Efektivitas ASEAN Tourism Strategic Plan 20112015 di Indonesia Lady Amalia D.A.P Departemen Hubungan Internasional, FakultasIlmuSosialdanIlmuPolitik, UniversitasAirlangga Email: [email protected] Abstract Sektor pariwisata telah lama menjadi perhatian negara-negara anggota ASEAN, sehingga melakukan kerjasama pariwisata dan dibentuklah ASEAN Tourism Forum (ATF). Forum ini telah melakukan serangkaian pertemuan dimana pada tahun 2011 menetapkan menetapkan ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015 (ATSP 2011-2015). Berbagai strategi untuk meningkatkan kerjasama ini telah digariskan di dalamnya, antara lain berisi tentang prinsip, arahan, dan standar pariwisata bagi semua negara anggota, tidak terkecuali Indonesia. Mengacu pada ATSP 2011-2015, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah merumuskan dan melaksanakan berbagai program tersebut. Penelitian ini mengkaji adakah peningkatan secara signifikan program tersebut dengan perkembangan pariwisata Indonesia? Melalui teori efektivitas dan kepatuhan dalam rezim internasional, ditemukan bahwa ATSP 2011-2015 tidak efektif dalam perkembangan pariwisata Indonesia karena tidak adanya sinkronisasi antara permasalahanpermasalahan kepariwisataan Indonesia dengan arahan strategi di dalam ATSP 2011-2015. Selain itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah memiliki program-program prioritasnya sendiri untuk meningkatkan pariwisata Indonesia. Lebih lanjut lagi, tidak adanya ikatan yang memaksa bagi negara-negara anggota ATSP 2011-2015 membuat Indonesia tidak mematuhi ATSP 2011-2015. KataKunci: ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015 (ATSP 2011-2015), arahan strategis, pariwisata Indonesia, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Pariwisata menjadi salah satu faktor dalam pembangunan ekonomi suatu negara, tidak terkecuali negara-negara ASEAN (Association of South East Asian Nations). Negara-negara Asia Tenggara memiliki potensi wisata yang beragam, mulai dari budaya, lanskap, flora dan fauna, kuliner, kerajinan, hiburan, dan pusat perbelanjaan. Selain itu, wisatawan yang datang ke negaranegara ASEAN dapat menikmati tempat wisata seperti monumen budaya, ikon kota (landmark), dan berbagai bangunan bersejarah (ASEAN Tourism 2014). Potensi-potensi inilah yang bisa dijadikan negara-negara ASEAN untuk melakukan kerjasama dalam industri pariwisata dengan tujuan untuk 258 meningkatkan pariwisata masingmasing negara anggota dan ASEAN pada umumnya. Salah satu upaya ASEAN untuk meningkatkan kerjasama di industri pariwisata adalah dengan dibentuknya ASEAN Tourism Forum (ATF) pada tahun 1981 di Malaysia. Perkembangan kerjasama pariwisata di kawasan ASEAN mengacu pada Roadmap for Integration of Tourism Sector (RITS) yang dimulai pada tahun 2004 dan berakhir pada tahun 2010. Dengan berakhirnya RITS, ASEAN menyusun rencana strategi baru yang disebut dengan ASEAN Tourism Strategic Plan (ATSP) 2011-2015 dalam rangka menuju Efektifitas ASEAN Tourism integrasi ekonomi wilayah Asia Tenggara seperti yang tercantum dalam program ASEAN Economic Community (AEC) 2015, sektor pariwisata semakin menjadi perhatian serius oleh negaranegara anggota. Namun begitu, sekalipun telah ditetapkannya ASEAN Tourism Strategic Plan (ATSP) 20112015, ternyata tidak membawa dampak signifikan pada peningkatan pariwisata Indonesia. Tulisan ini membahas tentang mengapa peningkatan jumlah wisatawan mancanegara di Indonesia tidak signifikan sekalipun telah adanya ASEAN Tourism Strategic Plan (ATSP) 2011-2015. Kerjasama Pariwisata ASEAN: ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015 Menjelang abad ke-21, negaranegara anggota ASEAN bersepakat untuk mengembangkan suatu kawasan yang terintegrasi dengan membentuk suatu komunitas negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling peduli, dan diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis pada tahun 2020. Harapan tersebut dituangkan dalam Visi ASEAN 2020 yang ditetapkan oleh para Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan negara-negara anggota ASEAN pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 15 Desember 1997. Selanjutnya, untuk merealisasikan harapan tersebut, ASEAN mengesahkann Bali Concord II pada KTT ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003 yang menyepakati pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang terdiri dari tiga pilar, yaitu Komunitas Politik-Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community/APSC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC), dan Komunitas Sosial Budaya (ASEAN Sosio-Cultural Community/ASCC). Upaya kesepakatan pembentukan Komunitas ASEAN semakin kuat dengan ditandatanganinya Deklarasi Cebu mengenai Percepatan Pembentukan Komunitas ASEAN pada Tahun 2015 (Cebu Declaration on the Acceleration of the Establihsment of an ASEAN Community by 2015) oleh para pemimpin ASEAN yang diselenggarakan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-12 ASEAN di Cebu, Filipina, tanggal 13 Januari 2007. Dengan ditandantanganiniya Deklarasi