Main title still to be finalised

advertisement
Hak-hak buruh dan
produksi perlengkapan
olahraga di Asia
(Versi Singkat)
1
Offside!
Hak-hak buruh dan produksi perlengkapan olahraga di Asia
DAFTAR ISI
Rangkuman Pelaksanaan
1. Latar belakang
1.1. Pendahuluan
1.2 Metodologi
2. Kajian kasus pabrik
2.1 Jaqalanka (Nike, VF Corporation)
2.2 Pabrik A (Reebok, Umbro)
2.3 PT Panarub (adidas)
2.4 PT Busana Prima Global (Lotto)
2.5 PT Doson (Nike)
2.6 PT Dae Joo Leports (adidas, VF Corporation)
2.7 MSP Sportswear (Nike)
2.8 Pabrik B (Reebok)
2.9 PT Tae Hwa (FILA)
3. Industri perlengkapan olahraga secara keseluruhan
3.1 Solusi berskala industri secara luas
3.2 Transparansi: membuka rantai pasokan kepada pengamat independen
3.3 Siapa yang Membayar? Praktek pembelian dan hak-hak serikat buruh
3.4 Tidak konsisten: melakukan sourcing di tempat dimana hak-hak serikat buruh tidak
memiliki kekuatan hukum
3.5 Berupaya mewujudkannya: mempertahankan produksi di pabrik yang ada serikat
buruhnya
3.6 Pekerjaan yang tak stabil dan hak-hak yang tak stabil: pekerjaan yang fleksibel versus
yang stabil
3.7 Sebuah pendekatan multi-pihak: Fair Labour Association
4. Penilaian tentang perusahaan perlengkapan olahraga
4.1 Reebok
4.2 Puma
4.3 Adidas
4.4 Nike
4.5 ASICS
4.6 Umbro
4.7 Mizuno
4.8 Pentland (Speedo, Lacoste)
4.9 New Balance
2
4.10 Lotto
4.11 Basicnet (Kappa)
4.12 Sport Brands International (FILA)
5. Kesimpulan
Referensi
Daftar Singkatan
3
1. Latar belakang
1.1 Pendahuluan
“Kami semua menyadari risiko akan bisa kehilangan pekerjaan saat memutuskan untuk
1
mengorganisir sebuah serikat, dan kami siap menghadapi risiko ini. Seperti kata Eli sebelumnya,
kami lebih memilih untuk mencari pekerjaan baru daripada kembali ke pabrik dan tidak bisa
mendirikan serikat kami. Tapi pada saat yang sama kami juga memperhatikan sekeliling kami,
dan berpikir tentang diri kami: Mengapa harus menganggur? Mengapa harus menghadapi
kesengsaraan karena kehilangan pekerjaan? Mengapa tak cukup dengan eksploitasi oleh para
manajer saja? Namun kemudian sederetan panjang alasan untuk tidak berorganisasi pun mulai
membentang di hadapan kami; persoalan-persoalan ini tak pernah berakhir. Satu-satunya cara
agar persoalan ini bisa berakhir adalah jika kami membangun kekuatan di antara kami sendiri
untuk merubah kondisi dan perlakuan terhadap kami. Dan satu-satunya jalan yang bisa kami
tempuh untuk melakukan ini adalah dengan membentuk sebuah serikat.”
2
Marayah, seorang buruh perempuan pembuat perlengkapan olahraga
berusia 30 tahun yang dipecat dari pabrik Busana Prima Global
di Indonesia karena berpartisipasi dalam sebuah pemogokan.
Buruh perlengkapan olahraga menghadapi banyak kesulitan, seperti juga halnya sebagian
besar buruh di dunia berkembang. Ratusan ribu buruh — 80% di antaranya perempuan —
dipekerjakan untuk membuat perlengkapan olahraga di Asia, Afrika, Eropa Timur dan
Amerika Latin. Selama 15 tahun terakhir, banyak laporan dari organisasi-organisasi
masyarakat sipil3 telah mencatat berlangsungnya upah dan kondisi-kondisi yang eksploitatif
di sektor ini. Meski mencatat adanya beberapa perbaikan, namun penelitian ini masih saja
mendapati bahwa buruh-buruh perlengkapan olahraga bekerja dalam tekanan tinggi dan jamjam yang sangat panjang; bahwa mereka sering menghadapi kondisi-kondisi kerja yang sulit
dan berbahaya, termasuk pelecehan lisan dan seksual; bahwa hak-hak mereka dalam hal
serikat buruh jarang dihormati dan terkadang ditolak dengan cara-cara kekerasan; dan bahwa
upah mereka untuk minggu kerja standar terlalu rendah untuk bisa memenuhi kebutuhan
pokok keluarganya (lihat, misalnya, AMRC & HKCIC 1997, Clean Clothes Campaign dll.
2002, OCAA 2000, O'Rourke & Brown 1999, Oxfam dll. 2004, VLW 1997).
Laporan ini menilai langkah-langkah yang sedang ditempuh oleh perusahaan-perusahaan
pemilik merk-merk perlengkapan olahraga untuk menyikapi masalah ini, dan memusatkan
perhatian pada satu isu tertentu — penghormatan atas hak-hak buruh dalam hal serikat
buruh. Laporan ini mengikuti dua alur penelitian. Bagian Satu terdiri atas sembilan kajian
kasus yang mendokumentasikan bagaimana perusahaan-perusahaan pemilik merk
perlengkapan olahraga menanggapi pelanggaran terhadap hak-hak serikat buruh di tempattempat kerja tertentu. Dalam masing-masing kasus, organisasi-organisasi masyarakat sipil
ataupun serikat-serikat buruh telah mengangkat isu tersebut agar mendapat perhatian
perusahaan. Perlu dicatat bahwa kami memilih sebagian besar dari kajian kasus ini karena
telah ada beberapa kemajuan; ada banyak lagi kasus lainnya dimana tidak ada kemajuan
yang dapat dilaporkan. Bagian Kedua menilai sejauh mana 12 perusahaan pemilik merk
perlengkapan olahraga berbeda telah menempuh langkah-langkah yang memadai untuk
menjamin penghormatan atas hak-hak serikat buruh di sepanjang seluruh rantai pasokannya.
Merk-merk itu adalah adidas, ASICS, FILA, Lotto, Kappa, Mizuno, New Balance, Nike,
Pentland, Puma, Reebok dan Umbro. Kedua alur penelitian ini sama-sama penting. Jika
kebijakan-kebijakan perusahaan tidak terterjemahkan menjadi perubahan yang efektif di
tingkat masing-masing tempat kerja, maka kebijakan itu tidak ada artinya. Tetapi serupa
dengan itu, jika perusahaan tidak memiliki kebijakan-kebijakan efektif yang berlaku, maka
kemajuan di pabrik-pabrik tertentu hanya bisa mencapai tak lebih dari sekadar formalitas
(simbolisme).
1
Nama buruh yang bersangkutan telah dirubah untuk melindungi identitasnya.
Nama buruh yang bersangkutan telah dirubah untuk melindungi identitasnya.
Penggunaan istilah “organisasi masyarakat sipil" ini kontroversial, dan definisi-definisi tentang siapa yang termasuk
bagian “masyarakat sipil” sangat beragam. Untuk tujuan-tujuan yang dimaksudkan dalam laporan ini, "organisasiorganisasi masyarakat sipil" mencakup—namun tidak terbatas hanya pada—serikat buruh, organisasi kampanye,
organisasi perempuan, organisasi kemanusiaan dan organisasi penelitian perburuhan di seluruh dunia. Untuk tujuantujuan yang dimaksudkan dalam laporan ini, istilah ini tidak mengacu pada organisasi-organisasi nir-laba yang
mendapatkan sebagian besar penghasilannya dengan cara menyediakan jasa untuk—atau bekerja sama dalam
proyek-proyek dengan—perusahaan-perusahaan yang berorientasi laba.
2
3
4
Pendekatan ini memunculkan sejumlah pertanyaan:
•
•
•
•
•
•
Mengapa sebuah organisasi bantuan seperti Oxfam International merasa peduli
tentang hak-hak buruh?
Mengapa memfokuskan perhatian pada industri perlengkapan olahraga, bukankah
juga ada kondisi-kondisi kerja yang eksploitatif di banyak industri?
Mengapa memfokuskan perhatian pada perusahaan, bukankah pemerintah
bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak warganya?
Mengapa memfokuskan diri pada perusahaan-perusahaan pemilik merk
perlengkapan olahraga? Kebanyakan dari mereka mengkontrakkan produksinya
kepada pemasok; bukankah para pemasok yang seharusnya ditetapkan bertanggung
jawab untuk menghormati hak-hak buruh?
Bukankah upah, jam kerja dan hak-hak buruh lainnya juga penting? Mengapa
memfokuskan perhatian pada hak-hak serikat buruh?
Dalam hal hak-hak serikat buruh, standar apa yang seharusnya ditetapkan bagi
perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga, dan langkah-langkah
apa yang seharusnya mereka tempuh?
Mengapa Oxfam International peduli tentang hak-hak buruh?
Kondisi pekerjaan dan hak-hak pekerja upahan merupakan isu-isu utama untuk upaya
pengurangan kemiskinan, kesetaraan gender dan pembangunan global, sehingga relevan
bagi mandat Oxfam. Pada tahun 2003, ada 1,39 milyar orang yang bekerja namun masih
hidup di bawah garis kemiskinan yang standar per harinya adalah 2 dolar AS (1,64 euro).4
Proporsi yang makin meningkat dari para pekerja ini adalah kaum perempuan, yang kini
makin diharapkan untuk menopang keluarga mereka secara finansial serta melakukan kerjakerja rumah tangga dan perawatan anak.
Oxfam International tidak menentang perusahaan-perusahaan perlengkapan olahraga
transnasional yang melakukan sourcing produksinya di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa
Timur, dan Oxfam International mengakui bahwa, jika dilakukan secara bertanggung jawab,
investasi ini dapat memainkan peran penting dalam pengentasan kemiskinan. Dengan
bekerja lembur dalam jam-jam yang sangat panjang, banyak perempuan yang dipekerjakan
dalam rantai pasokan global sekarang ini memiliki independensi finansial tertentu, dan
sebagian di antara mereka mampu memberikan bantuan ekonomi bagi keluarganya. Namun
demikian, majikan mereka biasanya tidak mencurahkan perhatian pada pentingnya
kesehatan dan keselamatan kerja. Setelah meninggalkan pekerjaan-pekerjaan seperti ini,
banyak perempuan menderita cidera otot/tulang yang berulang-ulang dan dampak-dampak
kesehatan lainnya yang merugikan dan berjangka panjang (Oxfam International 2004a).
Teramat penting kiranya agar keuntungan ekonomi dari globalisasi tidak dihasilkan dengan
mengorbankan hak-hak pekerja, kesehatan, kehidupan keluarga mereka serta tanggung
jawab dan aspirasi-aspirasi sosial dan budaya mereka lainnya. Seperti dilaporkan UNIFEM
(2005, hal. 8) baru-baru ini:
...memperkuat jaminan ekonomi kaum perempuan amatlah penting bagi
upaya-upaya untuk mengurangi kemiskinan dan mempromosikan
kesetaraan gender, dan...kerja yang layak adalah hal yang mendasar bagi
jaminan ekonomi.
Hak-hak serikat buruh, pada khususnya, itu penting. Dalam industri-industri seperti produksi
perlengkapan olahraga, yang ditandai dengan upah rendah dan kondisi-kondisi yang buruk,
para perempuan dan laki-laki yang bisa berpartisipasi aktif dalam serikat buruh dan
melakukan langkah tawar secara kolektif terhadap majikan mereka, memiliki kekuatan yang
lebih besar untuk mempengaruhi upah dan kondisi kerja mereka5. Hal ini pada gilirannya bisa
berdampak positif terhadap upah dan kondisi para pekerja lainnya dalam industri
perlengkapan olahraga serta industri-industri terkait lainnya.
Mengapa memfokuskan perhatian pada industri perlengkapan olahraga?
Industri perlengkapan olahraga merupakan industri penting yang mempekerjakan ratusan ribu
orang, yang sebagian besarnya perempuan. Jelas ini bukan satu-satunya industri yang
4
5
Laporan Pembangunan Dunia 2004-05: Lapangan Kerja, Produktivitas dan Pengurangan Kemiskinan
Akan ada penjelasan lebih jauh tentang pentingnya hak-hak serikat buruh nanti di bagian Pendahuluan ini.
5
barang-barangnya diproduksi dalam kondisi-kondisi yang eksploitatif (lihat Oxfam
International 2004a). Oxfam Australia, anggota Oxfam International yang ditugasi untuk
menyiapkan laporan ini, telah meneliti kondisi-kondisi perburuhan dalam industri ini sejak
tahun 1995. Pertama-tama, industri perlengkapan olahraga dipilih karena ia mewakili contoh
mencolok tentang potensi dampak negatif dari perdagangan yang diglobalkan ketika hal ini
tidak ditata dan diatur dalam suatu cara yang menjamin agar hak orang-orang yang hidup
dalam kemiskinan dihormati. Dalam perjalanan waktu, seiring kelompok-kelompok
masyarakat sipil terus melakukan tekanan terhadap industri perlengkapan olahraga untuk
mereformasi praktek-praktek perburuhannya, dan seiring para pemilik merk perlengkapan
olahraga mulai melakukan inisiatif-inisiatif untuk menyikapi isu ini, maka Oxfam International
tertarik untuk mengetahui mungkinkah tekanan konsumen dan buruh dapat membujuk
sebuah industri besar untuk mereformasi praktek-praktek perburuhannya. Meski
perkembangannya dalam hal ini sangat lambat, namun Oxfam International terus berminat
untuk mengetahui apakah, di masa mendatang, industri perlengkapan olahraga dapat
menjadi contoh positif tentang bagaimana perdagangan global bisa meningkatkan
penghormatan atas hak-hak dasar buruh dan memungkinkan buruh untuk punya suara dalam
mendapatkan hak-hak ini.
Mengapa memfokuskan perhatian pada perusahaan, bukankah hak-hak buruh juga
merupakan tanggung jawab pemerintah?
Oxfam International yakin bahwa hak-hak buruh seharusnya dilindungi oleh perundangundangan negara yang ditegakkan secara semestinya, dan bahwa inisiatif sukarela seperti
kode etik pengaturan ataupun inisiatif-inisiatif multi-pihak hendaknya tidak dianggap sebagai
alternatif yang sudah memadai terhadap peraturan perundangan. Langkah-langkah sukarela,
bila hanya itu semata, tidak bisa menciptakan kondisi-kondisi dimana hak-hak serikat buruh
sepenuhnya dihormati. Akan tetapi, pemerintah di negeri-negeri berkembang kerap kali
sangat berhati-hati dalam mengatur tindak-tanduk korporasi transnasional (TNC) karena
khawatir mereka akan memindahkan produksi dan investasinya ke negeri lain.
Kepedulian ini memuncak menyusul berakhirnya Multi-Fibre Arrangement (MFA) pada bulan
Desember 20046 yang mengakhiri sistem kuota yang telah mengatur sebagian besar ekspor
garmen ke Amerika Serikat dan Eropa selama lebih dari 40 tahun. Telah diperkirakan secara
luas bahwa, walaupun beberapa negeri utama pengekspor garmen akan mendapat
keuntungan, namun berakhirnya sistem kuota secara mendadak akan sangat merusak bagi
industri-industri garmen di sejumlah negeri lainnya (Oxfam International 2004b). Meski
kehilangan pekerjaan sejauh ini belum membawa malapetaka sedahsyat yang diperkirakan
oleh beberapa kalangan, namun industri garmen di negeri-negeri seperti Lesotho, Kenya,
Mauritius, Malawi, Namibia, Afrika Selatan, Rumania dan Maroko telah mengalami
kehilangan investasi dan lapangan kerja yang signifikan sejak akhir 2004 (Sudwind, dll.
2005).
Bisa jadi dampak penuh dari rezim perdagangan baru ini masih belum terasa. Penghapusan
kuota secara bertahap menyebabkan banyak TNC kini mengkonsolidasikan rantai pasokan
globalnya. Wal-Mart, perusahaan ritel terbesar di dunia, berniat mengurangi negeri
pemasoknya dari 63 menjadi sekitar 13, dan akan melakukan sourcing 80% barangbarangnya hanya dari empat atau lima negeri. Di Spanyol, perusahaan Inditex kini
mengurangi jumlah pabrik pemasoknya dari 2.700 menjadi tak lebih dari 900 (Sudwind, dll.
2005). Proses konsolidasi ini membawa pada meningkatnya persaingan di antara
pemerintahan-pemerintahan karena masing-masing berusaha membujuk TNC untuk
mempertahankan produksi di negerinya.
Laporan dari mitra-mitra Oxfam International di Asia dan Afrika mengindikasikan bahwa
pemerintahan-pemerintahan dan para majikan kini menggunakan meningkatnya persaingan
sebagai pembenaran untuk membuat pengaturan upah dan lapangan kerja menjadi lebih
fleksibel, dengan harapan bahwa hal itu akan membuat negeri mereka menjadi lebih menarik
bagi TNC. ITGLWF secara serupa melaporkan bahwa kondisi-kondisi kerja telah memburuk
di sebagian besar negeri pengekspor garmen sejak awal tahun 2005, dengan fakta bahwa
para pemerintah dan para majikan menggunakan berakhirnya sistem kuota sebagai
pembenaran atas menurunnya penghormatan terhadap hak-hak buruh (Kearney 2005).
6
Berakhirnya MFA dimungkinkan oleh Agreement on Textiles and Clothing (ATC / Kesepakatan tentang Tekstil dan
Pakaian).
6
Jika TNC dengan sukarela menjadi bagian dari sistem-sistem yang lebih efektif untuk
menghormati hak buruh, maka akan lebih mudah bagi para pemerintah untuk melindungi hakhak ini tanpa khawatir bahwa melakukan ini akan menyebabkan TNC memindahkan produksi
ke negeri lain dimana hak tersebut tidak ditegakkan secara hukum. Perusahaan merupakan
pemain penting, dan tindakan mereka berpengaruh signifikan terhadap kemungkinan apakah
hak-hak serikat buruh dihormati atau tidak.
Mengapa memfokuskan perhatian pada perusahaan-perusahaan pemilik merk? Mereka
tidak mempekerjakan buruh yang membuat barang-barang.
Umumnya produksi perlengkapan olahraga tidak dikelola oleh perusahaan pemilik merk
secara langsung, melainkan dikontrakkan kepada pabrik-pabrik pemasok, yang banyak di
antaranya kemudian men-sub-kontrakkan kerja itu kepada pabrik-pabrik lain dan kepada
pekerja rumahan. Dalam banyak kasus, merk-merk perlengkapan olahraga sama sekali tidak
berurusan langsung dengan pabrik pemasok, melainkan mengkontrakkan sebagian dari
pengelolaan produksinya kepada perusahaan-perusahaan lain yang kemudian men-subkontrakkan kerja itu kepada pabrik-pabrik atau tempat kerja lainnya. Beberapa perusahaan di
Asia yang mengelola produksi untuk pemilik merk bahkan lebih besar dan lebih kuat daripada
pemilik merk itu sendiri, dan jaringan pemasok yang mereka sub-kontrak juga sangat luas.
Beberapa perusahaan yang sebenarnya memproduksi barang-barang keperluan olahraga
juga sangat kuat. Sebagai contoh, perusahaan asal Taiwan, Pou Chen, yang memasok
sepatu olahraga mengklaim memproduksi seperenam dari sepatu olahraga dunia dan
memiliki omset serta laba yang lebih tinggi daripada kebanyakan pemilik merk perlengkapan
olahraga.
Oxfam International yakin bahwa baik pemasok maupun pemilik merk sama-sama punya
tanggung jawab untuk menjamin agar hak-hak buruh dihormati. Nike, adidas, Reebok, Puma
dan merk-merk lainnya telah memilih untuk mengkontrakkan produksi mereka. Kalau saja
mereka memilih lain, bisa saja mereka memiliki dan menjalankan pabrik-pabrik sendiri.
Tindakan mengkontrakkan produksi seharusnya tidak melepaskan mereka dari tanggung
jawab untuk memastikan agar barang-barang mereka dibuat dalam kondisi-kondisi yang
layak. Sama halnya bahwa pemilik merk mengharapkan persyaratannya tentang kualitas
dipenuhi, demikian pula hendaknya mereka memberlakukan kewajiban kepada para
pemasoknya untuk menjamin agar kualitas berlaku dalam hal hubungan kerja di fasilitasfasilitas produksi.
Penelitian oleh Oxfam International dan lain-lain menyoroti bagaimana praktek-praktek
pembelian oleh pemilik merk besar turut menyebabkan terjadinya eksploitasi buruh oleh para
pemasok. Bisa jadi sulit bagi pemasok untuk menghormati hak buruh akan upah dan kondisi
yang layak ketika mereka umumnya mendapatkan harga yang sangat rendah untuk barangbarang yang mereka produksi; ketika mereka berada di bawah tekanan untuk memproduksi
secara cepat dan dengan tenggat yang sangat ketat; dan ketika pemilik merk tidak mau
berkomitmen untuk hubungan bisnis yang berjangka panjang7 (Oxfam, dll. 2004a, Oxfam
International 2004a). Untuk memenuhi tuntutan-tuntutan ini, para pemasok menekan buruh
untuk bekerja dengan intensitas tinggi dan hanya mendapatkan upah yang rendah. Mereka
juga mempekerjakan buruh dengan jangka pendek sewaktu-waktu atau berdasarkan kontrak,
sehingga mereka bisa dengan mudah memecat buruh jika order merosot atau jika pemilik
merk menghentikan order (Oxfam International 2004a).
Jauh dari jelas kiranya bahwa model bisnis yang eksploitatif ini merupakan cara yang paling
produktif atau paling efisien untuk memproduksi perlengkapan olahraga dan pakaian serta
perlengkapan kaki lainnya. Setidaknya seorang pakar industri garmen global (Birnbaum
2000) berpendapat bahwa biaya tenaga kerja merupakan bagian yang sangat kecil dari
struktur biaya keseluruhan, dan bahwa dalam jangka panjang, lebih menguntungkan bagi
perusahaan bila memfokuskan perhatian untuk mengurangi biaya-biaya lain ketimbang
membatasi upah buruh.8 Kajian-kajian lain menyatakan bahwa bilamana serikat buruh eksis
7
Ini bukan mengasumsikan bahwa jika pemilik perlengkapan olahraga membayarkan harga yang layak dan
berpengharapan yang lebih wajar tentang waktu pemenuhan pesanan, lantas pemasok mereka secara otomatis
akan meneruskan keuntungan ini kepada pekerjanya. Perlu juga kiranya bahwa, hak buruh untuk kebebasan
berserikat hendaknya dihormati sehingga mereka bisa menegosiasikan upah dan kondisi yang lebih baik bagi diri
mereka.
8
Birnbaum (2000) berpendapat bahwa faktor-faktor seperti kualitas, waktu pemenuhan pesanan, hubungan yang
terbelakang, tingkat teknologi, biaya transportasi dan biaya-biaya lainnya seperti listrik, semuanya memiliki dampak
yang jauh lebih besar terhadap daya saing dan produktivitas dibandingkan upah dan kondisi buruh.
7
dan ada negosiasi sesungguhnya antara serikat dan majikan, maka produktivitas sebenarnya
meningkat (lihat, misalnya, Institute of Policy Studies n.d.). Tanpa memandang apakah
penghormatan terhadap hak-hak buruh meningkatkan produktivitas dan daya saing atau
tidak, ini adalah hak asasi manusia, dan perusahaan punya kewajiban moral untuk
menghormatinya.
Mengingat peran yang dimainkan oleh praktek-praktek pembelian oleh pemilik merk dalam
menyebabkan terjadinya kondisi kerja yang buruk dan tanggung jawab mereka untuk
menjamin penghormatan atas hak-hak buruh, maka penting kiranya agar pemilik merk tidak
menghentikan order mereka kepada sebuah pabrik pemasok ketika buruh melaporkan
terjadinya pelanggaran atas hak-hak mereka (juga dikenal dengan istilah "potong dan lari ").
Pemilik merk punya tanggung jawab untuk campur tangan, berusaha menyelesaikan masalah
sembari terus men-sourcing order di pabrik itu.
Bukankah upah, jam kerja dan hak-hak buruh lainnya juga penting?
Oxfam International dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya serta serikat-serikat
buruh berkomitmen untuk mendorong perusahaan-perusahaan perlengkapan olahraga agar
menegakkan semua konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang relevan dan
menjamin agar buruh yang dipekerjakan di rantai pasokan mereka dibayar dengan upah yang
layak. Oxfam International mendefinisikan upah layak sebagai upah yang mana untuk satu
minggu-kerja penuh (tanpa lembur) akan cukup bagi sebuah keluarga untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya dan masih memungkinkan sejumlah kecilnya untuk pembelanjaan
pilihan.
Sejauh ini tidak ada pemilik merk perlengkapan olahraga yang mau berkomitmen untuk
definisi upah yang layak ini. Umbro dan Pentland telah menyertakan, dalam kode etiknya,
suatu persyaratan agar buruh dibayar dengan upah yang memenuhi kebutuhan pokok
mereka serta memungkinkan bagi sedikit pendapatan tambahan, namun tidak menyebutkan
kebutuhan keuangan orang-orang yang menjadi tanggungan buruh tersebut. Pada tahap
sekarang ini, hanya ada sedikit bukti yang tersedia secara publik bahwa persyaratan tentang
upah dalam kode etik Umbro dan Pentland ini dilaksanakan di rantai pasokan mereka.9 Di
antara perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga, adidas barangkali
adalah yang paling banyak melakukan penelitian dan pemikiran tentang persoalan upah.
Kode etik adidas juga mensyaratkan agar para mitra bisnis perusahaan ini “…mengakui
bahwa upah itu esensial untuk memenuhi kebutuhan pokok pekerja serta sedikit bayaran
tambahan”, kembali tanpa menyebutkan kebutuhan anak-anak para buruh ataupun orangorang lain yang menjadi tanggungan mereka. Adidas telah memulai penelitian luas tentang
biaya hidup buruh di Indonesia dan telah mengembangkan sebuah strategi tentang
mekanisme-mekanisme untuk penentuan upah, termasuk langkah tawar kolektif.10
Dibutuhkan penelitian yang lebih independen untuk mengetahui secara pasti apakah, sebagai
hasil dari strategi ini, para perempuan dan laki-laki yang memproduksi barang-barang adidas
mendapatkan upah untuk minggu kerja standar yang memungkinkan mereka untuk
sekurangnya memenuhi kebutuhan pokok mereka sendiri, kalau tidak juga kebutuhan orangorang yang bergantung kepada mereka.
Kode pengaturan perburuhan dari sebagian besar pemilik merk perlengkapan olahraga sama
sekali menghindari isu biaya hidup buruh, dan sebagai gantinya, hanya mengharuskan
pemasok mereka untuk membayarkan upah minimum resmi atau standar industri, yang
manapun yang lebih tinggi. Nike secara eksplisit menolak disertakannya standar upah layak
dalam kode pengaturan perusahaannya, dengan argumen bahwa dalam kebanyakan hal,
upah ditentukan oleh pasar, dan jika hendak diberlakukan mekanisme upah non-pasar, ini
seharusnya ditentukan oleh pemerintah atau oleh proses-proses hubungan industrial seperti
langkah tawar kolektif (Nike 2005b, hal. 44). Di sebagian besar negeri yang memproduksi
perlengkapan olahraga, tidak adanya langkah tawar kolektif dan posisi tawar buruh yang
lemah berarti bahwa standar industri adalah upah minimum resmi, dan ini biasanya jauh di
bawah apa yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan pokok sebuah keluarga.
9
Dalam sepucuk surat kepada Oxfam Australia, Pentland menyebutkan: “Kode etik kami adalah Kode Berbasis ETI,
dan sejak awal [kami] telah menegaskan bahwa ada masalah-masalah besar mengenai pelaksanaan hampir setiap
ketentuan di dalam rantai pasokan kami”. Surat dari Lesley Roberts, Pentland, Agustus 2005.
10
Lihat www.adidasgroup. com/en/sustainability/suppliers_and_workers/exploring_labour_standards/fair_wages.asp
8
Sebagai contoh, pada tahun 2005 pabrik-pabrik perlengkapan olahraga di wilayah sekitar
Bandung di Jawa Barat, Indonesia, hanya diharuskan untuk membayarkan upah minimum
resmi sebesar 642.590 rupiah (53 euro) per bulan untuk kerja satu bulan standar. Pada tahun
2004, Lembaga Bantuan Hukum Bandung dan beberapa serikat buruh lokal melakukan
sebuah survei menyeluruh tentang biaya dan kebutuhan konsumsi buruh setempat yang
mendapati bahwa 617. 291 rupiah (50 euro) per bulan dibutuhkan hanya untuk memenuhi
kebutuhan hidup seorang dewasa sendirian. Jumlah yang secara signifikan lebih tinggi, yakni
1.192.653 rupiah (97 euro) per bulan, dibutuhkan bagi seorang dewasa untuk bisa ‘hidup
dengan cukup nyaman’. Hal-hal yang ditambahkan untuk menghitung biaya ‘hidup yang
cukup nyaman’ meliputi 70 sen euro untuk membeli cairan pembersih lantai dan sabun
pencuci piring, 39 sen euro untuk obat nyamuk, 16 sen euro untuk biaya pembuangan
sampah, 4,10 euro untuk biaya telepon dan 3,39 euro untuk ditabung agar bisa berlibur ke
luar kota tiap enam bulan (SPN, dll. 2004). Ketika buruh tidak mampu memenuhi kebutuhankebutuhan pokok ini, maka tidaklah mengherankan bahwa mereka sering merasakan sangat
sulit untuk membayar iuran serikat buruh. (Lihat Kotak I).
Perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga sanggup mengeluarkan jutaan
dolar untuk pemasaran — Untuk Venus Williams sendiri, Reebok membayarkan 7 juta dolar
AS (6 juta euro) dalam setahun (Forbes 2004) dan Nike membayarkan 25 juta dolar AS (21
juta euro) dalam setahun kepada pe-golf Tiger Woods (Forbes 2005). Nike juga memiliki
kontrak dengan Tim Sepakbola Nasional Brasil senilai 16 juta dolar AS (13 juta euro) per
tahun selama 10 tahun (AFR 2001). Klub sepakbola Inggris, Manchester United, telah
menandatangani kontrak pensponsoran untuk 13 tahun dengan Nike senilai 303 juta
poundsterling (434 juta euro), dan Arsenal telah menandatangani kontrak untuk 10 tahun
senilai 130 juta poundsterling (186 juta euro) (BBC 2003). Adidas membayarkan 1,8 juta dolar
AS (1,5 juta euro) per tahun kepada pemain Perancis, Zinedine Zidane11 dan ditaksir
sejumlah 4 juta dolar AS (3,3 juta euro) per tahun kepada pemain Inggris, David Beckham.12
Tampaknya bukan hal yang tidak wajar bila mengharapkan bahwa buruh yang membuat
barang-barang itu hendaknya mendapatkan bayaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
pokok keluarganya, dan sekurangnya bisa menjangkau kenyamanan-kenyamanan pokok
seperti sabun pencuci piring dan obat nyamuk.
