universitas indonesia analisis praktik klinik keperawatan kesehatan

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN
MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN FRAKTUR FEMUR
DENGAN HEMIARTHROPLASTY DI LANTAI 5 BEDAH RSPAD
GATOT SOEBROTO
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
(KIA-N)
DEVISTA KUSUMA DEWI
0906629290
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
DEPOK
JULI 2014
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN
MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN FRAKTUR FEMUR
DENGAN HEMIARTHROPLASTY DI LANTAI 5 BEDAH RSPAD
GATOT SOEBROTO
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
Diajukan sebagai salah satu syarat syarat untuk memperoleh gelar Profesi
Keperawatan
DEVISTA KUSUMA DEWI
0906629290
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
DEPOK
JULI 2014
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini. Penulisan
Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah
satu syarat untuk mencapai gelar Ners Keperawatan pada Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari awal memulai perkuliahan hingga selesai
penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
-
Ibu Dra. Junaiti Sahar, PhD selaku dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia;
-
Ibu Fajar Tri Waluyanti, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.An., IBCLC selaku dosen
ketua program studi di Fakultas Ilmu Keperawatan sekaligus koordinator
Program Profesi 2013-2014;
-
Bapak Masfuri, S. Kep, M.N selaku dosen pembimbing saya yang telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan skripsi ini;
-
Ibu Ns. Merri Silaban, S.Kep selaku dosen penguji yang telah memberikan
koreksi dan saran terhadap naskah dan presentasi skripsi sehingga skripsi ini
semakin bermanfaat;
-
Ibu Ns. Poppy Fitriyani, S.Kp., M.Kep., Sp.Kom, selaku Pembimbing
Akademik yang memberikan dukungan serta memantau perkembangan
akademis penulis selama perkuliahan di Fakultas Ilmu Keperawatan;
-
Bapak Ibu dosen serta seluruh staf akademik Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia yang telah berkontribusi memberikan materi selama
praktik berlangsung;
-
Bapak (Sahadi), Ibu (Istiqomah), adik (Maftuhah Nuraini) dan keluarga besar
atas dukungan baik materi dan non-materi, yang telah memberikan doa,
perhatian dan motivasi selama penyusunan skripsi ini.
iii Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
-
Reshli dan Ayu yang selalu memberikan dukungan dan mengingatkan saya
untuk selalu bekerja lebih cepat dan tidak malas.
-
Teman seperjuangan dan sepembimbingan yang senantiasa bersama selama
proses bimbingan, saling bertukar informasi dan memberi dukungan selama
pengerjaan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini;
-
Teman-teman Tututers (Arie, Sopi, Ayu, Isti, Minati, Iyum, Ririn, Desti,
Winda) yang selalu membantu, menyemangati dan tempat bertukar informasi
selama pengerjaan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini;
-
Junita, Ika, Dea, Fenny, Dwi, Cece yang selalu memberikan tawa dan
semangat agar cepat menyusul dalam menyelesaikan perkuliahan.
-
Ahmanda Pratama Azis yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat
dalam pengerjaan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini;
-
Seluruh mahasiswa Program Reguler Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia angkatan 2009, dimana kita berbagi suka dan duka. Semuanya telah
kita lalui bersama dan kita pun lulus harus bersama.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Depok, 01 Juli 2014
Penulis
iv Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
1 BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Aktivitas sehari-hari adalah aktivitas perawatan diri yang harus dilakukan
seseorang setiap hari untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup seharihari (Smeltzer & Bare, 2002). Aktivitas fisik dapat mempertahankan bahkan
meningkatkan derajat kesehatan lansia (Darmojo, 2009).
Menurut data Riskesdas (2013), proporsi aktivitas fisik tergolong kurang
aktif secara umum adalah 26,1 persen. Masyarakat memiliki aktifitas pasif
seperti menonton televisi atau bermain computer daripada berolah raga secara
rutin. Gerak yang dilakukan saat berolah-raga sangat berbeda dengan gerak
saat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti berdiri, duduk atau hanya
menggunakan tangan. Hal ini merupakan gerak anggota badan yang tidak
seimbang (Wirakusumah, 2001).
Adanya lift atau eskalator juga telah menggantikan fungsi tangga di berbagai
sarana umum serta alat transportasi seperti mobil pribadi atau mobil jemputan
sekolah menyebabkan masyarakat malas bergerak. Alat transportasi, alat-alat
elektronik yang serba otomatis dapat digunakan dan dilakukan hanya dengan
menekan tombol saja, menyebabkan aktifitas fisik menjadi sangat menurun
(Asdie, 2005).
Laporan tahunan National Trauma Data Bank (2012), jumlah kejadian
menurut mekanisme cidera, kecelakaan kendaraan bermotor menduduki
peringkat utama atas jumlah terbanyak kemudian disusul dengan cidera akibat
terjatuh. Perbandingan hasil Riskesdas 2007 dengan Riskesdas 2013
menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi cedera dari 7,5 persen
menjadi 8,2 persen. Penyebab cedera terbanyak, yaitu jatuh (40,9%) dan
kecelakaan sepeda motor (40,6%). Sekitar 30% wanita dengan fraktur femur
menderita osteoporosis, dibanding 15% pada pria. Fraktur yang terjadi bukan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
2 saja karena osteoporosis tetapi juga karena kecenderungan usia lanjut untuk
jatuh. Osteoporosis sering terjadi pada usia lanjut baik jenis primer ataupun
sekunder, terutama pada wanita pasca menopause oleh karena penurunan
hormone estrogen. Pada usia lebih tua, kejadian osteoporosis juga dapat
meningkat karena faktor inaktivitas, asupan kalsium yang kurang, pembuatan
vitamin D yang menurun dan faktor hormonal.
Aukerman (2008) melaporkan bahwa insiden fraktur femur terjadi sebesar 1-2
kejadian pada per 10.000 jiwa penduduk setiap tahun. RSPAD Gatot
Soebroto mencatat pada tahun 2011 angka kejadian fraktur femur adalah 178
kasus. Fraktur termasuk dalam 10 penyakit terbanyak (Maret 2014) pada
ruang rawat bedah lantai V RS Gatot Soebroto dimana didapatkan data
sebanyak 17 orang yang dirawat di ruangan tersebut dengan diagnosa fraktur.
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang,
penyebab terbanyak adalah kecelakaan tetapi faktor lain seperti degenerative
juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Brunner & Suddarth,
2008). Fraktur adalah terputusnya kontunuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika dikenai stress yang lebih besar dari
yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2001). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
(Smeltzer & Bare, 2001). Fraktur atau patah tulang adalah masalah yang
akhir-akhir ini sangat banyak menyita perhatian masyarakat, pada arus mudik
dan arus balik hari raya idulfitri tahun ini banyak terjadi kecelakaan lalu lintas
yang sangat banyak yang sebagian korbannya mengalami fraktur. Sering kali
untuk penanganan fraktur ini tidak tepat mungkin dikarenakan kurangnya
informasi yang tersedia sehingga banyak masyarakat pergi ke dukun pijat
untuk menangani fraktur yang terjadi.
Fraktur lebih sering terjadi pada orang laki laki daripada perempuan dengan
umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan
atau kecelakaan (Riskesdas, 2011). Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
3 langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak dan bahkan kontraksi otot
ekstrim (Brunner & Suddarth, 2001).
Terdapat komplikasi yang ditimbulkan akibat fraktur, seperti komplikasi awal
(syok, sindroma emboli lemak, sindroma komparteman dan infeksi) dan
komplikasi lanjut (delayed union, non – union, mal – union, kaku sendi lutut,
refraktur) (Brunner & Suddarth, 2001). Salah satu komplikasi lanjut yang
terjadi adalah kaku sendi yang jika tidak ditangani dapat mengakibatkan
kecacatan fisik. Kaku sendi dapat yang diakibatkan oleh fraktur dapat
dipulihkan secara bertahap dengan mobilisasi persendian yaitu dengan latihan
range of motion (ROM) atau latihan pergerakan sendi. Range of motion
(ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau
memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian
secara normal dan lengkap untuk meningkatkan masa otot dan tonus otot
(Potter & Perry, 2005). Pada klien dengan post operasi ROM perlu dilakukan
segera mungkin untuk menghindari komplikasi lanjutan yang diakibatkan
oleh kekakuan sendi.
1.2. Perumusan Masalah
Kemajuan teknologi juga telah memacu perubahan kebiasaan hidup (gaya
hidup), gaya hidup yang cenderung lebih santai akibat perkembangan
teknologi saat ini. Sarana umum serta alat transportasi seperti mobil pribadi
atau mobil jemputan sekolah menyebabkan masyarakat malas bergerak. Alat
transportasi, alat-alat elektronik yang serba otomatis dapat digunakan dan
dilakukan hanya dengan menekan tombol saja, menyebabkan aktifitas fisik
menjadi sangat menurun.
Perubahan gaya hidup tersebut merupakan faktor utama dari patah tulang
atau fraktur dimana hal tersebut didukung oleh kejadian jatuh. Fraktur
mengakibatkan perubahan pada bagian yang cedera sehingga mempengaruhi
mobilitas fisik. Asuhan keperawatan yang dilakukan khususnya dengan
pemberian latihan pergerakan sendi dapat memperkecil komplikasi lanjutan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
4 yang akan terjadi serta akan menjaga kekuatan dan fleksibilitas otot dan sendi
klien.
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Tujuan Umum:
Tujuan penulisan ini secara umum bertujuan untuk menganalisa secara umum
mengenai fraktur meliputi definisi, manifestasi klinis, etiologi, komplikasi serta
asuhan keperawatan yang ditimbulkan.
1.3.2. Tujuan Khusus:
Tujuan penulisan ini secara khusus untuk:
a. Menjelaskan konsep dasar dari fraktur femur yang terdiri dari definisi,
etiologi,
patofisiologi,
komplikasi,
pemeriksaan
penunjang,
dan
penatalaksanaan dari fraktur femur.
b. Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan fraktur
femur.
c. Menganalisis masalah keperawatan yang muncul berdasarkan konsep
d. Menganalisis tindakan latihan rentang pergerakan sendi dalam asuhan
keperawatan fraktur femur
1.4. Manfaat Penulisan
1.4.1. Bagi Klien
Diharapkan dapat mencegah komplikasi lebih lanjut dengan melakukan latihan
pergerakan rentang sendi sehingga proses rehabilitasi berjalan dengan baik.
1.4.2. Bagi Instasi Pelayanan Keperawatan
Pelayanan keperawatan khususnya para perawat dapat menambah ilmu
mengenai fraktur serta memberikan intervensi keperawatan kepada klien sesuai
dengan teori dan penelitian yang sudah ada.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
5 1.4.3. Bagi Pendidikan Keperawatan
Diharapkan mampu menambah referensi serta pengetahuan mengenai kasus
klien dengan fraktur femur dengan asuhan keperawatan dan intervensi yang
telah diberikan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
6 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Fisiologi Sistem Rangka
a. Sistem Rangka
Rangka manusia dewasa tersusun dari tulang-tulang (sekitar 206 tulang)
yang membentuk suatu kerangka tubuh yang kokoh. Walaupun rangka
terutama tersusun dari tulang, rangka di sebagian tempat dilengkapi
kartilago utama.
1) Rangka aksial terdiri dari beberapa tulang yang membentuk aksis
panjang tubuh yang melindungi organ-oran pada kepala, leher dan
torso.
a) Kolumna vertebra (tulang belakang) terdiri dari 26 vertebra yang
dipisahkan oleh diskus vertebra.
b) Tengkorak diseimbangkan pada kolumna vertebra
c) Kerangka toraks (rangka iga) meliputi tulang-tulang iga dan
sternum yang membungkus dan melindungi organ-organ thoraks.
2) Rangka aperdikular terdiri dari 126 tulang yang membentuk lengan,
tungkai dan tulang pektoral (serta tonjolan pelvis yang menjadi
tempat melekatnya lengan dan tungkai pada rangka aksial.
3) Persendian adalah artikulasi dari dua tulang atau lebih.
b. Fungsi Sistem Rangka
1. Memberikan topangan dan bentuk pada tubuh
2. Pergerakan tulang berartikulasi dengan tulang lain pada sebuah
persendian dan berfungsi sebagai pengungkit jika otot berkontraksi,
kekuatan yang diberikan pada pengungkit menghasilkan gerakan.
3. Perlindungan sistem rangka, melindungi organ-organ lunak yang ada
dalam tubuh.
4. Pembentukan sel darah (hematopoisis) sumsum tulang merah, yang
ditemukan pada orang dewasa dalam tulang sternum, tulang iga,
badan vertebra, tulang pipi pada kranium dan pada bagian ujung
8 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
7 tulang panjang. Merupakan tempat produksi sel darah merah, sel
darah putih dan trombosit darah.
5. Tempat penyimpanan mineral.
2.2. Tulang
Tulang adalah organ vital yang berfungsi untuk alat gerak pasif,
proteksi alat-alat di dalam tubuh, pembentuk tubuh metabolisme kalsium,
mineral dan organ hemopoetik. Komponen-komponen utama dari jaringan
tulang adalah mineral-mineral dan jaringan organik (kolagen dan
proteoglikan). Kalsium dan fosfat membentuk suatu kristal garam
(hidroksiapatit), yang tertimbun pada matriks kolagen dan proteoglikan.
Matriks organik tulang disebut juga sebagai osteoid. Sekitar 70% dari osteoid
adalah kolagen tipe I yang kaku dan memberikan ketegangan tinggi pada
tulang. Materi organik lain yang juga menyusun tulang berupa proteoglikan
seperti asam hialuronat.
1. Bagian-bagian dari tulang panjang yaitu:
a. Diafisis ( batang )
Merupakan bagian tengah tulang yang berbentuk silinder, bagian
ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang
besar.
b. Metafisis
Adalah bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang.
Daerah ini terutama disusun oleh tulang trabekula atau spongiosa
yang mengandung, sumsum merah.metafisis juga menopang sendi
dan menyediakan daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon
pada epifisis.
c. Epifisis
Lempeng epifisis adalah pertumbuhan longitudinal pada anakanak. Bagian ini akan menghilang pada tulang dewasa. Bagian
epifisis yang letaknya dekat dengan sendi tulang panjang bersatu
dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang
terhenti. Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
8 periosteum, yaitu: yang mengandung sel-sel yang berproliferasi
dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang
panjang. Pada tulang epifisis terdiri dari 4 zona, yaitu:
1) Daerah sel istirahat
Lapisan sel paling atas yang letaknya dekat dengan epifisis
2) Zona proliferasi
Pada zona ini terjadi pembelahan sel, dan disinilah terjadi
pertumbuhan tulang panjang. Sel-sel yang aktif ini didorong ke
arah batang tulang, ke dalam daerah hipertropi.
3) Daerah hipertropi
Pada daerah ini, sel-sel membengkak, menjadi lemah dan
secara metabolik menjadi tidak aktif.
4) Daerah kalsifikasi provisional
Sel-sel mulai menjadi keras dan menyerupai tulang normal
Bila daerah proliferasi mengalami pengrusakan, maka pertumbuhan
dapat terhenti dengan retardasi pertumbuhan longitudinal anggota
gerak tersebut atau terjasi deformitas progresif bila terjadi hanya
sebagian dari lempeng tulang yang mengalami kerusakan berat.
Sebagaimana jaringan ikat lainnya, tulang terdiri dari komponen
matriks dan sel. Matriks tulang terdiri dari serat-serat kolagen dan
protein non kolagen. Sedangkan sel tulang terdiri dari osteoblast,
osteosit dan osteoklas.
2. Metabolisme tulang diatur oleh beberapa hormon, antara lain :
a. Hormon Paratiroid
Mempunyai efek langsung dan segera pada mineral tulang,
menyebabkan kalsium dan fosfat diabsorpsi dan bergerak
memasuki serum. Disamping itu, peningkatan kadar hormon
paratiroid secara perlahan-lahan menyebabkan peningkatan jumlah
dan akttivitas osteoklas, sehingga terjadi demineralisasi.
b. Hormon Pertumbuhan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
9 GH tidak mempunyai efek langsung terhadap remodeling
tulang, tetapi melalui perangsangan IGF 1. Efek langsung GH pada
formasi tulang sangat kecil, karena sel-sel tulang hanya
mengekpresiksn reseptor GH dalam jumlah kecil.
c. Kalsitonin
Kalsitonin menyebabkan kontraksi sitoplasma osteoklas
dan
pemecahan
osteoklas
menjadi
sel
mononuklear
dan
menghambat pembentukan osteoklas.
d. Estrogen dan Androgen
Mempunyai peranan penting dalam maturasi tulang yang
sedang tumbuh dan mencegah kehilangan masa tulang. Reseptor
estrogen pada sel-sel tulang sangat sedikit diekspresikan sehingga
sulit diperlihatkan efek estrogen terhadap resorpsi dan formasi
tulang. Eatrogen dapat menurunkan resorpsi tulang secara tidak
langsung melalui penurunan sintesis berbagai sitokin, seperti IL-1,
TNF-α, IL-6.
e. Hormon Tiroid
Berperan merangsang resorpsi tulang, hal ini akan
menyebabkan pasien hipertiroidisme akan disertai hiperkalsemia
dan pasien pasca menopouse yang mendapat supresi tiroid jangka
panjang akan mengalami osteopenia.
f. 1,25-dehidroksivitamin D [1,25 (OH)2 D]
Merupakan vitamin D aktif yang berperan menjaga
hemostasis kalsium dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium di
usus dan mobilisasi kalsium dan tulang pada keadaan kalsium yang
adekuat.
Di tulang, 1,25 (OH)2 D akan menginduksi monositik stem
cell di sumsum tulang untuk berdiferensiasi menjadi osteoklas.
Setelah itu sel ini kehilangan kemampuannya untuk bereaksi
terhadap 1,25 (OH)2D.
Pada proses mineralisasi tulang 1,25 (OH)2 D berperan
dalam menjaga konsentrasi Ca dan P di dalam cairan ekstraseluler
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
10 sehingga deposisi kalsium hidroksiapatit pada matriks tulang akan
berlangsung baik.
2.3 Fraktur
a. Definisi fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Kapita Selekta
Kedokteran; 2000). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditemukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner dan suddarth, 2001). Fraktur
merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab
terbanyak adalah kecelakaan tetapi faktor lain seperti degenerative juga
dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Brunner & Suddarth, 2008).
Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu
seperti degenerasi tulang/osteoporosis.
Fraktur dapat dibagi menjadi:
1. Fraktur tertutup (closed), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar.
2. Fraktur terbuka (open, compound), terjadi bila terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di
kulit. Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat (menurut R.
Gustillo), yaitu:
a. Derajat I:
1) Luka < 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
3) Kontaminasi minimal
b. Derajat II:
1) Laserasi > 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas
3) Fraktur kominutif sedang
4) Kontaminasi sedang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
11 c. Derajat III:
1) Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur
kulit, otot, neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur derajat III terbagi atas:
2) Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun
terdapat laserasi luas, atau fraktur segmental/sangat kominutif
yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat
besarnya ukuran luka
3) Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar
atau kontaminasi massif
4) Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki
tanpa melihat kerusakan jaringan lunak
Berbagai jenis khusus fraktur:
a. Fraktur komplet: patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran.
b. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah
tulang
c. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
d. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa
sampai ke patahan tulang.
e. Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah, sedang sisi
lainnya membengkak.
f. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
g. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
h. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
i. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada
tulang belakang)
j. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau
tendo pada daerah perlekatannnya.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
12 b. Jenis-jenis fraktur femur
Fraktur femur dibagi menjadi 2 yaitu (Kapita Selekta Kedokteran; 2000) :
1. Fraktur batang femur
Fraktur batang femur mempunyai insiden yang cukup tinggi di antara
jenis-jenis patah tulang. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang
femur 1/3 tengah. Fraktur di daerah kaput, kolum, trokanter,
subtrokanter, suprakondilus biasanya memerlukan tindakan operatif.
2. Fraktur kolum femur
Dapat terjadi akibat trauma langsung, pasien terjatuh dengan posisi
miring dan trokanter mayor langsung terbentur pada benda keras
seperti jalanan. Pada trauma tidak langsung, fraktur kolum femur
terjadi karena gerakan eksorotasi yang mendadak dari tungkai bawah.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
13 Kebanyakan fraktur ini terjadi pada wanita usia tua yang tulangnya
sudah mengalami osteoporosis.
b. Etiologi Fraktur
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.
Menurut Brunner dan Suddarth (2008), penyebab atau etiologi terjadinya
fraktur yaitu :
1. Trauma
2. Gaya meremuk
3. Gerakan puntir mendadak
4. Kontraksi otot ekstrem
5. Keadaan patologis: osteoporosis, neoplasma
6. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
d. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis umum pada fraktur meliputi:
1. Luka pada daerah yang terkena membengkak dan disertai rasa sakit
2. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema
3. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
4. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
5. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
6. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
Pada fraktur batang femur, terjadi:
1. Daerah paha yang patahntulangnya sangat membengkak, ditemukan
tanda fungsio laesa, nyeri tekan dan nyeri gerak.
2. Tampak adanya deformitas angulasi ke lateral atau angulasi anterior,
endo/eksorotasi.
3. Ditemukan adanya pemendekan tungkai bawah
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
14 4. Pada fraktur 1/3 tengah femur, saat pemerikasaan harus diperhatikan
pula adanya kemungkinan dislokasi sendi panggul dan robeknya
ligamentum di daerah lutut. Setelah itu periksa juga keadaan nervus
siatika dan arteri dorsalis pedis
Pada fraktur kolum femur, terjadi:
1. Pada pasien muda biasanya mempunyai riwayat kecelakaan berat,
sedangkan pasien tua biasanya hanya riwayat trauma ringan, misalnya
terpeleset
2. Pasien tak dapat berdiri karena sakit pada panggul
3. Posisi panggul dalam keadaan fleksi dan endorotasi
4. Tungkai yang cedera dalam posisi abduksi, fleksi, dan eksorotasi,
kadang juga terjadi pemendekan
5. Pada palpasi sering ditemukan adanya hematom di daerah panggul
6. Pada tipe impaksi biasanya pasien masih bisa berjalan disertai rasa
sakit yang tidak begitu hebat, tungkai masih tetap dalam posisi netral
b. Patofisiologi
Fraktur terjadi ketika tulang mendapatkan energi kinetik yang lebih
besar dari yang dapat tulang serap. Fraktur itu sendiri dapat muncul sebagai
akibat dari berbagai peristiwa diantaranya pukulan langsung, penekanan
yang sangat kuat, puntiran, kontraksi otot yang keras atau karena berbagai
penyakit lain yang dapat melemahkan otot. Pada dasarnya ada dua tipe
dasar yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur, kedua mekanisme
tersebut adalah: Yang pertama mekanisme direct force dimana energi
kinetik akan menekan langsung pada atau daerah dekat fraktur. Dan yang
kedua adalah dengan mekanisme indirect force, dimana energi kinetik akan
disalurkan dari tempat tejadinya tubrukan ke tempat dimana tulang
mengalami kelemahan. Fraktur tersebut akan terjadi pada titik atau tempat
yang mengalami kelemahan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
15 Pada saat terjadi fraktur periosteum, pembuluh darah, sumsum tulang
