang Pencabutan Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor Nomor 503/208-DTKP Perihal Pembekuan Izin Tanggal 14 Pebruari 2008. Berselang tiga hari, pada tanggal 11 Maret 2011, Walikota Bogor menerbitkan SK lainnya Nomor 645.45-137 Tahun 2011 yang isinya mencabut IMB GKI Taman Yasmin, Bogor. Kemudian, pihak GKI Taman Yasmin melaporkan perihal terbitnya SK Walikota Bogor 11 Maret 2011 ke lembaga Ombudsman RI. Akhirnya, Ombudsman RI mengeluarkan Rekomondasi No. 0011/REK/0259.2010/BS15/VII/2011 pada tanggal 8 Juli 2011 tentang Pencabutan Surat Keputusan Walikota Bogor Nomor 645.45-137 Tahun 2011 tertanggal 11 Maret 2011.5 Setelah mendapatkan angin segar dari Ombudsman RI, pihak GKI Taman Yasmin juga melakukan perlawanan hukum ke Pengadilan Tata Usaha (PTUN) Bandung. Selain itu, GKI Taman Yasmin menggugat Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Walhasil, Putusan PTUN Bandung No 41/G2008/PTUN-BDG, September 4 The Wahid Institute, Monthly Report on Religius Issue (MRORI), Edisi XXXV, Agustus 2011 (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), 7. 5 Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011 (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, 2011), 44- 45. 56 2008 menyatakan menolak eksepsi tergugat (Pemkot). Dalam pokok sengketa; 1) Mengabulkan gugatan para penggugat GKI Taman Yasmin. 2) Menyatakan batal surat pembekuan IMB. 3) Memerintahkan kepada tergugat Pemkot untuk mencabut surat pembekuan IMB. 4) Menghukum penggugat membayar biaya perkara.6 Menanggapi kasus pembekuan IMB rumah ibadah tersebut, The Wahid Institute melakukan advokasi kepada GKI Taman Yasmin Bogor melalui berbagai pendekatan. Pertama, pendekatan terhadap partai politik. Kedua, tokoh masyakarat yang mempunyai pengaruh sosial terhadap kasus GKI Yasmin. Ketiga, pada jalur hukum The Wahid Institute bekejasama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan pendekatan ke lembaga pendidikan pesantren yang ada di Bogor. Seperti, Pesantren Al-ghazali dan Pesantren Nurul Falaq. Selain itu, The Wahid Institute juga melakukan pembelaan langsung kepada Sekertaris Walikota Bogor, Kapolres Bogor untuk menjamin keamanan terhadap jemaat GKI Yasmin, serta anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bogor.7 Dalam hal ini, peran The Wahid Institute adalah melakukan advokasi pendampingan terhadap PTUN dan Mahkamah Agung (MA) sebagai bentuk dukungan terhadap GKI Taman Yasmin.8 Ahmad Suaedy menambahkan, The Wahid Institute melakukan kritik terhadap pemerintah untuk menegakan konstitusi dan melindungi korban GKI Taman Yasmin, mendampingi korban ke 6 Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta, 87. Wawancara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013. 8 Tempo.com http://www.tempo.co/read/news/2012/12/24/173450192/Wahid-Institute Minta-Wali-Kota-Jamin-GKI-Yasmin, diakses pada 1 Januari 2013. 7 57 pengadilan sebagai bentuk dukungan moril kepada korban, investigasi, dan press konference untuk menyikapi kasus yang sedang berlangsung.9 Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh The Wahid Intitute terhadap GKI Taman Yasmin melalui pendekatan struktural yaitu; terhadap pemerintah, Walikota, kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bogor, partai politik dan pengambil kebijkan. Dengan tujuan, agar Walikota Bogor memberikan izin terhadap pendirian rumah ibadah GKI Taman Yasmin tersebut. Karena pada dasarnya pendirian rumah ibadah merupakan hak setiap orang ataupun kelompok. Seharusnya, lembaga negara harus bersikap adil menangani persoalan rumah ibadah GKI Taman Yasmin tersebut. Selain itu, pemerintah juga harus menjalankan konstitusi negara untuk menjamin warga negara memeluk kepercayaan dan menghormati pemeluk agama lain. Pada level masyarakat, The Wahid Institute melakukan pendekatan dan memberikan pemahaman kepada tokoh agama dan organisasi masyarakat (ormas) setempat terkait pendirian rumah ibadah. Sehingga, ormas dan para pemuka agama mendukung pendirian rumah ibadah GKI Taman Yasmin tersebut. Selama kasus tersebut berlangsung, The Wahid Institute diminta oleh sekelompok orang untuk melakukan pembelaan terhadap pihak GKI Taman Yasmin, dan The Wahid Institute juga mempunyai konsen terhadap pembelaan korban kekerasan dan kebebasan dalam mendirikan rumah ibadah. Sejauh ini, The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan mendirikan rumah ibadah GKI Taman Yasmin, Bogor, mengalami kendala yang 9 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 23 Desember 2013. 58 cukup berat. Misalnya, dari segi hukum, aparat penegak hukum tidak tegas dalam menangani persoalan hukum di Indonesia. Kemudian, persoalan kepemimpinan yang ikut terlibat dalam kasus tersebut.10 Oleh karena itu, pembelaan yang dilakukan oleh The Wahid Institute dalam melakukan pembelaan terhadap GKI Taman Yasmin masih belum maksimal, tapi setidaknya apa yang dilakukan oleh The Wahid Institute terhadap kasus tersebut dapat muncul ke publik dan dapat diketahui oleh banyak pihak. Sehingga banyak Lemabaga Swaday Masyarakat (LSM) dan masyarakat sipil yang peduli membela jemaat GKI Taman Yasmin, Bogor. Bagi The Wahid Institute itu sendiri, GKI Taman Yasmin seharusnya mendapatkan haknya untuk mendirikan rumah ibadah seperti pendirian rumah ibadah yang lainnya. Walaupun perjuangan The Wahid Institute sudah maksimal, tapi masih saja mengalami kendalan di lapangan. Seperti, kelompok tertentu yang mengatasnmakan Islam tidak setuju dengan pembanguan rumah ibadah tersebut dikarenakan adanya Kristenisasi. Lalu, sikap Walikota Bogor yang melakukan pembekuan IMB GKI Taman Yasmin, Bogor. Padahal, secara administratif GKI Taman Yasmin telah mendapatkan payung hukum dari PTUN Bandung dan PTUN Jakarta. B. Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi Peristiwa Gereja HKBP Filadelfia Bekasi tidak jauh berbeda dengan GKI Taman Yasmin, Bogor. Secara lega-formal gereja HKBP Filadelfia telah memenuhi persyaratan administratif, yaitu mengantongi 300 kartu tanda 10 Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M Dja‟far, pada 10 Januari 2014. 59 penduduk (KTP) dan 259 tanda tangan persetujuan warga sekitar. Karena itu, Sukardi, Kepala Desa Jejalen Jaya, tidak keberatan atas pendirian rumah ibadah tersebut, mengeluarkan dan memberi izin pendirian gereja HKBP Filadelfia Bekasi dengan No. 451.2/09/X2007, tertanggal 11 Oktober 2007.11 Begitu juga persetujuan dan dukungan dari tokoh agama H. Heri. Ia adalah tokoh NU dan mantan ketua MUI kecamatan Tambun Utara. Ia tidak keberatan pendirian rumah ibadah Gereja HKBP Filadelfia Bekasi. Bahkan H. Heri sering berhadap dengan kelompok yang tidak setuju dengan pembangunan geraja tersebut. 12 Namun begitu ternyata masyarakat melakukan „gugatan‟ yang berasal dari warga yang menolak pendirian gereja. Mereka menuduh adanya rekayasa dan penipuan dalam memperoleh dukungan persetujuan warga, sehingga dukungan tersebut bermasalah, termasuk oleh Forum Kerukunan Umat Islam (FKUI) yang dimotori oleh Ustadz Naimun, Ustadz Amil Mariadi, dan Ustadz Acep. Kemudian, jemaat Gereja HKBP melakukan permohonan pembangunan gereja kepada Bupati Bekasi, Kepala kantor Departemen Agama (DEPAG) Kabupaten Bekasi, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bekasi dan Camat Tambun Utara pada 02 April 2008. Namun, Pihak Camat Tambun Utara keberatan soal pembangunan gereja melalui surat No.452.2/76/II-/Ekmasy/2008. Kemudian, kantor Departemen Agama setempat mengeluarkan surat No. Kd. 10.16.11/1473/2009 tertanggal 18 Agustus 2009. Depag mengatakan tidak bisa memberikan rekomondasi pendirian 11 12 Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta, 98. Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta, 101. 60 gereja, sebab masih ada penolakan warga setempat sebagaimana surat yang dikeluarkan oleh Camat Tambun Utara, Kabupten Bekasi.13 Akhirya, jemaat Gereja HKBP Filadelfia Bekasi untuk sementara waktu beribadah di Balai Desa Jejalen Raya, meskipun masih sering diserang massa. Tanggal 13 Januari 2010, pihak HKBP Filadelfia menerima SK Bupati Kabupaten Bekasi No.300/675/Kesbangpolinmas/09 tertanggal 31 Desember 2009 mengenai Penghentian Kegiatan Pembangunan dan Kegiatan Ibadah HKBP Filadelfia. Menyoal SK Bupati Bekasi tersebut, Pihak Gereja HKBP Filadelfia mengajukan gugatan kepada Putusan PTUN Bandung Nomor 42/G/2010/PTUNBDG tanggal 2 September 2010, serta PTUN Jakarta Nomor 255/B/2010/P.TUN.JKT tanggal 30 Maret 2011 yang menyatakan SK tersebut batal. Dua putusan PTUN Bandung dan PTUN Jakarta sudah final dan berkekuatan hukum. Namun, keputusan PTUN Bandung dan PTUN Jakarta tidak berdampak signifikan terhadap kasus Gereja HKBP Filadelfia. Selama tahun 2012, jemaat HKBP Filadelfia sering mendapatkan penentangan sebagian umat muslim setempat dan perlakuan intimidasi, kekerasan, serta ancaman pembunuhan terhadap Pendeta Palti Panjaitan, pemimpin jemaat HKBP Filadelfia. Mereka beralasan, bahwa tujuan pendirian gereja adalah upaya kristenisasi.14 Menanggapi persoalan tersebut, The Wahid Institute melakukan advokasi dalam memperjuangkan hak beribadah, serta menuntut pemerintah agar secara 13 The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX Desember 2011- Januari 2012 (Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 11. 