civil society dan kebebasan beragama di

advertisement
CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA
DI INDONESIA: STUDI KASUS THE WAHIDINSTITUTE
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Syaefullah
107033201757
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
ABSTRAK
Skripsi ini memfokuskan pada pembahasan The Wahid Institute sebagai
civil society dalam memperjuangkan kebebasan beragama, toleransi, dan nilainilai demokrasi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa peran The Wahid
Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama dan melindungi kelompok
minoritas. Hal ini sesuai dengan visi The Wahid Institute yakni mewujudkan citacita intelektual Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk membangun kehidupan
bangsa Indonesia, bangsa yang sejahtera, serta umat manusia yang berkeadilan
sosial dan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, dan Hak
Asasi Manusia (HAM) yang diinspirasi oleh Islam.
Penelitian ini menggunakan studi pustaka dan wawancara dengan Ahmad
Suaedy Direktur The Wahid Institute, Subhi Azhari Monitoring dan Advokasi The
Wahid Institute, dan Alamsyah M. Dja’far Kampanye dan Media The Wahid
Institute. Penelitian ini menjelaskan, bahwa The Wahid Institue rutin melakukan
advokasi terhadap korban kekerasan agama, aliran kepercayaan, rumah ibadah,
dan kelompok minoritas. Salah satu pembelaan yang dilakukan The Wahid
Institute ialah kepada Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor,
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi, aliran Syiah di
Sampang, Madura, dan kasus Ahmadiyah Cikeusik Banten.
Dalam skripsi ini menggunakan strategi yang dilakukan oleh kelompok
kepentingan dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan keadilan
sosial. Pertama, melalui penegak hukum. Kedua, pendekatan terhadap
pemerintah. Ketiga, pendekatan dalam hukum. Keempat, pendekatan ke publik.
Kelima, demonstrasi, dan keenam, menyuarkan protes. Dengan kerangka teori
tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjungan The Wahid Institute bisa terwujud
dengan melakukan pendekatan kepada aparat pemerintah maupun lembaga
penegakan hukum.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Besar
Muhammad SAW. Penulis dapat menyelesaikan salah satu kewajiban akademik
yang merupakan prasyarat dalam rangka meraih gelar Sarjana Sosial di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis haturkan kepada berbagai pihak yang
ikut memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini yang berjudul “Civil
Society dan Kebebasan Beragama di Indonesia: Studi Kasus The Wahid
Institute”. Adapun ucapan terima kasih penulis haturkan yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Ali Munhanif, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si selaku dosen pembimbing, dan Sekretaris
Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Kepada seluruh dosen dan staf pengajar Program Studi Ilmu Politik yang
telah banyak memberikan ilmunya selama penulis menempuh proses
perkuliahan.
ii
5. Kepada Bapak Ahmad Suaedy, Bapak M Subhi Azhari, dan Bapak
Alamsyah M. Dajafar yang telah meluangkan waktunya untuk bersedia di
wawancara, serta kepada staf The Wahid Institute yang telah memberikan
data-data mengenai isu kekerasan agama.
6. Kepada kedua orang tuaku yang telah memberikan kasih sayang serta
doanya.
7. Kepada kawan-kawan diskusi Indonesian Culture and Academic (INCA),
Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), dan teman-teman Ilmu Politik
angkatan 2007, Adi Ridwan, Siswo, Beni Azhar, Lupih Nurhadi, Deni
Humaidi, Adik Saiful Safkri, Neneng, Siti Masitoh.
Semoga Allah SWT Yang Maha Pemurah dapat memberikan petujuk dan
hidayah-Nya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis masih banyak kekuranagan
dalam melakukan penelitian ini, oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan
saran dari dosen, pembimbing, dan penguji.
Jakarta, 1 Januari 2014
Penulis
Syaefullah
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................
i
KATA PENGANTAR .....................................................................................
ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................
vi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ................................................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................
9
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................
9
E. Metodologi Penelitian................................................................ 11
F. Sistematika Penelitian ............................................................... 12
BAB II CIVIL SCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA
A. Konsep Civil Society ................................................................. 14
B. Civil Society dan Demokrasi .................................................... 22
C. Kebebasan Beragama ............................................................... 26
BAB III THE WAHID INSTITUTE DAN PLURALISME DI INDONESIA
A. Sejarah Singkat The Wahid Institute ......................................... 31
B. Visi dan Misi The Wahid Institute ............................................ 37
C. Pluralisme dan Toleransi di Indonesia ...................................... 40
C.1 Pluralisme ........................................................................... 40
C.2 Toleransi ............................................................................. 44
BAB IV PERAN THE WAHID INSTITUTE TERHADAP KEBEBASAN
BERAGAMA DI INDONESIA
A. Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor ....................... 54
B. Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bekasi ............ 59
iv
C. Aliran Syiah di Sampang Madura ............................................ 64
D. Ahmadiyah di Cikeusik Banten ............................................... 68
E. Tantangan
The
Wahid
Institute
dalam
Memperjuangkan
Kebebasan Beragama di Indonesia ........................................
BAB V
74
KESIMPULAN
A. Kesimpulan .............................................................................
78
B. Saran .......................................................................................
79
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
ix
LAMPIRAN.................................................................................................... xviii
v
DAFTAR TABEL
Tabel I
Korban Intoleransi dan Diskriminasi 2010 .................................. 50
Tabel II
Korban Intoleransi dan Diskriminasi 2011 .................................. 51
Tabel III
Korban Intoleransi dan Diskriminasi 2012 .................................. 52
vi
DAFTAR SINGKATAN
ABRI
: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
AD/ART
: Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
AKKB
: Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
AS
: Amerika Serikat
BASRA
: Badan Urusan Silaturahmi Ulama
CMARs
: Center Marginalized Communites Studies
DEPAG
: Departemen Agama
DPRD
: Dewan Parwakilan Rakyat Daerah
FKUB
: Forum Kerukunan Umat Beragama
FKUI
: Forum Kerukunan Umat Islam
FORDEM
: Forum Demokrasi
GKI
: Gereja Kristen Indonesia
GOLKAR
: Golongan Karya
GOR
: Gelanggang Olahraga
HAM
: Hak Asasi Manusia
HKBP
: Huria Kristen Batak Protestan
ICCPR
: International Covenant on Civil Political Right
ICMI
: Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
ICRP
: Indonesian Conference on Religion and Peace
IMB
: Izin Mendirikan Bangunan
INPRES
: Instruksi Presiden
JAI
: Jamaah Ahmadiyah Indonesia
KEMENAG
: Kementrian Agama
KOMNASHAM
: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
KTP
: Kartu Tanda Penduduk
KUHP
: Kitab Undang-undang Hukum Pidana
LBH
: Lembaga Bantuan Hukum
LSI
: Lembaga Survey Indonesia
vii
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
MA
: Mahkamah Agung
MENDAGRI
: Menteri Dalam Negeri
MUI
: Majlis Ulama Indonesia
MUNAS
: Musyawarah Nasional
NI
: Negara Islam
NU
: Nahdlatul Ulama
ORBA
: Orde Baru
ORMAS
: Organisasi Masyarakat
PBNU
: Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
PCNU
: Pimpinan Cabang Nahdaltul Ulama
PEMDA
: Pemerintah Daerah
PEMKOT
: Pemerintah Kota
PERDA
: Peraturan Daerah
PERGUB
: Peraturan Gubernur
PMB
: Peraturan Menteri Bersama
PN
: Pengadilan Negeri
PTUN
: Pengadilan Tata Usaha Negeri
RI
: Republik Indonesia
SDI
: Syarikat Dagang Islam
SDI
: Serikat Dagang Islam
SEJUK
: Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman
SK
: Surat Keputusan
SKB
: Surat Keputusan Bersama
UU
: Undag Undang
UUD
: Undang Undang Dasar
YLBHI
: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pernyataan Masalah
The Wahid Institute merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
bertujuan mengembangkan Islam yang damai, toleransi, penegakan hukum,
multilkulturalisme, dan nilai-nilai demokrasi. Mulai tahun 2005, The Wahid
Institute melakukan pendokumentasian terkait isu kebebasan beragama di
Indonesia.1
Sejak berdiri pada 7 September 2004, The Wahid Institute memiliki visi
yang sesuai dengan cita-cita intelektual Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk
membangun kehidupan bangsa Indonesia dan umat manusia yang berkeadilan
sosial dengan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, dan
Hak Azasi Manusia (HAM) yang diinspirasi nilai-nilai Islam.2
Dalam kiprahnya, selama ini The Wahid Institute rutin melakukan
pemantauan yang difokuskan kepada penggalian data dan informasi. Seperti kasus
Ahmadiyah di Cikeusik Banten, aliran Syiah di Sampang Madura, sengketa rumah
ibadah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor dan Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi, serta pembelaan terhadap korban
1
The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakian dan Toleransi di
Indonesia 2010 (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), ii.
2
The Wahid Institute, http://www.wahidinstitute.org/Tentang_Kami, diunduh pada 2
Januari 2013.
1
kekerasan dan kebebasan beragama di Indonesia.3 Oleh karena itu, The Wahid
Institute mempunyai peran yang signifikan terhadap kebebasan beragama,
multikulturalisme, dan nilai-nilai demokrasi.
Setidaknya ada dua peran penting yang dilakukan oleh The Wahid Institute,
yaitu, pertama, yang berkaitan dengan tindakan pelanggaran kebebasan beragama
di Indonesia. Kedua, berkaitan dengan masa depan kebebasan beragama di Tanah
Air.4
Akhir-akhir ini banyak aksi kekerasan, penganiayaan, dan anarki sosial
yang mengatasnamakan agama. Selain itu, perusakan tempat ibadah dari aliran
kepercayaan, kelompok minoritas dan penodaan kegiatan ritual keagamaan yang
kerap terjadi di sejumlah tempat di Indonesia adalah bukti nyata tidak
terbantahkan.5
Di antara banyaknya aksi kekerasan di Indonesia, pertama, kasus Gereja
Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, Bogor, Jawa Barat. Selama ini,
pendirian rumah ibadah GKI Yasmin Bogor telah diizinkan oleh Pemerintah
Daerah (Pemda) pada 13 Juli 2006. Walikota Bogor telah mengeluarkan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) melalui Surat Keputusan Walikota Nomor 645.8372 Tahun 2006.6
3
The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakian dan Toleransi di
Indonesia 2010, 1.
4
The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama, Laporan Kebebasan
Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), 12.
5
Departemen Agama RI, Riuh di Beranda Satu, Peta Kerukunan Umat Beragama di
Indonesia, Seri II (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan
Puslitbang Kehidupan Beragama, 2011), 82.
6
Kontras, Laporan Pemantauan Pemolisian dan Hak Atas Berkeyakinan, Beragama, dan
Beribadah (Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor, Ciputat, Cikeusik & Jemaat Kristen
HKBP Ciketing dan GKI Taman Yasmin) (Jakarta: Kontras, 2012), 18.
2
Pada 10 Februari 2008, pembangunan rumah ibadah GKI Taman Yasmin
tersebut menuai protes dan unjuk rasa bertajuk “selamatkan aqidah umat” yang
berlangsung di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota
Bogor dan Balai Kota Bogor. Acara ini dihadiri oleh organisasi masyarakat
(ormas) Islam Kota Bogor yang dikoordinir oleh Forum Umat Islam (FUI) dan
warga sekitar perumahan Taman Yasmin dan Tanah Sareal, Bogor. Mereka
menuntut
pembubaran
Ahmadiyah
di
Bogor
dan
penolakan
terhadap
pembangunan tempat ibadah GKI Taman Yasmin dan Gereja Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) Tanah Sareal tersebut.
Akhirnya tuntutan diterima oleh Pemerintah Kota Bogor. Pada 14 Februari
2008, Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 503/367/208-OTK Perihal Pembekuan IMB Gereja GKI
Taman Yasmin. Pada Tanggal 25 Februari 2008, Wali Kota Bogor mengeluarkan
surat Nomor 503/367/HUK Perihal Pembatalan Rekomondasi Walikota yang
tertera dalam Surat Keputusan Walikota Nomor IMB601/389/Pem Perihal
Pembangunan GKI Taman Yasmin.7
Kedua, kasus penyegelan Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi Jawa Barat.
Selama dua tahun jemaat HKBP Filadelfia tidak bisa menjalankan ibadah
sebagaimana mestinya. Mereka beribadah di tepi jalan Desa Jejalen Jaya,
Tambun, Bekasi, karena bangunan HKBP Filadefia disegel berdasarkan Peraturan
Daerah (Perda) No. 7 Tahun 1996. Kemudian jemaat HKBP Filadelfia
melaporkan kasus ini ke PTUN Bandung pada tahun 2010. Pengadilan Tata Usaha
7
Kontras, Laporan Pemantauan Pemolisian dan Hak Atas Berkeyakinan dan Hak Atas
Berkeyakinan, Beragama, dan Beribadah (Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor, Ciputat,
Cikeusik & Jemaat Kristen HKBP Ciketing dan GKI Taman Yasmin), 20.
3
Negeri (PTUN) Bandung pun mengabulkan tuntutan HKBP Filadelfia. PTUN
menganggap bahwa penghentian dan pelarangan kegiatan ibadah melanggar HAM
dan UUD 1945.8
Ketiga, kekerasan terhadap aliran Syiah. Peristiwa ini terjadi pada Kamis 29
Desember 2011. Sekitar 500 massa yang mengatasnamakan pengikut aliran Sunni
merusak pesantren milik warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang
Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, Madura. Atas kejadian tersebut, 253 warga
Syiah diungsikan ke Gelanggang Olah Raga (GOR) Wijata Kusuma, Sampang
Madura.
Peristiwa ini adalah kasus kedua yang terjadi pada bulan April 2011. Saat
itu masyarakat tidak setuju dengan keberadaan Syiah karena ajarannya yang
bertentangan dengan Islam. Dalam perkembangannya mereka mengancam warga
Syiah untuk; 1) Menghentikan semua kegiatannya dan kembali kepada ajaran
Islam. 2) Meninggalkan (di usir) wilayah Sampang tanpa ganti rugi lahan. 3) Jika
dua poin tersebut tidak dilaksanakan, maka jemaat Syiah harus mati.9
Setelah menerima tindakan kekerasan dan penyerangan, Roisul Hukama
melaporkan Ustadz Tajul Muluk selaku pimpinan Syiah ke Polres Sampang atas
tuduhan penodaan agama, khususnya pernyataan bahwa Al-Qur’an tidak asli lagi.
Akibatnya Tajul Muluk dipidana selama dua tahun penjara. Menurut Majelis
Hakim Pengadilan Negeri, Tajul Muluk melakukan penyebaran ajaran Syiah di
8
The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX Desember
2011- Januari 2012 (Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 10.
9
Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011,
(Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada, 2011),
29.
4
Mushola dan Masjid dengan mengajarkan bahwa rukun Islam ada 8 dan rukun
iman ada 5. Lalu, Tajul Muluk mengajukan banding, namun Pengadilan Tinggi
(PT) Jawa Timur malah memperberat hukuman kepada Tajul Muluk menjadi 4
tahun penjara.10
Keempat, kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, pada 6
Februari 2011. Kejadian ini megakibatkan tiga orang meninggal dunia, lima orang
luka-luka, dan satu rumah milik jemaat Ahmadiyah rusak. Kasus penyerangan
terhadap jemaat Ahmdiyah di Cikeusik Banten, merupakan kekerasan terbesar
terhadap jemaat Ahmadiyah di Indonesia.
Akibat kasus Ahmadiyah di Cikeusik tersebut, mulai berkembang aturan
yang membatasi kegiatan jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Misalnya, Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa
Agung, Peraturan Bupati (Perbub) Pandeglang, Banten Erwan Kurtubi, No. 5
Tahun 2011, tanggal 21 Februari 2011, dan Peraturan Gubernur (Pergub) Banten
Ratu Atut Chosiyah No. 5 Tahun 2011, tanggal 11 Maret 2011 tentang pelarangan
Ahmadiyah.11
10
Uli Parulian Sihombing, Ketidakadilan dalam Beriman Hasil Monitoring Kasus-Kasus
Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia (Jakarta, Setara
Institute, 2012), 55.
11
Peraturan Bupati Pandeglang Banten No. 5 Tahun 2011; Larangan melakukan aktivitas
atau kegiatan dalam bentuk apapun di wilayah Kabupaten Pandeglang. Kegiatan dimaksudkan
sebagai bentuk penyebaran faham, menceritakan, menganjurkan atau segala usaha, upaya
perbuatan penyebaran paham. Alasan, untuk menjaga dan memelihara kondusifitas dan stabilitas
keamanan, ketenteraman dan ketertiban di Kabupaten Pandeglang Banten. Kemudian, peraturan
Gubernur Banten No. 5 Tahun 2011; Larangan kepada penganut dan pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indnesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, melakukan aktivitas atau kegiatan berupa
penyebaran ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan, langsung mapun melalui media cetak ataupun
media elektronik; memasang papan nama atau identitas lain Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
yang dapat diketahui umum; memasang nama pada masjid, mushola, lembaga pendidikan dan lainlain dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI); menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah
5
Menyikapi kasus di atas tersebut, The Wahid Institute melakukan
perjuangan pembelaan terhadap korban kekerasan dan kelompok minoritas.
Antara lain; pertama, mendesak kepada pemerintah untuk lebih tegas menghadapi
organisasi masyarakat (ormas) pelaku kekerasan atas nama agama. Kedua,
pengaturan mengenai agama oleh pemerintah baik pusat maupun daerah harus
melibatkan kelompok minoritas yang menjadi objek kekerasan. Ketiga, mendesak
Presiden agar memerintahkan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk
merevisi dan mencabut peraturan yang bertentangan dengan kebebasan beragama
dan berkeyakinan.12
The Wahid Institute menilai negara tidak tegas dalam menangani kasus
kekerasan dan kebebasan beribadah. Negara absen, lalai, dan lambat dalam
mengatasi kasus kekerasan yang bernuansa SARA. Bahkan, negara dinilai sebagai
aktor kekerasan yang kerap kali melakukan intimidasi terhadap kelopok minoritas,
aliran kepercayaan, dan rumah ibadah di Indonesia.13
Dalam hal ini, ada dua bentuk cara negara dalam melakukan pelanggaran.
Pertama, dengan cara tindakan aktif yang memungkinkan terjadinya pembatasan,
pembedaan, campur tangan, atau membatasi hak-hak seseorang dalam beragama
dan berkeyakinan. Kedua, dengan cara membiarkan hak-hak seseorang menjadi
Indonesia (JAI) dalam segala bentuknya; menyebarkan dan menafsirkan kegiatan menyimpang
dari pokok-pokok ajaran Islam. The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama
Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 (Jakarta: The Wahid Institute,
2011), 33-34.
12
The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama Laporan Kebebasan
Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011, 11.
13
Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, ed., Mengatur Kehidupan Beragama:
Menjamin Kebebasan, Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyainan
(Jakarta: Setara Institute, 2011), 44.
6
terlanggar, termasuk membiarkan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang tidak diproses secara hukum.14
Tindakan yang dilakukan oleh aktor negara tersebut melanggar UUD
Negara RI 1945 Pasal 28 I ayat (1), Pasal 28 E, dan UU No. 29 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 4.15 Kebebasan untuk memilih agama
atau kepercayaan tertentu merupakan hak setiap orang untuk menentukan pilihan
sesuai dengan keimanan yang diyakininya. Semua orang berhak memiliki hak atas
berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hal ini juga mencakup akan kebebasan
memeluk agama, baik secara individu maupun secara kolektif dan di ranah publik
maupun privat.16
Secara historis, jauh sebelum kemerdekaan para founding father menyikapi
dan menghormati perbedaan keyakinan tersebut dengan baik. Gagasan yang
dibangun dengan merumuskan “Bhineka Tunggal Ika” untuk mewujudkan cita-
14
Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, ed., Politik Diskriminasi Rezim Susilo
Bambang Yudhoyono, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: Setara
Institute, 2012), 19.
15
Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan:“Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan. Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa
setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga
diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2)
UUD 1945 juga menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk
memeluk agama. Sementara Pasal 4 UU No. 29 Tahun 1999 tentang HAM; “ hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaa di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun” Lihat Undang-Undang Dasar 1945, dan UU
Tahun 1999.
16
Sukron Kamil dan Chaidir S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM, Dampak Perda
Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan non-Muslim (Jakarta, Center For
Studi Religion and Culture (CSRC), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 15.
7
cita luhur bangsa.17 Hal ini sesuai dengan pandangan Ahmad Syafii Maarif,
bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, semua prinsipnya dapat
diterima Islam.18 Etos Islam saling menghargai akan perbedaan, egaliterian,
humanisme, dan pluralistik.
Salah satu syarat terwujudnya masyarakat yang demokratis adalah
terwujudnya masyarakat yang majemuk atau pluralis. Kemajemukan merupakan
sunnatullah (hukum alam). Masyarakat yang majemuk memiliki budaya dan
aspirasi beraneka ragam, tetapi mereka harus memiliki kedudukan yang sama,
serta tidak ada superioritas etnis, agama, suku, dan kelompok yang lainnya.19
Untuk mengetahui lebih jelas lagi mengenai peran The Wahid Institute
terhadap kebebasan beragama di Indonesia, maka dalam skripsi ini akan
memfokuskan pembahasannya pada tema
“Civil Society dan Kebebasan
Beragama di Indonesia: Studi Kasus The Wahid Institute.”
B.
Pertanyaan Penelitian
Fokus penelitian ini mengenai tema “Civil Society dan Kebebasan Beragama
di Indonesia: Studi Kasus The Wahid Institute.” Maka penelitian ini akan
menganalisa tentang kebebasan beragama di Indonesia. Oleh karena itu, rumusan
masalahnya dibatasi pada:
1. Bagaimana The Wahid Institute sebagai civil society memperjuangkan
kebebasan beragama di Indonesia?
17
Tohirin el-Ashary, “Memaknai Kemerdekaan dan Pluralisme,” Buletin Kebebasan
“Memaknai Kemerdekaan dan Pluralisme, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No.
03/V/2007), 11.
18
Lutfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia, (Jakarta: Freedom Institute, 2011), 137.
19
Nur Achmad, Pluralitas Agama Kerukunan Dalam Keragaman (Jakarta: Kompas,
2001), 11.
8
2. Apa tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan
beragama di Indonesia?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini, pertama, mengetahui konsep civil society di
Indonesia. Kedua, untuk mengetahui bagaimana perjuangan The Wahid Institute
terhadap nilai-nilai kebebasan beragama di Indonesia. Ketiga, mengetahui
tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama di
Indonesia Selain itu, tujuan penelitian ini ingin memotret The Wahid Institute
sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kajian,
penelitian, isu HAM, kekerasan yang mengatasnamakan agama, kelompok
minoritas, kebebasan beragama, dan nilai-nilai demokrasi.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah ingin mengetahui konsep
kebebasan beragama dan pentingnya nilai-nilai dalam kehidupan beragama
maupun dalam bernegara. Kemudian ingin mengetahui konsep civil society di
Indonesia.
