forgiveness (memaafkan)

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Memaafkan
2.1.1 Pengertian Memaafkan
Wikipedia (2013) forgiveness (memaafkan) adalah proses menghentikan
atau menolak kebencian, kemarahan akibat perselisihan, pelanggaran yang
dirasakan, atau kesalahan, atau berhenti untuk menuntut hukuman atau ganti rugi.
Enright
mendefinisikan
dan
koleganya
pemaafan
(dalam
adalah
Dayakisni
suatu
&
kesediaan
Hudaniah,
2009)
individu
(yang
disakiti/dilanggar) meninggalkan hak yang dimilikinya untuk membenci, menilai
negatif dan berperilaku tidak peduli kepada orang lain yang telah berlaku tidak
adil, dan sebaliknya lebih mendukung kualitas tentang perasaan kasihan, kebaikan
hati dan bahkan cinta yang semestinya tak diberikan kepada orang telah
menyakitinya. Sedangkan Exline dan Baumeister mendefinisikan pemaafan
adalah pembatalan dari piutang oleh orang yang telah melukai atau berbuat salah.
Kemudian Santrock (2007) mendefinisikan memaafkan (forgiveness)
adalah salah satu aspek perilaku prososial yang terjadi apabila seseorang yang
terluka membebaskan orang yang melukai dari beban kemungkinan untuk
memperoleh hukuman.
McCullough mengkonseptualisasikan forgiveness (memaafkan) adalah
proses perubahan dimana individu berperilaku menjadi lebih positif dan sedikit
negatif terhadap individu yang menyakitinya pada suatu waktu di masa lalu.
7
Orang yang memaafkan yaitu menjadi mengurangi motivasi untuk menghindari
(avoidance motivations), mengurangi motivasi untuk membalas dendam (revenge
motivations)
dan
semakin
meningkatkan
motivasi
untuk
berbuat
baik
(benevolence motivations) terhadap orang yang telah menyakitinya dimasa lalu
(dalam McCullough, Root, Cohen, 2006).
Dari beberapa pendapat ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa
memaafkan adalah suatu kesediaan individu untuk menghilangkan kebencian dan
kemarahan, mengurangi motivasi untuk menghindari, balas dendam yang
kemudian dapat meningkatkan dorongan untuk berbuat baik dengan pihak yang
telah menyakiti.
2.1.2 Indikator-indikator memaafkan
Indikator-indikator memaafkan yang dikemukakan disini merupakan
penjelasan lebih jauh mengenai definisi dari McCullough (dalam McCullough,
Root, Cohen, 2006) yang mencakup kedalam beberapa indikator, yaitu:
a. Avoidance motivations
Semakin mengurangi motivasi untuk menghindari dan membuang
keinginan untuk menjaga jarak dengan orang yang telah menyakiti.
b. Revenge motivations
Semakin mengurangi motivasi untuk membalas dendam terhadap suatu
hubungan dan membuang keinginan untuk balas dendam terhadap orang
yang telah menyakiti.
8
c. Benevolence motivations
Semakin termotivasi untuk berbuat baik dan keinginan untuk berdamai
dengan orang yang menyakiti.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi memaafkan
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa orang yang
memaafkan orang lain lebih tinggi pada faktor agreeableness dari the Big Five
(Mauger, Saxon, Hamill & Pannell, 1996), empati (McCullough dkk, 1997;
Zecbmeister dan Romero, 2002; Macaskil dkk, 2002), atribusi dan penilaian
kekejaman orang yang menyakiti (McCullough dkk, 2003). Proses kepribadian ini
mungkin mempengaruhi pemaafan dengan mempermudah gaya hubungan tertentu
atau kecenderungan orang untuk mengalami beberapa kognisi (atribusi) atau afek
(empati) dalam menanggapi suatu serangan interpersonal atau penyerang
(Dayakisini & Hudaniah, 2009).
