I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma

advertisement
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai
dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyempitan saluran
pernapasan. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di
negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti
Indonesia (Rengganis, 2008).
Penatalaksanaan serangan asma dititikberatkan untuk menghentikan
serangan secepat mungkin dan mencegah serangan berikutnya. Oleh karena itu
diberikan obat yang bersifat bronkodilator pada waktu serangan dan obat
antiinflamasi untuk menurunkan hiperaktivitas bronkus sebagai tindakan
pencegahan. Pemberian obat asma dapat dilakukan dengan cara parenteral, oral,
dan inhalasi (Idrus dkk., 2012). Pemberian obat asma dengan inhalasi saat ini
berkembang luas dan lebih banyak digunakan. Keuntungan pemberian dengan
cara inhalasi adalah obat akan langsung menuju paru-paru dan saluran pernapasan
sehingga memberikan efek lebih cepat untuk mengatasi serangan asma
(Shrikhande dkk., 2011).
Salbutamol sulfat, disebut juga albuterol sulfat, merupakan fast acting
bronchodilator golongan agonis β2 yang banyak digunakan sebagai medikasi
asma. Salbutamol sulfat termasuk obat-obatan bersifat asam, derajat keasaman
(pH) berkisar antara 3 hingga 5, hal ini disebabkan oleh adanya gugus sulfat yang
terkandung di dalamnya (Ivax Laboratories, 2006). Salbutamol sulfat tersedia
1
2
dalam bentuk sediaan oral, inhalasi, maupun injeksi. Bentuk inhalasi merupakan
sediaan yang paling sering digunakan karena obat dapat langsung bekerja setelah
dihirup melalui mulut dan efek samping yang ditimbulkan lebih kecil
dibandingkan sediaan oral (Shrikhande dkk., 2011). Sediaan inhalasi dapat
diberikan menggunakan beberapa alat yaitu inhaler dosis terukur (pressurized
Metered-Dose Inhalers/ pMDI), inhaler serbuk kering (Dry Powder Inhaler/ DPI),
dan nebulizer (Milala, 2013). Pada inhaler dosis terukur, setiap semprotannya
melepaskan 100 µg aerosol salbutamol sulfat (Trows dkk., 2014).
Perawatan
asma
menggunakan
inhaler
salbutamol
sulfat
dapat
mempengaruhi kondisi rongga mulut. Salah satunya dapat meningkatkan resiko
karies, hal ini kemungkinan karena salbutamol sulfat mempengaruhi laju sekresi
saliva. Menurunnya sekresi saliva menyebabkan mikroorganisme penyebab karies
seperti Streptococcus mutans dan Lactobacilli menjadi meningkat (Khalifa dkk.,
2014; Mazzoleni dkk., 2008). Selain itu, inhalasi salbutamol sulfat dapat
menurunkan pH saliva dan mempengaruhi komposisi saliva (Shashikiran dkk.,
2007). Inhalasi obat-obatan melalui mulut juga dapat berpengaruh pada warna,
tekstur permukaan, dan kekasaran permukaan bahan restorasi yang terdapat di
dalam mulut seperti resin komposit (Kumar dkk., 2012).
Resin komposit merupakan salah satu bahan restorasi yang digunakan
secara luas di bidang kedokteran gigi. Resin komposit mempunyai kelebihan
dibandingkan bahan restorasi lain, yaitu biokompatibilitas yang baik, sifat fisik
yang baik, manipulasi yang mudah, estetis, biaya yang rendah, kestabilan kimiawi
dalam mulut, serta bebas dari logam dan merkuri (Anusavice, 2003). Selain itu,
3
resin komposit juga memiliki kekuatan mekanis yang cukup tinggi, koefisien
termal ekspansi yang rendah, dan perubahan dimensi yang rendah sehingga dapat
meningkatkan penampilan klinis (Sakaguchi dan Powers, 2012). Kekurangan
resin komposit yaitu tidak mampu melekat dengan baik pada email dan dentin,
sifat pengerutan polimerisasi yang tinggi, mudah menyerap air, dan tingkat
degradasi permukaan yang lebih tinggi dibandingkan amalgam dan keramik
(Wayne dkk., 2004).
Peningkatan kualitas resin komposit untuk mengatasi kekurangan tersebut
telah banyak dilakukan, salah satunya dengan meningkatkan kualitas bahan
pengisi
yaitu dengan
menggunakan
teknologi nano
(Lu dkk.,
2006).
