1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, kerap bermunculan berbagai jenis penyakit. Diantaranya
gangguan kardiovaskular, kanker, penurunan sistem imun dan kerusakan otak
(Pervical, 1998). Munculnya penyakit tersebut dikarenakan terjadi kerusakan dan
stres oksidatif oleh radikal bebas hasil metabolisme tubuh (Balsano & Alisi, 2009;
Jacob & Burri, 1996). Radikal bebas memiliki elektron yang tidak berpasangan
sehingga bersifat sangat reaktif dan mudah bereaksi dengan molekul lain (Geckil
dkk., 2005; Halliwel & Gutteridge, 1999).
Secara alami, tubuh mampu mengendalikan radikal bebas karena memiliki
sistem pertahanan oksidatif. Akan tetapi, jika radikal bebas ini jumlahnya
berlebihan maka diperlukan senyawa antioksidan untuk mengatasinya (Halliwel,
2001). Antioksidan dapat menurunkan atau menghambat proses oksidasi dengan
menghentikan reaksi berantai oksidatif sehingga mampu melindungi tubuh dari
kerusakan oksidatif (Zengin dkk., 2010). Penggunaan antioksidan sintetik pada
suplemen makanan dan minuman dapat menimbulkan efek samping apabila
dikonsumsi terus menerus. Beberapa penelitian menunjukkan pemakaian
antioksidan sintetik dapat memicu karsinogenik dan menyebabkan kerusakan hati
(Amarowicz dkk., 2000; Osawa & Namiki, 1981).
Buah dan sayur merupakan antioksidan alami karena mengandung vitamin C
dan E, karotenoid, senyawa fenolik, flavonoid dan polifenol (Sies & Stahl, 1995;
1
2
Luo dkk., 2002; Vinson dkk., 1999; Preethi dkk., 2010). Konsumsi antioksidan
alami pada buah dan sayur mampu melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif dan
mengurangi resiko terjadinya penyakit kronis, seperti kanker (Jacob & Burri,
1996; Ghiselli dkk, 1998).
Senyawa fenolik dan flavonoid pada tanaman tersedia dalam bentuk glikosida
sedangkan sangat jarang dalam bentuk bebasnya (Annegowda dkk., 2010).
Glikosida flavonoid bersifat polar dan dapat diekstraksi dengan pelarut polar.
Rendahnya aktivitas antioksidan glikosida flavonoid dapat ditingkatkan dengan
hidrolisis. Prosedur hidrolisis dapat membebaskan aglikon flavonoid dari
glikonnya. Berdasarkan penelitian Tubesha dkk. (2011) aktivitas antioksidan dari
ekstrak metanol biji Nigella sativa meningkat setelah dihidrolisis dalam suasana
basa. Sedangkan menurut penelitian Sani dkk. (2012) aktivitas antioksidan ekstrak
Germinated Brown Rice (GBR) dengan metode ABTS dan ferri tiosianat
meningkat setelah GBR dihidrolisis basa sedangkan GBR terhidrolisis asam
memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dengan metode DPPH.
Penelitian yang dilakukan oleh Machwiyah (2012) menunjukkan adanya
perbedaan signifikan aktivitas antioksidan antara fraksi air ekstrak etanolik buah
mengkudu terhidrolisis 1 jam dan 3 jam. Perbedaan ini disebabkan oleh produk
hidrolisis yang dihasilkan. Kecepatan hidrolisis bergantung pada struktur aglikon,
derajat hidroksilasi, jenis gula dan posisi penempelan gula (Alaniya, 1977).
Buah talok atau Muntingia calabura L. tumbuh dengan baik di Indonesia,
tetapi pemanfaataannya belum dilakukan secara optimal. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Preethi dkk. (2010), buah talok memiliki aktivitas
3
antioksidan dan ekstrak metanol memiliki aktivitas antioksidan tertinggi
dibandingakan dengan ekstrak petroleum eter, kloroform, etil asetat, dan butanol.
Sedangkan aktivitas antioksidan ekstrak air buah talok lebih rendah dibandingkan
dengan ekstrak metanol, etanol dan aseton (Kolar dkk., 2011). Menurut Kanistri
(2012), fraksi air ekstrak etanolik buah talok memiliki aktivitas antioksidan
terendah dibanding fraksi etil asetat dan ekstrak etanolnya. Oleh karena itu, perlu
adanya
penelitian
dengan
prosedur
hidrolisis
pada
fraksi
air
untuk
membandingkan aktivitas antioksidannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah perlakuan hidrolisis pada fraksi air ekstrak etanolik buah talok dapat
meningkatkan aktivitas penangkapan radikal DPPH?
