bahan pencemar butuh oksigen

advertisement
BAHAN PENCEMAR BUTUH OKSIGEN
Bahan pencemar butuh oksigen (oxygen consuming wastes) umumnya berupa
limbah rumah tangga (domestic wastes) atau limbah perkotaan yang dialirkan melalui
saluran kanal/got dan memasuki wilayah estuarin atau perairan pantai. Limbah dari
pabrik-pabrik yang menghasilkan ampas/limbah padat, seperti pabrik gula atau
pengolahan makanan seperti pabrik tahu/tempe, atau dari kegiatan budidaya ikan di
laut yang menghasilkan pellet yang tidak terkonsumsi atau faces ikan.
Seluruh limbah yang memasuki kolom air ini mengandung banyak bahan organik
dan/atau
nutrien
yang
menjadi
subjek
perombakan
atau
menjadi
nutrisi
mikroorganisme, termasuk mikro algae. Dalam
proses
perombakannya,
mikroorganisme
(terutama bakteri) membutuhkan oksigen yang
terlarut dalam kolom air. Penggunaan oksigen
oleh
mikroorganisme
menurunkan
konsentrasi
ini
jelas
oksigen
akan
terlarut
dalam kolom air (dissolved oxygen/DO).
Air limbah yang dihasilkan dari pengoperasian industri dalam banyak hal merupakan
sumber bahan pencemar terburuk, meskipun jenis bahan pencemar akan bervariasi
antara satu industri dengan lainnya. Namun dalam banyak hal, masalah yang
ditimbulkan umumnya berasosiasi dengan salah satu atau kombinasi dari kondisikondisi berikut.



Tingginya BOD (biological oxygen demand).
Tingginya konsentrasi bahan padatan terlarut (SS : suspended solids)
Keberadaan bahan-bahan toksik
Dari ketiga faktor di atas, fenomena-fenomena seperti : rendahnya DO, tingginya
turbiditas
dan
sedimentasi,
yang
masalah
merupakan
konsekuensi logis dari kondisi
yang dihadapi perairan
masuknya
Demikian
limbah
juga
akibat
industri.
dengan
keberadaan toksin dalam perairan
yang
dapat
berakibat
pada
8
lethalitas atau stres pada organisme perairan. Belum lagi masalah akumulasi bahan
toksik yang dapat menjadikan organisme ekonomis menjadi tidak layak untuk
dikonsumsi oleh manusia.
A. Masalah yang ditimbulkan Limbah Organik
Industri Gula pasir (sugar cane) dan Pabrik kertas merupakan dua kelompok
yang paling banyak menghasilkan limbah organik, termasuk padatan tersuspensi
dan bahan toksik yang terkandung di dalam limbah buangannya.
Hawaii merupakan negara bagian USA penghasil gula terbesar. Di dalam
operasinya, tahapan awal yang menghasilkan limbah adalah pembuatan dan
ekstraksi juice gula dari tebu (cane). Dari proses penghasilan juice ini akan
dihasilkan limbah padat (filter cake). Ampas tebu (bagasse) sepenuhnya digunakan
lagi sebagai bahan bakar. Proses akhir adalah penguapan (evaporasi) yang akan
menghasilkan kristal gula dari dalam sirup. Limbah akhir yang diproduksi adalah
molasses. Molasses banyak mengandung zat kapur (CaCO3), dan dalam proses
penguapan dan sentrifugasi sirup kental menjadi gula dari Molasses, juga dihasilkan
limbah air panas. Di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan, Pabrik Gula Bone
dan Takalar juga diketahui telah menyebabkan masalah pada sungai tempat
mereka membuang limbahnya (hal ini kurang terekspos mengingat rendahnya
prioritas pada kesehatan lingkungan di Negara kita yang berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi ! ).
Di Hawaii, limbah pabrik gula yang dibuang ke perairan laut membuat air laut
menjadi berwarna cokelat dan dapat terlihat hingga jarak 3 km atau lebih dari
saluran pembuangannya (out falls). Kecerahan air diukur dengan Secchi disc dekat
saluran pembuangan antara 5-10 cm. hal ini diperburuk dengan total coliform count
>1000/100 ml. Kehidupan benthik juga sangat terganggu, terutama oleh kehadiran
sedimen lumpur yang dapat mencapai ketebalan 3 m. Turbiditas juga menyebabkan
turunnya populasi ikan yang didominasi oleh ikan-ikan carnivore. Total N dan P juga
meningkat di perairan sekitar saluran pembuangan limbah pabrik gula.
Industri gula di Hawaii termasuk yang tertinggi rendemen tebu/gula yang
dihasilkan, sekitar 13 ton/ha/thn. Bandingkan dengan rata-rata hasil yang ada di
negara Indonesia yang hanya 6,4 ton/ha/thn. Akan tetapi, industri gula di Hawaii
collapse akibat biaya buruh tinggi dan masuknya gula fruktosa dari jagung. Kriteria
limbah yang ditetapkan oleh USEPA juga membuat efisiensi usaha menjadi rendah
9
akibat besarnya biaya pengolahan limbah (tdk ada deposit limbah padat, tidak ada
debri yang mengapung, tidak ada perubahan warna air laut (turbiditas) akibat TSS,
patogen yang rendah dan total nutrien yang terbuang.
Sedang industri kertas (Pulp and Paper), dengan USA dan Kanada sebagai
negara terbesar dalam industri ini. Limbah industri kertas terdapat dalam 3 bentuk :
gas, cair dan padat. Dalam limbah cairnya, terdapat bahan-bahan sulfur dan asam
sulfit (H2SO3), magnesium, serta zat pemutih (bleach). Sedang bahan-bahan padat
tersuspensi termasuk : partikel kayu (saw dust), kapur, serat serta bahan-bahan
kimia pelapis kertas (banyak jenis, tergantung jenis kertas, antara lain: tanah liat,
talc dan diatomite) untuk meningkatkan kejernihan putih kertas, kehalusan
permukaan dan kecerahan warna kertas.(pernah dengar tentang kasus pencemaran
perairan oleh pabrik kertas Kiani dan Kraf di Aceh ?).
