TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Botani dan Syarat Tumbuh Cabai Genus Capsicum termasuk dalam kingdom Plantae, divisio Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Rosales, dan famili Solanaceae (Bosland dan Votava 2000). Para ahli taksonomi modern mengidentifikasi lima spesies utama yang telah dibudidayakan, yaitu C. annuum L., C. frutescens L., C. chinense Jacquin, C. pendulum Wildenow,dan C. pubescens Ruiz & Pavon. Lima spesies utama tersebut dapat dibedakan dari kombinasi karakter bunga dan buah. C. annuum berbunga putih dengan anter biru sampai ungu, mempunyai calyx yang berlekuk dan berbunga serta berbuah tunggal setiap buku. C. frutescens berbunga agak kehijauan dengan anter biru, calyx yang tidak berlekuk dan pada umumnya berbuah tunggal setiap buku serta beberapa bunga majemuk pada bukunya. C. chinense berbunga putih atau putih kehijauan dengan anter biru, calyx berlekuk dan pada umumnya berbuah 1-3 setiap buku. C. pendulum berbunga putih dengan bintik kuning pada dasarnya, anter kuning, tangkai bunga panjang, dan berbunga tunggal. C. pubescens berbunga besar keunguan, buah oranye, dan biji berwarna gelap (Greenleaf 1986). Tanaman yang berasal dari Amerika Selatan ini semua spesies budidayanya merupakan diploid (2n = 2x = 24) (Purseglove et al. 1981). Tanaman cabai adalah tanaman herba, sebagian besar menjadi berkayu pada pangkal batang, dan beberapa jenis menjadi semak. Bentuk percabangan tegak atau menyebar dengan tinggi 0.5-1.5 m. Akar merupakan akar tunggang kuat dan dalam, perakaran umumnya berkembang sempurna. Daun cabai merupakan daun tunggal dengan helaian daun berbentuk ovate atau lanceolate. Warna mahkota bunga bervariasi dari putih hingga putih kehijauan, dan putih keunguan hingga ungu. Warna kepala sari biru, ungu, dan kuning. Warna biji kuning muda, coklat, atau hitam. Warna buah sangat bervariasi; hijau, kuning, dan ungu ketika muda berubah menjadi merah, jingga, kuning, atau campuran. Bentuk buah juga bervariasi, berkisar dari linier, kerucut, bulat, atau kombinasi dari bentuk-bentuk tersebut. Buah dapat berdinding tebal atau tipis, panjang buah berkisar antara 1-30 cm dengan diameter berkisar antara 1-15 cm (Rubatzky dan Yamaguchi 1999). Cabai merupakan tanaman menyerbuk sendiri, walaupun demikian penyerbukan silang dapat terjadi pada beberapa genotipe dan pada lingkungan tertentu. Bunga cabai merupakan bunga sempurna dimana alat reproduksi jantan dan betina terdapat dalam satu bunga. Helaian mahkota bunga cabai merah berjumlah lima atau enam. Pada dasar bunga terdapat daun buah berjumlah lima yang kadang-kadang berlekuk. Setiap bunga memiliki satu putik, kepala putik berbentuk bulat. Terdapat lima sampai delapan helai benang sari dengan kepala sari yang berbentuk lonjong berwarna biru keunguan. Tepung sari berbentuk lonjong terdiri dari tiga segmen berwarna kuning mengkilat. Dalam satu kotak sari terdapat sekitar 11.000-18.000 tepung sari (Kusandriani 1996) Cabai dapat dibudidayakan di dataran rendah maupun dataran tinggi. Agar mampu tumbuh dengan optimal cabai merah memerlukan kisaran suhu antara 18-27 oC. Suhu optimal untuk pertumbuhan dan pembungaan berkisar antara 21-27 oC dan untuk pembuahan antara 15.5-21 oC (Sumarni 1996). Bunga tidak terbuahi pada suhu di bawah 16 oC atau di atas 32 oC karena produksi tepung sari yang tidak viabel (Rubatzky dan Yamaguchi 1999). Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah sekitar 600-1250 mm per tahun (Sumarni 1996). Tanaman cabai merah dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah asal drainase dan aerasi tanah cukup baik karena tanaman sangat peka terhadap genangan. Tanaman yang tergenang cenderung mengalami kerontokan daun dan terserang penyakit akar. Tanah harus mengandung cukup bahan organik, unsur hara, air, bebas dari gulma, dan patogen. Tingkat kemasaman (pH) tanah yang paling sesuai berkisar antara 6.5-7.0 (Rubatzky dan Yamaguchi 1999). Pemilihan waktu tanam cabai yang tepat sangat penting, terutama hubungannya dengan ketersediaan air, curah hujan, serta gangguan hama dan penyakit. Air diperlukan oleh tanaman cabai sejak awal pertumbuhan tanaman sampai periode pembungaan dan pembuahan. Kekurangan air pada masa pertumbuhan vegetatif menyebabkan tanaman cabai tumbuh kerdil. Kekurangan air pada masa pembentukan bunga dan buah dapat menurunkan hasil buah bahkan dapat menggagalkan panen. Akan tetapi lahan yang terlalu lembab juga menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Curah hujan yang tinggi pada saat pembentukan bunga dan buah dapat menggugurkan bunga dan membusuknya buah. Penggunaan mulsa dapat meningkatkan hasil, baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Peningkatan hasil ini terjadi karena mulsa dapat mempertahankan struktur tanah tetap gembur, memelihara kelembaban dan suhu tanah, mengurangi kehilangan unsur hara, dan menekan pertumbuhan gulma (Sumarni 1996). Penyakit Antraknosa Nama antraknosa diambil dari kata anthrax yang berarti karbon (Agrios 2005). Nama tersebut digunakan karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini menimbulkan bercak berwarna hitam seperti warna karbon. Penyakit ini menimbulkan gejala pada seluruh bagian tanaman termasuk akar, batang, daun, bunga dan buah (Bailey et al. 1992). Pada umumnya gejala pertama muncul berupa bercak kecil basah berwarna kuning atau kehitaman yang membesar dengan cepat. Bercak kemudian berkembang sampai diameter 3-4 cm berwarna dari merah gelap sampai coklat muda dengan jaringan cendawan berwarna gelap yang terdiri dari kumpulan seta atau aservuli yang menghasilkan massa spora berwarna pucat atau salem yang tersebar atau berbentuk lingkaran konsentrik pada bercak (Hadden dan Black 1989). Gejala pada biji dapat menimbulkan kegagalan berkecambah, pada kecambah dapat menimbulkan rebah kecambah, dan pada tanaman dewasa dapat menimbulkan mati pucuk (Suryaningsih 1996). Menurut Hartman dan Wang (1992) cendawan dapat hidup pada kulit dan di dalam benih, serta pada sisa tanaman yang terjangkit. Jika sumber penyebaran inokulum adalah benih, kotiledon dapat terinfeksi. Jika sumber penyebaran inokulum berupa sisa tanaman sakit, siklus penyakit dapat berawal ketika sisa tanaman yang terinfeksi atau konidia yang muncul pada sisa tanaman tersebut terpercik ke tanaman cabai, bercak awal muncul dan aservuli pada bercak mengandung batang-batang pendek yang menghasilkan konidia bersel tunggal dalam jumlah besar yang dilindungi oleh matriks bergelatin. Matriks bergelatin dapat larut oleh air dan konidia akan berkecambah dalam lima hari bila keadaan cukup lembab. Benih dapat terinfeksi jika buah terinfeksi cendawan. Bila benih terinfeksi tersebut digunakan untuk musim tanam berikutnya maka cendawan dapat menyebar ke area tanam baru tersebut. Penyakit antraknosa berkembang dengan cepat dalam lingkungan yang hangat dengan kelembaban tinggi. Kelembaban relatif udara 95 % yaitu pada cuaca berkabut dan berembun dapat membantu inisiasi infeksi dan perkembangan penyakit selanjutnya (Suryaningsih 1996). Spesies Colletotrichum acutatum dalam keadaan tahapan aseksual (anamorf) termasuk dalam kelompok Coelomycetes dan dalam keadaan tahapan seksual (teleomorf) termasuk dalam genus Glomerella dan dimasukan dalam kelompok Ascomycetes (Wharton dan Uribeondo 2004). Beberapa genus yang termasuk dalam kelompok Ascomycetes, seperti Glomerella, jarang menghasilkan spora seksual (askospora) dan lebih sering menghasilkan spora aseksual (konidia), karena itu genus Glomerella lebih dikenal dalam nama tahapan aseksualnya yaitu Colletotrichum (Agrios 2005). Koloni spesies C. acutatum pada awalnya berwarna putih kemudian berubah warna menjadi pink atau oranye. Konidia berbentuk elipsoid dan meruncing setidaknya pada salah satu ujungnya (Peres et al. 2005) dan berukuran 8.5-16.5 x 2.5-4 µm (Sutton 1992). Suhu optimum untuk spesies ini adalah 25ºC (Wharton dan Uribeondo 2004). Tahap awal dari pertumbuhan cendawan dalam proses infeksi dari spesies ini pada dasarnya sama dengan spesies dari genus Colletotrichum lainnya, yaitu persentuhan konidia pada permukaan tanaman, penempelan konidia pada permukaan tanaman, perkecambahan konidia, produksi apresoria, penetrasi ke epidermis tanaman, pertumbuhan dan pembentukan koloni pada jaringan tanaman serta produksi aservuli dan pembentukan spora. Proses terjadinya tiap tahapan tersebut dalam proses infeksi bervariasi bergantung antara lain pada jaringan inang dan isolat cendawan tersebut (Wharton dan Uribeondo 2004). Konidia C. acutatum diproduksi dalam aservuli pada tanaman inang dan disebarkan melalui percikan air hujan. Spesies C. acutatum dapat hidup pada tanah dan permukaan tertentu. C. acutatum dapat tetap viabel selama 105 hari pada tanaman yang terinfeksi yang terkubur dalam tanah dan konidia dapat tetap viabel pada bahan pakaian selama 35-45 hari. Walaupun demikian cendawan ini tidak dapat bersaing atau berkembang pada sisa daun atau pada tanah jika ada organisme lain yang aktif (Peres et al. 2005). Keberhasilan kolonisasi pada tanaman inang oleh suatu patogen bergantung pada kemampuan patogen tersebut untuk mengatasi sistem pertahanan tanaman tersebut. Ketahanan buah muda pada kolonisasi spesies C. acutatum kemungkinan berhubungan dengan salah satu dari empat mekanisme pertahanan yang dimiliki tanaman, yaitu pembentukan awal senyawa racun yang menghambat pertumbuhan patogen terjadi pada buah muda, buah muda tidak menyediakan substrat yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan energi bagi patogen, enzim patogen tidak sesuai untuk membentuk kolonisasi pada buah muda, dan produksi fitoaleksin pada buah muda (Wharton dan Uribeondo 2004). Analisis Dialel Persilangan dialel adalah persilangan dengan menggunakan semua kombinasi persilangan yang mungkin dilakukan diantara sekelompok tetua termasuk selfing. Tujuan dari persilangan dialel adalah untuk mengevaluasi dan memilih tetua berdasarkan turunan terbaik dan evaluasi turunan terbaik (Ganefianti 2010). Genotipe yang digunakan dalam persilangan dialel dapat berupa individu, klon, galur dan lain-lain (Hayman 1954). Di dalam analisis silang dialel, pendugaan parameter genetik sudah dapat dilakukan pada F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BCP1 dan BCP2. Analisis dialel dilakukan berdasarkan asumsi-asumsi segregasi diploid, tidak ada perbedaan diantara persilangan resiprok, tidak ada interaksi gen non alelik, tidak ada multiple allelism, tetua homozigot dan gen-gen menyebar bebas diantara tetua (Hayman 1954). Ploidi tanaman cabai adalah diploid (Greenleaf 1986), dengan demikian segregasi gen-gen yang terjadi merupakan segregasi diploid. Gen-gen yang mengendalikan suatu karakter harus menyebar diantara tetua-tetua persilangan. Untuk memenuhi asumsi ini maka dipilih tetua yang mewakili tahan, moderat dan rentan. Analisis dialel menghasilkan informasi mengenai parameter genetik yang didapatkan melalui metode Hayman serta informasi mengenai daya gabung umum dan daya gabung khusus yang didapatkan melalui metode Griffing (Singh dan Chaudary 1979). Parameter genetik yang diperoleh dari metode Hayman meliputi