Manifestasi Asas Nasional Pasif Dalam Perjanjian Ekstradisi Antara

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Bab ini Penulis menguraikan suatu kajian dan tinjauan kepustakaan
mengenai asas nasional pasif dan aspek yang berkaitan dengan itu, sebagai alasan
perlindungan terhadap nelayan-nelayan Indonesia yang memiliki hak perikanan
tradisional yang telah diakui oleh pemerintah Australia, serta pengaplikasian bentuk
perlindungan kepada nelayan-nelayan Indonesia.
Adapun konsepsi yang digambarkan dalam Bab ini terdiri dari yurisdiksi sebagai
suatu kontrak asas nasional pasif, Zona-Zona Laut, Hakikat Perjanjian Ekstradisi
prosedur dalam Perjanjian Ekstradisi, landasan hukum Perjanjian Ekstradisi asas-asas
dalam Perjanjian Ekstradisi, dan Pencurian Ikan, suatu perpektif hukum serta arti
penting tinjauan kepustakaan.
2.1. Yurisdiksi Sebagai Suatu Kontrak (a Contract)
Kata “yurisdiksi” dalam Bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Inggris,
“jurisdiction”. Sedangkan istilah jurisdiction dalam bahasa Inggris itu sendiri
sebenarnya dikutip atau diadopsi dari bahasa latin yaitu “yurisdictio”.
Kata yurisdictio, sebenarnya terdiri dari dua kata yaitu, kata “yuris” dan kata
“dictio”. Kata yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum dan
kata dictio berarti ucapan, sabda, sebutan, atau firman.1
1
I Wayan Parthiana. SH. 1990. Pengantar Hukum Internasional. Mandar Maju : Bandung. Hlm. 292.
12 Jadi secara singkat dan sederhana, yurisdiksi berarti, kepunyaan seperti apa yang
telah ditentukan atau ditetapkan oleh hukum. Dengan singkat dapat diartikan
kekuasaan atau kewenangan hukum. Dengan kata lain yurisdiksi berarti hak,
kekuasaan, atau kewenangan berdasarkan hukum. Didalamnya tercakup hak,
kekuasaan dan kewenangan. Yang penting untuk ditekankan di sini adalah hak,
kekuasaan, dan kewenangan itu harus berdasarkan atas hukum bukan atas paksaan,
apalagi berdasarkan pada kekuatan belaka.2
Mengingat konteks tinjuan pustaka ini adalah hak nelayan tradisional Indonesia
mencari ikan di perairan laut Australia, maka yurisdiksi di sini yaitu antara hak, atau
wewenang pemerintah Indonesia dan Australia untuk menjalankan kekuasaanya
melindungi nelayan tradisional Indonesia berdasarkan hukum, bukan berdasarkan
kekuasaan yang sewenang-wenang.
Jika konsep yurisdiksi seperti telah diuraikan di atas itu dikaitkan dengan negara
atau bangsa, seperti yang dikatakan oleh Encyclopedia Americana, maka yurisdiksi
negara itu berarti kekuasaan atau kewenangan dari suatu negara untuk menetapkan dan
memaksakan (to declare and to enforce) hukum yang dibuat oleh negara atau bangsa
itu sendiri baik ke dalam, maupun ke luar.
Atau dengan kata lain, yurisdiksi adalah kapasitas (the capacity to Contract) suatu
negara sebagai suatu subyek hukum (the party to contract) untuk membuat, dan
menerapkan hukum. Yurisdiksi didasarkan pada dua titik pijak yaitu wilayah negara
(territory) dan kewarganegraan (nationality).
2
Ibid.
13 Disamping pengertian di atas, hukum internasional pun mempunyai difinisi
mengenai yurisdiksi. Disebutkan bahwa :
Jurisdiction is an attribute of state sovereignty. A state’s
jurisdiction refers to the competence of the state to govern
person and property by its municipal law (criminal and civil).
This competence embraces jurisdiction to prescribe (and
prorscribe), to adjudcate and enforce the law.3
Dari pengertian-pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa ada
beberapa unsur dalam yurisdiksi sebuah negara. Unsur-unsur dari yurisdiksi bahwa
suatu negara tersebut sebagai berikut :
Pertama, Hak dan kekuasaan atau kewenangan dari pihak yang mempunyai
yurisdiksi berdasarkan hukum. Dalam hal ini sudah jelas bahwa dengan kekuasaan dan
kewenangan ( the power to contract), suatu negara dapat berbuat atau melakukan
sesuatu (to do something) atau tidak melakukan sesuatu (refrain from doing
something), yang sudah tentu pula harus berdasarkan atas hukum yaitu hukum
internasional.4
Kedua, Mengatur (legislative, eksekutif dan yudikatif). Hak, kekuasaan dan
kewenangan untuk melakukan sesuatu (to do something) dalam hal ini adalah untuk
mengatur atau mempengaruhi. Di dalamnya mencakup membuat atau menetapkan
peraturan (legislatif); melaksanakan atau menerapkan peraturan yang telah dibuat atau
3
Rebecca M.M Wallace, 1986. International Law. Sweet & Maxwell Limited. London. Hal. 101.
4
Loc Cit, I Wayan Parthiana. Hal. 296. Menurut pendapat Penulis, hukum Internasional itu pada
prinsipnya adalah suatu kontrak.
14 ditetapkannya itu (eksekutif); memaksakan, mengenakan sanksi atau mengadili dan
menghukum pihak yang melanggar peraturan tersebut (yudikatif).5
Pemahaman di atas sejalan dengan hakikat kontrak sebagaimana ilmu hukum
Jeferson Kameo SH, LLM, PhD:
“segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau
bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau
berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk
orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap
kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang
untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu
terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan
menghendaki meskipun tidak diperjanjikan”6.
