risiko kebangkrutan, proporsi hutang dan fenomena underpricing

advertisement
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
RISIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN
FENOMENA UNDERPRICING PADA IPO: STUDI EMPIRIS
DI BURSA EFEK INDONESIA
Andreas Arif Kristanto
P.T. Bank Central Asia Finance
Wisma BCA Pondok Indah No 10, Jakarta
Email: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this study is to examine the effect of bankruptcy risk and debt proportion to
undepricing phenomenon in Initial Public Offering. This study analyzes a sample of initial
public offfering made of indonesian stock exchange-listed non finance firms over the periode
2001-2010. Date analysis uses multiple regression model. The results show that debt
proportion have negative effect on underpricing, while bankruptcy risk shows no such effect.
This result consistent with signaling equilibrium phenomenom.
Keyswords: underpricing, debt, and bankruptcy risk.
PENDAHULUAN
Penghimpunan dana masyarakat melalui
pasar modal merupakan pilihan yang
semakin banyak ditempuh perusahaan
dalam rangka pendanaan usaha. Ratusan
perusahaan telah meraih dana publik, baik
dengan menerbitkan saham maupun
obligasi. Penerbitan perdana saham oleh
perusahaan dapat dilakukan melalui
mekanisme penawaran umum perdana
saham/initial public offering (IPO) atau
lebih dikenal dengan istilah go public.
Sepanjang tahun 2001 sampai 2010,
tercatat sebanyak 168 perusahaan menjual
saham ke publik melalui mekanisme go
public. Berdasarkan data penelitian pada
tahun 2003 hanya 7 perusahaan yang
menerbitkan saham melalui mekanisme
penawaran umum perdana. Pada tahun
2006 tercatat 11 perusahaan yang
melakukan IPO. Go public semakin
diminati perusahaan untuk menghimpun
dana, terbukti di tahun 2010 sebanyak 23
perusahaan mencatatkan diri atau listing di
Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui
mekanisme go pubic.
Penawaran umum perdana atau IPO
merupakan topik penelitian yang menarik,
karena segera setelah IPO atau pada hari
pertama perusahaan listing di BEI terdapat
abnormal return. Fenomena tersebut biasa
dimanfaatkan
oleh
investor
untuk
memperoleh initial return. Fenomena
tersebut dikenal dengan IPO underpricing.
Fenomena underpricing terjadi karena
penawaran perdana ke publik yang secara
rerata murah. Fenomena underpricing
dapat diartikan penentapan harga saham
pada saat IPO berbeda dan secara
signifikan lebih rendah dengan harga
saham di pasar sekunder pada hari pertama
emiten listing di BEI (Takarini dan
Kustini,
2007).
Berdasarkan
data
penelitian, 126 perusahaan dari 168
perusahaan atau sebesar 75% IPO pada
periode 2001 sampai 2010 mengalami
underpricing. Pada tahun 2002 dari 19
39
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
perusahaan yang menerbitkan saham
melalui mekanisme penawaran umum
perdana, 14 perusahaan atau 73,68%
mengalami underpricing dan 3 perusahaan
atau 15,79% mengalami overpricing. Pada
tahun 2007 tercatat 22 perusahaan yang
melakukan
IPO,
20
perusahaan
diantaranya mengalami underpricing dan
hanya 2 perusahaan yang mengalami
overpricing.
Tingkat
kecenderungan
underpricing semakin meningkat, terbukti
di tahun 2010 sebanyak 22 perusahaan dari
23 perusahaan atau sebesar 95,65% yang
go public mengalami underpricing,
sisanya 1 perusahaan atau sebesar 4,35%
mengalami overpricing.
Fenomena underpricing memiliki
implikasi yang cukup luas, baik bagi
perusahaan, investor maupun akademisi.
Bagi perusahaan yang baru go public, IPO
yang underpricing berarti kehilangan
kesempatan untuk memperoleh dana
secara maksimal. Bagi kalangan investor,
fenomena
underpricing
merupakan
kesempatan memperoleh initial return
pada saat hari pertama emiten listing di
BEI. Bagi akademisi, underpricing
merupakan topik yang menarik untuk
diteliti karena dapat menguji berbagai
penjelasan terjadinya underpricing dengan
menggunakan information asymetric,
winner’s curse, regulation hypothesis, dan
signaling
equilibrium
phenomenom
sebagai dasar teori. Selama ini penelitian
tidak difokuskan pada satu dasar teori.
Dianingsih (2003), Takarini dan Kustini
(2007), Handayani (2008), mengangkat
lebih dari satu teori yang digunakan dalam
penelitian, sehingga penelitian yang telah
dilakukan tidak terfokus pada satu dasar
teori terjadinya fenomena underpricing.
Penelitian ini memfokuskan penjelasan fenomena underpricing pada teori
yang dianggap kontroversi, yaitu signaling
equilibrium phenomenom. Teori tersebut
menjelaskan bahwa perusahaan yang
sehat/baik dapat memberikan signal
tentang kondisi perusahaannya dengan
40
melakukan
penentapan
IPO
yang
underpricing, sementara perusahaan yang
tidak sehat/buruk tidak mau melakukan
underpricing, karena khawatir tidak dapat
menutupi kerugian akibat underpricing
(Ronni, 2003). Menurut Bringham, Huston
(2006), perusahaan dengan prospek yang
sangat menguntungkan akan mencoba
untuk menghindari penjualan saham atau
cenderung
overpricing,
sedangkan
perusahaan dengan prospek yang tidak
menguntungkan menjual sahamnya dengan
underpricing, yang artinya menarik
investor-investor untuk berbagi kerugian
yang dialami perusahaan. Perbedaan
pandangan mengenai signal dari tujuan
perusahaan menerapkan underpricing
memerlukan kajian lebih lanjut.
Peneliti
menggunakan
dasar
fundamental perusahaan yang sehat/baik
dapat memberikan signal tentang kondisi
perusahaannya
dengan
melakukan
penentapan IPO yang underpricing.
Perusahaan yang sehat/baik memiliki
kriteria, sebagai berikut: tidak dalam
kesulitan keuangan (financial distress),
tidak memiliki tanggungan hutang yang
tinggi, dan jauh dari kondisi kebangkrutan.
Sedangkan perusahaan yang tidak
sehat/buruk memiliki kriteria, sebagai
berikut: perusahaan dalam kondisi
financial distress, memiliki hutang yang
tinggi, dan kondisi perusahaan cenderung
bangkrut (Purwanti, 2009). Berdasarkan
teori signaling equilibrium phenomenom,
perusahaan yang sehat/baik jauh dari risiko
kebangkrutan mampu memberikan signal
tentang kondisi perusahaannya dengan
melakukan
penentapan
IPO
yang
underpricing. Perusahaan yang tidak
sehat/buruk dalam kondisi memiliki
hutang yang tinggi tidak berani
memberikan signal underpricing yang
tinggi dan cenderung overpricing.