keragaman karena pengaruh lingkungan, keragaman karena pengaruh aditif, keragaman karena pengaruh efek dominan, pengaruh dominan, penduga sebaran gen dalam tetua untuk menduga proporsi gen negatif dan positif pada tetua, ratarata tingkat dominansi, proporsi gen-gen dominan dan resesif pada tetua, jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi, heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Daya gabung adalah kemampuan tetua untuk menghasilkan kombinasi persilangan yang unggul dalam satu atau seri persilangan. Evaluasi daya gabung ini bertujuan untuk memilih tetua-tetua atau genotipe yang akan dijadikan tetua dalam pembentukan kultivar hibrida. Ada dua macam daya gabung yaitu Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK). DGU adalah rata-rata penampilan tetua dalam satu seri persilangan, sementara DGK adalah kemampuan bergabung dari tetua dalam persilangan tertentu (Chaudhary 1982). Menurut Falconer (1981) efek DGU dan DGK adalah indikator penting dari nilai potensial suatu galur murni dalam kombinasi hibrida. Welsh (1981) menyatakan bahwa kemampuan berkombinasi umum (DGU) merupakan hasil dari aksi gen aditif, sedangkan kemampuan berkombinasi spesifik (DGK) merupakan hasil dari gen dominan, epistasis, dan aditif. Menurut Griffing (1956) diacu dalam Roy (2000) untuk melakukan analisis daya gabung diperlukan tiga set materi genetik yaitu tetua, F1 hasil silangan serta resiproknya. Griffing menggunakan ketiga set materi genetik tersebut untuk merumuskan empat metode dalam analisis daya gabung, yaitu metode 1 (full diallel) melibatkan tetua, F1 hasil persilangan serta resiproknya dengan analisis [n(n-1)/2]; metode 2 melibatkan tetua dan F1 hasil silangannya tanpa resiproknya dengan analisis [n(n+1)/2]; metode 3 melibatkan F1 hasil silangan serta resiproknya tanpa tetua dengan analisis n(n-1); serta metode 4 yang hanya melibatkan F1 hasil silangan saja dengan analisis (n-1)/2. Metode analisis dialel sudah banyak dimanfaatkan untuk mempelajari dasar genetik karakter ketahanan pada cabai, antara lain: ketahanan pada antraknosa (Syukur 2007), ketahanan terhadap Phytophthora capsici (Yunianti 2007), ketahanan terhadap CMV dan ChiVMV (Riyanto 2007), ketahanan terhadap Begomovirus (Ganefianti 2010), ketahanan terhadap antraknosa, hawar Phytophthora dan layu bakteri (Putri 2010), ketahanan terhadap powdery mildew (Nandadevi et al. 2003) dan ketahanan terhadap thrips dan mite (Jagadeesha et al. 2006). Heterosis Pada persilangan tanaman menyerbuk silang seperti jagung, penampilan F1 selalu lebih baik daripada kedua tetuanya. Fenomena ini dinamakan heterosis atau vigor hibrida. Heterosis adalah peningkatan ukuran atau tingkat pertumbuhan suatu keturunan dibandingkan dengan tetuanya (Duvick 1999). Pada persilangan dua galur murni tanaman menyerbuk sendiri seperti serealia, beberapa hasil persilangan memang menampilkan fenomena heterosis tetapi nilainya sangat rendah. Pada persilangan tanaman menyerbuk silang seperti jagung, heterosis bisa mencapai lebih dari 200 %, sedangkan pada tanaman menyerbuk sendiri seperti gandum, nilai heterosis hanya 10 % (Roy 2000). Pada beberapa kasus fenomena heterosis tidak muncul sama sekali dan pada kasus yang lain penampilan F1 lebih rendah dibandingkan tetuanya. Dari perbandingan nilai tengah F1 terhadap tetuanya, terdapat dua jenis heterosis, yaitu (1) heterosis, dimana nilai tengah F1 lebih besar bila dibandingkan dengan nilai tengah kedua tetuanya dan (2) heterobeltiosis, dimana nilai tengah F1 lebih besar bila dibandingkan dengan nilai tengah tetua terbaiknya. Menurut Chaudhary (1984) heterosis dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu: (1) Euheterosis Euheterosis