tersebut, para pemimpin ASEAN menyepakati percepatan pembentukan Komunitas ASEAN yang awalnya pada tahun 2020 menjadi tahun 2015 (Dirjen ASEAN t.t, 4-5). Pariwisata merupakan satu bagian dari salah satu pilar Komunitas ASEAN, yakni Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC). Pariwisata memiliki peran dalam pembangunan ekonomi suatu negara serta sebagai integrasi sosial dan budaya karena melalui pariwisatalah, negaranegara di kawasan Asia Tenggara bisa memperlihatkan keragaman dan kekayaan dan budaya-budaya dan masyarakatnya. Sadar akan keindahan alam dan keragaman budaya serta memiliki keunggulan kompetitif yang luar biasa di sektor ini, Indonesia dan sembilan negara anggota ASEAN lainnya melakukan kerjasama untuk meningkatkan kualitas pariwisata, meskipun di sisi lain juga saling berlomba untuk menarik wisatawan mancanegara ke negara masing-masing. Untuk meningkatkan pariwisata ASEAN, para Menteri Pariwisata ASEAN berupaya untuk meningkatkan industri pariwisata dengan dasar bahwa integrasi kawasan sangatlah penting. Mereka memiliki satu pandangan bahwa upaya untuk meningkatkan pariwisata di negara masing-masing akan lebih efektif di bawah satu payung organisasi. Kerjasama pariwiasta ASEAN dijalankan dengan kesadaran bersama bahwa untuk menjadikan kawasan Asia Tenggara yang terintegrasi dan bebas hambatan, dibutuhkan satu kerangka tersendiri yang kelak akan memayungi kepentingan masing-masing negara di sektor pariwisata. Oleh karena itu, negara-negara ASEAN sepakat untuk membentuk suatu forum yang bisa dimanfaatkan sebagai wadah untuk saling bertukar informasi dan ide mengenai pariwisata masing-masing negara anggota, yang disebut dengan ASEAN Tourism Forum (ATF). Adapun tujuan dari ATF adalah untuk: 1) mempromosikan ASEAN sebagai tujuan yang atraktif dan tujuan tunggal wisatawan; 2) menciptakan dan meningkatkan kesadaran bahwa ASEAN sebagai kawasan tujuan turis yang kompetitif di Asia Pasifik; 3) menarik Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 1, Februari 2016 259 Lady Amalia lebih banyak turis ke masing-masing negara anggota ASEAN atau kombinasi antranegara; 4) mempromosikan perjalanan turis internal ASEAN; dan 5) memperkuat kerjasama antar sektor dalam industri pariwisata ASEAN. berkelanjutan dan terintegrasi. ATSP dibentuk untuk mengidentifikasi lebih banyak lagi mengenai faktor, pengaruh, dan proses yang kelak akan mempengaruhi pengembangan pariwisata ASEAN. Pertemuan Menteri Pariwisata ASEAN (M-ATM) yang diadakan di Phnom Penh, Kamboja, pada tahun 2011 menyepakati strategi khusus di bidang pariwisata yang akan diterapkan oleh masing-masing negara, yakni ASEAN Tourism Strategic Plan (ATSP) 20112015. Negara-negara anggota ASEAN menempatkan pariwisata sebagai sektor yang penting dan harus diberikan perhatian khusus. Diharapkan dalam perkembangannya, pariwisata ASEAN dapat membantu meningkatkan perekonomian masing-masing anggota serta sebagai penopang dalam Komunitas ASEAN 2015. ASEAN Tourism Strategic Plan (ATSP) 20112015 merupakan strategi ASEAN untuk meningkatkan jumlah pengunjung ke kawasan Asia Tenggara: Adapun visi ATSP 2011-2015 yaitu, pada tahun 2015 ASEAN akan mengalami peningkatan jumlah pengunjung ke wilayah tersebut dengan otentik dan beragam produk, peningkatan konektivitas, dan lingkungan yang aman, peningkatan kualitas layanan, peningkatan kulaitas hidup dan kesempatan bagi masyarakat melalui kerjasama yang efektif dengan berbagai pemangku kepentingan. Berdasarkan visi tersebut, maka dikembangkan tiga arahan strategis di dalam penetapan ATSP, yang bisa dilihat pada tabel 2.1: Tabel 2.1:Arahan dan Aksi Strategis ATSP “By 2015, ASEAN will provide an increasing number of visitors to the region with authentic and diverse products, enhanced connectivity, a safe and secure environment, increased quality of services, while at the same time ensuring an increased quality of life and opportunities for residents through responsible and sustainable tourism development by working effectively with a wide range of stakeholders” Dalam pertemuan ATF 2010 di Brunei Darussalam, dihasilkan enam prinsip yang akan membantu mengarahkan perkembangan ATSP, yaitu: (1) Perkembangan Pariwisata yang Terintegrasi dan Terstruktur (Integrated and Structured Tourism Development); (2) Perkembangan yang Berkelanjutan dan Bertanggung Jawab (Sustainable and Responsible Development); (3) Kolaborasi yang Luas Antara Pemangku Kepentingan (Wide Ranging Stakeholder Collaboration); (4) ProdukProduk Pariwisata yang Berkualitas (Quality Tourism Products); (5) Pelayanan yang Unggul (Service Excellence); dan (6) Pengalaman yang Khas dan Interaktif (Distinctive and Interactive Experiences) (ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015 2011¸ 8). Keenam prinsip tersebut menggambarkan tentang kehendak untuk pembangunan pariwisata yang 260 Sumber: Pada arahan strategis pertama, penciptaan pengalaman mengenai produk-produk inovatif regional dan pemasaran kreatif serta strategi investasi terdiri dari tiga macam arahan strategis (ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015 2011, 31-34). Pertama, mengembangkan dan menerapkan strategi pemasaran pariwisata untuk wilayah ASEAN dengan rangkaian kegiatan: menciptakan strategi pemasaran pariwisata ASEAN yang akan menciptakan merk, target pasar, strategi komunikasi, pendekatan distribusi, dan pengimplementasian; dan menciptakan kelompok penelitian pasar untuk Efektifitas ASEAN Tourism menyediakan informasi analisis mengenai tren dan situasi pariwisata pada basis reguler. Kedua, mengembangkan kawasan dan subkawasan yang kreatif dan eksperensial dengan strategi investasi dengan mengembangkan paket untuk koridor regional, lingkungan, dan pariwisata alam, pariwisata warisan dan budaya, serta pariwisata yang berbasis komunitas. Selain itu bekerjasama dengan Komite Koordinasi Investasi (CCI) dan Komite Koordinasi Jasa (CCS) dalam mengurangi hambatan dan mendorong investasi di bidang pengembangan produk. Ketiga, bekerja sama dengan badan-badan ASEAN lainnya untuk memperluas konektivitas melalui jalur udara, air, kereta api, dan transportasi darat dengan cara: menciptakan aturan program untuk mempublikasikan dan mempromosikan tujuan dan kegiatan ASEAN NTOs; menciptakan aturan dan prosedur untuk bekerjasama dengan dialogue partners untuk mendukung pengimplementasian ATSP; menciptakan aturan dan prosedur untuk bekerjasama dengan organisasi internasional untuk mendukung pengimplementasian ATSP; dan menciptakan sistem komunikasi dan aturan untuk berkomunikasi dengan stakeholders swasta esensial. Arahan Strategis kedua dalam ATSP 2011-2015 meliputi peningkatan kualitas dari sumber daya manusia, pelayanan, dan fasilitas di kawasan, yang terdiri dari tiga macam arahan strategis (ASEAN Tourism Strategic Plan 20112015 2011, 34-36). Pertama, mengembangkan seperangkat standar pariwisata ASEAN dengan proses sertifikasi. Terdapat enam Standar Pariwisata ASEAN, yaitu: Green Hotel, Food and Beverage Services, Public Restroom, Homestay, Ecotourism, dan Tourism Heritage (ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015 2011, 34). Kedua, melaksanakan Mutual Recognition Agreement (MRA) pada Pariwisata ASEAN Profesional dengan strategic actions sebagai berikut: 1) Membentuk sarana dan mengimplementasikan program pengembangan sumber daya manusia untuk divisi house keeping; 2) Membentuk sarana dan mengimplementasikan program pengembangan sumber daya manusia untuk front office, pelayanan makanan dan minuman, produksi makanan, travel agent, dan divisi pengoperasian wisata; dan 3) Membentuk sarana untuk mengawasi situasi tenaga kerja pariwisata di setiap negara anggota ASEAN yang akan mendukung pengimplementasian Mutual Recognition Arrangement (MRA) pada Tourism professionals. Ketiga, memberikan kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengembangan dengan stategic actions sebagai berikut: 1) Menciptakan aturan dan prosedur untuk program pengembangan kapasitas bangunan; dan 2) Membentuk rencana pengembangan sumber daya manusia tahunan berdasarkan prioritas regional. Arahan Strategis ketiga dalam ATSP 2011-2015 meliputi peningkatan dan percepatan fasilitasi perjalanan dan konektivitas di kawasan ASEAN yang terdiri dari dua macam arahan strategis yaitu mengajukan visa tunggal dan bekerja sama dengan badan-badan ASEAN lainnya untuk memperluas konektivitas (ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015 2011, 36-37). Young (1982) menawarkan tiga macam orders dalam menganalisis isi dari rezim-rezim internasional. Pertama, spontaneous order dimana menurut Hayek (1973 dalam Young 1982) merupakan produk aksi dari banyak manusia tetapi bukan merupakan hasil dari desain manusia. Di dalam spontaneous order tidak dilibatkan kesadaran koordinasi antar anggota, tidak memerlukan izin eksplisit pada bagian dari subjek atau subjek protektif, dan resisten terhadap usaha pada rekayasa sosial (Young 1982, 289). Kedua, imposed order dimana ada kekuatan dominan atau persetujuan dari kekuatan yang dominan untuk perkembangan rezim. Imposed order sendiri dibentuk oleh kekuatan dominan yang berhasil menyesuaikan anggotanya terhadap persyaratan tertentu melalui kombinasi dari koersi, kooptasi, dan manipulasi insentif (Young 1982). Ketiga, yang digunakan dalam penelitian ini, yakni negotiated order dimana ada usaha secara sadar untuk menyetujui ketentuan utama, izin eksplisit pada bagian dari masing-masing peserta, dan menghasilkan ekspresi formal. Ada dua bentuk negotiated order, yaitu constitutional contract yang merupakan pelibatan secara langsung pada proses negosiasi; dan legislative bargains dimana tidak terlibat langsung dalam proses negosiasi. Keduanya menempatkan aktor sebagai subjek. Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 1, Februari 2016 261 Lady Amalia Walaupun di dalam negotiated order ini terlihat lebih adil, karena setiap aktor memiliki hak untuk berpendapat dan pasti akan diwujudkan satu per satu, tetapi tetap saja negotiated order memiliki dua kekurangan, yaitu hasil dari negotiated order akan memiliki efek yang kecil kecuali konsep dan persyaratannya sudah tertanam dalam rutinitas tingkah laku dari para peserta. Selain itu, institusi internasional dapat memiliki otoritas sentral yang kuat dan tanggung jawab operasi yang signifikan. Namun di sisi lain, terkadang sebuah institusi internasional tidaklah lebih dari sekedar forum untuk konsultasi dan berbagi informasi (Young 1982). Terdapat tiga pandangan untuk menjelaskan transmisi informasi, yaitu tradisionalis, konstruktivis, dan informasi strategik. Dalam penelitian ini, penulis akan memakai pandangan tradisionalis. Tradisionalis berpendapat bahwa negara berperilaku berdasarkan pada kepentingannya. Oleh karena itu, kemampuan memaksa organisasi internasional adalah lemah dan keputusan organisasi internasional cukup dianggap sebagai cheap talk (Hennida 2015, 166). Dalam hal ini, ATSP 2011-2015 merupakan hasil dari pertemuan negara-negara anggota untuk saling bertukar informasi mengenai parwisata pada ASEAN Tourism Forum 2010 yang diselenggarakan di Brunei Darussalam. ASEAN Tourism Strategic Planning 2011-2015 yang merupakan blueprint rencana arahan strategis dan tidak memiliki legitimasi yang kuat untuk memaksa negara anggotanya untuk mematuhi dan menjalankan arahanarahan strategisnya. Problematika ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015 di Indonesia Meningkatnya jumlah wisatawan di kawasan ASEAN berarti juga terjadi peningkatan wisatawan di negaranegara ASEAN, tidak terkecuali di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka harus dilihat apakah arahan-arahan strategis yang terkandung di dalam ATSP 2011-2015 dapat diimplementasikan di Indonesia dengan melihat kendala-kendala dalam kepariwisataan Indonesia. Di Indonesia, sektor pariwisata merupakan salah satu 262 sektor yang memberikan sumbangan yang tinggi terhadap perolehan devisa negara. Aktivitas pariwisata merupakan salah satu bentuk ekspor perdagangan jasa, dimana sektor pariwisata merupakan satu-satunya sektor yang secara konstan memberikan kontribusi positif dalam neraca perdagangan jasa Indonesia (Lumaksono 2012, 53-68). Sektor pariwisata juga merupakan satusatunya sektor jasa yang termasuk dalam sepuluh komoditas ekspor dengan kontribusi terbesar terhadap penerimaan devisa negara. Selain sebagai penghasil devisa negara, sektor pariwisata juga berkontribusi pada beberapa indikator makro ekonomi di suatu negara. Menurut Kemenparekraf, sektor pariwisata berpengaruh terhadap lima indikator makro ekonomi, yaitu: produksi barang yang berkontribusi terhadap jumlah produksi nasional; nilai tambah sektoral yang berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB); upah dan gaji yang berkontribusi terhadap tingkat upah nasional; penciptaan pajak yang berkontribusi terhadap total pajak nasional; dan penciptaan kesempatan kerja yang berkontribusi terhadap jumlah lapangan kerja nasional (Kemenparekraf 2012). Besarnya sumbangan sektor pariwisata terhadap devisa negara dan indikatorindikator makro ekonomi terutama dipengaruhi oleh besarnya permintaan pada sektor pariwisata itu sendiri. Terlepas dari potensi pariwisatanya, kepariwisataan Indonesia memiliki dua macam tantangan. Secara eksternal, tantangan tersebut dihadapkan pada semakin ketatnya persaingan antarnegara, khususnya negara-negara sesama anggota ASEAN, dalam menciptakan destinasi pariwisata yang mampu mendatangkan wisatawan dan investor, serta semakin pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Secara internal, pengembangan kepariwisataan Indonesia masih mengalami kendala, khususnya terkait dengan pengembangan industri, pengembangan destinasi wisata, perluasan dan penetrasi pasar wisata di dalam dan luar negeri, penguatan kelembagaan dan investasi kepariwisataan, serta pengembangan sumber daya kepariwisataan (Kementerian Pariwisata Republik Indonesia 2012, 70-74). Pertanyaan mendasar mengenai sebuah institusi internasional ada dua, yakni sampai sejauh mana sebuah institusi Efektifitas ASEAN Tourism efektif dan sampai sejauh mana institusi memiliki independensi. Efektivitas berbicara mengenai hal-hal yang statis, sedangkan independensi berbicara mengenai hal-hal yang dinamis. Efektivitas rezim menyangkut dua hal yang saling tumpang tindih (Underdal 1992 dan Young 1994 dalam Hennida 2015, 169-170). Pertama, rezim menjadi efektif ketika anggotanya patuh terhadap norma dan aturan yang dibuat oleh rezim. Hal ini kaitannya dengan kekuatan rezim. Young (1994) menyebut hal ini sebagai efektivitas rezim dalam model aturan. Kedua, rezim menjadi efektif ketika memenuhi tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelumnya. Young menyebut hal ini sebagai efektivitas rezim dalam model praktek sosial. Kepatuhan dijelaskan oleh Oran Young sebagai berikut: “compliance can be said to occur when the actual behavior of a given subject conforms to prescribed behavior, and non-compliance or violation occurs when actual behavior departs significantly from prescribed behavior” Dari sini dapat diketahui bahwa kepatuhan muncul ketika perilaku nyata seorang subjek sesuai dengan perilaku yang diharapkan. Sebaliknya, ketidakpatuhan muncul ketika perilaku nyata berbeda signifikan dari perilaku yang diharapkan. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa kepatuhan merupakan suatu sikap dimana adanya perilaku individu yang mentaati aturan-aturan yang ditetapkan, tanpa adanya paksaan (Young 1994 dalam Hennida 2015, 171). Chayes dan Chayes menekankan bahwa permasalahan kepatuhan bukan pada ada atau tidak adanya mekanisme pemaksaan, melainkan karena adanya permasalahan pada manajemen (Hennida 2015, 172-174). Permasalahan pada manajemen itu bisa terjadi karena, pertama rezim internasional tersebut mengandung kalimat-kalimat yang ambigu. Ambiguitas terjadi karena terkadang bahasa tidak cukup bisa menjelaskan apa yang dimaksud dengan tepat. Kedua, kurangnya kapasitas baik secara administratif, kemampuan teknis, maupun sumber finansial negara untuk implementasi rezim. Pelaksanaan rezim internasional pada setiap negara anggotanya bisa berbeda tergantung pada kapabilitas birokrasi dan sumber fiskal untuk pendanaan (Hennida 2015, 173). Ketiga, dimensi temporal yakni waktu pada saat rezim tersebut dibentuk dimana halangannya bisa karena kondisi ketika rezim dibentuk dan disepakati, serta adanya agenda dan prioritas pemerintah yang terbatas. Pengembangan industri kepariwisataan di Indonesia menghadapi beberapa masalah utama yang dihadapi, antara lain kurangnya sarana dan prasarana yang berkaitan dengan kepariwisataan, rendahnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) pariwisata dan kesadaran masyarakat setempat, rendahnya kesiapan teknologi komunikasi dan informasi, kebijakan dan peraturan kepariwisataan yang tidak terintegrasi, dan rendahnya nilai investasi kepariwisataan (Kemenpar 2012). Hal-hal ini ternyata tidak sejalan dengan isi dari arahan-arahan strategis ATSP 2011-2015 yang berisikan tentang enam prinsip, yakni: 1) Perkembangan pariwisata yang terstruktur dan terintegrasi; 2) Perkembangan berkelanjutan dan bertanggung jawab; 3) kolaborasi antara para pemangku kepentingan; 4) Produk-produk pariwisata yang berkualitas; 5) Keunggulan pelayanan; dan 6) pengalaman yang khas dan interaktif (ASEAN 2011). Dari sini dapat dilihat bahwa apa yang sedang dihadapi oleh Indonesia dan strategi-strategi yang terdapat dalam ATSP 2011-2015 tidak sinkron, sehingga pemerintah Indonesia tidak mendapat apa yang diharapkan, yakni strategi untuk menghadapi tantangan pariwisata Indonesia, lantas tidak mematuhi isi dari ATSP 2011-2015 di dalam kebijakan kepariwisataannya. Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh kepariwisataan Indonesia membutuhkan kebijakan dan arahanarahan strategis yang tidak dapat ditemukan di dalam arahan-arahan strategis ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015, yang terdiri dari; pengembangan produk regional eksperensial dan pemasaran kreatif dan strategi investasi, peningkatan kualitas pelayanan dan sumber daya manusia (SDM) di kawasan yang berdasarkan pada Standar Pariwisata ASEAN, serta peningkatan dan percepatan fasilitasi perjalanan dan konektivitas ASEAN. Hal ini membuat pemerintah Indonesia tidak patuh terhadap ATSP 2011-2015 dan membuat kebijakan dan arahanarahan strategis yang sesuai dengan Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 1, Februari 2016 263 Lady Amalia permasalahan-permasalahan kepariwisataan Indonesia. Selain itu, dengan melihat permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh kepariwisataan Indonesia, apabila arahan-arahan strategis di dalam ATSP 2011-2015 diterapkan di Indonesia, akan mengalami berbagai macam kendala. Kendala yang dihadapi dalam penerapan arahan strategi 1 adalah kendala dalam mengembangkan dan menerapkan strategi pemasaran pariwisata untuk wilayah ASEAN, yaitu kendala promosi website pariwisata Indonesia dan kendala dalam menciptakan lingkungan paket regional kreatif bersama dengan strategi investasi. Meskipun Indonesia sudah memiliki portal website pariwisata yang memadai dan terhubung dengan website pariwisata ASEAN, akan tetapi dari segi konten atau isinya masih sederhana. Permasalahan e-tourism di Indonesia adalah pengembangan kepariwisataan Indonesia masih belum terpadu dan memiliki akses terbatas pada lingkup nasional (Rasulong 2012, 118). Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan dari Multi-country Packages yaitu jalur penerbangan antara negara ASEAN tidak memadai. Integrasi sektor transportasi udara di tingkat ASEAN perlu mempertimbangkan keuntungannya bagi Indonesia. Keuntungan itu dapat diperoleh jika ada keseimbangan rute atau jalur penerbangan antar bandar udara di negara-negara anggota ASEAN. Tanpa ada keseimbangan itu, jalur-jalur penerbangan domestik di Indonesia sebagai negara kepulauan yang strategis dapat dimanfaatkan oleh negara lain (Bappenas 2014). Kendala yang akan dihadapi kepariwisataan Indonesia dari arahan strategis 2 adalah kendala dalam mengembangkan seperangkat Standar Parwisata ASEAN dengan proses sertifikasi dan kendala dalam melaksanakan MRA pada Profesional Parwisata ASEAN. Kendala dari pelaksanan ASEAN