KEABSAHAN AKAD NIKAH VIA TELEPON PENDEKATAN MASLAHAH AL-MURSALAH DAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh : TAUFIK KURROHMAN ( Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang/UNPAM) ABSTRAK Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah bagian dari transformasi hukum Islam masuk dalam perundang-undangan di Indonesia. Dimana di dalamnya terdapat berbagai aspek dalam konteks keilmuan hukum Islam (Fikih) mengenai perkawinan diakomodir oleh undang-undang tersebut. Salah satu yang substansial dari depinisi nikah yang dikemukan oleh fuqoha bahwa pernikahan secara aksiologi suatu jalan yang dilegalkan oleh syar‟i guna menghantarkan tabiat syahwat kemanusiaan diletakan pada tempat yang mulia dan bernilai ibadah. Suatu hal yang harus dijawab dari waktu-kewaktu oleh fikih kontemporer dalam hal ini adalah problematika pernikahan yang akan terus berkembang dan dinamis sejalan dengan perkembangan teknologi seperti saDat ini pernikahan via telepon yang dilakukan oleh pasangan Ario Sutarto Bin Drs. Suroso Darmoatmojo dengan Nurdiani Binti Prof. Dr. Baharudin Harahap serta pasangan Abudurrahman wahid (Gusdur) dengan Sinta Nuriah Wahid. Pernikahan via telepon tersebut menimbulkan problematika di dalam masyarakat pada aspek keabsahan baik dalam konteks fikih kontemporer dan pada aspek undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penelitian dalam paper ini dilakukan dengan cara kualitatif, penulusuran literature kepustakaan dan hasil dari penelitian ini Maslahah mursalah kiranya penting sebagai bagian metode ijtihad menjawab tantangan dan penomena hukum yang bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan teknologi. Pernikahan via telepon bisa saja dilakukan dan sah secara hukum ijab dan kabul meskipun tidak dalam satu majelis, jika memenuhi syarat-syarat dan tidak bertentangan dengan maqashid assyariah, Kata kunci : Nikah Via Telepon, Maslahah Al-mursalah dan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 89 A. Latar Belakang Masalah Setiap masyarakat memiliki secara salah satu dan rasional, hukum positif tertulis lebih atau kebiasaan.1 anggotanya kolektif. terbuka berperan daripada hukum adat budaya yang menjadi ciri khas individu-individu bersikap Di Indonesia sendiri ketentuan di hukum positif yang berkenaan antaranya adalah budaya hukum, dengan perkawinan telah di atur maksudnya dalam adalah masyarakat bagaimana memandang dan perundang-undangan Negara yang khusus berlaku bagi menghayati hal-hal yang berhubungan dengan hukum dimaksud adalah dalam bentuk dalam undang-undang secara umum. pandangan Hukum budaya warga muslim Indonesia. Aturan yaitu yang Undang- Undang No.1 Tahun 1974 tentang bukanlah pengkajian berdiri sendiri perkawinan atau emperis, akan tetapi ia adalah pelaksanaanya aspek praktis doktrin sosial dan peraturan pemerintah No.9 Tahun keagamaan yang di ajarkan oleh 1975. UU ini merupakan hukum nabi Muhammad SAW. materiil Masyarakat merupakan berada masyarakat dalam masyarkat berkembang ciri-ciri perkawinan, hukum formalnya menuju No.7 Tahun 1989 jo Undang- Masyarakat undang No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. tradisional, Sebagian namun dilain pihak sudah mulai mengemukakan menyerap perkawinan ciri-ciri bentuk ditetapkan dalam Undang-Undang berkembang disatu pihak masih mempunya dalam dari sedangkan peraturan yang tahap modern. dan modern. masyarakat modern mempunyai aspek fuqoha hakikat hanya lahiriah dalam menonjokan yang bersifat ciri-ciri tertentu yakni antara lain, 1 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet ke-3, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2014. mempunyai ilmu dan teknologi yang relatif tinggi, manusianya 90 normatif. Seolah-olah akibat dari nikah sahnya sebuah perkawinan hanya mengandung terbatas pada timbulnya kebolehan suatu terhadap dalam firman Allah. SWT QS :2 sesuatu yang sebelumnya sangat dilarang, yakni berhubungan badan seorang laki-laki perempuan. Diskursus Maliki, hanafi, secara di fiqih atas Hambali) comment sense sifat luhur bagi ikatan yang dijalin oleh dua orang berbeda jenis yakni ikatan dinamakan kebolehan badan perkawinan. Ikatan perkawinan dalam hukum islam dengan mitsaqon gholidjo, yaitu suatu ikatan janji seorang laki-laki (suami) untuk berhubungan sebagaimana Hukum islam menggambarkan (Syafi’i, dan membawa kebolehan, menjadi “Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka” dengan mendefisikan nikah sebagai „aqd yang larangan antara yang mereka susun, seperti halnya madzhab sebelumnya :187 didapatkan dari terminologi fiqih empat yang yang kokoh. Oleh karenanya suatu dengan ikatan perkawinan tidak begitu saja 2 seorang perempuan (isteri). Salah dapat satu yang substansial dari depinisi ketentuan.3 nikah yang dikemukan oleh fuqoha bahwa pernikahan aksiologi suatu jalan yang oleh syar’i guna dilegalkan menghantarkan kemanusiaan tabiat diletakan terjadi melalui beberapa Perjanjian yang dimaksud bukanlah transaksi yang secara secara umum kita pahami namun, pemaknaan perjanjian dalam konteks pernikahan lebih sakral syahwat karena bertalian dengan keturunan pada tempat yang mulia dan bernilai 3 Dalam KHI pasal 2 dan 3 disebutkan sebagai akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghaliidhan “ikatan lahir bathin” artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak juga mempunyai aspek ubudiyah kepada Allah dengan tujuan untuk mencapai keluarga yang sakinah mawahdah warahmah. Lihat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia hlm. 18. ibadah. Sehingga melalui institusi 2 Abd Al-Rahman al-jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib Al-‘Arba’ah, jilid VI, Beirut: Dar Al-Fikr, 1986, hlm.2 91 dan regenerasi penerus kedua Barang siapa kepada dirinya sendiri untuk maksud taat kepada Allah dan Rosul-Nya, dalam keadaan tidak terpaksa,maka ia wajib memenuhinya (Riwayat al-Bukhari) insan tersebut. Pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan : Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4 Kaitannya dalam oleh yang perjanjian telah halnya disepakati oleh memenuhinya, yang melakukan untuk memenuhi pihak yang melakukan perjanjian untuk memenuhi syarat yang ditentukan.6 apabila Masyarakat kedua Indonesia sebagian besar beragama Islam. mempelai, maka masing-masing wajib berjanji oleh mengenai perkawinan, pihak syarat-syarat yang harus dipenuhi 29 dalam pasal 47,48,49,50,51,dan Akan perkawinan perjanjian dalam arti pihak-pihak sedangkan dalam KHI terdapat 52. dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi Nomor 1 Tahun 1974 tentang pasal dalam syarat adalah karena perjanjian itu berisi telah diatur dalam Undang-undang dalam perkawinan perjanjian Perjanjian dalam Perkawinan perkawinan antara Dalam sepanjang tata mereka perjanjian tersebut tidak memaksa cara peribadatan berpedoman pada berbagai sumber yang kita kenal dan tidak bertentangan dengan dengan madzhab yang berbeda. syari’at. Sejalan dengan hadits Namun yang banyak dipahami dan nabi riwayat al-Bukhori banyak pengikutnya dari berbagai 5 4 6 Lihat pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 dan penjelasan Umum UU No.1 Tahun 1974 angka 4 huruf a. 5 Al-Bukhari,Sahih al-Bukhari,juz 3,Beirut:Dar al-Fikr,hlm.185 Amir Syaripuddin,Hukum Perkawinan Indonesia “Antara fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan,Jakarta,Prenada Media,Cet kesatu,2006,hlm.145 92 belahan dunia yaitu ada empat madzhab : tujuan perkawinan adalah agar 7 manusia dapat menyalurkan tabiat 1. Madzhab Hanafi, yaitu kemanusiaanya secara teratur dan madzhab pengikut-pengikut bertanggung jawab. Dalam sejarah imam abu hanifah (70 H- peradaban 150 H) adanya 2. Madzhab Maliki, Yakni ummat manusia lembaga perkawinan disadari atau tidak, merupakan madzhab pengikut-pengikut faktor Imam Maliki ibn Anas (93 H- membentuk 179 H) manusia sebagai mahluk sosial.8 3. Madzhab Syafi’i, mazhab yakni dominan di keteraturan dalam ummat Pasangan suami istri yang pengikut-pengikut taat dan serasi akan Imam Mohammad Idris Al mendatangkan Syafi’e (150 H-204 H) individu dan keluarga, sehingga 4. Mazhab yakni melahirkan keluarga yang penuh madzhab pengikut-pengikut dengan kasih sayang, dan dari Imam Ahmad ibn Hambal keluarga yang baik itulah akan (164 H-241 H) lahir masyakarat yang baik pula Dari apa dikemukakan singkat Hambali, kebahagiaan di dapatlah yang telah serta dari masyarakat yang baik itu atas secara pulalah kepemimpinan dibebankan ditegaskan kepada mereka sebagai khalifah bahwasanya menurut ajaran Islam, manusia di bumi. Menurut pendapat penulis bahwa tujuan 7 Berdasarkan surat edaran Biro peradilan Agama tanggal 18 Februari 1958 No.B/1/735 hukum materil yang dijadikan pedoman dalam bidang hukum Islam di Indonesia tersebut bersumber pada 13 kitab yang seluruhnya adalah mazhab Imam Syafi’i, melalui isnstruksi presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam inilah direceptio berbagai sumber aturan atau madzhab hukum yang berlaku bagi orang yang beragama Islam. Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cet ke-4, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.hlm. 23. yang substansial dari pernikahan itu adalah rahmah untuk semesta alam. Artinya bagaimana aturan Allah ditaati untuk kemaslahatan 8 Chuzaimah T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kotemporer, Cet ke-5, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008. hlm. 106. 93 dan keteraturan landasan sebagaimana maqashid Ario assyariah Sutarto Bin Darmoatmojo Drs. dengan Suroso Nurdiani yang diantaranya adalah menjaga Binti Prof. Dr. Baharudin Harahap keturunan. serta pasangan (Gusdur) Perkembangan teknologi wahid modern9 merubah Nuriah Wahid. sains telah pemahaman Abudurrahman dengan Sinta mengenai Fakta-fakta pernikahan di atas melahirkan merupakan diskursus yang terjadi diskursus bernilai keabsahan atau di kalangan masyarakat mengenai tidaknya fiqih sah atau tidaknya pernikahan (ijab tatanan dan qabul)10 melalui telepon atau kemudahan seperti yang dalam halnya konteks dalam praktis ijab kabul pernikahan yang media dilakukan dengan menggunakan sejenis seperti vidio call misalnya ? via Makalah singkat ini bermaksud telepon ataupun canggih lainnya Seperti beberapa yang teknologi sejenis. kasus elektronik menjawab lainnya diskursus yang tersebut yang dengan pemahaman-pemahaman dialami pada pernikahan pasangan ulama fiqih klasik dan kotemporer dengan pendekatan maslahah 9 Pemahaman sains netral sebenarnya telah melawan atau menyimpang dari maksud penciptaan sains itu sendiri, tadinya sains dibuat untuk membantu manusia dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini sebenarnya telah bermakna bahwa sains itu tidak netral atau tidak bebas nilai, sains memihak pada kegunaan membantu manusia menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Sementara itu pahan sains netral akan memberikan tambahan kesulitan bagi manusia, kata kuncinya terletak pada tataran aksiologi sains, yaitu ketika peneliti akan membuat suatu teori sebenarnya ia sudah berniat untuk menyelesaikan suatu masalah dalam kehidupan manusia. Namun dalam penciptaannya bisa menimbulkan masalah karena ia menganut sains netral. Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi pengetahuan, Cet ke-7, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2013. hlm. 48. mursalah dan Undang-undang No. 1 Tahun perkawinan. 1974 Oleh Tentang karena itu pendahuluan ini penting menurut penulis sebagai kerangka umum untuk mengelaborasi 10 pendapat- Salah satu rukun akad perkawinan yang telah disepakati adalah ijab dan qabul. Ijab oleh wali dan qabul dari calon suami. Berkenaan dengan pelaksanaan ijab dan qabul ini, atas pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi muncul pertanyaan sahkah atau tidaknya ijab qabul yang dilakukan melalui telepon. Chuzaimah T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kotemporer,Op.Cit, hlm. 107. 94 pendapat yang pro maupun yang pengkompromian nilai dalam kontra terhadap perkawinan via Fiqih kotemporer ? telepon ini. Untuk itu penulis hanya akan membatasi pembahasan terkait dengan ijab dan qabul saja dalam pernikahan via telepon atau media elektronik sejenisnya. BAB II PEMBAHASAN B. Rumusan Masalah Berdasarkan belakang dari latar di atas, masalah penulis A. Pengertian dan Dasar Hukum Maslahah Mursalah mengidentifikasi beberapa permasalahan yang Untuk memahami maslahah akan dibahas dalam paper ini, mursalah yaitu : dahulu secara perlu baik, terlebih diketahui makna maslahah dalam kajian ushul fiqh. 1. Bagaimanakah keabsahan Kata maslahah semakna dengan ijab kabul nikah via telepon kata manfaat, yaitu bentuk masdar dari sudut pandang Maslahah yang berarti baik dan mengandung Al-mursalah manfaat. (Fiqih Maslahah Kontemporer) dan undang- bentuk undang No.1 Tahun 1974 jama’nya (plural) mashsaalih. Dari Tentang perkawinan? makna kebahasaan ini dipahami 2. Bagaimana epistimologi deskonstruksi dan modern dengan Maslahah lmursalah dan kebolehan yang yang mendatangkan manfaat, baik aksiologi pendekatan (tunggal) bahwa maslahah meliputi segala melalui sains mufrod merupakan cara mengambil dan melakukan suatu tindakan maupun A- dengan menolak menghindarkan konsep serta 95 segala dan bentuk sejalan dengan maksud syar‟i yang menimbulkan kemudharatan 11 dan kesulitan. Said tetapi tidak ada nash secara Ramadhan mendepinisikan khusus al-Buthi yang memerintahkan dan melarangnya.” Maslahah mursalah adalah:12 Dari depinisi tersebut, tampak yang menjadi tolak ukur maslahah adalah tujuan syara’ atau berdasarkan ketetapan syar’i. Inti kemaslahatan yang ditetapkan syar’i adalah pemeliharaan lima Artinya:“Al-Maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar‟i untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan hartamereka sesuai dengan urutan tertentu diantaranya.” hal pokok (Kulliyat al-Khams). Semua bentuk tindakan seseorang yang mendukung pemeliharaan kelima aspek ini adalah maslahah. Begitu pula segala upaya yang berbentuk Sedangkan Abu Zahrah tindakan menolak kemudharatan terhadap kelima hal mendepinisikan maslahah ini juga disebut maslahah.14 Oleh mursalah sebagai berikut : karena itu, al- Ghazali mendepinisikan maslahah sebagai mengambil manfaat dan menolak kemadharatan 13 dalam rangka memelihara tujuan syara’ (Kulliat al- Khams).15 Artinya: “Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang 14 Firdaus, Ushûl Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Cet. Pertama, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), hlm. 81. 11 Said, Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al-Maslahah fî al-Syarî’ah alIslâmiyah, (Beirut: Muassah al-Risalah, 1977), Cet. Ke-3, hlm. 2. 15 Abu Hamid al-Ghazali, alMustashfâ fî ílmî al-ushûl, (Beirut: Dar alKutub al- Ilmiyyah, 1983), Jilid 1, hlm. 286. 12 Ibid., hlm. 2. 13 Ibid., hlm. 2. 96 Sejalan maslahah dengan sebelumnya, prinsip dan Syatibi pemeliharaan benda.18Konsep harta tersebut menjelaskan bahwa kemaslahatan diimplementasikan tidak metode: dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat, karena dalam pertama, dua metode konstruktif (bersifat membangun) dan kedua, kedua bentuk kemaslahatan ini (bersifat selama metode bertujuan dapat memelihara metode preventif mencegah). Dalam konstruktif, kewajiban- Kulliat al-khams, maka termasuk kewajiban Agama dan berbagai dalam ruang lingkup maslahah.16 aktivitas sunat yang baik dilakukan Sifat dapat dasar syari‟ah dari maqasid adalah pasti, al- dijadikan contoh dalam dan metode ini. Sedangkan berbagai kepastian di sini merujuk pada larangan pada semua perbuatan otoritas maqasid al-syari‟ah itu bisa sendiri. Dengan demikian preventif eksistensi maqasid al-syari‟ah dijadikan sebagai contoh kedua metode tersebut bertujuan mengukuhkan elemen hukum maqasid al- syari‟ah sebagai jalan syari’at menjadi hal yang tidak menuju kemaslahatan.19 Menurut terbantahkan baik yang bersifat pendapat penulis sebagai salah pada setiap ketentuan perintah wajib ataupun larangan. 