dan daerah sekitar jaringan lunak akan mengalami gangguan. Sementara itu
perdarahan akan terjadi pada bagian ujung dari tulang yang patah serta dari
jaringan lunak (otot) terdekat. Hematoma akan terbentuk pada medularry
canal antara ujung fraktur dengan bagian dalam dari periosteum. Jaringan
tulang akan segera berubah menjadi tulang yang mati. Kemudian jaringan
nekrotik ini akan secara intensif menstimulasi terjadinya peradangan yang
dikarakteristikkan dengan terjadinya vasodilatasi, edema, nyeri, hilangnya
fungsi, eksudasi dari plasma dan leukosit serta infiltrasi dari sel darah putih
lainnya. Proses ini akan berlanjut ke proses pemulihan tulang yang fraktur
tersebut. (http://www.ilmukeperawatan.com/askep.html)
Trauma, proses patologi, penuaan, mal nutrisi
Rusak atau terputusnya kontinuitas tulang
Kerusakan jaringan Pembuluh Darah
Serabut saraf Periosteum & dan sumsum korteks tulang
lunak dan kulit
Hematoma
Port Hemoragi
d’entry Vasodilatasi Non infeksi hipovolemi
Hilangnya saraf fragmen tulang
eksudat plasma Infeksi Deformitas, hipotensi
inflamasi
Sembuh Serabut Kehilangan sensasi Delayed union krepitasi, pemendekan 2
Suply O ke Supresi saraf
Syndrom konus otak nodularis: Malunion anestesia,ggn nyeri
Deformitas imobilisasi
Gangguan Shock defekasi, ggn hipovolemik, miksi,impotensi,hilan
kesadaran gnya reflek anal menurun Body image Atrofi Kerusakan otot integritas Intoleransi aktivitas
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
16 c. Komplikasi
1. Komplikasi awal
1. Shock Hipovolemik/traumatik
Syok hipovolemik akibat perdarahan (baik kehilangan darah eksterna
maupun yang tak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak, dapat terjadi pada berbagai fraktur termasuk
fraktur femur. Karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler,
maka dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar sebagai
akibat trauma. Penanganan meliputi mempertahankan volume darah,
mengurangi nyeri yang diderita pasien, memasang pembebatan yang
memadai dan melindungi pasien dari cedera lebih lanjut.
b. Emboli lemak (Brunner, Suddarth; 2001)
Fraktur tulang panjang, pelvis, fraktur multipel, cedera remuk (20‐30 tahun) Tekanan sumsum tulang > tek. kapiler Reaksi stres
Globula lemak masuk ke dalam darah Katekolamin Memobilisasi Bergabung dengan trombosit
asam lemak
Emboli Menyumbat pembuluh darah kecil
Otak - Bingung - Delirium - koma Paru -
Takipnea
Dyspnea Krepitasi Mengi Sputum putih kental >>> Takikardi PO2 < 60 mmHg Alkalosis respiratorik Pada sinar X: badai salju
Ginjal Emboli sistemik
- Lemak bebas dalam urine - Gagal ginjal - Pucat - Petechia pada membran pipi, kantung konjungtiva, palatum durum, fundus okuli, dan di atas dada serta lipatan ketiak depan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
17 Katekolamin dilepaskan ketika terjadi mobilisasi asam lemak bebas
oleh trauma dari jaringan adipose, sehingga menyebabkan
hilangnya stabilitas emulsi chylomicron. Chylomicron membentuk
tetesan lemak yang besar pada paru, dan bisa mengakibatkan
perubahan biokimia karena injury. Jaringan dari paru, otak, hati,
ginjal dan kulit yang paling sering terkena.
b. Sindrom kompartemen
Terjadi pada saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini disebabkan oleh karena:
i. Penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat atau gips/balutan yang menjerat
ii. Peningkatan
isi
kompartemen
otot
karena
edema
atau
perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (iskemi,
cedera remuk, toksik jaringan)
Kompartemen terdiri dari otot, tulang, saraf dan pembuluh darah
yang mengalami fibrosis dan fasia. Tekanan kompartemen normal
(< atau = 8 mmHg), jika di atas 30-40 mmHg dapat merusak
peredaran darah mikro. Manifestasi klinik yaitu nyeri iskhemik
yang terus menerus yang tidak dapat dikontrol dengan analgesik,
nyeri yang meningkat dengan turunnya aliran arteri dan nyeri ketika
dipalpasi atau dipindahkan, klien mungkin akan mengalami
kelemahan beraktivitas, paresthesia, rendahnya/absent dari nadi,
ekstremitas yang dingin dan pucat.
c. Kerusakan arteri
Terdiri dari contused, thrombosis, laserasi, atau arteri yang kejang.
Arteries dapat disebabkan ikatan yang terlalu ketat. Indikasi dari
kerusakan arteri antara lain absent/tidak teraturnya nadi, bengkak,
pucat, kehilangan darah terus menerus, nyeri, hematoma, dan
paralysis. Intervensi emergency yaitu pemisahan atau pemindahan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
18 pembalut yang mengikatnya, meninggikan atau merubah posisi dari
bagian yang injuri, mengurangi fraktur/dislokasi, operasi.
d. Shock
Hypolemic shock merupakan masalah yang potensial karena
fragment tubuh dapat melaserasi pembuluh darah besar dan
menyebabkan pendarahan, klien yang beresiko tinggi yaitu klien
dengan fraktur femur dan pelvis.
e. Injuri saraf
Injuri
saraf
radial
biasanya
disebabkan
fraktur
humerus,
manifestasinya antara lain paresthesia, paralisis, pucat, ekstremitas
yang dingin, meningkatnya nyeri dan perubahan kemampuan untuk
menggerakkan ekstremitas
f. Volkmann’s iskhemik kontraktur
Komplikasi ini dapat menyebabkan lumpuhnya tangan atau lengan
bawah
akibat
fraktur,
dimulai
dengan
timbulnya
sindrom
kompartmen pada sirkulasi vena dan arteri. Jika tidak hilang,
tekanan dapat menyebabkan iskhemik yang berkepanjangan dan
otot secara bertahap akan digantikan dengan jaringan fibrosis antara
tendon dan saraf. Mati rasa dan paralisis juga sering terjadi.
g. Infeksi
Disebabkan kontaminasi fraktur yang terbuka atau terkena saat
dioperasi. Agen infeksi yang biasanya menimbulkan infeksi yaitu
pseudomonas. Tetanus atau gas gangren dapat meningkatkan resiko
infeksi.
Infeksi
gas
gangren
berkembang
didalam
dan
mengkontaminasi luka, gas gangren disebabkan bakteri anaerobik.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
19 2. Komplikasi lambat
a. Delayed union
Proses penyembuhan fraktur sangat lambat dari yang diharapkan
biasanya lebih dari 4 bulan. Delayed Union merupakan kegagalan
fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang
untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke
tulang.
b.Non union
Non
union
merupakan
kegagalan
fraktur
berkonsolidasi
dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini
juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Mal union
Proses penyembuhan terjadi tetapi tidak memuaskan (ada perubahan
bentuk). Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
d.Nekrosis avaskuler tulang
Karena suplai darah menurun sehingga menurunkan fungsi tulang.
Tulang yang mati mengalami kolaps dan diganti oleh tulang yang baru.
Pasien mengalami nyeri dan keterbatasan gerak. Sinar X menunjukkan
kehilangan kalsium dan kolaps struktural.
e. Kekakuan sendi lutut
f. Gangguan saraf perifer akibat traksi yang berlebihan
(Brunner & Suddarth; 2001)
h. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur: menentukan lokasi, luasnya
fraktur/trauma
2. Scan tulang: menidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan jumlah darah lengkap
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
20 Hematokrit
mungkin
meningkat
(hemokonsentrasi),
menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh dari trauma
multiple)
4. Arteriografi: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
5. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah atau
cedera hati (http://www.ilmukeperawatan.com/askep.html)
i. Penatalaksanaan
Ada empat konsep dasar yang harus diperhatikan/pertimbangkan pada
waktu menangani fraktur:
1. Rekognisi: menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian
kecelakaan dan kemudian di rumah sakit.
2. Reduksi: reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak
normalnya. Reduksi terbagi menjadi dua yaitu:
a. Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara manual dengan
traksi atau gips
b. Reduksi terbuka: dengan metode insisi dibuat dan diluruskan
melalui pembedahan, biasanya melalui internal fiksasi dengan alat
misalnya; pin, plat yang langsung kedalam medula tulang.
3. Retensi: menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk
mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan
(gips/traksi)
4. Rehabilitasi: langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan
bersamaan dengan pengobatan fraktur karena sering kali pengaruh
cidera dan program pengobatan hasilnya kurang sempurna (latihan
gerak dengan kruck).
Penatalaksanaan umum yang dilakukan untuk fraktur adalah (Purwadianto &
Agus, 2000):
a. Atasi syok dan perdarahan, serta dijaganya lapang jalan nafas
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
21 b. Sebelum penderita diangkut, pasang bidai untuk mengurangi nyeri,
mencegah bertambahnya kerusakan jaringan lunak dan makin buruknya
kedudukan fraktur.
c. Fraktur tertutup:
1. Reposisi, diperlukan anestesi. Kedudukan fragmen distal dikembalikan
pada alligment dengan menggunakan traksi.
2. Fiksasi atau imobilisasi
Sendi-sendi di atas dan di bawah garis fraktur biasanya di imobilisasi.
Pada fraktur yang sudah di imobilisasi maka gips berbantal cukup
untuk imobilisasi.
3. Restorasi (pengembalian fungsi)
Setelah imobilisasi akan terjadi kelemahan otot dan kekakuan sendi,
dimana hal ini diatasi dengan fisioterapi.
d. Fraktur terbuka:
1. Tindakan pada saat pembidaian diikuti dengan menutupi daerah fraktur
dengan kain steril (jangan di balut)
2. Dalam anestesi, dilakukan pembersihan luka dengan aquadest steril
atau garam fisiologis
3. Eksisi jaringan yang mati
4. Reposisi
5. Penutupan luka
Masa kurang dari 6-7 jam merupakan golden period, dimana
kontaminasi tidak luas, dan dapat dilakukan penutupan luka primer.
6. Fiksasi
7. Restorasi
Pada fraktur femur tertutup, untuk sementara dilakukan traksi kulit dengan
metode ekstensi Buck, didahului dengan pemakaian Thomas splint, tungkai
ditraksi dalam keadaan ekstensi. Tujuan traksi kulit tersebut adalah untuk
mengurangi rasa sakit dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut di
sekitar daerah yang patah. Setelah itu dilakukan traksi kulit dapat dipilih nonoperatif atau operatif (Arif et al, 2000).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
22 1. Pengobatan non-operatif
Dilakukan traksi skeletal, yang sering disebut metode Perkin, dan metode
balance skeletal traction, pada anak di bawah 3 tahun digunakan traksi
kulit Bryant, sedangkan pada anak usia 3-13 tahun dengan traksi Russell.
a. Metode Perkin
Pasien tidur terlentang, satu jari dibawah tuberositas tibia dibor dengan
Steinman pin, lalu ditarik dengan tali. Paha ditopang dengan 3-4
bantal. Tarikan dipertahankan sampai 12 minggu lebih sampai
terbentuk kalus yang cukup luas. Sementara itu, tungkai bawah dapat
dilatih untuk gerakan ekstensi dan fleksi.
b. Metode Balance Skeletal Traction
Pasien tidur terlentang, satu jari dibawah tuberositas tibia dibor dengan
Steinman pin, lalu ditarik dengan tali. Paha ditopang dengan Thomas
Splint, sedang tungkai bawah ditopang oleh Pearson attachment.
Tarikan dipertahankan sampai 12 minggu atau lebih sampai tulangnya
membentuk kalus yang cukup. Untuk mempersingkat waktu rawat,
setelah 4 minggu ditraksi, dipasang gips hemispica atau cast bracing.
c. Traksi kulit Bryant
Anak tidur terlentang di tempat tidur. Kedua tungkai dipasang traksi
kulit, kemudian ditegakkan ke atas, ditarik dengan tali yang diberi
beban 1-2 kg sampai kedua bokong anak tersebut terangkat dari tempat
tidur.
d. Traksi Russel
Anak tidur terlentang, dipasang plester dari batas lutut. Dipasang sling
di daerah poplitea, sling dihubungkan dengan tali yang dihubungan
dengan beban penarik. Untuk mempersingkat waktu rawat, setelah 4
minggu ditraksi, dipasang gips hemispica karena kalus yang terbentuk
belum kuat benar.
2. Operatif
Indikasi operasi antara lain:
a. Penanggulangan non-operatif gagal
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
23 b. Fraktur multipel
c. Robeknya arteri femoralis
d. Fraktur patologik
e. Fraktur pada orang yang tua
Pada fraktur femur 1/3 tengah sangat baik untuk dipasang intramedularry
nail. Terdapat bermacam-macam intramedularry nail untuk femur, di
antaranya Kuntscher nail, A0 nail, dan Interlocking nail.
Operasi dapat dilakukan dengan cara terbuka dan cara tertutup. Cara
terbuka yaitu dengan menyayat kulit-fasia sampai ke tulang yang patah.
Pen dipasang secara retrograd. Cara interlocking nail dilakukan tanpa
menyayat di daerah yang patah. Pen dimasukkan melalui ujung trokanter
mayor dengan bantuan image intensifier. Tulang dapat direposisi dan pen
dapat masuk ke dalam fragmen bagian distal melalui guide tube.
Keuntungan cara ini tidak menimbulkan bekas sayatan lebar dan
perdarahan terbatas.
2.4 Rentang Gerak Sendi (ROM)
ROM (Range of Motion) adalah pergerakan maksimum yang mungkin
dilakukan oleh sendi (Kozier, 1995). Sedangkan latihan ROM adalah latihanlatihan yang diberikan untuk mempertahankan fungsi sendi dan meningkatkan
fungsi sendi yang berkurang karena proses penyakit, kecelakaan atau tidak
digunakan. Latihan ROM ini bertujuan untuk :
a. Mempertahankan fungsi mobilisasi sendi
b. Memulihkan atau meningkatkan fungsi sendi dan kekuatan otot yang
berkurang karena proses penyakit, kecelakaan, atau tidak digunakan.
c. Mencegah komplikasi dari immobilisasi seperti atropi otot, dan kontraktur.
d. Mempersiapkan latihan lebih lanjut.
Jenis latihan range of motion (ROM) berdasarkan kemampuan klien dibagi
menjadi tiga, yaitu (Potter & Perry, 2005):
1. Aktif: klien melalukan latihan sendiri tanpa bantuan dari perawat.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
24 2. Aktif asistif: latihan dilakukan klien semampunya, sisanya dibantu oleh
perawat.
3. Pasif: latihan sepenuhnya dibantu oleh perawat atau tim kesehatan
lainnya.
Indikasi dalam dilakukannya ROM (Range of Motion) adalah sebagai berikut:
a. Stroke atau penurunan tingkat kesadaran
b. Kelemahan otot
c. Fase rehabilitasi fisik
d. Klien dengan tirah baring lama
Pelaksanaan ROM yang tidak sesuai dapat menyebabkan komplikasi.
Komplikasi-komplikasi yang dapat ditimbulkan antara lain:
 Kontraktur, dapat terjadi pada sendi yang tidak digerakkan secara
periodik dengan rentang gerak penuh. Pertama kali perawat mengkaji
kemampuan klien dalam melakukan latihan rentang gerak aktif dan
kebutuhan bantuan perawat. Pada kesehatan dan mobilisasi yang
memungkinkan dilakukan latihan aktif. Ketika perawat melakukan
kesalahan dalam pengkajian ini, maka yang akan terjadi adalah
kontraktur tadi.
Contohnya : ketika terjadi kontraktur fleksi di leher maka leher klien
akan menjadi fleksi permanen dengan dagu berada dekat atau terlihat
menyentuh dada sehingga kesejajaran tubuh berubah, lapang pandang
berubah dan tingkat fungsi kemandirian terganggu.
 Kesalahan dalam memposisikan, ketika merawat klien yang mengalami
keterbatasan mobilisasi perawat harus menempatkan posisi bagian
tubuh yang akan dilatih rentang gerakan dengan benar, kesalahan posisi
dapat berakibat fatal.
Contohnya : kesalahan menempatkan bahu dapat menyebabkan nyeri,
dislokasi sendi dan perubahan kesejajaran tubuh lebih lanjut.
 Kesalahan dalam melakukan latihan rentang gerak pada pasien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
25 Contohnya : abduksi berlebihan membuat kaki sakit tampak terlalu
panjang sedangkan adduksi berlebihan membuat kaki sakit tampak
terlalu panjang, kontraktur fleksi menyebabkan lordosis ketika klien
berdiri, kontraktur rotasi dalam dan luar pada pinggul menyebabkan
gaya berjalan yang tidak normal dan tidak seimbang, fleksi berlebihan
pada lutut menyebabkan klien akan pincang ketika berjalan, inversi dan
eversi pada pergelangan kaki menyebabkan kaki tidak menapak dengan
datar sehingga tidak memungkinkan untuk menahan berat badan dan
berjalan dengan benar.
1. Anatomi Daerah ROM
Range of Motion (ROM) merupakan jumlah maksimum gerakan
yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan
tubuh yaitu sagital, frontal, dan transversal. Sendi yang digerakan pada
ROM aktif meliputi sendi pada seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari
kaki yang dilakukan oleh klien secara mandiri. Sedangkan pada ROM
pasif, seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang
terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri,
seperti:
a. leher (fleksi/ekstensi, fleksi lateral)
b. bahu tangan kanan dan kiri (fleksi/ekstensi, abduksi/adduksi, rotasi
bahu)
c. siku tangan kanan dan kiri (fleksi/ekstensi, pronasi/supinasi)
d. pergelangan tangan (fleksi/ekstensi/hiperekstensi, abduksi/adduksi)
e. jari-jari
tangan
(fleksi/ekstensi/hiperekstensi,
abduksi/adduksi,
oposisi)
f. pinggul
dan
lutut
(fleksi/ekstensi,
abduksi/adduksi,
rotasi
internal/eksternal)
g. pergelangan kaki (fleksi/ekstensi, Rotasi)
h. jari kaki (fleksi/ekstensi)
Sendi
merupakan
hubungan
antar
tulang.
Setiap
sendi
diklasifikasikan sesuai dengan struktur dan tingkat mobilisasinya. Ada
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
26 empat klasifikasi sendi, yaitu sinostotik, kartilagonus, fibrosa, dan sinovial
(Potter & Perry, 2005).
a. Sendi Sinostotik
Sendi ini mengacu pada ikatan tulang dengan tulang. Tidak ada
pergerakan pada tipe sendi ini dan jaringan tulang yang dibentuk di
antara tulang mendukung kekuatan dan stabilitas. Contoh tipe sendi
ini adalah sakrum.
b. Sendi Kartilagonus
Sendi ini juga bisa disebut sendi sinkondrodial. Sendi ini memiliki
sedikit pergerakan tetapi elastic dan menggunakan kartilago untuk
menyatukan permukaannya. Sendi kartilago dapat ditemukan ketika
tulang mengalami penekanan yang konstan, seperti sendi antara
sternum dan iga.
c. Sendi Fibrosa
Sendi ini juga bisa disebut sendi sindesmodial, merupakan sendi
tempat kedua permukaan tulang disatukan dengan ligament atau
membrane. Serat atau ligamennya fleksibel dan dapat diregangkan,
serta dapat bergerak dengan jumlah terbatas. Misalnya sepasang
tulang pada kaki bagian bawah (tibia dan fibula).
d. Sendi Sinovial
Sendi ini merupakan sendi yang dapat digerakkan secara bebas
karena permukaan tulang yang berdekatan dilapisi oleh kartilago
artikular dan dihubungkan oleh ligament sejajar dengan membran
sinovial. Humerus radius dan ulna dihubungkan oleh kartilago dan
ligament membentuk sendi putar.
2. Prinsip Memberikan Latihan ROM
Prinsip dalam melakukan range of motion (ROM) yaitu sebagai berikut :
1. Lakukan secara berurutan dan teratur mulai dari leher sampai kaki.
2. Jangan memegang sendi secara langsung, tapi pegang ekstremitas
secara lembut pada bagian distal atau proksimal sendi. Bila perlu
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
27 memegang sendi, buatlah telapak tangan seperti magkuk dan
letakkan dibawah sendi.
3. Jangan memegang ekstremitas pada kuku kaki atau kuku tangan
4. Bekerja mulai arah proksimal ke arah distal
5. Aman dan nyaman.
3. Tipe Gerakan (Potter & Perry, 2005)
Jenis Gerakan
Arti Gerakan
Fleksi
Gerakan menekuk sendi
Ekstensi
Gerakan meluruskan sendi
Hiperekstensi
Gerakan meluruskan sendi melebihi posisi anatomis
Dorsifleksi
Gerakan fleksi pada tumit. Telapak kaki diluruskan sehingga jari-jari
menghadap ke bawah
Abduksi
Gerakan anggota gerak menjauhi garis tengah tubuh
Adduksi
Gerakan anggota gerak mendekati garis tengah tubuh
Rotasi
Gerakan tulang memutar aksis/sumbu longitudinalnya
Rotasi Eksternal
Gerakan memutar menjauhi garis tengah tubuh
Rotasi Internal
Gerakan memutar kearah garis tengah tubuh
Sirkumduksi
Gerakan melingkat pada ujung distal tulang sementara ujung proksimal
tetap stabil
Supinasi
Gerakan telapak tangan ke ara anterior atau superior
Pronasi
Gerakan telapak tangan ke ara posterior atau inferior
Eversi
Gerakan tumit ke arah lateral sumbu tubuh
Inversi
Gerakan tumit ke arah garis tengah sumbu tubuh
Oposisi
Gerakan mempertemukan ibu jari dengan jari-jari lainnya.
4. Prosedur Tindakan ROM
Terdapat tiga macam latihan rentang gerak yaitu rentang gerak aktif, pasif,
dan aktif asistif (Potter & Perry, 2005).. Aktif yaitu latihan yang dilakukan
secara mandiri oleh klien dengan atau tanpa pengawasan perawat. Aktif
asistif adalah latihan yang dilakukan oleh klien sesuai dengan
kemampuannya dan sisanya dibantu oleh perawat. Pasif yaitu latihan yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
28 diberikan oleh perawat atau tim kesehatan lain. Rentang gerak aktif
membantu mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot serta
meningkatkan penampilan kognitif. Sebaliknya rentang gerak pasif yaitu
menggerakkan sendi seseorang melalui rentang geraknya oleh orang lain,
hanya membantu mempertahankan fleksibilitas. Untuk mempertahankan
rentang gerak, sendi-sendi harus dilatih dua sampai tiga kali perhari.
Prinsip dalam melakukan range of motion (ROM) yaitu sebagai berikut :
a. Lakukan secara berurutan dan teratur mulai dari leher sampai kaki.
b. Jangan memegang sendi secara langsung, tapi pegang ekstremitas
secara lembut pada bagian distal atau proksimal sendi. Bila perlu
memegang sendi, buatlah telapak tangan seperti magkuk dan letakkan
dibawah sendi.
c. Jangan memegang ekstremitas pada kuku kaki atau kuku tangan
d. Bekerja mulai arah proksimal ke arah distal
e. Aman dan nyaman.
ROM aktif yaitu perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien
dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan
rentang gerak sendi normal (klien aktif). Kekuatan otot 75 % D. Jenis
gerakan Fleksi, Ekstensi, Hiper ekstensi, Rotasi, Sirkumduksi, Supinasi,
Pronasi, Abduksi, Aduksi, Oposisi (Potter and Perry, 2005). ROM Aktif
meliputi seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien
sendiri secara aktif. Berikut ini latihan rentang gerak :
 Latihan I (Leher, spina servikal )
Tipe sendi: Pivotal (putar)
o Fleksi: menggerakkan dagu menempel ke dada
(otot sternocleidomastoid).
o Ekstensi: mengembalikan kepala ke posisi tegak
(otot trapezius).
o Hiperekstensi: menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
29 (otot trapezius).
o Fleksi lateral: memiringkan kepala sejauh mungkin ke arah
setiap bahu (otot sternocleidomastoid)
o Rotasi: memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan
sirkular (otot sternocleidmastoid, trapezius)
 Latihan II (Bahu)
Tipe Sendi: ball and socket:
o Fleksi: menaikkan lengan dari posisi di samping tubuh
ke posisi depan di atas kepala (otot koraktobrakhialis,
bisep brakhli, deltoid, pektoralis mayor)
o Ekstensi: mengembalikan lengan ke posisi samping tubuh
(otot latissimus dorsi, teres mayor, trisep brakhii)
o Hiperekstensi: menggerakkan lengan ke belakang tubuh,
dengan siku tetap lurus (otot latissimus dorsi, teres mayor, deltoid)
o Abduksi: menaikkan lengan ke posisi samping, di atas kepala (otot
deltoid, sipraspinatus)
o Adduksi: menurunkan lengan dari atas ke samping sampai menyilang
tubuh (otot pektoralis mayor)
o Rotasi
dalam:
dengan
siku
fleksi,
memutar
bahu
dengan
menggerakkan lengan sampai jari-jari menghadap ke bawah dan ke
belakang (otot pektoralis mayor, latissimus dorsi, teres mayor,
subskapularis)
o Rotasi luar: dengan siku fleksi, memutar bahu dengan menggerakkan
lengan sampai jari-jari menghadap ke atas dan berada si samping
kepala (otot infraspinatus, teres mayor, deltoid)
o Sirkumduksi: menggerakkan lengan dengan lingkaran penuh (otot
deltoid, korakobrakhialis, latissimus dorsi, teres mayor)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
30  Latihan III (Siku)
Tipe sendi: Hinge
o
Fleksi: menekuk siku sehingga lengan bawah bergerak ke depan
sendi bahu dan tangan sejajar bahu (otot bisep brakhii, brakhialis,
brakhioradialis)
o
Ekstensi: meluruskan siku dengan menurunkan tangan (otot trisep
brakhii)
 Latihan IV (Lengan bawah)
Tipe sendi: Pivotal (putar)
o
Supinasi: memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak
tangan menghadap ke atas (otot supinator, bisep brakhii)
o
Pronasi: memutar lengan ke bawah sehingga telapak tangan
menghadap ke bawah (otot pronator teres, pronator quadrates)

