BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab ini Penulis menguraikan suatu kajian dan tinjauan kepustakaan mengenai asas nasional pasif dan aspek yang berkaitan dengan itu, sebagai alasan perlindungan terhadap nelayan-nelayan Indonesia yang memiliki hak perikanan tradisional yang telah diakui oleh pemerintah Australia, serta pengaplikasian bentuk perlindungan kepada nelayan-nelayan Indonesia. Adapun konsepsi yang digambarkan dalam Bab ini terdiri dari yurisdiksi sebagai suatu kontrak asas nasional pasif, Zona-Zona Laut, Hakikat Perjanjian Ekstradisi prosedur dalam Perjanjian Ekstradisi, landasan hukum Perjanjian Ekstradisi asas-asas dalam Perjanjian Ekstradisi, dan Pencurian Ikan, suatu perpektif hukum serta arti penting tinjauan kepustakaan. 2.1. Yurisdiksi Sebagai Suatu Kontrak (a Contract) Kata “yurisdiksi” dalam Bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Inggris, “jurisdiction”. Sedangkan istilah jurisdiction dalam bahasa Inggris itu sendiri sebenarnya dikutip atau diadopsi dari bahasa latin yaitu “yurisdictio”. Kata yurisdictio, sebenarnya terdiri dari dua kata yaitu, kata “yuris” dan kata “dictio”. Kata yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum dan kata dictio berarti ucapan, sabda, sebutan, atau firman.1 1 I Wayan Parthiana. SH. 1990. Pengantar Hukum Internasional. Mandar Maju : Bandung. Hlm. 292. 12 Jadi secara singkat dan sederhana, yurisdiksi berarti, kepunyaan seperti apa yang telah ditentukan atau ditetapkan oleh hukum. Dengan singkat dapat diartikan kekuasaan atau kewenangan hukum. Dengan kata lain yurisdiksi berarti hak, kekuasaan, atau kewenangan berdasarkan hukum. Didalamnya tercakup hak, kekuasaan dan kewenangan. Yang penting untuk ditekankan di sini adalah hak, kekuasaan, dan kewenangan itu harus berdasarkan atas hukum bukan atas paksaan, apalagi berdasarkan pada kekuatan belaka.2 Mengingat konteks tinjuan pustaka ini adalah hak nelayan tradisional Indonesia mencari ikan di perairan laut Australia, maka yurisdiksi di sini yaitu antara hak, atau wewenang pemerintah Indonesia dan Australia untuk menjalankan kekuasaanya melindungi nelayan tradisional Indonesia berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan yang sewenang-wenang. Jika konsep yurisdiksi seperti telah diuraikan di atas itu dikaitkan dengan negara atau bangsa, seperti yang dikatakan oleh Encyclopedia Americana, maka yurisdiksi negara itu berarti kekuasaan atau kewenangan dari suatu negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enforce) hukum yang dibuat oleh negara atau bangsa itu sendiri baik ke dalam, maupun ke luar. Atau dengan kata lain, yurisdiksi adalah kapasitas (the capacity to Contract) suatu negara sebagai suatu subyek hukum (the party to contract) untuk membuat, dan menerapkan hukum. Yurisdiksi didasarkan pada dua titik pijak yaitu wilayah negara (territory) dan kewarganegraan (nationality). 2 Ibid. 13 Disamping pengertian di atas, hukum internasional pun mempunyai difinisi mengenai yurisdiksi. Disebutkan bahwa : Jurisdiction is an attribute of state sovereignty. A state’s jurisdiction refers to the competence of the state to govern person and property by its municipal law (criminal and civil). This competence embraces jurisdiction to prescribe (and prorscribe), to adjudcate and enforce the law.3 Dari pengertian-pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa ada beberapa unsur dalam yurisdiksi sebuah negara. Unsur-unsur dari yurisdiksi bahwa suatu negara tersebut sebagai berikut : Pertama, Hak dan kekuasaan atau kewenangan dari pihak yang mempunyai yurisdiksi berdasarkan hukum. Dalam hal ini sudah jelas bahwa dengan kekuasaan dan kewenangan ( the power to contract), suatu negara dapat berbuat atau melakukan sesuatu (to do something) atau tidak melakukan sesuatu (refrain from doing something), yang sudah tentu pula harus berdasarkan atas hukum yaitu hukum internasional.4 Kedua, Mengatur (legislative, eksekutif dan yudikatif). Hak, kekuasaan dan kewenangan untuk melakukan sesuatu (to do something) dalam hal ini adalah untuk mengatur atau mempengaruhi. Di dalamnya mencakup membuat atau menetapkan peraturan (legislatif); melaksanakan atau menerapkan peraturan yang telah dibuat atau 3 Rebecca M.M Wallace, 1986. International Law. Sweet & Maxwell Limited. London. Hal. 101. 4 Loc Cit, I Wayan Parthiana. Hal. 296. Menurut pendapat Penulis, hukum Internasional itu pada prinsipnya adalah suatu kontrak. 14 ditetapkannya itu (eksekutif); memaksakan, mengenakan sanksi atau mengadili dan menghukum pihak yang melanggar peraturan tersebut (yudikatif).5 Pemahaman di atas sejalan dengan hakikat kontrak sebagaimana ilmu hukum Jeferson Kameo SH, LLM, PhD: “segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak diperjanjikan”6. Ketiga, obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, benda). Hak negara untuk mengatur (unsur nomor 1 dan 2) tentulah ditujukan terhadap suatu obyek yang memang dapat ditundukan pada peraturan yang dibuat, dilaksanakan dan dipaksakan oleh negara tersebut. Obyek itu dapat berbentuk peristiwa, perilaku, masalah, orang, benda, ataupun perpaduan antara satu dengan yang lain.7 Keempat, tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri. Dalam hal ini tentulah erat kaitannya dengan masalah tempat di mana obyek itu berada atau terjadi. Meskipun dalam kenyataanya, masalah tempat dari obyek ini tidak selalu di luar batasbatas wilayah negara, sebab boleh jadi mengenai tempat ini mengandung unsur domestik dan unsur bukan domestik. Namun, hal yang penting ditekankan di sini adalah obyek yang tunduk pada peraturan tersebut mengandung aspek international. 