Efektivitas ASEAN Tourism Strategic Plan 2011

advertisement
Efektivitas ASEAN Tourism Strategic Plan 20112015 di Indonesia
Lady Amalia D.A.P
Departemen Hubungan Internasional,
FakultasIlmuSosialdanIlmuPolitik, UniversitasAirlangga
Email: [email protected]
Abstract
Sektor pariwisata telah lama menjadi perhatian negara-negara anggota ASEAN,
sehingga melakukan kerjasama pariwisata dan dibentuklah ASEAN Tourism Forum (ATF).
Forum ini telah melakukan serangkaian pertemuan dimana pada tahun 2011 menetapkan
menetapkan ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015 (ATSP 2011-2015). Berbagai strategi
untuk meningkatkan kerjasama ini telah digariskan di dalamnya, antara lain berisi tentang
prinsip, arahan, dan standar pariwisata bagi semua negara anggota, tidak terkecuali
Indonesia. Mengacu pada ATSP 2011-2015, pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah merumuskan dan melaksanakan
berbagai program tersebut. Penelitian ini mengkaji adakah peningkatan secara signifikan
program tersebut dengan perkembangan pariwisata Indonesia? Melalui teori efektivitas dan
kepatuhan dalam rezim internasional, ditemukan bahwa ATSP 2011-2015 tidak efektif dalam
perkembangan pariwisata Indonesia karena tidak adanya sinkronisasi antara permasalahanpermasalahan kepariwisataan Indonesia dengan arahan strategi di dalam ATSP 2011-2015.
Selain itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah memiliki
program-program prioritasnya sendiri untuk meningkatkan pariwisata Indonesia. Lebih lanjut
lagi, tidak adanya ikatan yang memaksa bagi negara-negara anggota ATSP 2011-2015
membuat Indonesia tidak mematuhi ATSP 2011-2015.
KataKunci: ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015 (ATSP 2011-2015), arahan strategis,
pariwisata Indonesia, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Pariwisata menjadi salah satu faktor
dalam pembangunan ekonomi suatu
negara, tidak terkecuali negara-negara
ASEAN (Association of South East Asian
Nations). Negara-negara Asia Tenggara
memiliki potensi wisata yang beragam,
mulai dari budaya, lanskap, flora dan
fauna, kuliner, kerajinan, hiburan, dan
pusat
perbelanjaan.
Selain
itu,
wisatawan yang datang ke negaranegara ASEAN dapat menikmati tempat
wisata seperti monumen budaya, ikon
kota
(landmark),
dan
berbagai
bangunan bersejarah (ASEAN Tourism
2014). Potensi-potensi inilah yang bisa
dijadikan negara-negara ASEAN untuk
melakukan kerjasama dalam industri
pariwisata
dengan
tujuan
untuk
258
meningkatkan
pariwisata
masingmasing negara anggota dan ASEAN
pada umumnya.
Salah satu upaya ASEAN untuk
meningkatkan kerjasama di industri
pariwisata adalah dengan dibentuknya
ASEAN Tourism Forum (ATF) pada
tahun 1981 di Malaysia. Perkembangan
kerjasama pariwisata di kawasan
ASEAN mengacu pada Roadmap for
Integration of Tourism Sector (RITS)
yang dimulai pada tahun 2004 dan
berakhir pada tahun 2010. Dengan
berakhirnya RITS, ASEAN menyusun
rencana strategi baru yang disebut
dengan ASEAN Tourism Strategic Plan
(ATSP) 2011-2015 dalam rangka menuju
Efektifitas ASEAN Tourism
integrasi
ekonomi
wilayah
Asia
Tenggara seperti yang tercantum dalam
program ASEAN Economic Community
(AEC) 2015, sektor pariwisata semakin
menjadi perhatian serius oleh negaranegara
anggota.
Namun
begitu,
sekalipun telah ditetapkannya ASEAN
Tourism Strategic Plan (ATSP) 20112015, ternyata tidak membawa dampak
signifikan pada peningkatan pariwisata
Indonesia. Tulisan ini membahas
tentang mengapa peningkatan jumlah
wisatawan mancanegara di Indonesia
tidak signifikan sekalipun telah adanya
ASEAN Tourism Strategic Plan (ATSP)
2011-2015.
Kerjasama Pariwisata ASEAN:
ASEAN Tourism Strategic Plan
2011-2015
Menjelang abad ke-21, negaranegara anggota ASEAN bersepakat
untuk mengembangkan suatu kawasan
yang terintegrasi dengan membentuk
suatu komunitas negara-negara Asia
Tenggara yang terbuka, damai, stabil
dan sejahtera, saling peduli, dan diikat
bersama dalam kemitraan yang dinamis
pada tahun 2020. Harapan tersebut
dituangkan dalam Visi ASEAN 2020
yang ditetapkan oleh para Kepala
Negara atau Kepala Pemerintahan
negara-negara anggota ASEAN pada
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN
di Kuala Lumpur tanggal 15 Desember
1997. Selanjutnya, untuk merealisasikan
harapan
tersebut,
ASEAN
mengesahkann Bali Concord II pada
KTT ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003
yang
menyepakati
pembentukan
Komunitas
ASEAN
(ASEAN
Community) yang terdiri dari tiga pilar,
yaitu Komunitas Politik-Keamanan
ASEAN
(ASEAN
Political-Security
Community/APSC),
Komunitas
Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community/AEC),
dan
Komunitas
Sosial Budaya (ASEAN Sosio-Cultural
Community/ASCC). Upaya kesepakatan
pembentukan
Komunitas
ASEAN
semakin kuat dengan ditandatanganinya
Deklarasi Cebu mengenai Percepatan
Pembentukan Komunitas ASEAN pada
Tahun 2015 (Cebu Declaration on the
Acceleration of the Establihsment of an
ASEAN Community by 2015) oleh para
pemimpin ASEAN yang diselenggarakan
pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
ke-12 ASEAN di Cebu, Filipina, tanggal
13
Januari
2007.
Dengan
ditandantanganiniya Deklarasi tersebut,
para pemimpin ASEAN menyepakati
percepatan pembentukan Komunitas
ASEAN yang awalnya pada tahun 2020
menjadi tahun 2015 (Dirjen ASEAN t.t,
4-5).