14 Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012 (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CSRC) Universitas Gadjah Mada, 2011), 35-36. 61 serius memberikan jaminan perlindungan bagi pihak HKBP Filadelfia dari segala bentuk diskriminasi dan intoleransi yang dilakukan oleh siapapun, baik itu oleh oknum pemerintah ataupun kelompok masyarakat.15 Selain itu, menurut M Subhi Azahari devisi Monitoring dan Advokasi The Wahid Institute menambahkan. Pertama, melakukan press confrence untuk menyikapi perkembangan kasus HKBP Filadelfia Bekasi sebagai bentuk peryataan sikap atas kasus tersebut. Kedua, melakukan journalist briefing memberikann pemahaman terkait kasus HKBP Filadelfia Bekasi kepada semua media massa sehingga media massa dapat menyajikan berita secara objektif. Ketiga, pendekatan kepada Forum Kerukuanan Umat Beragama (FKUB) untuk bersikap netral dan mendorong suatu resolusi konflik bukan ikut terlibat dalam konflik. Selanjutnya, The Wahid Institute juga membuat analisa kasus yang hasilnya diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten, Golongan Karya (Golkar), Ombudsman RI, Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnasham) dan Komnas Perempuan. Maka, dari hasil analisa The Wahid Institute, semua elemen lembaga tersebut sebenarnya sepakat dengan pemahaman dan perjuangan yang dilakukan oleh The Wahid Institute.16 Kemudian, beberapa elemen masyarakat sipil melakukan advokasi seperti, The Wahid Institute, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Mereka 15 http://wahidinstitute.org/Dokumen/Detail/?id=193/hl=id/Memperjuangkan_Hak_Beribada h_HKBP_Filadelfia, “Memperjuangkan Hak Beribadah Filadelfia”, diunduh pada 6 Maret 2013. 16 Wawancara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013. 62 menuntut tiga hal. Pertama, menuntut pemerintah secara serius memberikan jaminan perlindungan kepada pihak HKBP Filadelfia dari segala bentuk diskriminasi baik dilakukan oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat. Kedua, melindungi HKBP Filadelfia dalam menjalankan ibadah. Ketiga, memastikan terbitnya IMB kepada HKBP Filadelfia untuk mendirikan tempat ibadah di desa Jejalen, Bekasi.17 Dengan demikian, alasan The Wahid Institute melakukan pembelaan terhadap korban HKBP Filadelfia Bekasi yaitu, pemerintah tidak melaksanakan konstitusi dalam menjamin kebebasan beragama dan beribadah. Sehingga The Wahid Institusi membantu meperjuangkan hak korban untuk mendirikan rumah ibadah. Namun, The Wahid Institute mengalami kendala yaitu, para penegakan hukum tidak adil dalam menangani persoalan kasus kekerasan dan kebebasan mendirikan rumah ibadah. Begitu juga dengan sikap para pemimpin daerah yang ikut terlibat terhadap kasus tersebut.18 Sejauh ini, apa yang sudah dibela The Wahid Institute melalui berbagai pendekatan baik tokoh masyakarat, pemerintah daerah, dan melalui press conference, setidaknya kasus pembekuan IMB rumah ibadah HKBP Filadelfia dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Tentu saja, pembelaan The Wahid Institute terhadap HKBP Filadelfia dengan alasan adanya kepincangan sikap pemerintah daerah yang tidak adil terhadap korban kekerasan dan kelompok minoritas. Begitu juga sikap para penegak hukum yang tidak tegas menjalankan konstitusi dan menindak tegas para 17 The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi Maret-April 2012 (Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 3. 18 Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M. Dja‟far, pada 10 Januari 2014. 63 pelaku pemimpim daerah yang melakukan pembangkangan hukum. Selain itu, adanya sikap intoleransi masyarakat yang melakukan ancaman, intimidasi kepada kelompok minoritas. C. Aliran Syiah di Sampang Madura Peristiwa kekerasan dan pengusiran terhadap aliran Syiah19 yang terjadi pada 29 Desember 2011, di Dusun Nangkernang, Karang Gayam, Omben, Kabupaten Sampang, Madura. Kasus tersebut mengakibatkan rumah pimpinan Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI), Tajul Muluk, dua rumah warga Syiah, dan Mushalla Syiah di bakar oleh 500an orang.20 Akhirnya, warga Syiah diungsikan ke Gelanggang Olahraga (GOR) yang bertempat di depan Kantor Bupati Sampang, Madura. Selanjutnya, isu ini ditanggapi Pemerintah Daerah Syaifullah Yusuf sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur, Ia mengajukan izin relokasi warga Syiah agar konflik tidak terjadi lagi. Solusi ini seakan-akan ingin menyelesaikan masalah yang muncul dengan melenyapkan kelompok yang berbeda secara paksa.21 Oleh karena itu, tindakan Wakil Gubernur tersebut tidak memberikan solusi terbaik dalam mengatasi kasus Syiah di Sampang, Madura. Bahkan, tidak mampu melindungi jaminan keamanan bagi warga Syiah. 19 Golongan Syiah; yang hanya mengakui khalifah Allah saja. Mereka tidak mengakui Khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman, bahkan menyatakan bahwa ketiga Khalifah telah meyererobot jabatan Khalifah yang tidak sah. Mereka berhak yang menjadi Khalifah sesudah Nabi adalah Ali. dalam H.M Rasyidi, Apa itu Syiah (Jakarta: Harian Umum Pelita, 1984), 50. 20 Yeni Zannuba Wahid, dkk, Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting (Jakarta: The Wahid Institute, 2012), 34. 21 Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011, 30. 64 Akhirnya, jamaah Syiah di evakuasi ke Gelanggang Olahraga (GOR) Sampang, dengan fasilitas terbatas dan mendapat tekanan dari institusi pemerintah serta ormas tertentu. Pihak yang aktif menekan adalah kantor Kementerian Agama (Kemenag) Sampang yakni Kiai Halim serta kepala Kesbangpol Sampang, Rudi Setyadi. Pada 2011, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) setempat beserta Basra (Badan Urusan Silaturahmi Ulama Madura), memaksa Tajul Muluk untuk menyetujui 3 kesepakatan; 1) menghentikan semua aktifitas Syiah dan kembali ke Sunni. 2) Diusir ke luar wilayah Sampang tanpa ganti rugi lahan/asset yang ada, dan 3) jika salah satu poin tidak dipenuhi, berarti aliran Syiah harus mati.22 Sikap fatwa MUI Kabupaten Sampang No: A-035/MUI/SPG/I/202 tanggal 1 Januari 2012 menyatakan bahwa ajaran Tajul Muluk sesat dan menyesatkan dan merupakan penistaan agama. Selanjutnya, adanya peryataan sikap Pimpinan Cabang Nahdaltul Ulama (PCNU) Sampang No; 255/EC/A:/L-36/I/102 tanggal 2 Januari 2012 yang juga menyatakan bahwa ajaran Tajul Muluk sesat dan menyesatkan, serta merupakan tindakan penistaan agama yang membuat bikin keresahan di masyarakat.23 Fatwa MUI tersebut yang menyeret Tajul Muluk alias Ali Murtadho, Pemimpin Syiah Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Madura. Akhirnya, Tajul Muluk divonis dua tahun penjara karena secara terbukti 22 The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX Desember 2011- Januari 2012 (Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 3. 23 Yeni Zannuba Wahid, dkk, Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting, 40. 65 melakukan penodaan agama sebagaimana tercantum dalam Pasal 156a KHUP. Menurut ketua Majlis Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Purnomo Amin Cahyono, Tajul Muluk telah melecehkan agama Islam dengan menyatakan Alqur‟an yang beredar tidak asli lagi.24 Hal ini tercermin bahwa Pengadilan Negeri (PN) tidak bersikap adil dalam persidangan kasus Tajul Muluk, dan pemerintah tidak tegas dalam menangani persoalan kekerasan agama. Sebut saja, peryataan Syaifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Timur, mengenai relokasi jemaah Syiah ke GOR Sampang. Seolah menujukan bahwa pemerintah daerah tidak mampu menyelesaikan konflik ini. Bahkan, beberapa lembaga pemerintah dan ormas melakukan tindakan intimidatif terhadap warga Syiah. Menyikapi kasus Syiah tersebut, The Wahid Institute juga melakukan advokasi di lapangan melalui kerjasama dengan jejaring The Wahid Institute yaitu, Center for Marginalized Comunities Studies (CMARs) Surabaya. Peran yang dilakukan oleh CMARs yaitu, pendampingan ke ranah hukum, pembelaan, dan investigasi. Pada level parlemen, The Wahid Institute melakukan pendekatan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) RI dan pengambil kebijakan. Pada level ormas The Wahid Institute bertemu dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surabaya, Nahdlatul Ulama (NU), dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk mencari solusi kasus Syiah tersebut. Sedangkan untuk menyadarkan warga NU 24 The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XLIII Juli 2012 (Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 3 66 yang ikut terlibat kasus Syiah, The Wahid Institute mengingatkan agar jangan sampai di tranformasikan kepada tindakan kekerasan.25 