5 Ibid, 296-297. 6 Jeferson Kameo, SH., LLM., Ph.D. Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum. Fakultas Hukum UKSW Salatiga. 7 Loc Cit. I Wayan. hlm . 297. 15 Aspek internasional itulah yang menjadi ciri yang menunjukkan bahwa hak, kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur obyek itu tidak berdasarkan pada hukum nasional melainkan pada hukum internasional.8 Kelima, hukum internasional (sebagai dasar atau landasan). Hak, kekuasaan dan kewenangan negara untuk mengatur obyek yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri atau domestik itu, adalah seperti telah dikemukakan di atas berdasarkan pada hukum internasional sebagai suatu kontrak (a contract). Dengan perkataan lain, hukum internasionalah yang memberikan hak, kekuasaan dan kewenangan kepada negara itu untuk mengatur obyek yang semata-mata bukan merupakan masalah domestik itu. Demikian pula, hukum internasional pula yang membatasi.9 2.2. Asas Nasional Pasif Berhubung skripsi ini membicarakan mengenai manifestasi asas nasional pasif maka berikut ini uraian asas nasional pasif dalam prespektif dideskripsikan oleh Penulis. Asas-asas di dalam hukum internasional yang berkaitan dengan perlindungan terhadap nelayan tradisional Indonesia di perairan laut Australia berikut juga dijabarkan di bawah ini. Penjabaran asas itu Penulis kemukakan sebagai suatu perpektif atau kerangka konsepsional dalam rangka melihat manifestasinya, prinsipprinsip itu adalah : 8 Ibid, hlm 297-298. 9 Ibid, 298. 16 Pertama, prinsip teritorial subyektif. Dalam prinsip territorial subyektif, pelaku pelanggaran hukum bisa siapa saja, baik itu warga negara atau bukan warga negara. Ukuran yang dipakai dalam prinsip territorial subyektif adalah wilayah sebagai tempat dilakukannya perbuatan. Prinsip territorial subyektif merupakan prinsip yang paling tua dan tidak banyak diperdebatkan. 10 Prinsip territorial subyektif membenarkan negara melakukan yurisdiksinya atas perbuatan yang mulai dilakukan di wilayahnya tetapi berakhir atau menimbulkan akibat di negara lain.11 Dalam kaitan dengan asas itu, dimaksud dengan yurisdiksi territorial12 adalah pelaksanaan yurisdiksi oleh suatu negara terhadap harta benda, orang tindakan atau peristiwa yang terjadi di dalam wilayahnya jelas diakui oleh hukum internasional untuk semua negara anggota masyarakat internasional. Prinsip territorial subyektif 13 adalah suatu ciri pokok dari kedaulatan. Dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang berdaulat. Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas territorial ini.14 Dalam hukum internasional disebutkan bahwa : The subjective territorial principle allows the exercise of jurisdiction in the state where acrime is commenced.15 10 Arie Siswanto SH., MH., 2011, Bahan Ajar Hukum laut Internasional. 11 Sugeng Istanto SH. 2010. Hukum Internasional. Universitas Atmajaya Yogyakarta. Yogyakarta. Hal 68. 12 Loc Cit, Strake Hlm .270 -271. 13 di kemukakan oleh Lord Macmillian 14 Ibid. 15 Opcit, Rebecca, hal. 102. 17 Kedua, prinsip teritorial obyektif. Prinsip yurisdiksi ini berlaku terhadap perbuatan yang melanggar hukum suatu negara, yang awal perbuatan dimulai di negara lain dan perbuatan tersebut diselesaikan atau membawa akibat di negara lain.16 Pengertian yang sama dengan difinisi yang diberikan oleh hukum internasional disebutkan bahwa : The objective territorial principle gives jurisdiction to the state in which the crime has been completed and has effectthe forum of injury.17 Ketiga, prinsip nasionalitas. Berbeda dengan prinsip territorial, dalam prinsip nasionalitas yang dijadikan ukuran adalah kewarganegaraan pelaku. Setiap negara pada dasarnya memiliki kewenangan untuk menerapkan hukum terhadap warga negaranya, sepanjang pelaksanaanya tidak melanggar kedaulatan negara lain.18 Sedangkan Prinsip nasional aktif 19 merupakan sebuah prinsip dimana negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga negaranya. Prinsip ini pada umumnya diberikan oleh hukum internasional kepada semua negara yang hendak memberlakukannya. Semua prinsip lain yang berkaitan dengan hal ini adalah bahwa negara tidak wajib menyerahkan warga negaranya yang telah melakukan tindak pidana di luar negeri.20 16 Loc Cit, Arie. Siswanto SH.MH. . 17 Opcit, Rebecca, hal 102. 18 Ibid. 19 Loc Cit, Starke. 20 Ibid 303. 