Pariwisata merupakan satu bagian
dari salah satu pilar Komunitas ASEAN,
yakni Komunitas Ekonomi ASEAN
(AEC). Pariwisata memiliki peran dalam
pembangunan ekonomi suatu negara
serta sebagai integrasi sosial dan budaya
karena melalui pariwisatalah, negaranegara di kawasan Asia Tenggara bisa
memperlihatkan
keragaman
dan
kekayaan dan budaya-budaya dan
masyarakatnya. Sadar akan keindahan
alam dan keragaman budaya serta
memiliki keunggulan kompetitif yang
luar biasa di sektor ini, Indonesia dan
sembilan negara anggota ASEAN
lainnya melakukan kerjasama untuk
meningkatkan
kualitas
pariwisata,
meskipun di sisi lain juga saling
berlomba untuk menarik wisatawan
mancanegara ke negara masing-masing.
Untuk
meningkatkan
pariwisata
ASEAN, para Menteri Pariwisata ASEAN
berupaya untuk meningkatkan industri
pariwisata dengan dasar bahwa integrasi
kawasan sangatlah penting. Mereka
memiliki satu pandangan bahwa upaya
untuk meningkatkan pariwisata di
negara masing-masing akan lebih efektif
di bawah satu payung organisasi.
Kerjasama pariwiasta ASEAN dijalankan
dengan kesadaran bersama bahwa untuk
menjadikan kawasan Asia Tenggara
yang terintegrasi dan bebas hambatan,
dibutuhkan satu kerangka tersendiri
yang
kelak
akan
memayungi
kepentingan masing-masing negara di
sektor pariwisata. Oleh karena itu,
negara-negara ASEAN sepakat untuk
membentuk suatu forum yang bisa
dimanfaatkan sebagai wadah untuk
saling bertukar informasi dan ide
mengenai pariwisata masing-masing
negara anggota, yang disebut dengan
ASEAN Tourism Forum (ATF). Adapun
tujuan dari ATF adalah untuk: 1)
mempromosikan ASEAN sebagai tujuan
yang atraktif dan tujuan tunggal
wisatawan;
2)
menciptakan
dan
meningkatkan kesadaran bahwa ASEAN
sebagai kawasan tujuan turis yang
kompetitif di Asia Pasifik; 3) menarik
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 1, Februari 2016
259
Lady Amalia
lebih banyak turis ke masing-masing
negara anggota ASEAN atau kombinasi
antranegara;
4)
mempromosikan
perjalanan turis internal ASEAN; dan 5)
memperkuat kerjasama antar sektor
dalam industri pariwisata ASEAN.
berkelanjutan dan terintegrasi. ATSP
dibentuk untuk mengidentifikasi lebih
banyak lagi mengenai faktor, pengaruh,
dan
proses
yang
kelak
akan
mempengaruhi
pengembangan
pariwisata ASEAN.
Pertemuan
Menteri
Pariwisata
ASEAN (M-ATM) yang diadakan di
Phnom Penh, Kamboja, pada tahun 2011
menyepakati strategi khusus di bidang
pariwisata yang akan diterapkan oleh
masing-masing negara, yakni ASEAN
Tourism Strategic Plan (ATSP) 20112015. Negara-negara anggota ASEAN
menempatkan pariwisata sebagai sektor
yang penting dan harus diberikan
perhatian khusus. Diharapkan dalam
perkembangannya, pariwisata ASEAN
dapat
membantu
meningkatkan
perekonomian masing-masing anggota
serta
sebagai
penopang
dalam
Komunitas ASEAN 2015. ASEAN
Tourism Strategic Plan (ATSP) 20112015 merupakan strategi ASEAN untuk
meningkatkan jumlah pengunjung ke
kawasan Asia Tenggara:
Adapun visi ATSP 2011-2015 yaitu,
pada tahun 2015 ASEAN akan
mengalami
peningkatan
jumlah
pengunjung ke wilayah tersebut dengan
otentik
dan
beragam
produk,
peningkatan
konektivitas,
dan
lingkungan yang aman, peningkatan
kualitas layanan, peningkatan kulaitas
hidup dan kesempatan bagi masyarakat
melalui kerjasama yang efektif dengan
berbagai
pemangku
kepentingan.
Berdasarkan
visi
tersebut,
maka
dikembangkan tiga arahan strategis di
dalam penetapan ATSP, yang bisa
dilihat pada tabel 2.1:
Tabel 2.1:Arahan dan Aksi
Strategis ATSP
“By 2015, ASEAN will provide an
increasing number of visitors to the
region with authentic and diverse
products, enhanced connectivity, a safe
and secure environment, increased
quality of services, while at the same
time ensuring an increased quality of life
and opportunities for residents through
responsible and sustainable tourism
development by working effectively with
a wide range of stakeholders”
Dalam pertemuan ATF 2010 di
Brunei Darussalam, dihasilkan enam
prinsip
yang
akan
membantu
mengarahkan perkembangan ATSP,
yaitu: (1) Perkembangan Pariwisata yang
Terintegrasi dan Terstruktur (Integrated
and Structured Tourism Development);
(2) Perkembangan yang Berkelanjutan
dan Bertanggung Jawab (Sustainable
and Responsible Development); (3)
Kolaborasi yang Luas Antara Pemangku
Kepentingan
(Wide
Ranging
Stakeholder Collaboration); (4) ProdukProduk Pariwisata yang Berkualitas
(Quality
Tourism
Products);
(5)
Pelayanan
yang
Unggul
(Service
Excellence); dan (6) Pengalaman yang
Khas dan Interaktif (Distinctive and
Interactive
Experiences)
(ASEAN
Tourism Strategic Plan 2011-2015 2011¸
8).
