KEABSAHAN AKAD NIKAH VIA TELEPON

advertisement
KEABSAHAN AKAD NIKAH VIA TELEPON PENDEKATAN
MASLAHAH AL-MURSALAH DAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN
1974 TENTANG PERKAWINAN
Oleh : TAUFIK KURROHMAN
( Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang/UNPAM)
ABSTRAK
Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah bagian dari transformasi
hukum Islam masuk dalam perundang-undangan di Indonesia. Dimana di
dalamnya terdapat berbagai aspek dalam konteks keilmuan hukum Islam
(Fikih) mengenai perkawinan diakomodir oleh undang-undang tersebut.
Salah satu yang substansial dari depinisi nikah yang dikemukan oleh
fuqoha bahwa pernikahan secara aksiologi suatu jalan yang dilegalkan
oleh syar‟i guna menghantarkan tabiat syahwat kemanusiaan diletakan
pada tempat yang mulia dan bernilai ibadah. Suatu hal yang harus
dijawab dari waktu-kewaktu oleh fikih kontemporer dalam hal ini adalah
problematika pernikahan yang akan terus berkembang dan dinamis
sejalan dengan perkembangan teknologi seperti saDat ini pernikahan via
telepon yang dilakukan oleh pasangan Ario Sutarto Bin Drs. Suroso
Darmoatmojo dengan Nurdiani Binti Prof. Dr. Baharudin Harahap serta
pasangan Abudurrahman wahid (Gusdur) dengan Sinta Nuriah Wahid.
Pernikahan via telepon tersebut menimbulkan problematika di dalam
masyarakat pada aspek keabsahan baik dalam konteks fikih kontemporer
dan pada aspek undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Penelitian dalam paper ini dilakukan dengan cara kualitatif, penulusuran
literature kepustakaan dan hasil dari penelitian ini Maslahah mursalah
kiranya penting sebagai bagian metode ijtihad menjawab tantangan dan
penomena hukum yang bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan
teknologi. Pernikahan via telepon bisa saja dilakukan dan sah secara
hukum ijab dan kabul meskipun tidak dalam satu majelis, jika memenuhi
syarat-syarat dan tidak bertentangan dengan maqashid assyariah,
Kata kunci : Nikah Via Telepon, Maslahah Al-mursalah dan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
89
A. Latar Belakang Masalah
Setiap
masyarakat
memiliki
secara
salah
satu
dan
rasional,
hukum
positif
tertulis
lebih
atau kebiasaan.1
anggotanya
kolektif.
terbuka
berperan daripada hukum adat
budaya yang menjadi ciri khas
individu-individu
bersikap
Di Indonesia sendiri ketentuan
di
hukum
positif
yang
berkenaan
antaranya adalah budaya hukum,
dengan perkawinan telah di atur
maksudnya
dalam
adalah
masyarakat
bagaimana
memandang
dan
perundang-undangan
Negara yang khusus berlaku bagi
menghayati
hal-hal
yang
berhubungan
dengan
hukum
dimaksud adalah dalam bentuk
dalam
undang-undang
secara
umum.
pandangan
Hukum
budaya
warga
muslim
Indonesia.
Aturan
yaitu
yang
Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang
bukanlah pengkajian berdiri sendiri
perkawinan
atau emperis, akan tetapi ia adalah
pelaksanaanya
aspek praktis doktrin sosial dan
peraturan pemerintah No.9 Tahun
keagamaan yang di ajarkan oleh
1975. UU ini merupakan hukum
nabi Muhammad SAW.
materiil
Masyarakat
merupakan
berada
masyarakat
dalam
masyarkat
berkembang
ciri-ciri
perkawinan,
hukum
formalnya
menuju
No.7 Tahun 1989 jo Undang-
Masyarakat
undang No.3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama.
tradisional,
Sebagian
namun dilain pihak sudah mulai
mengemukakan
menyerap
perkawinan
ciri-ciri
bentuk
ditetapkan dalam Undang-Undang
berkembang disatu pihak masih
mempunya
dalam
dari
sedangkan
peraturan
yang
tahap
modern.
dan
modern.
masyarakat modern mempunyai
aspek
fuqoha
hakikat
hanya
lahiriah
dalam
menonjokan
yang
bersifat
ciri-ciri tertentu yakni antara lain,
1
Soerjono Soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum, Cet ke-3, Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 2014.
mempunyai ilmu dan teknologi
yang relatif tinggi, manusianya
90
normatif. Seolah-olah akibat dari
nikah
sahnya sebuah perkawinan hanya
mengandung
terbatas pada timbulnya kebolehan
suatu
terhadap
dalam firman Allah. SWT QS :2
sesuatu
yang
sebelumnya sangat dilarang, yakni
berhubungan
badan
seorang
laki-laki
perempuan.
Diskursus
Maliki,
hanafi,
secara
di
fiqih
atas
Hambali)
comment
sense
sifat luhur bagi ikatan yang dijalin
oleh dua orang berbeda jenis yakni
ikatan
dinamakan
kebolehan
badan
perkawinan.
Ikatan
perkawinan dalam hukum islam
dengan
mitsaqon
gholidjo, yaitu suatu ikatan janji
seorang laki-laki (suami) untuk
berhubungan
sebagaimana
Hukum islam menggambarkan
(Syafi’i,
dan
membawa
kebolehan,
menjadi
“Mereka adalah pakaian bagimu
dan kamu adalah pakaian bagi
mereka”
dengan
mendefisikan nikah sebagai „aqd
yang
larangan
antara
yang mereka susun, seperti halnya
madzhab
sebelumnya
:187
didapatkan dari terminologi fiqih
empat
yang
yang kokoh. Oleh karenanya suatu
dengan
ikatan perkawinan tidak begitu saja
2
seorang perempuan (isteri). Salah
dapat
satu yang substansial dari depinisi
ketentuan.3
nikah yang dikemukan oleh fuqoha
bahwa
pernikahan
aksiologi
suatu
jalan
yang
oleh
syar’i
guna
dilegalkan
menghantarkan
kemanusiaan
tabiat
diletakan
terjadi
melalui
beberapa
Perjanjian
yang
dimaksud bukanlah transaksi yang
secara
secara umum kita pahami namun,
pemaknaan
perjanjian
dalam
konteks pernikahan lebih sakral
syahwat
karena bertalian dengan keturunan
pada
tempat yang mulia dan bernilai
3
Dalam KHI pasal 2 dan 3
disebutkan sebagai akad yang sangat kuat atau
mitsaqon ghaliidhan “ikatan lahir bathin”
artinya
bahwa
perkawinan disamping
mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak
juga mempunyai aspek ubudiyah kepada
Allah dengan tujuan untuk mencapai keluarga
yang sakinah mawahdah warahmah. Lihat
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia hlm. 18.
ibadah. Sehingga melalui institusi
2
Abd Al-Rahman al-jaziri, Al-Fiqh
‘Ala Mazahib Al-‘Arba’ah, jilid VI, Beirut:
Dar Al-Fikr, 1986, hlm.2
91
dan regenerasi penerus kedua
Barang siapa kepada dirinya
sendiri untuk maksud taat kepada
Allah dan Rosul-Nya, dalam
keadaan tidak terpaksa,maka ia
wajib memenuhinya
(Riwayat al-Bukhari)
insan tersebut.