Ketiga, obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, benda). Hak negara untuk
mengatur (unsur nomor 1 dan 2) tentulah ditujukan terhadap suatu obyek yang
memang dapat ditundukan pada peraturan yang dibuat, dilaksanakan dan dipaksakan
oleh negara tersebut. Obyek itu dapat berbentuk peristiwa, perilaku, masalah, orang,
benda, ataupun perpaduan antara satu dengan yang lain.7
Keempat, tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri. Dalam hal ini
tentulah erat kaitannya dengan masalah tempat di mana obyek itu berada atau terjadi.
Meskipun dalam kenyataanya, masalah tempat dari obyek ini tidak selalu di luar batasbatas wilayah negara, sebab boleh jadi mengenai tempat ini mengandung unsur
domestik dan unsur bukan domestik. Namun, hal yang penting ditekankan di sini
adalah obyek yang tunduk pada peraturan tersebut mengandung aspek international.
5
Ibid, 296-297.
6
Jeferson Kameo, SH., LLM., Ph.D. Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum. Fakultas Hukum UKSW
Salatiga.
7
Loc Cit. I Wayan. hlm . 297.
15 Aspek internasional itulah yang menjadi ciri yang menunjukkan bahwa hak, kekuasaan
dan kewenangan untuk mengatur obyek itu tidak berdasarkan pada hukum nasional
melainkan pada hukum internasional.8
Kelima, hukum internasional (sebagai dasar atau landasan). Hak, kekuasaan dan
kewenangan negara untuk mengatur obyek yang tidak semata-mata merupakan
masalah dalam negeri atau domestik itu, adalah seperti telah dikemukakan di atas
berdasarkan pada hukum internasional sebagai suatu kontrak (a contract). Dengan
perkataan lain, hukum internasionalah yang memberikan hak, kekuasaan dan
kewenangan kepada negara itu untuk mengatur obyek yang semata-mata bukan
merupakan masalah domestik itu. Demikian pula, hukum internasional pula yang
membatasi.9
2.2. Asas Nasional Pasif
Berhubung skripsi ini membicarakan mengenai manifestasi asas nasional pasif
maka berikut ini uraian asas nasional pasif dalam prespektif dideskripsikan oleh
Penulis. Asas-asas di dalam hukum internasional yang berkaitan dengan perlindungan
terhadap nelayan tradisional Indonesia di perairan laut Australia berikut juga
dijabarkan di bawah ini. Penjabaran asas itu Penulis kemukakan sebagai suatu
perpektif atau kerangka konsepsional dalam rangka melihat manifestasinya, prinsipprinsip itu adalah :
8
Ibid, hlm 297-298.
9
Ibid, 298.
16 Pertama, prinsip teritorial subyektif. Dalam prinsip territorial subyektif, pelaku
pelanggaran hukum bisa siapa saja, baik itu warga negara atau bukan warga negara.
Ukuran yang dipakai dalam prinsip territorial subyektif adalah wilayah sebagai tempat
dilakukannya perbuatan. Prinsip territorial subyektif merupakan prinsip yang paling
tua dan tidak banyak diperdebatkan. 10 Prinsip territorial subyektif membenarkan
negara melakukan yurisdiksinya atas perbuatan yang mulai dilakukan di wilayahnya
tetapi berakhir atau menimbulkan akibat di negara lain.11
Dalam kaitan dengan asas itu, dimaksud dengan yurisdiksi territorial12 adalah
pelaksanaan yurisdiksi oleh suatu negara terhadap harta benda, orang tindakan atau
peristiwa yang terjadi di dalam wilayahnya jelas diakui oleh hukum internasional
untuk semua negara anggota masyarakat internasional.
Prinsip territorial subyektif 13 adalah suatu ciri pokok dari kedaulatan. Dalam
batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang berdaulat. Negara harus memiliki
yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan
dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas territorial
ini.14 Dalam hukum internasional disebutkan bahwa :
The subjective territorial principle allows the exercise of
jurisdiction in the state where acrime is commenced.15
10
Arie Siswanto SH., MH., 2011, Bahan Ajar Hukum laut Internasional.
11
Sugeng Istanto SH. 2010. Hukum Internasional. Universitas Atmajaya Yogyakarta. Yogyakarta. Hal
68.
12
Loc Cit, Strake Hlm .270 -271.
13
di kemukakan oleh Lord Macmillian
14
Ibid.
15
Opcit, Rebecca, hal. 102.
17 Kedua, prinsip teritorial obyektif. Prinsip yurisdiksi ini berlaku terhadap
perbuatan yang melanggar hukum suatu negara, yang awal perbuatan dimulai di
negara lain dan perbuatan tersebut diselesaikan atau membawa akibat di negara lain.16
Pengertian yang sama dengan difinisi yang diberikan oleh hukum internasional
disebutkan bahwa :
The objective territorial principle gives jurisdiction to the
state in which the crime has been completed and has effectthe forum of injury.17
Ketiga, prinsip nasionalitas. Berbeda dengan prinsip territorial, dalam prinsip
nasionalitas yang dijadikan ukuran adalah kewarganegaraan pelaku. Setiap negara
pada dasarnya memiliki kewenangan untuk menerapkan hukum terhadap warga
negaranya, sepanjang pelaksanaanya tidak melanggar kedaulatan negara lain.18
Sedangkan Prinsip nasional aktif 19 merupakan sebuah prinsip dimana negara
dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga negaranya. Prinsip ini pada
umumnya diberikan oleh hukum internasional kepada semua negara yang hendak
memberlakukannya.
Semua prinsip lain yang berkaitan dengan hal ini adalah bahwa negara tidak
wajib menyerahkan warga negaranya yang telah melakukan tindak pidana di luar
negeri.20
16
Loc Cit, Arie. Siswanto SH.MH. .