Keenam
prinsip
tersebut
menggambarkan tentang kehendak
untuk pembangunan pariwisata yang
260
Sumber:
Pada
arahan
strategis
pertama,
penciptaan
pengalaman
mengenai
produk-produk inovatif regional dan
pemasaran
kreatif
serta
strategi
investasi terdiri dari tiga macam arahan
strategis (ASEAN Tourism Strategic
Plan 2011-2015 2011, 31-34). Pertama,
mengembangkan
dan
menerapkan
strategi pemasaran pariwisata untuk
wilayah ASEAN dengan rangkaian
kegiatan:
menciptakan
strategi
pemasaran pariwisata ASEAN yang akan
menciptakan merk, target pasar, strategi
komunikasi, pendekatan distribusi, dan
pengimplementasian; dan menciptakan
kelompok penelitian pasar untuk
Efektifitas ASEAN Tourism
menyediakan
informasi
analisis
mengenai tren dan situasi pariwisata
pada
basis
reguler.
Kedua,
mengembangkan kawasan dan subkawasan yang kreatif dan eksperensial
dengan strategi investasi dengan
mengembangkan paket untuk koridor
regional, lingkungan, dan pariwisata
alam, pariwisata warisan dan budaya,
serta
pariwisata
yang
berbasis
komunitas. Selain itu bekerjasama
dengan Komite Koordinasi Investasi
(CCI) dan Komite Koordinasi Jasa (CCS)
dalam mengurangi hambatan dan
mendorong
investasi
di
bidang
pengembangan produk. Ketiga, bekerja
sama dengan badan-badan ASEAN
lainnya untuk memperluas konektivitas
melalui jalur udara, air, kereta api, dan
transportasi
darat
dengan
cara:
menciptakan aturan program untuk
mempublikasikan dan mempromosikan
tujuan dan kegiatan ASEAN NTOs;
menciptakan aturan dan prosedur untuk
bekerjasama dengan dialogue partners
untuk mendukung pengimplementasian
ATSP;
menciptakan
aturan
dan
prosedur untuk bekerjasama dengan
organisasi
internasional
untuk
mendukung pengimplementasian ATSP;
dan menciptakan sistem komunikasi
dan aturan untuk berkomunikasi
dengan stakeholders swasta esensial.
Arahan Strategis kedua dalam ATSP
2011-2015 meliputi peningkatan kualitas
dari sumber daya manusia, pelayanan,
dan fasilitas di kawasan, yang terdiri
dari tiga macam arahan strategis
(ASEAN Tourism Strategic Plan 20112015
2011,
34-36).
Pertama,
mengembangkan seperangkat standar
pariwisata ASEAN dengan proses
sertifikasi. Terdapat enam Standar
Pariwisata ASEAN, yaitu: Green Hotel,
Food and Beverage Services, Public
Restroom, Homestay, Ecotourism, dan
Tourism Heritage (ASEAN Tourism
Strategic Plan 2011-2015 2011, 34).
Kedua,
melaksanakan
Mutual
Recognition Agreement (MRA) pada
Pariwisata ASEAN Profesional dengan
strategic actions sebagai berikut: 1)
Membentuk
sarana
dan
mengimplementasikan
program
pengembangan sumber daya manusia
untuk divisi house keeping; 2)
Membentuk
sarana
dan
mengimplementasikan
program
pengembangan sumber daya manusia
untuk front office, pelayanan makanan
dan minuman, produksi makanan, travel
agent, dan divisi pengoperasian wisata;
dan 3) Membentuk sarana untuk
mengawasi
situasi
tenaga
kerja
pariwisata di setiap negara anggota
ASEAN
yang
akan
mendukung
pengimplementasian
Mutual
Recognition Arrangement (MRA) pada
Tourism
professionals.
Ketiga,
memberikan
kesempatan
untuk
meningkatkan
pengetahuan
dan
keterampilan pengembangan dengan
stategic actions sebagai berikut: 1)
Menciptakan aturan dan prosedur untuk
program
pengembangan
kapasitas
bangunan; dan 2) Membentuk rencana
pengembangan sumber daya manusia
tahunan berdasarkan prioritas regional.
Arahan Strategis ketiga dalam ATSP
2011-2015 meliputi peningkatan dan
percepatan fasilitasi perjalanan dan
konektivitas di kawasan ASEAN yang
terdiri dari dua macam arahan strategis
yaitu mengajukan visa tunggal dan
bekerja sama dengan badan-badan
ASEAN lainnya untuk memperluas
konektivitas (ASEAN Tourism Strategic
Plan 2011-2015 2011, 36-37).
Young (1982) menawarkan tiga
macam orders dalam menganalisis isi
dari rezim-rezim internasional. Pertama,
spontaneous order dimana menurut
Hayek (1973 dalam Young 1982)
merupakan produk aksi dari banyak
manusia tetapi bukan merupakan hasil
dari desain manusia. Di dalam
spontaneous order tidak dilibatkan
kesadaran koordinasi antar anggota,
tidak memerlukan izin eksplisit pada
bagian dari subjek atau subjek protektif,
dan resisten terhadap usaha pada
rekayasa sosial (Young 1982, 289).
Kedua, imposed order dimana ada
kekuatan dominan atau persetujuan dari
kekuatan
yang
dominan
untuk
perkembangan rezim. Imposed order
sendiri dibentuk oleh kekuatan dominan
yang berhasil menyesuaikan anggotanya
terhadap persyaratan tertentu melalui
kombinasi dari koersi, kooptasi, dan
manipulasi insentif (Young 1982).
Ketiga, yang digunakan dalam penelitian
ini, yakni negotiated order dimana ada
usaha secara sadar untuk menyetujui
ketentuan utama, izin eksplisit pada
bagian dari masing-masing peserta, dan
menghasilkan ekspresi formal. Ada dua
bentuk
negotiated
order,
yaitu
constitutional contract yang merupakan
pelibatan secara langsung pada proses
negosiasi; dan legislative bargains
dimana tidak terlibat langsung dalam
proses
negosiasi.
Keduanya
menempatkan aktor sebagai subjek.
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 1, Februari 2016
261
Lady Amalia
Walaupun di dalam negotiated order ini
terlihat lebih adil, karena setiap aktor
memiliki hak untuk berpendapat dan
pasti akan diwujudkan satu per satu,
tetapi tetap saja negotiated order
memiliki dua kekurangan, yaitu hasil
dari negotiated order akan memiliki efek
yang kecil kecuali konsep dan
persyaratannya sudah tertanam dalam
rutinitas tingkah laku dari para peserta.
Selain itu, institusi internasional dapat
memiliki otoritas sentral yang kuat dan
tanggung jawab operasi yang signifikan.