D.
Tinjauan Pustaka
Pembahasan dalam penelitian ini didasari oleh penelitian Ihsan Ali-Fauzi
dan Saiful Mujani tentang “Gerakan Kebebasan Sipil Studi dan Advokasi Kritis
atas Perda Syari’ah.” Penelitian ini bekerja sama dengan Lembaga Survey
Indonesia (LSI), Freedom Institute, Indonesia Institute, dan Jaringan Islam Liberal
(JIL).
Penelitian ini membicarakan peran gerakan sosial terhadap Perda Syari’ah
yang mengancam kebebasan sipil dan kebebasan beragama di Tanah Air. Hasil
9
penelitiannya adalah advokasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil mengenai
Perda Syari’ah di Pandeglang, Banten, setidaknya perda-perda Syari’ah mulai di
perdebatkan kembali mengenai perlu atau tidaknya perda-perda itu direvisi atau
dihapuskan.
Namun di Bulukumba, Padang, ternyata kegiatan advokasi yang dilakukan
oleh masyarakat sipil mengalami kontraproduktif. Dukungan mengenai perdaperda Syari’ah yang sudah merosot selama satu-dua tahun, kini mulai menguat
kembali dengan adanya kegiatan advokasi perda Syariah tersebut.20
Penelitian lain dilakukan oleh Aniqotul Ummah dalam skripsinya,
“Advokasi ICRP sebagai Civil Society terhadap Kasus Ahmadiyah di Indonesia.”
Skripsi ini memfokuskan perjuangan Indonesian Conference on Religion and
Peace (ICRP) terhadap jemaat Ahmdiyah. Hasil penelitiannya adalah pertama,
pemerintah tidak berani menentukan sikap terhadap Ahmadiyah. Hal ini terlihat
lamanya proses pengambilan keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah
mengenai Ahmadiyah. Misalnya, penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB)
Ahmadiyah yang harus diundur beberapa kali karena rumitnya masukan dari
berbagai pihak.
Kedua, di internal jemaat Ahmadiyah sendiri terjadi pergeseran yang
semula komunitas Ahmadiyah tertutup dan bersikap mengalah jika berhadapan
dengan negara, maka dengan adanya advokasi yang dilakukan oleh ICRP
20
Ihsan Ali-Fauzi dan Saiful Mujani, Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis
atas Perda Syari’ah (Jakarta: Nalar, 2009).
10
setidaknya jemaat Ahmadiyah lebih terbuka dan membangun jejaring dengan
agama-agama lain.21
D.
Metodologi Penelitian
Skripsi
ini
menggunakan
metodologi
penelitian
kualitatif
yang
menggunakan pengumpulan data melalui wawancara dan studi pustaka. Pertama,
pendekatan kualitatif adalah penelitian empiris yang data-datanya bukan
berbentuk angka.22 Kedua, wawancara (interview) dengan cara tanya-jawab.
Tujuan wawancara adalah mengumpulkan data atau informasi (keadaan,
gagasan/pendapat, sikap/tanggapan, keterangan dan sebagainya) dari pihak The
Wahid Institute terkait dengan perannya dalam melakukan pembelaan terhadap
kebebasan beragama di Indonesia.23 Ketiga, studi pustaka, yang bertujuan
memperoleh data bacaan buku-buku, jurnal, buletin, majalah, dan artikel yang
termuat di berbagai media cetak maupun media elektronik.
Beberapa referensi atau daftar pustaka yang menjadi sumber dalam skripsi
ini adalah; Laporan Tahunan The Wahid Institute, Laporan Setara Institute,
Laporan Tahunan Center for Religion and Cross-culture Studies (CRCS) UGM,
Kontroversi Gereja di Indonesia CRCS UGM, jurnal Titik-Temu Dialog
Peradaban Nucholis Madjid Society (NMSC) Paramadina, buletin Kebebasan
Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Majalah Tempo, dan untuk sumber media
eloktronik website www.wahidinstitute.org.
21
Aniqotul Ummah, Advokasi ICRP Sebagai Civil Society Terhadap Kasus Ahmadiyah di
Indonesia (Jakarta: FISIP UIN JAKARTA, 2012)
22
Lorain e Blaxter, dkk., How To Research Seluk-Beluk Melakukan Riset (Jakarta: PT.
Indexs Kelompok Gramedia, 2006), 93.
23
Arif Subiantoro, dan FX Suwarto, Metode dan Teknik Penelitian Sosial (Yogyakarta:
Penerbit ANDI, 2007), 97.
11
Sedangkan data primer skripsi ini, diperoleh melalui wawancara dengan
narasumber langsung dengan Ahmad Suaedy Direktur Eksekutif The Wahid
Institute, Subhi Azhari divisi Monitoring dan Advokasi The Wahid Institute, dan
Alamsyah M. Dja’far divisi Media dan Kampanye. Wawancara ini diharapkan
mampu menggali signifikansi peran The Wahid Institute terhadap kebebasan
beragama di Indonesia.
Sementara itu, teknik penulisan dalam penelitian ini menggunakan analisis
data yang bersifat kualitatif dengan teknik pembahasan deskriptif analisis yang
bertujuan menggambarkan The Wahid Institute dalam memperjuangkan
kebebasan beragama di Indonesia. Pengumpulan data, perumusan masalah, dan
penulisan dalam skripsi ini kemudian disesuaikan dengan standar panduan
penyusunan proposal dan penulisan skripsi yang diterbitkan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.24
E.
Sistematika Penelitian
Agar penulisan ini terarah dan lebih sitematis, maka penelitian ini dibagi
menjadi lima bab, dengan sistematika sebagai berikut:
Pada Bab Pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab yang
menjelaskan pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan
sistematika penelitian.
Bab Kedua, berisi gambaran umum tentang civil society serta civil society
dan demokrasi, strategi kelompok kepentingan, yang menjelaskan peran civil
24
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta, Panduan Penyusunan
Proposal dan Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2012), 12.
12
society terhadap nilai-nilai demokrasi, dan pembahasan tentang kebebasan
beragama.
Bab Ketiga, menjelaskan sejarah singkat berdirinya The Wahid Institute,
visi dan misi, toleransi dan pluralisme di Indonesia.
Bab Keempat, dalam bab ini membahas peran The Wahid Institute dalam
memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia. Terkait kasus rumah ibadah
GKI Taman Yasmin Bogor, Gereja HKBP Filadelfia Bekasi, Syiah di Sampang
Madura, Ahmadiyah di Cikeusik Banten, dan tantangan The Wahid Institute
dalam memperjuangkan kebebasan beragama.
Bab Kelima, bab penutup yang membahas kesimpulan permasalahan yang
dihadapi dan penulis mengajukan beberapa saran.
13
BAB II
CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA
A.
Konsep Civil Society
Secara harfiah, civil society sendiri adalah terjemahan dari istilah latin,
civilis societas. Istilah ini pada awalnya digunakan oleh Cicero (106–43 S.M) –
seorang orator dan pujangga Roma yang hidup pada abad pertama sebelum
Kristus. Menurut Cicero, civil society bisa disebut sebagai sebuah masyarakat
politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengakuan
hidup. Konsep Cicero mencakup kondisi masyarakat yang memiliki budaya dan
menganut norma-norma kesopanan tertentu.1
Sejauh ini terdapat beberapa perkembangan penafsiran civil society dari
berbagai pemikir sosial dan politik. Konsep civil society pertama kali dicetuskan
oleh filsuf Yunani, Aristoteles, yang lahir di Semenanjung Kalkidike di Trasia
(Balkan) pada tahun 384 S.M, dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 S.M.2
Aristoteles menggunakan istilah koinonia politike, atau dalam bahasa Latin
societas civilis, yang berarti masyarakat politik (political society).
Istilah
koinonia
politike
ini
digunakan
oleh
Aristoteles
untuk
menggambarkan sebuah masyarakat politik dan etis warga negara yang
mempunyai kedudukan sama di depan hukum.3 Selain itu, istilah koinania politike
1
M. Dawam Rahadjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan
Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), 137.
2
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta, UI-Press dan Tintamas, 1986), 115.
3
Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan
Cita-cita Reformasi (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1999), 47.
14
ialah komunitas politik tempat warga terlibat langsung dalam berbagai ajang
ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
Dalam buku Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan
Aksi Ornop di Indonesia, konsep civil society kemudian dikembangkan oleh
Thomas Hobbes (1588-1679)4 dan John Locke (1632-1704).5 Menurut Hobbes,
civil society yang identik dengan negara merupakan perwujudan dari kekuasaan
absolut. Civil society hadir untuk meredam konflik agar tidak terjadi chaos dan
tindakan anarki. Civil society berfungsi untuk mengontrol dan mengawasi perilaku
politik warga yang memiliki kekuasaan mutlak. Sedangkan menurut John Locke,
civil society berfungsi untuk menjaga kebebasan warga dan melindungi hak-hak
milik individu.6
Pemahaman civil society merupakan sebuah gagasan yang menjadi interest
para filsuf pencerahan. Salah satu tokohnya adalah Adam Ferguson (1776), filsuf
dari Skotlandia, yang memahami civil society sebagai ”sebuah visi etis dalam
berkehidupan bermasyarakat.”
Ferguson
4
menggunakan istilah ini
untuk
Thomas Hobbes adalah pemikir politik abad ke XVII, gagasanya berkaitan dengan negara
dan kekuasaan. Hobbes mengibaratkan negara sebagai Leviathan, atau sejenis monster yang ganas
dan memberi rasa takut kepada siapa yang melanggar hukum, Leviatan tidak segan-segan untuk
menjatuhi vonis hukuman mati. Dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Kajian Sejarah
Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2004), 165.
5
John Locke adalah seorang pemikir politik dengan gagasan besarnya adalah kemerdekaan
individu serta Hak Asasi Manusia (HAM) yang di tulis dalam karyanya Two Treatises of
Government. Karyanya tersebut menjadi rujukan wacana politik demokrasi di Amerika. Locke
juga sebagai peletak dasar negara konstitusional dan penganjur konstitusional di zaman modern.
Locke sendiri dilahirkan 29 Agustus 1632 di Wrington, sebuah desa di Somerset Utara, Inggris
Barat. Dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, 181-182.
6
Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia,
(Jakarta: LP3ES, 2006), 44-45.
15
mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan
munculya kapitalisme.
M. A.S Hikam dalam buku Islam, Demokrasi, dan Pemberdayaan Civil
Society, mengutip pendapat Ferguson yang mengatakan bahwa munculnya
ekonomi pasar dapat melunturkan tanggung jawab publik terhadap sesama warga
negara karena kecenderungan pemuasan kepentingan pribadi. Oleh karena itu,
civil society dapat menghalangi munculnya tindakan kesewenangan pemerintah.
Dalam civil society itulah solidaritas bisa muncul yang diilhami oleh sikap saling
menyayangi antar sesama warga.7
Di dalam buku tersebut, konsep civil society mengalami perubahan pada
paruh akhir abad ke 18. Menurut Thomas Paine (1737-1809), seorang aktivis
liberal, perlu adanya pemisahan antara civil society dan negara. Peran negara
harus dibatasi sekecil-kecilnya karena keberadaannya merupakan keniscayaan
yang buruk (necessary evil) belaka. Civil society merupakan ruang dimana dapat
mengembangkan kepribadiannya secara bebas dan memberikan peluang bagi
pemuasan kepentingannya. Karena itu, civil society berperan terhadap kontrol
negara.8
Berbeda pandangan dengan Thomas Paine, dalam buku Masyarakat
Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial karya M Dawam Rahadjo,
Hegel (1770-1831), seorang pemikir sosial politik Jerman, berpendapat bahwa
civil society sesungguhnya merupakan produk masyarakat borjuis. Hegel
membagi kehidupan modern ini menjadi tiga wilayah, yakni keluarga, civil
7
8
Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society, 115.
Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society, 116.
16
society, dan negara. Keluarga merupakan ruang pribadi yang ditandai hubungan
harmonis antar individu dan menjadi tempat sosialisasi pribadi anggota
masyarakat.
Kemudian civil society dimaknai sebagai lokasi pemenuhan kepentingan
ekonomi baik individu maupun kelompok. Sementara negara merupakan
representasi dari ide universal yang melindungi kepentingan politik warga.
Dengan demikian negara mempunyai hak intervensi kepada civil society, karena
civil society mengandung potensi konflik. Civil society tidak bisa dilepaskan dari
kontrol negara.9
Dalam buku itu M. Dawam Rahadjo mengutip pendapat Karl Marx10, bahwa
civil society adalah sebagai masyarakat borjuis. Bagi Marx, masyarakat borjuis
mencerminkan kepemilikan yang bermuatan materialisme, dimana setiap orang
mementingkan dirinya sendiri, dan setiap orang berjuang melawan yang lainnya.11
Konsepsi lain ditemukan dalam buku Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil
Society; Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, ia mengutip pendapat Tocqueville
(1805-1859) bahwa civil society bukan subordinat negara. Civil society
merupakan suatu entitas yang keberadaannya dapat menerobos batas-batas kelas,
9
Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, 48.
Karl Mark adalah tokoh pemikir sosial politik dari Jerman. Karya yang dihasilakan Mark
selama bertahun-tahun hidupnya di London adalah Das Kapital sebagai karya besar (magnum
opus). Dalam karyanya tersebut, sebagai usaha Mark untuk memberikan analisa sejarah dan
dinamikan masyarakat kapitalis. Mark juga mengkritik toeri ortodoksi Adam Smith dan david
Ricardo tentang ekonomi pasar bebas. Dalam Doyle Paul Johnson dan diterjemahkan oleh Robert
M.Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: PT Gramedia, 1986), 126.
11
M. Dawam Rahadjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan
Sosial, 142.
10
17
memiliki kapasitas politik yang cukup tinggi, dan menjadi kekuatan pengimbang
intervensi negara.12
Oleh karena itu, gagasan Tocqueville dijadikan sebagai sumber referensi
gerakan pro-demokrasi di negara Barat maupun di Indonesia. Perkembangan civil
society di Indonesia mulai tumbuh atas kesadaran masyarakat untuk mendirikan
organisasi modern pada abad ke 20. Dengan berdirinya organisasi Budi Utomo
(1908), Syarikat Dagang Islam (SDI) (1911), Muhammadiyah (1912), dan
organisasi lainnya. Hal ini menandakan, civil society di Indonesia sudah
berkembang pada masa kolonialisme Belanda.13
Di Indonesia, istilah civil society atau pun masyarakat sipil menggunakan
istilah masyarakat madani–yang dimunculkan oleh Dato Anwar Ibrahim, wakil
P.M. Malaysia. Istilah masyarakat madani sebagai padanan dari civil society,
ketika itu disampaikan oleh Dato Anwar Ibrahim pada acara Forum Istiqlal 26
September 1995. Masyarakat madani ia kaitkan dengan konsep kota ilahi, kota
peradaban, atau masyarakat kota, yang tersentuh oleh peradaban maju.
Kemudian istilah masyarakat madani dipopulerkan cendikiawan muslim seperti
Nurcholis Madjid atau (Cak Nur) dan Dawam Rahadjo. 14
Guna memperkaya dan menyempurnakan makna konsep civil society, maka
penggalian elemen-elemen dasarnya dari berbagai perspektif seperti tradisi
pemikiran, filsafat, adat istiadat masyarakat, dan agama, demi relevansi harus
terus dilakukan. Salah satu elemen dasar yang sangat penting dalam pembentukan
12
Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, 51.
M. Din Syamsudin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta:
Logos, 2002), vii.
14
Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan
Cita-cita Reformasi, 7.
13
18
civil society adalah agama, yang dalam hal ini adalah Islam sebagai agama
mayoritas. Islam merupakan sistem nilai yang harus digali secara menyeluruh.
Secara demografis, Islam merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia. Islam
memiliki energi doktrinal dalam mempengaruhi perilaku para pemeluknya.15
Banyak kalangan para pemikir, cendikiawan dan pengamat politik muslim
yang berpendapat tentang kesesuaian ajaran-ajaran Islam dengan masyarakat
madani (civil society). Hal ini secara aktual pernah diterapkan oleh Nabi
Muhammad sendiri dalam perwujudan masyarakat madani itu. Ketika beliau
mendirikan dan memimpin negara-kota Madinah.16
Mitsaq Al-Madinah (Piagama Madinah) adalah dokumen politik pertama
dalam sejarah umat manusia, yang meletakan dasar-dasar pluralisme dan toleransi.
Dalam piagam tersebut ditetapkan adanya pengakuan kepada semua penduduk
Madinah, tanpa memandang perbedaan agama dan suku, sebagai anggota umat
yang tunggal (ummatan wahidah) dengan hak-hak dan kewajiban sama.
Menurut Cak Nur, Madinah merupakan suatu model bangunan masyarakat
nasional modern yang lebih baik dari yang diimajinasikan, dan menjadi contoh
sebenarnya bagi nasionalisme, patriotisme serta egaliter. Oleh karena itu, usaha
umat Islam di zaman modern ini menjadikan Madinah sebagai rujukan masyarakat
madani.17
15
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif “Rumah Demokrasi”, 6.
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta, dan Tantangan,
(Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999), 3.
17
Nurcholish Madjid, “Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani,”
dalam Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Grasindo, dan
UIN Jakarta Press, 2002), 3.
16
19
Cak Nur berpendapat, sebagai suri tauladan umat manusia, Nabi
Muhammad telah memberikan contoh bagaimana mewujudkan semangat
ketuhanan Yang Maha Esa yang berhubungan langsung dengan sosial,
keagamaan, dan politik yang berjiwa kemajemukan (plural) di dalam masyarakat
Madinah. Nabi Muhammad SAW telah mewariskan model bagaimana mengatur
masyarakat dan menyelesaikan persoalan umat manusia.18
Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang kharismatik yang disegani
banyak orang, baik kalangan awam, intelektual, akademisi, serta para tokoh elit
politik. Nabi Muhammad SAW adalah sosok politikus berkelas dan diplomat
ulung yang tidak tertandingi.19
Menurut Din Syamsudin, Madinah merupakan kota yang berhubungan erat
dengan kata “tamadun” yaitu berperadaban. Madinah merupakan lambang
peradaban yang kosmopolit, bukan suatu “din” atau agama. Dengan demikian,
cita-cita Islam ialah terwujudnya suatu masyarakat yang berperadaban tinggi. Hal
ini juga pernah dijelaskan oleh Al-Farabi mengajukan teori tentang “masyarakat
utama” (al-madinah al-fadilah). Suatu masyarakat yang berorientasi menegakan
persatuan dan kesatuan. Al-Farabi menekankan perlunya kolektifitas sosial dan
etika kolektif dalam mencapai kebahagiaan yang hakiki. 20
Dengan demikian, masyarakat madani bakal terwujud jika terdapat cukup
semangat keterbukaan dalam masyarakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari
18
Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani,” Titik-temu, Jurnal Dialaog
Peradaban, Vol. 1, No. 2 Januari-Juni 2009, (Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS), 2009),
16.
19
Khalil Abdul Karim, Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Arab
(Yogyakrta: LKiS, 2005), x.
20
M. Din Syamsudin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, 98.
20
prikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara positif dan
optimis. Yaitu, pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik.21
Oleh karena itu, civil society merupakan perkumpulan masyarakat politik,
yang taat kepada hukum, menjalin persaudaaran, toleransi, dan menjamin
kebebasan beragama. Tidak hanya itu, civil society sebagai penegak demokrasi,
penegakan terhadap hukum yang tidak adil dan melindungi apapun bentuk
kekerasan.
Dalam hal ini, melaksanakan undang-undang dan melindungi setiap warga
negara merupakan suatu keharusan yang harus dilaksanakan oleh siapa pun begitu
juga negara. Demi mewujudkan masyarakat yang berperadaban serta menjunjung
nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan.
Dalam praktiknya, perjuangan yang dilakukan oleh civil society sering
mengalami kendala cukup berat. Misalnya, pemerintahan yang otoriter, adanya
sikap masyarakat yang eklusif terhadap kemajemukan bangsa. Padahal, nilai-nilai
keberagaman merupakan khazanah kekayaan Indonesia yang tidak dimiliki oleh
bangsa lain.
Untuk mewujudkan perjuangan civil society dalam menegakan demokrasi
dan kebebasan beragama di Indonesia, maka menggunakan strategi yang
dilakukan oleh kelompok kepentingan. Pertama, melalui pendekatan terhadap
penegak aparat hukum. Kedua, pendekatan terhadap pemerintah atau negara.
21
Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999),
176.
21
Ketiga, pendekatan dalam hukum. Keempat, pendekatan ke pubik, kelima,
demonstrasi, dan keenam, menyuarakan protes.22
Selama ini, strategi kelompok kepentingan masih digunakan oleh civil
society dalam melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas, kebebasan
beragama, nilai-nilai demokrasi, dan penegakan hukum di Indonesia, sehingga
perjuangannya lebih efektif dan dapat memberikan resolusi permasalahan yang
ada.
Akan tetapi strategi kelompok kepentingan tidak akan terlaksana dengan
baik, jika masih ada sikap pemerintah yang tidak adil, kurang bijak, serta sikap
apatis pemerintah terhadap konflik yang terjadi di masyarakat. Setidaknya,
melalui pendekatan strategi kelompok kepentingan ini konflik-konflik kekerasan
yang terjadi di masyarakat dapat berkurang.
B.
Civil Society dan Demokrasi
Civil society lebih dari sekedar gerakan pro demokrasi. Civil society
mengacu kepada kehidupan masyarakat yang berkualitas dan bertamadun
(civility).23 Oleh karena itu, Civil society dapat memberikan sumbangan bagi
konsolidasi demokrasi, karena dapat menjembatani antara pemerintah dan
masyarakat. Civil society dapat menstabilkan harapan, mempermudah komunikasi
antara masyarakat dan pemerintah.
Hal ini akan membuat masyarakat tidak terasingkan dengan sistem
pemerintah yang ada, dan berfungsi sebagai wahana untuk melawan pemerintahan
22
Michael G. Roskin, Political Science an Introduction (United State: Pearson, 2003),
188–191.
23
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Tantangan, dan Fakta, 7.