Adapun masalah yang ditimbulkan oleh industri pulp and paper, terutama oleh
TSS yang banyak mengandung butiran kayu (wood chips) yang akan sangat
mengganggu benthos saat mengendap di dasar perairan. Hal ini menciptakan
kondisi anoksik baik di dasar perairan maupun pada sedimen. Penumpukan
sedimen dan limbah pulp (bubur kertas) memperburuk situasi di bagian dasar
perairan, terutama dengan meningkatnya konsentrasi H2S. Bahan organik terlarut
dalam pulp akan meningkatkan BOD hingga 5 kali BOD limbah kota yang belum
terolah (sekitar 8 ppm). Keberadaan DOM dan SS menghambat pertukaran oksigen
di permukaan perairan.
Limbah pulp juga mengandung bahan toksik dengan konsentrasi tinggi,
terutama H2S dan Mercaptan yang berasosiasi dengan pulp. Oleh karena tingginya
toksisitas limbah pabrik kertas ini, maka seluruh limbahnya harus diolah, terutama
dalam hal menurunkan kandungan bahan toksik, seperti diuraikan di atas.
Limbah terbesar dalam lingkungan perairan adalah bahan organik yang
merupakan sasaran perombakan oleh bakteri yang membutuhkan DO dalam
aktivitas tersebut, karena :
 Degradasi bakteri menyebabkan oksidasi molekul-molekul senyawa/bahan
organik menjadi senyawa-senyawa anorganik yang lebih stabil.
 Bakteri aerobik menggunakan DO dalam aktivitas perombakan.
 Bila DO < 1,5 ppm, bakteri anaerobik (menggantikan bakteri aerob)
mengoksidasi molekul organik tanpa O2, dengan produk akhir H2S (hidrogen
10
sulfida), NH3 (amonia) dan CH4 (metan) dengan bau tidak sedap dan toksik bagi
organisme perairan.
 Selain prosesnya (pada point 3) lebih lambat dari aerobik, yg menyebabkan
akumulasi limbah, juga dihasilkan produk sampingan yang bersifat toksik.
 Beberapa limbah anorganik dapat terombak tanpa keterlibatan bakteri, namun
tetap sama pengaruhnya : menurunkan DO.
Indikator DO pada perairan pantai terbuka :
 Oksia
: > 2 mg/L
 Sub-oksia
: 0.5 – 2 mg/L
 Disoksia : 0.1 – 0.5 mg/L
 Anoksia : < 0.1 mg/L
 Dalam dunia kedokteran, kandungan O2 di bawah 90% dari level jenuh
dikatakan hipoksia. Sedang di laut, hipoksia didefinisikan bila DO < 30% dari
level jenuh, atau < 2 mg/L = 62.5 µM.
- Pada perairan sehat, konsentrasi DO : 6 – 8 ppm
- Pada perairan dengan DO < 2 ppm, umumnya ikan sangat kurang dijumpai.
Bahan organik yang membusuk, baik yang berasal dari limbah domestik dan
limbah industri yang tidak atau belum terolah baik, kemudian dirombak oleh mikroba
yang mengkonsumsi banyak DO selama proses dekomposisi. Konsumsi oksigen
mikroba ini disebut kebutuhan oksigen biologis (BOD: biological oxygen demand).
Bila tidak terjadi pengadukan yang cukup baik dalam perairan, maka peningkatan
nilai BOD akan mengakibatkan peningkatan beban bahan organik yang berakhir
pada kondisi dengan DO rendah/hypoxia (Heath, 1995). Hypoxia dapat memiliki
dampak signifikan pada proses fisiologis pada ikan dan biota perairan lainnya,
seperti semakin meningkatnya toksisitas suatu bahan
kimia pada kondisi DO
rendah.
Kandungan nitrogen dan/atau posfor dalam limbah domestik, run-off pertanian
dan deterjen, dapat berdampak toksik pada organisme perairan bahkan pada
konsentrasi rendah karena kondisi eutrofikasi yang disebabkannya (Connel et al.,
1999). Eutrofikasi menyebabkan perubahan harian yang sangat besar dalam DO
perairan akibat fotosintesis pada siang hari dan respirasi pada malam hari.
Respirasi fitoplankton dapat menyebabkan DO rendah hingga saat matahari terbit
(Heath, 1995). Terhentinya eutrofikasi akibat habisnya nutrien bagi fitoplankton pada
akhirnya akan menimbulkan nilai BOD yang tinggi.
11
Deterjen sintetik, hingga dua dekade lalu, umumnya masih berbasis posfat dan
beberapa diantaranya masih memiliki kandungan PO 4-2 yang sangat tinggi (Wright
and Welbourn, 2002). Namun sejak 1965, terjadi perubahan dari alkyl benzene
sulphonate (ABS) dari kandungan utama deterjen digantikan oleh linear alkylate
sulphonates (LAS) yang jauh lebih mudah terdegradasi oleh proses-proses biologis
di lingkungan perairan. Walaupun LAS bersifat lebih toksik terhadap ikan
dibandingkan ABS, namun potensi toksiknya dapat secara cepat direduksi oleh
degradasi yang juga dapat terjadi secara cepat (Heath, 1995).
B. Indikator Perombakan Oksigen dalam air (DO)
 BOD (biological oxygen demand):
untuk memeriksa kandungan DO dalam
limbah organik sebelum atau sesudah digesti bakteri. Umumnya waktu digesti 3
atau 5 hari (BOD3 atau BOD5), dilakukan dalam suasana gelap pada suhu
kamar. DO dalam perairan mengalami fluktuasi (diurnal) sejalan dengan pola
pencahayaan.
 COD (chemical oxygen demand) :cara menghitung jumlah materi yang
teroksidasi. Dilakukan dgn menambahkan oksidan (KMnO4 atau K2Cr2O7) di
dalam H2SO4 pada sampel limbah yang akan diperiksa.
Contoh Kisaran nilai BOD (ppm) :
 0 - 1 untuk air alami yang belum tercemar/terkontaminasi.
 2-5 untuk air di sekitar hutan bakanu dan tanah perkebunan.
 100-300 untuk limbah domestic/limbah perkotaan yang sudah diolah.
 500 - 1000 untuk limbah domestik/limbah perkotaan yang belum diolah.
 750 untuk Limbah pabrik pengolahan makanan
 375 untuk Limbah pabrik kertas
Misalnya: debit aliran air 8 m3/det dgn BOD 2 ppm dan Input limbah dalam
perairan sungai/aliran air adalah 1 m3/det dgn BOD 20 ppm, maka BOD akhir
adalah = total BOD/total volume = (8 x 2) + (1 x 20)/8 + 1 = 36/9 = 4 ppm.