17 satu pendekatan fiqih maslahah Al-Ghazali mengajukan teori almursalah terkait erat dengan maqasid al-syari‟ah ini dengan maqashid assyariah, dalam hal ini membatasi pemeliharaan syari’ah pernikahan pada yaitu tujuan dari maqhasid assyariah Agama, jiwa, akal, kehormatan, yang di antaranya adalah menjaga lima unsur utama adalah salah satu keturunan (Hifzunnasl) sehingga pendekatan ini menurut penulis 16 Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syatibi, Al-Muwâfâqât fî Ushûl al-Syarî’ah, (Dar ibn Affan, 1997), Cet. Pertama, jilid 2, hlm. 17-18. adalah pendekatan deskonstruktif 17 18 Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kotemporer, Cet. Ke-1, (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2007), h. 129. baik yang secara Al- Ghazali, al-Mustashfâ fî ílmî al-ushûl , hlm. 286. 19 Ibid., hlm. 238. 97 epistimologi yang mapun aksiologis sesuai perkembangan dan Fuqoha telah bersepakat dengan bahwa al-ijab dan al-qabul adalah tantangan rukun dari nikah namun secara zaman. teknis pelafalannya bersambung. harus Yang dimaksud B. Terminologi Ijab dan Kabul serta dengan bersambung di sini ada Keabsahannya Dalam Pernikahan beberapa pendapat mujtahid yang Suatu berbeda Pendekatan Maslahah Almursalah. bahwa rukun misalnya bersambung di sini maksudnya tanpa Al-jazairi pendapat menyimpulkan majelis. Menurut pemahaman penulis alijab dan al-qabul di sini tidak harus Pertama, al-ijab yaitu lafaj yang bersambung namun memberikan muncul dari wali atau orang lain makna yang menempati kedudukan wali. keduanya ketika al-ijab dan al- Kedua al-qabul yaitu shigat/lafaz qabul tersebut dilafalkan selagi yang muncul dari atau suami atau tidak diselingi oleh tindakan yang orang lain baik secara sengaja maupun kedudukannya. yang ada atau satu dua. lain nikah jeda menempati yang pasti dari ini, tidak disengaja. Oleh karena itu dapatlah diketahui bahwa esensi akan menjadi masalah keabsahan akad nikah terdiri dari tiga faktor ketika pernikahan itu dilakukan yaitu al ijab, al-qabul dan ikatan dengan yang timbul Dengan ikatan atas via telepon jika ada akibat terlaksananya al-ijab dan al-qabul berpendapat kurang lebih sama dengan malikiyah dengan satu poin pembeda rukun nikah terdiri dari lima yaitu calon istri, calon suami, wali, dua orang saksi dan shighat. Namun Al-Jazairi meringkas dari kedua pendapat mujtahid tersebut dengan berpendapat rukun nikah hanya dua saja yaitu Ijab dan kabul dengan interpretasi bahwa rukun-rukun yang lainnya secara tersirat sudah ada dalam rukun ijab dan qabul. Misalnya calon suami sudah ada dalam qabul sedangkan ijab sudah ada pada wali atau yang mewakilkannya sedangkan syahadah masuk dalam syarat nikah. Lihat Aljazairi, hlm. 12. 20 tersebut. 20 Al-Jazairi tidak hanya memaparkan rukun nikah yang dua tersebut namun ia juga mengelaborasi beberapa pendapat para mujtahid tentang rukun-rukun nikah. Fuqoha dari kalangan Malikiyah misalnya, menyebutkan bahwa rukun nikah ada lima yaitu wali, mas kawin, calon suami, calon istri, dan shigat. Al-Syafi’iyyah 98 keharusan antara al-ijab yang penelitian sejumlah kebijaksanaan diucapkan oleh wali calon istri atau tasyrik dari Allah SWT atau melalui yang mewakilinya dengan calon petunjuk suami karena tidak dalam satu ahkam,22melalui majelis. dengan ijtihad istinbathi atau ijtihad ayat atau hadis metode kajian epistimologi tatbiqi.23 Dalam hal ijab dan qabul dan aksiologi21 pengetahuan kita via telepon ini misalnya penulis bisa memahami bahwa penemuan berpendapat bahwa titik beratnya telepon adalah bagian yang tidak pada keyakinan para pihak dalam terpisahkan hal ini wali dan calon suami tidak Dalam tataran dari kebutuhan manusia yang bisa memudahkan meragukan untuk berinteraksi satu sama lain ataupun sebaliknya, oleh karena tanpa menghilangkan hal yang itu syarat yang paling substansial dikedepankan adalah pertama dalam komunikasi suara calon suami tersebut. Salah satu manfaat yang antara wali dan calon suami sudah bisa telepon sama-sama mengenal satu sama tersebut adalah pengucapan ijab lainnya sehingga kharakter suara dan kabul pernikahan jarak jauh. akan terlihat dalam komunikasi didapatkan dari Tujuan yang ingin dicapai oleh telepon tersebut. Kedua, jika mau pembuat hukum islam sehingga diuji apakah calon suami yang menetapkan suatu hukum kepada tidak pada satu tempat tersebut manusia, dapat diketahui melalui memberikan petunjuk suatu ayat hukum dan langsung juga dapat diketahui jawaban atau secara komunikatif melalui 22 Zaenuddin Ali, Filsafat Hukum, Cet ke-6, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2014.hlm. 70. 21 Landasan epistimologi metode ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan hipotesis atau yang disebut dengan logicohypotetico-verifikasi dan landasan aksiologi kemaslahatan manusia artinya segenap wujud ketahuan itu secara moral ditujukan untuk kebaikan manusia. lihat Jujun S. Suriasumantri,Filsafat ilmu Sebuah Pengantar populer, Cet ke-17, Jakarta: 2003.hlm. 294. 