Hak-hak buruh dan produksi perlengkapan olahraga di Asia (Versi Singkat) 1 Offside! Hak-hak buruh dan produksi perlengkapan olahraga di Asia DAFTAR ISI Rangkuman Pelaksanaan 1. Latar belakang 1.1. Pendahuluan 1.2 Metodologi 2. Kajian kasus pabrik 2.1 Jaqalanka (Nike, VF Corporation) 2.2 Pabrik A (Reebok, Umbro) 2.3 PT Panarub (adidas) 2.4 PT Busana Prima Global (Lotto) 2.5 PT Doson (Nike) 2.6 PT Dae Joo Leports (adidas, VF Corporation) 2.7 MSP Sportswear (Nike) 2.8 Pabrik B (Reebok) 2.9 PT Tae Hwa (FILA) 3. Industri perlengkapan olahraga secara keseluruhan 3.1 Solusi berskala industri secara luas 3.2 Transparansi: membuka rantai pasokan kepada pengamat independen 3.3 Siapa yang Membayar? Praktek pembelian dan hak-hak serikat buruh 3.4 Tidak konsisten: melakukan sourcing di tempat dimana hak-hak serikat buruh tidak memiliki kekuatan hukum 3.5 Berupaya mewujudkannya: mempertahankan produksi di pabrik yang ada serikat buruhnya 3.6 Pekerjaan yang tak stabil dan hak-hak yang tak stabil: pekerjaan yang fleksibel versus yang stabil 3.7 Sebuah pendekatan multi-pihak: Fair Labour Association 4. Penilaian tentang perusahaan perlengkapan olahraga 4.1 Reebok 4.2 Puma 4.3 Adidas 4.4 Nike 4.5 ASICS 4.6 Umbro 4.7 Mizuno 4.8 Pentland (Speedo, Lacoste) 4.9 New Balance 2 4.10 Lotto 4.11 Basicnet (Kappa) 4.12 Sport Brands International (FILA) 5. Kesimpulan Referensi Daftar Singkatan 3 1. Latar belakang 1.1 Pendahuluan “Kami semua menyadari risiko akan bisa kehilangan pekerjaan saat memutuskan untuk 1 mengorganisir sebuah serikat, dan kami siap menghadapi risiko ini. Seperti kata Eli sebelumnya, kami lebih memilih untuk mencari pekerjaan baru daripada kembali ke pabrik dan tidak bisa mendirikan serikat kami. Tapi pada saat yang sama kami juga memperhatikan sekeliling kami, dan berpikir tentang diri kami: Mengapa harus menganggur? Mengapa harus menghadapi kesengsaraan karena kehilangan pekerjaan? Mengapa tak cukup dengan eksploitasi oleh para manajer saja? Namun kemudian sederetan panjang alasan untuk tidak berorganisasi pun mulai membentang di hadapan kami; persoalan-persoalan ini tak pernah berakhir. Satu-satunya cara agar persoalan ini bisa berakhir adalah jika kami membangun kekuatan di antara kami sendiri untuk merubah kondisi dan perlakuan terhadap kami. Dan satu-satunya jalan yang bisa kami tempuh untuk melakukan ini adalah dengan membentuk sebuah serikat.” 2 Marayah, seorang buruh perempuan pembuat perlengkapan olahraga berusia 30 tahun yang dipecat dari pabrik Busana Prima Global di Indonesia karena berpartisipasi dalam sebuah pemogokan. Buruh perlengkapan olahraga menghadapi banyak kesulitan, seperti juga halnya sebagian besar buruh di dunia berkembang. Ratusan ribu buruh — 80% di antaranya perempuan — dipekerjakan untuk membuat perlengkapan olahraga di Asia, Afrika, Eropa Timur dan Amerika Latin. Selama 15 tahun terakhir, banyak laporan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil3 telah mencatat berlangsungnya upah dan kondisi-kondisi yang eksploitatif di sektor ini. Meski mencatat adanya beberapa perbaikan, namun penelitian ini masih saja mendapati bahwa buruh-buruh perlengkapan olahraga bekerja dalam tekanan tinggi dan jamjam yang sangat panjang; bahwa mereka sering menghadapi kondisi-kondisi kerja yang sulit dan berbahaya, termasuk pelecehan lisan dan seksual; bahwa hak-hak mereka dalam hal serikat buruh jarang dihormati dan terkadang ditolak dengan cara-cara kekerasan; dan bahwa upah mereka untuk minggu kerja standar terlalu rendah untuk bisa memenuhi kebutuhan pokok keluarganya (lihat, misalnya, AMRC & HKCIC 1997, Clean Clothes Campaign dll. 2002, OCAA 2000, O'Rourke & Brown 1999, Oxfam dll. 2004, VLW 1997). Laporan ini menilai langkah-langkah yang sedang ditempuh oleh perusahaan-perusahaan pemilik merk-merk perlengkapan olahraga untuk menyikapi masalah ini, dan memusatkan perhatian pada satu isu tertentu — penghormatan atas hak-hak buruh dalam hal serikat buruh. Laporan ini mengikuti dua alur penelitian. Bagian Satu terdiri atas sembilan kajian kasus yang mendokumentasikan bagaimana perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga menanggapi pelanggaran terhadap hak-hak serikat buruh di tempattempat kerja tertentu. Dalam masing-masing kasus, organisasi-organisasi masyarakat sipil ataupun serikat-serikat buruh telah mengangkat isu tersebut agar mendapat perhatian perusahaan. Perlu dicatat bahwa kami memilih sebagian besar dari kajian kasus ini karena telah ada beberapa kemajuan; ada banyak lagi kasus lainnya dimana tidak ada kemajuan yang dapat dilaporkan. Bagian Kedua menilai sejauh mana 12 perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga berbeda telah menempuh langkah-langkah yang memadai untuk menjamin penghormatan atas hak-hak serikat buruh di sepanjang seluruh rantai pasokannya. Merk-merk itu adalah adidas, ASICS, FILA, Lotto, Kappa, Mizuno, New Balance, Nike, Pentland, Puma, Reebok dan Umbro. Kedua alur penelitian ini sama-sama penting. Jika kebijakan-kebijakan perusahaan tidak terterjemahkan menjadi perubahan yang efektif di tingkat masing-masing tempat kerja, maka kebijakan itu tidak ada artinya. Tetapi serupa dengan itu, jika perusahaan tidak memiliki kebijakan-kebijakan efektif yang berlaku, maka kemajuan di pabrik-pabrik tertentu hanya bisa mencapai tak lebih dari sekadar formalitas (simbolisme). 1 Nama buruh yang bersangkutan telah dirubah untuk melindungi identitasnya. Nama buruh yang bersangkutan telah dirubah untuk melindungi identitasnya. Penggunaan istilah “organisasi masyarakat sipil" ini kontroversial, dan definisi-definisi tentang siapa yang termasuk bagian “masyarakat sipil” sangat beragam. Untuk tujuan-tujuan yang dimaksudkan dalam laporan ini, "organisasiorganisasi masyarakat sipil" mencakup—namun tidak terbatas hanya pada—serikat buruh, organisasi kampanye, organisasi perempuan, organisasi kemanusiaan dan organisasi penelitian perburuhan di seluruh dunia. Untuk tujuantujuan yang dimaksudkan dalam laporan ini, istilah ini tidak mengacu pada organisasi-organisasi nir-laba yang mendapatkan sebagian besar penghasilannya dengan cara menyediakan jasa untuk—atau bekerja sama dalam proyek-proyek dengan—perusahaan-perusahaan yang berorientasi laba. 2 3 4 Pendekatan ini memunculkan sejumlah pertanyaan: • • • • • • Mengapa sebuah organisasi bantuan seperti Oxfam International merasa peduli tentang hak-hak buruh? Mengapa memfokuskan perhatian pada industri perlengkapan olahraga, bukankah juga ada kondisi-kondisi kerja yang eksploitatif di banyak industri? Mengapa memfokuskan perhatian pada perusahaan, bukankah pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak warganya? Mengapa memfokuskan diri pada perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga? Kebanyakan dari mereka mengkontrakkan produksinya kepada pemasok; bukankah para pemasok yang seharusnya ditetapkan bertanggung jawab untuk menghormati hak-hak buruh? Bukankah upah, jam kerja dan hak-hak buruh lainnya juga penting? Mengapa memfokuskan perhatian pada hak-hak serikat buruh? Dalam hal hak-hak serikat buruh, standar apa yang seharusnya ditetapkan bagi perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga, dan langkah-langkah apa yang seharusnya mereka tempuh? Mengapa Oxfam International peduli tentang hak-hak buruh? Kondisi pekerjaan dan hak-hak pekerja upahan merupakan isu-isu utama untuk upaya pengurangan kemiskinan, kesetaraan gender dan pembangunan global, sehingga relevan bagi mandat Oxfam. Pada tahun 2003, ada 1,39 milyar orang yang bekerja namun masih hidup di bawah garis kemiskinan yang standar per harinya adalah 2 dolar AS (1,64 euro).4 Proporsi yang makin meningkat dari para pekerja ini adalah kaum perempuan, yang kini makin diharapkan untuk menopang keluarga mereka secara finansial serta melakukan kerjakerja rumah tangga dan perawatan anak. Oxfam International tidak menentang perusahaan-perusahaan perlengkapan olahraga transnasional yang melakukan sourcing produksinya di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa Timur, dan Oxfam International mengakui bahwa, jika dilakukan secara bertanggung jawab, investasi ini dapat memainkan peran penting dalam pengentasan kemiskinan. Dengan bekerja lembur dalam jam-jam yang sangat panjang, banyak perempuan yang dipekerjakan dalam rantai pasokan global sekarang ini memiliki independensi finansial tertentu, dan sebagian di antara mereka mampu memberikan bantuan ekonomi bagi keluarganya. Namun demikian, majikan mereka biasanya tidak mencurahkan perhatian pada pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja. Setelah meninggalkan pekerjaan-pekerjaan seperti ini, banyak perempuan menderita cidera otot/tulang yang berulang-ulang dan dampak-dampak kesehatan lainnya yang merugikan dan berjangka panjang (Oxfam International 2004a). Teramat penting kiranya agar keuntungan ekonomi dari globalisasi tidak dihasilkan dengan mengorbankan hak-hak pekerja, kesehatan, kehidupan keluarga mereka serta tanggung jawab dan aspirasi-aspirasi sosial dan budaya mereka lainnya. Seperti dilaporkan UNIFEM (2005, hal. 8) baru-baru ini: ...memperkuat jaminan ekonomi kaum perempuan amatlah penting bagi upaya-upaya untuk mengurangi kemiskinan dan mempromosikan kesetaraan gender, dan...kerja yang layak adalah hal yang mendasar bagi jaminan ekonomi. Hak-hak serikat buruh, pada khususnya, itu penting. Dalam industri-industri seperti produksi perlengkapan olahraga, yang ditandai dengan upah rendah dan kondisi-kondisi yang buruk, para perempuan dan laki-laki yang bisa berpartisipasi aktif dalam serikat buruh dan melakukan langkah tawar secara kolektif terhadap majikan mereka, memiliki kekuatan yang lebih besar untuk mempengaruhi upah dan kondisi kerja mereka5. Hal ini pada gilirannya bisa berdampak positif terhadap upah dan kondisi para pekerja lainnya dalam industri perlengkapan olahraga serta industri-industri terkait lainnya. Mengapa memfokuskan perhatian pada industri perlengkapan olahraga? Industri perlengkapan olahraga merupakan industri penting yang mempekerjakan ratusan ribu orang, yang sebagian besarnya perempuan. Jelas ini bukan satu-satunya industri yang 4 5 Laporan Pembangunan Dunia 2004-05: Lapangan Kerja, Produktivitas dan Pengurangan Kemiskinan Akan ada penjelasan lebih jauh tentang pentingnya hak-hak serikat buruh nanti di bagian Pendahuluan ini. 5 barang-barangnya diproduksi dalam kondisi-kondisi yang eksploitatif (lihat Oxfam International 2004a). Oxfam Australia, anggota Oxfam International yang ditugasi untuk menyiapkan laporan ini, telah meneliti kondisi-kondisi perburuhan dalam industri ini sejak tahun 1995. Pertama-tama, industri perlengkapan olahraga dipilih karena ia mewakili contoh mencolok tentang potensi dampak negatif dari perdagangan yang diglobalkan ketika hal ini tidak ditata dan diatur dalam suatu cara yang menjamin agar hak orang-orang yang hidup dalam kemiskinan dihormati. Dalam perjalanan waktu, seiring kelompok-kelompok masyarakat sipil terus melakukan tekanan terhadap industri perlengkapan olahraga untuk mereformasi praktek-praktek perburuhannya, dan seiring para pemilik merk perlengkapan olahraga mulai melakukan inisiatif-inisiatif untuk menyikapi isu ini, maka Oxfam International tertarik untuk mengetahui mungkinkah tekanan konsumen dan buruh dapat membujuk sebuah industri besar untuk mereformasi praktek-praktek perburuhannya. Meski perkembangannya dalam hal ini sangat lambat, namun Oxfam International terus berminat untuk mengetahui apakah, di masa mendatang, industri perlengkapan olahraga dapat menjadi contoh positif tentang bagaimana perdagangan global bisa meningkatkan penghormatan atas hak-hak dasar buruh dan memungkinkan buruh untuk punya suara dalam mendapatkan hak-hak ini. Mengapa memfokuskan perhatian pada perusahaan, bukankah hak-hak buruh juga merupakan tanggung jawab pemerintah? Oxfam International yakin bahwa hak-hak buruh seharusnya dilindungi oleh perundangundangan negara yang ditegakkan secara semestinya, dan bahwa inisiatif sukarela seperti kode etik pengaturan ataupun inisiatif-inisiatif multi-pihak hendaknya tidak dianggap sebagai alternatif yang sudah memadai terhadap peraturan perundangan. Langkah-langkah sukarela, bila hanya itu semata, tidak bisa menciptakan kondisi-kondisi dimana hak-hak serikat buruh sepenuhnya dihormati. Akan tetapi, pemerintah di negeri-negeri berkembang kerap kali sangat berhati-hati dalam mengatur tindak-tanduk korporasi transnasional (TNC) karena khawatir mereka akan memindahkan produksi dan investasinya ke negeri lain. Kepedulian ini memuncak menyusul berakhirnya Multi-Fibre Arrangement (MFA) pada bulan Desember 20046 yang mengakhiri sistem kuota yang telah mengatur sebagian besar ekspor garmen ke Amerika Serikat dan Eropa selama lebih dari 40 tahun. Telah diperkirakan secara luas bahwa, walaupun beberapa negeri utama pengekspor garmen akan mendapat keuntungan, namun berakhirnya sistem kuota secara mendadak akan sangat merusak bagi industri-industri garmen di sejumlah negeri lainnya (Oxfam International 2004b). Meski kehilangan pekerjaan sejauh ini belum membawa malapetaka sedahsyat yang diperkirakan oleh beberapa kalangan, namun industri garmen di negeri-negeri seperti Lesotho, Kenya, Mauritius, Malawi, Namibia, Afrika Selatan, Rumania dan Maroko telah mengalami kehilangan investasi dan lapangan kerja yang signifikan sejak akhir 2004 (Sudwind, dll. 2005). Bisa jadi dampak penuh dari rezim perdagangan baru ini masih belum terasa. Penghapusan kuota secara bertahap menyebabkan banyak TNC kini mengkonsolidasikan rantai pasokan globalnya. Wal-Mart, perusahaan ritel terbesar di dunia, berniat mengurangi negeri pemasoknya dari 63 menjadi sekitar 13, dan akan melakukan sourcing 80% barangbarangnya hanya dari empat atau lima negeri. Di Spanyol, perusahaan Inditex kini mengurangi jumlah pabrik pemasoknya dari 2.700 menjadi tak lebih dari 900 (Sudwind, dll. 2005). Proses konsolidasi ini membawa pada meningkatnya persaingan di antara pemerintahan-pemerintahan karena masing-masing berusaha membujuk TNC untuk mempertahankan produksi di negerinya. Laporan dari mitra-mitra Oxfam International di Asia dan Afrika mengindikasikan bahwa pemerintahan-pemerintahan dan para majikan kini menggunakan meningkatnya persaingan sebagai pembenaran untuk membuat pengaturan upah dan lapangan kerja menjadi lebih fleksibel, dengan harapan bahwa hal itu akan membuat negeri mereka menjadi lebih menarik bagi TNC. ITGLWF secara serupa melaporkan bahwa kondisi-kondisi kerja telah memburuk di sebagian besar negeri pengekspor garmen sejak awal tahun 2005, dengan fakta bahwa para pemerintah dan para majikan menggunakan berakhirnya sistem kuota sebagai pembenaran atas menurunnya penghormatan terhadap hak-hak buruh (Kearney 2005). 6 Berakhirnya MFA dimungkinkan oleh Agreement on Textiles and Clothing (ATC / Kesepakatan tentang Tekstil dan Pakaian). 6 Jika TNC dengan sukarela menjadi bagian dari sistem-sistem yang lebih efektif untuk menghormati hak buruh, maka akan lebih mudah bagi para pemerintah untuk melindungi hakhak ini tanpa khawatir bahwa melakukan ini akan menyebabkan TNC memindahkan produksi ke negeri lain dimana hak tersebut tidak ditegakkan secara hukum. Perusahaan merupakan pemain penting, dan tindakan mereka berpengaruh signifikan terhadap kemungkinan apakah hak-hak serikat buruh dihormati atau tidak. Mengapa memfokuskan perhatian pada perusahaan-perusahaan pemilik merk? Mereka tidak mempekerjakan buruh yang membuat barang-barang. Umumnya produksi perlengkapan olahraga tidak dikelola oleh perusahaan pemilik merk secara langsung, melainkan dikontrakkan kepada pabrik-pabrik pemasok, yang banyak di antaranya kemudian men-sub-kontrakkan kerja itu kepada pabrik-pabrik lain dan kepada pekerja rumahan. Dalam banyak kasus, merk-merk perlengkapan olahraga sama sekali tidak berurusan langsung dengan pabrik pemasok, melainkan mengkontrakkan sebagian dari pengelolaan produksinya kepada perusahaan-perusahaan lain yang kemudian men-subkontrakkan kerja itu kepada pabrik-pabrik atau tempat kerja lainnya. Beberapa perusahaan di Asia yang mengelola produksi untuk pemilik merk bahkan lebih besar dan lebih kuat daripada pemilik merk itu sendiri, dan jaringan pemasok yang mereka sub-kontrak juga sangat luas. Beberapa perusahaan yang sebenarnya memproduksi barang-barang keperluan olahraga juga sangat kuat. Sebagai contoh, perusahaan asal Taiwan, Pou Chen, yang memasok sepatu olahraga mengklaim memproduksi seperenam dari sepatu olahraga dunia dan memiliki omset serta laba yang lebih tinggi daripada kebanyakan pemilik merk perlengkapan olahraga. Oxfam International yakin bahwa baik pemasok maupun pemilik merk sama-sama punya tanggung jawab untuk menjamin agar hak-hak buruh dihormati. Nike, adidas, Reebok, Puma dan merk-merk lainnya telah memilih untuk mengkontrakkan produksi mereka. Kalau saja mereka memilih lain, bisa saja mereka memiliki dan menjalankan pabrik-pabrik sendiri. Tindakan mengkontrakkan produksi seharusnya tidak melepaskan mereka dari tanggung jawab untuk memastikan agar barang-barang mereka dibuat dalam kondisi-kondisi yang layak. Sama halnya bahwa pemilik merk mengharapkan persyaratannya tentang kualitas dipenuhi, demikian pula hendaknya mereka memberlakukan kewajiban kepada para pemasoknya untuk menjamin agar kualitas berlaku dalam hal hubungan kerja di fasilitasfasilitas produksi. Penelitian oleh Oxfam International dan lain-lain menyoroti bagaimana praktek-praktek pembelian oleh pemilik merk besar turut menyebabkan terjadinya eksploitasi buruh oleh para pemasok. Bisa jadi sulit bagi pemasok untuk menghormati hak buruh akan upah dan kondisi yang layak ketika mereka umumnya mendapatkan harga yang sangat rendah untuk barangbarang yang mereka produksi; ketika mereka berada di bawah tekanan untuk memproduksi secara cepat dan dengan tenggat yang sangat ketat; dan ketika pemilik merk tidak mau berkomitmen untuk hubungan bisnis yang berjangka panjang7 (Oxfam, dll. 2004a, Oxfam International 2004a). Untuk memenuhi tuntutan-tuntutan ini, para pemasok menekan buruh untuk bekerja dengan intensitas tinggi dan hanya mendapatkan upah yang rendah. Mereka juga mempekerjakan buruh dengan jangka pendek sewaktu-waktu atau berdasarkan kontrak, sehingga mereka bisa dengan mudah memecat buruh jika order merosot atau jika pemilik merk menghentikan order (Oxfam International 2004a). Jauh dari jelas kiranya bahwa model bisnis yang eksploitatif ini merupakan cara yang paling produktif atau paling efisien untuk memproduksi perlengkapan olahraga dan pakaian serta perlengkapan kaki lainnya. Setidaknya seorang pakar industri garmen global (Birnbaum 2000) berpendapat bahwa biaya tenaga kerja merupakan bagian yang sangat kecil dari struktur biaya keseluruhan, dan bahwa dalam jangka panjang, lebih menguntungkan bagi perusahaan bila memfokuskan perhatian untuk mengurangi biaya-biaya lain ketimbang membatasi upah buruh.8 Kajian-kajian lain menyatakan bahwa bilamana serikat buruh eksis 7 Ini bukan mengasumsikan bahwa jika pemilik perlengkapan olahraga membayarkan harga yang layak dan berpengharapan yang lebih wajar tentang waktu pemenuhan pesanan, lantas pemasok mereka secara otomatis akan meneruskan keuntungan ini kepada pekerjanya. Perlu juga kiranya bahwa, hak buruh untuk kebebasan berserikat hendaknya dihormati sehingga mereka bisa menegosiasikan upah dan kondisi yang lebih baik bagi diri mereka. 8 Birnbaum (2000) berpendapat bahwa faktor-faktor seperti kualitas, waktu pemenuhan pesanan, hubungan yang terbelakang, tingkat teknologi, biaya transportasi dan biaya-biaya lainnya seperti listrik, semuanya memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap daya saing dan produktivitas dibandingkan upah dan kondisi buruh. 7 dan ada negosiasi sesungguhnya antara serikat dan majikan, maka produktivitas sebenarnya meningkat (lihat, misalnya, Institute of Policy Studies n.d.). Tanpa memandang apakah penghormatan terhadap hak-hak buruh meningkatkan produktivitas dan daya saing atau tidak, ini adalah hak asasi manusia, dan perusahaan punya kewajiban moral untuk menghormatinya. Mengingat peran yang dimainkan oleh praktek-praktek pembelian oleh pemilik merk dalam menyebabkan terjadinya kondisi kerja yang buruk dan tanggung jawab mereka untuk menjamin penghormatan atas hak-hak buruh, maka penting kiranya agar pemilik merk tidak menghentikan order mereka kepada sebuah pabrik pemasok ketika buruh melaporkan terjadinya pelanggaran atas hak-hak mereka (juga dikenal dengan istilah "potong dan lari "). Pemilik merk punya tanggung jawab untuk campur tangan, berusaha menyelesaikan masalah sembari terus men-sourcing order di pabrik itu. Bukankah upah, jam kerja dan hak-hak buruh lainnya juga penting? Oxfam International dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya serta serikat-serikat buruh berkomitmen untuk mendorong perusahaan-perusahaan perlengkapan olahraga agar menegakkan semua konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang relevan dan menjamin agar buruh yang dipekerjakan di rantai pasokan mereka dibayar dengan upah yang layak. Oxfam International mendefinisikan upah layak sebagai upah yang mana untuk satu minggu-kerja penuh (tanpa lembur) akan cukup bagi sebuah keluarga untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan masih memungkinkan sejumlah kecilnya untuk pembelanjaan pilihan. Sejauh ini tidak ada pemilik merk perlengkapan olahraga yang mau berkomitmen untuk definisi upah yang layak ini. Umbro dan Pentland telah menyertakan, dalam kode etiknya, suatu persyaratan agar buruh dibayar dengan upah yang memenuhi kebutuhan pokok mereka serta memungkinkan bagi sedikit pendapatan tambahan, namun tidak menyebutkan kebutuhan keuangan orang-orang yang menjadi tanggungan buruh tersebut. Pada tahap sekarang ini, hanya ada sedikit bukti yang tersedia secara publik bahwa persyaratan tentang upah dalam kode etik Umbro dan Pentland ini dilaksanakan di rantai pasokan mereka.9 Di antara perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga, adidas barangkali adalah yang paling banyak melakukan penelitian dan pemikiran tentang persoalan upah. Kode etik adidas juga mensyaratkan agar para mitra bisnis perusahaan ini “…mengakui bahwa upah itu esensial untuk memenuhi kebutuhan pokok pekerja serta sedikit bayaran tambahan”, kembali tanpa menyebutkan kebutuhan anak-anak para buruh ataupun orangorang lain yang menjadi tanggungan mereka. Adidas telah memulai penelitian luas tentang biaya hidup buruh di Indonesia dan telah mengembangkan sebuah strategi tentang mekanisme-mekanisme untuk penentuan upah, termasuk langkah tawar kolektif.10 Dibutuhkan penelitian yang lebih independen untuk mengetahui secara pasti apakah, sebagai hasil dari strategi ini, para perempuan dan laki-laki yang memproduksi barang-barang adidas mendapatkan upah untuk minggu kerja standar yang memungkinkan mereka untuk sekurangnya memenuhi kebutuhan pokok mereka sendiri, kalau tidak juga kebutuhan orangorang yang bergantung kepada mereka. Kode pengaturan perburuhan dari sebagian besar pemilik merk perlengkapan olahraga sama sekali menghindari isu biaya hidup buruh, dan sebagai gantinya, hanya mengharuskan pemasok mereka untuk membayarkan upah minimum resmi atau standar industri, yang manapun yang lebih tinggi. Nike secara eksplisit menolak disertakannya standar upah layak dalam kode pengaturan perusahaannya, dengan argumen bahwa dalam kebanyakan hal, upah ditentukan oleh pasar, dan jika hendak diberlakukan mekanisme upah non-pasar, ini seharusnya ditentukan oleh pemerintah atau oleh proses-proses hubungan industrial seperti langkah tawar kolektif (Nike 2005b, hal. 44). Di sebagian besar negeri yang memproduksi perlengkapan olahraga, tidak adanya langkah tawar kolektif dan posisi tawar buruh yang lemah berarti bahwa standar industri adalah upah minimum resmi, dan ini biasanya jauh di bawah apa yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan pokok sebuah keluarga. 9 Dalam sepucuk surat kepada Oxfam Australia, Pentland menyebutkan: “Kode etik kami adalah Kode Berbasis ETI, dan sejak awal [kami] telah menegaskan bahwa ada masalah-masalah besar mengenai pelaksanaan hampir setiap ketentuan di dalam rantai pasokan kami”. Surat dari Lesley Roberts, Pentland, Agustus 2005. 10 Lihat www.adidasgroup. com/en/sustainability/suppliers_and_workers/exploring_labour_standards/fair_wages.asp 8 Sebagai contoh, pada tahun 2005 pabrik-pabrik perlengkapan olahraga di wilayah sekitar Bandung di Jawa Barat, Indonesia, hanya diharuskan untuk membayarkan upah minimum resmi sebesar 642.590 rupiah (53 euro) per bulan untuk kerja satu bulan standar. Pada tahun 2004, Lembaga Bantuan Hukum Bandung dan beberapa serikat buruh lokal melakukan sebuah survei menyeluruh tentang biaya dan kebutuhan konsumsi buruh setempat yang mendapati bahwa 617. 