Nanokomposit memiliki sifat bahan yang baik yaitu mudah digunakan,
kemampuan poles yang baik, kekuatan fleksural yang tinggi, pengerutan
polimerisasi lebih rendah, dan ketahanan terhadap degradasi permukaan yang
lebih tinggi (Jandt dan Sigusch, 2009). Resin komposit nanofil merupakan jenis
resin komposit yang tersedia cukup banyak di pasaran. Resin komposit nanofil
dikembangkan sebagai salah satu restorasi estetik dengan partikel bahan pengisi
nano yang berukuran sebesar 0,1-100 nm (van Noort, 2007). Resin komposit
nanofil mengandung matriks organik berupa bisphenol A glycidyl methacrylate
(Bis-GMA), urethane dimethacrylate (UDMA), triethylene glycol dimethacrylate
(TEGDMA), dan bisphenol A ethoxylated dimethacrylate (Bis-EMA) (Wang dkk.,
2011). Resin komposit nanofil terdapat kandungan bahan pengisi (filler) zirkonia
dan silika yang berukuran 20 nm. Resin komposit ini memiliki konsentrasi bahan
pengisi (filler) 78,5% berdasarkan berat, 63,3% berdasarkan volume. Resin
4
komposit nanofil memiliki keunggulan dalam hal mekanis yaitu pengerutan
polimerisasi lebih kecil, kandungan warna yang lebih baik, dan mudah dipoles
sehingga menghasilkan suatu permukaan yang lebih mengkilap (Craig dkk.,
2006).
Menurut Valinoti dkk. (2008), obat-obatan bersifat asam dapat
menyebabkan kekasaran permukaan restorasi resin komposit. Kekasaran
permukaan resin komposit terjadi melalui mekanisme terputusnya ikatan siloxane
(Si-O-Si) yaitu ikatan yang terbentuk dari gugus silanol (-Si-OH) pada coupling
agent dengan partikel bahan pengisi (filler). Ion H+ yang dihasilkan dalam kondisi
asam akan berikatan dengan oksigen pada ikatan siloxane sehingga dapat
menyebabkan terputusnya ikatan tersebut dan mengubahnya menjadi gugus
silanol kembali. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:
H+ + Si-O-Si → -Si-OH
Hal ini dapat menimbulkan terlepasnya partikel bahan pengisi sehingga terjadi
microscopic cracks yang menyebabkan kekasaran permukaan resin komposit
(Sitanggang dkk., 2015).
Kekasaran
permukaan
restorasi
resin
komposit
berdampak
pada
penampilan estetis, diskolorasi restorasi, dan karies sekunder. Kekasaran
permukaan juga berperan dalam akumulasi plak dan staining. Di sisi lain,
permukaan restorasi yang halus akan menjamin kenyamanan pasien dan
meningkatkan kebersihan mulut (Giacomelli dkk., 2010).
5
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka dapat
dirumuskan permasalahan apakah terdapat pengaruh paparan salbutamol sulfat
terhadap kekasaran permukaan resin komposit nanofil.
C. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian telah dilakukan berkaitan dengan kekasaran resin
komposit. Ayaz dkk. (2014) meneliti efek medikasi antiasmatik salbutamol sulfat
terhadap kekasaran permukaan dan stabilitas warna semen ionomer kaca, resin
komposit, dan feldspathic porcelain. Pada penelitian Ayaz dkk. (2014) salbutamol
sulfat dipaparkan menggunakan nebulizer sedangkan penulis menggunakan alat
yang berbeda yaitu inhaler dosis terukur (pressurized Metered-Dose Inhalers/
pMDI). Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa paparan salbutamol sulfat
menyebabkan perubahan kekasaran permukaan dan stabilitas warna pada semen
ionomer kaca dan resin komposit.
Terdapat pula penelitian Valinoti dkk. (2008) tentang pengaruh obatobatan bersifat asam terhadap kekasaran permukaan resin komposit mikrohibrid
dan nanofil. Penelitian ini menggunakan beberapa obat bersifat asam yaitu
Claritin dan Dimetapp tetapi tidak menggunakan salbutamol sulfat. Hasil
penelitian ini menyebutkan bahwa obat-obatan bersifat asam meningkatkan
kekasaran permukaan resin komposit.
6
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh paparan
salbutamol sulfat terhadap kekasaran permukaan resin komposit nanofil.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
1. Memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh paparan salbutamol sulfat
terhadap kekasaran permukaan resin komposit nanofil.
2. Memberikan dukungan ilmiah bagi pengembangan penelitian selanjutnya
mengenai pengaruh paparan salbutamol sulfat terhadap kekasaran permukaan
resin komposit nanofil.
Download