BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Memaafkan 2.1.1 Pengertian Memaafkan Wikipedia (2013) forgiveness (memaafkan) adalah proses menghentikan atau menolak kebencian, kemarahan akibat perselisihan, pelanggaran yang dirasakan, atau kesalahan, atau berhenti untuk menuntut hukuman atau ganti rugi. Enright mendefinisikan dan koleganya pemaafan (dalam adalah Dayakisni suatu & kesediaan Hudaniah, 2009) individu (yang disakiti/dilanggar) meninggalkan hak yang dimilikinya untuk membenci, menilai negatif dan berperilaku tidak peduli kepada orang lain yang telah berlaku tidak adil, dan sebaliknya lebih mendukung kualitas tentang perasaan kasihan, kebaikan hati dan bahkan cinta yang semestinya tak diberikan kepada orang telah menyakitinya. Sedangkan Exline dan Baumeister mendefinisikan pemaafan adalah pembatalan dari piutang oleh orang yang telah melukai atau berbuat salah. Kemudian Santrock (2007) mendefinisikan memaafkan (forgiveness) adalah salah satu aspek perilaku prososial yang terjadi apabila seseorang yang terluka membebaskan orang yang melukai dari beban kemungkinan untuk memperoleh hukuman. McCullough mengkonseptualisasikan forgiveness (memaafkan) adalah proses perubahan dimana individu berperilaku menjadi lebih positif dan sedikit negatif terhadap individu yang menyakitinya pada suatu waktu di masa lalu. 7 Orang yang memaafkan yaitu menjadi mengurangi motivasi untuk menghindari (avoidance motivations), mengurangi motivasi untuk membalas dendam (revenge motivations) dan semakin meningkatkan motivasi untuk berbuat baik (benevolence motivations) terhadap orang yang telah menyakitinya dimasa lalu (dalam McCullough, Root, Cohen, 2006). Dari beberapa pendapat ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa memaafkan adalah suatu kesediaan individu untuk menghilangkan kebencian dan kemarahan, mengurangi motivasi untuk menghindari, balas dendam yang kemudian dapat meningkatkan dorongan untuk berbuat baik dengan pihak yang telah menyakiti. 2.1.2 Indikator-indikator memaafkan Indikator-indikator memaafkan yang dikemukakan disini merupakan penjelasan lebih jauh mengenai definisi dari McCullough (dalam McCullough, Root, Cohen, 2006) yang mencakup kedalam beberapa indikator, yaitu: a. Avoidance motivations Semakin mengurangi motivasi untuk menghindari dan membuang keinginan untuk menjaga jarak dengan orang yang telah menyakiti. b. Revenge motivations Semakin mengurangi motivasi untuk membalas dendam terhadap suatu hubungan dan membuang keinginan untuk balas dendam terhadap orang yang telah menyakiti. 8 c. Benevolence motivations Semakin termotivasi untuk berbuat baik dan keinginan untuk berdamai dengan orang yang menyakiti. 2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi memaafkan Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa orang yang memaafkan orang lain lebih tinggi pada faktor agreeableness dari the Big Five (Mauger, Saxon, Hamill & Pannell, 1996), empati (McCullough dkk, 1997; Zecbmeister dan Romero, 2002; Macaskil dkk, 2002), atribusi dan penilaian kekejaman orang yang menyakiti (McCullough dkk, 2003). Proses kepribadian ini mungkin mempengaruhi pemaafan dengan mempermudah gaya hubungan tertentu atau kecenderungan orang untuk mengalami beberapa kognisi (atribusi) atau afek (empati) dalam menanggapi suatu serangan interpersonal atau penyerang (Dayakisini & Hudaniah, 2009). Berikut ini dijelaskan secara lebih rinci beberapa faktor yang berpengaruh terhadap memaafkan seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas yaitu: a. Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Kemampuan empati ini erat kaitannya dengan pengambil alihan peran. Melalui empati terhadap pihak yang menyakiti, seseorang dapat memahami perasaan pihak yang menyakiti merasa bersalah dan tertekan akibat perilaku yang menyakitkan. Dengan alasan itulah beberapa penelitian menunjukkan bahwa empati berpengaruh terhadap proses pemaafan. Empati juga menjelaskan variabel sosial psikologis yang mempengaruhi pemberian maaf yaitu permintaan maaf 9 (apologize) dari pihak yang menyakiti. Ketika pelaku meminta maaf kepada pihak yang disakiti maka hal itu bisa membuat korban lebih berempati dan kemudian termotivasi untuk