22
yang tirani. Kemudian memperkuat norma-norma sipil bagi prilaku warga, yakni
menekankan pentingnya toleransi, kebersamaan, dan keikutsertaan dalam
menghadapi persoalan bangsa.24
Bahkan, menurut para pakar sosial politik modern, civil society bertujuan
untuk menolak kesewenangan kekuasaan elite yang mendominasi kekuasaan
negara. Hal ini merupakan manifestasi dari penanaman demokrasi.25 Adapun
pandangan Ernest Gellner, civil society merupakan masyarakat yang terdiri atas
berbagai institusi non-pemerintahan yang cukup kuat untuk mengimbangi
negara.26
Sedangkan menurut kelompok devlopmentalis dan Neo-Tocquevelian
seperti Putnam, civil society adalah asosiasi perantara. Civil society adalah
wilayah antara negara dan struktur keluarga yang dihuni oleh organisasi,
menikmati posisi otonom berhadapan dengan negara, dan memiliki pengaruh
signifikan terhadap kebijakan publik.27 Hal ini tergambar dalam teori sistem
David Easton, civil society merupakan salah satu penekan kebijakan dan sebagai
kontrol terhadap pemerintah yang meyimpang, sehingga output yang dihasilkan
lebih baik.28 Tapi, civil society juga bisa bekerjasama dengan negara, tidak mesti
24
Saiful Mujani, Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM), Yayasan Wakaf Paramadina, dan Freedom Institute, 2007), 20.
25
Fahmi Huwaidy, Demokrasi Oposisi, dan Masyarakat Madani (Bandung: Mizan, 1996),
296.
26
Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan (Bandung:
MIZAN Anggota IKAPI, 1995), 6.
27
Fuad Fahrudin, Agama dan Pendidikan Demokrasi Pengalaman Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama (Jakarta: Pustaka Alvabet dan Yayasan INSEP, 2006), 40.
28
Muhtar Mas’ud dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada Press, 1993), 5.
23
bermusuhan. Ini telah terbukti antara lain di bidang pendidikan, kesehatan dan
lain sebagainnya yang ternyata antara civil society dapat bekerjasama.29
Oleh karena itu, untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi membutuhkan
etika diskursif yang dalam bahasa Habermas, etika diskursif yang menjamin
bahwa setiap orang berhak secara bebas tanpa ancaman dari orang lain. Adanya
tujuan deliberasi publik atau musyawarah adalah konsensus atau mufakat yang
diterima secara ikhlas oleh semua partisipan masyarakat.30
Konsep civil society meneguhkan gerakan sosio-kultural. Dalam paham civil
society, rakyat bukan subordinat negara, melainkan partner yang setara. Begitu
juga dalam Islam, tidak boleh ada lembaga agama yang memaksakan konsepkonsepnya kepada para pengikutnya, atas dasar hak satu kelompok.31 Umat Islam
merupakan salah satu elemen bangsa yang memiliki peran terhadap nilai-nilai
demokrasi di Indonesia. Dukungan organisasi-organisasi besar Islam di Indonesia,
seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, terhadap upaya demokratisasi
memiliki peran penting membina umat Islam yang hidup dalam culture yang
toleran terhadap perbedaan, merawat kemajemukan bangsa, dan nilai-nilai
demokrasi.32
Menurut Abdurahman Wahid (Gus Dur), demokratisasi merupakan sesuatu
yang strategis dan fungsional untuk menjawab persoalan bangsa, karena
29
Budhi Munawar-Rachman, Membela Kebebebasan Beragama Percaakapan Tentang
Liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme (Jakarta: Democrazy Project, Edisi Digital, Buku 1,
2011), 290.
30
Donny Gahral Adian, “Demokrasi dan Kemaslahatan Umum,” dalam Jurnal Titik Temu,
Vol. 5, No. 1, Juli – Desember 2012 (Jakarta: Nurcholis Madjid Society (NCMS), 2012), 45.
31
Komarudin Hidayat dan Gaus AF, Islam, Negara dan Civil Society, Gerakan dan
Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), xix.
32
Sunaryo, “Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia Politik Identitas dan Kekerasan
atas Nama Agama,” dalam Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban (Volume 3, Nomor 1, Juli –
Desember ), (Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS), 2010), 147.
24
demokrasi dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan bangsa.33 Begitu juga
organisasi
Muhammadiyah34
yang
memiliki
kesamaan
karakter
dengan
masyarakat madani yang mempunyai keyakinan nilai-nilai ilahiah, demokratis,
berkeadilan, otonom, berkemajuan dan berahlak muliah (al-ahlakul karimah).35
Oleh karena itu, civil society sebagai ujung tombak penegakan demokrasi di
Indonesia. Maka, dengan adanya civil society memungkinkan tumbuhnya diskusi
dan kerja sama memupuk kepercayaan terhadap orang lain, menjalin
persaudaraan, dan kerja sama dengan umat lain adalah modal sosial untuk meretas
kecurigaan, melampaui rasa toleran, dan permusuhan.
Dengan demikian, demokrasi bukan sekadar prosedur kekuasaan, bukan
pula sebagai sistem yang ditentukan oleh mereka yang mayoritas. Demokrasi
adalah pengakuan dan penerimaan terhadap prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan,
toleransi, pluralisme, keadilan, pengakuan terhadap hak-hak umat beragama, hak
hidup, hak untuk memperoleh kekayaan, dan kepada kelompok minoritas.
Namun, perjuangan civil society terhadap demokrasi tidak akan berjalan
dengan mulus. Tentu akan ada hambatan yang dialami civil society dalam
menegakan demokrasi. Misalnya, dengan munculnya kelompok radikal yang
mengancam kebebasan beragama, penegakkan hukum yang dipandang masih
33
Al – Zastrouw, “Gus Dur dan Demokrasi” dalam M. Fajrul Falakh dkk., Membangun
Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1997), 136
34
Organisasi Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912, 7 Djulhijjah 1330 H.
Oleh Kiyai Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama
Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abubakar adalah imam dan khatib masjid besar Kauman
Yogyakarta. Sementara Ibunya adalah anak K.H. Ibrahim. Menurut silsilah, keluarga Ahmad
Dahlan merupakan keturunan Maulana Malik Ibrahim, seorang wali yang menyebarkan ajaran
Islam di Jawa. Dalam Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan: Sang Pencerah, Pendidik, dan Pendiri
Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2010), 17-18.
35
Majlis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah (Jakarta:
Kompas, 2010), LI.
25
tebang pilih. Lalu, adanya tindakan sikap pemerintah yang otoriter, para
pengambil kebijakan yang melakukan diskriminasi kepada kelompok minoritas di
Indonesia. Bahkan, pemerintah juga melakukan pembiaran terhadap korban
kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini.
D.
Kebebasan Beragama
Persoalan utama dari kasus kebebasan beragama di Indonesia adalah
ketidakmampuan pemerintah dalam melindungi hak warga negaranya untuk
beragama sesuai dengan undang-undang. Dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat 1.
Setiap warga negara berhak memeluk agama sesuai dengan kepercayaan yang
dianutnya. Maka perlakuan atas kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah
secara semena-mena adalah perlakuan yang melanggar konstitusi.36
Kebebasan beragama juga tertuang dalam International Covenant on Civil
Political Right (ICCPR). Indonesia sudah meratifikasi ICCPR melalui Undangundang No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil
Political Right (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), hal
ini tercatat dalam pasal 18 ICCPR.37
36
Zuly Qodir, “Kaum Minoritas dan Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Elza Peldi
Taher, ed., Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan
Effendi (Jakarta: Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), dan Kompas, 2009), 401.
37
UU No. 12 Tahun 2005 Pasal 18: 1. Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir,
keyakinan dan beragama. Hak ini mencangkup kebebasan kebebasan untuk menetapkan agama
atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersamasama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama dan
kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengalaman, dan pengajaran.
2. Tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau
menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat
dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan utuk mellindungi, keamanan,
ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Lihat, The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2008), 8-9.
26
Sementara dalam Islam, prinsip saling menghormati antar para pemeluk
agama yang berbeda sangat ditekankan. Hal ini sesuai dengan firman Allh SWT,
lakum dienukum waliyadin. “Berpegang teguhlah engkau pada agamamu dan aku
berpegang pada agamaku.” (QS. Al-kafirun, ayat 6). Toleransi dalam beragama
merupakan salah satu dasar ajaran Islam.38 Dengan kata lain, prinsip keyakinan
setiap manusia terhadap Tuhannya tidak boleh dipaksakan karena bertentangan
dengan nilai-nilai Islam.
Allah berfirman dalam al-Qur’an:
“Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda)
kebenaran dan kesesatan. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada
thaghut (Syaitan) dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah
berpegang kepada tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha
Mendengar dan Maha Menghetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256).
Ayat tersebut menjelaskan pentingnya toleransi terhadap pemeluk agama
lain. Bahwa kemajemukan masyarakat sesungguhnya merupakan bagian dari
kehendak Tuhan. Al-Qur’an, kitab suci umat Islam secara amat ekplisit
menyatakan bahwa keanekaragaman budaya, bahasa, ras dan warna kulit
merupakan ciptaan Tuhan dan sekaligus menunjukkan kebesarannya.39 Oleh
karena itu, kemajemukan dan multikulturalisme tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan warga negara Indonesia. Dengan demikian, keberagaman sebagai
mozaik kekayaan bangsa yang harus dilestarikan dan dijaga oleh seluruh
masyarakat Indonesia.
38
Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta, Yayasan
Obor Indonesia, 1987), xi.
39
Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi (Jakarta: Paramadina, 2003),
164.
27
Islam tidak menafikan pluralitas dalam masyarakat. Pluralitas dan
multikulturalisme merupakan sunnahtullah (hukum Tuhan). Hal ini termaktub
dalam kitab suci Al-Qur’an; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal” (QS. Al-Hujuraat:
13).40 Ayat di atas tersebut, memberikan gambaran kepada umat manusia akan
pentingnya keberagaman dalam kehidupan beragama dan bernegara.
Pasalnya, keberagaman bukanlah sesuatu yang baru bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Bahkan, nilai-nilai keberagamanpun sudah tertera
sangat jelas dalam “Bhineka Tunggal Ika” dan dilndungi oleh konstitusi negara.
Lebih dari itu, keberagaman menjadi tonggak perekonomian negara ini.
percampuran berbagai etnik ialah mesin yang menghasilkan budaya negeri ini,
itulah makna keberagaman dalam bernegara.
Para ulama telah mencoba merumuskan ajaran Islam kompatibel dengan
nilai-nilai kemanusiaan universal. Dengan merujuk kepada ulama Islam klasik
yang pertama kali menemukan konsep maqasid syari’ah yaitu; Imam Ghazali
(w.1111 M). Ulama besar abad ke-12 tersebut mencoba merumuskan dasar
syari’at Islam yang disebut dengan maqasid syari’ah ialah: penghargaan terhadap
hak dasar kebebasan dasar manusia. (al-kulliyah alkhamsyah), yaitu hak hidup
(hifzh nafs), hak kebebebasan beropini dan berekpresi (hifzh al-aql), hak
40
Budhy Munawar-Rachman, Islam dan Liberalisme (Jakarta: Fredrich Naumann Stiftung,
2011), 213.
28
kebebasan reproduksi (hifzh al-nasl), hak memilik properti (hifzh mal), dan
terakhir hak untuk beragama (hifzh al-dien).41
Dengan demikian, ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai toleransi dan
kebebasan beragama dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan
bernegara. Oleh karena itu, Islam sangat kompatibel dengan konstitusi dan dasar
negara Bangsa Indonesia.
Selama ini, persoalan keragaman dan kebebasan beragama di Indonesia
masih buruk, karena banyak aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam
garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) kepada kelompok minoritas dan
aliran kepercayaan yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah di Cikeusik Banten,
pada 11 Februari 2011 dan Syiah di Sampang Madura, pada 29 Desember 2012.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan adanya jaminan kebebasan beragama di
Indonesia dengan berbagai cara. Contohnya, melalui pendekatan ke pemerintah
untuk melaksanakan konstitusi negara serta melindungi setiap warga negara
dalam beragama dan berkeyakinan. Kemudian mengadakan seminar, dialog,
pendidikan kewarganegaraan, toleransi, serta keberagaman kepada masyarakat
umum dan kepada kelompok radikal yang mengancam kebebasan beragama di
Indonesia.
Semestinya negara menjamin warga negara dalam memeluk kepercayaan,
dan beribadah berdasarkan UUD 1945. Dalam ajaran Islam, agama tidak berhak
memaksa seseorang dalam memeluk kepercayaan agama tertentu. Dengan
41
Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia.” dalam Abdul Hakim,
dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisme Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid
(Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Paramadina, 2007), 211.
29
demikian, kebebasan beragama, toleransi dan multikulturalisme merupakan
sunatullah yang harus di jaga oleh setiap warga negara Indonesia.
Akhirnya, sebagai kesimpulan dari bab ini, bahwa salah satu elemen dasar
dalam pembentukan civil society (masyarakat politik) adalah agama. Dan civil
society hanya akan terwujud bilamana adanya sikap keterbukaan (inklusivitas)
dalam masyarakat. Oleh karena itu, agar konsep masyarakat madani bisa
ditegakkan, maka sikap toleransi dalam beragama menjadi hal yang diperlukan.
Masyarakat beragama harus menyadari jika keberagaman merupakan salah satu
bagian dari sunatullah, agar harmonisasi antar umat beragama tetap terjaga.
30
BAB III
THE WAHID INSTITUTE DAN PLURALISME DI INDONESIA
A.
Sejarah Singkat The Wahid Institute
Berdirinya The Wahid Institute terinspirasi dari sosok Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) sebagai tokoh pluralisme dan Bapak bangsa. Maka, dalam pembahasan
ini akan mendeskripsikan tentang pemikiran Gus Dur, sejarah singkat berdirinya
The Wahid Institute, pluralisme dan toleransi di Indonesia.
Gus Dur lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, di Denanyar Jombang Jawa
Timur. Ia anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya bernama K.H. Wahid
Hasyim, putra K.H. Hasyim Asyari,1 pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan
pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan terbesar di Indonesia.
Sedangkan Ibunya bernama Hj. Solehah, juga putri tokoh besar NU, K.H. Bisri
Syamsuri pendiri pondok pesantren Jombang dan Ro’is Am Syuriah Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) setelah K.H. Abdul Wahab.2
NU sebagai organisasi keagamaan mempunyai kontribusi terhadap
perkembangan sosial keagamaan dan negara. Perkembangan NU ditandai dengan
lahirnya tokoh-tokoh NU salah satunya, Gus Dur cucu dari Hadratussyaikh
1
Kiai Hasyim Asyari dilahirkan di Jombang pada bulan Februari1871 dan meninggal di
Jombang pada bulan Juli 1947. Dia adalah adalah pendiri NU pada tahun 1926. Keluarga Hasyim
Asy’ari adalah keturunan Raja Brawijaya VI, yang berkuasa di Jawa pada abad XVI M, dan
terkenal sebagai raja terakhir kerajaan Hindu-Budha yang tersebasar di Jawa, Kerajaan Majapahit.
Bahkan yang lebih penting lagi, tokoh lagendaris Jaka Tinggkir, putera Brawijaya VI, dianggap
sebagai orang yang memperkenalkan agama Islam di daerah pantai timur laut pulau Jawa. Lihat
Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta;
LKiS Group, 2002), 26-27.
2
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), 338–339.
31
Hasyim Asyar’i, pendiri NU.3 Organisasi kegamaan tersebut memiliki doktrinan
Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja),4
Gus Dur adalah mantan ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ia
mampu mengubah wajah NU yang bersifat ekslusif, menjadi inklusif, modern,
dan moderat. Semangat memperjuangkan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan
politik nasional.5 Karenanya, suatu keharusan bersama memperjuangkan
kebebasan dan menyempurnakan demokrasi di negeri ini.6
Selain berkiprah di NU, Gus Dur membentuk juga suatu organisasi Forum
Demokrasi (FORDEM) pada Maret 1991, dan Ia terpilih sebagai juru bicaranya.
Ketenaran dan pengaruh Gus Dur membuat organisasi baru ini mendapatkan
kepercayaan publik. Forum Demokrasi didirikan untuk memberikan kekuatan
pengimbang terhadap lembaga-lembaga seperti Ikatan Cendikiawan Muslim
Indonesia (ICMI) yang mendorong tumbuhnya pemikiran sektarianisme.
Organsisai Forum Demokrasi merupakan kelompok kecil yang anggotanya bukan
3
NU: Organisasi keagamaan yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Radjab 1344
H.) dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh K.H. Hasyim Asya’ri, K.H. Wahab Hasbullah, K.H.
Bisri Sansuri, K.H. Ridwan, K.H. Nawawi, K.H. Doromuntaha (menantu K.H. Cholil Bangkalan).
Lihat Nur Khalik Ridwan, NU dan Neoliberalisme dan Harapan Menjelang Satu Abad
(Yogyakarta: LkiS, 2008), 1.
4
Ahlusunnah Wal-Jamaah, sebuah paham keagamaan-yang dikalangan NU–bersumber
pada; Al-Qur’an, As–Sunnah, Al-Ijma’ dan Qiyas. Secara Harfiah Ahlusunnah Wal-Jamaah berarti
pernganut Sunnah Nabi Muhammd dan Jamaah (sahabat-sahabatnya). Secara ringkas, segolongan
pengikkut sunnah (jejak) Rasulullah Alaihi Wassalam yang di dalamnnya melaksanakan ajaranajaran beliau berjalan di atas garis yang telah dipraktekan oleh Jamaah (sahabat Nabi). lihat
Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga. 1992), 21.
5
Ahmad Syafii Maarif dan Muhhamad Najib, “Upaya Memahami Sosok Kontraversial Gus
Dur,” dalam Ahmad Suaedy dan Ulil Absar Abshar Abdalah, ed., Gila Gusdur Wacana Pembaca
Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKiS, 2000), 4.
6
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm.190.
32
hanya dari NU, malah bukan muslim, kebanyakan dari mereka adalah Katolik dan
Protestan.7
Tujuan lain berdirinya Forum Demokrasi ialah untuk memperjuangkan
tegaknya demokrasi pada level kelembagaan maupun kesadaran masyarakat.
Namun secara khusus, berdirinya Forum Demokrasi dilatarbelakangi peristiwa
kasus perusakan kantor tabloid Monitor pada bulan Oktober 1990, kantor tersebut
dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara surveinya yang
menyinggung umat Islam. Menurut Gus Dur, kasus Monitor menunjukan bahwa
beberapa kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi keagamaan dengan
mengedepankan kelompok mereka.8
Pada tahun 1999, Gus Dur diangkat menjadi Presiden Indonesia ke-4.
Pengangkatan ini menunjukan penghargaan dan apresiasi terhadap sosok Gus Dur
sebagai pemikir, aktivis, politisi yang pluralis dan demokratis. Maka, sebagai
seorang demokrat dan pluralis, Gus Dur mengusulkan pencabutan TAP MPRS
No
XXV
Th
1966
mengenai
Komunisme/Marxisme/Leninisme.
pelarangan
TAP
ini
terhadap
menjadi
PKI
landasan
dan
ajaran
perlakuan
diskriminatif terhadap anggota dan aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI).
Perjuangan Gus Dur bukan membela PKI, atau ajaran Komunisme,
Marxisme Leninisme, tetapi membela suatu prinsip demokrasi dan HAM, suatu
prinsip yang telah ditancapkan dengan kokoh dalam UUD 1945 Republik
7
Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid, 224–
8
M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2010), 49-49.
225.
33
Indonesia. Gus Dur menjelaskan bahwa TAP MPRS No XXV Th 1966 tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 dan melanggar HAM.9
Pada level praktis dan kebijakan, Gus Dur melakukan pembelaan terhadap
kelompok etnis Tionghoa di Indonesia. Dengan demikian, salah satu keputusan
politik Gus Dur pada Januari 2000, mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 6 Tahun 2000, isinya mencabut Inpres No 14/1967 yang dibuat Suharto
tentang agama, kepercayaan, adat istiadat Cina.10
Selain melakukan tindakan aktif, Gus Dur banyak memberikan kontribusi
pemikiran, salah satunya mengenai “pribumisasi Islam”. Gagasan ini di
latarbelakangi dengan keinginan kuat Gus Dur dalam mempertemukan budaya
(adat) dengan norma Islam (syariah).11 Ide besar gagasan Gus Dur mengenai
“pribumi Islam” adalah agar umat Islam Indonesia mempunyai pandangan luas,
menjungjung tinggi toleransi, menghargai orang lain dan kebebasan beragama di
Indonesia.
Munculnya gagasan “pribumisasi Islam” yang membuatnya dikenal sebagai
pejuang humanis. Wawasan humanisme ini membuat Gus Dur tidak lelah
berbicara
tentang
bahaya
ancaman
kekerasan
politik
yang
bisa
saja
mengatasnamakan agama. Ia juga berbicara penting sikap non-sektarian dan
toleransi antar agama di dalam sebuah bangsa yang heterogen, semisal Indonesia.
9
Ahmad Suaedy dan Raja Juli Antoni, ed., Para Pembaharu Pemikiran dan Gerakan
Islam Asia Tenggara (Jakarta: Southeast Asian Muslims (Seamus) For Freedom and
Enlightenment, 2009), 18-19.
10
M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, 60.
11
Ulumul Qur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, no. 3, vol. IV Tahun 1995 (Jakarta:
Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), dan ICMI, 1995), 33.
34
Maka, ide Gus Dur dapat ditelusuri melalui pada tahun 1980-an tentang tiga
ukhwah; ukhwah Islamiyah, ukwah wathoniah, ukhwah basyariah.12
Oleh karena itu, Greg Barton menempatkan Gus Dur, Ahmad Wahid,
Djohan Effendi dan Nurcholis Madjid (Cak Nur), sebagai kelompok
neomodernisme Islam, pemikiran yang berorientasi mengembangkan keterbukaan
dan kebebasan.13
Gus Dur yang beranggapan bahwa prinsip-prinsip humanitarian adalah
jantung Islam itu sendiri. Dengan kata lain, Islam diturunkan Allah dalam rangka
kepentingan umat manusia seluruhnya. Dengan demikian, kelompok itu dengan
teguh menegakan nilai-nilai egalitarianisme, humanisme, keadilan, tanpa
membedakan latar belakang agama, etnis, budaya, dan semacamnya. Pandangan
kelompok neomodernisme yaitu penanaman aplikasi nilai-nilai yang merupakan
bentuk kongkrit ibadah sosial sama pentingnya dengan ibadah yang bersifat
ritual.14
Kemudian, gagasan Gus Dur dalam “Islam: Idiologi Ataukah Kultural”?.
Gus Dur menekankan pentingnya mengembangkan Islam melalui wilayah
kultural. Karenannya, Islam bisa berkembang melalui jalur tersebut. Gus Dur
menolak gagasan Negara Islam (NI), karena bangsa kita beranekaragam yang
pantas di hormati hak pendapat dan hak hidupnya.15 Al-Qur’an sendiri tidak
12
Ahmad Amir Azis, Neo Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholis
Madjid dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999), 34.