Sementara sebagian besar pemilik merk perlengkapan olahraga masih belum berkomitmen
untuk upah yang layak, di sisi lain banyak dari mereka kini mulai berkomitmen untuk
menghormati standar-standar perburuhan lainnya, misalnya yang berkaitan dengan
kesehatan dan keselamatan kerja serta jam kerja maksimum. Selama awal sampai
pertengahan 1990-an, di saat kampanye-kampanye anti-sweatshop [sweatshop: tempat kerja
dimana buruh diharuskan bekerja berlebihan dengan upah yang sangat rendah] baru mulai
menarik perhatian media arus besar internasional, kebanyakan pemilik merk perlengkapan
olahraga sama sekali menyangkal bahwa para perempuan dan laki-laki yang bekerja di rantai
pasokan mereka itu dieksploitasi. Baru-baru ini, beberapa pemilik merk perlengkapan
olahraga telah mau mengakui bahwa memang ada masalah, dan telah melakukan investasiinvestasi signifikan dalam hal inisiatif tanggung jawab sosial korporat (CSR). Nike,
perusahaan perlengkapan olahraga terbesar di dunia, kini memiliki hampir 150 karyawan
yang bekerja dalam hal isu-isu CSR, baik itu sebagai pekerjaan utamanya ataupun sebagai
bagian signifikan dari muatan kerjanya (Nike 2005a, hal. 8). Banyak dari para karyawan
tersebut kini terlibat dalam mengaudit standar perburuhan dan standar lingkungan di rantai
pasokan Nike.
Nike, bersama adidas, ASICS, Puma, Reebok dan perusahaan-perusahaan (non-olahraga)
lainnya, juga merupakan anggota Fair Labor Association (FLA). FLA merupakan sebuah
inisiatif multi-pihak (MSI) yang melalui ini perusahaan-perusahaan telah bersepakat dengan
beberapa organisasi non-pemerintah (LSM) — terutama National Consumers League dan
Human Rights First — mengenai serangkaian standar di tempat kerja dan sebuah sistem
untuk memantau serta memverifikasi apakah standar-standar itu ditegakkan. Sekarang ini
belum ada keterlibatan serikat buruh di dewan FLA. Serikat-serikat AS, yang telah
berpartisipasi dalam negosiasi-negosiasi pendahuluan mengenai FLA, menarik diri pada
tahun 1998 karena mereka menganggap kode etik dan sistem pemantauan FLA tidak
memadai. Satu perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga lainnya, Pentland, kini
11
Lihat website Sporeco.com di <www.sporeco.com/sponsors/adidas.htm>.
Lihat website AskMen.com di <www.askmen.com/sports/business_100/101b_sports_business.html
www.sundaymirror.co.uk>.
12
9
merupakan anggota Ethical Trading Initiative (ETI), sebuah MSI lainnya yang juga memiliki
serangkaian standar. Perusahaan-perusahaan, organisasi-organisasi masyarakat sipil
(termasuk serikat buruh dan LSM13) berkumpul di dalam ETI guna membahas dan
mengembangkan model-model bagi perusahaan untuk meningkatkan penghormatan atas
standar-standar yang telah dinyatakan tersebut di dalam rantai pasokan mereka.
Beberapa perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga juga telah terlibat dalam berbagai
proyek bersama yang dirancang untuk menyikapi kondisi-kondisi pabrik. Proyek-proyek ini
antara lain Cambodian Buyers Forum (lihat www.betterfactories.org), Prince of Wales
Business Leaders Forum (lihat www.iblf.pl), Buyers Compliance Group, Better Workplace
Foundation, SOS Occupational Health and Safety Training Initiative dan Human Resources
Management Systems Project (adidas 2006).
Perkembangan-perkembangan ini ada gunanya. Namun demikian, penelitian independen
dan, yang kini makin banyak dilakukan, penelitian tentang perusahaan-perusahaan pemilik
merk, menunjukkan bahwa praktek-praktek yang eksploitatif di pabrik-pabrik pemasok terus
terjadi, bahkan ketika pemilik merk telah berkomitmen bagi—dan mempromosikan—standarstandar perburuhan tertentu. Beberapa penyebab terjadinya hal ini bisa diidentifikasi.
Sebagaimana telah disebutkan, para pemilik merk melakukan banyak tekanan kepada
pemasoknya untuk menurunkan harga dan memenuhi tenggat pengiriman yang ketat, dan
tekanan ini merongrong upaya-upaya untuk meningkatkan upah serta kondisi kerja. Selama
pemilik merk perlengkapan olahraga tidak merubah praktek pembeliannya, akan sulit
membujuk para pemasok untuk menghormati hak-hak buruh, termasuk hak-hak serikat buruh
mereka. Yang sama pentingnya, ada ketidakseimbangan kekuatan yang mendasar antara
sebagian besar buruh dalam industri ini dan para majikannya, hal mana sangat menyulitkan
buruh untuk menuntut hak-haknya.
Mengapa memfokuskan perhatian pada hak-hak serikat buruh?
Oxfam International yakin bahwa penghormatan yang lebih besar atas hak-hak buruh
mengenai serikat buruh akan membantu menyikapi ketidakseimbangan kekuatan ini dan
memberi buruh kekuatan yang lebih besar untuk mempengaruhi upah dan kondisi di tempat
kerja mereka. Sebagaimana telah disebutkan oleh FLA (2004, hal. 229), bila buruh bisa
dengan bebas mempraktekkan hak-haknya mengenai serikat buruh, maka "mereka akan
mampu memainkan peran kunci dalam memastikan agar standar-standar … lainnya di
tempat kerja dilaksanakan ". Disebabkan alasan inilah maka laporan ini memfokuskan
perhatian pada hak-hak serikat buruh, bukan karena hak-hak lainnya tidak penting, melainkan
karena memungkinkan buruh untuk membentuk serikat buruh dan melakukan langkah tawar
secara kolektif adalah cara paling efektif untuk memberi mereka pengaruh yang lebih besar
atas kehidupan kerja mereka dan menyediakan suatu pijakan dasar bagi mereka untuk
mendapatkan hak-hak perburuhan mereka. Sebuah komite serikat buruh tingkat pabrik yang
dipilih secara demokratis dan terlatih baik, yang terlibat dalam berbagi informasi, konsultasi
dan negosiasi reguler dengan pihak manajemen pabrik, akan menyediakan tata pengelolaan
lokal yang kuat di tempat kerja serta sebuah model untuk pemenuhan kode etik yang
berkelanjutan.
Dalam laporan ini, hak-hak serikat buruh berarti hak buruh untuk membentuk—dan masuk
menjadi anggota—serikat buruh serta menjalankan serikat tanpa diskriminasi ataupun
campur tangan dari majikan mereka. Hak-hak ini ditetapkan dalam konvensi-konvensi ILO
yang berkaitan dengan kebebasan berserikat, hak untuk melakukan langkah tawar secara
kolektif dan hak wakil-wakil buruh untuk tidak didiskriminasi karena aktivitas serikatnya
(konvensi ILO masing-masing nomor 87, 98 dan 135). Sesuai dengan konvensi PBB tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, maka hak-hak ini berlaku
secara setara dan tanpa diskriminasi bagi laki-laki dan perempuan.
Pemain sepakbola papan atas dan atlet-atlet profesional lainnya umumnya diwakili oleh
asosiasi pemain. Di Australia, Argentina, Brasil, Perancis, Jerman, Inggris, Meksiko, Portugal,
Paraguay, Amerika Serikat14 dan negeri-negeri lainnya, asosiasi pemain sepakbola
13
Oxfam Great Britain merupakan anggota ETI sebagai sebuah LSM.
Lihat website asosiasi pemain sepakbola di negeri-negeri ini - <www.agremiados.com.ar>, <www.pfa.net.au>,
<www.fenapaf.org.br>, <www.givemefootball.com>, <http://www.unfp.org>, <www.assocalciatori.it>,
<www.futbolistas.com.mx>, <www.fap.org.py>, <www.sjpf.pt>, <www.safp.ch/>, <www.ussoccerplayers.com>,
<www.vdv-fussball.de>.
14
10
menegosiasikan kesepakatan-kesepakatan tawar kolektif yang melindungi kepentingan dan
kebutuhan pemain. Jauh berbeda dengan itu, buruh perlengkapan olahraga yang ingin
membentuk serikat dan melakukan langkah tawar kolektif sering menghadapi diskriminasi,
pelecehan, ancaman pemecatan dan, dalam beberapa kasus, intimidasi dengan kekerasan.
Meski kebanyakan pemilik merk perlengkapan olahraga — termasuk Nike, Reebok, adidas,
Puma, ASICS, Umbro, Pentland, Lotto dan New Balance — mencantumkan hak-hak ini
dalam kode etik pengaturannya, namun telah secara luas diakui bahwa sebagian besar buruh
perlengkapan olahraga menghadapi kesulitan yang cukup besar dalam menuntut hak-hak itu.
Wakil Presiden Nike untuk Pemenuhan Kode Etik, Dusty Kidd, baru-baru ini mengatakan
kepada Maquila Solidarity Network bahwa kebebasan berserikat merupakan "isu tunggal
terbesar dalam pemenuhan kode etik secara global" (MSN 2005, hal. 5), dan laporan tahunan
FLA untuk 2004 menggambarkan kebebasan berserikat sebagai suatu "standar yang secara
khusus sangat menantang untuk diterapkan" (FLA 2004, hal. 229).
Meski penerapan kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif mungkin merupakan hal
yang menantang, namun hak-hak ini belum pernah diperlakukan secara lebih penting. Dalam
banyak hubungan kerja di industri perlengkapan olahraga, daya tawar sangat berat berada di
sisi majikan, khususnya di negeri-negeri yang ditandai dengan tingkat kekurangan pekerjaan
yang tinggi, ketergantungan yang kuat kepada investasi mancanegara, dan perekonomian
yang berorientasi ekspor. Dalam perekonomian seperti itu di Asia, sejumlah besar pekerja,
yang kebanyakan perempuan muda, bermigrasi dari kampung-kampung mereka di pedesaan
untuk bekerja di pabrik-pabrik yang berlokasi di perkotaan dan kawasan-kawasan industri
guna mencari uang untuk membantu menopang keluarganya.
Penelitian Oxfam International menunjukkan bahwa selain perannya sebagai pencari
penghasilan, buruh perempuan di banyak negeri Asia dan belahan-belahan dunia
berkembang lainnya umumnya masih diharapkan untuk melakukan kerja rumah tangga
dengan porsi yang lebih besar daripada laki-laki dan membesarkan anak ataupun menopang
kerabat yang sakit dan lanjut usia (Oxfam International 2004a). Banyak dari para perempuan
ini melakukan pekerjaan yang dibayar, bukan di pabrik, melainkan di rumahnya dan hanya
memiliki sedikit—atau sama sekali tanpa—jaminan pekerjaan. Banyak dari mereka
merupakan pendatang baru di bursa tenaga kerja yang dibayar dan kurang memiliki
pengetahuan tentang hak-hak perburuhan mereka serta kurang pengalaman dalam menuntut
hak tersebut.
Para perempuan organiser serikat buruh sering terkena intimidasi dan pelecehan dari para
supervisor dan manajemen pabrik yang jauh lebih intens daripada yang dialami laki-laki. Ini
mungkin disebabkan oleh adanya pembatasan-pembatasan secara budaya, yang
terkombinasi dengan patriarki, sehingga perempuan hanya memiliki kekuatan yang kecil di
masyarakat, hal mana lebih menyulitkan mereka untuk menolak intimidasi. Beberapa
perempuan yang terlibat dalam sebuah serikat di sebuah pabrik perlengkapan olahraga di
Indonesia mengatakan kepada peneliti Oxfam:
“Perempuan mengalami hal-hal yang jauh lebih berat, daripada laki-laki, ketika melakukan
pengorganisasian. Mereka lebih sering diteriaki oleh pihak manajemen, yang lebih cenderung
meluapkan kemarahannya kepada perempuan daripada laki-laki. Perempuan juga mengalami
pelecehan dalam cara-cara yang tidak dialami laki-laki. Kadang-kadang seorang perempuan
tidak bisa masuk menjadi anggota serikat di tempat kerjanya sampai dia mendapat izin dari
suaminya bahwa dia boleh masuk.” (Wawancara 1.1.1)
Di banyak negeri Asia, semakin jarang buruh bisa menikmati status sebagai pekerja ‘tetap’.
Justru mereka dipekerjakan dengan kontrak jangka pendek, atau berdasarkan kontrak harian,
atau kerja di rumah dengan hitungan hasil per potong. Dalam situasi seperti ini, buruh
menghadapi rintangan yang cukup berat untuk berpartisipasi dalam serikat buruh, karena
buruh kontrak yang masuk dalam sebuah serikat mendapati kenyataan bahwa kontraknya
tidak diperpanjang lagi. Kebanyakan buruh yang dipekerjakan dalam kondisi-kondisi yang
‘fleksibel’ ini adalah perempuan, barangkali karena penghasilan mereka dipandang kurang
penting di dalam rumah tangga dibandingkan penghasilan laki-laki (Oxfam International
2004a).
11
Perempuan buruh perlengkapan olahraga yang terlibat dalam serikat terkadang juga harus
menghadapi sikap-sikap patriarkal di dalam organisasinya sendiri, dengan adanya beberapa
anggota laki-laki yang berpandangan bahwa adalah peran yang wajar bila laki-laki memimpin
organisasi, meskipun sebagian besar anggota organisasi itu perempuan.
Pada saat yang sama, penegakan hak-hak buruh oleh pemerintah kini melemah. Oxfam
International (2004) melaporkan bahwa sementara perusahaan-perusahaan menikmati
perlindungan hukum yang meningkat dalam menghadapi tindakan pemerintah:
Hak-hak buruh justru bergerak ke arah sebaliknya. Dan bukanlah suatu kebetulan bahwa
kenaikan jumlah pekerja yang ‘fleksibel’ ini disertai dengan kenaikan jumlah pekerja perempuan,
yang sering kali juga merupakan pekerja migran...[Hak-hak korporat kini menjadi makin kuat]
sedangkan hak-hak orang miskin… dilemahkan, dan kaum perempuanlah yang kini membayar
ongkos sosialnya (Oxfam 2004, hal. 4).
Survei Tahunan ICFTU (International Confederation of Free Trade Unions) tentang
Pelanggaran terhadap Hak-hak Serikat Buruh untuk tahun 2005 memaparkan adanya
repressi kuat terhadap hak-hak serikat buruh di sepanjang kawasan Asia Pasifik, termasuk
contoh-contoh buruh yang dibunuh karena aktivitas serikat buruhnya dan tindak kekerasan
oleh otoritas negara untuk membubarkan pemogokan dan demonstrasi buruh. ICFTU (2005,
hal. 159-251) melaporkan bahwa kebanyakan pemerintah di kawasan ini melemahkan
aktivitas serikat buruh yang independen, dan sebagian bahkan melibasnya sama sekali
(ICFTU 2005, hal. 159-251).
Dalam situasi-situasi seperti ini, bisa jadi sangat sulit bagi buruh perempuan untuk
berorganisasi dan ambil bagian dalam aktivitas serikat buruh. Namun demikian, penting
kiranya bahwa kaum perempuan memiliki suara yang sesungguhnya dan efektif dalam
organisasi-organisasi buruh, karena kebutuhan dan tugas-tugas mereka sering kali berbeda
dengan kebutuhan dan tugas kaum laki-laki. Gerakan serikat buruh memiliki peran kunci
untuk dilakukan dalam menyesuaikan strategi-strategi pengorganisasian dan struktur-struktur
organisasional guna memenuhi kebutuhan angkatan kerja yang berubah pesat. Perusahaanperusahaan internasional juga perlu melakukan segala yang mereka bisa untuk
menghapuskan rintangan-rintangan bagi partisipasi perempuan dalam serikat buruh dengan
menekankan agar baik buruh perempuan maupun laki-laki mendapat pekerjaan yang
terjamin; agar mereka dibayar dengan upah yang adil; bisa mengambil cuti karena sakit,
hamil dan karena urusan keluarga yang relevan; bisa mendapati kebijakan tentang pelecehan
seksual yang benar-benar diberlakukan; dan tidak dipaksa untuk bekerja dalam jam-jam yang
berlebihan.
Langkah-langkah apa yang hendaknya ditempuh oleh perusahaan untuk menjamin
penghormatan atas hak-hak serikat buruh di rantai pasokannya?
Pada tahun 2004, Play Fair Alliance — sebuah jaringan yang terdiri dari serikat-serikat buruh
dan organisasi-organisasi masyarakat sipil, termasuk ICFTU, ITGLWF, Clean Clothes
Campaign dan 11 Oxfam15 — mengusulkan kepada perusahaan-perusahaan pemilik merk
perlengkapan olahraga dan WFSGI (World Federation of Sporting Goods Industries) agar
mereka bekerja sama dalam sebuah Program Kerja16 untuk meningkatkan hak-hak buruh
dalam industri ini (CCC, dll. 2004, hal. 56-9). Aktivitas-aktivitas yang diusulkan untuk
meningkatkan penghormatan atas hak-hak serikat buruh merupakan aspek utama dari usulan
program ini, dan mencakup upaya meminta para pemilik merk perlengkapan olahraga untuk:
•
•
•
mengembangkan sarana yang bersifat rahasia dan terjangkau bagi buruh untuk
melaporkan tindak eksploitasi dan kesewenangan;
menyediakan, bagi buruh, pendidikan dan pelatihan yang independen mengenai hakhak mereka dalam masa kerja;
meningkatkan partisipasi buruh serta kerja sama dengan serikat buruh dan
organisasi-organisasi pejuang hak buruh setempat dalam semua aktivitas yang
berkaitan dengan pelaksanaan kode etik;
15
Oxfam America, Oxfam-in-Belgium, Oxfam Canada, Oxfam Australia, Oxfam Great Britain,
Oxfam Intermón (Spanyol), Oxfam Ireland, Oxfam Novib (Belanda), Oxfam New Zealand, Oxfam Quebec dan Oxfam
Germany.
16
Naskah lengkap dari Program Kerja yang diusulkan tersedia di website Clean Clothes Campaign
<www.cleanclothes.org/campaign/olympics2004-07-08.htm>.
12
•
•
meningkatkan transparansi mengenai rantai pasokan perusahaan dan upaya-upaya
untuk memperbaiki kondisi, dengan prioritas untuk memastikan adanya masukan
bagi buruh itu sendiri; dan
menerapkan praktek-praktek pembelian yang memungkinkan pemasok untuk
menghormati standar-standar perburuhan (termasuk hubungan bisnis yang stabil dan
harga serta waktu pengiriman yang wajar).
Program Kerja ini menyebutkan bahwa selain rekomendasi untuk perusahaan, sebuah
pendekatan yang berskala industri secara luas juga diperlukan. Rekomendasi-rekomendasi
yang berskala industri secara luas mencakup:
•
•
negosiasi sebuah kerangka kesepakatan antara ITGLWF (International Textile,
Garment and Leather Workers' Federation) dan WFSGI serta perusahaanperusahaan anggotanya untuk memfasilitasi kebebasan berserikat dan langkah tawar
kolektif; dan
menyerukan kepada ILO untuk memainkan peran lebih aktif dalam pelaksanaan dan
verifikasi kode etik pelaksanaan.
Usulan Program Kerja tersebut memberi kerangka bagi banyak hal dalam laporan ini, dan
perkembangan perusahaan serta industri diukur terutama berdasarkan usulan-usulan ini.
Selain itu, laporan ini menyerukan kepada perusahaan-perusahaan pemilik perlengkapan
olahraga untuk menempuh beberapa langkah tambahan:
•
•
•
•
Memprioritaskan untuk mempertahankan pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya di
dalam rantai pasokan perusahaannya.
Melarang—atau dengan tegas membatasi—dipekerjakannya buruh berdasarkan
kontrak jangka pendek.
Jika pabrik tutup, pastikan agar buruh mendapatkan hak penuhnya atas uang
pesangon, dan ambillah langkah-langkah untuk membantu memastikan agar tidak
terjadi diskriminasi terhadap para aktivis buruh jika mereka melamar kerja di pabrik
pemasok lainnya.
Tidak meningkatkan sourcing mereka di negeri-negeri dan Zona-zona Perdagangan
Bebas dimana hak untuk kebebasan berserikat tidak memiliki kekuatan hukum.
Setiap produksi baru hendaknya dilakukan di negeri-negeri dan zona-zona dimana
hak ini berlaku secara hukum.
Alasan yang mendasari usulan-usulan ini dijelaskan di Bagian 3, dan sejauh mana pemilik
merk perlengkapan olahraga serta industri sebagai suatu keseluruhan menerapkannya
dibahas di bagian 3 dan 4..
Laporan ini memfokuskan perhatian pada satu kawasan, yakni Asia, yang merupakan fokus
program hak-hak buruh Oxfam Australia.17 Namun demikian, kami juga menyertakan contohcontoh tentang praktek yang pada khususnya baik, atau pada khususnya buruk, dari belahanbelahan dunia lainnya. Kami berharap bahwa organisasi-organisasi masyarakat sipil lain akan
melaporkan tentang penghormatan atas hak-hak serikat buruh dalam industri-industri global
lain dan dalam produksi perlengkapan olahraga di belahan-belahan dunia lainnya.
Meski hak-hak serikat buruh menghadapkan tantangan kepada perusahaan, namun
menghormatinya merupakan aspek esensial dari praktek bisnis yang bertanggung jawab. Ini
adalah hak asasi manusia yang fundamental, yang dilindungi bukan hanya berdasarkan
konvensi-konvensi inti ILO, tetapi juga berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Pasal 23) dan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Pasal
8). Laporan ini adalah permulaan dari sebuah proses pelaporan reguler kepada publik yang
diharapkan oleh Oxfam International akan dapat membantu membujuk pemilik merk
perlengkapan olahraga untuk memastikan agar barang mereka diproduksi dalam kondisikondisi yang menghormati hak-hak buruh, peka terhadap kebutuhan baik perempuan
maupun laki-laki, serta memungkinkan terwujudnya pekerjaan yang layak dan bermartabat.
Kotak 1: Biaya hidup bagi buruh perlengkapan olahraga di Indonesia
17
Oxfam Australia merupakan anggota Oxfam International yang terlibat dalam penyiapan laporan ini.
13
Pada bulan Februari 2006, Oxfam Australia memulai sebuah penelitian sederhana guna
mendapatkan data terbaru untuk penelitian sebelumnya18 tentang upah dan biaya hidup bagi
buruh perlengkapan olahraga di Indonesia. Enam orang buruh — lima perempuan dan satu
laki-laki — dari empat pabrik perlengkapan olahraga diwawancarai. Dua orang buruh tinggal
di sebuah kawasan industri dekat Jakarta, dan empat lainnya tinggal di sebuah kawasan
industri dekat Bandung.19
Para buruh ditanyai tentang upahnya, dan informasi ini diuji-silang dengan slip pembayaran
upah mereka. Mereka diminta untuk menyusun daftar 10 makanan yang paling umum mereka
makan dan 10 makanan lagi yang ingin mereka makan kalau mereka mendapat lebih banyak
uang. Mereka juga ditanyai tentang biaya akomodasi, air minum, angkutan ke pabrik dan
biaya pendidikan anak (jika relevan).
Kebanyakan buruh yang diwawancarai mendapatkan upah pokok sebesar 800.000 rupiah
(75,29 euro) per bulan atau 5.000 rupiah (47 sen euro) per jam.20 Mereka juga mendapat
bayaran lembur dan sejumlah kecil uang harian untuk makan siang serta ongkos angkutan
untuk berangkat dan pulang kerja.
Nasi merupakan makanan pokok, dan ini biasanya disertai dengan sedikit lauk dan sup
bening dengan sayuran dari dedaunan hijau. Makanan tipikal yang dikonsumsi buruh
perlengkapan olahraga dalam sebulan adalah:
nasi, ayam, ikan, telur, tahu, tempe (makanan yang dibuat dari kacang kedelai), susu kental,
gula, minyak goreng, sayuran (bayam, kacang panjang/buncis, sawi, kubis, kangkung, buahbuahan (pisang, jeruk dan pepaya), teh dan mi instan.
Para peneliti membandingkan upah per jam buruh perlengkapan olahraga dengan harga
makanan di pasar lokal yang murah. Seorang buruh yang belum menikah perlu bekerja
selama:
●
●
●
●
●
●
4,5 jam agar mendapatkan uang yang cukup untuk membeli persediaan beras
kelas rendah untuk satu bulan. Kalau mampu menjangkaunya, buruh lebih suka
membeli beras yang kualitasnya lebih baik, yang akan membebani mereka biaya
tambahan sebesar 0,30 sen euro per bulan;
40 jam agar mendapatkan uang yang cukup untuk membiayai akomodasi yang
sederhana tiap bulan;
Enam jam agar mendapatkan uang yang cukup untuk membeli air minum tiap
bulan;
3,75 jam agar mendapatkan uang yang cukup untuk membeli 1,5 kg daging ayam
mentah, yang mana beberapa buruh melaporkan bahwa itulah total jumlah daging
yang mampu mereka beli setiap bulan. Dengan harga 1,60 euro per kilo, daging
ayam adalah daging paling murah yang tersedia. Beberapa buruh melaporkan
bahwa kalau mereka punya lebih banyak uang, mereka akan membeli daging sapi
yang harganya 3,86 euro per kilo di Bandung dan 4,07 euro per kilo di Jakarta.
Dengan upah sekarang ini, buruh akan perlu bekerja selama lebih dari delapan jam
agar mendapatkan uang yang cukup untuk membeli satu kilo daging sapi;
2,6 jam agar mendapatkan uang yang cukup untuk membeli dua kilo telur per bulan
dengan harga 59 sen euro per kilo;
2,8 jam agar mendapatkan uang yang cukup untuk membeli persediaan gula, teh
dan susu kental untuk satu bulan. Susu bubuk full cream yang tahan lama dengan
harga 95 sen euro per 250 gram dianggap lebih mahal dibandingkan sekaleng susu
kental dengan harga 43 sen euro. Kebanyakan buruh yang diwawancarai
18
Lihat, misalnya, Oxfam, CCC & GU 2004b.
Nama buruh dan nama pabriknya dirahasiakan karena mereka tidak mengizinkan informasi ini diterbitkan untuk
publik.
20
Harga-harga di pasar lokal adalah berdasarkan situasi pada Februari 2006. Perhitungan per jam didasarkan atas
40 jam kerja dalam seminggu, delapan jam dalam sehari, sebagaimana diatur dalam Undang Undang
ketenagakerjaan Indonesia. Konversi mata uang diukur dengan kurs 11.516,62 rupiah per 1,00 euro sebagaimana
yang berlaku pada 7 Maret 2006.
19
14
●
melaporkan bahwa mereka tidak mampu membeli kopi yang harganya 44 sen euro
per bungkus dengan isi 185 gram; dan
30 menit per hari agar mendapatkan uang yang cukup untuk membeli sayuran
sehari-hari atau 18,5 jam per bulan agar bisa membeli persediaan sayuran untuk
satu bulan.
Beberapa buruh perempuan melaporkan bahwa kalau punya lebih banyak uang, mereka
akan membeli herbal tonic untuk diminum selama menstruasi. Ini harganya 24 sen euro per
botol.
15
2. Kajian kasus
2.1 Jaqalanka Ltd (Jaqalanka)
Merk meliputi:
Lokasi:
Produk:
Besarnya:
Nike, Columbia, Red Kap (VF Corporation)21
Zona perdagangan bebas Katunayake, Srilanka
Perlengkapan olahraga, pakaian kerja, topi dan perlengkapan untuk
petualangan di alam terbuka
Sekitar 400 buruh
Ringkasan
• Pihak manajemen pabrik di Jaqalanka dituduh telah secara sistematis melecehkan
dan mengintimidasi anggota-anggota sebuah serikat buruh yang baru saja
terbentuk.
• Seorang anggota serikat diserang oleh orang-orang tak dikenal, dan dua anggota
mendapat peringatan bahwa mereka bisa dibunuh jika tidak meninggalkan serikat
itu.
• Baik Nike maupun Columbia mengirim auditor ke pabrik ini.
• Serikat tersebut dan Nike mengajukan pengaduan kepada Fair Labour Association
(FLA).
• Bekerja sama dengan Centre for Policy Alternatives (CPA), FLA memfasilitasi
dialog antara semua pihak yang terkait, dan serikat itu pun diakui.
• Hak-hak untuk membentuk—dan masuk menjadi anggota—serikat serta
melakukan langkah tawar secara kolektif kini dihormati.
Pada bulan April 2003, manajemen pabrik Jaqalanka mengumumkan kepada para buruh
bahwa mereka tidak akan membayarkan bonus tahunan festival Tahun Baru berupa
tambahan satu bulan gaji22 karena perusahaan merugi. Namun demikian, Direktur
Pengelolaan Bersama, Daniel Ortiz, kemudian mengatakan kepada surat kabar setempat,
Sunday Observer (2003), bahwa "selama periode yang dimaksud, kami sama sekali tidak
mengalami kerugian finansial besar”. Bonus Tahun Baru telah dibayarkan sejak pabrik ini
buka 28 tahun yang lalu. Para buruh mengandalkan bonus ini untuk memenuhi biaya hidup
yang semakin tinggi. Pada tanggal 4 April 2003, para buruh melakukan aksi mogok selama
setengah hari untuk memprotes kebijakan ini. Sekitar 220 buruh (dari total sekitar 400 buruh)
membentuk sebuah cabang FTZWU (Free Trade Zones Workers Union)23 di pabrik ini untuk
bernegosiasi
dengan
pihak
manajemen.
Ketika 220 anggota serikat melapor untuk masuk kerja pada keesokan hari setelah
pemogokan itu, pihak manajemen pabrik menolak menerima mereka kembali. FTZWU
kemudian mengirim surat kepada Komisaris Perburuhan, meminta dia agar campur tangan.
Serangkaian negosiasi dengan pihak manajemen pabrik akhirnya membuahkan hasil
dipekerjakannya
kembali
para
buruh
pada
tanggal
8
April.
Pada tanggal 10 April, pihak manajemen membayarkan uang sejumlah seperempat gaji
kepada para buruh sebagai bonus, bukan sejumlah gaji sebulan penuh sebagaimana
biasanya. Akan tetapi, pihak manajemen di pabrik ini masih menolak mengakui serikat
tersebut serta terus melecehkan dan mengintimidasi anggota serikat. Konsekuensinya,
FTZWU yang didukung oleh Transnationals Information Exchange (TIE-Asia) meminta dan
mendapat dukungan internasional dari Clean Clothes Campaign (CCC), ITGLWF serta
organisasi-organisasi kampanye internasional lainnya. Pengaduan yang diajukan oleh
ITGLWF (ITGLWF 2003) kepada Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada bulan Juli 2003
mengungkapkan, antara lain, pengamatan-pengamatan berikut ini:
21
VF Corporation merupakan salah satu perusahaan pemilik merk terbesar di dunia. Perusahaan ini memproduksi
merk-merk jeans seperti Lee, Wrangler, Rustler, Riders dan Britannica, dan menguasai lebih dari 25 persen pasar
jeans Amerika Serikat.