memaafkannya. b. Atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya Penilaian akan mempengaruhi setiap perilaku individu. Artinya, bahwa setiap perilaku itu ada penyebabnya dan penilaian dapat mengubah perilaku individu (termasuk pemaafan) dimasa mendatang. Dibandingkan dengan orang yang tidak memaafkan pelaku, orang yang memaafkan cenderung menilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat dan jujur. Pemaaf pada umumnya menyimpulkan bahwa pelaku telah merasa bersalah dan tidak bermaksud meyakiti sehingga ia mencari penyebab lain dari peristiwa yang menyakitkan itu. Perubahan penilaian terhadap peristiwa yang menyakitkan ini memberikan reaksi emosi positif yang kemudian akan memunculkan pemberian maaf terhadap pelaku. c. Tingkat kelukaan Beberapa orang menyangkal sakit hati yang mereka rasakan untuk mengakuinya sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan. Kadang-kadang rasa sakit membuat mereka takut seperti orang yang dikhianati dan diperlakukan secara kejam. Mereka merasa takut mengakui sakit hatinya karena dapat mengakibatkan mereka membenci orang yang sangat dicintainya, meskipun melukai. Merekapun menggunakan berbagai cara untuk menyangkal rasa sakit hati mereka. Pada sisi lain, banyak orang 10 yang merasa sakit hati ketika mendapatkan bukti bahwa hubungan interpersonal yang mereka kira akan bertahan lama ternyata hanya bersifat sementara. Hal ini sering kali menimbulkan kesedihan yang mendalam. Ketika hal itu terjadi, maka pemaafan tidak bisa atau sulit terwujudkan. d. Karakteristik kepribadian Ciri kepribadian tertentu seperti ekstravert menggambarkan beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif. Karakter yang hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri, menyenangkan, jujur, dermawan, sopan dan fleksibel juga cenderung menjadi empatik dan bersahabat. Karakter lain yang diduga berperan adalah cerdas, analitis, imajinatif, kreatif, bersahaja, dan sopan. Kemudian Khonstamm (Ramayulis, 2004) menyatakan bahwa kepribadian sebagai keyakinan. Orang yang berkepribadian adalah orang yang memiliki keyakinan terhadap Tuhan. Kecenderungan manusia untuk berbakti kepada Tuhan itu diwujudkannya dengan melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh Tuhan, dan menjauhi segala apa yang dilarangnya. Pengabdian diri kepada Tuhan itu akhirnya melahirkan adanya tingkah laku keagamaan. Orang yang taat beragama adalah orang yang benar-benar berbakti kepada Tuhan, menghayati segala bentuk tingkah lakunya. e. Kualitas hubungan Seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain dapat dilandasi oleh komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Ada empat alasan mengapa kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan dalam 11 hubungan interpersonal. Pertama, pasangan yang mau memaafkan pada dasarnya mempunyai motivasi yang tinggi untuk menjaga hubungan. Kedua, dalam hubungan yang erat ada orientasi jangka panjang dalam menjalin hubungan diantara mereka. Ketiga, dalam kualitas hubungan yang tinggi kepentingan satu orang dan kepentingan pasangannya menyatu. Keempat, kualitas hubungan mempunyai orientasi kolektivitas yang menginginkan pihak-pihak yang terlibat untuk berperilaku yang memberikan keuntungan diantara mereka. 2.1.4 Memaafkan dalam Islam Agama-agama dan nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat manusia umumnya meletakkan pemaafan atau pemberian maaf (forgiveness) ini sebagai salah satu pilar ajarannya. Pemaafan atau pemberian maaf sendiri berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka didalam hati. Dalam agama Islam misalnya, Allah memerintahkan manusia untuk memberikan maaf kepada orang lain. Forgiveness penting dalam Islam, bahkan salah satu dari nama-nama Allah (asmaul husna) yaitu Al-Ghafoor yang berarti Maha Pengampun. Allah dan RasulNya, Muhammad, adalah model peran memaafkan dalam Islam. Islam tempat penting tentang memaafkan individu sehingga seseorang dapat menerima pengampunan dari Allah atas dosa-dosa sendiri, dan dapat memiliki kebahagiaan pada kehidupan yang sekarang (Tsang, McCullough & Hoyt, 2005). Agama Islam merupakan pengusung konsep maaf, tidak sedikit dalil baik dari Al-Quran maupun hadist yang menganjurkan manusia untuk memberikan 12 maaf kepada sesamanya baik secara lahir maupun batin. Salah satu firman Allah dalam Al-Quran: “….dan jika kamu memaafkan dan menghabisi serta mengampuni mereka). Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. AtThagabun: 14) Dalam ayat lain, Allah berfirman: “ Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang yang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-a’raaf: 199) Anjuran memaafkan juga terdapat dalam hadist Nabi, yaitu: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa sesungguhnya seorang lelaki mendatangi Nabi Muhammad saw yang di antara keduanya punya hubungan hutang-piutang. Lelaki tersebut (menagih Nabi) dengan marah-marah. Para sahabat (merasa tersinggung dengan perilaku lelaki itu) hendak melakukan tindakan kepadanya, maka Rasulullah saw bersabda, “Tinggalkan lelaki itu. Sesungguhnya orang yang memiliki hak lebih berhak berkomentar”, Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Berilah secukupnya seekor unta seperti unta miliknya” Mereka berkata, “Ya Rasulullah tidak ada unta kecuali yang lebih bagus dari untanya”, maka Rasulullah bersabda, “Berikanlah kepadanya karena sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling bagus dalam membayar hutang”. (H.R. Bukhori) Dalam hadits tersebut Nabi Muhammad saw tidak merasa tersinggung karena ulah lelaki yang telah memperlakukan beliau dengan kasar dan mempermalukannya di depan para sahabatnya. Nabi bahkan memaafkannya 13 dengan memperlakukan lelaki tersebut secara lembut dan membayar hutangnya dengan bayaran yang nilainya melampaui kewajiban yang harus dibayarnya. Dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadist Nabi diatas maka dapat disimpulkan bahwa dianjurkan untuk memberi maaf kepada siapapun orang yang telah menyakiti. Dengan memaafkan maka akan ada banyak hal positif yang bisa kita dapat, yaitu kita akan disukai Allah, bila kita memberikan maaf kepada orang yang telah menyakiti kita, maka balasannya adalah Allah akan mengampuni pula dosa kita (Yulianti, 2011). Memaafkan, disisi lain meskipun terasa berat, tetapi terasa membahagiakan, sebagai satu bagian dari akhlak terpuji yang menghilangkan segala dampak merusak dari kemarahan dan membantu orang tersebut menikmati hidup yang sehat, baik secara lahir maupun batin (Septeria, 2011). 2.2 Religiusitas 2.2.1 Pengertian Religiusitas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata religius berarti hal yang bersifat religi, yaitu hal-hal yang bersifat keagamaan. Sedangkan Menurut Wilcox (2012) mengatakan bahwa kata “religion” berasal dari bahasa Latin religare yang berarti kembali (re) dan mengikat bersama (ligare). Kamus sendiri memberikan banyak definisi yang berbeda-beda, diantaranya: kepercayaan terhadap kekuatan yang bersifat ketuhanan, ekspresi dari kepercayaan ini, sistem kepercayaan yang khusus (baik yang bersifat suci maupun profan), jalan hidup dalam menyatakan rasa cinta dan kepercayaan terhadap Tuhan. 14 Menurut James Martineau (dalam Rakhmat, 2005) agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia. Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2008) agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Religiusitas berkaitan erat dengan agama (religion). Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivias lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Sedangkan menurut Dister (dalam Andisti, 2008) religiusitas adalah sikap batin pribadi (personal) setiap manusia di hadapan Tuhan yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain, yang mencakup totalitas kedalam pribadi manusia. Sebagai sikap batin, religiusitas tidak dapat dilihat secara langsung namun bisa tampak dari pengungkapan sikap tersebut. Selanjutnya mendefinisikan menurut bahwa Abdul religiusitas Mujib adalah (dalam Jauharuddin, kemampuan individu 2012) untuk menjalankan ajaran agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan. Religiusitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah religiusitas agama Islam yaitu suatu sikap keagamaan dalam diri seseorang yang berkaitan dengan 15 kepercayaan terhadap ajaran-ajaran agama Islam baik didalam hati maupun dalam ucapan dan kemudian diwujudkan dalam perbuatan dan tingkah laku sehari-hari dengan berlandaskan keimanan dan ketakwaan. 