Harga saham perdana dipengaruhi
oleh faktor fundemental perusahaan dan
ekonomi, serta secara langsung akan
mempengaruhi nilai perusahaan. Semakin
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
tinggi nilai pasar saham menunjukkan
secara nyata bahwa perusahaan atau
emiten tersebut semakin sehat. Dengan
kata lain semakin kurang sehat suatu
perusahaan atau berisiko bangkrut, nilai
pasar saham perusahaan akan semakin
rendah di pasar (Siregar, 2008).
Perusahaan yang sehat dilihat dari risiko
kebangkrutan
yang
rendah
dapat
memberikan signal tentang kondisi
perusahaannya
dengan
melakukan
penentapan IPO yang underpricing.
Perusahaan yang kurang sehat atau
berisiko bangkrut dapat memberikan
signal tentang kondisi perusahaannya
dengan melakukan penentapan IPO yang
overpricing.
Perusahaan yang sedang berkembang pasti membutuhkan tambahan modal
yang cukup untuk melakukan ekspansi.
Secara umum modal dapat diperoleh
melalui dua cara, yaitu hutang dan
ekuitas/berbagi kepemilikan. Penggunaan
hutang sebagai modal memiliki keuntungan sebagai pengurang pajak (tax
shield), tetapi semakin tinggi rasio hutang
maka perusahaan tersebut semakin
berisiko. Ketika perekonomian mengalami
masa-masa sulit (crisis) dan perusahaan
terkena dampaknya sehingga laba operasi
tidak mampu menutupi beban bunga, maka
akan terjadi kebangkrutan (financial
distress). Perusahaan yang memiliki risiko
hutang yang rendah termasuk kedalam
perusahaan yang sehat, sehingga dapat
memberikan signal tentang kondisi
perusahaannya
dengan
melakukan
penentapan IPO yang underpricing.
Perusahaan yang memiliki risiko hutang
yang tinggi merupakan perusahaan yang
kurang sehat, sehingga dapat memberikan
signal tentang kondisi perusahaannya
dengan melakukan penentapan IPO yang
overpricing, karena khawatir tidak dapat
menutupi kerugian akibat underpricing.
Dalam konteks di Indonesia dimana
Fenomena
Underpricing
memiliki
implikasi yang penting dalam menentukan
kebijakan pendanaan bagi perusahaan dan
kebijakan
investasi
bagi
investor.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
pengaruh risiko kebangkrutan dan proporsi
hutang terhadap fenomena underpricing
pada initial public offering di BEI. Hasil
penelitian
ini
diharapkan
akan
memperkuat eksistensi teori mengenai
Fenomena Underpricing, khususnya Teori
signaling equilibrium phenomenom yang
menjelaskan bahwa perusahaan yang baik
dapat memberikan signal tentang kondisi
perusahaannya
dengan
melakukan
penentapan IPO yang underpricing. Bagi
Investor adalah sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan
investasi pada saat IPO. Pemilihan
perusahaan dengan proporsi hutang dan
tingkat risiko kebangkrutan yang tepat
maka dirasa invsetasi yang dilakukan tepat
karena dapat memanfaatkan fenomena
underpricing untuk mendapatkan initial
return pada hari pertama saham
diperdangangkan di secondary market.
Sementara itu, perusahaan dan underwriter
menentukan harga saham pada saat IPO,
memperhatikan fenomena underpricing
karena merupakan salah satu signal
kondisi perusahaan yang akan dinilai oleh
investor.
KAJIAN LITERATUR
Penejalasan Fenomena Underpricing
Underpricing adalah suatu keadaan
dimana harga saham pada saat penawaran
perdana lebih rendah dibandingkan dengan
ketika diperdagangkan di pasar sekunder
(Gerianta, 2002). Sedangkan Yolana dan
Dwi Martani (2005) mendefinisikan
underpricing adalah adanya selisih positif
antara harga saham di pasar sekunder
dengan harga saham di pasar perdana atau
saat IPO. Fenomena underpricing tersebut
terjadi dikarenakan dalam proses go public
dimana saham yang ditawakan dan
sebelum ditransaksikan di pasar sekunder
41
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
(bursa efek) akan terlebih dahulu dijual di
pasar perdana pada saat IPO. Harga saham
pada saat IPO yang dijual dipasar perdana
sudah terlebih dahulu ditentukan oleh
penjamin emisi (underwriter), perusahaan
yang akan go public (emiten), dan pihak
investor melalui mekanisme book bulding,
sedangkan harga saham di pasar sekunder
ditentukan
oleh
mekanisme
pasar
(permintaan dan penawaran). Dalam dua
mekanisme penentuan harga tersebut
sering terjadi perbedaan harga saham pada
saat di pasar perdana dan di pasar
sekunder. Underpricing terjadi apabila
penentuan harga saham pada saat IPO
lebih rendah dibandingkan dengan harga
yang terjadi di pasar sekunder pada hari
pertama perusahaan listing di bursa efek.
Beberapa penelitian di Indonesia
menemukan adanya underpricing pada
penawaran
perdana
saham
(IPO).
Penelitian yang dilakukan Hanafi, M. dan
Husnan (1991) menyatakan bahwa pada
saat
IPO
terdapat
kecenderungan
terjadinya Underpricing. Hasil penelitian
Isworo,
Sri
dan
Ambar
(2007)
membuktikan perusahaan-perusahaan yang
melakukan IPO pada tahun 1998 –2005 di
Bursa
Efek
Jakarta
mengalami
underpricing, hal tersebut dapat dilihat
dari nilai initial return maupun average
abnormal return yang positif. Selain di
Indonesia ternyata fenomena underpricing
juga terjadi di negara lain. Loughran, dkk
(1994) menyatakan bahwa fenomena
underpricing menjadi fenomena pada
pasar modal di hampir setiap negara.
Sehingga dapat diterima secara luas
underpricing adalah fenomena yang umum
terjadi di pasar modal manapun saat
emiten melakukan IPO yang dapat
dimanfaatkan investor untuk memperoleh
initial return pada saat hari pertama saham
diperdangkan di pasar sekunder.
Disisi akademisi sudah banyak teori
yang membahas terjadinya fenomena
underpricing. Teori penjelasan atas
fenomena underpricing, mendasakan pada
42
information asymetric dan signaling
equilibrium phenomenom. Kebanyakan
penelitian
menjelaskan
fenomena
underpricing berdasarkan perspektif teori
information
asymetric.
Teori
ini
menjelaskan bahwa harga penawaran
perdana
(IPO)
yang
underpriced
didasarkan pada asumsi bahwa terjadi
perbedaan informasi antara berbagai pihak
terhadap nilai saham yang baru tersebut.
Perspektif ini didasarkan pada anggapan
bahwa meskipun issuer mengetahui lebih
banyak karakteristik bisnisnya, tetapi
underwriter lebih mengetahui harga pasar
sebab underwriter melakukan survei pasar,
melakukan investigasi terhadap issuer,
mendapatkan informasi dari issuer dan
juga
punya
pengalaman
dalam
pengeluaran saham baru (Ibbotson,
Sindelar, Ritter,1988).