Berikut ini dijelaskan secara lebih rinci beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap memaafkan seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas yaitu:
a. Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau
pengalaman orang lain. Kemampuan empati ini erat kaitannya dengan
pengambil alihan peran. Melalui empati terhadap pihak yang menyakiti,
seseorang dapat memahami perasaan pihak yang menyakiti merasa
bersalah dan tertekan akibat perilaku yang menyakitkan. Dengan alasan
itulah beberapa penelitian menunjukkan bahwa empati berpengaruh
terhadap proses pemaafan. Empati juga menjelaskan variabel sosial
psikologis yang mempengaruhi pemberian maaf yaitu permintaan maaf
9
(apologize) dari pihak yang menyakiti. Ketika pelaku meminta maaf
kepada pihak yang disakiti maka hal itu bisa membuat korban lebih
berempati dan kemudian termotivasi untuk memaafkannya.
b. Atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya
Penilaian akan mempengaruhi setiap perilaku individu. Artinya, bahwa
setiap perilaku itu ada penyebabnya dan penilaian dapat mengubah
perilaku individu (termasuk pemaafan) dimasa mendatang. Dibandingkan
dengan orang yang tidak memaafkan pelaku, orang yang memaafkan
cenderung menilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan
kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat dan jujur. Pemaaf pada
umumnya menyimpulkan bahwa pelaku telah merasa bersalah dan tidak
bermaksud meyakiti sehingga ia mencari penyebab lain dari peristiwa
yang menyakitkan itu. Perubahan penilaian terhadap peristiwa yang
menyakitkan ini memberikan reaksi emosi positif yang kemudian akan
memunculkan pemberian maaf terhadap pelaku.
c. Tingkat kelukaan
Beberapa orang menyangkal sakit hati yang mereka rasakan untuk
mengakuinya sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan. Kadang-kadang
rasa sakit membuat mereka takut seperti orang yang dikhianati dan
diperlakukan secara kejam. Mereka merasa takut mengakui sakit hatinya
karena dapat mengakibatkan mereka membenci orang yang sangat
dicintainya, meskipun melukai. Merekapun menggunakan berbagai cara
untuk menyangkal rasa sakit hati mereka. Pada sisi lain, banyak orang
10
yang merasa sakit hati ketika mendapatkan bukti bahwa hubungan
interpersonal yang mereka kira akan bertahan lama ternyata hanya bersifat
sementara. Hal ini sering kali menimbulkan kesedihan yang mendalam.
Ketika hal itu terjadi, maka pemaafan tidak bisa atau sulit terwujudkan.
d. Karakteristik kepribadian
Ciri kepribadian tertentu seperti ekstravert menggambarkan beberapa
karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif. Karakter
yang hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri, menyenangkan, jujur,
dermawan, sopan dan fleksibel juga cenderung menjadi empatik dan
bersahabat. Karakter lain yang diduga berperan adalah cerdas, analitis,
imajinatif,
kreatif,
bersahaja,
dan
sopan. Kemudian Khonstamm
(Ramayulis, 2004) menyatakan bahwa kepribadian sebagai keyakinan.
Orang yang berkepribadian adalah orang yang memiliki keyakinan
terhadap Tuhan. Kecenderungan manusia untuk berbakti kepada Tuhan itu
diwujudkannya dengan melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh
Tuhan, dan menjauhi segala apa yang dilarangnya. Pengabdian diri kepada
Tuhan itu akhirnya melahirkan adanya tingkah laku keagamaan. Orang
yang taat beragama adalah orang yang benar-benar berbakti kepada Tuhan,
menghayati segala bentuk tingkah lakunya.
e. Kualitas hubungan
Seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain dapat dilandasi oleh
komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Ada empat alasan mengapa
kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan dalam
11
hubungan interpersonal. Pertama, pasangan yang mau memaafkan pada
dasarnya mempunyai motivasi yang tinggi untuk menjaga hubungan.