Pasal 1 undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan
menyatakan :
Perkawinan ialah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri
dengan
tujuan
membentuk
keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.4
Kaitannya
dalam
oleh
yang
perjanjian
telah
halnya
disepakati
oleh
memenuhinya,
yang
melakukan
untuk
memenuhi
pihak
yang
melakukan
perjanjian untuk memenuhi syarat
yang ditentukan.6
apabila
Masyarakat
kedua
Indonesia
sebagian besar beragama Islam.
mempelai, maka masing-masing
wajib
berjanji
oleh
mengenai
perkawinan,
pihak
syarat-syarat yang harus dipenuhi
29
dalam pasal 47,48,49,50,51,dan
Akan
perkawinan
perjanjian dalam arti pihak-pihak
sedangkan dalam KHI terdapat
52.
dengan
syarat-syarat yang harus dipenuhi
Nomor 1 Tahun 1974 tentang
pasal
dalam
syarat
adalah karena perjanjian itu berisi
telah diatur dalam Undang-undang
dalam
perkawinan
perjanjian
Perjanjian dalam Perkawinan
perkawinan
antara
Dalam
sepanjang
tata
mereka
perjanjian tersebut tidak memaksa
cara
peribadatan
berpedoman
pada
berbagai sumber yang kita kenal
dan tidak bertentangan dengan
dengan madzhab yang berbeda.
syari’at. Sejalan dengan hadits
Namun yang banyak dipahami dan
nabi riwayat al-Bukhori
banyak pengikutnya dari berbagai
5
4
6
Lihat pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974
dan penjelasan Umum UU No.1 Tahun 1974
angka 4 huruf a.
5
Al-Bukhari,Sahih al-Bukhari,juz
3,Beirut:Dar al-Fikr,hlm.185
Amir Syaripuddin,Hukum
Perkawinan Indonesia “Antara fiqih
Munakahat Dan Undang-Undang
Perkawinan,Jakarta,Prenada Media,Cet
kesatu,2006,hlm.145
92
belahan dunia yaitu ada empat
madzhab :
tujuan perkawinan adalah agar
7
manusia dapat menyalurkan tabiat
1. Madzhab
Hanafi,
yaitu
kemanusiaanya secara teratur dan
madzhab pengikut-pengikut
bertanggung jawab. Dalam sejarah
imam abu hanifah (70 H-
peradaban
150 H)
adanya
2. Madzhab
Maliki,
Yakni
ummat
manusia
lembaga
perkawinan
disadari atau tidak, merupakan
madzhab pengikut-pengikut
faktor
Imam Maliki ibn Anas (93 H-
membentuk
179 H)
manusia sebagai mahluk sosial.8
3. Madzhab
Syafi’i,
mazhab
yakni
dominan
di
keteraturan
dalam
ummat
Pasangan suami istri yang
pengikut-pengikut
taat
dan
serasi
akan
Imam Mohammad Idris Al
mendatangkan
Syafi’e (150 H-204 H)
individu dan keluarga, sehingga
4. Mazhab
yakni
melahirkan keluarga yang penuh
madzhab pengikut-pengikut
dengan kasih sayang, dan dari
Imam Ahmad ibn Hambal
keluarga yang baik itulah akan
(164 H-241 H)
lahir masyakarat yang baik pula
Dari
apa
dikemukakan
singkat
Hambali,
kebahagiaan
di
dapatlah
yang
telah
serta dari masyarakat yang baik itu
atas
secara
pulalah kepemimpinan dibebankan
ditegaskan
kepada mereka sebagai khalifah
bahwasanya menurut ajaran Islam,
manusia
di
bumi.
Menurut
pendapat penulis bahwa tujuan
7
Berdasarkan surat edaran Biro
peradilan Agama tanggal 18 Februari 1958
No.B/1/735 hukum materil yang dijadikan
pedoman dalam bidang hukum Islam di
Indonesia tersebut bersumber pada 13 kitab
yang seluruhnya adalah mazhab Imam Syafi’i,
melalui isnstruksi presiden No.1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam inilah
direceptio berbagai sumber aturan atau
madzhab hukum yang berlaku bagi orang
yang beragama Islam. Titik Triwulan Tutik,
Hukum Perdata dalam Sistem Hukum
Nasional, Cet ke-4, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2014.hlm. 23.
yang substansial dari pernikahan
itu adalah rahmah untuk semesta
alam. Artinya bagaimana aturan
Allah ditaati untuk kemaslahatan
8
Chuzaimah
T.Yanggo
dan
HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum
Islam Kotemporer, Cet ke-5, Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2008. hlm. 106.
93
dan
keteraturan
landasan
sebagaimana
maqashid
Ario
assyariah
Sutarto
Bin
Darmoatmojo
Drs.
dengan
Suroso
Nurdiani
yang diantaranya adalah menjaga
Binti Prof. Dr. Baharudin Harahap
keturunan.
serta
pasangan
(Gusdur)
Perkembangan
teknologi
wahid
modern9
merubah
Nuriah Wahid.
sains
telah
pemahaman
Abudurrahman
dengan
Sinta
mengenai
Fakta-fakta pernikahan di atas
melahirkan
merupakan diskursus yang terjadi
diskursus bernilai keabsahan atau
di kalangan masyarakat mengenai
tidaknya
fiqih
sah atau tidaknya pernikahan (ijab
tatanan
dan qabul)10 melalui telepon atau
kemudahan
seperti
yang
dalam
halnya
konteks
dalam
praktis ijab kabul pernikahan yang
media
dilakukan dengan menggunakan
sejenis seperti vidio call misalnya ?
via
Makalah singkat ini bermaksud
telepon
ataupun
canggih
lainnya
Seperti
beberapa
yang
teknologi
sejenis.
