1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperpigmentasi adalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hiperpigmentasi adalah salah satu masalah estetika kulit yang sering
dikeluhkan masyarakat Indonesia, terutama oleh perempuan. Hiperpigmentasi
adalah kondisi kelebihan pigmen pada kulit yang salah satunya disebabkan karena
paparan sinar ultraviolet (UV). Hal ini ditandai dengan terbentuknya flek hitam
atau noda coklat pada kulit. Hiperpigmentasi lebih sering terjadi pada tipe warna
kulit yang lebih gelap (IV hingga VI) (Fitzpatrick, dkk., 2006), khususnya ras
Hispanik, Asia, atau Afro-Amerika. Kelainan ini lebih sering dialami oleh
perempuan daripada laki-laki, terutama perempuan usia reproduktif ( Ingber,
2009).
Sinar UV dapat meningkatkan sintesis melanin pada kulit. Biokatalis yang
berperan dalam sintesis melanin adalah enzim tirosinase. Mekanisme sinar UV
menyebabkan hiperpigmentasi melalui jalur oksidatif. Bila produksi melanin
berlebih dapat mengarah pada terjadinya penumpukkan melanin pada permukaan
kulit (hiperpigmentasi) (Mahardika dan Hastri, 2012).
Bahan pemutih kulit yang bekerja sebagai tyrosinase inhibitor telah banyak
ditemukan dalam bahan kosmetik sebagai pencegah hiperpigmentasi, diantaranya
adalah asam kojik dan hidrokuinon. Asam kojik memiliki efek inhibisi dan
kestabilan paling besar dalam produk kosmetik. Namun, asam kojik bersifat
karsinogenik pada penelitian hewan coba (Miyazawa dan Tamura, 2007).
1
2
Sementara itu, krim hidrokuinon 4% sudah menjadi sediaan yang dipercaya
mampu mengobati hiperpigmentasi selama lebih dari 50 tahun. Mekanisme kerja
hidrokuinon sebagai antihiperpigmentasi adalah dengan cara menghambat kerja
enzim tirosinase, merusak sel melanosit langsung, mempercepat degradasi
melanosom dan menghambat sintesis enzim melanogenesis. Namun, apabila
hidrokuinon digunakan dalam jangka panjang dapat menimbulkan efek samping
yaitu iritasi, rebound phenomenon, dan okronosis. Oleh karena itu, penggunaan
hidrokuinon saat ini sudah mulai sangat dibatasi. Berdasarkan hal tersebut, maka
perlu dicari bahan-bahan pemutih kulit lain yang bersifat alami dan aman seperti
senyawa dengan aktivitas antioksidan (Baumann dan Alleman., 2009).
Hiperpigmentasi dapat diobati dengan senyawa-senyawa yang memiliki
aktivitas antioksidan. Kurkumin merupakan suatu senyawa dari bahan alam yang
diketahui memiliki aktivitas sebagai antioksidan (Yoshikawa, dkk., 2000).
Kurkumin merupakan salah satu senyawa yang terdapat dalam Curcuma
domestica L yang tersari dalam pelarut etanol. Penelitian Sugiharto dkk. (2012),
membandingkan aktivitas antioksidan antara kurkumin dan asam kojic secara in
vitro, dan diketahui bahwa kurkumin sangat potensial sebagai antioksidan. Hal ini
diketahui dari nilai IC50 kurkumin sebesar 16,05 μg/mL, sedangkan asam kojic
sebesar
50
μg/mL.
Sugiharto
dkk.
(2012),
juga
menguji
aktivitas
antihiperpigmentasi kurkumin secara in vitro menggunakan kultur sel B16-F1.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kurkumin konsentrasi 25 μg/mL
mampu mengurangi melanin sebesar 45,67%. Perlakuan asam kojik sebagai
kontrol positif pada konsentrasi 25 μg/mL dapat mengurangi kandungan melanin
3
sebesar 66,76%. Mekanisme antioksidan sebagai antihiperpigmentasi melalui
penghambatan oksidasi L-DOPA sehingga tidak berubah menjadi DOPAquinone
yang sangat reaktif dan spontan membentuk melanin yang menyebabkan masalah
estetika serius bagi manusia (Solano, dkk., 2006; Martinez-Esparza, dkk., 1998).
