BAHAN PENCEMAR BUTUH OKSIGEN Bahan pencemar butuh oksigen (oxygen consuming wastes) umumnya berupa limbah rumah tangga (domestic wastes) atau limbah perkotaan yang dialirkan melalui saluran kanal/got dan memasuki wilayah estuarin atau perairan pantai. Limbah dari pabrik-pabrik yang menghasilkan ampas/limbah padat, seperti pabrik gula atau pengolahan makanan seperti pabrik tahu/tempe, atau dari kegiatan budidaya ikan di laut yang menghasilkan pellet yang tidak terkonsumsi atau faces ikan. Seluruh limbah yang memasuki kolom air ini mengandung banyak bahan organik dan/atau nutrien yang menjadi subjek perombakan atau menjadi nutrisi mikroorganisme, termasuk mikro algae. Dalam proses perombakannya, mikroorganisme (terutama bakteri) membutuhkan oksigen yang terlarut dalam kolom air. Penggunaan oksigen oleh mikroorganisme menurunkan konsentrasi ini jelas oksigen akan terlarut dalam kolom air (dissolved oxygen/DO). Air limbah yang dihasilkan dari pengoperasian industri dalam banyak hal merupakan sumber bahan pencemar terburuk, meskipun jenis bahan pencemar akan bervariasi antara satu industri dengan lainnya. Namun dalam banyak hal, masalah yang ditimbulkan umumnya berasosiasi dengan salah satu atau kombinasi dari kondisikondisi berikut. Tingginya BOD (biological oxygen demand). Tingginya konsentrasi bahan padatan terlarut (SS : suspended solids) Keberadaan bahan-bahan toksik Dari ketiga faktor di atas, fenomena-fenomena seperti : rendahnya DO, tingginya turbiditas dan sedimentasi, yang masalah merupakan konsekuensi logis dari kondisi yang dihadapi perairan masuknya Demikian limbah juga akibat industri. dengan keberadaan toksin dalam perairan yang dapat berakibat pada 8 lethalitas atau stres pada organisme perairan. Belum lagi masalah akumulasi bahan toksik yang dapat menjadikan organisme ekonomis menjadi tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia. A. Masalah yang ditimbulkan Limbah Organik Industri Gula pasir (sugar cane) dan Pabrik kertas merupakan dua kelompok yang paling banyak menghasilkan limbah organik, termasuk padatan tersuspensi dan bahan toksik yang terkandung di dalam limbah buangannya. Hawaii merupakan negara bagian USA penghasil gula terbesar. Di dalam operasinya, tahapan awal yang menghasilkan limbah adalah pembuatan dan ekstraksi juice gula dari tebu (cane). Dari proses penghasilan juice ini akan dihasilkan limbah padat (filter cake). Ampas tebu (bagasse) sepenuhnya digunakan lagi sebagai bahan bakar. Proses akhir adalah penguapan (evaporasi) yang akan menghasilkan kristal gula dari dalam sirup. Limbah akhir yang diproduksi adalah molasses. Molasses banyak mengandung zat kapur (CaCO3), dan dalam proses penguapan dan sentrifugasi sirup kental menjadi gula dari Molasses, juga dihasilkan limbah air panas. Di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan, Pabrik Gula Bone dan Takalar juga diketahui telah menyebabkan masalah pada sungai tempat mereka membuang limbahnya (hal ini kurang terekspos mengingat rendahnya prioritas pada kesehatan lingkungan di Negara kita yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ! ). Di Hawaii, limbah pabrik gula yang dibuang ke perairan laut membuat air laut menjadi berwarna cokelat dan dapat terlihat hingga jarak 3 km atau lebih dari saluran pembuangannya (out falls). Kecerahan air diukur dengan Secchi disc dekat saluran pembuangan antara 5-10 cm. hal ini diperburuk dengan total coliform count >1000/100 ml. Kehidupan benthik juga sangat terganggu, terutama oleh kehadiran sedimen lumpur yang dapat mencapai ketebalan 3 m. Turbiditas juga menyebabkan turunnya populasi ikan yang didominasi oleh ikan-ikan carnivore. Total N dan P juga meningkat di perairan sekitar saluran pembuangan limbah pabrik gula. Industri gula di Hawaii termasuk yang tertinggi rendemen tebu/gula yang dihasilkan, sekitar 13 ton/ha/thn. Bandingkan dengan rata-rata hasil yang ada di negara Indonesia yang hanya 6,4 ton/ha/thn. Akan tetapi, industri gula di Hawaii collapse akibat biaya buruh tinggi dan masuknya gula fruktosa dari jagung. Kriteria limbah yang ditetapkan oleh USEPA juga membuat efisiensi usaha menjadi rendah 9 akibat besarnya biaya pengolahan limbah (tdk ada deposit limbah padat, tidak ada debri yang mengapung, tidak ada perubahan warna air laut (turbiditas) akibat TSS, patogen yang rendah dan total nutrien yang terbuang. Sedang industri kertas (Pulp and Paper), dengan USA dan Kanada sebagai negara terbesar dalam industri ini. Limbah industri kertas terdapat dalam 3 bentuk : gas, cair dan padat. Dalam limbah cairnya, terdapat bahan-bahan sulfur dan asam sulfit (H2SO3), magnesium, serta zat pemutih (bleach). Sedang bahan-bahan padat tersuspensi termasuk : partikel kayu (saw dust), kapur, serat serta bahan-bahan kimia pelapis kertas (banyak jenis, tergantung jenis kertas, antara lain: tanah liat, talc dan diatomite) untuk meningkatkan kejernihan putih kertas, kehalusan permukaan dan kecerahan warna kertas.