RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto) RISIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN FENOMENA UNDERPRICING PADA IPO: STUDI EMPIRIS DI BURSA EFEK INDONESIA Andreas Arif Kristanto P.T. Bank Central Asia Finance Wisma BCA Pondok Indah No 10, Jakarta Email: [email protected] ABSTRACT The purpose of this study is to examine the effect of bankruptcy risk and debt proportion to undepricing phenomenon in Initial Public Offering. This study analyzes a sample of initial public offfering made of indonesian stock exchange-listed non finance firms over the periode 2001-2010. Date analysis uses multiple regression model. The results show that debt proportion have negative effect on underpricing, while bankruptcy risk shows no such effect. This result consistent with signaling equilibrium phenomenom. Keyswords: underpricing, debt, and bankruptcy risk. PENDAHULUAN Penghimpunan dana masyarakat melalui pasar modal merupakan pilihan yang semakin banyak ditempuh perusahaan dalam rangka pendanaan usaha. Ratusan perusahaan telah meraih dana publik, baik dengan menerbitkan saham maupun obligasi. Penerbitan perdana saham oleh perusahaan dapat dilakukan melalui mekanisme penawaran umum perdana saham/initial public offering (IPO) atau lebih dikenal dengan istilah go public. Sepanjang tahun 2001 sampai 2010, tercatat sebanyak 168 perusahaan menjual saham ke publik melalui mekanisme go public. Berdasarkan data penelitian pada tahun 2003 hanya 7 perusahaan yang menerbitkan saham melalui mekanisme penawaran umum perdana. Pada tahun 2006 tercatat 11 perusahaan yang melakukan IPO. Go public semakin diminati perusahaan untuk menghimpun dana, terbukti di tahun 2010 sebanyak 23 perusahaan mencatatkan diri atau listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui mekanisme go pubic. Penawaran umum perdana atau IPO merupakan topik penelitian yang menarik, karena segera setelah IPO atau pada hari pertama perusahaan listing di BEI terdapat abnormal return. Fenomena tersebut biasa dimanfaatkan oleh investor untuk memperoleh initial return. Fenomena tersebut dikenal dengan IPO underpricing. Fenomena underpricing terjadi karena penawaran perdana ke publik yang secara rerata murah. Fenomena underpricing dapat diartikan penentapan harga saham pada saat IPO berbeda dan secara signifikan lebih rendah dengan harga saham di pasar sekunder pada hari pertama emiten listing di BEI (Takarini dan Kustini, 2007). Berdasarkan data penelitian, 126 perusahaan dari 168 perusahaan atau sebesar 75% IPO pada periode 2001 sampai 2010 mengalami underpricing. Pada tahun 2002 dari 19 39 JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012 perusahaan yang menerbitkan saham melalui mekanisme penawaran umum perdana, 14 perusahaan atau 73,68% mengalami underpricing dan 3 perusahaan atau 15,79% mengalami overpricing. Pada tahun 2007 tercatat 22 perusahaan yang melakukan IPO, 20 perusahaan diantaranya mengalami underpricing dan hanya 2 perusahaan yang mengalami overpricing. Tingkat kecenderungan underpricing semakin meningkat, terbukti di tahun 2010 sebanyak 22 perusahaan dari 23 perusahaan atau sebesar 95,65% yang go public mengalami underpricing, sisanya 1 perusahaan atau sebesar 4,35% mengalami overpricing. Fenomena underpricing memiliki implikasi yang cukup luas, baik bagi perusahaan, investor maupun akademisi. Bagi perusahaan yang baru go public, IPO yang underpricing berarti kehilangan kesempatan untuk memperoleh dana secara maksimal. Bagi kalangan investor, fenomena underpricing merupakan kesempatan memperoleh initial return pada saat hari pertama emiten listing di BEI. Bagi akademisi, underpricing merupakan topik yang menarik untuk diteliti karena dapat menguji berbagai penjelasan terjadinya underpricing dengan menggunakan information asymetric, winner’s curse, regulation hypothesis, dan signaling equilibrium phenomenom sebagai dasar teori. Selama ini penelitian tidak difokuskan pada satu dasar teori. Dianingsih (2003), Takarini dan Kustini (2007), Handayani (2008), mengangkat lebih dari satu teori yang digunakan dalam penelitian, sehingga penelitian yang telah dilakukan tidak terfokus pada satu dasar teori terjadinya fenomena underpricing. Penelitian ini memfokuskan penjelasan fenomena underpricing pada teori yang dianggap kontroversi, yaitu signaling equilibrium phenomenom. Teori tersebut menjelaskan bahwa perusahaan yang sehat/baik dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan 40 melakukan penentapan IPO yang underpricing, sementara perusahaan yang tidak sehat/buruk tidak mau melakukan underpricing, karena khawatir tidak dapat menutupi kerugian akibat underpricing (Ronni, 2003). Menurut Bringham, Huston (2006), perusahaan dengan prospek yang sangat menguntungkan akan mencoba untuk menghindari penjualan saham atau cenderung overpricing, sedangkan perusahaan dengan prospek yang tidak menguntungkan menjual sahamnya dengan underpricing, yang artinya menarik investor-investor untuk berbagi kerugian yang dialami perusahaan. Perbedaan pandangan mengenai signal dari tujuan perusahaan menerapkan underpricing memerlukan kajian lebih lanjut. Peneliti menggunakan dasar fundamental perusahaan yang sehat/baik dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang underpricing. Perusahaan yang sehat/baik memiliki kriteria, sebagai berikut: tidak dalam kesulitan keuangan (financial distress), tidak memiliki tanggungan hutang yang tinggi, dan jauh dari kondisi kebangkrutan. Sedangkan perusahaan yang tidak sehat/buruk memiliki kriteria, sebagai berikut: perusahaan dalam kondisi financial distress, memiliki hutang yang tinggi, dan kondisi perusahaan cenderung bangkrut (Purwanti, 2009). Berdasarkan teori signaling equilibrium phenomenom, perusahaan yang sehat/baik jauh dari risiko kebangkrutan mampu memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang underpricing. Perusahaan yang