Namun di sisi lain, terkadang sebuah
institusi internasional tidaklah lebih dari
sekedar forum untuk konsultasi dan
berbagi informasi (Young 1982).
Terdapat tiga pandangan untuk
menjelaskan transmisi informasi, yaitu
tradisionalis,
konstruktivis,
dan
informasi strategik. Dalam penelitian
ini, penulis akan memakai pandangan
tradisionalis. Tradisionalis berpendapat
bahwa negara berperilaku berdasarkan
pada kepentingannya. Oleh karena itu,
kemampuan
memaksa
organisasi
internasional
adalah
lemah
dan
keputusan
organisasi
internasional
cukup dianggap sebagai cheap talk
(Hennida 2015, 166). Dalam hal ini,
ATSP 2011-2015 merupakan hasil dari
pertemuan
negara-negara
anggota
untuk
saling
bertukar
informasi
mengenai parwisata pada ASEAN
Tourism
Forum
2010
yang
diselenggarakan di Brunei Darussalam.
ASEAN Tourism Strategic Planning
2011-2015 yang merupakan blueprint
rencana arahan strategis dan tidak
memiliki legitimasi yang kuat untuk
memaksa negara anggotanya untuk
mematuhi dan menjalankan arahanarahan strategisnya.
Problematika ASEAN Tourism
Strategic
Plan
2011-2015
di
Indonesia
Meningkatnya jumlah wisatawan di
kawasan ASEAN berarti juga terjadi
peningkatan wisatawan di negaranegara ASEAN, tidak terkecuali di
Indonesia. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka harus dilihat apakah
arahan-arahan
strategis
yang
terkandung di dalam ATSP 2011-2015
dapat diimplementasikan di Indonesia
dengan melihat kendala-kendala dalam
kepariwisataan Indonesia. Di Indonesia,
sektor pariwisata merupakan salah satu
262
sektor yang memberikan sumbangan
yang tinggi terhadap perolehan devisa
negara. Aktivitas pariwisata merupakan
salah satu bentuk ekspor perdagangan
jasa,
dimana
sektor
pariwisata
merupakan satu-satunya sektor yang
secara konstan memberikan kontribusi
positif dalam neraca perdagangan jasa
Indonesia (Lumaksono 2012, 53-68).
Sektor pariwisata juga merupakan satusatunya sektor jasa yang termasuk
dalam sepuluh komoditas ekspor
dengan kontribusi terbesar terhadap
penerimaan devisa negara. Selain
sebagai penghasil devisa negara, sektor
pariwisata juga berkontribusi pada
beberapa indikator makro ekonomi di
suatu negara. Menurut Kemenparekraf,
sektor pariwisata berpengaruh terhadap
lima indikator makro ekonomi, yaitu:
produksi barang yang berkontribusi
terhadap jumlah produksi nasional; nilai
tambah sektoral yang berkontribusi
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB);
upah dan gaji yang berkontribusi
terhadap
tingkat
upah
nasional;
penciptaan pajak yang berkontribusi
terhadap total pajak nasional; dan
penciptaan kesempatan kerja yang
berkontribusi terhadap jumlah lapangan
kerja nasional (Kemenparekraf 2012).
Besarnya sumbangan sektor pariwisata
terhadap devisa negara dan indikatorindikator makro ekonomi terutama
dipengaruhi oleh besarnya permintaan
pada sektor pariwisata itu sendiri.
Terlepas dari potensi pariwisatanya,
kepariwisataan Indonesia memiliki dua
macam tantangan. Secara eksternal,
tantangan tersebut dihadapkan pada
semakin
ketatnya
persaingan
antarnegara, khususnya negara-negara
sesama
anggota
ASEAN,
dalam
menciptakan destinasi pariwisata yang
mampu mendatangkan wisatawan dan
investor, serta semakin pesatnya
kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi.
Secara
internal,
pengembangan
kepariwisataan
Indonesia masih mengalami kendala,
khususnya
terkait
dengan
pengembangan industri, pengembangan
destinasi
wisata,
perluasan
dan
penetrasi pasar wisata di dalam dan luar
negeri, penguatan kelembagaan dan
investasi
kepariwisataan,
serta
pengembangan
sumber
daya
kepariwisataan (Kementerian Pariwisata
Republik Indonesia 2012, 70-74).
Pertanyaan mendasar mengenai sebuah
institusi internasional ada dua, yakni
sampai sejauh mana sebuah institusi
Efektifitas ASEAN Tourism
efektif dan sampai sejauh mana institusi
memiliki
independensi.
Efektivitas
berbicara mengenai hal-hal yang statis,
sedangkan
independensi
berbicara
mengenai
hal-hal
yang
dinamis.
Efektivitas rezim menyangkut dua hal
yang saling tumpang tindih (Underdal
1992 dan Young 1994 dalam Hennida
2015, 169-170). Pertama, rezim menjadi
efektif
ketika
anggotanya
patuh
terhadap norma dan aturan yang dibuat
oleh rezim. Hal ini kaitannya dengan
kekuatan rezim. Young (1994) menyebut
hal ini sebagai efektivitas rezim dalam
model aturan. Kedua, rezim menjadi
efektif ketika memenuhi tujuan tertentu
yang telah dirumuskan sebelumnya.
Young menyebut hal ini sebagai
efektivitas rezim dalam model praktek
sosial.
Kepatuhan dijelaskan oleh Oran
Young sebagai berikut:
“compliance can be said to occur when
the actual behavior of a given subject
conforms to prescribed behavior, and
non-compliance or violation occurs
when
actual
behavior
departs
significantly from prescribed behavior”
Dari sini dapat diketahui bahwa
kepatuhan muncul ketika perilaku nyata
seorang subjek sesuai dengan perilaku
yang
diharapkan.
Sebaliknya,
ketidakpatuhan muncul ketika perilaku
nyata berbeda signifikan dari perilaku
yang diharapkan. Dengan begitu, dapat
dikatakan bahwa kepatuhan merupakan
suatu sikap dimana adanya perilaku
individu yang mentaati aturan-aturan
yang ditetapkan, tanpa adanya paksaan
(Young 1994 dalam Hennida 2015, 171).
