KEPEMILIKAN HARTA BAGI PEREMPUAN: STUDI PERSPEKTIF ULAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KELUARGA A Jamil STAIN Jurai Siwo Metro E-mail : [email protected] Abstrak Dalam Islam pada prinsipnya tidak ada penyatuan harta dalam keluarga, antara suami isteri masing-masing mempunyai hak memiliki, mengelola dan menggunakan harta miliknya secara bebas dan mandiri. Saat terjadi perselisihan, maka menjadi penting untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa hak kepemilikan dalam keluarga menurut para ulama dan pemikiran siapa yang lebih tepat dalam kontek kekinian dan ke Indonesiaan.Melalui pendekatan kualilatif data hasil kajian kitab-kitab fiqih dideskripsikan dan dianalisis dengan memperhatikan situasi dan kondisi sosial keagamaan pada saat dan di mana pemikiran tersebut dilahirkan. Data yang akan dihimpun berupa konsep atau pemikiran para ulama berkaitan dengan penyelesaian sengketa harta dalam keluarga. sumber datanya adalah dokumentasi dari karya-karya fuqaha yang dideskripsikan secara kritis. Hasil penelitian dari beragam pemikiran mengenai penyelesaian sengketa hak kepemilikan antara suami isteri, pemikiran Syâfi’î lebih rasional dan realistis sejalan dengan hak-hak perempuan yang sama dengan hakhak laki-laki, termasuk hak kepemilikan, terutama dalam kontek kekinian dan ke Indonesiaan, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja dalam berbagai profesi sehingga sangat memungkin laki-laki memiliki barang-barang yang biasanya dimiliki oleh perempuan dan sama dengan perempuan yang profesinya sebagai pengusaha, politisi, pengacara bisa memiliki barang-barang yang biasanya dimiliki oleh laki-laki. Kata kunci : Harta Bersama, Sengketa, Hak Kepemilikan Abstract In Islam in principle there is no unification of property within the family, between the husband and wife each have the right to have, managing and using his possessions freely and independently. In the event of a dispute, then it becomes important to know how dispute resolution rights ownership in the family according to the scholars and thought who is more appropriate in the context of the present and to the Indonesiaan. Through kualilatif approach to the results of the study data books of Fiqh is described and analyzed by observing the situation and religious social conditions at the time and where the idea was born. Data will be compiled in the form of concepts or thoughts of the scholars associated with the resolution of disputes within the family treasures. the source of data is the documentation of the works has been described critically fuqaha. Research results from a variety of thoughts on proprietary rights dispute resolution between husband and wife, thinking Syâfi'î more rational and realistic in line with women's rights equal to the rights of men, including property rights, especially in the context of the present and to 1 Indonesiaan, where men and women are equally working in various professions so it is possible the man had the goods that typically owned by women and women who are equal to his profession as an entrepreneur, politicians, attorneys can have items which are usually owned by men. Keywords : Shared Property, Disputes, Property Rights Pendahuluan Islam sebagai agama yang universal mengharuskan kepada setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan untuk bekerja dan berusaha mencari harta sebagai upaya mempertahankan hidup dan kehidupannya. Banyak ayat dan hadis yang memberikan isyarat dalam masalah bekerja dan berusaha; di antaranya QS. An-Nisâ` [4]: 32 sebagai berikut : للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب ممااكتسبن Bersamaan keharusan mencari harta, Islam menjelaskan jenis-jenis harta yang boleh dimiliki dan dikuasai disertai petunjuk cara memperoleh dan menggunakan harta yang telah dimiliki, sehingga tidak terjadi kepemilikan dan penggunaan harta dengan cara yang tidak benar. Ayat di atas menandaskan tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam berusaha dan memiliki hasil usahanya, baik perempuan tersebut masih sendiri maupun berada dalam ikatan suaminya. Artinya dalam Islam pada prinsipnya tidak ada penyatuan harta dalam keluarga. Masingmasing mempunyai hak dan kewenangan atas hartanya, meskipun berada dalam ikatan perkawinan. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan apabila suami isteri menghendaki dan sepakat adanya penyatuan harta. Sebaliknya jika terjadi perselisihan, antara suami isteri mengenai harta dalam keluarga di kalangan ulama belum ada kesepakatan tentang penyelesaiannya. Menurut sebagian ulama isteri hanya memperoleh barangbarang yang pantas dan biasanya digunakan oleh perempuan. Ada juga yang menyatakan bahwa harta yang disengketakan dibagi dua antara suami isteri, jika keduanya sama-sama tidak mempunyai bukti. Teori lain menyebutkan bahwa harta yang pantas untuk laki-laki, menjadi milik suami, harta yang pantas untuk 2 perempuan menjadi milik isteri, sedangkan harta yang pantas untuk laki-laki dan pantas juga untuk perempuan menjadi milik bersama. Dengan demikian, jika terjadi perselisihan antara suami isteri mengenai harta dalam keluarga, di kalangan ulama belum ada kata sepakat melainkan masih beragam. Beragamnya pemikiran ulama mengenai penyelesaian sengketa hak kepemilikan dalam keluarga ini menarik untuk dikaji, sehingga dapat diketahui secara jelas bagaimana pemikiran-pemikiran yang ada tentang penyelesaian sengketa hak kepemilikan dalam keluarga dan pemikiran mana yang lebih tepat dan lebih sesuai dengan kontek kekinian dan ke-Indonesiaan. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, penelitian ini hanya akan mengkaji bagaimana penyelesaian sengketa hak kepemilikan dalam keluarga menurut para ulama dan pemikiran siapa yang lebih tepat dalam kontek kekinian dan ke-Indonesiaan. Fokus penelitian: ”Bagaimana penyelesaian sengketa hak kepemilikan dalam keluarga menurut para ulama dan pemikiran siapa yang lebih tepat dalam kontek kekinian dan ke Indonesiaan”? Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, yakni penelitian yang dilakukan dengan cara menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diteliti seperti apa adanya diikuti dengan interpretasi rasionl.1 Dengan demikian penelitin penelitian ini dilakukan dengan cara memaparkan data hasil kajian dan tela`ah terhadap pemikiran yang tertuang dalam kitab-kitab yang dijadikan rujukan dengan memperhatikan situasi dan kondisi sosial keagamaan pada saat dan dimana pemikiran tersebut dilahirkan. Sumber data yang terdiri dari bahan primer, bahan skunder, dan bahan tersier adalah dokumentasi, berupa buku atau kitab-kitab yang berkaitan dengan permasalahan atau fokus masalah yang diteliti. Di antara sumber data primer adalah buku atau kitab yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah : (1) Kitab al-Ahwâl asy-Syakhshiyyah, karya Muhammad Abû Zahrah, (2) Kitab Syarh asy-Syarî’ah fî al-Ahwâl asy-Syakhshiyah, karya Muhammad Zaid al 1 Soejono, dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Reneka Cipta, 1997), h, 23 3 Bayâni, (3) Kitab al-Umm, karya Imâm Asy-Syâfi`î dan (4) Kitab Al-Mabsûth, karya As-Sarkhâs. Pembahasan 1. Pengertian Kepemilikan Kepemilikan adalah kekhususan yang memungkinkan seseorang menggunakan dan memanfaatkan sesuatu benda, kecuali jika ada halangan syara’ yang mencegahnya.2 Dengan demikian kepemilikan berarti penguasaan seseorang terhadap sesuatu benda yang memungkinkan pemiliknya bertindak hukum atas benda tersebut selama tidak ada halangan syara` dan menyebabkan orang lain terhalang untuk bertindak hukum atas benda tersebut. Harta adalah setiap sesuatu yang dimungkinkan dimiliki seseorang dan dapat diambil manfaatnya dalam keadaan biasa3. Dapat juga berarti segala sesuatu yang mungkin dapat diperoleh dan disimpan serta dapat diambil manfaatnya dalam keadaan biasa4. Dengan demikian harta adalah segala sesuatu yang mungkin dapat diperoleh, dimiliki dan disimpan oleh seseorang serta dapat diambil manfaatnya secara wajar. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan harta oleh seorang perempuan yang memungkinkannya untuk bertindak hukum selama tidak ada halangan syara’ serta menyebabkan orang lain terhalang untuk bertindak hukum atas harta tersebut. 2. Dasar Kepemilikan Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kepemilikan, perempuan mempunyai hak kepemilikan sebagaimana laki-laki 2Ali al-Khafifi, Mukhtashar Ahkâm al-Mu’âmalah asy-Syarî’ah, (Kairo: Maktabah as-Sunnah, 1952), h. 9. Baca Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhityar Baru Van Hove, 1996), jilid 4, h. 1176. Bandingkan dengan Muhammad Musthâfâ Salabî, Al-Madkhal fî at-Ta`rîf bi alFiqh al-Islâmi wa Qawâ`id al-Milkiyah aw al-Uqûd fih, (Iskandariyah: Dâr at-Ta`lîf, 1380H/1960M), h. 246 3 Muhammad Yûsuf Mûsâ, Al-Fiqhu Al-Islâmî Madkhâl lî Dirâsah Nidhâm al-Mu`âmalah fih, (Mesir: Dâr al-Kitâb al-Hadîts, 1375H/1956M). h, 251 4 Muhammad Mushthafa Syalabi, Al-Madkhal fî at-Ta`rîf, h. 239 4 memiliki hak kepemilikan. Adapun dasar kepemilikan antara lain QS. AnNisa` [4]: 7 dan 32, yang artinya: "...bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan..."5 ”Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedkit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan"6 Kedua ayat ini menegaskan bahwa perempuan mempunyai hak memiliki terhadap harta, baik yang didapatkan dari hasil usaha sendiri maupun diperoleh melalui warisan, karena tidak ada perbedaan dalam hal waris ini apakah dia masih anak-anak atau sudah dewasa, laki-laki atau perempuan, sudah berkeluarga atau belum berkeluarga. Mereka berhak mendapatkan harta peninggalan kedua ibu-bapak serta kerabatnya. Demikian juga mengenai kewajiban zakat ditujukan bagi laki-laki dan perempuan yang mempunyai harta, dan berlaku bagi seluruh jenis zakat, tidak ada pengecualian apakah laki-laki atau perempuan sama-sama harus mengeluarkan zakat. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 110 yang artinya : "Dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat"7. Demikian juga surat QS. At-Taubah [9]: 103 yang artinya : "Ambillah zakat dari sebagaian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…" 8 Berdasarkan ayat-ayat di atas jelaslah bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam hak kepemilikan, baik perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan dengan suaminya ataukah masih berada dalam pengawasan orang tua 3. Hak Kepemilikan Menurut hukum Islam isteri meskipun berada dalam ikatan perkawinan dengan suaminya tetap memiliki hak kepemilikan dan suami tidak boleh menggunakan milik isterinya tanpa seizin isteri. Hal ini berarti Departemen Agama, Al Qur`an dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al Qur`an, 1971), h. 122 6 Ibid., h.116 7 Ibid., h. 30 8 Ibid., h. 297 – 8 5 5 pernikahan, tidak menyebabkan isteri kehilangan hak kepemilikan, demikian pula suami tetap memiliki hak kepemilikan. Harta kekayaan suami merupakan milik suami dan berada di bawah kekuasaannya. Oleh karena itu, perempuan yang sudah bersuami tetap dipandang cakap melakukan segala tindakan hukum dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Zahri Hamid sebagai berikut : ”...suami isteri itu pada prinsipnya merupakan subyek hukum terhadap hak kebendaan mereka, walaupun telah terikat dengan tali perkawinan...isteri selain berhak memiliki hartanya meskipun berada dalam ikatan perkawinan dengan suami, juga bila suami meninggal dunia maka harta isteri tidak turut dibagi sebagai harta warisan suami...9 Menurut Abdul Wahid Wafi dalam Islam antara laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama dalam hak-hak sosial dan hak kehartaan, perempuan yang bersuami tetap memiliki kepribadian sosial dan hak kehartaannya secara penuh. Kedua hak tersebut lepas dari pribadi dan kekayaan suaminya dan suami tidak boleh mengambil sesuatu pun dari harta kekayaan isterinya, kecuali isteri mengizinkan.10 Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya dalam Islam tidak ada kesatuan harta secara mutlak dan bulat. Antara lakilaki dan perempuan masing-masing diberi hak dan tanggungjawab yang sama sesuai dengan kekuatan dan kemampuan masing-masing. Isteri mempunyai hak dan kekuasaan penuh atas harta kekayaannya, sehingga ia bebas untuk melakukan apa saja terhadap harta sepanjang untuk kemaslahatan demikian juga halnya suami memiliki hak dan kekuasaan penuh terhadap harta miliknya dan suami tidak mempunyai hak untuk menghalang-halangi isteri dalam menggunakan harta isterinya. 4. Hak Pengelolaan 9 Zahri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, cet. 1 (t.t.p.: Bina Cipta, 1978), h. 110. Lihat Fatchur Ramahman, Ilmu Waris, cet. 2 (Bandung: Al Ma`arif, 1981), p. 41-42. Baca juga Hamka, Tafsir Al Azhar, cet. 3 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), Juz 4 h. 295 10 Abdul wahid Wafi, Persamaan Hak Dalam Islam, alih bahasa, Ansori Umar Sitanggang dan Rosichin, cet. 1 (Bandung: Al Ma`arif, 1984), h. 38 6 Perempuan memiliki hak mengurus dan menguasai harta kekayaannya, apakah dikelola sendiri atau dikuasakan kepada orang lain (termasuk dikuasakan kepada suami). Oleh karena itu, perempuan yang sudah bersuami tetap dipandang cakap melakukan segala tindakan hukum dalam masyarakat. Apabila isteri memiliki harta, maka isterilah yang berhak mengurus dan menguasai hartanya, baik dikelola sendiri atau dikuasakan kepada orang lain.11 Dalam Islam suami isteri pada prinsipnya merupakan subyek hukum terhadap hak kebendaan mereka, walaupun telah terikat dengan tali perkawinan. Ini berarti masing-masing suami isteri berhak untuk melakukan tindakan hukum atas hak kebendaan mereka.12 Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Muhammad Zaid al-Ibyânî berikut ini: فاذا كان لھا اموال فھي التى تتو لى ادارتھا بنفسھا اوتوكل من شا ءت سواء كان الزوج اوغير فتقبض اجرة... 13...امال كھا بنفسھا او توكل من شاْت فى ذالك Senada dengan pendapat tersebut seperti apa yang dikemukakan Muhammad Abû Zahrah bahwa antara suami isteri mempunyai kewenangan yang sama atas segala sesuatu yang ada di dalam rumah mereka.14 Sementara Imam Syâfi’î mengemukakan bahwa, Allah tidak membedakan hak antara suami dan isteri, keduanya mempunyai hak yang sama untuk menggunakan harta yang mereka miliki, dan isteri boleh menghadiahkan hartanya kepada siapa yang dia kehendaki tanpa memerlukan izin suami.15 Demikian juga tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam pengurusan hartanya, baik sebelum maupun sesudah berkeluarga, karena sudah lazim dalam Islam laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama atas harta. 