Kemudian, alasan The Wahid Institute melakukan pembelaan terhadap korban kasus Syiah di Sampang, Madura. Bahwa, setiap warga negara berhak untuk berkeyakinan sesuai dengan kepercayaanya. Seharusnya, negara menjamin kebebasan beragama, berkeyakianan sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18 dan 19 ayat 1 dan 2. Dalam perjuangannya, The Wahid Institute mengalami kendala pada level masyarakat dan level pemerintah. Contohnya, adanya penegakan hukum yang tidak adil.26 Lalu, kelompok Islam tertentu yang tidak suka dengan aliran Syiah, peran Pemerintah Sampang yang tidak tegas dalam menangani persoalan kekerasan Syiah, dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang menyatakan bahwa aliran Syiah sesat.27 Selama ini, apa yang dilakukan oleh The Wahid Institute dengan melakukan pembelaan terhadap aliran Syiah, ternyata berdampak cukup lebih baik. Faktanya, setidaknya aksi kekersan/intimidasi terhadap kelompok Syiah semakin berkurang. Dengan demikian, kiprah The Wahid Institute dengan memosisikan diri dalam advokasi golongan marginal sangat efektif. Bagi The Wahid Institute, semua golongan berhak mendapatkan hak dan perlakuan yang sama dari pemerintah. Sebab demikian, jika terjadi tindakan marginalitas/pengucilan terhadap sekelompok kaum, atas nama apapun maka 25 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013. Dan Wawancara Pribadi dengan Subhi Azhari pada 23 Desember 2013. 26 Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M. Dja‟far, pada 10 Januari 2014. 27 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013 67 harus tetap dibela. Selama ini, kiprah The Wahid Institute pun bukan hanya dalam kasus Syiah, beberapa kasusu lain juga, terutama yang menyangkut kebebasan umat beragama, selalu diperhatikan. Meskipun perjuangan The Wahid Institute telah dilakukan, tetap saja dalam beberapa hal The Wahid Institute selalu mendapatkan tantangan yang cukup berat. Misalnya, sikap pemerintah yang intoleran terhadap kelompok minoritas. Selain itu, penegak hukum yang bersifat tidak adil dan masifnya oknum yang beridiologi garis keras. D. Ahmadiyah di Cikeusik Banten Ahmadiyah secara organisasi disebut sebagi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).28 Dalam kiprahnya, jemaat Ahmadiyah ikut terlibat sebagai lembaga pendidik dan mengembangkan masyarakat. Namun, sedikit orang yang mengenal dan mengetahui Ahmadiyah. Keberadaan Ahmadiyah mulai dikenal ketika terjadi kasus pelarangan Ahmadiyah oleh sebagian ormas Islam tertentu. Di Indonesia, jemaat Ahmadiyah memiliki banyak pengikut. Sebagai organisasi resmi, organisasi ini sudah terdaftar di lembaga negara dan mendapatkan surat izin dari berbagai lembaga.29 Berdirinya organisasi ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. JA.5/13 tertanggal 13 Maret 1953. Begitu juga dengan 28 Ahmadiyah dikenal juga dengan nama Qadiyaniyyah atau Mirzaiyyah adalah sekelompok orang yang beranggapan bahwa ajarannya berdasar kepada ajaran Islam yang benar. Ajaran ini didirikan oleh seorang Qadiyan yang mengaku sendirinya sebagai Nabi, bernama Mirza Gulam-pada tanggal 23 Maret 1889, di sebuah kota yang bernama Ludhiana di Punjab India. Negeri ini oleh orang-orang ahmadi disebut “Darul Bai‟at”. Lihat Hasan bin Mahmud Audah, Ahmadiyah Kepercayaan-kepercayaan dan Pengalaman-pengalaman (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), 2006), 11. 29 Ahmad Suaedy, dkk., Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 49. 68 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang sudah tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 26 tanggal 31 Maret 1953. Kelengkapan administrasi jemaat Ahmadiyah Indonesia tersebut dapat dilihat di Departemen Agama RI Nomor 046/J/1970 tanggal 2 Maret 1970, Departemen Sosial RI (No; D.V/70 tanggal 15 Mei 1970). Sebagai organisasi masyarakat, jemaat Ahmadiyah juga telah terdaftar di Departemen Dalam Negeri Nomor 75/DI/VI/2003 (5 Juni 2003).30 Dalam hal ini, merebaknya isu kekerasan atas nama agama, konflik antarsekte atau aliran kepercayaan sering terjadi di berbagai daerah. Konflik jenis ini disebut sebagai konflik sektarian.31 Salah satunya, kekerasan dan pembantaian anggota jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, pada 6 Februari 2011. Kekerasan ini merupakan peristiwa paling keji yang menimpa jemaat Ahmadiyah Indonesia, setidaknya selama lima tahun terakhir. Akibat peristiwa tersebut, tiga orang tewas dan lima orang luka-luka. Peristiwa ini seharusnya disikapi oleh penegak hukum secara adil dengan menghukum para pelaku dan aktor intelektual.32 Lalu, adanya ketegasan pemerintah dalam menangani kasus Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Ironisnya, 12 terdakwa kasus kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah ternyata hanya divonis ringan. Sepuluh orang divonis enam bulan penjara, dan dua orang lainnya divonis kurang dari enam bulan. Vonis ringan ini ditanggapi 30 Ahmad Suaedy, dkk., Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia, 50. 31 Rizal Panggabean dan Ihsan Ali-Fauzi, Merawat Kebersamaan Polisi, Kebebasan Beragama dan Perdamaian (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2011), 61. 32 Ismail Hasani-Bonar dan Tigor Naipospos, Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011), 147. 69 oleh banyak pihak dengan nada kecewa. Virdaus Ahmadiyah, Humas Ahmadiyah DKI Jakarta yang tekun mengikuti persidangan ini mengatakan bahwa vonis ini semacam persetujuan negara terhadap kekerasan yang ditunjukan kepada Ahmadiyah.33 Pasca kerusuhan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, banyak bermunculan peraturan daerah yang melarang aktifitas jemaat Ahmadiyah. Sebut saja, Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, Peraturan Gubernur Banten No. 5 Tahun 2011, 11 Maret 2011. Larangan penggunaan atribut, pemasangan identitas, penyebarluasan Ahmadiyah; dan menyebarkan ajaran-ajaran yang menyimpang dari pokok Islam. Begitu juga dengan Peraturan Bupati Pandeglang Banten No. 5 Tahun 2011, tertanggal 12 Pebruari 2011 yang berisi larangan penggunaan atribut, pemasangan identitas, dan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah.34 Ditambah lagi dengan pendapat Menteri Agama Suryadharma Ali bahwa Ahmadiyah di Indonesia harus dibubarkan. Karena, kalau tidak, potensi konflik akan terus meningkat dan mengganggu kerukunan umat beragama. Ahmadiyah adalah cikal bakal terjadi konflik di masyarakat. Menteri juga beralasan bahwa Ahmadiyah bertentangan dengan pokok ajaran Islam. Oleh karena itu, Ahmadiyah harus diberhentikan kegiatan aktivitasnya.35 Menurut Setara Institute, kekeliruan utama dalam penanganan kasus penyerangan anggota jemaat Ahmadiyah di Cikeusik Banten terletak pada sikap 33 The Wahid Institute, Monthly Report on Religius Issue (MRORI), Edisi XXXV, Agustus 2011, 2. 34 Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011, 33. 35 The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2010 Pluralisme Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), 45. 70 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang gagal menegakkan hukum secara adil dalam kasus yang mengatasnamakan agama. Perlu dicatat, bahwa Kepolisian RI dan Kejaksaan RI merupakan institusi negara di bawah koordinasi Presiden. Jika SBY benar-benar ingin melakukan penegakan hukum, maka Presiden seharusnya lebih menegaskan kepada institusi dua lembaga negara tersebut.36 Menyikapi kasus Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, The Wahid Institute melakukan investigasi di lapangan dan menjalin kerjasama dengan lembaga pemerintah yang memiliki jaminan hukum, seperti, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham).37 Sedangkan menurut Ahmad Suaedy, The Wahid Institute melakukan penyadaran melalui media massa, dan pendekatan ke lembaga negara DPR RI. Karena, DPR sebagi lembaga negara yang mempunyai peran terhadap kebijakan-kebijakan negara.38 Kemudian, The Wahid Institute juga mendesak presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar mencabut berbagai kebijakan diskriminatif serta kebijakan yang mengekang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kedua, mendesak Menteri Dalam Negeri untuk segera membatalkan Peraturan Bupati Pandeglang No. 5 Tahun 2011. Ketiga, mendesak Bupati Pandeglang untuk menghormati proses hukum dengan tidak melakukan penghakiman sepihak, serta 36 Ismail Hasani-Bonar dan Tigor Naipospos, Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita, 150. Wawancara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013. 38 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013. 