kasus
elektronik
menjawab
lainnya
diskursus
yang
tersebut
yang
dengan pemahaman-pemahaman
dialami pada pernikahan pasangan
ulama fiqih klasik dan kotemporer
dengan
pendekatan maslahah
9
Pemahaman sains netral sebenarnya
telah melawan atau menyimpang dari maksud
penciptaan sains itu sendiri, tadinya sains
dibuat untuk membantu manusia dalam
menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini
sebenarnya telah bermakna bahwa sains itu
tidak netral atau tidak bebas nilai, sains
memihak pada kegunaan membantu manusia
menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh
manusia. Sementara itu pahan sains netral
akan memberikan tambahan kesulitan bagi
manusia, kata kuncinya terletak pada tataran
aksiologi sains, yaitu ketika peneliti akan
membuat suatu teori sebenarnya ia sudah
berniat untuk menyelesaikan suatu masalah
dalam kehidupan manusia. Namun dalam
penciptaannya bisa menimbulkan masalah
karena ia menganut sains netral. Lihat Ahmad
Tafsir, Filsafat ilmu Mengurai Ontologi,
Epistimologi dan Aksiologi pengetahuan, Cet
ke-7, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2013.
hlm. 48.
mursalah dan Undang-undang No.
1
Tahun
perkawinan.
1974
Oleh
Tentang
karena
itu
pendahuluan ini penting menurut
penulis sebagai kerangka umum
untuk
mengelaborasi
10
pendapat-
Salah satu rukun akad perkawinan
yang telah disepakati adalah ijab dan qabul.
Ijab oleh wali dan qabul dari calon suami.
Berkenaan dengan pelaksanaan ijab dan qabul
ini, atas pengaruh dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi muncul pertanyaan
sahkah atau tidaknya ijab qabul yang
dilakukan melalui telepon.
Chuzaimah
T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary AZ,
Problematika
Hukum
Islam
Kotemporer,Op.Cit, hlm. 107.
94
pendapat yang pro maupun yang
pengkompromian nilai dalam
kontra terhadap perkawinan via
Fiqih kotemporer ?
telepon ini. Untuk itu penulis hanya
akan
membatasi
pembahasan
terkait dengan ijab dan qabul saja
dalam pernikahan via telepon atau
media elektronik sejenisnya.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
belakang
dari
latar
di
atas,
masalah
penulis
A. Pengertian dan Dasar Hukum
Maslahah Mursalah
mengidentifikasi
beberapa permasalahan
yang
Untuk memahami maslahah
akan dibahas dalam paper ini,
mursalah
yaitu :
dahulu
secara
perlu
baik,
terlebih
diketahui
makna
maslahah dalam kajian ushul fiqh.
1. Bagaimanakah
keabsahan
Kata maslahah semakna dengan
ijab kabul nikah via telepon
kata manfaat, yaitu bentuk masdar
dari sudut pandang Maslahah
yang berarti baik dan mengandung
Al-mursalah
manfaat.
(Fiqih
Maslahah
Kontemporer) dan undang-
bentuk
undang No.1 Tahun 1974
jama’nya (plural) mashsaalih. Dari
Tentang perkawinan?
makna kebahasaan ini dipahami
2. Bagaimana
epistimologi
deskonstruksi
dan
modern
dengan
Maslahah
lmursalah
dan
kebolehan
yang
yang mendatangkan manfaat, baik
aksiologi
pendekatan
(tunggal)
bahwa maslahah meliputi segala
melalui
sains
mufrod
merupakan
cara
mengambil
dan
melakukan suatu tindakan maupun
A-
dengan
menolak
menghindarkan
konsep
serta
95
segala
dan
bentuk
sejalan dengan maksud syar‟i
yang menimbulkan kemudharatan
11
dan kesulitan.
Said
tetapi tidak ada nash secara
Ramadhan
mendepinisikan
khusus
al-Buthi
yang
memerintahkan
dan melarangnya.”
Maslahah
mursalah adalah:12
Dari depinisi tersebut, tampak
yang menjadi tolak ukur maslahah
adalah
tujuan syara’ atau
berdasarkan ketetapan syar’i. Inti
kemaslahatan
yang
ditetapkan
syar’i adalah pemeliharaan lima
Artinya:“Al-Maslahah adalah
manfaat yang ditetapkan syar‟i
untuk para hambanya yang
meliputi pemeliharaan agama, diri,
akal, keturunan dan hartamereka
sesuai dengan urutan tertentu
diantaranya.”
hal
pokok
(Kulliyat
al-Khams).
Semua bentuk tindakan seseorang
yang
mendukung
pemeliharaan
kelima aspek ini adalah maslahah.
Begitu pula segala upaya yang
berbentuk
Sedangkan Abu Zahrah
tindakan
menolak
kemudharatan terhadap kelima hal
mendepinisikan maslahah
ini juga disebut maslahah.14 Oleh
mursalah sebagai berikut :
karena
itu,
al-
Ghazali
mendepinisikan maslahah sebagai
mengambil manfaat dan menolak
kemadharatan
13
dalam
rangka
memelihara tujuan syara’ (Kulliat
al- Khams).15
Artinya:
“Maslahah mursalah
adalah
kemaslahatan
yang
14
Firdaus, Ushûl Fiqh Metode
Mengkaji dan Memahami Hukum Islam
Secara Komprehensif, Cet. Pertama, (Jakarta:
Zikrul Hakim, 2004), hlm. 81.
11
Said,
Ramadhan
al-Buthi,
Dhawabit al-Maslahah fî al-Syarî’ah alIslâmiyah, (Beirut: Muassah al-Risalah,
1977), Cet. Ke-3, hlm. 2.
15
Abu Hamid al-Ghazali, alMustashfâ fî ílmî al-ushûl, (Beirut: Dar alKutub al- Ilmiyyah, 1983), Jilid 1, hlm. 286.
12
Ibid., hlm. 2.
13
Ibid., hlm. 2.
96
Sejalan
maslahah
dengan
sebelumnya,
prinsip
dan
Syatibi
pemeliharaan
benda.18Konsep
harta
tersebut
menjelaskan bahwa kemaslahatan
diimplementasikan
tidak
metode:
dibedakan
antara
kemaslahatan
dunia
maupun
kemaslahatan
akhirat,
karena
dalam
pertama,
dua
metode
konstruktif (bersifat membangun)
dan
kedua,
kedua bentuk kemaslahatan ini
(bersifat
selama
metode
bertujuan
dapat
memelihara
metode
preventif
mencegah).