11 Muhammad Zaid al-Ibyânî, Syarh Asy-Syarî`ah fî al-Ahwâl asy-Syakhshiyyah, (Beirut: Maktabah an-Nahdah, , t.t.), h. 76. 12 Zahri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, cet. 1 ( t.t.p.: Bina Cipta, 1978), h. 110 13 Muhammad Zaid al-Ibyânî, Syarh Asy-Syarî`ah, h. 279. 14 Muhammad Abû Zahrah, al-Ahwâl asy-Syakhshiyah, (t.tp: Dâr al Fikr, 1377/1957), h, 268 15 Asy-Syâfi`î, Al-Umm, (t.n.p,: t.tp. 1388), h, 193 7 Dengan demikian isteri yang berada dalam ikatan perkawinan dengan suaminya memiliki hak penuh mengelola dan menggunakan harta miliknya, suami tidak berhak dan tidak boleh menghalang-halangi isteri dalam mengelola dan menggunakan hartanya. Allah tidak membedakan hak antara suami dan isteri, keduanya dapat mewasiatkan milik atau harta mereka atau membayar hutang dengan hartanya itu dan bagi isteri boleh menghadiahkan hartanya kepada siapa yang dikehendaki tanpa seizin suami, termasuk menghibahkan mahar yang diterima dari suami.16 Dalam kontek ini Yûsûf Qarâdhawî mengemukakan bahwa pada saat ini banyak perempuan yang bekerja dengan beragam profesi yang menghasilkan uang dan hasil kerja tersebut merupakan milik perempuan terlepas dari kepemilikan orang tua dan atau suaminya, sehingga ia bebas menggunakan harta tersebut baik membeli, menjual, menghadiahkan kepada seseorang tidak ada yang bisa melarang atau menghalanginya.17 Dengan demikian di kalangan ulama fikih termasuk imam mazhab empat telah sepakat perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam pengelolaan harta miliknya, apakah perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan dengan suaminya ataukah masih berada dalam tanggungjawab orang tua. Meskipun demikian jika keduanya sepakat untuk dikelola bersama-sama atau salah seorang saja yang mengelola, inipun dibenarkan selama tidak akan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Penyelesaian Sengketa Dalam Keluarga 1. Pemikiran Ulama Mutaqaddimîn Di antara ulama mutaqaddimîn adalah Abû Hanifah satu-satunya imam mazhab yang bukan keturunan Arab. Beliau lahir, dibesarkan dan wafat di Kufah. Lahir tahun 80 H dan wafat tahun 150 H. Pemikiran Abû hanifah 16 Ibid. 17Yûsuf Qarâdhawî, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2010), h. 245 8 mengenai penyelesaian sengketa hak kepemilikan dalam keluarga, sebagaimana dikutif oleh Muhammad Abû Zahrah18 mengemukakan: Menurut Abû Hanifah jika terjadi sengketa antara suami isteri mengenai harta dalam keluarga, barang-barang yang pantas dan biasa digunakan oleh lakilaki menjadi milik suami dan apa-apa yang pantas dan biasa digunakan oleh perempuan menjadi milik isteri, sedangkan barang-barang yang pantas untuk suami dan pantas juga untuk isteri menjadi milik suami, karena tempat tinggal merupakan milik suami, termasuk segala sesuatu yang ada dalam rumah berada dalam otoritas suami dan di tangan suamilah kewenangan dan kebebasan menggunakannya, sedangkan isteri hanya memiliki kewenangan untuk memelihara saja. Otoritas membelanjakan menunjukkan adanya kekuasaan dan kekuasaan merupakan bukti kepemilikan yang kuat, sementara kewenangan memelihara tidak menunjukkan kepemilikan, oleh sebab itu apa yang ada dalam kekuasaan suami menjadi milik suami; kecuali terhadap barang-barang yang memang pantas untuk perempuan. Meskipun demikian kalau salah satu pihak bisa membuktikan, maka harta tersebut ditetapkan bagi. Apa yang dikutip Muhammad Abû Zahrah, sejalan dengan pernyataan as-Sarkhâsî19 yang juga menukil pemikiran Abû Hanifah dalam kitabnya alMabsûth bahwasanya ketika ada perselisihan antara suami istri mengenai kekayaan keluarga maka jalan komprominya adalah memberikan harta benda yang memang menurut kebiasaan milik perempuan diberikan pada istri dan memberikan yang menurut kebiasaan milik laki-laki untuk suami. Adapun untuk harta benda yang bisa dimiliki laki-laki dan perempuan, maka hak jatuh Abû Zahrah merupakan salah seorang ulama kontemporer dari Mesir. Lahir 29 Maret 1898 M dan wafat 12 April 1974, diantara karyanya yang berkaitan dengan hukum keluarga adalah Al-Ahwâl asy-Syakhshiyah dan Khalasah Ahkâm al-Ahwâl asy-Syakhshiyah wa al-Washâyâ wa al-Mawâris. 19 As-Sarkhâsi yang memiliki nama lengkap Abû Bakr Muhammad bin Abî Sahl, Abû Bakr, merupakan salah seorang fuqaha dan hakim dari Khurasan bermazhab Hanafi. Pendekatan yang digunakan dalam ijtihad diantaranya bahwa hukum diambil berdasarkan kekhususan sebab, maksudnya bahwa hukum ditetapkan berdasarkan hubungan antara realitas dan Wahyu. Bandingkan dengan Abdullâh Musthâfâ al-Maraghî, Fath al-Mubîn fî Thabaqât al-Ushûliyyîn, penerjemah Husein Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, (Yogyajarta: LKPSM, 2001), h.162-3 18 9 pada suami.20 Pernyataan senada juga dipaparkan Muhammad Khudhari Byk21 dengan menguti pendapat Abu Hanifah.22 Berdasarkan uraian di atas, isteri hanya memperoleh sesuatu yang memang biasanya dimiliki