17
Opcit, Rebecca, hal 102.
18
Ibid.
19
Loc Cit, Starke.
20
Ibid 303.
18 Menurut hukum internasional prinsip nasionalitas adalah,
Jurisdiction exercise on this principle relates to the
nationality of the offender. A state may exercise jurisdiction
over any of its nationals wherever they may be and so in
respect of offences commited abroad. Although universally
acknowledge as a basis of jurisdiction, it is utilized more
extensively by civil law countries than those with a common
law system.21
Keempat, personalitas pasif. Prinsip jurisdiksi ini berlaku terhadap perbuatan yang
melanggar hukum suatu di negara diminta yang menimbulkan korban dari warga
negara peminta, dan perbuatan tersebut dapat dimulai dan diselesaikan di manapun.
Prinsip ini membenarkan negara untuk mejalankan yurisdiksinya terhadap warga
negara lain apabila seorang warga negara menderita kerugian karena perbuatan warga
negara lain tersebut di negaranya. Dasar pembenar prinsip personalitas pasif adalah
bahwa setiap negara berkewajiban melindungi warga negaranya di luar negeri.22
Dalam hukum internasional, pengertian mengenai prinsip personalitas pasif
adalah sebagai berikut,
The link between the state exercise jurisdiction and the
offence is the nationality of the victim. A state may exercise
jurisdiction over an alien in respect of an act which has taken
place outwith its boundaries, but against one of its
nationals.23
Kelima, prinsip protektif. Berdasarkan prinsip protektif suatu negara dapat
melakukan yurisdiksinya atas perbuatan pidana yang melanggar keamanan dan
integritas atau kepentingan vital ekonominya yang dilakukan di luar negeri. Dasar
21
Op Cit, Rebecca, hal 103.
22
Loc Cit, Starke 303.
23
Loc Cit, Rebecca, hal 106.
19 pembenar atau legitimasi yang diberikan yang oleh hukum pelaksanaan yurisdiksi itu
ialah bahwa akibat perbuatan pidana itu menimpa negara tersebut dan bahwa bila
yurisdiksi itu tidak dapat dilaksanakan maka kejahatan itu akan lepas dari hukuman.24
Lebih lanjut Jeferson Kameo SH., LLM., Ph.D dalam kelas Hukum Mayantara
mengemukakan hasil penelitian individualnya25 terhadap asas protektif. Bahwa UU
ITE memiliki jangkauan yurisdiksinya tidak semata-mata untuk perbuatan hukum
yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia. Tetapi,
UU itu juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum
(yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing,
badah hukum Indonesia, maupun badan hukum asing, yang memiliki akibat hukum di
Indonesia, mengingat pemanfaatan TI untuk informasi elektronik dan transaksi
elektronik dapat bersifat lintas territorial atau universal.
Jeferson Kameo SH., LLM., Ph.D menandaskan bahwa yang dimaksud dengan
“merugikan kepentingan Indonesia” adalah tidak terbatas pada merugikan kepentingan
ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan
dan keamanan bangsa, warga negara serta badan hukum Indonesia.
Penulis berpendapat, bahwa pandangan Jeferson Kameo SH., LLM., Ph.D yang
ditemukan setelah menganalisis secara obyektif manifestasi asas protektif dalam UU
No 11 tahun 2008 tersebut sebenarnya mengirimkan sinyal bahwa asas nasional pasif
24
Op Cit, Sugeng Istanto. Hlm. 71. Hasil penelitian individual Jeferson Kameo SH, LLM PhD, atas asas
seperti ini mengatakan bahwa Pasal 2 UU No 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik
kental mengandung prinsip protektif ini. Adapun Pasal 2 UU No.11 tahun 2008 adalah: UndangUndang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagimana diatur dalam UU
ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan atau di luar wilayah hukum Indonesia dan
merugikan kepentingan Indonesia.
25
Penelitian individual tidak dipublikasikan.
20 seperti telah Penulis kemukakan di atas, pada prinsipnya sama dengan asas protektif,
terutama kata- kata :
“merugikan kepenyingan Indonesia adalah meliputi tetapi
tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional,
perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa,
pertahanan dan keamanan bangsa, warga negara serta
badan hukum Indonesia”
Ini berarti bahwa analog asas protektif di atas, Pemerintah Indonesia sebetulnya,
menurut hukum (asas hukum internasional yang berlaku), dapat meminta Pemerintah
Australia untuk mengekstradisi oknum otoritas Australia yang merusak kapal-kapal
nelayan Indonesia untuk diadili di Indonesia. Sebab “ merugikan kepentingan
Indonesia”, dalam hal ini merugikan kepentingan warga negara Indonesia, para
nelayan tradisional yang hak-haknya diakui hukum internasional apabila hal ini
(yurisdiksi) dilakukan, maka sama saja dengan sengaja membiarkan kejahatan itu
lepas dari hukuman dan menunjukan ketidakberdayaan suatu negara memberantas
kejahatan internasional.
Persoalannya adalah bahwa untuk melaksanakan yurisdiksi yang demikian itu,
dalam hal ini the doctrine of pre-entive strike, suatu negara harus memiliki
kemampuan militer yang kuat untuk memburu si pelaku, si pelaku kejahatan yang
dilindungi oleh suatu negara (harboring criminals) misalnya dalam contoh kasus
Sadam Husein.
Disamping, terutama yurisdiksi yang demikian itu dapat dilakukan apabila suatu
negara dilengkapi dengan kemampuan diplomasi sipil yang kuat penguasaan hukum
yang memadahi, seperti terhadap kasus penggunaan atas MoU dan perjanjian
ekstradisi antara Indonesia dan Australia, dalam skripsi ini.