13
Ahmad Suaedy, Prespektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru
Demokratisasi (Jakarta: The Wahid Institute, Seeding Plural and Peaceful Islam, 2009), 307.
14
Abd A’la, “Kemenangan Gus Dur Angin Sejuk Bagi Iklim Keagamaan di Indonesia,”
dalam Irwan Suhanda, Perjalanan Politik Gus Dur (Jakarta: Kompas, 2010), 22.
15
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara
Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute Seeding Plural and Peaceful Islam, 2006), 50.
35
pernah menyebut-nyebut sebuah “Negara Islam” (daulah Islamiyah) hanya
menyebut negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan (baldatun thayyibatun
wa rabbun ghafur).16
Maka dengan spirit kemajemukan (heteregonitas) dalam kehidupan
berbangsa dapat mendirikan negara tidak berdasarkan salah satu agama tertentu.17
Melainkan kepada pancasila sebagai asas bangsa Indonesia, dan UUD 1945
sebagai konstitusi negara.
Atas perjuangan dan pemikirannya, Gus Dur dinobatkan sebagai “Bapak
Tionghoa”. Gus Dur bukan hanya banyak melahirkan pemikiran dan kebijakan
yang menghormati masyarakat Tionghoa, tetapi mensejajarkan mereka dengan
dengan kelompok yang ada di bumi Nusantara dari berbagai agama, adat-istiadat
yang berbeda.18
Gus Dur juga disebut sebagai “Bapak Pluralisme” oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), pada 24 Agustus 2005. Begitu juga sejumlah tokoh
lintas agama, Jaringan Doa Nasional Tionghoa Indonesia, dan warga Ahmadiyah
menganugrahi Gus Dur sebagai “Bapak Pluralisme” Indonesia. Idiologi
pluralisme Gus Dur dan penghormatan terhadap pluralitas sepenuhnya
berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam dan juga tradisi
keilmuan NU itu sendiri.19
Membela kaum minoritas, kebebasan beragama, toleransi, HAM, dan nilainilai demokrasi yang dilakukan oleh Gus Dur tidak berhenti disitu. Pasca lengser
16
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, 16.
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara
Demokrasi, 104.
18
M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, 59.
19
M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, 63-64.
17
36
dari kursi kepresidenan pada tahun 2002, Gus Dur mendirikan lembaga The
Wahid Institute pada 7 september 2004. The Wahid Institute adalah lembaga yang
berusaha mewujudkan prinsip dan cita-cita intelektual Gus Dur dalam
membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi,
multikulturalisme dan toleransi kepada kaum muslim di seluruh dunia. Lembaga
ini diinisiasi oleh almarhum Gus Dur, Dr. Gregorius James Barton, Yenny
Zannuba Wahid, dan Ahmad Suaedy.20
Gus Dur memiliki peran sangat penting dalam membangun sikap toleransi
atas kemajemukan bangsa, kebebasan beragama, dan perlindungan kelompok
minoritas yang ada di Indonesia. Tentu saja perjuangan Gus Dur dalam membela
kelompok minoritas, kebebasan beragama, dan toleransi didasarkan pada
pemahaman ajaran Islam dan juga tradisi keilmuan di NU. Dan untuk
melestarikan pemikiran dan perjuangannya terhadap kebebasan beragama di
Indonesia, maka Gus Dur berinisiatif mendirikan lembaga The Wahid Institute
tersebut.
B.
Visi dan Misi The Wahid Institute
Visi; terwujudnya cita-cita intelektual Gus Dur untuk membangun
kehidupan bangsa Indonesia, bangsa yang sejahtera, dan umat manusia yang
berkeadilan sosial dan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme,
demokrasi HAM yang diinspirasi Islam. The Wahid Institute berusaha
memperjuangkan untuk terciptanya dunia yang damai dan adil dengan
20
Lihat “Sejarah The Wahid Institute” http://www.wahidinstitute.org/wahid-id/tentangkami/sejarah-the-wahid-institute.html#, di unduh pada 19 Oktober 2013.
37
mengembangkan
pandangan
Islam
yang
moderat
serta
bekerja
untuk
kesejahteraan bagi manusia.
Misi; 1) Mengembangkan, merawat dan menyebarluaskan nilai-nilai Islam
yang damai dan toleran. 2) Mengembangkan dialog-dialog antar budaya lokal dan
internasional demi memperluas harmoni Islam dengan berbagai kebudayaan
budaya dan agama di dunia. 3) Mendorong inisiatif untuk memperkuat
masyarakat sipil dan tata kelola pemerintah. 4) Mempromosikan partisipasi aktif
dari beragam kelompok agama dalam membangun dialog kebudayaan dan dialog
perdamaian. 5) Mengembangkan inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan dan
keadilan sosial. 21
Kemudian, The Wahid Institute memandang pentingnya hubungan agama
dan negara. Faktanya, agama tidak bisa dipisahkan dari negara, karena
sumbangsih agama bagi kebangsaan cukup besar. Sehingga, adanya upaya
memasukan kerangka nilai-nilai agama di dalam negara. Seperti halnya,
Kementrian Agama (Kemenag), KUA, dan Undang-undang Pernikahan.
Namun, awal berdirinya Kementerian Agama menuai banyak polemik dari
orang non-muslim yang tidak setuju dengan lembaga tersebut, dengan alasan
hanya akan mengakomodir kelompok tertentu saja. Kemudian, akhir-akhir ini
penolakan tersebut muncul kembali, karena Kementerian Agama mengakui hanya
enam agama resmi saja. Padahal, agama di Indonesia banyak sekali seperti, agama
Zoroatser dan Thaoisme. Lalu, adanya diskriminasi terhadap aliran kepercayaan.
21
Lihat “Tentang The Wahid Institute” http://wahid institute.org/wahid-id/tentangkami/tentang-the-wahid-institue.html, diunduh 26 September 2013.
38
Akan tetapi, yang jadi permasalahanya adalah pada praktek pelayanan
Kementrian Agama itu sendiri, apakah pelayananya diskrimatif atau tidak. Jadi,
bukan pada Kementrian Agama dibubarkan atau tidak. Semestinya, yang diatur
Kementerian Agama bukan keyakinannya, tapi masalah fasilitas keagamaan.
Negara tidak boleh campur tangan dalam urusan agama bahkan menentukan aliran
sesat atau tidak sesat.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan keadilan sosial dan toleransi di
Indonesia, The Wahid Institute menginginkan negara Pancasila. Karena dapat
mengakomodir semua kepentingan, dan idiologi dari semua golongan. Pancasila
merupakan titik temu yang dapat menyatukan seluruh elemen masyarakat
Indonesiaan. Dengan demikian, Pancasila merupakan hasil yang sudah final, dan
harus dijaga oleh setiap elemen masyarakat seluruh Indonesia. Karena itu, nilainilai Pancasila adalah dasar idiologi bangsa dan bernegara. Pancasila bukan hanya
wacana,
melainkan
untuk
mewujudkan
menanamkan
nilai-nilai
etika,
kebersamaan, dan kebebasan beragama di Indonesia.
Dalam hal ini, The Wahid Institute berperan terhadap persoalan kebebasan
beragama. Menurut Alamsyah M. Dja’far divisi Media dan Kampanye The Wahid
Institute, bahwa pentingnya menghargai semua warga negara, baik yang beragama
dan yang tidak beragama. Berdasarkan UU Kovenan International, Pasal 18
Tahun 2005 mengenai hak sipil dan politik. Bahwa, setiap orang berhak untuk
memeluk kepercayaan yang diyakininya, berpindah agama, dan melindungi orang
yang tidak beragama (Ateis). Oleh karena itu, setiap orang yang menganut
39
kepercayaan maupun orang yang tidak beragama harus tetap dilindungi. Begitu
juga, dengan aliran-aliran agama baru di Indonesia.22
Jadi, persoalan kebebasan beragama harus terpatri pada setiap individu
untuk menghormati kepercayaan pemeluk agama lain dalam kehidupan beragma
dan bernegara. Kemudian, pemerintah sebagai lembaga negara harus melindungi
kelompok minoritas serta aliran kepercayaan. Bahkan, yang lebih penting lagi
pemerintah serta para penegak hukum menjalankan konstitusi negara, dan
undang-undang kovenanan hak sipil dan politik tahun 2005 tersebut.
Sedangkan untuk sumber dana The Wahid Institute bersumber dari;
keluarga Gus Dur, Yayasan Tifa, Asia Foundation, Kedutaan Australia, Kedutaan
Amerika Serikat (AS).23
C.
Pluralisme dan Toleransi di Indonesia
C.1 Pluralisme
Merujuk kamus besar Bahasa Indonesia, Pluralisme ialah keadaam
masyarakat yang majemuk.24 Secara terminologis, “plural” adalah bentuk dasar
dari kata pluralisme, yang artinya lebih dari satu. Sedangkan secara etimologi,
memiliki banyak arti, Sebagian ada yangg berpendapat, pluralisme adalah sebuah
pengakuan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari
etnis, suku, warna kulit dan satu kelompok saja. Jadi, pluralisme mengakui adanya
perbedaan dimana-mana.
22
Wawancara Pribadi dengan Bapak Alamsyah M. Dja’far, pada 10 Januari 2014.
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013.
24
Pusat Bahasa Departemen pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), 883.
23
40
Menurut pandangan Cak Nur, pluralisme adalah sistem nilai yang
memandang positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri. Pluralisme adalah
sebuah paham yang menegaskan bahwa perbedaan-perbedaan diantara manusia
merupakan keniscayaan yang harus diterima.25
Pluralisme adalah perangkat budaya untuk mendorong pengayaan budaya
bangsa. Maka, budaya Indonesia tidak lain adalah hasil interaksi yang kaya
(resourcefull) dan dinamis antar pelaku budaya yang beranekaragam. Jadi,
pluralisme tidak hanya dimaknai sebagai kemajemukan, beranekaragam, atau
terdiri dari berbagai suku atau agama, justru menggambarkan perpecahan, bukan
pluralisme. Pluralisme tidak boleh dipahami sebagai kebaikan negatif (negative
good), yang dilihat dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.
Seharusnya, pluralisme dipahami sebagai pertalian sejati kebihenekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan, pluralisme suatu keharusan bagi
keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan antar mahluk Tuhan.
Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah menciptakan mekanisme pengawasan
dan pengimbangan antar sesama, hal ini merupakan kemurahan Tuhan yang
melimpah kepada umat manusia. ”Seandainya Allah tidak mengimbangi
segolongan manusia dengan golongan yang lain, maka pastilah bumi akan
25
Miftahul Arief, “Menebar Kembali Pluralisme Agama” Buletin Kebebasan, (Jakarta:
Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 03/V/2007), 12.
41
hancur, namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh
alam”. (Q.S. Al-Baqarah, ayat 251).26
Menurut Gus Dur, pluralisme berkaitan dengan gagasan kebangsaan.
Pluralitas dalam kehidupan berbangsa menurutnya, adanya status antar golongan
mayoritas dan golongan minoritas agama dalam kehidupan berbangsa.27
Pluralisme adalah upaya untuk membangun tidak saja persoalan normatif teologis
tetapi kesadaran sosial, dimana kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang
plural dari segi agama, sosial, etnis, dan berbagai keragaman sosial lainnya. Oleh
karena itu, pluralisme bukan teologis semata, melainkan konsep sosiologis.28
Gus Dur juga menegaskan hal tersebut, bahwa keberagaman adalah rahmat
yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari
pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat manusia. Karena perbedaan itu
rahmat, Gus Dur optimis bahwa keberagaman akan membawa kemaslahatan
bangsa bukan memecah bangsa. Kemudian, Gus Dur mendasarkan perlunya
universal-kebebasan, keadilan, dan musyawarah untuk menghadirkan pluralisme
sebagai agen kemaslahatan bangsa.29
Sedangkan menurut Syafii Maarif, pluralitas etnis, bahasa lokal, agama, dan
latar belakang sejarah, kita jadikan sebagai mozaik kultural yang sangat kaya,
26
Nurcholish Madjid, “Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani,”
dalam Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Grasindo, dan
UIN Jakarta Press, 2002), 5.
27
Ahmad Amir Azis, Neo Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholis
Madjid dan Abdurrahman Wahid, 61.
28
Moh Shofan, Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama (Yogyakarta, Samudra Biru,
2011), 48.
29
Benyamin F Intan, “Gus Dur pejuang Pluralisme Sejati”, dalam Rumadi, ed., Damai
Bersama Gus Dur (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), 70.
42
demi terciptanya sebuah taman sari Indonesia yang memberikan kenyamanan bagi
siapa saja yang menghirup udara di Nusantara ini.30
Pluralisme lebih identik dengan paham masyarakat terbuka (open society)
yang diperkenalkan oleh filsuf dan di kembangkan oleh Karl Poper. Paham
masyarakat terbuka ini memungkinkan tegaknya demokrasi dan mencegah setiap
bentuk otoritarianisme. Selain itu, masyarakat terbuka mengandung inovasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan yang akan mendorong masyarakat kearah yang
lebih baik.31
Oleh karena itu, pluralisme merupakan keberagaman untuk menyatukan
berbagai aspek budaya, etnis, agama, dan golongan. Dengan adanya pluralisme
dapat mewujudkan masyarakat yang berperadaban, dan taat pada hukum.
Pluralisme sebagai hal yang paling penting bagi kehidupan bernegara dan
beragama untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan, toleransi, kebhienekaan
dan nilai demokrasi. Namun, pluralisme tidak akan tewujud tanpa adanya
kesadaran sosial yang tinggi dalam menghormati perbedaan agama, etnik dan
golongan. Kemudian, adanya peran pemerintah dalam menjalankan konstitusi dan
bersikap adil bagi semua kelompok.
Dalam masyarakat plural, setiap toleransi sangat dibutuhkan. Sebab tanpa
toleransi, pluralisme sangat rentan dipecah-belah. Hal ini pula yang terjadi di
Indonesia saat ini. Masyarakat Indonesia yang plural baik etnis, ras maupun
agama, tapi tidak di barengi dengan toleransi, sering mengakibatkan konflik
30
Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia, makalah
Orasi Ilmiah disampaikan pada acara Nurcholis Madjid Memorial Lecture (Jakarta; Paramadina,
21 Oktober 2009), 14.
31
M Dawam Rahadjo, “Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme” Buletin
Kebebasan, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 04/V/2007), 6.
43
horizontal berkepanjangan. Karena itulah sikap toleransi dalam masyarakat yang
plural menjadi sangat penting.
C. 2 Toleransi
Toleransi yang dalam bahasa Arabnya disebut al-tasamuh sesungguhnya
merupakan salah satu diantara sekian ajaran inti dalam Islam. Toleransi sejajar
dengan ajaran fundamental yang lain seperti kasih (rahman), kebijaksanaan
(hikmah), kemaslahatan universal (maslahah ummah), dan keadilan (adl).32
Menurut pemikir Islam, seperti Al-Kindi (w. 873 M), ada lima prinsip
toleransi, pertama, kebenaran adalah tugas penting manusia. Kedua, seseorang
tidak bisa menguasai semua kebenaran. Ketiga, semua orang bisa terpleset dalam
kesalahan, keempat, menghargai orang lain dan pendahulu yang susah payah
mencari kebenaran. Dan kelima, toleransi diperlukan guna meyikapi perbedaan
guna membangun masa depan.33
Oleh karena itu, toleransi dan pluralisme sebagai fondasi kekuatan untuk
mewujudkan kesatuan bangsa, berkeadilan, dan kebihenekaan. Realitasnya,
persoalan pluralisme dan toleransi masih sering terjadi konflik di berbagai daerah.
Seperti halnya pada massa Orde Baru (ORBA) konflik bermuatanan
etnisitas, dan kelompok keagamaan masih sering terjadi. Namun, pemerintah
secara serius meminimalisir konflik melalui pendekatan keamaanan. Konflik
antar-agama dalam sekala relatif sedikit, karena peran Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) yang bergerak menggunakan kekerasan kepada pihak-
32
Abd Muqsith Ghazali, “Cetak Biru Toleransi Beragama,” dalam Abd Muqsith Ghazali,
ed., Ijtihad Islam Liberal Upaya Merumuskan Keberagaman yang Dinamis (Jakarta; Jaringan
Islam Liberal, 2005), 45.
33
Irwan Maqsudi, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Berama, 31.
44
pihak yang dicurigai memicu konflik. Seringnya, konflik yang terjadi bermuatan
etnisitas, dan ada juga bermuatan simbol-simbol kegamaan. Maka, agar konflik
tidak meluas antar umat agama adanya kerjasama mendukung pembangunan yang
direncanakan oleh pemerintah Orde Baru.34
Pasca reformasi 1998, persoalan pluralisme dan toleransi beragama di
Indonesia tidak hanya menjadi kenyataan sosial namun juga menjadi diskursus
politik dan hukum. Telah banyak regulasi yang lahir terkait pengaturan toleransi
beragama di Indonesia. Regulasi-regulasi tersebut mengatur berbagai aspek
menyangkut penciptaan iklim toleransi di tengah masyarakat. Seperti halnya,
regulasi pendirian rumah ibadah dan regulasi menyangkut aliran-aliran
keagamaan.35
Aturan pendirian rumah ibadah menjadi satu paket dalam Peraturan Menteri
Bersama (PMB) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
No. 9 dan No. 8 tahun 2006 tentang “Pedoman tugas Kepala Daerah/Wakil dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat
beragama dan pendirian rumah ibadah.”36 Faktanya, penerapan PMB tersebut
sering dilanggar oleh pemerintah daerah, bahkan melakukan tindakan intimidsi,
kekerasan, penyegelan rumah ibadah, dan pembekuan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor, dan Gereja Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi.
34
Yeni Zannuba Wahid, dkk, Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu
Penting, (Jakarta: The Wahid Institute, 2012), 71-72.
35
Yeni Zannuba Wahid, dkk., Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu
Penting, 2-3.
36
Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010
(Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies) Universitas Gadjah Mada, 2010),
36.
45
Persoalan GKI Taman Yasmin Bogor dan Gereja HKBP Filadelfia Bekasi
sering mengalami tindakan diskriminasi, penyegelan tempat ibadah yang
dilakukan oleh sekelompok masyarakat tertentu, dan pembekuan IMB yang
dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain itu, adanya keputusan Presiden tentang
pembubaran Ahmadiyah. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri
(Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri), Nomor: 3 Tahun
2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 tentang
peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, atau pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI), dan warga masyarakat.37
Begitu juga dengan adanya peraturan daerah (Perda) yang mendasarkan
keputusannya kepada SKB tersebut. Keputusan ini didukung Jaksa Agung Basrief
Arif mendukungan penetapan perda pelarangan Ahmadiyah dengan alasan kepala
daerah lebih mengetahui kondisi sosial masyarakatnya. Sependapat dengan itu,
37
Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri: Pertama, Memberi peringatan dan
memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama
itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Kedua, memberi peringatan dan
memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran
dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham
yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Ketiga,
Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak
mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan
Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
termasuk organisasi dan badan hukumnya. Keempat, memberi peringatan dan memerintahkan
kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta
ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau
tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/ atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI). Kelima, warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan
perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keenam, memerintahkan kepada
aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam
rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini. Ketujuh, Keputusan
Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan (Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2008).
Lihat The Wahid Institute, Monthly Report on Religious Issues, Edisi Juni 2008 (Jakarta: The
Wahid Institute, 2008),
46
Menteri
Dalam
Negeri
berpendapat
bahwa
perda-perda
tersebut
tidak
bertentangan dengan SKB. Kemudian, Menteri Agama menganggap peraturan
daerah sudah tepat.38
Sebelumnya,
pada
tahun
1980
Majelis
Ulama
Indonesia
(MUI)
memfatwakan Ahmadiyah sesat. Kemudian, pada tahun 2005 MUI mengukuhkan
fatwa Ahmadiyah sesat. Dengan alasan, meningkatnya penolakan terhadap
Ahmadiyah di pentas dunia global, khususnya negara-negara yang berpenduduk
muslim, serta menguatnya kelompok-kelompok konservatif yang mengancam
kerukunan antar-umat beragama.39
Sependapat degan MUI, Menteri Agama Suryadharma Ali beranggapan
bahwa jemaat Ahmadiyah harus dibubarkan, karena kalau tidak potensi konflik
akan terus meningkat dan mengganggu kerukunan umat beragama. Ahmadiyah
adalah cikal bakal terjadi konflik di masyarakat. Menteri Agama juga beralasan
bahwa Ahmadiyah bertentangan dengan pokok ajaran Islam, karena itu harus
diberhentikan berbagai aktifitasnya.40
Akan tetapi, fatwa MUI dan SKB Tiga Menteri sebenarnya tidak mampu
menyelasaikan masalah Ahmadiyah. SKB Ahmadiyah di lapangan justru
meligitimasi tuntutan massa dan konsiderasi pemerintah mengeluar kebijakankebijakan diskriminatif terhadap Ahmadiyah.41
38
Zainal Abidin Bagir dkk, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
(Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada, 2011), 38
39
Ismail Hasani-Bonar dan Tigor Naipospos, Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita (Jakarta:
Pustaka Masyarakat Setara, 2011), 26-27.
40
The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2010 Pluralisme Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), 45.
41
Ismail Hasani-Bonar dan Tigor Naipospos, Menjamin Kebebasan, Mengatur Kehidupan
Beragama: Laporan Studi Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
(Jakarta: Seatara Institute, 2011), 125.
47
Selain SKB Tiga Menteri, adanya regulasi penodaan agama yang tercantum
KUHP 156a dan UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan
atau penodaan agama (selanjutnya disebut sebagai UU Penodaan Agama), yakni
mengeluarkan perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama
(KHUP 156a).42
Seperti halnya, kasus Lia Aminudin, aliran kepercayaan yang bernama
Salamullah didakwa melakukan penodaan agama (Pasal 156 a KHUP),
penyebaran rasa permusuhan (Pasal 157 ayat 1 KHUP), dan perbuatan tidak
menyenangkan (Pasal 335 KHUP).43
Kemudian, kasus penyerangan dan pengusiran terhadap warga Syiah di
Sampang Madura, yang mengakibatkan
pesantren dan rumah Tajul Muluk
dibakar massa yang tidak senang dengan keberadaan Syiah. Sehingga warga
Syiah terpaksa mengungsi Gelanggang Olahraga (GOR) di Sampang. Atas
kejadian tersebut, pimpinan Syiah Tajul Muluk didakwa telah melakukan
penodaan agama.