Sementara itu, perspektif teori yang
lainnya dalam menjelaskan underpricing
IPO adalah sebagai signaling equilibrium
phenomenom (Allen dan Faulhaber, 1989).
Dasar fundamental dari teori ini adalah
perusahaan yang baik atau bagus dapat
memberikan signal (tanda) tentang tipe
atau kondisi perusahaannya dengan
melakukan
penetapan
IPO
yang
underpricing. Sementara perusahaan yang
jelek atau buruk tidak mau melakukan
underpricing karena tidak bisa menutupi
kerugian akibat underpricing. Motivasi
dari pengiriman signal lewat underpricing
adalah asumsi bahwa keuntungan masa
datang dari underpricing IPO lebih besar
dari kerugiannya.
Initial Public Offering
Kepemilikan
saham
pada
perusahaan-perusahaan yang sehat dan
tumbuh dengan baik merupakan salah
satu cara untuk mencapai kemakmuran
pemegang saham. Hiruk pikuk ekonomi
modern saat ini, salah satunya ditandai
dengan ramainya kegiatan jual dan beli
saham baik dengan tujuan untuk
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
kepemilikan jangka panjang atau untuk
tujuan mendapat keuntungan atas
penjualan saham tersebut (capital gain).
Saham-saham yang diperdagangkan
tersebut berasal dari saham-saham yang
dilepas perusahaan melalui mekanisme
penawaran perdana saham pada saat
perusahaan akan go public. Penawaran
perdana saham atau Initial Public
Offering
(IPO)
merupakan
suatu
mekanisme dimana perusahaan untuk
pertama kali mengeluarkan saham baru
yang kemudian ditawarkan kepada
publik. Dengan menjual saham ke publik,
maka perusahaan berhasil meraup dana
segar dalam jumlah besar yang dapat
digunakan untuk berbagai kebutuhan
perusahaan, seperti ekspansi usaha,
membayar utang, perbaikan struktur
modal, dan lain-lain. Salah satu ciri
penting dengan go public adalah
perubahan status perusahaan yang semula
bersifat tertutup akan berubah menjadi
perusahaan terbuka, sehingga diperlukan
suatu
transformasi
pengelolaan
perusahaan dari yang bersifat tertutup ke
arah yang lebih transparan dan
profesional.
Risiko Kebangkrutan Perusahaan
Tidak ada satu pun perusahaan yang
terhindar dari risiko kebangkrutan. Tidak
ada bisnis yang bisa berjaya selamanya.
Perusahaan juga dikatakan berisiko ketika
perusahaan
tersebut
mendekati
kebangkrutan. Perusahaan yang mendekati
kebangkrutan atau yang tergolong tidak
sehat akan sulit mendapat izin dari Badan
Pengawas
Pasar
Modal
Lembaga
Keuangan
(Bapepam
LK)
untuk
melakukan go public, tetapi jika tujuan
dari go public perusahaan tersebut untuk
menghimpun
dana
dalam
rangka
menyehatkan kembali perusahaan dan
perusahaan tersebut masih memiliki
prospek maka akan dicatatkan dalam
papan pengembangan. Sebenarnya dengan
melakukan analisis secara mendalam
terhadap
keuangan,
tanda-tanda
melemahnya
kondisi
fundamental
perusahaan
dapat
terlihat.
Untuk
mengetahui perusahaan tersebut tergolong
perusahaan yang sehat atau tidak sehat
dalam hal ini diramalkan mendekati
kebangkrutan dapat kita gunakan Analisa
Kebangkrutan Altman Z (Z-Score) revisi
untuk perusahaan yang belum go public.
Pada tahun 1968, Edward. I Altman
memberikan formula yang berfungsi untuk
memprediksi potensi kebangkrutan suatu
perusahaan. Altman mempergunakan
angka-angka didalam laporan keuangan
dan merepresentasikannya dalam suatu
angka, yaitu Z-Score yang dapat menjadi
acuan untuk menentukan apakah suatu
perusahaan berpotensi untuk bangkrut atau
tidak. Berdasarkan analisa ini apabila nilai
Z dari perusahaan yang diteliti lebih kecil
dari 1,23 berisiko tinggi terhadap
kebangkrutan, bila nilai Z berada diantara
1,23 sampai dengan 2,90 dikatakan masih
memiliki risiko kebangkrutan, bila di atas
nilai 2,90 atau Z > 2,90 aman dari
kebangkrutan.
Perusahaan
yang
diramalkan mendekati kebangkrutan tidak
akan menetapkan underpricing yang tinggi
atau dapat dikatakan perusahaan tersebut
akan menerapkan overpricing, sebab
perusahaan yang mendekati kebangkrutan
berharap memperoleh dana segar dalam
jumlah yang besar untuk menyehatkan
kembali perusahaan.
Investor menyukai nilai Z-Score
yang tinggi tinggi (Z-Score > 2,90)
dikarenakan
berdasarkan
laporan
keuangan, perusahaan dianggap aman atau
perusahaan
tergolong
sehat.
Bagi
perusahaan semakin tinggi nilai Z-Score
semakin perusahaan tersebut tergolong
sehat,
maka
perusahaan
berani
menerapkan underpricing pada saat IPO,
hal tersebut dikarenakan perusahaan
mencoba memberikan sinyal positif bahwa
kondisi perusahaannya dalam kondisi
sehat/baik. Semakin rendah nilai Z-Score
43
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
semakin perusahaan tersebut tergolong
cenderung berisiko bangkrut, maka
perusahaan tidak berani menerapkan
underpricing dan cenderung overpricing
pada saat IPO.
Proporsi Hutang
Para investor dan calon investor
sangat menaruh perhatian pada jumlah
utang serta kemampuan perusahaan
membayar bunga dan pinjaman pokok.
Semakin besar utang semakin besar pula
kemungkinan perusahaan tidak mampu
membayar
bunga
serta
pinjaman
pokoknya. Dalam menentukan apakah
sebuah perusahaan memiliki hutang yang
besar atau kecil, cara yang paling umum
digunakan
adalah
dengan
membandingkannya dengan total asset
atau dengan modalnya.
Para investor cenderung menghindari
emiten yang memiliki DTA tinggi.
Investor tidak menyukai DTA yang terlalu
tinggi dikarenakan risiko perusahaan atas
penggunaan hutang yang tinggi tidak
diimbangi dengan aset perusahaan sebagai
penjaminnya, sehingga risiko gagal bayar
hutang yang menyebabkan perusahaan
dalam
kondisi
financial
distress
merupakan salah satu risiko perusahaan.
Bagi perusahaan semakin rendah DTA
semakin rendah risiko hutang yang
ditanggung perusahaan, dan menyebabkan
perusahaan cenderung berani menerapkan
underpricing yang tinggi sebagai signal
perusahaan tidak berisiko. Semakin tinggi
DTA semakin tinggi risiko hutang yang
ditanggung perusahaan, dan menyebabkan
rendahnya underpricing yang diterapkan
perusahaan atau cenderung overpricing hal
tersebut dikarenakan perusahaan tidak
dapat
menutupi
kerugian
akibat
Underpricing
karena
disatu
sisi
perusahaan sudah memiliki beban hutang
yang cukup tinggi.