2. Bagaimana pengaruh hidrolisis asam dan hidrolisis basa pada fraksi air ekstrak
etanol buah talok terhadap aktivitas penangkapan radikal DPPH?
3. Bagaimana pengaruh waktu hidrolisis terhadap aktivitas penangkapan radikal
DPPH?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui pengaruh perlakuan hidrolisis pada fraksi air buah talok terhadap
aktivitas penangkapan DPPH.
2. Mengetahui pengaruh penangkapan radikal DPPH pada fraksi air terhidrolisis
asam dan fraksi air terhidrolisis basa.
4
3. Mengetahui pengaruh waktu hidrolisis terhadap aktivitas penangkapan radikal
DPPH.
D. TINJAUAN PUSTAKA
1. Talok (Muntingia calabura L.)
a. Taksonomi
Muntingia calabura L. memiliki nama daerah, seperti talok (Jawa),
cerri, dan kersen. Di berbagai negara lain talok sering disebut dengan
calabura (Brazil), kerukup siam dan buah ceri (Malaysia), calbura
(Portugis), ratiles (Filipina), takhop farang (Thailand) sedangkan nama
yang umum digunakan adalah Jamaican cherrry, Calabura, Jamfruit,
Singapore cheery.
Klasifikasi ilmiah talok menurut USDA (2014) :
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Dilleniidae
Famili
: Elaeocarpaceae
Genus
: Muntingia L.
Spesies
: Muntingia calabura L.
5
b. Morfologi
Talok merupakan tanaman berukuran kecil dengan tinggi 2 sampai 10
meter. Tanaman talok memiliki ranting yang ditutup rapat oleh rambut
halus dan rambut kelenjar. Daunnya berseling dengan ujung runcing
dengan pinggiran bergerigi, helai daun tidak simetris, berbentuk bulat
telur sampai berbentuk lanset, berukuran 4,5-14 cm x 1,5-4 cm dengan
tangkai daun pendek. Permukaan daun ditutupi oleh bulu-bulu halus
terutama di bagian bawah. Setiap 1 sampai 3 bunga berkelompok menjadi
satu pada ketiak daun. Bunga talok berbilangan lima dan berkelamin dua
(hermafrodit). Kelopak bunganya runcing seperti benang dengan rambut
halus. Daun mahkotanya berwarna putih berbentuk bulat telur terbalik
dengan panjang 8-11 mm. Kepala putik berlekuk terdiri dari 5 sampai 6
dan bakal buahnya bertangkai pendek, beruang 5 sampai 6 (van Steenis,
1975). Buah talok berbentuk bulat dengan diameter 1-1,25 cm, berwarna
merah terkadang berwarna kuning, kulit buah halus, tipis dan lembut.
Buah talok mengandung banyak air, memiliki rasa dan bau manis, biji
buah talok sangat kecil dan tersebar (Morton, 1987).
c. Kandungan kimia
Flavonoid, khalkon, sesquiterpen, dan senyawa fenolik berhasil
diidentifikasi pada berbagai tanaman talok (Nshimo dkk., 1993; Su dkk.,
2003). Khalkon, flavon dan muntingon (turunan flavonol) merupakan
flavonoid pada daun talok (Chen dkk., 2005) sedangkan pada akar dan
6
kulit batang talok dijumpai flavonoid sub kelas flavan dan flavon (Kaneda
dkk., 1991; Chen dkk., 2005).
Buah talok sendiri mengandung senyawa fenolik volatil dan nonvolatil, sesquiterpen, furanoid, antosianin dan flavonoid (Wong dkk.,
1996; Einbond dkk., 2004; Kubola dkk., 2011), sedangkan menurut
Morton (1987), tiap 100 gram buah talok mengandung air (77,8 gram),
protein (0,384 gram), lemak (1,56 gram), karbohidrat (17,9 gram), serat
(4,6 gram), abu (1,14 gram), kalsium (124,6 mg), fosfor (84,0 mg), zat besi
(1,18 mg), karoten (0,019 mg), thiamin (0,065 mg), riboflavin (0,037 mg),
niacin (0,554 mg) dan vitamin C (80,5 mg).