22
Hari Tahun Baru Sinhala/Tamil diselenggarakan setiap bulan April. Ia sama pentingnya dengan Hari Natal dan
Tahun Baru Masehi, meski maknanya berbeda.
23
FTZWU berubah menjadi FTZ&GSEU (Free Trade Zones and General Services Employees Union/Serikat Pekerja
Zona Perdagangan Bebas dan Layanan Umum) pada tahun 2003. FTZWU merupakan serikat nasional. Serikat
cabang pabrik Jaqalanka adalah sebuah cabang dari FTZWU.
16
•
Dirjen Dewan Penanaman Modal (BOI) Srilanka, bersama para pejabat BOI,
mengunjungi pabrik ini pada tanggal 22 Mei. Dia menggelar sebuah pertemuan
dengan ‘dewan karyawan’ yang baru saja terpilih serta beberapa orang pengurus
kantor serikat pabrik ini. "Serikat mengklaim bahwa Dirjen BOI menanyai mereka
tentang keanggotaan serikat mereka, dan mendesak mereka untuk mengundurkan
diri dari serikat" (FTZWU 2003).
•
Dalam sepucuk surat tertanggal 3 Juni24, Ketua BOI menyangkal kalau dirinya
mengatakan kepada buruh untuk mengundurkan diri dari serikat itu. Namun,
suratnya menyatakan, “Bila tidak ada serikat buruh di tempat kerja ini, maka dewan
karyawan bahkan akan bisa mengurusi persoalan-persoalan yang dapat
dinegosiasikan dan mengambil kesepakatan-kesepakatan kolektif... Saya
menganjurkan kepada para anggota komite eksekutif yang baru terpilih agar jangan
mengambil tindakan sepihak, melainkan berusaha mencari solusi bagi masalahmasalah melalui dialog dan konsultasi dengan pihak manajemen”.
•
Ketua BOI menyatakan komentar-komentar ini kepada komite eksekutif dewan
karyawan di saat sepenuhnya mengetahui bahwa ada sebuah serikat di pabrik itu
yang sedang berupaya mendapatkan pengakuan hukum.
•
Pada tanggal 29 Mei, pihak manajemen pabrik setuju untuk mengakui serikat cabang
di pabrik itu asalkan serikat ini bisa membuktikan bahwa mereka memiliki jumlah
anggota yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundangan. Serikat
setuju dan tanggal pemungutan suara pun ditetapkan akan berlangsung pada 9 Juli
2003.
Menurut para buruh dan FTZWU, menjelang pemungutan suara, pihak manajemen pabrik
meningkatkan upaya-upayanya untuk menghancurkan serikat. Menulis di Asian Labour
Update, Sekjen FTZWU Anton Marcus25 (Marcus & Brehaut 2003) menyebutkan beberapa
contoh tentang intimidasi terhadap buruh:
Pada tanggal 19 Juni 2003, dua direktur Jaqalanka memanggil beberapa buruh
pengawasan mutu, pemotongan dan pengepakan, dan menanyai mereka: “Mengapa
•
kalian membayar 20 rupee untuk serikat itu? Apa kalian akan mendukung orang luar, atau
mendukung orang-orang yang telah merawat kalian selama 25 tahun layaknya orang tua kalian
sendiri?”
•
"Ketika sekretaris cabang datang ke bagian pemotongan untuk mengkoreksi suatu
cacat produksi, manajer bagian pemotongan… mengucapkan kata-kata yang kotor
dan menghina dan menanyakan mengapa dia mengatakan hal-hal tertentu kepada
auditor dari Nike (yang mengunjungi pabrik untuk menyelidiki perselisihan itu), dan
mengancam sekretaris cabang dengan mengatakan bahwa kalau pabrik tutup, dia
akan mengambil pisau dan menikamnya, dan dia siap masuk penjara."
•
Sekretaris serikat cabang pabrik diserang oleh lima lelaki tak dikenal di sebuah
persimpangan jalan di luar pabrik seusai dia menghadiri sebuah pertemuan serikat.
Dia mengadukan kejadian penyerangan ini kepada polisi.
•
Saat pulang kerja, seorang perempuan anggota serikat diancam di persimpangan
jalan yang sama oleh empat lelaki tak dikenal yang mengatakan kepadanya: "Kami
melakukan sesuatu kepada seseorang hari Minggu kemarin, tapi dia masih saja
meneruskan aktivitasnya tanpa rasa malu. Kalau kamu datang ke serikat itu lagi,
kami akan membunuhmu dan melemparkanmu ke danau ". Beberapa lelaki muda
yang sedang melintas mencoba campur tangan, tetapi para lelaki tadi mengancam
mereka dengan pisau dan berkata, “Kamu bisa membawa saudaramu ini, tapi kami
tahu tempat kosnya, dan kalau kami mau, kami bisa melakukan apapun kapan saja
kami menginginkannya".
CCC dan organisasi-organisasi kampanye internasional lainnya terus mengirim surat kepada
pihak-pihak otoritas Srilanka, manajemen pabrik, Nike, Columbia dan VF Corporation.
24
25
Surat yang ditandatangani oleh Mr Arjuna Mahendran, Dirjen Penanaman Modal (BOI) Srilanka, tersedia di arsip.
Artikel ini ditulis bersama dengan Melanie Brehaut yang pada waktu itu bekerja untuk TIE-Asia.
17
FTZWU kemudian menindaklanjuti isu ini dengan pihak-pihak otoritas Srilanka yang relevan
dan, dengan bantuan ACILS (American Centre for International Solidarity) di Srilanka dan di
Amerika, mengajukan sebuah petisi kepada Uni Eropa (EU) dan pemerintah Amerika Serikat.
Dalam petisi ini, mereka meminta agar setiap pemberian pilihan perdagangan berdasarkan
sistem pilihan yang digeneralisasi (GSP) menyertakan sebuah rancangan untuk memulihkan
hak-hak buruh yang inti. Bantuan perdagangan yang diberikan kepada Srilanka berdasarkan
GSP ini penting bagi industri garmen Srilanka.
Referendum diselenggarakan pada tanggal 9 Juli 2003. Hanya 17 buruh yang memberikan
suara pada hari referendum itu, jauh di bawah 40% yang dibutuhkan agar serikat bisa
didaftarkan. Satu suara rusak dan semua suara lainnya memilih serikat cabang pabrik.
Kelompok-kelompok buruh AS dan Eropa hadir selama referendum sebagai pengamat
internasional. Mereka membantah hasil referendum itu dengan argumen bahwa intimidasi
telah menghambat buruh untuk memberikan suaranya (FLA 2004, hal. 258). Laporan mereka
menyimpulkan, “Pemilihan ini dirusak dengan intimidasi yang paling janggal oleh majikan.
Pemerintah Srilanka tidak melakukan apapun mengenai hal ini” (disebutkan dalam Brehaut
dan Marcus 2003).
Auditor-auditor dari Nike mengunjungi pabrik ini sekurangnya dua kali, sebelum maupun
setelah referendum. Nike (2006) menyatakan bahwa selama bergulirnya persoalan ini,
mereka “menugaskan spesialis pemenuhan kode etik kami di lapangan, manajer pemenuhan
kode etik kami untuk wilayah Asia Tenggara yang berbasis di Bangalore, direktur pemenuhan
kode etik untuk kawasan ini yang berbasis di Bangkok, dan wakil ketua pemenuhan kode etik
yang berbasis di Amerika Serikat. Kami secara khusus berpartisipasi langsung bersama FLA
selama keterlibatannya….”
Auditor-auditor dari Columbia mengunjungi pabrik ini pada tanggal 14 September 2003.
Menurut Marcus:
Columbia memainkan peran yang sangat baik. Wakil regional mereka masuk ke
dalam pabrik, mewawancarai para buruh dan serikat [pabrik] untuk mengumpulkan
informasi sebelum dia mengangkat isu ini [tentang referendum yang gagal].
(Wawancara 2.1.1)
Menyusul referendum yang gagal itu, pihak manajemen menyatakan bahwa para langganan
pembeli mereka ingin melihat diadakannya referendum kedua. Tetapi para anggota serikat
cabang pabrik tidak percaya bahwa manajemen Jaqalanka akan memperbolehkan sebuah
pemilihan yang bebas dan adil berlangsung, terutama karena pelecehan dan intimidasi masih
terus terjadi. Serikat pabrik ini justru menyerukan agar ada pengakuan terhadap FTZWU
sebagai badan untuk melakukan langkah tawar kolektif, berdasarkan jumlah anggotanya
yang telah mendaftar.
Manajemen Jaqalanka menolak semua pernyataan bahwa mereka telah terlibat dalam
mengintimidasi buruh. Direktur Pengelolaan Bersama, Daniel Ortiz, mengatakan kepada
Sunday Observer (12 Oktober 2003) bahwa penyelidikan polisi tidak menemukan bukti
tentang dugaan adanya ancaman pembunuhan, dan menyatakan bahwa serikat hanya
mengarang-ngarang cerita demi melancarkan tujuannya. Ortiz juga menyatakan bahwa:
Tidak adil bila kami dituduh tidak memperhatikan nasib buruh kami, padahal kami
telah memberikan kepedulian khusus dengan melatih mereka dan juga mengatur
perjalanan tahunan bagi mereka. Kami telah menciptakan lingkungan yang aman
dan sehat bagi buruh kami dan menghormati hak-hak mereka.
Setelah konsultasi dengan semua pihak utama yang terkait, FLA mengumumkan dalam
sebuah siaran pers pada tanggal 29 September bahwa sebagai tanggapan terhadap
permintaan-permintaan baik dari FTZWU maupun Nike, FLA (2003a) akan mengupayakan
“sebuah penyelesaian yang damai dan non-konfrontasi” bagi perselisihan seputar pengakuan
atas serikat di Jaqalanka. Umpan balik terhadap proposal FLA ini positif, dan FLA meminta
sebuah LSM setempat yang cukup dihormati, Centre for Policy Alternatives (CPA), untuk
mengorganisir sebuah diskusi meja bundar. Diskusi ini diselenggarakan pada tanggal 14 dan
16 Oktober. Peserta meliputi wakil-wakil dari FTZWU, manajemen pabrik, Nike, Columbia
Sportswear, ILO, ACILS, CPA dan FLA.
18
Sebagai hasil dari diskusi ini, serikat cabang pabrik tersebut diakui pada tanggal 16 Oktober:
Pihak manajemen Jaqalanka menerima FTZWU untuk mewakili keprihatinankeprihatinan anggotanya di Jaqalanka Ltd. Sebagai timbal baliknya, FTZWU setuju
untuk menghentikan kampanye solidaritas internasional yang telah dilancarkan
26
terhadap Jaqalanka Ltd. (FLA 2003b)
Sebuah proses peninjauan, yang dipantau oleh CPA dan FLA, dibandingkan dan
disesuaikan dengan peninjauan utama yang berlangsung pada enam bulan setelah
kesepakatan awal ditandatangani.27 Setelah itu, para buruh dan pihak manajemen
dilatih tentang kebebasan berserikat dan hak-hak buruh. Menanggapi pertanyaan
tentang situasi terkini di Jaqalanka, Marcus melaporkan:
Ada kebebasan berserikat: ada sebuah serikat buruh; manajemen perusahaan
bernegosiasi dengan serikat untuk mengatasi dan menyelesaikan perselisihan.
Pihak manajemen menyerahkan sistem penarikan iuran anggota serikat kepada
serikat; memperbolehkan serikat cabang pabrik untuk mengadakan pertemuanpertemuan di dalam gedung pabrik, dan memperbolehkan pengurus serikat cabang
untuk cuti tugas guna menghadiri pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan
serikat. (Wawancara 2.1.1)
Direktur Utama dan Pengelola Jaqalanka, Harin Fernando, menyatakan bahwa “eksistensi
berdampingan yang sukses dan harmonis telah berlangsung antara pihak manajemen,
Serikat dan Dewan Karyawan”. Sembari menyebutkan kembali hasil-hasil positif yang tadi
disebutkan Marcus, Fernando memberikan contoh-contoh lain (yang dibenarkan Marcus)
tentang kerja sama yang berhasil antara pihak manajemen, serikat dan dewan karyawan,
seperti pengelolaan bersama komite-komite kesejahteraan dan gotong-royong urusan
kematian; pengorganisasian bersama masa liburan panjang, hari libur kerja serta aktivitasaktivitas sosial28.
Menurut Marcus, secara prinsip juga tidak ada masalah mengenai penegosiasian sebuah
kesepakatan langkah tawar kolektif (CBA) baru. Namun, pada prakteknya, sulit bagi serikat
untuk menegosiasikan sebuah CBA yang mencakup kenaikan upah bagi buruh. FTZWU
yakin bahwa ini adalah karena Nike dan pemilik-pemilik merk lainnya belum meningkatkan
produksi di pabrik itu. Marcus menyebutkan bahwa serikat tidak mengetahui harga yang
dibayarkan oleh Nike dan pemilik-pemilik merk lainnya untuk barang-barang yang diproduksi
di pabrik itu, dan bahwa akan berguna bagi serikat bila informasi tersebut disertakan dalam
proses tawar. FTZWU menduga bahwa harga dibayar per satuan, yang sedemikian rendah
sehingga menyulitkan manajemen pabrik untuk membayar kenaikan upah (Wawancara
2.1.1).
Nike, Columbia dan perusahaan-perusahaan pemilik merk lainnya yang melakukan sourcing
dari Jaqalanka hendaknya menyediakan informasi tentang harga per satuan yang mereka
bayarkan untuk produksi barang-barang mereka. Nike, Columbia dan perusahaanperusahaan pemilik merk lainnya hendaknya juga menilai apakah harga per satuan yang
mereka tetapkan itu cukup layak. Informasi tentang harga per satuan yang dibayarkan oleh
para pemilik merk itu saja tidaklah cukup; manajemen pabrik juga perlu transparan tentang
keseluruhan situasi keuangan mereka dalam negosiasi-negosiasi dengan serikat.
Pengungkapan semua informasi keuangan merupakan bagian dari upaya untuk bernegosiasi
dengan niat baik. Nike, Columbia dan perusahaan-perusahaan pemilik merk lainnya yang
melakukan sourcing dari Jaqalanka dan pabrik-pabrik lainnya hendaknya mengharuskan
pemasok mereka untuk mengungkapkan informasi seperti itu kepada serikat buruh.
Menyusul perselisihan di Jaqalanka, pemerintah Srilanka mengintrodusir beberapa
perubahan atas kebijakan hubungan industrial di Zona-zona Perdagangan Bebas negeri itu.
Sebagai contoh, pada bulan Maret 2004, BOI menerbitkan garis-garis panduan baru yang
mempromosikan penghormatan atas hak-hak buruh yang inti, termasuk hak untuk
membentuk—dan menjadi anggota—serikat dan hak untuk melakukan langkah tawar kolektif.
26
Lihat: fairlabor.org/all/news/docs/Jaqalank2.pdf untuk mengetahui informasi selengkapnya tentang poin-poin
kesepakatan yang dicapai.
27
Laporan Perkembangan untuk Januari 2004 dapat dilihat di:
66.102.7.104/search?q=cache:tZti2RmVXRYJ:www.fairlabor.org/all/news/docs/Jaqalanka_update_2_04_final.pdf+Ja
qalanka&hl=en
28
–Komunikasi personal (surat) dari Mr Harim Fernando, Jaqalanka, 30 Januari 2006, tersedia di arsip.
19
Marcus melaporkan bahwa Departemen Perburuhan kini berusaha menyelesaikan
perselisihan dan mengakui serikat-serikat buruh tanpa perlu dilakukan referendum
(Wawancara 2.1.1).
Dalam penyiapan laporan ini, Oxfam Australia mengirimi Nike sejumlah pertanyaan mengenai
kasus Jaqalanka. Nike (2005a) menanggapi bahwa:
Meski FLA maupun CCC [Clean Clothes Campaign] belum mengirim
perkembangan terbaru tentang pabrik Jaqalanka pada tahun lalu, namun kami
merasa bahwa informasi mengenai aktivitas-aktivitas signifikan yang menyikapi isuisu FoA di pabrik itu masih aktual.
Keterangan tentang kasus Jaqalanka di atas sesuai dengan informasi yang disediakan baik
oleh FLA (2003a 2003b) maupun CCC.29
Penilaian Oxfam International
Nike telah memainkan peran positif dalam proses hingga diakuinya serikat buruh di
Jaqalanka dengan memobilisasi unit pemenuhan kode etik dan manajer-manajer bisnisnya
yang relevan serta mengirim auditor ke pabrik itu tepat sebelum dan sesudah referendum.
Nike juga bekerja sama dengan FLA (Bagian 2.2) dan CPA dalam peran mereka untuk
memediasi sebuah penyelesaian. Nike seharusnya bisa memainkan peran lebih aktif, dan
lebih cepat serta lebih tegas menanggapi permintaan-permintaan dari organisasi-organisasi
kampanye internasional dan serikat-serikat buruh untuk memastikan agar kode etik
pengaturannya dihormati.
Nike, Columbia dan perusahaan-perusahaan pemilik merk lainnya yang melakukan sourcing
dari pabrik itu bisa memainkan peran yang lebih positif ketika serikat di Jaqalanka berupaya
menempuh langkah berikutnya dan menegosiasikan sebuah kesepakatan langkah tawar
kolektif. Secara khusus, para pemilik merk hendaknya mengharuskan pabrik itu untuk
mengungkapkan catatan keuangannya kepada serikat, termasuk harga per satuan yang
dibayarkan oleh pemilik merk. Perusahaan-perusahaan pemilik merk hendaknya
mendiskusikan dengan serikat bagaimana order dan/atau harga per satuan dapat
ditingkatkan guna memungkinkan serikat untuk menawar bagi upah dan kondisi yang lebih
baik.
Menurut FTZWU, Columbia telah memainkan peran positif dalam penyelesaian perselisihan
ini dengan mengirim auditor ke pabrik tersebut, yang berbicara kepada para buruh dan
serikat, dan dalam pertemuan meja bundar yang difasilitasi FLA. Peran yang positif ini perlu
ditunjang dengan tindakan konkret untuk mendukung upaya-upaya buruh dalam
menegosiasikan upah dan kondisi yang lebih baik.
29
Lihat <www.cleanclothes.org/appeals-archive.htm#jaqalanka>.
20
2.7 MSP Sportswear (MSP)
Merk meliputi:
Lokasi:
Produk:
Besarnya:
Nike, Decathlon
Hutalea Muong Nakornrachaseama, Thailand
Perlengkapan olahraga
400 buruh (350 di antaranya perempuan)
Ringkasan
•
Tiga buruh perempuan dipecat karena membentuk sebuah serikat di MSP.
•
Setelah ada sebuah kampanye internasional yang mendukung buruh-buruh
perempuan ini, Nike akhirnya menegakkan kode etik pengaturannya dan para
perempuan ini pun diterima kembali bekerja;
•
Decathlon tidak membantu dalam proses sampai para buruh yang dipecat itu
dipekerjakan kembali.
Buruh di MSP pertama-tama mencoba membentuk sebuah serikat pada bulan November
2003. Berdasarkan laporan Fair Labour Association30 (FLA 2005, hal. 279), tiga organiser:
mulai mengumpulkan tanda tangan para buruh untuk mendukung tuntutan kepada
pihak manajemen agar memperbaiki kondisi-kondisi kerja, yang mencakup
dihentikannya pelecehan secara lisan oleh para supervisor dan pemeriksaan tubuh
oleh para satpam. … Sebelum mereka mendapat kesempatan untuk menyerahkan
tuntutan ini, dua buruh dipecat. [Mereka] mengajukan pengaduan kepada Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia [THRC], dan Komisi memerintahkan pihak
manajemen untuk menerima kedua buruh itu kembali bekerja pada Februari
31
2004.
Menurut Somyot Pruksakasumsek dari Pusat Layanan Informasi dan Pelatihan Perburuhan
(CLIST) di Thailand, para buruh kembali berupaya mendirikan sebuah serikat pada bulan
Oktober 2004. Keluhan-keluhan yang ingin mereka diskusikan dengan manajemen pabrik
meliputi: target produksi yang tinggi; kerja lembur wajib yang reguler; air minum yang
kualitasnya buruk, dan pelecehan secara lisan oleh para supervisor (Wawancara 2.7.1).
Tak lama setelah serikat terbentuk, tiga anggota eksekutif serikat ini dipecat. Kesembilan
anggota eksekutif lainnya diduga mengalami pelecehan dan tidak bisa menjalankan aktivitasaktivitas serikat mereka di pabrik. Contoh-contoh pelecehan ini meliputi:
•
•
Ibu seorang anggota eksekutif serikat yang juga bekerja di pabrik itu dipecat pada
bulan Desember 2004 tanpa alasan yang jelas (Wawancara 2.7.1);
Seorang anggota eksekutif serikat lainnya secara sewenang-wenang dipindahkan dari
bagian penjahitan ke bagian pemotongan tanpa dibekali pelatihan yang memadai. Dia
(laki-laki) tidak bisa memenuhi kuota dan mendapat sepucuk surat peringatan
(Wawancara 2.7.1)
CLIST menghubungi Clean Clothes Campaign di Amsterdam pada November 2004.
Kemudian CCC menghubungi Nike di tingkat internasional, dan ketika tidak ada tindakan
efektif yang diambil, CCC pun melansir sebuah kampanye internasional yang menyerukan
agar ketiga buruh tersebut diterima kembali bekerja, dengan alasan bahwa mereka telah
dipecat secara tidak adil dikarenakan aktivitas-aktivitas serikat yang sah secara hukum32.
CLIST juga menghubungi Nike dan meminta mereka campur tangan untuk membantu
menyelesaikan masalah ini.
30
Lihat bagian 3.7.
Dikarenakan kebijakan FLA tentang pengaduan oleh pihak ketiga, maka laporan ini tidak menyebutkan nama MSP
Sportswear. Namun demikian, Nike menyebutkan keterlibatan FLA dalam kasus ini dalam tanggapan mereka
terhadap pertanyaan-pertanyaan dari Oxfam Australia.
32
Nike (2006) mengindikasikan bahwa mereka mengetahui kasus MSP ini dari sebuah kliping berita tanggal 24
November 2004. Nike menyatakan, “komunikasi pertama [kami] dengan CLIST yang tercatat adalah pada bulan
Desember, yakni ketika staf pemenuhan kode etik kami di Thailand bertemu dengan Khun Somyot di Kementerian
Perburuhan pada tanggal 14 Desember 2004”. Pruksakasumsek dari CLIST mengindikasikan bahwa dia berusaha
menghubungi Nike pada tanggal 23 November 2004. Selain itu, korespondensi (CCC, 30 November 2004, tersedia di
arsip) menunjukkan bahwa CCC pertama kali menghubungi Nike pada tanggal 30 November untuk menindaklanjuti
surat-surat yang sebelumnya telah dikirim oleh CLIST mengenai isu ini.
31
21
Pruksakasumsek (2005) melaporkan bahwa manajemen MSP berupaya mendiskreditkan
serikat ini dengan mengklaim bahwa mereka tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas
buruh di pabrik. Dia menyebutkan bahwa pada bulan Desember 2004, manajemen pabrik
mengorganisir sebuah aksi protes untuk menentang serikat ini dan memberi para buruh uang
transport serta libur setengah hari dengan tetap dibayar agar mereka datang ke aksi itu.
(Wawancara 2.7.1).
Pruksakasumsek (2005) menegaskan bahwa, Nike mengetahui bahwa MSP menentang
sebuah serikat yang baru terbentuk di pabrik itu. Nike (2005a) menyatakan:
Ada bermacam-macam laporan dari berbagai sumber mengenai kemungkinan telah
terjadinya pelecehan dan kesewenang-wenangan di MSP, tetapi para auditor tidak
menemukan bukti yang menguatkan hal itu. Akan tetapi, penyelidikan memang
menunjukkan kemungkinan telah terjadinya proses pemecatan yang tidak sah secara
hukum.
Sepanjang bulan November dan Desember 2004, dua sessi pendamaian diselenggarakan
oleh Departemen Perlindungan Buruh dan Kesejahteraan di Kementerian Perburuhan
Thailand yang dihadiri oleh wakil-wakil dari pihak manajemen, buruh yang dipecat dan wakil
dari Nike.
Menurut Pruksakasemsuk (2005), seorang penengah dari Komite Perlindungan
Kesejahteraan dan Buruh mengungkapkan sebuah pandangan bahwa hak-hak buruh telah
dilanggar, dan bahwa mereka hendaknya diterima kembali bekerja. Nike juga hadir pada
pertemuan ini dan mengindikasikan bahwa mereka ingin mengikuti arahan penengah, namun
pihak manajemen MSP menolak. FLA (2005, hal. 279) melaporkan:
Pihak manajemen menolak untuk menerima para buruh kembali bekerja, dan
menawarkan kepada mereka pembayaran pesangon dalam bentuk gaji sepuluh
bulan. Ketiga buruh itu menolak menerima pesangon, dan menyatakan bahwa
mereka akan terus berupaya agar diterima kembali bekerja.
CLIST dan CCC menyerukan kepada Nike untuk membujuk MSP agar menghormati kode
etik pengaturan Nike dan menerima kembali para buruh yang dipecat. Nike malah
berpendapat bahwa pemerintah Thailand-lah yang merupakan badan yang tepat untuk
menyelesaikan masalah ini.33 Para pemimpin serikat kecewa dengan pendekatan Nike itu.
Pada bulan Desember 2004 ketua serikat yang telah di-PHK, Nona Samai Kongthaley,
mengatakan kepada CCC: 34
Kami sangat kecewa bahwa NIKE tidak menyelidiki dan tidak mengklarifikasi kasus ini,
melainkan malah menyerahkannya untuk diselesaikan oleh proses hukum pengadilan
perburuhan. Kami berupaya mendirikan sebuah serikat dengan sepenuhnya mengetahui bahwa
kami akan menghadapi pemecatan, tapi pada waktu itu kami yakin bahwa kode etik pengaturan
NIKE akan melindungi hak-hak hukum kami untuk kebebasan berserikat.
Dengan tidak adanya tindakan dari Nike, serikat ini pun mengajukan pengaduan resmi
kepada Komite Hubungan Perburuhan Thailand (TLRC). Selain itu, CLIST juga mengajukan
pengaduan pihak ketiga kepada FLA (lihat Kotak 2.6) pada tanggal 4 Januari 2004. Nike
menyerahkan tanggapan resminya kepada FLA pada tanggal 12 Januari 2005 (Nike 2005).
Nike (2006) menegaskan bahwa penyelidikan-penyelidikan mereka di lapangan pada tanggal 8-9
Desember 2004 “mengindikasikan adanya ketegangan yang tinggi antara ketiga buruh yang telah
dipecat itu dan banyak buruh lainnya ….[dan bahwa] campur tangan resmi oleh pemerintah,
beserta kerja tim kami dan keterlibatan pihak-pihak yang terkait, akan potensial menghasilkan
kemungkinan terbesar solusi-solusi jangka panjang yang dapat mencakup diterimanya para
buruh itu kembali bekerja, tetapi juga potensi bagi para buruh untuk memiliki perwakilan yang
sebenarnya yang diputuskan secara bebas.” Seperti telah disebutkan di atas, Pruksakasumsek
(2005) yakin bahwa ketegangan ini direkayasa oleh pihak manajemen pabrik MSP.
33
Lihat, misalnya, surat Nike tertanggal 19 Januari 2005 di website Oxfam Australia
<www.oxfam.org.au/campaigns/nike/reports/letters.html>.
Dikutip di website CCC: <www.cleanclothes.org/companies/nike04-12-17.htm>.
34
22
Pada bulan Maret 2005 TLRC memutuskan bahwa dua anggota eksekutif serikat tersebut
hendaknya diterima kembali bekerja, namun tidak memerintahkan pembayaran tunggakan
upah. Buruh ketiga menerima paket ganti rugi dikarenakan kesulitan keuangan yang
dialaminya. Nike menyelenggarakan sebuah pertemuan dengan CLIST, dimana mereka
membahas tentang penegakan ketetapan TLRC agar buruh diterima kembali bekerja dan
tawaran yang lebih baik bagi para buruh. Dengan difasilitasi FLA, manajemen pabrik setuju
untuk menerima ketiga buruh itu kembali bekerja dan mendapat pembayaran tunggakan
upah. Buruh ketiga menerima penyelesaian dalam bentuk pesangon dan tidak kembali ke
pabrik.
Setelah perselisihan ini, sebuah kesepakatan yang mensyaratkan adanya “pelatihan dan
pendidikan bagi wakil-wakil serikat buruh, komite kesejahteraan, para buruh dan manajemen
pabrik sebelum diterimanya para buruh yang dipecat itu kembali bekerja” dinegosiasikan di
antara semua pihak (Nike 2005a).
Juga ada kesepakatan untuk merumuskan prosedur-prosedur pengaduan keluhan dan sanksi
disiplin untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan di MSP di masa mendatang. FLA akan
mengembangkan hal ini lebih jauh menjadi sebuah kode etik yang juga akan memulai
prosedur-prosedur untuk menunjuk satu penengah netral dalam perselisihan-perselisihan di
masa mendatang. Sebuah komisi Ombudsman telah ditunjuk untuk periode 12 bulan. Pada
bulan Juli, komisi Ombudsman, FLA dan Nike mengunjungi pabrik MSP dan menjelaskan
kepada semua buruh tentang alasan yang mendasari—dan langkah-langkah yang telah
ditempuh—hingga dua buruh yang dipecat itu diterima kembali bekerja (Nike 2005a).
Sementara Nike dan FLA berusaha memfasilitasi komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat,
Clean Clothes Campaign melaporkan bahwa Decathlon hanya melakukan langkah awal
namun tidak menindaklanjutinya, hanya menyelidiki masalah ini, namun tidak pernah merilis
hasil-hasil penyelidikannya.35
Penilaian Oxfam International
Setelah adanya desakan cukup kuat dari serikat MSP, CLIST dan organisasi-organisasi
kampanye internasional, maka Nike, dengan bantuan FLA, memainkan peran positif yang
membuahkan hasil bahwa dua dari para pengurus serikat yang dipecat, yang ingin diterima
kembali bekerja, akhirnya diterima kembali dan mendapat pembayaran tunggakan upah.
Kalau saja Nike langsung mengambil tindakan tegas begitu mengetahui bahwa kode
pengaturannya telah dilanggar, mungkin hasil ini bisa dicapai lebih cepat. Hasil yang lebih
dini akan menyebabkan berkurangnya kesukaran bagi serikat di MSP dan lebih sedikit
kesulitan bagi pengurus serikat yang dipecat.