Terkadang aturan-aturan tersebut didukung oleh lembaga keagamaan yang
banyak melakukan tindakan diskriminatif, dan melemahnya tindakan negara
dalam menyikapai persoalan kebebasan beragama. Imbasnya, adanya tindakan
kekerasan struktural terhadap kaum minoritas. Contohya, gereja-gereja yang tidak
diakui dan ditekan eksistensinya, ada juga oraganisasi-organisasi keagamaan lain
42
Zainal Abidin Bagir, dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012
(Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies) Universitas Gadjah Mada, 2012),
14.
43
Uli Parulian Sihombing, ed., Ketidakadilan dalam Beriman Hasil Monitoring Kasuskasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian Atas Dasar Agama di Indonesia, Jakarta: The
Indonesia Legal Resources Center (ILRC), 2012), 36.
48
seperti Islam Jama’ah, tarekat mistik, dan aliran kepercayaan lainnya yang
mendapatkan perlakuan diskriminatif dari aparatur negara, pemerintah maupun
oleh non-state actor..44
Hal ini menggambarkan bahwa toleransi dan kebebasan beragama di
Indonesia semakin buruk. Dengan maraknya tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh kelompok radikal terhadap kelompok-kelompok minoritas, Ahmadiyah,
perusakan rumah ibadah, aliran kepercayaan, dan aliran Syiah.
Begitu juga dengan sikap pemerintah yang bersikap intoleran dengan
melakukan pembekuan IMB rumah ibadah GKI Taman Yasmin Bogor, dan
HKBP Filadelfia Bekasi. Selain itu, pemerintah melakukan pembiaran terhadap
kasus kekerasan yang bernuasa agama di Inonesia, kelompok minoritas, serta
aparat penegak hukum tidak tegas dalam menangani kasus kekerasan dan
perusakan rumah ibadah.
Menurut laporan The Wahid Institute, korban tindakan intoleransi dan
diskriminasi selama 2010 ini berjumlah 153 korban. Korban tertinggi adalah
perorangan/individu 35 korban, kemudian jemaat gereja di berbagai daerah 28,
kelompok masyarakat 20, korban dari warga Ahmadiyah di berbagai daerah 18
dan komunitas yang diduga sesat 15.45 Untuk lebih lengkapnya lihat tabel di
bawah ini.
44
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multkultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin
Kebersamaan (Jakarta: KOMPAS, 2003), 48-49.
45
The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2010 Pluralisme Kebebbasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, 75-76.
49
Tabel 1. Korban Intoleransi dan Diskriminasi 2010
No Korban
Jumlah
1
Individu
35
2
Jemaat gereja di berbagai daerah
29
3
Kelompok masyarakat
20
4
Warga Ahmadiyah di berbagai daerah
19
5
Komunitas ynag diduga sesat
15
6
Dunia usaha
8
7
Pemimpin dan aliran pengikut Abraham
7
8
Umat Buddha Tanjung Balai
4
9
Instasi pemeritahan
5
10
Pengikut aliran surga Eden
2
11
Umat Konghucu
2
12
Pemimpin dan pengikut aliran akmaliyah
2
13
Pengikut ahl al-bait Indonesia Jawa Timur
1
14
Pemimpin dan pengikut Brayat Agung
1
15
16
17
Jemat LDII
1
Pengikut tharikat Fatoriyah
1
Santri dan Pengasuh Pesantren Fajar
1
Hidayah
LSM
1
Komunitas LGBT
1
Total
155
Sumber; Laporan The Wahid Institute 2010.
18
19
Sedangkan tahun 2011 korban intoleransi dan diskriminasi diantaranya;
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah kelompok yang paling sering menjadi
korban tindak intoleransi karena keyakinan mereka dianggap berbeda dari
mainstream umat Islam dengan 65 kasus (26%). Korban berikutnya adalah
individu yang dianggap berbeda dari mainstream 42 kasus (17%), Pemilik usaha
50
atau pedagang 24 kasus (10%), umat Kristen 20 kasus (8%). Berikut tabel
selengkapnya.46
Tabel 2. Korban Intoleransi 2011
No Korban
Jumlah %
1
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
65
26
2
3
Individu
Pemilik usaha / pedangang
42
24
17
10
4
5
Umat Kristen
Pejabat / pengawai pemerintahan
21
16
9
7
6
7
8
9
10
Kelompok atau individu terduga sesat
Tempat ibadah
Jemaat GKI Yasmin
Artis / pelaku seni
Kelompok pelajar / siswa
16
15
11
7
6
7
6
4
3
2
11
12
13
14
15
16
17
18
Properti umum
Pengikut Syiah
Peneliti / akademisi
LSM
Polisi
Warga NU
Ormas Agama
Media
4
5
3
3
4
2
2
1
2
2
1
1
2
1
1
0
Sumber: Laporan The Wahid Institute 2011.
Pada tahun 2012, korban tertinggi dialami oleh umat Kristen dengan 39 kali,
berikutnya individu atau korban perorangan dengan 35 kali, diikuti pengikut
Syi’ah 27 kali dan kelompok atau aliran yang terduga menyebarkan aliran sesat
dengan 26 kali, berikutnya dari pelaku usaha 21 kali dan JAI 19 kali, selekapnya
bisa di lihat tabel di bawah ini.47
46
The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebbasan Beragama Laporan Kebebasan
Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011, 50.
47
The Wahid Institute, Ringkasan Eksekutif Laporan Akhir Tahun Kebebbasan
Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011, 34-35.
51
Tabel 3. Korban Intoleransi 2012
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Korban
Jumlah
Umat Kristen
39
Individu
35
Pengikut Syiah
27
Kelompok terduga sesat
26
Pelaku Usaha
21
JAI
19
Kelompok warga masyarakat
17
Properti umum
13
Rumah ibadah
12
Anggota ormas agama
7
Pejabat/aparat negara
5
Kelompok pelajar
2
Umat Hindu
2
Pengacara
2
LSM
2
Pejabat lembaga Internasional
2
Umat Konghucu
1
Geraka Ahmadiyah Indonesia
1
Media massa
1
Pengikut agama lokal
1
Perguruan tinggi
1
Kelompok umat Islam
1
LGBT
1
Seniman
1
Sumber; Laporan The Wahid Institute, 2012.
Berdasarkan tabel di atas tersebut, bahwa tindakan intoleransi dan
diskriminasi di Indonesia masih sering terjadi. Baik itu konflik rumah ibadah
intimidasi aliran kepercayaan, dan tindakan kekerasan terhadap kelompok
minoritas.
Seharusnya, para penegak hukum mencegah aksi kekerasan tersebut,
memberikan pemahaman nilai-nilai demokrasi dan toleransi kepada masyarakat.
52
Maka, dengan toleransi dapat mewujudkan masyarakat yang damai, menghargai
perbedan umat beragama, aliran kepercayaan, membangun masyarakat adil,
berperadaban, dan demokratis.
Kemudian, adanya peran pemerintah sebagai resolusi kasus kekerasan yang
terjadi di Indonesia. Lalu, sikap pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai
toleransi, menjamin kebebasan beragama, melindungi hak asasi manusia, bersikap
adil, dan tegas dalam melaksanakan konstitusi UUD dasar 1945 sebagi fondasi
negara Indonesia.
Akan tetapi, dalam penerapan toleransi di masyarakat masih banyak
mengalami kendala diantaranya; SKB tiga Menteri, peraturan daerah, dan fatwa
MUI tentang penyesatan kepada aliran kepercaan. Selain itu, adanya regulasi
undang-undang PNPS 1965 tentang pencegahan dan penodaan agama di
Indonesia. Kemudian, masih banyak sikap masyarakat yang intoleran terhadap
kelompok agama lain.
Maka, dengan hadirnya The Wahid Institut juga diharapkan dapat
mewujudkan prinsip-prinsip dan cita-cita intelektual Gus Dur dalam membangun
bangsa, mendorong terciptanya masyarakat yang demokrasitis, pluralisme,
mulikulturalisme, kebebasan beragama, dan toleransi. Oleh karena itu, toleransi
sebagai kekuatan bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera baldatun
thoyibatun wa rabbun ghofur. Serta, toleransi sebagai khazanah untuk
membangun integritas etnis, budaya, bahasa, dan kearifan lokal.
53
BAB IV
PERAN THE WAHID INSTITUTE TERHADAP KEBEBASAN
BERAGAMA DI INDONESIA
Persoalan toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia masih sering
terjadi di berbagai daerah. Adanya tindakan kekerasan atas nama agama terhadap
kelompok-kelompok minoritas, perusakan rumah ibadah, dan aliran kepercayaan
menjadi salah satu buktinya. Oleh karena itu, The Wahid Institute melakukan
peran advokasi terhadap para korban kekerasan, seperti Gereja Kristen Indonesia
(GKI) Taman Yasmin Bogor, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia
Bekasi, Syiah di Sampang, Madura, dan Ahmadiyah di Cikeusik Banten.
A.
Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor
Salah satu masalah yang sering mencuat dalam isu rumah ibadah adalah
masalah perijinan, masalah yang seringkali memicu ketegangan antaragama.
Meskipun ada aturan tentang perijinan pendirian rumah ibadah, namun dalam
praktiknya tidak selalu diterapkan sebagaimana mestinya. Konflik tempat ibadah
bisa muncul karena ijin tempat ibadah belum keluar karena berbagai alasan, atau
karena ijin yang sudah keluar kemudian dipermasalahkan pihak lain.1
Persoalan pendirian rumah ibadah di Indonesia sudah lama mengganggu
keharmonisan antar pemeluk agama. Sejak rezim Orde Baru sampai sekarang,
persoalan pendirian rumah ibadah masih menimbulkan ketegangan. Acap kali
1
The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2008), 52.
54
terjadi tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama di Indonesia.2 Sebut
saja, permasalahan pendirian rumah ibadah GKI Taman Yasmin Bogor dan
HKBP Filadelfia di Bekasi.
Pada 13 Juli 2006, GKI Taman Yasmin telah mendapat Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dari Walikota Bogor dan masyarakat setempat. Bahkan,
peletakan batu pertama pendirian GKI Taman Yasmin dihadiri oleh Lurah, Camat,
Danramil, Bimas Kristen, Asisten Daerah I, dan tokoh masyarakat setempat.
Namun, dengan berbagai alasan yang tidak jelas, IMB GKI Taman Yasmin
dibekukan oleh Pemerintah Kota Bogor pada tanggal 14 September 2008.
Pembekuan gereja tersebut mengakibatkan gereja tidak dapat melanjutkan
pembangunannya lagi.
Pembekuan rumah ibadah GKI Taman Yasmin sebenarnya muncul dari
Lurah Curug Mekar pada akhir Tahun 2006. Dengan alasan, kedatangan GW
Bush ke Indonesia, yang ditakutkan akan menjadikan jemaat GKI Taman Yasmin
sebagai sasaran protes dan kemarahan atas kedatangan GW Bush yang kristen dan
banyak melakukan kejahatan terhadap umat muslim di Timur Tengah. Kemudian
adanya kegiatan menjelang tablig akbar oleh A‟A Gym.3
Selain pembekuan IMB GKI Taman Yasmin Bogor, Walikota Bogor juga
menggembok gereja di jalan KH. Abdullah Bin Nuh, Taman Yasmin Bogor, 10
April 2010. Akibatnya, jemaat gereja terpaksa beribadah di trotoar, persis di
depan gereja. Lalu, ibadah mereka juga dijaga oleh Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP). Pada 27 Agustus 2010, Pemerintah Kota (Pemkot) sebetulnya sempat
2
Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta: Center for Religious
and Cross-cultural Studies/CRCS), 2011), 13.
3
Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta, 86.
55
membuka segel gereja, plus berita acara resmi. Anehnya, sehari setelahnya di
gembok kembali. Kasus ini mulai bergulir sejak tahun 2008 setelah Kepala Dinas
Tata Kota dan Pertamanan Yusman Yopie, membekukan IMB pembangunan GKI
Taman Yasmin, Bogor. Alasannya banyak desakan dari ormas Islam se-Kota
Bogor.4
Pada tanggal 8 Maret 2011, Walikota Bogor Diani Budiarto menerbitkan
kembali Surat Keputusan (SK) Walikota Bogor Nomor 503.45-135 tahun 2011
tentang Pencabutan Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor
Nomor 503/208-DTKP Perihal Pembekuan Izin Tanggal 14 Pebruari 2008.
Berselang tiga hari, pada tanggal 11 Maret 2011, Walikota Bogor menerbitkan SK
lainnya Nomor 645.45-137 Tahun 2011 yang isinya mencabut IMB GKI Taman
Yasmin, Bogor.
Kemudian, pihak GKI Taman Yasmin melaporkan perihal terbitnya SK
Walikota Bogor 11 Maret 2011 ke lembaga Ombudsman RI. Akhirnya,
Ombudsman RI mengeluarkan Rekomondasi No. 0011/REK/0259.2010/BS15/VII/2011 pada tanggal 8 Juli 2011 tentang Pencabutan Surat Keputusan
Walikota Bogor Nomor 645.45-137 Tahun 2011 tertanggal 11 Maret 2011.5
Setelah mendapatkan angin segar dari Ombudsman RI, pihak GKI Taman
Yasmin juga melakukan perlawanan hukum ke Pengadilan Tata Usaha (PTUN)
Bandung. Selain itu, GKI Taman Yasmin menggugat Pemerintah Kota (Pemkot)
Bogor. Walhasil, Putusan PTUN Bandung No 41/G2008/PTUN-BDG, September
4
The Wahid Institute, Monthly Report on Religius Issue (MRORI), Edisi XXXV, Agustus
2011 (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), 7.
5
Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
(Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada,
2011), 44- 45.
56
2008 menyatakan menolak eksepsi tergugat (Pemkot). Dalam pokok sengketa; 1)
Mengabulkan gugatan para penggugat GKI Taman Yasmin. 2) Menyatakan batal
surat pembekuan IMB. 3) Memerintahkan kepada tergugat Pemkot untuk
mencabut surat pembekuan IMB. 4) Menghukum penggugat membayar biaya
perkara.6
Menanggapi kasus pembekuan IMB rumah ibadah tersebut, The Wahid
Institute melakukan advokasi kepada GKI Taman Yasmin Bogor melalui berbagai
pendekatan. Pertama, pendekatan terhadap partai politik. Kedua, tokoh
masyakarat yang mempunyai pengaruh sosial terhadap kasus GKI Yasmin.
Ketiga, pada jalur hukum The Wahid Institute bekejasama dengan Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta, dan pendekatan ke lembaga pendidikan pesantren yang ada di Bogor.
Seperti, Pesantren Al-ghazali dan Pesantren Nurul Falaq. Selain itu, The Wahid
Institute juga melakukan pembelaan langsung kepada Sekertaris Walikota Bogor,
Kapolres Bogor untuk menjamin keamanan terhadap jemaat GKI Yasmin, serta
anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bogor.7
Dalam hal ini, peran The Wahid Institute adalah melakukan advokasi
pendampingan terhadap PTUN dan Mahkamah Agung (MA) sebagai bentuk
dukungan terhadap GKI Taman Yasmin.8 Ahmad Suaedy menambahkan, The
Wahid Institute melakukan kritik terhadap pemerintah untuk menegakan
konstitusi dan melindungi korban GKI Taman Yasmin, mendampingi korban ke
6
Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta, 87.
Wawancara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013.
8
Tempo.com http://www.tempo.co/read/news/2012/12/24/173450192/Wahid-Institute
Minta-Wali-Kota-Jamin-GKI-Yasmin, diakses pada 1 Januari 2013.
7
57
pengadilan sebagai bentuk dukungan moril kepada korban, investigasi, dan press
konference untuk menyikapi kasus yang sedang berlangsung.9
Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh The Wahid Intitute terhadap GKI
Taman Yasmin melalui pendekatan struktural yaitu; terhadap pemerintah,
Walikota, kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bogor, partai politik
dan pengambil kebijkan. Dengan tujuan, agar Walikota Bogor memberikan izin
terhadap pendirian rumah ibadah GKI Taman Yasmin tersebut. Karena pada
dasarnya pendirian rumah ibadah merupakan hak setiap orang ataupun kelompok.
Seharusnya, lembaga negara harus bersikap adil menangani persoalan
rumah ibadah GKI Taman Yasmin tersebut. Selain itu, pemerintah juga harus
menjalankan konstitusi negara untuk menjamin warga negara memeluk
kepercayaan dan menghormati pemeluk agama lain.
Pada level masyarakat, The Wahid Institute melakukan pendekatan dan
memberikan pemahaman kepada tokoh agama dan organisasi masyarakat (ormas)
setempat terkait pendirian rumah ibadah. Sehingga, ormas dan para pemuka
agama mendukung pendirian rumah ibadah GKI Taman Yasmin tersebut.
Selama kasus tersebut berlangsung, The Wahid Institute diminta oleh
sekelompok orang untuk melakukan pembelaan terhadap pihak GKI Taman
Yasmin, dan The Wahid Institute juga mempunyai konsen terhadap pembelaan
korban kekerasan dan kebebasan dalam mendirikan rumah ibadah.
Sejauh ini, The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan
mendirikan rumah ibadah GKI Taman Yasmin, Bogor, mengalami kendala yang
9
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 23 Desember 2013.
58
cukup berat. Misalnya, dari segi hukum, aparat penegak hukum tidak tegas dalam
menangani persoalan hukum di Indonesia. Kemudian, persoalan kepemimpinan
yang ikut terlibat dalam kasus tersebut.10
Oleh karena itu, pembelaan yang dilakukan oleh The Wahid Institute dalam
melakukan pembelaan terhadap GKI Taman Yasmin masih belum maksimal, tapi
setidaknya apa yang dilakukan oleh The Wahid Institute terhadap kasus tersebut
dapat muncul ke publik dan dapat diketahui oleh banyak pihak. Sehingga banyak
Lemabaga Swaday Masyarakat (LSM) dan masyarakat sipil yang peduli membela
jemaat GKI Taman Yasmin, Bogor.
Bagi The Wahid Institute itu sendiri, GKI Taman Yasmin seharusnya
mendapatkan haknya untuk mendirikan rumah ibadah seperti pendirian rumah
ibadah yang lainnya. Walaupun perjuangan The Wahid Institute sudah maksimal,
tapi masih saja mengalami kendalan di lapangan. Seperti, kelompok tertentu yang
mengatasnmakan Islam tidak setuju dengan pembanguan rumah ibadah tersebut
dikarenakan adanya Kristenisasi. Lalu, sikap Walikota Bogor yang melakukan
pembekuan IMB GKI Taman Yasmin, Bogor. Padahal, secara administratif GKI
Taman Yasmin telah mendapatkan payung hukum dari PTUN Bandung dan
PTUN Jakarta.
B.
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi
Peristiwa Gereja HKBP Filadelfia Bekasi tidak jauh berbeda dengan GKI
Taman Yasmin, Bogor. Secara lega-formal gereja HKBP Filadelfia telah
memenuhi persyaratan administratif, yaitu mengantongi 300 kartu tanda
10
Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M Dja‟far, pada 10 Januari 2014.
59
penduduk (KTP) dan 259 tanda tangan persetujuan warga sekitar. Karena itu,
Sukardi, Kepala Desa Jejalen Jaya, tidak keberatan atas pendirian rumah ibadah
tersebut, mengeluarkan dan memberi izin pendirian gereja HKBP Filadelfia
Bekasi dengan No. 451.2/09/X2007, tertanggal 11 Oktober 2007.11
Begitu juga persetujuan dan dukungan dari tokoh agama H. Heri. Ia adalah
tokoh NU dan mantan ketua MUI kecamatan Tambun Utara. Ia tidak keberatan
pendirian rumah ibadah Gereja HKBP Filadelfia Bekasi. Bahkan H. Heri sering
berhadap dengan kelompok yang tidak setuju dengan pembangunan geraja
tersebut. 12
Namun begitu ternyata masyarakat melakukan „gugatan‟ yang berasal dari
warga yang menolak pendirian gereja. Mereka menuduh adanya rekayasa dan
penipuan dalam memperoleh dukungan persetujuan warga, sehingga dukungan
tersebut bermasalah, termasuk oleh Forum Kerukunan Umat Islam (FKUI) yang
dimotori oleh Ustadz Naimun, Ustadz Amil Mariadi, dan Ustadz Acep.
Kemudian, jemaat Gereja HKBP melakukan permohonan pembangunan gereja
kepada Bupati Bekasi, Kepala kantor Departemen Agama (DEPAG) Kabupaten
Bekasi, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bekasi dan Camat
Tambun Utara pada 02 April 2008.
Namun, Pihak Camat Tambun Utara keberatan soal pembangunan gereja
melalui surat No.452.2/76/II-/Ekmasy/2008. Kemudian, kantor Departemen
Agama setempat mengeluarkan surat No. Kd. 10.16.11/1473/2009 tertanggal 18
Agustus 2009. Depag mengatakan tidak bisa memberikan rekomondasi pendirian
11
12
Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta, 98.
Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta, 101.
60
gereja, sebab masih ada penolakan warga setempat sebagaimana surat yang
dikeluarkan oleh Camat Tambun Utara, Kabupten Bekasi.13
Akhirya, jemaat Gereja HKBP Filadelfia Bekasi untuk sementara waktu
beribadah di Balai Desa Jejalen Raya, meskipun masih sering diserang massa.
Tanggal 13 Januari 2010, pihak HKBP Filadelfia menerima SK Bupati Kabupaten
Bekasi No.300/675/Kesbangpolinmas/09 tertanggal 31 Desember 2009 mengenai
Penghentian Kegiatan Pembangunan dan Kegiatan Ibadah HKBP Filadelfia.
Menyoal SK Bupati Bekasi tersebut, Pihak Gereja HKBP Filadelfia
mengajukan gugatan kepada Putusan PTUN Bandung Nomor 42/G/2010/PTUNBDG
tanggal
2
September
2010,
serta
PTUN
Jakarta
Nomor
255/B/2010/P.TUN.JKT tanggal 30 Maret 2011 yang menyatakan SK tersebut
batal. Dua putusan PTUN Bandung dan PTUN Jakarta sudah final dan
berkekuatan hukum.
Namun, keputusan PTUN Bandung dan PTUN Jakarta tidak berdampak
signifikan terhadap kasus Gereja HKBP Filadelfia. Selama tahun 2012, jemaat
HKBP Filadelfia sering mendapatkan penentangan sebagian umat muslim
setempat dan perlakuan intimidasi, kekerasan, serta ancaman pembunuhan
terhadap Pendeta Palti Panjaitan, pemimpin jemaat HKBP Filadelfia. Mereka
beralasan, bahwa tujuan pendirian gereja adalah upaya kristenisasi.14
Menanggapi persoalan tersebut, The Wahid Institute melakukan advokasi
dalam memperjuangkan hak beribadah, serta menuntut pemerintah agar secara
13
The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX
Desember 2011- Januari 2012 (Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 11.