Kedua, dalam hubungan yang erat ada orientasi jangka panjang dalam
menjalin hubungan diantara mereka. Ketiga, dalam kualitas hubungan
yang tinggi kepentingan satu orang dan kepentingan pasangannya
menyatu. Keempat, kualitas hubungan mempunyai orientasi kolektivitas
yang menginginkan pihak-pihak yang terlibat untuk berperilaku yang
memberikan keuntungan diantara mereka.
2.1.4 Memaafkan dalam Islam
Agama-agama dan nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan
masyarakat manusia umumnya meletakkan pemaafan atau pemberian maaf
(forgiveness) ini sebagai salah satu pilar ajarannya. Pemaafan atau pemberian
maaf sendiri berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka didalam hati. Dalam
agama Islam misalnya, Allah memerintahkan manusia untuk memberikan maaf
kepada orang lain.
Forgiveness penting dalam Islam, bahkan salah satu dari nama-nama Allah
(asmaul husna) yaitu Al-Ghafoor yang berarti Maha Pengampun. Allah dan RasulNya, Muhammad, adalah model peran memaafkan dalam Islam. Islam tempat
penting tentang memaafkan individu sehingga seseorang dapat menerima
pengampunan dari Allah atas dosa-dosa sendiri, dan dapat memiliki kebahagiaan
pada kehidupan yang sekarang (Tsang, McCullough & Hoyt, 2005).
Agama Islam merupakan pengusung konsep maaf, tidak sedikit dalil baik
dari Al-Quran maupun hadist yang menganjurkan manusia untuk memberikan
12
maaf kepada sesamanya baik secara lahir maupun batin. Salah satu firman Allah
dalam Al-Quran:
“….dan jika kamu memaafkan dan menghabisi serta mengampuni mereka). Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. AtThagabun: 14)
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
“ Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang yang mengerjakan yang ma’ruf,
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-a’raaf: 199)
Anjuran memaafkan juga terdapat dalam hadist Nabi, yaitu:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa sesungguhnya seorang lelaki
mendatangi Nabi Muhammad saw yang di antara keduanya punya hubungan
hutang-piutang. Lelaki tersebut (menagih Nabi) dengan marah-marah. Para
sahabat (merasa tersinggung dengan perilaku lelaki itu) hendak melakukan
tindakan kepadanya, maka Rasulullah saw bersabda, “Tinggalkan lelaki itu.
Sesungguhnya orang yang memiliki hak lebih berhak berkomentar”, Kemudian
Rasulullah saw bersabda, “Berilah secukupnya seekor unta seperti unta
miliknya” Mereka berkata, “Ya Rasulullah tidak ada unta kecuali yang lebih
bagus dari untanya”, maka Rasulullah bersabda, “Berikanlah kepadanya karena
sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling
bagus dalam membayar hutang”. (H.R. Bukhori)
Dalam hadits tersebut Nabi Muhammad saw tidak merasa tersinggung
karena ulah lelaki yang telah memperlakukan beliau dengan kasar dan
mempermalukannya di depan para sahabatnya. Nabi bahkan memaafkannya
13
dengan memperlakukan lelaki tersebut secara lembut dan membayar hutangnya
dengan bayaran yang nilainya melampaui kewajiban yang harus dibayarnya.
Dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadist Nabi diatas maka dapat disimpulkan
bahwa dianjurkan untuk memberi maaf kepada siapapun orang yang telah
menyakiti. Dengan memaafkan maka akan ada banyak hal positif yang bisa kita
dapat, yaitu kita akan disukai Allah, bila kita memberikan maaf kepada orang
yang telah menyakiti kita, maka balasannya adalah Allah akan mengampuni pula
dosa kita (Yulianti, 2011).
Memaafkan,
disisi
lain
meskipun
terasa
berat,
tetapi
terasa
membahagiakan, sebagai satu bagian dari akhlak terpuji yang menghilangkan
segala dampak merusak dari kemarahan dan membantu orang tersebut menikmati
hidup yang sehat, baik secara lahir maupun batin (Septeria, 2011).