(pernah dengar tentang kasus pencemaran perairan oleh pabrik kertas Kiani dan Kraf di Aceh ?). Adapun masalah yang ditimbulkan oleh industri pulp and paper, terutama oleh TSS yang banyak mengandung butiran kayu (wood chips) yang akan sangat mengganggu benthos saat mengendap di dasar perairan. Hal ini menciptakan kondisi anoksik baik di dasar perairan maupun pada sedimen. Penumpukan sedimen dan limbah pulp (bubur kertas) memperburuk situasi di bagian dasar perairan, terutama dengan meningkatnya konsentrasi H2S. Bahan organik terlarut dalam pulp akan meningkatkan BOD hingga 5 kali BOD limbah kota yang belum terolah (sekitar 8 ppm). Keberadaan DOM dan SS menghambat pertukaran oksigen di permukaan perairan. Limbah pulp juga mengandung bahan toksik dengan konsentrasi tinggi, terutama H2S dan Mercaptan yang berasosiasi dengan pulp. Oleh karena tingginya toksisitas limbah pabrik kertas ini, maka seluruh limbahnya harus diolah, terutama dalam hal menurunkan kandungan bahan toksik, seperti diuraikan di atas. Limbah terbesar dalam lingkungan perairan adalah bahan organik yang merupakan sasaran perombakan oleh bakteri yang membutuhkan DO dalam aktivitas tersebut, karena : Degradasi bakteri menyebabkan oksidasi molekul-molekul senyawa/bahan organik menjadi senyawa-senyawa anorganik yang lebih stabil. Bakteri aerobik menggunakan DO dalam aktivitas perombakan. Bila DO < 1,5 ppm, bakteri anaerobik (menggantikan bakteri aerob) mengoksidasi molekul organik tanpa O2, dengan produk akhir H2S (hidrogen 10 sulfida), NH3 (amonia) dan CH4 (metan) dengan bau tidak sedap dan toksik bagi organisme perairan. Selain prosesnya (pada point 3) lebih lambat dari aerobik, yg menyebabkan akumulasi limbah, juga dihasilkan produk sampingan yang bersifat toksik. Beberapa limbah anorganik dapat terombak tanpa keterlibatan bakteri, namun tetap sama pengaruhnya : menurunkan DO. Indikator DO pada perairan pantai terbuka : Oksia : > 2 mg/L Sub-oksia : 0.5 – 2 mg/L Disoksia : 0.1 – 0.5 mg/L Anoksia : < 0.1 mg/L Dalam dunia kedokteran, kandungan O2 di bawah 90% dari level jenuh dikatakan hipoksia. Sedang di laut, hipoksia didefinisikan bila DO < 30% dari level jenuh, atau < 2 mg/L = 62.5 µM. - Pada perairan sehat, konsentrasi DO : 6 – 8 ppm - Pada perairan dengan DO < 2 ppm, umumnya ikan sangat kurang dijumpai. Bahan organik yang membusuk, baik yang berasal dari limbah domestik dan limbah industri yang tidak atau belum terolah baik, kemudian dirombak oleh mikroba yang mengkonsumsi banyak DO selama proses dekomposisi. Konsumsi oksigen mikroba ini disebut kebutuhan oksigen biologis (BOD: biological oxygen demand). Bila tidak terjadi pengadukan yang cukup baik dalam perairan, maka peningkatan nilai BOD akan mengakibatkan peningkatan beban bahan organik yang berakhir pada kondisi dengan DO rendah/hypoxia (Heath, 1995). Hypoxia dapat memiliki dampak signifikan pada proses fisiologis pada ikan dan biota perairan lainnya, seperti semakin meningkatnya toksisitas suatu bahan kimia pada kondisi DO rendah. Kandungan nitrogen dan/atau posfor dalam limbah domestik, run-off pertanian dan deterjen, dapat berdampak toksik pada organisme perairan bahkan pada konsentrasi rendah karena kondisi eutrofikasi yang disebabkannya (Connel et al., 1999). Eutrofikasi menyebabkan perubahan harian yang sangat besar dalam DO perairan akibat fotosintesis pada siang hari dan respirasi pada malam hari. Respirasi fitoplankton dapat menyebabkan DO rendah hingga saat matahari terbit (Heath, 1995). Terhentinya eutrofikasi akibat habisnya nutrien bagi fitoplankton pada akhirnya akan menimbulkan nilai BOD yang tinggi. 11 Deterjen sintetik, hingga dua dekade lalu, umumnya masih berbasis posfat dan beberapa diantaranya masih memiliki kandungan PO 4-2 yang sangat tinggi (Wright and Welbourn, 2002). Namun sejak 1965, terjadi perubahan dari alkyl benzene sulphonate (ABS) dari kandungan utama deterjen digantikan oleh linear alkylate sulphonates (LAS) yang jauh lebih mudah terdegradasi oleh proses-proses biologis di lingkungan perairan. Walaupun LAS bersifat lebih toksik terhadap ikan dibandingkan ABS, namun potensi toksiknya dapat secara cepat direduksi oleh degradasi yang juga dapat terjadi secara cepat (Heath, 1995). B. Indikator Perombakan Oksigen dalam air (DO) BOD (biological oxygen demand): untuk memeriksa kandungan DO dalam limbah organik sebelum atau sesudah digesti bakteri. Umumnya waktu digesti 3 atau 5 hari (BOD3 atau BOD5), dilakukan dalam suasana gelap pada suhu kamar. DO dalam perairan mengalami fluktuasi (diurnal) sejalan dengan pola pencahayaan. COD (chemical oxygen demand) :cara menghitung jumlah materi yang teroksidasi. Dilakukan dgn menambahkan oksidan (KMnO4 atau K2Cr2O7) di dalam H2SO4 pada sampel limbah yang akan diperiksa. Contoh Kisaran nilai BOD (ppm) : 0 - 1 untuk air alami yang belum tercemar/terkontaminasi. 2-5 untuk air di sekitar hutan bakanu dan tanah perkebunan. 100-300 untuk limbah domestic/limbah perkotaan yang sudah diolah. 500 - 1000 untuk limbah domestik/limbah perkotaan yang belum diolah. 