BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kaca dalam kehidupan sehari-hari sangat luas penggunaannya sehingga banyak penelitian yang mengembangkan mengenai modifikasi substrat kaca dari kaca konvensional menjadi kaca fungsional. Kaca konvensional dalam penggunaannya membutuhkan pembersihan secara berkala untuk mempertahankan sifat optiknya. Namun, jika kaca tersebut terdapat di ketinggian tertentu maka terdapat resiko kecelakaan dalam proses pembersihannya. Kaca fungsional memiliki keunggulan sifat, yaitu: (i) stabil terhadap kerusakan mekanis, (ii) anti bakteri, anti jamur dan anti UV, (iii) tidak mudah kotor dan mudah dibersihkan. Salah satu aplikasi material yang bersifat superhidrofobik adalah kaca swabersih (Puzenat dan Pichat, 2003). Kaca swabersih merupakan kemampuan suatu kaca untuk menjaga permukannya tetap bersih. Aplikasi kaca swabersih pada kaca jendela rumah atau bangunan tinggi memiliki keuntungan tersendiri yaitu tidak perlu dilakukan pembersihan kaca secara periodik. Aplikasi kaca swabersih pada sel surya dapat berperan dalam memaksimalkan intensitas cahaya matahari yang diterima oleh sel karena debu-debu yang menempel dapat lebih mudah untuk dibersihkan. Fenomena alam yang memiliki sifat hidrofobisitas yaitu terdapat pada sayap burung, kaki nyamuk, kaki kadal dan kubis, sedangkan contoh fenomena alam yang bersifat superhidrofobik yaitu pada daun Nelumbo nucifera (teratai). Berdasarkan mikroskop elektron, permukaan kasar daun teratai memiliki ukuran sekitar 20-40 µm (Ramezani dkk., 2014). Fenomena daun teratai yang memiliki sifat superhidrofobik yaitu jika terkena air maka permukaan daun tidak basah, melainkan tetesan air tersebut akan berbentuk bulatan dengan sudut kontak lebih dari 150 °. Hidrofobisitas suatu permukaan dapat ditentukan dari besarnya sudut kontak air (water contact angle, WCA), yaitu sudut antara tetesan air dengan permukaan suatu benda pada suatu garis kontak (Mahltig dan Bottcher, 2002). Sudut kontak air pada permukaan material lebih dari 90 °, maka permukaan material 1 2 disebut dengan permukaan hidrofobik (Feng dkk., 2002). Jika sudut kontak air melebihi 150 °, maka material tersebut bersifat superhidrofobik (Yoshimitsu dkk., 2002). Sifat hidrofobisitas dapat diperoleh jika permukaan memiliki dua sifat fisik yaitu permukaan yang kasar dan energi permukaan yang rendah. Ukuran kekasaran secara khusus untuk permukaan superhidrofobik yaitu dalam skala mikro dan nano. Film superhidrofobik dibuat dengan cara permukaannya dibuat kasar dari material yang energi permukaannya rendah atau memodifikasinya dengan senyawa yang memiliki energi permukaan yang rendah (Latthe dkk., 2010). Metode sol-gel merupakan metode sintesis material anorganik dan polimer yang mampu mengolah material tersebut membentuk partikel nano, lapis tipis, serat atau material ruahnya (Brinker dan Scherer, 1990). Keuntungan metode ini adalah efisien, murah dan dapat dilakukan pada tekanan atau temperatur rendah untuk membuat film pada permukaan kasar. Metode ini dapat dilakukan untuk mendapatkan film yang hidrofobik. Pelapisan silika biasanya menggunakan metode sol-gel karena dapat dihasilkan permukaan yang kasar pada beberapa oksida seperti silika, alumina dan titania (Roig dkk., 2004 dan Tadanaga dkk., 1997). Teknik lapis demi lapis (layer-by-layer, LbL) merupakan teknik sederhana dan murah untuk membuat film lapis tipis dengan cara mendeposisi lapisan dan pertukaran muatan. Hal ini terjadi dengan adanya interaksi elektrostatik dan ikatan kovalen untuk membentuk