21 Prinsip protektif menurut hukum internasional adalah :
on the basis of this principle, a state may exercise
jurisdiction in respect of offences which, although occurring
abroad and committed by non-nationals, are regarded as
injurious to the state’s security.26
Keenam, prinsip universalitas. Berdasarkan prinsip universalitas suatu negara
dapat melakukan yurisdiksi atas perbuatan pidana yang melanggar kepentingan
masyarakat internasional. Alasan pembenar yang berada di balik asas universalitas ini
adalah semua negara berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku kejahatan itu.
tujuan adanya yurisdiksi universal itu ialah untuk menjamin agar kejahatan itu tidak
lepas dari hukuman.27
Menurut hukum internasional prinsip universalitas adalah,
one interpretation of this principle is that it gives jurisdiction
to a state (any and every) over all crime perpetrated by
foreigners abroad. Such an interpretation is not regarded as
being in conformity with international law. Where the
principle may acceptably invoked is in respect of
international law and the international community as a
whole.28
Disamping itu, ada beberapa pengertian yurisdiksi yang juga mengatur kewajiban
negara untuk melindungi warga negara. Beberapa pengertian dimaksud dibicarakan/
diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
26
Loc cit, Rebecca, hal 103.
27
Ibid.
28
Loc Cit ,Rebecca.
22 Segi kewarganegaraannya memberi isyarat hal itu dapat dibedakan menjadi
kategori yaitu: yurisdiksi personal berdasarkan asas kewarganegaraan aktif dan
yurisdiksi personal berdasarkan asas kewarganegraan pasif.
Yurisdiksi personal berdasarkan asas kewarganegaraan aktif menitikberatkan
pada adanya hubungan langsung dan aktif antara negara itu sendiri dengan warga
negaranya. Asas ini berlandaskan pada suatu asumsi bahwa setiap orang warga negara
akan membawa dan menaati hukum negaranya di manapun dia berada.29
Sedangkan asas yurisdiksi personal berdasarkan kewarganegaraan pasif titik
beratnya terletak pada hubungan langsung antara negara dengan orang yang
bersangkutan, sebab orang itu bukan warga negaranya, melainkan warga negara asing
atau tanpa kewarganegaraan. Titik beratnya terletak pada usaha negara itu sendiri
untuk melindungi kepentingannya maupun kepentingan warga negaranya sendiri
terhadap tindakan-tindakan atau perilaku orang asing yang merugikan.30
Ketujuh, prinsip atau asas nasional pasif. Beberapa literatur atau kepustakaan
terkaji juga memberikan pengertian mengenai prinsip nasional pasif. Menurut Shaw
prinsip nasional pasif ini memberikan dasar bagi klaim suatu negara atas yurisdiksi
dengan alasan nasional dari si korban aktual dan/atau faktual.
Apabila dirumuskan dengan perkataan lain maka utilisasi nasional pasif oleh
suatu negara dapat didasarkan atas dasar yurisdiksi untuk mengadili seseorang yang
berada di luar negeri yang diduga telah atau akan merugikan kepentingan negara yang
bersangkutan meskipun orang tersebut bukan warga negara dari negara peminta.
29
Loc cit, I Wayan Parthiana. Hlm .304.
30
Ibid, hlm. 305.
23 Keuntungan dari prinsip nasional pasif adalah negara bukan saja dapat melindungi
warga negaranya di negara lain oleh perbuatan melawan hukum atau tindakan pidana
yang merugikan warga negaranya oleh orang lain yang mungkin saja adalah warga
negara dari negara yang dikunjungi. Hal seperti ini, menurut Penulis dapat dikaitkan
dengan pelaksanaan perjanjian ekstradisi,31 yang menjadi satuan amatan penelitian dan
penulisan karya tulis kesarjnaan ini, yaitu Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan
Australia.
2.3. Zona-Zona Laut
Kegiatan penangkapan ikan, memang harus diakui hanya dapat dilakukan di
wilayah perairan suatu negara. Wilayah perairan tersebut adalah laut territorial, zona
ekonomi eklusif32, dan laut lepas. Menurut penjelasan atas Undang-Undang No. 17
tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations on the Law of the Sea, zona-zona
tersebut adalah :
Laut Teritorial. Konprensi-konprensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut yang pertama tahun 1958 dan kedua 1960 di Jenewa tidak dapat memecahkan
masalah lebar laut territorial, yaitu 3 mil laut hingga 200 mil laut.
31
Jawahir Thontowi. Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional Kontenporer. Refika Aditama:
Bandung. Hlm.162.
32
Meskipun harus diakui bahwa ZEE adalah wilayah internasional yang dimiliki oleh suatu negara.
24 Namun Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ketiga pada
akhirnya berhasil menentukan lebar laut territorial maksimal 12 mil laut sebagai
bagian dari keseluruhan paket rejim-rejim hukum laut lainnya, misalnya33 :
Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut terhitung dari
garis dasar pangkal darimana lebar laut territorial diukur dimana berlaku kebebasan
pelayaran.34 Kebebasan transit kapal-kapal asing melalui selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional.35 Hak akses negara tanpa kendala dari laut dan kebebasan
transit.36 Tetap dihormati hak lintas laut damai melalui laut territorial.37
Sedangkan menurut Pasal 1 Angka 19 Undang-Undang No 31 tahun 2004 tentang
Perikanan disebutkan bahwa Laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua
belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.38
Selanjutnya, mengenai Rejim Laut Teritorial memuat ketentuan bahwa negara
pantai mempunyai kedaulatan penuh atas laut territorial dan ruang udara di atasnya.
Dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.39 dalam laut teritorial berlaku hak lintas damai bagi kendaraan-kendaraan
air asing. Kendaraan asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di laut territorial,
33
Penjelasan atas Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention
On the Law of the Sea.