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
44
Risiko Kebagkrutan Perusahaan
terhadap Underpricing
Perusahaan dikatakan berisiko
ketika perusahaan tersebut mendekati
kebangkrutan.
Untuk
mengetahui
perusahaan tersebut tergolong perusahaan
yang sehat atau tidak sehat dalam hal ini
diramalkan mendekati kebangkrutan atau
cenderung bangkrut dapat kita gunakan
Analisa Kebangkrutan Altman Z (Z-Score)
revisian untuk perusahaan yang belum go
public. Berdasarkan analisa ini apabila
nilai Z dari perusahaan yang diteliti lebih
kecil dari 1,23 berisiko tinggi terhadap
kebangkrutan, bila nilai Z berada di atas
nilai 2,90 aman dari kebangkrutan.
Perusahaan yang sehat diukur dari nilai zsocre yang tinggi akan menetapkan
underpricing yang tinggi sebagai signal
perusahaan tersebut sehat. Perusahaan
yang diramalkan mendekati kebangkrutan
diukur dari nilai z-socre yang rendah tidak
akan menetapkan underpricing yang tinggi
atau dapat dikatakan perusahaan tersebut
akan menerapkan overpricing.
H1: Risiko Kebangkrutan (Z-Score)
berpengaruh
positif
terhadap
fenomena Underpricing (Iinitial
Return)
Proporsi Hutang Perusahaan terhadap
Underpricing
Perusahaan
dikatakan
berisiko
ketika perusahaan tersebut memiliki
proporsi hutang yang semakin tinggi.
Untuk mengetahui perusahaan tersebut
tergolong perusahaan yang memiliki
proporsi hutang yang tinggi dapat
digunakan Analisa Fundamental yang
dicerminkan dalam Debt to Total Asset
(DTA). Berdasarkan teori semakin rendah
nilai DTA mencerminkan risiko hutang
perusahaan yang relatif rendah, sehingga
perusahaan
berani
menerapkan
underpricing yang tinggi sebagai signyal
perusahaan tersebut tidak berisiko.
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
Semakin tinggi nilai DTA mencerminkan
risiko perusahaan yang relatif tinggi,
sehingga
perusahaan
tidak
berani
menerapkan underpricing yang tinggi
karena perusahaan tergolong berisiko,
karena kemungkinan perusahaan tidak
mampu membayar bunga serta pinjaman
pokoknya.
H2: Proporsi Penggunaan Hutang (DTA)
berpengaruh
negatif
terhadap
fenomena Underpricing (Iinitial
Return)
Pemikiran penelitian ini berfokus
kepada teori Signaling Equilibrium
Phenomenom. Sinyal yang diberikan
perusahaan dalam keterkaitannya dengan
Fenomena Underpricing pada penelitian
ini diproksikan dengan Z-Score sebagai
alat ukur risiko kebangkrutan dan Debt to
Total Asset sebagai dasar analisis
fundamental perusahaan dalam proporsi
penggunaan hutang. Keterkaitan risiko
kebangkrutan dan proporsi hutang pada
fenomena underpricing penerbitan saham
perdana, seperti disajikan pada gambar 1.
Model Kerangka Teoritis
Risiko Kebangkrutan
Z-Score (X1)
Proporsi Hutang
(+)
Fenomena Underpricing
Initial Return (Y)
(-)
Debt to Total Asset (X2)
Gambar 1
Model Teoritis
Semakin tinggi nilai Z-Score
semakin sehat perusahaan tersebut dan
cenderung tidak bersiko, sehingga Initial
Return yang diperoleh akan semakin tinggi
atau dengan kata lain underpricing yang
dilakukan perusahaan semakin besar. Hal
tersebut sesuai dengan teori yang ada
bahwa perusahaan mencoba memberikan
sinyal
positif
bahwa
kondisi
perusahaannya dalam kondisi sehat/baik.
Semakin tinggi nilai Debt to Total
Asset semakin berisiko perusahaan
tersebut, dikarenakan penggunaan hutang
yang semakin tinggi, sehingga Initial
Return yang diperoleh akan semakin
rendah atau dengan kata lain perusahaan
meminimalkan terjadinya underpricing.
Hal tersebut sesuai dengan teori yang ada
bahwa perusahaan tidak dapat menutupi
kerugian akibat underpricing dan disatu
sisi perusahaan sudah memiliki beban
hutang yang cukup tinggi.
METODE PENELITIAN
Sampel dan Data
Sampel pada penelitian ini adalah
perusahaan yang melakukan Initial Public
Offering (IPO) dari tahun 2001 sampai
2010 yang akan listing di Bursa Efek
Indonesia yang mengalami underpricing
dan diluar perusahaan finance (Bank,
Kredit, Asuransi, dan Sekuritas). Jumlah
sampel sebanyak 96 perusahaan diluar
sektor finance yang melakukan IPO dari
tahun 2001 sampai 2010 yang mengalami
underpricing.
Metode pengambilan sampel pada
penelitian ini dilakukan secara purpose
sampling, dengan beberapa kriteria.
45
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Pertama, perusahaan yang melakukan
Initial Public Offering (IPO) dari tahun
2001 sampai 2010 yang akan listing di
Bursa Efek Indonesia yang mengalami
underpricing. Selama periode tersebut,
perusahaan IPO underpricing terdiri 126
dan overpricing terdiri 29 perusahaan.
Kedua, perusahaan diluar sektor
finance yang melakukan Initial Public
Offering (IPO) dari tahun 2001 sampai
2010 yang akan listing di Bursa Efek
Indonesia yang mengalami underpricing.
Selama periode tersebut, perusahaan IPO
finansial terdiri atas 30 perusahaan
finansial dan non finansial teridiri atas 96
perusahaan.
Penelitian ini menggunakan data
perusahaan yang melakukan Initial Public
Offering (IPO) dari tahun 2001 sampai
2010 yang akan listing di Bursa Efek
Indonesia.
Data
perusahaan
yang
melakukan IPO diperoleh peneliti dari
www.idx.co.id dan IDX Data Statistik
2001 sampai 2010.
Penelitian ini menggunakan data
closing price hari pertama perusahaan
yang melakukan IPO tahun 2001 sampai
2010 listing di Bursa Efek Indonesia. Data
closing price hari pertama perusahaan
yang melakukan IPO diperoleh peneliti
dari www.finance.yahoo.com.
Penelitian ini menggunakan data
laporan keuangan satu tahun sebelum
perusahaan melakukan IPO pada tahun
2001 sampai 2010. Data laporan keuangan
perusahaan yang melakukan IPO diperoleh
peneliti dari Indonesian Capital Market
Directory (ICMD) dari tahun 2001 sampai
2010.
Definisi Operasional Variabel
Variabel dependen dalam penelitian
ini adalah fenomena underpricing.