oleh perempuan, sedangkan suami memiliki hak yang lebih luas. Pemikiran ini nampaknya dipengaruhi oleh realitas sosial dan kultur yang ada di Kufah, sebab Abû Hanifah lahir, dibesarkan dan meninggal di Kufah dari akhir abad pertama sampai pertengahan abad kedua hijriyah di Kufah yang merupakan pusat budaya dan jauh dari sunnah, sementara beragam persoalan keagamaan bermunculan yang memerlukan pemikiran dalam pemecahannya. Oleh sebab itu, Abû Hanifah berupaya mengatasi berbagai persoalan dengan menggunakan rasio dan tidak banyak menggunakan sunnah. Dalam hal penyelesaian sengketa antara suami isteri mengenai kepemilikan dalam keluarga ini, tampaknya Abû Hanifah lebih melihat realitas sosial kemasyarakatan di mana kaum perempuan terutama (isteri) lebih banyak tinggal di rumah dan semua kebutuhan hidup menjadi tanggungjawab suami. Pemikiran yang senada dengan Abû Hanifah adalah pemikiran AsSarkhâsî23 yang menyatakan bahwa jika terjadi sengketa antara suami isteri mengenai hak kepemilikan terhadap harta, maka barang yang biasanya dimiliki oleh perempuan seperti gaun, mukena, alat pemental dan lain-lain yang sejenis menjadi milik isteri dan barang yang biasanya digunakan laki-laki misalnya senjata, mantel, sabuk, jubah, celana dan kuda pacuan menjadi milik suami. Adapun benda-benda yang biasanya digunakan atau dimiliki baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan seperti pelayan, hamba, hewan ternak, permadani menjadi milik suami. Pemikiran As-Sarkhâsi identik dengan pemikiran Abû Hanifah, hal ini disebabkan As-Sarkhâsî merupakan salah seorang fuqaha dari mazhab Hanafî dan pendekatan yang digunakan pendekatan historis, di mana kesimpulan 20 As-Sarkhâsi, A- Mabsûth, h. 213 Nama lengkapnya Muhammad bin Afifi al Bajuri, termasuk ulama kontemporer terkenal dengan syekh Hudhari, lahir tahun 1872 dan meninggat-Tahun 1927 M di Kaero Mesir. 22 Muhammad Khudhari Byk, Târikh Tasyri` Islâmî, (Mesir: Mathba’ah Sa’adah, 1954M/1373H), h. 289-290. Lihat juga Muhammad Jawwad al-Mughniyah, Al-Ahwâl asySyakhshiyah ’Alâ Mazâhib al-Khamsah, (Beirut: Dârul ’Ulum, 1964), h. 73 23 As-Sarkhâsi, A- Mabsûth, h. 214 21 10 hukum diambil berdasarkan kekhususan sebab (al-’ibratu bi khusûsh as-sabâb) yakni menegaskan adanya hubungan antara realitas sosial dengan wahyu, sehingga jika terjadi pertentangan antara dua ayat, tidak bisa ditawar-tawar harus dirujuk kepada asbâb an-nuzûl kedua ayat sehingga dapat diketahui latar belakang historisnya. Selain As-Sarkhasi, Abû Yûsuf24 mengemukakan bahwa isteri hanya mendapatkan sesuatu sebatas apa yang diusahakannya saja tidak lebih dari itu dalam semua hal, sebab suami yang profesinya pedagang bisa saja memiliki harta yang biasa dimiliki perempuan dalam barang dagangannya, atau suami sebagai pengusaha bisa saja memiliki barang-barang yang biasa dimiliki perempuan dalam produknya atau barang gadaian milik perempuan berupa perhiasan. Dengan mencermati uraian di atas dapat dipahami bahwa Abû Yûsuf memiliki pemikiran yang sejalan dengan Abû Hanifah dalam penyelesaian sengketa antara suami isteri mengenai hak kepemilikan dalam keluarga.Hal ini menjadi bukti kuat bahwa realitas sosial kemasyarakatan, terutama di Kufah perempuan memang banyak tinggal di rumah dan tidak banyak yang bekerja termasuk sebagai pedagang. Sebab jika banyak perempuan yang berdagang maka tidak menutup kemungkinan perempuan juga memiliki harta yang biasanya dimilik laki-laki dalam dagangannya. Sementara Zufâr bin Huzail bin Qais bin Sâlim yang dikenal dengan panggilan Abû Huzail25, lahir tahun 110 H dan meninggal tahun 157 H merupakan sahabat dan murid Abû Hanifah memiliki pemikiran yang berbeda dalam kasus ini. Menurut Zufâr sebagaimana dikutip Muhammad Abû Zahrah menyatakan bahwa jika terjadi sengketa antara suami-isteri mengenai harta dalam keluarga, maka harta tersebut dibagi dua antara suami isteri, jika keduanya sama-sama tidak mempunyai bukti, sebab sepanjang keluarga masih 24 Abû Yûsuf memiliki nama lengkap:Ya’qûb bin Ibrâhîm bin Habib al-Anshârî al-Kûfî alBaghdâdî. Abû Yûsuf (lahir dan dibesarkan di kota Kufah, dan mengabdikan dirinya di kota Bagdad) 25 Lihat juga Abdullâh Musthâfâ al-Marâghî, Fath al Mubin, h. 76 11 utuh maka dalam kekuasaan mereka berdualah (suami isteri) segala sesuatu yang ada di rumah dan kekuasaan tersebut merupakan dasar kepemilikan26. Asy- Syâfi’i dalam kitabnya al-Umm, mengemukakan bahwa jika terjadi sengketa antara suami isteri mengenai harta perkawinan atau terjadi perselisihan antara suami-isteri dengan para ahli waris yang lain, apakah itu karena meninggal atau karena cerai, maka penyelesaiannya harta dibagi dua antara suami dengan isteri setelah masing-masing pihak bersumpah, karena suami kadang-kadang memiliki barang perempuan dengan membeli atau dari warisan atau hibah; demikian juga perempuan kadang-kadang memiliki barangbarang