18 Menurut hukum internasional prinsip nasionalitas adalah, Jurisdiction exercise on this principle relates to the nationality of the offender. A state may exercise jurisdiction over any of its nationals wherever they may be and so in respect of offences commited abroad. Although universally acknowledge as a basis of jurisdiction, it is utilized more extensively by civil law countries than those with a common law system.21 Keempat, personalitas pasif. Prinsip jurisdiksi ini berlaku terhadap perbuatan yang melanggar hukum suatu di negara diminta yang menimbulkan korban dari warga negara peminta, dan perbuatan tersebut dapat dimulai dan diselesaikan di manapun. Prinsip ini membenarkan negara untuk mejalankan yurisdiksinya terhadap warga negara lain apabila seorang warga negara menderita kerugian karena perbuatan warga negara lain tersebut di negaranya. Dasar pembenar prinsip personalitas pasif adalah bahwa setiap negara berkewajiban melindungi warga negaranya di luar negeri.22 Dalam hukum internasional, pengertian mengenai prinsip personalitas pasif adalah sebagai berikut, The link between the state exercise jurisdiction and the offence is the nationality of the victim. A state may exercise jurisdiction over an alien in respect of an act which has taken place outwith its boundaries, but against one of its nationals.23 Kelima, prinsip protektif. Berdasarkan prinsip protektif suatu negara dapat melakukan yurisdiksinya atas perbuatan pidana yang melanggar keamanan dan integritas atau kepentingan vital ekonominya yang dilakukan di luar negeri. Dasar 21 Op Cit, Rebecca, hal 103. 22 Loc Cit, Starke 303. 23 Loc Cit, Rebecca, hal 106. 19 pembenar atau legitimasi yang diberikan yang oleh hukum pelaksanaan yurisdiksi itu ialah bahwa akibat perbuatan pidana itu menimpa negara tersebut dan bahwa bila yurisdiksi itu tidak dapat dilaksanakan maka kejahatan itu akan lepas dari hukuman.24 Lebih lanjut Jeferson Kameo SH., LLM., Ph.D dalam kelas Hukum Mayantara mengemukakan hasil penelitian individualnya25 terhadap asas protektif. Bahwa UU ITE memiliki jangkauan yurisdiksinya tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia. Tetapi, UU itu juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing, badah hukum Indonesia, maupun badan hukum asing, yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan TI untuk informasi elektronik dan transaksi elektronik dapat bersifat lintas territorial atau universal. Jeferson Kameo SH., LLM., Ph.D menandaskan bahwa yang dimaksud dengan “merugikan kepentingan Indonesia” adalah tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan bangsa, warga negara serta badan hukum Indonesia. Penulis berpendapat, bahwa pandangan Jeferson Kameo SH., LLM., Ph.D yang ditemukan setelah menganalisis secara obyektif manifestasi asas protektif dalam UU No 11 tahun 2008 tersebut sebenarnya mengirimkan sinyal bahwa asas nasional pasif 24 Op Cit, Sugeng Istanto. Hlm. 71. Hasil penelitian individual Jeferson Kameo SH, LLM PhD, atas asas seperti ini mengatakan bahwa Pasal 2 UU No 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik kental mengandung prinsip protektif ini. Adapun Pasal 2 UU No.11 tahun 2008 adalah: UndangUndang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagimana diatur dalam UU ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. 25 Penelitian individual tidak dipublikasikan. 20 seperti telah Penulis kemukakan di atas, pada prinsipnya sama dengan asas protektif, terutama kata- kata : “merugikan kepenyingan Indonesia adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan bangsa, warga negara serta badan hukum Indonesia” Ini berarti bahwa analog asas protektif di atas, Pemerintah Indonesia sebetulnya, menurut hukum (asas hukum internasional yang berlaku), dapat meminta Pemerintah Australia untuk mengekstradisi oknum otoritas Australia yang merusak kapal-kapal nelayan Indonesia untuk diadili di Indonesia. Sebab “ merugikan kepentingan Indonesia”, dalam hal ini merugikan kepentingan warga negara Indonesia, para nelayan tradisional yang hak-haknya diakui hukum internasional apabila hal ini (yurisdiksi) dilakukan, maka sama saja dengan sengaja membiarkan kejahatan itu lepas dari hukuman dan menunjukan ketidakberdayaan suatu negara memberantas kejahatan internasional. Persoalannya adalah bahwa untuk melaksanakan yurisdiksi yang demikian itu, dalam hal ini the doctrine of pre-entive strike, suatu negara harus memiliki kemampuan militer yang kuat untuk memburu si pelaku, si pelaku kejahatan yang dilindungi oleh suatu negara (harboring criminals) misalnya dalam contoh kasus Sadam Husein. Disamping, terutama yurisdiksi yang demikian itu dapat dilakukan apabila suatu negara dilengkapi dengan kemampuan diplomasi sipil yang kuat penguasaan hukum yang memadahi, seperti terhadap kasus penggunaan atas MoU dan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Australia, dalam skripsi ini. 21 Prinsip protektif menurut hukum internasional adalah : on the basis of this principle, a state may exercise jurisdiction in respect of offences which, although occurring abroad and committed by non-nationals, are regarded as injurious to the state’s security.26 Keenam, prinsip universalitas. Berdasarkan prinsip universalitas suatu negara dapat melakukan yurisdiksi atas perbuatan pidana yang melanggar kepentingan masyarakat internasional. Alasan pembenar yang berada di balik asas universalitas ini adalah semua negara berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku kejahatan itu. tujuan adanya yurisdiksi universal itu ialah untuk menjamin agar kejahatan itu tidak lepas dari hukuman.27 Menurut hukum internasional prinsip universalitas adalah, one interpretation of this principle is that it gives jurisdiction to a state (any and every) over all crime perpetrated by foreigners abroad. Such an interpretation is not regarded as being in conformity with international law. Where the principle may acceptably invoked is in respect of international law and the international community as a whole.28 Disamping itu, ada beberapa pengertian yurisdiksi yang juga mengatur kewajiban negara untuk melindungi warga negara. Beberapa pengertian dimaksud dibicarakan/ diuraikan lebih lanjut di bawah ini. 26 Loc cit, Rebecca, hal 103. 