Fenomena
underpricing
diukur
menggunakan initial return (IR). Initial
return menggambarkan seberapa besar
underpricing yang diterapkan perusahaan
46
atau dapat juga menggambarkan abnormal
return yang diterima investor pada hari
pertama listing di pasar sekunder. IR
digunakan peneliti untuk mencerminkan
fenomena underpricing dikarenakan dalam
penelitian terdahulu masih konsisten
digunakan sampai saat ini. Variabel initial
return dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
Keterangan : IR adalah Initial Return; CP
adalah Closing Price hari pertama listing
di BEI; dan OP adalah Harga IPO emiten
Risiko Kebangkrutan (Altman Z-Score
revisi)
Variabel
independen
risiko
kebangkrutan diukur menggunakan proksi
Altman Z-Score revisi untuk perusahaan
non-go public (Z-Score). Semakin tinggi
nilai Z-Score (>2.99) menggambarkan
perusahaan
cenderung
sehat,
dan
sebaliknya semakin rendah nilai nilai ZScore (>1.23) menggambarkan perusahaan
cenderung mendekati kebangkrutan. ZScore
digunakan
peneliti
untuk
mencerminkan
risiko
kebangkrutan
sebagai variable independen dikarenakan
Altman Z-Score merupakan alat untuk
mengukur/menilai kondisi kebangkrutan
perusahaan. Variabel Z-Score dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Z-Score = 0.717T1 + 0.847T2 + 3.107T3 +
0.420T4 + 0.998T5
Perhitungan untuk masing-masing
variabel pada model Z-Score sebagai
berkut
T1 =
T2 =
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
T3 =
T4 =
T5 =
Proporsi Hutang (Debt Ratio)
Variable independen risiko hutang
(debt ratio) diukur menggunakan proksi
Debt to Total Asset (DTA). Semakin tinggi
DTA menggambarkan penggunaan hutang
yang tinggi dalam operasional perusahaan.
Semakin besar DTA mencerminkan risiko
perusahaan yang relatif tinggi. Debt to
total asset digunakan peneliti untuk
mencerminkan risiko penggunaan hutang
sebagai variable independen dikarenakan
DER yang digunakan oleh peneliti
terdahulu, yang juga merupakan proksi
financial laverage telah diujicobakan
dalam penelitian ini dan peneliti
memperoleh hasil yang tidak signifikan.
Proksi DTA dianggap lebih tepat
digunakan, karena mencerminkan proporsi
hutang yang digunakan perusahaan dari
total assetnya. Variabel Debt to Total Asset
dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Keterangan: DTA adalah Debt to Total
Asset
Untuk menguji pengaruh variabel
independen yaitu risiko kebangkrutan (ZScore) dan risiko hutang (Debt to Total
Asset) terhadap variabel dependen yaitu
fenomena underpricing (Initial Return),
maka digunakan model regresi berganda
dengan persamaan dasar sebagai berikut:
IR = α + β1 Z_Score - β2 DTA+ ε
Keterangan: IR adalah Initial Return atau
tingkat underpricing
(Y);
Z_Score
adalah Nilai Z-Score atau tingkat
kebangkrutan perusahaan (X1);
DTA
adalah Nilai Debt to Total Asset
atau tingkat hutang (X2); α
adalah
Konstanta; β adalah Koefisien variabel; ε
adalah
Error terms atau variabel
gangguan/acak
HASIL ANALISIS
Data deskriptif yang digunakan
dalam penelitian ini dapat dilihat dalam
tabel 1. Pada tabel 1 menyajikan hasil
pengolahan data deskriptif initial return, zscore, dan debt to total asset. Pada tabel
ini menunjukkan bahwa jumlah data yang
digunakan dalam penelitian ini sebanyak
80 observasi data.
Tabel 3
Data Deskriptif
Variabel
Minimum
IR
0.013889
ZScore
-1.399588
DTA
0.085797
Valid N (listwise) = 80
Maximum
2.032000
5.226861
0.988317
Berdasarkan 80 observasi data,
variabel dependen (IR) mempunyai nilai
minimum sebesar 0,013889. Nilai tersebut
berarti kerugian yang diterima perusahaan
karena melakukan underpricing sebesar
Mean
0.403001
1.667037
0.583971
Std. Deviation
0.357814
1.247127
0.207146
0,013889 atau dengan kata lain
keuntungan yang diperoleh investor pada
hari pertama emiten listing di BEI sebesar
1,38%. Nilai tertinggi untuk variabel IR
adalah sebesar 2,032000. Angka tersebut
47
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
berarti kerugian yang diterima perusahaan
karena melakukan underpricing sebesar
2,032000 atau dengan kata lain
keuntungan yang diperoleh investor pada
hari pertama emiten listing di BEI sebesar
203,2%. Hal ini menunjukkan bahwa
perusahaan menilai terlalu rendah dalam
menetapkan harga IPO, sehingga terjadi
underpricing yang tinggi. Nilai rata-rata
untuk variabel IR adalah sebesar 0,403001.
Angka tersebut berarti rata-rata perushaan
dalam sampel penelitian ini melakukan
underpricing sebesar 0,403001 atau
dengan kata lain rata-rata keuntungan yang
diperoleh
investor
karena
adanya
abnormal return pada hari pertama emiten
listing di BEI sebesar 40.3%. Hasil ini
menunjukkan bahwa underpricing di
Indonesia tergolong tinggi.
Variabel
independen
(ZScore)
mempunyai nilai minimum 0,085797.
Nilai tersebut dibawah 1,23 yang artinya
perusahaan cenderung mengalami keadaan
bangkrut. Nilai tertinggi untuk variabel
ZScore adalah sebesar 5,226861. Angka
tersebut diatas 2,99 hal ini menunjukkan
bahwa perusahaan tersebut dalam keadaan
sehat. Nilai rata-rata untuk variabel ZScore
adalah sebesar 1,667037. Angka tersebut
berarti rata-rata perushaan dalam sampel
penelitian ini ada diantara lebih dari 1,23
dan kurang dari 2,99 atau dengan kata lain
rata-rata ZScore masuk ke zona grey (abuabu). Hasil ini menunjukkan bahwa ratarata perusahaan pada penelitian ini di
Indonesia merupakan perushaan yang
tidak cenderung sehat dan tidak cenderung
bangkrut.
Variabel
independen
(DTA)
mempunyai nilai minimum sebesar
0,085797. Nilai tersebut berarti perusahaan
hanya menggunakan hutang sebesar 8,57%
dari keseluruhan total aset yang dimiliki
perusahaan. Nilai tertinggi untuk variabel
DTA adalah sebesar 0,988317. Angka
tersebut berarti perusahaan menggunakan
98,83% hutang dari total aset perusahaan
atau dengan kata lain modal sendiri yang
48
dikeluarkan perusahaan hanya sebesar
1,17%. Hal ini menunjukkan bahwa
perusahaan memiliki risiko yang tinggi
dalam proporsi penggunaan hutang. Nilai
rata-rata untuk variabel DTA adalah
sebesar 0,583971. Angka tersebut berarti
rata-rata
perushaan
dalam
sampel
penelitian ini menggunakan hutang sebesar
58,39% dari total aset perusahaan atau
dengan kata lain 41,61% total aset
perusahaan diperoleh dari modal sendiri.