laki-laki karena membeli atau dari pusaka atau dari hibah.27 Muhammad Khudari Byk mengemukakan pendapat Asy-Syâfi’î 28 bahwa dalam seluruh sengketa yang terjadi antara suami isteri, jika salah satu dapat menunjukkan bukti, bahwa barang tersebut miliknya; maka ditetapkan sebagai miliknya, akan tetapi jika mereka tidak bisa membuktikan, berlakulah qiyâs yang tidak dapat disangkal oleh siapapun dengan mengabaikan ijma` bahwa harta tersebut milik keduanya bersama-sama. Sama halnya dengan dua orang laki-laki yang berselisih tentang sesuatu harta yang berada dalam kekuasaan keduanya, maka harta itu dibagi dua setelah keduanya mengangkat sumpah.29 Asy-Syâfi’i ◌dalam memperkuat argumentasinya mengemukakan: ِ ...jika ada orang yang mengatakan mengapa laki-laki itu bisa memiliki barang-barang perempuan seperti anting-anting, pakaian dalam, dan pakaian rumah (semacam daster) dan alat-alat kosmetika dan perempuan bisa memiliki pedang, tombak dan baju besi? Jawabanya mungkin saja karena kadang-kadnag laki-laki itu memiliki barang-barang perempuan dan perempuan kadang-kadang memiliki barang yang sepantasnya untuk laki-laki, coba seandainya laki-laki dan perempuan itu bisa menunjukan bukti bahwa mereka memeng memiliki barang-barang tersebut apakah tidak akan diputuskan bahwa barang tersebut milik mereka sesuai dengan bukti yang ada.30 Mencermati pemikiran asy-Syâfi’i yang berbeda dengan pemikiran tokoh lainnya, sementara dilihat dari masa hidupnya tidak jauh berbeda dengan Abû Hanifah, sebab asy-Syâfi’i lahir Abû Hanifah wafat, hal ini berarti kondisi sosial Muhammad Abû Zahrah, al-Ahwâl asy-Syakhshiyah, h. 188. Asy-Syâfi`i, Al-Umm, V, h. 85 28Muhammad Khudari Byk, Târikh Tasyri`. h. 291. 29 Asy-Syafi`i, Al-Umm, Juz 4 h. 17 30 Ibid. 26 27 12 kemasyarakatan juga tidak jauh berbeda. Perbedaannya asy-Syâfi’i lebih banyak melakukan studi banding dari daerah ke daerah, seperti dari Mekah, belajar ke Madinah, kemudian ke Bagdad dan Kufah termasuk ke Mesir. Selain itu dalam penetapan hukum asy-Syâfi’î juga tidak lepas dari realitas sosial kemasyarakat, seperti dalam penetapan masa mensturasi ”minimal sekejap dan maksimal tujuh hari” didasarkan pada hasil wawancara dengan perempuan dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian dapat digaris bawahi bahwa pemikiran Asy-Syâfi’î dalam penyelesaian sengketa antara suami isteri mengenai hak kepemilikan dipengaruhi oleh metode penetapan hukum yang digunakan dan dalam beberapa hal berdasarkan pula hasil penelitian terhadap realitas sosial kemasyarakatan yang dijumpai Syâfi’î dalam lawatannya ke pelbagai daerah. Pemikiran yang hampir sama dengan pemikiran Asy-Syâfi’î ini adalah pemikiran Imâmiyah yang menyatakan bahwa jika terjadi sengketa antara sumai isteri tentang hak kepemilikan dalam keluarga, maka harus diperhatikan apakah barang-barang tersebut pas untuk laki-laki atau pas untuk perempuan atau memang cocok untuk keduanya. Jika barang yang diperselisihkan pas untuk laki-laki seperti pakaian, kitab-kitab dan peratalan teknik atau peralatan kedokteran (jika dia insinyur atau dokter), maka menjadi milik suami sesuai pengakuannya setelah ia bersumpah, kecuali isteri memiliki bukti sebaliknya. Namun apabila barang tersebut cocok untuk perempuan seperti pakaian, alat kecantikan, alat tenun, maka barang tersebut milik isteri setelah isteri bersumpah kecuali suami mempunyai bukti barang tersebut milik suami. Apabila barang yang diperselisihkan cocok untuk laki-laki dan cocok juga untuk perempuan, seperti permadani, ranjang, dan yang sejenis dengan itu, maka barang tersebut diberikan kepada siapa yang memiliki bukti di antara keduanya, jika mereka tidak memiliki bukti maka keduanya harus menyanggah bahwa harta itu milik mereka setelah itu harta dibagi dua, jika salah satu saja yang mengaku dan yang lain menolak untuk bersumpah harta diberikan kepada yang mengaku. 13 2. Pemikiran Ulama Muta’akhirîn Di antara ulama muta’akhirîn yang dipaparkan dalam tulisan ini adalah Muhammad Zaid al-Ibyânî31. Ia menyatakan bahwa apabila terjadi sengketa antara suami isteri mengenai harta perkawinan, maka jika keduanya tidak dapat membuktikan bahwa barang yang disengketakan itu milik mereka, harus dilihat apakah barang tersebut pantas untuk laki-laki atau pantas untuk perempuan ataukah pantas untuk keduanya; jika pantas untuk laki-laki maka barang tersebut menjadi milik suami setelah ia bersumpah. Sebaliknya jika barang tersebut pantas untuk perempuan maka ditetapkan sebagai milik isteri setelah isteri bersumpah dan jika barang yang diperselisihkan pantas untuk laki-laki dan pantas juga untuk perempuan, maka ditetapkan menjadi milik suami, karena suamilah yang mempunyai kekuasaan termasuk isteri dan barang-barang kekayaannya berada dalam kekuasaan suami.32 Muhammad Zaid al-Ibyânî dilihat dari masa hidupnya merupakan salah seorang fuqaha kontemporer