23 Ijtihad istinbathi dilakukan untuk mengetahui secara teliti inti masalah yang dikandung oleh wahyu. Inti dari permasalahan tersebut aken menjadi tolak ukur bila hukum dikaitkan pada suatu masalah dan ijtihad tatbiqi yaitu suatu penelitian terhadap suatu masalah yang akan diterapkan hukum padanya yang sumbernya adalah Al-qur’an. Lihat .Zaenuddin Ali, Filsafat Hukum, Ibid.,hlm.71. 99 tidaknya bisa memberikan suatu syarat menurut pendapat keyakinan ketiga, jika dibutuhkan sebagian besar ulama meskipun bisa menggunakan teknologi visual bersifat yang kita kenal dengan vidio call Fuqoha atau skyp dan teknologi sejenis persyaratan saksi dalam lainnya. pernikahan menggunakan jalan Dari komunikasi yang i‟lan atau menyiarkan. dalam menerapkan bersifat visual tersebut meskipun istidlal25 bukan berdasarkan pada tidak dalam satu majlis akan tetapi nash. satu sama lain bisa saling melihat berkurang dan pernikahan via telepon oleh karena mempertegas dengan Peranan yang dalam prosesi pertanyaan-pertanyaan tidak komunikatif yang sesuai dengan dalam kebutuhan pernikahan penulis bisa diselesaikan dengan sebab penambahan jumlah saksi pada dan tersebut,maka oleh penulis mempunyai bahwa pernikahan itu via tujuan ijab qabul, karena pada substansinya moral hazard para pihak yang menjadi landasan utama dari pernikahan yang dilakukan via telepon orang laki-laki 25 24 dalam dua pernikahan menurut Jalan istidlal adalah kaidah fiqhiyyah yang maksudnya keberadaan saksi tersebut untuk tercapainya ikatan perkawinan dari pelaksanaan akad nikah diperlukan pengakuan semua pihak yang terlibat dalam akad tersebut tentang sahnya akad, yang salah satunya adalah peranan saksi dalam hal menyaksikan bahwa telah terjadi ijab dan qabul antara wali dan jauz serta iapun membenarkan keabsahan dari ijab dan qabul tersebut meskipun itu tidak dilakukan dalam satu majelis. Akan tetapi esensi dari fungsi saksi tersebut tidak hilang dengan adanya dua majelis nikah.Lihat Chuzaimah T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kotemporer,Ibid.,hlm.113. tersebut. Saksi majelis tidak meninggalkan masalah karena berkurangnya fungsi saksi disebabkan terpecahnya majlis pernikahan menjadi dua majlis yaitu majlis alijab pihak wali dan majelis al-qabul pihak mempelai laki-laki (jauz) yang menjadi pertanyaan apakah terpisahnya tempat wali dengan jauz tersebut akan sekaligus membatalkan persyaratan dalam satu majelis sebagaimana pendapat fuqoha. Lihat 24 Chuzaimah T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kotemporer, Cet ke-5, Loc.,Cit, hlm.112. telepon namun tidak akan menghilangkan dari satu menyaksikan kesimpulan walapun tidak dalam satu majlis esensi bisa saksi merupakan 24 Fungsi saksi bukan hanya sekedar untuk menyiarkan bahwa telah terjadi pernikahan antara para pihak, akan tetapi juga berfungsi sebagai alat bukti dalam hal terjadi pengingkaran, apapun interpretasi fungsi saksi, tidak akan merubah keabsahan pernikahan via telepon, meskipun tidak 100 masing-masing majelis akad. Pada untuk dilakukan pernikahan majelis wali (ijab) dua orang saksi dengan tidak dalam satu majelis. dan pada majelis jauz (qabul) dua Mengenai pendapat mujtahid orang saksi, sehingga peranan dalam menetapkan ijab dan qabul saksi tidak kurang secara esensial harus dalam satu majelis bahwa dengan adanya dua majelis. ilmu pengetahuan dan teknologi Menurut pemahaman penulis jika dilihat dari pada pendekatan saat itu menjawab belum pernikahan bisa bisa maslahah bahwa pernikahan via dilakukan tidak dalam satu majelis. telepon adalah bukan pernikahan Tantangan yang dijadikan sebagai kelajiman, berijtihad namun nikah tersebut bisa saja ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan sebagai jalan dharurat dan dengan mengedepankan moral fiqih, yang hazard maksud tujuan pahami sebagai problematika fiqih dan para mujtahid dalam menjawab dibutuhkannya kenyataan pleksibilitas secara umum kita dilakukannya pernikahan tersebut kotemporer. asalkan berpedoman pada Al-qur’an dan syara memenuhi dan tidak ketentuan bertentangan sunnah Dengan serta tetap kaidah-kaidah dengan kaidah fiqih dan maqasid usulliyyah sebagai pijakan dalam assyariah. menetapkan suatu hukum. Maksud dan tujuan pernikahan via telepon tersebut Oleh karena itu berdasarkan secara substansial sejalan dengan maslahah maslahah Al-mursalah yang pada berkesimpulan esensinya keabsahan pernikahan via telepon menjalankan sunnah almursalah pada konteks dan menjaga keturunan. Meskipun tidak pernikahan dilakukan secara tidak keabsahan pernikahan tersebut, lajim yaitu dengan ijab dan qabul karena tujuan dari dilakukannya tidak dalam satu majelis namun pernikahan perkembangan ilmu pengetahuan kemaslahatan dan melakukannya. teknologi memungkinkan menghilangkan penulis esensi tersebut adalah bagi yang Kemaslahatan yang dimaksud adalah mencegah 101 segala sesuatu perbuatan buruk bagian dari dilakukan menundanya pernikahan, prasyarat ketika akan pernikahan. mempercepat pernikahan adalah Sebagaimana bagian Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang dianjurkan oleh agama. berdasarkan Tentang perkawinan pasal 2 ayat 2, yaitu : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”27 C. Pernikahan Via Telepon Persfektif Pencatatan pernikahan hanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 satu ayat yang terdapat dalam Tentang Perkawinan. Di dalam UUP dan tidak dapat ditafsirkan, menganalis meskipun pernikahan via telepon ini penulis memfokuskan bersifat pada hal administratif demikian namun peranan pencatatan tidak dapat yang dikesampingkan bahkan menjadi yaitu hal yang pokok sehingga para pencatatan pernikahan26 sebagai ulama 26 fiqih saat ini menggolongkan pernikahan dalam Analisis mengenai pencatatan perkawinan tidak diberikan perhatian secara khusus oleh fiqih maupun Al-quran diantaranya pertama, larangan untuk menulis sesuatu selain Al-Qur;an akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang dari kultur hafalan, kedua, pada saat itu kebiasaan menghafal adalah sebagai kultur yang dapat diandalkan, sehingga mengingat pernikahan bukanlah menjadi suatu masalah ketiga, tradisi walimatul uru’syi walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi di samping saksi syar’i dalam sebuah perkawinan keempat, ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-masa awal Islam belum terjadi antar wilayah yang berbeda, di mana perkawinan pada saat itu berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah yang sama. Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia Studi kritis perkembangan Hukum Islam dari Fiqih,UU No.1/1974 sampai KHI, Cet ke-5, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2014, hlm. 121. syarat administratif menjadikan sah atau yang tidaknya pernikahan. Dalam pernikahan via telepon penulis 27 berpandangan bahwa Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Di dalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali yang dimuat di dalam PP No.9 tahun 1975. Ini berbeda dengan ayat 1 yang di dalam penjelasannya dikatakan (i) tidak ada perkawinan di luar hukum agama dan (ii) maksud hukum agama termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ibid.,hlm.122. 102 prasayarat administratif juga sehingga hal itu yang menjadi merupakan yang harus dipenuhi dasar dilakukannya pernikahan via oleh pihak wali (ijab) dan beserta telepon. Permasalahan dua orang yang menyaksikannya berkaitan dengan dan di pihak jauz (suami) beserta tentu dua orang yang menyaksikannya dikomunikasikan dengan baik oleh dengan pihak berwenang dengan pihak tidak mengabaikan suatu ketentuan yang ada pada masing- yang masing majelis akad dimana jauz nikah, berdomisili. lembaga Karena perkawinan pencatatan adalah suatu administratif hal yang mempunyai karena harus kepentingan tidak pencatat memberikan yang nikah begitu semua akan mudah kepatuhan dan kepatutan dalam pernikahan via telepon tersebut perkawinan sebagai konsekuensi jika prasyarat yang pokok dalam logis ikatan pertanggungjawaban pernikahan tidak dipenuhi oleh sebab akibat dari terjadinya ijab pihak yang berkepentingan. dan qabul. Adapun persyaratan Oleh karena itu jika kondisi nikah via telepon yang dijadikan mempelai tidak dalam keadaan dasar dapat yang mengharuskan mereka tidak dilangsungkan tentu ada alasan- dalam satu wilayah akan tetapi alasan syar‟i yang menungkinkan tidak mengenai hajat pokok, maka itu bisa dilakukan di antaranya menurut hemat penulis pernikahan pihak via telepon tersebut seyogyanya pernikahan calon suami mengharuskan berbeda waktu itu mereka negara tertentu dan dalam karena istri untuk tidak kurun pernikahan ada bersifat bisa dilakukan. sesuatu sakral dan hal Karena yang diperlukan kewajiban yang berkaitan dengan kesungguhan hajat yang bersifat primer. Di saat melakukannya, maka penerapan yang sama mereka khawatir jika satu majlis dalam konteks fiqih tidak pernikahan yang menjadi kesepakatan para membawa ulama adalah suatu keharusan, mereka pada keburukan sikap, jika hal tersebut dilakukan dengan dilangsungkan dengan cepat akan 103 untuk menikah via telepon sesungguhnya tidak padahal ada yang hajat menyaksikan pernikahan sedangkan dengan cara yang pokok bagi mereka maka mewakilkan fihak jauz mewakilkan penulis menilai ijab dan qabul kepada orang lain untuk menjawab tersebut tidak sah. qabulnya yang secara substansial Dalam tatanan praktisnya keberadaan jauz tidak dalam satu hukum islam memberikan suatu kebolehan jika mewakilkan majlis. 28 Dengan demikian penulis dalam suatu pernikahan. Penulis menitik beratkan pada analisis berpendapat bahwa muwakil atau pernikahan via telepon persfektif mewakilkan pernikahan undang-undang No. 1 Tahun 1974 secara teknis dianalogikan sama Tentang Perkawinan pada aspek dengan pernikahan via telepon, prasyarat namun dalam konteks pernikahan mengharuskan pencatatan dalam via yang pernikahan. Karena sesungguhnya mengucapkan qabul yang secara pintu keabsahan dan pengakuan fisik tidak terlihat langsung oleh pernikahan telepon dalam jauz sendiri adalah administratif tersebut dengan yang pintunya jalan cara mencatatkan pernikahan tersebut Ada kesamaan dalam tataran teknis pernikahan ketika Nabi Muhammad SAW pada lembaga yang diberikan menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan, di mana nabi mewakilkan Umar bin Umayyah kewenangan. Al-Dlamiriy untuk menerima nikahnya, meskipun belum