14
Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012
(Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CSRC) Universitas Gadjah Mada,
2011), 35-36.
61
serius memberikan jaminan perlindungan bagi pihak HKBP Filadelfia dari segala
bentuk diskriminasi dan intoleransi yang dilakukan oleh siapapun, baik itu oleh
oknum pemerintah ataupun kelompok masyarakat.15
Selain itu, menurut M Subhi Azahari devisi Monitoring dan Advokasi The
Wahid Institute menambahkan. Pertama, melakukan press confrence untuk
menyikapi perkembangan kasus HKBP Filadelfia Bekasi sebagai bentuk
peryataan sikap atas kasus tersebut. Kedua, melakukan journalist briefing
memberikann pemahaman terkait kasus HKBP Filadelfia Bekasi kepada semua
media massa sehingga media massa dapat menyajikan berita secara objektif.
Ketiga, pendekatan kepada Forum Kerukuanan Umat Beragama (FKUB) untuk
bersikap netral dan mendorong suatu resolusi konflik bukan ikut terlibat dalam
konflik.
Selanjutnya, The Wahid Institute juga membuat analisa kasus yang hasilnya
diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten,
Golongan Karya (Golkar), Ombudsman RI, Komisi Nasional Hak Asasi manusia
(Komnasham) dan Komnas Perempuan. Maka, dari hasil analisa The Wahid
Institute, semua elemen lembaga tersebut sebenarnya sepakat dengan pemahaman
dan perjuangan yang dilakukan oleh The Wahid Institute.16
Kemudian, beberapa elemen masyarakat sipil melakukan advokasi seperti,
The Wahid Institute, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman
(SEJUK), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Mereka
15
http://wahidinstitute.org/Dokumen/Detail/?id=193/hl=id/Memperjuangkan_Hak_Beribada
h_HKBP_Filadelfia, “Memperjuangkan Hak Beribadah Filadelfia”, diunduh pada 6 Maret 2013.
16
Wawancara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013.
62
menuntut tiga hal. Pertama, menuntut pemerintah secara serius memberikan
jaminan perlindungan kepada pihak HKBP Filadelfia dari segala bentuk
diskriminasi baik dilakukan oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat.
Kedua, melindungi HKBP Filadelfia dalam menjalankan ibadah. Ketiga,
memastikan terbitnya IMB kepada HKBP Filadelfia untuk mendirikan tempat
ibadah di desa Jejalen, Bekasi.17
Dengan demikian, alasan The Wahid Institute melakukan pembelaan
terhadap korban HKBP Filadelfia Bekasi yaitu, pemerintah tidak melaksanakan
konstitusi dalam menjamin kebebasan beragama dan beribadah. Sehingga The
Wahid Institusi membantu meperjuangkan hak korban untuk mendirikan rumah
ibadah. Namun, The Wahid Institute mengalami kendala yaitu, para penegakan
hukum tidak adil dalam menangani persoalan kasus kekerasan dan kebebasan
mendirikan rumah ibadah. Begitu juga dengan sikap para pemimpin daerah yang
ikut terlibat terhadap kasus tersebut.18
Sejauh ini, apa yang sudah dibela The Wahid Institute melalui berbagai
pendekatan baik tokoh masyakarat, pemerintah daerah, dan melalui press
conference, setidaknya kasus pembekuan IMB rumah ibadah HKBP Filadelfia
dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Tentu saja, pembelaan The Wahid Institute terhadap HKBP Filadelfia
dengan alasan adanya kepincangan sikap pemerintah daerah yang tidak adil
terhadap korban kekerasan dan kelompok minoritas. Begitu juga sikap para
penegak hukum yang tidak tegas menjalankan konstitusi dan menindak tegas para
17
The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi Maret-April
2012 (Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 3.
18
Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M. Dja‟far, pada 10 Januari 2014.
63
pelaku pemimpim daerah yang melakukan pembangkangan hukum. Selain itu,
adanya sikap intoleransi masyarakat yang melakukan ancaman, intimidasi kepada
kelompok minoritas.
C.
Aliran Syiah di Sampang Madura
Peristiwa kekerasan dan pengusiran terhadap aliran Syiah19 yang terjadi
pada 29 Desember 2011, di Dusun Nangkernang, Karang Gayam, Omben,
Kabupaten Sampang, Madura. Kasus tersebut mengakibatkan rumah pimpinan
Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI), Tajul Muluk, dua rumah warga Syiah, dan
Mushalla Syiah di bakar oleh 500an orang.20 Akhirnya, warga Syiah diungsikan
ke Gelanggang Olahraga (GOR) yang bertempat di depan Kantor Bupati
Sampang, Madura.
Selanjutnya, isu ini ditanggapi Pemerintah Daerah Syaifullah Yusuf sebagai
Wakil Gubernur Jawa Timur, Ia mengajukan izin relokasi warga Syiah agar
konflik tidak terjadi lagi. Solusi ini seakan-akan ingin menyelesaikan masalah
yang muncul dengan melenyapkan kelompok yang berbeda secara paksa.21 Oleh
karena itu, tindakan Wakil Gubernur tersebut tidak memberikan solusi terbaik
dalam mengatasi kasus Syiah di Sampang, Madura. Bahkan, tidak mampu
melindungi jaminan keamanan bagi warga Syiah.
19
Golongan Syiah; yang hanya mengakui khalifah Allah saja. Mereka tidak mengakui
Khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman, bahkan menyatakan bahwa ketiga Khalifah telah
meyererobot jabatan Khalifah yang tidak sah. Mereka berhak yang menjadi Khalifah sesudah
Nabi adalah Ali. dalam H.M Rasyidi, Apa itu Syiah (Jakarta: Harian Umum Pelita, 1984), 50.
20
Yeni Zannuba Wahid, dkk, Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu
Penting (Jakarta: The Wahid Institute, 2012), 34.
21
Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011,
30.
64
Akhirnya, jamaah Syiah di evakuasi ke Gelanggang Olahraga (GOR)
Sampang, dengan fasilitas terbatas dan mendapat tekanan dari institusi pemerintah
serta ormas tertentu. Pihak yang aktif menekan adalah kantor Kementerian Agama
(Kemenag) Sampang yakni Kiai Halim serta kepala Kesbangpol Sampang, Rudi
Setyadi.
Pada 2011, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pimpinan Cabang
Nahdlatul Ulama (PCNU) setempat beserta Basra (Badan Urusan Silaturahmi
Ulama Madura), memaksa Tajul Muluk untuk menyetujui 3 kesepakatan; 1)
menghentikan semua aktifitas Syiah dan kembali ke Sunni. 2) Diusir ke luar
wilayah Sampang tanpa ganti rugi lahan/asset yang ada, dan 3) jika salah satu
poin tidak dipenuhi, berarti aliran Syiah harus mati.22
Sikap fatwa MUI Kabupaten Sampang No: A-035/MUI/SPG/I/202 tanggal
1 Januari 2012 menyatakan bahwa ajaran Tajul Muluk sesat dan menyesatkan dan
merupakan penistaan agama. Selanjutnya, adanya peryataan sikap Pimpinan
Cabang Nahdaltul Ulama (PCNU) Sampang No; 255/EC/A:/L-36/I/102 tanggal 2
Januari 2012 yang juga menyatakan bahwa ajaran Tajul Muluk sesat dan
menyesatkan, serta merupakan tindakan penistaan agama yang membuat bikin
keresahan di masyarakat.23
Fatwa MUI tersebut yang menyeret Tajul Muluk alias Ali Murtadho,
Pemimpin Syiah Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben,
Madura. Akhirnya, Tajul Muluk divonis dua tahun penjara karena secara terbukti
22
The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX
Desember 2011- Januari 2012 (Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 3.
23
Yeni Zannuba Wahid, dkk, Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu
Penting, 40.
65
melakukan penodaan agama sebagaimana tercantum dalam Pasal 156a KHUP.
Menurut ketua Majlis Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Purnomo Amin
Cahyono, Tajul Muluk telah melecehkan agama Islam dengan menyatakan Alqur‟an yang beredar tidak asli lagi.24
Hal ini tercermin bahwa Pengadilan Negeri (PN) tidak bersikap adil dalam
persidangan kasus Tajul Muluk, dan pemerintah tidak tegas dalam menangani
persoalan kekerasan agama. Sebut saja, peryataan Syaifullah Yusuf, Wakil
Gubernur Jawa Timur, mengenai relokasi jemaah Syiah ke GOR Sampang. Seolah
menujukan bahwa pemerintah daerah tidak mampu menyelesaikan konflik ini.
Bahkan, beberapa lembaga pemerintah dan ormas melakukan tindakan intimidatif
terhadap warga Syiah.
Menyikapi kasus Syiah tersebut, The Wahid Institute juga melakukan
advokasi di lapangan melalui kerjasama dengan jejaring The Wahid Institute
yaitu, Center for Marginalized Comunities Studies (CMARs) Surabaya. Peran
yang dilakukan oleh CMARs yaitu, pendampingan ke ranah hukum, pembelaan,
dan investigasi.
Pada level parlemen, The Wahid Institute melakukan pendekatan ke Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) RI dan pengambil kebijakan. Pada level ormas
The Wahid Institute bertemu dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surabaya,
Nahdlatul Ulama (NU), dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk
mencari solusi kasus Syiah tersebut. Sedangkan untuk menyadarkan warga NU
24
The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XLIII Juli 2012
(Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 3
66
yang ikut terlibat kasus Syiah, The Wahid Institute mengingatkan agar jangan
sampai di tranformasikan kepada tindakan kekerasan.25
Kemudian, alasan The Wahid Institute melakukan pembelaan terhadap
korban kasus Syiah di Sampang, Madura. Bahwa, setiap warga negara berhak
untuk berkeyakinan sesuai dengan kepercayaanya. Seharusnya, negara menjamin
kebebasan beragama, berkeyakianan sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18 dan 19
ayat 1 dan 2.
Dalam perjuangannya, The Wahid Institute mengalami kendala pada level
masyarakat dan level pemerintah. Contohnya, adanya penegakan hukum yang
tidak adil.26 Lalu, kelompok Islam tertentu yang tidak suka dengan aliran Syiah,
peran Pemerintah Sampang yang tidak tegas dalam menangani persoalan
kekerasan Syiah, dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang
menyatakan bahwa aliran Syiah sesat.27
Selama ini, apa yang dilakukan oleh The Wahid Institute dengan melakukan
pembelaan terhadap aliran Syiah, ternyata berdampak cukup lebih baik. Faktanya,
setidaknya aksi kekersan/intimidasi terhadap kelompok Syiah semakin berkurang.
Dengan demikian, kiprah The Wahid Institute dengan memosisikan diri dalam
advokasi golongan marginal sangat efektif.
Bagi The Wahid Institute, semua golongan berhak mendapatkan hak dan
perlakuan yang sama dari pemerintah. Sebab demikian, jika terjadi tindakan
marginalitas/pengucilan terhadap sekelompok kaum, atas nama apapun maka
25
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013. Dan Wawancara
Pribadi dengan Subhi Azhari pada 23 Desember 2013.
26
Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M. Dja‟far, pada 10 Januari 2014.
27
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013
67
harus tetap dibela. Selama ini, kiprah The Wahid Institute pun bukan hanya dalam
kasus Syiah, beberapa kasusu lain juga, terutama yang menyangkut kebebasan
umat beragama, selalu diperhatikan.
Meskipun perjuangan The Wahid Institute telah dilakukan, tetap saja dalam
beberapa hal The Wahid Institute selalu mendapatkan tantangan yang cukup berat.
Misalnya, sikap pemerintah yang intoleran terhadap kelompok minoritas. Selain
itu, penegak hukum yang bersifat tidak adil dan masifnya oknum yang beridiologi
garis keras.
D.
Ahmadiyah di Cikeusik Banten
Ahmadiyah secara organisasi disebut sebagi Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI).28 Dalam kiprahnya, jemaat Ahmadiyah ikut terlibat sebagai lembaga
pendidik dan mengembangkan masyarakat. Namun, sedikit orang yang mengenal
dan mengetahui Ahmadiyah. Keberadaan Ahmadiyah mulai dikenal ketika terjadi
kasus pelarangan Ahmadiyah oleh sebagian ormas Islam tertentu. Di Indonesia,
jemaat Ahmadiyah memiliki banyak pengikut. Sebagai organisasi resmi,
organisasi ini sudah terdaftar di lembaga negara dan mendapatkan surat izin dari
berbagai lembaga.29
Berdirinya organisasi ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia No. JA.5/13 tertanggal 13 Maret 1953. Begitu juga dengan
28
Ahmadiyah dikenal juga dengan nama Qadiyaniyyah atau Mirzaiyyah adalah
sekelompok orang yang beranggapan bahwa ajarannya berdasar kepada ajaran Islam yang benar.
Ajaran ini didirikan oleh seorang Qadiyan yang mengaku sendirinya sebagai Nabi, bernama Mirza
Gulam-pada tanggal 23 Maret 1889, di sebuah kota yang bernama Ludhiana di Punjab India.
Negeri ini oleh orang-orang ahmadi disebut “Darul Bai‟at”. Lihat Hasan bin Mahmud Audah,
Ahmadiyah Kepercayaan-kepercayaan dan Pengalaman-pengalaman (Jakarta: Lembaga
Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), 2006), 11.
29
Ahmad Suaedy, dkk., Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di
Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 49.
68
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang sudah tercatat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 26 tanggal 31 Maret 1953.
Kelengkapan administrasi jemaat Ahmadiyah Indonesia tersebut dapat dilihat di
Departemen Agama RI Nomor 046/J/1970 tanggal 2 Maret 1970, Departemen
Sosial RI (No; D.V/70 tanggal 15 Mei 1970). Sebagai organisasi masyarakat,
jemaat Ahmadiyah juga telah terdaftar di Departemen Dalam Negeri Nomor
75/DI/VI/2003 (5 Juni 2003).30
Dalam hal ini, merebaknya isu kekerasan atas nama agama, konflik antarsekte atau aliran kepercayaan sering terjadi di berbagai daerah. Konflik jenis ini
disebut sebagai konflik sektarian.31 Salah satunya, kekerasan dan pembantaian
anggota jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, pada 6 Februari 2011. Kekerasan
ini merupakan peristiwa paling keji yang menimpa jemaat Ahmadiyah Indonesia,
setidaknya selama lima tahun terakhir.
Akibat peristiwa tersebut, tiga orang tewas dan lima orang luka-luka.
Peristiwa ini seharusnya disikapi oleh penegak hukum secara adil dengan
menghukum para pelaku dan aktor intelektual.32 Lalu, adanya ketegasan
pemerintah dalam menangani kasus Ahmadiyah di Cikeusik, Banten.
Ironisnya, 12 terdakwa kasus kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah
ternyata hanya divonis ringan. Sepuluh orang divonis enam bulan penjara, dan
dua orang lainnya divonis kurang dari enam bulan. Vonis ringan ini ditanggapi
30
Ahmad Suaedy, dkk., Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di
Indonesia, 50.
31
Rizal Panggabean dan Ihsan Ali-Fauzi, Merawat Kebersamaan Polisi, Kebebasan
Beragama dan Perdamaian (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2011), 61.
32
Ismail Hasani-Bonar dan Tigor Naipospos, Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita (Jakarta:
Pustaka Masyarakat Setara, 2011), 147.
69
oleh banyak pihak dengan nada kecewa. Virdaus Ahmadiyah, Humas Ahmadiyah
DKI Jakarta yang tekun mengikuti persidangan ini mengatakan bahwa vonis ini
semacam persetujuan negara terhadap kekerasan yang ditunjukan kepada
Ahmadiyah.33
Pasca kerusuhan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, banyak bermunculan
peraturan daerah yang melarang aktifitas jemaat Ahmadiyah. Sebut saja, Surat
Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, Peraturan Gubernur Banten No. 5
Tahun 2011, 11 Maret 2011. Larangan penggunaan atribut, pemasangan identitas,
penyebarluasan Ahmadiyah; dan menyebarkan ajaran-ajaran yang menyimpang
dari pokok Islam. Begitu juga dengan Peraturan Bupati Pandeglang Banten No. 5
Tahun 2011, tertanggal 12 Pebruari 2011 yang berisi larangan penggunaan atribut,
pemasangan identitas, dan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah.34
Ditambah lagi dengan pendapat Menteri Agama Suryadharma Ali bahwa
Ahmadiyah di Indonesia harus dibubarkan. Karena, kalau tidak, potensi konflik
akan terus meningkat dan mengganggu kerukunan umat beragama. Ahmadiyah
adalah cikal bakal terjadi konflik di masyarakat. Menteri juga beralasan bahwa
Ahmadiyah bertentangan dengan pokok ajaran Islam. Oleh karena itu, Ahmadiyah
harus diberhentikan kegiatan aktivitasnya.35
Menurut Setara Institute, kekeliruan utama dalam penanganan kasus
penyerangan anggota jemaat Ahmadiyah di Cikeusik Banten terletak pada sikap
33
The Wahid Institute, Monthly Report on Religius Issue (MRORI), Edisi XXXV, Agustus
2011, 2.
34
Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011,
33.
35
The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2010 Pluralisme Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), 45.
70
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang gagal menegakkan hukum
secara adil dalam kasus yang mengatasnamakan agama. Perlu dicatat, bahwa
Kepolisian RI dan Kejaksaan RI merupakan institusi negara di bawah koordinasi
Presiden. Jika SBY benar-benar ingin melakukan penegakan hukum, maka
Presiden seharusnya lebih menegaskan kepada institusi dua lembaga negara
tersebut.36
Menyikapi kasus Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, The Wahid Institute
melakukan investigasi di lapangan dan menjalin kerjasama dengan lembaga
pemerintah yang memiliki jaminan hukum, seperti, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnasham).37 Sedangkan menurut Ahmad Suaedy, The Wahid
Institute melakukan penyadaran melalui media massa, dan pendekatan ke lembaga
negara DPR RI. Karena, DPR sebagi lembaga negara yang mempunyai peran
terhadap kebijakan-kebijakan negara.38
Kemudian, The Wahid Institute juga mendesak presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) agar mencabut berbagai kebijakan diskriminatif serta
kebijakan yang mengekang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kedua,
mendesak Menteri Dalam Negeri untuk segera membatalkan Peraturan Bupati
Pandeglang No. 5 Tahun 2011. Ketiga, mendesak Bupati Pandeglang untuk
menghormati proses hukum dengan tidak melakukan penghakiman sepihak, serta
36
Ismail Hasani-Bonar dan Tigor Naipospos, Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita, 150.
Wawancara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013.
38
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013.
37
71
mencabut pernyataan bahwa jemaat Ahmadiyah sebagai pelanggar SKB Tiga
Menteri dan penyebab konflik Sosial.39
Selanjutnya, alasannya The Wahid Institue melakukan advokasi kepada
jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten ialah, bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan jaminan beragama dan berkeyakinan. Namun, dalam peranya The
Wahid Institute mengalami kendala yang cukup berat. Contohnya, para penegak
hukum tidak adil dan tidak objektif menangani kasus kekerasan Ahmadiyah
Cikeusik, Banten. Karena pelaku kekerasan hanya di hukum ringan dan tidak
memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan tersebut.40
Secara umum, menurut Subhi Azhari, advokasi yang di lakukan The Wahid
Institute terhadap kasus di atas tersebut yaitu, pertama, mendorong negara
ataupun pengambil kebijakan untuk mengamanatkan konstitusi kepada setiap
warga negara untuk memeluk agama yang dianutnya. Kedua, pendekatan secara
politisi yakni dengan para pengambil kebijakan, aparatus negara untuk mendorong
menjalankan amanat konstitusi. Bahkan, The Wahid Institute juga melakukan
demonstrasi dan dengar pendapat dengan pemerintah.
Ketiga, menghimbau kepada masyarakat sipil untuk memperkuat jejaring di
setiap berbagai daerah yang memiliki isu yang sama dalam menjamin hak-hak
umat beragama. Keempat, pada level grassroot, The Wahid Institute bergerak di
bidang pendidikan untuk memberikan pemahaman terhadap pemuka agama dan
39
http://www.elsam.or.id/index.php?id=1361&lang=in&act=view&cat=c/302,
pada 6 Maret 2013.
40
Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M. Dja‟far, pada 10 Januari 2014.
72
diunduh
kelompok masyarakat tentang jaminan konstitusi setiap warga negara dan
pentingnya hak-hak beragama, serta memperkuat resolusi konflik.
The Wahid Institute juga mendorong para kiai pesantren untuk memahami
keislaman dan mengkaji literatur-literatur keislaman yang menekankan pada
aspek perlindungan hak-hak beragama. Kemudian, The Wahid Institute
melakukan pendampingan terhadap korban kekerasan agama yang terdiskrimasi
hak-haknya, baik itu hak individu maupun kelompok, seperti halnya Ahmadiyah,
Syiah, GKI Taman Yasmin, dan HKBP Filadelfia Bekasi.41
Sejauh ini, peran yang dilakukan The Wahid Institute terhadap jemaat
Ahmadiyah di Cikeusik Banten yaitu, melalui pendekatan ke Presiden SBY dan
DPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Lalu, dalam segi hukum The Wahid
Institut bekerjasama dengan LBH Jakarta. Sedangkan, pada level masyarakat The
Wahid Institue hanya melakukan investigasi di lapangan.
Akan tetapi, The Wahid Institue mempunyai alasan kuat dalam membela
korban yang menimpa jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Bahwa semua
orang berhak memeluk agama sesuai dengan kepercayaanya dan berhak untuk
beribadah sesuai dengan UUD 1945 Pasal 19 Ayat 1 dan 2. Begitu juga dengan
undang-undang kovenan hak sipil dan politik tahun 2005 Pasal 18 Ayat 1 dan 2.
Oleh karenanya, kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah tidak dibenarkan apapun
alasannya.
Apa yang sudah dilakukan oleh The Wahid Institute dalam membela
kebebasan beragama dan kelompok minoritas pasti mengalami kendala yang
41
Wawncara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013.
73
cukup berat. Misalnya, adannya sikap para pengak hukum yang tidak bersikap
adil, tidak profesioanal, dan tidak objektif dalam menangani kasus kekerasan
Ahmadiyah. Selain itu, sikap intoleran pemerintah daerah terhadap aliran
kepercayaan dan kelompok minoritas. Seperti halnya, peraturan gubernur dan
peraturan bupati yang membatasi kegiatan jemaat Ahmadiyah.
Dengan
demikian,
untuk
mencegah
tindakan
kekerasan
yang
menagatasnamakan agama, The Wahid Institute melakukan workshop, seminar,
dan dialog mengenai toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia. Dengan
adanya pelatihan tersebut setidaknya masyarakat mengetahui nilai-nilai toleransi
dan kebebasan beragama dalam kehidupan beragama dan bernegara.