Penelitian secara in vitro sudah banyak dilakukan terkait dengan aktivitas
antihiperpigmentasi dari ekstrak kunyit namun belum pernah dilakukan secara in
vivo. Uji in vitro hanya mengacu pada prosedur perlakuan yang diberikan dalam
lingkungan terkendali di luar organisme hidup, sehingga tidak sepenuhnya
menggambarkan keadaan bahan uji ketika digunakan dalam organisme hidup. Uji
in vivo mengacu pada pengujian secara biologis menggunakan hewan coba untuk
membantu observasi yang tidak bisa secara langsung dilakukan dalam tubuh
manusia. Asumsinya semua jaringan, sel-sel penyusun tubuh, serta enzim-enzim
yang ada dalam tubuh hewan uji tersebut memiliki kesamaan dengan manusia.
Oleh sebab itu, dilakukan uji aktivitas antihiperpigmentasi secara in vivo ekstrak
etanol rimpang kunyit dengan menggunakan hewan uji marmut Belanda (Cavia
porcellus) yang memiliki kemiripan struktur dan pigmen kulit dengan manusia.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian untuk menguji aktivitas
antihiperpigmentasi ekstrak etanol rimpang kunyit pada marmut Belanda jantan
yang dipapar sinar UVB.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah ekstrak etanol rimpang kunyit (Curcuma domestica L) memiliki
aktivitas antihiperpigmentasi secara in vivo pada kulit marmut Belanda (Cavia
Porcellus) yang dipapar sinar UVB ?
2. Apakah aktivitas antihiperpigmentasi ekstrak etanol rimpang kunyit (Curcuma
domestica L) lebih tinggi dibandingkan sediaan krim farma (hidroquinon 4%,
tretinoin 0,05%, dan fluosinolon asetonid 0,01%) ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
1. Membuktikan aktivitas antihiperpigmentasi ekstrak etanol rimpang kunyit
(Curcuma domestica L) secara in vivo pada kulit marmut Belanda (Cavia
Porcellus) yang dipapar sinar UVB.
2. Membandingkan aktivitas antihiperpigmentasi ekstrak etanol rimpang kunyit
(Curcuma domestica L) dengan sediaan krim farma (hidroquinon 4%, tretinoin
0,05%, dan fluosinolon asetonid 0,01%).
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapatkan dari hasil penelitian ini yaitu :
1. Memberikan pengetahuan baru mengenai bahan alami yang memiliki aktivitas
antihiperpigmentasi yang diambil dari ekstrak etanol rimpang kunyit (Curcuma
domestica L.).
5
2. Memberikan informasi ilmiah kepada peneliti selanjutnya mengenai khasiat
ekstrak etanol rimpang kunyit (Curcuma domestica L.) secara in vivo sebagai
antihiperpigmentasi baru.
E. Tinjauan Pustaka
1. Rimpang Kunyit (Curcuma domestica L.)
a. Deskripsi
Tanaman kunyit termasuk salah satu tanaman rempah dan obat asli
dari wilayah Asia Tenggara. Tanaman ini kemudian mengalami persebaran
ke daerah Indo-Malaysia, Indonesia, Australia bahkan Afrika. Tanaman ini
tumbuh pada daerah yang bersuhu sekitar 20-300C (Firstya, 2007).
(a)
(b)
Gambar 1.Tanaman kunyit (a); rimpang kunyit (b) (BPOM RI, 2008)
b. Morfologi
Batang kunyit dapat tumbuh sampai satu meter, dengan bunga
berbentuk terompet berwarna kuning pucat. Kunyit berkembang biak
melaui rhizome. Rimpang kunyit berwarna kuning dan memiliki aroma
6
yang khas karena kandungan kurkumin dan memiliki rasa pahit. Terdapat
sekitar 80-120 spesies dari genus curcuma tapi baru 80 spesies yang
teridentifikasi dengan baik (Erlich, 2007). Tanaman dan rimpang kunyit
tersaji pada gambar 1.