27 Ibid. 28 Loc Cit ,Rebecca. 22 Segi kewarganegaraannya memberi isyarat hal itu dapat dibedakan menjadi kategori yaitu: yurisdiksi personal berdasarkan asas kewarganegaraan aktif dan yurisdiksi personal berdasarkan asas kewarganegraan pasif. Yurisdiksi personal berdasarkan asas kewarganegaraan aktif menitikberatkan pada adanya hubungan langsung dan aktif antara negara itu sendiri dengan warga negaranya. Asas ini berlandaskan pada suatu asumsi bahwa setiap orang warga negara akan membawa dan menaati hukum negaranya di manapun dia berada.29 Sedangkan asas yurisdiksi personal berdasarkan kewarganegaraan pasif titik beratnya terletak pada hubungan langsung antara negara dengan orang yang bersangkutan, sebab orang itu bukan warga negaranya, melainkan warga negara asing atau tanpa kewarganegaraan. Titik beratnya terletak pada usaha negara itu sendiri untuk melindungi kepentingannya maupun kepentingan warga negaranya sendiri terhadap tindakan-tindakan atau perilaku orang asing yang merugikan.30 Ketujuh, prinsip atau asas nasional pasif. Beberapa literatur atau kepustakaan terkaji juga memberikan pengertian mengenai prinsip nasional pasif. Menurut Shaw prinsip nasional pasif ini memberikan dasar bagi klaim suatu negara atas yurisdiksi dengan alasan nasional dari si korban aktual dan/atau faktual. Apabila dirumuskan dengan perkataan lain maka utilisasi nasional pasif oleh suatu negara dapat didasarkan atas dasar yurisdiksi untuk mengadili seseorang yang berada di luar negeri yang diduga telah atau akan merugikan kepentingan negara yang bersangkutan meskipun orang tersebut bukan warga negara dari negara peminta. 29 Loc cit, I Wayan Parthiana. Hlm .304. 30 Ibid, hlm. 305. 23 Keuntungan dari prinsip nasional pasif adalah negara bukan saja dapat melindungi warga negaranya di negara lain oleh perbuatan melawan hukum atau tindakan pidana yang merugikan warga negaranya oleh orang lain yang mungkin saja adalah warga negara dari negara yang dikunjungi. Hal seperti ini, menurut Penulis dapat dikaitkan dengan pelaksanaan perjanjian ekstradisi,31 yang menjadi satuan amatan penelitian dan penulisan karya tulis kesarjnaan ini, yaitu Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia. 2.3. Zona-Zona Laut Kegiatan penangkapan ikan, memang harus diakui hanya dapat dilakukan di wilayah perairan suatu negara. Wilayah perairan tersebut adalah laut territorial, zona ekonomi eklusif32, dan laut lepas. Menurut penjelasan atas Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations on the Law of the Sea, zona-zona tersebut adalah : Laut Teritorial. Konprensi-konprensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang pertama tahun 1958 dan kedua 1960 di Jenewa tidak dapat memecahkan masalah lebar laut territorial, yaitu 3 mil laut hingga 200 mil laut. 31 Jawahir Thontowi. Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional Kontenporer. Refika Aditama: Bandung. Hlm.162. 32 Meskipun harus diakui bahwa ZEE adalah wilayah internasional yang dimiliki oleh suatu negara. 24 Namun Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ketiga pada akhirnya berhasil menentukan lebar laut territorial maksimal 12 mil laut sebagai bagian dari keseluruhan paket rejim-rejim hukum laut lainnya, misalnya33 : Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut terhitung dari garis dasar pangkal darimana lebar laut territorial diukur dimana berlaku kebebasan pelayaran.34 Kebebasan transit kapal-kapal asing melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.35 Hak akses negara tanpa kendala dari laut dan kebebasan transit.36 Tetap dihormati hak lintas laut damai melalui laut territorial.37 Sedangkan menurut Pasal 1 Angka 19 Undang-Undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa Laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.38 Selanjutnya, mengenai Rejim Laut Teritorial memuat ketentuan bahwa negara pantai mempunyai kedaulatan penuh atas laut territorial dan ruang udara di atasnya. Dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.39 dalam laut teritorial berlaku hak lintas damai bagi kendaraan-kendaraan air asing. Kendaraan asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di laut territorial, 33 Penjelasan atas Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On the Law of the Sea. 34 Ibid. 35 Ibid. 36 Ibid. 37 Ibid. 38 Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. 