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ibid.
37
Ibid.
38
Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
39
Ibid.
25 tidak boleh melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan tehadap kedaulatan,
keutuhan wilayah atau kemerdekaan poltik suatu negara pantai, serta tidak boleh
melakukan survey atau penelitian, mengganggu sistem komunikasi, melakukan
pencemaran40 dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada hubungan langsung dengan
lintas laut damai.
Pelayaran lintas laut damai tersebut harus dilakukan terus menerus, langsung serta
secepatnya, sedangkan berhenti dan membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi
keperluan navigasi yang normal atau karena keadaan memaksa atau force Majeure
atau dalam keadaan bahaya untuk tujuan memberitahukan bantuan pada orang lain,
kapal atau pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya.41
Kemudian, Zona Ekonomi Eksklusif. Di Zona Ekonomi Eksklusif, sebuah negara
pantai mempunyai: hak berdaulat untuk tujuan ekplorasi, ekploitasi, pengelolaan dan
konservasi sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati di ruang air dan
kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut
seperti pembangkit tenaga dari air, arus dan angin.42
Yurisdiksi yang berkaitan dengan pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan,
instalasi-instalsi dan bangunan-bangunan lainnya, penelitian ilmiah dan perlindungan
serta pelestarian lingkungan laut.43
40
Rupanya rumusan seperti ini telah menjadi alasan bagi Australia untuk mengelak dari hak Indonesia
untuk melaksanakan yurisdiksi berdasarkan asas nasional pasif dan asas protektif ?
41
.Loc. Cit. Undang-Undang Perikanan
42
Ibid.
43
Ibid.
26 Kewajiban
untuk
menghormati
kebebasan
pelayaran
dan
penerbangan
internasional, pemasangan kabel atau pipa bawah laut menurut prinsip hukum
internasional yang berlaku di Zona Ekonomi Eklusif.
Kewajiban untuk memberikan kesempatan 44 terutama kepada negara tidak
beruntung untuk turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan ikan yang
diperbolehkan.45
Zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai menikmati hak berdaulat antara lain atas
sumber kekayaan hayati. Dengan demikian, negara pantai memiliki hak-hak yang
lebih kecil jangkauanya daripada di perairan pedalaman atau di laut teritorialnya. Hal
ini tampak jelas dengan kenyataan bahwa konvensi mengenakan kewajiban-kewajiban
tertentu kepada negara pantai mengenai perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif.46
Sedangkan menurut Pasal 1 Angka (21) Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004
tentang Perikanan yang dimaksud Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang
selanjutnya disebut ZEEI, adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial
Indonesia sebagaimana ditetapkan Undang-Undang yang berlaku tentang perairan
Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas
terluar 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut territorial
Indonesia.47
44
Sayangnya kesempatan yang harus diberikan oleh Australia kepada para nelayan tradisional Indonesia
seperti yang dijamin oleh kaidah kontraktual dalam hukum Internasional tersebut sepertinya tak begitu
digubris Australia dan malah menenggelamkan perahu-perahu para nelayan tradisional indoneisa,
seperti data yang dapat dilihat pada tabel di halaman 47 skripsi ini.
45
Loc Cit, Undang-Undang Perikanan
46
Heru Prijanto. 2007. Hukum Laut Internasional. Bayu Media Publishing: Malang. Hlm 46.
47
Loc Cit UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan.
27 Dimaksusd dengan sumber daya ikan adalah semua jenis ikan dan biota perairan
lainnya. Kaitan dengan hal itu, pada penjelasan Pasal 1 Angka (2) Undang-Undang
Nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan disebutkan beberapa sumber hayati laut yang
dapat diambil adalah :
Pisces (ikan bersirip), Crustacea (udang, rajungan, kepiting,
dan sebangsanya), Molluscan (kerang tiram, cumi-cumi,
gurita, siput laut dan sebangsanya), Coelenterata (ubur-ubur
dan sebangsanya), Echinodermata (teripang, bulu babi, dan
sebangsanya), Amphibia (kodok dan sebangsanya), Reptilia
(buaya. Penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya),
Mammalian (paus, limba-lumba, pesut, duyung dan
sebangsanya), Algue ( rumput laut dan tumbuh-tumbuhan
lain yang hidup di dalam air), Biota perairan yang lainnya
yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut di atas.48
Selanjutnya mengenai Laut Lepas. Ketentuan mengenai laut lepas terdapat dalam
konvensi ini berlaku pada semua bagian laut yang tidak termasuk Zona Ekonomi
Eksklusif, laut territorial, perairan pedalaman ataupun perairan kepulauan49 . Dengan
demikian, ketentuan itu menunjukan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif tidak termasuk
rezim laut lepas.
Namum demikian, Pasal 86 juga menyatakan bahwa ketentuan ini tidak
mempengaruhi beberapa kebebasan yang dinikmati oleh negara-negara di Zona
Eonomi Eksklusif sesuai dengan Pasal 58.
Oleh karena itu, hal ini tampaknya bukan merupakan alasan yang cukup untuk
menegaskan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif membentuk bagian dari laut lepas.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya bahwa mungkin lebih baik bila Zona Ekonomi
48
Penjelasan Pasal 1 Angka (2) UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan.
49
Pasal 86 UNCLOS.
28 Eksklusif dianggap sebagai rezim yang sui generis, di mana hanya beberapa aspek
tertentu saja dari kebebasan di laut lepas diterapkan.
Selain peristilahan “laut lepas” diartikan sebagai perairan yang berada di luar
batas 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif.50 Menurut Pasal 1 Angka 22 UndangUndang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang dimaksud dengan Laut lepas
adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut territorial Indonesia,
perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.51
Laut lepas terbuka bagi semua negara, baik negara yang berpantai maupun yang
tidak berpantai. Kebebasan di laut lepas ini antara lain: kebebasan berlayar, kebebasan
terbang di atasnya, kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut, kebebasan
membangun pulau-pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya, kebebasan melakukan
riset ilmiah.