tidak sehat/buruk dalam kondisi memiliki hutang yang tinggi tidak berani memberikan signal underpricing yang tinggi dan cenderung overpricing. Harga saham perdana dipengaruhi oleh faktor fundemental perusahaan dan ekonomi, serta secara langsung akan mempengaruhi nilai perusahaan. Semakin RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto) tinggi nilai pasar saham menunjukkan secara nyata bahwa perusahaan atau emiten tersebut semakin sehat. Dengan kata lain semakin kurang sehat suatu perusahaan atau berisiko bangkrut, nilai pasar saham perusahaan akan semakin rendah di pasar (Siregar, 2008). Perusahaan yang sehat dilihat dari risiko kebangkrutan yang rendah dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang underpricing. Perusahaan yang kurang sehat atau berisiko bangkrut dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang overpricing. Perusahaan yang sedang berkembang pasti membutuhkan tambahan modal yang cukup untuk melakukan ekspansi. Secara umum modal dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu hutang dan ekuitas/berbagi kepemilikan. Penggunaan hutang sebagai modal memiliki keuntungan sebagai pengurang pajak (tax shield), tetapi semakin tinggi rasio hutang maka perusahaan tersebut semakin berisiko. Ketika perekonomian mengalami masa-masa sulit (crisis) dan perusahaan terkena dampaknya sehingga laba operasi tidak mampu menutupi beban bunga, maka akan terjadi kebangkrutan (financial distress). Perusahaan yang memiliki risiko hutang yang rendah termasuk kedalam perusahaan yang sehat, sehingga dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang underpricing. Perusahaan yang memiliki risiko hutang yang tinggi merupakan perusahaan yang kurang sehat, sehingga dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang overpricing, karena khawatir tidak dapat menutupi kerugian akibat underpricing. Dalam konteks di Indonesia dimana Fenomena Underpricing memiliki implikasi yang penting dalam menentukan kebijakan pendanaan bagi perusahaan dan kebijakan investasi bagi investor. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh risiko kebangkrutan dan proporsi hutang terhadap fenomena underpricing pada initial public offering di BEI. Hasil penelitian ini diharapkan akan memperkuat eksistensi teori mengenai Fenomena Underpricing, khususnya Teori signaling equilibrium phenomenom yang menjelaskan bahwa perusahaan yang baik dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang underpricing. Bagi Investor adalah sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi pada saat IPO. Pemilihan perusahaan dengan proporsi hutang dan tingkat risiko kebangkrutan yang tepat maka dirasa invsetasi yang dilakukan tepat karena dapat memanfaatkan fenomena underpricing untuk mendapatkan initial return pada hari pertama saham diperdangangkan di secondary market. Sementara itu, perusahaan dan underwriter menentukan harga saham pada saat IPO, memperhatikan fenomena underpricing karena merupakan salah satu signal kondisi perusahaan yang akan dinilai oleh investor. KAJIAN LITERATUR Penejalasan Fenomena Underpricing Underpricing adalah suatu keadaan dimana harga saham pada saat penawaran perdana lebih rendah dibandingkan dengan ketika diperdagangkan di pasar sekunder (Gerianta, 2002). Sedangkan Yolana dan Dwi Martani (2005) mendefinisikan underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham di pasar sekunder dengan harga saham di pasar perdana atau saat IPO. Fenomena underpricing tersebut terjadi dikarenakan dalam proses go public dimana saham yang ditawakan dan sebelum ditransaksikan di pasar sekunder 41 JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012 (bursa efek) akan terlebih dahulu dijual di pasar perdana pada saat IPO. Harga saham pada saat IPO yang dijual dipasar perdana sudah terlebih dahulu ditentukan oleh penjamin emisi (underwriter), perusahaan yang akan go public (emiten), dan pihak investor melalui mekanisme book bulding, sedangkan harga saham di pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar (permintaan dan penawaran). Dalam dua mekanisme penentuan harga tersebut sering terjadi perbedaan harga saham pada saat di pasar perdana dan di pasar sekunder. Underpricing terjadi apabila penentuan harga saham pada saat IPO lebih rendah dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar sekunder pada hari pertama perusahaan listing di bursa efek. Beberapa penelitian di Indonesia menemukan adanya underpricing pada penawaran perdana saham (IPO). Penelitian yang dilakukan Hanafi, M. dan Husnan (1991) menyatakan bahwa pada saat IPO terdapat kecenderungan terjadinya Underpricing. Hasil penelitian Isworo, Sri dan Ambar (2007) membuktikan perusahaan-perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 1998 –2005 di Bursa Efek Jakarta mengalami underpricing, hal tersebut dapat dilihat dari nilai initial return maupun average abnormal return yang positif. Selain di Indonesia ternyata fenomena underpricing juga terjadi di negara lain. Loughran, dkk (1994) menyatakan bahwa fenomena underpricing menjadi fenomena pada pasar modal di hampir setiap negara. Sehingga dapat diterima secara luas underpricing adalah fenomena yang umum terjadi di pasar modal manapun saat emiten melakukan IPO yang dapat dimanfaatkan investor untuk memperoleh initial return pada saat hari pertama saham diperdangkan di pasar sekunder. Disisi akademisi sudah banyak teori yang membahas terjadinya fenomena underpricing. Teori penjelasan atas fenomena underpricing, mendasakan pada 42 information asymetric dan signaling equilibrium phenomenom. Kebanyakan penelitian menjelaskan fenomena underpricing berdasarkan perspektif teori information asymetric. Teori ini menjelaskan bahwa harga penawaran perdana (IPO) yang underpriced didasarkan pada asumsi bahwa terjadi perbedaan informasi antara berbagai pihak terhadap nilai saham yang baru tersebut. Perspektif ini didasarkan