39 Ibid. 25 tidak boleh melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan tehadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan poltik suatu negara pantai, serta tidak boleh melakukan survey atau penelitian, mengganggu sistem komunikasi, melakukan pencemaran40 dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada hubungan langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut harus dilakukan terus menerus, langsung serta secepatnya, sedangkan berhenti dan membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan navigasi yang normal atau karena keadaan memaksa atau force Majeure atau dalam keadaan bahaya untuk tujuan memberitahukan bantuan pada orang lain, kapal atau pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya.41 Kemudian, Zona Ekonomi Eksklusif. Di Zona Ekonomi Eksklusif, sebuah negara pantai mempunyai: hak berdaulat untuk tujuan ekplorasi, ekploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati di ruang air dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut seperti pembangkit tenaga dari air, arus dan angin.42 Yurisdiksi yang berkaitan dengan pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalsi dan bangunan-bangunan lainnya, penelitian ilmiah dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut.43 40 Rupanya rumusan seperti ini telah menjadi alasan bagi Australia untuk mengelak dari hak Indonesia untuk melaksanakan yurisdiksi berdasarkan asas nasional pasif dan asas protektif ? 41 .Loc. Cit. Undang-Undang Perikanan 42 Ibid. 43 Ibid. 26 Kewajiban untuk menghormati kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional, pemasangan kabel atau pipa bawah laut menurut prinsip hukum internasional yang berlaku di Zona Ekonomi Eklusif. Kewajiban untuk memberikan kesempatan 44 terutama kepada negara tidak beruntung untuk turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan.45 Zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai menikmati hak berdaulat antara lain atas sumber kekayaan hayati. Dengan demikian, negara pantai memiliki hak-hak yang lebih kecil jangkauanya daripada di perairan pedalaman atau di laut teritorialnya. Hal ini tampak jelas dengan kenyataan bahwa konvensi mengenakan kewajiban-kewajiban tertentu kepada negara pantai mengenai perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif.46 Sedangkan menurut Pasal 1 Angka (21) Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang dimaksud Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang selanjutnya disebut ZEEI, adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan Undang-Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut territorial Indonesia.47 44 Sayangnya kesempatan yang harus diberikan oleh Australia kepada para nelayan tradisional Indonesia seperti yang dijamin oleh kaidah kontraktual dalam hukum Internasional tersebut sepertinya tak begitu digubris Australia dan malah menenggelamkan perahu-perahu para nelayan tradisional indoneisa, seperti data yang dapat dilihat pada tabel di halaman 47 skripsi ini. 45 Loc Cit, Undang-Undang Perikanan 46 Heru Prijanto. 2007. Hukum Laut Internasional. Bayu Media Publishing: Malang. Hlm 46. 47 Loc Cit UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan. 27 Dimaksusd dengan sumber daya ikan adalah semua jenis ikan dan biota perairan lainnya. Kaitan dengan hal itu, pada penjelasan Pasal 1 Angka (2) Undang-Undang Nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan disebutkan beberapa sumber hayati laut yang dapat diambil adalah : Pisces (ikan bersirip), Crustacea (udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya), Molluscan (kerang tiram, cumi-cumi, gurita, siput laut dan sebangsanya), Coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya), Echinodermata (teripang, bulu babi, dan sebangsanya), Amphibia (kodok dan sebangsanya), Reptilia (buaya. Penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya), Mammalian (paus, limba-lumba, pesut, duyung dan sebangsanya), Algue ( rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidup di dalam air), Biota perairan yang lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut di atas.48 Selanjutnya mengenai Laut Lepas. Ketentuan mengenai laut lepas terdapat dalam konvensi ini berlaku pada semua bagian laut yang tidak termasuk Zona Ekonomi Eksklusif, laut territorial, perairan pedalaman ataupun perairan kepulauan49 . Dengan demikian, ketentuan itu menunjukan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif tidak termasuk rezim laut lepas. Namum demikian, Pasal 86 juga menyatakan bahwa ketentuan ini tidak mempengaruhi beberapa kebebasan yang dinikmati oleh negara-negara di Zona Eonomi Eksklusif sesuai dengan Pasal 58. Oleh karena itu, hal ini tampaknya bukan merupakan alasan yang cukup untuk menegaskan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif membentuk bagian dari laut lepas. Sebagaimana dinyatakan sebelumnya bahwa mungkin lebih baik bila Zona Ekonomi 48 Penjelasan Pasal 1 Angka (2) UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan. 49 Pasal 86 UNCLOS. 