Nike mempertahankan pendapatnya bahwa pendekatan yang mereka tempuh dalam kasus
ini — meski mungkin memakan waktu lebih lama — lebih berkelanjutan dalam jangka
panjang dan juga membantu membangun kapasitas lokal, terutama kapasitas TLRC. Realitas
sekarang ini di Thailand dan banyak negeri lainnya ialah bahwa, sungguh mahal dan sulit
bagi buruh untuk menggunakan langkah-langkah hukum agar hak-hak ini dihormati. Bahkan
dalam kasus-kasus seperti ini sekalipun, dimana sistem Arbitrasi Perburuhan Thailand
menunjukkan hasil yang menguntungkan buruh, majikan mereka tetap bisa mengajukan
banding kasus ini melalui sistem pengadilan, sehingga akan menghabiskan sumberdaya
keuangan buruh untuk menghadapinya. Adalah peran pemerintah-pemerintah nasional untuk
menetapkan dan melaksanakan hukum-hukum untuk melindungi hak-hak buruh, termasuk
hak-hak serikat buruh mereka. Dalam jangka panjang, jika Nike dan perusahaan-perusahaan
pemilik merk perlengkapan olahraga lainnya bersungguh-sungguh untuk menjamin
penghormatan atas hak-hak serikat buruh di rantai pasokannya, maka selain menerapkan
kode etik pengaturannya, mereka juga perlu:
•
•
35
mengkomunikasikan komitmen ini secara reguler dan secara publik, sehingga
pemerintah-pemerintah tidak akan ragu lagi mengenai kesediaan pemilik merk untuk
mendukung hak-hak serikat buruh; dan
bekerja sama dengan para pemerintah dan serikat buruh melalui ILO guna
meningkatkan kapasitas dan kemauan pemerintah untuk memastikan bahwa
peraturan perundangan nasional itu ada dan berlaku.
Dilaporkan di website CCC: <www.cleanclothes.org/companies/nike05-03-23.htm>.
23
Oxfam International mencatat dengan kecewa bahwa Decathlon tidak merilis hasil-hasil audit
internalnya sendiri mengenai MSP ataupun mengambil tindakan untuk mendukung para
organiser serikat buruh yang dipecat.
24
3. Industri perlengkapan olahraga secara keseluruhan
Pada tahun 2004, Play Fair Alliance mengusulkan agar perusahaan-perusahaan pemilik merk
perlengkapan olahraga dan industri perlengkapan olahraga secara keseluruhan menempuh
beberapa langkah untuk meningkatkan penghormatan atas hak-hak buruh pada umumnya
dan hak-hak serikat buruh mereka pada khususnya.36
Bagian ini menilai perkembangan yang telah dicapai dalam membujuk industri secara
keseluruhan untuk bekerja bersama-sama guna menyikapi hak-hak buruh. Selain itu, bagian
ini secara kolektif menilai kinerja perusahaan-perusahaan pemilik merk berdasarkan
beberapa indikator kunci. Bagian 3.7 membahas sebuah inisiatif multi-pihak, yakni Fair
Labour Association, yang mempengaruhi kinerja hak-hak buruh pada beberapa perusahaan
pemilik merk perlengkapan olahraga (adidas, ASICS, Nike, Reebok, Puma), namun tidak
pada yang lainnya.
3.1 Sebuah solusi yang berskala industri secara luas
Rekomendasi pokok dari Program Kerja yang diusulkan Play Fair Alliance ialah bahwa
industri perlengkapan olahraga sebagai suatu keseluruhan hendaknya bekerja bersama
serikat-serikat buruh dan organisasi-organisasi pejuang hak buruh untuk meningkatkan
penghormatan atas hak-hak buruh. Secara khusus, aliansi ini mengusulkan agar sebuah
kesepakatan resmi dinegosiasikan antara Federasi Internasional Buruh Tekstil, Garmen dan
Kulit (ITGLWF) dan Federasi Industri-industri Barang Olahraga se-Dunia (WFSGI) serta para
anggotanya dengan tujuan untuk:
membangun sebuah hubungan mutual yang bisa memfasilitasi kebebasan berserikat dan proses
tawar kolektif sebagai mekanisme pilihan untuk melaksanakan hak-hak pekerjaan yang
37
mendasar dan menyelesaikan perselisihan perburuhan di pabrik-pabrik pemasok di sektor ini.
Meski pemilik-pemilik merk perlengkapan olahraga terlibat dalam sejumlah proyek kerja sama
yang berkaitan dengan standar-standar perburuhan pabrik,38 namun ada keengganan yang
mengecewakan untuk berpartisipasi secara kolektif dalam negosiasi-negosiasi dengan
ITGLWF mengenai kesepakatan berskala industri secara keseluruhan yang diusulkan.
Sebagai bagian dari penelitian untuk laporan ini, Oxfam Australia menanyai pemilik-pemilik
merk perlengkapan olahraga apakah mereka bersedia untuk terlibat, dan apakah mereka
mulai menempuh langkah-langkah untuk mempromosikan proposal tersebut di dalam industri
ini. Dari para pemilik merk yang memberikan tanggapan, sangat sedikit yang
mengungkapkan sikap positif terhadap kesepakatan yang diusulkan. Dalam sepucuk surat
tertanggal 20 Januari 2006, Lesley Roberts dari Pentland menyarankan agar ITGLWF
bernegosiasi dengan pemilik pabrik (pemasok), bukan dengan pemilik merk, karena
pemasoklah yang sebenarnya mempekerjakan buruh. Meski partisipasi pemasok dalam
kesepakatan-kesepakatan dengan serikat buruh memang akan disambut hangat, ini bukan
berarti menghilangkan kebutuhan agar pemilik merk juga ambil bagian, karena mereka dapat
memainkan peran yang kuat dalam membujuk para pemasoknya untuk bekerja sama dengan
serikat guna memastikan agar hak-hak buruh dihormati. Puma (2005b) dan ASICS (2005)
adalah yang paling terbuka untuk berpartisipasi dalam sebuah kesepakatan kerangka kerja,
hal mana mengindikasikan bahwa mereka akan mendukung proposal tersebut jika ia
disepakati secara kolektif oleh industri ini.39 Umbro sebelumnya telah mengambil sikap yang
serupa. Oxfam International mendorong para pemilik perlengkapan olahraga lainnya untuk
mendukung usulan ini.
Sejauh yang berkaitan dengan WFSGI, organisasi-organisasi yang terlibat dalam Play Fair
Alliance, terutama ITGLWF, ICFTU, Oxfam dan Clean Clothes Campaign (CCC), pertamatama berupaya melibatkan diri dalam dialog dengan WFSGI pada tahun 2004. Sebuah
36
Naskah lengkap dari Program Kerja yang diusulkan ini tersedia di website Clean Clothes Campaign
<www.cleanclothes.org/campaign/olympics2004-07-08.htm>.
37
Ibid.
38
Lihat bagian yang berjudul Apakah upah, jam kerja dan hak-hak buruh lainnya itu penting? di pendahuluan laporan
ini.
39
Nike mengungkapkan minatnya asalkan para pemilik pabrik berkomitmen kepada kesepakatan tersebut. Ini sangat
tidak realistis, mengingat ada ratusan pabrik yang memproduksi perlengkapan olahraga, sehingga sangat kecil
kemungkinannya mereka semua akan sepakat (lihat Bagian 4.4).
25
laporan yang dirilis oleh Play Fair Alliance pada April 2005 (Miller 2005, hal. 15)
mengungkapkan kekecewaannya bahwa dialog ini tidak berkembang cukup jauh:
Tidak adanya tanggapan konkret di pihak WFSGI mengungkap bahwa badan otoritatif dunia
untuk industri olahraga ini pada kenyataannya tidak memiliki otoritas sama sekali, sehingga
anggota-anggota utamanya menghindar dari tanggung jawab mereka untuk sektor ini sebagai
suatu keseluruhan, dengan lebih memilih untuk bersembunyi di balik program CSR mereka
masing-masing... Namun demikian, perihal tanggapan yang berskala industri secara luas cukup
mencolok.
Pada bulan Juli 2005, ada sebuah pertemuan lebih lanjut antara WFSGI dan organisasiorganisasi yang terlibat dalam Play Fair Alliance. Pada tanggal 21 Juli 2005, CCC, Global
Unions dan Oxfam menulis surat kepada WFSGI yang isinya kembali mengungkapkan
kekecewaan tentang kurangnya kemajuan, namun dengan juga menyebutkan bahwa
beberapa inisiatif yang didiskusikan dalam pertemuan itu berpotensi untuk menjadi
konstruktif. Organisasi-organisasi ini menulis bahwa, mereka memahami bahwa komite CSR
WFSGI telah berkomitmen untuk secara reguler "meninjau pelanggaran-pelanggaran yang
menonjol terhadap standar perburuhan di rantai pasokan perusahaan-perusahaan anggota
WFSGI berdasarkan informasi yang disediakan oleh Play Fair Alliance, termasuk analisis
tentang penyebab-penyebabnya dan saran-saran untuk tindakan, khususnya bila hal ini
berkaitan dengan kapasitas dan isu-isu yang sifatnya sistemik ". Sampai bulan November
2005, WFSGI belum menanggapi surat ini.
Kemauan WFSGI untuk melibatkan diri bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil
disambut baik, namun sangat lambatnya perkembangan dari dialog ini memunculkan
pertanyaan tentang kapasitas WFSGI sebagai sebuah badan industri untuk memfasilitasi
dialog yang konstruktif antara perusahaan-perusahaan anggotanya dan kelompok-kelompok
masyarakat sipil.
3.2 Transparansi: membuka rantai pasokan kepada pengamat independen
Selama bertahun-tahun organisasi-organisasi masyarakat sipil global telah menyerukan agar
Perusahaan-perusahaan Transnasional (TNC) mempublikasikan nama dan alamat tempat
kerja dimana barang-barang mereka diproduksi. Transparansi semacam ini memudahkan
organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk menyelidiki dan melaporkan tentang kondisikondisi kerja di rantai pasokan perusahaan, termasuk penghormatan mereka atas hak-hak
serikat buruh. Hal itu juga bisa memudahkan para buruh yang mengerjakan produksi untuk
perusahaan yang sama di pabrik-pabrik berbeda untuk saling berkomunikasi dan
mendiskusikan keprihatinan-keprihatinan yang sama. Beberapa tahun yang lalu, para
mahasiswa pengkampanye di AS berhasil membujuk banyak universitas AS untuk mendesak
perusahaan-perusahaan olahraga agar merilis alamat pabrik-pabrik yang memproduksi
pakaian yang mendapat lisensi untuk memakai logo universitas-universitas tersebut. Sebagai
hasilnya, perusahaan-perusahaan olahraga yang memproduksi untuk pasar ini, termasuk
Nike, Reebok dan adidas, diharuskan untuk merilis sebagian dari alamat pemasok-pemasok
mereka. Reebok kemudian melangkah lebih jauh dan mempublikasikan alamat pemasokpemasok sepatu olahraganya, namun tidak untuk pemasok perlengkapan pakaian Reebok.
Pada bulan Mei 2005, Nike membuka alamat sebagian besar pemasok barang-barang yang
bermerk Nike,40 walaupun mereka masih belum mengungkap pemasok merk-merk lain yang
juga dimiliki Nike dan anak-anak perusahaannya. Kemudian, masih di tahun 2005, Puma dan
Reebok mengikuti langkah Nike dan merilis alamat semua pemasok produk yang bermerk
Puma dan Reebok.
Oxfam International menyambut baik perkembangan-perkembangan ini dan mendorong
pemilik-pemilik merk lainnya untuk juga merilis daftar pemasok mereka selengkapnya.
Namun demikian, transparansi tidaklah selesai hanya dengan dirilisnya alamat para
pemasok. Jika perusahaan-perusahaan juga mempublikasikan informasi tentang langkahlangkah yang sedang ditempuh untuk memastikan dipenuhinya standar-standar perburuhan,
maka ini akan memudahkan untuk menilai kemungkinan efektivitas langkah-langkah itu. Jika
perusahaan-perusahaan merilis hasil-hasil penyelidikan mengenai apakah hak-hak buruh,
khususnya hak-hak serikat buruh, dihormati di pabrik-pabrik tertentu, maka akan
memungkinkan untuk menelusuri apakah penyelidikan-penyelidikan itu telah ditindaklanjuti
40
Nike mengindikasikan bahwa dikarenakan pengaturan kontraktual yang berlaku sekarang ini, mereka belum bisa
merilis selengkapnya daftar semua pemasok produk bermerk Nike.
26
dengan semestinya. Jika perusahaan-perusahaan menyediakan nama pabrik-pabrik yang
diteliti kepada organisasi-organisasi yang dapat dipercaya,41 dan juga merilis prosentase
produksi yang ditempatkan di masing-masing pemasok per tahun, maka akan memungkinkan
untuk menelusuri apakah perusahaan sedang memindahkan produksinya menjauh dari
pabrik-pabrik dimana buruh sedang berusaha untuk berorganisasi dalam serikat buruh. Tabel
3.2 membandingkan upaya-upaya transparansi dari 12 perusahaan pemilik merk
perlengkapan olahraga yang dibahas dalam laporann ini. Sebagaimana ditunjukkan dalam
tabel itu, masih cukup banyak yang dirahasiakan dalam industri ini mengenai banyak hal
yang berkaitan dengan hak-hak buruh.
41
Informasi ini potensial bisa jadi sensitif jika dirilis kepada publik, karena laporan-laporan negatif tentang sebuah
pabrik dapat merusak kemampuan pabrik itu untuk menarik pembeli-pembeli lain dan membahayakan penghidupan
para buruh yang melaporkan masalah-masalah perburuhan.
27
Tabel 3.2 Transparansi dalam industri perlengkapan olahraga
Puma
Apakah
kode
etik
mencakup
hak-hak
serikat
buruh dan
dipublikasikan?
Ya
Nike
Ya
Reebok
Ya
adidas
Ya
ASICS
Ya
Apakah hasil-hasil penyelidikan tentang penghormatan atas
hak-hak serikat buruh dipublikasikan?
Apakah alamat para pemasok
dipublikasikan?
Apakah
prosentase
produksi
per
pemasok
per
tahun
dipublikasikan?
Apakah harga
pembelian dan
informasi
keuangan
42
lainnya dibagi
kepada
wakilwakil buruh?
Puma merilis informasi rangkuman mengenai audit-auditnya
tentang perburuhan di pabrik. Penyelidikan-penyelidikan yang
merupakan bagian dari program Pemantauan Eksternal
43
Independen (IEM) dari Fair Labor Association (FLA) dilaporkan
kepada publik, namun nama-nama pabrik tidak disebutkan
(bagian 3.7).
Nike merilis informasi rangkuman mengenai audit-auditnya
tentang perburuhan di pabrik. Penyelidikan-penyelidikan yang
merupakan bagian dari program IEM (FLA) dilaporkan kepada
publik, namun nama-nama pabrik tidak disebutkan.
Ya untuk pemasok barangbarang yang bermerk Puma,
namun tidak untuk pemasok
barang-barang bermerk lainnya
yang dimiliki Puma (Tretorn).
Tidak
dipublikasikan
Tidak dibagi
Ya untuk pemasok barangbarang yang bermerk Nike,
namun tidak untuk pemasok
barang-barang bermerk lainnya
yang dimiliki Nike.
Ya untuk semua barang yang
bermerk Reebok, namun tidak
untuk pemasok barang-barang
bermerk lainnya yang dimiliki
Reebok.
Hanya para pemasok yang
memproduksi
barang-barang
bermerk
adidas
untuk
universitas-universitas di AS.
Yang
lain-lainnya
tidak
dipublikasikan.
Sekarang
ini
tidak
45
dipublikasikan .
Tidak
dipublikasikan
Tidak dibagi
Tidak
dipublikasikan
Tidak dibagi
Tidak
dipublikasikan
Tidak dibagi
Tidak
dipublikasikan
Tidak dibagi
Reebok belum merilis hasil-hasil auditnya tentang perburuhan di
pabrik, namun beberapa informasi direncanakan untuk dirilis
pada tahun 2006. Penyelidikan-penyelidikan yang merupakan
bagian dari program IEM (FLA) dilaporkan kepada publik,
namun nama-nama pabrik tidak disebutkan.
adidas tidak secara reguler merilis hasil-hasil dari semua
44
Penyelidikanauditnya tentang perburuhan di pabrik.
penyelidikan yang merupakan bagian dari program IEM (FLA)
dilaporkan kepada publik, namun nama-nama pabrik tidak
disebutkan.
ASICS tidak secara reguler merilis hasil-hasil dari auditnya
tentang perburuhan di pabrik. Penyelidikan-penyelidikan yang
merupakan bagian dari program IEM (FLA) akan dilaporkan
kepada publik, namun nama-nama pabrik tidak akan disebutkan.
42
“Informasi keuangan lainnya” di sini mengacu pada apakah pemilik merk perlengkapan olahraga mengharuskan para pemasoknya untuk mengungkap catatan-catatan keuangan
perusahaan kepada wakil-wakil buruh (bagian 3.3).
43
Dalam program IEM (FLA), setiap tahun mereka menseleksi organisasi-organisasi untuk menyelidiki kondisi-kondisi perburuhan di sekitar 5% pemasok dari perusahaan-perusahaan yang
berpartisipasi (lihat bagian 3.7).
44
Adidas menerbitkan informasi di website-nya mengenai kasus-kasus spesifik yang telah menjadi masalah yang disorot publik dan menanggapi secara kasus per kasus terhadap permintaanpermintaan tentang informasi mengenai pabrik-pabrik tertentu. Meski membagi informasi tertentu berdasarkan permintaan itu memiliki nilai tersendiri, namun penerbitan informasi bagi publik
secara reguler mengenai semua penyelidikan pabrik oleh adidas secara signifikan akan lebih berguna dalam membuka proses-proses investigatif adidas kepada pengamatan publik dan
membangun kepercayaan publik bahwa perusahaan ini menyikapi hak-hak buruh secara sungguh-sungguh di semua pabrik pemasoknya, bukan hanya di pabrik-pabrik yang menjadi sorotan
media ataupun pihak-pihak terkait lainnya.
45
ASICS (2005) telah mengindikasikan bahwa mereka berniat untuk mempublikasikan alamat para pemasoknya di masa mendatang.
28
Mizuno
Ya
Tidak dipublikasikan
New
Balance
Ya
Tidak dipublikasikan
Umbro
Ya
Tidak dipublikasikan
Hanya
membagi
alamat
pemasok-pemasok yang setuju
(sejauh ini ada 21 pemasok).
Hanya membagi alamat lima
pemasok utama perlengkapan
olahraganya.
Tidak dipublikasikan.
Speedo
Ya
Tidak dipublikasikan
Tidak dipublikasikan.
Lotto
Ya
Tidak dipublikasikan
Tidak dipublikasikan.
Kappa
Ya
Tidak dipublikasikan
Tidak dipublikasikan.
FILA
Ya
Tidak dipublikasikan
Tidak dipublikasikan.
Tidak
dipublikasikan
Tidak dibagi
Tidak
dipublikasikan
Tidak dibagi
Tidak
dipublikasikan
Tidak
dipublikasikan
Tidak
dipublikasikan
Tidak
dipublikasikan
Tidak
dipublikasikan
Tidak dibagi
Tidak dibagi
Tidak dibagi
Tidak dibagi
Tidak dibagi
29
3.3 Siapa yang membayar? Praktek pembelian dan hak-hak serikat buruh
Penelitian baru-baru ini oleh Oxfam, CCC dan Global Unions (2004b) menyimpulkan bahwa:
Model bisnis perlengkapan olahraga...tumbuh subur di atas tekanan berat yang dirasakan oleh staf
pembelian dan penjualan di perusahaan-perusahaan besar untuk memenuhi tenggat pengiriman
barang yang sangat mendesak dan anggaran yang ketat...
Penelitian ini menunjukkan bahwa agar bisa mempertahankan waktu pengiriman yang singkat
dan harga yang rendah, dan untuk mempertahankan fleksibilitas dalam memenuhi permintaan
dan pasokan, maka staf pembelian di perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan
olahraga:
•
•
•
•
makin sering menempatkan order yang lebih kecil;
mendesak untuk waktu pengiriman yang lebih singkat;
menurunkan harga per satuan yang dibayarkan untuk barang-barang; dan
mengancam untuk memindahkan pemesanannya ke pemasok lain
Di bawah tekanan-tekanan seperti ini, para pemilik pabrik:
umumnya tidak menghormati standar-standar perburuhan di tempat kerja mereka. Mereka memaksa
para buruhnya untuk bekerja lebih keras, membayar mereka lebih rendah, melimpahkan tanggung
jawab kepada mereka, dan mencegah mereka untuk menuntut upah serta kondisi yang lebih baik
(Oxfam dan lain-lain 2004b).
Praktek-praktek pembelian semacam ini membuat para pemasok khususnya enggan untuk
memperbolehkan buruh membentuk serikat buruh. Di pabrik-pabrik dimana hak untuk kebebasan
berserikat sepenuhnya dihormati, buruh-buruh yang telah mengorganisir diri mereka dalam
serikat buruh memiliki hak untuk melakukan aksi industrial. Dengan adanya tekanan yang dialami
pemilik pabrik untuk memenuhi tenggat yang ketat, maka mereka takut bila harus menghadapi
sebuah angkatan kerja yang memiliki kekuatan untuk secara kolektif menolak bekerja ketika ada
order mendesak yang perlu segera dipenuhi. Perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga
yang bersungguh-sungguh untuk menghormati hak-hak serikat buruh perlu menyesuaikan
praktek-praktek pembeliannya dengan mempertimbangkan bahwa sebuah pabrik, dimana hakhak serikat buruh sepenuhnya dihormati, tidak akan selalu bisa memenuhi tenggat-tenggat ketat
yang tak wajar yang lazim dituntut dalam industri ini.
Program Kerja46 menyerukan kepada perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan
olahraga untuk menyikapi:
dampak-dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh praktek-praktek pembelian mereka terhadap
pemenuhan kode etik dengan mengembangkan hubungan-hubungan yang lebih stabil dengan para
pemasok, menetapkan waktu pemenuhan pesanan yang memadai agar produksi bisa dilaksanakan
dengan menerapkan jam kerja yang manusiawi dan dengan sepenuhnya merefleksikan biaya
pemenuhan standar perburuhan pada harga yang mereka tawarkan kepada pemasoknya, atau dalam
tawaran yang mereka terima dari para pemasok, dan memastikan agar para buruh yang
bersangkutan benar-benar mendapat keuntungan.
Beberapa pemilik merk perlengkapan olahraga, termasuk Nike, adidas dan Puma, telah
mengakui bahwa praktek-praktek pembelian mereka turut berperan menyebabkan terjadinya jamjam kerja yang berlebihan, dan mereka menyatakan akan mengambil langkah-langkah untuk
menyikapi hal ini (MSN 2005, hal. 8; Oxfam dan lain-lain 2004a, hal. 60). Puma juga menyatakan
akan mempertimbangkan biaya pemenuhan standar perburuhan bila mereka menegosiasikan
harga dengan para pemasoknya (lihat Bagian 4.2). Namun demikian, menanggapi pertanyaanpertanyaan Oxfam Australia untuk laporan ini, tidak ada perusahaan pemilik merk perlengkapan
olahraga, kecuali mungkin adidas (bagian 4.3), yang bersedia memberikan informasi yang rinci
dan spesifik tentang metodologi yang mereka gunakan untuk memastikan agar harga yang
46
Naskah lengkap dari Program Kerja yang diusulkan ini tersedia di website Clean Clothes Campaign:
<www.cleanclothes.org/campaign/olympics2004-07-08.htm>.
30
mereka bayarkan memadai untuk memungkinkan pemasok menghormati hak-hak buruh
sepenuhnya.
Walaupun analisis masyarakat sipil tentang bagaimana praktek-praktek pembelian oleh
perusahaan merongrong penghormatan atas hak-hak buruh itu telah dirumuskan dengan relatif
baik, namun hal-hal praktis mengenai bagaimana perusahaan dapat melakukan hal yang benar
di bidang ini kini masih dalam pembahasan. Program Kerja menyerukan kepada ILO untuk
melakukan kajian rinci tentang isu ini. Dukungan industri perlengkapan olahraga bagi kajian
seperti itu akan membantu membujuk ILO untuk melakukan penelitian ini.
Ada dua langkah yang dapat ditempuh para pemilik merk perlengkapan olahraga, yang akan
segera bisa mendatangkan kemanfaatan. Pertama, mereka bisa mengembangkan hubungan
jangka panjang dengan para pemasoknya, dengan komitmen secara tertulis untuk
mempertahankan order-order yang kini berlangsung. Beberapa pemilik merk perlengkapan
olahraga, khususnya adidas dan Puma, melaporkan kepada Oxfam Australia bahwa mereka
sedang beranjak untuk mengembangkan hubungan yang lebih stabil dengan pemasok-pemasok
utama, namun tak satupun perusahaan yang memberikan bukti bahwa mereka mulai membuat
komitmen tertulis untuk mempertahankan produksi pada pemasok-pemasok ini untuk jangka
waktu yang lebih panjang.
Kedua, para pemilik merk perlengkapan olahraga dapat menyediakan informasi bagi wakil-wakil
buruh mengenai harga per satuan yang mereka bayarkan untuk barang-barang, dan dapat
mengharuskan pemilik pabrik untuk menyediakan informasi keuangan yang lengkap sebagai
bagian dari sebuah komitmen untuk bernegosiasi dengan niat baik. Sekurang-kurangnya,
pemasok perlu mengungkap informasi tentang pendapatan tahunan. Berkenaan dengan pabrik
Jaqalanka yang telah diuraikan di Bagian 2.1, Anton Marcus dari FTZWU melaporkan bahwa sulit
bagi buruh untuk menegosiasikan suatu kesepakatan langkah tawar kolektif yang mencakup
kenaikan upah, karena serikat tidak memiliki informasi yang memadai tentang harga yang
dibayarkan oleh Nike. Serikat menduga bahwa harga yang dibayarkan oleh Nike tidak memadai
untuk menopang suatu kenaikan upah (Wawancara 2.1.1). Sekarang ini tak satupun pemilik merk
perlengkapan olahraga yang mau menyediakan informasi tentang harga pembelian kepada wakilwakil buruh, ataupun mengharuskan pemasok untuk mengungkap catatan keuangan perusahaan
kepada wakil-wakil buruh.
3.4 Tidak konsisten: melakukan sourcing di wilayah dimana hak-hak serikat buruh tidak
memiliki kekuatan hukum
Ada masalah-masalah yang berkenaan dengan regulasi dan penegakan hak-hak serikat buruh di
hampir semua negeri di Asia. Bahkan di negeri-negeri dimana peraturan perundangan
memberikan kekuatan hukum penuh kepada hak-hak ini sekalipun, masih ada berbagai masalah
mengenai penegakannya. Korupsi di peradilan perburuhan lazim terjadi, dan bahkan di negerinegeri Asia dimana pengadilan memiliki reputasi menghasilkan keputusan-keputusan secara
obyektif sekalipun, waktu dan biaya yang terlibat dalam mengajukan sebuah kasus untuk
diproses melalui sistem peradilan cenderung tidak memungkinkan bagi para buruh yang hanya
memiliki sarana keuangan yang sangat terbatas.
Berakhirnya Multi-Fibre Arrangement47 pada bulan Desember 2004, yang mengakhiri sistem
kuota yang sebelumnya telah mengatur sebagian besar perdagangan internasional di bidang
garmen, juga telah memberikan tekanan kepada banyak pemerintah untuk mengurangi dan
membatasi perlindungan buruh demi mempertahankan produksi garmen di negeri mereka. Ada
bukti bahwa penghapusan sistem kuota telah membawa pada makin longgarnya pemberlakuan
perundangan tentang hak-hak serikat buruh dan perundangan perburuhan lainnya.
Bagaimanapun, bisa dilakukan pembedaan kualitatif antara negara-negara yang memberikan
kekuatan hukum bagi hak untuk kebebasan berserikat serta langkah tawar kolektif dan negaranegara yang tidak memberikannya. Di sepanjang laporan ini, referensi tentang negara yang
memberikan "pemberlakuan hukum" atau "kekuatan hukum" bagi hak-hak serikat buruh berarti
47
Berakhirnya MFA dimungkinkan dengan adanya Kesepakatan tentang Tekstil dan Pakaian (Agreement on Textiles and
Clothing/ATC).
31
negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi-konvensi ILO nomor 87, 98 dan 135 dan yang
telah mengesahkan Undang Undang yang secara hukum melindungi hak-hak yang didefinisikan
dalam konvensi-konvensi itu. Di negara-negara ini, serikat-serikat buruh yang independen dan
demokratis bisa dibentuk secara legal, meskipun pemberlakuan yang longgar akan Undang
Undang ini dapat menyulitkan serikat-serikat untuk bergerak secara efektif. Ada pembatasan
yang secara signifikan lebih kuat terhadap hak-hak serikat buruh di negeri-negeri (atau, dalam
beberapa kasus, di Zona-zona Perdagangan Bebas) dimana buruh tidak memiliki hak legal untuk
membentuk organisasi mereka sendiri dan melakukan langkah tawar kolektif terhadap majikan
mereka.
Kiranya dapat diperdebatkan, perusahaan-perusahaan yang sungguh-sungguh berkomitmen
untuk menghormati hak-hak serikat buruh hendaknya melakukan sourcing produk-produknya di
negara-negara yang, sekurangnya, memberikan kekuatan hukum bagi hak-hak itu. Sayangnya,
tampaknya yang terjadi justru sebaliknya. Setiap tahun Nike merilis data tentang proporsi sepatu
olahraganya yang dibuat di masing-masing negeri sumber. Informasi ini dapat digunakan untuk
menelusuri proporsi sepatu olahraga Nike yang dibuat di negara-negara yang memberikan
kekuatan hukum bagi hak buruh untuk kebebasan berserikat (Gambar 3.4).
Gambar 3.4. Prosentase produksi sepatu olahraga Nike di negara-negara yang
memberikan kekuatan hukum bagi hak buruh untuk kebebasan berserikat48
Tahun
%
produksi
1998
1999
2001
2002
2003
2004
2005
52%
48%
47%
47%
44%
42%
38%
Pada tahun 1998, Nike berkomitmen untuk memastikan bahwa hak-hak buruh untuk kebebasan
berserikat dan langkah tawar kolektif dihormati di dalam rantai pasokan perusahaan ini.49 Seperti
ditunjukkan dalam Gambar 3.4, proporsi produksi sepatu Nike di negara-negara yang
memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak itu telah merosot dari 52% menjadi 38% antara
tahun 1998 dan 2005. Pada tahun 1998 itu juga Indonesia meratifikasi Konvensi ILO nomor 87
mengenai hak buruh untuk kebebasan berserikat dan untuk berorganisasi. Sejak saat itu,
proporsi produksi sepatu olahraga Nike di negeri ini merosot dari 34% menjadi 22%.
Poinnya di sini bukanlah untuk hanya menyoroti Nike semata. Nike patut dihargai karena telah
mempublikasikan informasi ini. Puma juga mengakui bahwa mayoritas produksi sepatu
olahraganya berlangsung di negeri-negeri seperti itu. New Balance mengakui bahwa bagian Asia
dari rantai pasokannya "sangat terkonsentrasi" di negara-negara yang tidak memberikan
pemberlakuan legal kepada hak-hak ini. Adidas adalah yang paling transparan mengenai
persoalan ini, dan melakukan sourcing sedikit di atas separuh dari produk globalnya (bukan
hanya sepatu olahraga) di negara-negara Asia yang tidak memberikan kekuatan hukum bagi hak
untuk kebebasan berserikat.