291 rupiah (50 euro) per bulan dibutuhkan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup seorang dewasa sendirian. Jumlah yang secara signifikan lebih tinggi, yakni 1.192.653 rupiah (97 euro) per bulan, dibutuhkan bagi seorang dewasa untuk bisa ‘hidup dengan cukup nyaman’. Hal-hal yang ditambahkan untuk menghitung biaya ‘hidup yang cukup nyaman’ meliputi 70 sen euro untuk membeli cairan pembersih lantai dan sabun pencuci piring, 39 sen euro untuk obat nyamuk, 16 sen euro untuk biaya pembuangan sampah, 4,10 euro untuk biaya telepon dan 3,39 euro untuk ditabung agar bisa berlibur ke luar kota tiap enam bulan (SPN, dll. 2004). Ketika buruh tidak mampu memenuhi kebutuhankebutuhan pokok ini, maka tidaklah mengherankan bahwa mereka sering merasakan sangat sulit untuk membayar iuran serikat buruh. (Lihat Kotak I). Perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga sanggup mengeluarkan jutaan dolar untuk pemasaran — Untuk Venus Williams sendiri, Reebok membayarkan 7 juta dolar AS (6 juta euro) dalam setahun (Forbes 2004) dan Nike membayarkan 25 juta dolar AS (21 juta euro) dalam setahun kepada pe-golf Tiger Woods (Forbes 2005). Nike juga memiliki kontrak dengan Tim Sepakbola Nasional Brasil senilai 16 juta dolar AS (13 juta euro) per tahun selama 10 tahun (AFR 2001). Klub sepakbola Inggris, Manchester United, telah menandatangani kontrak pensponsoran untuk 13 tahun dengan Nike senilai 303 juta poundsterling (434 juta euro), dan Arsenal telah menandatangani kontrak untuk 10 tahun senilai 130 juta poundsterling (186 juta euro) (BBC 2003). Adidas membayarkan 1,8 juta dolar AS (1,5 juta euro) per tahun kepada pemain Perancis, Zinedine Zidane11 dan ditaksir sejumlah 4 juta dolar AS (3,3 juta euro) per tahun kepada pemain Inggris, David Beckham.12 Tampaknya bukan hal yang tidak wajar bila mengharapkan bahwa buruh yang membuat barang-barang itu hendaknya mendapatkan bayaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya, dan sekurangnya bisa menjangkau kenyamanan-kenyamanan pokok seperti sabun pencuci piring dan obat nyamuk. Sementara sebagian besar pemilik merk perlengkapan olahraga masih belum berkomitmen untuk upah yang layak, di sisi lain banyak dari mereka kini mulai berkomitmen untuk menghormati standar-standar perburuhan lainnya, misalnya yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja serta jam kerja maksimum. Selama awal sampai pertengahan 1990-an, di saat kampanye-kampanye anti-sweatshop [sweatshop: tempat kerja dimana buruh diharuskan bekerja berlebihan dengan upah yang sangat rendah] baru mulai menarik perhatian media arus besar internasional, kebanyakan pemilik merk perlengkapan olahraga sama sekali menyangkal bahwa para perempuan dan laki-laki yang bekerja di rantai pasokan mereka itu dieksploitasi. Baru-baru ini, beberapa pemilik merk perlengkapan olahraga telah mau mengakui bahwa memang ada masalah, dan telah melakukan investasiinvestasi signifikan dalam hal inisiatif tanggung jawab sosial korporat (CSR). Nike, perusahaan perlengkapan olahraga terbesar di dunia, kini memiliki hampir 150 karyawan yang bekerja dalam hal isu-isu CSR, baik itu sebagai pekerjaan utamanya ataupun sebagai bagian signifikan dari muatan kerjanya (Nike 2005a, hal. 8). Banyak dari para karyawan tersebut kini terlibat dalam mengaudit standar perburuhan dan standar lingkungan di rantai pasokan Nike. Nike, bersama adidas, ASICS, Puma, Reebok dan perusahaan-perusahaan (non-olahraga) lainnya, juga merupakan anggota Fair Labor Association (FLA). FLA merupakan sebuah inisiatif multi-pihak (MSI) yang melalui ini perusahaan-perusahaan telah bersepakat dengan beberapa organisasi non-pemerintah (LSM) — terutama National Consumers League dan Human Rights First — mengenai serangkaian standar di tempat kerja dan sebuah sistem untuk memantau serta memverifikasi apakah standar-standar itu ditegakkan. Sekarang ini belum ada keterlibatan serikat buruh di dewan FLA. Serikat-serikat AS, yang telah berpartisipasi dalam negosiasi-negosiasi pendahuluan mengenai FLA, menarik diri pada tahun 1998 karena mereka menganggap kode etik dan sistem pemantauan FLA tidak memadai. Satu perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga lainnya, Pentland, kini 11 Lihat website Sporeco.com di <www.sporeco.com/sponsors/adidas.htm>. Lihat website AskMen.com di <www.askmen.com/sports/business_100/101b_sports_business.html www.sundaymirror.co.uk>. 12 9 merupakan anggota Ethical Trading Initiative (ETI), sebuah MSI lainnya yang juga memiliki serangkaian standar. Perusahaan-perusahaan, organisasi-organisasi masyarakat sipil (termasuk serikat buruh dan LSM13) berkumpul di dalam ETI guna membahas dan mengembangkan model-model bagi perusahaan untuk meningkatkan penghormatan atas standar-standar yang telah dinyatakan tersebut di dalam rantai pasokan mereka. Beberapa perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga juga telah terlibat dalam berbagai proyek bersama yang dirancang untuk menyikapi kondisi-kondisi pabrik. Proyek-proyek ini antara lain Cambodian Buyers Forum (lihat www.betterfactories.org), Prince of Wales Business Leaders Forum (lihat www.iblf.pl), Buyers Compliance Group, Better Workplace Foundation, SOS Occupational Health and Safety Training Initiative dan Human Resources Management Systems Project (adidas 2006). Perkembangan-perkembangan ini ada gunanya. Namun demikian, penelitian independen dan, yang kini makin banyak dilakukan, penelitian tentang perusahaan-perusahaan pemilik merk, menunjukkan bahwa praktek-praktek yang eksploitatif di pabrik-pabrik pemasok terus terjadi, bahkan ketika pemilik merk telah berkomitmen bagi—dan mempromosikan—standarstandar perburuhan tertentu. Beberapa penyebab terjadinya hal ini bisa diidentifikasi. Sebagaimana telah disebutkan, para pemilik merk melakukan banyak tekanan kepada pemasoknya untuk menurunkan harga dan memenuhi tenggat pengiriman yang ketat, dan tekanan ini merongrong upaya-upaya untuk meningkatkan upah serta kondisi kerja. Selama pemilik merk perlengkapan olahraga tidak merubah praktek pembeliannya, akan sulit membujuk para pemasok untuk menghormati hak-hak buruh, termasuk hak-hak serikat buruh mereka. Yang sama pentingnya, ada ketidakseimbangan kekuatan yang mendasar antara sebagian besar buruh dalam industri ini dan para majikannya, hal mana sangat menyulitkan buruh untuk menuntut hak-haknya. Mengapa memfokuskan perhatian pada hak-hak serikat buruh? Oxfam International yakin bahwa penghormatan yang lebih besar atas hak-hak buruh mengenai serikat buruh akan membantu menyikapi ketidakseimbangan kekuatan ini dan memberi buruh kekuatan yang lebih besar untuk mempengaruhi upah dan kondisi di tempat kerja mereka. Sebagaimana telah disebutkan oleh FLA (2004, hal. 229), bila buruh bisa dengan bebas mempraktekkan hak-haknya mengenai serikat buruh, maka "mereka akan mampu memainkan peran kunci dalam memastikan agar standar-standar … lainnya di tempat kerja dilaksanakan ". Disebabkan alasan inilah maka laporan ini memfokuskan perhatian pada hak-hak serikat buruh, bukan karena hak-hak lainnya tidak penting, melainkan karena memungkinkan buruh untuk membentuk serikat buruh dan melakukan langkah tawar secara kolektif adalah cara paling efektif untuk memberi mereka pengaruh yang lebih besar atas kehidupan kerja mereka dan menyediakan suatu pijakan dasar bagi mereka untuk mendapatkan hak-hak perburuhan mereka. Sebuah komite serikat buruh tingkat pabrik yang dipilih secara demokratis dan terlatih baik, yang terlibat dalam berbagi informasi, konsultasi dan negosiasi reguler dengan pihak manajemen pabrik, akan menyediakan tata pengelolaan lokal yang kuat di tempat kerja serta sebuah model untuk pemenuhan kode etik yang berkelanjutan. Dalam laporan ini, hak-hak serikat buruh berarti hak buruh untuk membentuk—dan masuk menjadi anggota—serikat buruh serta menjalankan serikat tanpa diskriminasi ataupun campur tangan dari majikan mereka. Hak-hak ini ditetapkan dalam konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan kebebasan berserikat, hak untuk melakukan langkah tawar secara kolektif dan hak wakil-wakil buruh untuk tidak didiskriminasi karena aktivitas serikatnya (konvensi ILO masing-masing nomor 87, 98 dan 135). Sesuai dengan konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, maka hak-hak ini berlaku secara setara dan tanpa diskriminasi bagi laki-laki dan perempuan. Pemain sepakbola papan atas dan atlet-atlet profesional lainnya umumnya diwakili oleh asosiasi pemain. Di Australia, Argentina, Brasil, Perancis, Jerman, Inggris, Meksiko, Portugal, Paraguay, Amerika Serikat14 dan negeri-negeri lainnya, asosiasi pemain sepakbola 13 Oxfam Great Britain merupakan anggota ETI sebagai sebuah LSM. Lihat website asosiasi pemain sepakbola di negeri-negeri ini - <www.agremiados.com.ar>, <www.pfa.net.au>, <www.fenapaf.org.br>, <www.givemefootball.com>, <http://www.unfp.org>, <www.assocalciatori.it>, <www.futbolistas.com.mx>, <www.fap.org.py>, <www.sjpf.pt>, <www.safp.ch/>, <www.ussoccerplayers.com>, <www.vdv-fussball.de>. 14 10 menegosiasikan kesepakatan-kesepakatan tawar kolektif yang melindungi kepentingan dan kebutuhan pemain. Jauh berbeda dengan itu, buruh perlengkapan olahraga yang ingin membentuk serikat dan melakukan langkah tawar kolektif sering menghadapi diskriminasi, pelecehan, ancaman pemecatan dan, dalam beberapa kasus, intimidasi dengan kekerasan. Meski kebanyakan pemilik merk perlengkapan olahraga — termasuk Nike, Reebok, adidas, Puma, ASICS, Umbro, Pentland, Lotto dan New Balance — mencantumkan hak-hak ini dalam kode etik pengaturannya, namun telah secara luas diakui bahwa sebagian besar buruh perlengkapan olahraga menghadapi kesulitan yang cukup besar dalam menuntut hak-hak itu. Wakil Presiden Nike untuk Pemenuhan Kode Etik, Dusty Kidd, baru-baru ini mengatakan kepada Maquila Solidarity Network bahwa kebebasan berserikat merupakan "isu tunggal terbesar dalam pemenuhan kode etik secara global" (MSN 2005, hal. 5), dan laporan tahunan FLA untuk 2004 menggambarkan kebebasan berserikat sebagai suatu "standar yang secara khusus sangat menantang untuk diterapkan" (FLA 2004, hal. 229). Meski penerapan kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif mungkin merupakan hal yang menantang, namun hak-hak ini belum pernah diperlakukan secara lebih penting. Dalam banyak hubungan kerja di industri perlengkapan olahraga, daya tawar sangat berat berada di sisi majikan, khususnya di negeri-negeri yang ditandai dengan tingkat kekurangan pekerjaan yang tinggi, ketergantungan yang kuat kepada investasi mancanegara, dan perekonomian yang berorientasi ekspor. Dalam perekonomian seperti itu di Asia, sejumlah besar pekerja, yang kebanyakan perempuan muda, bermigrasi dari kampung-kampung mereka di pedesaan untuk bekerja di pabrik-pabrik yang berlokasi di perkotaan dan kawasan-kawasan industri guna mencari uang untuk membantu menopang keluarganya. Penelitian Oxfam International menunjukkan bahwa selain perannya sebagai pencari penghasilan, buruh perempuan di banyak negeri Asia dan belahan-belahan dunia berkembang lainnya umumnya masih diharapkan untuk melakukan kerja rumah tangga dengan porsi yang lebih besar daripada laki-laki dan membesarkan anak ataupun menopang kerabat yang sakit dan lanjut usia (Oxfam International 2004a). Banyak dari para perempuan ini melakukan pekerjaan yang dibayar, bukan di pabrik, melainkan di rumahnya dan hanya memiliki sedikit—atau sama sekali tanpa—jaminan pekerjaan. Banyak dari mereka merupakan pendatang baru di bursa tenaga kerja yang dibayar dan kurang memiliki pengetahuan tentang hak-hak perburuhan mereka serta kurang pengalaman dalam menuntut hak tersebut. Para perempuan organiser serikat buruh sering terkena intimidasi dan pelecehan dari para supervisor dan manajemen pabrik yang jauh lebih intens daripada yang dialami laki-laki. Ini mungkin disebabkan oleh adanya pembatasan-pembatasan secara budaya, yang terkombinasi dengan patriarki, sehingga perempuan hanya memiliki kekuatan yang kecil di masyarakat, hal mana lebih menyulitkan mereka untuk menolak intimidasi. Beberapa perempuan yang terlibat dalam sebuah serikat di sebuah pabrik perlengkapan olahraga di Indonesia mengatakan kepada peneliti Oxfam: “Perempuan mengalami hal-hal yang jauh lebih berat, daripada laki-laki, ketika melakukan pengorganisasian. Mereka lebih sering diteriaki oleh pihak manajemen, yang lebih cenderung meluapkan kemarahannya kepada perempuan daripada laki-laki. Perempuan juga mengalami pelecehan dalam cara-cara yang tidak dialami laki-laki. Kadang-kadang seorang perempuan tidak bisa masuk menjadi anggota serikat di tempat kerjanya sampai dia mendapat izin dari suaminya bahwa dia boleh masuk.” (Wawancara 1.1.1) Di banyak negeri Asia, semakin jarang buruh bisa menikmati status sebagai pekerja ‘tetap’. Justru mereka dipekerjakan dengan kontrak jangka pendek, atau berdasarkan kontrak harian, atau kerja di rumah dengan hitungan hasil per potong. Dalam situasi seperti ini, buruh menghadapi rintangan yang cukup berat untuk berpartisipasi dalam serikat buruh, karena buruh kontrak yang masuk dalam sebuah serikat mendapati kenyataan bahwa kontraknya tidak diperpanjang lagi. Kebanyakan buruh yang dipekerjakan dalam kondisi-kondisi yang ‘fleksibel’ ini adalah perempuan, barangkali karena penghasilan mereka dipandang kurang penting di dalam rumah tangga dibandingkan penghasilan laki-laki (Oxfam International 2004a). 11 Perempuan buruh perlengkapan olahraga yang terlibat dalam serikat terkadang juga harus menghadapi sikap-sikap patriarkal di dalam organisasinya sendiri, dengan adanya beberapa anggota laki-laki yang berpandangan bahwa adalah peran yang wajar bila laki-laki memimpin organisasi, meskipun sebagian besar anggota organisasi itu perempuan. Pada saat yang sama, penegakan hak-hak buruh oleh pemerintah kini melemah. Oxfam International (2004) melaporkan bahwa sementara perusahaan-perusahaan menikmati perlindungan hukum yang meningkat dalam menghadapi tindakan pemerintah: Hak-hak buruh justru bergerak ke arah sebaliknya. Dan bukanlah suatu kebetulan bahwa kenaikan jumlah pekerja yang ‘fleksibel’ ini disertai dengan kenaikan jumlah pekerja perempuan, yang sering kali juga merupakan pekerja migran...[Hak-hak korporat kini menjadi makin kuat] sedangkan hak-hak orang miskin… dilemahkan, dan kaum perempuanlah yang kini membayar ongkos sosialnya (Oxfam 2004, hal. 4). Survei Tahunan ICFTU (International Confederation of Free Trade Unions) tentang Pelanggaran terhadap Hak-hak Serikat Buruh untuk tahun 2005 memaparkan adanya repressi kuat terhadap hak-hak serikat buruh di sepanjang kawasan Asia Pasifik, termasuk contoh-contoh buruh yang dibunuh karena aktivitas serikat buruhnya dan tindak kekerasan oleh otoritas negara untuk membubarkan pemogokan dan demonstrasi buruh. ICFTU (2005, hal. 159-251) melaporkan bahwa kebanyakan pemerintah di kawasan ini melemahkan aktivitas serikat buruh yang independen, dan sebagian bahkan melibasnya sama sekali (ICFTU 2005, hal. 159-251). Dalam situasi-situasi seperti ini, bisa jadi sangat sulit bagi buruh perempuan untuk berorganisasi dan ambil bagian dalam aktivitas serikat buruh. Namun demikian, penting kiranya bahwa kaum perempuan memiliki suara yang sesungguhnya dan efektif dalam organisasi-organisasi buruh, karena kebutuhan dan tugas-tugas mereka sering kali berbeda dengan kebutuhan dan tugas kaum laki-laki. Gerakan serikat buruh memiliki peran kunci untuk dilakukan dalam menyesuaikan strategi-strategi pengorganisasian dan struktur-struktur organisasional guna memenuhi kebutuhan angkatan kerja yang berubah pesat. Perusahaanperusahaan internasional juga perlu melakukan segala yang mereka bisa untuk menghapuskan rintangan-rintangan bagi partisipasi perempuan dalam serikat buruh dengan menekankan agar baik buruh perempuan maupun laki-laki mendapat pekerjaan yang terjamin; agar mereka dibayar dengan upah yang adil; bisa mengambil cuti karena sakit, hamil dan karena urusan keluarga yang relevan; bisa mendapati kebijakan tentang pelecehan seksual yang benar-benar diberlakukan; dan tidak dipaksa untuk bekerja dalam jam-jam yang berlebihan. Langkah-langkah apa yang hendaknya ditempuh oleh perusahaan untuk menjamin penghormatan atas hak-hak serikat buruh di rantai pasokannya? Pada tahun 2004, Play Fair Alliance — sebuah jaringan yang terdiri dari serikat-serikat buruh dan organisasi-organisasi masyarakat sipil, termasuk ICFTU, ITGLWF, Clean Clothes Campaign dan 11 Oxfam15 — mengusulkan kepada perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga dan WFSGI (World Federation of Sporting Goods Industries) agar mereka bekerja sama dalam sebuah Program Kerja16 untuk meningkatkan hak-hak buruh dalam industri ini (CCC, dll. 2004, hal. 56-9). Aktivitas-aktivitas yang diusulkan untuk meningkatkan penghormatan atas hak-hak serikat buruh merupakan aspek utama dari usulan program ini, dan mencakup upaya meminta para pemilik merk perlengkapan olahraga untuk: • • • mengembangkan sarana yang bersifat rahasia dan terjangkau bagi buruh untuk melaporkan tindak eksploitasi dan kesewenangan; menyediakan, bagi buruh, pendidikan dan pelatihan yang independen mengenai hakhak mereka dalam masa kerja; meningkatkan partisipasi buruh serta kerja sama dengan serikat buruh dan organisasi-organisasi pejuang hak buruh setempat dalam semua aktivitas yang berkaitan dengan pelaksanaan kode etik; 15 Oxfam America, Oxfam-in-Belgium, Oxfam Canada, Oxfam Australia, Oxfam Great Britain, Oxfam Intermón (Spanyol), Oxfam Ireland, Oxfam Novib (Belanda), Oxfam New Zealand, Oxfam Quebec dan Oxfam Germany. 16 Naskah lengkap dari Program Kerja yang diusulkan tersedia di website Clean Clothes Campaign <www.cleanclothes.org/campaign/olympics2004-07-08.htm>. 12 • • meningkatkan transparansi mengenai rantai pasokan perusahaan dan upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi, dengan prioritas untuk memastikan adanya masukan bagi buruh itu sendiri; dan menerapkan praktek-praktek pembelian yang memungkinkan pemasok untuk menghormati standar-standar perburuhan (termasuk hubungan bisnis yang stabil dan harga serta waktu pengiriman yang wajar). Program Kerja ini menyebutkan bahwa selain rekomendasi untuk perusahaan, sebuah pendekatan yang berskala industri secara luas juga diperlukan. Rekomendasi-rekomendasi yang berskala industri secara luas mencakup: • • negosiasi sebuah kerangka kesepakatan antara ITGLWF (International Textile, Garment and Leather Workers' Federation) dan WFSGI serta perusahaanperusahaan anggotanya untuk memfasilitasi kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif; dan menyerukan kepada ILO untuk memainkan peran lebih aktif dalam pelaksanaan dan verifikasi kode etik pelaksanaan. Usulan Program Kerja tersebut memberi kerangka bagi banyak hal dalam laporan ini, dan perkembangan perusahaan serta industri diukur terutama berdasarkan usulan-usulan ini. Selain itu, laporan ini menyerukan kepada perusahaan-perusahaan pemilik perlengkapan olahraga untuk menempuh beberapa langkah tambahan: • • • • Memprioritaskan untuk mempertahankan pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya di dalam rantai pasokan perusahaannya. Melarang—atau dengan tegas membatasi—dipekerjakannya buruh berdasarkan kontrak jangka pendek. Jika pabrik tutup, pastikan agar buruh mendapatkan hak penuhnya atas uang pesangon, dan ambillah langkah-langkah untuk membantu memastikan agar tidak terjadi diskriminasi terhadap para aktivis buruh jika mereka melamar kerja di pabrik pemasok lainnya. Tidak meningkatkan sourcing mereka di negeri-negeri dan Zona-zona Perdagangan Bebas dimana hak untuk kebebasan berserikat tidak memiliki kekuatan hukum. Setiap produksi baru hendaknya dilakukan di negeri-negeri dan zona-zona dimana hak ini berlaku secara hukum. Alasan yang mendasari usulan-usulan ini dijelaskan di Bagian 3, dan sejauh mana pemilik merk perlengkapan olahraga serta industri sebagai suatu keseluruhan menerapkannya dibahas di bagian 3 dan 4.. Laporan ini memfokuskan perhatian pada satu kawasan, yakni Asia, yang merupakan fokus program hak-hak buruh Oxfam Australia.17 Namun demikian, kami juga menyertakan contohcontoh tentang praktek yang pada khususnya baik, atau pada khususnya buruk, dari belahanbelahan dunia lainnya. Kami berharap bahwa organisasi-organisasi masyarakat sipil lain akan melaporkan tentang penghormatan atas hak-hak serikat buruh dalam industri-industri global lain dan dalam produksi perlengkapan olahraga di belahan-belahan dunia lainnya. Meski hak-hak serikat buruh menghadapkan tantangan kepada perusahaan, namun menghormatinya merupakan aspek esensial dari praktek bisnis yang bertanggung jawab. Ini adalah hak asasi manusia yang fundamental, yang dilindungi bukan hanya berdasarkan konvensi-konvensi inti ILO, tetapi juga berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Pasal 23) dan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Pasal 8). Laporan ini adalah permulaan dari sebuah proses pelaporan reguler kepada publik yang diharapkan oleh Oxfam International akan dapat membantu membujuk pemilik merk perlengkapan olahraga untuk memastikan agar barang mereka diproduksi dalam kondisikondisi yang menghormati hak-hak buruh, peka terhadap kebutuhan baik perempuan maupun laki-laki, serta memungkinkan terwujudnya pekerjaan yang layak dan bermartabat. Kotak 1: Biaya hidup bagi buruh perlengkapan olahraga di Indonesia 17 Oxfam Australia merupakan anggota Oxfam International yang terlibat dalam penyiapan laporan ini. 13 Pada bulan Februari 2006, Oxfam Australia memulai sebuah penelitian sederhana guna mendapatkan data terbaru untuk penelitian sebelumnya18 tentang upah dan biaya hidup bagi buruh perlengkapan olahraga di Indonesia. Enam orang buruh — lima perempuan dan satu laki-laki — dari empat pabrik perlengkapan olahraga diwawancarai. Dua orang buruh tinggal di sebuah kawasan industri dekat Jakarta, dan empat lainnya tinggal di sebuah kawasan industri dekat Bandung.19 Para buruh ditanyai tentang upahnya, dan informasi ini diuji-silang dengan slip pembayaran upah mereka. Mereka diminta untuk menyusun daftar 10 makanan yang paling umum mereka makan dan 10 makanan lagi yang ingin mereka makan kalau mereka mendapat lebih banyak uang. Mereka juga ditanyai tentang biaya akomodasi, air minum, angkutan ke pabrik dan biaya pendidikan anak (jika relevan). Kebanyakan buruh yang diwawancarai mendapatkan upah pokok sebesar 800.000 rupiah (75,29 euro) per bulan atau 5.000 rupiah (47 sen euro) per jam.20 Mereka juga mendapat bayaran lembur dan sejumlah kecil uang harian untuk makan siang serta ongkos angkutan untuk berangkat dan pulang kerja. Nasi merupakan makanan pokok, dan ini biasanya disertai dengan sedikit lauk dan sup bening dengan sayuran dari dedaunan hijau. Makanan tipikal yang dikonsumsi buruh perlengkapan olahraga dalam sebulan adalah: nasi, ayam, ikan, telur, tahu, tempe (makanan yang dibuat dari kacang kedelai), susu kental, gula, minyak goreng, sayuran (bayam, kacang panjang/buncis, sawi, kubis, kangkung, buahbuahan (pisang, jeruk dan pepaya), teh dan mi instan. Para peneliti membandingkan upah per jam buruh perlengkapan olahraga dengan harga makanan di pasar lokal yang murah. Seorang buruh yang belum menikah perlu bekerja selama: ● ● ● ● ● ● 4,5 jam agar mendapatkan uang yang cukup untuk membeli persediaan beras kelas rendah untuk satu bulan. Kalau mampu menjangkaunya, buruh lebih suka membeli beras yang kualitasnya lebih baik, yang akan membebani mereka biaya tambahan sebesar 0,30 sen euro per bulan; 40 jam agar mendapatkan uang yang cukup untuk membiayai akomodasi yang sederhana tiap bulan; Enam jam agar mendapatkan uang yang cukup untuk membeli air minum tiap bulan; 3,75 jam agar mendapatkan uang yang cukup untuk membeli 1,5 kg daging ayam mentah, yang mana beberapa buruh melaporkan bahwa itulah total jumlah daging yang mampu mereka beli setiap bulan. Dengan harga 1,60 euro per kilo, daging ayam adalah daging paling murah yang tersedia. Beberapa buruh melaporkan bahwa kalau mereka punya lebih banyak uang, mereka akan membeli daging sapi yang harganya 3,86 euro per kilo di Bandung dan 4,07 euro per kilo di Jakarta. Dengan upah sekarang ini, buruh akan perlu bekerja selama lebih dari delapan jam agar mendapatkan uang yang cukup untuk membeli satu kilo daging sapi; 2,6 jam agar mendapatkan uang yang cukup untuk membeli dua kilo telur per bulan dengan harga 59 sen euro per kilo; 2,8 jam agar mendapatkan uang yang cukup untuk membeli persediaan gula, teh dan susu kental untuk satu bulan. Susu bubuk full cream yang tahan lama dengan harga 95 sen euro per 250 gram dianggap lebih mahal dibandingkan sekaleng susu kental dengan harga 43 sen euro. Kebanyakan buruh yang diwawancarai 18 Lihat, misalnya, Oxfam, CCC & GU 2004b. Nama buruh dan nama pabriknya dirahasiakan karena mereka tidak mengizinkan informasi ini diterbitkan untuk publik. 20 Harga-harga di pasar lokal adalah berdasarkan situasi pada Februari 2006. Perhitungan per jam didasarkan atas 40 jam kerja dalam seminggu, delapan jam dalam sehari, sebagaimana diatur dalam Undang Undang ketenagakerjaan Indonesia. Konversi mata uang diukur dengan kurs 11.516,62 rupiah per 1,00 euro sebagaimana yang berlaku pada 7 Maret 2006. 19 14 ● melaporkan bahwa mereka tidak mampu membeli kopi yang harganya 44 sen euro per bungkus dengan isi 185 gram; dan 30 menit per hari agar mendapatkan uang yang cukup untuk membeli sayuran sehari-hari atau 18,5 jam per bulan agar bisa membeli persediaan sayuran untuk satu bulan. Beberapa buruh perempuan melaporkan bahwa kalau punya lebih banyak uang, mereka akan membeli herbal tonic untuk diminum selama menstruasi. Ini harganya 24 sen euro per botol. 15 2. Kajian kasus 2.1 Jaqalanka Ltd (Jaqalanka) Merk meliputi: Lokasi: Produk: Besarnya: Nike, Columbia, Red Kap (VF Corporation)21 Zona perdagangan bebas Katunayake, Srilanka Perlengkapan olahraga, pakaian kerja, topi dan perlengkapan untuk petualangan di alam terbuka Sekitar 400 buruh Ringkasan • Pihak manajemen pabrik di Jaqalanka dituduh telah secara sistematis melecehkan dan mengintimidasi anggota-anggota sebuah serikat buruh yang baru saja terbentuk. • Seorang anggota serikat diserang oleh orang-orang tak dikenal, dan dua anggota mendapat peringatan bahwa mereka bisa dibunuh jika tidak meninggalkan serikat itu. • Baik Nike maupun Columbia mengirim auditor ke pabrik ini. • Serikat tersebut dan Nike mengajukan pengaduan kepada Fair Labour Association (FLA). • Bekerja sama dengan Centre for Policy Alternatives (CPA), FLA memfasilitasi dialog antara semua pihak yang terkait, dan serikat itu pun diakui. • Hak-hak untuk membentuk—dan masuk menjadi anggota—serikat serta melakukan langkah tawar secara kolektif kini dihormati. Pada bulan April 2003, manajemen pabrik Jaqalanka mengumumkan kepada para buruh bahwa mereka tidak akan membayarkan bonus tahunan festival Tahun Baru berupa tambahan satu bulan gaji22 karena perusahaan merugi. Namun demikian, Direktur Pengelolaan Bersama, Daniel Ortiz, kemudian mengatakan kepada surat kabar setempat, Sunday Observer (2003), bahwa "selama periode yang dimaksud, kami sama sekali tidak mengalami kerugian finansial besar”. Bonus Tahun Baru telah dibayarkan sejak pabrik ini buka 28 tahun yang lalu. Para buruh mengandalkan bonus ini untuk memenuhi biaya hidup yang semakin tinggi. Pada tanggal 4 April 2003, para buruh melakukan aksi mogok selama setengah hari untuk memprotes kebijakan ini. Sekitar 220 buruh (dari total sekitar 400 buruh) membentuk sebuah cabang FTZWU (Free Trade Zones Workers Union)23 di pabrik ini untuk bernegosiasi dengan pihak manajemen. Ketika 220 anggota serikat melapor untuk masuk kerja pada keesokan hari setelah pemogokan itu, pihak manajemen pabrik menolak menerima mereka kembali. FTZWU kemudian mengirim surat kepada Komisaris Perburuhan, meminta dia agar campur tangan. Serangkaian negosiasi dengan pihak manajemen pabrik akhirnya membuahkan hasil dipekerjakannya kembali para buruh pada tanggal 8 April. Pada tanggal 10 April, pihak manajemen membayarkan uang sejumlah seperempat gaji kepada para buruh sebagai bonus, bukan sejumlah gaji sebulan penuh sebagaimana biasanya. Akan tetapi, pihak manajemen di pabrik ini masih menolak mengakui serikat tersebut serta terus melecehkan dan mengintimidasi anggota serikat. Konsekuensinya, FTZWU yang didukung oleh Transnationals Information Exchange (TIE-Asia) meminta dan mendapat dukungan internasional dari Clean Clothes Campaign (CCC), ITGLWF serta organisasi-organisasi kampanye internasional lainnya. Pengaduan yang diajukan oleh ITGLWF (ITGLWF 2003) kepada Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada bulan Juli 2003 mengungkapkan, antara lain, pengamatan-pengamatan berikut ini: 21 VF Corporation merupakan salah satu perusahaan pemilik merk terbesar di dunia. Perusahaan ini memproduksi merk-merk jeans seperti Lee, Wrangler, Rustler, Riders dan Britannica, dan menguasai lebih dari 25 persen pasar jeans Amerika Serikat. 