Dalam
konstruktif,
kewajiban-
Kulliat al-khams, maka termasuk
kewajiban Agama dan berbagai
dalam ruang lingkup maslahah.16
aktivitas sunat yang baik dilakukan
Sifat
dapat
dasar
syari‟ah
dari
maqasid
adalah
pasti,
al-
dijadikan
contoh
dalam
dan
metode ini. Sedangkan berbagai
kepastian di sini merujuk pada
larangan pada semua perbuatan
otoritas maqasid al-syari‟ah itu
bisa
sendiri.
Dengan
demikian
preventif
eksistensi
maqasid
al-syari‟ah
dijadikan
sebagai
contoh
kedua metode tersebut
bertujuan mengukuhkan elemen
hukum
maqasid al- syari‟ah sebagai jalan
syari’at menjadi hal yang tidak
menuju kemaslahatan.19 Menurut
terbantahkan baik yang bersifat
pendapat penulis sebagai salah
pada
setiap
ketentuan
perintah wajib ataupun larangan.
17
satu pendekatan fiqih maslahah
Al-Ghazali mengajukan teori
almursalah terkait erat dengan
maqasid al-syari‟ah ini dengan
maqashid assyariah, dalam hal ini
membatasi pemeliharaan syari’ah
pernikahan
pada
yaitu
tujuan dari maqhasid assyariah
Agama, jiwa, akal, kehormatan,
yang di antaranya adalah menjaga
lima
unsur
utama
adalah
salah
satu
keturunan (Hifzunnasl) sehingga
pendekatan ini menurut penulis
16
Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn
Muhammad al-Syatibi, Al-Muwâfâqât fî Ushûl
al-Syarî’ah, (Dar ibn Affan, 1997), Cet.
Pertama, jilid 2, hlm. 17-18.
adalah
pendekatan
deskonstruktif
17
18
Hasbi Umar, Nalar Fiqih
Kotemporer, Cet. Ke-1, (Jakarta: Gaung
Persada Pers, 2007), h. 129.
baik
yang
secara
Al- Ghazali, al-Mustashfâ fî ílmî
al-ushûl , hlm. 286.
19
Ibid., hlm. 238.
97
epistimologi
yang
mapun
aksiologis
sesuai
perkembangan
dan
Fuqoha
telah
bersepakat
dengan
bahwa al-ijab dan al-qabul adalah
tantangan
rukun dari nikah namun secara
zaman.
teknis
pelafalannya
bersambung.
harus
Yang
dimaksud
B. Terminologi Ijab dan Kabul serta
dengan bersambung di sini ada
Keabsahannya Dalam Pernikahan
beberapa pendapat mujtahid yang
Suatu
berbeda
Pendekatan
Maslahah
Almursalah.
bahwa
rukun
misalnya
bersambung di sini maksudnya
tanpa
Al-jazairi
pendapat
menyimpulkan
majelis.
Menurut pemahaman penulis alijab dan al-qabul di sini tidak harus
Pertama, al-ijab yaitu lafaj yang
bersambung namun memberikan
muncul dari wali atau orang lain
makna
yang menempati kedudukan wali.
keduanya ketika al-ijab dan al-
Kedua al-qabul yaitu shigat/lafaz
qabul tersebut dilafalkan selagi
yang muncul dari atau suami atau
tidak diselingi oleh tindakan yang
orang
lain baik secara sengaja maupun
kedudukannya.
yang
ada
atau satu
dua.
lain
nikah
jeda
menempati
yang
pasti
dari
ini,
tidak disengaja. Oleh karena itu
dapatlah diketahui bahwa esensi
akan menjadi masalah keabsahan
akad nikah terdiri dari tiga faktor
ketika pernikahan itu dilakukan
yaitu al ijab, al-qabul dan ikatan
dengan
yang
timbul
Dengan
ikatan
atas
via
telepon
jika
ada
akibat
terlaksananya al-ijab dan al-qabul
berpendapat kurang lebih sama dengan
malikiyah dengan satu poin pembeda rukun
nikah terdiri dari lima yaitu calon istri, calon
suami, wali, dua orang saksi dan shighat.
Namun Al-Jazairi meringkas dari kedua
pendapat
mujtahid
tersebut
dengan
berpendapat rukun nikah hanya dua saja yaitu
Ijab dan kabul dengan interpretasi bahwa
rukun-rukun yang lainnya secara tersirat
sudah ada dalam rukun ijab dan qabul.
Misalnya calon suami sudah ada dalam qabul
sedangkan ijab sudah ada pada wali atau yang
mewakilkannya sedangkan syahadah masuk
dalam syarat nikah. Lihat Aljazairi, hlm. 12.
20
tersebut.
20
Al-Jazairi
tidak
hanya
memaparkan rukun nikah yang dua tersebut
namun ia juga mengelaborasi beberapa
pendapat para mujtahid tentang rukun-rukun
nikah. Fuqoha dari kalangan Malikiyah
misalnya, menyebutkan bahwa rukun nikah
ada lima yaitu wali, mas kawin, calon suami,
calon istri, dan shigat. Al-Syafi’iyyah
98
keharusan
antara
al-ijab
yang
penelitian sejumlah kebijaksanaan
diucapkan oleh wali calon istri atau
tasyrik dari Allah SWT atau melalui
yang mewakilinya dengan calon
petunjuk
suami karena tidak dalam satu
ahkam,22melalui
majelis.
dengan ijtihad istinbathi atau ijtihad
ayat
atau
hadis
metode
kajian
epistimologi
tatbiqi.23 Dalam hal ijab dan qabul
dan aksiologi21 pengetahuan kita
via telepon ini misalnya penulis
bisa memahami bahwa penemuan
berpendapat bahwa titik beratnya
telepon adalah bagian yang tidak
pada keyakinan para pihak dalam
terpisahkan
hal ini wali dan calon suami tidak
Dalam
tataran
dari
kebutuhan
manusia yang bisa memudahkan
meragukan
untuk berinteraksi satu sama lain
ataupun sebaliknya, oleh karena
tanpa menghilangkan hal yang
itu
syarat
yang
paling
substansial
dikedepankan
adalah
pertama
dalam
komunikasi
suara
calon
suami
tersebut. Salah satu manfaat yang
antara wali dan calon suami sudah
bisa
telepon
sama-sama mengenal satu sama
tersebut adalah pengucapan ijab
lainnya sehingga kharakter suara
dan kabul pernikahan jarak jauh.
akan terlihat dalam komunikasi
didapatkan
dari
Tujuan yang ingin dicapai oleh
telepon tersebut. Kedua, jika mau
pembuat hukum islam sehingga
diuji apakah calon suami yang
menetapkan suatu hukum kepada
tidak pada satu tempat tersebut
manusia, dapat diketahui melalui
memberikan
petunjuk suatu ayat hukum dan
langsung
juga
dapat
diketahui
jawaban
atau
secara
komunikatif
melalui
22
Zaenuddin Ali, Filsafat Hukum,
Cet ke-6, Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2014.hlm. 70.