Gomathi dkk. (2013) berhasil mengidentifikasi 25 senyawa pada
ekstrak polifenol buah talok menggunakan kromatografi gas. Senyawa
yang berhasil diidentifikasi adalah sebagai berikut : 1,3,5-triazine-2,4,6
triimine, isoamyl asetat, 2,3-dihidro-3,5-dihidroksi-6-metil-4H-piran, asam
oktanoat, 2,3-dihidro-benzofuran, 1,2,3-propanetriol, monoasetat, asam nnonanoat, 1-desoksi-d-manitol, neophytadiena, (2E)-3,7,11,15-tetrametil2-heksadesen-1-ol, asam n-heksadekanoat, etil heksadekanoat, phytol,
asam siklopropanoktanoat, 2-etilsiklopropil metil ester, etil linoleat, etil
linolenat, etil stearat, asam oktanoat, 2-dimetilamino etil ester, asam 3siklopentil
propionat,
γ-tokoferol,
α-tokoferol,
kampesterol, stigmasterol dan γ-sitosterol.
β-koles-5-en-3-ol,
7
d. Manfaat
Menurut Morton (1987), buah talok yang sudah masak dapat dimakan
langsung atau dibuat menjadi selai dan daunnya dijadikan teh. Bunga talok
terbukti berkhasiat sebagai antiseptik, antispasmodik, insektisida, pereda
flu dan sakit kepala (Siddiqua dkk., 2010; Jensen, 1999; Verheij &
Coronel, 1992; Bandeira dkk., 2012), sedangkan daun talok memiliki
aktivitas sebagai antinosiseptif, antipiretik, antibakteri dan antiinflamasi
(Zakaria dkk., 2006; Zakaria dkk., 2007; Preethi dkk., 2012).
Buah talok dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan secara in vitro
yang berkorelasi dengan total fenolik dan total flavonoidnya (Preethi dkk.,
2010; Kolar dkk., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Kanistri (2012)
ekstrak etanol buah talok dan fraksinya memiliki aktivitas penangkapan
radikal DPPH dengan aktivitas terbesar pada fraksi etil asetat.
Ekstrak metanol buah talok merupakan agen antiinflamasi yang poten
pada tikus jantan galur Wistar dengan penginduksi karagenan (Preethi
dkk., 2012). Buah talok juga menunjukkan aktivitas sebagai larvasidal
terhadap Plutella xylostella (Bandeira dkk., 2012).
2. Flavonoid
Flavonoid pada tanaman dibuat dari asam aromatik fenilalanin dan tirosin
dan malonat (Harborne dkk., 1986). Struktur dasar flavonoid adalah inti flavan
dengan 15 atom karbon, tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6 (Pieta, 2000).
Umumnya flavonid terdapat pada tanaman sebagai derivat glikosilat dan
8
memberikan corak warna biru, merah dan orange pada daun, bunga dan buah
(Brouillard & Cheminat, 1988).
Gambar 1. Struktur kimia flavon dan sistem penomorannya (Brown dkk., 1998)
Glikosida flavonoid biasanya terdapat dalam bentuk flavonoid Oglikosida, yaitu gugus hidroksi flavonoid terikat pada satu gula atau lebih
dengan ikatan hemiasetal dan bersifat tidak tahan asam. Meskipun demikian
ada juga flavonoid C-glikosida, hanya saja bentuk glikosida ini jarang
ditemukan. Glikosida ini memiliki ikatan langsung antara gula dengan inti
benzena flavonoid, ikatan yang terjadi merupakan ikatan karbon-karbon dan
bersifat tahan asam (Markham, 1988).
Gambar 2. Scoparin merupakan salah satu flavonoid C-glikosida (Brito-Arias, 2007)
9
Gambar 3. Luteolin 7-O-glukuronida merupakan salah satu flavonoid O-glikosida
(Iwashina & Kokubugata, 2012)
Flavonoid memiliki peran sebagai pelindung dari adanya stress oksidatif
pada sel tumbuhan dengan menangkap reactive oxygen species (ROS),
menyerap sinar UV, menghambat enzim yang bertanggung jawab dalam
pembentukan anion superoksida serta mengkelat logam-logam penting pada
metabolisme oksigen (Harborne, 1994; Hanasaki dkk., 1994; Ursini dkk., 1994;
Pieta, 2000). Flavanoid juga merupakan agen penangkap radikal, baik secara in
vitro maupun in vivo dikarenakan rendahnya potensial redoks dan kemampuan
untuk mendonorkan beberapa elektron atau atom hidrogen (Yang dkk., 2008;
Lotio & Frei, 2006). Oleh karena itu, flavonoid merupakan sumber antioksidan
alami yang potensial bagi tubuh.