2.2
Religiusitas
2.2.1 Pengertian Religiusitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata religius berarti hal yang
bersifat religi, yaitu hal-hal yang bersifat keagamaan. Sedangkan Menurut Wilcox
(2012) mengatakan bahwa kata “religion” berasal dari bahasa Latin religare yang
berarti kembali (re) dan mengikat bersama (ligare). Kamus sendiri memberikan
banyak definisi yang berbeda-beda, diantaranya: kepercayaan terhadap kekuatan
yang bersifat ketuhanan, ekspresi dari kepercayaan ini, sistem kepercayaan yang
khusus (baik yang bersifat suci maupun profan), jalan hidup dalam menyatakan
rasa cinta dan kepercayaan terhadap Tuhan.
14
Menurut James Martineau (dalam Rakhmat, 2005) agama adalah
kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak
Ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat
manusia.
Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2008) agama adalah sistem
simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan,
yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang
paling maknawi (ultimate meaning). Religiusitas berkaitan erat dengan agama
(religion). Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia.
Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku
ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivias lain yang didorong oleh
kekuatan supranatural.
Sedangkan menurut Dister (dalam Andisti, 2008) religiusitas adalah sikap
batin pribadi (personal) setiap manusia di hadapan Tuhan yang sedikit banyak
merupakan misteri bagi orang lain, yang mencakup totalitas kedalam pribadi
manusia. Sebagai sikap batin, religiusitas tidak dapat dilihat secara langsung
namun bisa tampak dari pengungkapan sikap tersebut.
Selanjutnya
mendefinisikan
menurut
bahwa
Abdul
religiusitas
Mujib
adalah
(dalam
Jauharuddin,
kemampuan
individu
2012)
untuk
menjalankan ajaran agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan
ketakwaan.
Religiusitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah religiusitas agama
Islam yaitu suatu sikap keagamaan dalam diri seseorang yang berkaitan dengan
15
kepercayaan terhadap ajaran-ajaran agama Islam baik didalam hati maupun dalam
ucapan dan kemudian diwujudkan dalam perbuatan dan tingkah laku sehari-hari
dengan berlandaskan keimanan dan ketakwaan.
2.2.2 Dimensi-dimensi Religiusitas
Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2008), ada lima macam
dimensi keberagamaan, yaitu dimensi keyakinan (ideologis), dimensi peribadatan
atau praktek agama (ritualistik), dimensi penghayatan (eksperiensial), dimensi
pengetahuan agama (intelektual), dimensi pengamalan (konsekuensial).
a. Dimensi keyakinan
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui
kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan
seperangkat kepercayaan di mana para penganut diharapkan akan taat.
Dalam agama Islam, dimensi ini disebut dengan dimensi Iman.
b. Dimensi peribadatan atau praktek agama
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang
dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang
dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari ritual dan ketaatan.
Dalam agama Islam, dimensi ini disebut dengan dimensi Islam. Seorang
yang mengaku Islam berarti ia melaksanakan, tunduk, dan patuh serta
berserah diri sepenuh hati terhadap hukum-hukum dan aturan-aturan
Allah.
16
c. Dimensi penghayatan
Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan,
persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami oleh seseorang atau
suatu kelompok keagamaan. Dalam agama Islam, dimensi ini disebut
dengan dimensi Ihsan.
d. Dimensi pengetahuan agama
Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama
paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasardasar keyakinan, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dalam agama Islam,
dimensi ini disebut dengan dimensi Ilmu.
e. Dimensi pengamalan
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan , praktik,
pengalaman, dan pengetahuan seseorang. Dalam agama Islam, dimensi ini
disebut dengan dimensi Amal.
2.2.3 Fungsi Religiusitas
Fungsi religiusitas bagi manusia erat kaitannya dengan fungsi agama.