750 untuk Limbah pabrik pengolahan makanan 375 untuk Limbah pabrik kertas Misalnya: debit aliran air 8 m3/det dgn BOD 2 ppm dan Input limbah dalam perairan sungai/aliran air adalah 1 m3/det dgn BOD 20 ppm, maka BOD akhir adalah = total BOD/total volume = (8 x 2) + (1 x 20)/8 + 1 = 36/9 = 4 ppm. Bahan padat terlarut (Total suspended solids/TSS) : menjadi penyebab kekeruhan air yang menyebabkan menurunnya laju fotosintesis yang berimplikasi pada level DO. Pada konsentrasi 25 mg/L dampaknya pada organisme belum fatal. Pada konsentrasi > 25 – 80 mg/L akan mengurangi produksi telur ikan dan pada konsentrasi > 400 mg/L dapat menyebabkan 12 lenyapnya populasi ikan dari perairan tersebut. (diukur konsentrasinya melalui proses pengeringan air sampel dan menimbang residu/sedimen yang tersisa dengan konversi per liter air, yang diuapkan di dalam oven). Juga dapat diukur dengan parameter turbiditas. TSS dan DOM (dissolved organic matter): pada bagian permukaan kolom air dapat mendetoksifikasi beberapa jenis polutan, seperti Cu dan Zn. Jenis substrat dasar perairan juga menentukan durasi dan level toksisitas polutan. Hal ini terkait dengan lama menetap polutan pada sedimen. Jenis lumpur dan pasir berlempung akan ‘menahan’ polutan dalam waktu yang lebih lama dibanding substrat dasar berbatu (rocky) atau pasir berbatu (coarse sand). Semakin lama waktu menetap (residence time) polutan, semakin besar peluang berdampak toksik bagi organisme. Dinamika perairan juga memainkan peran penting dalam hal pencucian polutan (flush time). C. Nutrien dan Eutrofikasi Pencemaran bahan organik senantiasa berasosiasi dgn Nutrien. Umumnya disertai dengan peningkatan produksi limbah dan pendangkalan perairan akibat sedimentasi. Kondisi ini mengakibatkan perairan mengalami eutrofikasi, secara bertahap mengakibatkan terjadinya kondisi Anoksik di bagian dasar perairan. Hal ini secara bertahap pula (kecepatannya bergantung pada kondisi perairan: terbuka, semi tertutup atau tertutup) membuat organisme seperti ikan mati. Peningkatan jumlah bahan organik/nutrien Peningkatan populasi Fitoplankton/bakteri Penurunan konsentrasi DO Walaupun nitrat dan posfat tidak secara langsung bersifat toksik, namun dapat menyebabkan masalah dalam lingkungan perairan jika penggunaannya terlalu 13 banyak. Beberapa jenis pupuk mengandung nitrat (NO 2-) dan posfat (PO4-2) yang digunakan secara luas dalam kegiatan pertanian. Baik nitrat maupun posfat memasuki lingkungan perairan melalui proses run-off, nitrat juga dikeluarkan selama proses dekomposisi tumbuhan mati yang kemudian memasuki tanah lalu mencemari air bawah tanah yang pada akhirnya menemukan jalannya untuk memasuki perairan terbuka. Di perairan terbuka, NO2- dan PO4-2 kemudian menyebabkan kondisi eutrofikasi yang memicu timbulnya blooming alga yang berlanjut pada kondisi anoxia, seperti telah dijelaskan sebelumnya (Walker et al., 1996). Dalam kondisi eutrofikasi, akan terjadi dominansi dari suatu spesies (umumnya Fitoplankton, seperti : Cyanobacteria atau Diatom). Kualitas perairan menjadi rendah yang akan merusak produktivitas perairan, dan di wilayah pesisir dapat merusak kelangsungan hidup terumbu karang (kasus di Perairan Kanehoe, Hawaii). Pada kondisi Eutrofik ini konsentrasi O2 sangat fluktuatif dibandingkan dengan kondisi Oligotrofik maupun Mesotrofik. Kondisi dengan konsentrasi O2 rendah (oxygen depletion) ini jelas akan sangat mematikan bagi organisme lain seperti ikan. Eutrofikasi akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan berlebihan (excessive growth) dari fitoplankton dan makroalgae. Hal ini akan menyebabkan masalah estetika dan menurunkan potensi wilayah perairan sebagai lokasi rekreasi. Kematian dan dekomposisi fitoplankton dan makroalgae akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Eutrofikasi akan menurunkan diversitas organisme. Hal ini karena hanya beberapa jenis/spesies saja yang dapat survive. Kompetisi untuk mendapatkan bahan makanan sangat tinggi sehingga tingkat predasi juga menjadi sangat tinggi. Pada kondisi ekstrim, wilayah dasar perairan yang menjadi Anoxic menjadi tidak berpenghuni layaknya padang pasir, terumbu karang dikolonisasi oleh alga, banyak ditemukan di perairan Indonesia, Filipina, dan perairan tropis lain. 14 Contoh dampak eutrofikasi : coral-algae. D. Sekuensi Pemanfaatan O2 Pada kasus pencemaran bahan organik butuh oksigen, lama kelamaan O2 habis. Sementara limbah organik masih tersisa. Apa yang terjadi selanjutnya ? Suatu reaksi lanjutan, baik oleh mikroorganisme ataupun secara kimiawi yang akan mengambil alih proses perombakan limbah. Beberapa dari reaksi tersebut memliki dampak/konsekuensi lingkungan yang signifikan. 1. Respirasi aerobik : O2 + CH2O → CO2 + H2O Disini terjadi oksidasi bahan organic oleh O2, dan banyak terjadi pada wilayah perairan kaya O2 2. Denitrifikasi : 4NO3- + 5CH2O + 4H+ → 5CO2 + 2N2 + 7H2O 3. Reduksi Mangan : 2MnO2(sw) + CH2O + 4H+ → 2Mn+2(aq) +CO2 + 3H2O Reaksi ini dapat menghasilkan trace logam (Mn dan logam asosiasi ) yang toksik. 