 Bahan padat terlarut (Total suspended solids/TSS) : menjadi penyebab
kekeruhan
air
yang
menyebabkan
menurunnya
laju
fotosintesis
yang
berimplikasi pada level DO. Pada konsentrasi 25 mg/L dampaknya pada
organisme belum fatal. Pada konsentrasi > 25 – 80 mg/L akan mengurangi
produksi telur ikan dan pada konsentrasi > 400 mg/L dapat menyebabkan
12
lenyapnya populasi ikan dari perairan tersebut. (diukur konsentrasinya melalui
proses pengeringan air sampel dan menimbang residu/sedimen yang tersisa
dengan konversi per liter air, yang diuapkan di dalam oven). Juga dapat diukur
dengan parameter turbiditas.
 TSS dan DOM (dissolved organic
matter): pada bagian permukaan
kolom air dapat mendetoksifikasi
beberapa jenis polutan, seperti Cu
dan Zn.
 Jenis substrat dasar perairan juga
menentukan
durasi
dan
level
toksisitas polutan. Hal ini terkait
dengan
lama
menetap
polutan
pada sedimen. Jenis lumpur dan pasir berlempung akan ‘menahan’ polutan
dalam waktu yang lebih lama dibanding substrat dasar berbatu (rocky) atau pasir
berbatu (coarse sand). Semakin lama waktu menetap (residence time) polutan,
semakin besar peluang berdampak toksik bagi organisme. Dinamika perairan
juga memainkan peran penting dalam hal pencucian polutan (flush time).
C. Nutrien dan Eutrofikasi
Pencemaran bahan organik senantiasa berasosiasi dgn Nutrien. Umumnya
disertai dengan peningkatan produksi limbah dan pendangkalan perairan akibat
sedimentasi. Kondisi ini mengakibatkan perairan mengalami eutrofikasi, secara
bertahap mengakibatkan terjadinya kondisi Anoksik di bagian dasar perairan. Hal
ini secara bertahap pula (kecepatannya bergantung pada kondisi perairan: terbuka,
semi tertutup atau tertutup) membuat organisme seperti ikan mati.
Peningkatan jumlah
bahan
organik/nutrien
Peningkatan
populasi
Fitoplankton/bakteri
Penurunan
konsentrasi DO
Walaupun nitrat dan posfat tidak secara langsung bersifat toksik, namun dapat
menyebabkan masalah dalam lingkungan perairan jika penggunaannya terlalu
13
banyak. Beberapa jenis pupuk mengandung nitrat (NO 2-) dan posfat (PO4-2) yang
digunakan secara luas dalam kegiatan pertanian. Baik nitrat maupun posfat
memasuki lingkungan perairan melalui proses run-off, nitrat juga dikeluarkan
selama proses dekomposisi tumbuhan mati yang kemudian memasuki tanah lalu
mencemari air bawah tanah yang pada akhirnya menemukan jalannya untuk
memasuki perairan terbuka. Di perairan terbuka, NO2- dan PO4-2 kemudian
menyebabkan kondisi eutrofikasi yang memicu timbulnya blooming alga yang
berlanjut pada kondisi anoxia, seperti telah dijelaskan sebelumnya (Walker et al.,
1996).
Dalam kondisi eutrofikasi, akan terjadi dominansi dari suatu spesies (umumnya
Fitoplankton, seperti : Cyanobacteria atau Diatom).
Kualitas perairan menjadi rendah yang akan merusak produktivitas perairan, dan
di wilayah pesisir dapat merusak kelangsungan hidup terumbu karang (kasus di
Perairan Kanehoe, Hawaii).
 Pada kondisi Eutrofik ini konsentrasi O2 sangat fluktuatif dibandingkan dengan
kondisi Oligotrofik maupun Mesotrofik.
 Kondisi dengan konsentrasi O2 rendah (oxygen depletion) ini jelas akan sangat
mematikan bagi organisme lain seperti ikan.
 Eutrofikasi akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan berlebihan (excessive
growth) dari fitoplankton dan makroalgae. Hal ini akan menyebabkan masalah
estetika dan menurunkan potensi wilayah perairan sebagai lokasi rekreasi.
Kematian dan dekomposisi fitoplankton dan makroalgae akan menimbulkan bau
yang tidak sedap.
 Eutrofikasi akan menurunkan diversitas organisme. Hal ini karena hanya
beberapa jenis/spesies saja yang dapat survive.
Kompetisi untuk mendapatkan bahan makanan
sangat tinggi sehingga tingkat predasi juga menjadi
sangat tinggi.
 Pada kondisi ekstrim, wilayah dasar perairan
yang menjadi Anoxic menjadi tidak berpenghuni
layaknya padang pasir, terumbu karang dikolonisasi
oleh alga, banyak ditemukan di perairan Indonesia, Filipina, dan perairan tropis
lain.
14
Contoh dampak eutrofikasi : coral-algae.
D. Sekuensi Pemanfaatan O2
Pada kasus pencemaran bahan organik butuh oksigen, lama kelamaan O2 habis.
Sementara limbah organik masih tersisa. Apa yang terjadi selanjutnya ? Suatu
reaksi lanjutan, baik oleh mikroorganisme ataupun secara kimiawi yang akan
mengambil alih proses perombakan limbah. Beberapa dari reaksi tersebut memliki
dampak/konsekuensi lingkungan yang signifikan.
1. Respirasi aerobik : O2 + CH2O → CO2 + H2O
Disini terjadi oksidasi bahan organic oleh O2, dan banyak terjadi pada wilayah
perairan kaya O2
2. Denitrifikasi : 4NO3- + 5CH2O + 4H+ → 5CO2 + 2N2 + 7H2O
3. Reduksi Mangan : 2MnO2(sw) + CH2O + 4H+ → 2Mn+2(aq) +CO2 + 3H2O
Reaksi ini dapat menghasilkan trace logam (Mn dan logam asosiasi ) yang
toksik.
4. Reduksi Besi (Fe) : 4Fe(OH)3(s) + CH2O + 8H+ → 4Fe+2 (aq) + CO2 + 11H2O
Dapat melepaskan trace logam toksik (Fe dan logam asosiasinya) serta dapat
menghasilkan senyawa Posfor
5. Reduksi Sulfat : ½ SO4-2 + CH2O + H+ → ½ H2S + CO2 + H2O
Merupakan reaksi yang umum di lingkungan laut, menghasilkan gas hydrogensulfida yang toksik, yang selanjutnya menghasilkan mineral sulfida yang dapat
merombak logam.