22 Hari Tahun Baru Sinhala/Tamil diselenggarakan setiap bulan April. Ia sama pentingnya dengan Hari Natal dan Tahun Baru Masehi, meski maknanya berbeda. 23 FTZWU berubah menjadi FTZ&GSEU (Free Trade Zones and General Services Employees Union/Serikat Pekerja Zona Perdagangan Bebas dan Layanan Umum) pada tahun 2003. FTZWU merupakan serikat nasional. Serikat cabang pabrik Jaqalanka adalah sebuah cabang dari FTZWU. 16 • Dirjen Dewan Penanaman Modal (BOI) Srilanka, bersama para pejabat BOI, mengunjungi pabrik ini pada tanggal 22 Mei. Dia menggelar sebuah pertemuan dengan ‘dewan karyawan’ yang baru saja terpilih serta beberapa orang pengurus kantor serikat pabrik ini. "Serikat mengklaim bahwa Dirjen BOI menanyai mereka tentang keanggotaan serikat mereka, dan mendesak mereka untuk mengundurkan diri dari serikat" (FTZWU 2003). • Dalam sepucuk surat tertanggal 3 Juni24, Ketua BOI menyangkal kalau dirinya mengatakan kepada buruh untuk mengundurkan diri dari serikat itu. Namun, suratnya menyatakan, “Bila tidak ada serikat buruh di tempat kerja ini, maka dewan karyawan bahkan akan bisa mengurusi persoalan-persoalan yang dapat dinegosiasikan dan mengambil kesepakatan-kesepakatan kolektif... Saya menganjurkan kepada para anggota komite eksekutif yang baru terpilih agar jangan mengambil tindakan sepihak, melainkan berusaha mencari solusi bagi masalahmasalah melalui dialog dan konsultasi dengan pihak manajemen”. • Ketua BOI menyatakan komentar-komentar ini kepada komite eksekutif dewan karyawan di saat sepenuhnya mengetahui bahwa ada sebuah serikat di pabrik itu yang sedang berupaya mendapatkan pengakuan hukum. • Pada tanggal 29 Mei, pihak manajemen pabrik setuju untuk mengakui serikat cabang di pabrik itu asalkan serikat ini bisa membuktikan bahwa mereka memiliki jumlah anggota yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundangan. Serikat setuju dan tanggal pemungutan suara pun ditetapkan akan berlangsung pada 9 Juli 2003. Menurut para buruh dan FTZWU, menjelang pemungutan suara, pihak manajemen pabrik meningkatkan upaya-upayanya untuk menghancurkan serikat. Menulis di Asian Labour Update, Sekjen FTZWU Anton Marcus25 (Marcus & Brehaut 2003) menyebutkan beberapa contoh tentang intimidasi terhadap buruh: Pada tanggal 19 Juni 2003, dua direktur Jaqalanka memanggil beberapa buruh pengawasan mutu, pemotongan dan pengepakan, dan menanyai mereka: “Mengapa • kalian membayar 20 rupee untuk serikat itu? Apa kalian akan mendukung orang luar, atau mendukung orang-orang yang telah merawat kalian selama 25 tahun layaknya orang tua kalian sendiri?” • "Ketika sekretaris cabang datang ke bagian pemotongan untuk mengkoreksi suatu cacat produksi, manajer bagian pemotongan… mengucapkan kata-kata yang kotor dan menghina dan menanyakan mengapa dia mengatakan hal-hal tertentu kepada auditor dari Nike (yang mengunjungi pabrik untuk menyelidiki perselisihan itu), dan mengancam sekretaris cabang dengan mengatakan bahwa kalau pabrik tutup, dia akan mengambil pisau dan menikamnya, dan dia siap masuk penjara." • Sekretaris serikat cabang pabrik diserang oleh lima lelaki tak dikenal di sebuah persimpangan jalan di luar pabrik seusai dia menghadiri sebuah pertemuan serikat. Dia mengadukan kejadian penyerangan ini kepada polisi. • Saat pulang kerja, seorang perempuan anggota serikat diancam di persimpangan jalan yang sama oleh empat lelaki tak dikenal yang mengatakan kepadanya: "Kami melakukan sesuatu kepada seseorang hari Minggu kemarin, tapi dia masih saja meneruskan aktivitasnya tanpa rasa malu. Kalau kamu datang ke serikat itu lagi, kami akan membunuhmu dan melemparkanmu ke danau ". Beberapa lelaki muda yang sedang melintas mencoba campur tangan, tetapi para lelaki tadi mengancam mereka dengan pisau dan berkata, “Kamu bisa membawa saudaramu ini, tapi kami tahu tempat kosnya, dan kalau kami mau, kami bisa melakukan apapun kapan saja kami menginginkannya". CCC dan organisasi-organisasi kampanye internasional lainnya terus mengirim surat kepada pihak-pihak otoritas Srilanka, manajemen pabrik, Nike, Columbia dan VF Corporation. 24 25 Surat yang ditandatangani oleh Mr Arjuna Mahendran, Dirjen Penanaman Modal (BOI) Srilanka, tersedia di arsip. Artikel ini ditulis bersama dengan Melanie Brehaut yang pada waktu itu bekerja untuk TIE-Asia. 17 FTZWU kemudian menindaklanjuti isu ini dengan pihak-pihak otoritas Srilanka yang relevan dan, dengan bantuan ACILS (American Centre for International Solidarity) di Srilanka dan di Amerika, mengajukan sebuah petisi kepada Uni Eropa (EU) dan pemerintah Amerika Serikat. Dalam petisi ini, mereka meminta agar setiap pemberian pilihan perdagangan berdasarkan sistem pilihan yang digeneralisasi (GSP) menyertakan sebuah rancangan untuk memulihkan hak-hak buruh yang inti. Bantuan perdagangan yang diberikan kepada Srilanka berdasarkan GSP ini penting bagi industri garmen Srilanka. Referendum diselenggarakan pada tanggal 9 Juli 2003. Hanya 17 buruh yang memberikan suara pada hari referendum itu, jauh di bawah 40% yang dibutuhkan agar serikat bisa didaftarkan. Satu suara rusak dan semua suara lainnya memilih serikat cabang pabrik. Kelompok-kelompok buruh AS dan Eropa hadir selama referendum sebagai pengamat internasional. Mereka membantah hasil referendum itu dengan argumen bahwa intimidasi telah menghambat buruh untuk memberikan suaranya (FLA 2004, hal. 258). Laporan mereka menyimpulkan, “Pemilihan ini dirusak dengan intimidasi yang paling janggal oleh majikan. Pemerintah Srilanka tidak melakukan apapun mengenai hal ini” (disebutkan dalam Brehaut dan Marcus 2003). Auditor-auditor dari Nike mengunjungi pabrik ini sekurangnya dua kali, sebelum maupun setelah referendum. Nike (2006) menyatakan bahwa selama bergulirnya persoalan ini, mereka “menugaskan spesialis pemenuhan kode etik kami di lapangan, manajer pemenuhan kode etik kami untuk wilayah Asia Tenggara yang berbasis di Bangalore, direktur pemenuhan kode etik untuk kawasan ini yang berbasis di Bangkok, dan wakil ketua pemenuhan kode etik yang berbasis di Amerika Serikat. Kami secara khusus berpartisipasi langsung bersama FLA selama keterlibatannya….” Auditor-auditor dari Columbia mengunjungi pabrik ini pada tanggal 14 September 2003. Menurut Marcus: Columbia memainkan peran yang sangat baik. Wakil regional mereka masuk ke dalam pabrik, mewawancarai para buruh dan serikat [pabrik] untuk mengumpulkan informasi sebelum dia mengangkat isu ini [tentang referendum yang gagal]. (Wawancara 2.1.1) Menyusul referendum yang gagal itu, pihak manajemen menyatakan bahwa para langganan pembeli mereka ingin melihat diadakannya referendum kedua. Tetapi para anggota serikat cabang pabrik tidak percaya bahwa manajemen Jaqalanka akan memperbolehkan sebuah pemilihan yang bebas dan adil berlangsung, terutama karena pelecehan dan intimidasi masih terus terjadi. Serikat pabrik ini justru menyerukan agar ada pengakuan terhadap FTZWU sebagai badan untuk melakukan langkah tawar kolektif, berdasarkan jumlah anggotanya yang telah mendaftar. Manajemen Jaqalanka menolak semua pernyataan bahwa mereka telah terlibat dalam mengintimidasi buruh. Direktur Pengelolaan Bersama, Daniel Ortiz, mengatakan kepada Sunday Observer (12 Oktober 2003) bahwa penyelidikan polisi tidak menemukan bukti tentang dugaan adanya ancaman pembunuhan, dan menyatakan bahwa serikat hanya mengarang-ngarang cerita demi melancarkan tujuannya. Ortiz juga menyatakan bahwa: Tidak adil bila kami dituduh tidak memperhatikan nasib buruh kami, padahal kami telah memberikan kepedulian khusus dengan melatih mereka dan juga mengatur perjalanan tahunan bagi mereka. Kami telah menciptakan lingkungan yang aman dan sehat bagi buruh kami dan menghormati hak-hak mereka. Setelah konsultasi dengan semua pihak utama yang terkait, FLA mengumumkan dalam sebuah siaran pers pada tanggal 29 September bahwa sebagai tanggapan terhadap permintaan-permintaan baik dari FTZWU maupun Nike, FLA (2003a) akan mengupayakan “sebuah penyelesaian yang damai dan non-konfrontasi” bagi perselisihan seputar pengakuan atas serikat di Jaqalanka. Umpan balik terhadap proposal FLA ini positif, dan FLA meminta sebuah LSM setempat yang cukup dihormati, Centre for Policy Alternatives (CPA), untuk mengorganisir sebuah diskusi meja bundar. Diskusi ini diselenggarakan pada tanggal 14 dan 16 Oktober. Peserta meliputi wakil-wakil dari FTZWU, manajemen pabrik, Nike, Columbia Sportswear, ILO, ACILS, CPA dan FLA. 18 Sebagai hasil dari diskusi ini, serikat cabang pabrik tersebut diakui pada tanggal 16 Oktober: Pihak manajemen Jaqalanka menerima FTZWU untuk mewakili keprihatinankeprihatinan anggotanya di Jaqalanka Ltd. Sebagai timbal baliknya, FTZWU setuju untuk menghentikan kampanye solidaritas internasional yang telah dilancarkan 26 terhadap Jaqalanka Ltd. (FLA 2003b) Sebuah proses peninjauan, yang dipantau oleh CPA dan FLA, dibandingkan dan disesuaikan dengan peninjauan utama yang berlangsung pada enam bulan setelah kesepakatan awal ditandatangani.27 Setelah itu, para buruh dan pihak manajemen dilatih tentang kebebasan berserikat dan hak-hak buruh. Menanggapi pertanyaan tentang situasi terkini di Jaqalanka, Marcus melaporkan: Ada kebebasan berserikat: ada sebuah serikat buruh; manajemen perusahaan bernegosiasi dengan serikat untuk mengatasi dan menyelesaikan perselisihan. Pihak manajemen menyerahkan sistem penarikan iuran anggota serikat kepada serikat; memperbolehkan serikat cabang pabrik untuk mengadakan pertemuanpertemuan di dalam gedung pabrik, dan memperbolehkan pengurus serikat cabang untuk cuti tugas guna menghadiri pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan serikat. (Wawancara 2.1.1) Direktur Utama dan Pengelola Jaqalanka, Harin Fernando, menyatakan bahwa “eksistensi berdampingan yang sukses dan harmonis telah berlangsung antara pihak manajemen, Serikat dan Dewan Karyawan”. Sembari menyebutkan kembali hasil-hasil positif yang tadi disebutkan Marcus, Fernando memberikan contoh-contoh lain (yang dibenarkan Marcus) tentang kerja sama yang berhasil antara pihak manajemen, serikat dan dewan karyawan, seperti pengelolaan bersama komite-komite kesejahteraan dan gotong-royong urusan kematian; pengorganisasian bersama masa liburan panjang, hari libur kerja serta aktivitasaktivitas sosial28. Menurut Marcus, secara prinsip juga tidak ada masalah mengenai penegosiasian sebuah kesepakatan langkah tawar kolektif (CBA) baru. Namun, pada prakteknya, sulit bagi serikat untuk menegosiasikan sebuah CBA yang mencakup kenaikan upah bagi buruh. FTZWU yakin bahwa ini adalah karena Nike dan pemilik-pemilik merk lainnya belum meningkatkan produksi di pabrik itu. Marcus menyebutkan bahwa serikat tidak mengetahui harga yang dibayarkan oleh Nike dan pemilik-pemilik merk lainnya untuk barang-barang yang diproduksi di pabrik itu, dan bahwa akan berguna bagi serikat bila informasi tersebut disertakan dalam proses tawar. FTZWU menduga bahwa harga dibayar per satuan, yang sedemikian rendah sehingga menyulitkan manajemen pabrik untuk membayar kenaikan upah (Wawancara 2.1.1). Nike, Columbia dan perusahaan-perusahaan pemilik merk lainnya yang melakukan sourcing dari Jaqalanka hendaknya menyediakan informasi tentang harga per satuan yang mereka bayarkan untuk produksi barang-barang mereka. Nike, Columbia dan perusahaanperusahaan pemilik merk lainnya hendaknya juga menilai apakah harga per satuan yang mereka tetapkan itu cukup layak. Informasi tentang harga per satuan yang dibayarkan oleh para pemilik merk itu saja tidaklah cukup; manajemen pabrik juga perlu transparan tentang keseluruhan situasi keuangan mereka dalam negosiasi-negosiasi dengan serikat. Pengungkapan semua informasi keuangan merupakan bagian dari upaya untuk bernegosiasi dengan niat baik. Nike, Columbia dan perusahaan-perusahaan pemilik merk lainnya yang melakukan sourcing dari Jaqalanka dan pabrik-pabrik lainnya hendaknya mengharuskan pemasok mereka untuk mengungkapkan informasi seperti itu kepada serikat buruh. Menyusul perselisihan di Jaqalanka, pemerintah Srilanka mengintrodusir beberapa perubahan atas kebijakan hubungan industrial di Zona-zona Perdagangan Bebas negeri itu. Sebagai contoh, pada bulan Maret 2004, BOI menerbitkan garis-garis panduan baru yang mempromosikan penghormatan atas hak-hak buruh yang inti, termasuk hak untuk membentuk—dan menjadi anggota—serikat dan hak untuk melakukan langkah tawar kolektif. 26 Lihat: fairlabor.org/all/news/docs/Jaqalank2.pdf untuk mengetahui informasi selengkapnya tentang poin-poin kesepakatan yang dicapai. 27 Laporan Perkembangan untuk Januari 2004 dapat dilihat di: 66.102.7.104/search?q=cache:tZti2RmVXRYJ:www.fairlabor.org/all/news/docs/Jaqalanka_update_2_04_final.pdf+Ja qalanka&hl=en 28 –Komunikasi personal (surat) dari Mr Harim Fernando, Jaqalanka, 30 Januari 2006, tersedia di arsip. 19 Marcus melaporkan bahwa Departemen Perburuhan kini berusaha menyelesaikan perselisihan dan mengakui serikat-serikat buruh tanpa perlu dilakukan referendum (Wawancara 2.1.1). Dalam penyiapan laporan ini, Oxfam Australia mengirimi Nike sejumlah pertanyaan mengenai kasus Jaqalanka. Nike (2005a) menanggapi bahwa: Meski FLA maupun CCC [Clean Clothes Campaign] belum mengirim perkembangan terbaru tentang pabrik Jaqalanka pada tahun lalu, namun kami merasa bahwa informasi mengenai aktivitas-aktivitas signifikan yang menyikapi isuisu FoA di pabrik itu masih aktual. Keterangan tentang kasus Jaqalanka di atas sesuai dengan informasi yang disediakan baik oleh FLA (2003a 2003b) maupun CCC.29 Penilaian Oxfam International Nike telah memainkan peran positif dalam proses hingga diakuinya serikat buruh di Jaqalanka dengan memobilisasi unit pemenuhan kode etik dan manajer-manajer bisnisnya yang relevan serta mengirim auditor ke pabrik itu tepat sebelum dan sesudah referendum. Nike juga bekerja sama dengan FLA (Bagian 2.2) dan CPA dalam peran mereka untuk memediasi sebuah penyelesaian. Nike seharusnya bisa memainkan peran lebih aktif, dan lebih cepat serta lebih tegas menanggapi permintaan-permintaan dari organisasi-organisasi kampanye internasional dan serikat-serikat buruh untuk memastikan agar kode etik pengaturannya dihormati. Nike, Columbia dan perusahaan-perusahaan pemilik merk lainnya yang melakukan sourcing dari pabrik itu bisa memainkan peran yang lebih positif ketika serikat di Jaqalanka berupaya menempuh langkah berikutnya dan menegosiasikan sebuah kesepakatan langkah tawar kolektif. Secara khusus, para pemilik merk hendaknya mengharuskan pabrik itu untuk mengungkapkan catatan keuangannya kepada serikat, termasuk harga per satuan yang dibayarkan oleh pemilik merk. Perusahaan-perusahaan pemilik merk hendaknya mendiskusikan dengan serikat bagaimana order dan/atau harga per satuan dapat ditingkatkan guna memungkinkan serikat untuk menawar bagi upah dan kondisi yang lebih baik. Menurut FTZWU, Columbia telah memainkan peran positif dalam penyelesaian perselisihan ini dengan mengirim auditor ke pabrik tersebut, yang berbicara kepada para buruh dan serikat, dan dalam pertemuan meja bundar yang difasilitasi FLA. Peran yang positif ini perlu ditunjang dengan tindakan konkret untuk mendukung upaya-upaya buruh dalam menegosiasikan upah dan kondisi yang lebih baik. 29 Lihat <www.cleanclothes.org/appeals-archive.htm#jaqalanka>. 20 2.7 MSP Sportswear (MSP) Merk meliputi: Lokasi: Produk: Besarnya: Nike, Decathlon Hutalea Muong Nakornrachaseama, Thailand Perlengkapan olahraga 400 buruh (350 di antaranya perempuan) Ringkasan • Tiga buruh perempuan dipecat karena membentuk sebuah serikat di MSP. • Setelah ada sebuah kampanye internasional yang mendukung buruh-buruh perempuan ini, Nike akhirnya menegakkan kode etik pengaturannya dan para perempuan ini pun diterima kembali bekerja; • Decathlon tidak membantu dalam proses sampai para buruh yang dipecat itu dipekerjakan kembali. Buruh di MSP pertama-tama mencoba membentuk sebuah serikat pada bulan November 2003. Berdasarkan laporan Fair Labour Association30 (FLA 2005, hal. 279), tiga organiser: mulai mengumpulkan tanda tangan para buruh untuk mendukung tuntutan kepada pihak manajemen agar memperbaiki kondisi-kondisi kerja, yang mencakup dihentikannya pelecehan secara lisan oleh para supervisor dan pemeriksaan tubuh oleh para satpam. … Sebelum mereka mendapat kesempatan untuk menyerahkan tuntutan ini, dua buruh dipecat. [Mereka] mengajukan pengaduan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [THRC], dan Komisi memerintahkan pihak manajemen untuk menerima kedua buruh itu kembali bekerja pada Februari 31 2004. Menurut Somyot Pruksakasumsek dari Pusat Layanan Informasi dan Pelatihan Perburuhan (CLIST) di Thailand, para buruh kembali berupaya mendirikan sebuah serikat pada bulan Oktober 2004. Keluhan-keluhan yang ingin mereka diskusikan dengan manajemen pabrik meliputi: target produksi yang tinggi; kerja lembur wajib yang reguler; air minum yang kualitasnya buruk, dan pelecehan secara lisan oleh para supervisor (Wawancara 2.7.1). Tak lama setelah serikat terbentuk, tiga anggota eksekutif serikat ini dipecat. Kesembilan anggota eksekutif lainnya diduga mengalami pelecehan dan tidak bisa menjalankan aktivitasaktivitas serikat mereka di pabrik. Contoh-contoh pelecehan ini meliputi: • • Ibu seorang anggota eksekutif serikat yang juga bekerja di pabrik itu dipecat pada bulan Desember 2004 tanpa alasan yang jelas (Wawancara 2.7.1); Seorang anggota eksekutif serikat lainnya secara sewenang-wenang dipindahkan dari bagian penjahitan ke bagian pemotongan tanpa dibekali pelatihan yang memadai. Dia (laki-laki) tidak bisa memenuhi kuota dan mendapat sepucuk surat peringatan (Wawancara 2.7.1) CLIST menghubungi Clean Clothes Campaign di Amsterdam pada November 2004. Kemudian CCC menghubungi Nike di tingkat internasional, dan ketika tidak ada tindakan efektif yang diambil, CCC pun melansir sebuah kampanye internasional yang menyerukan agar ketiga buruh tersebut diterima kembali bekerja, dengan alasan bahwa mereka telah dipecat secara tidak adil dikarenakan aktivitas-aktivitas serikat yang sah secara hukum32. CLIST juga menghubungi Nike dan meminta mereka campur tangan untuk membantu menyelesaikan masalah ini. 30 Lihat bagian 3.7. Dikarenakan kebijakan FLA tentang pengaduan oleh pihak ketiga, maka laporan ini tidak menyebutkan nama MSP Sportswear. Namun demikian, Nike menyebutkan keterlibatan FLA dalam kasus ini dalam tanggapan mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan dari Oxfam Australia. 32 Nike (2006) mengindikasikan bahwa mereka mengetahui kasus MSP ini dari sebuah kliping berita tanggal 24 November 2004. Nike menyatakan, “komunikasi pertama [kami] dengan CLIST yang tercatat adalah pada bulan Desember, yakni ketika staf pemenuhan kode etik kami di Thailand bertemu dengan Khun Somyot di Kementerian Perburuhan pada tanggal 14 Desember 2004”. Pruksakasumsek dari CLIST mengindikasikan bahwa dia berusaha menghubungi Nike pada tanggal 23 November 2004. Selain itu, korespondensi (CCC, 30 November 2004, tersedia di arsip) menunjukkan bahwa CCC pertama kali menghubungi Nike pada tanggal 30 November untuk menindaklanjuti surat-surat yang sebelumnya telah dikirim oleh CLIST mengenai isu ini. 31 21 Pruksakasumsek (2005) melaporkan bahwa manajemen MSP berupaya mendiskreditkan serikat ini dengan mengklaim bahwa mereka tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas buruh di pabrik. Dia menyebutkan bahwa pada bulan Desember 2004, manajemen pabrik mengorganisir sebuah aksi protes untuk menentang serikat ini dan memberi para buruh uang transport serta libur setengah hari dengan tetap dibayar agar mereka datang ke aksi itu. (Wawancara 2.7.1). Pruksakasumsek (2005) menegaskan bahwa, Nike mengetahui bahwa MSP menentang sebuah serikat yang baru terbentuk di pabrik itu. Nike (2005a) menyatakan: Ada bermacam-macam laporan dari berbagai sumber mengenai kemungkinan telah terjadinya pelecehan dan kesewenang-wenangan di MSP, tetapi para auditor tidak menemukan bukti yang menguatkan hal itu. Akan tetapi, penyelidikan memang menunjukkan kemungkinan telah terjadinya proses pemecatan yang tidak sah secara hukum. Sepanjang bulan November dan Desember 2004, dua sessi pendamaian diselenggarakan oleh Departemen Perlindungan Buruh dan Kesejahteraan di Kementerian Perburuhan Thailand yang dihadiri oleh wakil-wakil dari pihak manajemen, buruh yang dipecat dan wakil dari Nike. Menurut Pruksakasemsuk (2005), seorang penengah dari Komite Perlindungan Kesejahteraan dan Buruh mengungkapkan sebuah pandangan bahwa hak-hak buruh telah dilanggar, dan bahwa mereka hendaknya diterima kembali bekerja. Nike juga hadir pada pertemuan ini dan mengindikasikan bahwa mereka ingin mengikuti arahan penengah, namun pihak manajemen MSP menolak. FLA (2005, hal. 279) melaporkan: Pihak manajemen menolak untuk menerima para buruh kembali bekerja, dan menawarkan kepada mereka pembayaran pesangon dalam bentuk gaji sepuluh bulan. Ketiga buruh itu menolak menerima pesangon, dan menyatakan bahwa mereka akan terus berupaya agar diterima kembali bekerja. CLIST dan CCC menyerukan kepada Nike untuk membujuk MSP agar menghormati kode etik pengaturan Nike dan menerima kembali para buruh yang dipecat. Nike malah berpendapat bahwa pemerintah Thailand-lah yang merupakan badan yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini.33 Para pemimpin serikat kecewa dengan pendekatan Nike itu. Pada bulan Desember 2004 ketua serikat yang telah di-PHK, Nona Samai Kongthaley, mengatakan kepada CCC: 34 Kami sangat kecewa bahwa NIKE tidak menyelidiki dan tidak mengklarifikasi kasus ini, melainkan malah menyerahkannya untuk diselesaikan oleh proses hukum pengadilan perburuhan. Kami berupaya mendirikan sebuah serikat dengan sepenuhnya mengetahui bahwa kami akan menghadapi pemecatan, tapi pada waktu itu kami yakin bahwa kode etik pengaturan NIKE akan melindungi hak-hak hukum kami untuk kebebasan berserikat. Dengan tidak adanya tindakan dari Nike, serikat ini pun mengajukan pengaduan resmi kepada Komite Hubungan Perburuhan Thailand (TLRC). Selain itu, CLIST juga mengajukan pengaduan pihak ketiga kepada FLA (lihat Kotak 2.6) pada tanggal 4 Januari 2004. Nike menyerahkan tanggapan resminya kepada FLA pada tanggal 12 Januari 2005 (Nike 2005). Nike (2006) menegaskan bahwa penyelidikan-penyelidikan mereka di lapangan pada tanggal 8-9 Desember 2004 “mengindikasikan adanya ketegangan yang tinggi antara ketiga buruh yang telah dipecat itu dan banyak buruh lainnya ….[dan bahwa] campur tangan resmi oleh pemerintah, beserta kerja tim kami dan keterlibatan pihak-pihak yang terkait, akan potensial menghasilkan kemungkinan terbesar solusi-solusi jangka panjang yang dapat mencakup diterimanya para buruh itu kembali bekerja, tetapi juga potensi bagi para buruh untuk memiliki perwakilan yang sebenarnya yang diputuskan secara bebas.” Seperti telah disebutkan di atas, Pruksakasumsek (2005) yakin bahwa ketegangan ini direkayasa oleh pihak manajemen pabrik MSP. 33 Lihat, misalnya, surat Nike tertanggal 19 Januari 2005 di website Oxfam Australia <www.oxfam.org.au/campaigns/nike/reports/letters.html>. Dikutip di website CCC: <www.cleanclothes.org/companies/nike04-12-17.htm>. 34 22 Pada bulan Maret 2005 TLRC memutuskan bahwa dua anggota eksekutif serikat tersebut hendaknya diterima kembali bekerja, namun tidak memerintahkan pembayaran tunggakan upah. Buruh ketiga menerima paket ganti rugi dikarenakan kesulitan keuangan yang dialaminya. Nike menyelenggarakan sebuah pertemuan dengan CLIST, dimana mereka membahas tentang penegakan ketetapan TLRC agar buruh diterima kembali bekerja dan tawaran yang lebih baik bagi para buruh. Dengan difasilitasi FLA, manajemen pabrik setuju untuk menerima ketiga buruh itu kembali bekerja dan mendapat pembayaran tunggakan upah. Buruh ketiga menerima penyelesaian dalam bentuk pesangon dan tidak kembali ke pabrik. Setelah perselisihan ini, sebuah kesepakatan yang mensyaratkan adanya “pelatihan dan pendidikan bagi wakil-wakil serikat buruh, komite kesejahteraan, para buruh dan manajemen pabrik sebelum diterimanya para buruh yang dipecat itu kembali bekerja” dinegosiasikan di antara semua pihak (Nike 2005a). Juga ada kesepakatan untuk merumuskan prosedur-prosedur pengaduan keluhan dan sanksi disiplin untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan di MSP di masa mendatang. FLA akan mengembangkan hal ini lebih jauh menjadi sebuah kode etik yang juga akan memulai prosedur-prosedur untuk menunjuk satu penengah netral dalam perselisihan-perselisihan di masa mendatang. Sebuah komisi Ombudsman telah ditunjuk untuk periode 12 bulan. Pada bulan Juli, komisi Ombudsman, FLA dan Nike mengunjungi pabrik MSP dan menjelaskan kepada semua buruh tentang alasan yang mendasari—dan langkah-langkah yang telah ditempuh—hingga dua buruh yang dipecat itu diterima kembali bekerja (Nike 2005a). Sementara Nike dan FLA berusaha memfasilitasi komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat, Clean Clothes Campaign melaporkan bahwa Decathlon hanya melakukan langkah awal namun tidak menindaklanjutinya, hanya menyelidiki masalah ini, namun tidak pernah merilis hasil-hasil penyelidikannya.35 Penilaian Oxfam International Setelah adanya desakan cukup kuat dari serikat MSP, CLIST dan organisasi-organisasi kampanye internasional, maka Nike, dengan bantuan FLA, memainkan peran positif yang membuahkan hasil bahwa dua dari para pengurus serikat yang dipecat, yang ingin diterima kembali bekerja, akhirnya diterima kembali dan mendapat pembayaran tunggakan upah. Kalau saja Nike langsung mengambil tindakan tegas begitu mengetahui bahwa kode pengaturannya telah dilanggar, mungkin hasil ini bisa dicapai lebih cepat. Hasil yang lebih dini akan menyebabkan berkurangnya kesukaran bagi serikat di MSP dan lebih sedikit kesulitan bagi pengurus serikat yang dipecat. Nike mempertahankan pendapatnya bahwa pendekatan yang mereka tempuh dalam kasus ini — meski mungkin memakan waktu lebih lama — lebih berkelanjutan dalam jangka panjang dan juga membantu membangun kapasitas lokal, terutama kapasitas TLRC. Realitas sekarang ini di Thailand dan banyak negeri lainnya ialah bahwa, sungguh mahal dan sulit bagi buruh untuk menggunakan langkah-langkah hukum agar hak-hak ini dihormati. Bahkan dalam kasus-kasus seperti ini sekalipun, dimana sistem Arbitrasi Perburuhan Thailand menunjukkan hasil yang menguntungkan buruh, majikan mereka tetap bisa mengajukan banding kasus ini melalui sistem pengadilan, sehingga akan menghabiskan sumberdaya keuangan buruh untuk menghadapinya. Adalah peran pemerintah-pemerintah nasional untuk menetapkan dan melaksanakan hukum-hukum untuk melindungi hak-hak buruh, termasuk hak-hak serikat buruh mereka. Dalam jangka panjang, jika Nike dan perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga lainnya bersungguh-sungguh untuk menjamin penghormatan atas hak-hak serikat buruh di rantai pasokannya, maka selain menerapkan kode etik pengaturannya, mereka juga perlu: • • 35 mengkomunikasikan komitmen ini secara reguler dan secara publik, sehingga pemerintah-pemerintah tidak akan ragu lagi mengenai kesediaan pemilik merk untuk mendukung hak-hak serikat buruh; dan bekerja sama dengan para pemerintah dan serikat buruh melalui ILO guna meningkatkan kapasitas dan kemauan pemerintah untuk memastikan bahwa peraturan perundangan nasional itu ada dan berlaku. Dilaporkan di website CCC: <www.cleanclothes.org/companies/nike05-03-23.htm>. 