Hampir seluruh negara terkena dampak dari

advertisement
PERSOALAN HARGA BBM
Oleh:
Faisal Basri
Ketua Tim Ekonomi Kadin Indonesia
Hampir seluruh negara terkena dampak dari kenaikan harga minyak bumi
sebagaimana juga kenaikan harga-harga pangan. Kenaikan harga minyak dan pangan
tak terjadi secara tiba-tiba. Sejak dua tahun lalu banyak kajian yang telah memprediksi
kenaikan tajam harga-harga komoditas, termasuk minyak. Yang melatarbelakanginya
bukanlah faktor-faktor yang bersifat temporer jangka pendek, melainkan lebih bersifat
struktural jangka menengah dan jangka panjang.
Salah satu kajian terbaru menunjukkan bahwa tingkat harga minyak dewasa ini
tergolong masih dalam batas-batas yang bisa dijelaskan oleh trend jangka panjang.
Berdasarkan kajian ini, harga minyak masih berpeluang untuk naik sampai US$150 per
barrel:
 Adjusted by producer-price index = US$118
 Adjusted by annual income within G-7 countries = US$134
 Adjusted by disposable income of US = US$145
 Spending on oil as a share of global output = US$150
Source: Economist, April 17, 2008.
Kebanyakan negara, baik negara maju maupun negara berkembang telah lama
menerapkan kebijakan harga BBM berdasarkan mekanisme pasar, sehingga
penyesuaian harga terjadi secara otomatis mengikuti perkembangan harga minyak
internasional. Sehingga, negara-negara tersebut tak pernah lagi mengalami goncangan
tiba-tiba. Hal ini memang tak perlu terjadi seandainya penyesuaian harga dilakukan
berdasarkan perkembangan harga pasar yang terkadang naik dan bisa juga turun.
Dengan mekanisme demikian kalangan dunia usaha dan masyarakat terbukti
lebih siap menghadapi keadaan seperti dewasa ini dan lebih mampu beradaptasi
dengan realitas baru. Perubahan harga direspons oleh kalangan dunia usaha dan
masyarakat dengan cara berhemat, mengembangkan teknologi baru yang lebih hemat
energy dan ramah lingkungan, dan mencari alternatif substitusi.
Pemerintah, politisi, dan beberapa kalangan lainnya sudah teramat lama
memperlakukan BBM sebagai komoditas “sakral” sehingga kerap membelengggu
pemerintah sendiri. Penyesuaian harga BBM hampir selalu dilakukan ketika pemerintah
sudah terpepet dan tak ada lagi pilihan yang tersedia. Pertimbangan politik karena
“mitos” BBM menyebabkan pengambilan keputusan kerap terlambat, kehilangan
momentum, sehingga tidak memberikan hasil yang optimal. Dampak buruk atau
kerusakan yang terjadi sebelum kenaikan diputuskan tak jarang sudah sangat mahal.
Begitulah terjadi berulang-kali.
Banyak kalangan masih memandang Indonesia sebagai penghasil minyak yang
bisa memenuhi seluruh kebutuhan BBM di dalam negeri. Padahal, kenyatannya
produksi minyak mentah kita turun terus dalam 10 tahun terakhir. Nilai BBM yang kita
impor terus menggelembung. Defisit perdagangan minyak mentah dan BBM tahun lalu
telah mencapai US$9,7 miliar.
Masyarakat pengguna BBM bersubsidi tak tergerak melakukan penghematan
karena harga BBM tetap saja sangat murah, sekalipun harga minyak internasional terus
bergerak naik sampai mendekati US$120 per barrel. Akibatnya pertumbuhan konsumsi
BBM tak terkendali dan alokasi penggunaannya pun terdistorsi.
Pendek kata, semakin lama pemerintah menunda kenaikan harga BBM, semakin
banyak masalah akan muncul dan semakin besar biaya yang harus ditanggung oleh
perekonomian. Adalah penghamburan yang sia-sia kalau alokasi dana APBN untuk
subsidi energi hampir dua kali lipat dari belanja modal dan hampir tiga kali lipat lebih
besar dari bantuan sosial.
Secara moral pun, membiarkan subsidi ratusan triliun rupiah, sungguh sangat
tidak bisa diterima. Mengingat, hampir separuh subsidi tersebut tersedot ke kelompok
10 persen penduduk terkaya; sedangkan kelompok 10 persen termiskin memperoleh
tak sampai satu persen dari keseluruhan subsidi.
Akhirnya pemerintah memutuskan akan segera menaikkan harga BBM. Ada
beberapa hal yang perlu memperoleh pertimbangan masak:
1. Kenaikan harga BBM yang akan datang, berapa pun persentase kenaikannya,
hendaknya sekaligus dijadikan sebagai awal dari upaya penyesuaian otomatis
sejalan dengan perkembangan dinamika pasar. Untuk itu pemerintah harus segera
mengumumkan target kapan subsidi BBM akan dihapuskan.
2. Untuk meredam inflasi akibat kenaikan BBM, pemerintah harus sungguh-sungguh
membenahi sarana dan prasarana transportasi, sehingga dampak kenaikan harga
BBM bisa diminimalisasikan.
3. Penerapan smart card bersamaan dengan kenaikan harga BBM adalah kebijakan
yang sangat tidak produktif dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
kebijakan publik yang menjungjung tinggi kredibilitas dan akuntabilitas. Smart card
adalah bentuk restriksi kuantitatif yang dampak negatifnya jauh lebih banyak
ketimbang penyesuaian harga. Restriksi kuantitatif akan sangat rentan terhadap
penyalahgunaan/ penyelewengan ataupun perilaku-perilaku yang tak produktif
/koruptif.
4. Policy process sampai pada keputusan menaikkan harga BBM menimbulkan
ketakpastian dan menimbulkan biaya yang cukup besar sebelum keputusannya
sendiri diambil. Akibatnya efektivitas kebijakan pasca keputusan pun tergerus.
Download