15
6. Methanogenesis (fermentasi) : CH2O + CH2O → CH4 + CO2
Reaksi yang umum terjadi pada perairan yang mengalami eutrofikasi berat,
seperti rawa dan saluran irigasi sawah yang banyak menerima limbah pupuk
NPK, menghasilkan gas metan yang merupakan salah satu gas utama efek
rumah kaca.
E. Konsekuensi pada Kesehatan Manusia
 Bahan organik dapat berasal dari tinja manusia yang mengandung bakteria
enteric, patogen atau virus, umumnya diekspresikan sebagai ‘coliform count’.
Mikroorganisme ini dapat memasuki organisme (terutama bivalvia) yang menjadi
bahan makanan manusia.
 Penyakit yang dapat ditimbulkan selain diarrhea, juga Paralytic shellfish
poisoning (PSP) yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh dinoflagellata
Gonyaulax atau Gymnodium yang bisa menyebabkan kelumpuhan total atau
bahkan kematian.
16
Oxygen Sag
Terkadang dalam kolom air sejumlah besar ikan yang mati tiba-tiba muncul,
mereka mengalami kematian seketika akibat bencana lingkungan yang dikenal dengan
‘oxygen sag’. Hal ini merupakan fenomena lingkungan penting, baik dari aspek biologi,
bisnis ataupun kebijakan keamanan perairan.
Apakah oxygen sag itu? Darimana saja sumbernya ?
1. Oxygen sag adalah suatu keadaan di dalam kolom air, dimana keberadaan DO
sangat dipengaruhi oleh masuknya limbah bahan organik. Oxygen sag dicirikan
oleh kehadiran bakteri yang koloninya terpusat dekat limbah terkonsentrasi
(sebagai sumber bahan nutrisi) dan mengkonsumsi oksigen dalam jumlah besar.
Jika limbah organik terkonsentrasi pada area tertentu maka konsentrasi DO-nya
pun akan menurun secara bertahap dan pasti, membentuk ‘oxygen sag’. Dalam
beberapa kasus yang pernah terjadi, beberapa jenis limbah organik-pun
mengkonsumsi O2 selain konsumsi yang dilakukan oleh bakteri. Hal ini akan
lebih mempercepat terjadinya ‘oxygen sag’.
2. Dampak oxygen sag adalah kematian dari hewan-hewan yang menggunakan
O2 untuk bernafas seperti ikan, avertebrata dan bakteri sendiri. Umumnya lokasi
oxygen sag relatif kecil dan berada pada bagian perairan yang dangkal. Luasan
dampak banyak bergantung pada seberapa berat pencemaran bahan organik di
area tersebut. Setelah seluruh hewan pengkonsumsi O 2 mati, maka tumbuhan
yang mengkonsumsi CO2 pun akan mati karena sumber CO2 telah mati. Kondisi
ini akan berlanjut dengan terbentuk daerah ‘dead zone’ yang tandus tanpa
kehidupan.
3. Berkurangnya aliran/sirkulasi air ke wilayah estuarin juga merupakan salah satu
penyebab terjadinya oxygen sag. Misalnya, dengan dibangunnnya bendungan
atau pengalihan aliran air, hal ini menyebabkan rendahnya DO yang dikenal
sebagai kondisi ‘sag’.
4. Kecepatan laju terbentuknya ‘oxygen sag’ dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti:
volume pertukaran air, pH, kekeruhan (turbiditas), suhu dan beban
bahan organik pencemar yang ditambahkan ke dalam kolom air.
5. Sumber bahan-bahan pencemar organik terutama dari lingkungan permukiman,
limbah perkotaan dan limbah yang langsung dibuang ke laut (dumping).
Demikian juga dengan curah hujan yang berkepanjangan yang membawa serta
17
bahan organik dalam jumlah besar.
Pengolahan limbah atau kehati-hatian
dalam membuang limbah organik dapat secara signifikan mengurangi peluang
terbentuknya ‘oxygen sag’.
ALIRAN O2 DAN NITROGEN DALAM SISTEM PERAIRAN LAUTAN
Produksi bahan organik oleh tumbuhan berklorofil merupakan fondasi kehidupan
di lautan. Melalui proses fotosintesis, tumbuhan mengasimilasi CO 2 dan menghasilkan
O2, sembari mengasup (up-take) bahan-bahan anorganik/nutrien, untuk kemudian
menggabungkannya menjadi senyawa-senyawa organik. Senyawa-senyawa organik ini
kemudian memasuki sistem rantai makanan di laut, dan sebagian besar produksi
primer ini akan berakhir di dasar lautan. Dalam proses tenggelamnya menuju dasar
laut, bahan-bahan organik yang mati ini sudah mengalami proses degradasi melalui
beberapa proses metabolisme dan oleh mikroba yang menghasilkan nutrien dari proses
degradasi tersebut. Di sedimen, proses degradasi berlanjut dan terus menghasilkan
nutrien yang akan mendukung proses produksi primer, baik di dalam kolom air maupun
di permukaan sedimen. Dalam proses degradasi ini banyak DO yang dikonsumsi.
Peningkatan konsentrasi bahan organik akan menurunkan laju degradasi karena
limbah organik tersebut juga mengkonsumsi DO. Rendahnya konsentrasi DO pada
permukaan
sedimen
(ketebalan
hingga
beberapa
millimeter)
mengakibatkan
terhentinya siklus nutrien secara anaerobik. Porsi produktifitas primer yang mencapai
sedimen bersama-sama dengan bahan organik lainnya terutama sangat berdampak
pada asupan oksigen di sedimen, demikian juga dengan laju aliran (pertukaran) N dan
P antara air dan sedimen juga secara tidak langsung dipengaruhi.
Gambar 1. Siklus nutrien, dimana alga planktonik mengasup CO2 melalui proses fotosintesis dan
mengkonversinya, bersama-sama dengan nitrogen (N) dan Posfor (P) menjadi bahan
organik (misalnya: karbohidrat, protein). Secara perlahan dan pasti bahan organik tersebut
akan mencapai sedimen dimana mereka mengalami degradasi oleh mikroba dan secara
permanen tertimbun dalam sedimen. Melalui proses degradasi di sedimen, CO 2, N dan P
kembali dilepaskan dan memasuki kolom air untuk kembali memasuki siklus produksi bahan
organik.