Semua pemilik merk perlengkapan olahraga besar kini melakukan sourcing sebagian besar dari
produksinya di negeri-negeri dan zona-zona perdagangan bebas dimana secara hukum sangat
sulit bagi buruh untuk mengorganisir diri mereka dalam serikat buruh. Jika para pemilik merk
perlengkapan olahraga bersungguh-sungguh untuk menghormati hak-hak ini, maka hendaknya
mereka mengambil sebuah kebijakan yang hanya mempertahankan hubungan pembelian yang
sekarang ini saja di negeri-negeri seperti itu, dan hendaknya melakukan sourcing produksi baru
di negara-negara yang memberikan pemberlakuan legal bagi hak-hak ini. Mereka hendaknya
menjelaskan kebijakan ini kepada semua pemerintah yang terlibat.
48
Data ini disertakan dalam penyerahan dokumen "10-K" tahunan Nike kepada US Securities and Exchange
Commission. Lihat misalnya <www.nike.com/nikebiz/investors/annual_report/ar_05/docs/2005_10k.pdf>. Kami tidak bisa
mendapatkan data untuk tahun 2000, sehingga data untuk tahun ini dirata-rata dari data tahun 2001 dan 1999.
49
Nike melakukan ini dengan masuk ke dalam Fair Labor Association yang baru terbentuk. Sebelum tahun 1998, kode
etik pengaturan Nike hanya mengikat perusahaan ini untuk "mencari" mitra-mitra yang berkomitmen bagi "praktek terbaik
dan peningkatan yang terus-menerus" berkenaan dengan hak-hak berasosiasi secara bebas dan langkah tawar kolektif.
32
Tabel 3.4: Negara-negara Asia yang telah meratifikasi Konvensi-konvensi ILO nomor 87, 98
dan 135
Negara
Bangladesh
Bhutan
Kamboja
Cina
Republik
Rakyat
Demokratik
Korea
(Korea Selatan)
India
Indonesia
Jepang
Laos
Malaysia
Maldives
Myanmar (Burma)
Nepal
Pakistan
Filipina
Republik Korea (Korea
Utara)
Singapura
Srilanka
Thailand
Timor-Leste
Vietnam
Kunci:
9 = diratifikasi
Konvensi #87
9
Konvensi #98
9
x
x
9
9
x
x
x
x
x
x
9
9
9
9
x
x
x
x
Konvensi #135
x
x
x
x
9
9
9
9
9
9
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
9
9
9
9
x
x
x
x
x
x
x
x
x
9
x
9
x
x
x
x = tidak diratifikasi
Catatan:
Konvensi 87: Konvensi tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan terhadap Hak untuk Berorganisasi,
1948
Konvensi 98: Konvensi tentang Hak untuk Berorganisasi dan Langkah Tawar Kolektif, 1949
Konvensi 135: Konvensi tentang Wakil-wakil Buruh, 1971
ILO telah mengidentifikasi Konvensi nomor 87 dan 98 sebagai standar-standar perburuhan inti dan
“fundamental bagi hak-hak manusia yang bekerja”. Ini berarti bahwa semua negara anggota ILO wajib
menghormati, mempromosikan dan mewujudkan standar-standar perburuhan inti ini, meskipun mereka
belum meratifikasi konvensi-konvensi spesifik yang memuat standar-standar inti ini.
Untuk produksi yang tetap berlangsung di negara-negara yang tidak memberikan kekuatan
hukum bagi hak untuk kebebasan berserikat, beberapa kelompok masyarakat sipil dan organisasi
multi-pihak telah menyerukan kepada TNC untuk memastikan agar buruh memiliki ruang untuk
‘wadah yang sejajar’ untuk berorganisasi. Konsep ini kontroversial. CCC (2005a, hal. 46)
menulis:
Tema pokok dalam semua naskah ini ialah tuntutan agar perusahaan membentuk wadah yang
sejajar untuk berserikat secara independen dan bebas serta melakukan langkah tawar bagi semua
buruh. Ini berarti mendorong lahirnya bentuk-bentuk perwakilan buruh hanya di negara-negara atau
wilayah-wilayah dimana serikat independen dilarang. Contoh dari struktur-struktur ini meliputi
pembentukan dewan-dewan pekerja, komite kesejahteraan, komite penyelesaian pengaduan dan
komite upah berdasarkan kebutuhan pokok. Akan tetapi, seperti telah dibahas di atas, pendekatanpendekatan wadah sejajar dikritik keras oleh beberapa kalangan, khususnya ketika konsep ini
33
disalahgunakan untuk merongrong posisi serikat buruh atau disalahtafsirkan untuk mengesahkan
pemilihan ‘wakil-wakil buruh’ yang didominasi oleh majikan...
Penting kiranya bahwa perusahaan jangan menggunakan kontroversi ini sebagai alasan untuk
menghindar dari upaya mendukung hak buruh untuk kebebasan berserikat di negara-negara
dimana hak ini dibatasi oleh hukum. Nanti dalam laporan ini, di bagian penilaian untuk masingmasing perusahaan, yakni Reebok (bagian 4.1), Puma (4.2) dan Nike (4.4), akan ada
pembahasan tentang percobaan-percobaan yang dilakukan ketiga perusahaan pemilik merk
perlengkapan olahraga ini untuk bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil
dalam upaya menyikapi isu ini.
3.5 Mewujudkannya: mempertahankan produksi di pabrik-pabrik yang ada serikat
buruhnya
Laporan ini mendokumentasikan beberapa contoh dimana buruh perlengkapan olahraga telah
bekerja keras untuk membentuk serikat buruh dan berkampanye menuntut upah serta kondisi
yang lebih baik, hanya untuk kemudian mendapati bahwa pabrik mereka kehilangan order dari
pemilik merk perlengkapan olahraga besar atau, kalau tidak, majikan mereka malah menutup
pabrik sama sekali dan memindahkan produksi ke sebuah tempat kerja yang tidak ada serikat
buruhnya. Serikat SPN yang mewakili para buruh di pabrik PT Doson (Bagian 2.5) menyatakan
bahwa keputusan Nike untuk menghentikan semua order ke pabrik mereka terkait dengan
kampanye mereka yang menuntut upah dan kondisi yang lebih baik. Di pabrik Daejoo Leports
(Bagian 2.6), sebuah kampanye panjang, yang mengupayakan agar hak-hak serikat buruh
dihormati, berakhir tanpa hasil ketika pemilik pabrik menutup pabrik dan memindahkannya ke
negeri lain. Yang terbaru, Puma membantu menghentikan diskriminasi terhadap anggotaanggota serikat buruh di pabrik Lian Thai, Thailand, dan kemudian menghentikan pemesanan ke
pabrik itu dengan alasan bahwa produk-produknya terlalu mahal (Bagian 4.2). Nike baru-baru ini
juga menghentikan pemesanan ke pabrik Lian Thai.50 Sayangnya, ini bukanlah satu-satunya
contoh. Selama sepuluh tahun terakhir, telah ada banyak contoh dalam industri garmen dan
perlengkapan olahraga global bahwa kampanye-kampanye yang panjang dan sulit untuk
mengupayakan berdirinya serikat buruh berakhir tanpa hasil ketika pabrik tutup.
Perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga yang merupakan anggota FLA
diharapkan untuk menerapkan garis panduan berikut ini:
Majikan tidak akan memindahkan produksi ataupun menutup pabrik dengan maksud sengaja untuk
membalas tindakan buruh yang telah membentuk—atau sedang berupaya membentuk—serikat. (FLA
n.d hal. 40)
Perusahaan-perusahaan anggota FLA juga diharapkan untuk tidak memotong/menghentikan
order kepada sebuah pabrik demi menghindari serikat buruh. Sayangnya, pendekatan ini sulit
untuk ditegakkan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi keputusan-keputusan tentang
sourcing. Karena itu, relatif mudah kiranya bagi pemasok dan pemilik merk untuk menunjukkan
alasan-alasan, selain adanya serikat buruh, mengapa mereka tidak bisa terus melakukan bisnis
di sebuah tempat kerja. Juga, faktor-faktor ‘ekonomi’ lain yang menyebabkan pemindahan
produksi mungkin berkaitan dengan kerja serikat. Sebagai contoh, sangat mungkin bahwa
kemampuan para perempuan pemimpin serikat di Lian Thai dalam menegosiasikan upah yang
lebih baik bagi diri mereka telah sedikit menaikkan harga barang-barang yang dibuat di pabrik itu
bila dibandingkan dengan pemasok-pemasok Puma lainnya yang tidak ada serikat buruhnya.
Oxfam International yakin bahwa para pemilik merk perlengkapan olahraga seharusnya
memprioritaskan untuk mempertahankan pabrik-pabrik yang ada serikat demokratis di dalamnya
pada rantai pasokan mereka. Pemilik merk perlengkapan olahraga hendaknya hanya
membiarkan pemasok menutup pabrik yang ada serikat buruhnya dalam situasi-situasi yang
sangat bersifat kekecualian, yakni bila terbukti tidak mungkin bagi pemilik merk dan pemasok
untuk mencari cara yang memungkinkan pabrik untuk terus beroperasi secara menguntungkan.
Pemilik merk hendaknya juga bersedia membayarkan harga per satuan yang lebih tinggi agar
50
Komunikasi personal (email) Agatha Schmaedick dari Workers Rights Consortium, 20 Desember 2005.
34
bisa mempertahankan pabrik yang ada serikat buruhnya tetap berada di rantai pasokan
perusahaannya.
3.6 Pekerjaan yang tidak stabil dan hak-hak yang tidak stabil: Pekerjaan yang fleksibel
versus yang stabil
Penelitian Oxfam (2004) mengindikasikan bahwa kaum perempuan yang bekerja di rantai-rantai
pasokan global kini makin sering mendapati diri mereka berada dalam bentuk-bentuk pekerjaan
yang tidak stabil. Mereka umumnya dipekerjakan sebagai buruh harian, dengan kontrak jangka
pendek atau tanpa kontrak sama sekali. Bentuk-bentuk pekerjaan yang "fleksibel" ini penuh
ketidakpastian, dan pendapatan buruh lebih rentan dalam pengaturan-pengaturan kerja seperti
ini. Alternatif pilihan kerja sering kali sangat buruk, terutama bagi buruh perempuan. Bentukbentuk pekerjaan seperti ini melemahkan semangat buruh untuk mengorganisir diri dalam serikat,
karena buruh khawatir bahwa kontrak mereka tidak akan diperpanjang jika mereka menjadi
anggota serikat.
Oxfam International yakin bahwa, karena alasan-alasan inilah maka para pemilik merk
perlengkapan olahraga dan TNC lainnya seharusnya melarang atau dengan ketat membatasi
penggunaan kontrak jangka pendek oleh para pemasoknya, sehingga buruh yang dipekerjakan
untuk melakukan usaha inti sebuah perusahaan (misalnya, kerja menjahit di sebuah pabrik
garmen) tidak bisa dipekerjakan dengan kontrak jangka pendek. Pemilik merk hendaknya juga
mendorong pemerintahan-pemerintahan untuk secara hukum membatasi penggunaan kontrak
jangka pendek.
Sekarang ini kebanyakan perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga tidak mempunyai
kebijakan yang mencegah atau membatasi penggunaan kontrak jangka pendek, walaupun
beberapa di antaranya (termasuk Puma) sekurangnya mengharuskan pemasoknya untuk
menegakkan hukum-hukum setempat yang relevan. Kekecualian utama51 adalah Reebok. Meski
tidak melarang penggunaan kontrak jangka pendek untuk buruh yang mengerjakan usaha inti
sebuah pabrik, namun Reebok memiliki sebuah kebijakan yang membatasi penggunaan kontrak
seperti itu untuk mengatasi masa-masa puncak produksi (padat pesanan). Walaupun Oxfam
International belum melihat bukti bahwa kebijakan ini dilaksanakan secara efektif namun, sebagai
sebuah kebijakan, ia merupakan langkah maju dibandingkan sikap para pemilik merk yang hanya
mau mengikuti hukum-hukum lokal.
3.7 Sebuah pendekatan multi-pihak: Asosiasi Perburuhan yang Adil (FLA)
Fair Labor Association (FLA) dijelaskan di website-nya (www.fairlabor.org) sebagai:
sebuah organisasi nirlaba yang memadukan upaya-upaya dari kalangan industri, organisasi nonpemerintah (LSM), akademi dan universitas untuk mempromosikan perlunya mematuhi standarstandar perburuhan internasional dan memperbaiki kondisi-kondisi kerja di seluruh dunia. FLA
melakukan pemantauan dan verifikasi independen untuk memastikan agar standar-standar FLA
(yang disebut Workplace Standards/standar-standar di tempat kerja) ditegakkan di tempat dimana
produk-produk perusahaan anggota FLA diproduksi.
Organisasi-organisasi seperti FLA umumnya diacu sebagai inisiatif multi-pihak (MSI). FLA
merupakan MSI yang paling penting dalam industri perlengkapan olahraga. Adidas, Nike,
Reebok, Puma dan ASICS merupakan anggota FLA, dan Umbro (2005, hal. 2) sedang dalam
proses untuk masuk menjadi anggotanya. Satu-satunya MSI lain yang cukup relevan bagi industri
perlengkapan olahraga adalah Ethical Trading Initiative (ETI). Karena hanya satu merk
perlengkapan olahraga, yakni Pentland, yang menjadi anggota ETI, maka komentar
mengenainya disertakan dalam penilaian tentang perusahaan Pentland (Bagian 4.8).
Ada keprihatinan-keprihatinan tentang struktur FLA. Dewan FLA terdiri atas enam wakil dari LSM,
enam wakil perusahaan dan tiga wakil universitas. Walaupun beberapa dari wakil LSM yang
51
Tanggapan adidas terhadap kuisioner Oxfam Australia menyatakan bahwa dalam situasi-situasi tertentu, adidas
melakukan campur tangan untuk mencegah penggunaan kontrak jangka pendek oleh pemasoknya ketika penggunaan
kontrak seperti itu tidak secara ketat dilarang oleh hukum – lihat Bagian 4.3
35
duduk di dewan itu memiliki keahlian yang signifikan di bidang hak-hak buruh, namun tidak ada
perwakilan tingkat dewan untuk serikat buruh. Seperti halnya para wakil perusahaan di dewan itu,
wakil-wakil universitas berada di sana atas nama organisasi-organisasi yang mendapat
keuntungan dari penjualan garmen — dalam hal ini, penjualan garmen yang mendapat lisensi
untuk memakai logo universitas. Kiranya dapat diperdebatkan, dewan tersebut memiliki sembilan
wakil dari organisasi-organisasi yang mendapat keuntungan dengan cara seperti itu,
dibandingkan dengan hanya enam wakil dari organisasi masyarakat sipil. Struktur FLA
memberikan kekuasaan pengambilan keputusan yang besar kepada Presiden dan Pejabat
Eksekutif Ketua (Chief Executive Officer/CEO). CEO yang sekarang ini, Auret van Heerden,
memiliki pengalaman luas pernah bekerja untuk ILO dan memiliki pengetahuan yang kuat
tentang—serta komitmen bagi—hak-hak serikat buruh. Kurang jelas apakah komposisi dewan
sekarang ini akan menghasilkan CEO berikutnya yang memiliki keahlian dan motivasi yang
sama.
FLA telah dikritik karena tidak menyertakan perihal upah yang layak dalam kode etik
pengaturannya, dan dikritik karena adanya ketentuan-ketentuan yang bisa ditafsirkan bahwa itu
memperbolehkan majikan untuk mengharuskan buruh bekerja selama 60 jam per minggu.
Namun demikian, kode etik FLA mengharuskan perusahaan-perusahaan anggotanya untuk
menjamin penghormatan atas hak-hak serikat buruh dan menyediakan suatu penjelasan yang
menyeluruh mengenai hak-hak itu serta cara bagaimana menyelidiki apakah hal itu diterapkan
(FLA n.d., hal. 7, 15, 21, 29-30, 33, 39-41). Penjelasan ini harus sesuai dengan konvensikonvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang relevan. CCC (2005a, hal. 39) mencatat
bahwa garis panduan FLA tentang kebebasan berserikat lebih baik bila dibandingkan garis
panduan MSI-MSI lainnya:
Dokumen rancangan panduan FLA tentang kebebasan berserikat menyebutkan hal-hal yang cukup
rinci mengenai kewajiban perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi dalam FLA dan tindakantindakan yang disarankan mengenai kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif. Panduan ini
mengharuskan perusahaan untuk menjunjung tinggi standar FLA dan menanggulangi serta
mencegah ketidakpatuhan. Aktivitas-aktivitas seperti itu bisa berkisar mulai dari mediasi di antara
serikat-serikat yang bersaing, sampai dengan pengembangan kebijakan-kebijakan dan prosedurprosedur untuk menangkal diskriminasi anti-serikat. Tema utama dari panduan FLA bagi perusahaan
yang berpartisipasi ini ialah aktivitas-aktivitas penyeimbang guna menciptakan ruang bagi buruh
untuk berorganisasi dengan prinsip tanpa campur tangan.
Oxfam International merekomendasikan agar perusahaan-perusahaan pemilik merk
perlengkapan olahraga memprioritaskan untuk mempertahankan produsi di pabrik-pabrik yang
ada serikat buruhnya dan berkomitmen untuk melakukan sourcing produksi baru di negeri-negeri
dimana hak-hak serikat buruh memiliki pemberlakuan legal. FLA tidak mengharuskan
perusahaan-perusahaan anggotanya untuk menempuh langkah-langkah ini.
FLA memiliki empat mekanisme untuk memeriksa apakah perusahaan anggotanya mematuhi
kode etiknya, dan mereka kini sedang dalam proses mengembangkan mekanisme kelima. Empat
proses yang kini ada adalah:
• Prosedur Pengaduan oleh Pihak Ketiga;
• sistem Pemantauan Independen oleh Pihak Luar (IEM)52;
• laporan tahunan tentang perkembangan perusahaan; dan
• proses akreditasi terhadap program pemenuhan standar perburuhan perusahaan
Proses baru, yang masih dalam pengembangan, dikenal dengan sebutan FLA 3.0
Prosedur pengaduan oleh pihak ketiga
Prosedur ini diberlakukan dalam kasus Jaqalanka dan MSP Sportswear yang telah dibahas
dalam laporan ini. Pada kedua kasus itu, FLA memainkan peran positif dalam memastikan agar
hak-hak serikat buruh dihormati. Namun demikian, staf FLA hanya bisa menyelidiki pengaduanpengaduan secara langsung dan memediasi penyelesaian di segelintir tempat kerja setiap tahun.
52
Lihat <fairlabor.org/all/monitor> dan <fairlabor.org/all/complaint>.
36
Laporan tahunan FLA tahun 2004 hanya menguraikan tiga penyelidikan pengaduan pada tahun
sebelumnya, dan laporan tahun 2005 hanya menguraikan dua penyelidikan.
Pemantauan Independen oleh Pihak Luar
Program IEM menjangkau lebih banyak pabrik lagi. Walaupun hanya sekitar 5% dari pabrik
pemasok perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi yang dipantau secara eksternal setiap
tahun, namun ini mencapai jumlah 110 pabrik pada tahun 2003. FLA mengakreditasi organisasiorganisasi untuk melakukan pemantauan ini, memutuskan pabrik-pabrik mana yang akan
diselidiki, dan memilih pemantau mana yang akan melakukan masing-masing penyelidikan. Pada
kebanyakan MSI, perusahaan-perusahaan itu sendiri yang memilih organisasi pemantaunya; jadi,
merupakan langkah maju menuju independensi yang lebih besar kiranya bahwa dalam sistem ini,
CEO FLA-lah yang melakukan tugas itu.
Meski temuan-temuan IEM dilaporkan di website FLA, namun nama-nama pabriknya
dirahasiakan. Oxfam International yakin bahwa nama pabrik-pabrik ini seharusnya dirilis,
sekurangnya dengan dijaga kerahasiaannya hanya kepada organisasi-organisasi pejuang hak
buruh lokal dan internasional, sehingga mereka bisa memverifikasi efektivitas penyelidikan IEM.
Pada tahun 2003, hanya 4% dari temuan-temuan pemantau (yang diakreditasi FLA) tentang
ketakpatuhan berkaitan dengan kebebasan berserikat.53 Laporan tahunan FLA mengakui bahwa
pemantau-pemantau eksternalnya yang terakreditasi kurang melaporkan pelanggaran terhadap
hak-hak serikat buruh, dan menyediakan panduan lebih jauh bagi para pemantau dalam upaya
untuk menyikapi hal ini (FLA 2004, hal. 232).54 Sayangnya, laporan FLA untuk tahun berikutnya
(2005) juga mengindikasikan bahwa hanya 4% dari temuan-temuan tentang ketakpatuhan
berkaitan dengan kebebasan berserikat, hal mana menunjukkan bahwa kemajuan di bidang ini
masih lambat. Laporan itu juga menekankan bahwa FLA (2005, hal. 81) "sedang bekerja guna
mengembangkan sistem-sistem untuk pemantauan yang lebih efektif dan perbaikan ketentuanketentuan Kode Etik yang terutama bersifat kompleks dan sulit dinilai, seperti kebebasan
berserikat dan langkah tawar kolektif, non-diskriminasi, dan pelecehan ataupun tindakan
sewenang-wenang".
Bisa jadi upaya-upaya FLA itu mulai membawa pada meningkatnya kerja beberapa pemantau,
walaupun hal ini belum terlihat dalam gambaran global. Dari tujuh penyelidikan IEM tentang
pabrik-pabrik di Indonesia pada tahun 2003 yang dilaporkan kepada publik*, hanya satu yang
mengidentifikasi sebuah isu (relatif minor) tentang hak-hak serikat buruh. Dari tiga penyelidikan
IEM tentang pabrik di Indonesia pada tahun 2004 yang dilaporkan kepada publik*, semuanya
mengidentifikasi terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak serikat buruh. Ketiga penyelidikan itu
juga mencurahkan perhatian pada praktek ilegal pabrik-pabrik yang mempekerjakan buruh
dengan kontrak jangka pendek untuk melakukan pekerjaan yang sifatnya permanen.55 Pada
kedua tahun tersebut, penyelidikan-penyelidikan IEM dilakukan oleh organisasi yang sama.
CCC dan organisasi-organisasi pejuang hak buruh lainnya sangat kritis terhadap perusahaanperusahaan asuransi dan akuntan berkualitas besar yang mendominasi pasar audit sosial,
dengan berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan ini sering kali mempekerjakan staf yang
kurang memiliki keterampilan dan pengetahuan lokal yang diperlukan untuk menyelidiki
persoalan kompleks seperti kebebasan berserikat (CCC 2005b, hal. 50–8). Meski banyak
kunjungan IEM FLA sekarang ini dilakukan oleh firma-firma asuransi berkualitas global, namun
CCC (2005, hal. 51) melaporkan bahwa FLA kini mengalihkan perimbangan "mulai menjauh dari
firma-firma global ke firma-firma yang lebih terspesialisasi atau ke organisasi-organisasi audit
sosial yang nirlaba, walaupun dengan langkah yang sangat lamban ".56
Yang sama pentingnya dengan mengidentifikasi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak serikat
buruh adalah mengambil langkah-langkah untuk menanggulanginya. Website FLA57
53
Lihat <fairlabor.org/2004report/overview/freedom.html>
Lihat <fairlabor.org/2004report/overview/iemFindings.html> and <fairlabor.org/2004report/freedom/improve.html>.
55
Lihat Bagian 3.6 untuk penjelasan tentang hubungan antara kontrak jangka pendek dan pengorganisasian serikat.
56
Dalam gebrakan pembukanya, dua organisasi Amerika Latin yang diakreditasi FLA — GMIES di El Salvador dan
COVERCO di Guatemala — telah tumbuh dari gerakan-gerakan masyarakat sipil setempat.
57
Lihat <fairlabor.org/2004report/freedom/improve.html>.
54
37
menyebutkan bahwa hal ini bisa jadi "kompleks dan melibatkan upaya-upaya untuk merubah sikapsikap, bahkan juga budaya di tempat kerja." Meski ini tak ragu lagi memang benar, namun laporan
FLA tidak memberikan kesan tentang seberapa serius, dan di berapa pabrik, perusahaanperusahaan yang berpartisipasi itu berupaya melakukan hal ini.
FLA menginstruksikan para pemantau untuk langsung melaporkan setiap ketakpatuhan terhadap
kode etik mengenai kebebasan berserikat untuk pabrik-pabrik yang berlokasi di negara yang
tidak memberikan kekuatan hukum bagi hak-hak serikat buruh. Meski kejujuran ini disambut baik,
namun kurang jelas langkah-langkah apa yang diharapkan FLA untuk ditempuh oleh para
pemantau dan perusahaan-perusahaan itu guna menanggulangi pelanggaran kode etik ini. FLA
jelas telah mengembangkan garis-garis panduan yang spesifik bagi tiap negeri untuk membantu
para pemantau, namun ini tidak disediakan bagi publik.
Juga tidak jelas apakah prosedur FLA berjalan sebagaimana yang disebutkan dalam website
mereka. Setiap tahun, program IEM FLA hanya menjangkau sekitar 5% dari pabrik-pabrik
pemasok perusahaan yang berpartisipasi, dan program ini dimaksudkan untuk menilai seberapa
efektif prosedur-prosedur pemantauan internal perusahaan-perusahaan itu sendiri dalam
memastikan dihormatinya hak-hak serikat buruh. Justru, bila pemantau-pemantau eksternal FLA
menemukan pelanggaran terhadap hak-hak serikat buruh, fokus pelaporan kepada publik
tampaknya adalah pada penanggulangan masalah di pabrik itu. Meski ini penting, namun tidak
jelas apakah FLA juga menetapkan agar perusahaan yang berpartisipasi bertanggung jawab atas
adanya sistem pemenuhan kode etik internal yang gagal mengidentifikasi dan mengkoreksi
pelanggaran terhadap hak-hak serikat buruh.
Laporan tahunan tentang perkembangan perusahaan
Setiap tahun laporan tahunan FLA menyertakan satu bagian yang menyediakan "laporan-laporan
rinci tentang upaya-upaya ...perusahaan-perusahaan... untuk memperbaiki kondisi kerja di
pabrik-pabrik tempat mereka berproduksi di seluruh dunia" (FLA 2005, hal. 73). Laporan FLA
tahun 2004 tentang Nike, Reebok, adidas dan Puma (FLA 2005) menunjukkan bahwa staf FLA
tidak menempuh pendekatan yang secara cermat kritis terhadap aktivitas-aktivitas perusahaan
selama proses pelaporan ini.
Mengakreditasi program pemenuhan standar perburuhan perusahaan
Ketika perusahaan pertama kali masuk menjadi anggota FLA, ada sebuah “periode implementasi
awal” selama dua atau tiga tahun, yang selama itu sebuah perusahaan mengembangkan
program pemenuhan standar perburuhannya. Setelah periode ini selesai, dewan FLA
memutuskan apakah program itu layak mendapatkan akreditasi FLA.
Pada tahun 2005, FLA memutuskan bahwa program dari enam perusahaan layak mendapatkan
akreditasi, termasuk Nike, Reebok dan adidas. Bagian dari laporan tahunan FLA (2005, hal. 86)
mengenai akreditasi untuk adidas berikut ini memberikan suatu kesan tentang metodologi yang
diterapkan:
Keputusan didasarkan atas penilaian oleh staf FLA yang meliputi audit-audit baik di tingkat kantor
pusat maupun lapangan, dan kunjungan ke sejumlah fasilitas pemasok. Dalam melakukan penilaian
ini, staf FLA mewawancarai personalia adidas, menginspeksi dokumen-dokumen, mengamati
pelatihan tahunan bagi staf pemenuhan kode etik, meninjau catatan-catatan pabrik, mengamati staf
lapangan adidas di pabrik-pabrik, dan menganalisis temuan-temuan dari sejumlah total 64 kunjungan
pemantauan independen eksternal yang dilakukan di fasilitas-fasilitas adidas dalam kurun tiga tahun
sebelumnya.
Informasi yang dilaporkan kepada publik mengenai proses akreditasi58 tidak mengesankan
bahwa staf FLA telah secara kritis dan teliti meninjau program-program perburuhan dari
perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi. Karena FLA telah mengakui bahwa pelanggaranpelanggaran terhadap kebebasan berserikat sekarang ini secara serius kurang dilaporkan, baik
oleh perusahaan yang berpartisipasi dalam FLA maupun oleh pemantau eksternal, maka bisa
dipertanyakan apakah FLA sudah seharusnya mengakreditasi program-program perburuhan
58
Untuk laporan tentang akreditasi adidas, lihat, misalnya, FLA 2005, hal. 86–9.
38
perusahaan yang berpartisipasi pada tahap sekarang ini. Secara khusus, karena FLA mengakui
bahwa semua pabrik di negeri-negeri dimana kebebasan berserikat tidak memiliki pemberlakuan
legal itu otomatis melanggar kode etik FLA, maka meragukan kiranya apakah FLA sudah
seharusnya mengakreditasi program perburuhan perusahaan-perusahaan yang telah sengaja
melakukan sourcing lebih dari separuh produksi sepatu olahraganya di negeri-negeri seperti itu.
FLA 3
Laporan terbaru FLA (2005, hal. 22) menguraikan inisiatif baru ini sebagai berikut:
FLA 3.0 dimulai dengan menghimpun informasi tentang pemenuhan kode etik yang tersedia bagi FLA
dan para konstituennya untuk menghasilkan sebuah Matriks Pemantauan — sebuah profil tentang
isu-isu pemenuhan kode etik dan akar-akar penyebabnya — untuk setiap negeri atau kawasan.
Kemudian kami memprioritaskan hal-hal itu dan mengusulkan strategi-strategi penanggulangan
sebelum melakukan konsultasi-konsultasi di tingkat lokal agar bisa memastikan masukan dari pihak
terkait ke dalam matriks itu. Ini akan memungkinkan kami untuk mengkombinasikan perspektifperspektif dari perusahaan, masyarakat sipil dan buruh, dan berdasarkan itu kemudian menyusun
gambaran yang lebih lengkap tentang situasi pemenuhan kode etik. Untuk pertama kalinya kami akan
bisa melibatkan masyarakat sipil dalam pendefinisian isu-isu, prioritas-prioritas dan strategi-strategi
penanggulangan mengenai pemenuhan kode etik... Sekarang ini FLA sedang dalam masa transisi
dimana beberapa aspek dari 3.0 mulai dimasukkan dalam proyek-proyek sukarela.
Jika, melalui pendekatan FLA 3 yang baru ini, FLA melibatkan diri bersama organisasi-organisasi
masyarakat sipil setempat untuk mengembangkan strategi-strategi guna menyikapi rintanganrintangan bagi kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif di negeri-negeri tertentu, maka ini
bisa merepresentasikan sebuah langkah maju yang penting. Oxfam International berencana
untuk melaporkan lebih jauh tentang FLA 3 di masa mendatang.