21
Landasan epistimologi metode
ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif
dan logika induktif dengan pengajuan
hipotesis atau yang disebut dengan logicohypotetico-verifikasi dan landasan aksiologi
kemaslahatan manusia artinya segenap wujud
ketahuan itu secara moral ditujukan untuk
kebaikan
manusia.
lihat
Jujun
S.
Suriasumantri,Filsafat ilmu Sebuah Pengantar
populer, Cet ke-17, Jakarta: 2003.hlm. 294.
23
Ijtihad istinbathi dilakukan untuk
mengetahui secara teliti inti masalah yang
dikandung oleh wahyu. Inti dari permasalahan
tersebut aken menjadi tolak ukur bila hukum
dikaitkan pada suatu masalah dan ijtihad
tatbiqi yaitu suatu penelitian terhadap suatu
masalah yang akan diterapkan hukum padanya
yang sumbernya adalah Al-qur’an. Lihat
.Zaenuddin Ali, Filsafat Hukum, Ibid.,hlm.71.
99
tidaknya
bisa
memberikan
suatu syarat menurut pendapat
keyakinan ketiga, jika dibutuhkan
sebagian besar ulama meskipun
bisa menggunakan teknologi visual
bersifat
yang kita kenal dengan vidio call
Fuqoha
atau skyp dan teknologi sejenis
persyaratan
saksi
dalam
lainnya.
pernikahan
menggunakan
jalan
Dari
komunikasi
yang
i‟lan
atau
menyiarkan.
dalam
menerapkan
bersifat visual tersebut meskipun
istidlal25 bukan berdasarkan pada
tidak dalam satu majlis akan tetapi
nash.
satu sama lain bisa saling melihat
berkurang
dan
pernikahan via telepon oleh karena
mempertegas
dengan
Peranan
yang
dalam
prosesi
pertanyaan-pertanyaan
tidak
komunikatif yang sesuai dengan
dalam
kebutuhan
pernikahan
penulis bisa diselesaikan dengan
sebab
penambahan jumlah saksi pada
dan
tersebut,maka
oleh
penulis
mempunyai
bahwa
pernikahan
itu
via
tujuan
ijab
qabul,
karena pada substansinya moral
hazard para pihak yang menjadi
landasan utama dari pernikahan
yang
dilakukan
via
telepon
orang
laki-laki
25
24
dalam
dua
pernikahan
menurut
Jalan istidlal adalah kaidah
fiqhiyyah yang maksudnya keberadaan saksi
tersebut untuk tercapainya ikatan perkawinan
dari pelaksanaan akad nikah diperlukan
pengakuan semua pihak yang terlibat dalam
akad tersebut tentang sahnya akad, yang salah
satunya adalah peranan saksi dalam hal
menyaksikan bahwa telah terjadi ijab dan
qabul antara wali dan jauz serta iapun
membenarkan keabsahan dari ijab dan qabul
tersebut meskipun itu tidak dilakukan dalam
satu majelis. Akan tetapi esensi dari fungsi
saksi tersebut tidak hilang dengan adanya dua
majelis nikah.Lihat Chuzaimah T.Yanggo dan
HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum
Islam Kotemporer,Ibid.,hlm.113.
tersebut.
Saksi
majelis
tidak
meninggalkan masalah karena berkurangnya
fungsi saksi disebabkan terpecahnya majlis
pernikahan menjadi dua majlis yaitu majlis alijab pihak wali dan majelis al-qabul pihak
mempelai laki-laki (jauz) yang menjadi
pertanyaan apakah terpisahnya tempat wali
dengan jauz tersebut akan sekaligus
membatalkan persyaratan dalam satu majelis
sebagaimana pendapat fuqoha. Lihat 24
Chuzaimah T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary
AZ, Problematika Hukum Islam Kotemporer,
Cet ke-5, Loc.,Cit, hlm.112.
telepon
namun tidak akan menghilangkan
dari
satu
menyaksikan
kesimpulan
walapun tidak dalam satu majlis
esensi
bisa
saksi
merupakan
24
Fungsi saksi bukan hanya sekedar
untuk menyiarkan bahwa telah terjadi
pernikahan antara para pihak, akan tetapi juga
berfungsi sebagai alat bukti dalam hal terjadi
pengingkaran, apapun interpretasi fungsi
saksi, tidak akan merubah keabsahan
pernikahan via telepon, meskipun tidak
100
masing-masing majelis akad. Pada
untuk
dilakukan
pernikahan
majelis wali (ijab) dua orang saksi
dengan tidak dalam satu majelis.
dan pada majelis jauz (qabul) dua
Mengenai pendapat mujtahid
orang saksi, sehingga peranan
dalam menetapkan ijab dan qabul
saksi tidak kurang secara esensial
harus dalam satu majelis bahwa
dengan adanya dua majelis.
ilmu pengetahuan dan teknologi
Menurut pemahaman penulis
jika
dilihat
dari
pada
pendekatan
saat
itu
menjawab
belum
pernikahan
bisa
bisa
maslahah bahwa pernikahan via
dilakukan tidak dalam satu majelis.
telepon adalah bukan pernikahan
Tantangan
yang dijadikan sebagai kelajiman,
berijtihad
namun nikah tersebut bisa saja
ilmu pengetahuan dan teknologi
dilakukan sebagai jalan dharurat
dan
dengan
mengedepankan
moral
fiqih, yang
hazard
maksud
tujuan
pahami sebagai problematika fiqih
dan
para mujtahid dalam
menjawab
dibutuhkannya
kenyataan
pleksibilitas
secara umum kita
dilakukannya pernikahan tersebut
kotemporer.
asalkan
berpedoman pada Al-qur’an dan
syara
memenuhi
dan
tidak
ketentuan
bertentangan
sunnah
Dengan
serta
tetap
kaidah-kaidah
dengan kaidah fiqih dan maqasid
usulliyyah sebagai pijakan dalam
assyariah.
menetapkan suatu hukum.
