BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Gender dan Ketidakadilan Gender Hal penting yang harus dipahami dalam rangka membahas masalah perempuan adalah membedakan antara konsep seks dan gender. Kedua konsep ini sering tumpang tindih satu sama lain karena dianggap sebagai suatu hal yang sama. Hal ini terlihat jelas dalam kamus bahasa Indonesia yang tidak secara jelas membedakan pengertian kata sex dan gender. Fakih (2008) menerangkan kedua konsep satu-persatu, pertama pengertian jenis kelamin adalah pembagian atau pemberian sifat dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, laki-laki adalah manusia yang memiliki penis dan memproduksi sperma sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan memproduksi sel telur. Alat-alat tersebut secara biologis telah melekat pada manusia jenis laki-laki dan perempuan selamanya, sehingga tidak bisa dipertukarkan satu sama lain. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau merupakan kodrat dari Tuhan. Konsep lain yaitu gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan terkenal lemah lembut, emosional dan keibuan, sedangkan laki-laki terkenal kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dari sifat antara laki-laki dan perempuan tersebut dapat dipertukarkan satu sama lain. Hal ini berarti suatu hal yang bisa terjadi jika laki-laki memiliki sifat lemah lembut dan emosional serta pada perempuan memiliki sifat sebaliknya. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta 5 berbeda dari satu tempat ke tempat lain, maupun berbeda dari satu kelas ke kelas lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender (Fakih, 2008). Perbedaan gender sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang perbedaan itu tidak melahirkan ketidakadilan gender. Ternyata banyak terjadi ketidakadilan bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana kaum laki-laki atau perempuan menjadi korban atas sistem tersebut (Fakih, 2008). Pemahaman tentang ketidakadilan gender dapat diperdalam melalui manifestasi yang ada. Manifestasi ketidakadilan gender yaitu marginalisasi yang berarti pemiskinan ekonomi, subordinasi yang berarti anggapan tidak penting dalam keputusan politik, stereotipe yang berarti pembentukan pola pikir negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Terkait dalam hal pekerjaan perempuan di sektor produktif serta pola pengambilan keputusan dalam keluarga perempuan bekerja terdapat singgungan dengan stereotipe dan beban kerja mengenai masalah manifestasi ketidakadilan gender. Beban kerja memiliki keterkaitan dengan masalah tanggung jawab penuh para perempuan terhadap pekerjaan domestik rumahtangga, sekalipun perempuan itu bekerja di sektor publik. Stereotipe memiliki keterkaitan dengan sifat perempuan yang emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin. Berhubungan dengan keputusan dalam rumahtangga, para istri kebanyakan hanya menuruti apa perkataan suami karena keputusan-keputusan penting dalam keluarga sekalipun dilakukan dengan diskusi antara suami dan istri, peran suami cenderung lebih besar. 6 Keinginan kuat perempuan yang tidak hanya selalu berurusan dengan sektor domestik atau rumahtangga ternyata mendapat perhatian dari pembangunan yang pada akhirnya memperhatikan masalah gender. Pada awalnya pembangunan berusaha menjawab masalah kemiskinan dan keterbelakangan bangsa-bangsa di Dunia Ketiga, namun semakin lama semakin terlihat bahwa pembangunanlah yang mengakibatkan keterbelakangan kaum perempuan. Konsep WID dan GAD yang akan menjawab permasalahan ini. 2.2. Konsep WID, WAD dan GAD Ideologi kapitalisme yang berasal dari negara-negara Eropa diperkenalkan kepada Negara Dunia Ketiga melalui program pembangunan. Pembangunan menjadi kata yang begitu populer dalam empat dasawarsa terakhir di negaranegara Dunia Ketiga. Kata „pembangunan‟ tersebut dapat diterjemahkan lebih mendalam lagi sehingga memberi makna positif, yaitu perubahan sosial. Kata perubahan sosial lebih dapat melihat perubahan peran perempuan yang cukup mendasar dalam pembangunan. Pembangunan telah membawa efek positif sekaligus negatif terhadap perempuan. Perempuan yang tidak tersentuh oleh keuntungan program pembangunan juga dirugikan oleh program-program tersebut. Kenyataan ini juga memberi asumsi lain yaitu perempuan hanyalah penerima pasif dari pembangunan. Berawal dari hal tersebut dikembangkanlah berbagai program untuk pemberdayaan perempuan yang diperkenalkan dengan tema perempuan dalam pembangunan Women in Development yang disingkat WID. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan peluang sebesar-besarnya bagi perempuan ikut 7 dalam pembangunan. Setelah program ini berjalan kurang lebih sepuluh tahun, banyak bermunculan kritik terhadap konsep WID. WID dianggap telah memberikan beban ganda (di sektor publik dan domestik) yang lebih berat di banding sebelumnya (Darahim, 2003). Pendekatan WID dinilai oleh Dr. Mansour Fakih sebagai pengekang perempuan di Negara Dunia Ketiga akhirnya digeser arah dan tujuan kebijakannya menjadi Women and Development yang disingkat dengan WAD dengan lebih memberdayakan kaum perempuan agar bisa berperan aktif seperti laki-laki. Pemikiran WAD memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam hal diperhatikannya isu-isu perempuan menjadi isu global dan mengembangkan organisasi-organisasi perempuan yang lebih mampu berjejaring baik secara nasional maupun internasional. Melalui konsep ini diharapkan dapat mengurangi dominasi laki-laki dalam ruang publik. Seiring berjalannya konsep WAD, kritikan kembali muncul. WAD dianggap semakin mempertajam batas antara peran lakilaki dan perempuan karena tidak didasari kerelaan dan kerjasama dari kaum lakilaki (Utari Dewi, 2008). Akhirnya, pada pertengahan tahun 1980-an teori ini diperbaiki dengan pemikiran Gender dan Pembangunan yang disebut dengan Gender and Development yang disingkat dengan GAD. Pendekatan GAD berusaha untuk mendobrak batasan antara perempuan dan laki-laki, meniadakan perbedaan peranan dalam berbagai struktur dalam masyarakat. Para pemikir pendekatan ini berusaha agar tidak ada lagi pembatasan dimana ranah laki-laki, dan dimana ranah perempuan. Masing-masing individu entah dia perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk peningkatan kapasitas sesuai dengan kemampuannya. 8 2. 3. Pekerjaan Produktif Perempuan di Sektor Formal dan Informal Hampir pada sebagian besar masyarakat terdapat kenyataan bahwa dengan adanya pembedaan dan penentuan peranan individu dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin secara sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung menentukan perbedaan peran yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Perempuan yang bekerja di sektor publik sebagian besar berada di bawah laki-laki. Di lain pihak, perempuan yang menopang penghasilan keluarga memiliki beban kerja yang sangat berat, karena di samping bekerja di sektor formal atau informal, perempuan masih harus menyelesaikan pekerjaan reproduktif atau yang biasa disebut dengan pekerjaan domestik yang biasanya dilakukan tanpa campur tangan laki-laki. Keterlibatan perempuan berperan pada sektor produktif sepertinya bukan hal baru untuk diperbincangkan. Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan (Sudarta, 2008). Peran yang sering pula disebut dengan peran di sektor publik yang dilakukan perempuan bagi keluarganya dalam beberapa penelitian dapat dikatakan sangat membantu ekonomi rumahtangganya. Contoh peranan produktif perempuan adalah bekerja di sektor formal dan informal. 2.3.1. Pekerjaan di Sektor Formal Sektor formal adalah sektor dimana pekerjaan didasarkan atas kontrak kerja yang jelas dan pengupahan diberikan secara tetap atau kurang lebih permanen. Pekerja sektor formal dapat digolongkan terampil dan berpendidikan 9 sedangkan sektor informal tidak terampil dan tidak berpendidikan. Berdasarkan ciri-cirinya, sektor formal memiliki ciri unit produksi yang digolongkan biasanya bermodal besar (sering kali asing), pemilikan usaha sering kali berupa korporasi (bukan hanya satu individu saja) bahkan juga konglomerat, berskala besar, berteknologi tinggi dan beroperasi di pasar internasional (Saptari dan Holzner, 1997). Pada masyarakat perkotaan, peran perempuan mengalami perubahan sebagai reaksi atas perubahan struktur perekonomian di perkotaan yang mengarah pada proses industrialisasi. Perempuan yang bekerja di sektor formal cenderung memiliki tingkat pendidikan dan ketrampilan, akses ke lembaga keuangan, produktivitas tenaga kerja serta tingkat upah yang juga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang bekerja di sektor informal. Hal ini membuktikan bahwa tingkat intelektualitas perempuan di sektor formal dituntut lebih karena pada dasarnya pekerjaan di sektor formal menuntut