37 71 mencabut pernyataan bahwa jemaat Ahmadiyah sebagai pelanggar SKB Tiga Menteri dan penyebab konflik Sosial.39 Selanjutnya, alasannya The Wahid Institue melakukan advokasi kepada jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten ialah, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan beragama dan berkeyakinan. Namun, dalam peranya The Wahid Institute mengalami kendala yang cukup berat. Contohnya, para penegak hukum tidak adil dan tidak objektif menangani kasus kekerasan Ahmadiyah Cikeusik, Banten. Karena pelaku kekerasan hanya di hukum ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan tersebut.40 Secara umum, menurut Subhi Azhari, advokasi yang di lakukan The Wahid Institute terhadap kasus di atas tersebut yaitu, pertama, mendorong negara ataupun pengambil kebijakan untuk mengamanatkan konstitusi kepada setiap warga negara untuk memeluk agama yang dianutnya. Kedua, pendekatan secara politisi yakni dengan para pengambil kebijakan, aparatus negara untuk mendorong menjalankan amanat konstitusi. Bahkan, The Wahid Institute juga melakukan demonstrasi dan dengar pendapat dengan pemerintah. Ketiga, menghimbau kepada masyarakat sipil untuk memperkuat jejaring di setiap berbagai daerah yang memiliki isu yang sama dalam menjamin hak-hak umat beragama. Keempat, pada level grassroot, The Wahid Institute bergerak di bidang pendidikan untuk memberikan pemahaman terhadap pemuka agama dan 39 http://www.elsam.or.id/index.php?id=1361&lang=in&act=view&cat=c/302, pada 6 Maret 2013. 40 Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M. Dja‟far, pada 10 Januari 2014. 72 diunduh kelompok masyarakat tentang jaminan konstitusi setiap warga negara dan pentingnya hak-hak beragama, serta memperkuat resolusi konflik. The Wahid Institute juga mendorong para kiai pesantren untuk memahami keislaman dan mengkaji literatur-literatur keislaman yang menekankan pada aspek perlindungan hak-hak beragama. Kemudian, The Wahid Institute melakukan pendampingan terhadap korban kekerasan agama yang terdiskrimasi hak-haknya, baik itu hak individu maupun kelompok, seperti halnya Ahmadiyah, Syiah, GKI Taman Yasmin, dan HKBP Filadelfia Bekasi.41 Sejauh ini, peran yang dilakukan The Wahid Institute terhadap jemaat Ahmadiyah di Cikeusik Banten yaitu, melalui pendekatan ke Presiden SBY dan DPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Lalu, dalam segi hukum The Wahid Institut bekerjasama dengan LBH Jakarta. Sedangkan, pada level masyarakat The Wahid Institue hanya melakukan investigasi di lapangan. Akan tetapi, The Wahid Institue mempunyai alasan kuat dalam membela korban yang menimpa jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Bahwa semua orang berhak memeluk agama sesuai dengan kepercayaanya dan berhak untuk beribadah sesuai dengan UUD 1945 Pasal 19 Ayat 1 dan 2. Begitu juga dengan undang-undang kovenan hak sipil dan politik tahun 2005 Pasal 18 Ayat 1 dan 2. Oleh karenanya, kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah tidak dibenarkan apapun alasannya. Apa yang sudah dilakukan oleh The Wahid Institute dalam membela kebebasan beragama dan kelompok minoritas pasti mengalami kendala yang 41 Wawncara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013. 73 cukup berat. Misalnya, adannya sikap para pengak hukum yang tidak bersikap adil, tidak profesioanal, dan tidak objektif dalam menangani kasus kekerasan Ahmadiyah. Selain itu, sikap intoleran pemerintah daerah terhadap aliran kepercayaan dan kelompok minoritas. Seperti halnya, peraturan gubernur dan peraturan bupati yang membatasi kegiatan jemaat Ahmadiyah. Dengan demikian, untuk mencegah tindakan kekerasan yang menagatasnamakan agama, The Wahid Institute melakukan workshop, seminar, dan dialog mengenai toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia. Dengan adanya pelatihan tersebut setidaknya masyarakat mengetahui nilai-nilai toleransi dan kebebasan beragama dalam kehidupan beragama dan bernegara. E. Tantangan The Wahid Institute dalam Memperjuangkan Kebebasan Beragama di Indonesia Berdasarkan pemaparan sebelumnya, ternyata perjuangan The Wahid Institute dalam melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas, kebebasan beragama dan toleransi banyak mengalami tantangan yaitu, pemerintah sebagai lembaga tinggi negara tidak bisa melindungi kelompok minoritas dan tidak menjalankan konstitusi negara. Ironisnya, Presiden SBY, justru berperan sebagai pelayan MUI yang menjalankan fatwa-fatwanya. Maka, dalam hal ini berarti SBY telah melanggar konstitusi negara.42 Sedangkan menurut Subhi Azhari, adanya kasus kekerasan diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum di Indonesia yang belum berjalan maksimal serta sikap intoleransi warga negara yang disebabkan faktor ekonomi 42 WawancaraPribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013. 74 dan politik. Kemudian, negara juga ternyata ikut terlibat dalam kasus kebebasan beragama.43 Bahkan, negara melakukan pembiaran terhadap korban kekerasan yang mengatasnamakan agama di Indonesia. Begitu juga dengan pendapat Eef Saefulloh Fatah dalam kolom Tempo. Ia mengungkapkan bahwa Presiden SBY sejauh ini gagal menunaikan kewajiban asasinya sebagai penjaga konstitusi negara. Kegagalan Presiden selama ini mendatangkan persoalan amat yang serius yakni, absennya otoritas politik untuk menegakan hukum dan ganjaran sanksi yang adil. Kegagalan tersebut secara tidak langsung memfasilitasi untuk bertahan dan berkembangnya kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama oleh berbagai kelompok.44 Dalam menjalankan misinya, The Wahid Institute mendapatkan beberapa tantangan dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia. Pertama, sikap pemerintah yang intoleran terhadap kelompok minoritas. Kedua, penegakan hukum yang tidak bersikap tidak adil dan melakukan pembiaran bila terjadi aksi kekerasan. Ketiga, menjamurnya kelompk-kelompok garis keras seperti, Front Pembela Islam (FPI). Ketiga hal tersebut, merupakan tantangan yang dihadapi The Wahid Institute selama ini. Jika ditelisik satu persatu bagaimanapun sikap pemerintah yang tidak adanya keperpihakan pada kelompok tertentu itu penting. Sikap aparat pemerintah tidak tegas kepada kelompok minoritas, adanya indikasi bahwa aparat pemerintah bagian dari mayoritas untuk mengharap popularitas semata. Seharusnya, pemerintah harus bersikap netral dan pemerintah tidak boleh membedakan perlakuan terhadap warga negaranya apapun latar belakang 43 Wawancara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013. Eep Saefulloh Fatah, “Merindukan Presiden Penjaga Konstitusi”, dalam Kolom Majalah Tempo No. 3951/14-20 Februari 2011 (Jakarta: Tempo, 2011), 41. 44 75 warganya. Pemerintah harus melindungi setiap warga negara Indonesia serta menjamin kebebasan warga negara dalam beribadah. Kemudian, aparat pemerintah seperti Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama seharusnya mengeluarkan kebijakan yang tidak melanggar UUD 1945, dan tidak merugikan kelompok minoritas di Indonesia. Lalu, aparat pemeritah daerah juga seharusnya bersikap toleran dan tidak melakukan tindakan intimidasi kepada kelompok minoritas, dan harus menjalan konstitusi negara. Penegakan hukum juga demikian, sudah seharusnya aparatur penegak hukum bisa berlaku adil terhadap semua pihak. Penegak hukum tidak bisa ditunggangi oleh kepentingan sekelompok orang, partai politik, pengusaha, dan lain sebagainya. Seharusnya, aparat keamanan menindak tegas pelaku kekerasan tanpa mempedulikan latar belakang ormas dimana berasal. Jika pelaku kekerasan dibiarkan maka akan berdampak mengancam toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia. Selain itu, munculnya organisasi massa kelompok radikal harus di kawal ketat, agar mereka tidak melakuakn tindakan anarkis seenaknya. Kehadiran kelompok-kelompok aliran keras ini akan mengancam perjuangan The Wahid Institute. Oleh karena itu, jika ada ormas yang terlibat melakukan aksi kekerasan dan perusakan tempat ibadah harus di hukum seberat-beratnya dan aparat penegakan hukum bertindak tegas mencabut izin ormas yang melakukan tindakan anarkis. Karena apapun yang dilakukan The Wahid Institute dalam mengikis angka kekerasan di Indonesia, tanpa adanya sinergi dengan pemerintah dan aparat 76 penegak hukum akan menjadi tindakan yang percuma. Bentuk dukungan pemerintah itu penting agar aksi anarki bisa ditekan dengan maksimal. Semestinya, ada peran para tokoh masyarakat untuk mengawasi tindakan warga negara yang melakukan tindakan anarkis dan memberikan pemahaman kepada masyarakat umum akan pentingnya kesatuan, toleransi, kerukuanan antarumat beragama. 