4. Reduksi Besi (Fe) : 4Fe(OH)3(s) + CH2O + 8H+ → 4Fe+2 (aq) + CO2 + 11H2O Dapat melepaskan trace logam toksik (Fe dan logam asosiasinya) serta dapat menghasilkan senyawa Posfor 5. Reduksi Sulfat : ½ SO4-2 + CH2O + H+ → ½ H2S + CO2 + H2O Merupakan reaksi yang umum di lingkungan laut, menghasilkan gas hydrogensulfida yang toksik, yang selanjutnya menghasilkan mineral sulfida yang dapat merombak logam. 15 6. Methanogenesis (fermentasi) : CH2O + CH2O → CH4 + CO2 Reaksi yang umum terjadi pada perairan yang mengalami eutrofikasi berat, seperti rawa dan saluran irigasi sawah yang banyak menerima limbah pupuk NPK, menghasilkan gas metan yang merupakan salah satu gas utama efek rumah kaca. E. Konsekuensi pada Kesehatan Manusia Bahan organik dapat berasal dari tinja manusia yang mengandung bakteria enteric, patogen atau virus, umumnya diekspresikan sebagai ‘coliform count’. Mikroorganisme ini dapat memasuki organisme (terutama bivalvia) yang menjadi bahan makanan manusia. Penyakit yang dapat ditimbulkan selain diarrhea, juga Paralytic shellfish poisoning (PSP) yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh dinoflagellata Gonyaulax atau Gymnodium yang bisa menyebabkan kelumpuhan total atau bahkan kematian. 16 Oxygen Sag Terkadang dalam kolom air sejumlah besar ikan yang mati tiba-tiba muncul, mereka mengalami kematian seketika akibat bencana lingkungan yang dikenal dengan ‘oxygen sag’. Hal ini merupakan fenomena lingkungan penting, baik dari aspek biologi, bisnis ataupun kebijakan keamanan perairan. Apakah oxygen sag itu? Darimana saja sumbernya ? 1. Oxygen sag adalah suatu keadaan di dalam kolom air, dimana keberadaan DO sangat dipengaruhi oleh masuknya limbah bahan organik. Oxygen sag dicirikan oleh kehadiran bakteri yang koloninya terpusat dekat limbah terkonsentrasi (sebagai sumber bahan nutrisi) dan mengkonsumsi oksigen dalam jumlah besar. Jika limbah organik terkonsentrasi pada area tertentu maka konsentrasi DO-nya pun akan menurun secara bertahap dan pasti, membentuk ‘oxygen sag’. Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, beberapa jenis limbah organik-pun mengkonsumsi O2 selain konsumsi yang dilakukan oleh bakteri. Hal ini akan lebih mempercepat terjadinya ‘oxygen sag’. 2. Dampak oxygen sag adalah kematian dari hewan-hewan yang menggunakan O2 untuk bernafas seperti ikan, avertebrata dan bakteri sendiri. Umumnya lokasi oxygen sag relatif kecil dan berada pada bagian perairan yang dangkal. Luasan dampak banyak bergantung pada seberapa berat pencemaran bahan organik di area tersebut. Setelah seluruh hewan pengkonsumsi O 2 mati, maka tumbuhan yang mengkonsumsi CO2 pun akan mati karena sumber CO2 telah mati. Kondisi ini akan berlanjut dengan terbentuk daerah ‘dead zone’ yang tandus tanpa kehidupan. 3. Berkurangnya aliran/sirkulasi air ke wilayah estuarin juga merupakan salah satu penyebab terjadinya oxygen sag. Misalnya, dengan dibangunnnya bendungan atau pengalihan aliran air, hal ini menyebabkan rendahnya DO yang dikenal sebagai kondisi ‘sag’. 4. Kecepatan laju terbentuknya ‘oxygen sag’ dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: volume pertukaran air, pH, kekeruhan (turbiditas), suhu dan beban bahan organik pencemar yang ditambahkan ke dalam kolom air. 5. Sumber bahan-bahan pencemar organik terutama dari lingkungan permukiman, limbah perkotaan dan limbah yang langsung dibuang ke laut (dumping). Demikian juga dengan curah hujan yang berkepanjangan yang membawa serta 17 bahan organik dalam jumlah besar. Pengolahan limbah atau kehati-hatian dalam membuang limbah organik dapat secara signifikan mengurangi peluang terbentuknya ‘oxygen sag’. ALIRAN O2 DAN NITROGEN DALAM SISTEM PERAIRAN LAUTAN Produksi bahan organik oleh tumbuhan berklorofil merupakan fondasi kehidupan di lautan. Melalui proses fotosintesis, tumbuhan mengasimilasi CO 2 dan menghasilkan O2, sembari mengasup (up-take) bahan-bahan anorganik/nutrien, untuk kemudian menggabungkannya menjadi senyawa-senyawa organik. Senyawa-senyawa organik ini kemudian memasuki sistem rantai makanan di laut, dan sebagian besar produksi primer ini akan berakhir di dasar lautan. Dalam proses tenggelamnya menuju dasar laut, bahan-bahan organik yang mati ini sudah mengalami proses degradasi melalui beberapa proses metabolisme dan oleh mikroba yang menghasilkan nutrien dari proses degradasi tersebut. Di sedimen, proses degradasi berlanjut dan terus menghasilkan nutrien yang akan mendukung proses produksi primer, baik di dalam kolom air maupun di permukaan sedimen. Dalam proses degradasi ini banyak DO yang dikonsumsi. Peningkatan konsentrasi bahan organik akan menurunkan laju degradasi karena limbah organik tersebut juga mengkonsumsi DO. Rendahnya konsentrasi DO pada permukaan sedimen (ketebalan hingga beberapa millimeter) mengakibatkan terhentinya siklus nutrien secara anaerobik. Porsi produktifitas primer yang mencapai sedimen bersama-sama dengan bahan organik lainnya terutama sangat berdampak pada asupan oksigen di sedimen, demikian juga dengan laju aliran (pertukaran) N dan P antara air dan sedimen juga secara tidak langsung dipengaruhi. Gambar 1. Siklus nutrien, dimana alga planktonik mengasup CO2 melalui proses fotosintesis dan mengkonversinya, bersama-sama dengan nitrogen (N) dan Posfor (P) menjadi bahan organik (misalnya: karbohidrat, protein). Secara perlahan dan pasti bahan organik tersebut akan mencapai sedimen dimana mereka mengalami degradasi oleh mikroba dan secara permanen tertimbun dalam sedimen. Melalui proses degradasi di sedimen, CO 2, N dan P kembali dilepaskan dan memasuki kolom air untuk kembali memasuki siklus produksi bahan organik. 