yang lahir dan dibesarkan di Mesir, sedangkan kultur dan budaya Mesir dapat dikatakan sudah cukup maju, sehingga cukup representatif untuk dijadikan rujukan dalam kemajuan dan perkembangan pemikiran dalam bidang fikih khususnya hukum keluarga. Namun kemajuan kultur dan ilmu pengetahuan; khususnya di bidang hukum keluarga di Mesir ternyata tidak banyak mempengaruhi pemikiran Muhammad Zaid al-Ibyânî dalam hal penyelesaian sengketa antara suami isteri mengenai hak kepemilikan perempuan dalam kelaurga. Pengaruh yang cukup dominan terhadap pemikiran Muhammad Zaid ini nampaknya sama dengan as-Sarkhâsî, yaitu pemikiran dari Abû Hanifah sebagai pendiri mazhab Hanafi, karena Muhammad Zaid al-Ibyânî merupakan salah seorang pengikut dan pengembang mazhab Hanafi di abad 20 ini. Selain Muhammad Zaid al-Ibyâni, Muhammad Yûsuf Qarâdhawî yang juga merupakan ulama kontemporer berasal dari Mesir memiliki pemikiran yang Muhammad Zaid al-Ibyânî salah seorang fuqaha bermazhab Hanafiyah berasal dari Mesir. Meninggal Tahun 1936 di Mesir sekolah di Madrasah al-Huqûq di Mesir bagian barat, melanjutkan ke al-Azhar dan Dârul Ulum di Kairo Mesir. 32 Muhammad Zaid al-Ibyânî, Syarh Asy-Syarî`ah, Juz 1, h. 179. 31 14 berbeda dengan Muhammad Zaid al-Ibyânî. Menurut Yûsuf Qarâdhawî bahwa perempuan yang memiliki profesi tertentu seharusnya membuka rekening tersendiri dan jangan dijadikan satu dengan rekening suami untuk menghindari kesewenangan suami atas kepemilikan isteri dan jika ada perselisihan antara suami isteri, dengan mudah dapat dibuktikan kalau isteri memiliki kekayaan sendiri. Sementara ulama-ulama, mutaqaddimîn seperti, Ibnu Rusyd (520 – 595) dari kalangan mazhab Mâliki, Ibnu Qudamah (1147 – 1223) dari mazhab Hanbali, maupun ulama mutakhirîn seperti Muhammad Abû Zahrah (1898 – 1974), Muhammad Khudari Byk (1872 – 1927), Musthâfâ Ahmad Zarqâ’ (1904 – 1999) dalam kitab-kitab yang mereka tulis, tidak mengemukakan pendapat mereka secara pribadi, melainkan hanya mengungkap pemikiran-pemikiran dari ulama terdahulu (mutaqaddimîn). Meskipun ada yang menyatakan pendapatnya sendiri, namun tidak lepas dari pemikiran tokoh sebelumnya, seperti As-Sarkhâsî dari mazhab Hanafî, pemikirannya identik dengan Abû Hanifah. Berdasarkan uraian mengenai pemikiran ulama tentang penyelesaian sengketa antara suami isteri terkait dengan hak kepemilikan perempuan dalam keluarga, dari beberapa pemikiran yang ada pemikiran Asy-Syâfi’î lebih rasional dan realistis, sebagamana dikemukakannya bahwa penyelesaian sengketa antara suami isteri mengenai hak kepemilikan dalam keluarga apakah karena meninggal atau karena cerai, penyelesaian hak kepemilikan dibagi dua perdua antara suami dengan isteri setelah masing-masing pihak bersumpah, karena suami kadang-kadang memiliki barang perempuan; demikian juga perempuan kadang-kadang memiliki barang-barang laki-laki, baik karena membeli, menerima pusaka atau dari hibah/hadiah. Pernyataan ini diperkuat Asy-Syâfi’î dengan menyatakan kalau ada orang mengatakan mengapa laki-laki bisa memiliki barang-barang perempuan seperti anting-anting, pakaian dalam, dan pakaian rumah (semacam daster) dan alat-alat kosmetika dan perempuan bisa memiliki pedang, tombak dan baju besi? Jawabanya mungkin saja karena kadang-kadnag laki-laki itu memiliki barangbarang perempuan dan perempuan kadang-kadang memiliki barang yang 15 sepantasnya untuk laki-laki, coba seandainya laki-laki dan perempuan itu bisa menunjukan bukti bahwa mereka memang memiliki barang-barang tersebut apakah tidak akan diputuskan bahwa barang itu milik mereka sesuai dengan bukti yang ada. Pemikiran ini sejalan dengan hak-hak perempuan yang sama dengan hakhak laki-laki, termasuk hak kepemilikan tanpa terikat dan tersekat oleh kedudukan mereka sebagai seorang anak dari ayah maupun sebagai seorang isteri dari suami, terutama dalam kontek kekinian dan ke Indonesiaan, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja dalam berbagai profesi sehingga sangat memungkin laki-laki memiliki barang-barang yang biasanya dimiliki oleh perempuan seperti pedagang emas, busana muslimah dan sejenisnya sehingga laki-laki memiliki gelang, kalung, anting-anting, mukena, gaun, daster dan yang sejenis. Sama dengan perempuan yang profesinya sebagai pengusaha, politisi, pengacara bisa memiliki rumah, ruko, kendaraan bermotor (roda dua maupun roda empat), sebagai militer bisa memiliki senjata api, sebagai petani bisa memiliki kebun, hewan ternak, sebagai dokter memiliki alat kedokteran, dan sebagainya. Sementara pemikiran Zufar dan Imâmiyah merupakan pemikiran yang moderat di mana penyelesaian sengketa atas hak kepemilikan antara suami isteri jika keduanya sama-sama tidak mempunyai bukti, maka harta dibagi dua setelah masing-masing bersumpah. Sebaliknya pemikiran Abû Hanifah, Abû Yûsuf, Ibn Abî Lailâ dan Muhammad Zaid al-Ibyânî yang menyatakan bahwa