2.2.2 Dimensi-dimensi Religiusitas Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2008), ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu dimensi keyakinan (ideologis), dimensi peribadatan atau praktek agama (ritualistik), dimensi penghayatan (eksperiensial), dimensi pengetahuan agama (intelektual), dimensi pengamalan (konsekuensial). a. Dimensi keyakinan Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan di mana para penganut diharapkan akan taat. Dalam agama Islam, dimensi ini disebut dengan dimensi Iman. b. Dimensi peribadatan atau praktek agama Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari ritual dan ketaatan. Dalam agama Islam, dimensi ini disebut dengan dimensi Islam. Seorang yang mengaku Islam berarti ia melaksanakan, tunduk, dan patuh serta berserah diri sepenuh hati terhadap hukum-hukum dan aturan-aturan Allah. 16 c. Dimensi penghayatan Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami oleh seseorang atau suatu kelompok keagamaan. Dalam agama Islam, dimensi ini disebut dengan dimensi Ihsan. d. Dimensi pengetahuan agama Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasardasar keyakinan, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dalam agama Islam, dimensi ini disebut dengan dimensi Ilmu. e. Dimensi pengamalan Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan , praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang. Dalam agama Islam, dimensi ini disebut dengan dimensi Amal. 2.2.3 Fungsi Religiusitas Fungsi religiusitas bagi manusia erat kaitannya dengan fungsi agama. Ramayulis (2011) mengemukakan fungsi dari agama, yaitu: 1. Berfungsi Edukatif Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi 17 penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing. 2. Berfungsi Penyelamat Dimanapun manusia berada dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan dunia dan akhirat. 3. Berfungsi Sebagai Perdamaian Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntutan agama. 4. Berfungsi Sebagai Social Control Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma-norma dalam kehidupan, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawas baik secara individu maupun kelompok. 5. Berfungsi Sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan dalam iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan menimbulkan rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan. 6. Berfungsi Transformatif Ajaran agama dapat merubah kehidupan seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama kadangkala mampu 18 mengubah kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan yang dianut sebelumnya. 2.3 Remaja 2.3.1 Pengertian Remaja Masa remaja (adolescence) adalah peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia sekitar 10 atau 11 tahun yang melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Selaras dengan Santrock (2007) masa remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Thornburg (Dariyo, 2004) menggolongkan remaja menjadi 3 tahap, yaitu remaja awal (13-14 tahun), remaja tengah (15-17 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun). Masa remaja awal, umumnya individu telah memasuki pendidikan di bangku sekolah menengah tingkat pertama (SLTP), remaja tengah yaitu individu sudah duduk di sekolah menengah atas (SMA), dan remaja akhir, umumnya sudah memasuki dunia perguruan tinggi dan mungkin sudah kerja. Dari dua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang melibatkan perubahan-perubahan pada aspek fisik, aspek kognitif dan aspek psikososial. 2.3.2 Perkembangan Religiusitas Remaja Perkembangan anak pada masa remaja dipengaruhi oleh perkembangan jasmani dan rohaninya. Artinya penghayatan remaja terhadap ajaran agama dan 19 amal keagamaan yang tampak pada remaja banyak berkaitan dengan perkembangan dirinya (Ramayulis, 2011). Pada masa remaja, berbagai perasaan berkembang. Pada masa ini, perasaan sosial, etis, estetis, mendorong remaja untuk menghayati kehidupan yang terbiasa dalam lingkungan yang agamis dan cenderung mendorong dirinya untuk lebih dekat kearah hidup agamis. Namun sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual atau perilaku menyimpang (Ramayulis, 2011). Desmita (2005) bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Agama