c. Klasifikasi
Klasifikasi rimpang kunyit sebagai berikut (Rukhmana, 1994) :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Family
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Spesies
: Curcuma longa L
Sinonim
: Curcuma domestica Val.
d. Kandungan Kimia
Beberapa kandungan kimia dari kunyit antara lain zat warna
kurkuminoid yang merupakan suatu senyawa diarilheptanoid 3-4% yang
terdiri dari kurkumin, dihidroksikurkumin, desmetoksikurkumin dan
bisdesmetoksi-kurkumin (Antony, dkk., 2008). Kandungan minyak atsiri
dalam rimpang kunyit adalah 2-5% yang terdiri dari seskuiterpen dan
turunan fenilpropana turmeron (aril-turmeron, alpha turmeron dan beta
turmeron),
kurlon
kurkumol,
atlanton,
bisabolen,
seskuifellandren,
7
zingiberin, aril kurkumen, humulen. Selain itu, terdapat kandungan lain
seperti protein, fosfor, kalium, zat besi, dan vitamin C
(Sumiati dan
Adnyana, 2004).
Dutta (2015) mengidentifikasi kandungan senyawa 6 spesies
rimpang kunyit yang disari dengan pelarut etanol dengan skrining fitokimia.
Pada rimpang kunyit jenis Curcuma domestica L, hasil positif kandungan
senyawanya yaitu kurkumin, alkaloid, flavonoid, terpenoid, tannin dan
saponin.
e. Khasiat rimpang kunyit
Kunyit memiliki khasiat sebagai jamu dan obat tradisional untuk
berbagai jenis penyakit. Senyawa yang terkandung dalam kunyit mempunyai
peran sebagai antioksidan, antihiperpigmentasi (Soegiharto, 2012; Majeed,
dkk., 1995), antiinflamasi (Kawamori, 1999), antiinfeksi (Bourne, 1999),
antikanker (Huang, dkk., 1997; Singletary, dkk., 1998; Huang, dkk., 1998),
dan anti HIV (Mazumder, dkk., 1997; Barthelemy, dkk., 1998).
2. Senyawa Alam sebagai Antioksidan dan Antihiperpigmentasi
Senyawa yang terkandung rimpang kunyit (Curcuma domestica L.)
yang ikut tersari dalam pelarut etanol yaitu Kurkumin, alkaloid, flavonoid,
terpenoid, tannin, dan saponin (Dutta, 2015). Masing-masing senyawa tersebut
memiliki mekanisme yang berbeda dalam menghambat melanogenesis.
Menurut Kohli dkk., (2004), ekstrak kasar rimpang kunyit mengandung sekitar
70–76% kurkumin. Kurkumin termasuk golongan senyawa polifenol.
Penelitian yang luas pada kurkumin telah menunjukkan spektrum efek terapi
8
yang luas. Sebagai antioksidan, daya kerja kurkumin lebih kuat daripada
tokopherol (Antony, dkk., 2008). Sun, dkk. (2002) melaporkan bahwa aktivitas
penangkapan radikal kurkumin dipengaruhi oleh kedua gugus hidroksi
fenoliknya, sedangkan peran dari gugus metilen aktif sangat kecil.
Gambar 2. Struktur kimia kurkumin (Pubchem, 2017)
Mekanisme antioksidan kurkumin terdiri dari dua fungsi. Fungsi
utamanya adalah dalam pemberian atom hidrogen. Senyawa antioksidan (AH)
dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radial lipida (R*, ROO*) atau
mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan
(A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi
kedua adalah fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju
autooksidasi dengan mekanisme pengubahan radikal ke bentuk lebih stabil.
Reaksi tersebut sebagai berikut :
R*
+ AH  RH + A*
(Radikal lipida)
ROO* + AH  ROOH + A*
Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut
relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan
molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru lagi. A* dapat saling
bereaksi membentuk produk non-radikal (Purba dan Martosupono, 2009).