Chayes dan Chayes menekankan bahwa
permasalahan kepatuhan bukan pada
ada atau tidak adanya mekanisme
pemaksaan, melainkan karena adanya
permasalahan
pada
manajemen
(Hennida 2015, 172-174). Permasalahan
pada manajemen itu bisa terjadi karena,
pertama rezim internasional tersebut
mengandung
kalimat-kalimat
yang
ambigu. Ambiguitas terjadi karena
terkadang bahasa tidak cukup bisa
menjelaskan apa yang dimaksud dengan
tepat. Kedua, kurangnya kapasitas baik
secara administratif, kemampuan teknis,
maupun sumber finansial negara untuk
implementasi rezim. Pelaksanaan rezim
internasional pada setiap negara
anggotanya bisa berbeda tergantung
pada kapabilitas birokrasi dan sumber
fiskal untuk pendanaan (Hennida 2015,
173). Ketiga, dimensi temporal yakni
waktu pada saat rezim tersebut dibentuk
dimana halangannya bisa karena kondisi
ketika rezim dibentuk dan disepakati,
serta adanya agenda dan prioritas
pemerintah yang terbatas.
Pengembangan
industri
kepariwisataan
di
Indonesia
menghadapi beberapa masalah utama
yang dihadapi, antara lain kurangnya
sarana dan prasarana yang berkaitan
dengan
kepariwisataan,
rendahnya
kuantitas dan kualitas sumber daya
manusia
(SDM)
pariwisata
dan
kesadaran
masyarakat
setempat,
rendahnya
kesiapan
teknologi
komunikasi dan informasi, kebijakan
dan peraturan kepariwisataan yang
tidak terintegrasi, dan rendahnya nilai
investasi kepariwisataan (Kemenpar
2012). Hal-hal ini ternyata tidak sejalan
dengan isi dari arahan-arahan strategis
ATSP 2011-2015 yang berisikan tentang
enam prinsip, yakni: 1) Perkembangan
pariwisata
yang
terstruktur
dan
terintegrasi;
2)
Perkembangan
berkelanjutan dan bertanggung jawab;
3) kolaborasi antara para pemangku
kepentingan;
4)
Produk-produk
pariwisata
yang
berkualitas;
5)
Keunggulan
pelayanan;
dan
6)
pengalaman yang khas dan interaktif
(ASEAN 2011). Dari sini dapat dilihat
bahwa apa yang sedang dihadapi oleh
Indonesia dan strategi-strategi yang
terdapat dalam ATSP 2011-2015 tidak
sinkron, sehingga pemerintah Indonesia
tidak mendapat apa yang diharapkan,
yakni strategi untuk menghadapi
tantangan pariwisata Indonesia, lantas
tidak mematuhi isi dari ATSP 2011-2015
di dalam kebijakan kepariwisataannya.
Berbagai
permasalahan
yang
dihadapi oleh kepariwisataan Indonesia
membutuhkan kebijakan dan arahanarahan strategis yang tidak dapat
ditemukan di dalam arahan-arahan
strategis ASEAN Tourism Strategic Plan
2011-2015,
yang
terdiri
dari;
pengembangan
produk
regional
eksperensial dan pemasaran kreatif dan
strategi investasi, peningkatan kualitas
pelayanan dan sumber daya manusia
(SDM) di kawasan yang berdasarkan
pada Standar Pariwisata ASEAN, serta
peningkatan dan percepatan fasilitasi
perjalanan dan konektivitas ASEAN. Hal
ini membuat pemerintah Indonesia
tidak patuh terhadap ATSP 2011-2015
dan membuat kebijakan dan arahanarahan strategis yang sesuai dengan
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 1, Februari 2016
263
Lady Amalia
permasalahan-permasalahan
kepariwisataan Indonesia.
Selain
itu,
dengan
melihat
permasalahan-permasalahan
yang
dihadapi oleh kepariwisataan Indonesia,
apabila arahan-arahan strategis di
dalam ATSP 2011-2015 diterapkan di
Indonesia, akan mengalami berbagai
macam kendala. Kendala yang dihadapi
dalam penerapan arahan strategi 1
adalah kendala dalam mengembangkan
dan menerapkan strategi pemasaran
pariwisata untuk wilayah ASEAN, yaitu
kendala promosi website pariwisata
Indonesia
dan
kendala
dalam
menciptakan lingkungan paket regional
kreatif
bersama
dengan
strategi
investasi. Meskipun Indonesia sudah
memiliki portal website pariwisata yang
memadai dan terhubung dengan website
pariwisata ASEAN, akan tetapi dari segi
konten atau isinya masih sederhana.
Permasalahan e-tourism di Indonesia
adalah pengembangan kepariwisataan
Indonesia masih belum terpadu dan
memiliki akses terbatas pada lingkup
nasional (Rasulong 2012, 118). Kendala
yang dihadapi dalam pelaksanaan dari
Multi-country Packages yaitu jalur
penerbangan antara negara ASEAN
tidak
memadai.
Integrasi
sektor
transportasi udara di tingkat ASEAN
perlu
mempertimbangkan
keuntungannya
bagi
Indonesia.
Keuntungan itu dapat diperoleh jika ada
keseimbangan
rute
atau
jalur
penerbangan antar bandar udara di
negara-negara anggota ASEAN. Tanpa
ada keseimbangan itu, jalur-jalur
penerbangan domestik di Indonesia
sebagai negara kepulauan yang strategis
dapat dimanfaatkan oleh negara lain
(Bappenas 2014).
Kendala yang akan dihadapi
kepariwisataan Indonesia dari arahan
strategis 2 adalah kendala dalam
mengembangkan seperangkat Standar
Parwisata ASEAN dengan proses
sertifikasi
dan
kendala
dalam
melaksanakan MRA pada Profesional
Parwisata
ASEAN.