Hasil ini menunjukkan bahwa rata-rata
perusahaan di Indonesia dalam proporsi
penggunaan hutang dianggap tinggi.
Hasil pengujian normalitas errorterm pada pengujian 96 sampel dengan
mengeluarkan 16 outlier menjadi 80 data.
Berdasarkan
hasil
uji
normalitas
menunjukkan
bahwa
error
term
terdistribusi normal. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai p-value Kolmogorov-Smirnov
Z pada error-term memiliki p-value
sebesar 0,106. Error-term tersebut
menunjukkan bahwa tingkat signifikansi di
atas α=5% atau 0,05. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa error term pada
data tersebut sudah normal dan sudah
memenuhi asumsi klasik.
Demikian juga, pengujian multikolineritas pada pengujian 80 data yang error
term, hasil menunjukkan tidak terjadi
multikolinearitas pada kedua variabel
independen. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai VIF sebesar 1,435 dan tolerance
sebesar 0,697. VIF sebesar 1,435 atau
dibawah 10 dan tolerance value sebesar
0,697 diatas 0,10. Dengan demikian dapat
disimpulkan
bahwa
tidak
terjadi
multikoloniearitas,
sehingga
model
reliable sebagai dasar analisis.
Hasil
pengujian
autokorelasi
menunjukkan tidak terjadi autokorelasi
pada model regresi. Hal ini ditunjukkan
dengan
Durbin-Watson
statistik
menunjukan angka sebesar 1,705. Nilai
DL, DU, 4-DL, dan 4-DU dengan variabel
independen = 2, dan N sebesar = 80.
Durbin-Watson sebesar 1,705 berada
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
diantara dU = 1,6882 dan 4-dU = 2,3118
atau hasil estimasi sebagai berikut:
dU<dW<4-dU . Dengan demikian dapat
disimpulkan
bahwa
tidak
terjadi
autokorelasi baik positif atau negatif pada
model regresi.
Untuk mengetahui apakah terjadi
heteroskedastisitas dapat dilihat dari nilai
signifikansi uji glejser. Berdasarkan hasil
uji
heteroskedastisitas
menunjukkan
bahwa koefisien parameter profitabilitas
untuk variabel DTA dan Zscore yang
digunakan dalam penelitian ini terhadap
absolut residual (AbsRes) berada di atas α
= 5% atau 0,05. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa model yang digunakan
tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.
Pengujian
kelayakan
model.
Koefisian determinasi (R2) merupakan
ukuran goodness of fit garis regresi. R2
bertujuan untuk menguji seberapa jauh
kemampuan model menjelaskan variasi
variabel dependen. Koefisian determinasi
(R2) sebesar 0,111 berarti variabel bebas
(independen) memiliki hubungan sebesar
11,1%
terhadap
variabel
terikat
(dependen). Variabel independen mampu
menjelaskan
11,1%
dari
variabel
dependen, sisanya 88,9% variabel
dependen dijelaskan oleh variabel lain
diluar penelitian ini.
Uji Statistik F bertujuan untuk
menguji
apakah
semua
variabel
independen (Z_Score dan Debt to Total
Asset) yang dimasukkan dalam model
regresi secara bersama-sama atau simultan
berpengaruh terhadap variabel dependen
(Initial Return). Angka F hitung sebesar
4,81 lebih besar dari F tabel pada df 2;77
yaitu 3,97. Nilai signifikansi pada uji
statistik F sebesar 0,011 ≤ 0,05 artinya
terdapat pengaruh Z_Score dan Debt to
Total Asset secara bersama-sama terhadap
Initial Return. Hasil uji statistik F yang
signifikan juga menunjukkan bahwa model
regresi pas atau fit untuk menjelaskan
hubungan variabel independen terhadap
variabel dependen.
Uji Statistik t digunakan untuk
menguji hipotesis mengenai setiap
koefisien regresi parsial (individual). Hasil
pengujian hipotesis di ringkas dalam tabel
2.
Tabel 2
Hasil Uji Statistik
Hipotesis
H1
H2
Variabel
Simbol
Prediksi
(β)
Koefisien (β)
Probabilitas
Risiko
Kebangkrutan
Proporsi
Hutang
Z_Scor
e
(+)
-0.025
0.844
Tidak
Mendukung
DTA
(─)
-0.346
0.009
Mendukung
Hipotesis pertama (H1) yang
diajukan menyatakan bahwa proporsi
kebangkrutan disimbolkan oleh Z_Score
berpengaruh positif terhadap underpricing.
Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai t
hitung 0,197 lebih rendah dari t tabel (df =
77) yaitu sebesar 1,664 dan nilai koefisien
regresi untuk variabel Z_score sebesar 0.025 yang berarti hubungan antara
Kesimpulan
Z_Score dengan Initial Return memiliki
hubungan yang negatif, berlawanan
dengan arah hipoteisis pertama. Semakin
tinggi nilai Z_Score semakin rendah Initial
Return yang dihasilkan. Nilai sig. sebesar
0.84. Angka ini tidak signifikan pada
tingkat α = 5% atau 0.05. Nilai sig. yang
lebih besar dari tingkat signifikansinya
dapat diartikan bahwa Z_Score tidak
49
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
memiliki hubungan yang signifikan
dengan Initial Return. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa hipotesis
pertama yang menyatakan bahwa risiko
kebangkrutan berpengaruh positif terhadap
underpricing tidak mendukung teori.
Hipotesis kedua (H2) yang diajukan
menyatakan
bahwa
risiko
hutang
disimbolkan oleh DTA berpengaruh
negatif terhadap underpricing. Dari hasil
penelitian ini diperoleh nilai t hitung 2,692
lebih tinggi dari t tabel (df = 77) yaitu
sebesar 1,664 dan nilai koefisien regresi
untuk variabel DTA sebesar -0.346 yang
berarti hubungan antara DTA dengan
Initial Return memiliki hubungan yang
negatif, sesuai dengan arah hipoteisis
kedua. Semakin rendah nilai DTA semakin
tinggi Initial Return yang dihasilkan. Nilai
sig. sebesar 0.009. Angka ini signifikan
pada tingkat α = 1% atau 0.01. Nilai sig.
yang
lebih
besar
dari
tingkat
signifikansinya dapat diartikan bahwa
DTA memiliki hubungan yang signifikan
dengan Initial Return. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa hipotesis kedua
yang menyatakan bahwa risiko hutang
berpengaruh negatif terhadap underpricing
mendukung teori.