9
Alkaloid mampu menurunkan level ekspresi protein tirosinase dan
TRP-1, kemudian menghambat aktivitas tirosinase sehingga terjadi penurunan
melanogenesis (Huang, dkk., 2012). Flavonoid memiliki mekanisme utama
dalam memberikan efek depigmentasi dengan jalur ROS-Scavenger dan
kemampuan mengkhelat logam pada sisi aktif metalloenzyme (Cu) (Solano,
dkk., 2006). Terpenoid menurunkan ekspresi protein MITF (microphthalmiaassociated transcription factor), ekspresi protein tirosinase, TRP-1 dan TRP-2
(tyrosinase-related protein) yang merupakan bagian dari faktor biosintesis
melanin (Slominski, dkk., 2004; Kim, dkk., 2016). Tannin dapat bertindak
sebagai radical scavenger yang menangkal paparan radikal bebas (Kim, dkk.,
2015) serta sapponin dapat mempengaruhi regulasi melanogenesis melalui jalur
degradasi MITF, dengan aktivasi ERK (Extracellular Signal-regullated
Kinase) dan PI3K (Phosphatidylinositol 3-kinase )/AKT (Jeong, dkk., 2009;
Wu, dkk., 2000). Selain itu, sapponin juga mampu meningkatkan perlawanan
agen proteksi kulit (pembentukan melanin) terhadap sinar akibat adanya
abnormalitas pigmentasi (Lee, dkk., 2015).
3. Dampak Sinar UVB terhadap Melanogenesis pada Kulit Manusia
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya
dari lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital
serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan (Wasitaatmadja, 2002).
Ukuran kulit manusia yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya mencapai
1,50-1,75 m2. Ketebalannya antara 1-2 mm (Harahap, 1990). Secara garis
besar, kulit tersusun atas 3 lapisan yakni lapisan epidermis, dermis, dan
10
subkutan (gambar 3a). Lapisan epidermis terdiri dari stratum korneum, stratu
lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale (gambar
3b). Stratum spinosum disebut juga lapisan Malpighi atau prickle cell layer,
merupakan lapisan yang tebal dan kuat, fungsinya sebagai pertahanan terhadap
gesekan sehingga banyak terdapat pada bagian yang sering mengalami
gesekan. Lapisan ini juga mengandung pigmen melanin yang dapat memberi
warna pada kulit, sekaligus berfungsi sebagai pertahanan kulit dari sinar
ultraviolet (UV) yang dapat membakar kulit dan menyebabkan kulit berubah
warna menjadi semakin gelap. Tumpukan pigmen melanin tersebut ada di
dalam korneosit yang akan terus ke atas menuju stratum korneum (Jimbow,
dkk., 2004).
(a)
(b)
Gambar 3. Struktur kulit manusia (a); Struktur lapisan epidermis (b)
(Luqman, 2016)
Stratum germinativum disebut juga stratum basale. Lapisan ini
merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit dan enzim tirosinase
yang berperan dalam produksi pigmen melanin. Melanosit mengandung
11
organel-organel sitoplasma yang disebut melanosom atau tempat pembentukan
melanin. Melanosom akan menghasilkan pigmen melanin, salah satunya
melalui stimulus radiasi sinar UV (Fithria, 2015).
Radiasi elektromagnetik merupakan salah satu bentuk energi yang jika
terserap molekul akan membentuk photoproduct yang memicu reaksi
fotokimia.
Sinar
matahari
(ultraviolet)
merupakan
suatu
radiasi
elektromagnetik yang mempunyai panjang gelombang yang pendek daripada
sinar violet yang berkisar 100-400 nm (Soebaryo dan Jacoeb, 2007). Sinar
ultraviolet terdiri dari berbagai spektrum dengan panjang gelombang yang
berbeda, dari inframerah yang terlihat hingga spektrum ultraviolet. Sinar
ultraviolet dengan panjang gelombang 400-280 nm dapat menyebabkan
sengatan surya dan perubahan warna kulit (Dirjen POM, 1985).