Latihan V (Pergelangan tangan)
Tipe sendi: kondiloid
o
Fleksi: menggerakkan telapak tangan ke sisi bagian
dalam lengan bawah (otot fleksor kalpi ulnaris, fleksor carpi
radialis)
o
Ekstensi: menggerakkan jari-jari sehingga jari-jari, tangan dan
engan bawah berada dalam arah yang sama (otot ekstensor karpi
ulnaris, ekstensor carpi radialis brevis, ekstensor radialis longus)
o
Hiperekstensi: membawa permukaan tangan dorsal ke belakang
sejauh mungkin (otot ekstensor karpi ulnaris, ekstensor carpi
radialis brevis, ekstensor radialis longus)
o
Abduksi (fleksi lateral): menekuk pergelangan tangan miring
(medial) ke ibu jari (otot fleksor carpi radialis, ekstensor carpi
radialis brevis, ekstensor radialis longus)
o
Adduksi (fleksi ulnar): menekuk pergelangan tangan miring
(lateral) kea rah lima jari (otot fleksor karpi ulnaris, ekstensor carpi
o
ulnaris)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
31  Latihan VI (Jari-jari tangan)
Tipe sendi: Condyloid hinge
o
Fleksi: membuat genggaman (otot lumbrikales,
interosseus volaris, interosserus dorsalis)
o
Ekstensi: meluruskan jari-jari tangan (ekstensor digiti quinti
proprius, ekstensor digitorum kommunis, ekstensor inicis proprius)
o
Hiperekstensi: menggerakkan jari-jari tangan ke belakang sejauh
mungkin (otot ekstensor digiti quinti proprius, ekstensor digitorum
kommunis, ekstensor inicis proprius)
o
Abduksi: merenggangkan jari-jari yang satu dengan jari-jari yang
lain (otot interosserus dorsalis)
o
Adduksi: merapatkan jari-jari tangan (otot interosserus volaris)
 Latihan VII (Ibu jari)
Tipe sendi: Pelana
o
Fleksi: menggerakkan ibu jari menyilang permukaan
o
telapak tangan (otot fleksor pollisis brevis)
o
Ekstensi: menggerakkan ibu jari menjauh dari telapak tangan (otot
ekstensor pollisis longus, ekstensor pollisis brevis)
o
Abduksi: menjahkan ibu jari ke samping (otot abductor pollisis
brevis)
o
Adduksi: menggerakkan ibu jari ke depan tangan (otot adductor
pollisis obliquus, adductor pollisis tranversus)
o
Oposisi: menyentuh ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan
yang sama (otot opponeus pollisis, opponeus digiti minimi)
 Latihan VIII (Pinggul)
Tipe sendi: ball and socket
o
Fleksi: menggerakkan tungkai ke depan dan atas (otot psaos
mayor, iliakus, iliopsaos, Sartorius)
o
Ekstensi: menggerakkan kembali ke samping tungkai yang lain
(Gluteus maksimus, semitendonesus, semimembranisus)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
32 o
Hiperekstensi: menggerakkan tungkai ke belakang tubuh (otot
gluteus maksimus, semitendonesus, semimembranisus)
o
Abduksi: menggerakkan tungkai ke samping menjauhi tubuh
(gluteus medius, gluteus minimus)
o
Adduksi: menggerakkan tungkai kembali ke posisi medial dan
melebihi jika mungkin (otot adductor longus, adductor brevis,
adductor magnus)
o
Rotasi dalam: memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai lain (otot
gluteus medius, gluteus minimus, tnsor fasciae latae)
o
Rotasi luar: memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain (otot
obturatorius internus, obturatorius ekternus)
o
Sirkumduksi: menggerakkan tungkai melingkar (otot psaos mayor,
gluteus maksimus, gluteus medius, adductor magnus)
 Latihan IX (Lutut)
Tipe sendi: Hinge
o
Fleksi: menggerakkan tumit ke arah belakang paha (otot bisep
femoris, semitendonosus, semimembranosus, Sartorius)
o
Ekstensi: mengembalikan tungkai ke lantai (otot rektus femoris,
vastus lateralis, vastus medialis, vastus intermedius)
 Latihan X (Mata kaki)
Tipe sendi: Hinge
o
Dorsifleksi: menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke
atas (otot tibialis enterior)
o
Plantarfleksi: menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk
ke bawah (otot gastroknemus, soleus)
 Latihan XII (Kaki)
Tipe sendi: Gliding
o
Inversi: memutar telapak kaki samping dalam/ medial
(otot tibialis anterior, tibialis posterior)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
33 o
Eversi: memutar telapak kaki ke samping luar/lateral
(otot peroneus longus, peroneus brevis)
 Latihan XIII (Jari-jari kaki)
Tipe sendi: Condyloid
o
Fleksi: melengkungkan jari-jari kaki ke bawah (otot fleksor
digitorum, lumbrikalis pedis, fleksor hallusis brevis)
o
Ekstensi: meluruska jari-jari kaki (otot ekstensor digitorum longus,
ekstensor digitorum brevis, ekstensor hallusis longus)
o
Abduksi: merenggangakn jari-jari kaki satu dengan lainnya (otot
abductor hallusis, interusseus dorsalis)
o
Adduksi: merapatkan kembali bersama-sama (otot adductor
hallusis, interosseus plantaris)
5. ROM untuk klien dengan hemiarthroplasty :
a. Pumping exercise adalah pengaturan posisi 45o elevasi tungkai dan
menggerakkan secara aktive dorsofleksiankle yang bertujuan untuk
melancarkan sirkulasi dan mengurangi edema.
b. Quadricep Exercise dilakukan dengan cara isometrik exercise dengan
posisi tungkai lurus (abduksi) dan instruksikan pasien untuk menekan
tangn fisioterapi yang di letakkan dibawah poplitea ini bertujuan untuk
mengurangi oedema dan meningkatkan kekuatan otot quadriceps.
c. Active Assited exercise, fleksi hip abduksi Hip, adalah latihan gerak
aktif dengan bantuan kekuatan dari luar (fisioterapi) sebesar yang
diperlukan ini bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot, mobilisasi
sendi aktif dan mengajarkan gerak tertentu.
2.5 Konsep Lanjut Usia (Lansia)
Departemen kesehatan RI (2006) memberikan batasan lansia sebagai berikut:
1. Virilitas (prasenium) : masa persiapan usia lanjut yang menampakan
kematangan jiwa (usia 55 – 59 tahun)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
34 2. Usia lanjut dini (senescen) : kelompok yang mulai memasuki masa usia
lanjut dini (usia 60-64 tahun)
3. Lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai macam penyakit
degenerative (usia diatas 65 tahun).
Batasan lansia menurut WHO meliputi usia pertengahan (Middle age) antara
45 - 59 tahun, usia lanjut (Elderly) antara 60 - 74 tahun, dan usia lanjut tua
(Old) antara 75 – 90 tahun, serta usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun
(Nugroho, 2000).
2.5.1 Teori-teori penuaan
Terdapat banyak teori tentang penuaan yaitu teori biologis dan teori
kejiwaan sosial. Teori-teori biologis terdiri dari teori sintesis protein, teori
keracunan oksigen, teori sistem imun, teori radikal bebas, teori rantai
silang, teori reaksi dari kekebalan sendiri dan lain-lain. Teori-teori
kejiwaan sosial terdiri dari teori pengunduran diri, teori aktivitas, teori
subkultur, dan teori kepribadian berlanjut.
A. Teori Biologis
Teori seluler. Teori ini menyatakan bahwa kemampuan sel yang hanya
dapat membelah dalam jumlah tertentu dan kebanyakan sel-sel tubuh
diprogram untuk membelah sekitar 50 kali. Bila sebuah sel pada lansia
dilepas dari tubuh dan dibiakkan di laboratorium, lalu diobservasi jumlah
sel yang akan membelah akan terlihat sedikit (Watson, 2003).
Pembelahan sel lebih lanjut mungkin terjadi untuk pertumbuhan dan
perbaikan jaringan, justru kemampuan sel akan menurun sesuai dengan
bertambahnya usia (Boedhi Darmojo & Nugroho, 2000; Watson, 2003).
Sedangkan pada sistem saraf, sistem muskuloskeletal dan jantung, sel
pada jaringan organ dalam sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut
dibuang karena rusak atau mati. Oleh karena itu, sistem tersebut beresiko
mengalami penuaan dan memiliki kemampuan yang rendah untuk
tumbuh dan memperbaiki diri dan sel dalam tubuh seseorang ternyata
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
35 cenderung mengalami kerusakan dan akhirnya sel akan mati karena sel
tidak dapat membelah lagi (Watson, 2003).
1. Teori sintesis protein.
Teori sintesis protein menyatakan bahwa proses penuaan terjadi
ketika protein tubuh terutama kolagen dan elastin menjadi kurang
fleksibel dan kurang elastis. Observasi dapat dilakukan pada jaringan
seperti kulit dan kartilago, hal ini dihubungkan dengan adanya
perubahan kimia pada komponen protein dalam jaringan tersebut.
Pada lansia, beberapa protein terutama kolagen pada kartilago dan
elastin pada kulit dibuat oleh tubuh dengan struktur yang berbeda
dengan protein tubuh orang yang lebih muda. Banyak kolagen pada
kartilago dan elstin pada kulit yang kehilangan fleksibilitasnya serta
menjadi lebih tebal, seiring dengan bertambahnya usia, perubahan
permukaan kulit yang kehilangan elastisitasnya akan cenderung
berkerut (Watson, 2003).
2. Teori keracunan oksigen.
Teori ini menyatakan bahwa adanya sejumlah penurunan kemampuan
sel di dalam tubuh untuk mempertahankan diri dari oksigen yang
mengandung zat racun dengan kadar yang tinggi tanpa mekanisme
pertahanan diri tertentu. Ketidakmampuan untuk mempertahankan
diri dari toksik tersebut membuat struktur membran sel mengalami
perubahan dan terjadi kesalahan genetik (Watson, 2003). Membran
sel tersebut merupakan alat untuk memfasilitasi sel dalam
berkomunikasi dengan lingkungan yang juga mengontrol proses
pengambilan nutrien dan proses ekskresi zat toksik di dalam tubuh.
Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah adanya penurunan
repsoduksi sel oleh mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di
semua jaringan dan organ berkurang. Hal ini dapat menyebabkan
peningkatan kerusakan sistem tubuh (Watson, 2003).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
36 3. Teori sistem imun
Teori ini mengemukakan kemampuan sistem imun mengalami
kemunduran, walaupun demikian kemunduran kemampuan sistem
yang terdiri dari sistem limfatik dan khususnya sel darah putih, juga
merupakan faktor yang berdistribusi dalam proses penuaan. Hal ini
dimanifestasikan dengan meningkatnya infeksi autoimun dan kanker
(Watson, 2003).
4. Teori radikal bebas
Nugroho
(2000)
menyatakan
bahwa
dalam
teori
terjadi
ketidakstabilan radikal bebas sehingga oksidasi bahan-bahan organik
seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak
mampu lagi beregenerasi.
B. Teori Kejiwaan Sosial
Teori pengunduran diri. Teori ini menyatakan bahwa saat lanjut usia
terjadi pengunduran diri yang mengakibatkan penurunan interaksi antara
lanjut usia dengan lingkungan sosialnya (Suriadi, 1999). Teori kegiatan.
Teori ini menyatakan bahwa pada saat seseorang menginjak usia lanjut,
maka mereka tetap mempunyai kebutuhan dan keinginan yang sama
seperti pada masa-masa sebelumnya. Mereka tidak ingin mengundurkan
diri dari lingkungan sosialnya. Lansia yang aktif melaksanakan perananperanannya di masyarakat akan mencapai usia lanjut yang optimal.
Teori kepribadian berlanjut menyatakan bahwa perubahan yang terjadi
pada seorang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe kepribadian yang
dimiliki lansia tersebut (Kuntjoro, 2002). Perubahan-perubahan tersebut
akan berdampak terhadap sistem muskuloskeletal yang merupakan
komponen struktur yang utama, dimana sistem ini mengalami perubahan
dalam muskulature yaitu otot yang mengecil serta progresif (atrofi) dan
tulang kehilangan kalsium secara progresif (dekalsifikasi) (Watson, 2003).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
37 Perubahan yang lambat akan membuat tulang pada lansia lebih mudah
fraktur karena penurunan elastisitas sendi yang disebabkan oleh adanya
perubahan dalam sintesis kolagen yang cenderung mengalami kerusakan
(Watson, 2003).
2.6 Hemiarthroplasty
Scatzker (2007), menyatakan bahwa hemiarthroplasty adalah prosedur operasi
dengan mana tulang rawan (cartilage) dan tulang yang berpenyakit (rusak)
dari sendi pinggul secara operasi diganti dengan materi-materi buatan.
Prosedur yang paling umum dilakukan di pinggul setelah fraktur (tepat di
bawah kepala) subcapital leher femur (patah tulang pinggul). Prosedur ini
dilakukan dengan membuang kepala femur dan menggantinya dengan logam
atau komposit prosthesis. Sendi pinggul yang normal adalah sendi bola dan
socket (rongga). Socket (rongga) adalah tulang pelvis yang "berbentuk
mangkok" yang disebut acetabulum. Bola adalah kepala dari tulang paha
(femur). Hemiarthroplasty melibatkan pengeluaran dari bola dan socket yang
berpenyakit (rusak) secara operasi dan menggantikan mereka dengan bola dan
batang metal yang dimasukan kedalam tulang femur dan socket mangkok
plastik buatan.
a. Komplikasi (Blomfeldt et all, 2007)
1) Dislokasi protestesis panggul
Dislokasi adalah komplikasi yang paling umum dari operasi
penggantian pinggul. Pada operasi kepala femoral diambil dari
soket, implan pinggul ditempatkan dan pinggul dimasukkan
kembali ke posisi yang tepat. Dibutuhkan delapan sampai dua belas
minggu untuk jaringan lunak terluka atau dipotong selama operasi
untuk menyembuhkan. Selama periode ini, bola pinggul dapat
keluar dari soket. Kesempatan ini berkurang jika jaringan kurang
dipotong, jika dipotong jaringan diperbaiki dan jika kepala bola
berdiameter besar digunakan. Ahli bedah yang melakukan lebih dari
operasi setiap tahun cenderung memiliki lebih sedikit pasien
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
38 terkilir. Melakukan operasi dari pendekatan anterior tampaknya
menurunkan tingkat dislokasi ketika kepala berdiameter kecil
digunakan, tetapi manfaatnya belum terbukti bila dibandingkan
dengan sayatan posterior modern dengan penggunaan yang lebih
besar kepala diameter. Pasien dapat mengurangi risiko lebih lanjut
dengan menjaga kaki keluar dari posisi tertentu selama beberapa
bulan pertama setelah operasi. Penggunaan alkohol oleh pasien
selama periode awal ini juga berhubungan dengan tingkat
peningkatan dislokasi.
2)
Trombosis vena
Trombosis vena seperti deep vein thrombosis dan pulmonary
embolism relatif umum setelah operasi penggantian pinggul.
Pengobatan standar dengan antikoagulan adalah selama 7-10
hari; Namun pengobatan selama lebih dari 21 hari bisa menjadi lebih
unggul. Beberapa dokter dan pasien mungkin mempertimbangkan
memiliki tungkai bawah ultrasonografi vena untuk layar untuk deep
vein
thrombosis setelah
penggantian
pinggul.
Namun,
jenis
pemeriksaan hanya boleh dilakukan bila ada indikasi karena untuk
melakukan itu secara rutin akan perawatan kesehatan yang tidak
perlu.
3)
Osteolisis
Banyak masalah jangka panjang dengan penggantian pinggul adalah
hasil dari osteolisis . Ini adalah hilangnya tulang yang disebabkan
oleh reaksi tubuh terhadap puing-puing memakai polietilen, bit baik
dari plastik yang datang dari cangkir kapal dari waktu ke
waktu.Sebuah inflamasi proses menyebabkan resorpsi tulang yang
dapat menyebabkan melonggarnya berikutnya dari implan pinggul
dan bahkan patah tulang pada tulang di sekitar implan. Dalam upaya
untuk menghilangkan generasi partikel memakai, permukaan
bantalan keramik yang digunakan dalam harapan bahwa mereka
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
39 akan memiliki lebih sedikit keausan dan kurang osteolisis dengan
hasil jangka panjang yang lebih baik. Cangkir logam liners
bergabung dengan kepala logam (metal-on-metal hip artroplasti) juga
dikembangkan untuk alasan yang sama. Di laboratorium ini
menunjukkan karakteristik aus yang sangat baik dan manfaat dari
mode yang berbeda dari pelumasan. Pada saat yang sama bahwa dua
permukaan bantalan ini sedang dikembangkan, yang sangat terkait
lintas liners plastik polyethylene juga dikembangkan. Semakin besar
lintas menghubungkan secara signifikan mengurangi jumlah puingpuing memakai plastik yang diberikan dari waktu ke waktu. Yang
lebih baru prostesis keramik dan logam tidak selalu memiliki track
record jangka panjang didirikan logam pada bantalan poli. Potongan
keramik dapat mematahkan menyebabkan bencana kegagalan. Hal
ini terjadi pada sekitar 2% dari implan yang dipasang. Mereka juga
dapat menyebabkan terdengar, bernada tinggi suara mencicit dengan
aktivitas. Metal-on-logam artroplasti rilis puing-puing logam ke
dalam tubuh meningkatkan kekhawatiran tentang potensi bahaya ini
terakumulasi dari waktu ke waktu. Linked polyethylene sangat silang
tidak sekuat polyethylene biasa. Ini liners plastik dapat retak atau
pecah bebas dari shell logam yang memegang mereka.
4)
Sensitivitas logam
Kekhawatiran sedang mengangkat tentang sensitivitas logam dan
potensi bahaya logam partikulat puing-puing. Publikasi baru telah
menunjukkan perkembanganpseudotumors, massa jaringan lunak
yang mengandung jaringan nekrotik, sekitar sendi panggul.
Tampaknya massa ini lebih sering terjadi pada wanita dan pasien ini
menunjukkan tingkat yang lebih tinggi zat besi dalam darah.
Penyebabnya tidak diketahui dan mungkin multifaktorial. Mungkin
ada reaksi beracun untuk kelebihan puing memakai partikel logam
atau reaksi hipersensitivitas terhadap jumlah normal puing-puing
logam.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
40 Hipersensitivitas logam adalah fenomena mapan dan umum,
mempengaruhi sekitar 10-15% dari populasi. Kontak dengan logam
dapat menyebabkan reaksi imun seperti gatal-gatal kulit, eksim,
kemerahan dan gatal-gatal. Meskipun sedikit yang diketahui tentang
farmakodinamik
jangka
pendek
dan
jangka
panjang
dan
bioavailabilitas beredar produk degradasi logam in vivo, ada banyak
laporan tanggapan imunologi tipe temporal berhubungan dengan
implantasi
komponen
logam. Laporan
kasus
individual
menghubungkan reaksi kekebalan hipersensitivitas dengan kinerja
buruk kardiovaskular klinis logam, ortopedi dan bedah implan dan
gigi plastik.
5)
Toksisitas logam
Kebanyakan penggantian pinggul terdiri dari kobalt dan paduan
kromium, atau titanium. Stainless steel tidak lagi digunakan. Semua
implan melepaskan ion konstituen mereka ke dalam darah. Biasanya
ini diekskresikan dalam urin, tapi pada individu tertentu ion dapat