3. Radikal bebas
Menurut Soematmaji (1998) radikal bebas adalah suatu senyawa atau
molekul yang terdiri dari satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada
orbital luarnya. Adanya elektron tidak berpasangan menyebabkan senyawa
tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan
mengikat elektron molekul di sekitarnya sehingga bersifat tidak stabil (Fang
dkk., 2002).
10
Secara umum sumber radikal bebas dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
eksogen dan endogen. Radikal bebas eksogen berasal dari luar sistem tubuh,
seperti aktifitas lingkungan, sinar UV, bahan kimia dan lain-lain sedangkan
radikal bebas endogen berasal dari dalam tubuh, terbentuk melalui proses
autooksidasi,
oksidasi,
enzimatik,
fagositosis,
dan
transfer
elektron
(Rohmatusolihat, 2009). Di dalam tubuh radikal bebas dan senyawa reaktif
lainnya dihasilkan secara konstan dalam kondisi fisiologis maupun kondisi
patologis ( Evans & Halliwel, 2001; Halliwel, 2001).
Radikal bebas merupakan suatu oksidan, yaitu senyawa penerima elektron.
Beberapa contoh radikal bebas adalah reactive oxygen species (ROS) dan
reactive nitrogen species (RNS). ROS adalah senyawa turunan oksigen yang
sangat reaktif dibandingkan oksigen dalam bentuk triplet (diradikal). Senyawa
oksigen reaktif terdiri dari molekul oksigen tanpa pasangan elektron seperti
radikal hidroksil (.OH), radikal superoksida (.O2-), radikal peroksil (.O2R),
radikal alkoksil (.OR), radikal hidroperoksil (.OH2), radikal nitrit oksida (.ON),
dan radikal nitrogen dioksida (.O2N). ROS dan RNS dapat diubah menjadi
senyawa non-radikal tetapi berupa molekul reaktif, seperti hidrogen peroksida
(H2O2), asam hipoklorus (HOCl), dan anion peroksinitrit (ONOO-)3 (Fang
dkk., 2002; Fachir dkk., 2005). Radikal bebas tersebut dapat mengoksidasi
asam nukleat, protein, lemak, bahkan DNA sel dan menginisiasi timbulnya
penyakit degeneratif (Leong & Shui, 2002).
11
4. Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan.
Antioksidan mampu menetralkan radikal bebas dengan menghambat reaksi
oksidasi dan mengikat radikal bebas atau mencegah terbentuknya radikal bebas
sehingga tidak terjadi proses oksidasi (Sies, 1996; Percival, 1998).
Antioksidan dapat berupa enzim (misalnya superoksida dismutase (SOD),
katalase, dan glutation peroksidase), vitamin (misalnya vitamin E, C, A dan βkaroten), dan senyawa lain (misalnya flavonoid, albumin, bilirubin,
seruplasmin dan lain-lain) (Winarsi, 2007).
Antioksidan dapat didapatkan secara alami maupun sintetik. Antioksidan
alami dapat didapatkan dari tumbuhan, seperti buah, sayur dan antioksidan
endogen. Antioksidan endogen berupa enzim yang bekerja dengan mencegah
produksi radikal. Sedangkan antioksidan alami pada tumbuhan umumnya
berupa senyawa fenolik atau polifenol seperti flavonoid, turunan asam sinamat,
vitamin, kumarin dan asam-asam organik polifungsional (Pratt & Hudson,
1992).
Antioksidan sintetik dihasilkan dari proses sintesis secara kimiawi.
Antioksidan sintetik dapat ditemukan di pasaran dengan ijin atau tanpa ijin
penggunaan. Antioksidan sintetik seperti butylated hydroxyanisole (BHA),
butylated
hydroxytoluene
(BHT),
propyl
gallate
(PG)
dan
ter-
butylhydroquinone (TBHQ) dibolehkan terdapat pada makanan (Shahidi, 2000;
Buck & Edwards, 1997). Tetapi ada juga antioksidan alami seperti tokoferol
dan askorbat yang dibuat secara sintetik dan diijinkan penggunaannya oleh
12
BPOM.