Tourism Standard di Indonesia adalah pada Green Hotel Standard. Hanya 10 hotel di Indonesia yang mampu memperoleh sertifikat Green Hotel Standard dari ASEAN yakni: Manado Golf and Convention Center Hotel, Novotel Bandung Hotel, Santika Premiere Yogyakarta, Jogjakarta Plaza Hotel, Singgasana Hotel Surabaya, Ayodya Resort Bali, Bali Tropic Resort & 264 Spa, Novotel Manado Golf Resort & Convention Center, The Park Lane Jakarta, dan Eastpark Hotel Yogyakarta (Kompas 2015). Sedikitnya hotel di Indonesia yang tesertifikasi Green Hotel tidak terlepas dari belum terpenuhinya persyaratan yang ditentukan ASEAN oleh hotel-hotel yang ada di Indonesia dari berbagai aspek seperti: a) Pelaksanaan manajemen sumber daya di dalam bangunan; b) Pelatihan dan pendidikan; c) Kontrol penggunaan energi, air, dan keperluan hotel; d) Manajemen limbah dan sampah; e) Keselamatan dan keamanan; f) Tingkat pelayanan; dan g) Kegiatan-kegiatan Corporate Social Responsibility (Kompas 2015). Lebih lanjut, s Sertifikasi profesi dalam bidang pariwisata sudah menjadi keharusan untuk menghadapi persaingan dunia kerja di lingkup ASEAN dalam rangka menuju ASEAN Community 2015. Namun begitu, kesadaran sumber daya manusia (SDM) pariwisata Indonesia masih rendah, sehingga masih banyak yang tidak tesertifikasi. Hal ini kemudian berpengaruh pada kualitas pelayanan yang diberikan. Sertifikat kompetensi juga memberikan kebanggaan bagi yang memilikinya, karena membuat lebih percaya diri. Hal ini mengingat pada tataran dunia kerja, dengan memiliki sertifikat kompetensi maka daya tawar akan gaji/upah menjadi berimbang. Bagi pengusaha, memiliki pegawai yang bersertifikat adalah aset dalam persaingan bisnis. Solusi saling menguntungkan seperti ini perlu ditumbuhkan. Namun banyak dari tenaga kerja di bidang pariwisata di Indonesia belum menyadari sepenuhnya hal ini. Kendala yang akan dihadapi oleh kepariwisataan Indonesia dari arahan strategis 3 adalah kendala dalam mengajukan visa tunggal untuk regional ASEAN, yaitu permasalahan pada kedaulatan dan lintas batas, teknis keimigrasian dan transparansi pemasukan visa, keamanan dan kejahatan transnasional, dan infrastruktur dan aksesibilitas, serta kerugian biro perjalanan wisata (Wali 2014). Pertama, kedaulatan dan lintas batas merupakan isu klasik di tataran ASEAN. Kedaulatan menjadi hal yang sangat prinsipil bagi ASEAN, sehingga ketika negara anggota ASEAN berkeinginan untuk menerapkan visa tunggal mau tidak mau harus dihadapkan dengan masalah lintas Efektifitas ASEAN Tourism batas, yang mana lintas batas tersebut merupakan sebuah instrumen dalam kedaulatan. Kedua, permasalahan teknis keimigrasian dan transparansi pendapatan visa. Sejauh ini, keimgrasian merupakan salah satu lembaga untuk menjaga kedaulatan negara dengan memberikan kontrol atas arus barang dan orang. Namun, ketika visa tunggal diterapkan bisa saja akan terjadi mispersepsi sesama anggota, mengingat bahwa tidak semua negara anggota memiliki hubungan diplomatik dengan negara-negara di dunia (Wali 2014). Ketiga, keamanan dan kejahatan transnasional merupakan isu keamanan tradisional yang terus mengalami perubahan seiring dengan dinamikan dunia internasional. Ketika visa tungal ASEAN diterapkan, seluruh negara ASEAN harus menjamin bahwa kondisi dalam negeri aman, nyaman dan layak untuk dikunjungi. Penerapan visa tunggal, dapat dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan internasional untuk melakukan aksinya di negara-negara ASEAN, terlebih mereka keluar masuk negara-negara ASEAN yang luas secara bebas. Keempat, infrastruktur dan aksesibilitas. Sebagai kawasan yang berkembang, pembangunan infrastruktur transportasi dan aksesibilitas menuju destinasi wisata harus direncanakan dengan baik, serta didorong dan dijalankan secara berkesinambungan. Sebab, dengan infrastruktur dan aksesibilitas buruk, wisatawan akan enggan untuk berkunjung destinasi wisata meskipun destinasinya sangat menarik (Wali 2014). Ketika visa tunggal diterapkan, negara-negara dengan infrastruktur dan aksesibilitas yang rendah akan kalah bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Thailand dan Malaysia yang memiliki tingkat infrastruktur tertinggi di ASEAN. Kebijakan dan Strategi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pada umumnya, pengertian kebijakan publik berada dalam wilayah tentang apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan (Dye 1982, 3). Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka tentunya ada tujuannya, karena kebijakan publik merupakan "tindakan" pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu, inipun merupakan kebijakan publik, yang tentunya ada tujuannya. Joan Handerson (2008) menyebutkan bahwa berbicara mengenai pariwisata biasanya berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Dengan demikian, perencanaan dan kebijakan formal mengenai pariwisata dapat dilihat dari pertimbangan pemerintah (Henderson 2008). Edgell, dkk (2008) yang mengemukakan bahwa kebijakan pariwisata merupakan kerangka etis yang terfokus pada isu-isu yang dihadapi dan mempertemukan secara efektif keinginan/kebutuhan masyarakat dengan rencana, pembangunan, produk, pelayanan, pemasaran, serta tujuan dan sasaran keberlanjutan bagi pertumbuhan pariwisata di masa yang akan datang. Kepariwisataan Indonesia menghadapi permasalahanpermasalahan seperti kurangnya sarana dan prasarana yang berkaitan dengan kepariwisataan, rendahnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) pariwisata dan kesadaran masyarakat setempat, rendahnya kesiapan teknologi komunikasi dan informasi, kebijakan dan peraturan kepariwisataan yang tidak terintegrasi, dan rendahnya nilai investasi kepariwisataan (Kementerian Pariwisata Repulik Indonesia 2012). Berdasarkan hal tersebut, maka Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menyusun Rencana Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Renstra Kemenparekraf 2010 – 2014) yang memuat visi, misi, nilai-nilai, penilaian dan kajian lingkungan eksternal dan internal, tujuan, sasaran dan faktor kunci keberhasilan, serta strategi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dari tahun 2010 sampai dengan 2014 (Kementerian Pariwisata Repulik Indonesia 2012, 1). Terdapat sebelas arah kebijakan dan strategi pembangunan dan ekonomi kreatif, yaitu: (1) penguatan sinergitas dan keterpaduan pemasaran dan promosi lokasi destinasi pariwisata antar instansi pemerintah, (2) penguatan sinergitas dan keterpaduan pemasaran dan promosi lokasi destinasi pariwisata antar instansi pemerintah dengan dunia usaha dan masyarakat, (3) peningkatan kualitas daerah tujuan wisata, (4) menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan industri pariwisata, (5) Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 1, Februari 2016 265 Lady Amalia penguatan sumber daya manusia dan teknologi ekonomi kreatif, (6) penguatan industri kreatif, (7) peningkatan akses pembiayaan bagi industri kreatif, (8) peningkatan apresiasi dan akses pasar di dalam dan luar negeri bagi industri kreatif, (9) penguatan institusi bagi ekonomi kreatif, (10) peningkatan kualitas penelitian kebijakan dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan (11) penguatan Reformasi Birokrasi (Kementerian Pariwisata Republik Indonesia 2012, 131-132). Dalam rencana strategisnya, Kemenparekraf juga menyusun program-program prioritas seperti: pengembangan destinasi pariwisata; pengembangan pemasaran pariwisata domestik; pengembangan ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya; pengembangan ekonomi kreatif berbasis media, desain, dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek); pengembangan sumber daya pariwisata dan ekonomi kreatif; pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur kementerian; dan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya (Kementerian Pariwisata Repulik Indonesia 2012, 133142). Kesimpulan Meskipun sudah ada ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015 (ATSP 2011-2015) sebagai strategi peningkatan pariwisata negara-negara ASEAN, namun realitanya tidak ada peningkatan yang signifikan bagi pariwisata Indonesia. Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal. Pertama, yaitu bahwa isi dari ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015 (ATSP 2011-2015) tidak sesuai dengan permasalahanpermasalahan kepariwisataan Indonesia. Di dalam ATSP 2011-2015, dibahas mengenai pengembangan produk regional eksperensial dan pemasaran kreatif, peningkatan kualitas pelayanan dan sumber daya manusia di kawasan, serta peningkatan dan percepatan fasilitasi perjalanan dan konektivitas ASEAN yakni dengan adanya single visa di kawasan ASEAN). Sementara itu, permasalahanpermasalahan dalam kepariwisataan Indonesia lebih bersifat domestik, 266 seperti kurangnya sarana dan prasarana yang berkaitan dengan kepariwisataan, rendahnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) pariwisata dan kesadaran masyarakat setempat, rendahnya kesiapan teknologi komunikasi dan informasi (ICT), serta kebijakan dan peraturan kepariwisataan yang tidak terintegrasi. Oleh karena itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mempertimbangkan arahan-arahan kebijakan strategis kepariwisataannya sendiri tanpa berpedoman pada ATSP 2011-2015. Kedua, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memiliki program prioritasnya sendiri dalam rangka meningkatkan pariwisatanya yang kemudian membuat Indonesia lebih berfokus pada programprogram prioritas ini sehingga tidak mematuhi isi dari ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015. Ketiga, kapabilitas Indonesia dalam mematuhi arahan strategis yang terkandung dalam ATSP 2011-2015 masih terbatas. Hal ini bisa dilihat dari kendala-kendala yang mungkin dihadapi dari ketiga arahan strategis. Kendala pada arahan strategis 1 yaitu meskipun Indonesia sudah memiliki portal website pariwisata yang memadai dan terhubung dengan website pariwisata ASEAN, akan tetapi dari segi konten atau isinya masih sederhana. Permasalahan e-tourism di Indonesia adalah bahwa pengembangan kepariwisataan Indonesia masih belum terpadu dan memiliki akses