terakumulasi dalam tubuh. Dalam implan yang melibatkan kontak
logam-on-logam, fragmen mikroskopis kobalt dan kromium dapat
diserap ke dalam aliran darah pasien. Ada laporan toksisitas kobalt
dengan pasien penggantian pinggul.
6) Kelumpuhan saraf
Pasca operasi kelumpuhan saraf siatik adalah komplikasi lain
mungkin. Insiden komplikasi ini rendah. Femoralis kelumpuhan
saraf adalah komplikasi lain tapi jauh lebih jarang.Kedua hal ini
biasanya akan menyelesaikan waktu ke waktu, tetapi proses
penyembuhan lambat. Pasien dengan cedera saraf yang sudah ada
berada pada risiko lebih besar mengalami komplikasi ini dan juga
lambat untuk pulih.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
41 7)
Nyeri kronis
Beberapa pasien yang memiliki penggantian pinggul menderita nyeri
kronis setelah operasi. Nyeri pada pangkal paha dapat berkembang
jika otot yang menimbulkan pinggul (iliopsoas) menggosok terhadap
tepi cangkir acetabular. Bursitis dapat berkembang pada trokanter
mana bekas luka bedah melintasi tulang, atau jika komponen
femoralis digunakan mendorong kaki ke samping terlalu jauh. Juga
beberapa pasien dapat mengalami nyeri pada cuaca dingin atau
lembab. Insisi dibuat di depan pinggul (pendekatan anterior) dapat
memotong saraf mengalir di paha mengarah ke mati rasa di paha dan
nyeri kronis kadang-kadang pada titik di mana saraf dipotong
(neuroma a).
8)
Kematian
Tingkat kematian untuk penggantian pinggul elektif jauh kurang dari
1%.
9)
Panjang kaki tidak setara
Kaki dapat diperpanjang atau diperpendek selama operasi. Kaki yang
tidak merata adalah keluhan yang paling umum oleh pasien setelah
operasi dengan lebih memperpanjang masalah yang paling
umum. Kadang-kadang kaki tampaknya lama segera setelah operasi
padahal sebenarnya keduanya sama panjang. Sebuah hip rematik
dapat mengembangkan kontraktur yang membuat kaki berperilaku
seolah-olah itu pendek. Ketika ini lega dengan operasi penggantian
dan gerak normal dan fungsi dikembalikan, badan terasa bahwa
dahan sekarang lebih lama dari itu. Jika kaki yang benar-benar sama,
rasa ketidakadilan menyelesaikan dalam satu atau dua bulan
operasi. Jika kaki tidak merata, tidak akan. Sebuah lift sepatu untuk
kaki pendek, atau dalam kasus yang ekstrim, operasi korektif
mungkin diperlukan.
Benar panjang kaki ketidaksetaraan kadang-kadang dapat disebabkan
oleh seleksi implan yang tidak tepat. Komponen femoralis mungkin
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
42 terlalu besar dan tetap keluar dari femur lebih dari yang
dibutuhkan. Bola kepala yang dipilih dapat duduk terlalu bangga
pada batang. Kekakuan di punggung bawah dari arthritis atau operasi
fusi sebelumnya tampaknya untuk memperbesar persepsi kaki
panjang ketimpangan.
b. Penatalaksanaan (Keating, 2006)
1) Diet tinggi kalori dan protein 1700 kkal
2) Tidak boleh duduk 4-6 minggu (tidur langsung berdiri)
3) Posisi kaku abduksi
4) Hip tidak boleh flexi
5) Reposisi (Buchol, 2002) :
a. Aliis :
- Posisi supinasi, pelvis distabilkan pada kedua SIAS oleh
asisten
- Traksi sesuai arah deformitas
- Flexi hip 900, gerakan internal dan eksternal rotasi dengan
traksi longitudinal sampai tercapai reposisi
b. Bigelow :
- Flexi panggul
- Abduksi
- External rotasi
- Extensi
- Posisi netral
c. Stomson :
- Posisi telungkup
- Panggul di tepi meja operasi
- Tungkai yang sehat extensi
- Flexi panggul yang sakit, tekan dari posterior
- Lutut flexi, pegang pergelangan kaku dalam posisi netral
- Bila femur distal, tekan ke bawah pada betis
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
43 6. Isometric Exercise
Isometric exercise adalah latihan dimana tidak terjadi pemanjangan
serabut otot namun tension otot tersebut menungkat. Dengan
melatih hip joint terutama dengan latihan quadriceps exercise.
Manfaat isometric exercise :
a. Meningkatkan sirkulasi darah
b. Relaksasi otot karena ada fase kontraksi dan rileks
c. Memelihara kekuatan otot
d. Meningktakan ROM
7. Double crutch
8. Latihan active ROM
Latihan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan lingkup
gerak sendi pada tungkai, terutama gerak ekstensi hip, abduksi hip
dan rotasi hip. Namun juga dapat dilakukan untuk meningkatkan
gerak sendi yang lain. Latihan yang dapat digunakan untuk
meningkatkan ROM dilakukan secara bertahap dari latihan gerak
secara pasif dan meningkat menjadi gerak aktif.
9. Latihan berjalan WB (weight bearing)
Awal dimulainya latihan weight bearing tergantung pada letak
insisi, komplikasi pasca bedah dan hasil pemeriksaan X Ray pada
post operasi hari pertama. Bila insisinya pada posterolateral,
latihan dapar dimulai pada hari pertama. Namun bila insisi pada
antero lateral latihan dimulai pada hari kelima karena kemungkinan
dapat timbul dislokasi kea rah ekstensi.
Pada saat latihan jalan sisi yang dioperasi harus menerima berat
badan agar implant yang dipasang dapat tertanam dengan baik, dan
dengan memperhatikan gerakan ekstensi, fleksi, adduksi dan
eksternal rotasi hip yang tidak berlebihaan agar tidak terjadi
dislokasi.
10. Mobilisasi di tempat tidur
Dalam melakukan aktivitas tersebut yang perlu diperhatikan adalah
posisi klien terutama posisi hip, yaitu posisi hip harus dalam posisi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
44 abduksi, fleksi 60 derajat. Mobilisasi dapat dimulai pada hari
pertama post operasi.
11. Orthesa/Prothesa : Walker
c. Protokol Post Operasi Hemiarthroplasty: (Carolyn, 2011)
1. Tahap I - Segera Pos Bedah Tahap (Hari 1-4):
Tujuan:
Tujuan dari terapi fisik selama awal fase pasca-operasi adalah untuk
mendidik
pasien
mengenai
tindakan
pencegahan
dislokasi,
meningkatkan kemandirian dengan fungsi dan mencegah komplikasi
pasca bedah operasi. Gangguan ini dapat mencakup:
• Edema
• Nyeri
• Penurunan gerak
• Gangguan kontrol dan kekuatan otot pada tungkai bawah
• Keseimbangan
Intervensi Terapi fisik juga diarahkan mengidentifikasi sensorimotor
lain atau kondisi sistemik yang dapat mempengaruhi potensi
rehabilitasi suatu pasien. Pasien dalam rumah sakit 2-4 hari pascaoperatif jika tidak ada komplikasi medis terjadi. Hal-hal yang
dilakukan dalam 2-4 hari yaitu :
 Lakukan tidur mobilitas dan transfer dengan paling sedikit bantuan
dengan tetap menjaga bearing yang sesuai berat (WB) dan
tindakan pencegahan dislokasi.
 Ambulasi dengan perangkat bantu untuk setidaknya 100 meter dan
Ascend / turun tangga untuk memungkinkan kebebasan dengan
kegiatan rumah tangga tetap menjaga WB sesuai.
 Lakukan semua aktivitas terapi terlentang dan duduk secara
independen.
 Mengungkapkan pemahamannya tentang pasca-operasi pinggul
tindakan pencegahan dislokasi termasuk penggunaan posisi yang
tepat dari tungkai bawah, rentang gerak, dan latihan penguatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
45  Lakukan pelatihan proprioseptif untuk meningkatkan tubuh /
kesadaran spasial operasi yang ekstremitas dalam kegiatan
fungsional.
 transfer masuk dan keluar dari kendaraan dengan bantuan minimal.
Observasi dan Penilaian:
 Observasi
tanda-tanda
DVT:
peningkatan
pembengkakan,
erthymia, nyeri betis.
 Amati tanda-tanda dislokasi hip: Tanda-tanda meliputi nyeri yang
tidak terkontrol, perbedaan panjang kedua kaki, dan / atau kaki
yang
dilakukan
hemiarthroplasty
mungkin
mudah
diputar
dibandingkan dengan kaki non-operatif.
 Amati pinggul dan luka klien. Catatan perubahan warna kulit,
edema, dan integritas kulit.
 Jika sejumlah besar drainase ada, atau ada kerutan atau kulit lemah
di sekitar pinggul bersama berdiskusi dengan perawat dan
memutuskan apakah ada indikasi untuk memberitahukan tim
bedah. Memantau penyembuhan luka dan berkonsultasi dengan tim
keseharan lain jika tanda-tanda dan gejala yang berlebihan
perdarahan dan integritas sayatan yang hadir.
 Pantau tanda-tanda emboli paru dan hilangnya integritas saraf
perifer.
 Nyeri: Kaji nyeri pasien dengan menggunakan skala analog
visual. Pastikan bahwa klien mendapatkan obat nyeri sebelum
perawatan. Cryotherapy direkomendasikan setelah pengobatan
terapi fisik untuk mengurangi rasa sakit, ketidaknyamanan dan
bengkak di pinggul.
 Pasien dalam keadaan terlentang dengan baik bantal hip atau
dengan ekstremitas operasi dalam suspensi traksi berdasarkan
preferensi ahli bedah. Disarankan bantal tetap dantara ekstremitas
bawah klien ketika di tempat tidur. Pasien dengan tindakan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
46 pencegahan anterior mungkin tapi tidak memerlukan suspensi
traksi atau bantal hip.
Aktivitas terapeutik dan mobilitas fungsional:
 Aktif / aktif dibantu / pasif (A / AA / PROM) latihan terlentang
dan duduk termasuk pompa pergelangan kaki, heelslides, rotasi
internal dan eksternal pinggul, paha depan busur panjang, duduk
hip fleksi, dan hip penculikan / adduksi (jika tidak ada tindakan
pencegahan troch off). Lakukan semua latihan dalam pasien
dislokasi tindakan pencegahan.
 Quadriceps isometrik, hamstring, dan latihan isometrik glutealis.
 Kisaran ekstremitas bawah gerak (ROM) dan penguatan seperti
yang ditunjukkan berdasarkan temuan-temuan evaluasi.
 Latihan rantai tertutup (jika pasien menunjukkan kontrol nyeri
yang baik, kekuatan otot dan keseimbangan). Latihan Closedirantai harus dilakukan dengan ekstremitas atas bilateral
dukungan tetap menjaga kewaspadaan WB yang sesuai.
 Bed mobilitas di tempat tidur datar.
 Pelatihan Kiprah pada permukaan datar dengan alat bantu jalan
atau kruk.
 Mentransfer pelatihan dengan perangkat bantu yang sesuai.
 Kemajuan pelatihan tangga dengan dukungan ekstremitas atas jika
rencana debit adalah rumah.
 Pasien dilihat oleh Occupational Therapy (OT) untuk pendidikan
mengenai bagaimana melakukan aktivitas hidup sehari-hari (ADL)
dengan kemerdekaan diubah jika rumah debit rencana. Jika pasien
pemakaian ke fasilitas rehabilitasi, pasien akan menerima PL di
rehab.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
47 Positioning:
 Bed posisi:
 Posterior Perhatian: Pastikan bahwa kaki tempat tidur telah
terkunci dalam posisi benar-benar datar.
 Anterior Kewaspadaan: The kaki dari tempat tidur dapat dibuka
dan tertekuk untuk memastikan sedikit hip fleksi sementara
terlentang.
 Sebuah trokanter gulungan harus digunakan sesuai kebutuhan
untuk mempertahankan rotasi pinggul netral ketika terlentang dan
dengan demikian mempromosikan ekstensi lutut. Sebuah trokanter
roll gulungan handuk yang ditempatkan di samping paha hanya
proksimal ke lutut.
 Tidak ada yang harus ditempatkan di belakang lutut kaki operasi
untuk tindakan pencegahan posterior. Jika pasien memiliki
tindakan pencegahan anterior bantal dapat ditempatkan di belakang
lutut operasi untuk mempertahankan sedikit hip fleksi.
Kriteria untuk maju ke tahap berikutnya:
 Active berbagai hip fleksi gerak 0-90 'dan penculikan pinggul 0-30
derajat.
 Nyeri minimal dan peradangan
 transfer Independen dan ambulasi minimal 100 meter dengan
perangkat bantu yang sesuai.
 pemeliharaan Independen tindakan pencegahan pasca operasi.
2. Tahap II - Tahap Motion (minggu 1-6)
Tujuan:
 penguatan otot dari seluruh korset pinggul ekstremitas operasi
dengan penekanan pada hip abductor dan otot ekstensor kelompok.
 Perhatian juga harus diarahkan kelemahan hadir dalam ekstremitas
operasi serta kelemahan umum di ekstremitas atas, batang atau
kontralateral lebih rendah ekstremitas.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
48  Pelatihan proprioseptif untuk meningkatkan tubuh / kesadaran
spasial ekstremitas operasi di aktivitas fungsional.
 Pelatihan
Ketahanan
untuk
meningkatkan
kebugaran
kardiovaskular.
 pelatihan Fungsional untuk mempromosikan kemandirian dalam
kegiatan hidup sehari-hari dan mobilitas.
 Kiprah pelatihan: Alat bantu dihentikan ketika pasien mampu
ambulasi tanpa tes Trendelenberg positif berdasarkan pedoman
ambulasi (biasanya 4-6 minggu)
 Meningkatkan kisaran gerak (ROM) dalam parameter dislokasi
 Meningkatkan kekuatan
 inflamasi Penurunan / pembengkakan
 Kembali ke aktivitas fungsional
Latihan Terapi:
Minggu 1-4
 AA / A / PROM, peregangan untuk hip penculikan ROM.
 Lanjutkan paha isometrik, hamstring, dan glutealis latihan
isometric
 Heelslides
 Pelatihan Kiprah untuk meningkatkan fungsi dan kualitas kinerja
anggota tubuh yang terlibat selama ayunan melalui dan fase
sikap. Pasien didorong untuk menyapih off perangkat bantu
mereka antara minggu 4-6.
 isyarat postural / pendidikan ulang selama semua aktivitas
fungsional sesuai indikasi
 sepeda stasioner, kemajuan perlawanan minggu 3-4.
Minggu 4-6
 Lanjutkan latihan di atas
 depan dan lateral langkah dan mundur.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
49  4 jalan yang lurus mengangkat kaki (SLR) jika tidak kontraindikasi
dengan pasien dislokasi tindakan pencegahan.
 1/4 terjang depan.
 Gunakan
duduk
untuk
berdiri
dan
latihan
kursi
untuk
meningkatkan kekuatan ekstensi hip selama fungsional tugas.
 Backwards ambulasi
 Ambulasi pada permukaan yang tidak rata
 Pengangkatan / Tercatat
 Mendorong atau Menarik
 Jongkok atau Crouching
 Return-To-Work Tugas
 Mulailah Program air jika sayatan benar-benar sembuh.
Modalitas (minggu 1-6):
 Cryotherapy 1-3x / hari untuk pembengkakan dan manajemen
nyeri.
 modalitas lain pada kebijaksanaan terapis berdasarkan temuan
klinis. (Silakan lihat Departemen prosedur khusus Layanan
Rehabilitasi Modalitas.)
 Kepatuhan berat pasca operasi bantalan tindakan pencegahan
sampai pasien telah mengikuti up dengan MD untuk mereka
menindaklanjuti janji. Bagi pasien yang "WBAT ke FWB "pascabedah mereka dapat menggunakan perangkat bantu yang
diperlukan
untuk
meminimalkan
kiprah
kompensasi. Pasien
mungkin akan didorong untuk menggunakan tongkat lurus dalam
waktu satu minggu operasi jika ia / dia WBAT ke FWB. Pasien
dapat disapih dari perangkat bantu oleh 4 minggu jika mereka tidak
menggunakan perangkat bantu sebelum operasi dan pasca operasi
otot
 Memantau penyembuhan luka dan berkonsultasi dengan merujuk
MD jika tanda-tanda dan gejala infeksi hadir.
 Pantau peningkatan edema dan lanjutkan dengan cryotherapy yang
diperlukan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
50 Kriteria untuk maju ke tahap berikutnya:
 Aktif rentang gerak pinggul 0-110 '
 Baik sukarela kontrol quadriceps
 Independen ambulasi 800ft tanpa perangkat bantu, penyimpangan
atau antalgia
 Nyeri Minimal dan peradangan
3. Tahap III - fase Intermediate (minggu 7-12):
Tujuan:
 Kekuatan Baik dari semua otot ekstremitas bawah.
 Kembali ke aktivitas fungsional yang paling dan mulai kegiatan
rekreasi cahaya (yaitu berjalan, Program pool)
Latihan Terapi:
 Lanjutkan latihan yang tercantum dalam Tahap II dengan
perkembangan termasuk resistensi dan pengulangan. Disarankan
untuk menilai pinggul / lutut dan stabilitas trunk pada saat ini dan
menyediakan pasien dengan terbuka / tertutup kegiatan rantai yang
sesuai untuk masing-masing pasien kebutuhan individu.
 Memulai Program ketahanan, berjalan dan / atau kolam renang.
 Memulai dan kemajuan keseimbangan dan proprioception latihan
yang sesuai dengan usia.
Kriteria untuk maju ke fase berikutnya:
 4 + / 5 kinerja otot berdasarkan MMT semua otot ekstremitas
bawah.
 Minimal tidak ada rasa sakit atau bengkak.
4. Fase IV - penguatan lanjutan dan tinggi stage fungsi tingkat
(minggu 12-16):
Tujuan:
 Kembali ke rekreasi olahraga / kegiatan yang sesuai seperti yang
ditunjukkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
51  Meningkatkan kekuatan, ketahanan dan proprioception yang
diperlukan untuk kegiatan sehari-hari dan kegiatan rekreasi
Latihan Terapi:
 Lanjutkan latihan sebelumnya dengan perkembangan resistensi dan
pengulangan.
 Peningkatan durasi kegiatan daya tahan.
 Memulai kembali ke kegiatan rekreasi spesifik: golf, tenis ganda,
berjalan progresif atau program bersepeda.
 Tercatat, mendorong atau menarik
 Jongkok atau Crouching
 Return-To-Work Tugas
Kriteria Discharge:
(Ini adalah panduan umum sebagai pasien dapat berkembang secara
berbeda tergantung pada tingkat sebelumnya fungsi dan tujuan
individu.)
 Non-antalgic, kiprah independen
 langkah Independen atas langkah memanjat
 Nyeri AROM bebas
 Setidaknya 4/5 + kinerja otot berdasarkan MMT semua otot
ekstremitas bawah.
 Normal, usia keseimbangan dan proprioception yang tepat.
 Pasien independen dengan program latihan di rumah.
2.7 Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
Sehat adalah keadaan saat seseorang terbebas dari penyakit, baik secara fisik,
mental, maupun sosial. Didalam keperawatan, sehat didefinisikan lebih luas
lagi, yakni mencakup aspek biologis, psikologis, social, spiritual, dan kultural
(Potter & Perry, 2002). Sedangkan menurut World Health Organization, sehat
merupakan keadaan sejahtera secara fisik, mental, dan sosial bukan hanya
sekedar tidak adanya penyakit maupun cacat (Kemenkes, 2012).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
52 Kesehatan manusia terdiri atas tiga dimensi, yakni fisik, mental, dan social
dan terdapat empat faktor dasar yang mempengaruhi kesehatan suatu
masyarakat (Anderson & McFarlane, 2007). Faktor tersebut adalah:
a. Lingkungan.
Lingkungan ini meliputi lingkungan fisik (baik natural atau buatan
manusia), sosial (misal seperti homeless dan anak jalanan) dan
psikologis (misalnya kekerasan, depresi, dan stress). Pada lingkungan
fisik, misalnya kesehatan akan dipengaruhi oleh kebersihan udara yang
dihirup, air yang diminum, dan lain sebagainya.
12. Perilaku atau Gaya Hidup
Gaya hidup individu atau masyarakat sangat mempengaruhi derajat
kesehatan. Misalnya saja dalam masyarakat perkotaan, aktivitas wanita