Penggunaan antioksidan sintetik perlu diperhatikan karena dalam
dosis tinggi dapat menyebabkan hilangnya sifat antioksidan dan bersifat toksik
sehingga dapat menimbulkan aktivitas peroksidan dan dapat merusak DNA
(Barlow, 1990).
5. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan dua zat atau lebih dengan pelarut
yang tidak saling campur, baik itu dari zat cair atau zat padat ke cair (Harborne,
1987). Tujuan dari ekstraksi adalah memperoleh senyawa terapeutik dan
menghilangkan bahan inert dengan pelarut selektif.
Ekstraksi dibagi menjadi dua macam, yaitu ekstraksi cair-cair dan
ekstraksi padat cair. Metode ekstraksi meliputi ekstraksi secara panas, secara
dingin serta distilasi dengan uap. Ekstraksi secara panas menggunakan soxhlet,
refluks, infundasi sedangkan ekstraksi secara dingin, seperti maserasi dan
perkolasi (Anonim, 2000).
Maserasi merupakan proses perendaman serbuk kasar dengan pelarut
tertentu dan disimpan pada suhu kamar setidaknya tiga hari. Maserasi
dilakukan dengan pengadukan teratur sampai bahan dapat terlarut sempurna.
Teknik ini cocok untuk senyawa yang tidak tahan panas (Harborne, 1987).
Prinsip teknik pemisahan secara maserasi adalah like dissolve like dimana
pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut nonpolar akan
melarutkan senyawa nonpolar. Oleh karena itu, pemilihan pelarut sangat
berpengaruh terhadap hasil ekstraksi. Pemilihan pelarut harus memperhatikan
selektivitas, sifat pelarut dan kemampuan mengekstraksi, tidak toksik, mudah
13
diuapkan dan relatif murah (Agoes, 2007). Kemampuan menyari senyawa
bioaktif tergantung pada waktu ekstraksi, suhu, rasio sampel dan pelarut (Dai
& Mumper, 2010).
Keuntungan ekstraksi dengan maserasi adalah proses dan peralatannya
sederhana sedangkan kekurangan dari metode ini adalah membutuhkan waktu
relatif lama dan dapat mengalami kejenuhan (Anonim, 1995).
6. Hidrolisis
Hidrolisis merupakan pemecahan ikatan kimia akibat adanya reaksi oleh
air (Cairns, 2004). Hidrolisis glikosida flavonoid dapat dilakukan dengan tiga
metode yaitu hidrolisis asam, hidrolisis basa dan hidrolisis dengan bantuan
enzim (Markham, 1988). Ketiga metode hidrolisis tersebut memiliki kegunaan
masing-masing.
Hidrolisis asam banyak digunakan untuk melepaskan residu gula terikat
dan aglikon flavonoid. Hidrolisis enzim digunakan untuk mengidentifikasi gula
spesifik dan posisi ikatan, sedangkan hidrolisis basa digunakan untuk
menghilangkan asam ester organik pada flavonoid (Tomas-Barberan &
Farreres, 2012). Pemilihan metode hidrolisis didasarkan pada bentuk glikosida
flavonoid, gula penyusun glikosida dan tempat berikatan gula dengan aglikon
(Bohm, 1998).
Perbedaan kecepatan hidrolisis glikosida bergantung pada jenis gula dan
tempat berikatan gula dengan aglikon (Bohm, 1998). Harborne (1965)
mengkategorikan glikosida menjadi 3 kategori yaitu mudah dihidrolisis, lambat
dihidrolisis dan tahan asam. Glikosida seperti 3-O-glukosida sangat mudah
14
dihidrolisis, proses hidrolisis hanya membutuhkan waktu 6 menit, kuersetin 3O-glukoronida termasuk glikosida lambat terhidrolisis dengan waktu hidrolisis
sampai 1 jam sedangkan kategori tahan asam seperti kuersetin 7-O-glukoronida
perlu dihidrolisis selama 3 jam (Bohm, 1998).
Litvinenko & Makarov (1969) membedakan glikosida menjadi dua, yaitu
stabil dan labil terhadap suasana basa. Glikosida fenolik, glikosida enolat dan
glikosida alkohol dengan grup aseptor pada posisi β merupakan glikosida yang
sensitif terhadap suasana basa, sedangkan glikosida jenis kedua adalah
glikosida dengan struktur karbohidrat sederhana dan mudah dilepaskan.