E.
Tantangan The Wahid Institute dalam Memperjuangkan Kebebasan
Beragama di Indonesia
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, ternyata perjuangan The Wahid
Institute dalam melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas, kebebasan
beragama dan toleransi banyak mengalami tantangan yaitu, pemerintah sebagai
lembaga tinggi negara tidak bisa melindungi kelompok minoritas dan tidak
menjalankan konstitusi negara.
Ironisnya, Presiden SBY, justru berperan sebagai pelayan MUI yang
menjalankan fatwa-fatwanya. Maka, dalam hal ini berarti SBY telah melanggar
konstitusi negara.42 Sedangkan menurut Subhi Azhari, adanya kasus kekerasan
diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum di Indonesia yang belum berjalan
maksimal serta sikap intoleransi warga negara yang disebabkan faktor ekonomi
42
WawancaraPribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013.
74
dan politik. Kemudian, negara juga ternyata ikut terlibat dalam kasus kebebasan
beragama.43 Bahkan, negara melakukan pembiaran terhadap korban kekerasan
yang mengatasnamakan agama di Indonesia.
Begitu juga dengan pendapat Eef Saefulloh Fatah dalam kolom Tempo. Ia
mengungkapkan bahwa Presiden SBY sejauh ini gagal menunaikan
kewajiban asasinya sebagai penjaga konstitusi negara. Kegagalan Presiden
selama ini mendatangkan persoalan amat yang serius yakni, absennya
otoritas politik untuk menegakan hukum dan ganjaran sanksi yang adil.
Kegagalan tersebut secara tidak langsung memfasilitasi untuk bertahan dan
berkembangnya kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama oleh
berbagai kelompok.44
Dalam menjalankan misinya, The Wahid Institute mendapatkan beberapa
tantangan dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia. Pertama,
sikap pemerintah yang intoleran terhadap kelompok minoritas. Kedua, penegakan
hukum yang tidak bersikap tidak adil dan melakukan pembiaran bila terjadi aksi
kekerasan. Ketiga, menjamurnya kelompk-kelompok garis keras seperti, Front
Pembela Islam (FPI).
Ketiga hal tersebut, merupakan tantangan yang dihadapi The Wahid
Institute selama ini. Jika ditelisik satu persatu bagaimanapun sikap pemerintah
yang tidak adanya keperpihakan pada kelompok tertentu itu penting. Sikap aparat
pemerintah tidak tegas kepada kelompok minoritas, adanya indikasi bahwa aparat
pemerintah bagian dari mayoritas untuk mengharap popularitas semata.
Seharusnya, pemerintah harus bersikap netral dan pemerintah tidak boleh
membedakan perlakuan terhadap warga negaranya apapun latar belakang
43
Wawancara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013.
Eep Saefulloh Fatah, “Merindukan Presiden Penjaga Konstitusi”, dalam Kolom Majalah
Tempo No. 3951/14-20 Februari 2011 (Jakarta: Tempo, 2011), 41.
44
75
warganya. Pemerintah harus melindungi setiap warga negara Indonesia serta
menjamin kebebasan warga negara dalam beribadah.
Kemudian, aparat pemerintah seperti Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Agama seharusnya mengeluarkan kebijakan yang tidak melanggar UUD 1945,
dan tidak merugikan kelompok minoritas di Indonesia. Lalu, aparat pemeritah
daerah juga seharusnya bersikap toleran dan tidak melakukan tindakan intimidasi
kepada kelompok minoritas, dan harus menjalan konstitusi negara.
Penegakan hukum juga demikian, sudah seharusnya aparatur penegak
hukum bisa berlaku adil terhadap semua pihak. Penegak hukum tidak bisa
ditunggangi oleh kepentingan sekelompok orang, partai politik, pengusaha, dan
lain sebagainya. Seharusnya, aparat keamanan menindak tegas pelaku kekerasan
tanpa mempedulikan latar belakang ormas dimana berasal. Jika pelaku kekerasan
dibiarkan maka akan berdampak mengancam toleransi dan kebebasan beragama di
Indonesia.
Selain itu, munculnya organisasi massa kelompok radikal harus di kawal
ketat, agar mereka tidak melakuakn tindakan anarkis seenaknya. Kehadiran
kelompok-kelompok aliran keras ini akan mengancam perjuangan The Wahid
Institute. Oleh karena itu, jika ada ormas yang terlibat melakukan aksi kekerasan
dan perusakan tempat ibadah harus di hukum seberat-beratnya dan aparat
penegakan hukum bertindak tegas mencabut izin ormas yang melakukan tindakan
anarkis.
Karena apapun yang dilakukan The Wahid Institute dalam mengikis angka
kekerasan di Indonesia, tanpa adanya sinergi dengan pemerintah dan aparat
76
penegak hukum akan menjadi tindakan yang percuma. Bentuk dukungan
pemerintah itu penting agar aksi anarki bisa ditekan dengan maksimal.
Semestinya, ada peran para tokoh masyarakat untuk mengawasi tindakan warga
negara yang melakukan tindakan anarkis dan memberikan pemahaman kepada
masyarakat umum akan pentingnya kesatuan, toleransi, kerukuanan antarumat
beragama.
77
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
The Wahid Institute adalah organisasi yang concern menangani isu-isu
seputar toleransi, kebebasan beragama, pluralisme, dan nilai-nilai demokrasi di
Indonesia. The Wahid Institute mempunyai visi mewujudkan pemikiran Gus Dur
untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia dan umat manusia yang
berkeadilan sosial dengan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme,
demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diinspirasi nilai-nilai Islam.
Di Indonesia, angka kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti
Ahmadiyah, Syiah dan lainnya masih tinggi. Terciptanya kerukunan antar umat
beragama masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Dalam rangka mewujudkan
visinya tersebut, The Wahid Institute banyak melakukan advokasi hukum dan
politik, di antaranya dengan melakukan press conference sebagai bentuk protes
kepada pemerintah, pendekatan ke tokoh masyarakat sekitar, serta ke tokoh partai
politik. Lalu, melakuan pembelaan melalui jurnalis brefing kepada media massa,
pendekatan ke Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dan Ombudsman RI.
The Wahid Institute juga melakukan pendekatan budaya, advokasi dan
hukum, seperti melakukan pendekatan kepada Nahdlatul Ulama (NU), pendekatan
78
kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, dan Kontras.
Setidaknya, apa yang sudah dilakukan oleh The Wahid Institute dalam
memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia dapat memberikan dampak
positif ke publik. Dengan langkah-langkah tersebut pemerintah mendapatkan
tekanan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan kasus Gereja Kristen Indonesia
(GKI) Taman Yasmin, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi,
Ahmadiyah, dan Syiah. Selain itu, dampak dari perjuangan The Wahid Institute
juga telah membangun kesadaran masyarakat tentang kebebasan beragama dan
berbagai tindakan intoleransi terhadap kelompok minoritas.
Namun dalam perjalanannya The Wahid Institute mengalami tantangan
dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia. Sebut saja seperti
lemahnya sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menangani
kasus kekerasan agama, rumah ibadah, dan kekerasan terhadap kelompok
minoritas.
B.
Saran-saran
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian skripsi tersebut, sekiranya ada
beberapa saran tentang masa depan kebebasan beragama di Indonesia. Pertama,
pentingnya menjaga toleransi terhadap semua lapisan masyarakat, menghargai
umat beragama, dan menjaga kemajemukan bangsa. Hal ini sesuai dengan dasar
negara dan konstitusi UUD 1945. Begitu juga dalam Islam yang mengajarkan
sikap saling kasih sayang (rahman), kebijaksanaan, (hikmah), dan saling
menghormati kepada pemeluk agama lain, karena keragaman merupakan
79
merupakan sunatullah yang harus dijaga dan dilestarikan oleh penduduk muka
bumi ini.
Kedua, pemerintah harus bertindak sebagai lokomotif kebijakan untuk
mewujudkan masyarakat yang adil, harmonis, menjamin kebebasan beragama,
dan merawat kemajemukan bangsa. Oleh karena itu, negara harus bersikap tegas
mejalankan konstitusi negara. Ketiga, pentingnya peran masyarakat sipil sebagai
garda terdepan dalam memperjuangkan kebebasan beragama dan nilai-nilai
demokrasi di Indonesia.
80
DAFTAR PUSTAKA
A.
BUKU
A’la, Abd. “Kemenangan Gus Dur Angin Sejuk Bagi Iklim Keagamaan di
Indonesia,” dalam Irwan Suhanda, Perjalanan Politik Gus Dur. Jakarta:
Kompas, 2010.
Abdul Karim, Khalil. Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Arab.
Yogyakrta: LKiS, 2005.
Abidin Bagir, Zainal, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia
2010.Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies)
Universitas Gadjah Mada, 2010.
Abidin Bagir, Zainal, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia
2011. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies,
Universitas Gadjah Mada, 2011.
Abidin Bagir, Zainal, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia
2012. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies)
Universitas Gadjah Mada, 2012.
Acmad, Nur. Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. (Jakarta: Kompas,
2001).
Al–Zastrouw, “Gus Dur dan Demokrasi” dalam M. Fajrul Falakh, dkk.
Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan
Sosial NU. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Ali, Muhamad. Teologi Pluralis-Multkultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan. Jakarta: KOMPAS, 2003.
Ali-Fauzi, Ihsan, dan Mujani, Saiful. Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan
Advokasi Kritis atas Perda Syariah. Jakarta: Nalar, 2009.
Ali-Fauzi, Ihsan, dkk. Kontroversi Gereja di Jakarta. Yogyakarta: Center for
Religious and Cross-cultural Studies/CRCS), 2011.
Amir Azis, Ahmad. Neo Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral
Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: PT Rineka Cipta,
1999.
ix
Assyaukanie, Lutfi. Idiologi Islam dan Utopia. Jakarta: Freedom Institute, 2011.
Azra, Azyumardi. Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta, dan Tantangan.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999.
Barton, Greg. Biografi Gus Dur The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid.
Yogyakarta; LKiS Group, 2002.
Blaxter, Lorain e, dkk. How To Research Seluk-Beluk Melakukan Riset. Jakarta:
PT. Indexs Kelompok Gramedia, 2006.
Departemen Agama RI, Riuh di Beranda Satu, Peta Kerukunan Umat Beragama
di Indonesia, Seri II. Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama
dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2011.
Dhakiri, M. Hanif . 41 Warisan Kebesaran Gus Dur. Yogyakarta: LkiS, 2010.
Fahrudin, Fuad. Agama dan Pendidikan Demokrasi Pengalaman Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama. Jakarta: Pustaka Alvabet dan Yayasan INSEP, 2006.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta Panduan Penyusunan
Proposal dan Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, 2012.
Gellner, Ernest. Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan.
Bandung: MIZAN Anggota IKAPI, 1995.
Ghazali, Abd Muqsith.“Cetak Biru Toleransi Beragama,” dalam Abd Muqsith
Ghazali, ed., Ijtihad Islam Liberal Upaya Merumuskan Keberagaman yang
Dinamis. Jakarta; Jaringan Islam Liberal, 2005.
Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos, ed. Politik Diskriminasi Rezim Susilo
Bambang Yudhoyono,Kondisi Kebebasan Beragama/berkeyakinan di
Indonesia 2011. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2012.
Hasani, Ismail, dan Bonar Tigor Naipospos, ed. Mengatur Kehidupan Beragama;
Menjamin Kebebasan, Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan
Beragama/Berkeyainan. Jakarta: Setara Institute, 2011.
Hasani-Bonar, Ismail dan Tigor Naipospos. Menjamin Kebebasan, Mengatur
Kehidupan Beragama: Laporan Studi Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. Jakarta: Seatara Institute, 2011.
Hasani-Bonar, Ismail, dan Tigor Naipospos. Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita.
Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011.
x
Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI-Press dan Tintamas, 1986.
Hidayat, Komaruddin. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi. Jakarta: Paramadina,
2003.
Hidayat, Komarudin, dan Gaus AF. Islam, Negara dan Civil Society, Gerakan
dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 2005.
Hikam, Muhammad A.S. Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society.
Jakarta: Erlangga, 2000.
Huwaidy, Fahmi. Demokrasi Oposisi, dan Masyarakat Madani. Bandung: Mizan,
1996.
Intan, Benyamin F. “Gus Dur pejuang Pluralisme Sejati”, dalam Rumadi, ed.
Damai Bersama Gus Dur. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010.
Kamil, Sukron, dan Chaider S. Bamualim. Syariah Islam dan HAM, Dampak
Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan nonMuslim. Jakarta, Center For Studi Religion and Culture, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007.
Karni, Asrori S. Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif Rumah Demokras.
Jakarta: Logos, 1999.
Kontras. Laporan Pemantauan Pemolisian dan Hak Atas Berkeyakinan,
Beragama, dan Beribadah (Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor,
Ciputat, Cikeusik & Jemaat Kristen HKBP Ciketing dan GKI Taman
Yasmin). Jakarta: Kontras, 2012.
Madjid, Nurcholis. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina,
1999.
Madjid, Nurcholish,“Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat
Madani,” dalam Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di
Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo, dan UIN Jakarta Press, 2002.
Madjid, Nurcholish. “Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat
Madani,” dalam Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di
Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo, dan UIN Jakarta Press, 2002.
xi
Madjid, Nurcholish.“Mewujudkan Masyarakat Madani,” Titik-temu, Jurnal
Dialaog Peradaban, Vol. 1, No. 2 Januari-Juni 2009. Jakarta: Nurcholish
Madjid Society (NCMS), 2009..
Mahmud Audah, Hasan bin. Ahmadiyah Kepercayaan-kepercayaan dan
Pengalaman-pengalaman. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian
Islam (LPPI).
Majlis Diktilitbang, dan LPI PP Muhammadiyah. 1 Abad Muhammadiyah.
Jakarta: Kompas, 2010.
Marijan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta:
Erlangga. 1992.
Mas’ud, Muhtar, dan Colin MacAndrews. Perbandingan Sistem Politik
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1993.
Mujani, Saiful. Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi
Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Yayasan Wakaf
Paramadina, dan Freedom Institute, 2007.
Mulia, Siti Musdah. “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia.” dalam Abdul
Hakim, dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisme Esai-esai untuk
Mengenang Nurcholish Madjid. Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
(PSIK) Paramadina, 2007.
Munawar-Rachman, Budhi. Membela Kebebebasan Beragama Percaakapan
Tentang Liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme. Jakarta: Democrazy
Project, Edisi Digital, Buku 1, 2011.
Munawar-Rachman, Budhy. Islam dan Liberalisme. Jakarta: Fredrich Naumann
Stiftung, 2011.
Nasution, Harun, dan Bahtiar Effendy. Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia, 1987.
Nata, Abuddin .Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005.
Panggabean, Rizal, dan Ihsan Ali-Fauzi. Merawat Kebersamaan Polisi,
Kebebasan Beragama dan Perdamaian. Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 2011.
Qodir, Zuly. “Kaum Minoritas dan Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam
Elza Peldi Taher, ed. Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai
xii
Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi. Jakarta: Indonesian Conference on
Religion and Peace (ICRP), dan Kompas, 2009.
Rahadjo, M. Dawam. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan
Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1999.
Rasyidi, H.M. Apa itu Syiah. Jakarta: Harian Umum Pelita, 1984.
Ridwan, Nur Khalik. NU dan Neoliberalisme dan Harapan Menjelang Satu Abad.
Yogyakarta: LkiS, 2008.
Roskin, Michael G. Political Science an Introduction. United State: Pearson,
2003.
Saefulloh Fatah, Eep. “Merindukan Presiden Penjaga Konstitusi”, dalam Kolom
Majalah Tempo No. 3951/14-20 Februari 2011. Jakarta: Tempo, 2011.
Shofan, Moh. Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama. Yogyakarta, Samudra
Biru, 2011.
Sihombing, Uli Parulian ed. Ketidakadilan dalam Beriman Hasil Monitoring
Kasus-kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di
Indonesia. Jakarta: The Indonesia Legal Resources Center (ILRC), 2012.
Suaedy, Ahmad, dkk. Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu
Penting di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
Suaedy, Ahmad. dan Raja Juli Antoni, ed. Para Pembaharu Pemikiran dan
Gerakan Islam Asia Tenggara. Jakarta: Southeast Asian Muslims (Seamus)
For Freedom and Enlightenment, 2009.
Suaedy, Ahmad. Prespektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru
Demokratisasi. Jakarta: The Wahid Institute, Seeding Plural and Peaceful
Islam, 2009.
Subiantoro, Arif , dan FX Suwarto, Metode dan Teknik Penelitian Sosial.
Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007.
Sucipto, Hery. K.H. Ahmad Dahlan: Sang Pencerah, Pendidik, dan Pendiri
Muhammadiyah. Jakarta: Best Media Utama, 2010.
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2004.
Suryadi Culla, Adi. Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori, dan Relevansinya
dengan Cita-cita Reformasi. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1999.
xiii
Suryadi Culla, Adi. Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di
Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006.
Syafii Maarif, Ahmad, dan Muhhamad Najib. “Upaya Memahami Sosok
Kontraversial Gus Dur,” dalam Ahmad Suaedy dan Ulil Absar Abshar
Abdalah, ed. Gila Gusdur Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid.
Yogyakarta: LKiS, 2000.
Syafii Maarif, Ahmad. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia,
makalah Orasi Ilmiah disampaikan pada acara Nurcholis Madjid Memorial
Lecture. Jakarta; Paramadina, 21 Oktober 2009.
Syamsudin, M. Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani.
Jakarta: Logos, 2002.
The Wahid Institute, Monthly Report on Religius Issue (MRORI), Edisi XXXV,
Agustus 2011, 2.
The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX
Desember 2011- Januari 2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012.
The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi MaretApril 2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012.
The Wahid Institute. Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia. Jakarta: The Wahid
Institute, 2008.
The Wahid Institute. Lampu Merah Kebebasan Beragama Laporan Kebebasan
Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011. Jakarta: The Wahid Institute,
2011.
The Wahid Institute. Laporan Tahunan The Wahid Institute 2010 Pluralisme
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia. Jakarta: The Wahid
Institute, 2010.
The Wahid Institute. Monthly Report on Religius Issue (MRORI), Edisi XXXV,
Agustus 2011. Jakarta: The Wahid Institute, 2011.
The Wahid Institute. MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi 4
Agustus-September 2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012.
The Wahid Institute. MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX
Desember 2011- Januari 2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012.
xiv
The Wahid Institute. MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XLIII Juli
2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012.
The Wahid Institute. Ringkasan Eksekutif Laporan Akhir Tahun Kebebasan
Beragama dan Toleransi 2012 The Wahid Institute. Jakarta: The Wahid
Institute, 2012.
Ummah, Aniqotul, Advokasi ICRP Sebagai Civil Society Terhadap Kasus
Ahmadiyah di Indonesia. Jakarta: Fisip UIN Jakarta, 2012.
Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara
Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute,Seeding Plural and Peaceful Islam,
2006.
Wahid, Abdurrahman. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKIS, 2000.
Wahid, Solahuddin. “Nahdlatul Ulama dan Pancasila”, dalam Khamami Zeda dan
A Fawaid Sjadjali. Nahdlatul Ulama Dinamika Idiologi dan Politik
Kenegaraan. Jakarta: Kompas, 2010.
Zannuba Wahid, Yeni, dkk. Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3
Isu Penting. Jakarta: The Wahid Institute, 2012.
B.
Jurnal
Gahral Adian, Donny. “Demokrasi dan Kemaslahatan Umum,” dalam Jurnal Titik
Temu. Vol. 5, No. 1, Juli – Desember 2012. Jakarta: Nurcholis Madjid
Society (NCMS), 2012.
El-Ashary, Tohirin. “Memaknai Kemerdekaan dan Pluralisme,” Buletin
Kebebasan “Memaknai Kemerdekaan dan Pluralisme. Jakarta: Lembaga
Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 03/V/2007.
Sunaryo. “Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia Politik Identitas dan
Kekerasan atas
Nama Agama.” dalam Titik Temu Jurnal Dialog
Peradaban. Volume 3, Nomor 1, Juli – Desember. Jakarta: Nurcholish
Madjid Society (NCMS), 2010.
Wahyudi, Arief . “Quo Vadis Jaminan Konstitutsi Hak Beragama/Berkeyakinan:
Menguji Peran Negara,” dalam Jurnal Keadilan Sosial Mempromosikan
Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial. Edisi III 2013. Jakarta: Jurnal
Keadilan Sosial, The Indonesian Legal Resources Center (ILRC), dan
Hivos, 2113.
Ulumul Qur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, no. 3, vol. IV Tahun 1995. Jakarta:
Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), dan ICMI, 1995.
xv
Arief, Miftahul. “Menebar Kembali Pluralisme Agama.” Buletin Kebebasan.
Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 03/V/2007.
Rahadjo, M. Dawam. “Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme.”
Buletin Kebebasan. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No.
04/V/2007.
C. Internet
“Sejarah The Wahid Institute” http://www.wahidinstitute.org/wahid-id/tentangkami/sejarah-the-wahid-institute.html#, diunduh pada 19 Oktober 2013.
“Tentang The Wahid Institute” http://wahid institute.org/wahid-id/tentangkami/tentang-the-wahid-institue.html, diunduh 26 September 2013.
http://wahidinstitute.org/Dokumen/Detail/?id=193/hl=id/Memperjuangkan_Hak_
Beribadah_HKBP_Filadelfia, diunduh pada 6 Maret 2013.
http://www.wahidinstitute.org/Tentang_Kami, diunduh pada 2 Januari 2013.
http://wahidinstitute.org/Dokumen/Detail/?id=193/hl=id/Memperjuangkan_Hak_
Beribadah_HKBP_Filadelfia, diunduh pada 6 Maret 2013.
http://www.elsam.or.id/index.php?id=1361&lang=in&act=view&cat=c/302,
diunduh pada 6 Maret 2013.
Tempo.com
http://www.tempo.co/read/news/2012/12/24/173450192/WahidInstitute Minta-Wali-Kota-Jamin-GKI-Yasmin, diunduh pada 1 Januari
2013.
D.
Wawancara
Wawancara Pribadi dengan M Subhi Azhari, 23 Desember 2013.
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, 24 Desember 2013.
Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M Dja’far, 10 Januari 2014.
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Program Kerja The Wahid Institute, Struktur Pengurus The
Wahid Institute, Jejaring, dan Alamat The Wahid Institute
..............................................................................
xx
Lampiran 2
Surat Permohonan Wawancara ...........................
xvii
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
A.