18 Produksi Primer dan Beban Bahan Organik di Sedimen Laut Sintesis bahan organik (produksi primer) terjadi melalui proses fotosintesis, yang dapat disederhanakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut. CO2 + H2O → CH2O + O2 Selama berlangsungnya proses produksi bahan organik, N dan P dikemas menjadi molekul-molekul organik dalam rasio yang bervariasi. Sehingga proses detilnya dapat digambarkan sebagai berikut. C CO2 + NNH4+ + PPO4 3- + CH2O → (CH2O)C(NH4+)N(PO43-)P + CO2 dimana C, N dan P menggambarkan jumlah atom Karbon, Nitrogen dan Posfor, yang akan digabungkan menjadi senyawa organik. Kandungan N dan P dari bahan organik, dalam kaitannya dengan kandungan Karbon dapat digambarkan sebagai berikut. (CH2O)(NH4+)1/(C:N) (PO43-) 1/(C:P) yang bersesuaian dengan (CH2O)C(NH4+)N(PO43-)P Secara perlahan namun pasti, bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis akan didegradasi. Selama proses degradasi, karbon bahan organik dilepaskan dalam bentuk CO2, dan nitrogen dalam bentuk ammonium (NH4+) dan Posfor dalam bentuk posfat (PO43-). Proses degradasi atau pendaur ulangan atau mineralisasi ini adalah pada hakekatnya sama dengan proses fotosintesis secara terbalik jika O2 tersedia di lingkungan. Pada kondisi DO rendah (anoksia), konsumsi Nitrat, besi teroksidasi dan mangan teroksidasi serta senyawa sulfat menggantikan konsumsi oksigen. Pada proses degradasi terhadap makromolekul organik, mikroorganisme mengeluarkan enzim-enzim hidrolitik yang medekomposisi karbohidrat, protein dan lemak menjadi senyawa-senyawa organik yang lebih kecil. Bakteri memiliki kemampuan untuk mengasup (up-take) senyawa-senyawa kecil ini melalui membran selnya yang kemudian melakukan metabolism terhadapnya, dimana bahan-bahan organik tersebut kemudian didegradasi menjadi C, N dan P yang kemudian dilepaskan lagi ke kolom air atau permukaan sedimen. 19 Gambar 2. Distribusi proses degradasi/respirasi dalam sedimen laut dan estuarin. Respirasi aerobik mengkonsumsi oksigen (R1), sedang proses-proses lainnya adalah anaerobik. Pada R2, Nitrat, pada R3 Oksida Mangan dan Hidroksida besi (R4) dan Sulfat (R5) berfungsi sebagai substrat respirasi. Menurut teori, dasar lautan dapat dibagi atas beberapa zona/mintakat, yang masing-masing didominasi oleh salah satu proses secara terpisah, masing-masing: respirasi oksigen, denitrifikasi, reduksi mangan (Mn), reduksi besi (Fe) dan reduksi Sulfat (SO4). Pada bagian kanan grafik adalah salah satu contoh dari ciri khas distribusi substrat respirasi pada sedimen pantai (pada kasus ini di Denmark). Jarak bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan jumlah bahan organik yang terdegradasi sebelum mencapai dasar lautan. Beberapa faktor memainkan peranan penting dalam menentukan beban bahan organik yang mencapai dasar lautan, seperti: konsentrasi DO dalam air, kepadatan populasi bakteri dan jumlah/konsentrasi bahan organik yang terdapat dalam kolom air. I. Degradasi Bahan Organik Melalui Respirasi Bakteri (Reaksi Primer) Proses-proses kimia yang mendegradasi bahan organik dan mendaur ulang CO2, NH4+ dan PO43- , molekul-molekul yang menyusun bahan organik melalui proses fotosintesis, dikenal sebagai reaksi primer. Reaksi-reaksi primer ini memiliki kesamaan dengan ciri khas proses yang terjadi selama berlangsungnya respirasi bakteri. Reaksi primer ini sangat berbeda dengan kebanyakan reaksi sekunder, yang akan dibahas berikutnya. Selama O2 tersedia, maka proses degradasi bahan organik akan dilakukan melalui proses respirasi bakteri menggunakan O2 yang kita kenal sebagai respirasi aerobik. Jika O2 berkurang secaras drastis, maka prosesnya digantikan oleh mineralisasi melalui proses respirasi anaerobik. Urutan dan distribusi proses respirasi ini ditarik mulai dari bagian pemukaan sedimen (hingga kedalaman sekitar 5 mm) adalah aerobik, kemudian diikuti dengan respirasi menggunakan nitrat, besi teroksidasi, senyawa20 senyawa mangan dan sulfat (Gambar 2), dimana sulfat dapat mempenetrasi hingga 1-4 m ke dalam sedimen, bergantung pada beban bahan organik. Semakin ke bagian dalam sedimen, degradasi bahan organik berlangsung melalui proses fermentasi dimana gas methan (CH4) terbentuk. Umumnya, dalam sistem perairan laut bakteri pengkonsumsi O2 hanya mendegradasi sekitar 40% dari bahan organik yang sampai ke sedimen. Sisanya diambil alih oleh bakteri anerobik untuk proses degradasinya, kecuali bila bahan organik tersebut tertimbun pada bagian dalam sedimen sebelum proses degradasi selesai. Proses degradasi bakterial anaerobik yang terpenting adalah reduksi sulfat. Sesuai urutannya, reduksi