18
Produksi Primer dan Beban Bahan Organik di Sedimen Laut
Sintesis bahan organik (produksi primer) terjadi melalui proses fotosintesis, yang
dapat disederhanakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut.
CO2 + H2O → CH2O + O2
Selama berlangsungnya proses produksi bahan organik, N dan P dikemas menjadi
molekul-molekul organik dalam rasio yang bervariasi. Sehingga proses detilnya dapat
digambarkan sebagai berikut.
C
CO2 + NNH4+ + PPO4 3- + CH2O → (CH2O)C(NH4+)N(PO43-)P + CO2
dimana C, N dan P menggambarkan jumlah atom Karbon, Nitrogen dan Posfor, yang
akan digabungkan menjadi senyawa organik.
Kandungan N dan P dari bahan organik, dalam kaitannya dengan kandungan Karbon
dapat digambarkan sebagai berikut.
(CH2O)(NH4+)1/(C:N) (PO43-) 1/(C:P) yang bersesuaian dengan (CH2O)C(NH4+)N(PO43-)P
Secara perlahan namun pasti, bahan organik yang dihasilkan melalui proses
fotosintesis akan didegradasi. Selama proses degradasi, karbon bahan organik
dilepaskan dalam bentuk CO2, dan nitrogen dalam bentuk ammonium (NH4+) dan
Posfor dalam bentuk posfat (PO43-). Proses degradasi atau pendaur ulangan atau
mineralisasi
ini adalah pada hakekatnya sama dengan proses fotosintesis secara
terbalik jika O2 tersedia di lingkungan. Pada kondisi DO rendah (anoksia), konsumsi
Nitrat, besi teroksidasi dan mangan teroksidasi serta senyawa sulfat menggantikan
konsumsi
oksigen.
Pada
proses
degradasi
terhadap
makromolekul
organik,
mikroorganisme mengeluarkan enzim-enzim hidrolitik yang medekomposisi karbohidrat,
protein dan lemak menjadi senyawa-senyawa organik yang lebih kecil. Bakteri memiliki
kemampuan untuk mengasup (up-take) senyawa-senyawa kecil ini melalui membran
selnya yang kemudian melakukan metabolism terhadapnya, dimana bahan-bahan
organik tersebut kemudian didegradasi menjadi C, N dan P yang kemudian dilepaskan
lagi ke kolom air atau permukaan sedimen.
19
Gambar 2. Distribusi proses degradasi/respirasi dalam sedimen laut dan estuarin. Respirasi aerobik
mengkonsumsi oksigen (R1), sedang proses-proses lainnya adalah anaerobik. Pada R2,
Nitrat, pada R3 Oksida Mangan dan Hidroksida besi (R4) dan Sulfat (R5) berfungsi sebagai
substrat respirasi. Menurut teori, dasar lautan dapat dibagi atas beberapa zona/mintakat,
yang masing-masing didominasi oleh salah satu proses secara terpisah, masing-masing:
respirasi oksigen, denitrifikasi, reduksi mangan (Mn), reduksi besi (Fe) dan reduksi Sulfat
(SO4). Pada bagian kanan grafik adalah salah satu contoh dari ciri khas distribusi substrat
respirasi pada sedimen pantai (pada kasus ini di Denmark).
Jarak bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan jumlah bahan organik
yang terdegradasi sebelum mencapai dasar lautan. Beberapa faktor
memainkan
peranan penting dalam menentukan beban bahan organik yang mencapai dasar lautan,
seperti: konsentrasi DO dalam air, kepadatan populasi bakteri dan jumlah/konsentrasi
bahan organik yang terdapat dalam kolom air.
I. Degradasi Bahan Organik Melalui Respirasi Bakteri (Reaksi Primer)
Proses-proses kimia yang mendegradasi bahan organik dan mendaur ulang CO2,
NH4+ dan PO43- ,
molekul-molekul yang menyusun bahan organik melalui proses
fotosintesis, dikenal sebagai reaksi primer. Reaksi-reaksi primer ini memiliki kesamaan
dengan ciri khas proses yang terjadi selama berlangsungnya respirasi bakteri. Reaksi
primer ini sangat berbeda dengan kebanyakan reaksi sekunder, yang akan dibahas
berikutnya.
Selama O2 tersedia, maka proses degradasi bahan organik akan dilakukan melalui
proses respirasi bakteri menggunakan O2 yang kita kenal sebagai respirasi aerobik.
Jika O2 berkurang secaras drastis, maka prosesnya digantikan oleh mineralisasi
melalui proses respirasi anaerobik. Urutan dan distribusi proses respirasi ini ditarik
mulai dari bagian pemukaan sedimen (hingga kedalaman sekitar 5 mm) adalah aerobik,
kemudian diikuti dengan respirasi menggunakan nitrat, besi teroksidasi, senyawa20
senyawa mangan dan sulfat (Gambar 2), dimana sulfat dapat mempenetrasi hingga 1-4
m ke dalam sedimen, bergantung pada beban bahan organik. Semakin ke bagian
dalam sedimen, degradasi bahan organik berlangsung melalui proses fermentasi
dimana gas methan (CH4) terbentuk.
Umumnya,
dalam
sistem
perairan
laut
bakteri
pengkonsumsi
O2
hanya
mendegradasi sekitar 40% dari bahan organik yang sampai ke sedimen. Sisanya
diambil alih oleh bakteri anerobik untuk proses degradasinya, kecuali bila bahan
organik tersebut tertimbun pada bagian dalam sedimen sebelum proses degradasi
selesai. Proses degradasi bakterial anaerobik yang terpenting adalah reduksi sulfat.
Sesuai urutannya, reduksi sulfat mereduksi 60% dari bahan organik, lalu diikuti oleh
respirasi besi tereduksi yang dilakukan oleh bakteri pengguna FeOOH sebagai substrat
respirasi. Proses respirasi nitrat (denitrifikasi) dibandingkan respirasi sulfat dan besi
tereduksi, tidak memiliki keutamaan (secara kuantitatif) dalam proses degradasi bahan
organik secara anaerobik.akan tetapi proses denitrifikasi sangat penting dalam
membersihkan sistem dari kandungan nitrogen.