karir semakin padat sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk
menyajikan makanan sehat bagi keluarga. Akibatnya mereka lebih suka
dengan hal-hal praktis misalnya makan dengan membeli makanan cepat
saji, yang secara kesehatan kurang sehat karena banyak mengandung zat
pengawet dan kimia lainnya.
13. Heredity
Faktor genetik ini sangat berpengaruh pada derajat kesehatan. Hal ini
karena ada beberapa penyakit yang diturunkan lewat genetik, seperti
leukemia. Faktor hereditas sulit untuk diintervensi karena hal ini
merupakan bawaan dari lahir.
14. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan juga mempengaruhi derajat kesehatan. Pelayanan
kesehatan disini adalah pelayanan kesehatan utama dan intregatif antara
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Semakin mudah akses
individu/masyarakat terhadap pelayanan kesehatan maka derajat
kesehatan masyarakat akan semakin baik.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
53 Dalam model epidemiologi, beresiko berarti suatu kondisi kesehatan yang
merupakan hasil interaksi beberapa faktor, diantaranya adalah faktor genetik,
gaya hidup, dan lingkungan fisik serta sosial dimana individu tinggal dan atau
bekerja (Stanhope & Lancaster, 2004). Efek dari akumulasi dan integrasi
faktor- faktor tersebut adalah respon individu terhadap masalah kesehatan,
mungkin menjadi lebih mudah atau justru semakin sulit terjangkit masalah
kesehatan. Beresiko berarti adalah kemungkinan terhadap munculnya suatu
kejadian, seperti status kesehatan seseorang yang terpapar oleh suatu faktor
spesifik tertentu maka akan menderita suatu penyakit spesifik tertentu tersebut
(Stanhope & Lancaster, 2004). Berdasarkan definisi tersebut, hampir setiap
individu merupakan individu beresiko terhadap masalah kesehatan karena
dikelilingi oleh faktor-faktor, hanya saja masing-masing mungkin berbeda
terhadap masalah kesehatan tertentu karena faktor spesifik yang berbeda pula
(Allender, 2010).
Aktivitas fisik sangat penting peranannya terutama bagi lansia. Dengan
melakukan aktivitas fisik, maka lansia tersebut dapat mempertahankan bahkan
meningkatkan derajat kesehatannya (Darmojo, 2009). Osteoporosis sering
terjadi pada usia lanjut baik jenis primer ataupun sekunder, terutama pada
wanita pasca menopause oleh karena penurunan hormone estrogen. Pada usia
lebih tua, kejadian juga dapat meningkat karena faktor inaktivitas, asupan
kalsium yang kurang, pembuastan vitamin D yang menurun dan faktor
hormonal.
Menurut Asdie (2005), kemajuan teknologi juga telah memacu perubahan
kebiasaan hidup (gaya hidup), gaya hidup yang cenderung lebih santai akibat
perkembangan teknologi saat ini. Menurut data Riskesdas (2013), proporsi
aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 26,1 persen.
Terdapat 22 provinsi dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif
berada di atas rerata Indonesia. Masyarakat memiliki aktifitas pasif seperti
menonton televisi atau bermain computer daripada berolah raga secara rutin.
Gerak yang dilakukan saat berolah-raga sangat berbeda dengan gerak saat
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
54 menjalankan aktivitas sehari-hari seperti berdiri, duduk atau hanya
menggunakan tangan. Hal ini merupakan gerak anggota badan yang tidak
seimbang (Wirakusumah, 2001). Adanya lift atau eskalator juga telah
menggantikan fungsi tangga di berbagai sarana umum serta alat transportasi
seperti mobil pribadi atau mobil jemputan sekolah menyebabkan masyarakat
malas bergerak. Alat transportasi, alat-alat elektronik yang serba otomatis
dapat digunakan dan dilakukan hanya dengan menekan tombol saja,
menyebabkan aktifitas fisik menjadi sangat menurun (Asdie, 2005).
Olahraga adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang memberi pengaruh baik
(positif) terhadap tingkat kemampuan fisik seseorang, apabila dilakukan
dengan baik dan benar. Hasil survey yang dilakukan oleh Depkes RI,
menunjukan bahwa 90% lansia memiliki tingkat kesegaran jasmani yang
rendah, terutama komponen daya tahan kardio-respirasi dan kekuatan otot.
Hal tersebut dapat dicegah dengan melakukan latihan fisik yang baik dan
benar (Depkes RI, 2001). The American college of sports medicine, the US
Centers for disease Control and the US Surgeon General juga menyatakan
bahwa peningkatan kesehatan bisa didapat dengan latihan sedang selama
minimal 30 menit perhari.
Gaya hidup kota yang serba praktis memungkinkan masyarakat modern sulit
untuk menghindar dari fast food. Fast food memiliki beberapa kelebihan
antara lain penyajian yang cepat sehingga tidak menghabiskan waktu lama dan
dapat dihidangkan kapan dan dimana saja, higienis dan dianggap sebagai
makanan bergengsi dan makanan gaul (Irianto, 2007). Perubahan dari pola
makan tradisional ke pola makan barat seperti fast food yang banyak
mengandung kalori, lemak dan kolesterol, ditambah kehidupan yang disertai
stress dan kurangnya aktivitas fisik, terutama di kota-kota besar mulai
menunjukkan dampak dengan meningkatnya masalah gizi lebih (obesitas) dan
penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi dan diabetes mellitus
(Khasanah, 2012).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
48 BAB 3
PEMAPARAN KASUS
Bab 3 ini membahas mengenai asuhan keperawatan pada Ny. N dengan fraktur
kolum femur. Asuhan keperawatan meliputi pengkajian, masalah keperawatan dan
intervensi, implementasi dan evaluasi disesuaikan dengan kondisi preoperasi dan
post operasi.
3.1 Pengkajian
3.1.1 Data dan Riwayat Kesehatan
Initial Nama
Usia
Tanggal Lahir
No RM
Jenis Kelamin
Agama
Diagnosis Medis Klien
Tanggal Pengkajian
Tanggal Masuk
Sumber Informasi
: Ny. N
: 81 tahun
: 01 Februari 1933
: 436303
: Perempuan
: Islam
: fraktur kolum femur
: 26 Mei 2014
: 22 Mei 2014
: Klien, keluarga, rekam medis
Klien merupakan rujukan dari RS Islam Jakarta karena keterbatasan
peralatan medis yang ada. Ny. N mengatakan 4 hari yang lalu kecelakaan
kendaraan bermotor dan segera dibawa ke RS. Islam Jakarta karena nyeri
pada area pinggul. Berdasarkan hasil roentgen, Ny. N terdiagnosis fraktur
column femur sinistra dan akan dilakukan pemasangan hemiarthroplasty.
Berdasarkan hasil pengkajian, klien sudah pernah dirawat sebelumnya di
RS Islam Jakarta selama 4 hari, tidak punya hipertensi, DM, asma, alergi
obat, saat ini hanya mengkonsumsi obat dari rumah sakit. Saat masuk
ruang rawat, klien tampak menahan nyeri terutama saat berpindah posisi,
tidak ada laserasi pada kaki kiri, kedua akral teraba hangat, nadi dorsalis
pedis teraba lemah, edema (-), ekimosis (-), sensasi kaki +/+, CRT< 3 dtk,
deformitas (-), rotasi (-), posisi kaki kiri netral, ROM kaki kanan terbatas
karena adanya fraktur, mobilisasi bedrest miring kanan kiri dengan
bantuan.
8 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
49 3.1.2 Pengkajian Fisik
a) Aktivitas/ istirahat
Berdasarkan anamnesa dengan klien dan keluarga serta observasi
aktivitas klien, klien mampu beraktivitas dengan dibantu oleh keluarga
(partial care). Sebelum masuk ke RS, aktivitas klien hanya sebatas di
rumah, namun klien mampu beraktivitas mandiri meski dengan usia
yang sudah lansia. Klien jarang keluar rumah untuk berinteraksi dengan
tetangga. Klien juga tidak pernah berolahraga.
Saat di RS, klien melakukan aktivitas lebih banyak dihabiskan dengan
tiduran di tempat tidur karena klien tidak terlalu kuat untuk dalam posisi
duduk lama. Hal ini karena nyeri yang masih dirasakan di daerah
pinggul klien. Nyeri yang dirasakan klien juga cukup mengganggu
kenyamanan istirahat klien. Akibat nyeri yang dirasakan tersebut klien
mengatakan sesekali terbangun pada malam hari. Waktu tidur klien pun
kadang terganggu yaitu hanya selama 4-5 jam dan terbangun ditengah
jam istirahat tersebut karena sesekali merasakan nyeri dan bangun untuk
minum. Pada malam hari klien juga sering terbangun hanya untuk
minum.
Untuk makan klien meminta bantuan keluarga untuk menyuapi karena
klien selalu dijaga oleh keluarganya dimana sesekali klien makan
sendiri. Klien makan 3x/hari sesuai dengan porsi yang diberikan di
ruangan. Klien mengatakan tidak memiliki kegiatan lain selama dirawat.
Klien mengatakan ingin cepat pulang karena bosan dirawat. Klien
memiliki kelemahan pada kaki kanannya. Klien merasa lemah pada kaki
kanan, namun kaki kirinya masih mampu digerakkan dengan bebas.
Klien tidak dapat mengangkat kedua kakinya secara bebas terutama
untuk perpindahan posisi. Pergerakkan ekstrimitas bawah klien terbatasi
oleh nyeri yang dirasakan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
50 Klien mengatakan cepat merasa lelah jika banyak bergerak. Klien
mengatakan saat ini tidak dapat melakukan kegiatan yang disenanginya
lagi yaitu menonton televisi akibat keadaannya saat ini. Klien tidak dapat
mengubah posisi karena fraktur yang dialaminya dan rasa takut untuk
mengubah posisi karena nyeri. Klien mengatakan jarang melakukan
olahraga walaupun saat klien masih sehat. Klien menganggap bahwa
dengan melakukan/ mengerjakan pekerjaan rumah tangga saja sudah
cukup sebagai pengganti olahraga.
Selama dilakukan pengkajian klien terlihat kooperatif dan senang diajak
berbicara, namun klien tidak pernah terlihat berbincang-bincang dengan
pasien lainnya diruang perawatan. Klien mampu berbicara dengan sesuai
dan terorientasi dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan
klien dalam menjawab pertanyaan.
b) Sirkulasi
Hasil pemeriksaan tanda vital tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 82
x/menit, frekuensi pernapasan 20x/ menit, dan suhu 36⁰C. Klien tidak
memiliki riwayat penyakit hipertensi, masalah jantung, maupun diabetes.
Pada pemeriksaan fisik jantung paru didapatkan inspeksi dada tampak
pengembangan dada maksimal, suara paru terdengar vesikuler, tidak ada
ronhki, wheezing, maupun bronkial. Sementara pada pemeriksaan
jantung tidak ditemukan suara abnormal, S1 dan S2 normal, tidak ada
gallops ataupun murmur.
Kondisi hidrasi klien normal, CRT < 3 detik, warna lidah pink pucat,
konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, turgor kulit lembab, tidak ada
asites maupun distensi vena jugularis, tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid, tidak tampak peningkatan JVP.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
51 c) Integritas Ego
Klien mengatakan memikirkan penyakit yang sedang dideritanya saat
ini, namun ia cukup mampu mengatasi emosinya tersebut sehingga klien
tampak selalu tenang dan kooperatif. Klien juga mengatakan sudah
menerima dan ingin menjalani pengobatan hingga tuntas Klien
mengatakan cemas dengan tindakan operasi yang akan dilakukan. Klien
mengatakan ini merupakan pertama kalinya klien melakukan operasi.
Klien sangat kooperatif terhadap perawat dan mahasiswa. Tidak terlihat
adanya perubahan yang mudah dalam emosi. Klien dapat menerima
pendidikan kesehatan dan memiliki keingintahuan terhadap hal-hal yang
mampu meningkatkan kualitas kesehatan dirinya.
d) Eliminasi
Klien mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara dibantu, termasuk
dalam memenuhi kebutuhan eliminasi (untuk BAK klien menggunakan
kateter). Biasanya, klien defekasi 1x setiap hari, dilakukan di tempat
tidur. Klien mengatakan defekasi tidak sakit, feses lunak, kuning
kecoklatan, dan tidak ada darah. Klien menggunakan kateter dan
biasanya klien BAK >5 kali setiap hari, urin encer, berwarna kuning
jernih. Klien mengatakan tidak nyaman jika harus BAB di tempat tidur
menggunakan bedpan.
e) Makanan dan Cairan
Diit biasa 3x/hari porsi sesuai dengan kebutuhan klien, tidak ada keluhan
muntah dan mual, gangguan menelan, maupun alergi terhadap makanan
tertentu. Sebelum masuk rumah sakit, klien makan 3x per hari. Klien
jarang minum susu dan dengan sayuran klien kurang begitu suka. Klien
mengatakan suka beli makanan instan karena kesibukan anaknya dan
klien yang sudah tidak dapat memasak.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
52 f) Higiene
Aktifitas sehari-hari dilakukan dengan bantuan keluarga. Saat ini klien
masih tidak dapat beraktivitas seperti biasa dan dengan bantuan
keluarga. Penampilan umum klien bersih, tidak ada bau badan, pakaian
sesuai dengan kondisi/keadaan. Rambut bersih namun rontok dan tidak
berketombe.
g) Neurosensori
Klien mengatakan tidak ada keluhan sakit kepala. Gangguan
pendengaran terjadi karena penurunan kemampuan tubuh akibat faktor
usia. Klien sering merasa kesemutan pada kedua ekstremitas bawah dan
mengeluhkan kelemahan pada kaki kanan. Klien mengatakan kaki yang
nyeri terkadang terasa seperti kebas. Walaupun begitu klien masih dapat
menggerakkan kakinya sedikit Hasil pemeriksaan menunjukkan status
mental/ tingkat kesadaran klien adalah compos mentis (CM). Klien
masih terorientasi waktu, tempat dan orang. Klien dapat dapat mengingat
memori jangka panjang (riwayat klien masuk RS) dan riwayat jangka
pendek. Reaksi pupil baik. Klien tidak menggunakan alat bantu
penglihatan. Penggunaan alat bantu dengar tidak ada.
h) Nyeri/ Ketidaknyamanan
Saat pengkajian dilakukan, klien hanya mengeluhkan rasa nyeri yang
terus-menerus muncul di daerah pinggul ke bawah. Nyeri skala ringan
(3-4) dirasakan ketika tidak ada pergerakan yang terjadi dan terjadi
pergerakan seperti merubah posisi tidur namun masih bisa ditahan.
Untuk rasa nyeri ini klien mendapatkan terapi medikasi ketorolac 1 amp
(30 mg)/12 jam. Klien mengatahan nyeri dirasakan sejak 4 hari sebelum
masuk RS tepatnya setelah kejadian jatuh terjadi. Observasi yang
dilakukan terhadap klien mendapatkan hasil bahwa wajah klien terlihat
menahan nyeri. Nyeri yang dirasakan klien juga sesekali mengganggu
istirahat klien. Klien terlihat tenang. Untuk rasa nyeri yang dirasakan
klien mendapatkan terapi Ketorolac 30 mg melalui intravena per 8 jam.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
53 i) Pernapasan
Saat dilakukan pengkajian, klien mengatakan tidak merasakan sesak.
Klien juga mengatakan tidak ada keluhan batuk dan tidak memiliki
riwayat perokok. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan frekuensi
napas klien adalah 20x/ menit, dengan pengembangan simetris dan tidak
ada nafas cuping hidung. Penggunaan otot bantu nafas tidak ada. Tidak
ada sianosis. Auskultasi dilakukan dengan mendengarkan suara
pernapasan diperoleh hasil suara nafas vesikuler, tidak terdapat ronchi
ataupun wheezing, tidak ada pernapasan cuping hidung. Tidak terlihat
adanya sianosis. Tidak ada nyeri saat klien bernapas.
j) Keamanaan
Klien belum dapat berakitivitas secara normal karena kondisinya yang
sekarang dan dapat sedikit melakukan kegiatan diatas tempat tidur. Klien
belum dapat berjalan. Alergi terhadap obat tidak ada. Tonus otot kurang
baik.
k) Muskuloskeletal
Ny. N mengalami masalah pada muskuloskeletal. Klien mengalami
kelemahan pada kaki kanannya. Hasil pemeriksaan kekuatan otot Ny. N
yaitu
4444
4444
2333
4444
Klien memiliki kelemahan pada kaki kanannya, ketika dilakukan
pengkajian kaki kanan klien masih terdapat kontraksi otot dan klien
mampu melawan gravitasi namun tidak dapat menahan tekanan.
l) Seksualitas
Klien sudah menikah dan memiliki tiga orang anak. Tidak terdapat
gangguan pada vagina. Klien sudah mengalami menopause. Hasil
pemeriksaan tidak terdapat benjolan pada kedua payudara.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
54 m) Interaksi Sosial
Klien berusia 81 tahun dimana klien merupakan anak pertama dari empat
bersaudara. Saat ini klien tinggal dengan anak pertamanya. Klien
berhubungan baik dengan anaknya serta semua penghuni rumah. Hal ini
dapat dilihat dari keseharian klien selama dirawat, anak, menantu serta
keluarga yang lain bergantian menjaga klien. Dengan tetangga sekitarnya
pun klien berinteraksi dengan baik namun jarang untuk keluar rumah.
Klien lebih suka menghabiskan waktunya di rumah. Selain itu, klien pun
cukup kooperatif dengan perawat maupun mahasiswa. Dengan sesama
pasien satu ruangan pun klien saling mengenal.
n) Penyuluhan dan pembelajaran
Bahasa dominan klien adalah bahasa Indonesia. Klien mampu membaca
dan menulis, tingkat pendidikan terakhir klien adalah SLTP. Klien kurang
mengetahui
tentang
penyakit
yang
dialaminya.
Tidak
terdapat
keterbatasan kognitif. Tidak terdapat orientasi spesifik terhadap
perawatan kesehatan dari segi agama dan kultural.
3.2 Hasil pemeriksaan lab darah
Hematologi (18/05/14)
Pemeriksaan
Hasil
Hemoglobin
12.2
Hematokrit
37
Eritrosit
4.3
Leukosit
10600
Trombosit
181000
MCV
85
MCH
28
MCHC
33
PT
10.3
APTT
28.1
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
55 SGOT
11
SGPT
16
Ureum
42
Kreatinin
0.8
Na
130
K
3.7
Cl
96
Hematologi (25/05/14)
Hemoglobin
12.4
Hematokrit
38
Eritrosit
4.5
Leukosit
10.500
Trombosit
291000
MCV
85
MCH
28
MCHC
33
Analisa Gas Darah (26/05/14)
pH
7.663
Pco2
31.9
Po2
89.2
HCO3
36.5
BE
15.9
Sat O2
98.5
Hematologi (28/05/14)
Hemoglobin
11.6
Hematokrit
34
Eritrosit
4.1
Leukosit
17900
Trombosit
360000
MCV
84
MCH
28
MCHC
34
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
56 3.3 Hasil Rontgen
3.4 Analisa Data
3.4.1 Pre-operasi
Tabel 3.6 anlisa Data Pre-Operasi Ny. N
No
1.
Data
Data Subjektif
 Saat kejadian kecelakaan klien merasa nyeri
dia area pinggul
 Saat ini nyeri seperti ditusuk timbul dari
area pinggul lalu menjalar ke daerah paha.
 Nyeri menganggu tidur di malam hari
Masalah Keperawatan
Nyeri akut
Data Objektif
 Nyeri timbul saat klien mengerakkan kaki
kanannya, rasa nyerinya seperti ditusuk.
Nyeri terasa pada daerah pinggul menyebar
ke daerah paha dengan VAS 4 dan durasi 5
– 10 menit.