Program Kerja
The Wahid Institute memiliki banyak progam, yaitu:
1.) Kampanye Islam dan Demokrasi
2.) Pengembangan Kapasitas Muslim Progresif
3.) Monitoring Isu Keagamaan
4.) Advokasi Kebijakan Publik dan Minoritas
5.) Pemberdayaan Akar Rumput
6.) Dompet Gus Dur untuk Kemanusiaan
7.) Forum Diskusi, Seminar dan Dialog
8.) Center For Islam And Sotheast Asian Studies (CISEAS)
9.) Beasiswa Riyanto
10.) Dokumentasi dan Publikasi
11.) Program Mendatang
12.) Perpustakaan
13.) Toko Buku
xviii
B.
Struktruk Pengurus
The WAHID Institute atas Inisiatif Dari: K.H. Abdurrahman Wahid (alm), Dr.
Gregorius James Barton, Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy.
PENASEHAT, K.H. M. A. Sahal Mahfudz, K.H. A. Mustofa Bisri, Dr. Alwi
Abdurrahman Shiab, Prof. Abdillahi Ahmed An-Naim, Prof. Mitsou Nakamura,
Luhut B. Panjaitan, Wimar Witoelar, Ahmad Suaedy.
SUPERVISORS, Drs. M. Sobary, MA, Prof. Dr. Mahfud MD, Lies Marcoes
Natsir, MA, Dr. Syafii Anwar, dr. Umar Wahid, Yahya C. Staquf, Adhi M.
Massardi, Prof. Dr. Sue Kenny
JEJARING Siani Indriani, Priya Sembada, K.H. Husein Muhammad, Rm, Benny
Susetyo, JH Wenas, Acep Zamzam Noer, M. Syafq Hasyim, Farha Ciciek, A.
Rumadi, Marzuki Wahid, Bisri Effendi, Trisno S. Sutanto, M. Jadul Maula, M.
Imam Azis, Abdul Muqsith Ghazali, Hikmat Budiman, Mufti Makarim al-Akhlaq.
DIREKTUR
Yenny Zanuba Wahid
DIREKTUR EKSEKUTIF
Anita Hayatunnufus
MONITORING DAN ADVOKASI
M. Subhi Azhar (Project Officer)
Nurun Nisa (Aissten Project Officer)
KAMPANYE DAN MEDIA
xix
Alamsyah M. Dja’far (Project Officer)
DIVISI PEMBERDAYAAN AKAR RUMPUT
Gamal Fredhi (Project Officer)
PENGEMBANGAN PESANTREN DAN RADIO KOMUNITAS
Badrus Samsul Fatah (Project Officer)
PENGEMBANGAN EKONOMI MIKRO
Visna Vulovik (Project Officer)
RISET & KELAS PEMIKIRAN GUS DUR
Dr. Rumadi (Project Officer)
Syaiful Arif (Asisiten Project Officer)
KEUANGAN
Sri Handayani
SEKRETARIS
Siti Cholisoh
UMUM
Kharisma Pratiwi
Ahmad Firdaus
Trisno
C.
JEJARING
Sejak berdirinya hingga sekarang, The Wahid Institute membangun
jaringan, individu dan lembaga yang tersebar di tingkat lokal, nasional, dan
internasional. Sejumlah individu merupakan tokoh agama lokal dan pesantren
yang memiliki pemikiran terbuka.
xx
Sementara lembaga yang menjadi yang menjadi jaringan lokal di antaranya
Studi Islam dan Soisal (LsiS), Lebak, Institute for Culture and Religion, Studi
(Incres) Bandung, Lembaga Sosial dan Agama (ELSA) Semarang, Center for
Marginalized Comunities Studies (CMARs) Surabaya, Fahmina Institute Cirebon,
Yayasan Lapar Makasar, Lemga Kajian Hukum Islam (LKHI) Palembang,
Lembaga Studi kemanusiaan (Lensa) Nusa Tenggara Barat.
D.
Alamat
The Wahid Institute
Jl. Tamar Amir Hamzah No. 8 Jakarta – 10320
Phone: +6221-3928233, 3145671
Fax : +62 21-3928250
[E] [email protected]
[W] www.wahidinstitute.org
[facebook] The Wahid Institute
[twitter] WAHIDinst1
1
Sumber Website The Wahid Institute, www.wahidinstitute.com
xxi
Transkrip Hasil Wawancara
Dengan M Subhi Azhari Monitoring dan Advokasi The Wahid Institute
Pada 23 Desember 2013.
Apa peran The Wahid Institute dalam memeperjuangkan kebebesan
beragama di Indonesia?
The Wahid Institute adalah lembaga non pemerintahan yang didirikan pada
tahun 2004 oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sejak awal di mandatkan
mengkampanyenkan Islam yang rahmatan lil alamien, Islam yang damai, Islam
yang bisa mengayomi kelompok minoritas. The Wahid Institute berusaha
menampilkan Islam yang dapat melindungi dan memberi rasa aman kepada siapa
saja termasuk kelompok minoritas di Indonesia. Bagaimana caranya?, pertama,
negara harus tegas melindungi kelompok minoritas dan negara harus tegas
melaksanakan konstitusi.
Oleh karena itu, advokasi yang dilakukan The Wahid Institute adalah secara
politis dengan bertemu kepada para pengambil kebijakan dan aparatus negara
untuk mendorong negara menjalankan konstitusi bahkan menangih mereka untuk
menjalankan amanat konstitusi, melakukan demostrasi, dan dengar pendapat
(hearing) dengan pemerintah. Jadi, sebenarnya yang dilakukan The Wahid
Institute mengingatkan negara.
Kedua, pada level masyarakat sipil The Wahid Institute melakukan jejaring
untuk memberkuat jaminan hukum dalam aspek perlindungi terhadap hak-hak
xxii
beragama. Misalnya, The Wahid Institute membangun jejaring organisasi
masyarakat di berbagai daerah yang memiliki isu yang sama. Sedangkan pada
level grasroot The Wahid Institute bergerak dalam aspek pendidikan yaitu
memberikan pemahaman kepada para pemuka agama, Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB), dan tokoh masyarakat mengenai hak-hak beragama, jaminan
konstitusi terhadap kebebasan beragama dan untuk memperkuat mereka dalam hal
resolusi konflik.
Kemudian, memberikan pemahaman kepada para pemuka agaman
mengenai hak-hak beragama termasuk menggali khazanah keislaman yang
berpihak melindungi minoritas. Selain itu, The Wahid Institute melakukan
pendampingan terhadap korban yang terdiskriminasi hak-hak beragamanya baik
itu perorangan maupun kelompok seperti, Ahmadiyah dan Syiah. Lalu, melakukan
pendekatan ke lembaga pendidikan pesantren yang ada di Bogor. Seperti,
Pesantren Al-Ghazali dan Pesantren Nurul Falaq.
Bagaimana advokasi terhadap Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman
Yasmin Bogor?
Pada dasarnya semua pembatasan pendirian rumah ibadah baik itu Pure,
Wihara, Masjid, dan Gereja merupakan pelanggaran kebebasan beragama. Karena
setiap orang di jamin haknya untuk beribadah dan berhak untuk mendirikan
rumah ibadah. Dalam kasus pendirian rumah ibadah GKI Taman Yasmin, The
Wahid Institute melakukan pendekatan audensi ke partai politik yang ada di pusat
untuk mengingatkan anggota partai politik yang ada di Bogor, para pemuka
komunitas seperti, tokoh masyarakat, adat, dan orang-orang yang mempunyai
xxiii
pengaruh secara sosial. Dalam ranah hukum The Wahid Institute berkoalisi
dengan lembaga-lemabaga yang bergerak di bidang hukum seperti, Lemabaga
Bantuan Hukum Indonesi (LBHI) Jakarta, dan Yayasan Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI).
Melakukan press conference sebagai pernyataan sikap terhadap kasus GKI
Taman Yasmin tersebut. Kemudian, melakukan jurnalis brefing mengundang
sejumlah wartawan yang ada di Bogor memberikan pemahaman terkait kasus
yang ada, dan memberikan prespektif The Wahid Wahid mengenai kasus tersebut
sehingga media dapat menyajikan berita secara objektif. Selanjutnya, The Wahid
Institute juga melakukan pembelaan langsung kepada Sekertaris Walikota Bogor,
Kapolres Bogor untuk menjamin keamanan terhadap jemaat GKI Yasmin, serta
anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bogor. Selain itu,
The Wahid Institute melakukan kampanye tentang kebebasan beragama ke
berbagai daerah, bahkan ke level Internasioanal seperti, Uni Eropa dan Human
Right.
Apa dampak pembelaan yang dilakukan The Wahid Institute.?
Dampak nyata kasus ini, pemerintah mendapatkan pekerjaan besar yang
harus segera di selesaikan. Pemerintah juga mendapatkan tekanan dari berbagai
pihak untuk menyelesaikan kasus HKBP Filadelfia Bekasi, Ahmadiyah, dan
Syiah. Kemudian, dampak secara langsung semakin kuatnya tekanan terhadap
pemerintah karena selama ini pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap
kasus tersebut. Selain itu, dampak dari perjuangan The Wahid Institute telah
xxiv
membangun kesadaran masyarakat tentang kebebasan beragama dan telah terjadi
tindakan intoleransi terhadap kelompok minoritas.
Bagaimana advokasi langsung Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi.?
Melakukan jurnalis brefing kepada media massa agar menyajikan berita
secara objektif, melakukan lobi terhadap Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) di Bekasi agar bersifat netral dan bersikap sebagai resolusi konflik yang
dapat mendamaikan antara kedua belah pihak. Pada level pemerintahan, The
Wahid Institute melakukan lobi ke dewan pertimbangan Presiden, Ombudsman
RI, Mahkamah Kunstitusi (MK), fraksi DPR PDIP, Golkar, dan ketua DPR RI
Marzuki Ali. Selain itu, melakuakan kerjasama Komnasham, Komnas Perempuan.
Bagaimana pola advokasi The Wahid Institute terhadap Syiah di Sampang.?
The Wahid Institute banyak melakukan jejaring dengan Cemars Center for
Marginalized Comunities Studies (CMARs) Surabaya. Peran yang dilakukan oleh
CMARs yaitu, pendampingan ke ranah hukum, pembelaan, dan investigasi.
Selanjutnya, CMARs melakukan pendekatan kepada Bupati Sampang, namun dari
hasil pertemuan tersebut sikap Bupati Sampang kurang bersikap toleran terhadap
warga Syiah, bertemu dengan Wakil Gubernur Jawa Timur untuk menjamin
warga Syiah. Kemudian, The Wahid Institute melakukan diskusi dengan CMARs
sendiri, pendekatan ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surabaya, Nahdlatul
Ulama (NU), dan FKUB. Pertemuan tersebut sebenarnya untuk mencari solusi
terkasit kasus Syiah di Sampang.
xxv
Bagaiman The Wahid Institute melakukan penyadaran terhadap warga NU
yang ikut melakukan tindakan diskriminasi dan mengeluarkan fatwa bahwa
Syiah sesat.?
The Wahid Institute mengingatkan terhadap warga NU yang ikut terlibat
aksi kekerasan, supaya pandangan-pandangan tersebut tidak di apalikasikan dalam
bentuk kekerasan.
Bagaimana peran The Wahid Institute terhadap jemaat Ahmadiyah.?
Advokasi The Wahid Institute di lapangan melakukan investigasi di
lapangan dan berkoalisi dengan beberapa lembaga yang bergerak di bidang
hukum seperti, LBH Jakarta dan YLBH.
Apa alasan The Wahid Institute melakukan pembelaan terhadap kebebasan
beragama.?
Setiap orang berhak mendapatkan kebebasan yang sama untuk beribadah
dan menyakini agama, hal ini sesuai dengan amanat konstitusi. Begitu juga dalam
Islam membrikan jaminan dalam beragam dan beribadah. Dengan demikian, The
Wahid Institute berorientasi menegakan konstitusi dan menegakan ajaran Islam.
Tantangan The Wahid Institute?
Pertama, penegakan hukum di Indonesia belum berjalan secara maksimal.
Kedua, sikap intoleran di masyarakat yang cukup tinggi. Ketiga, faktor ekonomi
dan politik yang dapat memicu terjadi konflik kekerasan di Indonesia.
Sumber dana The Wahid Institute?
xxvi
Untuk sumber dana berasal dari keluarga Gus Dur, Asia Fondation,
Keduataan Amerika, Kedutaan Australia, dan Yayasan Tifa.
Transkrip Hasil Wawancara
Dengan Ahmad Suaedy Direktur The Wahid Institute,
pada 24 Desember 2013
Kapan sejarah berdirinya The Wahid Institute?
Sekitar tahun 2003, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ahmad Suaedy, Yenni
Zanuba Wahid, dan Greg Barton berkumpul untuk membentuk Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang bertujuan untuk mewujudkan pemikiran Gus Dur Islam
perdamaian dan Islam keidonesiaan. Serta mempunyai program workshop,
pelatihan, ekonomi dan kaderisasi.
Apa peran The Wahid Institute terhadap Gereja Kristen Indonesia (GKI)
Tamana Yasmin Bogor.?
The Wahid Institute melakukan kritik terhadap pemerintah pusat untuk
menegakan konstitusi dan melindungi korban GKI Taman Yasmin. Hal ini sesuai
dengan keputusan Mahmakah Agung (MA), keputusan Pengadilan Tata Usaha
Negeri (PTUN) Bandung, dan Ombudsman RI. Kemudian, mendampingi korban
ke pengadilan sebagai bentuk dukungan moril kepada korban, investigasi kasuskasus yang berkaitan dengan kasus tersebut, dan press konference untuk
menyikapi kasus yang sedang berlangsung.
Peran The Wahid Institute terhadap HKBP.?
xxvii
Menganalis investigasi dan analiss dikirim ke pihak DPR RI, DPRD
Kabupaten, MUI, melakukan conferensi press sehingga kasusnya bisa di baca
oleh banyak orang, dan melakukan lobi-lobi ke komisi hukum.
Bagaimana pola advokasi The Wahid Institute terhadap kasus Syiah di
Sampang.?
Dalam advokasi kasus Syiah di Sampang, The Wahid Institute melakukan
kerjasama dengan jejaring The Wahid Institute yaitu, Center for Marginalized
Comunities Studies (CMARs) Surabaya. Peran yang dilakukan oleh CMARs
yaitu, pendampingan ke ranah hukum, pembelaan, dan investigasi.
Pada level parlemen, The Wahid Institute melakukan pendekatan ke Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
(DPR) RI dan pengambil kebijakan. Pada level
organisasi masyarakat (ormas) The Wahid Institute bertemu dengan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Surabaya, Nahdlatul Ulama (NU), dan Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) untuk mencari solusi kasus Syiah tersebut. Kemudian,
bertemu dengan tokoh masyarakat lokal Kiai Basit dan Abdul Ghazali.
Bagaiaman menyadarkan warga NU yang ikut terlibat dalam kasus Syiah.?
Dengan melalui tokoh-tokoh masyarakat lokal, dan tokoh NU untuk
mengingatkan kepada warga NU agar jangan sampai melakukan tindakan
kekerasan terhadap aliran Syiah.
Bagaimana peran The Wahid Institute terhadap kasus Ahmadiyah di
Cikeusik Banten.?
xxviii
The Wahid Institute melakukan penyadaran melalui media massa, dan
pendekatan lobi ke lembaga negara DPR RI. Kemudian, melakukan investigasi
dan hasilnya di kirim ke para pengambil kebijakan negara yaitu Presiden.
Tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan
beragama di Indonesia.?
Tidak adanya ketegasan pemerintah dan tidak ada keperpihakan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono terhadap kelompok minoritas. Presiden SBY juga
justru berperan sebagai pelayan MUI yang menjalankan fatwa-fatwanya. Dalam
hal ini berarti SBY telah melanggar konstitusi negara.
Selanjutnya, sikap Pemerintah Sampang yang tidak tegas dalam menangani
persoalan kekerasan Syiah dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur
yang menyatakan bahwa aliran Syiah sesat.
Kenapa The Wahid Institute memfokuskan kebebasan beragama?
Sesuai dengan visi dan misi The Wahid Institute yaitu mewujudkan
pemikiran Gus Dur membangun masyarakat yang berkeadilan, menjunjung tinggi
pluralisme dan kebebasan beragama di Indonesia.
Bagaiamana menyikapi UU PNPS 1965?
Seharusnya UU tersebut di revisi kembali oleh DPR RI, karena di dalam
UU tersebut hanya menyebutkan enam agama resmi saja. Maka, UU ini
mendiskriminasi kelompok aliran kepercayaan lain seperti, Syiah, Ahmadiyah,
dan aliran kepercayaan yang ada di Indonesia.
Sumber dana The Wahid Institute?
xxix
Untuk sumber dana The Wahid Institute yaitu dari kelurga Gus Dur
(Yenni), untuk masalah program The Wahid Institue mendapatkan dana dari
Keduataan Australia, Kedutaan Amerika, Asia Foundation, dan Tifa.
Transkrip Hasil Wawancara
Dengan Alamsyah M Dja’far Media dan Kampanyae The Wahid Institute,
pada 10 Januari 2014
Bagaimana The Wahid Institute memandang hubungan agama dan negara?
The Wahid Institute memandang pentingnya hubungan agama dan negara.
Faktanya, agama tidak bisa dipisahkan dari negara, karena sumbangsih agama
bagi kebangsaan cukup besar. Sehingga adanya upaya memasukan kerangka nilainilai agama di dalam negara. Seperti halnya, Kementrian Agama (Kemenag),
KUA, dan Undang-undang Pernikahan.
Bagaimana meyikapai peran Kementerian Agama?
Awal berdirinya Kementerian Agama menuai banyak polemik dari orang
non-muslim yang tidak setuju dengan lembaga tersebut, dengan alasan hanya akan
mengakomodir kelompok tertentu saja. Kemudian, akhir-akhir ini penolakan
tersebut muncul kembali, karena Kementerian Agama mengakui hanya enam
agama resmi saja. Padahal, agama di Indonesia banyak sekali seperti, agama
Zoroatser dan Thaoisme. Lalu, adanya diskriminasi terhadap aliran kepercayaan.
Akan tetapi, yang jadi permasalahanya adalah pada praktek pelayanan
Kementrian Agama itu sendiri, apakah pelayananya diskrimatif atau tidak. Jadi,
bukan pada Kementrian Agama dibubarkan atau tidak. Semestinya, yang diatur
xxx
Kementerian Agama bukan keyakinannya, tapi masalah fasilitas keagamaan.
Negara tidak boleh campur tangan dalam urusan agama bahkan menentukan aliran
sesat atau tidak sesat.
Bagaimana dengan orang yang tidak beragama?
Dalam hal ini, The Wahid Institute berperan terhadap persoalan kebebasan
beragama, menghargai semua warga negara, baik yang beragama dan yang tidak
beragama. Berdasarkan UU Kovenan International, Pasal 18 Tahun 2005
mengenai hak sipil dan politik. Bahwa, setiap orang berhak untuk memeluk
kepercayaan yang diyakininya, berpindah agama, dan melindungi orang yang
tidak beragama (Ateis). Oleh karena itu, setiap orang yang menganut kepercayaan
maupun orang yang tidak beragama harus tetap dilindungi. Begitu juga, dengan
aliran-aliran agama baru di Indonesia.
Negara model apa yang di inginkan oleh The Wahid Institute?
The Wahid Institute menginginkan negara Pancasila. Karena dapat
mengakomodir semua kepentingan, dan idiologi dari semua golongan. Pancasila
merupakan titik temu yang dapat menyatukan seluruh elemen masyarakat
Indonesiaan. Dengan demikian, Pancasila merupakan hasil yang sudah final dan
harus dijaga oleh setiap elemen masyarakat seluruh Indonesia. Karena itu, nilainilai Pancasila adalah dasar idiologi bangsa dan bernegara. Pancasila bukan hanya
wacana,
melainkan
untuk
mewujudkan
menanamkan
kebersamaan, dan kebebasan beragama di Indonesia.
xxxi
nilai-nilai
etika,
Apa alasan The Wahid Institute membela Gereja Kristen Indonesia (GKI)
Taman Yasmin Bogor?
The Wahid Institute diminta oleh sekelompok orang untuk melakukan
pembelaan terhadap pihak GKI Taman Yasmin, dan The Wahid Institute juga
mempunyai konsen terhadap pembelaan korban kekerasan dan kebebasan dalam
mendirikan rumah ibadah.
Apa tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan GKI Taman
Yasmin.?
Dari segi advokasi hukum mengalami kendala yang cukup berat. Misalnya,
dari segi hukum, aparat penegak hukum tidak tegas dalam menangani persoalan
hukum di Indonesia, para hakim tidak bersikap adil dalam memutuskan perkara
terhadap pelaku kekerasan. Kemudian, persoalan kepemimpinan yang ikut terlibat
dalam kasus tersebut.
Apa alasan dan tantangan The Wahid Institute melakukan pembelaan
terhadap Gereja Huria Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi.?
Pemerintah tidak melaksanakan konstitusi dalam menjamin kebebasan
beragama
dan
beribadah.
Sehingga
The
Wahid
Institusi
membantu
meperjuangkan hak korban untuk mendirikan rumah ibadah. Namun, The Wahid
Institute mengalami kendala yaitu, para penegakan hukum tidak adil dalam
menangani persoalan kasus kekerasan dan kebebasan mendirikan rumah ibadah.
Begitu juga dengan sikap para pemimpin daerah yang ikut terlibat terhadap kasus
tersebut.
Apa alasan dan tantangan The Wahid Institue melakukan pembelaan
terhadap aliran Syiah di Sampang Madura.?
xxxii
Alasan The Wahid Institute melakukan pembelaan terhadap korban kasus
Syiah di Sampang, Madura. Bahwa, setiap warga negara berhak untuk
berkeyakinan sesuai dengan kepercayaanya. Seharusnya, negara menjamin
kebebasan beragama, berkeyakianan sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18 dan 19
ayat 1 dan 2.
Dalam perjuangannya, The Wahid Institute mengalami kendala pada level
masyarakat dan level pemerintah. Contohnya, adanya penegakan hukum yang
tidak tegas dalam soal kebebasan beragama dan para hakim tidak bersikap adil
dalam memutuskan perkara kasus Syiah Sampang, Madura.
Apa alasan dan tantangan The Wahid Institute melakukan pembelaan
terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Banten.?
Alasannya The Wahid Institue melakukan advokasi kepada jemaat
Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, ialah, bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan jaminan beragama dan berkeyakinan. Namun, dalam peranya The
Wahid Institute mengalami kendala yang cukup berat. Contohnya, para penegak
hukum tidak adil dan tidak objektif menangani kasus kekerasan Ahmadiyah
Cikeusik, Banten. Karena pelaku kekerasan hanya di hukum ringan dan tidak
memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan tersebut.
xxxiii
Download