Panjang gelombang sinar ultraviolet dapat dibagi menjadi 3 bagian,
diantaranya : ultraviolet A (400-315 nm), ultraviolet B (315-280 nm), dan
ultraviolet C (280-200 nm) (Dirjen POM, 1985). Sebagian besar dari sinar UV
yang mencapai bumi adalah UVA dan UVB, sedangkan UVC diabsorbsi oleh
lapisan ozon (Shae dan Parrish, 1991). UVB memiliki panjang gelombang
yang lebih pendek dibandingkan UVA, tetapi lebih efisien mencapai
permukaan bumi, lebih kuat terserap pada epidermis dan lebih eritemogenik
dibandingkan dengan UVA (Rigel, dkk., 2004). Eritema yang diinduksi UVB
diikuti dengan pigmentasi. Melanisasi terjadi akibat paparan UVB. Pemaparan
tunggal UVB dapat meningkatkan aktivitas melanosit sedangkan pemaparan
UVB secara berulang dapat meningkatkan jumlah melanosit (Tahir, dkk.,
12
2002). Lipid dan jaringan tubuh (kulit) yang terpapar dengan sinar, terutama
UV dapat menyebabkan terbentuknya singlet oxygen dan radikal bebas yang
merusak lipid dan jaringan tersebut. Radikal bebas ini akan menstimulasi
melanosit untuk memproduksi melanin (melanogenesis) yang berlebihan
(D’Orazio, dkk., 2013).
Melanogenesis (gambar 4) dimulai dari sintesis tirosinase dalam
retikulum endoplasma kasar, kemudian diakumulasi dalam vesikel kompleks
golgi.
Tirosinase
membutuhkan
oksigen
dan
tembaga
(Cu)
untuk
mengoksidasi asam amino tyrosin menjadi 3,4 dihidroxyohenilalanin (LDOPA) melalui jalur Raper Mason, L-DOPA berfungsi sebagai co-faktor
dalam proses oksidasi berikutnya dan juga merupakan substrat enzim
tyrosinase. L-DOPA kemudian dioksidasi menjadi DOPAquinon, dimana
DOPAquinon ada yang dikonversi menjadi DOPAchrome, dan ada yang
berikatan dengan glutation dan sistein. DOPAquinon yang dikonversi menjadi
DOPAchrome, kemudian dikonversi oleh enzim tyrosinase menjadi DHI (5,6
dihydroxyindole) atau dikatalisis oleh enzim DOPAchrome taumerase
menjadi DHICA (5,6-dihydroxyindole-2-carboxylic acid). DHI tersebut
kemudian dikonversi menjadi melanin DHI (berwarna hitam, tidak larut, dan
memiliki berat moleku tinggi), sedangkan DHICA dikonversi menjadi
melanin DHICA (berwarna cokelat, kurang larut, dan memiliki berat molekul
sedang). DOPAquinon yang berikatan dengan glutation atau sistein kemudian
membentuk cysteinilDOPA (berwarna kuning kemerahan, larut, dan
mempunyai berat molekul ringan) atau disebut juga feomelanin. Hal
13
tersebutlah penyebab warna kulit manusia bervariasi di seluruh tubuh (Fithria,
2015).
Gambar 4. Biosintesis melanin (Elias dan Richard, 2006)
Radiasi sinar UV dapat menyebabkan pigmentasi. Beberapa pengaruh
sebagai akibat dari radiasi sinar UV dalam proses terjadinya pigmentasi
diantaranya peningkatan kerja enzim melanogenik (enzim tirosinase),
peningkatan transfer melanosom menuju keratinosit, peningkatan aktivitas
dendritik sel melanosit, dan kerusakan DNA (Deoxyribonucleotic Acid) yang
akan menstimulasi proses melanogenesis (Kindred dan Halder, 2010).