FLA telah membantu meningkatkan penghormatan atas hak-hak serikat buruh di beberapa
pabrik, khususnya dimana buruh telah bisa mengakses prosedur pengaduan FLA. Namun
demikian, FLA sekarang ini belum mengharuskan perusahaan-perusahaan anggotanya untuk
bertanggung jawab guna memastikan agar hak-hak serikat buruh dihormati di sepanjang rantai
pasokan mereka. FLA perlu:
•
•
•
meningkatkan standar pemantau eksternalnya yang terakreditasi;
menetapkan agar perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi bertanggung jawab jika
program IEM menunjukkan adanya hal-hal yang tak memadai dalam pemantauan
internal perusahaan mengenai hak-hak serikat buruh; dan
memastikan bahwa bila ditemukan pelanggaran terhadap hak-hak ini, maka hal tersebut
harus ditanggulangi secara sepatutnya dan dilaporkan kepada publik.
Perwakilan yang memadai dari organisasi-organisasi serikat buruh di dewan FLA, serta
melibatkan diri secara sungguh-sungguh bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil
setempat (sebagaimana yang digambarkan dalam pendekatan baru FLA 3), akan membantu
dalam proses ini.
* Berdasarkan perkembangan terbaru pada 15 Desember 2005.
39
4. Penilaian tentang perusahaan perlengkapan olahraga
Bagian ini menyediakan penilaian individual tentang langkah-langkah yang tengah ditempuh oleh
12 perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga berbeda berkenaan dengan hak-hak serikat
buruh di pabrik-pabrik pemasok mereka di Asia. Penilaian-penilaian individual ini memfokuskan
perhatian pada bidang-bidang dimana kinerja masing-masing perusahaan berbeda dengan
kinerja industri ini secara keseluruhan. Karena itu, penilaian tentang masing-masing perusahaan
hendaknya dibaca secara terkait dengan Bagian 3 yang menilai kinerja industri ini secara
keseluruhan dan kerja FLA.
4.3 adidas AG
Merk
Total pendapatan
2004
Inisiatif multi-pihak
adidas, TaylorMade, Maxfli
tahunan
pada
6,478 milyar euro
FLA
Adidas memberikan tanggapan keseluruhan yang paling rinci terhadap pertanyaan-pertanyaan
mengenai hak-hak serikat buruh.59 Adidas (2005a) menyediakan data jumlah serikat buruh dan
kesepakatan proses tawar kolektif di antara pemasok-pemasoknya di tiap negeri di Asia-Pasifik.
Sebagai contoh, adidas melaporkan bahwa serikat buruh telah menegosiasikan kesepakatankesepakatan proses tawar kolektif di tiga pemasoknya di Kamboja, 18 pemasoknya di Jepang
dan 21 pemasoknya di Indonesia. Sayangnya, adidas menolak memberitahu nama-nama para
pemasok tersebut agar informasi ini dapat diverifikasi secara independen. Adidas
mengindikasikan bahwa di masa mendatang, mereka mungkin akan bisa menyediakan informasi
ini, tetapi hanya jika pabrik yang bersangkutan dan serikat yang berbasis di pabrik itu tidak
keberatan (adidas 2005c). Oxfam International tidak yakin bahwa memang perlu meminta izin
pemilik pabrik untuk membagi informasi ini.
Laporan ini menyertakan kajian kasus tentang dua pemasok adidas di Indonesia, yakni PT
Panarub dan PT Dae Joo Leports. Meski adidas seharusnya bisa lebih proaktif dalam menyikapi
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak serikat buruh di Panarub, namun mereka akhirnya
bekerja sama sepenuhnya dengan sebuah penyelidikan independen oleh WRC. WRC juga
menyelidiki kondisi-kondisi di Dae Joo Leports dan, dalam kedua kasus itu, adidas menekankan
agar pemasoknya melaksanakan rekomendasi-rekomendasi yang muncul dari penyelidikanpenyelidikan ini. Sayangnya, Dae Joo Leports kemudian menutup pabriknya dan memindahkan
produksi ke negeri lain. Adidas berupaya membujuk pemasoknya agar tetap membuka pabrik,
namun upaya ini agaknya akan lebih berhasil jika adidas memprioritaskan untuk
mempertahankan produksi di pabrik-pabrik yang ada serikat buruh demokratis di dalamnya.
Panduan untuk pemasok tentang hak-hak serikat buruh
Adidas (2001, hal. 9–11) memberikan, kepada semua pemasoknya, sebuah rangkuman rinci
tentang konvensi-konvensi ILO dan perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang memberikan
basis hukum internasional bagi hak-hak serikat buruh. Perusahaan ini juga menyediakan sebuah
penjelasan rinci tentang bagaimana mereka mengharapkan para pemasok untuk menerapkan
prinsip-prinsip ini, termasuk contoh-contoh praktek yang baik dan yang buruk. Staf adidas
(2005a) telah menyelenggarakan lokakarya-lokakarya pelatihan bersama pemasok-pemasoknya
di Asia untuk membahas bagaimana melaksanakan prinsip-prinsip ini serta garis-garis panduan
mereka lainnya. Adidas (2005) juga melaporkan bahwa para pemasoknya di Kamboja kini
berpartisipasi dalam sebuah program pelatihan yang dilakukan oleh ILO untuk mendidik para
manajer pabrik mengenai hak-hak buruh, termasuk kebebasan berserikat dan langkah tawar
kolektif.
Dipekerjakannya buruh dengan kontrak jangka pendek dapat menjadi rintangan besar bagi
pengorganisasian serikat buruh (lihat Bagian 3.6). Tidak seperti Reebok, adidas biasanya tidak
membatasi penggunaan kontrak jangka pendek oleh para pemasoknya berdasarkan—dan di
59
Tersedia di website Oxfam Australia <www.oxfam.org.au/campaigns/labour/06report>.
40
atas—pembatasan-pembatasan yang diberlakukan oleh hukum setempat. Namun demikian,
adidas (2005c) telah mengindikasikan bahwa mereka akan melakukan campur-tangan dalam
kasus-kasus dimana:
pemasok menggunakan kontrak jangka pendek untuk menghindari tanggung jawab hukum —
misalnya, pihak manajemen pabrik menyewa kembali individu yang sama dengan beberapa kali
kontrak jangka pendek untuk menghindari penyediaan tunjangan, seperti tunjangan sosial, akumulasi
perolehan karena telah menjadi pekerja senior ataupun kelonggaran pajak, yang harus dipenuhi bagi
seorang pekerja tetap.
Adidas mengindikasikan bahwa dalam kasus-kasus ini, mereka menekankan agar buruh diberi
status tetap dan diberi tunjangan-tunjangan yang seharusnya telah mereka terima kalau mereka
sejak awalnya bekerja di pabrik itu sebagai pekerja tetap. Adidas dapat lebih efektif mendukung
pengorganisasian serikat buruh dengan secara ketat membatasi situasi-situasi dimana buruh
bisa dipekerjakan dengan kontrak jangka pendek. Tetapi, kebijakan perusahaan tersebut
sekarang ini, sekurangnya merupakan langkah maju bila dibandingkan kebijakan perusahaanperusahaan lain yang hanya bersedia menerapkan hukum setempat.
Pelatihan buruh mengenai hak-hak serikat buruh
Adidas (2005a) mengharapkan para pemasoknya agar mengembangkan sebuah "rencana
strategis pemenuhan standar perburuhan" yang mencakup penyediaan pelatihan bagi buruh
dalam hal standar-standar kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif. Adidas (2005c)
mengakui bahwa "manajemen pabrik bukanlah pihak yang terbaik untuk melakukan pelatihan
tentang kebebasan berserikat bagi buruh", dan mengharapkan bahwa "pihak manajemen akan
mendatangkan pelatih-pelatih dari luar bila perlu dan menyediakan akses bagi serikat buruh ke
fasilitas-fasilitas tempat kerja dan pelatihan." Adidas berencana untuk menelusuri apakah
rencana-rencana pemenuhan kode etik di pabrik dilaksanakan.
Pada tahun 2004, adidas bekerja sama dengan Reebok untuk merancang didatangkannya satu
LSM yang memberikan pelatihan bagi buruh Thailand yang terlibat dalam komite-komite
kesejahteraan, yang mencakup penyediaan informasi mengenai proses pembentukan serikat
buruh berdasarkan hukum Thailand (lihat Bagian 4.1). Lepas dari program ini, tidak jelas berapa
proporsi buruh pembuat barang-barang adidas yang sejauh ini telah mendapat pelatihan
independen mengenai hak-hak serikat buruhnya.60
Adidas kini sedang bekerja bersama dua LSM di Asia guna mengembangkan sebuah strategi
untuk inisiatif-inisiatif pelatihan buruh di kawasan tersebut dan mengatur penyediaan pelatihan itu
oleh organisasi-organisasi setempat. Adidas melaporkan bahwa salah satu dari LSM ini, yang
berbasis di Bangkok, "telah ditunjuk untuk secara khusus memperhatikan masalah-masalah yang
dialami buruh migran di kawasan ini, termasuk pengucilan dari aktivitas serikat dan FOA
[Freedom of Association/Kebebasan Berserikat]."
Negeri dan Zona Perdagangan Bebas dimana hak-hak serikat buruh tidak memiliki
kekuatan
hukum
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang dikirim sebagai bagian dari penelitian untuk laporan ini,
adidas (2005a) memberikan sebuah analisis rinci yang mengesankan tentang sejauh mana hakhak serikat buruh dihormati di masing-masing dari 18 negeri Asia-Pasifik dimana adidas
melakukan sourcing produknya. Perusahaan ini melaporkan bahwa 32,4% dari produksi
globalnya berlangsung di negeri-negeri Asia-Pasifik yang memiliki hukum yang memberikan
pemberlakuan bagi kebebasan berserikat serta langkah tawar kolektif, dan sekitar 52% produksi
global perusahaan ini berlangsung di negara-negara Asia-Pasifik yang tidak memberikan
kekuatan hukum bagi hak-hak ini. Adidas melaporkan bahwa antara tahun 2002 sampai 2004,
tingkat produksinya di negara-negara yang secara hukum tidak melindungi hak-hak serikat buruh
meningkat sebesar 3%. Meski peningkatan ini mengecewakan, 61 namun kesediaan adidas untuk
merilis data tentang isu ini merepresentasikan sebuah langkah maju yang berharga.
60
Yakni, pelatihan yang diberikan oleh organisasi-organisasi yang independen dari majikan para buruh dan yang memiliki
keahlian yang diperlukan.
Adidas berargumen bahwa ini lebih mencerminkan pertumbuhan bisnisnya secara keseluruhan ketimbang peningkatan
proporsi produk yang di-sourcing dari negeri-negeri itu. Adidas (2006) juga menyebutkan bahwa keputusan-keputusan
61
41
Di negeri-negeri dimana hak untuk kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif dibatasi oleh
hukum, kode etik adidas mengharuskan bahwa "mitra-mitra bisnisnya jangan menghambat
sarana legal alternatif untuk mencapai kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif". Akan
tetapi, tidak seperti Reebok, Puma dan Nike, adidas belum bekerja sama dengan organisasiorhanisasi non-pemerintah untuk memungkinkan adanya program-program pelatihan buruh yang
menyediakan, bagi buruh, informasi tentang perwakilan buruh yang demokratis.62
Audit dan verifikasi
Pada tahun 2004, staf adidas (2005b, hal. 27) meng-audit pemenuhan standar-standar
perburuhan perusahaannya di 301 dari 843 pabrik pemasoknya. Perusahaan ini melaporkan
bahwa mereka sedang beranjak ke sebuah pendekatan yang lebih "strategis" yang akan
melibatkan "cakupan pemantauan yang lebih mendalam terhadap lebih sedikit pemasok" (adidas
2005b, hal. 24). Adidas belum merilis data tentang sejauh mana pemantauan internalnya
mengungkap dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak buruh dalam hal
serikat buruh. Sebagai tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan Oxfam Australia, adidas
(2005c) mengindikasikan bahwa kalau diminta informasi spesifik mengenai temuan-temuan
pemantauan di pabrik atau negeri tertentu, maka adidas akan melakukan semampunya untuk
menyediakan informasi itu. Kesediaan untuk menanggapi permintaan yang spesifik dan tertentu
ini disambut baik, namun pemilik merk perlengkapan olahraga seperti adidas hendaknya juga
mempublikasikan secara reguler hasil-hasil penyelidikan keseluruhannya tentang penghormatan
atas hak-hak serikat buruh di rantai pasokan perusahaannya.
Mekanisme pengaduan
Adidas (2005a) berencana untuk menggunakan program-program pelatihan buruh dan internet
untuk menginformasikan kepada lebih banyak buruh tentang prosedur pengaduan keluhan
perusahaan ini. Sekarang ini cara utama yang didapati buruh untuk mengajukan pengaduan
adalah melalui kontak langsung dengan staf Social and Environmental Affairs (SEA) adidas. Para
staf ini memberikan, kepada pengurus serikat dan para buruh lainnya, rincian kontak mereka
pada saat kunjungan mereka ke pabrik. Menurut adidas (2005b, hal. 21), pada tahun 2004 buruh
menggunakan informasi kontak ini untuk mengajukan lebih dari 100 pengaduan mengenai
kondisi-kondisi kerja. Pembatasan terhadap kebebasan berserikat dan isu-isu hubungan
industrial, termasuk pemogokan dan pemecatan secara tidak adil, antara lain merupakan
pengaduan yang paling umum. Adidas (2005a) melaporkan bahwa:
Di Indonesia, para pengurus serikat di sejumlah pabrik pemasok berbeda telah langsung
menghubungi staf pemenuhan SEA untuk mengadukan perlakuan yang tidak adil, dan dalam
beberapa kasus juga mengadukan tentang pemecatan (berdasarkan afiliasi ataupun aktivitasaktivitas serikat). Dalam kasus-kasus seperti itu, bila penyelidikan membuktikan bahwa memang
telah terjadi diskriminasi, maka kami meminta agar buruh dan pengurus serikat tersebut diterima
kembali bekerja dan mendapat pembayaran tunggakan upah.
Oxfam Australia menerima bukti yang menguatkan hal ini pada September 2005 dari serikat
SPSI Reformasi di Indonesia yang melaporkan bahwa mereka telah mengajukan pengaduan
kepada adidas mengenai pemecatan yang tidak sah, dan bahwa adidas telah menyelidikinya
serta mengharuskan pemasoknya untuk menerima para buruh yang bersangkutan kembali
bekerja.
sourcing yang relevan didasarkan atas kinerja pemasok dalam hal “kualitas, pengiriman dan harga, serta…suatu
‘pemenuhan’ umum ataupun nilai-nilai antara pemasok dan adidas — dan bukan berdasarkan ada atau tidaknya hukum
tentang itu yang melindungi kebebasan berserikat ataupun langkah tawar kolektif.” Sebagaimana disebutkan di Bagian
3.4, Oxfam Australia yakin bahwa perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga yang bersungguhsungguh mengenai komitmen mereka bagi kebebasan berserikat seharusnya mengarahkan setiap produksi baru ke
negara-negara yang memberikan kekuatan hukum bagi hak ini.
62
Dalam tanggapannya terhadap draf terdahulu dari laporan ini, adidas (2006) mengakui bahwa mereka “belum
melaksanakan program-program pelatihan sistematis bagi buruh yang berkaitan dengan perwakilan buruh yang
demokratis di negeri-negeri dimana kebebasan berserikat dibatasi oleh hukum,” namun menyebutkan bahwa mereka
telah “bekerja sama dengan pihak-pihak ketiga mengenai inisiatif-inisiatif yang menyikapi isu ini”. Sayangnya, informasi ini
datang terlalu terlambat untuk bisa dibahas dalam laporan ini. Namun demikian, Oxfam Australia telah meminta informasi
tambahan kepada adidas mengenai inisiatif-inisiatif ini dan akan menyediakan penilaian tentang inisiatif tersebut di web
site Oxfam Australia <www.oxfam.org.au/campaigns/labour/06report>
42
Pengembangan keterampilan bagi wakil-wakil buruh
Adidas (2005a) merupakan satu-satunya merk perlengkapan olahraga yang memiliki kebijakan
untuk memperbolehkan pengurus serta anggota serikat buruh untuk menghadiri pelatihan yang
disediakan oleh organisasi-organisasi mereka sendiri dan kelompok-kelompok buruh lainnya.
Adidas juga menguraikan contoh-contoh tentang wakil-wakil buruh dari berbagai pemasok adidas
yang menghadiri lokakarya ataupun diskusi bersama di Indonesia, Taiwan, Thailand dan
Vietnam.
Adidas (2005a) tidak memiliki kebijakan yang mengharuskan pemasoknya untuk memberi wakilwakil serikat buruh waktu bebas kerja guna menangani pengaduan keluhan dan perselisihan.
Perusahaan ini melaporkan bahwa apakah wakil-wakil buruh diberi waktu bebas kerja untuk
keperluan ini atau tidak, itu cukup bervariasi (berbeda-beda) di sepanjang rantai pasokan adidas.
Dampak praktek pembelian terhadap penghormatan atas hak-hak buruh
Adidas (2005a) menerima bahwa hubungan-hubungan bisnis yang berjangka panjang dan stabil
memang membantu dalam kepastian keuangan baik bagi pemasok maupun buruh, dan bahwa
"stabilitas keseluruhan merupakan suatu prasyarat yang perlu bagi buruh untuk bisa
mempraktekkan hak-hak berserikat mereka secara bebas, untuk berorganisasi dan melakukan
langkah tawar kolektif". Perusahaan ini melaporkan bahwa selama empat tahun terakhir, mereka
telah mengkonsolidasikan rantai pasokannya, "menempatkan lebih banyak order kepada lebih
sedikit pabrik dan membangun kemitraan-kemitraan berjangka panjang ". Perusahaan ini juga
melaporkan bahwa stafnya di Asia Tenggara bekerja sama dengan tim-tim sourcing dan para
manajer pabrik untuk mendistribusikan aliran order guna meminimalkan peluang bahwa buruh
akan diharuskan bekerja lembur secara berlebihan. Akan tetapi, mereka tidak menyediakan
rincian data tentang metodologi dan prosedur-prosedur yang diterapkan. Lepas dari stabilitas
hubungan bisnis, adidas (2005a) tidak menerima sikap Oxfam International bahwa praktekpraktek pembelian lainnya oleh sebuah perusahaan — seperti harga dan waktu pemenuhan
pesanan — berdampak pada penghormatan atas hak-hak serikat buruh di tingkat pabrik (lihat
Bagian 3.3).
Oxfam Australia meminta data tentang sejauh mana adidas telah meningkatkan level order
kepada—dan panjangnya masa kemitraan dengan—pemasok-pemasok utama. Tanggapan
adidas (2005c) mengindikasikan bahwa database perusahaan-perusahaan pemasok itu sedang
dalam proses diintegrasikan, dan bahwa sekarang ini, "akan sangat memakan waktu bila harus
mengumpulkan dan menyediakan data yang anda minta". Oxfam International berharap bahwa
melalui pengintegrasian database ini, akan mungkin bagi adidas untuk menyediakan informasi di
masa mendatang mengenai praktek-praktek pembelian mereka.
Adidas (2006) melaporkan bahwa biaya untuk tenaga kerja — termasuk upah pokok,
pembayaran lembur yang diantisipasi, biaya-biaya yang terkait dengan persyaratan untuk
menjaga kesehatan dan keselamatan kerja serta persyaratan legal lainnya — disertakan sebagai
item di bagian tersendiri ketika menegosiasikan harga pembuatan dengan pabrik-pabrik. Positif
kiranya bahwa adidas mempertimbangkan biaya tenaga kerja ketika menegosiasikan harga,
namun kalau mereka tidak membagi hitungan-hitungan ini kepada wakil-wakil buruh, maka sulit
untuk mengetahui apakah adidas memberikan penghargaan yang memadai bagi biaya hidup
buruh.
Selain itu, adidas kadang-kadang memberikan kontribusi keuangan untuk biaya penyikapan isuisu tertentu mengenai hak-hak buruh. Sebagai contoh, dalam kasus PT Panarub (Bagian 2.3),
adidas (2006) “bersepakat dengan manajemen Panarub untuk membayarkan jumlah tambahan
pada titik paling tinggi dari harga-harga yang dinegosiasikan untuk beberapa musim pesanan
yang disepakati, untuk membantu menutup biaya-biaya yang terkait dengan penerapan
menyeluruh tunjangan sosial bagi semua pekerja sesuai dengan hukum perburuhan Indonesia”.
Ini merupakan sebuah langkah positif yang hendaknya disamai atau bahkan dilebihi oleh
perusahaan-perusahaan lain.
Transparansi
43
Adidas mempublikasikan informasi tentang jumlah buruh yang dipekerjakan oleh para
pemasoknya di tiap negeri dan, seperti telah disebutkan di atas, bersedia untuk membagi
informasi mengenai proporsi produksinya di negara-negara yang menghormati—dan yang tidak
menghormati—hak-hak serikat buruh.
Sayangnya, tidak seperti Puma, Reebok dan Nike, adidas tidak mempublikasikan daftar
pemasoknya. Dalam pembelaannya, adidas (2005a) menyebutkan bahwa mereka telah secara
positif menanggapi permintaan dari organisasi-organisasi atau individu-individu tertentu untuk
menyediakan informasi tentang beberapa pemasok, misalnya dalam konteks aktivitas-aktivitas
yang dirancang untuk memperbaiki kondisi. Ini kurang berguna dibandingkan dengan
transparansi sepenuhnya, yang akan membuka penghormatan atas hak-hak buruh di rantai
pasokan adidas kepada pengamatan publik yang lebih luas.
Dalam laporan-laporan tahunannya tentang masalah sosial dan lingkungan, adidas menyediakan
informasi umum tentang upaya-upayanya untuk memperbaiki kondisi perburuhan. Informasi
mengenai isu-isu hak serikat buruh di pabrik-pabrik tertentu kadang-kadang disertakan dalam
laporan-laporan ini atau di website perusahaan ini. Namun sekarang ini adidas tidak memiliki
kebijakan untuk melaporkan kepada publik semua penyelidikan tentang dugaan terjadinya
pelanggaran terhadap hak-hak ini.
Mempertahankan produksi di pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya
Adidas (2005a) menyatakan bahwa mereka tidak memiliki:
sebuah kebijakan yang secara aktif mendukung dipilihnya dan dipertahankannya pabrik-pabrik yang
ada serikat buruhnya ketimbang pabrik yang tidak ada serikat buruh di dalamnya. Namun demikian,
jika kami harus mencari bukti jelas tentang “penggembosan serikat buruh” oleh satu mitra bisnis,
dimana pemasok dengan sengaja menutup sebuah pabrik yang ada serikat buruhnya agar bisa
membuka kembali bisnis yang bebas serikat di tempat lain, maka kami akan memandang hal ini
sebagai pelanggaran terhadap FOA dan akan menghentikan hubungan kami dengan pemasok itu.
Perwakilan buruh di dewan
Sesuai dengan hukum Jerman, enam dari 12 anggota dewan pengawas adidas adalah wakil dari
karyawan langsung adidas. Di tahap sekarang ini, para pekerja di pemasok-pemasok adidas
yang memproduksi barang-barang adidas tidak memiliki kehadiran di tingkat dewan, namun ini
merupakan opsi yang mungkin layak dipertimbangkan di masa mendatang.
Kesepakatan kerangka kerja dengan serikat garmen dan perlengkapan kaki global
Adidas (2005a) mengungkapkan keberatan yang sangat kuat tentang kemungkinan untuk
menjadi bagian dari sebuah kesepakatan kerangka kerja dengan ITGLWF. Adidas peduli tentang
status legal dari kesepakatan-kesepakatan seperti itu dan yakin bahwa proposal-proposal
ITGLWF sejauh ini telah gagal "memenuhi independensi legal dan komersial dari mitra-mitra
bisnis kami ". Adidas juga mengungkapkan keprihatinan mengenai situasi-situasi dimana
angkatan kerja satu pemasok diserikatkan oleh sebuah serikat yang bukan merupakan bagian
dari ITGLWF. Oxfam International yakin bahwa keprihatinan-keprihatinan adidas dapat disikapi
selama negosiasi-negosiasi dengan ITGLWF dan mendorong adidas untuk berpartisipasi dalam
diskusi-diskusi dengan serikat internasional.
Hak-hak serikat buruh di luar Asia
Sebagai tanggapan atas permintaan Oxfam Australia untuk memberikan contoh langkah-langkah
yang ditempuh adidas untuk mendukung hak-hak serikat buruh di belahan-belahan dunia lainnya,
adidas (2005a) menyebutkan partisipasinya dalam dialog yang sedang berlangsung dengan
serikat-serikat buruh di Amerika Tengah. Adidas juga mencurahkan perhatian pada kasus Hena
Tekstil, yang diuraikan dalam profil perusahaan Nike. Di Rumania, adidas juga terlibat dalam
sebuah proyek multi-pihak bersama Puma, Steilmann, GTZ (German Technical Cooperation
Agency) dan Oxfam Germany yang mempromosikan dialog sosial antara perusahaan dan buruh.
44
Penilaian Oxfam International63
Seperti perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga lainnya, adidas perlu
melakukan yang jauh lebih banyak lagi untuk memastikan agar hak-hak serikat buruh dihormati di
dalam rantai pasokannya. Secara khusus, tidaklah konsisten bagi sebuah perusahaan, yang
telah menyatakan menghormati hak-hak seperti itu, untuk melakukan sourcing lebih dari separuh
produksinya di negeri-negeri dimana secara hukum entah tidak mungkin ataupun sangat sulit
untuk mempraktekkan hak-hak tersebut. Namun demikian, kesediaan adidas untuk membagi
informasi tentang proporsi produksinya di negeri seperti itu merupakan sebuah langkah maju.
Oxfam International mengharapkan agar adidas membawa transparansi ini melangkah lebih jauh
dan masuk ke dalam jajaran Nike dan Puma dalam hal mengungkap daftar lengkap pemasoknya.
Pada sisi positifnya, perusahaan ini menyediakan penjelasan yang rinci dan akurat tentang hakhak serikat buruh bagi para pemasoknya. Dalam dua kasus yang diuraikan di Bagian 2 pada
laporan ini, adidas bekerja sama dalam upaya-upaya yang menyeluruh untuk memastikan agar
hak-hak ini dihormati. Juga ada bukti bahwa adidas telah proaktif dalam melindungi hak-hak
serikat buruh pada kasus-kasus lain di Indonesia. Cukup berharga kiranya bahwa adidas (2005a)
merupakan satu-satunya perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga yang memiliki sebuah
kebijakan yang memperbolehkan pengurus dan anggota serikat untuk menghadiri pelatihan yang
disediakan oleh organisasi-organisasi mereka sendiri dan kelompok-kelompok buruh lainnya.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh adidas untuk meningkatkan cakupan sejauh mana hakhak serikat buruh dihormati di rantai pasokannya meliputi kerja sama dengan organisasiorganisasi independen untuk memastikan agar buruh mendapatkan pelatihan mengenai hak-hak
ini; memprioritaskan dipertahankannya pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya di basis
pemasoknya; membagi informasi tentang penentuan harga kepada wakil-wakil buruh; dan
berpartisipasi dalam negosiasi-negosiasi dengan serikat ITGLWF mengenai kemungkinan bagi
sebuah kesepakatan kerangka kerja internasional.
Tambahan:
Saat laporan ini sedang difinalisasi untuk dicetak, perkembangan-perkembangan baru
memunculkan keraguan akan komitmen adidas untuk mendukung hak buruh untuk
kebebasan berserikat di pabrik Panarub. Perkembangan terbaru selengkapnya tentang hal ini
akan
disiapkan
dan
disediakan
di
situs
internet
<www.oxfam.org.au/campaigns/labour/06report>
63
Penilaian tentang masing-masing perusahaan hendaknya dibaca secara terkait dengan Bagian 3, yang menilai kinerja
industri ini secara keseluruhan dan menilai kerja FLA dalam mempengaruhi program-program adidas, ASICS, Nike, Puma
dan Reebok tentang hak-hak perburuhan.
45
4.4 Nike
Merk
Total pendapatan
2004
Inisiatif Multi-pihak
Nike, Cole Haan, Bauer Nike, Hockey, Hurley
International, Converse dan Kelompok Merk-merk Exeter
tahunan
pada
10,866 milyar dolar AS (8,920 milyar euro)
FLA
Nike (2005a) memberikan tanggapan yang relatif rinci terhadap pertanyaan-pertanyaan untuk
laporan ini,64 namun menolak untuk menyediakan data rinci tentang pabrik-pabrik pemasoknya
dimana serikat buruh telah terbentuk dan telah menegosiasikan kesepakatan-kesepakatan
langkah tawar kolektif. Penelitian untuk Bagian 1 laporan ini menemukan bahwa di dua pabrik —
Jaqalanka di Srilanka dan MSP Sportswear di Thailand — Nike akhirnya campur tangan dengan
cara yang konstruktif dan bekerja sama dengan FLA untuk memastikan agar hak-hak serikat
buruh dihormati, tetapi itu baru terjadi setelah organisasi-organisasi lokal dan internasional
berkali-kali melakukan seruan publik kepada Nike agar menegakkan kode etik pengaturannya. Di
pabrik ketiga, PT Doson di Indonesia, keputusan Nike untuk menghentikan semua order
mengakibatkan tutupnya pabrik Doson. Serikat SPN menduga bahwa keputusan Nike ini terkait
dengan kampanye industrial mereka yang menuntut upah dan kondisi yang lebih baik di pabrik
itu.
Panduan untuk pemasok tentang hak-hak serikat buruh
Contractor Compliance Manual (CCM) Nike menjelaskan kepada para pemasoknya langkahlangkah yang diharapkan oleh Nike untuk mereka tempuh guna menghormati hak-hak buruh
untuk kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif. Penjelasan ini secara luas sesuai
dengan—namun kurang rinci bila dibandingkan—konvensi-konvensi ILO yang terkait, yakni
nomor 87 dan 98, dan keputusan-keputusan komite ILO yang relevan.65 Harapan-harapan Nike di
bidang ini juga kurang rinci bila dibandingkan dengan yang diharapkan Reebok (2001) dan Fair
Labor Association (FLA n.d., hal. 29–41). Sebagai contoh, Nike tidak menyebutkan secara
khusus bahwa pemasok hendaknya bernegosiasi dengan niat baik dengan serikat yang telah
diakui sebagai badan yang melakukan langkah tawar.
Seperti halnya Puma, harapan-harapan Nike (n.d) terhadap para pemasoknya dalam bidang ini
hanya memfokuskan perhatian pada pemenuhan peraturan hukum nasional mengenai
kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif. Sebagaimana telah disebutkan dalam penilaian
tentang Puma (Bagian 4.2), pengacuan kepada hukum setempat ini dapat memungkinkan Nike
mengabaikan pelanggaran terhadap kebebasan berserikat di negeri-negeri dimana hukum
nasional tidak memberikan kekuatan hukum bagi hak untuk kebebasan berserikat.
Di luar persyaratan hukum lokal, Nike tidak mencegah atau membatasi sejauh mana pemasok
bisa mempekerjakan buruh dengan kontrak jangka pendek, walaupun Nike melarang
dilakukannya subkontrak kepada pekerja yang bekerja di rumah (lihat Bagian 2.1.6).