para pekerjanya untuk taat pada peraturan yang biasanya tertulis, pemberian sanksi apabila terjadi pelanggaran aturan, ada cuti yang dapat diambil, jam kerja yang jelas serta upah yang cenderung stabil atau diperoleh secara berkala (perbulan). Beberapa perempuan yang bekerja di sektor formal dapat disebut juga dengan istilah perempuan karier karena istilah perempuan karier adalah perempuan yang berpendidikan tinggi dan mempunyai status tinggi dalam pekerjaannya yang berhasil dalam berkarya yang dikenal sebagai perempuan bekerja atau perempuan berkarya (Mudzhar dkk, 2001). Masalah gender yang timbul pada sektor formal adalah bahwa kebanyakan jabatan perempuan berada di lapisan bawah atau lebih rendah dibanding jabatan 10 laki-laki. Hal ini terkait dengan stereotipe yang terjadi di tempat kerja yang menganggap bahwa perempuan lebih memiliki tingkat emosional yang tinggi sehingga tidak cocok bila dipekerjakan sebagai pimpinan. Masalah rendahnya jabatan tadi berimplikasi pada rendahnya tingkat pendapatan. Akar dari tingkat pendapatan sebenarnya adalah tingkat pendidikan (Kebayantini, 2008). Pada sisi lain terdapat kenyataan bahwa pendidikan tinggi merupakan suatu hal yang langka bagi kebanyakan perempuan di negara-negara berkembang (Boserup, 1984). Semua lapisan permasalahan tersebut menunjukkan adanya implikasi bahwa konsep pendekatan pembangunan yang dianut adalah sebatas WID. Terbukti bahwa terjadi subordinasi pada organisasi tempat perempuan bekerja yang masih berpendapat bahwa perempuan masih bertanggungjawab penuh pada rumahtangganya, sehingga dalam mendapatkan jabatan perempuan tidak perlu terlalu tinggi. Kenyataan ini membuat beban kerja pada tenaga kerja perempuan, di satu sisi mereka bisa bekerja di sektor produktif di sisi lain tanggung jawab pada rumahtangga tidak boleh begitu saja ditinggalkan. Kelebihan dan kekurangan sektor formal yang telah dipaparkan tadi tentu saja menuntut para pelakunya dengan etos kerja yang tinggi karena pada kenyataannya sektor formal merupakan sektor yang menjanjikan kenyamanan yang lebih dalam melakukan kegiatan ekonomi yang lebih baik daripada sektor informal. Hal yang harus diperhatikan bahwa kapasitas sektor formal dalam menampung tenaga kerja ternyata sangat terbatas, tidak banyak tenaga kerja yang dapat menembus pasar kerja sektor formal apalagi perempuan yang bersaing dengan para laki-laki yang merasa sangat bertanggungjawab terhadap nafkah keluarga. Ketidakmampuan sektor formal dalam menampung semua tenaga kerja 11 ini menimbulkan dampak yang nyata bahwa mereka yang tidak tertampung pada sektor formal akan terbuang pada sektor informal. 2.3.2. Pekerjaan di Sektor Informal Sektor informal adalah sektor dimana pekerjaan tidak didasarkan pada kontrak kerja yang jelas bahkan sering sekali si pekerja bekerja untuk dirinya sendiri, penghasilan sifatnya tidak tetap dan tidak permanen. Sektor ini memiliki ciri unit produksi yang bermodal lokal atau dalam negeri yang relatif kecil, pemilikan oleh satu individu atau keluarga, padat karya dengan teknologi madya dan umumunya beroperasi di pasar lokal (Saptari, 1997). Para tenaga kerja yang tidak tertampung pada sektor formal tadi harus menyesuaikan diri untuk tetap bertahan hidup. Para kaum miskin dan para pengangguran menyesalkan ketidakmampuan pembangunan dalam menyediakan peluang kerja dan untuk sementara dapat diredam lantaran tersedia peluang kerja di sektor informal. Ketika kebijakan pembangunan cenderung menguntungkan sektor formal skala usaha besar, sektor informal kendati tanpa dukungan fasilitas sepenuhnya dari negara, dapat memberikan subsidi sebagai penyedia barang dan jasa murah untuk mendukung kelangsungan hidup para pekerja usaha skala besar. Bahkan, tatkala perekonomian nasional mengalami kemunduran akibat resesi, sektor informal mampu bertahan tanpa membebani ekonomi yang sedang labil. Namun, kenyataan yang terjadi pada sektor informal adalah tingkat pendidikan yang sangat rendah mengakibatkan ketrampilan rendah pula, sangat eksploitatif dengan gaji sangat rendah, jam kerja yang tak menentu dan panjang, serta tidak ada cuti dengan bayaran penuh. 