sulfat mereduksi 60% dari bahan organik, lalu diikuti oleh respirasi besi tereduksi yang dilakukan oleh bakteri pengguna FeOOH sebagai substrat respirasi. Proses respirasi nitrat (denitrifikasi) dibandingkan respirasi sulfat dan besi tereduksi, tidak memiliki keutamaan (secara kuantitatif) dalam proses degradasi bahan organik secara anaerobik.akan tetapi proses denitrifikasi sangat penting dalam membersihkan sistem dari kandungan nitrogen. Terlepas dari ketersediaan substrat respirasi, jumlah bahan organik yang sebenarnya terdegradasi dalam sedimen lautan atau estuarin, bergantung pada jumlah bahan organic yang dapat didegradasi yang mencapai dasar laut/estuarin. Bahanbahan organic yang tidak terdegradasi secara lengkap akan tertimbun atau tersimpan dalam sedimen bersama-sama dengan nutrien yang terikat dengannya dan menghilang dari siklus nutrien. Salah satu ciri khas proses respirasi adalah mereka melepaskan enerji untuk proses metabolik dengan mentransfer satu atau lebih elektron dari senyawa kimia berenerji tinggi ke senyawa kimia yang berenerji lebih rendah. Saat bahan organik terdegradasi, atom C yang selalu melepaskan elektron (e -) dan teroksidasi menjadi CO2 dalam proses tersebut. CH2O + H2O → CO2 + 4e- + 4H+ Pada saat yang sama, N dan P digabungkan ke dalam senyawa organik melalui proses fotosintesis yang dilepaskan dalam bentuk garam (nutrien) anorganik ammonium (NH4+) dan posfat (PO43-) (CH2O)C(NH4+)N(PO43-)P + CH2O →CCO2 + NNH4+ + PPO43- + 4Ce- + 4CH+ Oleh karena itu, terlepas apakah proses respirasi itu aerobik atau anaerobik, CO2, NH4+ dan PO43- dilepaskan. Dalam proses respirasi, baik oksigen, nitrat, mangan atau besi teroksidasi atau sulfat aan menangkap elektron yang dilepas oleh karenanya mereka mengalami reduksi. Sehingga dalam banyak proses produk-produk limbah yang 21 berbeda (yaitu senyawa kimia tereduksi) akan terbentuk dalam sedimen (misalnya: mangan tereduksi, besi tereduksi dan hydrogen sulfide). 1.1. Respirasi Menggunakan Oksigen (aerobic respiration) Bakteri menghasilkan CO2 dan air pada proses degradasi bahan organik secara aerobik, yang prosesnya persis serupa proses fotosintesis terbalik. O2 + CH2O → CO2 + H2O (R1) 1.2. Respirasi Menggunakan Nitrat (Denitrifikasi) Dalam respirasi nitrat anaerobik bakteri denitrifikasi menghasilkan nitrogen, CO2 dan air. 4NO3- + 5CH2O + 4H+ → 2N2 + 5CO2 + 7H2O (R2) N2 yang terbentuk dalam proses di atas menghilang ke atmosfir hingga terhenti untuk menumpuk dalam lingkungan lautan. Nitrat untuk keperluan denitrifikasi berasal dari perairan dasar atau terbentuk dalam sedimen melalui proses oksidasi dari NH4+ menjadi NO3-. Walaupun NO3- tidak terdapat dalam perairan dasar, proses denitrifikasi masih dapat berlangsung, selama masih tersedia O2 dalam sedimen. Disini, NO3- dapat terbentuk melalui oksidasi NH4+. 1.3. Respirasi Menggunakan Mangan (Mn) dan Besi (Fe) Melalui respirasi menggunakan oksida mangan, bakteri pereduksi mangan menghasilkan mangan tereduksi dan CO2 (terlarut) dan air. 2MnO2 + CH2O + 4H+→ 2Mn2+ + CO2 + 3H2O (R3) Berlawanan dengan transportasi partikel mangan oksida yang terjadi dengan adanya guncangan biologis, transportasi ion Mn2+ berlangsung secara difusif. Dalam bentuk teroksidasi, mangan bereaksi dengan H2S membentuk Mn2+, yang mereduksi mangan secara cepat menjadi MnO2 dengan kehadiran oksigen. Selama berlangsungnya respirasi bakteri anaerobik dengan besi hidroksida terlarut, terbetuklah besi tereduksi, CO2 dan air. 4FeOOH + CH2O + 8H+ → 4Fe2+ + CO2 + 7H2O (R4) 22 Seperti halnya dengan Mn, Fe dalam bentuk teroksidasi merupakan bahan padat/partikulat, sedang bentuk tereduksinya adalah terlarut. Besi tereduksi secara spontan bereaksi dengan MnO2 dan O2 membentuk FeOOH. Melalui reaksi Fe2+ dengan H2S maka endapan padatan besi sulfida (FeS) terbentuk yang menyebabkan sedimen berwarna hitam. Secara teknis, sangat sulit dan mahal untuk mengukur respirasi bakteri dengan Mn dan Fe. Secara bersamaan kedua bentuk respirasi ini menyumbangkan total degradasi bahan organik sekitar 25%. 1.4. Respirasi Menggunakan Sulfat (sulphate reduction) Bakteri pereduksi sulfat menggunakan sulfat sebagai substrat resprasi, dan melalui proses respirasi anaerobik ini hidrogen sulfida/H2S, CO2 dan air dihasilkan. SO42- + 2CH2O + 2H+→ H2S + 2CO2 + 2H2O (R5) Bau H2S sangat busuk/menyengat dan merupakan produk limbah yang sangat beracun. 1.5. Produksi Gas Methan (methanogenesis) Pada bagian terdalam sedimen, di bawah zona sulfat, gas methan dihasilkan dari proses fermentasi bahan organik: 2CH2O → CH4 + CO2. Degradasi bahan organik melalui proses methanogenesis tidak memiliki manfaat dalam siklus nutrien pada bagian atas sedimen. II. Dekomposisi Produk Degradasi Bakteri (Reaksi Sekunder) Berbeda halnya dengan reaksi-reaksi primer, yang keseluruhannya merupakan proses respirasi bakterial, kebanyakan reaksi-reaksi sekunder adalah murni reaksi kimia. Degradasi bahan organik menyebabkan dilepaskannya sejumlah produk metabolik seperti; CO2 and H2O dan sejumlah nutrien seperti; NH4+ and PO43- serta sederet produk limbah seperti ; N2(melalui proses denitrifikasi), Mn2+ (melalui proses respirasi mangan) Fe2+ (melalui respirasi besi) dan H2S (lewat reduksi sulfat). Sehingga dapat dikatakan bahwa reaksi-reaksi sekunder hany erkait dengan produk-produk limbah dan memulihkan kandungan substrat respirasi seperti: NO3-, MnO2, FeOOH and SO42-. Melalui proses difusi produk-produk CO2 dan N2 dipindahkan dari sedimen ke dalam perairan laut dimana keduanya mencapai kondisi kesetimbangan (equilibrium) dengan atmosfir. 