23 Oxfam International mencatat dengan kecewa bahwa Decathlon tidak merilis hasil-hasil audit internalnya sendiri mengenai MSP ataupun mengambil tindakan untuk mendukung para organiser serikat buruh yang dipecat. 24 3. Industri perlengkapan olahraga secara keseluruhan Pada tahun 2004, Play Fair Alliance mengusulkan agar perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga dan industri perlengkapan olahraga secara keseluruhan menempuh beberapa langkah untuk meningkatkan penghormatan atas hak-hak buruh pada umumnya dan hak-hak serikat buruh mereka pada khususnya.36 Bagian ini menilai perkembangan yang telah dicapai dalam membujuk industri secara keseluruhan untuk bekerja bersama-sama guna menyikapi hak-hak buruh. Selain itu, bagian ini secara kolektif menilai kinerja perusahaan-perusahaan pemilik merk berdasarkan beberapa indikator kunci. Bagian 3.7 membahas sebuah inisiatif multi-pihak, yakni Fair Labour Association, yang mempengaruhi kinerja hak-hak buruh pada beberapa perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga (adidas, ASICS, Nike, Reebok, Puma), namun tidak pada yang lainnya. 3.1 Sebuah solusi yang berskala industri secara luas Rekomendasi pokok dari Program Kerja yang diusulkan Play Fair Alliance ialah bahwa industri perlengkapan olahraga sebagai suatu keseluruhan hendaknya bekerja bersama serikat-serikat buruh dan organisasi-organisasi pejuang hak buruh untuk meningkatkan penghormatan atas hak-hak buruh. Secara khusus, aliansi ini mengusulkan agar sebuah kesepakatan resmi dinegosiasikan antara Federasi Internasional Buruh Tekstil, Garmen dan Kulit (ITGLWF) dan Federasi Industri-industri Barang Olahraga se-Dunia (WFSGI) serta para anggotanya dengan tujuan untuk: membangun sebuah hubungan mutual yang bisa memfasilitasi kebebasan berserikat dan proses tawar kolektif sebagai mekanisme pilihan untuk melaksanakan hak-hak pekerjaan yang 37 mendasar dan menyelesaikan perselisihan perburuhan di pabrik-pabrik pemasok di sektor ini. Meski pemilik-pemilik merk perlengkapan olahraga terlibat dalam sejumlah proyek kerja sama yang berkaitan dengan standar-standar perburuhan pabrik,38 namun ada keengganan yang mengecewakan untuk berpartisipasi secara kolektif dalam negosiasi-negosiasi dengan ITGLWF mengenai kesepakatan berskala industri secara keseluruhan yang diusulkan. Sebagai bagian dari penelitian untuk laporan ini, Oxfam Australia menanyai pemilik-pemilik merk perlengkapan olahraga apakah mereka bersedia untuk terlibat, dan apakah mereka mulai menempuh langkah-langkah untuk mempromosikan proposal tersebut di dalam industri ini. Dari para pemilik merk yang memberikan tanggapan, sangat sedikit yang mengungkapkan sikap positif terhadap kesepakatan yang diusulkan. Dalam sepucuk surat tertanggal 20 Januari 2006, Lesley Roberts dari Pentland menyarankan agar ITGLWF bernegosiasi dengan pemilik pabrik (pemasok), bukan dengan pemilik merk, karena pemasoklah yang sebenarnya mempekerjakan buruh. Meski partisipasi pemasok dalam kesepakatan-kesepakatan dengan serikat buruh memang akan disambut hangat, ini bukan berarti menghilangkan kebutuhan agar pemilik merk juga ambil bagian, karena mereka dapat memainkan peran yang kuat dalam membujuk para pemasoknya untuk bekerja sama dengan serikat guna memastikan agar hak-hak buruh dihormati. Puma (2005b) dan ASICS (2005) adalah yang paling terbuka untuk berpartisipasi dalam sebuah kesepakatan kerangka kerja, hal mana mengindikasikan bahwa mereka akan mendukung proposal tersebut jika ia disepakati secara kolektif oleh industri ini.39 Umbro sebelumnya telah mengambil sikap yang serupa. Oxfam International mendorong para pemilik perlengkapan olahraga lainnya untuk mendukung usulan ini. Sejauh yang berkaitan dengan WFSGI, organisasi-organisasi yang terlibat dalam Play Fair Alliance, terutama ITGLWF, ICFTU, Oxfam dan Clean Clothes Campaign (CCC), pertamatama berupaya melibatkan diri dalam dialog dengan WFSGI pada tahun 2004. Sebuah 36 Naskah lengkap dari Program Kerja yang diusulkan ini tersedia di website Clean Clothes Campaign <www.cleanclothes.org/campaign/olympics2004-07-08.htm>. 37 Ibid. 38 Lihat bagian yang berjudul Apakah upah, jam kerja dan hak-hak buruh lainnya itu penting? di pendahuluan laporan ini. 39 Nike mengungkapkan minatnya asalkan para pemilik pabrik berkomitmen kepada kesepakatan tersebut. Ini sangat tidak realistis, mengingat ada ratusan pabrik yang memproduksi perlengkapan olahraga, sehingga sangat kecil kemungkinannya mereka semua akan sepakat (lihat Bagian 4.4). 25 laporan yang dirilis oleh Play Fair Alliance pada April 2005 (Miller 2005, hal. 15) mengungkapkan kekecewaannya bahwa dialog ini tidak berkembang cukup jauh: Tidak adanya tanggapan konkret di pihak WFSGI mengungkap bahwa badan otoritatif dunia untuk industri olahraga ini pada kenyataannya tidak memiliki otoritas sama sekali, sehingga anggota-anggota utamanya menghindar dari tanggung jawab mereka untuk sektor ini sebagai suatu keseluruhan, dengan lebih memilih untuk bersembunyi di balik program CSR mereka masing-masing... Namun demikian, perihal tanggapan yang berskala industri secara luas cukup mencolok. Pada bulan Juli 2005, ada sebuah pertemuan lebih lanjut antara WFSGI dan organisasiorganisasi yang terlibat dalam Play Fair Alliance. Pada tanggal 21 Juli 2005, CCC, Global Unions dan Oxfam menulis surat kepada WFSGI yang isinya kembali mengungkapkan kekecewaan tentang kurangnya kemajuan, namun dengan juga menyebutkan bahwa beberapa inisiatif yang didiskusikan dalam pertemuan itu berpotensi untuk menjadi konstruktif. Organisasi-organisasi ini menulis bahwa, mereka memahami bahwa komite CSR WFSGI telah berkomitmen untuk secara reguler "meninjau pelanggaran-pelanggaran yang menonjol terhadap standar perburuhan di rantai pasokan perusahaan-perusahaan anggota WFSGI berdasarkan informasi yang disediakan oleh Play Fair Alliance, termasuk analisis tentang penyebab-penyebabnya dan saran-saran untuk tindakan, khususnya bila hal ini berkaitan dengan kapasitas dan isu-isu yang sifatnya sistemik ". Sampai bulan November 2005, WFSGI belum menanggapi surat ini. Kemauan WFSGI untuk melibatkan diri bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil disambut baik, namun sangat lambatnya perkembangan dari dialog ini memunculkan pertanyaan tentang kapasitas WFSGI sebagai sebuah badan industri untuk memfasilitasi dialog yang konstruktif antara perusahaan-perusahaan anggotanya dan kelompok-kelompok masyarakat sipil. 3.2 Transparansi: membuka rantai pasokan kepada pengamat independen Selama bertahun-tahun organisasi-organisasi masyarakat sipil global telah menyerukan agar Perusahaan-perusahaan Transnasional (TNC) mempublikasikan nama dan alamat tempat kerja dimana barang-barang mereka diproduksi. Transparansi semacam ini memudahkan organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk menyelidiki dan melaporkan tentang kondisikondisi kerja di rantai pasokan perusahaan, termasuk penghormatan mereka atas hak-hak serikat buruh. Hal itu juga bisa memudahkan para buruh yang mengerjakan produksi untuk perusahaan yang sama di pabrik-pabrik berbeda untuk saling berkomunikasi dan mendiskusikan keprihatinan-keprihatinan yang sama. Beberapa tahun yang lalu, para mahasiswa pengkampanye di AS berhasil membujuk banyak universitas AS untuk mendesak perusahaan-perusahaan olahraga agar merilis alamat pabrik-pabrik yang memproduksi pakaian yang mendapat lisensi untuk memakai logo universitas-universitas tersebut. Sebagai hasilnya, perusahaan-perusahaan olahraga yang memproduksi untuk pasar ini, termasuk Nike, Reebok dan adidas, diharuskan untuk merilis sebagian dari alamat pemasok-pemasok mereka. Reebok kemudian melangkah lebih jauh dan mempublikasikan alamat pemasokpemasok sepatu olahraganya, namun tidak untuk pemasok perlengkapan pakaian Reebok. Pada bulan Mei 2005, Nike membuka alamat sebagian besar pemasok barang-barang yang bermerk Nike,40 walaupun mereka masih belum mengungkap pemasok merk-merk lain yang juga dimiliki Nike dan anak-anak perusahaannya. Kemudian, masih di tahun 2005, Puma dan Reebok mengikuti langkah Nike dan merilis alamat semua pemasok produk yang bermerk Puma dan Reebok. Oxfam International menyambut baik perkembangan-perkembangan ini dan mendorong pemilik-pemilik merk lainnya untuk juga merilis daftar pemasok mereka selengkapnya. Namun demikian, transparansi tidaklah selesai hanya dengan dirilisnya alamat para pemasok. Jika perusahaan-perusahaan juga mempublikasikan informasi tentang langkahlangkah yang sedang ditempuh untuk memastikan dipenuhinya standar-standar perburuhan, maka ini akan memudahkan untuk menilai kemungkinan efektivitas langkah-langkah itu. Jika perusahaan-perusahaan merilis hasil-hasil penyelidikan mengenai apakah hak-hak buruh, khususnya hak-hak serikat buruh, dihormati di pabrik-pabrik tertentu, maka akan memungkinkan untuk menelusuri apakah penyelidikan-penyelidikan itu telah ditindaklanjuti 40 Nike mengindikasikan bahwa dikarenakan pengaturan kontraktual yang berlaku sekarang ini, mereka belum bisa merilis selengkapnya daftar semua pemasok produk bermerk Nike. 26 dengan semestinya. Jika perusahaan-perusahaan menyediakan nama pabrik-pabrik yang diteliti kepada organisasi-organisasi yang dapat dipercaya,41 dan juga merilis prosentase produksi yang ditempatkan di masing-masing pemasok per tahun, maka akan memungkinkan untuk menelusuri apakah perusahaan sedang memindahkan produksinya menjauh dari pabrik-pabrik dimana buruh sedang berusaha untuk berorganisasi dalam serikat buruh. Tabel 3.2 membandingkan upaya-upaya transparansi dari 12 perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga yang dibahas dalam laporann ini. Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel itu, masih cukup banyak yang dirahasiakan dalam industri ini mengenai banyak hal yang berkaitan dengan hak-hak buruh. 41 Informasi ini potensial bisa jadi sensitif jika dirilis kepada publik, karena laporan-laporan negatif tentang sebuah pabrik dapat merusak kemampuan pabrik itu untuk menarik pembeli-pembeli lain dan membahayakan penghidupan para buruh yang melaporkan masalah-masalah perburuhan. 27 Tabel 3.2 Transparansi dalam industri perlengkapan olahraga Puma Apakah kode etik mencakup hak-hak serikat buruh dan dipublikasikan? Ya Nike Ya Reebok Ya adidas Ya ASICS Ya Apakah hasil-hasil penyelidikan tentang penghormatan atas hak-hak serikat buruh dipublikasikan? Apakah alamat para pemasok dipublikasikan? Apakah prosentase produksi per pemasok per tahun dipublikasikan? Apakah harga pembelian dan informasi keuangan 42 lainnya dibagi kepada wakilwakil buruh? Puma merilis informasi rangkuman mengenai audit-auditnya tentang perburuhan di pabrik. Penyelidikan-penyelidikan yang merupakan bagian dari program Pemantauan Eksternal 43 Independen (IEM) dari Fair Labor Association (FLA) dilaporkan kepada publik, namun nama-nama pabrik tidak disebutkan (bagian 3.7). Nike merilis informasi rangkuman mengenai audit-auditnya tentang perburuhan di pabrik. Penyelidikan-penyelidikan yang merupakan bagian dari program IEM (FLA) dilaporkan kepada publik, namun nama-nama pabrik tidak disebutkan. Ya untuk pemasok barangbarang yang bermerk Puma, namun tidak untuk pemasok barang-barang bermerk lainnya yang dimiliki Puma (Tretorn). Tidak dipublikasikan Tidak dibagi Ya untuk pemasok barangbarang yang bermerk Nike, namun tidak untuk pemasok barang-barang bermerk lainnya yang dimiliki Nike. Ya untuk semua barang yang bermerk Reebok, namun tidak untuk pemasok barang-barang bermerk lainnya yang dimiliki Reebok. Hanya para pemasok yang memproduksi barang-barang bermerk adidas untuk universitas-universitas di AS. Yang lain-lainnya tidak dipublikasikan. Sekarang ini tidak 45 dipublikasikan . Tidak dipublikasikan Tidak dibagi Tidak dipublikasikan Tidak dibagi Tidak dipublikasikan Tidak dibagi Tidak dipublikasikan Tidak dibagi Reebok belum merilis hasil-hasil auditnya tentang perburuhan di pabrik, namun beberapa informasi direncanakan untuk dirilis pada tahun 2006. Penyelidikan-penyelidikan yang merupakan bagian dari program IEM (FLA) dilaporkan kepada publik, namun nama-nama pabrik tidak disebutkan. adidas tidak secara reguler merilis hasil-hasil dari semua 44 Penyelidikanauditnya tentang perburuhan di pabrik. penyelidikan yang merupakan bagian dari program IEM (FLA) dilaporkan kepada publik, namun nama-nama pabrik tidak disebutkan. ASICS tidak secara reguler merilis hasil-hasil dari auditnya tentang perburuhan di pabrik. Penyelidikan-penyelidikan yang merupakan bagian dari program IEM (FLA) akan dilaporkan kepada publik, namun nama-nama pabrik tidak akan disebutkan. 42 “Informasi keuangan lainnya” di sini mengacu pada apakah pemilik merk perlengkapan olahraga mengharuskan para pemasoknya untuk mengungkap catatan-catatan keuangan perusahaan kepada wakil-wakil buruh (bagian 3.3). 43 Dalam program IEM (FLA), setiap tahun mereka menseleksi organisasi-organisasi untuk menyelidiki kondisi-kondisi perburuhan di sekitar 5% pemasok dari perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi (lihat bagian 3.7). 44 Adidas menerbitkan informasi di website-nya mengenai kasus-kasus spesifik yang telah menjadi masalah yang disorot publik dan menanggapi secara kasus per kasus terhadap permintaanpermintaan tentang informasi mengenai pabrik-pabrik tertentu. Meski membagi informasi tertentu berdasarkan permintaan itu memiliki nilai tersendiri, namun penerbitan informasi bagi publik secara reguler mengenai semua penyelidikan pabrik oleh adidas secara signifikan akan lebih berguna dalam membuka proses-proses investigatif adidas kepada pengamatan publik dan membangun kepercayaan publik bahwa perusahaan ini menyikapi hak-hak buruh secara sungguh-sungguh di semua pabrik pemasoknya, bukan hanya di pabrik-pabrik yang menjadi sorotan media ataupun pihak-pihak terkait lainnya. 45 ASICS (2005) telah mengindikasikan bahwa mereka berniat untuk mempublikasikan alamat para pemasoknya di masa mendatang. 28 Mizuno Ya Tidak dipublikasikan New Balance Ya Tidak dipublikasikan Umbro Ya Tidak dipublikasikan Hanya membagi alamat pemasok-pemasok yang setuju (sejauh ini ada 21 pemasok). Hanya membagi alamat lima pemasok utama perlengkapan olahraganya. Tidak dipublikasikan. Speedo Ya Tidak dipublikasikan Tidak dipublikasikan. Lotto Ya Tidak dipublikasikan Tidak dipublikasikan. Kappa Ya Tidak dipublikasikan Tidak dipublikasikan. FILA Ya Tidak dipublikasikan Tidak dipublikasikan. Tidak dipublikasikan Tidak dibagi Tidak dipublikasikan Tidak dibagi Tidak dipublikasikan Tidak dipublikasikan Tidak dipublikasikan Tidak dipublikasikan Tidak dipublikasikan Tidak dibagi Tidak dibagi Tidak dibagi Tidak dibagi Tidak dibagi 29 3.3 Siapa yang membayar? Praktek pembelian dan hak-hak serikat buruh Penelitian baru-baru ini oleh Oxfam, CCC dan Global Unions (2004b) menyimpulkan bahwa: Model bisnis perlengkapan olahraga...tumbuh subur di atas tekanan berat yang dirasakan oleh staf pembelian dan penjualan di perusahaan-perusahaan besar untuk memenuhi tenggat pengiriman barang yang sangat mendesak dan anggaran yang ketat... Penelitian ini menunjukkan bahwa agar bisa mempertahankan waktu pengiriman yang singkat dan harga yang rendah, dan untuk mempertahankan fleksibilitas dalam memenuhi permintaan dan pasokan, maka staf pembelian di perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga: • • • • makin sering menempatkan order yang lebih kecil; mendesak untuk waktu pengiriman yang lebih singkat; menurunkan harga per satuan yang dibayarkan untuk barang-barang; dan mengancam untuk memindahkan pemesanannya ke pemasok lain Di bawah tekanan-tekanan seperti ini, para pemilik pabrik: umumnya tidak menghormati standar-standar perburuhan di tempat kerja mereka. Mereka memaksa para buruhnya untuk bekerja lebih keras, membayar mereka lebih rendah, melimpahkan tanggung jawab kepada mereka, dan mencegah mereka untuk menuntut upah serta kondisi yang lebih baik (Oxfam dan lain-lain 2004b). Praktek-praktek pembelian semacam ini membuat para pemasok khususnya enggan untuk memperbolehkan buruh membentuk serikat buruh. Di pabrik-pabrik dimana hak untuk kebebasan berserikat sepenuhnya dihormati, buruh-buruh yang telah mengorganisir diri mereka dalam serikat buruh memiliki hak untuk melakukan aksi industrial. Dengan adanya tekanan yang dialami pemilik pabrik untuk memenuhi tenggat yang ketat, maka mereka takut bila harus menghadapi sebuah angkatan kerja yang memiliki kekuatan untuk secara kolektif menolak bekerja ketika ada order mendesak yang perlu segera dipenuhi. Perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga yang bersungguh-sungguh untuk menghormati hak-hak serikat buruh perlu menyesuaikan praktek-praktek pembeliannya dengan mempertimbangkan bahwa sebuah pabrik, dimana hakhak serikat buruh sepenuhnya dihormati, tidak akan selalu bisa memenuhi tenggat-tenggat ketat yang tak wajar yang lazim dituntut dalam industri ini. Program Kerja46 menyerukan kepada perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga untuk menyikapi: dampak-dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh praktek-praktek pembelian mereka terhadap pemenuhan kode etik dengan mengembangkan hubungan-hubungan yang lebih stabil dengan para pemasok, menetapkan waktu pemenuhan pesanan yang memadai agar produksi bisa dilaksanakan dengan menerapkan jam kerja yang manusiawi dan dengan sepenuhnya merefleksikan biaya pemenuhan standar perburuhan pada harga yang mereka tawarkan kepada pemasoknya, atau dalam tawaran yang mereka terima dari para pemasok, dan memastikan agar para buruh yang bersangkutan benar-benar mendapat keuntungan. Beberapa pemilik merk perlengkapan olahraga, termasuk Nike, adidas dan Puma, telah mengakui bahwa praktek-praktek pembelian mereka turut berperan menyebabkan terjadinya jamjam kerja yang berlebihan, dan mereka menyatakan akan mengambil langkah-langkah untuk menyikapi hal ini (MSN 2005, hal. 8; Oxfam dan lain-lain 2004a, hal. 60). Puma juga menyatakan akan mempertimbangkan biaya pemenuhan standar perburuhan bila mereka menegosiasikan harga dengan para pemasoknya (lihat Bagian 4.2). Namun demikian, menanggapi pertanyaanpertanyaan Oxfam Australia untuk laporan ini, tidak ada perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga, kecuali mungkin adidas (bagian 4.3), yang bersedia memberikan informasi yang rinci dan spesifik tentang metodologi yang mereka gunakan untuk memastikan agar harga yang 46 Naskah lengkap dari Program Kerja yang diusulkan ini tersedia di website Clean Clothes Campaign: <www.cleanclothes.org/campaign/olympics2004-07-08.htm>. 30 mereka bayarkan memadai untuk memungkinkan pemasok menghormati hak-hak buruh sepenuhnya. Walaupun analisis masyarakat sipil tentang bagaimana praktek-praktek pembelian oleh perusahaan merongrong penghormatan atas hak-hak buruh itu telah dirumuskan dengan relatif baik, namun hal-hal praktis mengenai bagaimana perusahaan dapat melakukan hal yang benar di bidang ini kini masih dalam pembahasan. Program Kerja menyerukan kepada ILO untuk melakukan kajian rinci tentang isu ini. Dukungan industri perlengkapan olahraga bagi kajian seperti itu akan membantu membujuk ILO untuk melakukan penelitian ini. Ada dua langkah yang dapat ditempuh para pemilik merk perlengkapan olahraga, yang akan segera bisa mendatangkan kemanfaatan. Pertama, mereka bisa mengembangkan hubungan jangka panjang dengan para pemasoknya, dengan komitmen secara tertulis untuk mempertahankan order-order yang kini berlangsung. Beberapa pemilik merk perlengkapan olahraga, khususnya adidas dan Puma, melaporkan kepada Oxfam Australia bahwa mereka sedang beranjak untuk mengembangkan hubungan yang lebih stabil dengan pemasok-pemasok utama, namun tak satupun perusahaan yang memberikan bukti bahwa mereka mulai membuat komitmen tertulis untuk mempertahankan produksi pada pemasok-pemasok ini untuk jangka waktu yang lebih panjang. Kedua, para pemilik merk perlengkapan olahraga dapat menyediakan informasi bagi wakil-wakil buruh mengenai harga per satuan yang mereka bayarkan untuk barang-barang, dan dapat mengharuskan pemilik pabrik untuk menyediakan informasi keuangan yang lengkap sebagai bagian dari sebuah komitmen untuk bernegosiasi dengan niat baik. Sekurang-kurangnya, pemasok perlu mengungkap informasi tentang pendapatan tahunan. Berkenaan dengan pabrik Jaqalanka yang telah diuraikan di Bagian 2.1, Anton Marcus dari FTZWU melaporkan bahwa sulit bagi buruh untuk menegosiasikan suatu kesepakatan langkah tawar kolektif yang mencakup kenaikan upah, karena serikat tidak memiliki informasi yang memadai tentang harga yang dibayarkan oleh Nike. Serikat menduga bahwa harga yang dibayarkan oleh Nike tidak memadai untuk menopang suatu kenaikan upah (Wawancara 2.1.1). Sekarang ini tak satupun pemilik merk perlengkapan olahraga yang mau menyediakan informasi tentang harga pembelian kepada wakilwakil buruh, ataupun mengharuskan pemasok untuk mengungkap catatan keuangan perusahaan kepada wakil-wakil buruh. 3.4 Tidak konsisten: melakukan sourcing di wilayah dimana hak-hak serikat buruh tidak memiliki kekuatan hukum Ada masalah-masalah yang berkenaan dengan regulasi dan penegakan hak-hak serikat buruh di hampir semua negeri di Asia. Bahkan di negeri-negeri dimana peraturan perundangan memberikan kekuatan hukum penuh kepada hak-hak ini sekalipun, masih ada berbagai masalah mengenai penegakannya. Korupsi di peradilan perburuhan lazim terjadi, dan bahkan di negerinegeri Asia dimana pengadilan memiliki reputasi menghasilkan keputusan-keputusan secara obyektif sekalipun, waktu dan biaya yang terlibat dalam mengajukan sebuah kasus untuk diproses melalui sistem peradilan cenderung tidak memungkinkan bagi para buruh yang hanya memiliki sarana keuangan yang sangat terbatas. Berakhirnya Multi-Fibre Arrangement47 pada bulan Desember 2004, yang mengakhiri sistem kuota yang sebelumnya telah mengatur sebagian besar perdagangan internasional di bidang garmen, juga telah memberikan tekanan kepada banyak pemerintah untuk mengurangi dan membatasi perlindungan buruh demi mempertahankan produksi garmen di negeri mereka. Ada bukti bahwa penghapusan sistem kuota telah membawa pada makin longgarnya pemberlakuan perundangan tentang hak-hak serikat buruh dan perundangan perburuhan lainnya. Bagaimanapun, bisa dilakukan pembedaan kualitatif antara negara-negara yang memberikan kekuatan hukum bagi hak untuk kebebasan berserikat serta langkah tawar kolektif dan negaranegara yang tidak memberikannya. Di sepanjang laporan ini, referensi tentang negara yang memberikan "pemberlakuan hukum" atau "kekuatan hukum" bagi hak-hak serikat buruh berarti 47 Berakhirnya MFA dimungkinkan dengan adanya Kesepakatan tentang Tekstil dan Pakaian (Agreement on Textiles and Clothing/ATC). 31 negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi-konvensi ILO nomor 87, 98 dan 135 dan yang telah mengesahkan Undang Undang yang secara hukum melindungi hak-hak yang didefinisikan dalam konvensi-konvensi itu. Di negara-negara ini, serikat-serikat buruh yang independen dan demokratis bisa dibentuk secara legal, meskipun pemberlakuan yang longgar akan Undang Undang ini dapat menyulitkan serikat-serikat untuk bergerak secara efektif. Ada pembatasan yang secara signifikan lebih kuat terhadap hak-hak serikat buruh di negeri-negeri (atau, dalam beberapa kasus, di Zona-zona Perdagangan Bebas) dimana buruh tidak memiliki hak legal untuk membentuk organisasi mereka sendiri dan melakukan langkah tawar kolektif terhadap majikan mereka. Kiranya dapat diperdebatkan, perusahaan-perusahaan yang sungguh-sungguh berkomitmen untuk menghormati hak-hak serikat buruh hendaknya melakukan sourcing produk-produknya di negara-negara yang, sekurangnya, memberikan kekuatan hukum bagi hak-hak itu. Sayangnya, tampaknya yang terjadi justru sebaliknya. Setiap tahun Nike merilis data tentang proporsi sepatu olahraganya yang dibuat di masing-masing negeri sumber. Informasi ini dapat digunakan untuk menelusuri proporsi sepatu olahraga Nike yang dibuat di negara-negara yang memberikan kekuatan hukum bagi hak buruh untuk kebebasan berserikat (Gambar 3.4). Gambar 3.4. Prosentase produksi sepatu olahraga Nike di negara-negara yang memberikan kekuatan hukum bagi hak buruh untuk kebebasan berserikat48 Tahun % produksi 1998 1999 2001 2002 2003 2004 2005 52% 48% 47% 47% 44% 42% 38% Pada tahun 1998, Nike berkomitmen untuk memastikan bahwa hak-hak buruh untuk kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif dihormati di dalam rantai pasokan perusahaan ini.49 Seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.4, proporsi produksi sepatu Nike di negara-negara yang memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak itu telah merosot dari 52% menjadi 38% antara tahun 1998 dan 2005. Pada tahun 1998 itu juga Indonesia meratifikasi Konvensi ILO nomor 87 mengenai hak buruh untuk kebebasan berserikat dan untuk berorganisasi. Sejak saat itu, proporsi produksi sepatu olahraga Nike di negeri ini merosot dari 34% menjadi 22%. Poinnya di sini bukanlah untuk hanya menyoroti Nike semata. Nike patut dihargai karena telah mempublikasikan informasi ini. Puma juga mengakui bahwa mayoritas produksi sepatu olahraganya berlangsung di negeri-negeri seperti itu. New Balance mengakui bahwa bagian Asia dari rantai pasokannya "sangat terkonsentrasi" di negara-negara yang tidak memberikan pemberlakuan legal kepada hak-hak ini. Adidas adalah yang paling transparan mengenai persoalan ini, dan melakukan sourcing sedikit di atas separuh dari produk globalnya (bukan hanya sepatu olahraga) di negara-negara Asia yang tidak memberikan kekuatan hukum bagi hak untuk kebebasan berserikat. Semua pemilik merk perlengkapan olahraga besar kini melakukan sourcing sebagian besar dari produksinya di negeri-negeri dan zona-zona perdagangan bebas dimana secara hukum sangat sulit bagi buruh untuk mengorganisir diri mereka dalam serikat buruh. Jika para pemilik merk perlengkapan olahraga bersungguh-sungguh untuk menghormati hak-hak ini, maka hendaknya mereka mengambil sebuah kebijakan yang hanya mempertahankan hubungan pembelian yang sekarang ini saja di negeri-negeri seperti itu, dan hendaknya melakukan sourcing produksi baru di negara-negara yang memberikan pemberlakuan legal bagi hak-hak ini. Mereka hendaknya menjelaskan kebijakan ini kepada semua pemerintah yang terlibat. 