PEMBAHASAN
Risiko
Kebagkrutan
terhadap Underpricing
Perusahaan
Dari hasil penelitian ini disimpulkan
bahwa hipotesis pertama yang menyatakan
bahwa risiko kebangkrutan berpengaruh
positif terhadap underpricing tidak
mendukung teori. Berdasarkan hasil
tersebut, risiko kebangkrutan yang
dicerminkan oleh Z_Score terbukti tidak
memiliki hubungan dengan underpricing
yang diukur melalui initial return pada
hari pertama emiten listing di BEI. Hasil
ini tidak konsisten dengan teori signaling
equilibrium
phenomenom
bahwa
perusahaan yang diramalkan mendekati
40
kebangkrutan tidak akan menetapkan
underpricing yang tinggi atau dapat
dikatakan perusahaan tersebut akan
menerapkan overpricing, sebab perusahaan tersebut tidak mampu menutupi
kerugian akibat underpricing.
Dapat dilihat dari lampiran diskriprif
data, bahwa pada IPO periode 2001
sampai 2010 sebanyak 39 perusahaan atau
sekitar 40,63% memiliki nilai Z-Score
antara 1,23 sampai 2,99 yang masuk dalam
kategori abu-abu, tidak bisa dikatakan
cenderung bangkrut ataupun cenderung
sehat. Dapat dilihat dari analisis diskriprif
data variabel independen (ZScore)
mempunyai nilai minimum 0,085 yang
dimiliki oleh Multistrada PT. Arah Sarana
Tbk (MASA) yang memiliki initial return
sebesar 5,88% yang memang tergolong
rendah dari rata-rata initial return pada
penelitian ini. Nilai Z-Score tertinggi
5,226 dimiliki oleh PT. Tempo Intimedia
Tbk (TMPO) hanya menghasilkan initial
return sebesar 11,67% pada saat IPO, hal
tersebut menunjukan initial return masih
dibawah rata-rata initial return pada
penelitian ini, yang sebesar 40,3%.. Dapat
disimpulkan dari hasil ini penelitian ini
tidak menjamin bahwa semakin tinggi zscore semakin sehat perusahaan dan
menjauhi risiko kebangkrutan akan
menerapkan underpricing yang tinggi.
Proporsi Hutang Perusahaan terhadap
Underpricing
Dari hasil penelitian ini disimpulkan
bahwa hipotesis kedua yang menyatakan
bahwa risiko hutang berpengaruh negatif
terhadap underpricing mendukung teori.
Berdasarkan hasil tersebut, risiko hutang
yang dicerminkan oleh DTA terbukti
memiliki hubungan yang negatif dengan
underpricing yang diukur melalui initial
return pada hari pertama emiten listing di
BEI. Semakin rendah nilai DTA semakin
tinggi initial return yang dihasilkan. Hasil
ini konsisten dengan teori Signaling
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
Equilibrium Phenomenom perusahaan
yang baik atau bagus (proporsi hutang
relatif rendah) dapat memberikan signal
(tanda) tentang tipe atau kondisi
perusahaannya
dengan
melakukan
penetapan IPO yang Underpricing.
Sementara perusahaan yang jelek atau
buruk (proporsi hutang relatif tinggi) tidak
mau melakukan Underpricing karena tidak
bisa
menutupi
kerugian
akibat
Underpricing.
Sesuai dengan duagaan Bringham,
Huston (2006) bahwa para investor
cenderung menghindari emiten yang
memiliki DTA tinggi. Investor tidak
menyukai DTA yang terlalu tinggi
dikarenakan risiko perusahaan atas
penggunaan hutang yang tinggi tidak
diimbangi dengan aset perusahaan sebagai
penjaminnya, sehingga risiko gagal bayar
hutang yang menyebabkan perusahaan
dalam
kondisi
financial
distress
merupakan salah satu risiko perusahaan.
Disisi perusahaan semakin tinggi DTA
semakin rendah Underpricing yang
diterapkan perusahaan dan cenderung
overpricing hal tersebut dikarenakan
perusahaan tidak dapat menutupi kerugian
akibat Underpricing karena disatu sisi
perusahaan sudah memiliki beban hutang
yang cukup tinggi
Hasil penelitian ini memperkuat
eksistensi teori mengenai Fenomena
Underpricing, khususnya Teori signaling
equilibrium
phenomenom
yang
menjelaskan bahwa perusahaan yang baik
dapat memberikan signal tentang kondisi
perusahaannya
dengan
melakukan
penentapan IPO yang underpricing dilihat
dari sisi risiko proporsi penggunaan hutang
(DTA),
sedangkan
untuk
risiko
kebangkrutan
perusahaan
(Z_Score)
terbukti tidak mempengaruhi Fenomena
Underpricing meskipun risiko perusahaan
dapat
dikatakan
sebagai
signal
perusaahaan cenderung sehat atau
cenderung bangkrut.
Hasil penelitian ini mengindikasikan
bahwa semakin besar DTA mencerminkan
risiko perusahaan yang relatif tinggi,
disebabkan
karena
kemungkinan
perusahaan tidak mampu membayar bunga
serta pinjaman pokoknya. Diharapkan
perusahaan melakukan hal yang sama,
khususnya untuk perusahaan dengan
porposi hutang yang tinggi tidak perlu
menerapkan underpricing yang tinggi
karena sangat berisiko. Selain itu, para
calon
investor
sebaiknya
mempertimbangkan sinyal risiko hutang
pada perusahaan saat IPO. Dengan
memilih perusahaan dengan proporsi
hutang
yang
rendah
perusahaan
memberikan
singnal
yang
baik.
Berdasarkan hasil analisis perusahaan
yang aman atau menggunakan proporsi
hutang yang rendah mempu menerapkan
underpricing yang lebih tinggi sehingga
investor dapat memanfaatkan fenomena
underpricing untuk memperoleh initial
return pada hari pertama saham
diperdangangkan di secondary market.
Investor tidak dirasa tidak memerlukan
analisis Z-Score untuk pengambilan
keputusan investasi dalam menilai
kebangkrutan perusahaan, karena tidak ada
hubungan antara risiko kebangkrutan
perusahaan dengan initial return pada saat
IPO.
KESIMPULAN, KETERBATASAN,
DAN SARAN PENELITIAN
Simpulan
Hasil penelitian menyimpulkan
beberapa
hal.
Pertama,
Risiko
Kebangkrutan (Z-Score) tidak berpengaruh
terhadap Underpricing (Initial Return).
Hasil ini tidak mendukung hipotesis
pertama yang menyatakan bahwa Risiko
Kebangkrutan (Z-Score) berpengaruh
positif terhadap fenomena Underpricing
(Initial Return). Hasil ini menunjukkan
tidak menjamin bahwa semakin tinggi z41
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
score semakin sehat perusahaan dan
menjauhi risiko kebangkrutan akan
menerapkan underpricing yang tinggi.
Kedua, Proporsi Hutang (DTA) secara
signifikan mempengaruhi Underpricing
(Initial Return). Risiko Hutang (DTA)
berpengaruh negatif terhadap fenomena
Underpricing (Initial Return). Hasil ini
konsisten
dengan
teori
signaling
equilibrium phenomenom. Perusahaan
yang baik atau bagus dengan proporsi
hutang relatif rendah dapat memberikan
signal
(tanda)
tentang
kondisi
perusahaannya
dengan
melakukan
penetapan IPO yang underpricing.