Kendala
dari
pelaksanan ASEAN Tourism Standard di
Indonesia adalah pada Green Hotel
Standard. Hanya 10 hotel di Indonesia
yang mampu memperoleh sertifikat
Green Hotel Standard dari ASEAN
yakni: Manado Golf and Convention
Center Hotel, Novotel Bandung Hotel,
Santika Premiere Yogyakarta, Jogjakarta
Plaza Hotel, Singgasana Hotel Surabaya,
Ayodya Resort Bali, Bali Tropic Resort &
264
Spa, Novotel Manado Golf Resort &
Convention Center, The Park Lane
Jakarta, dan Eastpark Hotel Yogyakarta
(Kompas 2015). Sedikitnya hotel di
Indonesia yang tesertifikasi Green Hotel
tidak terlepas dari belum terpenuhinya
persyaratan yang ditentukan ASEAN
oleh hotel-hotel yang ada di Indonesia
dari berbagai aspek seperti: a)
Pelaksanaan manajemen sumber daya di
dalam bangunan; b) Pelatihan dan
pendidikan; c) Kontrol penggunaan
energi, air, dan keperluan hotel; d)
Manajemen limbah dan sampah; e)
Keselamatan dan keamanan; f) Tingkat
pelayanan; dan g) Kegiatan-kegiatan
Corporate
Social
Responsibility
(Kompas 2015). Lebih lanjut, s
Sertifikasi
profesi
dalam
bidang
pariwisata sudah menjadi keharusan
untuk menghadapi persaingan dunia
kerja di lingkup ASEAN dalam rangka
menuju ASEAN Community 2015.
Namun begitu, kesadaran sumber daya
manusia (SDM) pariwisata Indonesia
masih rendah, sehingga masih banyak
yang tidak tesertifikasi. Hal ini
kemudian berpengaruh pada kualitas
pelayanan yang diberikan. Sertifikat
kompetensi
juga
memberikan
kebanggaan bagi yang memilikinya,
karena membuat lebih percaya diri. Hal
ini mengingat pada tataran dunia kerja,
dengan memiliki sertifikat kompetensi
maka daya tawar akan gaji/upah
menjadi berimbang. Bagi pengusaha,
memiliki pegawai yang bersertifikat
adalah aset dalam persaingan bisnis.
Solusi saling menguntungkan seperti ini
perlu ditumbuhkan. Namun banyak dari
tenaga kerja di bidang pariwisata di
Indonesia belum menyadari sepenuhnya
hal ini.
Kendala yang akan dihadapi oleh
kepariwisataan Indonesia dari arahan
strategis 3 adalah kendala dalam
mengajukan visa tunggal untuk regional
ASEAN, yaitu permasalahan pada
kedaulatan dan lintas batas, teknis
keimigrasian
dan
transparansi
pemasukan
visa,
keamanan
dan
kejahatan
transnasional,
dan
infrastruktur dan aksesibilitas, serta
kerugian biro perjalanan wisata (Wali
2014). Pertama, kedaulatan dan lintas
batas merupakan isu klasik di tataran
ASEAN. Kedaulatan menjadi hal yang
sangat prinsipil bagi ASEAN, sehingga
ketika
negara
anggota
ASEAN
berkeinginan untuk menerapkan visa
tunggal
mau tidak
mau harus
dihadapkan dengan masalah lintas
Efektifitas ASEAN Tourism
batas, yang mana lintas batas tersebut
merupakan sebuah instrumen dalam
kedaulatan. Kedua, permasalahan teknis
keimigrasian
dan
transparansi
pendapatan
visa.
Sejauh
ini,
keimgrasian merupakan salah satu
lembaga untuk menjaga kedaulatan
negara dengan memberikan kontrol atas
arus barang dan orang. Namun, ketika
visa tunggal diterapkan bisa saja akan
terjadi mispersepsi sesama anggota,
mengingat bahwa tidak semua negara
anggota memiliki hubungan diplomatik
dengan negara-negara di dunia (Wali
2014). Ketiga, keamanan dan kejahatan
transnasional merupakan isu keamanan
tradisional yang terus mengalami
perubahan seiring dengan dinamikan
dunia internasional. Ketika visa tungal
ASEAN diterapkan, seluruh negara
ASEAN harus menjamin bahwa kondisi
dalam negeri aman, nyaman dan layak
untuk dikunjungi. Penerapan visa
tunggal, dapat dimanfaatkan oleh
pelaku kejahatan internasional untuk
melakukan aksinya di negara-negara
ASEAN, terlebih mereka keluar masuk
negara-negara ASEAN yang luas secara
bebas. Keempat, infrastruktur dan
aksesibilitas. Sebagai kawasan yang
berkembang,
pembangunan
infrastruktur
transportasi
dan
aksesibilitas menuju destinasi wisata
harus direncanakan dengan baik, serta
didorong
dan
dijalankan
secara
berkesinambungan.
Sebab,
dengan
infrastruktur dan aksesibilitas buruk,
wisatawan
akan
enggan
untuk
berkunjung destinasi wisata meskipun
destinasinya sangat menarik (Wali
2014). Ketika visa tunggal diterapkan,
negara-negara dengan infrastruktur dan
aksesibilitas yang rendah akan kalah
bersaing dengan negara-negara ASEAN
lainnya seperti Singapura, Thailand dan
Malaysia
yang
memiliki
tingkat
infrastruktur tertinggi di ASEAN.
Kebijakan
dan
Strategi
Kementerian
Pariwisata
dan
Ekonomi Kreatif
Pada
umumnya,
pengertian
kebijakan publik berada dalam wilayah
tentang apa yang dilakukan dan tidak
dilakukan oleh pemerintah selaku
pembuat kebijakan (Dye 1982, 3).
Menurut Dye, apabila pemerintah
memilih untuk melakukan sesuatu,
maka tentunya ada tujuannya, karena
kebijakan publik merupakan "tindakan"
pemerintah.
Apabila
pemerintah
memilih untuk tidak melakukan sesuatu,
inipun merupakan kebijakan publik,
yang tentunya ada tujuannya. Joan
Handerson (2008) menyebutkan bahwa
berbicara mengenai pariwisata biasanya
berkaitan dengan kebijakan pemerintah.
Dengan demikian, perencanaan dan
kebijakan formal mengenai pariwisata
dapat
dilihat
dari
pertimbangan
pemerintah (Henderson 2008). Edgell,
dkk (2008) yang mengemukakan bahwa
kebijakan
pariwisata
merupakan
kerangka etis yang terfokus pada isu-isu
yang dihadapi dan mempertemukan
secara efektif keinginan/kebutuhan
masyarakat
dengan
rencana,
pembangunan,
produk,
pelayanan,
pemasaran, serta tujuan dan sasaran
keberlanjutan
bagi
pertumbuhan
pariwisata di masa yang akan datang.