77 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan The Wahid Institute adalah organisasi yang concern menangani isu-isu seputar toleransi, kebebasan beragama, pluralisme, dan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. The Wahid Institute mempunyai visi mewujudkan pemikiran Gus Dur untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia dan umat manusia yang berkeadilan sosial dengan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diinspirasi nilai-nilai Islam. Di Indonesia, angka kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah dan lainnya masih tinggi. Terciptanya kerukunan antar umat beragama masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Dalam rangka mewujudkan visinya tersebut, The Wahid Institute banyak melakukan advokasi hukum dan politik, di antaranya dengan melakukan press conference sebagai bentuk protes kepada pemerintah, pendekatan ke tokoh masyarakat sekitar, serta ke tokoh partai politik. Lalu, melakuan pembelaan melalui jurnalis brefing kepada media massa, pendekatan ke Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dan Ombudsman RI. The Wahid Institute juga melakukan pendekatan budaya, advokasi dan hukum, seperti melakukan pendekatan kepada Nahdlatul Ulama (NU), pendekatan 78 kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, dan Kontras. Setidaknya, apa yang sudah dilakukan oleh The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia dapat memberikan dampak positif ke publik. Dengan langkah-langkah tersebut pemerintah mendapatkan tekanan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi, Ahmadiyah, dan Syiah. Selain itu, dampak dari perjuangan The Wahid Institute juga telah membangun kesadaran masyarakat tentang kebebasan beragama dan berbagai tindakan intoleransi terhadap kelompok minoritas. Namun dalam perjalanannya The Wahid Institute mengalami tantangan dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia. Sebut saja seperti lemahnya sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menangani kasus kekerasan agama, rumah ibadah, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas. B. Saran-saran Berdasarkan pemaparan hasil penelitian skripsi tersebut, sekiranya ada beberapa saran tentang masa depan kebebasan beragama di Indonesia. Pertama, pentingnya menjaga toleransi terhadap semua lapisan masyarakat, menghargai umat beragama, dan menjaga kemajemukan bangsa. Hal ini sesuai dengan dasar negara dan konstitusi UUD 1945. Begitu juga dalam Islam yang mengajarkan sikap saling kasih sayang (rahman), kebijaksanaan, (hikmah), dan saling menghormati kepada pemeluk agama lain, karena keragaman merupakan 79 merupakan sunatullah yang harus dijaga dan dilestarikan oleh penduduk muka bumi ini. Kedua, pemerintah harus bertindak sebagai lokomotif kebijakan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, harmonis, menjamin kebebasan beragama, dan merawat kemajemukan bangsa. Oleh karena itu, negara harus bersikap tegas mejalankan konstitusi negara. Ketiga, pentingnya peran masyarakat sipil sebagai garda terdepan dalam memperjuangkan kebebasan beragama dan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. 80 DAFTAR PUSTAKA A. BUKU A’la, Abd. “Kemenangan Gus Dur Angin Sejuk Bagi Iklim Keagamaan di Indonesia,” dalam Irwan Suhanda, Perjalanan Politik Gus Dur. Jakarta: Kompas, 2010. Abdul Karim, Khalil. Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Arab. Yogyakrta: LKiS, 2005. Abidin Bagir, Zainal, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010.Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies) Universitas Gadjah Mada, 2010. Abidin Bagir, Zainal, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada, 2011. Abidin Bagir, Zainal, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies) Universitas Gadjah Mada, 2012. Acmad, Nur. Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. (Jakarta: Kompas, 2001). Al–Zastrouw, “Gus Dur dan Demokrasi” dalam M. Fajrul Falakh, dkk. Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997. Ali, Muhamad. Teologi Pluralis-Multkultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta: KOMPAS, 2003. Ali-Fauzi, Ihsan, dan Mujani, Saiful. Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syariah. Jakarta: Nalar, 2009. Ali-Fauzi, Ihsan, dkk. Kontroversi Gereja di Jakarta. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS), 2011. Amir Azis, Ahmad. Neo Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999. ix Assyaukanie, Lutfi. Idiologi Islam dan Utopia. Jakarta: Freedom Institute, 2011. Azra, Azyumardi. Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta, dan Tantangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999. Barton, Greg. Biografi Gus Dur The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta; LKiS Group, 2002. Blaxter, Lorain e, dkk. How To Research Seluk-Beluk Melakukan Riset. Jakarta: PT. Indexs Kelompok Gramedia, 2006. Departemen Agama RI, Riuh di Beranda Satu, Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Seri II. Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2011. Dhakiri, M. Hanif . 41 Warisan Kebesaran Gus Dur. Yogyakarta: LkiS, 2010. Fahrudin, Fuad. Agama dan Pendidikan Demokrasi Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Jakarta: Pustaka Alvabet dan Yayasan INSEP, 2006. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2012. Gellner, Ernest. Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan. Bandung: MIZAN Anggota IKAPI, 1995. Ghazali, Abd Muqsith.“Cetak Biru Toleransi Beragama,” dalam Abd Muqsith Ghazali, ed., Ijtihad Islam Liberal Upaya Merumuskan Keberagaman yang Dinamis. Jakarta; Jaringan Islam Liberal, 2005. Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos, ed. Politik Diskriminasi Rezim Susilo Bambang Yudhoyono,Kondisi Kebebasan Beragama/berkeyakinan di Indonesia 2011. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2012. Hasani, Ismail, dan Bonar Tigor Naipospos, ed. Mengatur Kehidupan Beragama; Menjamin Kebebasan, Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyainan. Jakarta: Setara Institute, 2011. Hasani-Bonar, Ismail dan Tigor Naipospos. Menjamin Kebebasan, Mengatur Kehidupan Beragama: Laporan Studi Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. Jakarta: Seatara Institute, 2011. Hasani-Bonar, Ismail, dan Tigor Naipospos. Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011. x Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI-Press dan Tintamas, 1986. Hidayat, Komaruddin. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi. Jakarta: Paramadina, 2003. Hidayat, Komarudin, dan Gaus AF. Islam, Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 2005. Hikam, Muhammad A.S. Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Erlangga, 2000. Huwaidy, Fahmi. Demokrasi Oposisi, dan Masyarakat Madani. Bandung: Mizan, 1996. Intan, Benyamin F. “Gus Dur pejuang Pluralisme Sejati”, dalam Rumadi, ed. Damai Bersama Gus Dur. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010. Kamil, Sukron, dan Chaider S. Bamualim. Syariah Islam dan HAM, Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan nonMuslim. Jakarta, Center For Studi Religion and Culture, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Karni, Asrori S. Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif Rumah Demokras. Jakarta: Logos, 1999. Kontras. Laporan Pemantauan Pemolisian dan Hak Atas Berkeyakinan, Beragama, dan Beribadah (Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor, Ciputat, Cikeusik & Jemaat Kristen HKBP Ciketing dan GKI Taman Yasmin). Jakarta: Kontras, 2012. Madjid, Nurcholis. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina, 1999. Madjid, Nurcholish,“Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani,” dalam Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo, dan UIN Jakarta Press, 2002. Madjid, Nurcholish. “Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani,” dalam Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo, dan UIN Jakarta Press, 2002. xi Madjid, Nurcholish.“Mewujudkan Masyarakat Madani,” Titik-temu, Jurnal Dialaog Peradaban, Vol. 1, No. 2 Januari-Juni 2009. Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS), 2009.. Mahmud Audah, Hasan bin. Ahmadiyah Kepercayaan-kepercayaan dan Pengalaman-pengalaman. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI). Majlis Diktilitbang, dan LPI PP Muhammadiyah. 1 Abad Muhammadiyah. Jakarta: Kompas, 2010. Marijan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta: Erlangga. 1992. Mas’ud, Muhtar, dan Colin MacAndrews. Perbandingan Sistem Politik Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1993. Mujani, Saiful. Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Yayasan Wakaf Paramadina, dan Freedom Institute, 2007. Mulia, Siti Musdah. “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia.” dalam Abdul Hakim, dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisme Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid. Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Paramadina, 2007. Munawar-Rachman, Budhi. Membela Kebebebasan Beragama Percaakapan Tentang Liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme. Jakarta: Democrazy Project, Edisi Digital, Buku 1, 2011. Munawar-Rachman, Budhy. Islam dan Liberalisme. Jakarta: Fredrich Naumann Stiftung, 2011. Nasution, Harun, dan Bahtiar Effendy. Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1987. Nata, Abuddin .Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Panggabean, Rizal, dan Ihsan Ali-Fauzi. Merawat Kebersamaan Polisi, Kebebasan Beragama dan Perdamaian. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2011. Qodir, Zuly. “Kaum Minoritas dan Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Elza Peldi Taher, ed. Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai xii Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi. Jakarta: Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), dan Kompas, 2009. Rahadjo, M. Dawam. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1999. Rasyidi, H.M. Apa itu Syiah. Jakarta: Harian Umum Pelita, 1984. Ridwan, Nur Khalik. NU dan Neoliberalisme dan Harapan Menjelang Satu Abad. Yogyakarta: LkiS, 2008. Roskin, Michael G. Political Science an Introduction. United State: Pearson, 2003. Saefulloh Fatah, Eep. “Merindukan Presiden Penjaga Konstitusi”, dalam Kolom Majalah Tempo No. 3951/14-20 Februari 2011. Jakarta: Tempo, 2011. Shofan, Moh. Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama. Yogyakarta, Samudra Biru, 2011. Sihombing, Uli Parulian ed. Ketidakadilan dalam Beriman Hasil Monitoring Kasus-kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia. Jakarta: The Indonesia Legal Resources Center (ILRC), 2012. Suaedy, Ahmad, dkk. Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2007. Suaedy, Ahmad. dan Raja Juli Antoni, ed. Para Pembaharu Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggara. Jakarta: Southeast Asian Muslims (Seamus) For Freedom and Enlightenment, 2009. Suaedy, Ahmad. Prespektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru Demokratisasi. Jakarta: The Wahid Institute, Seeding Plural and Peaceful Islam, 2009. Subiantoro, Arif , dan FX Suwarto, Metode dan Teknik Penelitian Sosial. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007. Sucipto, Hery. K.H. Ahmad Dahlan: Sang Pencerah, Pendidik, dan Pendiri Muhammadiyah. Jakarta: Best Media Utama, 2010. Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004. Suryadi Culla, Adi. Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1999. xiii Suryadi Culla, Adi. Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006. Syafii Maarif, Ahmad, dan Muhhamad Najib. “Upaya Memahami Sosok Kontraversial Gus Dur,” dalam Ahmad Suaedy dan Ulil Absar Abshar Abdalah, ed. Gila Gusdur Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS, 2000. Syafii Maarif, Ahmad. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia, makalah Orasi Ilmiah disampaikan pada acara Nurcholis Madjid Memorial Lecture. Jakarta; Paramadina, 21 Oktober 2009. Syamsudin, M. Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Logos, 2002. The Wahid Institute, Monthly Report on Religius Issue (MRORI), Edisi XXXV, Agustus 2011, 2. The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX Desember 2011- Januari 2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012. The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi MaretApril 2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012. The Wahid Institute. Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2008. The Wahid Institute. Lampu Merah Kebebasan Beragama Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011. Jakarta: The Wahid Institute, 2011. The Wahid Institute. Laporan Tahunan The Wahid Institute 2010 Pluralisme Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2010. The Wahid Institute. Monthly Report on Religius Issue (MRORI), Edisi XXXV, Agustus 2011. Jakarta: The Wahid Institute, 2011. The Wahid Institute. MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi 4 Agustus-September 2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012. The Wahid Institute. MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX Desember 2011- Januari 2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012. xiv The Wahid Institute. MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XLIII Juli 2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012. The Wahid Institute. Ringkasan Eksekutif Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Toleransi 2012 The Wahid Institute. Jakarta: The Wahid Institute, 2012. Ummah, Aniqotul, Advokasi ICRP Sebagai Civil Society Terhadap Kasus Ahmadiyah di Indonesia. Jakarta: Fisip UIN Jakarta, 2012. Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute,Seeding Plural and Peaceful Islam, 2006. Wahid, Abdurrahman. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKIS, 2000. Wahid, Solahuddin. “Nahdlatul Ulama dan Pancasila”, dalam Khamami Zeda dan A Fawaid Sjadjali. Nahdlatul Ulama Dinamika Idiologi dan Politik Kenegaraan. Jakarta: Kompas, 2010. Zannuba Wahid, Yeni, dkk. Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting. Jakarta: The Wahid Institute, 2012. B. Jurnal Gahral Adian, Donny. “Demokrasi dan Kemaslahatan Umum,” dalam Jurnal Titik Temu. Vol. 5, No. 1, Juli – Desember 2012. Jakarta: Nurcholis Madjid Society (NCMS), 2012. El-Ashary, Tohirin. “Memaknai Kemerdekaan dan Pluralisme,” Buletin Kebebasan “Memaknai Kemerdekaan dan Pluralisme. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 03/V/2007. Sunaryo. “Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia Politik Identitas dan Kekerasan atas Nama Agama.” dalam Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban. Volume 3, Nomor 1, Juli – Desember. Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS), 2010. Wahyudi, Arief . “Quo Vadis Jaminan Konstitutsi Hak Beragama/Berkeyakinan: Menguji Peran Negara,” dalam Jurnal Keadilan Sosial Mempromosikan Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial. Edisi III 2013. Jakarta: Jurnal Keadilan Sosial, The Indonesian Legal Resources Center (ILRC), dan Hivos, 2113. Ulumul Qur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, no. 3, vol. IV Tahun 1995. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), dan ICMI, 1995. xv Arief, Miftahul. “Menebar Kembali Pluralisme Agama.” Buletin Kebebasan. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 03/V/2007. Rahadjo, M. Dawam. “Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme.” Buletin Kebebasan. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 04/V/2007. C. Internet “Sejarah The Wahid Institute” http://www.wahidinstitute.org/wahid-id/tentangkami/sejarah-the-wahid-institute.html#, diunduh pada 19 Oktober 2013. “Tentang The Wahid Institute” http://wahid institute.org/wahid-id/tentangkami/tentang-the-wahid-institue.html, diunduh 26 September 2013. http://wahidinstitute.org/Dokumen/Detail/?id=193/hl=id/Memperjuangkan_Hak_ Beribadah_HKBP_Filadelfia, diunduh pada 6 Maret 2013. http://www.wahidinstitute.org/Tentang_Kami, diunduh pada 2 Januari 2013. http://wahidinstitute.org/Dokumen/Detail/?id=193/hl=id/Memperjuangkan_Hak_ Beribadah_HKBP_Filadelfia, diunduh pada 6 Maret 2013. http://www.elsam.or.id/index.php?id=1361&lang=in&act=view&cat=c/302, diunduh pada 6 Maret 2013. Tempo.com http://www.tempo.co/read/news/2012/12/24/173450192/WahidInstitute Minta-Wali-Kota-Jamin-GKI-Yasmin, diunduh pada 1 Januari 2013. D. Wawancara Wawancara Pribadi dengan M Subhi Azhari, 23 Desember 2013. Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, 24 Desember 2013. Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M Dja’far, 10 Januari 2014. xvi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Program Kerja The Wahid Institute, Struktur Pengurus The Wahid Institute, Jejaring, dan Alamat The Wahid Institute .............................................................................. xx Lampiran 2 Surat Permohonan Wawancara ........................... xvii xxiii DAFTAR LAMPIRAN A. Program Kerja The Wahid Institute memiliki banyak progam, yaitu: 1.) Kampanye Islam dan Demokrasi 2.) Pengembangan Kapasitas Muslim Progresif 3.) Monitoring Isu Keagamaan 4.) Advokasi Kebijakan Publik dan Minoritas 5.) Pemberdayaan Akar Rumput 6.) Dompet Gus Dur untuk Kemanusiaan 7.) Forum Diskusi, Seminar dan Dialog 8.) Center For Islam And Sotheast Asian Studies (CISEAS) 9.) Beasiswa Riyanto 10.) Dokumentasi dan Publikasi 11.) Program Mendatang 12.) Perpustakaan 13.) Toko Buku xviii B. Struktruk Pengurus The WAHID Institute atas Inisiatif Dari: K.H. Abdurrahman Wahid (alm), Dr. Gregorius James Barton, Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy. PENASEHAT, K.H. M. A. Sahal Mahfudz, K.H. A. Mustofa Bisri, Dr. Alwi Abdurrahman Shiab, Prof. Abdillahi Ahmed An-Naim, Prof. Mitsou Nakamura, Luhut B. Panjaitan, Wimar Witoelar, Ahmad Suaedy. SUPERVISORS, Drs. M. Sobary, MA, Prof. Dr. Mahfud MD, Lies Marcoes Natsir, MA, Dr. Syafii Anwar, dr. Umar Wahid, Yahya C. Staquf, Adhi M. Massardi, Prof. Dr. Sue Kenny JEJARING Siani Indriani, Priya Sembada, K.H. Husein Muhammad, Rm, Benny Susetyo, JH Wenas, Acep Zamzam Noer, M. Syafq Hasyim, Farha Ciciek, A. Rumadi, Marzuki Wahid, Bisri Effendi, Trisno S. Sutanto, M. Jadul Maula, M. Imam Azis, Abdul Muqsith Ghazali, Hikmat Budiman, Mufti Makarim al-Akhlaq. DIREKTUR Yenny Zanuba Wahid DIREKTUR EKSEKUTIF Anita Hayatunnufus MONITORING DAN ADVOKASI M. Subhi Azhar (Project Officer) Nurun Nisa (Aissten Project Officer) KAMPANYE DAN MEDIA xix Alamsyah M. Dja’far (Project Officer) DIVISI PEMBERDAYAAN AKAR RUMPUT Gamal Fredhi (Project