23 2.1. Nitrat (NO3-) dan Ammonium (NH4+) Bakteri nitrifikasi juga memiliki kemampuan untuk melepaskan enerji yang terikat dalam NH4+ dengan mengoksidasinya menjadi NO3-. Pada saat bakteri mengoksidasi ammonium menjadi nitrat, oksigen berfungsi sebagai akseptor elektron. NH4+ + 2O2 → NO3- + H2O + 2H+ (R6) Sehingga, proses nitrifikasi hanya terjadi dengan kehadiran oksigen, yaitu di daerahdaerah bagian atas sedimen dan di sekitar lubang-lubang (tube) polychaeta, dimana oksigen dapat diangkut ke bagian sedimen yang lebih dalam karena jalur-jalur yang dibentuk oleh cacing polychaeta. Atau dengan kata lain, produksi ammonium di daerah-daerah tanpa oksigen di dalam sedimen harus mampu menyerap oksigen dari permukaan sedimen atau melalui pori/tube polychaeta agar NH4+ dapat memperoleh oksigen dan dioksidasi menjadi NO3-. Dalam situasi dimana pada dasar laut terjadi defisiensi atau penurunan konsentrasi oksigen, maka difusi NH4+ menjadi sangat intensif yang membuat NH4+ keluar ke perairan dasar di bagian permukaan sedimen atau dikeluarkan melalui lubang-lubang polychaeta. Seperti yang terjadi pada NH4+, pertukaran NO3- juga dapat terjadi antara sedimen dan perairan dasar. Arah aliran nutrien diatur oleh gradasi konsentrasi yang terdapat di sepanjang daerah peralihan (interface) antara sedimen dan perairan dasar. Sekali garam nitrogen (nutrien) memasuki perairan laut, maka plankton dan bethos segera akan mengasupnya lalu menggabungkannya dengan bahan-bahan organik melalui proses fotosintesis. Pertukaran nitrogen antara sedimen dan kolom air adalah hasil dari suatu proses kesetimbangan kompleks yang diatur oleh sederet faktor seperti beban bahan organik pada sedimen, suhu kolom air, konsentrasi DO, NH4+ dan NO3- pada kolom air. 2.2. Posfat (PO43-) Melalui proses mineralisasi, posfor dilepaskan dalam bentuk posfat anorganik. Berbeda dengan hampir seluruh senyawa kimia di lingkungan laut, posfor tetap mempertahankan tingkat oksidasinya. Dengan kata lain, atom posfor sangat jarang beranjak dari level oksidasi +5 dalam bentuk orthoposfat, PO43-. Bergantung pada gradasi konsentrasi, Posfat, seperti halnya dengan Nitrat dan Ammonium akan berdifusi ke dan dari sedimen dan perairan dasar, namun tidak seperti halnya dengan NH4+, PO43- yang terikat sangat kuat di dalam sedimen di bawah kondisi oksidatif tertentu. 24 Posfat terikat pada sedimen untuk mengoksidasi, antara lain, senyawa besi. Ikatan ini ditandai dengan simbol ≡ dalam persamaan kimia. (FeOOH)N + PO43- → (FeOOH)N≡PO43- (R7) Sedimen dapat melepaskan cengkeramannya pada besi (iron grip) yang terletak pada molekul posfat disaat FeOOH tereduksi menjadi Fe2+, karena kompleks senyawa terlarut dan PO43- segera terbebas untuk terdifusi ke dalam bagian dasar perairan, sepanjang gradasi konsentrasi memungkinkannya untuk dapat lewat. Produser primer di dalam air dan pada permukaan sedimen selalu siap siaga untuk mengasimilasi Posfat yang dibebaskan dan menggabungkannya dengan bahan-bahan organik melalui proses fotosintesis, jika terdapat jumlah cahaya yang mencukupi. Kondisi lingkungan dan mekanisme reaksi mempengaruhi ikatan besi posfor. Gambar 3. Siklus Nutrien : Konsentrasi NO3- dan NH4+ di bagian permukaan sedimen (2,5 cm) yang disertai dengan ketebalan lapisan permukaan yang mengandung oksigen. OM: bahan organik; (CH2O)C(NH4+)N(PO43-)P (R2 dan R3). 2.3. Oksida Mangan (MnO2) dan Mangan Tereduksi Terlarut (Mn2+) Seperti saat bakteri pereduksi mangan menggunakan oksida mangan partikulat debagai substrat respirasinya (R3), maka Mn2+ terbentuk saat MnO2 bereaksi dengan Fe2+. 2Fe2+ + MnO2 + 2H2O → 2FeOOH + Mn2+ + 2H+ (R8) 25 Saat Mn2+ terbentuk oleh reduksi oksigen yang hadir, mangan kembali teroksidasi menjadi MnO2. 2Mn2+ + O2 + 2H2O → 2MnO2 + 4H+ (R9) Proses ini terutama terjadi pada bagian bawah segera setelah permukaan sedimen dimana Mn2+ secara sepat terpresipitasi dalam bentuk oksida mangan dengan kehadiran oksigen. Peranan Oksida mangan diduga tidak signifikan dalam kaitannya dengan oksidasi Fe2+ (R8) dan konsumsi oksigen (R9). Hewan-hewan yang memompa air ke luar dan masuk sedimen (aliran irigasi) juga mempengaruhi konsentrasi Mn2+ di dalam sedimen, sebagian dengan cara memindahkan Mn2+ dan sebagian lagi dengan cara membuat oksigen mampu mempenetrasi ke bagian sedimen yang lebih dalam disertai dengan proses difusi. 