Kepariwisataan
Indonesia
menghadapi
permasalahanpermasalahan seperti kurangnya sarana
dan prasarana yang berkaitan dengan
kepariwisataan, rendahnya kuantitas
dan kualitas sumber daya manusia
(SDM) pariwisata dan kesadaran
masyarakat
setempat,
rendahnya
kesiapan teknologi komunikasi dan
informasi, kebijakan dan peraturan
kepariwisataan yang tidak terintegrasi,
dan
rendahnya
nilai
investasi
kepariwisataan (Kementerian Pariwisata
Repulik Indonesia 2012). Berdasarkan
hal
tersebut,
maka
Kementerian
Pariwisata
dan
Ekonomi
Kreatif
(Kemenparekraf) menyusun Rencana
Strategis Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi
Kreatif
(Renstra
Kemenparekraf 2010 – 2014) yang
memuat visi, misi, nilai-nilai, penilaian
dan kajian lingkungan eksternal dan
internal, tujuan, sasaran dan faktor
kunci keberhasilan, serta strategi
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif dari tahun 2010 sampai dengan
2014 (Kementerian Pariwisata Repulik
Indonesia 2012, 1). Terdapat sebelas
arah
kebijakan
dan
strategi
pembangunan dan ekonomi kreatif,
yaitu: (1) penguatan sinergitas dan
keterpaduan pemasaran dan promosi
lokasi destinasi pariwisata antar instansi
pemerintah, (2) penguatan sinergitas
dan keterpaduan pemasaran dan
promosi lokasi destinasi pariwisata
antar instansi pemerintah dengan dunia
usaha dan masyarakat, (3) peningkatan
kualitas daerah tujuan wisata, (4)
menciptakan iklim yang kondusif bagi
pengembangan industri pariwisata, (5)
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 1, Februari 2016
265
Lady Amalia
penguatan sumber daya manusia dan
teknologi
ekonomi
kreatif,
(6)
penguatan
industri
kreatif,
(7)
peningkatan akses pembiayaan bagi
industri kreatif, (8) peningkatan
apresiasi dan akses pasar di dalam dan
luar negeri bagi industri kreatif, (9)
penguatan institusi bagi ekonomi
kreatif, (10) peningkatan kualitas
penelitian kebijakan dan kapasitas
sumber daya manusia (SDM) Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif, dan (11)
penguatan
Reformasi
Birokrasi
(Kementerian
Pariwisata
Republik
Indonesia 2012, 131-132).
Dalam
rencana
strategisnya,
Kemenparekraf
juga
menyusun
program-program prioritas seperti:
pengembangan destinasi pariwisata;
pengembangan pemasaran pariwisata
domestik; pengembangan ekonomi
kreatif berbasis seni dan budaya;
pengembangan ekonomi kreatif berbasis
media, desain, dan ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek); pengembangan
sumber daya pariwisata dan ekonomi
kreatif; pengawasan dan peningkatan
akuntabilitas aparatur kementerian; dan
dukungan manajemen dan pelaksanaan
tugas teknis lainnya (Kementerian
Pariwisata Repulik Indonesia 2012, 133142).
Kesimpulan
Meskipun sudah ada ASEAN
Tourism Strategic Plan 2011-2015 (ATSP
2011-2015) sebagai strategi peningkatan
pariwisata
negara-negara
ASEAN,
namun realitanya tidak ada peningkatan
yang
signifikan
bagi
pariwisata
Indonesia. Hal ini dikarenakan oleh
beberapa hal. Pertama, yaitu bahwa isi
dari ASEAN Tourism Strategic Plan
2011-2015 (ATSP 2011-2015) tidak
sesuai
dengan
permasalahanpermasalahan
kepariwisataan
Indonesia. Di dalam ATSP 2011-2015,
dibahas
mengenai
pengembangan
produk regional eksperensial dan
pemasaran kreatif, peningkatan kualitas
pelayanan dan sumber daya manusia di
kawasan,
serta
peningkatan
dan
percepatan fasilitasi perjalanan dan
konektivitas ASEAN yakni dengan
adanya single visa di kawasan ASEAN).
Sementara
itu,
permasalahanpermasalahan dalam kepariwisataan
Indonesia lebih bersifat domestik,
266
seperti kurangnya sarana dan prasarana
yang berkaitan dengan kepariwisataan,
rendahnya kuantitas dan kualitas
sumber daya manusia (SDM) pariwisata
dan kesadaran masyarakat setempat,
rendahnya
kesiapan
teknologi
komunikasi dan informasi (ICT), serta
kebijakan dan peraturan kepariwisataan
yang tidak terintegrasi. Oleh karena itu,
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif
(Kemenparekraf)
mempertimbangkan
arahan-arahan
kebijakan strategis kepariwisataannya
sendiri tanpa berpedoman pada ATSP
2011-2015.
Kedua,
Kementerian
Pariwisata
dan
Ekonomi
Kreatif
memiliki program prioritasnya sendiri
dalam
rangka
meningkatkan
pariwisatanya yang kemudian membuat
Indonesia lebih berfokus pada programprogram prioritas ini sehingga tidak
mematuhi isi dari ASEAN Tourism
Strategic Plan 2011-2015. Ketiga,
kapabilitas Indonesia dalam mematuhi
arahan strategis yang terkandung dalam
ATSP 2011-2015 masih terbatas. Hal ini
bisa dilihat dari kendala-kendala yang
mungkin dihadapi dari ketiga arahan
strategis. Kendala pada arahan strategis
1 yaitu meskipun Indonesia sudah
memiliki portal website pariwisata yang
memadai dan terhubung dengan website
pariwisata ASEAN, akan tetapi dari segi
konten atau isinya masih sederhana.
