I. PENDAHULUAN Rumput laut Sargassum polycystum memiliki talus berwarna coklat, berukuran relatif besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar yang kuat. Talus menyerupai semak yang berbentuk simetris bilateral serta dilengkapi bagian sisi pertumbuhan. S. polycystum memiliki bentuk talus gepeng dengan banyak percabangan yang menyerupai pepohonan di darat. Bangun talus daun melebar, lonjong seperti pedang, memiliki gelembung udara umumnya soliter, batang utama bulat agak kasar, dan holdfast (bagian yang digunakan untuk melekat) berbentuk cakram. Pinggir daun bergerigi jarang, berombak, dan ujung melengkung atau meruncing. S. polycystum biasanya dicirikan oleh tiga sifat yaitu adanya pigmen coklat yang menutupi warna hijau, hasil fotosintesis terhimpun dalam bentuk laminaran dan alginat serta talusnya gepeng dibandingkan dengan jenis Sargassum yang lain (Tjondronegoro et al., 1989). Rumput laut S. polycystum di alam tumbuh dengan baik di daerah pasang surut atau daerah yang selalu terendam air sampai batas kedalaman 2,5 m. Pada kedalaman ini intensitas cahaya yang diterima oleh rumput laut masih mencukupi. Daerah pantai terumbu, merupakan habitat yang khas karena akan memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat berupa terumbu karang mati (Aslan, 2012). Rumput laut ini perlu dibudidayakan secara intensif karena keberadaannya di alam semakin berkurang dengan kebutuhan pasar yang semakin meningkat dalam penggunaan alginat. Kebutuhan alginat bagi industri di Indonesia masih menggunakan alginat impor dari China dalam jumlah yang cukup besar mencapai 1.169.034 kg dengan rata – rata 2.000 ton per tahun (Anggadireja, 2008). Kondisi fisik serta kimia perairan sangat menentukan keberhasilan rumput laut tumbuh. Kondisi perairan yang optimal maka pertumbuhan rumput laut maksimal dalam budidaya. Faktor lingkungan yang mempengaruhi budidaya rumput laut antara lain faktor fisika, kimia, dan biotik. Beberapa faktor fisika adalah suhu, intensitas cahaya, kedalaman dan arus. Faktor kimia meliputi salinitas, pH, dan nutrien, sedangkan faktor biotik meliputi ikan pemangsa maupun herbivora lainnya serta persaingan antar talus dalam mendapatkan nutrien (Anggadiredja, 2006). Keberhasilan budidaya juga dipengaruhi sistem penanaman yang digunakan atau diterapkan (Rasyid, 2004). Sistem penanaman dapat dilakukan dengan sistem tali tunggal dan sistem jaring. Budidaya dengan sistem tali tunggal memiliki kekurangan apabila pertumbuhannya sudah besar (2-3 minggu setelah tanam) biasanya talus rumput laut tersebut mudah patah dan hanyut terkena ombak maupun arus serta mudah rusak akibat 1 adanya predator seperti ikan. Sistem jaring dapat dilakukan dengan jaring tubuler dan jaring tabung (jaring bertingkat). Pada sistem jaring lebih praktis dan efisien menggunakan jaring tubuler, karena bibit lebih terlindungi. Keuntungan dari sistem jaring pertumbuhan rumput laut lebih baik, bebas dari serangan bulu babi dan bibit tidak mudah hilang. Kekurangan dari sistem jaring memerlukan banyak waktu untuk pembuatan jaring serta biaya yang tinggi. Pertumbuhan rumput laut juga ditentukan oleh mutu bibit. Bibit dapat diambil dari bagian talus yang muda atau tua, bisa juga diambil dari bagian talus ujung ataupun bagian talus pangkal. Perairan Nusakambangan Timur sampai saat ini belum dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut secara optimal. Keadaan perairan Nusakambangan Timur mempunyai substrat karang, serta mempunyai gelombang tidak terlalu besar, kedalaman air saat pasang mencapai 210 cm sedangkan saat surut 100 cm dapat digunakan untuk budidaya rumput laut, salinitas air laut berkisar antara 27 o/oo- 35 o/oo dengan pH berkisar 7-8 dan substrat dasar perairan berupa pasir dan lumpur sangat mendukung budidaya rumput laut. Berdasarkan uraian di atas maka muncul permasalahan : 1. Bagaimana pertumbuhan S. polycystum menggunakan bagian talus dengan sistem penanaman yang berbeda di perairan Nusakambangan Timur. 2. Bagian talus mana dan sistem penanaman apa yang menghasilkan pertumbuhan S. polycystum tertinggi di perairan Nusakambangan Timur. Berdasarkan permasalahkan tersebut muncul tujuan untuk : 1. Mengetahui pertumbuhan S. polycystum menggunakan bagian talus dengan sistem penanaman yang berbeda di perairan Nusakambangan Timur. 2. Menentukan bagian talus dan sistem penanaman yang menghasilkan pertumbuhan S. polycystum tertinggi di perairan Nusakambangan Timur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pertumbuhan Sargassum polycystum yang terbaik menggunakan bagian talus dengan sistem penanaman yang berbeda di Nusakambangan Timur. Hasil penelitian Arfah dan Papilla (2008), pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii pada sistem jaring tubuler mempunyai hasil tertinggi karena ruang tumbuh lebih luas bila dibandingkan dengan sistem tali tunggal. Menurut Nessa dan Sutika (1991), sistem jaring tabung memiliki ruang yang luas sehingga pertumbuhan rumput laut Gracilaria sp. lebih baik dibandingkan sistem jaring tubuler di Tambak, Sulawesi Selatan. Laju pertumbuhan G. gigas yang ditanam di perairan Selok Cilacap dengan sistem tubuler menghasilkan 918,79 g.m-2, sedangkan laju pertumbuhan dengan sistem tali tunggal rakit 526,67 g.m-2 (Widyartini dan Insan 2007). 2 Hasil penelitian Hapsari (2008), pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii tertinggi diperoleh dari penggunaan bagian talus ujung daripada bagian talus pangkal di Pantai Adipala, Cilacap. Menurut Rahayu dan Sutisna (2001), bibit yang diperoleh dari bagian talus ujung rumput laut mengandung hormon pertumbuhan auksin yang berperan dalam perpanjangan sel sedangkan pada bagian talus pangkal mengandung hormon pertumbuhan sitokinin berperan dalam pembelahan sel serta senyawa hasil fotosistesis. Pada penelitian ini dilakukan penanaman rumput laut Sargassum polycystum dengan menggunakan bagian talus dan sistem penanaman yang berbeda. Bagian talus yang digunakan yaitu bagian talus ujung dan bagian talus pangkal, sistem penanaman yang digunakan yaitu sistem tali tunggal, sistem jaring tubuler dan sistem jaring tabung. Parameter yang diukur berupa parameter utama yaitu bobot dan parameter pendukung yaitu suhu, salinitas, pH, kecerahan, nitrat dan fosfat. Berdasarkan landasan pemikiran yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagian talus dengan sistem penanaman yang berbeda dapat menghasilkan pertumbuhan S. polycystum yang berbeda di perairan Nusakambangan Timur. 2. Bagian ujung talus rumput laut dan sistem jaring tabung dengan menghasilkan pertumbuhan S. polycystum tertinggi di perairan Nusakambangan Timur. 3