diperoleh keterangan lebih lanjut tentang mengapa Nabi mewakilkan pelaksanaan akad nikah tersebut. Maka para D. Deskonstruksi Epistimologi dan ulama berpendapat pertama, kalaupun Aksiologi Sains Modern Dengan diwakilkan karena nabi berhalangan maka pengahalang itu karena sesuatu yang baik Pendekatan Maslahah A-lmursalah kedua, Al-Dlamiriy yang mendapat kepercayaan nabi pastilah orang yang layak dan Konsep Kebolehan serta dipercaya mengemban amanah ketiga, suatu hal yang tidak mungkin nabi melaksanakan Pengkompromian Nilai dalam Fiqih pernikahan tersebut karena khawatir kotemporer terjerumus melakukan perbuatan keji oleh karenanya pelaksanaan nikah tidak bisa ditunda walaupun dengan mewakilkan kepada orang lain. Lihat Chuzaimah T.Yanggo dan Sumber utama penemuan HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kotemporer,Op.,Cit.,hlm.116. hukum adalah peraturan 28 104 perundang-undangan, kemudian Dalam era ilmu pengetahunan hukum kebiasaan, yurisprudensi, dan teknologi31, ilmu sebagai hasil perjanjian internasional dan yang aktivitas manusia yang mengkaji terkahir doktrin. terdapat berbagai hal, baik diri manusia itu hierarki dalam sumber hukum, sendiri maupun realitas di luar Jadi oleh karena itu kalau terjadi konflik dirinya, dua sumber, sumber hukum yang perkembangannnya sampai saat tertinggi akan ini selalu mengalami keterangan sumber hukum melumpuhkan yang sepanjang sejarah lebih dengan berbagai aspek lain dari rendah.29 Demikian juga halnya kehidupan manusia. Pada tataran dengan konsep hukum islam ada praktis-operasional tingkatan-tingkatan sumber hukum diperbincangkan dan sumber hukum yang paling hubungan timbal balik antara ilmu tertinggi adalah Al-qur’an. Konsep dan maslahah almursalah merupakan teknologi telah merubah tatanan ijtihad yang maknanya, yaitu : fiqh33 yang ada pada saat ini, “Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang sejalan dengan maksud syar‟i tetapi tidak ada nash secara khusus yang memerintahkan dan 30 melarangnya.” selalu kembali teknologi.32perkembangan 31 Teknologi adalah penerapan dari pengetahun ilmiah (natural science) pengertian ini adalah pengertian teknologi yang paling banyak dilakukan berbagai lingkup kehidupan, bunge menyatakan bahwa teknologi adalah ilmu terapan yang dipilahnya menjadi empat cabang, yakni teknologi fisik (misal teknik mesin dan teknik sipil), teknologi biologis (farmakologi), teknologi sosial (riset operasi), teknologi pikir (ilmu komputer), Feibleman memandang teknologi sebagai pertengahan antara ilmu murni dan ilmu terapan, atau merujuk pada makna teknologi sebagai keahlian. Lihat Ridjaluddin, Filsafat ilmu, Cet ke-2, Jakarta : Gaung Persada Press, 2013.hlm,105. 29 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah pengantar, Cet ke Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014. hlm, 63. Said, Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al-Maslahah fî al-Syarî’ah al-Islâmiyah, (Beirut: Muassah alRisalah, 1977), Cet. Ke-3, hlm. 2. 32 33 Ibid.,.hlm,105. Fiqh itu bermakna paham dan ilmu. Akan tetapi urf ulama telah menjadikan suatu ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’tertentu bagi perbuatan-perbuatan para mukallaf, seperti wajib, haram, mubah, sunah, 30 Said, Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al-Maslahah fî al-Syarî’ah alIslâmiyah, (Beirut: Muassah al-Risalah, 1977), Cet. Ke-3,Log.,Cit,hlm. 2. 105 sehingga problematikan hukum ditemukannya suatu yang berkaitan dengan hukum fiqih pengetahuan kotemporer sebagai jalan untuk memudahkan sebagai bagian pada ilmu dasarnya tantangan para mujtahid saat ini manusia untuk berijtihad menetapkan suatu kesulitan yang ada, sehingga pada hukum yang dasarnya berkaitan dengan teknologi. menghadapi tujuan kesulitan- dari pada ditemukannya teknologi tersebut Pernikahan via telepon adalah bukannya bermaksud memberikan penomena baru dalam konteks kesulitan fiqih, karena peristiwa tersebut ada menghancurkan seiring dengan kemajuan ilmu dan kehidupan manusia. Oleh sebab teknologi, yang menungkinkan ijab itu penulis memandang bahwa dan qabul bisa dilakukan tidak deskontruksi epististimologi dalam dalam satu majelis dan berbeda pengetahuan negara. Sehingga dengan adanya dengan penomena baru maka harus ada merupakan jawaban dengan melalui suatu guna menjawab tantangan zaman pendekatan ijtihad seperti masalah dan tujuan dari penemuan atau almursalah sehingga epistimologi ilmu dan teknologi pemahaman fiqih akan selalu ada tersebut tidak bertentangan pada menjawab tantangan zaman yang aspek aksiologi pengetahuan. selaras misalnya, dengan atau bahkan sampai tatanan sains pendekatan suatu modern agama keniscayaan maqashid assyariah. 34 Istilah epistimologi pertama kali digunakan oleh J.F.Ferrier pada tahun 1854 untuk membedakannya dengan cabang filsafat lainnya yaitu ontology, secara kebahasaan istilah epistimologi berasal dari yunani yakni epistime dan logos. Jika kata yang pertama disebutkan berarti pengetahuan (knowledge), maka yang belakangan disebutkan berarti ilmu atau teori (theory). Jadi, jika melihat dari silsilah kebahasaan tersebut, epistimologi dapat dimengerti sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge). Ahkyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kotemporer, Cet ke-1, Jakarta : Rajawali Pers, 2014.,hlm.31. Dalam tataran epistimologi 34 ilmu pengetahuan bahwa makruh, sahih, fasid, batil, qhada dan ada yang sepertinya. Abd. Shomad,Hukum Islam Penormaan PrinsipSyariah Dalam Hukum Indonesia, Cet ke-2, Jakarta: kharisma Putra Utama, 2012.hlm.,26. 