28 Eksklusif dianggap sebagai rezim yang sui generis, di mana hanya beberapa aspek tertentu saja dari kebebasan di laut lepas diterapkan. Selain peristilahan “laut lepas” diartikan sebagai perairan yang berada di luar batas 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif.50 Menurut Pasal 1 Angka 22 UndangUndang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang dimaksud dengan Laut lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut territorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.51 Laut lepas terbuka bagi semua negara, baik negara yang berpantai maupun yang tidak berpantai. Kebebasan di laut lepas ini antara lain: kebebasan berlayar, kebebasan terbang di atasnya, kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut, kebebasan membangun pulau-pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya, kebebasan melakukan riset ilmiah. Kebebasan-kebebasan seperti telah dikemukakan di atas harus dilaksanakan oleh negara-negara dengan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan negara lain, serta hak-hak yang tercantum dalam konvensi mengenai eksploitasi kawasan dasar laut52. Laut lepas harus digunakan hanya maksud-maksud damai dan tidak ada satu negara pun dapat menyatakan kedaulatannya terhadap bagain dari laut lepas itu.53 50 Pasal 88 dan 89 Loc cit, Heru Prijanto. Hlm. 16-17. 51 Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. 52 Loc Cit UNCLOS Pasal 87 53 Loc. Cit. Heru Prijanto hlm .17. 29 2.4. Hakikat Perjanjian Ekstradisi Dimaksud dengan ekstradisi adalah: penyerahan yang dilakukan secara formal, baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan hubungan baik secara timbal balik, atas seseorang yang diduga telah melakukan kejahatan atau tindak pidana (tersangka, tertuduh, atau tersangka) atau atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti atas kejahatan yang telah dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya, atas permintaan dari negara yang memiliki yurisdiksi kepada negara tempat orang yang bersangkutan berada, dengan maksud dan tujuan untuk mengadilinya ataupun melaksanakan hukuman dari sisa hukumannya.54 Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi yang dimaksud dengan ekstradisi adalah: penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memindananya.55 Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya unsurunsur yang harus memenuhi unsur-unsur kontraktual untuk dapat dikatakan ada suatu, ekstradisi adalah suatu kontrak ( a contract) sebagai suatu kontrak maka ekstradisi 54 I Wayan Parthiana. 2009. Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern. Yrama-Widya. Bandung. Hal. 38. 55 Undang-Undang No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi. 30 memiliki unsur subyek hukumnya, yaitu subyek-subyek (pihak-pihak) hukum yang terlibat dalam suatu kasus ekstradisi. Adapun pihak-pihak (the Parties) tersebut terdiri atas: negara peminta sebagai negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum orang dan negara diminta sebagai tempat si pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa, ataupun terhukum) itu berada. Negara peminta sebagai negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum, bisa hanya satu negara saja atau bisa lebih dari satu negara.56 Dalam kenyataannya ada kejahatan yang dilakukan oleh orang bisa tunduk pada yurisdiksi lebih dari satu negara atau orang melakukan pelbagai macam kejahatan yang masingmasing tunduk pada yurisdiksi lebih dari satu negara. Untuk dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap orang yang bersangkutan, negara atau negara-negara itu haruslah terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada negara tempat orang itu berada. Supaya, negara yang diminta tersebut menyerahkan orang yang bersangkutan kepada negara peminta. Jadi, negara atau negara-negara itu berkedudukan seabagi negara/pihak yang meminta atau dengan singkat disebut “negara atau pihak-peminta”57. Negara diminta sebagai negara tempat si pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa, ataupun terhukum) itu berada. Negara tersebut –sudah pasti hanya satu negara saja- adalah negara yang diminta oleh negara peminta supaya menyerahkan si pelaku kejahatan tersebut yang berada di dalam wilayahnya. 56 Ditegaskan di sini bahwa skripsi ini mengaitkan asas nasional pasif dan asas protektif dengan perjanjian ekstradisi anatara Indonesia dan Australia. 57 Loc Cit, I Wayan Parthiana. Hal. 39. 31 Negara diminta, boleh jadi sebuah negara yang juga memiliki yurisdiksi atas kejahatan tersebut atau boleh jadi sama sekali tidak memiliki yurisdiksi. Negara ini disebut “negara-diminta”. Negara diminta ini memainkan peranan sentral dalam masalah ekstradisi sebab ditangannyalah nasib orang yang diminta itu akan ditentukan,58 menurut hukum internasional Setelah gambaran unsur pihak (the party to contract), maka, unsur berikut adalah obyek hukumnya. Sebagai orang yang diminta, boleh jadi dia berstatus sebagai tersangka, tertuduh, terdakwa, ataupun terhukum. Dalam hubungan ini kedudukan orang yang diminta adalah sebagai obyek sasaran dari permintaan negara-peminta kepada negara diminta maupun sebagai obyek dari pengekstradisian atas dirinya oleh negara diminta kepada negara-peminta. Apalagi, permintaan negara peminta itu dikabulkan oleh negara-diminta. Secara singkat orang itu disebut sebagai “orang yang diminta”59. Atau dalam prespektif analisis kontrak sebagai nama ilmu hukum yang dipergunakan dalam skripsi ini disebut dengan obyek perjanjian. 2.5. Prosedur dalam Perjanjian Ekstradisi Unsur tata cara atau prosedur adalah meliputi tatacara untuk mengajukan permintaan ekstradisi dengan segala persyaratannya. Tatacara untuk memberitahukan apakah permintaan itu dikabulkan ataukah di tolak. Jika dikabulkan selanjutnya adalah tatacara untuk menyerahkan orang yang diminta. Itulah sebabnya permintaan ataupun 58 Ibid. hal.39-40. 