48 Data ini disertakan dalam penyerahan dokumen "10-K" tahunan Nike kepada US Securities and Exchange Commission. Lihat misalnya <www.nike.com/nikebiz/investors/annual_report/ar_05/docs/2005_10k.pdf>. Kami tidak bisa mendapatkan data untuk tahun 2000, sehingga data untuk tahun ini dirata-rata dari data tahun 2001 dan 1999. 49 Nike melakukan ini dengan masuk ke dalam Fair Labor Association yang baru terbentuk. Sebelum tahun 1998, kode etik pengaturan Nike hanya mengikat perusahaan ini untuk "mencari" mitra-mitra yang berkomitmen bagi "praktek terbaik dan peningkatan yang terus-menerus" berkenaan dengan hak-hak berasosiasi secara bebas dan langkah tawar kolektif. 32 Tabel 3.4: Negara-negara Asia yang telah meratifikasi Konvensi-konvensi ILO nomor 87, 98 dan 135 Negara Bangladesh Bhutan Kamboja Cina Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Selatan) India Indonesia Jepang Laos Malaysia Maldives Myanmar (Burma) Nepal Pakistan Filipina Republik Korea (Korea Utara) Singapura Srilanka Thailand Timor-Leste Vietnam Kunci: 9 = diratifikasi Konvensi #87 9 Konvensi #98 9 x x 9 9 x x x x x x 9 9 9 9 x x x x Konvensi #135 x x x x 9 9 9 9 9 9 x x x x x x x x x x x x x x 9 9 9 9 x x x x x x x x x 9 x 9 x x x x = tidak diratifikasi Catatan: Konvensi 87: Konvensi tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan terhadap Hak untuk Berorganisasi, 1948 Konvensi 98: Konvensi tentang Hak untuk Berorganisasi dan Langkah Tawar Kolektif, 1949 Konvensi 135: Konvensi tentang Wakil-wakil Buruh, 1971 ILO telah mengidentifikasi Konvensi nomor 87 dan 98 sebagai standar-standar perburuhan inti dan “fundamental bagi hak-hak manusia yang bekerja”. Ini berarti bahwa semua negara anggota ILO wajib menghormati, mempromosikan dan mewujudkan standar-standar perburuhan inti ini, meskipun mereka belum meratifikasi konvensi-konvensi spesifik yang memuat standar-standar inti ini. Untuk produksi yang tetap berlangsung di negara-negara yang tidak memberikan kekuatan hukum bagi hak untuk kebebasan berserikat, beberapa kelompok masyarakat sipil dan organisasi multi-pihak telah menyerukan kepada TNC untuk memastikan agar buruh memiliki ruang untuk ‘wadah yang sejajar’ untuk berorganisasi. Konsep ini kontroversial. CCC (2005a, hal. 46) menulis: Tema pokok dalam semua naskah ini ialah tuntutan agar perusahaan membentuk wadah yang sejajar untuk berserikat secara independen dan bebas serta melakukan langkah tawar bagi semua buruh. Ini berarti mendorong lahirnya bentuk-bentuk perwakilan buruh hanya di negara-negara atau wilayah-wilayah dimana serikat independen dilarang. Contoh dari struktur-struktur ini meliputi pembentukan dewan-dewan pekerja, komite kesejahteraan, komite penyelesaian pengaduan dan komite upah berdasarkan kebutuhan pokok. Akan tetapi, seperti telah dibahas di atas, pendekatanpendekatan wadah sejajar dikritik keras oleh beberapa kalangan, khususnya ketika konsep ini 33 disalahgunakan untuk merongrong posisi serikat buruh atau disalahtafsirkan untuk mengesahkan pemilihan ‘wakil-wakil buruh’ yang didominasi oleh majikan... Penting kiranya bahwa perusahaan jangan menggunakan kontroversi ini sebagai alasan untuk menghindar dari upaya mendukung hak buruh untuk kebebasan berserikat di negara-negara dimana hak ini dibatasi oleh hukum. Nanti dalam laporan ini, di bagian penilaian untuk masingmasing perusahaan, yakni Reebok (bagian 4.1), Puma (4.2) dan Nike (4.4), akan ada pembahasan tentang percobaan-percobaan yang dilakukan ketiga perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga ini untuk bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil dalam upaya menyikapi isu ini. 3.5 Mewujudkannya: mempertahankan produksi di pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya Laporan ini mendokumentasikan beberapa contoh dimana buruh perlengkapan olahraga telah bekerja keras untuk membentuk serikat buruh dan berkampanye menuntut upah serta kondisi yang lebih baik, hanya untuk kemudian mendapati bahwa pabrik mereka kehilangan order dari pemilik merk perlengkapan olahraga besar atau, kalau tidak, majikan mereka malah menutup pabrik sama sekali dan memindahkan produksi ke sebuah tempat kerja yang tidak ada serikat buruhnya. Serikat SPN yang mewakili para buruh di pabrik PT Doson (Bagian 2.5) menyatakan bahwa keputusan Nike untuk menghentikan semua order ke pabrik mereka terkait dengan kampanye mereka yang menuntut upah dan kondisi yang lebih baik. Di pabrik Daejoo Leports (Bagian 2.6), sebuah kampanye panjang, yang mengupayakan agar hak-hak serikat buruh dihormati, berakhir tanpa hasil ketika pemilik pabrik menutup pabrik dan memindahkannya ke negeri lain. Yang terbaru, Puma membantu menghentikan diskriminasi terhadap anggotaanggota serikat buruh di pabrik Lian Thai, Thailand, dan kemudian menghentikan pemesanan ke pabrik itu dengan alasan bahwa produk-produknya terlalu mahal (Bagian 4.2). Nike baru-baru ini juga menghentikan pemesanan ke pabrik Lian Thai.50 Sayangnya, ini bukanlah satu-satunya contoh. Selama sepuluh tahun terakhir, telah ada banyak contoh dalam industri garmen dan perlengkapan olahraga global bahwa kampanye-kampanye yang panjang dan sulit untuk mengupayakan berdirinya serikat buruh berakhir tanpa hasil ketika pabrik tutup. Perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga yang merupakan anggota FLA diharapkan untuk menerapkan garis panduan berikut ini: Majikan tidak akan memindahkan produksi ataupun menutup pabrik dengan maksud sengaja untuk membalas tindakan buruh yang telah membentuk—atau sedang berupaya membentuk—serikat. (FLA n.d hal. 40) Perusahaan-perusahaan anggota FLA juga diharapkan untuk tidak memotong/menghentikan order kepada sebuah pabrik demi menghindari serikat buruh. Sayangnya, pendekatan ini sulit untuk ditegakkan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi keputusan-keputusan tentang sourcing. Karena itu, relatif mudah kiranya bagi pemasok dan pemilik merk untuk menunjukkan alasan-alasan, selain adanya serikat buruh, mengapa mereka tidak bisa terus melakukan bisnis di sebuah tempat kerja. Juga, faktor-faktor ‘ekonomi’ lain yang menyebabkan pemindahan produksi mungkin berkaitan dengan kerja serikat. Sebagai contoh, sangat mungkin bahwa kemampuan para perempuan pemimpin serikat di Lian Thai dalam menegosiasikan upah yang lebih baik bagi diri mereka telah sedikit menaikkan harga barang-barang yang dibuat di pabrik itu bila dibandingkan dengan pemasok-pemasok Puma lainnya yang tidak ada serikat buruhnya. Oxfam International yakin bahwa para pemilik merk perlengkapan olahraga seharusnya memprioritaskan untuk mempertahankan pabrik-pabrik yang ada serikat demokratis di dalamnya pada rantai pasokan mereka. Pemilik merk perlengkapan olahraga hendaknya hanya membiarkan pemasok menutup pabrik yang ada serikat buruhnya dalam situasi-situasi yang sangat bersifat kekecualian, yakni bila terbukti tidak mungkin bagi pemilik merk dan pemasok untuk mencari cara yang memungkinkan pabrik untuk terus beroperasi secara menguntungkan. Pemilik merk hendaknya juga bersedia membayarkan harga per satuan yang lebih tinggi agar 50 Komunikasi personal (email) Agatha Schmaedick dari Workers Rights Consortium, 20 Desember 2005. 34 bisa mempertahankan pabrik yang ada serikat buruhnya tetap berada di rantai pasokan perusahaannya. 3.6 Pekerjaan yang tidak stabil dan hak-hak yang tidak stabil: Pekerjaan yang fleksibel versus yang stabil Penelitian Oxfam (2004) mengindikasikan bahwa kaum perempuan yang bekerja di rantai-rantai pasokan global kini makin sering mendapati diri mereka berada dalam bentuk-bentuk pekerjaan yang tidak stabil. Mereka umumnya dipekerjakan sebagai buruh harian, dengan kontrak jangka pendek atau tanpa kontrak sama sekali. Bentuk-bentuk pekerjaan yang "fleksibel" ini penuh ketidakpastian, dan pendapatan buruh lebih rentan dalam pengaturan-pengaturan kerja seperti ini. Alternatif pilihan kerja sering kali sangat buruk, terutama bagi buruh perempuan. Bentukbentuk pekerjaan seperti ini melemahkan semangat buruh untuk mengorganisir diri dalam serikat, karena buruh khawatir bahwa kontrak mereka tidak akan diperpanjang jika mereka menjadi anggota serikat. Oxfam International yakin bahwa, karena alasan-alasan inilah maka para pemilik merk perlengkapan olahraga dan TNC lainnya seharusnya melarang atau dengan ketat membatasi penggunaan kontrak jangka pendek oleh para pemasoknya, sehingga buruh yang dipekerjakan untuk melakukan usaha inti sebuah perusahaan (misalnya, kerja menjahit di sebuah pabrik garmen) tidak bisa dipekerjakan dengan kontrak jangka pendek. Pemilik merk hendaknya juga mendorong pemerintahan-pemerintahan untuk secara hukum membatasi penggunaan kontrak jangka pendek. Sekarang ini kebanyakan perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga tidak mempunyai kebijakan yang mencegah atau membatasi penggunaan kontrak jangka pendek, walaupun beberapa di antaranya (termasuk Puma) sekurangnya mengharuskan pemasoknya untuk menegakkan hukum-hukum setempat yang relevan. Kekecualian utama51 adalah Reebok. Meski tidak melarang penggunaan kontrak jangka pendek untuk buruh yang mengerjakan usaha inti sebuah pabrik, namun Reebok memiliki sebuah kebijakan yang membatasi penggunaan kontrak seperti itu untuk mengatasi masa-masa puncak produksi (padat pesanan). Walaupun Oxfam International belum melihat bukti bahwa kebijakan ini dilaksanakan secara efektif namun, sebagai sebuah kebijakan, ia merupakan langkah maju dibandingkan sikap para pemilik merk yang hanya mau mengikuti hukum-hukum lokal. 3.7 Sebuah pendekatan multi-pihak: Asosiasi Perburuhan yang Adil (FLA) Fair Labor Association (FLA) dijelaskan di website-nya (www.fairlabor.org) sebagai: sebuah organisasi nirlaba yang memadukan upaya-upaya dari kalangan industri, organisasi nonpemerintah (LSM), akademi dan universitas untuk mempromosikan perlunya mematuhi standarstandar perburuhan internasional dan memperbaiki kondisi-kondisi kerja di seluruh dunia. FLA melakukan pemantauan dan verifikasi independen untuk memastikan agar standar-standar FLA (yang disebut Workplace Standards/standar-standar di tempat kerja) ditegakkan di tempat dimana produk-produk perusahaan anggota FLA diproduksi. Organisasi-organisasi seperti FLA umumnya diacu sebagai inisiatif multi-pihak (MSI). FLA merupakan MSI yang paling penting dalam industri perlengkapan olahraga. Adidas, Nike, Reebok, Puma dan ASICS merupakan anggota FLA, dan Umbro (2005, hal. 2) sedang dalam proses untuk masuk menjadi anggotanya. Satu-satunya MSI lain yang cukup relevan bagi industri perlengkapan olahraga adalah Ethical Trading Initiative (ETI). Karena hanya satu merk perlengkapan olahraga, yakni Pentland, yang menjadi anggota ETI, maka komentar mengenainya disertakan dalam penilaian tentang perusahaan Pentland (Bagian 4.8). Ada keprihatinan-keprihatinan tentang struktur FLA. Dewan FLA terdiri atas enam wakil dari LSM, enam wakil perusahaan dan tiga wakil universitas. Walaupun beberapa dari wakil LSM yang 51 Tanggapan adidas terhadap kuisioner Oxfam Australia menyatakan bahwa dalam situasi-situasi tertentu, adidas melakukan campur tangan untuk mencegah penggunaan kontrak jangka pendek oleh pemasoknya ketika penggunaan kontrak seperti itu tidak secara ketat dilarang oleh hukum – lihat Bagian 4.3 35 duduk di dewan itu memiliki keahlian yang signifikan di bidang hak-hak buruh, namun tidak ada perwakilan tingkat dewan untuk serikat buruh. Seperti halnya para wakil perusahaan di dewan itu, wakil-wakil universitas berada di sana atas nama organisasi-organisasi yang mendapat keuntungan dari penjualan garmen — dalam hal ini, penjualan garmen yang mendapat lisensi untuk memakai logo universitas. Kiranya dapat diperdebatkan, dewan tersebut memiliki sembilan wakil dari organisasi-organisasi yang mendapat keuntungan dengan cara seperti itu, dibandingkan dengan hanya enam wakil dari organisasi masyarakat sipil. Struktur FLA memberikan kekuasaan pengambilan keputusan yang besar kepada Presiden dan Pejabat Eksekutif Ketua (Chief Executive Officer/CEO). CEO yang sekarang ini, Auret van Heerden, memiliki pengalaman luas pernah bekerja untuk ILO dan memiliki pengetahuan yang kuat tentang—serta komitmen bagi—hak-hak serikat buruh. Kurang jelas apakah komposisi dewan sekarang ini akan menghasilkan CEO berikutnya yang memiliki keahlian dan motivasi yang sama. FLA telah dikritik karena tidak menyertakan perihal upah yang layak dalam kode etik pengaturannya, dan dikritik karena adanya ketentuan-ketentuan yang bisa ditafsirkan bahwa itu memperbolehkan majikan untuk mengharuskan buruh bekerja selama 60 jam per minggu. Namun demikian, kode etik FLA mengharuskan perusahaan-perusahaan anggotanya untuk menjamin penghormatan atas hak-hak serikat buruh dan menyediakan suatu penjelasan yang menyeluruh mengenai hak-hak itu serta cara bagaimana menyelidiki apakah hal itu diterapkan (FLA n.d., hal. 7, 15, 21, 29-30, 33, 39-41). Penjelasan ini harus sesuai dengan konvensikonvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang relevan. CCC (2005a, hal. 39) mencatat bahwa garis panduan FLA tentang kebebasan berserikat lebih baik bila dibandingkan garis panduan MSI-MSI lainnya: Dokumen rancangan panduan FLA tentang kebebasan berserikat menyebutkan hal-hal yang cukup rinci mengenai kewajiban perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi dalam FLA dan tindakantindakan yang disarankan mengenai kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif. Panduan ini mengharuskan perusahaan untuk menjunjung tinggi standar FLA dan menanggulangi serta mencegah ketidakpatuhan. Aktivitas-aktivitas seperti itu bisa berkisar mulai dari mediasi di antara serikat-serikat yang bersaing, sampai dengan pengembangan kebijakan-kebijakan dan prosedurprosedur untuk menangkal diskriminasi anti-serikat. Tema utama dari panduan FLA bagi perusahaan yang berpartisipasi ini ialah aktivitas-aktivitas penyeimbang guna menciptakan ruang bagi buruh untuk berorganisasi dengan prinsip tanpa campur tangan. Oxfam International merekomendasikan agar perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga memprioritaskan untuk mempertahankan produsi di pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya dan berkomitmen untuk melakukan sourcing produksi baru di negeri-negeri dimana hak-hak serikat buruh memiliki pemberlakuan legal. FLA tidak mengharuskan perusahaan-perusahaan anggotanya untuk menempuh langkah-langkah ini. FLA memiliki empat mekanisme untuk memeriksa apakah perusahaan anggotanya mematuhi kode etiknya, dan mereka kini sedang dalam proses mengembangkan mekanisme kelima. Empat proses yang kini ada adalah: • Prosedur Pengaduan oleh Pihak Ketiga; • sistem Pemantauan Independen oleh Pihak Luar (IEM)52; • laporan tahunan tentang perkembangan perusahaan; dan • proses akreditasi terhadap program pemenuhan standar perburuhan perusahaan Proses baru, yang masih dalam pengembangan, dikenal dengan sebutan FLA 3.0 Prosedur pengaduan oleh pihak ketiga Prosedur ini diberlakukan dalam kasus Jaqalanka dan MSP Sportswear yang telah dibahas dalam laporan ini. Pada kedua kasus itu, FLA memainkan peran positif dalam memastikan agar hak-hak serikat buruh dihormati. Namun demikian, staf FLA hanya bisa menyelidiki pengaduanpengaduan secara langsung dan memediasi penyelesaian di segelintir tempat kerja setiap tahun. 52 Lihat <fairlabor.org/all/monitor> dan <fairlabor.org/all/complaint>. 36 Laporan tahunan FLA tahun 2004 hanya menguraikan tiga penyelidikan pengaduan pada tahun sebelumnya, dan laporan tahun 2005 hanya menguraikan dua penyelidikan. Pemantauan Independen oleh Pihak Luar Program IEM menjangkau lebih banyak pabrik lagi. Walaupun hanya sekitar 5% dari pabrik pemasok perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi yang dipantau secara eksternal setiap tahun, namun ini mencapai jumlah 110 pabrik pada tahun 2003. FLA mengakreditasi organisasiorganisasi untuk melakukan pemantauan ini, memutuskan pabrik-pabrik mana yang akan diselidiki, dan memilih pemantau mana yang akan melakukan masing-masing penyelidikan. Pada kebanyakan MSI, perusahaan-perusahaan itu sendiri yang memilih organisasi pemantaunya; jadi, merupakan langkah maju menuju independensi yang lebih besar kiranya bahwa dalam sistem ini, CEO FLA-lah yang melakukan tugas itu. Meski temuan-temuan IEM dilaporkan di website FLA, namun nama-nama pabriknya dirahasiakan. Oxfam International yakin bahwa nama pabrik-pabrik ini seharusnya dirilis, sekurangnya dengan dijaga kerahasiaannya hanya kepada organisasi-organisasi pejuang hak buruh lokal dan internasional, sehingga mereka bisa memverifikasi efektivitas penyelidikan IEM. Pada tahun 2003, hanya 4% dari temuan-temuan pemantau (yang diakreditasi FLA) tentang ketakpatuhan berkaitan dengan kebebasan berserikat.53 Laporan tahunan FLA mengakui bahwa pemantau-pemantau eksternalnya yang terakreditasi kurang melaporkan pelanggaran terhadap hak-hak serikat buruh, dan menyediakan panduan lebih jauh bagi para pemantau dalam upaya untuk menyikapi hal ini (FLA 2004, hal. 232).54 Sayangnya, laporan FLA untuk tahun berikutnya (2005) juga mengindikasikan bahwa hanya 4% dari temuan-temuan tentang ketakpatuhan berkaitan dengan kebebasan berserikat, hal mana menunjukkan bahwa kemajuan di bidang ini masih lambat. Laporan itu juga menekankan bahwa FLA (2005, hal. 81) "sedang bekerja guna mengembangkan sistem-sistem untuk pemantauan yang lebih efektif dan perbaikan ketentuanketentuan Kode Etik yang terutama bersifat kompleks dan sulit dinilai, seperti kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif, non-diskriminasi, dan pelecehan ataupun tindakan sewenang-wenang". Bisa jadi upaya-upaya FLA itu mulai membawa pada meningkatnya kerja beberapa pemantau, walaupun hal ini belum terlihat dalam gambaran global. Dari tujuh penyelidikan IEM tentang pabrik-pabrik di Indonesia pada tahun 2003 yang dilaporkan kepada publik*, hanya satu yang mengidentifikasi sebuah isu (relatif minor) tentang hak-hak serikat buruh. Dari tiga penyelidikan IEM tentang pabrik di Indonesia pada tahun 2004 yang dilaporkan kepada publik*, semuanya mengidentifikasi terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak serikat buruh. Ketiga penyelidikan itu juga mencurahkan perhatian pada praktek ilegal pabrik-pabrik yang mempekerjakan buruh dengan kontrak jangka pendek untuk melakukan pekerjaan yang sifatnya permanen.55 Pada kedua tahun tersebut, penyelidikan-penyelidikan IEM dilakukan oleh organisasi yang sama. CCC dan organisasi-organisasi pejuang hak buruh lainnya sangat kritis terhadap perusahaanperusahaan asuransi dan akuntan berkualitas besar yang mendominasi pasar audit sosial, dengan berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan ini sering kali mempekerjakan staf yang kurang memiliki keterampilan dan pengetahuan lokal yang diperlukan untuk menyelidiki persoalan kompleks seperti kebebasan berserikat (CCC 2005b, hal. 50–8). Meski banyak kunjungan IEM FLA sekarang ini dilakukan oleh firma-firma asuransi berkualitas global, namun CCC (2005, hal. 51) melaporkan bahwa FLA kini mengalihkan perimbangan "mulai menjauh dari firma-firma global ke firma-firma yang lebih terspesialisasi atau ke organisasi-organisasi audit sosial yang nirlaba, walaupun dengan langkah yang sangat lamban ".56 Yang sama pentingnya dengan mengidentifikasi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak serikat buruh adalah mengambil langkah-langkah untuk menanggulanginya. Website FLA57 53 Lihat <fairlabor.org/2004report/overview/freedom.html> Lihat <fairlabor.org/2004report/overview/iemFindings.html> and <fairlabor.org/2004report/freedom/improve.html>. 55 Lihat Bagian 3.6 untuk penjelasan tentang hubungan antara kontrak jangka pendek dan pengorganisasian serikat. 56 Dalam gebrakan pembukanya, dua organisasi Amerika Latin yang diakreditasi FLA — GMIES di El Salvador dan COVERCO di Guatemala — telah tumbuh dari gerakan-gerakan masyarakat sipil setempat. 57 Lihat <fairlabor.org/2004report/freedom/improve.html>. 54 37 menyebutkan bahwa hal ini bisa jadi "kompleks dan melibatkan upaya-upaya untuk merubah sikapsikap, bahkan juga budaya di tempat kerja." Meski ini tak ragu lagi memang benar, namun laporan FLA tidak memberikan kesan tentang seberapa serius, dan di berapa pabrik, perusahaanperusahaan yang berpartisipasi itu berupaya melakukan hal ini. FLA menginstruksikan para pemantau untuk langsung melaporkan setiap ketakpatuhan terhadap kode etik mengenai kebebasan berserikat untuk pabrik-pabrik yang berlokasi di negara yang tidak memberikan kekuatan hukum bagi hak-hak serikat buruh. Meski kejujuran ini disambut baik, namun kurang jelas langkah-langkah apa yang diharapkan FLA untuk ditempuh oleh para pemantau dan perusahaan-perusahaan itu guna menanggulangi pelanggaran kode etik ini. FLA jelas telah mengembangkan garis-garis panduan yang spesifik bagi tiap negeri untuk membantu para pemantau, namun ini tidak disediakan bagi publik. Juga tidak jelas apakah prosedur FLA berjalan sebagaimana yang disebutkan dalam website mereka. Setiap tahun, program IEM FLA hanya menjangkau sekitar 5% dari pabrik-pabrik pemasok perusahaan yang berpartisipasi, dan program ini dimaksudkan untuk menilai seberapa efektif prosedur-prosedur pemantauan internal perusahaan-perusahaan itu sendiri dalam memastikan dihormatinya hak-hak serikat buruh. Justru, bila pemantau-pemantau eksternal FLA menemukan pelanggaran terhadap hak-hak serikat buruh, fokus pelaporan kepada publik tampaknya adalah pada penanggulangan masalah di pabrik itu. Meski ini penting, namun tidak jelas apakah FLA juga menetapkan agar perusahaan yang berpartisipasi bertanggung jawab atas adanya sistem pemenuhan kode etik internal yang gagal mengidentifikasi dan mengkoreksi pelanggaran terhadap hak-hak serikat buruh. Laporan tahunan tentang perkembangan perusahaan Setiap tahun laporan tahunan FLA menyertakan satu bagian yang menyediakan "laporan-laporan rinci tentang upaya-upaya ...perusahaan-perusahaan... untuk memperbaiki kondisi kerja di pabrik-pabrik tempat mereka berproduksi di seluruh dunia" (FLA 2005, hal. 73). Laporan FLA tahun 2004 tentang Nike, Reebok, adidas dan Puma (FLA 2005) menunjukkan bahwa staf FLA tidak menempuh pendekatan yang secara cermat kritis terhadap aktivitas-aktivitas perusahaan selama proses pelaporan ini. Mengakreditasi program pemenuhan standar perburuhan perusahaan Ketika perusahaan pertama kali masuk menjadi anggota FLA, ada sebuah “periode implementasi awal” selama dua atau tiga tahun, yang selama itu sebuah perusahaan mengembangkan program pemenuhan standar perburuhannya. Setelah periode ini selesai, dewan FLA memutuskan apakah program itu layak mendapatkan akreditasi FLA. Pada tahun 2005, FLA memutuskan bahwa program dari enam perusahaan layak mendapatkan akreditasi, termasuk Nike, Reebok dan adidas. Bagian dari laporan tahunan FLA (2005, hal. 86) mengenai akreditasi untuk adidas berikut ini memberikan suatu kesan tentang metodologi yang diterapkan: Keputusan didasarkan atas penilaian oleh staf FLA yang meliputi audit-audit baik di tingkat kantor pusat maupun lapangan, dan kunjungan ke sejumlah fasilitas pemasok. Dalam melakukan penilaian ini, staf FLA mewawancarai personalia adidas, menginspeksi dokumen-dokumen, mengamati pelatihan tahunan bagi staf pemenuhan kode etik, meninjau catatan-catatan pabrik, mengamati staf lapangan adidas di pabrik-pabrik, dan menganalisis temuan-temuan dari sejumlah total 64 kunjungan pemantauan independen eksternal yang dilakukan di fasilitas-fasilitas adidas dalam kurun tiga tahun sebelumnya. Informasi yang dilaporkan kepada publik mengenai proses akreditasi58 tidak mengesankan bahwa staf FLA telah secara kritis dan teliti meninjau program-program perburuhan dari perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi. Karena FLA telah mengakui bahwa pelanggaranpelanggaran terhadap kebebasan berserikat sekarang ini secara serius kurang dilaporkan, baik oleh perusahaan yang berpartisipasi dalam FLA maupun oleh pemantau eksternal, maka bisa dipertanyakan apakah FLA sudah seharusnya mengakreditasi program-program perburuhan 58 Untuk laporan tentang akreditasi adidas, lihat, misalnya, FLA 2005, hal. 86–9. 38 perusahaan yang berpartisipasi pada tahap sekarang ini. Secara khusus, karena FLA mengakui bahwa semua pabrik di negeri-negeri dimana kebebasan berserikat tidak memiliki pemberlakuan legal itu otomatis melanggar kode etik FLA, maka meragukan kiranya apakah FLA sudah seharusnya mengakreditasi program perburuhan perusahaan-perusahaan yang telah sengaja melakukan sourcing lebih dari separuh produksi sepatu olahraganya di negeri-negeri seperti itu. FLA 3 Laporan terbaru FLA (2005, hal. 22) menguraikan inisiatif baru ini sebagai berikut: FLA 3.0 dimulai dengan menghimpun informasi tentang pemenuhan kode etik yang tersedia bagi FLA dan para konstituennya untuk menghasilkan sebuah Matriks Pemantauan — sebuah profil tentang isu-isu pemenuhan kode etik dan akar-akar penyebabnya — untuk setiap negeri atau kawasan. Kemudian kami memprioritaskan hal-hal itu dan mengusulkan strategi-strategi penanggulangan sebelum melakukan konsultasi-konsultasi di tingkat lokal agar bisa memastikan masukan dari pihak terkait ke dalam matriks itu. Ini akan memungkinkan kami untuk mengkombinasikan perspektifperspektif dari perusahaan, masyarakat sipil dan buruh, dan berdasarkan itu kemudian menyusun gambaran yang lebih lengkap tentang situasi pemenuhan kode etik. Untuk pertama kalinya kami akan bisa melibatkan masyarakat sipil dalam pendefinisian isu-isu, prioritas-prioritas dan strategi-strategi penanggulangan mengenai pemenuhan kode etik... Sekarang ini FLA sedang dalam masa transisi dimana beberapa aspek dari 3.0 mulai dimasukkan dalam proyek-proyek sukarela. Jika, melalui pendekatan FLA 3 yang baru ini, FLA melibatkan diri bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil setempat untuk mengembangkan strategi-strategi guna menyikapi rintanganrintangan bagi kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif di negeri-negeri tertentu, maka ini bisa merepresentasikan sebuah langkah maju yang penting. Oxfam International berencana untuk melaporkan lebih jauh tentang FLA 3 di masa mendatang. FLA telah membantu meningkatkan penghormatan atas hak-hak serikat buruh di beberapa pabrik, khususnya dimana buruh telah bisa mengakses prosedur pengaduan FLA. Namun demikian, FLA sekarang ini belum mengharuskan perusahaan-perusahaan anggotanya untuk bertanggung jawab guna memastikan agar hak-hak serikat buruh dihormati di sepanjang rantai pasokan mereka. FLA perlu: • • • meningkatkan standar pemantau eksternalnya yang terakreditasi; menetapkan agar perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi bertanggung jawab jika program IEM menunjukkan adanya hal-hal yang tak memadai dalam pemantauan internal perusahaan mengenai hak-hak serikat buruh; dan memastikan bahwa bila ditemukan pelanggaran terhadap hak-hak ini, maka hal tersebut harus ditanggulangi secara sepatutnya dan dilaporkan kepada publik. Perwakilan yang memadai dari organisasi-organisasi serikat buruh di dewan FLA, serta melibatkan diri secara sungguh-sungguh bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil setempat (sebagaimana yang digambarkan dalam pendekatan baru FLA 3), akan membantu dalam proses ini. * Berdasarkan perkembangan terbaru pada 15 Desember 2005. 