Maksud
dan
tujuan
pernikahan via telepon tersebut
Oleh karena itu berdasarkan
secara substansial sejalan dengan
maslahah
maslahah Al-mursalah yang pada
berkesimpulan
esensinya
keabsahan pernikahan via telepon
menjalankan
sunnah
almursalah
pada
konteks
dan menjaga keturunan. Meskipun
tidak
pernikahan dilakukan secara tidak
keabsahan pernikahan tersebut,
lajim yaitu dengan ijab dan qabul
karena tujuan dari dilakukannya
tidak dalam satu majelis namun
pernikahan
perkembangan ilmu pengetahuan
kemaslahatan
dan
melakukannya.
teknologi
memungkinkan
menghilangkan
penulis
esensi
tersebut
adalah
bagi
yang
Kemaslahatan
yang dimaksud adalah mencegah
101
segala sesuatu perbuatan buruk
bagian
dari
dilakukan
menundanya
pernikahan,
prasyarat
ketika
akan
pernikahan.
mempercepat pernikahan adalah
Sebagaimana
bagian
Undang-undang No. 1 Tahun 1974
yang
dianjurkan
oleh
agama.
berdasarkan
Tentang perkawinan pasal 2 ayat
2, yaitu :
“Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”27
C. Pernikahan Via Telepon Persfektif
Pencatatan pernikahan hanya
Undang-undang No. 1 Tahun 1974
satu ayat yang terdapat dalam
Tentang Perkawinan.
Di
dalam
UUP dan tidak dapat ditafsirkan,
menganalis
meskipun
pernikahan via telepon ini penulis
memfokuskan
bersifat
pada
hal
administratif
demikian
namun
peranan pencatatan tidak dapat
yang
dikesampingkan bahkan menjadi
yaitu
hal yang pokok sehingga para
pencatatan pernikahan26 sebagai
ulama
26
fiqih
saat
ini
menggolongkan pernikahan dalam
Analisis mengenai pencatatan
perkawinan tidak diberikan perhatian secara
khusus oleh fiqih maupun Al-quran
diantaranya pertama, larangan untuk menulis
sesuatu selain Al-Qur;an akibatnya kultur tulis
tidak begitu berkembang dari kultur hafalan,
kedua, pada saat itu kebiasaan menghafal
adalah sebagai kultur yang dapat diandalkan,
sehingga mengingat pernikahan bukanlah
menjadi suatu masalah ketiga, tradisi
walimatul uru’syi walaupun dengan seekor
kambing merupakan saksi di samping saksi
syar’i dalam sebuah perkawinan keempat, ada
kesan perkawinan yang berlangsung pada
masa-masa awal Islam belum terjadi antar
wilayah yang berbeda, di mana perkawinan
pada saat itu berlangsung dimana calon suami
dan calon istri berada dalam suatu wilayah
yang sama. Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari
Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di
Indonesia Studi kritis perkembangan Hukum
Islam dari Fiqih,UU No.1/1974 sampai KHI,
Cet ke-5, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama,
2014, hlm. 121.
syarat
administratif
menjadikan
sah
atau
yang
tidaknya
pernikahan.
Dalam pernikahan via telepon
penulis
27
berpandangan
bahwa
Ini adalah satu-satunya ayat yang
mengatur tentang pencatatan perkawinan. Di
dalam penjelasannya tidak ada uraian yang
lebih rinci kecuali yang dimuat di dalam PP
No.9 tahun 1975. Ini berbeda dengan ayat 1
yang di dalam penjelasannya dikatakan (i)
tidak ada perkawinan di luar hukum agama
dan (ii) maksud hukum agama termasuk
ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Ibid.,hlm.122.
102
prasayarat
administratif
juga
sehingga hal itu yang menjadi
merupakan yang harus dipenuhi
dasar dilakukannya pernikahan via
oleh pihak wali (ijab) dan beserta
telepon.
Permasalahan
dua orang yang menyaksikannya
berkaitan
dengan
dan di pihak jauz (suami) beserta
tentu
dua orang yang menyaksikannya
dikomunikasikan dengan baik oleh
dengan
pihak berwenang dengan pihak
tidak
mengabaikan
suatu
ketentuan yang ada pada masing-
yang
masing majelis akad dimana jauz
nikah,
berdomisili.
lembaga
Karena
perkawinan
pencatatan
adalah
suatu
administratif
hal
yang
mempunyai
karena
harus
kepentingan
tidak
pencatat
memberikan
yang
nikah
begitu
semua
akan
mudah
kepatuhan dan kepatutan dalam
pernikahan via telepon tersebut
perkawinan sebagai konsekuensi
jika prasyarat yang pokok dalam
logis ikatan pertanggungjawaban
pernikahan tidak dipenuhi oleh
sebab akibat dari terjadinya ijab
pihak yang berkepentingan.
dan qabul. Adapun persyaratan
Oleh karena itu jika kondisi
nikah via telepon yang dijadikan
mempelai tidak dalam keadaan
dasar
dapat
yang mengharuskan mereka tidak
dilangsungkan tentu ada alasan-
dalam satu wilayah akan tetapi
alasan syar‟i yang menungkinkan
tidak mengenai hajat pokok, maka
itu bisa dilakukan di antaranya
menurut hemat penulis pernikahan
pihak
via telepon tersebut seyogyanya
pernikahan
calon
suami
mengharuskan
berbeda
waktu
itu
mereka
negara
tertentu
dan
dalam
karena
istri
untuk
tidak
kurun
pernikahan
ada
bersifat
bisa
dilakukan.
sesuatu
sakral
dan
hal
Karena
yang
diperlukan
kewajiban yang berkaitan dengan
kesungguhan
hajat yang bersifat primer. Di saat
melakukannya, maka penerapan
yang sama mereka khawatir jika
satu majlis dalam konteks fiqih
tidak
pernikahan
yang menjadi kesepakatan para
membawa
ulama adalah suatu keharusan,
mereka pada keburukan sikap,
jika hal tersebut dilakukan dengan
dilangsungkan
dengan
cepat
akan
103
untuk
menikah
via
telepon
sesungguhnya
tidak
padahal
ada
yang
hajat
menyaksikan
pernikahan
sedangkan
dengan
cara
yang pokok bagi mereka maka
mewakilkan fihak jauz mewakilkan
penulis menilai ijab dan qabul
kepada orang lain untuk menjawab
tersebut tidak sah.
qabulnya yang secara substansial
Dalam
tatanan
praktisnya
keberadaan jauz tidak dalam satu
hukum islam memberikan suatu
kebolehan
jika
mewakilkan
majlis.