59 Ibid. hal. 40. 32 penyerahannya lazim disebut permintaan ataupun penyerahan yang dilakukan secara formal, yang sudah barang tentu dapat pula Penulis sebut sebagai suatu hukum acara. Secara umum dapat dikatankan, bahwa prosedur atau tatacara tersebut dilakukan melalui saluran diplomatik, tegasnya, melalui saluran resmi dari negara ke negara atau antar negara.60 Unsur maksud dan tujuan, Permintaan negara-peminta ataupun penyerahan oleh negara-diminta atas diri orang yang diminta adalah dengan maksud dan tujuan untuk mengadilinya atas kejahatan yang telah dilakukannya yang menjadi yurisdiksi dari negara-peminta. Jika dia sudah berstatus sebagai terhukum, adalah dengan maksud dan tujuan untuk pelaksanaan hukuman atau sisa hukumannya di negara-peminta. Jika hal itu sudah berhasil dilakukan, berarti maksud dan tujuan dari ekstradisi itu sudah tercapai. 2.6. Landasan Hukum Perjanjian Ekstradisi Unsur dasar atau landasan hukum. Semua unsur di atas tersebut, haruslah didasarkan pada suatu dasar atau landasan hukum supaya legalitasnya benar-benar terjamin. Dasar atau landasan hukumnya, bisa berupa perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya antara kedua pihak atau jika perjanjian ekstradisi itu tidak atau belum ada, sepanjang para pihak bersedia, dapat juga didasarkan atas hubungan baik secara timbal balik. Sebaliknya jika para pihak belum terikat pada perjanjian ekstradisi dan menghadapi kasus ekstradisi, jika para pihak setuju, proses atau prosedurnya itu dapat 60 Ibid. 33 didasarkan atas hubungan baik dengan mengacu pada prinsip-prinsip dan kaidahkaidah hukum yang tak tertulis tentang ekstradisi.61 2.7. Asas-Asas dalam Perjanjian Ekstradisi Didalam perjanjian ekstradisi terdapat asas-asas yang menjadi sumber dari sebuah perjanjian ekstradisi. Asas-asas tersebut adalah : Pertama, asas kejahatan ganda. Menurut asas ini, suatu perbuatan yang dilakuakn oleh orang yang diminta haruslah merupakan kejahatan atau tindak pidana, baik menurut hukum pidana negara-peminta maupun hukum pidana negara-diminta.62 Kedua, asas kekhususan. Asas kekhususan ini baru akan berfungsi jika orang yang diminta kemudian diekstradisi oleh negara-diminta kepada negara-peminta. Artinya, permintaan negara-peminta untuk pengekstradisian orang yang diminta dikabulkan oleh negara-diminta. Dengan pengekstradisian tersebut, maka orang yang diminta kini berada di wilayah negara-peminta yang berarti bahwa orang yang diminta itu tunduk pada yurisdiksi territorial dari negara-peminta.63 Ketiga adalah asas tidak mengekstradisi warga negara. Menurut asas ini, negaradiminta berhak menolak permintaan negara-peminta untuk mengekstradisi orang yang 61 Ibid. hal. 43. 62 Ibid. hal. 104-105 63 Ibid. hal. 121. 34 diminta jika tersebut adalah warga negaranya sendiri, meskipun semua persyratan lain yang telah ditentukan dalam perjanjian sudah dipenuhi.64 Keempat adalah asas mengekstradisi pelaku kejahatan politik, Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ataupun dalam kehidupan politik suatu negara, ada orang atau orang-orang yang melakukan kejahatan atau tindak pidana yang bukan sematamata kriminal biasa, tetapi terkait dengan masalah politik di dalam negara itu baik dalam skala lokal, nasional, bahkan internasional. Orang-orang semacam ini pun dalam kesahariaanya adalah orang-orang yang secara social lebih dikenal sebagai orang baik-baik. Mereka bisa terlibat dalam suatu kejahatan yang terkait dengan persoalan politik ataupun yang mengandung dimensidimensi politik. Kejahatan seperti inilah yang kemudian lazim disebut dengan kejahatan politik.65 Pejanjian Ekstradisi biasanya memungkinkan pelaku kejahatan politik tidak dikabulkan oleh negara yang diminta. Kelima adalah asas ne/non bis in idem. Asas ini lebih dikenal dalam hukum pidana yang pada intinya menyatakan, bahwa seseorang tidak boleh diadili dan atau dihukum lebih dari satu kali atas kejahatan yang dilakukannya. Bahwa sekali kasusnya sudah diputuskan secara final oleh badan pengadilan yang berwenang, tidak boleh diungkit lagi oleh siapapun dengan mengadili orang yang bersangkutan untuk kedua kalinya atau lebih.66 64 Ibid. hal 135-136. Dengan asas ini, ada kendala untuk melaksanakan asas nasionalitas pasif dalam sauatu perjanjian ekstradisi. Sehingga dapat saja terjadi, secara konsepsional, ada kejahatan yang tidak diadili atau lolos dari hukuman. 65 Ibid. hal 137. 66 Ibid. hal 139. 35 Asas yang keenam adalah asas daluwarsa. Daluwarsa atau lewat waktu memang sudah dikenal didunia di dalam hampir semua sistem hukum. Makna dari daluwarsa aalah sebagai pengakuan atas suatu fakta, bahwa fakta tersebut diakui sebagai suatu yang sah setelah terlampaui suatu jangka waktu tertentu, meskipun pada awal mulanya fakta itu tidak sah.67 Ekstradisi terhadap orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dilakukan apabila tindak pidana tersebut telah melampaui waktu daluwarsa. 