Pelatihan buruh mengenai hak-hak serikat buruh
Nike mengharuskan para pemasoknya untuk menempelkan kode etik pengaturan Nike di semua
ruang utama di tempat kerja. Lebih jauh, Nike (2005a) mengharuskan setiap pemasoknya untuk
menyediakan pelatihan bagi manajemennya, buruh dan wakil-wakil buruh tentang persyaratan
kode etik pengaturan Nike.
Layak kiranya bagi Nike untuk mengharapkan para pemasoknya memiliki kebijakan guna
memungkinkan kebebasan berserikat dan mengkomunikasikan kebijakan ini kepada para pekerja
mereka. Akan tetapi, karena para manajer pabrik umumnya tidak menginginkan buruh
mempraktekkan hak-hak ini, maka tidak sepatutnya mengandalkan para manajer untuk
meyakinkan buruh agar memahami hal itu. Nike seharusnya bekerja sama dengan organisasiorganisasi pejuang hak buruh untuk memungkinkan adanya pelatihan yang independen tentang
64
Tersedia di website Oxfam Australia <www.oxfam.org.au/campaigns/labour/06report>.
Lihat ringkasan keputusan-keputusan Komite ILO tentang Kebebasan Berserikat di
<http://www.ilo.org/ilolex/english/digestq.htm>.
65
46
kebebasan berserikat dan juga memastikan agar organisasi-organisasi serikat buruh mendapat
akses ke tempat kerja untuk memberikan pelatihan seperti itu. Nike (2005a) melaporkan bahwa
telah ada kerja sama dengan universitas-universitas setempat, LSM-LSM dan konsultankonsultan hukum perburuhan setempat untuk menyediakan pelatihan hukum perburuhan bagi
beberapa buruh, namun mengindikasikan bahwa sistem-sistem pencatatan mereka sekarang ini
tidak memungkinkan mereka untuk mendapatkan dan menyediakan informasi rinci tentang
berapa banyak dari pelatihan ini yang secara khusus berkaitan dengan hak-hak serikat buruh.66
Negeri dan Zona Perdagangan Bebas dimana hak-hak serikat buruh tidak memiliki
kekuatan hukum
Nike (2005a) menolak mengatakan berapa proporsi produksinya yang berlangsung di negerinegeri atau zona-zona perdagangan bebas dimana hak untuk kebebasan berserikat tidak diberi
pemberlakuan legal. Nike menjaga jarak dari tanggung jawab tentang keputusan-keputusan ini
dengan berargumen bahwa hubungan mereka adalah dengan pemasoknya, dan terserah
pemasok untuk memutuskan dimana pabriknya akan berlokasi. Hal ini mengabaikan pengaruh
cukup besar yang dimiliki Nike dalam hubungannya dengan pemasok.
Laporan Nike yang terbaru (2005b, hal. 38–41) tentang tanggung jawab korporat menunjukkan
bahwa ketika "hukum itu sendiri melarang hak buruh untuk berasosiasi secara bebas ataupun
melakukan langkah tawar secara kolektif... maka tujuan kami adalah memfasilitasi sebuah proses
dimana buruh bisa mencapai wadah perwakilan yang sejajar". Di satu negeri seperti itu, Nike
melaporkan bahwa mereka telah bekerja bersama sebuah organisasi setempat untuk
menyediakan pelatihan mengenai hukum perburuhan lokal dan isu-isu terkait. Pada tahun 2004,
semua buruh di pabrik ini memilih wakil-wakil untuk duduk sejajar dengan manajemen pabrik dan
serikat yang disetujui negara dalam Komite Urusan Keluhan Pabrik. Nike mengakui bahwa ini
bukanlah sebuah serikat buruh, namun menggambarkan langkah ini sebagai suatu permulaan
yang penting. Oxfam Australia tidak bisa menyelidiki hal ini dalam masa penyiapan laporan ini,
namun berencana untuk melakukannya di masa mendatang.
Nike (2005b, hal. 40) juga melaporkan bahwa mereka sedang bekerja bersama wakil-wakil
serikat dan pabrik untuk mendukung pendirian komite kesejahteraan buruh di sebuah pabrik di
salah satu zona pemrosesan ekspor (EPZ) Bangladesh. Berdasarkan sebuah Undang Undang
yang diterbitkan pada bulan Juli 2004, sekarang ini sah untuk mendirikan komite kesejahteraan
seperti itu di EPZ Bangladesh sebagai pendahuluan bagi legalisasi serikat-serikat buruh di EPZ
mulai 1 November 2006. Oxfam International berencana untuk melaporkan perkembangan
inisiatif-inisiatif ini di masa mendatang.
Audit dan verifikasi
Perangkat utama pemantauan internal Nike adalah ‘M-Audit’. Para staf Nike yang telah dilatih
secara khusus melakukan audit-audit ini di 25–33% basis pabrik aktif Nike setiap tahun (Nike
2005b, hal. 20–7). FLA juga melakukan penyelidikan-penyelidikan eksternal di 5% dari pemasokpemasok Nike setiap tahun (lihat Bagian 3.7). Pada tahun 2004, M-Audit menemukan bahwa,
"Kebebasan berserikat tidak diakomodir, walaupun legal" di kurang dari 10% basis pemasok
Nike. Namun demikian, Nike (2005b, hal. 41) mengakui bahwa:
ada banyak metode halus yang mungkin digunakan oleh para majikan untuk membatasi hak buruh
untuk berasosiasi secara bebas...kami tidak mempunyai gambaran lengkap tentang situasi
sebenarnya dikarenakan tantangan yang dihadapi untuk menemukan praktek-praktek ini melalui
pemantauan.
Kasus MSP Sportswear dan Jaqalanka yang telah dibahas di Bagian 2 memunculkan
keraguan tentang sejauh mana ketelitian staf audit internal Nike dalam menyelidiki hakhak serikat buruh. Pada tanggal 19 Januari 2005, Nike mengirim surat kepada Oxfam
Australia mengenai dugaan telah terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan berserikat
dalam kasus MSP, dengan menyebutkan bahwa:
66
Komunikasi personal dengan Caitlin Morris dari Nike, 6 Desember 2005.
47
Pengungkapan dan penyelesaian persoalan-persoalan mendasar dalam tipe-tipe kasus
seperti ini memerlukan keterlibatan organisasi-organisasi pihak ketiga yang netral. Sebagai
67
pembeli bagi pabrik MSP, Nike bukanlah mediator yang tepat dalam perselisihan ini.
Walaupun kasus ini pada akhirnya diselesaikan secara efektif dengan adanya campur
tangan FLA, namun penting kiranya bahwa Nike seharusnya tidak menghindari tanggung
jawab untuk menyelidiki apakah hak-hak serikat buruh dihormati di pabrik-pabrik
pemasoknya. Peran FLA yang telah dinyatakan adalah untuk memverifikasi apakah Nike
dan perusahaan-perusahaan lainnya menjamin penghormatan atas hak-hak buruh,
bukan untuk menjadi jajaran pertama yang melakukan penyelidikan (lihat Bagian 3.7).
Nike berpartisipasi dalam sebuah program pemantauan dan pelatihan yang sangat positif
di Bulgaria yang menyikapi hak-hak serikat buruh. Sayangnya di akhir program, Nike
secara signifikan mengurangi ordernya kepada pabrik-pabrik yang terlibat (Aculah ke
Kotak 4.4a).
Mekanisme pengaduan
Survei Oxfam Australia menanyakan apakah Nike telah membentuk "sarana yang bersifat
rahasia dan terjangkau bagi buruh untuk melaporkan pelanggaran terhadap hak-hak serikat
buruh". Sebagai tanggapan, Nike (2005a) menyebutkan bahwa nomor telepon pengaduan bebas
pulsa telah dipasang di dua negeri. Di Indonesia, Nike (2005a) telah bekerja bersama sebuah
organisasi perempuan setempat untuk memasang hotline telepon yang bersifat rahasia di
sejumlah pabrik, sehingga para perempuan bisa melaporkan pengaduan tentang pelecehan
seksual. Nike menolak memberikan contoh-contoh tentang buruh yang menggunakan
mekanisme pengaduan Nike untuk melaporkan pelanggaran terhadap hak-hak serikat buruh.
Pengembangan keterampilan bagi wakil-wakil buruh
Nike (2005a) tidak mengharuskan para pemasoknya untuk memberi wakil-wakil serikat waktu
bebas kerja guna menghadiri pelatihan ataupun mengurusi penyelesaian perselisihan, walaupun
Nike baru-baru ini melakukan campur tangan, sehingga seorang wakil serikat dari Malaysia bisa
menghadiri sebuah pertemuan ITGLWF.
Dampak praktek pembelian terhadap penghormatan atas hak-hak buruh
Nike telah mengakui secara publik bahwa praktek-praktek pemesanan mereka dapat turut
menyebabkan terjadinya kerja lembur berlebihan di pabrik-pabrik pemasoknya, dan telah
membentuk satuan tugas internal untuk menyikapi isu ini (MSN 2005, hal. 8). Laporan terbaru
perusahaan ini tentang tanggung jawab korporat menguraikan tentang pendekatan mereka
berupa “kartu skor berimbang”, yang berarti bahwa nilai pemenuhan pemasok terhadap M-audit
dan ukuran-ukuran tanggung jawab korporat lainnya menghasilkan suatu peringkat tanggung
jawab korporat yang, sebagai tambahan bagi ukuran-ukuran Nike yang biasanya seperti harga,
waktu pengiriman dan kualitas, akan mempengaruhi apakah Nike akan menempatkan order
kepada satu pemasok tertentu.
Positif kiranya bahwa Nike kini mulai menyertakan informasi pemenuhan kode etik ke dalam
keputusan-keputusannya tentang sourcing. Namun demikian, sangat penting kiranya agar proses
untuk melakukan hal itu tidak menyebabkan Nike mengurangi order kepada pabrik-pabrik dimana
buruh sedang berusaha mendirikan serikat. Nike (2005b) mengakui bahwa mereka mendapati
sebagai hal yang menantang untuk memantau kebebasan berserikat, dan berpendapat bahwa
kebebasan berserikat "hanya bisa diuji selama masa-masa ketika buruh secara aktif
mempraktekkan hak ini". Ini menunjukkan bahwa Nike kemungkinan besar akan menilai sebuah
pabrik itu buruk bila gagal menghormati kebebasan berserikat persis di saat buruh sedang
berusaha berorganisasi. Nike hendaknya menyesuaikan pendekatan “kartu skor berimbang”
sehingga mereka memprioritaskan untuk mempertahankan hubungan pembelian dengan pabrikpabrik yang ada serikat buruhnya dan dengan pabrik-pabrik dimana buruh sedang berusaha
mendirikan serikat buruh.
Transparansi
67
Tanggapan oleh Nike, 19 Januari 2005, lihat <http://www.oxfam.org.au/campaigns/nike/reports/letters.html>
48
Nike merilis daftar alamat pabrik-pabrik yang merupakan pemasok produk-produk bermerk Nike
pada bulan April 2005. Ini adalah sebuah langkah maju yang penting dalam hal transparansi.
Oxfam International mendorong Nike untuk merilis alamat pabrik-pabrik yang membuat produkproduk bermerk lain yang juga dimiliki Nike, termasuk Converse dan perlengkapan olahraga
kortingan yang diproduksi Nike untuk dijual di toko-toko Wal-Mart.
Mempertahankan produksi di pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya
Nike tidak memiliki kebijakan yang secara aktif mendukung dipilihnya dan dipertahankannya
pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya di rantai pasokannya. Selain kasus Doson (lihat Bagian
1.5), Oxfam International prihatin bahwa Nike baru-baru ini menghentikan pemesanan kepada
pabrik Lian Thai di Thailand,68 sebuah pabrik yang di dalamnya ada sebuah serikat yang
demokratis, yang sebagian besar anggotanya adalah buruh perempuan. Pabrik ini sebelumnya
merupakan pabrik percontohan dalam program Aliansi Global Nike. Nike (2006) melaporkan
bahwa "Nike dan Lian Thai meninjau rencana-rencana dan prioritas-prioritas bisnis kami, dan
secara bersama menyepakati bahwa pemasok/pembeli yang lain akan lebih bisa memenuhi
kebutuhan masing-masing dari kami". Namun, menanggapi penyelidikan Oxfam Australia,
pemimpin serikat buruh di Lian Thai, Prakob Yorddamnern, dengan tegas mempertanyakan
apakah hengkangnya Nike dari pabrik itu memang berdasarkan kesepakatan bersama. Dia yakin
bahwa pihak manajemen Lian Thai akan senang kalau bisa terus memproduksi produk Nike. Dia
dan wakil-wakil buruh lainnya di Lian Thai sangat kecewa dengan keputusan Nike (dan Puma)
untuk menghentikan pemesanan kepada pabrik itu.
Perwakilan buruh di dewan
Sekarang ini tidak ada wakil-wakil buruh terpilih di dewan direktur Nike.
Kesepakatan kerangka kerja dengan serikat garmen dan perlengkapan kaki global
Pada tahun-tahun terakhir ini Nike telah bergabung dengan sejumlah pemilik merk perlengkapan
olahraga dalam menghadiri pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh ITGLWF. Nike
juga telah mengungkapkan kesediaan untuk berpartisipasi dalam dialog reguler dengan serikatserikat buruh di tingkat nasional di Indonesia dan negeri-negeri lain. Mengenai kesepakatan
kerangka kerja yang diusulkan, Nike (2005a) yakin bahwa "ada beberapa tujuan bersama...dan
[kami] ingin menggali itu lebih jauh". Namun demikian, Nike yakin bahwa tipe-tipe kesepakatan
seperti ini "harus menyertakan komitmen dari pemilik pabrik”. Syarat terakhir ini memunculkan
pertanyaan tentang minat Nike terhadap kesepakatan kerangka kerja yang diusulkan, karena hal
itu memungkinkan Nike menggunakan keengganan pemilik pabrik untuk bekerja sama sebagai
alasan untuk tidak berpartisipasi.
Hak-hak serikat buruh di luar Asia
Nike (2005a) mencurahkan perhatian pada peran perusahaannya dalam menyelesaikan isu-isu
hak serikat buruh di pabrik Hena Tekstil di Turki. Nike bekerja sama dengan adidas untuk
membujuk pihak manajemen Hena Tekstil agar berpartisipasi dalam dialog dengan serikat DISK
yang menghasilkan diakuinya DISK sebagai serikat mayoritas dan ditandatanganinya sebuah
kesepakatan proses tawar kolektif pada bulan April 2005. Juga ada sebuah kesepakatan untuk
menyelidiki dan mempekerjakan kembali anggota-anggota serikat buruh yang telah
diberhentikan. Oxfam International berharap untuk bisa melaporkan perkembangan lebih jauh di
pabrik ini di masa mendatang.
Penilaian Oxfam International69
Nike baru-baru ini telah menunjukkan transparansi yang lebih besar dan kemauan untuk
berpartisipasi dalam dialog sosial. Perusahaan ini merilis alamat para pemasok produk bermerk
Nike pada bulan April 2005 dan berpartisipasi dalam sejumlah inisiatif yang potensial akan
68
Komunikasi Personal (email) Agatha Schmaedick dari Workers Rights Consortium, 20 Desember 2005.
69
Penilaian tentang masing-masing perusahaan hendaknya dibaca secara terkait dengan Bagian 3, yang menilai kinerja
industri ini secara keseluruhan dan menilai kerja FLA dalam mempengaruhi program-program adidas, ASICS, Nike, Puma
dan Reebok tentang hak-hak perburuhan.
49
berguna, termasuk Forum MFA (MSN 2005, hal. 10–16), JO-IN Initiative70 dan proyek FLA di
Amerika Tengah.71
Nike juga telah mengakui bahwa menjamin penghormatan atas hak-hak serikat buruh di dalam
rantai pasokannya mencerminkan suatu tantangan yang cukup besar. Namun demikian, tetap
tidak jelas sejauh mana komitmen perusahaan ini untuk menempuh tantangan ini. Dalam dua
kasus yang diuraikan di Bagian 2, Nike bekerja sama dengan FLA dalam proses-proses yang
menghasilkan dihormatinya hak-hak buruh dalam hal serikat buruh. Tetapi perusahaan ini
bergerak lamban dan tampak sangat mengandalkan FLA untuk menyelesaikan masalah ketika
isu-isu hak serikat buruh di dalam rantai pasokannya mendapat perhatian kampanye
internasional.
Tanpa memandang alasan-alasan bisnis dibalik keputusan Nike untuk mengurangi atau
menghentikan order kepada pabrik Doson di Indonesia, pabrik Lian Thai di Thailand dan pabrikpabrik di Bulgaria yang terlibat dalam Proyek Perlengkapan Pakaian Bulgaria (Kotak 4.4a),
keputusan-keputusan ini telah mengakhiri atau mengurangi kehadiran pabrik-pabrik yang ada
serikat buruhnya di rantai pasokan Nike dan memberi pemasok-pemasok lainnya insentif yang
kecil untuk memenuhi kode etik pengaturan Nike dan memperbolehkan buruh untuk
berorganisasi dalam serikat buruh serta melakukan langkah tawar kolektif. Jika Nike bersungguhsungguh tentang penghormatan atas hak-hak serikat buruh, maka mereka seharusnya
memprioritaskan untuk mempertahankan produksi di pabrik-pabrik dimana buruh telah
mendirikan serikat buruh yang demokratis dan hendaknya mendorong pemilik pabrik untuk
melakukan proses tawar secara kolektif dengan para buruh. Nike hendaknya juga bekerja
bersama serikat buruh dan para pemasok untuk menyikapi miskonsepsi tentang serikat dan isu
akses serikat buruh bagi para buruh di tingkat lokal serta memungkinkan penyediaan pelatihan
bagi buruh mengenai hak kebebasan berserikat dan langkah tawar kolektif. Positif kiranya bahwa
Nike telah mengakui bahwa praktek-praktek pembelian oleh perusahaannya bisa berdampak
negatif terhadap kondisi kerja, namun Nike hendaknya menjamin agar setiap perbaikan dalam
praktek pembelian ini tidak berdampak negatif terhadap hak buruh untuk berorganisasi.
70
71
Lihat profil perusahaan Puma untuk mendapatkan penjelasan tentang inisiatif ini.
Lihat profil perusahaan Reebok untuk mendapatkan penjelasan tentang inisiatif ini.
50
Kotak 4.4a Melakukan hal yang benar, kemudian hengkang: proyek perlengkapan pakaian
Bulgaria
Laporan tahunan Nike (2005b, hal. 40–1) maupun adidas (2005b, hal. 36) tentang tanggung
jawab korporat untuk tahun 2004 menyertakan referensi tentang sebuah proyek di Bulgaria yang
dirancang untuk:
...mendorong dialog yang konstruktif antara pihak manajemen dan buruh serta antara pemerintah,
industri dan serikat-serikat buruh, dan untuk membangun kapasitas di kalangan buruh, kelompokkelompok buruh, para majikan dan serikat-serikat buruh.
Melalui inisiatif ini, semua pihak yang terkait mendapat pelatihan yang terfokus tentang isu-isu
tanggung jawab korporat, dialog sosial, kode etik korporat, hukum-hukum lokal dan internasional
serta implikasi-implikasi lokal yang mungkin. Melalui 'lingkar-lingkar peningkatan' para buruh berbagi
apa yang telah mereka pelajari dengan lebih dari 500 buruh lainnya di pabrik-pabrik mereka...Sekitar
140 orang dari pabrik-pabrik berbeda... terlibat langsung dalam pelatihan ini. Dari jumlah total 140
orang, 97 di antaranya adalah pekerja tingkat pabrik. (Adidas 2005b, hal. 36).
Proyek ini melibatkan adidas, Nike, Levi's dan H&M yang bekerja sama dengan Federasi Serikat
Buruh Eropa di Bidang Tekstil, Pakaian dan Kulit serta Kementerian Perburuhan Bulgaria. Just
Solutions72, sebuah perusahaan yang menyediakan audit, pelatihan dan konsultasi perburuhan,
terlibat secara luas dalam penyediaan pelatihan ini. Just Solutions memiliki keahlian yang cukup
tinggi di bidang hak-hak serikat buruh.
Jenis proyek seperti ini adalah yang tepat bagi pemilik merk perlengkapan olahraga untuk terlibat
di dalamnya — penyediaan langsung pelatihan tentang hak-hak serikat buruh bagi buruh dan
pihak-pihak utama lain yang terkait oleh organisasi-organisasi yang memiliki keahlian yang
mapan di bidang ini.
Sayangnya, setelah selesainya proyek ini, Nike secara signifikan mengurangi sourcing-nya di
Bulgaria dan mengurangi atau menghentikan order kepada pabrik-pabrik yang ambil bagian
dalam proyek tersebut.73 Menurut Nike, keputusan ini diambil karena agen pembelian yang
melakukan sourcing di pabrik-pabrik itu gagal memenuhi harapan-harapan Nike tentang
pengiriman dan kualitas.74 Berbeda jauh dengan itu, adidas (2006) melaporkan bahwa mereka
masih bekerja sama dengan ketiga pabrik pemasoknya yang berpartisipasi dalam proyek itu, dan
bahwa pada tahun 2005, order produk adidas kepada pabrik-pabrik itu meningkat sebesar 15
persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sangat mengecewakan bahwa Nike gagal memungkasi
proyek yang positif itu dengan mempertahankan atau meningkatkan order kepada pabrik-pabrik
yang terlibat. Manajer pabrik tidak bisa berharap untuk menginvestasikan waktu dan tenaga
dalam upaya-upaya serius untuk meningkatkan pemahaman tentang—dan penghormatan atas—
hak-hak serikat buruh jika pemilik merk yang terlibat tidak berkomitmen sungguh-sungguh bagi
sebuah hubungan pemesanan yang berjangka panjang. Oxfam International mengharapkan
bahwa Nike dan adidas akan memungkasi proyek tersebut dengan memprioritaskan untuk
menempatkan order di pabrik-pabrik ini.
72
Lihat <www.just-solutions-net.com/services.php>.
Caitlin Morris (Direktur Nike untuk Bidang Integrasi & Kerja sama, Pemenuhan Tanggung jawab Korporat)
mengindikasikan melalui email tertanggal 21 Desember 2005 bahwa pada Desember 2005, Nike tidak menempatkan
order kepada dua pabrik pemasok Nike yang ambil bagian dalam proyek ini. Nike (2006) mengindikasikan bahwa
"produk-produk Nike terus dibuat di empat dari lima pabrik yang terlibat dalam proyek ini, dengan jumlah yang menurun".
74
Komunikasi Personal dengan Caitlin Morris dari Nike, 9 Desember 2005.
73
51
Kotak 4.4b. Sebuah contoh positif: the sports and corporate wear ethical clothing deed
Hanya sembilan dari lebih dari 700 tempat kerja yang memproduksi produk bermerk Nike
berlokasi di Australia, namun para buruh di pabrik-pabrik itu dilindungi oleh sebuah kesepakatan
yang khas bila dibandingkan dengan keseluruhan rantai pasokan Nike. Pada tahun 2003, Nike
Australia dan Textile Clothing and Footwear Union of Australia (TCFUA) menandatangani the
Sports and Corporate Wear Ethical Clothing Deed.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam akte ini, Nike menerima bahwa setiap orang di Australia
yang memproduksi barang-barang bermerk Nike harus mendapatkan upah dan kondisi-kondisi
legal yang diuraikan secara garis besar dalam the Clothing Trades Award. Ini diharuskan oleh
hukum Australia, bagaimanapun kasusnya. Yang tidak lazim tentang pengaturan ini ialah bahwa
TCFUA diberi kewenangan untuk memasuki gedung tempat pemasok Nike, tanpa perlu
pemberitahuan terlebih dahulu, memeriksa catatan upah, mewawancarai para pekerja dan
melakukan inspeksi tentang keselamatan. Terlebih lagi, ini lebih merupakan sebuah akte yang
mengikat secara hukum ketimbang sebuah kode etik sukarela, dan akte ini merupakan bagian
dari pengaturan kontrak Nike dengan pemasok.
Reebok telah menandatangani akte serupa yang mencakup produksi barang-barangnya di
Australia, dimana Reebok memiliki lima pemasok.
Oxfam International mendorong Nike, Reebok dan merk-merk perlengkapan olahraga lainnya
untuk menerapkan transparansi dan kerja sama dengan tingkat seperti ini kepada serikat-serikat
buruh yang demokratis di seluruh rantai produksi global mereka.
52
5. Kesimpulan
Seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman-pengalaman buruh perlengkapan olahraga yang
didokumentasikan dalam laporan ini, Asia bisa menjadi tempat yang sulit dan berbahaya untuk
masuk menjadi anggota serikat buruh. Dua dari kasus-kasus pabrik melibatkan serangan dengan
kekerasan terhadap organiser serikat, dan dalam kedua kasus itu anggota-anggota serikat
diancam akan dibunuh kalau tidak menghentikan aktivitas serikat buruhnya. Dalam sebuah kasus
lainnya, begundal-begundal setempat membubarkan sebuah demonstrasi buruh, dan kemudian
pada malam harinya menyatroni rumah salah seorang organiser — untungnya dia (perempuan)
telah menduga bahwa hal ini mungkin akan terjadi dan telah mengatur untuk menginap di tempat
lain. Pada sebuah kasus lain yang diuraikan dalam laporan ini, para buruh melaporkan bahwa
walaupun majikan mereka tidak menggunakan kekerasan untuk menghalangi buruh
berkampanye menuntut upah dan kondisi yang lebih baik, namun sudah lazim bahwa para
pemilik pabrik di zona perdagangan bebas mereka menyewa begundal untuk membubarkan
pemogokan. Ini turut menyebabkan munculnya kondisi umum ketakutan di zona itu, dan
membuat semua buruh enggan untuk berorganisasi. Meski dalam kebanyakan kasus tidak ada
bukti yang langsung mengaitkan kekerasan ini dengan majikan, namun kekerasan tersebut jelas
dirancang untuk menakut-nakuti buruh agar menanggalkan ide apapun tentang berpartisipasi
dalam serikat buruh.
Kekerasan hanyalah satu dari banyak cara yang digunakan untuk menghentikan buruh dari
mengorganisasi diri mereka dalam serikat buruh. Teknik-teknik lain yang didokumentasikan
dalam laporan ini meliputi dipindahkannya para organiser serikat ke tugas-tugas kasar, memecat
buruh karena berpartisipasi dalam aksi industrial, menggunakan kata-kata kasar dan bentukbentuk pelecehan lainnya terhadap anggota serikat, dan mengancam untuk menutup pabrik serta
memindahkannya ke negeri lain dimana hak-hak serikat buruh tidak dihormati. Karena tingkat
pengangguran di banyak belahan Asia sangat tinggi, maka ancaman yang disebutkan terakhir
tadi secara khusus bisa efektif. Buruh perlengkapan olahraga dan garmen di Asia juga makin
sering dipekerjakan dengan kontrak jangka pendek, dan buruh yang dipekerjakan dengan aturan
yang ‘fleksibel’ ini khususnya takut untuk masuk menjadi anggota serikat, kalau-kalau majikan
mereka menanggapinya dengan tidak memperpanjang kontrak mereka.
Meski laki-laki maupun perempuan sama-sama mengalami kesulitan ini, namun kaum
perempuan Asia yang ingin membentuk—atau masuk menjadi anggota—serikat buruh
menghadapi hambatan-hambatan tambahan. Kendati perannya dalam angkatan kerja yang
dibayar makin meningkat, perempuan masih umum diharapkan untuk memikul bagian tanggung
jawab yang lebih besar dalam urusan rumah tangga serta perawatan di dalam keluarga dan
komunitas mereka, sehingga mengurangi waktu mereka yang ada untuk berpartisipasi dalam
aktivitas serikat buruh. Jam-jam kerja panjang yang umum berlaku di banyak industri, termasuk
perlengkapan olahraga, berarti bahwa pertemuan-pertemuan serikat buruh cenderung
berlangsung pada larut malam. Karena itu, perempuan yang ingin menghadiri pertemuanpertemuan ini sering kali harus menghadapi risiko keamanan tambahan yang dihadapi para
perempuan di malam hari di banyak kawasan industri Asia. Perempuan yang pulang ke rumah
pada larut malam dari pertemuan seperti itu juga sering dianggap ‘liar’ atau tak bermoral dengan
cara yang mana laki-laki tidak dianggap demikian. Mengingat lebih dari 80% buruh perlengkapan
olahraga adalah perempuan, dan bahwa pengalaman dan kebutuhan perempuan di tempat kerja
memiliki perbedaan-perbedaan penting dibandingkan pengalaman dan kebutuhan laki-laki, maka
secara khusus penting kiranya agar rintangan-rintangan bagi partisipasi perempuan dalam
pembentukan serikat buruh dan langkah tawar kolektif dihapuskan.
Kendati ada rintangan-rintangan bagi pengorganisasian serikat buruh, hak untuk kebebasan
berserikat dan langkah tawar kolektif tidak kalah pentingnya. Sebagaimana yang terjadi di
kebanyakan industri yang padat kerja, upah dan kondisi kerja yang sangat eksploitatif masih
umum berlangsung di sektor perlengkapan olahraga di Asia. Upaya-upaya untuk meningkatkan
upah dan kondisi kerja ini agaknya tidak mungkin menghasilkan perubahan yang berkelanjutan
jika mereka tidak memperbolehkan adanya ruang bagi buruh untuk membentuk organisasinya
sendiri dan melakukan langkah tawar secara kolektif. Auditor eksternal yang dipekerjakan oleh
53
perusahaan-perusahaan transnational (TNC) hanya sekali-sekali bisa mengunjungi sebuah
pabrik, dan pemasok mereka biasanya terlebih dahulu memperingatkan para buruh agar
memberikan keterangan yang tidak benar kepada auditor demi melindungi pekerjaan mereka.
Bahkan jika auditor TNC membawa peningkatan dalam hal upah dan kondisi kerja sekalipun, ini
hanya akan sedikit berpengaruh untuk merubah kurangnya keberdayaan buruh di dalam rantai
pasokan, dan perbaikan-perbaikan apapun akan tergantung pada niat baik TNC yang
berkelanjutan. Jika buruh bisa membentuk serikat, melakukan langkah tawar secara kolektif dan
menempuh aksi industrial, maka ini akan memberi mereka suatu kekuatan untuk menegosiasikan
upah dan kondisi kerja yang lebih baik bagi diri mereka sendiri.
Isu ini hendaknya disikapi berdasarkan industri secara luas maupun oleh perusahaanperusahaan yang bertindak sendiri-sendiri. Meski sejumlah pemilik merk perlengkapan olahraga
telah mengindikasikan bahwa mereka yakin World Federation of Sporting Goods Industries
(WFSGI) hendaknya memegang kepemimpinan dalam mengkoordinasikan kerja dunia industri
tentang hak-hak buruh, namun serikat-serikat buruh dan kelompok-kelompok pejuang hak buruh
yang terlibat dalam dialog dengan WFSGI (termasuk Oxfam) melaporkan bahwa, sungguh
mengecewakan, perkembangannya sejauh ini lamban. Sampai dengan Desember 2005, WFSGI
belum secara resmi memberi tanggapan terhadap serangkaian rekomendasi (sebuah Program
Kerja) yang diusulkan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil kepada mereka pada awal
2004. Program ini mencakup sebuah usulan agar WFSGI dan perusahaan-perusahaan
anggotanya menegosiasikan sebuah kesepakatan kerangka kerja dengan ITGLWF guna
merancang proses-proses untuk menjamin penghormatan atas hak-hak serikat buruh.