Sinar matahari secara langsung memicu melanosit pada membran sel
untuk
menghasilkan
ROS
sebagai
photoproduct,
selanjutnya
ROS
mengaktifkan phospholipase-C (PLC) dan membebaskan diacetyl glycerol
(DAG) dan inositoltriphosphat. Kedua senyawa ini bergungsi sebagai second
messenger yang akan mengaktifkan faktor nuklear sehingga transkripsi DNA
yang ada di inti sel terpicu. Transkripsi DNA akan menghasilkan tyrosinase
14
dan berakhir dengan sintesis melanin. Secara tidak langsung pajanan sinar
matahari akan memicu keratinosit, dan juga melalui pelepasan DAG ke dalam
sitoplasma akan mempengaruhi transkripsi DNA yang berujung pada sintesis
dan sekresi berbagai sitokin yang berperan sebagai mitogen bagi melanosit
untuk berproliferasi, migrasi dan melakukan sintesis melanin (Friedman, dkk.,
1990).
Melanin yang disintesis tersebut merupakan zat protein yang berperan
dalam menentukan warna kulit seseorang, dan juga berfungsi sebagai
pelindung kulit dari sinar matahari. Kisaran normal melanin pada manusia
adalah 1-3% dari total epidermis (Mitsui, 1997). Namun, jika kulit terusmenerus terpapar sinar matahari, melanosit akan terus memproduksi melanin
yang akhirnya menumpuk dan menimbulkan noda-noda hitam di wajah
(hiperpigmentasi). Jika tidak ditangani, noda ini akan semakin melebar
(Narendra, 2008).
Hiperpigmentasi merupakan gangguan pigmentasi kulit dimana warna
kulit berubah menjadi lebih gelap (kecoklatan, keabuan, kebiruan, atau
kehitaman). Kelainan ini dapat mengubah penampilan dan menimbulkan
keluhan estetika bahkan gangguan psikososial. Hiperpigmentasi umumnya
menyerang bagian pipi, dahi, bibir bagian atas, hidung, dan dagu. Meski bisa
pula menyerang lelaki, flek ini lebih sering di temui pada kulit wanita (Bleehen
dan Anstey, 2004).
15
4. Hidrokuinon sebagai Produk Antihiperpigmentasi
Hidrokuinon (HQ) adalah bahan pemutih yang sangat sering digunakan
pada saat ini, terutama untuk melasma dan kelainan hiperpigmentasi wajah
lainnya. Hidrokuinon biasanya diberikan dalam bentuk sediaan yang
diformulasikan dengan bahan lain yang dapat mengoptimalkan daya kerjanya
sebagai antihiperpigmentasi. Formula antihiperpigmentasi yang dikombinasi
bertujuan untuk memperbaiki efektivitas bahan pemutih tunggal dan
mengurangi risiko terjadinya efek samping.
Saat ini, fixed combination therapy yang mengandung fluosinolon
asetonid telah dikembangkan. Salah satu produk yang mengandung formula
Topical fixed triple combination (TC) adalah krim farma. Produk ini
merupakan salah satu jenis formula kombinasi senyawa pemutih sintesis yang
terdiri dari hidrokuinon (HQ) 4%, tretinoin (RA) 0,05%, dan fluosinolon
asetonid (FA) 0,01%. Pengobatan dengan kombinasi ini dilakukan selama
8 minggu dan hanya digunakan pada malam hari karena HQ mudah teroksidasi
(Fithria, 2015).
Hidrokuinon merupakan senyawa kimia hidroksifenolik yang dapat
menghambat perubahan DOPA menjadi melanin melalui penghambatan
aktivitas enzim tirosinase (Balkrishnan, 2003). Efek samping akut pemakaian
HQ diantaranya dermatitis kontak, alergi, hiperpigmentasi postinflamasi, dan
perubahan warna kuku. Okronosis eksogen, reticulated ripple-like sooty
pigmentation yang permanen pada wajah biasanya mengenai pipi, dahi, daerah
periorbital adalah efek samping kronis yang utama. Resolusi biasanya terjadi
16
perlahan
setelah
penghentian
obat.
Hidrokuinon
dapat
menimbulkan
depigmentasi permanen apabila lesi diobati dengan konsentrasi yang tinggi dan
dalam jangka waktu lama (Fithria, 2015).