pada anggapan bahwa meskipun issuer mengetahui lebih banyak karakteristik bisnisnya, tetapi underwriter lebih mengetahui harga pasar sebab underwriter melakukan survei pasar, melakukan investigasi terhadap issuer, mendapatkan informasi dari issuer dan juga punya pengalaman dalam pengeluaran saham baru (Ibbotson, Sindelar, Ritter,1988). Sementara itu, perspektif teori yang lainnya dalam menjelaskan underpricing IPO adalah sebagai signaling equilibrium phenomenom (Allen dan Faulhaber, 1989). Dasar fundamental dari teori ini adalah perusahaan yang baik atau bagus dapat memberikan signal (tanda) tentang tipe atau kondisi perusahaannya dengan melakukan penetapan IPO yang underpricing. Sementara perusahaan yang jelek atau buruk tidak mau melakukan underpricing karena tidak bisa menutupi kerugian akibat underpricing. Motivasi dari pengiriman signal lewat underpricing adalah asumsi bahwa keuntungan masa datang dari underpricing IPO lebih besar dari kerugiannya. Initial Public Offering Kepemilikan saham pada perusahaan-perusahaan yang sehat dan tumbuh dengan baik merupakan salah satu cara untuk mencapai kemakmuran pemegang saham. Hiruk pikuk ekonomi modern saat ini, salah satunya ditandai dengan ramainya kegiatan jual dan beli saham baik dengan tujuan untuk RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto) kepemilikan jangka panjang atau untuk tujuan mendapat keuntungan atas penjualan saham tersebut (capital gain). Saham-saham yang diperdagangkan tersebut berasal dari saham-saham yang dilepas perusahaan melalui mekanisme penawaran perdana saham pada saat perusahaan akan go public. Penawaran perdana saham atau Initial Public Offering (IPO) merupakan suatu mekanisme dimana perusahaan untuk pertama kali mengeluarkan saham baru yang kemudian ditawarkan kepada publik. Dengan menjual saham ke publik, maka perusahaan berhasil meraup dana segar dalam jumlah besar yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan perusahaan, seperti ekspansi usaha, membayar utang, perbaikan struktur modal, dan lain-lain. Salah satu ciri penting dengan go public adalah perubahan status perusahaan yang semula bersifat tertutup akan berubah menjadi perusahaan terbuka, sehingga diperlukan suatu transformasi pengelolaan perusahaan dari yang bersifat tertutup ke arah yang lebih transparan dan profesional. Risiko Kebangkrutan Perusahaan Tidak ada satu pun perusahaan yang terhindar dari risiko kebangkrutan. Tidak ada bisnis yang bisa berjaya selamanya. Perusahaan juga dikatakan berisiko ketika perusahaan tersebut mendekati kebangkrutan. Perusahaan yang mendekati kebangkrutan atau yang tergolong tidak sehat akan sulit mendapat izin dari Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan (Bapepam LK) untuk melakukan go public, tetapi jika tujuan dari go public perusahaan tersebut untuk menghimpun dana dalam rangka menyehatkan kembali perusahaan dan perusahaan tersebut masih memiliki prospek maka akan dicatatkan dalam papan pengembangan. Sebenarnya dengan melakukan analisis secara mendalam terhadap keuangan, tanda-tanda melemahnya kondisi fundamental perusahaan dapat terlihat. Untuk mengetahui perusahaan tersebut tergolong perusahaan yang sehat atau tidak sehat dalam hal ini diramalkan mendekati kebangkrutan dapat kita gunakan Analisa Kebangkrutan Altman Z (Z-Score) revisi untuk perusahaan yang belum go public. Pada tahun 1968, Edward. I Altman memberikan formula yang berfungsi untuk memprediksi potensi kebangkrutan suatu perusahaan. Altman mempergunakan angka-angka didalam laporan keuangan dan merepresentasikannya dalam suatu angka, yaitu Z-Score yang dapat menjadi acuan untuk menentukan apakah suatu perusahaan berpotensi untuk bangkrut atau tidak. Berdasarkan analisa ini apabila nilai Z dari perusahaan yang diteliti lebih kecil dari 1,23 berisiko tinggi terhadap kebangkrutan, bila nilai Z berada diantara 1,23 sampai dengan 2,90 dikatakan masih memiliki risiko kebangkrutan, bila di atas nilai 2,90 atau Z > 2,90 aman dari kebangkrutan. Perusahaan yang diramalkan mendekati kebangkrutan tidak akan menetapkan underpricing yang tinggi atau dapat dikatakan perusahaan tersebut akan menerapkan overpricing, sebab perusahaan yang mendekati kebangkrutan berharap memperoleh dana segar dalam jumlah yang besar untuk menyehatkan kembali perusahaan. Investor menyukai nilai Z-Score yang tinggi tinggi (Z-Score > 2,90) dikarenakan berdasarkan laporan keuangan, perusahaan dianggap aman atau perusahaan tergolong sehat. Bagi perusahaan semakin tinggi nilai Z-Score semakin perusahaan tersebut tergolong sehat, maka perusahaan berani menerapkan underpricing pada saat IPO, hal tersebut dikarenakan perusahaan mencoba memberikan sinyal positif bahwa kondisi perusahaannya dalam kondisi sehat/baik. Semakin rendah nilai Z-Score 43 JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012 semakin perusahaan tersebut tergolong cenderung berisiko bangkrut, maka perusahaan tidak berani menerapkan underpricing dan cenderung overpricing pada saat IPO. Proporsi Hutang Para investor dan calon investor sangat menaruh perhatian pada jumlah utang serta kemampuan perusahaan membayar bunga dan pinjaman pokok. Semakin besar utang semakin besar pula kemungkinan perusahaan tidak mampu membayar bunga serta pinjaman pokoknya. Dalam menentukan apakah sebuah perusahaan memiliki hutang yang besar atau kecil, cara yang paling umum digunakan adalah dengan membandingkannya dengan total asset atau dengan modalnya. Para investor cenderung menghindari emiten yang memiliki DTA tinggi. Investor tidak menyukai DTA yang terlalu tinggi dikarenakan risiko perusahaan atas penggunaan hutang yang tinggi tidak diimbangi dengan aset perusahaan sebagai penjaminnya, sehingga risiko gagal bayar hutang yang menyebabkan perusahaan dalam kondisi financial distress merupakan salah satu risiko perusahaan. Bagi perusahaan semakin rendah DTA semakin rendah risiko hutang