Officer) PENGEMBANGAN PESANTREN DAN RADIO KOMUNITAS Badrus Samsul Fatah (Project Officer) PENGEMBANGAN EKONOMI MIKRO Visna Vulovik (Project Officer) RISET & KELAS PEMIKIRAN GUS DUR Dr. Rumadi (Project Officer) Syaiful Arif (Asisiten Project Officer) KEUANGAN Sri Handayani SEKRETARIS Siti Cholisoh UMUM Kharisma Pratiwi Ahmad Firdaus Trisno C. JEJARING Sejak berdirinya hingga sekarang, The Wahid Institute membangun jaringan, individu dan lembaga yang tersebar di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Sejumlah individu merupakan tokoh agama lokal dan pesantren yang memiliki pemikiran terbuka. xx Sementara lembaga yang menjadi yang menjadi jaringan lokal di antaranya Studi Islam dan Soisal (LsiS), Lebak, Institute for Culture and Religion, Studi (Incres) Bandung, Lembaga Sosial dan Agama (ELSA) Semarang, Center for Marginalized Comunities Studies (CMARs) Surabaya, Fahmina Institute Cirebon, Yayasan Lapar Makasar, Lemga Kajian Hukum Islam (LKHI) Palembang, Lembaga Studi kemanusiaan (Lensa) Nusa Tenggara Barat. D. Alamat The Wahid Institute Jl. Tamar Amir Hamzah No. 8 Jakarta – 10320 Phone: +6221-3928233, 3145671 Fax : +62 21-3928250 [E] [email protected] [W] www.wahidinstitute.org [facebook] The Wahid Institute [twitter] WAHIDinst1 1 Sumber Website The Wahid Institute, www.wahidinstitute.com xxi Transkrip Hasil Wawancara Dengan M Subhi Azhari Monitoring dan Advokasi The Wahid Institute Pada 23 Desember 2013. Apa peran The Wahid Institute dalam memeperjuangkan kebebesan beragama di Indonesia? The Wahid Institute adalah lembaga non pemerintahan yang didirikan pada tahun 2004 oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sejak awal di mandatkan mengkampanyenkan Islam yang rahmatan lil alamien, Islam yang damai, Islam yang bisa mengayomi kelompok minoritas. The Wahid Institute berusaha menampilkan Islam yang dapat melindungi dan memberi rasa aman kepada siapa saja termasuk kelompok minoritas di Indonesia. Bagaimana caranya?, pertama, negara harus tegas melindungi kelompok minoritas dan negara harus tegas melaksanakan konstitusi. Oleh karena itu, advokasi yang dilakukan The Wahid Institute adalah secara politis dengan bertemu kepada para pengambil kebijakan dan aparatus negara untuk mendorong negara menjalankan konstitusi bahkan menangih mereka untuk menjalankan amanat konstitusi, melakukan demostrasi, dan dengar pendapat (hearing) dengan pemerintah. Jadi, sebenarnya yang dilakukan The Wahid Institute mengingatkan negara. Kedua, pada level masyarakat sipil The Wahid Institute melakukan jejaring untuk memberkuat jaminan hukum dalam aspek perlindungi terhadap hak-hak xxii beragama. Misalnya, The Wahid Institute membangun jejaring organisasi masyarakat di berbagai daerah yang memiliki isu yang sama. Sedangkan pada level grasroot The Wahid Institute bergerak dalam aspek pendidikan yaitu memberikan pemahaman kepada para pemuka agama, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan tokoh masyarakat mengenai hak-hak beragama, jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama dan untuk memperkuat mereka dalam hal resolusi konflik. Kemudian, memberikan pemahaman kepada para pemuka agaman mengenai hak-hak beragama termasuk menggali khazanah keislaman yang berpihak melindungi minoritas. Selain itu, The Wahid Institute melakukan pendampingan terhadap korban yang terdiskriminasi hak-hak beragamanya baik itu perorangan maupun kelompok seperti, Ahmadiyah dan Syiah. Lalu, melakukan pendekatan ke lembaga pendidikan pesantren yang ada di Bogor. Seperti, Pesantren Al-Ghazali dan Pesantren Nurul Falaq. Bagaimana advokasi terhadap Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor? Pada dasarnya semua pembatasan pendirian rumah ibadah baik itu Pure, Wihara, Masjid, dan Gereja merupakan pelanggaran kebebasan beragama. Karena setiap orang di jamin haknya untuk beribadah dan berhak untuk mendirikan rumah ibadah. Dalam kasus pendirian rumah ibadah GKI Taman Yasmin, The Wahid Institute melakukan pendekatan audensi ke partai politik yang ada di pusat untuk mengingatkan anggota partai politik yang ada di Bogor, para pemuka komunitas seperti, tokoh masyarakat, adat, dan orang-orang yang mempunyai xxiii pengaruh secara sosial. Dalam ranah hukum The Wahid Institute berkoalisi dengan lembaga-lemabaga yang bergerak di bidang hukum seperti, Lemabaga Bantuan Hukum Indonesi (LBHI) Jakarta, dan Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Melakukan press conference sebagai pernyataan sikap terhadap kasus GKI Taman Yasmin tersebut. Kemudian, melakukan jurnalis brefing mengundang sejumlah wartawan yang ada di Bogor memberikan pemahaman terkait kasus yang ada, dan memberikan prespektif The Wahid Wahid mengenai kasus tersebut sehingga media dapat menyajikan berita secara objektif. Selanjutnya, The Wahid Institute juga melakukan pembelaan langsung kepada Sekertaris Walikota Bogor, Kapolres Bogor untuk menjamin keamanan terhadap jemaat GKI Yasmin, serta anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bogor. Selain itu, The Wahid Institute melakukan kampanye tentang kebebasan beragama ke berbagai daerah, bahkan ke level Internasioanal seperti, Uni Eropa dan Human Right. Apa dampak pembelaan yang dilakukan The Wahid Institute.? Dampak nyata kasus ini, pemerintah mendapatkan pekerjaan besar yang harus segera di selesaikan. Pemerintah juga mendapatkan tekanan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan kasus HKBP Filadelfia Bekasi, Ahmadiyah, dan Syiah. Kemudian, dampak secara langsung semakin kuatnya tekanan terhadap pemerintah karena selama ini pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap kasus tersebut. Selain itu, dampak dari perjuangan The Wahid Institute telah xxiv membangun kesadaran masyarakat tentang kebebasan beragama dan telah terjadi tindakan intoleransi terhadap kelompok minoritas. Bagaimana advokasi langsung Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi.? Melakukan jurnalis brefing kepada media massa agar menyajikan berita secara objektif, melakukan lobi terhadap Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Bekasi agar bersifat netral dan bersikap sebagai resolusi konflik yang dapat mendamaikan antara kedua belah pihak. Pada level pemerintahan, The Wahid Institute melakukan lobi ke dewan pertimbangan Presiden, Ombudsman RI, Mahkamah Kunstitusi (MK), fraksi DPR PDIP, Golkar, dan ketua DPR RI Marzuki Ali. Selain itu, melakuakan kerjasama Komnasham, Komnas Perempuan. Bagaimana pola advokasi The Wahid Institute terhadap Syiah di Sampang.? The Wahid Institute banyak melakukan jejaring dengan Cemars Center for Marginalized Comunities Studies (CMARs) Surabaya. Peran yang dilakukan oleh CMARs yaitu, pendampingan ke ranah hukum, pembelaan, dan investigasi. Selanjutnya, CMARs melakukan pendekatan kepada Bupati Sampang, namun dari hasil pertemuan tersebut sikap Bupati Sampang kurang bersikap toleran terhadap warga Syiah, bertemu dengan Wakil Gubernur Jawa Timur untuk menjamin warga Syiah. Kemudian, The Wahid Institute melakukan diskusi dengan CMARs sendiri, pendekatan ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surabaya, Nahdlatul Ulama (NU), dan FKUB. Pertemuan tersebut sebenarnya untuk mencari solusi terkasit kasus Syiah di Sampang. xxv Bagaiman The Wahid Institute melakukan penyadaran terhadap warga NU yang ikut melakukan tindakan diskriminasi dan mengeluarkan fatwa bahwa Syiah sesat.? The Wahid Institute mengingatkan terhadap warga NU yang ikut terlibat aksi kekerasan, supaya pandangan-pandangan tersebut tidak di apalikasikan dalam bentuk kekerasan. Bagaimana peran The Wahid Institute terhadap jemaat Ahmadiyah.? Advokasi The Wahid Institute di lapangan melakukan investigasi di lapangan dan berkoalisi dengan beberapa lembaga yang bergerak di bidang hukum seperti, LBH Jakarta dan YLBH. Apa alasan The Wahid Institute melakukan pembelaan terhadap kebebasan beragama.? Setiap orang berhak mendapatkan kebebasan yang sama untuk beribadah dan menyakini agama, hal ini sesuai dengan amanat konstitusi. Begitu juga dalam Islam membrikan jaminan dalam beragam dan beribadah. Dengan demikian, The Wahid Institute berorientasi menegakan konstitusi dan menegakan ajaran Islam. Tantangan The Wahid Institute? Pertama, penegakan hukum di Indonesia belum berjalan secara maksimal. Kedua, sikap intoleran di masyarakat yang cukup tinggi. Ketiga, faktor ekonomi dan politik yang dapat memicu terjadi konflik kekerasan di Indonesia. Sumber dana The Wahid Institute? xxvi Untuk sumber dana berasal dari keluarga Gus Dur, Asia Fondation, Keduataan Amerika, Kedutaan Australia, dan Yayasan Tifa. Transkrip Hasil Wawancara Dengan Ahmad Suaedy Direktur The Wahid Institute, pada 24 Desember 2013 Kapan sejarah berdirinya The Wahid Institute? Sekitar tahun 2003, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ahmad Suaedy, Yenni Zanuba Wahid, dan Greg Barton berkumpul untuk membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bertujuan