isteri hanya memperoleh apa-apa yang pantas dan biasanya dimiliki oleh perempuan dan selebihnya milik suami, ini merupakan pemikiran yang bertentangan dengan konsep kepemilikan dalam Islam di mana antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam hal kepemilikan, terlebih dalam konteks kekinian dan ke-Indonesiaan dimana perempuan sudah banyak yang bekerja dalam berbagai profesi sejajar dengan laki-laki; baik di bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan dan sebagainya 16 Simpulan Berdasarkan uraian mengenai pemikiran ulama tentang penyelesaian sengketa antara suami isteri terkait dengan hak kepemilikan perempuan dalam keluarga, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Menurut ulama mutaqaddimîn, di antaranya Abû Hanifah, Abû Yûsuf, Ibn Abî Lailâ, Ash-Sharkhâsî, dan Muhammad Zaid al-Ibyânî, isteri hanya memperoleh barang-barang yang pantas dan biasanya dimiliki oleh perempuan, selebihnya menjadi milik suami karena tempat tinggal merupakan milik suami termasuk apa yang ada dalam rumah berada dalam kekuasaan suami. 2. Menurut Zufar isteri mempunyai hak yang sama dengan suami, oleh sebab itu harta kekayaan yang ada dibagi dua antara sumai isteri setelah masingmasing bersumpah. 3. Menurut Imâmiyah barang yang biasanya milik laki-laki menjadi milik sumi, barang yang biasanya pantas untuk perempuan menjadi milik isteri, kecuali mereka bisa membuktikan. Sedangkan barang-barang yang pantas untuk keduanya seperti permadani, ranjang dan yang sejenis dibagi dua setelah mereka bersumpah. 4. Menurut Asy-Syâfi’î jika terjadi sengketa antara suami isteri, maka jika salah satu (suami atau isteri) dapat menunjukkan bukti, maka barang tersebut ditetapkan sebagai miliknya, akan tetapi jika mereka tidak bisa membuktikan, maka harta itu dibagi dua setelah keduanya mengangkat sumpah, karena suami kadang-kadang memiliki barang perempuan; demikian juga perempuan kadang-kadang memiliki barang-barang laki-laki, baik karena membeli, menerima pusaka atau dari hibah/hadiah. 5. Dari beragam pemikiran mengenai penyelesaian sengketa hak kepemilikan antara suami isteri, pemikiran Syâfi’î lebih rasional dan realistis sejalan dengan hak-hak perempuan yang sama dengan hak-hak laki-laki, termasuk hak kepemilikan, terutama dalam kontek kekinian dan ke Indonesiaan, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja dalam berbagai profesi sehingga sangat memungkinkan laki-laki memiliki barang-barang yang 17 biasanya dimiliki oleh perempuan dan sama dengan perempuan yang profesinya sebagai pengusaha, politisi, pengacara bisa memiliki barangbarang yang biasanya dimiliki oleh laki-laki. Daftar Pustaka Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ed. Enseklopedi Hukum Islam, Jakarta: Bachtiar Baru van Hoeve, 1996 Abdullâh Musthâfâ al-Maraghî, Fath al Mubîn fî Tabaqât al-Ushûliyyîn, penerjemah Husein Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyajarta: LKPSM, 2001 Abdul Wahid Wafi, Persamaan Hak dalam Islam, alih bahasa, Anshori Umar Sitanggang dan Rosichin, Bandung: Al Ma`arif, 1984 Abu Daud, Sunan Abû Daûd, Juz 2, Kairo: Musthafa al Babi al Halabi, 1952 Âlî al-Khâfifî, Mukhtashar Ahkâm al-Mu’âmalah asy-Syarî’ah, Kairo: Maktabah asSunnah, 1952 Departemen Agama, Al-Qur`an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al Qur`an, 1971 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. 2, Bandung: al-Ma`arif, 1981 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 4 cet. 3, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahîd wa nihâyah al-Muqtashîd, Juz 2, cet. 2, Jeddah: Al Haramain, t.t. Ibn Quddamah, Al-Mughni, juz V, t.t.p: Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, t.t. Muhammad Abû Zahrah, Al-Ahwâl asy-Syakhsiyyah, t.tp: Dâr al-Fikr, 1377/1957, Muhammad Jawwad al-Mughniyah, Al-Ahwâl asy-Syakhshiyyah ’Alâ Mazâhib alKhamsah, Beirut: Daarul ’Ulum, 1964 Muhammad Khudhari Byk, Târikh Tasyri` Islami, Mesir: Mathba’ah Sa’adah, 1954M/1373H M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. 1 Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, Muhammad Musthâfâ Salabî, Al-Madkhâl fî at-Ta`rîf bî al-Fiqh al-Islâmî wa Qawâ`id al-Milkiyah aw al-Uqud fîh, Iskandariyah: Dâr at-Ta`lîf, 1380H/1960M 18 Muhammad Yûsuf Mûsa, Al-Fiqh al-Islâmî Madkhâl lî Dirâsah Nidhâm al Mu`âmalah fîh, Mesir: Dâr al-Kitâb al-Hadîst, 1375H/1956M Muhammad Zaid al-Ibyânî, Syarh Asy-Syarî`ah fî al-Ahwâl asy-Syakhshiyyah, Beirut: Maktabah an-Nahdah, , t.t. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989 Soerjono Soekanto, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1982 Soejono, dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Reneka Cipta, , 1997 As-Sarkhâsî, Al- Mabsûth, Mesir: Mathba`ah as-Sa`âdah, 1324 H Asy-Syâfi`î, Al-Umm, t.n.p: t.tp. 1388 H Zahri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, t.tp: Bina Cipta, 1978 19