12 Kenyataan terhadap sektor informal ini tidak menutup keinginan para perempuan untuk berkecimpung di sektor ini demi menghidupi perekonomian rumahtangga. Sektor informal begitu identik pada sektor perekonomian yang dijalankan oleh orang dengan tingkat ekonomi rendah sehingga pekerjaan perempuan yang banyak ditemukan di sektor ini banyak yang bertumpu pada sektor pertanian yang kemudian dikembangkan pada sektor lain seperti berdagang, bertani, berladang dan pekerjaan lain yang tetap berakar dari sektor pertanian. Pernyataan-pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Pujiwati1 dalam Widiarti dan Hiyama (2007) menjelaskan di daerah pedesaan Jawa semakin miskin rumahtangga maka akan semakin tergantung pada pendapatan perempuan. Kenyataan ini melahirkan kesimpulan terhadap peran perempuan pada peranan reproduktif yaitu para perempuan yang bergerak di sektor formal cenderung masih dapat mengandalkan pendapatan suami dan kontrol terhadap pekerjaan di luar rumah masih dipegang suami. Kenyataan lain didapat bahwa para perempuan yang bekerja pada sektor informal yang biasanya berasal dari keluarga miskin cenderung memperhitungkan pendapatan perempuan sebagai penopang pendapatan laki-laki. Hal ini terjadi karena biasanya usaha di sektor informal yang dilakukan antara suami dan istri bergerak pada jenis usaha yang sama atau dapat dibilang usaha keluarga. Kebutuhan mendasar manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dilakukan melalui kegiatan ekonomi. Lewat sektor informal inilah yang biasanya dapat mengenyampingkan aturan-aturan yang biasanya dianut tentang isu gender 1 Pudjiwati,1990 dalam Peranan Perempuan dalam Perhutanan Sosial: Suatu Studi Integrasi Perempuan dalam Pembangunan Kehutanan Menuju Era Tinggal Landas. IPB, Bogor. 13 dalam keluarga demi memenuhi kebutuhan dasar hidup. Pada kenyataannya sering ditemui pekerjaan perempuan di sektor publik lebih berat dari laki-laki. Kendati peran perempuan yang cukup mencolok pada sektor informal, namun pandangan kesetaraan gender pada ranah yang lebih besar dari keluarga yaitu masyarakat masih memandang laki-laki merupakan tumpuan ekonomi keluarga. Sehingga pekerjaan berat yang dilakukan perempuan masih belum diakui atau terkalahkan oleh pandangan masyarakat tentang kesetaraan gender. Tekad yang kuat dari kaum perempuan untuk bekerja di sektor produktif ternyata berangkat dari motivasi yang berbeda. Banyak hal yang mempengaruhi motivasi perempuan untuk bekerja di sektor produktif. Uraian selanjutnya akan berusaha menjawab beberapa motivasi perempuan untuk bekerja di sektor publik berdasarkan tingkat ekonomi. 2. 4. Motivasi Perempuan Bekerja Sejak zaman dahulu hingga kini, persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan yang bekerja di luar rumah sepertinya tidak jauh berbeda. Berbagai hambatan dan kesulitan yang mereka alami dari masa ke masa berasal dari sumber-sumber yang sama. Berakar dari hambatan dan kesulitan tersebut, banyak dari perempuan yang tetap bertekad untuk bekerja di ranah publik. Tekad perempuan tersebut dapat dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi perempuan untuk bekerja di ranah produktif atau untuk mengembangkan kariernya dapat bersifat internal dan eksternal (Mudzhar, 2001). Pengertian faktor internal adalah dorongan yang timbul dalam diri pribadi perempuan sendiri. Motivasi merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi perempuan bekerja di ranah publik. 14 Terdapat hal yang menegaskan bahwa motivasi pribadi yang mendorong seorang perempuan yang telah berkeluarga untuk bekerja sehingga harus meninggalkan rumahtangga, yaitu meliputi (Mudzhar, 2001) : a. Untuk menambah penghasilan keluarga b. Untuk ekonomi yang tidak tergantung dari suami c. Menghindari rasa kebosanan atau untuk mengisi waktu kosong d. Karena ketidakpuasan dalam pernikahan e. Karena mempunyai minat atau keahlian tertentu yang ingin dimanfaatkan f. Untuk memperoleh status Pendapat lain tentang motivasi adalah istilah generik yang meliputi semua faktor internal yang mengarah ke berbagai jenis perilaku yang bertujuan, semua pengaruh internal seperti kebutuhan (needs) yang berasal dari fungsi-fungsi organisme, dorongan dan keinginan, aspirasi dan selera sosial yang bersumber dari fungsi-fungsi tersebut (Sarwono, 2002). Dixon (1978) mengemukakan tiga faktor yang mendorong perempuan mencari pekerjaan di luar rumah, yaitu : 1. Kebutuhan Finansial/Uang Kebutuhan ini merupakan kebutuhan dasar dalam perekonomian rumahtangga. Kurangnya pemenuhan kebutuhan finansial keluarga seringkali membuat suami dan istri bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan mendasar sehari-hari dalam keluarga yang wajib dipenuhi merupakan dorongan utama untuk bekerja. Kondisi tersebut membuat sang istri tidak punya pilihan lain kecuali ikut mencari 15 pekerjaan yang dapat menghasilkan uang dengan cara bekerja di sektor publik. 