2.
Klien menyeringitkan wajah saat dilakukan
tes kekuatan otot
Data Subjektif
Risiko cedera

Klien mengatakan ingin dapat berjalan.

Klien
mengatakan
merasakan
sakit
saat
melakukan gerakan.

Klien mengatakan tidak mampu berjalan karena
merasa sangat nyeri saat berjalan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
57 Data Objektif

Hasil pemeriksaan rontgen didapatkan hasil
fraktur pada neck femur

Klien
harus
dilakukan
operasi
hemiarthroplasty untuk memperbaiki fraktur
yang terjadi

Terdapat
kelemahan
dan
penurunan
kekuatan otot pada seluruh ekstrimitas.

Pengkajian risiko jatuh
Riwayat jatuh: Ada (2).
Kognitif: Orientasi baik (0).
Pengobatan: Kurang dari 4 jenis dan tidak
termasuk antihipertensi/ sedatif/ narkotika/ infus
epidural/ spinal
Diagnosis sekunder: Ada (15).
Alat bantu jalan: Asistensi (0).
IV akses: Ada (20).
Gaya berjalan: Lemah (10).
Total skor 47 (risiko jatuh sedang)
3.
Data Subjektif
Hambatan
 Klien mengatakan susah menggerakan kaki Fisik
karena nyeri dan takut menggerakannya.
 Klien
mengatakan
tidak
melakukan
pergerakan yang banyak karena takut nyeri
Data Objektif
 klien dalam posisi supine jarang
mengerakan badan (Imobilisasi)
 ROM pada ekstremitas bawah terbatas
 Keluatan otot pada ekstremitas
4444
4444
2333

Mobilitas
4444
Barthal Index 5 (Ketergantungan)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
58 3.4.2 Diagnosa Post-Operasi
Tabel 3.7 Anlisa Data Post-Operasi Ny. N
1.
Nyeri akut
Data Subjektif

Klien mengatakan nyeri di area operasi

Nyeri terjadi hilang timbul

Nyeri menganggu tidur di malam hari
Data Objektif

Nyeri dengan Karakteristik: P saat klien
mengerakkan kakinya. Q rasanya seperti
ada gesekan. R area operasi. S VAS 3. T
ritme durasi 3 – 5 menit.

Klien menyeringitkan wajah saat nyeri
muncul
2.
Data Subjektif
Risiko cedera

Klien mengatakan ingin dapat berjalan.

Klien mengatakan merasakan sakit saat
melakukan gerakan.

Klien mengatakan tidak mampu berjalan
karena merasa sangat nyeri saat berjalan.
Data Objektif

Hasil pemeriksaan rontgen didapatkan
hasil post op hemiarthroplasty

Terdapat
kelemahan
dan
penurunan
kekuatan otot pada seluruh ekstrimitas.

Pengkajian risiko jatuh
Riwayat jatuh: Ada (2).
Kognitif: Orientasi baik (0).
Pengobatan: Kurang dari 4 jenis dan tidak
termasuk
antihipertensi/
sedatif/
narkotika/ infus epidural/ spinal
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
59 Diagnosis sekunder: Ada (15).
Alat bantu jalan: Asistensi (0).
IV akses: Ada (20).
Gaya berjalan: Lemah (10).
Total skor 47 (risiko jatuh sedang)
3.
Data Subjektif

Klien
Hambatan Mobilisasi fisik
mengatakan
belum
bisa
menggerakan badannya secara maksimal

Butuh bantuan untuk miring kiri dan
miring kanan serta pemenuhan kebutuhan
sehari-hari
Data Ojektif

Klien dalam posisi supine post-operasi
hari ke pertama
4.

ROM pada ekstremitas bawah terbatas

Keluatan otot pada ekstremitas
4444
4444
2333
4444
Data Subjektif

Resiko Infeksi
-
Data Objektif:

TD 120/80 mmHg, Nadi 84 kali per
menit, RR 20 kali per menit, suhu 36,5⁰C

Tampak luka operasi di daerah femur

Terpasang infus RL 20tpm daerah
pemasangan infus tidak merah tidak nyeri
tidak bengkak infus netes lancar

Terpasang kateter urin daerah genitalia
bersih urin keluar lancar warna kuning
jernih

Hasil leukosit 17900
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
60 3.5 Rencana Keperawatan
a. Diagnosa keperawatan Nyeri Akut
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam klien
mampu mengenali munculnya nyeri, klien mampu mengontrol nyeri, dan
kliem mampu melakukan cara mengontrol rasa nyeri.
Tindakan mandiri

Observasi skala nyeri per 8 jam, penyebab nyeri, kualitas nyeri,
pesebaran lokasi nyeri, waktu nyeri muncul dan hilang.
R: Informasi dapat mendukung perawat dalam mengevalusi kebutuhan,
keefektifan dari intervensi. Pengalaman nyeri merupakan respon
individual yang berasal dari percampuran respon fisik dan emosional.

Berikan lingkungan tempat tidur yang nyaman
R: untuk mengurangi faktor pemicu nyeri yang berasal dari
lingkungan.

Berikan terapi obat sesuai dengan waktunya.
R:
Nyeri
akan
muncul
diakhir
interval
reaksi
obat,
atau
mengindikasikan perlunya peningkatan dosis atau penurunan interval
dosis. Nyeri dapat dipicu oleh suatu hal atau terjadi secara spontan.
Klien mungkin membutuhkan terapi jangka pendek atau tambahan
dosis.

Kurangi/
atur waktu yang tepat untuk
melakukan tindakan
keperawatan yang dapat memicu timbulnya nyeri pada klien.
R: Nyeri dapat dipicut dengan pemberian terapi invasif.