merupakan heterosis sebenarnya dan diturunkan. Euheterosis terdiri dari euheterosis mutasional dan euheterosis seimbang. Euheterosis mutasional merupakan hasil dari penutupan ekspresi gen-gen mutan resesif yang tidak diinginkan bahkan terkadang bersifat letal, oleh alela dominannya yang lebih superior dan adaptif, dalam populasi yang dihasilkan dari persilangan. Pada umumnya mutasi tersebut bersifat letal, resesif dan inferior, tetapi heterosis mutasional melindungi gen-gen letal tersebut dari eliminasi dalam populasi. Euheterosis seimbang adalah heterosis dalam arti sebenarnya, yang muncul dari kombinasi gen yang seimbang antara kemampuan adaptasi dan karakter agronomi yang lebih baik. Heterosis ini yang digunakan dalam progam pemuliaan untuk mengembangkan varietas hibrida. (2) Pseudo-heterosis Pseudo-heterosis pada dasarnya adalah suatu fenomena dimana suatu hasil persilangan, secara kebetulan menampilkan ekspresi vigor dan pertumbuhan di atas rata-rata tetapi bersifat sementara dan tidak adaptif. Menurut Roy (2000) terdapat tiga teori yang berkaitan dengan heterosis yaitu: (1) Teori dominansi Teori ini menyatakan bahwa F1 bersifat heterotik karena gen resesif yang mengekspresikan sifat inferior dalam keadaan homosigot tertutupi oleh gen dominan dan jumlah lokus dimana gen resesif berada dalam keadaan homosigot berkurang pada F1 bila dibandingkan dengan tetuanya, sehingga F1 memperlihatkan penampilan yang lebih superior dari tetua terbaiknya. (2) Teori overdominansi Teori ini menyatakan bahwa genotipe heterozigot lebih superior dibandingkan dengan genotipe homozigot, dimana genotipe heterosigot memperlihatkan perkembangan homeostatis yang lebih besar daripada genotipe homosigot yang memiliki fenotipe yang lebih rentan terhadap cekaman lingkungan. (3) Teori epistasis Teori ini menyatakan bahwa interaksi antar gen berperan dalam ekspresi heterosis, dimana heterosis merupakan ekpresi dari gen yang memperlihatkan pengaruh aditif dengan dominan lengkap. Selain tiga teori dengan dasar genetika di atas, terdapat teori lain yang berdasarkan fisiologi dan biokimia. Dari sisi fisiologi, terdapat tiga teori, yang pertama heterosis muncul karena ukuran embrio F1 yang lebih besar dari tetua, yang kedua heterosis muncul karena adanya komplementasi mitokondria dan yang ketiga heterosis muncul karena adanya interaksi antara gen inti dengan gen dalam sitoplasma. Dari sisi biokimia dinyatakan bahwa heterosis merupakan ekspresi dari kombinasi aktivitas zat-zat kimia dalam tanaman sebagai hasil dari aksi gen komplementer pada hibrida (Chaudhary 1984). Fenomena heterosis ditemukan pada tanaman cabai sehingga memungkinkan dibuat hibrida cabai (Berke 2000). Terdapat beberapa penelitian tentang fenomena heterosis sifat ketahanan cabai terhadap penyakit yang sudah dilakukan sebelumnya, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Riyanto (2007) yang menunjukkan fenomena heterosis dan heterobeltiosis ketahanan cabai terhadap CMV dan ChiVMV. Hibrida (IPB C2 x IPB C4) memperlihatkan fenomena heterosis dan heterobeltiosis berdasarkan kelas CMV, sementara fenomena heterosis dan heterobeltiosis pada kelas ChiVMV terdapat pada hibrida (IPB C2 x IPB C1) dan (IPB C4 x IPB C1). Pada penelitian ketahanan cabai terhadap Phytophthora capsici yang dilakukan oleh Yunianti (2007), genotipe IPB C4 x IPB C9 menunjukkan fenomena heterosis, sementara fenomena heterobeltiosis ditunjukkan oleh genotipe IPB C10 x IPB C8 dan resiproknya. Sementara Ganefianti (2010) dalam penelitiannya mengenai ketahanan cabai terhadap Begomovirus, genotipe IPB C14 x IPB C26 memperlihatkan nilai heterosis tertinggi dan genotipe IPB C35 x IPB C12 memperlihatkan nilai heterobeltiosis tertinggi.