106 Penomena telepon pernikahan adalah via adalah kloning, atau penciptaan bagian senjata nuklir dll. perkembangan ilmu dan teknologi, kalau kita lihat pada BAB III aspek KESIMPULAN aksiologi maka secara epistimologi telepon sebagai produk riset ilmiah telah memberikan yaitu dengan kemudahan pernikahan 1. Maslahah via penting telepon namun tidak lepas dari metode pertentangan tantangan mengenai mursalah kiranya sebagai bagian ijtihad menjawab dan penomena keabsahan. Maka deskonstruksi hukum dari waktu ke waktu. aspek epistimologi sains dalam Pernikahan via telepon bisa konteks pernikahan via telepon saja dilakukan dan sah secara adalah hukum pendekatan maslahah ijab dan qabul almursalah dalam tataran aksiologi meskipun tidak dalam satu sudah yang majelis, jika memenuhi syarat- pemahaman syarat dan tidak bertentangan bahwa pernikahan tersebut tidak dengan maqashid assyariah, hilang esensi keabsahannya. diantara bermanfaat, menghantarkan Oleh karena berkesimpulan yang prasyarat itu penulis terpenting dalam pernikahan bahwa konsep tersebut adalah aspek kebolehan dan pengkompromian pencatatan, yang mana hal nilai dalam fiqh merupakan suatu tersebut adalah kepatuhan dan keniscayaan, diantaranya dengan kepatutan sebagai kosekuensi pendekatan maslahah almursalah. logis Adapun mengenai deskonstruksi kewajiban dari sebab akibat sains modern perlu pendekatan ijab dan qabul tersebut. lahirnya hak dan agama jika bersentuhan dengan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan teknologi epistimologi itu sendiri. ilmu 2. Pendekatan dan Misalnya 107 maslahah almursalah menurut adalah bagian penulis dari pengkompromian nilai dan bermanfaat namun disisi lain konsep kebolehan dalam harus proses menetapkan hukum, aspek bertentangan hukum dengan islam deskonstruksi epistimologi ilmu misalnya dan melalui hukum, maka harus ditemukan pendekatan agama jalan merupakan suatu teknologi keniscayaan, nilai-nilai sebagai pengkompromian upaya nilai dan secara konsep kebolehan. Sehingga aksiologi bertentangan dengan fiqh dalam hal ini bisa memberi konsep assyariah jalan dan konsep epistimologi dari ilmu keberadaan ilmu dan sains berkembang modern itu sendiri. Jika secara dari aksiologi jika atau (fiqh) maqashid sains modern itu 3. . 108 meskipun perubahan sains waktu modern dengan pesat ke waktu DAFTAR PUSTAKA Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet ke-2, Jakarta, Prenada Media, 2007. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia Studi kritis perkembangan Hukum Islam dari Fiqih,UU No.1/1974 sampai KHI, Cet ke-5, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2014 Ahkyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kotemporer, Cet ke-1, Jakarta : Rajawali Pers, 2014 Antonius Cahyadi dan E.Fernando M.Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Cet ke-3, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Ahmad Tafsir, Filsafat ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi pengetahuan, Cet ke-7, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2013. Abd. Shomad,Hukum Islam Penormaan PrinsipSyariah Dalam Hukum Indonesia, Cet ke-2, Jakarta: kharisma Putra Utama, 2012. Al Bukhori, Shahih al-Bukhori, jilid II, Istanbul : al maktabah “al Islami”. Abd Al-Rahman al-jaziri, Al-Fiqh „Ala Mazahib Al-„Arba‟ah, jilid VI, Beirut: Dar Al-Fikr, 1986. Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfâ fî ílmî al-ushûl, Jilid ke-1,Beirut: Dar alKutub al- Ilmiyyah, 1983. Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syatibi, Al-Muwâfâqât fî Ushûl al-Syarî‟ah, Cet ke-1,Dar ibn Affan,Jilid 2, 1997. Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta. Akademika Pressindo, 1997 Chuzaimah T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam 109 Kotemporer, Cet ke-5, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008. Firdaus, Ushûl Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Cet. Ke-1, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat ilmu Sebuah Pengantar populer, Cet ke17, Jakarta: 2003. Ridjaluddin, Filsafat ilmu, Cet ke-2, Jakarta : Gaung Persada Press, 2013. Umar Hasbi, Nalar Fiqih Kotemporer, Cet. Ke-1,Jakarta: Gaung Persada Pers, 2007. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Undang-undang Pokok Perkawinan. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet ke-3, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2014. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah pengantar, Cet keYogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014. Said Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al- maslahah fi al syari‟ah al Islamiyah, Cet. Ke-3, Beirut: Muassah al- Risalah, 1977. Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cet ke-4, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014. Zaenuddin Ali, Filsafat Hukum, Cet ke-6, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2014. 110