Ramayulis (2011) mengemukakan fungsi dari agama, yaitu:
1. Berfungsi Edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut
memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama berfungsi
menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini
mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi
17
penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran
agama masing-masing.
2. Berfungsi Penyelamat
Dimanapun manusia berada dia selalu menginginkan dirinya selamat.
Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah
keselamatan dunia dan akhirat.
3. Berfungsi Sebagai Perdamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai
kedamaian batin melalui tuntutan agama.
4. Berfungsi Sebagai Social Control
Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma-norma dalam
kehidupan, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai
pengawas baik secara individu maupun kelompok.
5. Berfungsi Sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki
kesamaan dalam satu kesatuan dalam iman dan kepercayaan. Rasa
kesatuan ini akan menimbulkan rasa solidaritas dalam kelompok maupun
perorangan.
6. Berfungsi Transformatif
Ajaran agama dapat merubah kehidupan seseorang atau kelompok menjadi
kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan
baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama kadangkala mampu
18
mengubah kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan yang dianut
sebelumnya.
2.3
Remaja
2.3.1 Pengertian Remaja
Masa remaja (adolescence) adalah peralihan masa perkembangan yang
berlangsung sejak usia sekitar 10 atau 11 tahun yang melibatkan perubahan besar
dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan (Papalia, Olds &
Feldman, 2009). Selaras dengan Santrock (2007) masa remaja sebagai periode
transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang
melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional.
Thornburg (Dariyo, 2004) menggolongkan remaja menjadi 3 tahap, yaitu
remaja awal (13-14 tahun), remaja tengah (15-17 tahun), dan remaja akhir (18-21
tahun). Masa remaja awal, umumnya individu telah memasuki pendidikan di
bangku sekolah menengah tingkat pertama (SLTP), remaja tengah yaitu individu
sudah duduk di sekolah menengah atas (SMA), dan remaja akhir, umumnya sudah
memasuki dunia perguruan tinggi dan mungkin sudah kerja.
Dari dua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah
masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang melibatkan
perubahan-perubahan pada aspek fisik, aspek kognitif dan aspek psikososial.
2.3.2 Perkembangan Religiusitas Remaja
Perkembangan anak pada masa remaja dipengaruhi oleh perkembangan
jasmani dan rohaninya. Artinya penghayatan remaja terhadap ajaran agama dan
19
amal keagamaan yang tampak pada remaja banyak berkaitan dengan
perkembangan dirinya (Ramayulis, 2011).
Pada masa remaja, berbagai perasaan berkembang. Pada masa ini,
perasaan sosial, etis, estetis, mendorong remaja untuk menghayati kehidupan yang
terbiasa dalam lingkungan yang agamis dan cenderung mendorong dirinya untuk
lebih dekat kearah hidup agamis. Namun sebaliknya, bagi remaja yang kurang
mendapat pendidikan dan ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan
seksual atau perilaku menyimpang (Ramayulis, 2011).
Desmita (2005) bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya
dengan moral. Agama memberikan sebuah kerangka moral sehingga remaja
membuat remaja mampu menstabilkan tingkah lakunya. Dalam studi yang
dilakukan Goldman tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dan
remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan
bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu
formal operational religious thought, dimana remaja memperlihatkan pemahaman
agama yang lebih abstrak dan hipotesis.
Religiusitas berkembang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan
yang diwariskan secara turun temurun, akan tetapi terbentuk dari berbagai unsur
kejiwaan (afektif, kognitif, konatif).
Thouless (1995) mengemukakan empat
faktor yang mempengaruhi perkembangan sikap religius pada remaja yaitu (1)
Pengaruh pendidikan/pengajaran dan
berbagai tekanan
sosial,
termasuk
didalamnya pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial (faktor sosial) (2)
Berbagai pengalaman yang membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman-
20
pengalaman mengenai: (a) keindahan, keselarasan dan kebaikan didunia lain
(faktor alami), (b) konflik moral (faktor moral), dan (c) pengalaman emosional
keagamaan (faktor afektif) (3) Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul
dari kebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan terhadap keamanan,
cinta kasih, harga diri dan ancaman kematian (4) Berbagai proses pemikiran
verbal (faktor intelektual).