Kebebasan-kebebasan seperti telah dikemukakan di atas harus dilaksanakan oleh
negara-negara dengan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan negara lain, serta
hak-hak yang tercantum dalam konvensi mengenai eksploitasi kawasan dasar laut52.
Laut lepas harus digunakan hanya maksud-maksud damai dan tidak ada satu negara
pun dapat menyatakan kedaulatannya terhadap bagain dari laut lepas itu.53
50
Pasal 88 dan 89 Loc cit, Heru Prijanto. Hlm. 16-17.
51
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
52
Loc Cit UNCLOS Pasal 87
53
Loc. Cit. Heru Prijanto hlm .17.
29 2.4. Hakikat Perjanjian Ekstradisi
Dimaksud dengan ekstradisi adalah: penyerahan yang dilakukan secara formal,
baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun
berdasarkan hubungan baik secara timbal balik, atas seseorang yang diduga telah
melakukan kejahatan atau tindak pidana (tersangka, tertuduh, atau tersangka) atau atas
seseorang yang telah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan mengikat
yang pasti atas kejahatan yang telah dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh negara
tempatnya berada kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau
menghukumnya, atas permintaan dari negara yang memiliki yurisdiksi kepada negara
tempat orang yang bersangkutan berada, dengan maksud dan tujuan untuk
mengadilinya ataupun melaksanakan hukuman dari sisa hukumannya.54
Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi
yang dimaksud dengan ekstradisi adalah: penyerahan oleh suatu negara kepada negara
yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan
kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah
negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan
memindananya.55
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya unsurunsur yang harus memenuhi unsur-unsur kontraktual untuk dapat dikatakan ada suatu,
ekstradisi adalah suatu kontrak ( a contract) sebagai suatu kontrak maka ekstradisi
54
I Wayan Parthiana. 2009. Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern. Yrama-Widya. Bandung.
Hal. 38.
55
Undang-Undang No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi.
30 memiliki unsur subyek hukumnya, yaitu subyek-subyek (pihak-pihak) hukum yang
terlibat dalam suatu kasus ekstradisi. Adapun pihak-pihak (the Parties) tersebut terdiri
atas: negara peminta sebagai negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau
menghukum orang dan negara diminta sebagai tempat si pelaku kejahatan (tersangka,
tertuduh, terdakwa, ataupun terhukum) itu berada.
Negara peminta sebagai negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau
menghukum, bisa hanya satu negara saja atau bisa lebih dari satu negara.56 Dalam
kenyataannya ada kejahatan yang dilakukan oleh orang bisa tunduk pada yurisdiksi
lebih dari satu negara atau orang melakukan pelbagai macam kejahatan yang masingmasing tunduk pada yurisdiksi lebih dari satu negara.
Untuk dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap orang yang bersangkutan, negara
atau negara-negara itu haruslah terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada negara
tempat orang itu berada. Supaya, negara yang diminta tersebut menyerahkan orang
yang bersangkutan kepada negara peminta. Jadi, negara atau negara-negara itu
berkedudukan seabagi negara/pihak yang meminta atau dengan singkat disebut
“negara atau pihak-peminta”57.
Negara diminta sebagai negara tempat si pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh,
terdakwa, ataupun terhukum) itu berada. Negara tersebut –sudah pasti hanya satu
negara saja- adalah negara yang diminta oleh negara peminta supaya menyerahkan si
pelaku kejahatan tersebut yang berada di dalam wilayahnya.
56
Ditegaskan di sini bahwa skripsi ini mengaitkan asas nasional pasif dan asas protektif dengan
perjanjian ekstradisi anatara Indonesia dan Australia.
57
Loc Cit, I Wayan Parthiana. Hal. 39.
31 Negara diminta, boleh jadi sebuah negara yang juga memiliki yurisdiksi atas
kejahatan tersebut atau boleh jadi sama sekali tidak memiliki yurisdiksi. Negara ini
disebut “negara-diminta”. Negara diminta ini memainkan peranan sentral dalam
masalah ekstradisi sebab ditangannyalah nasib orang yang diminta itu akan
ditentukan,58 menurut hukum internasional
Setelah gambaran unsur pihak (the party to contract), maka, unsur berikut adalah
obyek hukumnya. Sebagai orang yang diminta, boleh jadi dia berstatus sebagai
tersangka, tertuduh, terdakwa, ataupun terhukum.
Dalam hubungan ini kedudukan orang yang diminta adalah sebagai obyek sasaran
dari permintaan negara-peminta kepada negara diminta maupun sebagai obyek dari
pengekstradisian atas dirinya oleh negara diminta kepada negara-peminta.
Apalagi, permintaan negara peminta itu dikabulkan oleh negara-diminta. Secara
singkat orang itu disebut sebagai “orang yang diminta”59. Atau dalam prespektif
analisis kontrak sebagai nama ilmu hukum yang dipergunakan dalam skripsi ini
disebut dengan obyek perjanjian.
2.5. Prosedur dalam Perjanjian Ekstradisi
Unsur tata cara atau prosedur adalah meliputi tatacara untuk mengajukan
permintaan ekstradisi dengan segala persyaratannya. Tatacara untuk memberitahukan
apakah permintaan itu dikabulkan ataukah di tolak. Jika dikabulkan selanjutnya adalah
tatacara untuk menyerahkan orang yang diminta. Itulah sebabnya permintaan ataupun
58
Ibid. hal.39-40.
59
Ibid. hal. 40.