2.8. Pencurian Ikan Suatu Prespektif Hukum Dalam kaitan dengan permasalahan skripsi ini, dari semua ikan dan biota perairan yang sudah disebutkan, ada beberapa kelompok-kelompok ikan dan biota perairan yang merupakan jenis ikan dan biota laut yang dilindungi. Kegiatan untuk mengambil sumber daya ikan/atau biota perairan secara melawan hukum disebut praktik pencurian ikan atau illegal fishing. Menurut IIU yang dimaksud dengan pencurian ikan selalu erat kaitannya dengan 3 jenis kegiatan berikut ini : Conducted by national of foreign vessel in water under the jurisdiction of a state, without the permissions of the state, or in contravention of its law and regulation. Rumusan ketentuan di atas berarti kegiatan yang termasuk dalam pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal nasional atau kapal asing di perairan yang berada di bawah 67 Ibid. hal 146. 36 yurisdiksi suatu negara, tanpa seizin negara, atau bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.68 Conducted by vessel flying flag of the state that are parties to a relevant regional fisheries management organitation but operated in contravention on conservation and management measures adopted by that organitation and by which the states are bound, or relevant provisions of applicable international law. Rumusan ketentuan di atas berarti termasuk kegiatan yang dilakukan oleh kapal yang berbendera suatu negara yang pihak pengelolaan perikanan merupakan organisasi regional yang cocok, tetapi dioperasikan bertentangan dengan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi dan negara-negara terkait, atau relevan dengan ketentuan hukum internasional.69 In violation of national law or international obligation, including those undertaken by cooperating states to a relevant fishing management. Kegiatan yang melanggar hukum nasional atau perjanjian internasional, termasuk mereka yang melakukan kerjasama dengan negara-negara dalam sebuah perjanjian pengelolaan perikanan yang cocok.70 Jika menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 10 bahwa setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki izin usaha perikanan. sedangkan dalam Pasal 1, usaha perikanan adalah semua usaha perseorangan atau badan hukum 68 Food and agriculture organitation lewat ketentuan international plan of actiona to prevebt, deter, and eliminate illegal, unreported,and unregulated fishing point 3.1. 69 Ibid. 70 Ibid. 37 untuk menangkap, membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan dengan tujuan komersil. Menurut ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan pencurian ikan adalah kegiatan dalam usaha perseorangan atau badan hukum untuk menangkap ikan atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan dengan tujuan komersil tanpa memiliki izin usaha perikanan. Sedangkan menurut peraturan Northeren Teritorry Australia yang dimaksud dengan pencurian ikan adalah taking fish in Australian fishing zone without licence71 yang berarti menangkap ikan di zona perikanan Australia tanpa memiliki ijin. Ketentuan tersebut dilengkapi dengan pengertian mengenai menangkap ikan. Taking is fishing, fishing means the catching, taking, or harvesting of fish or aquatic life and includes any other activity which may reasonably by expected result in the catching, taking or harvesting of fish or aquatic life also includes any action taken in support of or in preparation for an activity specified in,72 Ketentuan tersebut berarti mengambil adalah memancing, memancing berarti menangkap, mengambil atau memanen ikan atau biota laut dan termasuk juga beberapa aktivitas lain didalamnya yang berhungungan langsung dengan kegiatan mengkap, mengambil dan memanen ikan dan/atau biota laut termasuk dalam masa persiapan dan aktivitas lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan fish dalam bahasa Inggris atau ikan dalam bahasa Indoneisa adalah : 71 Fishery Act, Northern Teritory of Australia Regulation. 72 Ibid. 38 fish means any species or class of fishing including crustaceans, echinoderms, and mollusks, and includes an aquatic animal (except a species of bird) declared by Minister by notice in gazette to be a fish for the porpuses of this act, and also includes : An egg, fry, spat, or larva of a fish; The dead body, or a part of the dead body of a fish and; The shell or exoskeleton, or a part of the shell orexoskeleton, of a crustacean, echinoderm or mollusc.73 Sedangkan Australian Fishing Zone means the Australian fishing zone as definef by the commonwealth Act. sedangkan yang dimaksud dengan licence adalah, An approved licence currently in force granted under this act or, as the context requires, a licence document issued as a consequence of the grant of a licence.74 2.9. Arti Penting Tinjauan Pustaka. memperhatikan gambaran atas hasil tinjauan kepustakaan di atas, Penulis perlu mengemukakan suatu arti penting tinjauan kepustakaan, sepanjang menjawab perumausan masalah penelitian skripsi ini: yaitu bagaimana, secara konsepsional manifestasi asas nasional pasif dalam Perjanjian Ekstradisi? Menurut Penulis, kajian kepustakaan di atas, khususnya yang menyangkut aspek Perjanjian Ekstradisi, sulit sekali untuk menerobos asa tidak mengekstradisi warga negara.Artinya, secara konsepsional, dapat dikemukakan bahwa sulit sekali suatu negara yang dirugikan kepentingannya menggunakan mekanisme ekstradisi untuk meminta pelaku kejahatan diekstradisi oleh negara yang diminta berdasarkan asas nasional pasif maupun prinsip protektif. 73 Ibid. 74 Ibid. 39