2. Kebutuhan Sosial Relasional Kebutuhan ini merupakan suatu kebutuhan akan penerimaan sosial dengan bergaul dengan rekan-rekan di tempat kerja diharapkan adanya suatu identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja. Faktor psikologis seseorang serta keadaan internal keluarga, turut mempengaruhi seorang ibu untuk tetap mempertahankan pekerjaannya. 3. Kebutuhan Aktualisasi Diri Abraham Maslow pada tahun 1960 mengembangkan teori hirarki kebutuhan, yang salah satunya mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kebutuhan akan aktualisasi diri, dan menemukan makna hidupnya melalui aktivitas yang dijalaninya. Bekerja adalah salah satu sarana atau jalan yang dapat dipergunakan oleh manusia dalam menemukan makna hidupnya. Kebutuhan akan aktualisasi diri melalui profesi atau pekerjaan, merupakan salah satu pilihan yang banyak diambil oleh para perempuan di jaman sekarang ini, terutama dengan makin terbukanya kesempatan yang sama pada perempuan untuk meraih jenjang karir yang tinggi. 2.5. Peranan Gender dan Pembagian Kerja dalam Rumahtangga Sering dijumpai kasus mengenai pembagian kerja dalam rumahtangga apabila istri hanya sebagai ibu rumahtangga adalah istri hanya dapat berperan di sektor reproduktif dan suami berperan penuh dalam sektor produktif. Pembagian 16 kerja tersebut merupakan suatu hal yang lazim terjadi pada mayoritas keluarga di Indonesia. Peran tersebut dapat berubah apabila suami bukan satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga. Hal ini berimplikasi kepada berubahnya peran istri yang sebelumnya hanya berperan di sektor domestik berganti atau mungkin menambah ke peran produktif atau sektor publik. Berubahnya peranan perempuan tersebut mengakibatkan bertambahnya tanggung jawab yaitu sebagai pencari nafkah sekaligus ibu rumahtangga. Berdasarkan hal tersebut, akhirnya dikenal istilah peran ganda perempuan. Peran ganda perempuan tidak semata-mata mengubah pandangan masyarakat terhadap perempuan menjadi lebih baik, kenyataan yang ada adalah perempuan yang bekerja di sektor publik sebagian besar berada di bawah laki-laki. Pada sisi lain, perempuan yang bekerja di sektor publik ternyata masih menyisakan tanggung jawab lain yaitu keluarganya. Perempuan ternyata masih harus menyelesaikan pekerjaan domestik tanpa bantuan dan campur tangan laki-laki. Gambaran mengenai tanggung jawab seorang istri atau perempuan dalam keluarga dapat dilihat melalui perannya sebagai istri dalam rumahtangga. Peran menggambarkan orang yang dapat mengatur perilakunya sesuai dengan perilaku orang-orang disekitarnya (Meliala, 2006). Peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku, norma tersebut berasal dari kesepakatan berdasarkan hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat. Moser (1993) dalam Mugniesyah (2007) mengungkapkan peranan gender adalah peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya dan struktur masyarakatnya. Peranan gender mencakup : 17 1. Peranan produktif adalah peranan yang dikerjakan perempuan dan lakilaki untuk memperoleh bayaran atau upah secara tunai atau sejenisnya. 2. Peranan reproduktif adalah peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan keluarga. 3. Peranan pengelolaan masyarakat atau politik, dibagi menjadi : a. Peranan pengelolaan masyarakat atau kegiatan sosial adalah semua aktivitas yang dilakukan pada tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan reproduktif (bersifat sukarela dan tanpa upah). b. Pengelolaan masyarakat politik atau kegiatan politik adalah peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik (biasanya dibayar dan dapat meningkatkan status). Mugiesyah dalam Meliala (2006) menjelaskan peranan gender dipengaruhi oleh umur, kelas, ras, etnik, agama, lingkungan geografi, ekonomi, dan politik. Perubahan gender sering terjadi sebagai respon atas perubahan ekonomi, sumberdaya alam, dan atau politik termasuk perubahan berupa usaha-usaha pembangunan atau penyesuaian program struktural atau oleh kekuatan-kekuatan di tingkat nasional dan global. Soekanto dalam Meliala (2006) menjelaskan bahwa peranan merupakan hasil atau bentuk dari status yang dapat diukur dengan menghitung curahan waktu yang digunakan untuk setiap kegiatan yang dilakukan 18 oleh individu rumahtangga pada sektor produktif, reproduktif dan kemasyarakatan. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, manusia selalu membutuhkan orang lain dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Berada dalam masyarakat, membuat individu memiliki peran dan status. Peran perempuan yang bekerja sangat berhubungan dengan bagaimana menjaga keseimbangan antara tugas produktif, reproduktif dan kemasyarakatan. Pentingnya melihat peranan adalah karena peran mengatur perilaku seseorang (Meliala, 2006). Peranan membuat seseorang dapat meramalkan perbuatan orang lain pada batas tertentu. Individu yang memiliki suatu peran akan dapat menyesuaikan diri dengan individu lain dengan peran yang sama. Berdasarkan peranan-peranan individu dalam masyarakat inilah terjalin hubungan sosial. 2.6. Pola Pengambilan Keputusan dalam Rumahtangga Pemikiran mengenai pola pengambilan keputusan dalam rumahtangga sangat berguna untuk melihat bagaimana terjadinya struktur dalam rumahtangga, secara lebih dalam lagi dapat melihat siapa yang dianggap paling berhak untuk mengambil keputusan dalam rumahtangga atau atas dasar apa kekuasaannya (penghasilan, pendidikan, usia dan sebagainya). Kekuasaan dinyatakan sebagai kemampuan untuk mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan keluarga itu. Hal ini dapat diketahui apakah kekuasaan antara suami istri sama atau tidak (Meliala, 2006). Pengaruh di luar rumah (lingkungan masyarakat) pada umumnya bisa memperkaya dan bisa menambah pengalaman perempuan yang diperkirakan dapat 19 mengembangkan potensinya dalam mengambil keputusan di berbagai bidang kehidupan dalam rumahtangga. Selain itu, faktor pendidikan perempuan, sumber ekonomi yang paling banyak disumbangkan dalam perkawinan ataupun kemampuan personal berupa pengalamannya bergaul dengan masyarakat luas menjadi hal yang menimbulkan potensi perempuan semakin besar dalam mengambil keputusan di dalam rumahtangga. Menurut Sajogyo (1983) terdapat dua tipe peranan yang dilakukan oleh perempuan, yaitu : a. Pola peranan yang menggambarkan perempuan seluruhnya hanya dalam pekerjaan memelihara kebutuhan hidup seluruh anggota keluarganya. b. Pola peranan yang menggambarkan dua peranan, yaitu peranan dalam pekerjaan rumahtangga dan pekerjaan mencari nafkah. Dari dua tipe peranan tersebut yang akan dibahas lebih lanjut menyangkut masalah pengambilan keputusan dalam rumahtangga adalah pola peranan perempuan yang kedua karena pada pola peranan tersebut akan diketahui bagaimana pola pengambilan keputusan dalam keluarga jika istri berperan sebagai ibu rumahtangga sekaligus pencari nafkah bagi keluarga. Cromwell dan Olson dalam Syakti (1997) mengemukakan tiga bidang yang berbeda untuk menganalisa konsep kekuasaan dalam keluarga, yaitu : dasar kekuasaan, proses kekuasaan dalam keluarga, dan hasil kekuasaan dalam keluarga. Berdasarkan ketiga bidang tersebut, pengambilan keputusan ada pada bidang kedua dan ketiga sehingga pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai perwujudan proses yang terjadi dalam keluarga dan merupakan hasil dari interaksi 20 antara anggota keluarga untuk saling mempengaruhi sehingga terbentuk pola pengambilan keputusan berdasarkan peran dan bidang keputusannya (Syakti, 1997). Perempuan sebagai pengambil keputusan dalam keluarga tidak terlepas dari perannya dalam keluarga. Norma yang diakui menyatakan bahwa yang paling sering menentukan dalam pengambilan keputusan adalah suami (Syakti, 1997). Pada kenyataannya, terdapat banyak variasi tentang pengambilan keputusan dalam keluarga. Terkadang memang perempuan tidak diikutsertakan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga ikut mengambil keputusan baik sendiri maupun bersama suami. Kekuasaan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan keluarga (Syakti, 1997). Kekuasaan tersebut bisa sama nilainya atau mungkin berbeda antara suami dan istri. Menurut Sajogyo (1983) terdapat lima pola dalam pengambilan keputusan antara suami dan istri, yaitu : 1. Pengambilan keputusan yang dilakukan istri sendiri 2. Pengambilan keputusan bersama yang dominan dilakukan istri 3. Pengambilan keputusan yang dilakukan bersama antara suami dan istri 4. Pengambilan keputusan bersama yang dominan dilakukan suami 5. Pengambilan keputusan yang dilakukan suami sendiri Sajogyo (1983) mengemukakan faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi peran perempuan dalam pengambilan keputusan, yaitu : a. Proses Sosialisasi b. Pendidikan 21 c. Latar Belakang Perkawinan d. Kedudukan dalam masyarakat e. Pengaruh luar lainnya Sajogyo (1983) menyimpulkan bahwa besarnya peranan perempuan dalam pekerjaan rumahtangga dan pekerjaan di sektor publik tidak selalu sejalan dengan besarnya pengaruh perempuan di dalam dan di luar rumahtangga. 