32 penyerahannya lazim disebut permintaan ataupun penyerahan yang dilakukan secara
formal, yang sudah barang tentu dapat pula Penulis sebut sebagai suatu hukum acara.
Secara umum dapat dikatankan, bahwa prosedur atau tatacara tersebut dilakukan
melalui saluran diplomatik, tegasnya, melalui saluran resmi dari negara ke negara atau
antar negara.60
Unsur maksud dan tujuan, Permintaan negara-peminta ataupun penyerahan oleh
negara-diminta atas diri orang yang diminta adalah dengan maksud dan tujuan untuk
mengadilinya atas kejahatan yang telah dilakukannya yang menjadi yurisdiksi dari
negara-peminta. Jika dia sudah berstatus sebagai terhukum, adalah dengan maksud dan
tujuan untuk pelaksanaan hukuman atau sisa hukumannya di negara-peminta. Jika hal
itu sudah berhasil dilakukan, berarti maksud dan tujuan dari ekstradisi itu sudah
tercapai.
2.6. Landasan Hukum Perjanjian Ekstradisi
Unsur dasar atau landasan hukum. Semua unsur di atas tersebut, haruslah
didasarkan pada suatu dasar atau landasan hukum supaya legalitasnya benar-benar
terjamin. Dasar atau landasan hukumnya, bisa berupa perjanjian ekstradisi yang sudah
ada sebelumnya antara kedua pihak atau jika perjanjian ekstradisi itu tidak atau belum
ada, sepanjang para pihak bersedia, dapat juga didasarkan atas hubungan baik secara
timbal balik.
Sebaliknya jika para pihak belum terikat pada perjanjian ekstradisi dan
menghadapi kasus ekstradisi, jika para pihak setuju, proses atau prosedurnya itu dapat
60
Ibid.
33 didasarkan atas hubungan baik dengan mengacu pada prinsip-prinsip dan kaidahkaidah hukum yang tak tertulis tentang ekstradisi.61
2.7. Asas-Asas dalam Perjanjian Ekstradisi
Didalam perjanjian ekstradisi terdapat asas-asas yang menjadi sumber dari sebuah
perjanjian ekstradisi. Asas-asas tersebut adalah :
Pertama, asas kejahatan ganda. Menurut asas ini, suatu perbuatan yang dilakuakn
oleh orang yang diminta haruslah merupakan kejahatan atau tindak pidana, baik
menurut hukum pidana negara-peminta maupun hukum pidana negara-diminta.62
Kedua, asas kekhususan. Asas kekhususan ini baru akan berfungsi jika orang yang
diminta kemudian diekstradisi oleh negara-diminta kepada negara-peminta. Artinya,
permintaan negara-peminta untuk pengekstradisian orang yang diminta dikabulkan
oleh negara-diminta. Dengan pengekstradisian tersebut, maka orang yang diminta kini
berada di wilayah negara-peminta yang berarti bahwa orang yang diminta itu tunduk
pada yurisdiksi territorial dari negara-peminta.63
Ketiga adalah asas tidak mengekstradisi warga negara. Menurut asas ini, negaradiminta berhak menolak permintaan negara-peminta untuk mengekstradisi orang yang
61
Ibid. hal. 43.
62
Ibid. hal. 104-105
63
Ibid. hal. 121.
34 diminta jika tersebut adalah warga negaranya sendiri, meskipun semua persyratan lain
yang telah ditentukan dalam perjanjian sudah dipenuhi.64
Keempat adalah asas mengekstradisi pelaku kejahatan politik, Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara ataupun dalam kehidupan politik suatu negara, ada orang
atau orang-orang yang melakukan kejahatan atau tindak pidana yang bukan sematamata kriminal biasa, tetapi terkait dengan masalah politik di dalam negara itu baik
dalam skala lokal, nasional, bahkan internasional.
Orang-orang semacam ini pun dalam kesahariaanya adalah orang-orang yang
secara social lebih dikenal sebagai orang baik-baik. Mereka bisa terlibat dalam suatu
kejahatan yang terkait dengan persoalan politik ataupun yang mengandung dimensidimensi politik. Kejahatan seperti inilah yang kemudian lazim disebut dengan
kejahatan politik.65 Pejanjian Ekstradisi biasanya memungkinkan pelaku kejahatan
politik tidak dikabulkan oleh negara yang diminta.
Kelima adalah asas ne/non bis in idem. Asas ini lebih dikenal dalam hukum
pidana yang pada intinya menyatakan, bahwa seseorang tidak boleh diadili dan atau
dihukum lebih dari satu kali atas kejahatan yang dilakukannya. Bahwa sekali kasusnya
sudah diputuskan secara final oleh badan pengadilan yang berwenang, tidak boleh
diungkit lagi oleh siapapun dengan mengadili orang yang bersangkutan untuk kedua
kalinya atau lebih.66
64
Ibid. hal 135-136. Dengan asas ini, ada kendala untuk melaksanakan asas nasionalitas pasif dalam
sauatu perjanjian ekstradisi. Sehingga dapat saja terjadi, secara konsepsional, ada kejahatan yang tidak
diadili atau lolos dari hukuman.
65
Ibid. hal 137.
66
Ibid. hal 139.
35 Asas yang keenam adalah asas daluwarsa. Daluwarsa atau lewat waktu memang
sudah dikenal didunia di dalam hampir semua sistem hukum. Makna dari daluwarsa
aalah sebagai pengakuan atas suatu fakta, bahwa fakta tersebut diakui sebagai suatu
yang sah setelah terlampaui suatu jangka waktu tertentu, meskipun pada awal mulanya
fakta itu tidak sah.67 Ekstradisi terhadap orang yang melakukan tindak pidana tidak
dapat dilakukan apabila tindak pidana tersebut telah melampaui waktu daluwarsa.