Terlepas dari ketersediaan substrat respirasi, jumlah bahan organik yang
sebenarnya terdegradasi dalam sedimen lautan atau estuarin, bergantung pada jumlah
bahan organic yang dapat didegradasi yang mencapai dasar laut/estuarin. Bahanbahan organic yang tidak terdegradasi secara lengkap akan tertimbun atau tersimpan
dalam sedimen bersama-sama dengan nutrien yang terikat dengannya dan menghilang
dari siklus nutrien. Salah satu ciri khas proses respirasi adalah mereka melepaskan
enerji untuk proses metabolik dengan mentransfer satu atau lebih elektron dari
senyawa kimia berenerji tinggi ke senyawa kimia yang berenerji lebih rendah.
Saat bahan organik terdegradasi, atom C yang selalu melepaskan elektron (e -) dan
teroksidasi menjadi CO2 dalam proses tersebut.
CH2O + H2O → CO2 + 4e- + 4H+
Pada saat yang sama, N dan P digabungkan ke dalam senyawa organik melalui
proses fotosintesis yang dilepaskan dalam bentuk garam (nutrien) anorganik
ammonium (NH4+) dan posfat (PO43-)
(CH2O)C(NH4+)N(PO43-)P + CH2O →CCO2 + NNH4+ + PPO43- + 4Ce- + 4CH+
Oleh karena itu, terlepas apakah proses respirasi itu aerobik atau anaerobik, CO2, NH4+
dan PO43- dilepaskan. Dalam proses respirasi, baik oksigen, nitrat, mangan atau besi
teroksidasi atau sulfat aan menangkap elektron yang dilepas oleh karenanya mereka
mengalami reduksi. Sehingga dalam banyak proses produk-produk limbah yang
21
berbeda (yaitu senyawa kimia tereduksi) akan terbentuk dalam sedimen (misalnya:
mangan tereduksi, besi tereduksi dan hydrogen sulfide).
1.1. Respirasi Menggunakan Oksigen (aerobic respiration)
Bakteri menghasilkan CO2 dan air pada proses degradasi bahan organik secara
aerobik, yang prosesnya persis serupa proses fotosintesis terbalik.
O2 + CH2O → CO2 + H2O
(R1)
1.2. Respirasi Menggunakan Nitrat (Denitrifikasi)
Dalam respirasi nitrat anaerobik bakteri denitrifikasi menghasilkan nitrogen, CO2
dan air.
4NO3- + 5CH2O + 4H+ → 2N2 + 5CO2 + 7H2O
(R2)
N2 yang terbentuk dalam proses di atas menghilang ke atmosfir hingga terhenti untuk
menumpuk dalam lingkungan lautan. Nitrat untuk keperluan denitrifikasi berasal dari
perairan dasar atau terbentuk dalam sedimen melalui proses oksidasi dari NH4+
menjadi NO3-. Walaupun NO3- tidak terdapat dalam perairan dasar, proses denitrifikasi
masih dapat berlangsung, selama masih tersedia O2 dalam sedimen. Disini, NO3- dapat
terbentuk melalui oksidasi NH4+.
1.3. Respirasi Menggunakan Mangan (Mn) dan Besi (Fe)
Melalui respirasi menggunakan oksida mangan, bakteri pereduksi mangan
menghasilkan mangan tereduksi dan CO2 (terlarut) dan air.
2MnO2 + CH2O + 4H+→ 2Mn2+ + CO2 + 3H2O
(R3)
Berlawanan dengan transportasi partikel mangan oksida yang terjadi dengan adanya
guncangan biologis, transportasi ion Mn2+ berlangsung secara difusif. Dalam bentuk
teroksidasi, mangan bereaksi dengan H2S membentuk Mn2+, yang mereduksi mangan
secara cepat menjadi MnO2 dengan kehadiran oksigen.
Selama berlangsungnya respirasi bakteri anaerobik dengan besi hidroksida terlarut,
terbetuklah besi tereduksi, CO2 dan air.
4FeOOH + CH2O + 8H+ → 4Fe2+ + CO2 + 7H2O
(R4)
22
Seperti halnya dengan Mn, Fe dalam bentuk teroksidasi merupakan bahan
padat/partikulat, sedang bentuk tereduksinya adalah terlarut. Besi tereduksi secara
spontan bereaksi dengan MnO2 dan O2 membentuk
FeOOH. Melalui reaksi Fe2+
dengan H2S maka endapan padatan besi sulfida (FeS) terbentuk yang menyebabkan
sedimen berwarna hitam. Secara teknis, sangat sulit dan mahal untuk mengukur
respirasi bakteri dengan Mn dan Fe. Secara bersamaan kedua bentuk respirasi ini
menyumbangkan total degradasi bahan organik sekitar 25%.
1.4. Respirasi Menggunakan Sulfat (sulphate reduction)
Bakteri pereduksi sulfat menggunakan sulfat sebagai substrat resprasi, dan
melalui proses respirasi anaerobik ini hidrogen sulfida/H2S, CO2 dan air dihasilkan.
SO42- + 2CH2O + 2H+→ H2S + 2CO2 + 2H2O
(R5)
Bau H2S sangat busuk/menyengat dan merupakan produk limbah yang sangat
beracun.
1.5. Produksi Gas Methan (methanogenesis)
Pada bagian terdalam sedimen, di bawah zona sulfat, gas methan dihasilkan
dari proses fermentasi bahan organik: 2CH2O → CH4 + CO2.
Degradasi bahan organik melalui proses methanogenesis tidak memiliki manfaat dalam
siklus nutrien pada bagian atas sedimen.
II. Dekomposisi Produk Degradasi Bakteri (Reaksi Sekunder)
Berbeda halnya dengan reaksi-reaksi primer, yang keseluruhannya merupakan
proses respirasi bakterial, kebanyakan reaksi-reaksi sekunder adalah murni reaksi
kimia. Degradasi bahan organik menyebabkan dilepaskannya sejumlah produk
metabolik seperti; CO2 and H2O dan sejumlah nutrien seperti; NH4+ and PO43- serta
sederet produk limbah seperti ; N2(melalui proses denitrifikasi), Mn2+ (melalui proses
respirasi mangan) Fe2+ (melalui respirasi besi) dan H2S (lewat reduksi sulfat). Sehingga
dapat dikatakan bahwa reaksi-reaksi sekunder hany erkait dengan produk-produk
limbah dan memulihkan kandungan substrat respirasi seperti: NO3-, MnO2, FeOOH
and SO42-. Melalui proses difusi produk-produk CO2 dan N2 dipindahkan dari sedimen
ke
dalam perairan laut dimana keduanya
mencapai kondisi kesetimbangan
(equilibrium) dengan atmosfir.