28
Dengan
demikian
penulis
dalam suatu pernikahan. Penulis
menitik beratkan pada analisis
berpendapat bahwa muwakil atau
pernikahan via telepon persfektif
mewakilkan
pernikahan
undang-undang No. 1 Tahun 1974
secara teknis dianalogikan sama
Tentang Perkawinan pada aspek
dengan pernikahan via telepon,
prasyarat
namun dalam konteks pernikahan
mengharuskan pencatatan dalam
via
yang
pernikahan. Karena sesungguhnya
mengucapkan qabul yang secara
pintu keabsahan dan pengakuan
fisik tidak terlihat langsung oleh
pernikahan
telepon
dalam
jauz sendiri
adalah
administratif
tersebut
dengan
yang
pintunya
jalan
cara
mencatatkan pernikahan tersebut
Ada kesamaan dalam tataran teknis
pernikahan ketika Nabi Muhammad SAW
pada lembaga yang diberikan
menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan, di
mana nabi mewakilkan Umar bin Umayyah
kewenangan.
Al-Dlamiriy untuk menerima nikahnya,
meskipun belum diperoleh keterangan lebih
lanjut tentang mengapa Nabi mewakilkan
pelaksanaan akad nikah tersebut. Maka para D. Deskonstruksi Epistimologi dan
ulama berpendapat pertama, kalaupun
Aksiologi Sains Modern Dengan
diwakilkan karena nabi berhalangan maka
pengahalang itu karena sesuatu yang baik
Pendekatan Maslahah A-lmursalah
kedua,
Al-Dlamiriy
yang
mendapat
kepercayaan nabi pastilah orang yang layak
dan Konsep Kebolehan serta
dipercaya mengemban amanah ketiga, suatu
hal yang tidak mungkin nabi melaksanakan
Pengkompromian Nilai dalam Fiqih
pernikahan
tersebut
karena
khawatir
kotemporer
terjerumus melakukan perbuatan keji oleh
karenanya pelaksanaan nikah tidak bisa
ditunda walaupun dengan mewakilkan kepada
orang lain. Lihat Chuzaimah T.Yanggo dan
Sumber utama penemuan
HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum
Islam Kotemporer,Op.,Cit.,hlm.116.
hukum
adalah
peraturan
28
104
perundang-undangan,
kemudian
Dalam era ilmu pengetahunan
hukum kebiasaan, yurisprudensi,
dan teknologi31, ilmu sebagai hasil
perjanjian internasional dan yang
aktivitas manusia yang mengkaji
terkahir
doktrin.
terdapat
berbagai hal, baik diri manusia itu
hierarki
dalam sumber
hukum,
sendiri maupun realitas di luar
Jadi
oleh karena itu kalau terjadi konflik
dirinya,
dua sumber, sumber hukum yang
perkembangannnya sampai saat
tertinggi
akan
ini selalu mengalami keterangan
sumber
hukum
melumpuhkan
yang
sepanjang
sejarah
lebih
dengan berbagai aspek lain dari
rendah.29 Demikian juga halnya
kehidupan manusia. Pada tataran
dengan konsep hukum islam ada
praktis-operasional
tingkatan-tingkatan sumber hukum
diperbincangkan
dan sumber hukum yang paling
hubungan timbal balik antara ilmu
tertinggi adalah Al-qur’an. Konsep
dan
maslahah almursalah merupakan
teknologi telah merubah tatanan
ijtihad yang maknanya, yaitu :
fiqh33 yang ada pada saat ini,
“Maslahah
mursalah
adalah
kemaslahatan
yang
sejalan
dengan maksud syar‟i tetapi tidak
ada nash secara khusus yang
memerintahkan
dan
30
melarangnya.”
selalu
kembali
teknologi.32perkembangan
31
Teknologi adalah penerapan dari
pengetahun ilmiah (natural science)
pengertian ini adalah pengertian teknologi
yang paling banyak dilakukan berbagai
lingkup kehidupan, bunge menyatakan bahwa
teknologi adalah ilmu terapan yang dipilahnya
menjadi empat cabang, yakni teknologi fisik
(misal teknik mesin dan teknik sipil),
teknologi biologis (farmakologi), teknologi
sosial (riset operasi), teknologi pikir (ilmu
komputer), Feibleman memandang teknologi
sebagai pertengahan antara ilmu murni dan
ilmu terapan, atau merujuk pada makna
teknologi sebagai keahlian. Lihat Ridjaluddin,
Filsafat ilmu, Cet ke-2, Jakarta : Gaung
Persada Press, 2013.hlm,105.
29
Sudikno Mertokusumo, Penemuan
Hukum sebuah pengantar, Cet ke Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2014. hlm, 63. Said,
Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al-Maslahah fî
al-Syarî’ah al-Islâmiyah, (Beirut: Muassah alRisalah, 1977), Cet. Ke-3, hlm. 2.
32
33
Ibid.,.hlm,105.
Fiqh itu bermakna paham dan
ilmu. Akan tetapi urf ulama telah menjadikan
suatu ilmu yang menerangkan hukum-hukum
syara’tertentu bagi perbuatan-perbuatan para
mukallaf, seperti wajib, haram, mubah, sunah,
30
Said, Ramadhan al-Buthi,
Dhawabit al-Maslahah fî al-Syarî’ah alIslâmiyah, (Beirut: Muassah al-Risalah,
1977), Cet. Ke-3,Log.,Cit,hlm. 2.
105
sehingga
problematikan
hukum
ditemukannya
suatu
yang berkaitan dengan hukum fiqih
pengetahuan
kotemporer
sebagai jalan untuk memudahkan
sebagai
bagian
pada
ilmu
dasarnya
tantangan para mujtahid saat ini
manusia
untuk berijtihad menetapkan suatu
kesulitan yang ada, sehingga pada
hukum yang
dasarnya
berkaitan dengan
teknologi.
menghadapi
tujuan
kesulitan-
dari
pada
ditemukannya teknologi tersebut
Pernikahan via telepon adalah
bukannya bermaksud memberikan
penomena baru dalam konteks
kesulitan
fiqih, karena peristiwa tersebut ada
menghancurkan
seiring dengan kemajuan ilmu dan
kehidupan manusia. Oleh sebab
teknologi, yang menungkinkan ijab
itu penulis memandang bahwa
dan qabul bisa dilakukan tidak
deskontruksi epististimologi dalam
dalam satu majelis dan berbeda
pengetahuan
negara. Sehingga dengan adanya
dengan
penomena baru maka harus ada
merupakan
jawaban dengan melalui suatu
guna menjawab tantangan zaman
pendekatan ijtihad seperti masalah
dan tujuan dari penemuan atau
almursalah
sehingga
epistimologi ilmu dan teknologi
pemahaman fiqih akan selalu ada
tersebut tidak bertentangan pada
menjawab tantangan zaman yang
aspek aksiologi pengetahuan.
selaras
misalnya,
dengan
atau
bahkan
sampai
tatanan
sains
pendekatan
suatu
modern
agama
keniscayaan
maqashid
assyariah.