untuk mewujudkan pemikiran Gus Dur Islam perdamaian dan Islam keidonesiaan. Serta mempunyai program workshop, pelatihan, ekonomi dan kaderisasi. Apa peran The Wahid Institute terhadap Gereja Kristen Indonesia (GKI) Tamana Yasmin Bogor.? The Wahid Institute melakukan kritik terhadap pemerintah pusat untuk menegakan konstitusi dan melindungi korban GKI Taman Yasmin. Hal ini sesuai dengan keputusan Mahmakah Agung (MA), keputusan Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Bandung, dan Ombudsman RI. Kemudian, mendampingi korban ke pengadilan sebagai bentuk dukungan moril kepada korban, investigasi kasuskasus yang berkaitan dengan kasus tersebut, dan press konference untuk menyikapi kasus yang sedang berlangsung. Peran The Wahid Institute terhadap HKBP.? xxvii Menganalis investigasi dan analiss dikirim ke pihak DPR RI, DPRD Kabupaten, MUI, melakukan conferensi press sehingga kasusnya bisa di baca oleh banyak orang, dan melakukan lobi-lobi ke komisi hukum. Bagaimana pola advokasi The Wahid Institute terhadap kasus Syiah di Sampang.? Dalam advokasi kasus Syiah di Sampang, The Wahid Institute melakukan kerjasama dengan jejaring The Wahid Institute yaitu, Center for Marginalized Comunities Studies (CMARs) Surabaya. Peran yang dilakukan oleh CMARs yaitu, pendampingan ke ranah hukum, pembelaan, dan investigasi. Pada level parlemen, The Wahid Institute melakukan pendekatan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) RI dan pengambil kebijakan. Pada level organisasi masyarakat (ormas) The Wahid Institute bertemu dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surabaya, Nahdlatul Ulama (NU), dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk mencari solusi kasus Syiah tersebut. Kemudian, bertemu dengan tokoh masyarakat lokal Kiai Basit dan Abdul Ghazali. Bagaiaman menyadarkan warga NU yang ikut terlibat dalam kasus Syiah.? Dengan melalui tokoh-tokoh masyarakat lokal, dan tokoh NU untuk mengingatkan kepada warga NU agar jangan sampai melakukan tindakan kekerasan terhadap aliran Syiah. Bagaimana peran The Wahid Institute terhadap kasus Ahmadiyah di Cikeusik Banten.? xxviii The Wahid Institute melakukan penyadaran melalui media massa, dan pendekatan lobi ke lembaga negara DPR RI. Kemudian, melakukan investigasi dan hasilnya di kirim ke para pengambil kebijakan negara yaitu Presiden. Tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia.? Tidak adanya ketegasan pemerintah dan tidak ada keperpihakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap kelompok minoritas. Presiden SBY juga justru berperan sebagai pelayan MUI yang menjalankan fatwa-fatwanya. Dalam hal ini berarti SBY telah melanggar konstitusi negara. Selanjutnya, sikap Pemerintah Sampang yang tidak tegas dalam menangani persoalan kekerasan Syiah dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang menyatakan bahwa aliran Syiah sesat. Kenapa The Wahid Institute memfokuskan kebebasan beragama? Sesuai dengan visi dan misi The Wahid Institute yaitu mewujudkan pemikiran Gus Dur membangun masyarakat yang berkeadilan, menjunjung tinggi pluralisme dan kebebasan beragama di Indonesia. Bagaiamana menyikapi UU PNPS 1965? Seharusnya UU tersebut di revisi kembali oleh DPR RI, karena di dalam UU tersebut hanya menyebutkan enam agama resmi saja. Maka, UU ini mendiskriminasi kelompok aliran kepercayaan lain seperti, Syiah, Ahmadiyah, dan aliran kepercayaan yang ada di Indonesia. Sumber dana The Wahid Institute? xxix Untuk sumber dana The Wahid Institute yaitu dari kelurga Gus Dur (Yenni), untuk masalah program The Wahid Institue mendapatkan dana dari Keduataan Australia, Kedutaan Amerika, Asia Foundation, dan Tifa. Transkrip Hasil Wawancara Dengan Alamsyah M Dja’far Media dan Kampanyae The Wahid Institute, pada 10 Januari 2014 Bagaimana The Wahid Institute memandang hubungan agama dan negara? The Wahid Institute memandang pentingnya hubungan agama dan negara. Faktanya, agama tidak bisa dipisahkan dari negara, karena sumbangsih agama bagi kebangsaan cukup besar. Sehingga adanya upaya memasukan kerangka nilainilai agama di dalam negara. Seperti halnya, Kementrian Agama (Kemenag), KUA, dan Undang-undang Pernikahan. Bagaimana meyikapai peran Kementerian Agama? Awal berdirinya Kementerian Agama menuai banyak polemik dari orang non-muslim yang tidak setuju dengan lembaga tersebut, dengan alasan hanya akan mengakomodir kelompok tertentu saja. Kemudian, akhir-akhir ini penolakan tersebut muncul kembali, karena Kementerian Agama mengakui hanya enam agama resmi saja. Padahal, agama di Indonesia banyak sekali seperti, agama Zoroatser dan Thaoisme. Lalu, adanya diskriminasi terhadap aliran kepercayaan. Akan tetapi, yang jadi permasalahanya adalah pada praktek pelayanan Kementrian Agama itu sendiri, apakah pelayananya diskrimatif atau tidak. Jadi, bukan pada Kementrian Agama dibubarkan atau tidak. Semestinya, yang diatur xxx Kementerian Agama bukan keyakinannya, tapi masalah fasilitas keagamaan. Negara tidak boleh campur tangan dalam urusan agama bahkan menentukan aliran sesat atau tidak sesat. Bagaimana dengan orang yang tidak beragama? Dalam hal ini, The Wahid Institute berperan terhadap persoalan kebebasan beragama, menghargai semua warga negara, baik yang beragama dan yang tidak beragama. Berdasarkan UU Kovenan International, Pasal 18 Tahun 2005 mengenai hak sipil dan politik. Bahwa, setiap orang berhak untuk memeluk kepercayaan yang diyakininya, berpindah agama, dan melindungi orang yang tidak beragama (Ateis). Oleh karena itu, setiap orang yang menganut kepercayaan maupun orang yang tidak beragama harus tetap dilindungi. Begitu juga, dengan aliran-aliran agama baru di Indonesia. Negara model apa yang di inginkan oleh The Wahid Institute? The Wahid Institute menginginkan negara Pancasila. Karena dapat mengakomodir semua kepentingan, dan idiologi dari semua golongan. Pancasila merupakan titik temu yang dapat menyatukan seluruh elemen masyarakat Indonesiaan. Dengan demikian, Pancasila merupakan hasil yang sudah final dan harus dijaga oleh setiap elemen masyarakat seluruh Indonesia. Karena itu, nilainilai Pancasila adalah dasar idiologi bangsa dan bernegara. Pancasila bukan hanya wacana, melainkan untuk mewujudkan menanamkan kebersamaan, dan kebebasan beragama di Indonesia. xxxi nilai-nilai etika, Apa alasan The Wahid Institute membela Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor? The Wahid Institute diminta oleh sekelompok orang untuk melakukan pembelaan terhadap pihak GKI Taman Yasmin, dan The Wahid Institute juga mempunyai konsen terhadap pembelaan korban kekerasan dan kebebasan dalam mendirikan rumah ibadah. Apa tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan GKI Taman Yasmin.? Dari segi advokasi hukum mengalami kendala yang cukup berat. Misalnya, dari segi hukum, aparat penegak hukum tidak tegas dalam menangani persoalan hukum di Indonesia, para hakim tidak bersikap adil dalam memutuskan perkara terhadap pelaku kekerasan. Kemudian, persoalan kepemimpinan yang ikut terlibat dalam kasus tersebut. Apa alasan dan tantangan The Wahid Institute melakukan pembelaan terhadap Gereja Huria Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi.? Pemerintah tidak melaksanakan konstitusi dalam menjamin kebebasan beragama dan beribadah. Sehingga The Wahid Institusi membantu meperjuangkan hak korban untuk mendirikan rumah ibadah. Namun, The Wahid Institute mengalami kendala yaitu, para penegakan hukum tidak adil dalam menangani persoalan kasus kekerasan dan kebebasan mendirikan rumah ibadah. Begitu juga dengan sikap para pemimpin daerah yang ikut terlibat terhadap kasus tersebut. Apa alasan dan tantangan The Wahid Institue melakukan pembelaan terhadap aliran Syiah di Sampang Madura.? xxxii Alasan The Wahid Institute melakukan pembelaan terhadap korban kasus Syiah di Sampang, Madura. Bahwa, setiap warga negara berhak untuk berkeyakinan sesuai dengan kepercayaanya. Seharusnya, negara menjamin kebebasan beragama, berkeyakianan sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18 dan 19 ayat 1 dan 2. Dalam perjuangannya, The Wahid Institute mengalami kendala pada level masyarakat dan level pemerintah. Contohnya, adanya penegakan hukum yang tidak tegas dalam soal kebebasan beragama dan para hakim tidak bersikap adil dalam memutuskan perkara kasus Syiah Sampang, Madura. Apa alasan dan tantangan The Wahid Institute melakukan pembelaan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Banten.? Alasannya The Wahid Institue melakukan advokasi kepada jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, ialah, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan beragama dan berkeyakinan. Namun, dalam peranya The Wahid Institute mengalami kendala yang cukup berat. Contohnya, para penegak hukum tidak adil dan tidak objektif menangani kasus kekerasan Ahmadiyah Cikeusik, Banten. Karena pelaku kekerasan hanya di hukum ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan tersebut. xxxiii