23
2.1. Nitrat (NO3-) dan Ammonium (NH4+)
Bakteri nitrifikasi juga memiliki kemampuan untuk melepaskan enerji yang terikat
dalam NH4+ dengan mengoksidasinya menjadi NO3-. Pada saat bakteri mengoksidasi
ammonium menjadi nitrat, oksigen berfungsi sebagai akseptor elektron.
NH4+ + 2O2 → NO3- + H2O + 2H+
(R6)
Sehingga, proses nitrifikasi hanya terjadi dengan kehadiran oksigen, yaitu di daerahdaerah bagian atas sedimen dan di sekitar lubang-lubang (tube) polychaeta, dimana
oksigen dapat diangkut ke bagian sedimen yang lebih dalam karena jalur-jalur yang
dibentuk oleh cacing polychaeta.
Atau dengan kata lain, produksi ammonium di
daerah-daerah tanpa oksigen di dalam sedimen harus mampu menyerap oksigen dari
permukaan sedimen atau melalui pori/tube polychaeta agar NH4+ dapat memperoleh
oksigen dan dioksidasi menjadi NO3-.
Dalam situasi dimana pada dasar laut terjadi defisiensi atau penurunan
konsentrasi oksigen, maka difusi NH4+ menjadi sangat intensif yang membuat NH4+
keluar ke perairan dasar di bagian permukaan sedimen atau dikeluarkan melalui
lubang-lubang polychaeta. Seperti yang terjadi pada NH4+, pertukaran NO3- juga dapat
terjadi antara sedimen dan perairan dasar. Arah aliran nutrien diatur oleh gradasi
konsentrasi yang terdapat di sepanjang daerah peralihan (interface) antara sedimen
dan perairan dasar.
Sekali garam nitrogen (nutrien) memasuki perairan laut, maka plankton dan
bethos segera akan mengasupnya lalu menggabungkannya dengan bahan-bahan
organik melalui proses fotosintesis. Pertukaran nitrogen antara sedimen dan kolom air
adalah hasil dari suatu proses kesetimbangan kompleks yang diatur oleh sederet faktor
seperti beban bahan organik pada sedimen, suhu kolom air, konsentrasi DO, NH4+
dan NO3- pada kolom air.
2.2. Posfat (PO43-)
Melalui proses mineralisasi, posfor dilepaskan dalam bentuk posfat anorganik.
Berbeda dengan hampir seluruh senyawa kimia di lingkungan laut, posfor tetap
mempertahankan tingkat oksidasinya. Dengan kata lain, atom posfor sangat jarang
beranjak dari level oksidasi +5 dalam bentuk orthoposfat, PO43-. Bergantung pada
gradasi konsentrasi, Posfat, seperti halnya dengan Nitrat dan Ammonium akan
berdifusi ke dan dari sedimen dan perairan dasar, namun tidak seperti halnya dengan
NH4+, PO43- yang terikat sangat kuat di dalam sedimen di bawah kondisi oksidatif
tertentu.
24
Posfat terikat pada sedimen untuk mengoksidasi, antara lain, senyawa besi. Ikatan ini
ditandai dengan simbol ≡ dalam persamaan kimia.
(FeOOH)N + PO43- → (FeOOH)N≡PO43-
(R7)
Sedimen dapat melepaskan cengkeramannya pada besi (iron grip) yang terletak pada
molekul posfat disaat
FeOOH tereduksi menjadi Fe2+, karena kompleks senyawa
terlarut dan PO43- segera terbebas untuk terdifusi ke dalam bagian dasar perairan,
sepanjang gradasi konsentrasi memungkinkannya untuk dapat lewat.
Produser primer di dalam air dan pada permukaan sedimen selalu siap siaga untuk
mengasimilasi Posfat yang dibebaskan dan menggabungkannya dengan bahan-bahan
organik melalui proses fotosintesis, jika terdapat jumlah cahaya yang mencukupi.
Kondisi lingkungan dan mekanisme reaksi mempengaruhi ikatan besi posfor.
Gambar 3. Siklus Nutrien : Konsentrasi NO3- dan NH4+ di bagian permukaan sedimen (2,5 cm) yang
disertai dengan ketebalan lapisan permukaan yang mengandung oksigen. OM: bahan
organik; (CH2O)C(NH4+)N(PO43-)P (R2 dan R3).
2.3. Oksida Mangan (MnO2) dan Mangan Tereduksi Terlarut (Mn2+)
Seperti saat bakteri pereduksi mangan menggunakan oksida mangan partikulat
debagai substrat respirasinya (R3), maka Mn2+ terbentuk saat MnO2 bereaksi dengan
Fe2+.
2Fe2+ + MnO2 + 2H2O → 2FeOOH + Mn2+ + 2H+
(R8)
25
Saat Mn2+ terbentuk oleh reduksi oksigen yang hadir, mangan kembali teroksidasi
menjadi MnO2.
2Mn2+ + O2 + 2H2O → 2MnO2 + 4H+
(R9)
Proses ini terutama terjadi pada bagian bawah segera setelah permukaan sedimen
dimana
Mn2+
secara sepat terpresipitasi dalam bentuk oksida mangan dengan
kehadiran oksigen. Peranan Oksida mangan diduga tidak signifikan dalam kaitannya
dengan oksidasi Fe2+ (R8) dan konsumsi oksigen (R9).
Hewan-hewan yang memompa air ke luar dan masuk sedimen (aliran irigasi) juga
mempengaruhi
konsentrasi
Mn2+ di
dalam
sedimen,
sebagian
dengan
cara
memindahkan Mn2+ dan sebagian lagi dengan cara membuat oksigen mampu
mempenetrasi ke bagian sedimen yang lebih dalam disertai dengan proses difusi.
2.4. Besi Partikulat Teroksidasi (FeOOH) dan Besi Terlarut Tereduksi (Fe2+)
Warna kecoklatan yang sering terlihat di lapisan permukaan sedimen, disebabkan
oleh senyawa besi partikulat (immobile) teroksidasi yang terbentuk pada bagian atas
sedimen (ketebalan hingga beberapa cm, segera setelah zona teroksidasi). Bakteri
pereduksi besi menggunakan besi teroksidasi sebagai substrat respirasinya dalam
mendegradasi bahan organic (R4). Namun peranan ekologis senyawa-senyawa besi
teroksidasi dalam mempertahankan posfat di sedimen dasar laut tidak signifikan (R7).