Ajarkan teknik relaksasi napas dalam dan teknik distraksi untuk
mengontrol nyeri.
R: Mendorong relaksasi dan mendistraksi fokus klien terhadap nyeri.

Evaluasi nyeri secara berkala. Sesuaikan obat yang diperlukan.
R: Bertujuan untuk memaksimalkan kontrol nyeri dengan gangguan
ADL minimum.

Berikan informasi terhadap efek terapeutik yang diharapkan dan
diskusikan manajemen efek samping.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
61 R: Pemberian informasi dapat mempersiakan ekspektasi realistis dan
kepercayaan diri terhadap kemampuan diri untuk mengontrol hal yang
akan terjadi pada diri klien.
Kolaborasi
 Diskusikan penggunaan terapi komplementer alternatif seperti
akupuntur jika klien menginginkan.
R: Mungkin terdapat penurunan nyeri tanpa efek samping obat.

Pemberian analgesik sesuai dengan instruksi dokter.
R: Berbagai terapi anagesik dapat bekerja untuk mengatasi rasa sakit.

Instruksikan penggunaan stimulasi elektronik (contoh: transcutaneous
electrical nerve stimulation (TENS)).
R: TENS dapat menghambat transmisi saraf yang menstimulasi nyeri
(Doenges, et al, 2010).
b. Diagnosa Keperawatan Hambatan mobilitas fisik
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam klien
tidak menunjukkan tanda kontraktur pada kaki dan tangan, dan rentang
pergerakan sendi yang optimal. Klien mampu berjalan dengan atau tanpa
alat bantu. Klien mampu mempertahankan keseimbangan tubuh.
Tindakan mandiri

Observasi rentang pergerakan sendi khususnya di area yang
mengalami kelemahan.
R: Dapat yang didapatkan berguna untuk melakukan evaluasi setelah
pemberian intervensi/ terapi.

Tentukan tingkat motivasi klien untuk mempertahankan atau
mengembalikan moilitas sendi otot.
R: Motivasi yang baik dapat meningkatkan keinginan klien untuk
melakukan kegiatan.

Berikan penguatan positif selama aktivitas.
R: Reinforcement dapat meningkatkan motivasi klien melakukan
kegiatan yang telah disepakati.

Latih rentang pergerakan sendi sesuai dengan kemapuan klien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
62 R: Latihan yang melebihi kemampuan klien akan membuat klien
terlalu letih. Pergerakan yang dilakukan sesuai kemampuan mampu
sedikit demi sedikit melatih otot yang lemah.

Berikan bantalan untuk mengurangi bengkak pada tangan kiri.
R: Meningkatkan aliran balik vena.

Kolaborasi dengan dokter dan fisioterapis terkait pemberian terapi RPS
(Doenges, et al, 2010).
c. Diagnosa Keperawatan Resiko infeksi
Tujuan : setelah tindakan keperawatan selama 3x24jam diharapkan infeksi
tidak terjadi. Kriteria hasil :
o Luka operasi bersih dan kering
o Daerah luka operasi dan pemasangan infus serta foly catheter tidak
nyeri, tidak bengkak, dan tidak merah.
Tindakan mandiri

Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci
tangan dengan baik sebelum dan sesudah melakukan tindakan ke klien.
R: Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nasokomial.

Observasi daerah kulit yang mengalami trauma/kerusakan (seperti
luka,bekas jahitan), daerah yang terpasang alat invasif (infus, kateter,
dll), catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
R: Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk
melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap
komplikasi selanjutnya Mencegah atelektasis dan immobilisasi sekret
untuk menurunkan risiko infeksi paru.

Ganti balutan sesuai indikasi dengan hati-hati agar tidak mengubah
kateter. Perhatikan karakter, warna dan bau drainase dari sekitar sisi
pemasangan.
R: Lingkungan yang lembab akan meningkatkan pertumbuhan bakteri.
Drainase purulen pada sisi insersi menunjukkan adanya infeksi lokal.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
63 
Ulangi studi laboratorium untuk kemungkinan infeksi sistemik.
R: Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk
melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap
komplikasi selanjutnya.

Pantau suhu tubuh secara teratur.
R: Dapat mengindiksikan perkembangan sepsis yang selanjutnya
memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
Kolaborasi