2.4
Hubungan Antara Religiusitas dengan Perilaku Memaafkan
Agama merupakan sistem yang menyeluruh, yang mencakup kehidupan
jasmani dan rohani dan juga menyangkut kehidupan dunia dan akhirat. Dalam
kehidupan keseharian manusia yang tidak luput dari permasalahan, agama juga
memiliki peran dan fungsi tersendiri yaitu berfungsi sebagai perdamaian. Melalui
agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin
melalui tuntutan agama (Ramayulis, 2011).
Memaafkan adalah sebuah konsep dengan akar keagamaan yang
mendalam. Ini juga merupakan dasar fenomena sosial dan psikologis. Dalam
Wikipedia (2008) dijelaskan bahwa memaafkan (forgiveness) juga merupakan
norma yang diajarkan dalam setiap agama dan setiap agama memiliki konsep
yang berbeda-beda tentang forgiveness. Ajaran agama yang berhubungan dengan
memaafkan termasuk dalam tradisi agama besar yaitu Hindu, Buddha, Yahudi,
Kristen, dan Islam, namun dari agama-agama tersebut memiliki perspektif yang
berbeda dalam bagaimana mereka memaafkan. Sebuah aspek penting dari
memaafkan adalah dimensi spiritualnya. Dari perspektif spiritual, mereka yang
21
memaafkan mampu mengubah kemarahan dan kebencian mereka dengan
memaafkan orang lain (Jacinto, 2011).
Faktor-faktor yang mempengaruhi memaafkan mencakup beberapa faktor,
yaitu salah satunya adalah karakteristik kepribadian. Ciri kepribadian seperti
ekstravert menggambarkan beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan
ekspresi, dan asertif. Selain itu juga disebutkan oleh Khonstamm (Ramayulis,
2011) bahwa kepribadian sebagai keyakinan. Orang yang berkepribadian adalah
orang yang memiliki keyakinan terhadap Tuhan, dan kepribadian disini dikaitkan
dengan faktor keberagamaan seseorang. Mereka yang memiliki kepribadian
adalah mereka yang pada dirinya hidup dengan keyakinan terhadap Tuhan. Orang
yang taat beragama adalah orang yang benar-benar berbakti kepada Tuhan dan
menghayati betul segala bentuk tingkah lakunya. Kecenderungan manusia untuk
berbakti kepada Tuhan itu diwujudkannya dengan melaksanakan segala apa yang
diperintahkan oleh Tuhan, dan menjauhi segala apa yang dilarangnya.
Selama berabad-abad, memaafkan telah menjadi fokus dari ajaran agama.
Kajian mengenai korelasi agama dan memaafkan juga berkembang. Salah satunya
adalah Gordon Allport yang mengkaji motivasi intrinsik dan ekstrinsik dalam
agama yang berhubungan dengan memaafkan. Bersama dengan Gillespie, Young
dan Allport menemukan bahwa individu yang tinggi dalam kepercayaan agama
menunjukkan penalaran yang tinggi tentang memaafkan dari pada mereka yang
lebih rendah pada keyakinan keagamaan (McCullough & Worthington, 1999).
22
2.5
Kerangka Berpikir
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Religiusitas:
1.
2.
3.
4.
5.
2.6
Iman
Islam
Ihsan
Ilmu
Amal
Memaafkan:
1. Avoidance
Motivations
2. Revenge
Motivations
3. Benevolence
Motivations
Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara religiusitas agama
Islam dengan perilaku memaafkan pada siswa SMK Insan Kreatif Tangerang
Selatan.
23
Download