Saat bakteri pereduksi besi mereduksi FeOOH, maka posfat yang terikat dilepaskan.
Pelepasan posfat juga terjadi melalui suatu reaksi non-biologis dari hidrogen sulfida
dengan FeOOH
nH2S + 2(FeOOH)N≡PO43- + 4NH+ → nSo +2nFe2+ + 4nH2O + 2PO43- (R10a)
26
Gambar 4. Siklus Besi. Konsentrasi FeOOH, Fe2+, FeS dan FeS2 pada lapisan bagian atas sedimen
(sekitar 5 cm). Siklus besi saling tumpang tindih dengan siklus Mangan (R8), sementara
tumpang tindih dengan siklus Sulfur (R10, R13, R14, R15, R17 dan R18) OM adalah bahan
organik.
Besi tereduksi (Fe2+) segera dikonversi menjadi FeOOH jika bertemu dengan oksigen,
seperti pada zona dasar laut teroksidasi, atau jika tidak akan dilepaskan ke perairan
dasar.
4Fe2+ + O2 + 6H2O → 4FeOOH + 8H+
(R11)
Seperti halnya dengan oksida mangan, besi bereaksi dengan hidrogen sulfida seperti
dibahas pada bagian berikut.
2.5. Sulfat (SO42-), Hidrogen Sulfida (H2S), Sulfur Partikulat (So) dan Besi Sulfida
(FeS dan FeS2)
Hidrogen sulfida adalah hasil degradasi respirasi bahan organik yang dilakukan oleh
bakteri pereduksi sulfat. Produksi H2S berlangsung dalam zona tereduksi dalam
sedimen, dan selanjutnya dari zona ini H2S terdifusi ke arah permukaan sedimen.
Sebelum hidrogen sulfida mencapai zona sedimen teroksidasi, besi teroksidasi atau
senyawa mangan dapat mengoksidasi H2S menjadi So, atau H2S untuk sementara
waktu dapat terikat di dalam sedimen dalam bentuk besi sulfida partikulat (FeS).
H2S + 2FeOOH + 4H+ → So +2Fe2+ + 4H2O
(R10b)
H2S + MnO2 + 2H+→ So + Mn2+ + 2H2O
(R12)
H2S + Fe2+ → FeS + 2H+
(R13)
27
Beberapa besi sulfida bereaksi dengan sulfur partikulat membentuk pyrit (FeS2), yang
berwarna abu-abu muda menembus cukup dalam ke sedimen.
FeS + So → FeS2
(R14)
Reaksi penting untuk pembentukan pyrit adalah reaksi antara FeS dengan H2S. pada
reaksi ini, H2 juga terbentuk, dimana bakteri pereduksi sulfat dihilangkan melalui proses
yang dikenal sebagai ‘gross process’ (R15).
SO42- +4H2 + 2H+ → H2S +4H2O
FeS + H2S → FeS2 + H2
SO42- + 3H2S + 4FeS + 2H+ → 4FeS2 + 4H2O
Gambar 5. Siklus Sulfur. Konsentrasi SO43-, So, H2S, FeS dan FeS2 di bagian permukaan sedimen
(sekitar 5 cm) bersama lapisan permukaan sedimen yang mengandung oksigen. Siklus
sulfur yang tumpang tindih dengan siklus Mangan (R12), sedang tumpang tindih dengan
siklus Besi (R10, R13, R14, R15, R17 dan R18. OM: bahan organik.
Saat sulfida bertemu oksigen di bagian permukaan sedimen, maka akan teroksidasi
menjadi sulfat, yang dapat dipergunakan lagi dalam respirasi bakteri.
H2S + 2O2→ SO42- + 2H+
(R16)
FeS + 2O2 → Fe2+ + SO42-
(R17)
2FeS2 + 7O2 + 2H2O → 2Fe2+ + 4SO42- + 4H+ (R18)
28
Proses akhir yang penting dalam siklus nutrien dalam lingkungan laut adalah
trasformasi sulfur partikulat yang melepaskan diri dari reaksi dengan FeS (R14). Jika
konsentrasi rendah dari H2S tetap berlanjut di dasar laut akibat proses penghilangan
hydrogen sulfida secara terus-menerus (misalnya melalui R10), maka transformasi So
terjadi melalui proses ‘disproportination’. Hal ini dapat terlihat sebagai bentuk
fermentasi anorganik. Dengan kata lain, sulfur partikulat akan melalui oksidasi menjadi
SO42- dan tereduksi menjadi H2S dalam satu reaksi yang sama:
4So + 4H2O → 3H2S + SO42- + 2H+
(R19)
Pada daerah dengan empat musim, aktifitas reduksi sulfat dengan produksi hidrogen
sulfida-nya meningkat sejalan datangnnya musim panas, dengan puncaknya pada akhir
musim panas dan awal musim gugur saat dimana mineralisasi bahan organik mencapai
puncaknya.
Selama periode waktu ini H2S bereaksi dengan besi teroksidasi dan
senyawa mangan yang jumlahnya berlimpah (R10 and R12) dan H2S terikat pada
sedimen akibat reaksi dengan besi tereduksi (R13). Melalui cara ini, tumpukan H2S
menggunakan terus menggunakan besi teroksidasi dan senyawa mangan pada bagian
dasar perairan, hingga zona sedimen berwarna coklat secara perlahan-lahan
menghilang. Saat oksigen benar-benar telah telah hilang dari sedimen, maka H2S akan
secara mudah berpindah ke perairan dasar yang menyebabkan terjadinya penurunan
oksigen secara cepat dan hewan-hewan benthik mati karena racun dari H2S.
29
Pustaka
Clark, 1992. Marine Pollution. Oxford University Press, UK
Connell, D., Lam, P., Richardson, B., and Wu, R.,1999. Introduction to Ecotoxicology.
Blackwell Science Publ., Oxford, UK.
Heath, A.G., 1995. Water Pollution and Fish Physiology. 2nd Ed. CRC Press, Florida.
NERI Technical Report, No. 483, 2004. A model set-up for an oxygen and nutrient flux
model for Aarhus Bay, Denmark. 70p.
Walker, C.H. 2001. Organic Pollutants: an Ecotoxicological Perspective. Taylor &
Francis, London.
Wright, D.A. and Welbourne, P., 2002. Environemental Toxicology. Cambridge
University Press, UK.
30
Download