memberikan sebuah kerangka moral sehingga remaja membuat remaja mampu menstabilkan tingkah lakunya. Dalam studi yang dilakukan Goldman tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu formal operational religious thought, dimana remaja memperlihatkan pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotesis. Religiusitas berkembang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun temurun, akan tetapi terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan (afektif, kognitif, konatif). Thouless (1995) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi perkembangan sikap religius pada remaja yaitu (1) Pengaruh pendidikan/pengajaran dan berbagai tekanan sosial, termasuk didalamnya pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial (faktor sosial) (2) Berbagai pengalaman yang membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman- 20 pengalaman mengenai: (a) keindahan, keselarasan dan kebaikan didunia lain (faktor alami), (b) konflik moral (faktor moral), dan (c) pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif) (3) Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri dan ancaman kematian (4) Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual). 2.4 Hubungan Antara Religiusitas dengan Perilaku Memaafkan Agama merupakan sistem yang menyeluruh, yang mencakup kehidupan jasmani dan rohani dan juga menyangkut kehidupan dunia dan akhirat. Dalam kehidupan keseharian manusia yang tidak luput dari permasalahan, agama juga memiliki peran dan fungsi tersendiri yaitu berfungsi sebagai perdamaian. Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntutan agama (Ramayulis, 2011). Memaafkan adalah sebuah konsep dengan akar keagamaan yang mendalam. Ini juga merupakan dasar fenomena sosial dan psikologis. Dalam Wikipedia (2008) dijelaskan bahwa memaafkan (forgiveness) juga merupakan norma yang diajarkan dalam setiap agama dan setiap agama memiliki konsep yang berbeda-beda tentang forgiveness. Ajaran agama yang berhubungan dengan memaafkan termasuk dalam tradisi agama besar yaitu Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, dan Islam, namun dari agama-agama tersebut memiliki perspektif yang berbeda dalam bagaimana mereka memaafkan. Sebuah aspek penting dari memaafkan adalah dimensi spiritualnya. Dari perspektif spiritual, mereka yang 21 memaafkan mampu mengubah kemarahan dan kebencian mereka dengan memaafkan orang lain (Jacinto, 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi memaafkan mencakup beberapa faktor, yaitu salah satunya adalah karakteristik kepribadian. Ciri kepribadian seperti ekstravert menggambarkan beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif. Selain itu juga disebutkan oleh Khonstamm (Ramayulis, 2011) bahwa kepribadian sebagai keyakinan. Orang yang berkepribadian adalah orang yang memiliki keyakinan terhadap Tuhan, dan kepribadian disini dikaitkan dengan faktor keberagamaan seseorang. Mereka yang memiliki kepribadian adalah mereka yang pada dirinya hidup dengan keyakinan terhadap Tuhan. Orang yang taat beragama adalah orang yang benar-benar berbakti kepada Tuhan dan menghayati betul segala bentuk tingkah lakunya. Kecenderungan manusia untuk berbakti kepada Tuhan itu diwujudkannya dengan melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh Tuhan, dan menjauhi segala apa yang dilarangnya. Selama berabad-abad, memaafkan telah menjadi fokus dari ajaran agama. Kajian mengenai korelasi agama dan memaafkan juga berkembang. Salah satunya adalah Gordon Allport yang mengkaji motivasi intrinsik dan ekstrinsik dalam agama yang berhubungan dengan memaafkan. Bersama dengan Gillespie, Young dan Allport menemukan bahwa individu yang tinggi dalam kepercayaan agama menunjukkan penalaran yang tinggi tentang memaafkan dari pada mereka yang lebih rendah pada keyakinan keagamaan (McCullough & Worthington, 1999). 22 2.5 Kerangka Berpikir Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Religiusitas: 1. 2. 3. 4. 5. 2.6 Iman Islam Ihsan Ilmu Amal Memaafkan: 1. Avoidance Motivations 2. Revenge Motivations 3. Benevolence Motivations Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara religiusitas agama Islam dengan perilaku memaafkan pada siswa SMK Insan Kreatif Tangerang Selatan. 23