Tretinoin
bekerja
dengan
mempercepat
turnover
epidermis,
mempersingkat “transit time” di lapisan basal dan mempercepat hilangnya
pigmen melalui proses epidermopoesis (Victor, dkk., 2004). Reaksi iritasi
akibat tretinoin dapat memfasilitasi penetrasi epidermal dari HQ dan juga
mencegah HQ teroksidasi. Efek samping pemakaian tretinoin berupa eritema
dan pengelupasan (deskuamasi), akan tetapi tidak akan merubah efikasi
pengobatan (Fithria, 2015).
Kortikosteroid merupakan senyawa antiinflamasi yang biasanya
ditambahkan dalam formula sediaan pemutih. Kortikosteroid dapat mereduksi
iritasi atau inflamasi yang disebabkan oleh HQ dan tretinoin. Selain itu,
kortikosteroid memiliki efek antimetabolik pada berbagai sistem sel. Ada yang
bersifat sitotoksik atau sitostatik terhadap epidermis dan menurunkan turnover
epidermis (Menter, 2004). Kligman dan Willis menduga bahwa komponen
kortikosteroid pada formulasi mereka dapat menekan fungsi biosintetik dan
sekresi melanosit, sehingga menekan produksi melanin tanpa menghancurkan
melanosit (Menter, 2004). Efek samping pemakaian kortikosteroid potensi
tinggi terutama dalam jangka waktu lama diantaranya atrofi, telangiektasi, akne
atau erupsi akneformis, eritema mirip rosacea, dermatitis perioral, dan rasa
gatal. Efek samping pengobatan TC yang paling sering terjadi adalah eritema,
deskuamasi, rasa terbakar, kulit kering, dan rasa gatal (Menter, 2004).
17
5. Dimetil Sulfoksida sebagai Penetrant Enhancer
DMSO merupakan senyawa yang bersifat polar, sangat higroskopis, dan
dapat menaikkan hidrasi kulit. DMSO sebagai penetrant enhancer memiliki
mekanisme yakni dapat melarutkan lemak sehingga membentuk saluran air
dalam stratum korneum yang akan meningkatkan permeabilitas (Benson, 2005;
Forstrer, dkk., 2009). Selain memfluidisasi lipid, DMSO juga dapat
berinteraksi dengan keratin di dalam korneosit dan mengakibatkan terjadinya
kerusakan di dalam korneosit sehingga koefisien difusi meningkat dan
permeabilitas juga meningkat. Proses tersebut terjadi karena DMSO merubah
konformasi keratin stratum korneum dari α–helical menjadi β–sheet (Trommer
dan Neubert, 2006). Molekul DMSO juga memodifikasi peptida atau protein
dalam domain lipid bilayer sehingga meningkatkan permeabilitasnya (Benson,
2005). Berdasarkan penelitian Jatav dkk. (2012), DMSO memiliki tingkat
penetrasi yang tinggi dalam penelitian secara in vitro, penggunaan DMSO pada
konsentrasi
20%
dalam
suatu
formulasi
transdermal
patch
mampu
mempenetrasikan Nebivolol HCl hingga mencapai 92% dengan mekanisme
modifikasi stratum korneum.
9. Marmut Belanda sebagai Hewan Percobaan untuk Uji Hiperpigmentasi
Marmut Belanda atau dalam bahasa asing sering disebut Guinea Pig
(gambar 5) sering digunakan pada penelitian histologi terutama untuk uji
aktivitas antihiperpigmentasi (Tristianty, 2014; Hastiningsih, 2015) karena
memiliki banyak persamaan secara biologis dengan manusia. Beberapa jenis
warna kulit yaitu jenis eumelanin dan pheomelanin serta albino dimiliki oleh
18
marmut belanda. Beberapa penelitian pengujian senyawa antihiperpigmentasi
menggunakan hewan uji marmut belanda diantaranya penelitian Quah dkk.
(2014), yang meneliti tentang pigmentasi dan efek konservatif dermal
Astonishing algae sargassum polycystum dan Padina tenuis pada marmut
belanda, Human Epidermal Melanocytes (HEM) dan Chang cells. Serta pada
penelitian Choi dan Kim (2011) tentang efek pemutih ekstrak air teh hitam
pada kulit marmut belanda coklat.