39 4. Penilaian tentang perusahaan perlengkapan olahraga Bagian ini menyediakan penilaian individual tentang langkah-langkah yang tengah ditempuh oleh 12 perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga berbeda berkenaan dengan hak-hak serikat buruh di pabrik-pabrik pemasok mereka di Asia. Penilaian-penilaian individual ini memfokuskan perhatian pada bidang-bidang dimana kinerja masing-masing perusahaan berbeda dengan kinerja industri ini secara keseluruhan. Karena itu, penilaian tentang masing-masing perusahaan hendaknya dibaca secara terkait dengan Bagian 3 yang menilai kinerja industri ini secara keseluruhan dan kerja FLA. 4.3 adidas AG Merk Total pendapatan 2004 Inisiatif multi-pihak adidas, TaylorMade, Maxfli tahunan pada 6,478 milyar euro FLA Adidas memberikan tanggapan keseluruhan yang paling rinci terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai hak-hak serikat buruh.59 Adidas (2005a) menyediakan data jumlah serikat buruh dan kesepakatan proses tawar kolektif di antara pemasok-pemasoknya di tiap negeri di Asia-Pasifik. Sebagai contoh, adidas melaporkan bahwa serikat buruh telah menegosiasikan kesepakatankesepakatan proses tawar kolektif di tiga pemasoknya di Kamboja, 18 pemasoknya di Jepang dan 21 pemasoknya di Indonesia. Sayangnya, adidas menolak memberitahu nama-nama para pemasok tersebut agar informasi ini dapat diverifikasi secara independen. Adidas mengindikasikan bahwa di masa mendatang, mereka mungkin akan bisa menyediakan informasi ini, tetapi hanya jika pabrik yang bersangkutan dan serikat yang berbasis di pabrik itu tidak keberatan (adidas 2005c). Oxfam International tidak yakin bahwa memang perlu meminta izin pemilik pabrik untuk membagi informasi ini. Laporan ini menyertakan kajian kasus tentang dua pemasok adidas di Indonesia, yakni PT Panarub dan PT Dae Joo Leports. Meski adidas seharusnya bisa lebih proaktif dalam menyikapi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak serikat buruh di Panarub, namun mereka akhirnya bekerja sama sepenuhnya dengan sebuah penyelidikan independen oleh WRC. WRC juga menyelidiki kondisi-kondisi di Dae Joo Leports dan, dalam kedua kasus itu, adidas menekankan agar pemasoknya melaksanakan rekomendasi-rekomendasi yang muncul dari penyelidikanpenyelidikan ini. Sayangnya, Dae Joo Leports kemudian menutup pabriknya dan memindahkan produksi ke negeri lain. Adidas berupaya membujuk pemasoknya agar tetap membuka pabrik, namun upaya ini agaknya akan lebih berhasil jika adidas memprioritaskan untuk mempertahankan produksi di pabrik-pabrik yang ada serikat buruh demokratis di dalamnya. Panduan untuk pemasok tentang hak-hak serikat buruh Adidas (2001, hal. 9–11) memberikan, kepada semua pemasoknya, sebuah rangkuman rinci tentang konvensi-konvensi ILO dan perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang memberikan basis hukum internasional bagi hak-hak serikat buruh. Perusahaan ini juga menyediakan sebuah penjelasan rinci tentang bagaimana mereka mengharapkan para pemasok untuk menerapkan prinsip-prinsip ini, termasuk contoh-contoh praktek yang baik dan yang buruk. Staf adidas (2005a) telah menyelenggarakan lokakarya-lokakarya pelatihan bersama pemasok-pemasoknya di Asia untuk membahas bagaimana melaksanakan prinsip-prinsip ini serta garis-garis panduan mereka lainnya. Adidas (2005) juga melaporkan bahwa para pemasoknya di Kamboja kini berpartisipasi dalam sebuah program pelatihan yang dilakukan oleh ILO untuk mendidik para manajer pabrik mengenai hak-hak buruh, termasuk kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif. Dipekerjakannya buruh dengan kontrak jangka pendek dapat menjadi rintangan besar bagi pengorganisasian serikat buruh (lihat Bagian 3.6). Tidak seperti Reebok, adidas biasanya tidak membatasi penggunaan kontrak jangka pendek oleh para pemasoknya berdasarkan—dan di 59 Tersedia di website Oxfam Australia <www.oxfam.org.au/campaigns/labour/06report>. 40 atas—pembatasan-pembatasan yang diberlakukan oleh hukum setempat. Namun demikian, adidas (2005c) telah mengindikasikan bahwa mereka akan melakukan campur-tangan dalam kasus-kasus dimana: pemasok menggunakan kontrak jangka pendek untuk menghindari tanggung jawab hukum — misalnya, pihak manajemen pabrik menyewa kembali individu yang sama dengan beberapa kali kontrak jangka pendek untuk menghindari penyediaan tunjangan, seperti tunjangan sosial, akumulasi perolehan karena telah menjadi pekerja senior ataupun kelonggaran pajak, yang harus dipenuhi bagi seorang pekerja tetap. Adidas mengindikasikan bahwa dalam kasus-kasus ini, mereka menekankan agar buruh diberi status tetap dan diberi tunjangan-tunjangan yang seharusnya telah mereka terima kalau mereka sejak awalnya bekerja di pabrik itu sebagai pekerja tetap. Adidas dapat lebih efektif mendukung pengorganisasian serikat buruh dengan secara ketat membatasi situasi-situasi dimana buruh bisa dipekerjakan dengan kontrak jangka pendek. Tetapi, kebijakan perusahaan tersebut sekarang ini, sekurangnya merupakan langkah maju bila dibandingkan kebijakan perusahaanperusahaan lain yang hanya bersedia menerapkan hukum setempat. Pelatihan buruh mengenai hak-hak serikat buruh Adidas (2005a) mengharapkan para pemasoknya agar mengembangkan sebuah "rencana strategis pemenuhan standar perburuhan" yang mencakup penyediaan pelatihan bagi buruh dalam hal standar-standar kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif. Adidas (2005c) mengakui bahwa "manajemen pabrik bukanlah pihak yang terbaik untuk melakukan pelatihan tentang kebebasan berserikat bagi buruh", dan mengharapkan bahwa "pihak manajemen akan mendatangkan pelatih-pelatih dari luar bila perlu dan menyediakan akses bagi serikat buruh ke fasilitas-fasilitas tempat kerja dan pelatihan." Adidas berencana untuk menelusuri apakah rencana-rencana pemenuhan kode etik di pabrik dilaksanakan. Pada tahun 2004, adidas bekerja sama dengan Reebok untuk merancang didatangkannya satu LSM yang memberikan pelatihan bagi buruh Thailand yang terlibat dalam komite-komite kesejahteraan, yang mencakup penyediaan informasi mengenai proses pembentukan serikat buruh berdasarkan hukum Thailand (lihat Bagian 4.1). Lepas dari program ini, tidak jelas berapa proporsi buruh pembuat barang-barang adidas yang sejauh ini telah mendapat pelatihan independen mengenai hak-hak serikat buruhnya.60 Adidas kini sedang bekerja bersama dua LSM di Asia guna mengembangkan sebuah strategi untuk inisiatif-inisiatif pelatihan buruh di kawasan tersebut dan mengatur penyediaan pelatihan itu oleh organisasi-organisasi setempat. Adidas melaporkan bahwa salah satu dari LSM ini, yang berbasis di Bangkok, "telah ditunjuk untuk secara khusus memperhatikan masalah-masalah yang dialami buruh migran di kawasan ini, termasuk pengucilan dari aktivitas serikat dan FOA [Freedom of Association/Kebebasan Berserikat]." Negeri dan Zona Perdagangan Bebas dimana hak-hak serikat buruh tidak memiliki kekuatan hukum Menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang dikirim sebagai bagian dari penelitian untuk laporan ini, adidas (2005a) memberikan sebuah analisis rinci yang mengesankan tentang sejauh mana hakhak serikat buruh dihormati di masing-masing dari 18 negeri Asia-Pasifik dimana adidas melakukan sourcing produknya. Perusahaan ini melaporkan bahwa 32,4% dari produksi globalnya berlangsung di negeri-negeri Asia-Pasifik yang memiliki hukum yang memberikan pemberlakuan bagi kebebasan berserikat serta langkah tawar kolektif, dan sekitar 52% produksi global perusahaan ini berlangsung di negara-negara Asia-Pasifik yang tidak memberikan kekuatan hukum bagi hak-hak ini. Adidas melaporkan bahwa antara tahun 2002 sampai 2004, tingkat produksinya di negara-negara yang secara hukum tidak melindungi hak-hak serikat buruh meningkat sebesar 3%. Meski peningkatan ini mengecewakan, 61 namun kesediaan adidas untuk merilis data tentang isu ini merepresentasikan sebuah langkah maju yang berharga. 60 Yakni, pelatihan yang diberikan oleh organisasi-organisasi yang independen dari majikan para buruh dan yang memiliki keahlian yang diperlukan. Adidas berargumen bahwa ini lebih mencerminkan pertumbuhan bisnisnya secara keseluruhan ketimbang peningkatan proporsi produk yang di-sourcing dari negeri-negeri itu. Adidas (2006) juga menyebutkan bahwa keputusan-keputusan 61 41 Di negeri-negeri dimana hak untuk kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif dibatasi oleh hukum, kode etik adidas mengharuskan bahwa "mitra-mitra bisnisnya jangan menghambat sarana legal alternatif untuk mencapai kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif". Akan tetapi, tidak seperti Reebok, Puma dan Nike, adidas belum bekerja sama dengan organisasiorhanisasi non-pemerintah untuk memungkinkan adanya program-program pelatihan buruh yang menyediakan, bagi buruh, informasi tentang perwakilan buruh yang demokratis.62 Audit dan verifikasi Pada tahun 2004, staf adidas (2005b, hal. 27) meng-audit pemenuhan standar-standar perburuhan perusahaannya di 301 dari 843 pabrik pemasoknya. Perusahaan ini melaporkan bahwa mereka sedang beranjak ke sebuah pendekatan yang lebih "strategis" yang akan melibatkan "cakupan pemantauan yang lebih mendalam terhadap lebih sedikit pemasok" (adidas 2005b, hal. 24). Adidas belum merilis data tentang sejauh mana pemantauan internalnya mengungkap dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak buruh dalam hal serikat buruh. Sebagai tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan Oxfam Australia, adidas (2005c) mengindikasikan bahwa kalau diminta informasi spesifik mengenai temuan-temuan pemantauan di pabrik atau negeri tertentu, maka adidas akan melakukan semampunya untuk menyediakan informasi itu. Kesediaan untuk menanggapi permintaan yang spesifik dan tertentu ini disambut baik, namun pemilik merk perlengkapan olahraga seperti adidas hendaknya juga mempublikasikan secara reguler hasil-hasil penyelidikan keseluruhannya tentang penghormatan atas hak-hak serikat buruh di rantai pasokan perusahaannya. Mekanisme pengaduan Adidas (2005a) berencana untuk menggunakan program-program pelatihan buruh dan internet untuk menginformasikan kepada lebih banyak buruh tentang prosedur pengaduan keluhan perusahaan ini. Sekarang ini cara utama yang didapati buruh untuk mengajukan pengaduan adalah melalui kontak langsung dengan staf Social and Environmental Affairs (SEA) adidas. Para staf ini memberikan, kepada pengurus serikat dan para buruh lainnya, rincian kontak mereka pada saat kunjungan mereka ke pabrik. Menurut adidas (2005b, hal. 21), pada tahun 2004 buruh menggunakan informasi kontak ini untuk mengajukan lebih dari 100 pengaduan mengenai kondisi-kondisi kerja. Pembatasan terhadap kebebasan berserikat dan isu-isu hubungan industrial, termasuk pemogokan dan pemecatan secara tidak adil, antara lain merupakan pengaduan yang paling umum. Adidas (2005a) melaporkan bahwa: Di Indonesia, para pengurus serikat di sejumlah pabrik pemasok berbeda telah langsung menghubungi staf pemenuhan SEA untuk mengadukan perlakuan yang tidak adil, dan dalam beberapa kasus juga mengadukan tentang pemecatan (berdasarkan afiliasi ataupun aktivitasaktivitas serikat). Dalam kasus-kasus seperti itu, bila penyelidikan membuktikan bahwa memang telah terjadi diskriminasi, maka kami meminta agar buruh dan pengurus serikat tersebut diterima kembali bekerja dan mendapat pembayaran tunggakan upah. Oxfam Australia menerima bukti yang menguatkan hal ini pada September 2005 dari serikat SPSI Reformasi di Indonesia yang melaporkan bahwa mereka telah mengajukan pengaduan kepada adidas mengenai pemecatan yang tidak sah, dan bahwa adidas telah menyelidikinya serta mengharuskan pemasoknya untuk menerima para buruh yang bersangkutan kembali bekerja. sourcing yang relevan didasarkan atas kinerja pemasok dalam hal “kualitas, pengiriman dan harga, serta…suatu ‘pemenuhan’ umum ataupun nilai-nilai antara pemasok dan adidas — dan bukan berdasarkan ada atau tidaknya hukum tentang itu yang melindungi kebebasan berserikat ataupun langkah tawar kolektif.” Sebagaimana disebutkan di Bagian 3.4, Oxfam Australia yakin bahwa perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga yang bersungguhsungguh mengenai komitmen mereka bagi kebebasan berserikat seharusnya mengarahkan setiap produksi baru ke negara-negara yang memberikan kekuatan hukum bagi hak ini. 62 Dalam tanggapannya terhadap draf terdahulu dari laporan ini, adidas (2006) mengakui bahwa mereka “belum melaksanakan program-program pelatihan sistematis bagi buruh yang berkaitan dengan perwakilan buruh yang demokratis di negeri-negeri dimana kebebasan berserikat dibatasi oleh hukum,” namun menyebutkan bahwa mereka telah “bekerja sama dengan pihak-pihak ketiga mengenai inisiatif-inisiatif yang menyikapi isu ini”. Sayangnya, informasi ini datang terlalu terlambat untuk bisa dibahas dalam laporan ini. Namun demikian, Oxfam Australia telah meminta informasi tambahan kepada adidas mengenai inisiatif-inisiatif ini dan akan menyediakan penilaian tentang inisiatif tersebut di web site Oxfam Australia <www.oxfam.org.au/campaigns/labour/06report> 42 Pengembangan keterampilan bagi wakil-wakil buruh Adidas (2005a) merupakan satu-satunya merk perlengkapan olahraga yang memiliki kebijakan untuk memperbolehkan pengurus serta anggota serikat buruh untuk menghadiri pelatihan yang disediakan oleh organisasi-organisasi mereka sendiri dan kelompok-kelompok buruh lainnya. Adidas juga menguraikan contoh-contoh tentang wakil-wakil buruh dari berbagai pemasok adidas yang menghadiri lokakarya ataupun diskusi bersama di Indonesia, Taiwan, Thailand dan Vietnam. Adidas (2005a) tidak memiliki kebijakan yang mengharuskan pemasoknya untuk memberi wakilwakil serikat buruh waktu bebas kerja guna menangani pengaduan keluhan dan perselisihan. Perusahaan ini melaporkan bahwa apakah wakil-wakil buruh diberi waktu bebas kerja untuk keperluan ini atau tidak, itu cukup bervariasi (berbeda-beda) di sepanjang rantai pasokan adidas. Dampak praktek pembelian terhadap penghormatan atas hak-hak buruh Adidas (2005a) menerima bahwa hubungan-hubungan bisnis yang berjangka panjang dan stabil memang membantu dalam kepastian keuangan baik bagi pemasok maupun buruh, dan bahwa "stabilitas keseluruhan merupakan suatu prasyarat yang perlu bagi buruh untuk bisa mempraktekkan hak-hak berserikat mereka secara bebas, untuk berorganisasi dan melakukan langkah tawar kolektif". Perusahaan ini melaporkan bahwa selama empat tahun terakhir, mereka telah mengkonsolidasikan rantai pasokannya, "menempatkan lebih banyak order kepada lebih sedikit pabrik dan membangun kemitraan-kemitraan berjangka panjang ". Perusahaan ini juga melaporkan bahwa stafnya di Asia Tenggara bekerja sama dengan tim-tim sourcing dan para manajer pabrik untuk mendistribusikan aliran order guna meminimalkan peluang bahwa buruh akan diharuskan bekerja lembur secara berlebihan. Akan tetapi, mereka tidak menyediakan rincian data tentang metodologi dan prosedur-prosedur yang diterapkan. Lepas dari stabilitas hubungan bisnis, adidas (2005a) tidak menerima sikap Oxfam International bahwa praktekpraktek pembelian lainnya oleh sebuah perusahaan — seperti harga dan waktu pemenuhan pesanan — berdampak pada penghormatan atas hak-hak serikat buruh di tingkat pabrik (lihat Bagian 3.3). Oxfam Australia meminta data tentang sejauh mana adidas telah meningkatkan level order kepada—dan panjangnya masa kemitraan dengan—pemasok-pemasok utama. Tanggapan adidas (2005c) mengindikasikan bahwa database perusahaan-perusahaan pemasok itu sedang dalam proses diintegrasikan, dan bahwa sekarang ini, "akan sangat memakan waktu bila harus mengumpulkan dan menyediakan data yang anda minta". Oxfam International berharap bahwa melalui pengintegrasian database ini, akan mungkin bagi adidas untuk menyediakan informasi di masa mendatang mengenai praktek-praktek pembelian mereka. Adidas (2006) melaporkan bahwa biaya untuk tenaga kerja — termasuk upah pokok, pembayaran lembur yang diantisipasi, biaya-biaya yang terkait dengan persyaratan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan kerja serta persyaratan legal lainnya — disertakan sebagai item di bagian tersendiri ketika menegosiasikan harga pembuatan dengan pabrik-pabrik. Positif kiranya bahwa adidas mempertimbangkan biaya tenaga kerja ketika menegosiasikan harga, namun kalau mereka tidak membagi hitungan-hitungan ini kepada wakil-wakil buruh, maka sulit untuk mengetahui apakah adidas memberikan penghargaan yang memadai bagi biaya hidup buruh. Selain itu, adidas kadang-kadang memberikan kontribusi keuangan untuk biaya penyikapan isuisu tertentu mengenai hak-hak buruh. Sebagai contoh, dalam kasus PT Panarub (Bagian 2.3), adidas (2006) “bersepakat dengan manajemen Panarub untuk membayarkan jumlah tambahan pada titik paling tinggi dari harga-harga yang dinegosiasikan untuk beberapa musim pesanan yang disepakati, untuk membantu menutup biaya-biaya yang terkait dengan penerapan menyeluruh tunjangan sosial bagi semua pekerja sesuai dengan hukum perburuhan Indonesia”. Ini merupakan sebuah langkah positif yang hendaknya disamai atau bahkan dilebihi oleh perusahaan-perusahaan lain. Transparansi 43 Adidas mempublikasikan informasi tentang jumlah buruh yang dipekerjakan oleh para pemasoknya di tiap negeri dan, seperti telah disebutkan di atas, bersedia untuk membagi informasi mengenai proporsi produksinya di negara-negara yang menghormati—dan yang tidak menghormati—hak-hak serikat buruh. Sayangnya, tidak seperti Puma, Reebok dan Nike, adidas tidak mempublikasikan daftar pemasoknya. Dalam pembelaannya, adidas (2005a) menyebutkan bahwa mereka telah secara positif menanggapi permintaan dari organisasi-organisasi atau individu-individu tertentu untuk menyediakan informasi tentang beberapa pemasok, misalnya dalam konteks aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk memperbaiki kondisi. Ini kurang berguna dibandingkan dengan transparansi sepenuhnya, yang akan membuka penghormatan atas hak-hak buruh di rantai pasokan adidas kepada pengamatan publik yang lebih luas. Dalam laporan-laporan tahunannya tentang masalah sosial dan lingkungan, adidas menyediakan informasi umum tentang upaya-upayanya untuk memperbaiki kondisi perburuhan. Informasi mengenai isu-isu hak serikat buruh di pabrik-pabrik tertentu kadang-kadang disertakan dalam laporan-laporan ini atau di website perusahaan ini. Namun sekarang ini adidas tidak memiliki kebijakan untuk melaporkan kepada publik semua penyelidikan tentang dugaan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak ini. Mempertahankan produksi di pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya Adidas (2005a) menyatakan bahwa mereka tidak memiliki: sebuah kebijakan yang secara aktif mendukung dipilihnya dan dipertahankannya pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya ketimbang pabrik yang tidak ada serikat buruh di dalamnya. Namun demikian, jika kami harus mencari bukti jelas tentang “penggembosan serikat buruh” oleh satu mitra bisnis, dimana pemasok dengan sengaja menutup sebuah pabrik yang ada serikat buruhnya agar bisa membuka kembali bisnis yang bebas serikat di tempat lain, maka kami akan memandang hal ini sebagai pelanggaran terhadap FOA dan akan menghentikan hubungan kami dengan pemasok itu. Perwakilan buruh di dewan Sesuai dengan hukum Jerman, enam dari 12 anggota dewan pengawas adidas adalah wakil dari karyawan langsung adidas. Di tahap sekarang ini, para pekerja di pemasok-pemasok adidas yang memproduksi barang-barang adidas tidak memiliki kehadiran di tingkat dewan, namun ini merupakan opsi yang mungkin layak dipertimbangkan di masa mendatang. Kesepakatan kerangka kerja dengan serikat garmen dan perlengkapan kaki global Adidas (2005a) mengungkapkan keberatan yang sangat kuat tentang kemungkinan untuk menjadi bagian dari sebuah kesepakatan kerangka kerja dengan ITGLWF. Adidas peduli tentang status legal dari kesepakatan-kesepakatan seperti itu dan yakin bahwa proposal-proposal ITGLWF sejauh ini telah gagal "memenuhi independensi legal dan komersial dari mitra-mitra bisnis kami ". Adidas juga mengungkapkan keprihatinan mengenai situasi-situasi dimana angkatan kerja satu pemasok diserikatkan oleh sebuah serikat yang bukan merupakan bagian dari ITGLWF. Oxfam International yakin bahwa keprihatinan-keprihatinan adidas dapat disikapi selama negosiasi-negosiasi dengan ITGLWF dan mendorong adidas untuk berpartisipasi dalam diskusi-diskusi dengan serikat internasional. Hak-hak serikat buruh di luar Asia Sebagai tanggapan atas permintaan Oxfam Australia untuk memberikan contoh langkah-langkah yang ditempuh adidas untuk mendukung hak-hak serikat buruh di belahan-belahan dunia lainnya, adidas (2005a) menyebutkan partisipasinya dalam dialog yang sedang berlangsung dengan serikat-serikat buruh di Amerika Tengah. Adidas juga mencurahkan perhatian pada kasus Hena Tekstil, yang diuraikan dalam profil perusahaan Nike. Di Rumania, adidas juga terlibat dalam sebuah proyek multi-pihak bersama Puma, Steilmann, GTZ (German Technical Cooperation Agency) dan Oxfam Germany yang mempromosikan dialog sosial antara perusahaan dan buruh. 44 Penilaian Oxfam International63 Seperti perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga lainnya, adidas perlu melakukan yang jauh lebih banyak lagi untuk memastikan agar hak-hak serikat buruh dihormati di dalam rantai pasokannya. Secara khusus, tidaklah konsisten bagi sebuah perusahaan, yang telah menyatakan menghormati hak-hak seperti itu, untuk melakukan sourcing lebih dari separuh produksinya di negeri-negeri dimana secara hukum entah tidak mungkin ataupun sangat sulit untuk mempraktekkan hak-hak tersebut. Namun demikian, kesediaan adidas untuk membagi informasi tentang proporsi produksinya di negeri seperti itu merupakan sebuah langkah maju. Oxfam International mengharapkan agar adidas membawa transparansi ini melangkah lebih jauh dan masuk ke dalam jajaran Nike dan Puma dalam hal mengungkap daftar lengkap pemasoknya. Pada sisi positifnya, perusahaan ini menyediakan penjelasan yang rinci dan akurat tentang hakhak serikat buruh bagi para pemasoknya. Dalam dua kasus yang diuraikan di Bagian 2 pada laporan ini, adidas bekerja sama dalam upaya-upaya yang menyeluruh untuk memastikan agar hak-hak ini dihormati. Juga ada bukti bahwa adidas telah proaktif dalam melindungi hak-hak serikat buruh pada kasus-kasus lain di Indonesia. Cukup berharga kiranya bahwa adidas (2005a) merupakan satu-satunya perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga yang memiliki sebuah kebijakan yang memperbolehkan pengurus dan anggota serikat untuk menghadiri pelatihan yang disediakan oleh organisasi-organisasi mereka sendiri dan kelompok-kelompok buruh lainnya. Langkah-langkah yang dapat ditempuh adidas untuk meningkatkan cakupan sejauh mana hakhak serikat buruh dihormati di rantai pasokannya meliputi kerja sama dengan organisasiorganisasi independen untuk memastikan agar buruh mendapatkan pelatihan mengenai hak-hak ini; memprioritaskan dipertahankannya pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya di basis pemasoknya; membagi informasi tentang penentuan harga kepada wakil-wakil buruh; dan berpartisipasi dalam negosiasi-negosiasi dengan serikat ITGLWF mengenai kemungkinan bagi sebuah kesepakatan kerangka kerja internasional. Tambahan: Saat laporan ini sedang difinalisasi untuk dicetak, perkembangan-perkembangan baru memunculkan keraguan akan komitmen adidas untuk mendukung hak buruh untuk kebebasan berserikat di pabrik Panarub. Perkembangan terbaru selengkapnya tentang hal ini akan disiapkan dan disediakan di situs internet <www.oxfam.org.au/campaigns/labour/06report> 63 Penilaian tentang masing-masing perusahaan hendaknya dibaca secara terkait dengan Bagian 3, yang menilai kinerja industri ini secara keseluruhan dan menilai kerja FLA dalam mempengaruhi program-program adidas, ASICS, Nike, Puma dan Reebok tentang hak-hak perburuhan. 45 4.4 Nike Merk Total pendapatan 2004 Inisiatif Multi-pihak Nike, Cole Haan, Bauer Nike, Hockey, Hurley International, Converse dan Kelompok Merk-merk Exeter tahunan pada 10,866 milyar dolar AS (8,920 milyar euro) FLA Nike (2005a) memberikan tanggapan yang relatif rinci terhadap pertanyaan-pertanyaan untuk laporan ini,64 namun menolak untuk menyediakan data rinci tentang pabrik-pabrik pemasoknya dimana serikat buruh telah terbentuk dan telah menegosiasikan kesepakatan-kesepakatan langkah tawar kolektif. Penelitian untuk Bagian 1 laporan ini menemukan bahwa di dua pabrik — Jaqalanka di Srilanka dan MSP Sportswear di Thailand — Nike akhirnya campur tangan dengan cara yang konstruktif dan bekerja sama dengan FLA untuk memastikan agar hak-hak serikat buruh dihormati, tetapi itu baru terjadi setelah organisasi-organisasi lokal dan internasional berkali-kali melakukan seruan publik kepada Nike agar menegakkan kode etik pengaturannya. Di pabrik ketiga, PT Doson di Indonesia, keputusan Nike untuk menghentikan semua order mengakibatkan tutupnya pabrik Doson. Serikat SPN menduga bahwa keputusan Nike ini terkait dengan kampanye industrial mereka yang menuntut upah dan kondisi yang lebih baik di pabrik itu. Panduan untuk pemasok tentang hak-hak serikat buruh Contractor Compliance Manual (CCM) Nike menjelaskan kepada para pemasoknya langkahlangkah yang diharapkan oleh Nike untuk mereka tempuh guna menghormati hak-hak buruh untuk kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif. Penjelasan ini secara luas sesuai dengan—namun kurang rinci bila dibandingkan—konvensi-konvensi ILO yang terkait, yakni nomor 87 dan 98, dan keputusan-keputusan komite ILO yang relevan.65 Harapan-harapan Nike di bidang ini juga kurang rinci bila dibandingkan dengan yang diharapkan Reebok (2001) dan Fair Labor Association (FLA n.d., hal. 29–41). Sebagai contoh, Nike tidak menyebutkan secara khusus bahwa pemasok hendaknya bernegosiasi dengan niat baik dengan serikat yang telah diakui sebagai badan yang melakukan langkah tawar. Seperti halnya Puma, harapan-harapan Nike (n.d) terhadap para pemasoknya dalam bidang ini hanya memfokuskan perhatian pada pemenuhan peraturan hukum nasional mengenai kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif. Sebagaimana telah disebutkan dalam penilaian tentang Puma (Bagian 4.2), pengacuan kepada hukum setempat ini dapat memungkinkan Nike mengabaikan pelanggaran terhadap kebebasan berserikat di negeri-negeri dimana hukum nasional tidak memberikan kekuatan hukum bagi hak untuk kebebasan berserikat. Di luar persyaratan hukum lokal, Nike tidak mencegah atau membatasi sejauh mana pemasok bisa mempekerjakan buruh dengan kontrak jangka pendek, walaupun Nike melarang dilakukannya subkontrak kepada pekerja yang bekerja di rumah (lihat Bagian 2.1.6). Pelatihan buruh mengenai hak-hak serikat buruh Nike mengharuskan para pemasoknya untuk menempelkan kode etik pengaturan Nike di semua ruang utama di tempat kerja. Lebih jauh, Nike (2005a) mengharuskan setiap pemasoknya untuk menyediakan pelatihan bagi manajemennya, buruh dan wakil-wakil buruh tentang persyaratan kode etik pengaturan Nike. Layak kiranya bagi Nike untuk mengharapkan para pemasoknya memiliki kebijakan guna memungkinkan kebebasan berserikat dan mengkomunikasikan kebijakan ini kepada para pekerja mereka. Akan tetapi, karena para manajer pabrik umumnya tidak menginginkan buruh mempraktekkan hak-hak ini, maka tidak sepatutnya mengandalkan para manajer untuk meyakinkan buruh agar memahami hal itu. Nike seharusnya bekerja sama dengan organisasiorganisasi pejuang hak buruh untuk memungkinkan adanya pelatihan yang independen tentang 64 Tersedia di website Oxfam Australia <www.oxfam.org.au/campaigns/labour/06report>. Lihat ringkasan keputusan-keputusan Komite ILO tentang Kebebasan Berserikat di <http://www.ilo.org/ilolex/english/digestq.htm>. 