7. Aktivitas antioksidan dengan metode DPPH
Uji aktivitas antioksidan metode DPPH adalah uji penangkapan radikal
2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) oleh antioksidan. Prinsip dasar pada uji
ini adalah adanya perubahan warna radikal DPPH. Elektron bebas radikal
DPPH akan berpasangan dengan hidrogen antioksidan sehingga membentuk
senyawa DPPH-H. Radikal DPPH berwarna ungu dan akan berubah menjadi
kuning saat tereduksi menjadi non radikal (Molyneux, 2004). Perubahan warna
ini ditunjukkan dengan adanya penurunan absorbansi pada panjang gelombang
517 nm (Brand-Williams dkk., 1995).
DPPH merupakan radikal bebas stabil dan sering digunakan untuk
penenelitian aktivitas penangkapan radikal pada senyawa fenolik (BrandWilliams dkk., 1995; Blois, 1958).
15
Gambar 4. Reaksi penangkapan radikal DPPH (Behrendorff dkk., 2013)
Metode DPPH mudah, cepat, sederhana, murah dan dapat digunakan untuk
mengukur kapasitas antioksidan (Prakash, 2001). Pengukuran aktivitas
antioksidan menggunakan metode DPPH memiliki keterbatasan yaitu radikal
DPPH berinteraksi dengan radikal lainnya dan kurva respon waktu untuk
mencapai kondisi tunak tidak linier dengan rasio antioksidan/DPPH (BrandWilliams dkk., 1995; Sanchez-Moreno dkk., 1998). DPPH hanya dapat larut
dalam pelarut organik dan adanya gangguan absorbansi dari senyawa bahan uji
dapat menjadi masalah pada analisis kuantitatif (Armao, 2000).
Parameter untuk menunjukkan aktivitas antioksidan metode DPPH adalah
harga efficient concentration (EC50) atau inhibitory concentration (IC50). EC50
atau IC50 adalah konsentrasi antioksidan yang menyebabkan 50% DPPH
kehilangan karakter radikal. Aktivitas antioksidan tinggi ditunjukkan dengan
harga EC50 atau IC50 yang rendah (Molyneux, 2004).
8. Spektrofotometri UV-VIS
Sebagian besar molekul organik dan gugus fungsional besar bersifat
transparan pada spektra elektromagnetik daerah ultraviolet (UV) dan tampak
16
(VIS) dengan panjang gelombang 190 nm sampai 800 nm. Panjang gelombang
untuk sinar UV antara 200-400 nm sementara sinar VIS mempunyai panjang
gelombang 400-800 nm. Absorbsi pada daerah sinar UV dan sinar VIS pada
spektrum elektromagnetik sesuai untuk transisi antar level energi elektronik
dan berguna untuk informasi analitik senyawa organik maupun inorganik
(Kealey & Haines, 2002).
Prinsip kerja spektrofotometer UV-VIS adalah sinar/cahaya dilewatkan
pada larutan sampel dan akan menghasilkan spektra (Kealey & Haines, 2002).
Apabila cahaya mengenai molekul senyawa dalam sampel maka sebagian dari
cahaya tersebut akan diserap oleh molekul. Suatu molekul menyerap sinar UV
atau VIS pada panjang gelombang yang berbeda-beda tergantung pada struktur
elektronik molekul tersebut (Fessenden & Fessenden, 1985). Hukum LambertBeer digunakan sebagai dasar dalam analisis kuantitatif pada spektrofotometri
UV/VIS (Kealey & Haines, 2002).
Gugus fungsional molekul organik mampu menyerap radiasi sinar UV
maupun sinar tampak disebut dengan kromofor (Kealey & Haines, 2002).
Kromofor terdiri dari ikatan rangkap berselang-seling (ikatan rangkap
terkonjugasi) dan mempengaruhi panjang gelombang maksimum molekul
organik. Semakin panjang ikatan rangkap terkonjugasi maka semakin mudah
menyerap cahaya. Selain kromofor, adanya gugus auksokrom pada kromofor
akan mempengaruhi panjang gelombang tetapi tidak ikut menyerap energi
cahaya (Cairns, 2004).