yang ditanggung perusahaan, dan menyebabkan perusahaan cenderung berani menerapkan underpricing yang tinggi sebagai signal perusahaan tidak berisiko. Semakin tinggi DTA semakin tinggi risiko hutang yang ditanggung perusahaan, dan menyebabkan rendahnya underpricing yang diterapkan perusahaan atau cenderung overpricing hal tersebut dikarenakan perusahaan tidak dapat menutupi kerugian akibat Underpricing karena disatu sisi perusahaan sudah memiliki beban hutang yang cukup tinggi. PENGEMBANGAN HIPOTESIS 44 Risiko Kebagkrutan Perusahaan terhadap Underpricing Perusahaan dikatakan berisiko ketika perusahaan tersebut mendekati kebangkrutan. Untuk mengetahui perusahaan tersebut tergolong perusahaan yang sehat atau tidak sehat dalam hal ini diramalkan mendekati kebangkrutan atau cenderung bangkrut dapat kita gunakan Analisa Kebangkrutan Altman Z (Z-Score) revisian untuk perusahaan yang belum go public. Berdasarkan analisa ini apabila nilai Z dari perusahaan yang diteliti lebih kecil dari 1,23 berisiko tinggi terhadap kebangkrutan, bila nilai Z berada di atas nilai 2,90 aman dari kebangkrutan. Perusahaan yang sehat diukur dari nilai zsocre yang tinggi akan menetapkan underpricing yang tinggi sebagai signal perusahaan tersebut sehat. Perusahaan yang diramalkan mendekati kebangkrutan diukur dari nilai z-socre yang rendah tidak akan menetapkan underpricing yang tinggi atau dapat dikatakan perusahaan tersebut akan menerapkan overpricing. H1: Risiko Kebangkrutan (Z-Score) berpengaruh positif terhadap fenomena Underpricing (Iinitial Return) Proporsi Hutang Perusahaan terhadap Underpricing Perusahaan dikatakan berisiko ketika perusahaan tersebut memiliki proporsi hutang yang semakin tinggi. Untuk mengetahui perusahaan tersebut tergolong perusahaan yang memiliki proporsi hutang yang tinggi dapat digunakan Analisa Fundamental yang dicerminkan dalam Debt to Total Asset (DTA). Berdasarkan teori semakin rendah nilai DTA mencerminkan risiko hutang perusahaan yang relatif rendah, sehingga perusahaan berani menerapkan underpricing yang tinggi sebagai signyal perusahaan tersebut tidak berisiko. RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto) Semakin tinggi nilai DTA mencerminkan risiko perusahaan yang relatif tinggi, sehingga perusahaan tidak berani menerapkan underpricing yang tinggi karena perusahaan tergolong berisiko, karena kemungkinan perusahaan tidak mampu membayar bunga serta pinjaman pokoknya. H2: Proporsi Penggunaan Hutang (DTA) berpengaruh negatif terhadap fenomena Underpricing (Iinitial Return) Pemikiran penelitian ini berfokus kepada teori Signaling Equilibrium Phenomenom. Sinyal yang diberikan perusahaan dalam keterkaitannya dengan Fenomena Underpricing pada penelitian ini diproksikan dengan Z-Score sebagai alat ukur risiko kebangkrutan dan Debt to Total Asset sebagai dasar analisis fundamental perusahaan dalam proporsi penggunaan hutang. Keterkaitan risiko kebangkrutan dan proporsi hutang pada fenomena underpricing penerbitan saham perdana, seperti disajikan pada gambar 1. Model Kerangka Teoritis Risiko Kebangkrutan Z-Score (X1) Proporsi Hutang (+) Fenomena Underpricing Initial Return (Y) (-) Debt to Total Asset (X2) Gambar 1 Model Teoritis Semakin tinggi nilai Z-Score semakin sehat perusahaan tersebut dan cenderung tidak bersiko, sehingga Initial Return yang diperoleh akan semakin tinggi atau dengan kata lain underpricing yang dilakukan perusahaan semakin besar. Hal tersebut sesuai dengan teori yang ada bahwa perusahaan mencoba memberikan sinyal positif bahwa kondisi perusahaannya dalam kondisi sehat/baik. Semakin tinggi nilai Debt to Total Asset semakin berisiko perusahaan tersebut, dikarenakan penggunaan hutang yang semakin tinggi, sehingga Initial Return yang diperoleh akan semakin rendah atau dengan kata lain perusahaan meminimalkan terjadinya underpricing. Hal tersebut sesuai dengan teori yang ada bahwa perusahaan tidak dapat menutupi kerugian akibat underpricing dan disatu sisi perusahaan sudah memiliki beban hutang yang cukup tinggi. METODE PENELITIAN Sampel dan Data Sampel pada penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) dari tahun 2001 sampai 2010 yang akan listing di Bursa Efek Indonesia yang mengalami underpricing dan diluar perusahaan finance (Bank, Kredit, Asuransi, dan Sekuritas). Jumlah sampel sebanyak 96 perusahaan diluar sektor finance yang melakukan IPO dari tahun 2001 sampai 2010 yang mengalami underpricing. Metode pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara purpose sampling, dengan beberapa kriteria. 45 JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012 Pertama, perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) dari tahun 2001 sampai 2010 yang akan listing di Bursa Efek Indonesia yang mengalami underpricing. Selama periode tersebut, perusahaan IPO underpricing terdiri 126 dan overpricing terdiri 29 perusahaan. Kedua, perusahaan diluar sektor finance yang melakukan Initial Public Offering (IPO) dari tahun 2001 sampai 2010 yang akan listing di Bursa Efek Indonesia yang mengalami underpricing. Selama periode tersebut, perusahaan IPO finansial terdiri atas 30 perusahaan finansial dan non finansial teridiri atas 96 perusahaan. Penelitian ini menggunakan data perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) dari tahun 2001 sampai 2010 yang akan listing di Bursa Efek Indonesia. Data perusahaan yang melakukan IPO diperoleh peneliti dari www.idx.co.id dan IDX Data Statistik 2001 sampai 2010. Penelitian ini menggunakan data closing price hari pertama perusahaan yang melakukan IPO tahun 2001 sampai 2010 listing di Bursa Efek Indonesia. Data closing price hari pertama perusahaan yang melakukan IPO diperoleh peneliti dari www.finance.yahoo.com. Penelitian ini menggunakan data laporan keuangan satu tahun sebelum perusahaan melakukan IPO pada tahun 2001 sampai 2010. Data laporan keuangan perusahaan yang melakukan