34
Istilah epistimologi pertama kali
digunakan oleh J.F.Ferrier pada tahun 1854
untuk membedakannya dengan cabang filsafat
lainnya yaitu ontology, secara kebahasaan
istilah epistimologi berasal dari yunani yakni
epistime dan logos. Jika kata yang pertama
disebutkan berarti pengetahuan (knowledge),
maka yang belakangan disebutkan berarti ilmu
atau teori (theory). Jadi, jika melihat dari
silsilah kebahasaan tersebut, epistimologi
dapat dimengerti sebagai teori pengetahuan
(theory of knowledge). Ahkyar Yusuf Lubis,
Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kotemporer, Cet
ke-1, Jakarta : Rajawali Pers, 2014.,hlm.31.
Dalam tataran epistimologi 34
ilmu
pengetahuan
bahwa
makruh, sahih, fasid, batil, qhada dan ada
yang sepertinya. Abd. Shomad,Hukum Islam
Penormaan PrinsipSyariah Dalam Hukum
Indonesia, Cet ke-2, Jakarta: kharisma Putra
Utama, 2012.hlm.,26.
106
Penomena
telepon
pernikahan
adalah
via
adalah kloning, atau penciptaan
bagian
senjata nuklir dll.
perkembangan ilmu dan teknologi,
kalau
kita
lihat
pada
BAB III
aspek
KESIMPULAN
aksiologi maka secara epistimologi
telepon sebagai produk riset ilmiah
telah
memberikan
yaitu
dengan
kemudahan
pernikahan
1. Maslahah
via
penting
telepon namun tidak lepas dari
metode
pertentangan
tantangan
mengenai
mursalah
kiranya
sebagai
bagian
ijtihad
menjawab
dan
penomena
keabsahan. Maka deskonstruksi
hukum dari waktu ke waktu.
aspek epistimologi sains dalam
Pernikahan via telepon bisa
konteks pernikahan via telepon
saja dilakukan dan sah secara
adalah
hukum
pendekatan
maslahah
ijab
dan
qabul
almursalah dalam tataran aksiologi
meskipun tidak dalam satu
sudah
yang
majelis, jika memenuhi syarat-
pemahaman
syarat dan tidak bertentangan
bahwa pernikahan tersebut tidak
dengan maqashid assyariah,
hilang esensi keabsahannya.
diantara
bermanfaat,
menghantarkan
Oleh
karena
berkesimpulan
yang
prasyarat
itu
penulis
terpenting dalam pernikahan
bahwa
konsep
tersebut
adalah
aspek
kebolehan dan pengkompromian
pencatatan, yang mana hal
nilai dalam fiqh merupakan suatu
tersebut adalah kepatuhan dan
keniscayaan, diantaranya dengan
kepatutan sebagai kosekuensi
pendekatan maslahah almursalah.
logis
Adapun mengenai deskonstruksi
kewajiban dari sebab akibat
sains modern perlu pendekatan
ijab dan qabul tersebut.
lahirnya
hak
dan
agama jika bersentuhan dengan
hal-hal yang bertentangan dengan
tujuan
teknologi
epistimologi
itu
sendiri.
ilmu
2. Pendekatan
dan
Misalnya
107
maslahah
almursalah
menurut
adalah
bagian
penulis
dari
pengkompromian
nilai
dan
bermanfaat namun disisi lain
konsep
kebolehan
dalam
harus
proses
menetapkan
hukum,
aspek
bertentangan
hukum
dengan
islam
deskonstruksi epistimologi ilmu
misalnya
dan
melalui
hukum, maka harus ditemukan
pendekatan
agama
jalan
merupakan
suatu
teknologi
keniscayaan,
nilai-nilai
sebagai
pengkompromian
upaya
nilai
dan
secara
konsep kebolehan. Sehingga
aksiologi bertentangan dengan
fiqh dalam hal ini bisa memberi
konsep
assyariah
jalan
dan konsep epistimologi dari
ilmu
keberadaan ilmu dan sains
berkembang
modern itu sendiri. Jika secara
dari
aksiologi
jika
atau
(fiqh)
maqashid
sains
modern
itu
3. .
108
meskipun
perubahan
sains
waktu
modern
dengan
pesat
ke
waktu
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet ke-2, Jakarta,
Prenada Media, 2007.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di
Indonesia
Studi kritis perkembangan Hukum Islam dari Fiqih,UU No.1/1974
sampai KHI, Cet ke-5, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2014
Ahkyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kotemporer, Cet ke-1,
Jakarta :
Rajawali Pers, 2014
Antonius Cahyadi dan E.Fernando M.Manullang, Pengantar ke Filsafat
Hukum,
Cet ke-3, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Ahmad Tafsir, Filsafat ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi
pengetahuan, Cet ke-7, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2013.
Abd. Shomad,Hukum Islam Penormaan PrinsipSyariah Dalam Hukum
Indonesia,
Cet ke-2, Jakarta: kharisma Putra Utama, 2012.
Al Bukhori, Shahih al-Bukhori, jilid II, Istanbul : al maktabah “al Islami”.
Abd Al-Rahman al-jaziri, Al-Fiqh „Ala Mazahib Al-„Arba‟ah, jilid VI, Beirut:
Dar
Al-Fikr, 1986.
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfâ fî ílmî al-ushûl, Jilid ke-1,Beirut: Dar
alKutub al- Ilmiyyah, 1983.
Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syatibi, Al-Muwâfâqât fî
Ushûl al-Syarî‟ah, Cet ke-1,Dar ibn Affan,Jilid 2, 1997.
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta. Akademika Pressindo,
1997
Chuzaimah T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum
Islam
109
Kotemporer, Cet ke-5, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008.
Firdaus, Ushûl Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam
Secara
Komprehensif, Cet. Ke-1, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat ilmu Sebuah Pengantar populer, Cet ke17,
Jakarta: 2003.
Ridjaluddin, Filsafat ilmu, Cet ke-2, Jakarta : Gaung Persada Press, 2013.
Umar Hasbi, Nalar Fiqih Kotemporer, Cet. Ke-1,Jakarta: Gaung Persada
Pers,
2007.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Undang-undang Pokok
Perkawinan.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet ke-3, Jakarta:
Universitas
Indonesia Press, 2014.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah pengantar, Cet keYogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2014.
Said Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al- maslahah fi al syari‟ah al Islamiyah,
Cet.
Ke-3, Beirut: Muassah al- Risalah, 1977.
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cet
ke-4,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.
Zaenuddin Ali, Filsafat Hukum, Cet ke-6, Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2014.
110
Download