17
9. Kromatorafi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) termasuk dalam kromatografi planar,
merupakan kromatografi paling sederhana dan banyak digunakan di antara
jenis kromatografi lainnya (Sherma & Fried, 2003). KLT terdiri dari fase diam
dan fase gerak (Spangenberg dkk., 2010). Selama proses pengembangan
kromatografi, campuran akan dipisahkan berdasarkan interaksi antara fase
diam dan fase gerak. Interaksi antara fase diam dan fase gerak dapat berupa
adsorbsi maupun partisi (Spangenberg dkk., 2010 ). Komponen akan terpisah
sesuai dengan perbedaan tingkat kepolaran, komponen dengan afinitas besar
terhadap fase gerak atau afinitasnya lebih kecil terhadap fase diam akan
bergerak lebih cepat dibandingkan komponen dengan sifat sebaliknya (Gritter
dkk, 1991). Oleh karena itu, pemilihan fase diam dan fase gerak sangat penting
untuk dipertimbangkan. Plat silika gel 60 F254 merupakan fase diam yang
banyak digunakan untuk KLT. Pemilihan fase gerak perlu memperhatikan
polaritas dan kekuatan elusinya karena fase gerak akan mempengaruhi
distribusi analit pada fase diam.
Pada KLT, pemisahan masing-masing komponen dinyatakan dengan
faktor retardasi atau faktor perlambatan (nilai Rf). Nilai Rf merupakan
perbandingan antara jarak tempuh analit terhadap jarak tempuh fase gerak
(Braithwaite & Smith, 1999).
KLT dapat digunakan untuk tujuan preparatif dan kuantitatif tetapi KLT
kuantitatif kurang teliti bila dibandingkan dengan sistem kromatografi lainnya
(Gritter dkk, 1991). Analisis kualitatif pada KLT menggunakan parameter nilai
18
Rf. Dua senyawa dikatakan identik bila mempunyai nilai Rf sama dalam
kondisi pengukuran sama.
E. LANDASAN TEORI
Menurut penelitian sebelumnya buah talok (Muntingia calabura L.) terbukti
memiliki aktivitas antioksidan (Preethi dkk., 2010). Aktivitas antioksidan buah
talok dihubungkan dengan adanya senyawa fenolik dan flavanoid. Aktivitas
antioksidan buah talok sangat bervariasi tergantung dari kepolaran penyari yang
digunakan. Pada pelarut polar seperti air aktivitas antioksidannya cenderung kecil.
Hal ini berhubungan dengan bentuk flavanoid. Aglikon flavonoid bersifat lebih
non polar daripada bentuk glikosidanya. Oleh karena itu, aglikon flavonoid dapat
tersari pada pelarut non polar atau semi polar sedangkan glikosidanya tersari pada
pelarut polar.
Mengacu pada beberapa penelitian, perlakuan hidrolisis pada ekstrak tanaman
mampu meningkatkan aktivitas antioksidan. Hidrolisis akan memisahkan residu
gula dari aglikon flavonoid. Hidrolisis dapat dilakukan dalam kondisi asam, basa
maupun dengan bantuan enzim. Perbedaan cara hidrolisis berpengaruh pada
aglikon flavonoid terbebaskan. Hidrolisis asam mampu membebaskan aglikon
flavonoid dan residu gula sedangkan hidrolisis basa menghilangkan asam ester
organik flavonoid. Adanya perbedaan aglikon flavonoid terbebaskan akan
berpengaruh terhadap aktivitas antioksidannya.
Lamanya
prosedur
hidrolisis
juga
mempengaruhi
aglikon
flavonoid
terbebaskan. Flavonoid mudah terhidrolisis membutuhkan waktu relatif cepat
19
untuk memisahkan gula dengan aglikon flavonoidnya. Ketika dilakukan hidrolisis
dalam waktu lebih lama, maka kemungkinan akan terjadi degradasi atau hidrolisis
lanjutan, sedangkan untuk flavonoid yang sulit dihidrolisis akan membutuhkan
waktu relatif lama untuk memisahkan residu gula dengan aglikon flavonoidnya
F. HIPOTESIS
1.
Perlakuan hidrolisis pada fraksi air akan meningkatkan aktivitas penangkapan
radikal DPPH.
2.
Fraksi air terhidrolisis asam dan fraksi air terhidrolisis basa memiliki aktivitas
penangkapan radikal DPPH berbeda.
3.
Fraksi air yang dihidrolisis selama 1 jam dan 3 jam memiliki aktivitas
penangkapan radikal DPPH berbeda.
Download