Sayangnya, sejauh ini hanya sedikit pemilik merk perlengkapan olahraga yang mengungkapkan
kesediaan untuk secara sungguh-sungguh menindaklanjuti usulan ini, dengan Puma dan Umbro
menunjukkan sikap yang paling terbuka.
Dalam hal program hak-hak buruh dari masing-masing pemilik merk perlengkapan olahraga,
penelitian Oxfam International untuk laporan ini mengindikasikan bahwa meski beberapa pemilik
merk perlengkapan olahraga telah membuat komitmen kebijakan untuk menghormati hak-hak
serikat buruh, namun pelaksanaannya sangat kurang memenuhi apa yang dibutuhkan.
Kontradiksi yang paling mencolok antara kebijakan dan prakteknya ialah dalam hal begitu
banyaknya produksi yang ditempatkan di negara-negara atau zona-zona perdagangan bebas
yang tidak memberikan kekuatan hukum bagi hak-hak buruh untuk kebebasan berserikat dan
langkah tawar kolektif. Adidas men-sourcing sedikit di atas separuh produksi perlengkapan
olahraganya di negara-negara seperti itu. Untuk Puma, ini lebih dari separuh produksi sepatu
olahraganya, dan untuk New Balance, ini hampir semua dari produksinya di Asia. Sejak tahun
1998, ketika Nike menyatakan komitmen publik untuk menjamin penghormatan atas hak-hak
serikat buruh, perusahaan ini telah secara signifikan mengurangi proporsi sepatu olahraganya
yang dibuat di negeri-negeri dimana hak-hak ini mendapat pemberlakuan legal. Nike, Puma,
adidas dan New Balance sekurangnya layak untuk mendapatkan suatu penghargaan atas
transparansi mereka untuk isu ini — khususnya adidas yang menyediakan data rinci. Agaknya
pemilik-pemilik merk perlengkapan olahraga yang menolak membagi informasi ini memiliki
proporsi yang serupa, kalau tidak malah lebih tinggi, dari produksinya di negara-negara yang
tidak memberikan pemberlakuan legal bagi hak-hak serikat buruh. Perusahaan yang
bersungguh-sungguh mengenai penghormatan atas hak-hak ini hendaknya mengambil sebuah
kebijakan bahwa setiap produksi baru akan di-sourcing di negara-negara yang memberikan
kekuatan hukum bagi hak-hak ini, dan hendaknya menegaskan alasan mengapa mereka
melakukannya kepada pemerintahan-pemerintahan yang terlibat.
Ini bukanlah untuk mengatakan bahwa setiap pemerintahan di Asia memiliki track record yang
sempurna mengenai hak-hak serikat buruh. Di Indonesia ada perlindungan hukum bagi hak-hak
ini yang secara signifikan lebih besar dibandingkan selama masa kepresidenan Suharto, namun
organisasi-organisasi serikat buruh Indonesia melaporkan adanya peningkatan yang
mengkhawatirkan dalam hal penggunaan kontrak jangka pendek dan aturan-aturan pekerjaan
‘fleksibel’ lainnya yang membuat buruh sulit untuk berorganisasi. Namun demikian, Indonesia
telah membuat kemajuan penting mengenai hak-hak serikat buruh sejak jatuhnya Suharto, dan
perusahaan-perusahaan yang menghargai hak-hak demokratik seharusnya memberikan
pertimbangan yang mendukung hal ini ketika membuat keputusan-keputusan sourcing.
54
Bahkan di negeri-negeri dimana serikat buruh independen itu sebenarnya legal sekalipun,
sekarang ini tidak ada pemilik merk perlengkapan olahraga yang menempuh langkah-langkah
yang memadai untuk memastikan agar hak-hak ini pada prakteknya dihormati. Secara khusus,
tidak ada perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga yang memiliki kebijakan dan prosedur
yang berlaku, yang secara efektif mencegah pemasoknya untuk menutup pabrik yang ada serikat
buruhnya dan memindahkan produksi ke pabrik yang tidak ada serikat buruhnya. Beberapa
pemilik merk perlengkapan olahraga berkomitmen untuk menghentikan pemasok yang ingin
menutup sebuah pabrik demi membubarkan sebuah serikat buruh, tetapi para pemilik ini tidak
keberatan bila pabrik yang ada serikat buruhnya ditutup dengan alasan-alasan bisnis yang lain.
Pada prakteknya, ini berarti bahwa pemasok relatif bebas untuk menutup pabrik yang ada serikat
buruhnya, karena biasanya selalu mungkin untuk mencari alasan-alasan lain untuk memindahkan
produksi. Oxfam International yakin bahwa bila ada serikat buruh yang demokratis di sebuah
pabrik, maka pemilik merk perlengkapan olahraga seharusnya memprioritaskan untuk
mempertahankan pabrik ini di dalam rantai pasokannya, dan hendaknya bekerja sama dengan
pemasok guna mencari cara untuk membuat pabrik itu beroperasi secara menguntungkan.
Juga hanya sedikit kemajuan yang dapat dilaporkan mengenai para pemilik perlengkapan
olahraga yang menyikapi dampak dari praktek pembelian mereka (harga, waktu pengiriman,
stabilitas hubungan bisnis) terhadap hak-hak buruh. Beberapa pemilik merk, terutama adidas,
menerima bahwa hubungan bisnis yang stabil merupakan suatu prasyarat penting bagi
pengorganisasian serikat buruh, dan mengklaim bahwa mereka sedang membangun hubungan
jangka panjang dengan sejumlah kecil pemasok. Beberapa pemilik merk perlengkapan olahraga
juga mengklaim sedang mengelola aliran order mereka untuk meminimalkan kemungkinan
diharuskannya buruh untuk bekerja lembur berlebihan. Tidak ada perusahaan pemilik merk yang
bersedia membagi informasi tentang penentuan harganya kepada wakil-wakil buruh ataupun
mengharuskan pemasok untuk menyediakan informasi keuangan yang selengkapnya bagi wakilwakil buruh sebagai indikasi kemauan untuk melakukan proses tawar dengan niat baik. Informasi
ini akan sangat membantu buruh yang terlibat dalam negosiasi-negosiasi tentang upah.
Walaupun tidak ada pemilik merk perlengkapan olahraga yang menempuh program-program
yang menyeluruh dan efektif untuk memastikan dihormatinya hak-hak serikat buruh di rantai
pasokannya, namun sebagian kini menunjukkan kemajuan yang terbatas. Transparansi tentang
alamat pabrik itu penting, karena hal ini memudahkan organisasi-organisasi independen untuk
menyelidiki apakah hak-hak buruh dihormati. Pada tahun 2005, Nike merilis rincian alamat
semua pabrik yang memproduksi produk bermerk Nike, meskipun tidak termasuk alamat
pemasok-pemasok yang membuat merk-merk lainnya (non-Nike) yang juga dimiliki Nike.
Kemudian pada tahun 2005, Puma dan Reebok mengikuti langkah Nike dan merilis alamat
pabrik-pabrik yang memasok produk-produk bermerk Reebok dan Puma. Oxfam International
mendorong semua pemilik merk perlengkapan olahraga untuk merilis daftar semua pemasoknya
untuk semua merk yang mereka miliki.
Reebok, Puma, adidas dan Nike merupakan perusahaan yang terbukti paling bersedia bekerja
sama dalam penelitian untuk laporan ini. Perusahaan-perusahaan ini juga merupakan anggota
FLA. ASICS baru-baru ini juga telah masuk menjadi anggota FLA, dan Umbro telah mengajukan
permohonan untuk masuk menjadi anggota. Menjadi anggota FLA mencerminkan sebuah
langkah maju bagi perusahaan-perusahaan ini, terutama sejauh mana buruh bisa mendapatkan
akses ke prosedur pengaduan FLA. Namun demikian, perbaikan-perbaikan yang signifikan
dibutuhkan sebelum bisa ada keyakinan bahwa FLA menetapkan agar perusahaan bertanggung
jawab untuk memastikan agar para pemasoknya menghormati hak-hak serikat buruh. FLA
tampaknya menyadari keterbatasan-keterbatasan dari kerjanya sekarang ini dalam hal hak-hak
serikat buruh dan telah menetapkan suatu arah baru yang, secara prinsip, berpotensi untuk
meningkatkan dampak FLA.
Di Asia, staf Reebok telah bekerja keras untuk memastikan agar hak-hak serikat buruh dihormati
di sejumlah pabrik pemasoknya. Reebok juga merupakan satu-satunya perusahaan yang
memiliki kebijakan yang membatasi dipekerjakannya buruh dengan kontrak jangka pendek.
Walaupun di tahap sekarang ini belum jelas seberapa efektif kebijakan ini diterapkan, namun ini
merupakan langkah maju yang penting, karena banyak buruh perlengkapan olahraga di Asia
dipekerjakan berdasarkan kontrak jangka pendek, hal mana menyulitkan mereka untuk
55
berorganisasi guna menuntut hak-haknya. Perusahaan ini juga telah bekerja sama dengan
beberapa kelompok pejuang hak buruh untuk mengeksplorasi perwakilan demokratis macam apa
yang mungkin diterapkan di negara-negara yang secara hukum membatasi hak-hak serikat
buruh. Sayangnya, kerja yang positif dalam hal hak-hak serikat buruh ini dirongrong oleh
penentangan Reebok yang gencar terhadap pembentukan serikat buruh di pusat-pusat
distribusinya di AS.
Adidas menyediakan, bagi para pemasoknya, suatu penjelasan yang rinci dan akurat tentang
hak-hak serikat buruh, namun tidak jelas berapa banyak buruh pembuat produk adidas yang
mendapat akses ke pendidikan yang independen tentang hak-hak ini. Penelitian untuk laporan ini
menunjukkan bahwa walaupun adidas perlu lebih proaktif dalam menyelidiki pelanggaranpelanggaran terhadap hak ini, namun jika pelanggaran diangkat untuk dimintakan perhatiannya,
perusahaan ini biasanya bersedia bekerjasama dalam upaya-upaya untuk memastikan agar hakhak ini dihormati. Ketika laporan ini sedang dalam tahap finalisasi untuk dicetak, perkembanganperkembangan baru memunculkan keraguan akan komitmen adidas untuk mendukung hak buruh
untuk kebebasan berserikat di pabrik Panarub di Indonesia. Pada akhir tahun 2005, 33 anggota
dari salah satu serikat di pabrik ini dipecat karena aktivitas-aktivitas yang terkait dengan
partisipasi mereka dalam sebuah pemogokan. Kendati telah ada banyak seruan kepada adidas,
namun pada saat publikasi ini akan dicetak, tetap belum jelas apakah adidas akan mendesak
agar para buruh itu diterima kembali bekerja.75
Puma baru mulai bersungguh-sungguh mengurusi isu hak-hak serikat buruh di rantai
pasokannya relatif baru-baru ini saja, dan program-programnya untuk memastikan agar para
pemasok dan buruh memahami hak-hak ini memerlukan suatu peningkatan. Namun demikian, di
Asia, perusahaan ini telah menempuh beberapa langkah maju penting dengan berusaha bekerja
sama dengan serikat-serikat buruh dan kelompok-kelompok pejuang hak buruh dalam proyekproyek di beberapa negeri Asia. Di Indonesia, Puma telah mengundang wakil-wakil serikat buruh
untuk mendampingi staf audit sosial mereka pada pada kunjungan-kunjungan mereka ke pabrik,
dan mengundang serikat-serikat serta kelompok-kelompok pejuang hak buruh untuk memberikan
advis kepada mereka dalam memilih pemasok-pemasok baru yang menghormati hak-hak buruh.
Sayangnya, komitmen Puma bagi hak-hak serikat buruh baru-baru ini patut dipertanyakan
dengan adanya keputusan perusahaan ini untuk menghentikan pemesanan kepada pabrik Lian
Thai di Thailand — setelah pihak pabrik sepakat untuk menghentikan diskriminasi terhadap
anggota-anggota serikat. Akan sulit bagi Puma untuk membujuk pemasok-pemasok lainnya agar
menghormati hak-hak serikat buruh kalau mereka yakin bahwa Puma tidak memiliki komitmen
yang berkelanjutan untuk menempatkan order di pabrik mereka.
Nike telah menunjukkan kesediaannya untuk bekerja sama dengan FLA guna mendukung hakhak buruh mengenai serikat buruh ketika pelanggaran terhadap hak-hak itu diangkat untuk
dimintakan perhatiannya. Namun demikian, perusahaan ini tampak sangat mengandalkan
mekanisme pengaduan FLA untuk membantu mereka menyelesaikan perselisihan-perselisihan
mengenai hak-hak serikat buruh, ketimbang berusaha sendiri menekankan agar para
pemasoknya menghormati hak-hak ini. Mengingat kapasitas FLA yang sangat terbatas, Nike
perlu lebih proaktif dalam memastikan agar hak-hak serikat buruh dihormati, dan hendaknya
hanya mengandalkan bantuan FLA dalam kasus-kasus yang sangat sulit saja. Laporan ini juga
mendokumentasikan sejumlah kasus dimana Nike, pada tahun-tahun terakhir ini, telah
menghentikan penempatan order di pabrik-pabrik di Asia dimana buruh telah mendirikan serikat
buruh, atau dimana pemilik pabrik telah menunjukkan kesediaan untuk bekerja sama dengan
serikat buruh. Tanpa memandang apakah keputusan-keputusan bisnis tertentu ini mencerminkan
suatu bias terhadap pabrik-pabrik yang ada serikat buruhnya atau tidak, jika perusahaan ini
bersungguh-sungguh mengenai penghormatan atas hak-hak serikat buruh, mereka hendaknya
memprioritaskan untuk mempertahankan produksi pada pemasok yang bersedia memberikan
ruang bagi buruh untuk berorganisasi dan melakukan langkah tawar secara kolektif. Pernyataanpernyataan Nike kepada publik mengungkap adanya kesadaran yang meningkat mengenai
tantangan-tantangan yang ada dalam memastikan agar hak-hak serikat buruh dihormati. Yang
75
Informasi terbaru selengkapnya tentang perkembangan-perkembangan ini akan disiapkan dan disediakan di situs
internet <www.oxfam.org.au/campaigns/labour/06report>.
56
tetap belum jelas adalah sejauh mana perusahaan ini sungguh-sungguh berkomitmen untuk
menempuh tantangan-tantangan itu di sepanjang rantai pasokannya.
Sampai beberapa tahun yang lalu, ASICS sangat sedikit menyikapi hak-hak buruh di dalam
rantai pasokannya, tetapi baru-baru ini perusahaan ini bersedia berpartisipasi dalam dialog
terbuka dengan serikat-serikat buruh dan organisasi-organisasi non-pemerintah, dan telah
bekerja sama dengan serikat buruh untuk menyikapi persoalan-persoalan di sekurangnya satu
pabrik di Kamboja. ASICS juga telah mulai menyelidiki apakah para pemasoknya menghormati
hak-hak buruh, dan telah mengungkapkan kesediaan untuk bekerja sama dengan serikat buruh
dan kelompok-kelompok pejuang hak buruh untuk memastikan agar buruh mendapatkan
pendidikan tentang hak-hak mereka mengenai serikat buruh. Keputusan perusahaan ini untuk
masuk menjadi anggota FLA juga merupakan sebuah langkah maju.
Meski Umbro selama ini lamban dalam mengembangkan program hak-hak buruh yang
menyeluruh, namun sejak tahun 2004 perusahaan ini telah mengajukan permohonan untuk
masuk menjadi anggota FLA, berpartisipasi dalam dialog reguler dengan serikat-serikat buruh
dan LSM, dan telah mengungkapkan kesediaan untuk bekerja sama dengan serikat buruh dalam
proyek-proyek percontohan untuk pelatihan buruh. Pada tahap sekarang ini hanya sedikit
kemajuan yang dapat dilaporkan mengenai ruang yang lebih luas bagi buruh untuk
mempraktekkan hak mereka dalam hal serikat buruh di rantai pasokan Umbro, tetapi semoga
proyek-proyek tadi sekurangnya akan mulai menyikapi persoalan ini.
Pentland, yakni pemilik merk-merk seperti Speedo dan Lacoste, merupakan anggota ETI dan
terlibat dalam dua proyek ETI tentang hak-hak buruh di berbagai negeri di Asia. Pentland hanya
menyediakan sedikit informasi tentang proyek-proyek ini, dan informasi dari sumber-sumber lain
menunjukkan bahwa proyek-proyek ini masih belum menghasilkan ruang yang lebih luas bagi
demokrasi buruh di dalam rantai pasokan Pentland, walaupun mungkin akan menghasilkan hal
itu di masa mendatang. Pentland menolak menyediakan informasi yang memadai tentang
praktek-praktek perburuhannya kepada para peneliti yang menyiapkan laporan ini, sehingga
menyulitkan untuk menentukan sejauh mana perusahaan ini berkomitmen untuk mendukung hakhak serikat buruh.
Mizuno baru-baru ini mulai mempekerjakan dan melatih staf-staf untuk melakukan pemantauan
internal tentang hak-hak buruh di dalam rantai pasokannya, namun perusahaan ini
menangguhkan untuk menanggapi permintaan agar mereka bekerja sama dengan serikat buruh
dan kelompok-kelompok pejuang hak buruh dalam upaya untuk menyediakan pelatihan dan
pendidikan bagi buruh tentang hak-haknya.
Asalkan dilaksanakan secara efektif dan tidak mengakibatkan penurunan penghasilan buruh,
rencana New Balance untuk mengurangi jam kerja menjadi maksimal 54 jam per minggu dapat
mencerminkan sebuah langkah maju yang penting bagi para perempuan dan laki-laki yang
bekerja dalam industri ini. Hanya ada sedikit kemajuan yang dapat dilaporkan mengenai ruang
bagi buruh untuk mempraktekkan hak-hak serikat buruhnya, walaupun pertemuan New Balance
dengan kelompok-kelompok pejuang hak buruh baru-baru ini memberikan suatu harapan bahwa
perusahaan ini akan bekerja sama dalam program-program pelatihan yang meningkatkan
pengetahuan buruh tentang hak-hak ini dan tentang demokrasi buruh.
Lotto berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan pemilik merk perlengkapan olahraga kecil
tidak bisa banyak berpengaruh terhadap pemasok-pemasok mereka yang besar. Benar kiranya
bahwa diperlukan sebuah pendekatan yang berskala industri secara luas untuk menghormati
hak-hak buruh, dan Oxfam International mendorong Lotto untuk memainkan peran aktif dalam
mempromosikan proses seperti itu. Akan tetapi, ukuran Lotto yang kecil seharusnya tidak
menghalanginya untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok pejuang hak buruh dan
perusahaan-perusahaan lainnya guna memastikan agar hak-hak buruh dalam hal serikat buruh
dihormati. Satu cara, yang dengan ini Lotto bisa bekerja sama dengan para pemilik merk
perlengkapan olahraga lainnya untuk secara positif mempengaruhi kondisi-kondisi perburuhan,
adalah dengan bergabung—dan secara aktif berpartisipasi—dengan perusahaan-perusahaan
dan kelompok-kelompok pejuang hak buruh dalam inisiatif multi-pihak seperti Fair Wear
Foundation.
57
Basicnet, pemilik Kappa, sampai saat ini baru menunjukkan minat yang sangat kecil untuk
bekerja bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk meningkatkan penghormatan atas
hak-hak buruh. Perusahaan ini sekarang sedang dalam negosiasi-negosiasi dengan serikatserikat buruh dan ITGLWF tentang pembentukan sebuah sistem untuk menyikapi hak-hak buruh.
Diharapkan bahwa hal ini kiranya mencerminkan suatu arah baru bagi perusahaan ini dan akan
membawa pada tindakan konkret untuk memungkinkan adanya ruang bagi buruh untuk
berorganisasi dan melakukan langkah tawar kolektif.
Penelitian Oxfam pada tahun 2004 tentang pabrik pemasok sepatu olahraga bermerk FILA, PT
Tae Hwa (yang sudah lama menjadi pemasok FILA) di Indonesia, mengungkap terjadinya
pelanggaran-pelanggaran perburuhan berat, termasuk penolakan terhadap hak-hak serikat
buruh, tingkat pelecehan seksual yang tinggi, serta prosedur-prosedur yang tak sepatutnya dan
mengandung paksaan terhadap buruh yang menuntut cuti menstruasi.76 Pada waktu itu, Sport
Brands International (SBI), pemilik FILA, menyatakan bahwa hanya sedikit yang bisa segera
mereka lakukan, namun juga mengatakan bahwa di masa mendatang, mereka akan menempuh
langkah-langkah untuk meningkatkan penghormatan atas hak-hak buruh di dalam rantai
pasokannya. Pada bulan Februari 2005, pabrik Tae Hwa tiba-tiba tutup tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu, meninggalkan ribuan buruhnya yang kehilangan pekerjaan. Sejak saat itu, FILA
menolak untuk mengungkap perannya dalam tutupnya pabrik itu ataupun mengemban tanggung
jawab untuk memastikan agar para buruh Tae Hwa mendapatkan hak sah mereka atas uang
pesangon. Tidak seperti Nike, Reebok dan Puma, FILA tidak mengungkapkan alamat pabrikpabrik pemasoknya, dan perusahaan ini telah mengabaikan permintaan-permintaan agar mereka
menunjukkan langkah-langkah apa, kalau ada, yang sedang mereka tempuh untuk meningkatkan
penghormatan atas hak-hak serikat buruh di pabrik-pabrik itu.
Seperti telah disebutkan di bagian pendahuluan, Program Kerja77 yang diusulkan oleh Play Fair
Alliance78 merupakan patokan utama yang dengan itu kemajuan perusahaan diukur dalam
laporan ini. Sayangnya, pada tahap ini hanya ada kemajuan yang sangat terbatas ke arah tujuantujuan dari program ini. Oxfam International berharap bahwa di masa mendatang kita akan bisa
melaporkan kemajuan-kemajuan yang signifikan, dan berharap agar lebih banyak lagi buruh
perlengkapan olahraga di Asia serta belahan-belahan dunia lainnya akan bebas untuk
menjalankan hak mereka untuk membentuk—dan masuk menjadi anggota—serikat buruh serta
melakukan langkah tawar kolektif untuk mendapatkan upah dan kondisi kerja yang layak.
76
Cuti menstrusi adalah hak yang sah berdasarkan hukum Indonesia.
Naskah selengkapnya dari Program Kerja yang diusulkan tersedia di website Clean Clothes Campaign
<www.cleanclothes.org/campaign/olympics2004-07-08.htm>.
78
Organisasi-organisasi yang terlibat dalam Play Fair Alliance meliputi ICFTU, ITGLWF, Clean Clothes Campaign dan
Oxfam.
77
58
Wawancara
1.1.1 — Wawancara kelompok dengan enam orang perempuan dari Pabrik C dan Pabrik D
(pemasok Nike), (peneliti Oxfam Australia), 3 Oktober 2003.
2.1.1 — Wawancara perorangan dengan buruh Anton Marcus, Sekretaris Bersama, Serikat
Pekerja Zona Perdagangan Bebas dan Layanan Umum (FTZ&GSEU), yang sebelumnya
bernama Serikat Buruh Zona Perdagangan Bebas (FTZWU) (Oxfam Australia, Petugas
Advokasi), 21 Juli 2005
2.2.1 — Wawancara kelompok dengan empat buruh perempuan yang juga anggota IU, Pabrik A
(peneliti Oxfam Australia), 12 Juli 2005
2.2.2 — Wawancara perorangan dengan seorang buruh yang juga anggota IU, Pabrik A (peneliti
Oxfam Australia), 12 Juli 2005
2.2.3 — Wawancara kelompok dengan tiga buruh perempuan yang juga anggota IU, Pabrik A
(peneliti Oxfam Australia), 11 Juli 2005
2.2.4 — Wawancara kelompok dengan dua buruh perempuan yang juga anggota IU, Pabrik A
(peneliti Oxfam Australia), 12 Juli 2005
2.2.5 — Wawancara perorangan dengan seorang buruh perempuan yang juga anggota IU,
Pabrik A (peneliti Oxfam Australia), Minggu, 28 September 2003
2.2.6 — Wawancara perorangan dengan seorang buruh yang juga anggota IU, Pabrik A (peneliti
Oxfam Australia), 12 Juli 2005
2.2.7 — Wawancara perorangan dengan seorang buruh perempuan yang juga anggota IU,
Pabrik A (peneliti Oxfam Australia), 12 Juli 2005
2.2.8 — Wawancara perorangan dengan seorang pekerja LSM setempat (peneliti Oxfam
Australia), 29 Agustus 2005
2.3.1 — Diskusi kelompok fokus selama tiga jam dengan 11 anggota serikat Perbupas cabang
Panarub (peneliti Oxfam Australia), 1 Oktober 2003.
2.3.2 — Diskusi kelompok fokus dengan tiga buruh (dua di antaranya perempuan) yang juga
anggota serikat Perbupas cabang Panarub (peneliti Oxfam Australia), 19 Agustus 2005.
2.3.3 — Wawancara dengan tiga pemimpin serikat cabang pabrik (dua di antaranya perempuan);
serikat Perbupas cabang Panarub (peneliti Oxfam Australia), 18 Agustus 2005.
2.3.4 — Wawancara dengan dua buruh perempuan yang juga anggota serikat Perbupas cabang
Panarub (peneliti Oxfam Australia), Agustus 2005 (wawancara).
2.3.5 — Wawancara dengan seorang lelaki dan seorang perempuan dari federasi Perbupas
(peneliti Oxfam Australia), Agustus 2005 (wawancara 3).
2.4.1 — Diskusi kelompok fokus selama dua jam dengan 6 pemimpin serikat (tiga perempuan
dan tiga laki-laki) dari serikat GSBI cabang Busana Prima Global (peneliti Oxfam Australia), 4
Oktober 2003.
2.4.2 — Diskusi kelompok fokus selama sembilan puluh menit dengan 6 anggota (semuanya
perempuan) serikat GSBI cabang Busana Prima Global (peneliti Oxfam Australia), 4 Oktober
2003.
2.7.1 — Wawancara dengan Somyot Pruksakasumsek dari Centre for Information, Services and
Training (CLIST), Thailand, oleh staf Oxfam Australia, 8 Oktober 2005
59
2.8.1 — Diskusi kelompok fokus selama dua jam dengan 20 anggota Serikat II cabang pabrik B
(peneliti Oxfam Australia), 2 Oktober 2003.
2.8.2 — Diskusi kelompok fokus selama dua jam dengan enam anggota Serikat II cabang pabrik
B (peneliti Oxfam Australia), 2 Oktober 2003.
2.8.3 — Diskusi kelompok fokus selama satu jam dengan enam anggota dan pemimpin Serikat II
cabang pabrik B (peneliti Oxfam Australia), 13 Oktober 2005
2.9.1 — Wawancara kelompok dengan tiga buruh, dua laki-laki dan satu perempuan, dari pabrik
PT Tae Hwa (peneliti Oxfam Australia), 24 Juli 2004.
60
Daftar Singkatan
CCC
ICFTU
TNC
ITGLWF
WFSGI
FLA
SBI
ETI
VLW
OI
UNIFEM
MFA
AS
ILO
SPN
GSBI
CSR
MSI
FTZ
CPA
FTZWU
TIE-Asia
BOI
ACILS
EU
GSP
CBA
MSU
IU
SAI
OECD
HR
IEM
WRC
SOE
adidas)
JPK
BPG
FFE
DL
VF
MSP
CLIST
TLRC
PFA
JO-IN
SEA
Clean Clothes Campaign
International Confederation of Free Trade Unions (Konfederasi Internasional
Serikat-serikat Buruh Bebas)
Transnational Corporation (Perusahaan Transnasional)
International Textile, Garment and Leather Workers’ Federation (Federasi
Internasional Buruh Tekstil, Garmen dan Kulit)
World Federation of Sporting Goods Industries (Federasi Industri-industri Barang
Olahraga se-Dunia)
Fair Labor Association (Asosiasi Perburuhan yang Adil)
Sport Brands International
Ethical Trading Initiative (Inisiatif Perdagangan yang Etis)
Vietnam Labor Watch
Oxfam International
United Nations Development Fund for Women (Dana Pembangunan PBB untuk
Kaum Perempuan)
Multi-Fibre Arrangement (Pengaturan Multi-Serat)
Amerika Serikat
International Labour Organisation (Organisasi Buruh Internasional)
Serikat Pekerja Nasional
Gabungan Serikat Buruh Independen
Corporate Social Responsibility (Tanggung jawab Sosial Korporat)
Multi-Stakeholder Initiative (Inisiatif Multi-Pihak)
Free Trade Zone (Zona Perdagangan Bebas)
Centre for Policy Alternatives (Pusat untuk Alternatif Kebijakan)
Free Trade Zones Workers Union (Serikat Buruh Zona Perdagangan Bebas)
Transnationals Information Exchange – Asia (Pertukaran Informasi
Transnasional-Asia)
Board of Investment (Dewan Penanaman Modal Srilanka)
American Centre for International Labor Solidarity (Pusat Amerika untuk
Solidaritas Buruh Internasional)
European Union (Uni Eropa)
Generalised System of Preferences (Sistem Pilihan yang Digeneralisasi)
Collective Bargaining Agreement (Kesepakatan Proses Tawar Kolektif)
Management-Supported Union (Serikat yang Didukung oleh Pihak Manajemen)
Independent Union (Serikat Independen)
Social Accountability International
Organisation for Economic Cooperation and Development (Organisasi untuk
Kerja sama dan Pembangunan Ekonomi)
Human Resources (Sumber Daya Manusia)
The FLA's Independent External Monitoring program (program FLA untuk
Pemantauan Eksternal Independen)
Worker Rights Consortium (Konsorsium Hak-hak Buruh)
Standards of Engagement (Standar-standar Ikatan Kerja – Kode Etik Pengaturan
Program jaminan kesehatan di pabrik PT Panarub
PT Busana Prima Global
Focus Far East
PT Daejoo Leports
VF Corporation
MSP Sportswear
Centre for Labour Information Service and Training (Pusat Layanan Informasi
dan Pelatihan Perburuhan)
Thai Labour Relations Committee (Komite Hubungan Perburuhan Thailand)
Play Fair Alliance (Aliansi Bermain Fair)
Joint Initiative on Corporate Accountability (Inisiatif Bersama tentang
Akuntabilitas Korporat)
Social and Environmental Affairs (Urusan Sosial dan Lingkungan - adidas)
61
CCM
Contractor Compliance Manual (Panduan Nike untuk Pemenuhan Kode Etik bagi
Pihak yang Dikontrak)
EPZ
Export Processing Zone (Zona Pemrosesan Ekspor)
TCFUA
Textile Clothing and Footwear Union of Australia (Serikat Pakaian, Tekstil dan
Perlengkapan Kaki - Australia)
TWARO
The Asian and Pacific Regional Organisation of the ITGLWF (Organisasi
Regional Asia-Pasifik ITGLWF)
62
Download