Klasifikasi marmut belanda adalah sebagai berikut (Martin, 2013) :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Mammalia
Order
: Rodentia
Suborder
: Hystricomorpha
Family
: Caviidae
Subfamily
: Caviidae
Genus
: Cavia
Species
: Cavia porcellus
Marmut belanda jarang menggigit dan tidak dapat melompat atau
memanjat, oleh karena itu dalam pemeliharaannya secara berkelompok lebih
mudah karena kemampuannya untuk melarikan diri sangat kecil. Kandang
marmut belanda harus luas dengan dasar padat dan kering (tidak ada kubangan
air), contohnya seperti lantai kawat. Kandang disimpan di dalam ruangan
bersuhu 24-300C, aman dari predator, dan iklim ekstrem. Berat lahir marmut
19
belanda adalah sekitar 75-100 gram, berat usia dewasa betina 450 gram,
sedangkan jantan 500 gram (Suryanto, 2012). Rentang hidup rata-rata marmut
belanda 4-8 tahun, tetapi, dengan perawatan yang tepat dan pemberian nutrisi,
marmut dapat hidup sampai 10 tahun. Makanan sehat untuk marmut belanda
dewasa yaitu pellet dan rumput yang harus tersedia sepanjang hari. Marmut
belanda cenderung menyembunyikan rasa sakitnya, sehingga peneliti harus
sering
mengecek
keadaannya.
Tanda-tanda
bahwa
marmut
belanda
membutuhkan perawatan diantaranya marmut belanda tidak nafsu makan atau
minum, lesu, bersin, mengi, mata berkerak, menepuk-nepuk bulu, diare, darah
dalam urin, kehilangan keseimbangan, memiringkan kepalanya, menggaruk
berlebihan atau rambut rontok (Ottawa Humane Society, 2011).
Gambar 5. Marmut belanda (Cavia porcellus) (Yamamoto, 2015)
F. Landasan Teori
Hidrokuinon
merupakan
senyawa
yang
sering
digunakan
dalam
pengobatan hiperpigmentasi. Namun, apabila hidrokuinon digunakan dalam
jangka panjang dapat menimbulkan beberapa efek samping, yaitu menimbulkan
iritasi, rebound phenomenon dan okronosis. Begitu juga senyawa sintesis lain
20
(asam kojik) yang juga memiliki efek samping yang merugikan (Baumann dan
Alleman, 2009).
Antioksidan dapat digunakan sebagai antihiperpigmentasi. Kurkumin
merupakan suatu senyawa dari bahan alam yang diketahui memiliki aktivitas
sebagai antioksidan (Yoshikawa, dkk., 2000). Kurkumin terkandung dalam
Curcuma domestica L. dan hasil penelitian Maulana (2012) menyimpulkan bahwa
kurkumin memiliki nilai IC50 sebesar 0,0013 μg/mL secara in silico. Penelitian
soegiharto (2012) nilai IC50 kurkumin sebesar 16,05 μg/mL secara in vitro,
sedangkan nilai IC50 hidrokuinon sebesar 72 µg/mL (Ernest, dkk., 1999) sehingga
aktivitas antioksidan kurkumin dianggap lebih kuat dibandingkan dengan
hidrokuinon. Berdasarkan data penelitian Sugiharto dkk. (2012), kurkumin pada
konsentrasi 25 μg/mL mempunyai aktivitas sebagai zat antioksidan dan inhibitor
sintesis melanin pada kultur sel B16-F1. Kurkumin tersebut mampu mengurangi
melanin sebesar 45,67%.
G. Hipotesis
1. Ekstrak etanol rimpang kunyit (Curcuma domestica L.) memiliki aktivitas
antihiperpigmentasi secara in vivo pada kulit marmut belanda (Cavia
Porcellus) yang dipapar sinar UVB.
2. Ekstrak etanol rimpang kunyit (Curcuma domestica L.) memiliki aktivitas
antihiperpigmentasi lebih tinggi dibandingkan sediaan krim farma (hidroquinon
4%, tretinoin 0,05%, dan fluosinolon asetonid 0,01%).
Download