2.4. Besi Partikulat Teroksidasi (FeOOH) dan Besi Terlarut Tereduksi (Fe2+) Warna kecoklatan yang sering terlihat di lapisan permukaan sedimen, disebabkan oleh senyawa besi partikulat (immobile) teroksidasi yang terbentuk pada bagian atas sedimen (ketebalan hingga beberapa cm, segera setelah zona teroksidasi). Bakteri pereduksi besi menggunakan besi teroksidasi sebagai substrat respirasinya dalam mendegradasi bahan organic (R4). Namun peranan ekologis senyawa-senyawa besi teroksidasi dalam mempertahankan posfat di sedimen dasar laut tidak signifikan (R7). Saat bakteri pereduksi besi mereduksi FeOOH, maka posfat yang terikat dilepaskan. Pelepasan posfat juga terjadi melalui suatu reaksi non-biologis dari hidrogen sulfida dengan FeOOH nH2S + 2(FeOOH)N≡PO43- + 4NH+ → nSo +2nFe2+ + 4nH2O + 2PO43- (R10a) 26 Gambar 4. Siklus Besi. Konsentrasi FeOOH, Fe2+, FeS dan FeS2 pada lapisan bagian atas sedimen (sekitar 5 cm). Siklus besi saling tumpang tindih dengan siklus Mangan (R8), sementara tumpang tindih dengan siklus Sulfur (R10, R13, R14, R15, R17 dan R18) OM adalah bahan organik. Besi tereduksi (Fe2+) segera dikonversi menjadi FeOOH jika bertemu dengan oksigen, seperti pada zona dasar laut teroksidasi, atau jika tidak akan dilepaskan ke perairan dasar. 4Fe2+ + O2 + 6H2O → 4FeOOH + 8H+ (R11) Seperti halnya dengan oksida mangan, besi bereaksi dengan hidrogen sulfida seperti dibahas pada bagian berikut. 2.5. Sulfat (SO42-), Hidrogen Sulfida (H2S), Sulfur Partikulat (So) dan Besi Sulfida (FeS dan FeS2) Hidrogen sulfida adalah hasil degradasi respirasi bahan organik yang dilakukan oleh bakteri pereduksi sulfat. Produksi H2S berlangsung dalam zona tereduksi dalam sedimen, dan selanjutnya dari zona ini H2S terdifusi ke arah permukaan sedimen. Sebelum hidrogen sulfida mencapai zona sedimen teroksidasi, besi teroksidasi atau senyawa mangan dapat mengoksidasi H2S menjadi So, atau H2S untuk sementara waktu dapat terikat di dalam sedimen dalam bentuk besi sulfida partikulat (FeS). H2S + 2FeOOH + 4H+ → So +2Fe2+ + 4H2O (R10b) H2S + MnO2 + 2H+→ So + Mn2+ + 2H2O (R12) H2S + Fe2+ → FeS + 2H+ (R13) 27 Beberapa besi sulfida bereaksi dengan sulfur partikulat membentuk pyrit (FeS2), yang berwarna abu-abu muda menembus cukup dalam ke sedimen. FeS + So → FeS2 (R14) Reaksi penting untuk pembentukan pyrit adalah reaksi antara FeS dengan H2S. pada reaksi ini, H2 juga terbentuk, dimana bakteri pereduksi sulfat dihilangkan melalui proses yang dikenal sebagai ‘gross process’ (R15). SO42- +4H2 + 2H+ → H2S +4H2O FeS + H2S → FeS2 + H2 SO42- + 3H2S + 4FeS + 2H+ → 4FeS2 + 4H2O Gambar 5. Siklus Sulfur. Konsentrasi SO43-, So, H2S, FeS dan FeS2 di bagian permukaan sedimen (sekitar 5 cm) bersama lapisan permukaan sedimen yang mengandung oksigen. Siklus sulfur yang tumpang tindih dengan siklus Mangan (R12), sedang tumpang tindih dengan siklus Besi (R10, R13, R14, R15, R17 dan R18. OM: bahan organik. Saat sulfida bertemu oksigen di bagian permukaan sedimen, maka akan teroksidasi menjadi sulfat, yang dapat dipergunakan lagi dalam respirasi bakteri. H2S + 2O2→ SO42- + 2H+ (R16) FeS + 2O2 → Fe2+ + SO42- (R17) 2FeS2 + 7O2 + 2H2O → 2Fe2+ + 4SO42- + 4H+ (R18) 28 Proses akhir yang penting dalam siklus nutrien dalam lingkungan laut adalah trasformasi sulfur partikulat yang melepaskan diri dari reaksi dengan FeS (R14). Jika konsentrasi rendah dari H2S tetap berlanjut di dasar laut akibat proses penghilangan hydrogen sulfida secara terus-menerus (misalnya melalui R10), maka transformasi So terjadi melalui proses ‘disproportination’. Hal ini dapat terlihat sebagai bentuk fermentasi anorganik. Dengan kata lain, sulfur partikulat akan melalui oksidasi menjadi SO42- dan tereduksi menjadi H2S dalam satu reaksi yang sama: 4So + 4H2O → 3H2S + SO42- + 2H+ (R19) Pada daerah dengan empat musim, aktifitas reduksi sulfat dengan produksi hidrogen sulfida-nya meningkat sejalan datangnnya musim panas, dengan puncaknya pada akhir musim panas dan awal musim gugur saat dimana mineralisasi bahan organik mencapai puncaknya. Selama periode waktu ini H2S bereaksi dengan besi teroksidasi dan senyawa mangan yang jumlahnya berlimpah (R10 and R12) dan H2S terikat pada sedimen akibat reaksi dengan besi tereduksi (R13). Melalui cara ini, tumpukan H2S menggunakan terus menggunakan besi teroksidasi dan senyawa mangan pada bagian dasar perairan, hingga zona sedimen berwarna coklat secara perlahan-lahan menghilang. Saat oksigen benar-benar telah telah hilang dari sedimen, maka H2S akan secara mudah berpindah ke perairan dasar yang menyebabkan terjadinya penurunan oksigen secara cepat dan hewan-hewan benthik mati karena racun dari H2S. 29 Pustaka Clark, 1992. Marine Pollution. Oxford University Press, UK Connell, D., Lam, P., Richardson, B., and Wu, R.,1999. Introduction to Ecotoxicology. Blackwell Science Publ., Oxford, UK. Heath, A.G., 1995. Water Pollution and Fish Physiology. 2nd Ed. CRC Press, Florida. NERI Technical Report, No. 483, 2004. A model set-up for an oxygen and nutrient flux model for Aarhus Bay, Denmark. 70p. Walker, C.H. 2001. Organic Pollutants: an Ecotoxicological Perspective. Taylor & Francis, London. Wright, D.A. and Welbourne, P., 2002. Environemental Toxicology. Cambridge University Press, UK. 30