2.7. Kerangka Pemikiran Motivasi perempuan pedagang sayur untuk bekerja diidentifikasi berdasarkan teori yang dikemukakan Dixon (1978), yaitu : kebutuhan finansial/uang, kebutuhan sosial relasional, dan kebutuhan aktualisasi diri. Berawal dari pendapat tersebut, peneliti membagi motivasi mejadi dua bagian yaitu motivasi ekonomi berupa kebutuhan finansial dan non-ekonomi berupa kebutuhan sosial relasional serta kebutuhan aktualisasi diri untuk kepentingan peneliti sendiri. Motivasi bekerja perempuan pedagang sayur di sektor publik selanjutnya akan dihubungkan dengan pembagian kerja dalam keluarga yang dihitung dengan curahan waktu. Berdasarkan hal ini peneliti ingin melihat pengaruh motivasi terhadap pembagian kerja, apakah perempuan masih bertanggung jawab terhadap rumahtangganya secara utuh atau sudah dapat dibagi bersama suami. Pembagian kerja akan dibagi menjadi tiga, yaitu : kerja produktif, reproduktif, dan sosial masyarakat. Berdasarkan pembagian kerja tersebut, selanjutnya akan dihubungkan kepada pola pengambilan keputusan dalam keluarga. Menurut Sajogyo (1983) 22 terdapat lima pola pengambilan keputusan yaitu keputusan yang dilakukan istri sendiri, keputusan bersama yang dominan dilakukan istri, keputusan bersama antara suami dan istri, keputusan bersama yang dominan dilakukan suami, serta keputusan yang dilakukan suami sendiri. Kelima pola tersebut akan dilihat berdasarkan pola pengambilan keputusan di sektor publik, domestik serta sosial kemasyarakatan. Bagan kerangkan pemikiran akan merangkum pemikiran yang terdapat pada tinjauan pustaka dan teori yang digunakan seperti pada Gambar 1. Karakteristik perempuan pedagang sayur a. b. c. d. e. Umur Tingkat pendidikan Pengalaman bekerja Jumlah tanggungan dalam keluarga Pendapatan suami dan istri Motivasi Ekonomi Motivasi non-Ekonomi Pembagian Kerja dalam Keluarga a. Kerja produktif b. Kerja reproduktif c. Kerja sosial kemasyarakatan Pengambilan Keputusan dalam Rumahtangga a. b. c. d. e. keterangan: Istri sendiri Bersama dominan Istri Bersama Bersama dominan Suami Suami sendiri mempengaruhi Gambar 1. Bagan Kerangka Analisis 23 2.8. Hipotesa Hipotesa dalam penelitian ini adalah : 1. Motivasi bekerja mempengaruhi curahan waktu bekerja. 2. Tingginya curahan waktu bekerja perempuan mempengaruhi pola pengambilan keputusan dalam keluarganya. 2.9. Definisi Operasional 1. Karakteristik perempuan pedagang sayur adalah ciri-ciri yang membedakan satu individu dengan individu lain seperti umur, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, pendapatan suami dan istri, serta jumlah tanggungan dalam keluarga. Umur adalah usia responden (dalam jumlah tahun) pada saat diwawancarai. Umur digolongkan ke dalam : Kelompok umur muda adalah ≤ nilai tengah umur semua responden. Kelompok umur tua adalah > nilai tengah umur semua responden. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti dan diukur dalam tahun. Tingkat pendidikan akan dikategorikan sebagai berikut : Tingkat pendidikan rendah adalah responden yang memiliki tingkat pendidikan ≤ SD/Sederajat. Tingkat pendidikan tinggi adalah responden yang memiliki tingkat pendidikan > SD/Sederajat. 24 Pengalaman kerja adalah pengalaman yang dimiliki perempuan pedagang sayur dalam menjalankan usahanya yang ditunjukkan oleh lamanya waktu (tahun). Tingkat pengalaman kerja rendah adalah < nilai tengah pengalaman kerja semua responden. Tingkat pengalaman kerja tinggi adalah ≥ nilai tengah pengalaman kerja semua responden. Pendapatan suami dan istri adalah keuntungan yang didapat dari hasil berdagang yang diusahakan masing-masing oleh suami dan istri. Tingkat pendapatan rendah adalah < nilai tengah jumlah pendapatan semua responden. Tingkat pendapatan tinggi adalah ≥ nilai tengah jumlah pendapatan semua responden. Jumlah tanggungan keluarga adalah jumlah anak yang hidupnya menjadi tanggungan keluarga. Jumlah tanggungan rendah adalah < nilai tengah jumlah tanggungan semua responden. Jumlah tanggungan tinggi adalah ≥ nilai tengah jumlah tanggungan semua responden. 