Kolaborasi pada pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R: Terapi propilaktik dapat digunakan pada klien yang mengalami
trauma atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan risiko
terjadinya infeksi nasokomial
3.5 Intervensi Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian dari anamnesa dan pengkajian fisik sebelum
klien menjalani operasi, dapat ditemukan beberapa masalah keperawatan yang
muncul pada klien. Masalah keperawatan pertama yang aktual adalah Masalah
keperawatan kedua adalah nyeri akut berhubungan dengan pergerakan
fragmen tulang, spasme otot yang ditandai oleh melindungi area yang nyeri.
Berdasarkan masalah nyeri tersebut, intervensi yang dilakukan adalah
mengajarkan klien manajemen nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam.
Tujuan dari intervensi diharapkan klien dapat merespon nyeri dengan relaksasi
dan melaporkan penurunan rasa nyeri setelah melakukannya. Manajemen
nyeri relaksasi napas dalam adalah metode menurunkan nyeri tanpa medikasi
(analgetik). Manajemen nyeri diajarkan kepada klien sesuai prosedur yang
tepat, yakni menarik napas dari hidung kemudian menahannya dan
menghembuskannya perlahan. Tarik napas dilakukan dalam tiga kali hitungan
atau hingga klien merasa nyaman
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
64 Masalah keperawatan kedua adalah gangguan mobilitas fisik berhubungan
kerusakan integritas struktur tulang, keterbatasan gerak ditandai oleh
terbatasnya rentang gerak sendi dan tidak mampu melakukan pergerakan.
Berdasarkan masalah tersebut, intervensi yang dilakukan adalah mengajarkan
klien ROM dengan tujuan dari intervensi diharapkan klien dapat
mempertahankan fungsi mobilisasi sendi, memulihkan serta meningkatkan
fungsi sendi dan kekuatan otot yang berkurang karena proses penyakit dan
mencegah komplikasi dari immobilisasi seperti atropi otot, dan kontraktur.
Manajemen rentang gerak sendi (ROM) diajarkan kepada klien sesuai
prosedur yang tepat (dilampirkan) serta dengan metode aktif asistif dimana
latihan dilakukan klien semampunya, sisanya dibantu oleh perawat.
Sementara masalah yang muncul setelah operasi adalah hambatan mobilitas
fisik, nyeri akut dan resiko infeksi. Masalah hambatan mobilitas fisik
didefinisikan sebagai keterbatasan pergerakan baik pada seluruh tubuh
maupun pada satu atau lebih ekstremitas (NANDA, 2012). Pada Ny. N,
masalah ini tegak berdasarkan adanya keterbatasan gerak pada kedua
ekstremitas bawah, terutama bagian kanan. Intervensi yang diberikan
bertujuan agar klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuannya. Kriteria hasil yang diharapkan adalah klien dapat ikut serta
dalam program latihan, tidak terjadi kontraktur sendi, bertambahnya kekuatan
otot, dan klien menunjukan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Beberapa intervensi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut,
diantaranya adalah ubah posisi dan ROM aktif asistif serta aktif dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan mobilisasi dan mencegah komplikasi post
operasi/ imobilisasi. ROM dilakukan mahasiswa melakukannya dengan hatihati dan bertahap sesuai dengan kemampuan klien.
Masalah keperawatan selanjutnya adalah nyeri akut. Berdasarkan NANDA
(2012), nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang actual atau potensial,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
65 atau digambarkan dengan istilah seperti; awitan yang tiba-tiba atau perlahan
dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi
atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan. Tegaknya
maslah ini pada Ny. N karena ia mengeluh nyeri pada daerah bekas operasi
serta sewaktu digerakkan. Untuk masalah ini, intervensi yang dilakukan
adalah teknik relaksasi nafas dalam serta kolaborasi pemberian analgetik.
Masalah ketiga adalah resiko infeksi. NANDA (2012) menyebutkan bahwa
resiko infeksi merupakan kondisi dimana individu beresiko terserang
organisme patogen. Masalah ini diangkat pada Ny. N berdasarkan adanya luka
operasi pada tulang femur. Perlukaan pada tubuh merupakan jalur masuknya
bakteri dan organisme pathogen yang berasal dari lingkungan. Selain itu
kondisi fisik klien yang sudah mengalami penurunan juga akan meningkatkan
resiko klien terserang infeksi.
Berdasarkan hal tersebut, intervensi yang dilakukan diantaranya adalah
melakukan perawataan luka rutin dengan teknik steril (setiap 2 hari sekali atau
segera bila ada rembes) serta membalut luka dengan balutan kering steril dan
sufratul. Selain itu, klien dan keluarga pun diberika pendidikan kesehatan
terkait pentingnya meningkatkan intake nutrisi terutama tinggi protein, salah
satunya adalah dengan memakan telur rebus (bagian putihnya saja) 2-3 butir
setiap kali makan. Hal ini karena putih telur mengandung protein: albumin
yang merupakan zat penting bagi pembentukan kolagen dan jaringan baru
sehingga baik untuk penyembuhan luka.
3.6 Impelementasi dan Evaluasi
Masalah keperawatan yang muncul saat klien belum menjalani operasi adalah
nyeri akut dan hambatan mobilitas fisik. Sedangkan masalah keperawatan post
operasi adalah hambatan mobilitas fisik, nyeri akut, dan resiko infeksi.
Berdasarkan masalah tersebut, implementasi yang dilakukan kepada klien saat
sebelum operasi, diantaranya adalah dengan memberikan edukasi kepada klien
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
66 dan keluarga terkait persiapan – persiapan operasi termasuk didalamnya
adalah manajemen nyeri serta manajemen cemas untuk menghadapi operasi.
Implementasi pertama dilakukan pada tanggal 27 Mei 2014 hingga seterusnya
selama masa perawatan pre operasi (31 Mei 2013), yakni menjelaskan kepada
klien dan keluarga mengenai manajemen nyeri berupa relaksasi napas untuk
mengurangi nyeri serta meminimalisir cemas karena pre operasi. Selain itu,
beberapa teknik relaksasi lainnya pun disebutkan kepada klien, diantaranya
adalah dengan mendengarkan music ataupun membayangkan hal-hal yang
indah atau menyenangkan. Namun keduanya tidak dipraktekkan. Evaluasi dari
tindakan yang diberikan adalah klien merasa lebih nyaman saat melakukan
relaksasi napas dalam, hati sedikit lebih lega, dan rasa nyeri berkurang. Hasil
pemeriksaan tanda-tanda vital juga berada dalam rentang normal, yakni TD
120/80 mmHg, Nadi 84 kali per menit, RR 20 kali per menit, suhu 36,5 0C.
Selain itu, klien dapat melakukan teknik nafas dalam dengan benar. Ekspresi
wajah klien pun tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda ketegangan.
Dengan mempertahankan tirah baring juga dapat mengurai nyeri Selain itu
juga pentingnya menjaga keamanan klien termasuk mencegah klien jatuh
dengan selalu memasang bed site rail setiap klien tidur atau menasehati agar
klien berhati-hati dalam beraktivitas serta meminta bantuan bila memang tidak
mampu melakukan suatu hal.
Implementasi untuk masalah keperawatan kedua adalah ROM aktif asistif
sesuai dengan kemampuan klien, yakni pada tanggal 27 Mei 2014. Klien dan
keluarga juga diberi penjelasan mengenai manfaat mengubah posisi dan
melakukan ROM diantaranya adalah untuk mencegah mempertahankan fungsi
mobilisasi sendi, memulihkan serta meningkatkan fungsi sendi dan kekuatan
otot yang berkurang karena proses penyakit dan mencegah komplikasi dari
immobilisasi seperti atropi otot, dan kontraktur. Selama tindakan dilakukan,
mahasiswa melakukannya dengan hati-hati karena kondisi klien yang masih
merasa nyeri serta kekhawatirannya akan fraktur yang terjadi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
67 Evaluasi dari tindakan ini diantaranya adalah klien dan keluarga memahami
ROM, klien merasa masih lemas, kaki masih kesemutan. Klien dan keluarga
juga senang mendapatkan tindakan yang dapat menangani tirah baring klien
dan gangguan mobilisasi klien. Pelaksanaan intervensi ini dilakukan terus
menerus hingga tanggal 31 Mei 2013.
Implementasi post operasi mulai dilakukan pada tanggal 29 Mei 2013, hari
pertama post operasi. Implementasi post operatif yang dilakukan meliputi
implementasi untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik, nyeri akut dan resiko
infeksi. Pemeriksaan tanda vital dilakukan dan didapatkan hasil tekanan darah
110/70 mmHg, nadi 72x/menit, frekuensi pernapasan 20x/menit, serta suhu
tubuh 36,9⁰C. Mahasiswa membantu klien dan keluarga dalam mengubah
posisi klien setiap dua jam serta melakukan ROM aktif asistif. Selain itu, klien
dan keluarga juga diberi penjelasan mengenai manfaat mengubah posisi dan
melakukan ROM, diantaranya adalah untuk mencegah munculnya masalah
baru setelah operasi seperti luka yang tiak sembuh karena selalu tertekan,
konstipasi, hingga kekauan dan pengecilan masa otot. Selama tindakan
dilakukan, mahasiswa melakukannya dengan hati-hati karena kondisi klien
yang masih cukup lemas, kekhawatirannya masih tinggi terutama terkait alat
yang dipasang dan rasa nyeri/ linu pada luka operasi. Oleh karena itu,
pemantauan skala nyeri juga dilakukan setiap tindakan. Pemberian analgetik
dilakukan dengan melakukan kolaborasi tindakan dengan dokter.
Implementasi yang kedua adalah manajemen nyeri dimana mahasiswa
mengkaji nyeri klien serta mengulang kegiatan teknik relaksasi nafas dalam
yang telah diajarkan sebelumnya. evaluasi dari kegiatan ini yaitu klien
mengatakan nyeri saat kaki digerakan, seperti ditusuk dan terjadi di sekitar
paha sebelah kanan. Skala nyeri yang dirasakan 3 dimana nyeri berlangsung
sekitar 5 – 10 menit. Kolaborasi yang dilakukan yaitu pemberian analgetik
sesuai dengan kebutuhan klien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
68 Implementasi terakhir adalah terkait resiko infeksi, yang difokuskan pada
perawatan luka dengan teknik streril dan balutan kering steril disertai sufratul.
Perawatan luka dilakukan pada tanggal 30 Mei 2014 (setiap dua hari sekali).
Selama perawatan luka, luka dibersihkan menggunakan cairan NaCl dan pada
akhirnya dikeringkan lalu ditutup dengan sufratul dan kasa steril kering.
Evaluasi dari implementasi ini adalah luka kering, tidak ada pus ataupun
kemerahan di sekitar luka.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
69 BAB 4
Analisa Masalah
4.1 Analisa Keperawatan Kesehatan Masalah Perkotaan terkait Kasus
Klien adalah Ny. N, perempuan berusia 81 tahun. Berdasarkan Departemen
Kesehatan RI (2006), klien termasuk ke dalam lansia dengan resiko tinggi
untuk menderita berbagai macam penyakit degeneratitf. Berdasarkan teori
yang ada, perubahan yang terjadi pada seorang lanjut usia sangat dipengaruhi
oleh tipe kepribadian yang dimiliki lansia tersebut (Kuntjoro, 2002).
Perubahan-perubahan
tersebut
akan
berdampak
terhadap
sistem
muskuloskeletal yang merupakan komponen struktur yang utama, dimana
sistem ini mengalami perubahan dalam muskulature yaitu otot yang mengecil
serta progresif (atrofi) dan tulang kehilangan kalsium secara progresif
(dekalsifikasi) (Watson, 2003). Perubahan yang lambat akan membuat tulang
pada lansia lebih mudah fraktur karena penurunan elastisitas sendi yang
disebabkan oleh adanya perubahan dalam sintesis kolagen yang cenderung
mengalami kerusakan (Watson, 2003). Hal inilah yang juga terjadi pada Ny. N
yang mengalami penurunan elastisitas sendi yang disebabkan oleh adanya
perubahan dalam sintesis kolagen yang cenderung mengalami kerusakan serta
mengalami osteoporosis.
Menurut data Riskesdas (2013), proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif
secara umum adalah 26,1 persen. Terdapat 22 provinsi dengan penduduk
aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada di atas rerata Indonesia.
Masyarakat memiliki aktifitas pasif seperti menonton televisi atau bermain
computer daripada berolah raga secara rutin. Gerak yang dilakukan saat
berolah-raga sangat berbeda dengan gerak saat menjalankan aktivitas seharihari seperti berdiri, duduk atau hanya menggunakan tangan. Hal ini
merupakan gerak anggota badan yang tidak seimbang (Wirakusumah, 2001).
Sejalan dengan hal tersebut, selain kurang aktif dalam beraktivitas fisik, Ny. N
pun jarang melakukan olahraga dan tidak suka meminum susu, sehingga Ny.
N merupakan salah satu individu yang beresiko.
8 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
70 Berdasarkan konsep resiko dan kerentanan yang berkaitan dengan munculnya
masalah kesehatan, hampir setiap individu merupakan individu beresiko
terhadap masalah kesehatan karena dikelilingi oleh faktor-faktor, hanya saja
masing-masing mungkin berbeda terhadap masalah kesehatan tertentu karena
faktor spesifik yang berbeda pula (Allender, 2010). Ny. N sebagai penduduk
perkotaan termasuk kedalam
individu beresiko mengalami fraktur femur
karena gaya hidup sehari-sehari dengan faktor resiko. Namun, Ny.N ternyata
tidak hanya beresiko tapi lebih rentan mengalami fraktur femur. Kerentanan
mengarah kepada bagaimana individu atau sekelompok orang lebih mudah
mengalami masalah kesehatan tertentu dan nantinya mendapatkan hasil/
dampak lebih serius karena akumulasi terpajan banyak fakto resiko (Stanhope
& Lancaster, 2004). Allender (2010) juga sependapat bahwa dalam
masyarakat ada kelompok yang lebih dari beresiko, tapi rentan terhadap
masalah kesehatan karena memiliki faktor (kombinasi faktor) yang
memperberat kondisi kelompok tersebut.
Ny. N berasal dari keluarga yang sederhana dan berkecukupan. Perekonomian
keluarga yang berkecukupan membuat keluarga memiliki simpanan lebih
untuk biaya yang tidak terduga, misalnya saja biaya ke pelayanan kesehatan.
Hal tersebut yang kemudian terjadi pada Ny. N, dimana ketika terjadi kejadian
terpeleset dan merasakan nyeri pada daerah pinggul langsung dibawa ke RS.
Islam Jakarta.
Berdasarkan hal tersebut, Ny. N yang awalnya beresiko, menjadi lebih rentan,
karena usia yaitu berupa penurunan fungsi tubuh dan faktor resiko lainnya
seperti gaya hidup masyarakat perkotaan yang dijlaninya. Akhirnya ketika
terjadi kecelakaan yang berupa terpeleseetnya di tangga, Ny. N mengalami
fraktur femur yang langsung dilarikan ke RS. Islam Jakarta yang kemudian di
rujuk ke RSPAD Gatot Soebroto dan diberikan perawatan hingga
pembedahan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
71 4.2 Analisa Asuhan Keperawatan Kasus
Pasien adalah Ny. N dengan fraktur femur. Ny. N masuk RS pada tanggal 18
Mei 2014. Klien pada mulanya masuk karena rujukan dari RS. Islam Jarta
dengan keluhan nyeri yang teramat sangat pada daerah pinggul dan paha.
Klien masuk dari Instalasi Gawat Darurat (IGD), ketika itu klien hanya
mendapat tindakan injeksi analgetik yakni ketorolax.
Secara pergerakan, mobilisasi kedua ekstremitas bawah terbatas. Berdasarkan
anamnesa dengan klien dan melihat status rekam medik klien, mengalami
fraktur kompresi femur. Pemeriksaan diagnostik juga dilakukan pada klien,
diantaranya adalah rontgen tulang femur. Hasil dari rontgen tulang femur
klien menyatakan bahwa terdapat retakan pada femoral head klien.
Berdasarkan hasil rontgen ini, diagnosis fraktur femur dapat ditegakkan pada
klien. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditemukan sesuai
jenis dan luasnya (Brunner dan suddarth, 2001). Fraktur merupakan suatu
keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab terbanyak adalah
kecelakaan tetapi faktor lain seperti degenerative juga dapat berpengaruh
terhadap kejadian fraktur (Brunner & Suddarth, 2008).
Salah satu komplikasi yang paling sering muncul dari fraktur femur adalah
kaku sendi yang jika tidak ditangani dapat mengakibatkan kecacatan fisik.
Kaku sendi dapat yang diakibatkan oleh fraktur dapat dipulihkan secara
bertahap dengan mobilisasi persendian yaitu dengan latihan range of motion
(ROM) atau latihan pergerakan sendi. Range of motion (ROM) adalah latihan
yang
dilakukan
untuk
mempertahankan
atau
memperbaiki
tingkat
kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal dan
lengkap untuk meningkatkan masa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005).
Pada Ny. N telah dilakukan ROM secara bertahap sesuai dengan kemampuan
klien.
Berdasarkan hasil pengkajian, beberapa masalah keperawatan yang muncul
pada klien sebelum menjalani operasi adalah nyeri akut berhubungan dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
72 pergerakan fragmen tulang, spasme otot yang ditandai oleh melindungi area
yang nyeri serta gangguan mobilitas fisik berhubungan kerusakan integritas
struktur tulang, keterbatasan gerak ditandai oleh terbatasnya rentang gerak
sendi dan tidak mampu melakukan pergerakan. Sementara masalah
keperawatan post operasi adalah hambatan mobilitas fisik, nyeri akut dan
resiko infeksi.
Kondisi klien post operasi, saat kembali ke ruangan, pada 28 Mei 2014,
kesadaran compos mentis, tanda vital: tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
72x/menit, frekuensi pernapasan 20x/menit, serta suhu tubuh 36,9⁰C. relative
stabil terrlihat dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital klien.
4.3 Analisa Intervensi: Mobilisasi Dini dengan ROM
Post operasi adalah keadaan dimana klien telah menjalani operasi, terhitung
sejak klien dipindahkan dari ruang operasi yakni di recovery room atau ruang
pemulihan (Smeltzer & Bare, 2005). Klien adalah Ny. N dengan fraktur femur
menjalani operasi hemiarthroplasty pada hari Rabu, 28 Mei 2014.
Mobilisasi atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan salah
satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Tujuan mobilisasi adalah
memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktifitas hidup sehari-hari
dan aktifitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma),
mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi dengan gerakan tangan
nonverbal (Potter & Perry, 2002). Mobilisasi dini post operasi merupakan hal
penting untuk mencegah komplikasi dari imobilisasi yang lama, serta
mempercepat pemulihan luka post operasi.
Immobilisasi adalah suatu keadaan di mana individu mengalami atau berisiko
mengalami keterbatasan gerak fisik. Mobilisasi dan immobilisasi berada pada
suatu rentang. Immobilisasi dapat berbentuk tirah baring yang bertujuan
mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen tubuh, mengurangi nyeri,
dan untuk mengembalikan kekuatan. Individu normal yang mengalami tirah
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
73 baring akan kehilangan kekuatan otot rata-rata 3% sehari (atropi disuse).
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem
otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf.
Berdasarkan penelitian, imobilisasi menurunkan kekuatan otot 1%-1.5% per
hari, dan 4%-5% per minggu selama tirah baring, bahkan penurunan dapat
mencapai 10% dalam satu minggu bila tirah baring total (Serrano, 2011).
Imobilisasi juga akan meningkatkan rata-rata hari rawat dan memperlambat
kepulangan pasien. Oleh karena itu, melakukan mobilisasi dini merupakan hal
penting untuk dilakukan.
Menurut Siribaddana (2009), mobilisasi minimal dilakukan 1-2 hari post
operasi disesuaikan dengan kemampuan dan bergantuan pada jenis
operasinya. Hal ini karena mobilisasi akan mempercepat proses pemulihan
jaringan pada luka post operasi (Siribaddana, 2009). Berdasarkan hal tersebut,
penulis mengaplikasikan bagaimana efektivitas mobilisasi dini pada pasien
post operasi, yakni Ny. N dengan post operasi hemiarthroplasty. Dalam
menerapkan tindakan mobilisasi dini pada Ny. N, asuhan keperawatan yang
dilakukan adalah dengan mengajarkan rentang pergerakan ssendi secara
bertahap sesuai dengan kemampuan klien. Kondisi pasien yang masih cukup
lemah membuat mahasiswa perlu berhati-hati selama mengubah posisi. Selain
itu, kondisi pasien yang merupakan pasien post operasi hemiarthroplasty
mengharuskan pasien berpindah melakukan ROM dengan hati-hati untuk
mencegah cidera post operasi, termasuk pada lokasi hemiarthroplasty atau
biasa disebut dengan ROM.
ROM (Range of Motion) adalah pergerakan maksimum yang mungkin
dilakukan oleh sendi (Kozier, 1995). Sedangkan latihan ROM adalah latihanlatihan yang diberikan untuk mempertahankan fungsi sendi dan meningkatkan
fungsi sendi yang berkurang karena proses penyakit, mencegah komplikasi
dari immobilisasi serta mempersiapkan latihan lebih lanjut. Berdasarkan hal
tersebut, penulis mengaplikasikannya kepada Ny. N dengan dibantu oleh
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
74 keluarga dalam pelaksanaannya sesuai dengan pedoman prosedur ROM yang
sesuai teori. Tindakan ini dilakukan dengan metode aktif asistif dan aktif
sesuai dengan kemampuan klien.
Setelah intervensi berupa mobilisasi dini dengan teknik ROM dilakukan
kepada Ny. N, beberapa hal telah dievaluasi untuk mengetahui efektivitas dari
intervensi yang diberikan. Hal pertama yang dilihat adalah bagaimana
mobilisasasi mencegah beberapa efek imobilisasi yang seringkali terjadi,
diantaranya adalah:
a. Thrombosis vena dalam/ deep vein thrombosis (DVT). Imobilisasi
memiliki efek yang cukup serius salah satunya adalah terjadinya
thrombosis vena dalam. Thrombosis vena dalam seringkali terjadai setelah
operasi karena bekuan atau kloting darah yang terbentuk selama proses
operasi mengalir bersama sirkulasi darah dan mungkin mencapai venavena
dalam yang ukurannya lebih kecil dari trombus tersebut sehingga
terbentuklah trombosis. Trombosis ini menjadi lebih mudah terjadi saat
tidak terjadi mobilisasi dan yang mengkhawatirkan adalah saat thrombus
terjadi di pembuluh darah di jantung atau organ vital lainnya. Bila hal
tersebut terjadi maka dampak paling buruk adalah nekrosis dan kematian
organ terkait. Oleh karena itu, mobilisasi akan menurunkan resiko
terjadinya thrombus pada pasien-pasien post operasi, terutama untuk
operasi besar, termasuk lower limb operation (Sirribaddana, 2009).
Demikian pula yang diharapkan pada Ny. N, Ny. N menjalani operasi pada
lokasi femur. Operasi pada bagian tersebut tentunya bukanlah jenis operasi
yang kecil, melainkan operasi yang cukup besar dengan perlukaan jaringan
yang cukup panjang serta resisko terbentuknya thrombus yang tinggi post
operasi. Namun mobilisasi dini membuat komplikasi tersebut tidak terjadi
pada Ny. N sampai dengan hari terakhir klien dirawat tidak terjadi masalah
DVT. Dengan demikian, terkait salah satu tujuan mobilisasi dini,
mencegah DVT, dapat dikatakan cukup efektif.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
75 b. Tujuan selanjutnya yang ingin dicapai dari pelaksanaan intervensi
mobilisasi dini adalah kaku sendi dan injury saraf. Injuri saraf radial
biasanya disebabkan fraktur humerus, manifestasinya antara lain
paresthesia, paralisis, pucat, ekstremitas yang dingin, meningkatnya nyeri
dan perubahan kemampuan untuk menggerakkan ekstremitas (Brunner &
Suddarth; 2001). Kondisi klien yang baru menjalani operasi pada lokasi
tulang femur pun menjadi satu faktor kemungkinan yang turut memicu
kaku sendi dan injury saraf karena saraf dan sendi terganggu oleh
imobilitas. Oleh karena itu, mobilisasi dini diberikan dengan harapan klien
dapat melakukan mobilisasi ringan dengan menggunakan teknik ROM
aktif asistif.
c. Tujuan kedua adalah memulihkan fungsi bowel dan distensi abdomen.
Efek anestesi yang diberikan menjelang pasien menjalani operasi
diantaranya bertujuan untuk mengistirahatkan seluruh aktivitas dalam
tubuh dengan sifat anestesi yakni muscle relaxant, salah satunya adalah
aktivitas peristaltik usus. Oleh karena itu, masalah yang paling sering
terjadi ketika pasien post operasi adalah system pencernaan yang belum
kembali berfungsi, salah satu tandanya adalah belum adanya flatus atau
terjadi distensi abdomen karena akumulasi gas.
Selain itu, imobilisasi sendiri akan memperburuk fungsi pencernaan
karena peristaltik usus sangat bergantung dengan mobilisasi. Rendahnya
mobilisasi mengakibatkan rendah pula gerak atau peristaltik usus.
Berdasarkan hal tersebut, mobilisasi dini dilakukan pada Ny. N.Kondisi
klien yang baru menjalani operasi pada lokasi tulang femur pun menjadi
satu faktor kemungkinan yang turut memicu konstipasi karena gangguan
neuromuskuler terutam yang mengatur defekasi. Oleh karena itu,
mobilisasi dini diberikan dengan harapan neuromuskuler mendapat
stimulus, begitu pula dengan peristaltik usus karena mobilisasi dini
meliputi pengubahan posisi per 2 jam dan ROM berguna untuk
mengaktifkan kembali fungsi neuromuskuler (Siribaddana, 2009).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
76 d. Tujuan selanjutnya yang ingin dicapai dari pelaksanaan intervensi
mobilisasi dini adalah mencegah infeksi luka operasi dan mempercepat
penyembuhan luka operasi. Berdasarkan Siribaddana (2009), pemulihan
jaringan luka operasi operasi sangat dipengaruhi oleh imobilisasi. Selain
pelaksanaan ROM, klien juga dianjurkan untuk miring kanan - kiri.
Efektivitas mobilisasi dini untuk mencegah infeksi luka operasi dapat
terukur dari luka yang mengering pada hari ke-5 post operasi, tidak
tampak adanya pus atau kemerahan di sekitar luka.
Berdasarkan pelaksanaan intervensi mobilisasi dini dengan ROM pada
pasien post operasi stabilisasi, banyak sekali manfaat yang didapatkan
terutama dalam pencegahan komplikasi operasi. Manfaat tersebut tampak
pula pada Ny. N setelah intervensi diberikan selama 4 hari post operasi,
sejak hari pertama hingga ke-lima.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
77 BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.1.1. Wilayah perkotaan memiliki banyak faktor resiko terhadap masalah
kesehatan, diantaranya disebabkan oleh kemajuan teknologi juga telah
memacu perubahan kebiasaan hidup (gaya hidup), gaya hidup yang cenderung
lebih santai akibat perkembangan teknologi saat ini.
5.1.2. Fraktur femur menjadi salah satu masalah kesehatan khas perkotaan
karena faktor-faktor diatas, dapat disebabkan oleh faktor primer dan sekunder
sehingga menyebabkan komplikasi yakni komplikasi awal (syok, sindroma
emboli lemak, sindroma komparteman dan infeksi) dan komplikasi lanjut
(delayed union, non – union, mal – union, kaku sendi lutut, refraktur).
5.1.3. Perawat berperan penting dalam pencapaian keamanan/ safety pasien
selama perioperatif, terutama pada pre dan post operasi.
5.1.5. Asuhan pre operatif diantaranya dengan memberikan edukasi persiapan
operasi, sementara post operatif berupa intervensi untuk mencegah komplikasi
operasi.
5.1.6. Mobilisasi dini merupakan salah satu intervensi penting untuk
mencegah komplikasi operasi, seperti DVT, kaku sendi lutut, gangguan fungsi
bowel, infeksi luka operasi, retensi urin, dan embolisme pulmonal.
5.1.7. ROM selama melakukan mobilisasi pada pasien post hemiarthroplasti
bertujuan untuk mempertahankan fungsi sendi dan otot sehingga mencegah
komplikasi lanjut post operasi, seperti terjadi kaku sendi lutut dan sindroma
kompartemen.
8 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
78 5.1.8. Beberapa efektivitas yang dapat diamati pada pasien diantaranya adalah
pasien tidak mengalami thrombosis vena dalam, tidak terjadi masalah
konstipasi, tidak terjadi stasis urin dan produksi urin positif, tidak terjadi
pneumoni ataupun embolisme pulmonal, serta penyembuhan luka yang baik/
luka kering dalam 3 hari pemberian intervensi, tidak terdapat pus, ataupun
tanda infeksi, serta tidak muncul luka baru karena imobilisasi (dekubitus).
5.2 Saran
5.2.1 Rumah Sakit
Saran bagi rumah sakit selaku pemberi pelayanan keperawatan
hendaknya dapat memberikan asuhan keperawatan yang holistik,
termasuk dalam mempersiapkan klien agar dapat menjalani operasi
dengan baik dan terhindar dari komplikasi operasi. Selain itu, perawat
hendaknya menunjukkan perannya sebagai advokat klien dengan
pemberian edukasi-edukasi yang menunjang kesehatan klien.
5.2.2 Pendidikan
Saran bagi pemberi pendidikan keperawatan terutama spesialisasi
keperawatan komunitas hendaknya agar dapat bekerja sama dengan
institusi kesehatan dan pemerintahan di wilayah-wilayah perkotaan
untuk memberikan penyuluhan sebagai tindakan preventif dan promotif
terkait penyakit fraktur femur guna menekan angka kejadiannya di
perkotaan dan mencegah peningkatan komplikasi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
1 DAFTAR PUSTAKA
Arif, et al. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Buchol, ZRW, et.all. (2004). orthopaedic pacision Making, p. 28-29, BC. Dekker
Inc.Toronto: Philadelphia
Donges Marilynn, E. (2012). Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta: EGC
Scatzker,. J, Tile,. M. (2007). The Rationale of Operative Fracture Care, p. 133 –
172,Springer-Verlag: Berlag Heidelberg
Keating, J. F., Grant, A., Masson, M., Scott, N. W., & Forbes, J. F. (2006).
Randomized comparison of reduction and fixation, bipolar hemiarthroplasty, and
total hip arthroplastyTreatment of displaced intracapsular hip fractures in healthy
older patients. The Journal of Bone & Joint Surgery, 88(2), 249-260.
Blomfeldt, R., Törnkvist, H., Eriksson, K., Söderqvist, A., Ponzer, S., & Tidermark,
J. (2007). A randomised controlled trial comparing bipolar hemiarthroplasty with
total hip replacement for displaced intracapsular fractures of the femoral neck in
elderly patients. Journal of Bone & Joint Surgery, British Volume, 89(2), 160165.
Brunner & Suddarth (2001). Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth. (2002). Buku ajar Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC.
Doengoes, Marilyn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan.Edisi 3. Jakarta : EGC.
Ethel Sloane (2003). Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : EGC.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
2 Editor Arief Mansjoer, Suprokarta. Wahyu Ika Wardhani. Wiwiek Setiawulan
(2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media Esculapius.
Fakulta Kedokteran. Indonesia.
Kelompok Dasar Keperawatan dan Keperawatan Dasar FIK UI. (2006). Panduan
praktikum keperawatan dasar 1. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.
Lewis, et all. (2000). (7nd ed). Medical surgical nursing. St Louis: Mosby
Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Jilid 2 .
Edisi 4. Jakarta. EGC
Potter & Perry. (2006). Buku Ajar Fundamentak Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta : EGC
Purwadianto,. A. (2000). Kedaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara
Reksoprodjo, Soelarto (1995). Ilmu Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Ramadoni, Ferdias. (2009). Fraktur yang sering terjadi pada lansia. Diambil pada
30 agustus 2014 dari http://www.perawatonline.com.
Smeltzer, Suzanne C. (2002). Buku ajar keperawatan medical bedah Brunner &
Suddarth ; alih bahasa, Agung Waluyo ,dkk. (edisi 8). Jakarta: EGC.
Sjamsuhadajat, Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Sloane, Ethel. (2003). Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC
Sylvia A. Price, Lorraine. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses – Proses
Penyakit. Edisi 6. Vol 2. Jakarta : EGC.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
3 Wedro, Benjamin C. (2008). Fracture. Diambil pada 30 Agustus 2014 dari http
://www.medicineNet.com.
Wikipedia. (2009). Bone fracture. Diambil pada 30 Agustus 2014 dari http
://www.google.com
http://senyumsehat.wordpress.com, di akses tanggal 30 Agustus 2014
http://www.ilmukeperawatan.com/askep.html. diakses tanggal 30 Agustus 2014
http://www.uhb.nhs.uk/pdf/pifollowinghemiathroplasty.pdf
diakses tanggal 30
Agustus 2014
http://www.brighamandwomens.org/patients_visitors/pcs/rehabilitationservices/phys
ical therapy standards of care and protocols/hip - thr protocol.pdf diakses tanggal
30 Agustus 2014
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
4 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Personal
Nama Lengkap
: Devista Kusuma Dewi
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 29 Juli 1991
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Belum Menikah
Alamat Rumah
: Jl. Tanah Merdeka No.20, Susukan 13750
No. Handphone
: 085691439352
Email
: [email protected] / [email protected]
Agama
: Islam
Kewarganegaraan
: Indonesia
Golongan Darah
: AB
B. Riwayat Pendidikan Formal
No.
1
Nama Sekolah
Fakultas Ilmu Keperawatan,
Tahun
2009-sekarang
Universitas Indonesia
2
SMA Negeri 93 Jakarta
2006-2009
3
SMP Negeri 49 Jakarta
2003-2006
4
SD Negeri 07 Pagi
1997-2003
5
TK Islam Al-Kahfi
1996-1997
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Devista Kusuma Dewi, FIK UI, 2014
Download