65 46 kebebasan berserikat dan juga memastikan agar organisasi-organisasi serikat buruh mendapat akses ke tempat kerja untuk memberikan pelatihan seperti itu. Nike (2005a) melaporkan bahwa telah ada kerja sama dengan universitas-universitas setempat, LSM-LSM dan konsultankonsultan hukum perburuhan setempat untuk menyediakan pelatihan hukum perburuhan bagi beberapa buruh, namun mengindikasikan bahwa sistem-sistem pencatatan mereka sekarang ini tidak memungkinkan mereka untuk mendapatkan dan menyediakan informasi rinci tentang berapa banyak dari pelatihan ini yang secara khusus berkaitan dengan hak-hak serikat buruh.66 Negeri dan Zona Perdagangan Bebas dimana hak-hak serikat buruh tidak memiliki kekuatan hukum Nike (2005a) menolak mengatakan berapa proporsi produksinya yang berlangsung di negerinegeri atau zona-zona perdagangan bebas dimana hak untuk kebebasan berserikat tidak diberi pemberlakuan legal. Nike menjaga jarak dari tanggung jawab tentang keputusan-keputusan ini dengan berargumen bahwa hubungan mereka adalah dengan pemasoknya, dan terserah pemasok untuk memutuskan dimana pabriknya akan berlokasi. Hal ini mengabaikan pengaruh cukup besar yang dimiliki Nike dalam hubungannya dengan pemasok. Laporan Nike yang terbaru (2005b, hal. 38–41) tentang tanggung jawab korporat menunjukkan bahwa ketika "hukum itu sendiri melarang hak buruh untuk berasosiasi secara bebas ataupun melakukan langkah tawar secara kolektif... maka tujuan kami adalah memfasilitasi sebuah proses dimana buruh bisa mencapai wadah perwakilan yang sejajar". Di satu negeri seperti itu, Nike melaporkan bahwa mereka telah bekerja bersama sebuah organisasi setempat untuk menyediakan pelatihan mengenai hukum perburuhan lokal dan isu-isu terkait. Pada tahun 2004, semua buruh di pabrik ini memilih wakil-wakil untuk duduk sejajar dengan manajemen pabrik dan serikat yang disetujui negara dalam Komite Urusan Keluhan Pabrik. Nike mengakui bahwa ini bukanlah sebuah serikat buruh, namun menggambarkan langkah ini sebagai suatu permulaan yang penting. Oxfam Australia tidak bisa menyelidiki hal ini dalam masa penyiapan laporan ini, namun berencana untuk melakukannya di masa mendatang. Nike (2005b, hal. 40) juga melaporkan bahwa mereka sedang bekerja bersama wakil-wakil serikat dan pabrik untuk mendukung pendirian komite kesejahteraan buruh di sebuah pabrik di salah satu zona pemrosesan ekspor (EPZ) Bangladesh. Berdasarkan sebuah Undang Undang yang diterbitkan pada bulan Juli 2004, sekarang ini sah untuk mendirikan komite kesejahteraan seperti itu di EPZ Bangladesh sebagai pendahuluan bagi legalisasi serikat-serikat buruh di EPZ mulai 1 November 2006. Oxfam International berencana untuk melaporkan perkembangan inisiatif-inisiatif ini di masa mendatang. Audit dan verifikasi Perangkat utama pemantauan internal Nike adalah ‘M-Audit’. Para staf Nike yang telah dilatih secara khusus melakukan audit-audit ini di 25–33% basis pabrik aktif Nike setiap tahun (Nike 2005b, hal. 20–7). FLA juga melakukan penyelidikan-penyelidikan eksternal di 5% dari pemasokpemasok Nike setiap tahun (lihat Bagian 3.7). Pada tahun 2004, M-Audit menemukan bahwa, "Kebebasan berserikat tidak diakomodir, walaupun legal" di kurang dari 10% basis pemasok Nike. Namun demikian, Nike (2005b, hal. 41) mengakui bahwa: ada banyak metode halus yang mungkin digunakan oleh para majikan untuk membatasi hak buruh untuk berasosiasi secara bebas...kami tidak mempunyai gambaran lengkap tentang situasi sebenarnya dikarenakan tantangan yang dihadapi untuk menemukan praktek-praktek ini melalui pemantauan. Kasus MSP Sportswear dan Jaqalanka yang telah dibahas di Bagian 2 memunculkan keraguan tentang sejauh mana ketelitian staf audit internal Nike dalam menyelidiki hakhak serikat buruh. Pada tanggal 19 Januari 2005, Nike mengirim surat kepada Oxfam Australia mengenai dugaan telah terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan berserikat dalam kasus MSP, dengan menyebutkan bahwa: 66 Komunikasi personal dengan Caitlin Morris dari Nike, 6 Desember 2005. 47 Pengungkapan dan penyelesaian persoalan-persoalan mendasar dalam tipe-tipe kasus seperti ini memerlukan keterlibatan organisasi-organisasi pihak ketiga yang netral. Sebagai 67 pembeli bagi pabrik MSP, Nike bukanlah mediator yang tepat dalam perselisihan ini. Walaupun kasus ini pada akhirnya diselesaikan secara efektif dengan adanya campur tangan FLA, namun penting kiranya bahwa Nike seharusnya tidak menghindari tanggung jawab untuk menyelidiki apakah hak-hak serikat buruh dihormati di pabrik-pabrik pemasoknya. Peran FLA yang telah dinyatakan adalah untuk memverifikasi apakah Nike dan perusahaan-perusahaan lainnya menjamin penghormatan atas hak-hak buruh, bukan untuk menjadi jajaran pertama yang melakukan penyelidikan (lihat Bagian 3.7). Nike berpartisipasi dalam sebuah program pemantauan dan pelatihan yang sangat positif di Bulgaria yang menyikapi hak-hak serikat buruh. Sayangnya di akhir program, Nike secara signifikan mengurangi ordernya kepada pabrik-pabrik yang terlibat (Aculah ke Kotak 4.4a). Mekanisme pengaduan Survei Oxfam Australia menanyakan apakah Nike telah membentuk "sarana yang bersifat rahasia dan terjangkau bagi buruh untuk melaporkan pelanggaran terhadap hak-hak serikat buruh". Sebagai tanggapan, Nike (2005a) menyebutkan bahwa nomor telepon pengaduan bebas pulsa telah dipasang di dua negeri. Di Indonesia, Nike (2005a) telah bekerja bersama sebuah organisasi perempuan setempat untuk memasang hotline telepon yang bersifat rahasia di sejumlah pabrik, sehingga para perempuan bisa melaporkan pengaduan tentang pelecehan seksual. Nike menolak memberikan contoh-contoh tentang buruh yang menggunakan mekanisme pengaduan Nike untuk melaporkan pelanggaran terhadap hak-hak serikat buruh. Pengembangan keterampilan bagi wakil-wakil buruh Nike (2005a) tidak mengharuskan para pemasoknya untuk memberi wakil-wakil serikat waktu bebas kerja guna menghadiri pelatihan ataupun mengurusi penyelesaian perselisihan, walaupun Nike baru-baru ini melakukan campur tangan, sehingga seorang wakil serikat dari Malaysia bisa menghadiri sebuah pertemuan ITGLWF. Dampak praktek pembelian terhadap penghormatan atas hak-hak buruh Nike telah mengakui secara publik bahwa praktek-praktek pemesanan mereka dapat turut menyebabkan terjadinya kerja lembur berlebihan di pabrik-pabrik pemasoknya, dan telah membentuk satuan tugas internal untuk menyikapi isu ini (MSN 2005, hal. 8). Laporan terbaru perusahaan ini tentang tanggung jawab korporat menguraikan tentang pendekatan mereka berupa “kartu skor berimbang”, yang berarti bahwa nilai pemenuhan pemasok terhadap M-audit dan ukuran-ukuran tanggung jawab korporat lainnya menghasilkan suatu peringkat tanggung jawab korporat yang, sebagai tambahan bagi ukuran-ukuran Nike yang biasanya seperti harga, waktu pengiriman dan kualitas, akan mempengaruhi apakah Nike akan menempatkan order kepada satu pemasok tertentu. Positif kiranya bahwa Nike kini mulai menyertakan informasi pemenuhan kode etik ke dalam keputusan-keputusannya tentang sourcing. Namun demikian, sangat penting kiranya agar proses untuk melakukan hal itu tidak menyebabkan Nike mengurangi order kepada pabrik-pabrik dimana buruh sedang berusaha mendirikan serikat. Nike (2005b) mengakui bahwa mereka mendapati sebagai hal yang menantang untuk memantau kebebasan berserikat, dan berpendapat bahwa kebebasan berserikat "hanya bisa diuji selama masa-masa ketika buruh secara aktif mempraktekkan hak ini". Ini menunjukkan bahwa Nike kemungkinan besar akan menilai sebuah pabrik itu buruk bila gagal menghormati kebebasan berserikat persis di saat buruh sedang berusaha berorganisasi. Nike hendaknya menyesuaikan pendekatan “kartu skor berimbang” sehingga mereka memprioritaskan untuk mempertahankan hubungan pembelian dengan pabrikpabrik yang ada serikat buruhnya dan dengan pabrik-pabrik dimana buruh sedang berusaha mendirikan serikat buruh. Transparansi 67 Tanggapan oleh Nike, 19 Januari 2005, lihat <http://www.oxfam.org.au/campaigns/nike/reports/letters.html> 48 Nike merilis daftar alamat pabrik-pabrik yang merupakan pemasok produk-produk bermerk Nike pada bulan April 2005. Ini adalah sebuah langkah maju yang penting dalam hal transparansi. Oxfam International mendorong Nike untuk merilis alamat pabrik-pabrik yang membuat produkproduk bermerk lain yang juga dimiliki Nike, termasuk Converse dan perlengkapan olahraga kortingan yang diproduksi Nike untuk dijual di toko-toko Wal-Mart. Mempertahankan produksi di pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya Nike tidak memiliki kebijakan yang secara aktif mendukung dipilihnya dan dipertahankannya pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya di rantai pasokannya. Selain kasus Doson (lihat Bagian 1.5), Oxfam International prihatin bahwa Nike baru-baru ini menghentikan pemesanan kepada pabrik Lian Thai di Thailand,68 sebuah pabrik yang di dalamnya ada sebuah serikat yang demokratis, yang sebagian besar anggotanya adalah buruh perempuan. Pabrik ini sebelumnya merupakan pabrik percontohan dalam program Aliansi Global Nike. Nike (2006) melaporkan bahwa "Nike dan Lian Thai meninjau rencana-rencana dan prioritas-prioritas bisnis kami, dan secara bersama menyepakati bahwa pemasok/pembeli yang lain akan lebih bisa memenuhi kebutuhan masing-masing dari kami". Namun, menanggapi penyelidikan Oxfam Australia, pemimpin serikat buruh di Lian Thai, Prakob Yorddamnern, dengan tegas mempertanyakan apakah hengkangnya Nike dari pabrik itu memang berdasarkan kesepakatan bersama. Dia yakin bahwa pihak manajemen Lian Thai akan senang kalau bisa terus memproduksi produk Nike. Dia dan wakil-wakil buruh lainnya di Lian Thai sangat kecewa dengan keputusan Nike (dan Puma) untuk menghentikan pemesanan kepada pabrik itu. Perwakilan buruh di dewan Sekarang ini tidak ada wakil-wakil buruh terpilih di dewan direktur Nike. Kesepakatan kerangka kerja dengan serikat garmen dan perlengkapan kaki global Pada tahun-tahun terakhir ini Nike telah bergabung dengan sejumlah pemilik merk perlengkapan olahraga dalam menghadiri pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh ITGLWF. Nike juga telah mengungkapkan kesediaan untuk berpartisipasi dalam dialog reguler dengan serikatserikat buruh di tingkat nasional di Indonesia dan negeri-negeri lain. Mengenai kesepakatan kerangka kerja yang diusulkan, Nike (2005a) yakin bahwa "ada beberapa tujuan bersama...dan [kami] ingin menggali itu lebih jauh". Namun demikian, Nike yakin bahwa tipe-tipe kesepakatan seperti ini "harus menyertakan komitmen dari pemilik pabrik”. Syarat terakhir ini memunculkan pertanyaan tentang minat Nike terhadap kesepakatan kerangka kerja yang diusulkan, karena hal itu memungkinkan Nike menggunakan keengganan pemilik pabrik untuk bekerja sama sebagai alasan untuk tidak berpartisipasi. Hak-hak serikat buruh di luar Asia Nike (2005a) mencurahkan perhatian pada peran perusahaannya dalam menyelesaikan isu-isu hak serikat buruh di pabrik Hena Tekstil di Turki. Nike bekerja sama dengan adidas untuk membujuk pihak manajemen Hena Tekstil agar berpartisipasi dalam dialog dengan serikat DISK yang menghasilkan diakuinya DISK sebagai serikat mayoritas dan ditandatanganinya sebuah kesepakatan proses tawar kolektif pada bulan April 2005. Juga ada sebuah kesepakatan untuk menyelidiki dan mempekerjakan kembali anggota-anggota serikat buruh yang telah diberhentikan. Oxfam International berharap untuk bisa melaporkan perkembangan lebih jauh di pabrik ini di masa mendatang. Penilaian Oxfam International69 Nike baru-baru ini telah menunjukkan transparansi yang lebih besar dan kemauan untuk berpartisipasi dalam dialog sosial. Perusahaan ini merilis alamat para pemasok produk bermerk Nike pada bulan April 2005 dan berpartisipasi dalam sejumlah inisiatif yang potensial akan 68 Komunikasi Personal (email) Agatha Schmaedick dari Workers Rights Consortium, 20 Desember 2005. 69 Penilaian tentang masing-masing perusahaan hendaknya dibaca secara terkait dengan Bagian 3, yang menilai kinerja industri ini secara keseluruhan dan menilai kerja FLA dalam mempengaruhi program-program adidas, ASICS, Nike, Puma dan Reebok tentang hak-hak perburuhan. 49 berguna, termasuk Forum MFA (MSN 2005, hal. 10–16), JO-IN Initiative70 dan proyek FLA di Amerika Tengah.71 Nike juga telah mengakui bahwa menjamin penghormatan atas hak-hak serikat buruh di dalam rantai pasokannya mencerminkan suatu tantangan yang cukup besar. Namun demikian, tetap tidak jelas sejauh mana komitmen perusahaan ini untuk menempuh tantangan ini. Dalam dua kasus yang diuraikan di Bagian 2, Nike bekerja sama dengan FLA dalam proses-proses yang menghasilkan dihormatinya hak-hak buruh dalam hal serikat buruh. Tetapi perusahaan ini bergerak lamban dan tampak sangat mengandalkan FLA untuk menyelesaikan masalah ketika isu-isu hak serikat buruh di dalam rantai pasokannya mendapat perhatian kampanye internasional. Tanpa memandang alasan-alasan bisnis dibalik keputusan Nike untuk mengurangi atau menghentikan order kepada pabrik Doson di Indonesia, pabrik Lian Thai di Thailand dan pabrikpabrik di Bulgaria yang terlibat dalam Proyek Perlengkapan Pakaian Bulgaria (Kotak 4.4a), keputusan-keputusan ini telah mengakhiri atau mengurangi kehadiran pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya di rantai pasokan Nike dan memberi pemasok-pemasok lainnya insentif yang kecil untuk memenuhi kode etik pengaturan Nike dan memperbolehkan buruh untuk berorganisasi dalam serikat buruh serta melakukan langkah tawar kolektif. Jika Nike bersungguhsungguh tentang penghormatan atas hak-hak serikat buruh, maka mereka seharusnya memprioritaskan untuk mempertahankan produksi di pabrik-pabrik dimana buruh telah mendirikan serikat buruh yang demokratis dan hendaknya mendorong pemilik pabrik untuk melakukan proses tawar secara kolektif dengan para buruh. Nike hendaknya juga bekerja bersama serikat buruh dan para pemasok untuk menyikapi miskonsepsi tentang serikat dan isu akses serikat buruh bagi para buruh di tingkat lokal serta memungkinkan penyediaan pelatihan bagi buruh mengenai hak kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif. Positif kiranya bahwa Nike telah mengakui bahwa praktek-praktek pembelian oleh perusahaannya bisa berdampak negatif terhadap kondisi kerja, namun Nike hendaknya menjamin agar setiap perbaikan dalam praktek pembelian ini tidak berdampak negatif terhadap hak buruh untuk berorganisasi. 70 71 Lihat profil perusahaan Puma untuk mendapatkan penjelasan tentang inisiatif ini. Lihat profil perusahaan Reebok untuk mendapatkan penjelasan tentang inisiatif ini. 50 Kotak 4.4a Melakukan hal yang benar, kemudian hengkang: proyek perlengkapan pakaian Bulgaria Laporan tahunan Nike (2005b, hal. 40–1) maupun adidas (2005b, hal. 36) tentang tanggung jawab korporat untuk tahun 2004 menyertakan referensi tentang sebuah proyek di Bulgaria yang dirancang untuk: ...mendorong dialog yang konstruktif antara pihak manajemen dan buruh serta antara pemerintah, industri dan serikat-serikat buruh, dan untuk membangun kapasitas di kalangan buruh, kelompokkelompok buruh, para majikan dan serikat-serikat buruh. Melalui inisiatif ini, semua pihak yang terkait mendapat pelatihan yang terfokus tentang isu-isu tanggung jawab korporat, dialog sosial, kode etik korporat, hukum-hukum lokal dan internasional serta implikasi-implikasi lokal yang mungkin. Melalui 'lingkar-lingkar peningkatan' para buruh berbagi apa yang telah mereka pelajari dengan lebih dari 500 buruh lainnya di pabrik-pabrik mereka...Sekitar 140 orang dari pabrik-pabrik berbeda... terlibat langsung dalam pelatihan ini. Dari jumlah total 140 orang, 97 di antaranya adalah pekerja tingkat pabrik. (Adidas 2005b, hal. 36). Proyek ini melibatkan adidas, Nike, Levi's dan H&M yang bekerja sama dengan Federasi Serikat Buruh Eropa di Bidang Tekstil, Pakaian dan Kulit serta Kementerian Perburuhan Bulgaria. Just Solutions72, sebuah perusahaan yang menyediakan audit, pelatihan dan konsultasi perburuhan, terlibat secara luas dalam penyediaan pelatihan ini. Just Solutions memiliki keahlian yang cukup tinggi di bidang hak-hak serikat buruh. Jenis proyek seperti ini adalah yang tepat bagi pemilik merk perlengkapan olahraga untuk terlibat di dalamnya — penyediaan langsung pelatihan tentang hak-hak serikat buruh bagi buruh dan pihak-pihak utama lain yang terkait oleh organisasi-organisasi yang memiliki keahlian yang mapan di bidang ini. Sayangnya, setelah selesainya proyek ini, Nike secara signifikan mengurangi sourcing-nya di Bulgaria dan mengurangi atau menghentikan order kepada pabrik-pabrik yang ambil bagian dalam proyek tersebut.73 Menurut Nike, keputusan ini diambil karena agen pembelian yang melakukan sourcing di pabrik-pabrik itu gagal memenuhi harapan-harapan Nike tentang pengiriman dan kualitas.74 Berbeda jauh dengan itu, adidas (2006) melaporkan bahwa mereka masih bekerja sama dengan ketiga pabrik pemasoknya yang berpartisipasi dalam proyek itu, dan bahwa pada tahun 2005, order produk adidas kepada pabrik-pabrik itu meningkat sebesar 15 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sangat mengecewakan bahwa Nike gagal memungkasi proyek yang positif itu dengan mempertahankan atau meningkatkan order kepada pabrik-pabrik yang terlibat. Manajer pabrik tidak bisa berharap untuk menginvestasikan waktu dan tenaga dalam upaya-upaya serius untuk meningkatkan pemahaman tentang—dan penghormatan atas— hak-hak serikat buruh jika pemilik merk yang terlibat tidak berkomitmen sungguh-sungguh bagi sebuah hubungan pemesanan yang berjangka panjang. Oxfam International mengharapkan bahwa Nike dan adidas akan memungkasi proyek tersebut dengan memprioritaskan untuk menempatkan order di pabrik-pabrik ini. 72 Lihat <www.just-solutions-net.com/services.php>. Caitlin Morris (Direktur Nike untuk Bidang Integrasi & Kerja sama, Pemenuhan Tanggung jawab Korporat) mengindikasikan melalui email tertanggal 21 Desember 2005 bahwa pada Desember 2005, Nike tidak menempatkan order kepada dua pabrik pemasok Nike yang ambil bagian dalam proyek ini. Nike (2006) mengindikasikan bahwa "produk-produk Nike terus dibuat di empat dari lima pabrik yang terlibat dalam proyek ini, dengan jumlah yang menurun". 74 Komunikasi Personal dengan Caitlin Morris dari Nike, 9 Desember 2005. 73 51 Kotak 4.4b. Sebuah contoh positif: the sports and corporate wear ethical clothing deed Hanya sembilan dari lebih dari 700 tempat kerja yang memproduksi produk bermerk Nike berlokasi di Australia, namun para buruh di pabrik-pabrik itu dilindungi oleh sebuah kesepakatan yang khas bila dibandingkan dengan keseluruhan rantai pasokan Nike. Pada tahun 2003, Nike Australia dan Textile Clothing and Footwear Union of Australia (TCFUA) menandatangani the Sports and Corporate Wear Ethical Clothing Deed. Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam akte ini, Nike menerima bahwa setiap orang di Australia yang memproduksi barang-barang bermerk Nike harus mendapatkan upah dan kondisi-kondisi legal yang diuraikan secara garis besar dalam the Clothing Trades Award. Ini diharuskan oleh hukum Australia, bagaimanapun kasusnya. Yang tidak lazim tentang pengaturan ini ialah bahwa TCFUA diberi kewenangan untuk memasuki gedung tempat pemasok Nike, tanpa perlu pemberitahuan terlebih dahulu, memeriksa catatan upah, mewawancarai para pekerja dan melakukan inspeksi tentang keselamatan. Terlebih lagi, ini lebih merupakan sebuah akte yang mengikat secara hukum ketimbang sebuah kode etik sukarela, dan akte ini merupakan bagian dari pengaturan kontrak Nike dengan pemasok. Reebok telah menandatangani akte serupa yang mencakup produksi barang-barangnya di Australia, dimana Reebok memiliki lima pemasok. Oxfam International mendorong Nike, Reebok dan merk-merk perlengkapan olahraga lainnya untuk menerapkan transparansi dan kerja sama dengan tingkat seperti ini kepada serikat-serikat buruh yang demokratis di seluruh rantai produksi global mereka. 52 5. Kesimpulan Seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman-pengalaman buruh perlengkapan olahraga yang didokumentasikan dalam laporan ini, Asia bisa menjadi tempat yang sulit dan berbahaya untuk masuk menjadi anggota serikat buruh. Dua dari kasus-kasus pabrik melibatkan serangan dengan kekerasan terhadap organiser serikat, dan dalam kedua kasus itu anggota-anggota serikat diancam akan dibunuh kalau tidak menghentikan aktivitas serikat buruhnya. Dalam sebuah kasus lainnya, begundal-begundal setempat membubarkan sebuah demonstrasi buruh, dan kemudian pada malam harinya menyatroni rumah salah seorang organiser — untungnya dia (perempuan) telah menduga bahwa hal ini mungkin akan terjadi dan telah mengatur untuk menginap di tempat lain. Pada sebuah kasus lain yang diuraikan dalam laporan ini, para buruh melaporkan bahwa walaupun majikan mereka tidak menggunakan kekerasan untuk menghalangi buruh berkampanye menuntut upah dan kondisi yang lebih baik, namun sudah lazim bahwa para pemilik pabrik di zona perdagangan bebas mereka menyewa begundal untuk membubarkan pemogokan. Ini turut menyebabkan munculnya kondisi umum ketakutan di zona itu, dan membuat semua buruh enggan untuk berorganisasi. Meski dalam kebanyakan kasus tidak ada bukti yang langsung mengaitkan kekerasan ini dengan majikan, namun kekerasan tersebut jelas dirancang untuk menakut-nakuti buruh agar menanggalkan ide apapun tentang berpartisipasi dalam serikat buruh. Kekerasan hanyalah satu dari banyak cara yang digunakan untuk menghentikan buruh dari mengorganisasi diri mereka dalam serikat buruh. Teknik-teknik lain yang didokumentasikan dalam laporan ini meliputi dipindahkannya para organiser serikat ke tugas-tugas kasar, memecat buruh karena berpartisipasi dalam aksi industrial, menggunakan kata-kata kasar dan bentukbentuk pelecehan lainnya terhadap anggota serikat, dan mengancam untuk menutup pabrik serta memindahkannya ke negeri lain dimana hak-hak serikat buruh tidak dihormati. Karena tingkat pengangguran di banyak belahan Asia sangat tinggi, maka ancaman yang disebutkan terakhir tadi secara khusus bisa efektif. Buruh perlengkapan olahraga dan garmen di Asia juga makin sering dipekerjakan dengan kontrak jangka pendek, dan buruh yang dipekerjakan dengan aturan yang ‘fleksibel’ ini khususnya takut untuk masuk menjadi anggota serikat, kalau-kalau majikan mereka menanggapinya dengan tidak memperpanjang kontrak mereka. Meski laki-laki maupun perempuan sama-sama mengalami kesulitan ini, namun kaum perempuan Asia yang ingin membentuk—atau masuk menjadi anggota—serikat buruh menghadapi hambatan-hambatan tambahan. Kendati perannya dalam angkatan kerja yang dibayar makin meningkat, perempuan masih umum diharapkan untuk memikul bagian tanggung jawab yang lebih besar dalam urusan rumah tangga serta perawatan di dalam keluarga dan komunitas mereka, sehingga mengurangi waktu mereka yang ada untuk berpartisipasi dalam aktivitas serikat buruh. Jam-jam kerja panjang yang umum berlaku di banyak industri, termasuk perlengkapan olahraga, berarti bahwa pertemuan-pertemuan serikat buruh cenderung berlangsung pada larut malam. Karena itu, perempuan yang ingin menghadiri pertemuanpertemuan ini sering kali harus menghadapi risiko keamanan tambahan yang dihadapi para perempuan di malam hari di banyak kawasan industri Asia. Perempuan yang pulang ke rumah pada larut malam dari pertemuan seperti itu juga sering dianggap ‘liar’ atau tak bermoral dengan cara yang mana laki-laki tidak dianggap demikian. Mengingat lebih dari 80% buruh perlengkapan olahraga adalah perempuan, dan bahwa pengalaman dan kebutuhan perempuan di tempat kerja memiliki perbedaan-perbedaan penting dibandingkan pengalaman dan kebutuhan laki-laki, maka secara khusus penting kiranya agar rintangan-rintangan bagi partisipasi perempuan dalam pembentukan serikat buruh dan langkah tawar kolektif dihapuskan. Kendati ada rintangan-rintangan bagi pengorganisasian serikat buruh, hak untuk kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif tidak kalah pentingnya. Sebagaimana yang terjadi di kebanyakan industri yang padat kerja, upah dan kondisi kerja yang sangat eksploitatif masih umum berlangsung di sektor perlengkapan olahraga di Asia. Upaya-upaya untuk meningkatkan upah dan kondisi kerja ini agaknya tidak mungkin menghasilkan perubahan yang berkelanjutan jika mereka tidak memperbolehkan adanya ruang bagi buruh untuk membentuk organisasinya sendiri dan melakukan langkah tawar secara kolektif. Auditor eksternal yang dipekerjakan oleh 53 perusahaan-perusahaan transnational (TNC) hanya sekali-sekali bisa mengunjungi sebuah pabrik, dan pemasok mereka biasanya terlebih dahulu memperingatkan para buruh agar memberikan keterangan yang tidak benar kepada auditor demi melindungi pekerjaan mereka. Bahkan jika auditor TNC membawa peningkatan dalam hal upah dan kondisi kerja sekalipun, ini hanya akan sedikit berpengaruh untuk merubah kurangnya keberdayaan buruh di dalam rantai pasokan, dan perbaikan-perbaikan apapun akan tergantung pada niat baik TNC yang berkelanjutan. Jika buruh bisa membentuk serikat, melakukan langkah tawar secara kolektif dan menempuh aksi industrial, maka ini akan memberi mereka suatu kekuatan untuk menegosiasikan upah dan kondisi kerja yang lebih baik bagi diri mereka sendiri. Isu ini hendaknya disikapi berdasarkan industri secara luas maupun oleh perusahaanperusahaan yang bertindak sendiri-sendiri. Meski sejumlah pemilik merk perlengkapan olahraga telah mengindikasikan bahwa mereka yakin World Federation of Sporting Goods Industries (WFSGI) hendaknya memegang kepemimpinan dalam mengkoordinasikan kerja dunia industri tentang hak-hak buruh, namun serikat-serikat buruh dan kelompok-kelompok pejuang hak buruh yang terlibat dalam dialog dengan WFSGI (termasuk Oxfam) melaporkan bahwa, sungguh mengecewakan, perkembangannya sejauh ini lamban. Sampai dengan Desember 2005, WFSGI belum secara resmi memberi tanggapan terhadap serangkaian rekomendasi (sebuah Program Kerja) yang diusulkan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil kepada mereka pada awal 2004. Program ini mencakup sebuah usulan agar WFSGI dan perusahaan-perusahaan anggotanya menegosiasikan sebuah kesepakatan kerangka kerja dengan ITGLWF guna merancang proses-proses untuk menjamin penghormatan atas hak-hak serikat buruh. Sayangnya, sejauh ini hanya sedikit pemilik merk perlengkapan olahraga yang mengungkapkan kesediaan untuk secara sungguh-sungguh menindaklanjuti usulan ini, dengan Puma dan Umbro menunjukkan sikap yang paling terbuka. Dalam hal program hak-hak buruh dari masing-masing pemilik merk perlengkapan olahraga, penelitian Oxfam International untuk laporan ini mengindikasikan bahwa meski beberapa pemilik merk perlengkapan olahraga telah membuat komitmen kebijakan untuk menghormati hak-hak serikat buruh, namun pelaksanaannya sangat kurang memenuhi apa yang dibutuhkan. Kontradiksi yang paling mencolok antara kebijakan dan prakteknya ialah dalam hal begitu banyaknya produksi yang ditempatkan di negara-negara atau zona-zona perdagangan bebas yang tidak memberikan kekuatan hukum bagi hak-hak buruh untuk kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif. Adidas men-sourcing sedikit di atas separuh produksi perlengkapan olahraganya di negara-negara seperti itu. Untuk Puma, ini lebih dari separuh produksi sepatu olahraganya, dan untuk New Balance, ini hampir semua dari produksinya di Asia. Sejak tahun 1998, ketika Nike menyatakan komitmen publik untuk menjamin penghormatan atas hak-hak serikat buruh, perusahaan ini telah secara signifikan mengurangi proporsi sepatu olahraganya yang dibuat di negeri-negeri dimana hak-hak ini mendapat pemberlakuan legal. Nike, Puma, adidas dan New Balance sekurangnya layak untuk mendapatkan suatu penghargaan atas transparansi mereka untuk isu ini — khususnya adidas yang menyediakan data rinci. Agaknya pemilik-pemilik merk perlengkapan olahraga yang menolak membagi informasi ini memiliki proporsi yang serupa, kalau tidak malah lebih tinggi, dari produksinya di negara-negara yang tidak memberikan pemberlakuan legal bagi hak-hak serikat buruh. Perusahaan yang bersungguh-sungguh mengenai penghormatan atas hak-hak ini hendaknya mengambil sebuah kebijakan bahwa setiap produksi baru akan di-sourcing di negara-negara yang memberikan kekuatan hukum bagi hak-hak ini, dan hendaknya menegaskan alasan mengapa mereka melakukannya kepada pemerintahan-pemerintahan yang terlibat. Ini bukanlah untuk mengatakan bahwa setiap pemerintahan di Asia memiliki track record yang sempurna mengenai hak-hak serikat buruh. Di Indonesia ada perlindungan hukum bagi hak-hak ini yang secara signifikan lebih besar dibandingkan selama masa kepresidenan Suharto, namun organisasi-organisasi serikat buruh Indonesia melaporkan adanya peningkatan yang mengkhawatirkan dalam hal penggunaan kontrak jangka pendek dan aturan-aturan pekerjaan ‘fleksibel’ lainnya yang membuat buruh sulit untuk berorganisasi. Namun demikian, Indonesia telah membuat kemajuan penting mengenai hak-hak serikat buruh sejak jatuhnya Suharto, dan perusahaan-perusahaan yang menghargai hak-hak demokratik seharusnya memberikan pertimbangan yang mendukung hal ini ketika membuat keputusan-keputusan sourcing. 