2. Motivasi perempuan bekerja adalah dorongan dari dalam diri seseorang yang menyebabkannya tergerak melakukan sesuatu pekerjaan karena ingin mencapai suatu tujuan. Peneliti mengkategorikan motivasi kerja menjadi dua yaitu : 25 Motif ekonomi (kebutuhan finansial) yaitu motif yang menyebabkan perempuan bekerja karena alasan kebutuhan finansial bagi kehidupan keluarganya dan yang tergolong dalam motif ekonomi adalah mereka yang menjawab pertanyaan bahwa pendapatan suami mereka belum mencukupi untuk kehidupan mereka. Motif non ekonomi (kebutuhan sosial relasional dan kebutuhan aktualisasi diri) yaitu motif yang menyebabkan perempuan bekerja karena alasan kebutuhan mencari teman dan kebutuhan mengembangkan diri lewat pekerjaannya. Para responden yang tergolong dalam kebutuhan sosial relasional adalah mereka yang memenuhi persyaratan sebagai berikut : mereka yang menjawab pertanyaan bahwa pendapatan suami telah mencukupi kebutuhan mereka, mereka yang mementingkan untuk mendapatkan teman, dan jumlah teman seprofesi mereka ≥ nilai tengah jumlah teman seprofesi seluruh responden perempuan. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi sepenuhnya maka mereka tergolong memiliki kebutuhan ekonomi. Para responden yang tergolong dalam kebutuhan pengembangan diri adalah mereka yang menjawab pertanyaan bahwa mereka bekerja untuk mendapat pengakuan bahwa mereka telah berhasil hidup dan bekerja di kota dari orang-orang di kampung. 3. Pembagian kerja dalam keluarga adalah pengelolaan tugas-tugas antara suami dan istri pada peran produktif, reproduktif, dan kemasyarakatan yang diukur 26 melalui curahan waktu yang dilakukan antara suami dan istri pada tiap peran yang dilakukan. Peranan produktif adalah peranan yang dikerjakan perempuan dan lakilaki untuk memperoleh bayaran atau upah secara tunai atau sejenisnya. Peran produktif dapat diukur melalui curahan waktu bekerja. Tinggi rendahnya curahan waktu bekerja dibuat berdasarkan kategori berikut : curahan waktu kerja produktif suami dan istri tinggi bila curahan waktu perhari ≥ nilai tengah jumlah jam kerja seluruh responden serta curahan waktu kerja produktif suami dan istri rendah bila curahan waktu perhari < nilai tengah jumlah jam kerja seluruh responden. Peranan reproduktif adalah peranan yang berhubungan dengan kegiatan rumahtangga berupa tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan keluarga. Peran reproduktif dapat diukur melalui curahan waktu reproduktif. Tinggi rendahnya curahan waktu reproduktif dibuat berdasarkan kategori berikut : curahan waktu kerja reproduktif suami dan istri tinggi bila curahan waktu perhari ≥ nilai tengah jumlah jam kerja reproduktif seluruh responden serta curahan waktu kerja reproduktif suami dan istri rendah bila curahan waktu perhari < nilai tengah jumlah jam kerja reproduktif seluruh responden. 27 Peranan kemasyarakatan adalah semua aktivitas yang dilakukan pada tingkat komunitas atau masyarakat. Peran kemasyarakatan dapat diukur melalui curahan waktu kemasyarakatan. Tinggi rendahnya curahan waktu kemasyarakatan dibuat berdasarkan kategori berikut : curahan waktu kemasyarakatan suami dan istri tinggi bila curahan waktu perhari ≥ nilai tengah jumlah jam untuk bermasyarakat seluruh responden serta curahan waktu kerja kemasyarakatan suami dan istri rendah bila curahan waktu perhari < nilai tengah jumlah bermasyarakat seluruh responden. 4. Pengambilan keputusan dalam rumahtangga adalah siapa yang lebih dominan (antara suami dan istri) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan suatu kegiatan (Adriyani, 2000; Rahmawaty, 2000). Berdasarkan Sajogyo (1983) tingkat pengambilan keputusan diukur dari skor yang didapat dari lima variasi dalam pengambilan keputusan demi kepentingan peneliti, yaitu : 5 = bila pengambilan keputusan yang dilakukan istri sendiri 4 = bila pengambilan keputusan bersama yang dominan dilakukan istri 3 = bila pengambilan keputusan yang dilakukan bersama antara suami dan istri 2 = bila pengambilan keputusan bersama yang dominan dilakukan suami 1 = bila pengambilan keputusan yang dilakukan suami sendiri Berdasarkan rata-rata nilai ditentukan nilai pengambilan keputusan yaitu : rendah bila jumlah nilai 11 sampai 33 dan tinggi bila jumlah nilai 34 sampai 55. 28