multilayer. Keuntungan dari teknik LbL yaitu memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengontrol ketebalan film. Teknik LbL telah banyak digunakan dalam membuat lapisan hidrofobik dengan permukaan kasar (Mohamed dkk., 2014). Reaksi sililasi didefinisikan sebagai pengikatan gugus trialkilsilan (R3Si-) yang didahului dengan hidrolisis halidanya untuk membentuk silanol, kemudian silanol-silanol mengalami kondensasi menghasilkan siloksan (Steven, 1990). Salah satu cara untuk modifikasi permukaan kimia agar terbentuk permukaan yang hidrofobik yaitu dengan menggantikan hidrogen dari silanol dengan beberapa gugus organik. Sililasi terbentuk diatas permukaan film silika, yang dapat dikontrol konsentrasi dan kondisi prosesnya. Hasilnya, silanol yang ada pada permukaan 3 akan berubah menjadi gugus metilsilil dan perlakuan ini yang akan mengubah aktifitas permukaan (Latthe dkk., 2010). Kaca yang dilapisi menggunakan tetraetoksisilan (TEOS) sebagai sumber silika dan agen modifikasi dapat membuat permukaan kaca menjadi hidrofobik dan memiliki efek swabersih. Namun penggunaan TEOS sangat tidak efektif jika digunakan pada industri skala besar karena harganya yang tinggi. Setyawan dkk. (2010) menggunakan waterglass sebagai sumber silika karena memiliki tingkat stabilitas yang hampir sama dengan lapisan hidrofobik yang menggunakan TEOS. Penggunaan SiO2 sebagai matriks penghubung diharapkan agar struktur dari TMCS dapat mengarah ke permukaan kaca. Kalapathy dkk. (2000) telah mengembangkan metode sederhana dan berenergi rendah dalam membuat sol silika dengan memanfaatkan sifat amorf silika yang terkandung dalam abu sekam padi. Berdasarkan komposisi kimia bahwa komponen utama dalam abu sekam padi yaitu silika (94,5%), maka dengan metode sol-gel yang dilakukan oleh Kalapathy dkk. (2000) dapat dibuat sol natrium silikat (Na2SiO3) sebagai sumber silika yang akan dilapiskan pada kaca. Pembuatan silika dari sekam padi lebih menguntungkan dibandingkan dengan menggunakan waterglass karena lebih ekonomis dengan memanfaatkan limbah sekam padi dimana pemanfaatannya masih terbatas sebagai bahan penggosok dan campuran pembuatan genteng atau bata yang dilakukan secara konvensional (Sriyanti dkk., 2004). Pada penelitian ini dilakukan pembuatan film TMCS-SiO2 pada permukaan kaca melalui teknik deposisi lapis celup. Trimetilklorosilan memiliki sifat lebih ramah lingkungan yang bertujuan untuk menggantikan senyawa fluor sebagai agen hidrofobisitas kaca. Struktur hidrokarbon dari TMCS diharapkan dapat menurunkan energi permukaan film sehingga dapat dihasilkan kaca yang bersifat hidrofobik. Penggunaan SiO2 dari sekam padi bertujuan sebagai matriks penghubung antara TMCS dengan permukaan kaca. Analisis %T UV-Vis digunakan untuk memperoleh nilai transmitansi dari kaca. Citra AFM digunakan untuk mengetahui tingkat kekasaran lapisan dan topografi permukaan kaca. 4 Pengukuran sudut kontak air digunakan untuk menguji hidrofobisitas dari kaca tersebut. I.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan film hidrofobik transparan SiO2-TMCS dengan dua teknik (satu tahap dan LbL) dan memiliki ketahanan yang baik. Dua variabel yang akan dilakukan yaitu: 1. Mempelajari pengaruh perbandingan mol TMCS/SiO2 terhadap sifat hidrofobisitas kaca. 2. Mempelajari pengaruh penambahan lapisan pada film SiO2-TMCS terhadap hidrofobisitas dan transparansi kaca. I.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi baru serta menjadi rujukan dalam pengembangan dan preparasi kaca superhidrofobik yang mudah, aman dan ramah lingkungan.