54 Bahkan di negeri-negeri dimana serikat buruh independen itu sebenarnya legal sekalipun, sekarang ini tidak ada pemilik merk perlengkapan olahraga yang menempuh langkah-langkah yang memadai untuk memastikan agar hak-hak ini pada prakteknya dihormati. Secara khusus, tidak ada perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga yang memiliki kebijakan dan prosedur yang berlaku, yang secara efektif mencegah pemasoknya untuk menutup pabrik yang ada serikat buruhnya dan memindahkan produksi ke pabrik yang tidak ada serikat buruhnya. Beberapa pemilik merk perlengkapan olahraga berkomitmen untuk menghentikan pemasok yang ingin menutup sebuah pabrik demi membubarkan sebuah serikat buruh, tetapi para pemilik ini tidak keberatan bila pabrik yang ada serikat buruhnya ditutup dengan alasan-alasan bisnis yang lain. Pada prakteknya, ini berarti bahwa pemasok relatif bebas untuk menutup pabrik yang ada serikat buruhnya, karena biasanya selalu mungkin untuk mencari alasan-alasan lain untuk memindahkan produksi. Oxfam International yakin bahwa bila ada serikat buruh yang demokratis di sebuah pabrik, maka pemilik merk perlengkapan olahraga seharusnya memprioritaskan untuk mempertahankan pabrik ini di dalam rantai pasokannya, dan hendaknya bekerja sama dengan pemasok guna mencari cara untuk membuat pabrik itu beroperasi secara menguntungkan. Juga hanya sedikit kemajuan yang dapat dilaporkan mengenai para pemilik perlengkapan olahraga yang menyikapi dampak dari praktek pembelian mereka (harga, waktu pengiriman, stabilitas hubungan bisnis) terhadap hak-hak buruh. Beberapa pemilik merk, terutama adidas, menerima bahwa hubungan bisnis yang stabil merupakan suatu prasyarat penting bagi pengorganisasian serikat buruh, dan mengklaim bahwa mereka sedang membangun hubungan jangka panjang dengan sejumlah kecil pemasok. Beberapa pemilik merk perlengkapan olahraga juga mengklaim sedang mengelola aliran order mereka untuk meminimalkan kemungkinan diharuskannya buruh untuk bekerja lembur berlebihan. Tidak ada perusahaan pemilik merk yang bersedia membagi informasi tentang penentuan harganya kepada wakil-wakil buruh ataupun mengharuskan pemasok untuk menyediakan informasi keuangan yang selengkapnya bagi wakilwakil buruh sebagai indikasi kemauan untuk melakukan proses tawar dengan niat baik. Informasi ini akan sangat membantu buruh yang terlibat dalam negosiasi-negosiasi tentang upah. Walaupun tidak ada pemilik merk perlengkapan olahraga yang menempuh program-program yang menyeluruh dan efektif untuk memastikan dihormatinya hak-hak serikat buruh di rantai pasokannya, namun sebagian kini menunjukkan kemajuan yang terbatas. Transparansi tentang alamat pabrik itu penting, karena hal ini memudahkan organisasi-organisasi independen untuk menyelidiki apakah hak-hak buruh dihormati. Pada tahun 2005, Nike merilis rincian alamat semua pabrik yang memproduksi produk bermerk Nike, meskipun tidak termasuk alamat pemasok-pemasok yang membuat merk-merk lainnya (non-Nike) yang juga dimiliki Nike. Kemudian pada tahun 2005, Puma dan Reebok mengikuti langkah Nike dan merilis alamat pabrik-pabrik yang memasok produk-produk bermerk Reebok dan Puma. Oxfam International mendorong semua pemilik merk perlengkapan olahraga untuk merilis daftar semua pemasoknya untuk semua merk yang mereka miliki. Reebok, Puma, adidas dan Nike merupakan perusahaan yang terbukti paling bersedia bekerja sama dalam penelitian untuk laporan ini. Perusahaan-perusahaan ini juga merupakan anggota FLA. ASICS baru-baru ini juga telah masuk menjadi anggota FLA, dan Umbro telah mengajukan permohonan untuk masuk menjadi anggota. Menjadi anggota FLA mencerminkan sebuah langkah maju bagi perusahaan-perusahaan ini, terutama sejauh mana buruh bisa mendapatkan akses ke prosedur pengaduan FLA. Namun demikian, perbaikan-perbaikan yang signifikan dibutuhkan sebelum bisa ada keyakinan bahwa FLA menetapkan agar perusahaan bertanggung jawab untuk memastikan agar para pemasoknya menghormati hak-hak serikat buruh. FLA tampaknya menyadari keterbatasan-keterbatasan dari kerjanya sekarang ini dalam hal hak-hak serikat buruh dan telah menetapkan suatu arah baru yang, secara prinsip, berpotensi untuk meningkatkan dampak FLA. Di Asia, staf Reebok telah bekerja keras untuk memastikan agar hak-hak serikat buruh dihormati di sejumlah pabrik pemasoknya. Reebok juga merupakan satu-satunya perusahaan yang memiliki kebijakan yang membatasi dipekerjakannya buruh dengan kontrak jangka pendek. Walaupun di tahap sekarang ini belum jelas seberapa efektif kebijakan ini diterapkan, namun ini merupakan langkah maju yang penting, karena banyak buruh perlengkapan olahraga di Asia dipekerjakan berdasarkan kontrak jangka pendek, hal mana menyulitkan mereka untuk 55 berorganisasi guna menuntut hak-haknya. Perusahaan ini juga telah bekerja sama dengan beberapa kelompok pejuang hak buruh untuk mengeksplorasi perwakilan demokratis macam apa yang mungkin diterapkan di negara-negara yang secara hukum membatasi hak-hak serikat buruh. Sayangnya, kerja yang positif dalam hal hak-hak serikat buruh ini dirongrong oleh penentangan Reebok yang gencar terhadap pembentukan serikat buruh di pusat-pusat distribusinya di AS. Adidas menyediakan, bagi para pemasoknya, suatu penjelasan yang rinci dan akurat tentang hak-hak serikat buruh, namun tidak jelas berapa banyak buruh pembuat produk adidas yang mendapat akses ke pendidikan yang independen tentang hak-hak ini. Penelitian untuk laporan ini menunjukkan bahwa walaupun adidas perlu lebih proaktif dalam menyelidiki pelanggaranpelanggaran terhadap hak ini, namun jika pelanggaran diangkat untuk dimintakan perhatiannya, perusahaan ini biasanya bersedia bekerjasama dalam upaya-upaya untuk memastikan agar hakhak ini dihormati. Ketika laporan ini sedang dalam tahap finalisasi untuk dicetak, perkembanganperkembangan baru memunculkan keraguan akan komitmen adidas untuk mendukung hak buruh untuk kebebasan berserikat di pabrik Panarub di Indonesia. Pada akhir tahun 2005, 33 anggota dari salah satu serikat di pabrik ini dipecat karena aktivitas-aktivitas yang terkait dengan partisipasi mereka dalam sebuah pemogokan. Kendati telah ada banyak seruan kepada adidas, namun pada saat publikasi ini akan dicetak, tetap belum jelas apakah adidas akan mendesak agar para buruh itu diterima kembali bekerja.75 Puma baru mulai bersungguh-sungguh mengurusi isu hak-hak serikat buruh di rantai pasokannya relatif baru-baru ini saja, dan program-programnya untuk memastikan agar para pemasok dan buruh memahami hak-hak ini memerlukan suatu peningkatan. Namun demikian, di Asia, perusahaan ini telah menempuh beberapa langkah maju penting dengan berusaha bekerja sama dengan serikat-serikat buruh dan kelompok-kelompok pejuang hak buruh dalam proyekproyek di beberapa negeri Asia. Di Indonesia, Puma telah mengundang wakil-wakil serikat buruh untuk mendampingi staf audit sosial mereka pada pada kunjungan-kunjungan mereka ke pabrik, dan mengundang serikat-serikat serta kelompok-kelompok pejuang hak buruh untuk memberikan advis kepada mereka dalam memilih pemasok-pemasok baru yang menghormati hak-hak buruh. Sayangnya, komitmen Puma bagi hak-hak serikat buruh baru-baru ini patut dipertanyakan dengan adanya keputusan perusahaan ini untuk menghentikan pemesanan kepada pabrik Lian Thai di Thailand — setelah pihak pabrik sepakat untuk menghentikan diskriminasi terhadap anggota-anggota serikat. Akan sulit bagi Puma untuk membujuk pemasok-pemasok lainnya agar menghormati hak-hak serikat buruh kalau mereka yakin bahwa Puma tidak memiliki komitmen yang berkelanjutan untuk menempatkan order di pabrik mereka. Nike telah menunjukkan kesediaannya untuk bekerja sama dengan FLA guna mendukung hakhak buruh mengenai serikat buruh ketika pelanggaran terhadap hak-hak itu diangkat untuk dimintakan perhatiannya. Namun demikian, perusahaan ini tampak sangat mengandalkan mekanisme pengaduan FLA untuk membantu mereka menyelesaikan perselisihan-perselisihan mengenai hak-hak serikat buruh, ketimbang berusaha sendiri menekankan agar para pemasoknya menghormati hak-hak ini. Mengingat kapasitas FLA yang sangat terbatas, Nike perlu lebih proaktif dalam memastikan agar hak-hak serikat buruh dihormati, dan hendaknya hanya mengandalkan bantuan FLA dalam kasus-kasus yang sangat sulit saja. Laporan ini juga mendokumentasikan sejumlah kasus dimana Nike, pada tahun-tahun terakhir ini, telah menghentikan penempatan order di pabrik-pabrik di Asia dimana buruh telah mendirikan serikat buruh, atau dimana pemilik pabrik telah menunjukkan kesediaan untuk bekerja sama dengan serikat buruh. Tanpa memandang apakah keputusan-keputusan bisnis tertentu ini mencerminkan suatu bias terhadap pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya atau tidak, jika perusahaan ini bersungguh-sungguh mengenai penghormatan atas hak-hak serikat buruh, mereka hendaknya memprioritaskan untuk mempertahankan produksi pada pemasok yang bersedia memberikan ruang bagi buruh untuk berorganisasi dan melakukan langkah tawar secara kolektif. Pernyataanpernyataan Nike kepada publik mengungkap adanya kesadaran yang meningkat mengenai tantangan-tantangan yang ada dalam memastikan agar hak-hak serikat buruh dihormati. Yang 75 Informasi terbaru selengkapnya tentang perkembangan-perkembangan ini akan disiapkan dan disediakan di situs internet <www.oxfam.org.au/campaigns/labour/06report>. 56 tetap belum jelas adalah sejauh mana perusahaan ini sungguh-sungguh berkomitmen untuk menempuh tantangan-tantangan itu di sepanjang rantai pasokannya. Sampai beberapa tahun yang lalu, ASICS sangat sedikit menyikapi hak-hak buruh di dalam rantai pasokannya, tetapi baru-baru ini perusahaan ini bersedia berpartisipasi dalam dialog terbuka dengan serikat-serikat buruh dan organisasi-organisasi non-pemerintah, dan telah bekerja sama dengan serikat buruh untuk menyikapi persoalan-persoalan di sekurangnya satu pabrik di Kamboja. ASICS juga telah mulai menyelidiki apakah para pemasoknya menghormati hak-hak buruh, dan telah mengungkapkan kesediaan untuk bekerja sama dengan serikat buruh dan kelompok-kelompok pejuang hak buruh untuk memastikan agar buruh mendapatkan pendidikan tentang hak-hak mereka mengenai serikat buruh. Keputusan perusahaan ini untuk masuk menjadi anggota FLA juga merupakan sebuah langkah maju. Meski Umbro selama ini lamban dalam mengembangkan program hak-hak buruh yang menyeluruh, namun sejak tahun 2004 perusahaan ini telah mengajukan permohonan untuk masuk menjadi anggota FLA, berpartisipasi dalam dialog reguler dengan serikat-serikat buruh dan LSM, dan telah mengungkapkan kesediaan untuk bekerja sama dengan serikat buruh dalam proyek-proyek percontohan untuk pelatihan buruh. Pada tahap sekarang ini hanya sedikit kemajuan yang dapat dilaporkan mengenai ruang yang lebih luas bagi buruh untuk mempraktekkan hak mereka dalam hal serikat buruh di rantai pasokan Umbro, tetapi semoga proyek-proyek tadi sekurangnya akan mulai menyikapi persoalan ini. Pentland, yakni pemilik merk-merk seperti Speedo dan Lacoste, merupakan anggota ETI dan terlibat dalam dua proyek ETI tentang hak-hak buruh di berbagai negeri di Asia. Pentland hanya menyediakan sedikit informasi tentang proyek-proyek ini, dan informasi dari sumber-sumber lain menunjukkan bahwa proyek-proyek ini masih belum menghasilkan ruang yang lebih luas bagi demokrasi buruh di dalam rantai pasokan Pentland, walaupun mungkin akan menghasilkan hal itu di masa mendatang. Pentland menolak menyediakan informasi yang memadai tentang praktek-praktek perburuhannya kepada para peneliti yang menyiapkan laporan ini, sehingga menyulitkan untuk menentukan sejauh mana perusahaan ini berkomitmen untuk mendukung hakhak serikat buruh. Mizuno baru-baru ini mulai mempekerjakan dan melatih staf-staf untuk melakukan pemantauan internal tentang hak-hak buruh di dalam rantai pasokannya, namun perusahaan ini menangguhkan untuk menanggapi permintaan agar mereka bekerja sama dengan serikat buruh dan kelompok-kelompok pejuang hak buruh dalam upaya untuk menyediakan pelatihan dan pendidikan bagi buruh tentang hak-haknya. Asalkan dilaksanakan secara efektif dan tidak mengakibatkan penurunan penghasilan buruh, rencana New Balance untuk mengurangi jam kerja menjadi maksimal 54 jam per minggu dapat mencerminkan sebuah langkah maju yang penting bagi para perempuan dan laki-laki yang bekerja dalam industri ini. Hanya ada sedikit kemajuan yang dapat dilaporkan mengenai ruang bagi buruh untuk mempraktekkan hak-hak serikat buruhnya, walaupun pertemuan New Balance dengan kelompok-kelompok pejuang hak buruh baru-baru ini memberikan suatu harapan bahwa perusahaan ini akan bekerja sama dalam program-program pelatihan yang meningkatkan pengetahuan buruh tentang hak-hak ini dan tentang demokrasi buruh. Lotto berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga kecil tidak bisa banyak berpengaruh terhadap pemasok-pemasok mereka yang besar. Benar kiranya bahwa diperlukan sebuah pendekatan yang berskala industri secara luas untuk menghormati hak-hak buruh, dan Oxfam International mendorong Lotto untuk memainkan peran aktif dalam mempromosikan proses seperti itu. Akan tetapi, ukuran Lotto yang kecil seharusnya tidak menghalanginya untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok pejuang hak buruh dan perusahaan-perusahaan lainnya guna memastikan agar hak-hak buruh dalam hal serikat buruh dihormati. Satu cara, yang dengan ini Lotto bisa bekerja sama dengan para pemilik merk perlengkapan olahraga lainnya untuk secara positif mempengaruhi kondisi-kondisi perburuhan, adalah dengan bergabung—dan secara aktif berpartisipasi—dengan perusahaan-perusahaan dan kelompok-kelompok pejuang hak buruh dalam inisiatif multi-pihak seperti Fair Wear Foundation. 57 Basicnet, pemilik Kappa, sampai saat ini baru menunjukkan minat yang sangat kecil untuk bekerja bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk meningkatkan penghormatan atas hak-hak buruh. Perusahaan ini sekarang sedang dalam negosiasi-negosiasi dengan serikatserikat buruh dan ITGLWF tentang pembentukan sebuah sistem untuk menyikapi hak-hak buruh. Diharapkan bahwa hal ini kiranya mencerminkan suatu arah baru bagi perusahaan ini dan akan membawa pada tindakan konkret untuk memungkinkan adanya ruang bagi buruh untuk berorganisasi dan melakukan langkah tawar kolektif. Penelitian Oxfam pada tahun 2004 tentang pabrik pemasok sepatu olahraga bermerk FILA, PT Tae Hwa (yang sudah lama menjadi pemasok FILA) di Indonesia, mengungkap terjadinya pelanggaran-pelanggaran perburuhan berat, termasuk penolakan terhadap hak-hak serikat buruh, tingkat pelecehan seksual yang tinggi, serta prosedur-prosedur yang tak sepatutnya dan mengandung paksaan terhadap buruh yang menuntut cuti menstruasi.76 Pada waktu itu, Sport Brands International (SBI), pemilik FILA, menyatakan bahwa hanya sedikit yang bisa segera mereka lakukan, namun juga mengatakan bahwa di masa mendatang, mereka akan menempuh langkah-langkah untuk meningkatkan penghormatan atas hak-hak buruh di dalam rantai pasokannya. Pada bulan Februari 2005, pabrik Tae Hwa tiba-tiba tutup tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, meninggalkan ribuan buruhnya yang kehilangan pekerjaan. Sejak saat itu, FILA menolak untuk mengungkap perannya dalam tutupnya pabrik itu ataupun mengemban tanggung jawab untuk memastikan agar para buruh Tae Hwa mendapatkan hak sah mereka atas uang pesangon. Tidak seperti Nike, Reebok dan Puma, FILA tidak mengungkapkan alamat pabrikpabrik pemasoknya, dan perusahaan ini telah mengabaikan permintaan-permintaan agar mereka menunjukkan langkah-langkah apa, kalau ada, yang sedang mereka tempuh untuk meningkatkan penghormatan atas hak-hak serikat buruh di pabrik-pabrik itu. Seperti telah disebutkan di bagian pendahuluan, Program Kerja77 yang diusulkan oleh Play Fair Alliance78 merupakan patokan utama yang dengan itu kemajuan perusahaan diukur dalam laporan ini. Sayangnya, pada tahap ini hanya ada kemajuan yang sangat terbatas ke arah tujuantujuan dari program ini. Oxfam International berharap bahwa di masa mendatang kita akan bisa melaporkan kemajuan-kemajuan yang signifikan, dan berharap agar lebih banyak lagi buruh perlengkapan olahraga di Asia serta belahan-belahan dunia lainnya akan bebas untuk menjalankan hak mereka untuk membentuk—dan masuk menjadi anggota—serikat buruh serta melakukan langkah tawar kolektif untuk mendapatkan upah dan kondisi kerja yang layak. 76 Cuti menstrusi adalah hak yang sah berdasarkan hukum Indonesia. Naskah selengkapnya dari Program Kerja yang diusulkan tersedia di website Clean Clothes Campaign <www.cleanclothes.org/campaign/olympics2004-07-08.htm>. 78 Organisasi-organisasi yang terlibat dalam Play Fair Alliance meliputi ICFTU, ITGLWF, Clean Clothes Campaign dan Oxfam. 77 58 Wawancara 1.1.1 — Wawancara kelompok dengan enam orang perempuan dari Pabrik C dan Pabrik D (pemasok Nike), (peneliti Oxfam Australia), 3 Oktober 2003. 2.1.1 — Wawancara perorangan dengan buruh Anton Marcus, Sekretaris Bersama, Serikat Pekerja Zona Perdagangan Bebas dan Layanan Umum (FTZ&GSEU), yang sebelumnya bernama Serikat Buruh Zona Perdagangan Bebas (FTZWU) (Oxfam Australia, Petugas Advokasi), 21 Juli 2005 2.2.1 — Wawancara kelompok dengan empat buruh perempuan yang juga anggota IU, Pabrik A (peneliti Oxfam Australia), 12 Juli 2005 2.2.2 — Wawancara perorangan dengan seorang buruh yang juga anggota IU, Pabrik A (peneliti Oxfam Australia), 12 Juli 2005 2.2.3 — Wawancara kelompok dengan tiga buruh perempuan yang juga anggota IU, Pabrik A (peneliti Oxfam Australia), 11 Juli 2005 2.2.4 — Wawancara kelompok dengan dua buruh perempuan yang juga anggota IU, Pabrik A (peneliti Oxfam Australia), 12 Juli 2005 2.2.5 — Wawancara perorangan dengan seorang buruh perempuan yang juga anggota IU, Pabrik A (peneliti Oxfam Australia), Minggu, 28 September 2003 2.2.6 — Wawancara perorangan dengan seorang buruh yang juga anggota IU, Pabrik A (peneliti Oxfam Australia), 12 Juli 2005 2.2.7 — Wawancara perorangan dengan seorang buruh perempuan yang juga anggota IU, Pabrik A (peneliti Oxfam Australia), 12 Juli 2005 2.2.8 — Wawancara perorangan dengan seorang pekerja LSM setempat (peneliti Oxfam Australia), 29 Agustus 2005 2.3.1 — Diskusi kelompok fokus selama tiga jam dengan 11 anggota serikat Perbupas cabang Panarub (peneliti Oxfam Australia), 1 Oktober 2003. 2.3.2 — Diskusi kelompok fokus dengan tiga buruh (dua di antaranya perempuan) yang juga anggota serikat Perbupas cabang Panarub (peneliti Oxfam Australia), 19 Agustus 2005. 2.3.3 — Wawancara dengan tiga pemimpin serikat cabang pabrik (dua di antaranya perempuan); serikat Perbupas cabang Panarub (peneliti Oxfam Australia), 18 Agustus 2005. 2.3.4 — Wawancara dengan dua buruh perempuan yang juga anggota serikat Perbupas cabang Panarub (peneliti Oxfam Australia), Agustus 2005 (wawancara). 2.3.5 — Wawancara dengan seorang lelaki dan seorang perempuan dari federasi Perbupas (peneliti Oxfam Australia), Agustus 2005 (wawancara 3). 2.4.1 — Diskusi kelompok fokus selama dua jam dengan 6 pemimpin serikat (tiga perempuan dan tiga laki-laki) dari serikat GSBI cabang Busana Prima Global (peneliti Oxfam Australia), 4 Oktober 2003. 2.4.2 — Diskusi kelompok fokus selama sembilan puluh menit dengan 6 anggota (semuanya perempuan) serikat GSBI cabang Busana Prima Global (peneliti Oxfam Australia), 4 Oktober 2003. 2.7.1 — Wawancara dengan Somyot Pruksakasumsek dari Centre for Information, Services and Training (CLIST), Thailand, oleh staf Oxfam Australia, 8 Oktober 2005 59 2.8.1 — Diskusi kelompok fokus selama dua jam dengan 20 anggota Serikat II cabang pabrik B (peneliti Oxfam Australia), 2 Oktober 2003. 2.8.2 — Diskusi kelompok fokus selama dua jam dengan enam anggota Serikat II cabang pabrik B (peneliti Oxfam Australia), 2 Oktober 2003. 2.8.3 — Diskusi kelompok fokus selama satu jam dengan enam anggota dan pemimpin Serikat II cabang pabrik B (peneliti Oxfam Australia), 13 Oktober 2005 2.9.1 — Wawancara kelompok dengan tiga buruh, dua laki-laki dan satu perempuan, dari pabrik PT Tae Hwa (peneliti Oxfam Australia), 24 Juli 2004. 60 Daftar Singkatan CCC ICFTU TNC ITGLWF WFSGI FLA SBI ETI VLW OI UNIFEM MFA AS ILO SPN GSBI CSR MSI FTZ CPA FTZWU TIE-Asia BOI ACILS EU GSP CBA MSU IU SAI OECD HR IEM WRC SOE adidas) JPK BPG FFE DL VF MSP CLIST TLRC PFA JO-IN SEA Clean Clothes Campaign International Confederation of Free Trade Unions (Konfederasi Internasional Serikat-serikat Buruh Bebas) Transnational Corporation (Perusahaan Transnasional) International Textile, Garment and Leather Workers’ Federation (Federasi Internasional Buruh Tekstil, Garmen dan Kulit) World Federation of Sporting Goods Industries (Federasi Industri-industri Barang Olahraga se-Dunia) Fair Labor Association (Asosiasi Perburuhan yang Adil) Sport Brands International Ethical Trading Initiative (Inisiatif Perdagangan yang Etis) Vietnam Labor Watch Oxfam International United Nations Development Fund for Women (Dana Pembangunan PBB untuk Kaum Perempuan) Multi-Fibre Arrangement (Pengaturan Multi-Serat) Amerika Serikat International Labour Organisation (Organisasi Buruh Internasional) Serikat Pekerja Nasional Gabungan Serikat Buruh Independen Corporate Social Responsibility (Tanggung jawab Sosial Korporat) Multi-Stakeholder Initiative (Inisiatif Multi-Pihak) Free Trade Zone (Zona Perdagangan Bebas) Centre for Policy Alternatives (Pusat untuk Alternatif Kebijakan) Free Trade Zones Workers Union (Serikat Buruh Zona Perdagangan Bebas) Transnationals Information Exchange – Asia (Pertukaran Informasi Transnasional-Asia) Board of Investment (Dewan Penanaman Modal Srilanka) American Centre for International Labor Solidarity (Pusat Amerika untuk Solidaritas Buruh Internasional) European Union (Uni Eropa) Generalised System of Preferences (Sistem Pilihan yang Digeneralisasi) Collective Bargaining Agreement (Kesepakatan Proses Tawar Kolektif) Management-Supported Union (Serikat yang Didukung oleh Pihak Manajemen) Independent Union (Serikat Independen) Social Accountability International Organisation for Economic Cooperation and Development (Organisasi untuk Kerja sama dan Pembangunan Ekonomi) Human Resources (Sumber Daya Manusia) The FLA's Independent External Monitoring program (program FLA untuk Pemantauan Eksternal Independen) Worker Rights Consortium (Konsorsium Hak-hak Buruh) Standards of Engagement (Standar-standar Ikatan Kerja – Kode Etik Pengaturan Program jaminan kesehatan di pabrik PT Panarub PT Busana Prima Global Focus Far East PT Daejoo Leports VF Corporation MSP Sportswear Centre for Labour Information Service and Training (Pusat Layanan Informasi dan Pelatihan Perburuhan) Thai Labour Relations Committee (Komite Hubungan Perburuhan Thailand) Play Fair Alliance (Aliansi Bermain Fair) Joint Initiative on Corporate Accountability (Inisiatif Bersama tentang Akuntabilitas Korporat) Social and Environmental Affairs (Urusan Sosial dan Lingkungan - adidas) 61 CCM Contractor Compliance Manual (Panduan Nike untuk Pemenuhan Kode Etik bagi Pihak yang Dikontrak) EPZ Export Processing Zone (Zona Pemrosesan Ekspor) TCFUA Textile Clothing and Footwear Union of Australia (Serikat Pakaian, Tekstil dan Perlengkapan Kaki - Australia) TWARO The Asian and Pacific Regional Organisation of the ITGLWF (Organisasi Regional Asia-Pasifik ITGLWF) 62