Permasalahan e-tourism di Indonesia
adalah
bahwa
pengembangan
kepariwisataan Indonesia masih belum
terpadu dan memiliki akses terbatas
pada lingkup nasional. Selain itu, sarana
penunjang dari kegiatan Multi-country
Packages, yakni jalur penerbangan antar
negara ASEAN masih terbatas. Kendala
pada arahan strategis 2 yaitu terhitung
hanya 10 hotel di Indonesia yang
memperoleh sertifikat Green Hotel
Standard dari ASEAN. Selain itu, dalam
rangka
Mutual
Recognition
on
Agreement
(MRA)
Profesional
Pariwisata ASEAN, kesadaran sumber
daya
manusia
(SDM)
pariwisata
Indonesia masih rendah, sehingga
masih banyak yang tidak tesertifikasi.
Kendala pada arahan strategis 3 yaitu
dengan diajukannya visa tunggal untuk
regional ASEAN, Indonesia tidak siap
dalam
menghadapi
konsekuensikonsekuensi seperti kedaulatan dan
lintas batas, teknis keimigrasian dan
transparansi pemasukan visa, keamanan
dan kejahatan transnasional, dan
infrastruktur dan aksesibilitas, serta
kerugian biro
perjalanan wisata.
Nama Penulis
DaftarPustaka
Buku dan Artikel dalam Buku
[1] Edgell, Sr., et.al. 2008. Tourism Policy and
Planning: Yesterday, Today, and Tomorrow
Amsterdam: Elsevie.
[2] Hennida, Citra. 2015 Rezim & Organisasi
Internasional: Interaksi Negara, Kedaulatan,
dan Institusi Multilateral. Malang: Intrans
Publishing.
[3] Neuman, Lawrence. 1997. Metode Penelitian
Sosial. Madison: University of Wisconsin.
[4] Pendit, Ny. S. 1990. Ilmu Pariwisata, Sebuah
Pengantar Perdana. Jakarta: PT Padnya
Paramita.
[5] Shavelson & Towne. 2005. “Chapter 1: A
(Very) Brief Refresher on the Case Study
Method,” dalam Robert K. Yin, Applications
of Case Study Research. New York: SAGE
Publications Inc.
Jurnal dan Jurnal Online
[6] Chayes, Abram, dan Antonia Chayes. 1993.
“On Compliance”. International
Organization, 47 No. 2, 175-205.
[7] Dye, R. 1982. “Teori dan Konsep Kebijakan
Publik”. Kebijakan Publik yang Membumi,
Konsep, Strategi dan Kasus.
[8] Lumaksono, A., et.al. 2012. “Dampak
Ekonomi Pariwisata Internasional pada
Perekonomian Indonesia” Forum
Pascasarjana, 35 No. 1, 53-68.
[9] World Tourism Organization. 2014. “The
Impact of Visa Facilitation in ASEAN
Member States” UNWTO, 8-11.
[10] Young, O. 1982. “Regime Dynamics: The
Rise and Fall of International Regimes”,
International Organization.
Artikel Online
[11] ASEAN. 2011. ASEAN Tourism Strategic
Plan 2011-2015. [online] dalam
http://www.asean.org/resources/item/aseantourism-strategic-plan-2011-2015-2 [diakses
8 Juni 2015]
[12] ASEAN. 2011. ASEAN Tourism Standard
Book [online] dalam
http://www.asean.org/images/2012/Economi
c/MATM/document/ASEAN%20Tourism%
20Standards%20Book.pdf [diakses 8 Juni
2015]
[13] ASEAN. 2013. ASEAN Starts Promoting
Experential and Creative Tourism [online]
dalam http://www.asean.org/news/aseansecretariat-news/item/asean-startspromoting-experiential-and-creative-tourism
[diakses pada 3 Desember 2015]
[14] ASEAN Tourism. 2010. About ASEAN
Tourism [online] dalam
http://www.aseantourism.travel/content/abou
t-asean-tourism [diakses 20 Juli 2015]
[15] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
2014. Integrasi Transportasi Udara ASEAN
Perlu Pertimbangan „Benefit‟ Bagi RI
[online] dalam
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/fil
e?file=digital/blob/F1955/Integrasi%20Tran
267
sportasi%20Udara%20ASEAN%20Perlu%2
0Pertimbangkan.htm [diakses 14 Desember
2015]
[16] Badan Pusat Statistik. 2014. Jumlah
Kedatangan Wisatawan Mancanegara ke
Indonesia Menurut Negara Tempat Tinggal,
2002-2014 [online] dalam
http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/i
d/1388 [diakses 15 September 2015]
[17] Henderson, J.C. 2008. The Politics of
Tourism: A Perspective from the Maldives
[online] dalam http://mpra.ub.unimuenchen.de/25378/ [diakses 10 November
2015]
[18] Kementerian Pariwisata Republik Indonesia.
2012. Rencana Strategis Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2012-2014
[online] dalam
http://www.kemenpar.go.id/userfiles/file/RE
NSTRA_FINAL_all_29juni2012.pdf
[diakses 27 Oktober 2015]
[19] Kementerian Sekretarian Negara Republik
Indonesia. n.d. Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2009 [online] dalam
http://www.setneg.go.id//index.php?option=
com_
perundangan&id=2189&task=detail&catid=
1&Itemid=42&tahun=2009 [diakses 24 Juli
2015]
[20] Kompas. 2015. Hotel “Hijau” Indonesia Ini
Bakal Tampil di Tingkat ASEAN [online]
dalam
http://travel.kompas.com/read/2015/10/06/2
00400227/10.Hotel.
Hijau.Indonesia.Ini.Bakal.Tampil.di.Tingkat
.ASEAN [diakses 30 November 2015]
[21] Viray, Patricia Lourdes. 2014. ASEAN
Single Visa Scheme Sought. [online] dalam
http://www.philstar.com/headlines/2014/10/
13/1379742/asean-single-visa-schemesought [diakses 1 Desember 2015]
Lain – Lain
[22] Rasulong, Wahyuni. 2012. ASEAN Tourism
Forum dan Peningkatan Pariwisata
Indonesia, Thailand, dan Brunei
Darussalam. Skripsi Sarjana. Makassar:
Departemen Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin.
Wali, Taufik. 2012. Kerja Sama Pariwisata
ASEAN: Telaah atas Strategic Direction ke3 dari ASEAN Tourism Strategic Plan 20112015. Tesis Magister. Yogyakarta:
Departemen Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada.
Download