Keterbatasan Penelitian
Peneliti menggunakan data closing
price untuk memperoleh data Initial
Return, sesuai dengan penelitian-penelitian
terdahulu. Peneliti mencoba menggunakan
data open price untuk memperoleh data
Initial Return sebagai proxy lain dalam
variabel dependen dan menghasilkan hasil
uji yang tidak signifikan. Peneliti tetap
menggunakan data closing price untuk
memperoleh data Initial Return, sesuai
dengan penelitian-penelitian terdahulu.
Sementara itu, penelitian ini menggunakan
semua nilai Z-Score Modifikasi dan tidak
membagi
kedalam
tiga
kategori
(cenderung sehat, abu-abu, dan cenderung
bangkrut) dalam pengolahan data. Peneliti
hanya mencoba mencari apakah ada
hubungan antara nilai Z-Score terhadap
Initial Return.
Peneliti menggunakan proksi Debt
to Total Asset (DTA) sebagai variabel
independen yang mewakili rasio financial
laverage atau risiko hutang. Penelitian
terdahulu menggunakan proksi Debt to
Total Equity (DER) sebagai variabel
independen yang mewakili rasio financial
laverage. Peneliti terlebih dahulu menguji
proxy DER dalam penelitiannya, peneliti
mendapatkan hasil uji yang tidak
signifikan dan model persamaan yang
42
tidak fit. Disisi lain DTA merupakan
gambaran proporsi penggunaan hutang
dari total asset perusahaan, sesuai latar
belakang diatas proxy Debt to Total Asset
cocok digunakan dalam penelitian ini.
Selain itu, penelitian ini memfokuskan
penelitian fenomena underpricing pada
perspektif teori yang dianggap kontroversi,
yakni signaling equilibrium phenomenom.
Disisi lain risiko perusahaan juga menjadi
salah satu faktor investor menanamkan
modalnya pada perusahaan.
Saran Penelitian
Beberapa saran penelitian yang
diberikan untuk penelitian selanjutnya.
Pertama, penelitian selanjutnya dapat
menambahkan variabel yang berasal dari
faktor-faktor eksternal atau proksi lainnya,
seperti kondisi pasar pada saat IPO, jumlah
saham atau proporsi saham yang
ditawarkan emiten, overesubscribe pada
pernawaran perdana saham. Kedua,
penelitian
selanjutnya
dapat
mengembangkan
penelitian
dengan
menambahkan variabel risiko lainnya
sebagai sinyal perusahaan menanggapi
fenomena underpricing, yaitu Degree of
Financial Laverage (DFL). Ketiga,
penelitian selanjutnya dapat memfokuskan
penelitian pada pengklasifikasian risiko
perusahaan
terhadap
fenomena
underpricing.
DAFTAR REFERENSI
Allen,
F and Faulhaber, G. 1989.
”Signalling by Underpricing in The
IPO Market”. Journal of Financial
Economics, No 23.
Brigham, E.F. and Huston, J.F. 2007.
Fundamental
of
Financial
Management, Singapore: Thomson
Asia Pte Ltd.
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
Daljono. 2000. “Analisis Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Initial Return
Saham yamg Listing di BEJ Tahun
1990-1997”. Simposium Nasional
Akuntansi III, IAI.
Diananingsih, H. 2003. “Analisis FaktorFaktor
yang
Mempengaruhi
Tingkat
Underpricing
pada
Penawaran Saham Perdana (Studi
Kasus pada Perusahaan Go Public
yang terdaftar di PT. BEJ tahun
1997-2001)”. Tesis.
Ediningsih dan Isworo, S. 2007.
“Fenomena Underpricing pada
Penawaran Umum Perdana di
Bursa Efek Jakarta Periode 19982005”.
Jurnal
Manajeman,
l7(1):372-383
Ernyan
dan
Husnan,
S.
2002.
“Perbandingan Underpricing Penerbitan Saham Perdana Perusahaan Keuangan dan NonKeuangan
di
Pasar
Modal
lndonesia: Pengujian Hipotesis
Asimetri
Informasi”.
Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia,
17(4):372 - 383.
Fakhrudin, H. M. 2008. Go Public Strategi
Pendanaan dan Peningkatan Nilai
Prusahaan.
Jakarta:
Penerbit
Gramedia.
Gujarati, D. N. 2010. Basic Econometrics
Edisi 5. Jakarta: Penerbit Salemba
Empat
Handayani, S. 2008. “Analisis FaktorFaktor
yang
Mempengaruhi
Underpricing pada Penawaran
Umum Perdana (Studi Kasus pada
Perusahaan Keuangan Go Public di
Bursa Efek Jakarta tahun 20002006)”. Tesis.
Hanafi, M. dan Husnan, S. 1991. “Perilaku
Harga Saham di Pasar Perdana”.
Usahawan, (11).
Hartono, J. 2008. Teori Portofolio dan
Analisis Investasi Edisi Kelima.
Yogyakarta: Penerbit BPFE.
Ibbotson, R.G. 1975. “Price Performance
of Common Stock New Issues”.
Journal of Financial Economics,
3.
Ibbotson, R.G., Sinderlar, J. L. Ritter, J. R.
1988. “Initial Public Offering”.
Journal of Applied Corporate
Finance, 2.
Loughran, T. and Ritter, J. R. 1995. “The
New Issues Puzzle”. Journal Of
Finance, 50.
Purwanti, Y. 2005. “Analisis Resiko
Keuangan dalam Memprediksi
Kondisi
Financial
Distress
Perusahaan
Manufaktur
yang
Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”.
Skripsi.
Puspita, T. 2011. “Analisis Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Tingkat
Underpricing Saham pada saat IPO
periode 2005-2009”. Skripsi.
Rock, K. F. 1986. “ Why New Issues Are
Underpriced ”. Journal of Financial
Economics, 15.
Ronni, S. 2003. “Problema Anomali dalam
Initial Public Offering (IPO”).
43
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Jurnal
Manajemen
Kewirausahaan Vol. 5 (2):
&
Siregar, A. 2008. “Pengaruh Potensi
Kebangkrutan Altman terhadap
Pergerakan
Harga
Saham
Perusahaan Manufaktur Terbuka di
Bursa Efek Indonesia”. Tesis.
Sulistio, H. 2005. “Pengaruh Informasi
Akuntansi
dan
Nonakuntansi
terhadap Initial Return : Studi Pada
Perusahaan yang melakukan IPO di
BEJ”. SNA VIII, Solo, September.
Takarini, N. dan Kustini. 2007. “Analisis
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Tingkat
Underpricing
pada
Penawaran Saham Perdana (IPO)
pada Perusahaan yang Go Public di
BEJ”. Jurnal ARTHAVIDYA, 8 (1).
Yasa, G. 2002. “Penyebab Underpricing
pada Penawaran Saham Perdana di
BEJ”. E-jurnal.
44
Download