terbatas pada lingkup nasional. Selain itu, sarana penunjang dari kegiatan Multi-country Packages, yakni jalur penerbangan antar negara ASEAN masih terbatas. Kendala pada arahan strategis 2 yaitu terhitung hanya 10 hotel di Indonesia yang memperoleh sertifikat Green Hotel Standard dari ASEAN. Selain itu, dalam rangka Mutual Recognition on Agreement (MRA) Profesional Pariwisata ASEAN, kesadaran sumber daya manusia (SDM) pariwisata Indonesia masih rendah, sehingga masih banyak yang tidak tesertifikasi. Kendala pada arahan strategis 3 yaitu dengan diajukannya visa tunggal untuk regional ASEAN, Indonesia tidak siap dalam menghadapi konsekuensikonsekuensi seperti kedaulatan dan lintas batas, teknis keimigrasian dan transparansi pemasukan visa, keamanan dan kejahatan transnasional, dan infrastruktur dan aksesibilitas, serta kerugian biro perjalanan wisata. Nama Penulis DaftarPustaka Buku dan Artikel dalam Buku [1] Edgell, Sr., et.al. 2008. Tourism Policy and Planning: Yesterday, Today, and Tomorrow Amsterdam: Elsevie. [2] Hennida, Citra. 2015 Rezim & Organisasi Internasional: Interaksi Negara, Kedaulatan, dan Institusi Multilateral. Malang: Intrans Publishing. [3] Neuman, Lawrence. 1997. Metode Penelitian Sosial. Madison: University of Wisconsin. [4] Pendit, Ny. S. 1990. Ilmu Pariwisata, Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: PT Padnya Paramita. [5] Shavelson & Towne. 2005. “Chapter 1: A (Very) Brief Refresher on the Case Study Method,” dalam Robert K. Yin, Applications of Case Study Research. New York: SAGE Publications Inc. Jurnal dan Jurnal Online [6] Chayes, Abram, dan Antonia Chayes. 1993. “On Compliance”. International Organization, 47 No. 2, 175-205. [7] Dye, R. 1982. “Teori dan Konsep Kebijakan Publik”. Kebijakan Publik yang Membumi, Konsep, Strategi dan Kasus. [8] Lumaksono, A., et.al. 2012. “Dampak Ekonomi Pariwisata Internasional pada Perekonomian Indonesia” Forum Pascasarjana, 35 No. 1, 53-68. [9] World Tourism Organization. 2014. “The Impact of Visa Facilitation in ASEAN Member States” UNWTO, 8-11. [10] Young, O. 1982. “Regime Dynamics: The Rise and Fall of International Regimes”, International Organization. Artikel Online [11] ASEAN. 2011. ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015. [online] dalam http://www.asean.org/resources/item/aseantourism-strategic-plan-2011-2015-2 [diakses 8 Juni 2015] [12] ASEAN. 2011. ASEAN Tourism Standard Book [online] dalam http://www.asean.org/images/2012/Economi c/MATM/document/ASEAN%20Tourism% 20Standards%20Book.pdf [diakses 8 Juni 2015] [13] ASEAN. 2013. ASEAN Starts Promoting Experential and Creative Tourism [online] dalam http://www.asean.org/news/aseansecretariat-news/item/asean-startspromoting-experiential-and-creative-tourism [diakses pada 3 Desember 2015] [14] ASEAN Tourism. 2010. About ASEAN Tourism [online] dalam http://www.aseantourism.travel/content/abou t-asean-tourism [diakses 20 Juli 2015] [15] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. Integrasi Transportasi Udara ASEAN Perlu Pertimbangan „Benefit‟ Bagi RI [online] dalam http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/fil e?file=digital/blob/F1955/Integrasi%20Tran 267 sportasi%20Udara%20ASEAN%20Perlu%2 0Pertimbangkan.htm [diakses 14 Desember 2015] [16] Badan Pusat Statistik. 2014. Jumlah Kedatangan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia Menurut Negara Tempat Tinggal, 2002-2014 [online] dalam http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/i d/1388 [diakses 15 September 2015] [17] Henderson, J.C. 2008. The Politics of Tourism: A Perspective from the Maldives [online] dalam http://mpra.ub.unimuenchen.de/25378/ [diakses 10 November 2015] [18] Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. 2012. Rencana Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2012-2014 [online] dalam http://www.kemenpar.go.id/userfiles/file/RE NSTRA_FINAL_all_29juni2012.pdf [diakses 27 Oktober 2015] [19] Kementerian Sekretarian Negara Republik Indonesia. n.d. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 [online] dalam http://www.setneg.go.id//index.php?option= com_ perundangan&id=2189&task=detail&catid= 1&Itemid=42&tahun=2009 [diakses 24 Juli 2015] [20] Kompas. 2015. Hotel “Hijau” Indonesia Ini Bakal Tampil di Tingkat ASEAN [online] dalam http://travel.kompas.com/read/2015/10/06/2 00400227/10.Hotel. Hijau.Indonesia.Ini.Bakal.Tampil.di.Tingkat .ASEAN [diakses 30 November 2015] [21] Viray, Patricia Lourdes. 2014. ASEAN Single Visa Scheme Sought. [online] dalam http://www.philstar.com/headlines/2014/10/ 13/1379742/asean-single-visa-schemesought [diakses 1 Desember 2015] Lain – Lain [22] Rasulong, Wahyuni. 2012. ASEAN Tourism Forum dan Peningkatan Pariwisata Indonesia, Thailand, dan Brunei Darussalam. Skripsi Sarjana. Makassar: Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Wali, Taufik. 2012. Kerja Sama Pariwisata ASEAN: Telaah atas Strategic Direction ke3 dari ASEAN Tourism Strategic Plan 20112015. Tesis Magister. Yogyakarta: Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.