2.8. Pencurian Ikan Suatu Prespektif Hukum
Dalam kaitan dengan permasalahan skripsi ini, dari semua ikan dan biota perairan
yang sudah disebutkan, ada beberapa kelompok-kelompok ikan dan biota perairan
yang merupakan jenis ikan dan biota laut yang dilindungi. Kegiatan untuk mengambil
sumber daya ikan/atau biota perairan secara melawan hukum disebut praktik pencurian
ikan atau illegal fishing.
Menurut IIU yang dimaksud dengan pencurian ikan selalu erat kaitannya dengan 3
jenis kegiatan berikut ini :
Conducted by national of foreign vessel in water under the
jurisdiction of a state, without the permissions of the state, or
in contravention of its law and regulation.
Rumusan ketentuan di atas berarti kegiatan yang termasuk dalam pencurian ikan
yang dilakukan oleh kapal nasional atau kapal asing di perairan yang berada di bawah
67
Ibid. hal 146.
36 yurisdiksi suatu negara, tanpa seizin negara, atau bertentangan dengan hukum dan
peraturan yang berlaku.68
Conducted by vessel flying flag of the state that are parties to
a relevant regional fisheries management organitation but
operated in contravention on conservation and management
measures adopted by that organitation and by which the
states are bound, or relevant provisions of applicable
international law.
Rumusan ketentuan di atas berarti termasuk kegiatan yang dilakukan oleh kapal
yang berbendera suatu negara yang pihak pengelolaan perikanan merupakan organisasi
regional yang cocok, tetapi dioperasikan bertentangan dengan langkah-langkah
konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi dan negara-negara terkait,
atau relevan dengan ketentuan hukum internasional.69
In violation of national law or international obligation,
including those undertaken by cooperating states to a
relevant fishing management.
Kegiatan yang melanggar hukum nasional atau perjanjian internasional, termasuk
mereka yang melakukan kerjasama dengan negara-negara dalam sebuah perjanjian
pengelolaan perikanan yang cocok.70
Jika menurut Undang-Undang
No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan dapat
disimpulkan dari ketentuan Pasal 10 bahwa setiap orang atau badan hukum yang
melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki izin usaha perikanan. sedangkan
dalam Pasal 1, usaha perikanan adalah semua usaha perseorangan atau badan hukum
68
Food and agriculture organitation lewat ketentuan international plan of actiona to prevebt, deter,
and eliminate illegal, unreported,and unregulated fishing point 3.1.
69
Ibid.
70
Ibid.
37 untuk
menangkap,
membudidayakan
ikan,
termasuk
kegiatan
menyimpan,
mendinginkan atau mengawetkan ikan dengan tujuan komersil.
Menurut ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan pencurian ikan
adalah kegiatan dalam usaha perseorangan atau badan hukum untuk menangkap ikan
atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau
mengawetkan ikan dengan tujuan komersil tanpa memiliki izin usaha perikanan.
Sedangkan menurut peraturan Northeren Teritorry Australia yang dimaksud
dengan pencurian ikan adalah taking fish in Australian fishing zone without licence71
yang berarti menangkap ikan di zona perikanan Australia tanpa memiliki ijin.
Ketentuan tersebut dilengkapi dengan pengertian mengenai menangkap ikan.
Taking is fishing, fishing means the catching, taking, or
harvesting of fish or aquatic life and includes any other
activity which may reasonably by expected result in the
catching, taking or harvesting of fish or aquatic life also
includes any action taken in support of or in preparation for
an activity specified in,72
Ketentuan tersebut berarti mengambil adalah memancing, memancing berarti
menangkap, mengambil atau memanen ikan atau biota laut dan termasuk juga
beberapa aktivitas lain didalamnya yang berhungungan langsung dengan kegiatan
mengkap, mengambil dan memanen ikan dan/atau biota laut termasuk dalam masa
persiapan dan aktivitas lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan fish dalam bahasa Inggris atau ikan dalam
bahasa Indoneisa adalah :
71
Fishery Act, Northern Teritory of Australia Regulation.
72
Ibid.
38 fish means any species or class of fishing including
crustaceans, echinoderms, and mollusks, and includes an
aquatic animal (except a species of bird) declared by
Minister by notice in gazette to be a fish for the porpuses of
this act, and also includes : An egg, fry, spat, or larva of a
fish; The dead body, or a part of the dead body of a fish and;
The shell or exoskeleton, or a part of the shell orexoskeleton,
of a crustacean, echinoderm or mollusc.73
Sedangkan Australian Fishing Zone means the Australian fishing zone as definef
by the commonwealth Act. sedangkan yang dimaksud dengan licence adalah,
An approved licence currently in force granted under this
act or, as the context requires, a licence document issued as a
consequence of the grant of a licence.74
2.9. Arti Penting Tinjauan Pustaka.
memperhatikan gambaran atas hasil tinjauan kepustakaan di atas, Penulis perlu
mengemukakan suatu arti penting tinjauan kepustakaan, sepanjang menjawab
perumausan masalah penelitian skripsi ini: yaitu bagaimana, secara konsepsional
manifestasi asas nasional pasif dalam Perjanjian Ekstradisi?
Menurut Penulis, kajian kepustakaan di atas, khususnya yang menyangkut aspek
Perjanjian Ekstradisi, sulit sekali untuk menerobos asa tidak mengekstradisi warga
negara.Artinya, secara konsepsional, dapat dikemukakan bahwa sulit sekali suatu
negara yang dirugikan kepentingannya menggunakan mekanisme ekstradisi untuk
meminta pelaku kejahatan diekstradisi oleh negara yang diminta berdasarkan asas
nasional pasif maupun prinsip protektif.
73
Ibid.
74
Ibid.
39 
Download