IPO diperoleh peneliti dari Indonesian Capital Market Directory (ICMD) dari tahun 2001 sampai 2010. Definisi Operasional Variabel Variabel dependen dalam penelitian ini adalah fenomena underpricing. Fenomena underpricing diukur menggunakan initial return (IR). Initial return menggambarkan seberapa besar underpricing yang diterapkan perusahaan 46 atau dapat juga menggambarkan abnormal return yang diterima investor pada hari pertama listing di pasar sekunder. IR digunakan peneliti untuk mencerminkan fenomena underpricing dikarenakan dalam penelitian terdahulu masih konsisten digunakan sampai saat ini. Variabel initial return dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Keterangan : IR adalah Initial Return; CP adalah Closing Price hari pertama listing di BEI; dan OP adalah Harga IPO emiten Risiko Kebangkrutan (Altman Z-Score revisi) Variabel independen risiko kebangkrutan diukur menggunakan proksi Altman Z-Score revisi untuk perusahaan non-go public (Z-Score). Semakin tinggi nilai Z-Score (>2.99) menggambarkan perusahaan cenderung sehat, dan sebaliknya semakin rendah nilai nilai ZScore (>1.23) menggambarkan perusahaan cenderung mendekati kebangkrutan. ZScore digunakan peneliti untuk mencerminkan risiko kebangkrutan sebagai variable independen dikarenakan Altman Z-Score merupakan alat untuk mengukur/menilai kondisi kebangkrutan perusahaan. Variabel Z-Score dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Z-Score = 0.717T1 + 0.847T2 + 3.107T3 + 0.420T4 + 0.998T5 Perhitungan untuk masing-masing variabel pada model Z-Score sebagai berkut T1 = T2 = RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto) T3 = T4 = T5 = Proporsi Hutang (Debt Ratio) Variable independen risiko hutang (debt ratio) diukur menggunakan proksi Debt to Total Asset (DTA). Semakin tinggi DTA menggambarkan penggunaan hutang yang tinggi dalam operasional perusahaan. Semakin besar DTA mencerminkan risiko perusahaan yang relatif tinggi. Debt to total asset digunakan peneliti untuk mencerminkan risiko penggunaan hutang sebagai variable independen dikarenakan DER yang digunakan oleh peneliti terdahulu, yang juga merupakan proksi financial laverage telah diujicobakan dalam penelitian ini dan peneliti memperoleh hasil yang tidak signifikan. Proksi DTA dianggap lebih tepat digunakan, karena mencerminkan proporsi hutang yang digunakan perusahaan dari total assetnya. Variabel Debt to Total Asset dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Keterangan: DTA adalah Debt to Total Asset Untuk menguji pengaruh variabel independen yaitu risiko kebangkrutan (ZScore) dan risiko hutang (Debt to Total Asset) terhadap variabel dependen yaitu fenomena underpricing (Initial Return), maka digunakan model regresi berganda dengan persamaan dasar sebagai berikut: IR = α + β1 Z_Score - β2 DTA+ ε Keterangan: IR adalah Initial Return atau tingkat underpricing (Y); Z_Score adalah Nilai Z-Score atau tingkat kebangkrutan perusahaan (X1); DTA adalah Nilai Debt to Total Asset atau tingkat hutang (X2); α adalah Konstanta; β adalah Koefisien variabel; ε adalah Error terms atau variabel gangguan/acak HASIL ANALISIS Data deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 1. Pada tabel 1 menyajikan hasil pengolahan data deskriptif initial return, zscore, dan debt to total asset. Pada tabel ini menunjukkan bahwa jumlah data yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 80 observasi data. Tabel 3 Data Deskriptif Variabel Minimum IR 0.013889 ZScore -1.399588 DTA 0.085797 Valid N (listwise) = 80 Maximum 2.032000 5.226861 0.988317 Berdasarkan 80 observasi data, variabel dependen (IR) mempunyai nilai minimum sebesar 0,013889. Nilai tersebut berarti kerugian yang diterima perusahaan karena melakukan underpricing sebesar Mean 0.403001 1.667037 0.583971 Std. Deviation 0.357814 1.247127 0.207146 0,013889 atau dengan kata lain keuntungan yang diperoleh investor pada hari pertama emiten listing di BEI sebesar 1,38%. Nilai tertinggi untuk variabel IR adalah sebesar 2,032000. Angka tersebut 47 JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012 berarti kerugian yang diterima perusahaan karena melakukan underpricing sebesar 2,032000 atau dengan kata lain keuntungan yang diperoleh investor pada hari pertama emiten listing di BEI sebesar 203,2%. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan menilai terlalu rendah dalam menetapkan harga IPO, sehingga terjadi underpricing yang tinggi. Nilai rata-rata untuk variabel IR adalah sebesar 0,403001. Angka tersebut berarti rata-rata perushaan dalam sampel penelitian ini melakukan underpricing sebesar 0,403001 atau dengan kata lain rata-rata keuntungan yang diperoleh investor karena adanya abnormal return pada hari pertama emiten listing di BEI sebesar 40.3%. Hasil ini menunjukkan bahwa underpricing di Indonesia tergolong tinggi. Variabel independen (ZScore) mempunyai nilai minimum 0,085797. Nilai tersebut dibawah 1,23 yang artinya perusahaan cenderung mengalami keadaan bangkrut. Nilai tertinggi untuk variabel ZScore adalah sebesar 5,226861. Angka tersebut diatas 2,99 hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tersebut dalam keadaan sehat. Nilai rata-rata untuk variabel ZScore adalah sebesar 1,667037. Angka tersebut berarti rata-rata perushaan dalam sampel penelitian ini ada diantara lebih dari 1,23 dan kurang dari 2,99 atau dengan kata lain rata-rata ZScore masuk ke zona grey (abuabu). Hasil ini menunjukkan bahwa ratarata perusahaan pada penelitian ini di Indonesia merupakan perushaan yang tidak cenderung sehat dan tidak cenderung bangkrut. Variabel independen (DTA) mempunyai nilai minimum sebesar 0,085797. Nilai tersebut berarti perusahaan hanya menggunakan hutang sebesar 8,57% dari keseluruhan total aset yang dimiliki perusahaan. Nilai tertinggi untuk variabel DTA adalah sebesar 0,988317. Angka tersebut berarti perusahaan menggunakan 98,83% hutang dari total aset perusahaan atau dengan kata lain modal sendiri yang 48 dikeluarkan perusahaan hanya sebesar 1,17%. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan memiliki risiko yang tinggi dalam proporsi penggunaan hutang. Nilai rata-rata untuk variabel DTA adalah sebesar 0,583971. Angka tersebut berarti rata-rata perushaan dalam sampel penelitian ini menggunakan hutang sebesar 58,39% dari total aset perusahaan atau dengan kata lain 41,61% total aset perusahaan diperoleh dari modal sendiri. Hasil ini menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan di Indonesia dalam proporsi penggunaan hutang dianggap tinggi. Hasil pengujian normalitas errorterm pada pengujian 96 sampel dengan mengeluarkan 16 outlier menjadi 80 data. Berdasarkan hasil uji normalitas menunjukkan bahwa error term terdistribusi normal. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-value Kolmogorov-Smirnov Z pada error-term memiliki p-value sebesar 0,106. Error-term tersebut menunjukkan bahwa tingkat signifikansi di atas α=5% atau 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa error term pada data tersebut sudah normal dan sudah memenuhi asumsi klasik. Demikian juga, pengujian multikolineritas pada pengujian 80 data yang error term, hasil menunjukkan tidak terjadi multikolinearitas pada kedua variabel independen. Hal ini ditunjukkan dengan nilai VIF sebesar 1,435 dan tolerance sebesar 0,697. VIF sebesar 1,435 atau dibawah 10 dan tolerance value sebesar 0,697 diatas 0,10. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikoloniearitas, sehingga model reliable sebagai dasar analisis. Hasil pengujian autokorelasi menunjukkan tidak terjadi autokorelasi pada model regresi. Hal ini ditunjukkan dengan Durbin-Watson statistik menunjukan angka sebesar 1,705. Nilai DL, DU, 4-DL, dan 4-DU dengan variabel independen = 2, dan N sebesar = 80. Durbin-Watson sebesar 1,705 berada RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto) diantara dU = 1,6882 dan 4-dU = 2,3118 atau hasil estimasi sebagai berikut: dU<dW<4-dU . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi baik positif atau negatif pada model regresi. Untuk mengetahui apakah terjadi heteroskedastisitas dapat dilihat dari nilai signifikansi uji glejser. Berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas menunjukkan bahwa koefisien parameter profitabilitas untuk variabel DTA dan Zscore yang digunakan dalam penelitian ini terhadap absolut residual (AbsRes) berada di atas α = 5% atau 0,05. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan tidak terjadi masalah heteroskedastisitas. Pengujian kelayakan model. Koefisian determinasi (R2) merupakan ukuran goodness of fit garis regresi. R2 bertujuan untuk menguji seberapa jauh kemampuan model menjelaskan variasi variabel dependen. Koefisian determinasi (R2) sebesar 0,111 berarti variabel bebas (independen) memiliki hubungan sebesar 11,1% terhadap variabel terikat (dependen). Variabel independen mampu menjelaskan 11,1% dari variabel dependen, sisanya 88,9% variabel dependen dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitian ini. Uji Statistik F bertujuan untuk menguji apakah semua variabel independen (Z_Score dan Debt to Total Asset) yang dimasukkan dalam model regresi secara bersama-sama atau simultan berpengaruh terhadap variabel dependen (Initial Return). Angka F hitung sebesar 4,81 lebih besar dari F tabel pada df 2;77 yaitu 3,97. Nilai signifikansi pada uji statistik F sebesar 0,011 ≤ 0,05 artinya terdapat pengaruh Z_Score dan Debt to Total Asset secara bersama-sama terhadap Initial Return. Hasil uji statistik F yang signifikan juga menunjukkan bahwa model regresi pas atau fit untuk menjelaskan hubungan variabel independen terhadap variabel dependen. Uji Statistik t digunakan untuk menguji hipotesis mengenai setiap koefisien regresi parsial (individual). Hasil pengujian hipotesis di ringkas dalam tabel 2. Tabel 2 Hasil Uji Statistik Hipotesis H1 H2 Variabel Simbol Prediksi (β) Koefisien (β) Probabilitas Risiko Kebangkrutan Proporsi Hutang Z_Scor e (+) -0.025 0.844 Tidak Mendukung DTA (─) -0.346 0.009 Mendukung Hipotesis pertama (H1) yang diajukan menyatakan bahwa proporsi kebangkrutan disimbolkan oleh Z_Score berpengaruh positif terhadap underpricing. Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai t hitung 0,197 lebih rendah dari t tabel (df = 77) yaitu sebesar 1,664 dan nilai koefisien regresi untuk variabel Z_score sebesar 0.025 yang berarti hubungan antara Kesimpulan Z_Score dengan Initial Return memiliki hubungan yang negatif, berlawanan dengan arah hipoteisis pertama. Semakin tinggi nilai Z_Score semakin rendah Initial Return yang dihasilkan. Nilai sig. sebesar 0.84. Angka ini tidak signifikan pada tingkat α = 5% atau 0.05. Nilai sig. yang lebih besar dari tingkat signifikansinya dapat diartikan bahwa Z_Score tidak 49 JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012 memiliki hubungan yang signifikan dengan Initial Return. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama yang menyatakan bahwa risiko kebangkrutan berpengaruh positif terhadap underpricing tidak mendukung teori. Hipotesis kedua (H2) yang diajukan menyatakan bahwa risiko hutang disimbolkan oleh DTA berpengaruh negatif terhadap underpricing. Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai t hitung 2,692 lebih tinggi dari t tabel (df = 77) yaitu sebesar 1,664 dan nilai koefisien regresi untuk variabel DTA sebesar -0.346 yang berarti hubungan antara DTA dengan Initial Return memiliki hubungan yang negatif, sesuai dengan arah hipoteisis kedua. Semakin rendah nilai DTA semakin tinggi Initial Return yang dihasilkan. Nilai sig. sebesar 0.009. Angka ini signifikan pada tingkat α = 1% atau 0.01. Nilai sig. yang lebih besar dari tingkat signifikansinya dapat diartikan bahwa DTA memiliki hubungan yang signifikan dengan Initial Return. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hipotesis kedua yang menyatakan bahwa risiko hutang berpengaruh negatif terhadap underpricing mendukung teori. PEMBAHASAN Risiko Kebagkrutan terhadap Underpricing Perusahaan Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa hipotesis pertama yang menyatakan bahwa risiko kebangkrutan berpengaruh positif terhadap underpricing tidak mendukung teori. Berdasarkan hasil tersebut, risiko kebangkrutan yang dicerminkan oleh Z_Score terbukti tidak memiliki hubungan dengan underpricing yang diukur melalui initial return pada hari pertama emiten listing di BEI. Hasil ini tidak konsisten dengan teori signaling equilibrium phenomenom bahwa perusahaan yang diramalkan mendekati 40 kebangkrutan tidak akan menetapkan underpricing yang tinggi atau dapat dikatakan perusahaan tersebut akan menerapkan overpricing, sebab perusahaan tersebut tidak mampu menutupi kerugian akibat underpricing. Dapat dilihat dari lampiran diskriprif data, bahwa pada IPO periode 2001 sampai 2010 sebanyak 39 perusahaan atau sekitar 40,63% memiliki nilai Z-Score antara 1,23 sampai 2,99 yang masuk dalam kategori abu-abu, tidak bisa dikatakan cenderung bangkrut ataupun cenderung sehat. Dapat dilihat dari analisis diskriprif data variabel independen (ZScore) mempunyai nilai minimum 0,085 yang dimiliki oleh Multistrada PT. Arah Sarana Tbk (MASA) yang memiliki initial return sebesar 5,88% yang memang tergolong rendah dari rata-rata initial return pada penelitian ini. Nilai Z-Score tertinggi 5,226 dimiliki oleh PT. Tempo Intimedia Tbk (TMPO) hanya menghasilkan initial return sebesar 11,67% pada saat IPO, hal tersebut menunjukan initial return masih dibawah rata-rata initial return pada penelitian ini, yang sebesar 40,3%.. Dapat disimpulkan dari hasil ini penelitian ini tidak menjamin bahwa semakin tinggi zscore semakin sehat perusahaan dan menjauhi risiko kebangkrutan akan menerapkan underpricing yang tinggi. Proporsi Hutang Perusahaan terhadap Underpricing Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa hipotesis kedua yang menyatakan bahwa risiko hutang berpengaruh negatif terhadap underpricing mendukung teori. Berdasarkan hasil tersebut, risiko hutang yang dicerminkan oleh DTA terbukti memiliki hubungan yang negatif dengan underpricing yang diukur melalui initial return pada hari pertama emiten listing di BEI. Semakin rendah nilai DTA semakin tinggi initial return yang dihasilkan. Hasil ini konsisten dengan teori Signaling RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto) Equilibrium Phenomenom perusahaan yang baik atau bagus (proporsi hutang relatif rendah) dapat memberikan signal (tanda) tentang tipe atau kondisi perusahaannya dengan melakukan penetapan IPO yang Underpricing. Sementara perusahaan yang jelek atau buruk (proporsi hutang relatif tinggi) tidak mau melakukan Underpricing karena tidak bisa menutupi kerugian akibat Underpricing. Sesuai dengan duagaan Bringham, Huston (2006) bahwa para investor cenderung menghindari emiten yang memiliki DTA tinggi. Investor tidak menyukai DTA yang terlalu tinggi dikarenakan risiko perusahaan atas penggunaan hutang yang tinggi tidak diimbangi dengan aset perusahaan sebagai penjaminnya, sehingga risiko gagal bayar hutang yang menyebabkan perusahaan dalam kondisi financial distress merupakan salah satu risiko perusahaan. Disisi perusahaan semakin tinggi DTA semakin rendah Underpricing yang diterapkan perusahaan dan cenderung overpricing hal tersebut dikarenakan perusahaan tidak dapat menutupi kerugian akibat Underpricing karena disatu sisi perusahaan sudah memiliki beban hutang yang cukup tinggi Hasil penelitian ini memperkuat eksistensi teori mengenai Fenomena Underpricing, khususnya Teori signaling equilibrium phenomenom yang menjelaskan bahwa perusahaan yang baik dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang underpricing dilihat dari sisi risiko proporsi penggunaan hutang (DTA), sedangkan untuk risiko kebangkrutan perusahaan (Z_Score) terbukti tidak mempengaruhi Fenomena Underpricing meskipun risiko perusahaan dapat dikatakan sebagai signal perusaahaan cenderung sehat atau cenderung bangkrut. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa semakin besar DTA mencerminkan risiko perusahaan yang relatif tinggi, disebabkan karena kemungkinan perusahaan tidak mampu membayar bunga serta pinjaman pokoknya. Diharapkan perusahaan melakukan hal yang sama, khususnya untuk perusahaan dengan porposi hutang yang tinggi tidak perlu menerapkan underpricing yang tinggi karena sangat berisiko. Selain itu, para calon investor sebaiknya mempertimbangkan sinyal risiko hutang pada perusahaan saat IPO. Dengan memilih perusahaan dengan proporsi hutang yang rendah perusahaan memberikan singnal yang baik. Berdasarkan hasil analisis perusahaan yang aman atau menggunakan proporsi hutang yang rendah mempu menerapkan underpricing yang lebih tinggi sehingga investor dapat memanfaatkan fenomena underpricing untuk memperoleh initial return pada hari pertama saham diperdangangkan di secondary market. Investor tidak dirasa tidak memerlukan analisis Z-Score untuk pengambilan keputusan investasi dalam menilai kebangkrutan perusahaan, karena tidak ada hubungan antara risiko kebangkrutan perusahaan dengan initial return pada saat IPO. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN PENELITIAN Simpulan Hasil penelitian menyimpulkan beberapa hal. Pertama, Risiko Kebangkrutan (Z-Score) tidak berpengaruh terhadap Underpricing (Initial Return). Hasil ini tidak mendukung hipotesis pertama yang menyatakan bahwa Risiko Kebangkrutan (Z-Score) berpengaruh positif terhadap fenomena Underpricing (Initial Return). Hasil ini menunjukkan tidak menjamin bahwa semakin tinggi z41 JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012 score semakin sehat perusahaan dan menjauhi risiko kebangkrutan akan menerapkan underpricing yang tinggi. Kedua, Proporsi Hutang (DTA) secara signifikan mempengaruhi Underpricing (Initial Return). Risiko Hutang (DTA) berpengaruh negatif terhadap fenomena Underpricing (Initial Return). Hasil ini konsisten dengan teori signaling equilibrium phenomenom. Perusahaan yang baik atau bagus dengan proporsi hutang relatif rendah dapat memberikan signal (tanda) tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penetapan IPO yang underpricing. Keterbatasan Penelitian Peneliti menggunakan data closing price untuk memperoleh data Initial Return, sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu. Peneliti mencoba menggunakan data open price untuk memperoleh data Initial Return sebagai proxy lain dalam variabel dependen dan menghasilkan hasil uji yang tidak signifikan. Peneliti tetap menggunakan data closing price untuk memperoleh data Initial Return, sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu. Sementara itu, penelitian ini menggunakan semua nilai Z-Score Modifikasi dan tidak membagi kedalam tiga kategori (cenderung sehat, abu-abu, dan cenderung bangkrut) dalam pengolahan data. Peneliti hanya mencoba mencari apakah ada hubungan antara nilai Z-Score terhadap Initial Return. Peneliti menggunakan proksi Debt to Total Asset (DTA) sebagai variabel independen yang mewakili rasio financial laverage atau risiko hutang. Penelitian terdahulu menggunakan proksi Debt to Total Equity (DER) sebagai variabel independen yang mewakili rasio financial laverage. Peneliti terlebih dahulu menguji proxy DER dalam penelitiannya, peneliti mendapatkan hasil uji yang tidak signifikan dan model persamaan yang 42 tidak fit. Disisi lain DTA merupakan gambaran proporsi penggunaan hutang dari total asset perusahaan, sesuai latar belakang diatas proxy Debt to Total Asset cocok digunakan dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian ini memfokuskan penelitian fenomena underpricing pada perspektif teori yang dianggap kontroversi, yakni signaling equilibrium phenomenom. Disisi lain risiko perusahaan juga menjadi salah satu faktor investor menanamkan modalnya pada perusahaan. Saran Penelitian Beberapa saran penelitian yang diberikan untuk penelitian selanjutnya. Pertama, penelitian selanjutnya dapat menambahkan variabel yang berasal dari faktor-faktor eksternal atau proksi lainnya, seperti kondisi pasar pada saat IPO, jumlah saham atau proporsi saham yang ditawarkan emiten, overesubscribe pada pernawaran perdana saham. Kedua, penelitian selanjutnya dapat mengembangkan penelitian dengan menambahkan variabel risiko lainnya sebagai sinyal perusahaan menanggapi fenomena underpricing, yaitu Degree of Financial Laverage (DFL). Ketiga, penelitian selanjutnya dapat memfokuskan penelitian pada pengklasifikasian risiko perusahaan terhadap fenomena underpricing. DAFTAR REFERENSI Allen, F and Faulhaber, G. 1989. ”Signalling by Underpricing in The IPO Market”. Journal of Financial Economics, No 23. Brigham, E.F. and Huston, J.F. 2007. Fundamental of Financial Management, Singapore: Thomson Asia Pte Ltd. RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto) Daljono. 2000. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Initial Return Saham yamg Listing di BEJ Tahun 1990-1997”. Simposium Nasional Akuntansi III, IAI. Diananingsih, H. 2003. “Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing pada Penawaran Saham Perdana (Studi Kasus pada Perusahaan Go Public yang terdaftar di PT. BEJ tahun 1997-2001)”. Tesis. Ediningsih dan Isworo, S. 2007. “Fenomena Underpricing pada Penawaran Umum Perdana di Bursa Efek Jakarta Periode 19982005”. Jurnal Manajeman, l7(1):372-383 Ernyan dan Husnan, S. 2002. “Perbandingan Underpricing Penerbitan Saham Perdana Perusahaan Keuangan dan NonKeuangan di Pasar Modal lndonesia: Pengujian Hipotesis Asimetri Informasi”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 17(4):372 - 383. Fakhrudin, H. M. 2008. Go Public Strategi Pendanaan dan Peningkatan Nilai Prusahaan. Jakarta: Penerbit Gramedia. Gujarati, D. N. 2010. Basic Econometrics Edisi 5. Jakarta: Penerbit Salemba Empat Handayani, S. 2008. “Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Underpricing pada Penawaran Umum Perdana (Studi Kasus pada Perusahaan Keuangan Go Public di Bursa Efek Jakarta tahun 20002006)”. Tesis. Hanafi, M. dan Husnan, S. 1991. “Perilaku Harga Saham di Pasar Perdana”. Usahawan, (11). Hartono, J. 2008. Teori Portofolio dan Analisis Investasi Edisi Kelima. Yogyakarta: Penerbit BPFE. Ibbotson, R.G. 1975. “Price Performance of Common Stock New Issues”. Journal of Financial Economics, 3. Ibbotson, R.G., Sinderlar, J. L. Ritter, J. R. 1988. “Initial Public Offering”. Journal of Applied Corporate Finance, 2. Loughran, T. and Ritter, J. R. 1995. “The New Issues Puzzle”. Journal Of Finance, 50. Purwanti, Y. 2005. “Analisis Resiko Keuangan dalam Memprediksi Kondisi Financial Distress Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”. Skripsi. Puspita, T. 2011. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing Saham pada saat IPO periode 2005-2009”. Skripsi. Rock, K. F. 1986. “ Why New Issues Are Underpriced ”. Journal of Financial Economics, 15. Ronni, S. 2003. “Problema Anomali dalam Initial Public Offering (IPO”). 43 JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012 Jurnal Manajemen Kewirausahaan Vol. 5 (2): & Siregar, A. 2008. “Pengaruh Potensi Kebangkrutan Altman terhadap Pergerakan Harga Saham Perusahaan Manufaktur Terbuka di Bursa Efek Indonesia”. Tesis. Sulistio, H. 2005. “Pengaruh Informasi Akuntansi dan Nonakuntansi terhadap Initial Return : Studi Pada Perusahaan yang melakukan IPO di BEJ”. SNA VIII, Solo, September. Takarini, N. dan Kustini. 2007. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing pada Penawaran Saham Perdana (IPO) pada Perusahaan yang Go Public di BEJ”. Jurnal ARTHAVIDYA, 8 (1). Yasa, G. 2002. “Penyebab Underpricing pada Penawaran Saham Perdana di BEJ”. E-jurnal. 44