6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penyakit pada Kacang Panjang

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Penyakit pada Kacang Panjang yang Disebabkan oleh Virus
Virus merupakan patogen yang potensial menurunkan hasil tanaman
kacang panjang di daerah Asia, Amerika Latin, dan Afrika, salah satu virus yang
menginfeksi kacang panjang adalah mosaik dan kuning pada kacang panjang.
Virus yang menunjukkan gejala mosaik berasosiasi dengan tiga jenis virus yaitu
Bean common mosaic (BCMV), Tobaco mosaic virus (TMV) dan Cucumber
mosaic virus (CMV), sedangkan gejala kuning pada tanaman kacang panjang
dilaporkan diinfeksi oleh Mungbean yellow mosaic india virus (MYMIV)
(Damayanti et al. 2009).
2.1.1
Bean common mosaic virus ( BCMV)
BCMV merupakan salah satu virus anggota famili Potyviridae, genus
Potyvirus dengan genom ssRNA (utas tunggal), positive sense, berbentuk filament
dengan panjang 750 nm dan lebar 14 nm. Badan inklusi Potyvirus berbentuk cakra
atau beberapa bentuk yang lain (Regenmortel et al. 2004).
Tipe gejala penyakit yang muncul pada pertanaman bergantung pada strain
BCMV, temperatur, dan genotipe inang (Udayashankar et al. 2010). Gejala
pertama kali terlihat pada daun-daun muda berupa pemucatan tulang daun yang
mengakibatkan jaringan sekitarnya menjadi hijau muda, kemudian berkembang
menjadi mosaik dengan pola warna hijau dan kuning disertai malformasi. Tulang
daun akan mengerut sehingga daun terlihat bergelombang dan permukaan daun
menjadi tidak rata. Gejala lanjut menunjukkan lepuhan-lepuhan sehingga bentuk
6
7
daun tidak teratur (pengurangan ukuran lamina daun), layu dan akhirnya gugur
(Setyastuti, 2008). Menurut Mukeshimana et al. (2003), tanaman yang terserang
BCMV memiliki daun yang menggulung, keriting, tanaman menjadi kerdil, dan
polong serta biji yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman sehat.
Polong kacang panjang yang terserang BCMV menunjukkan gejala mosaik dan
malformasi polong (Sutic et al.1999). BCMV bersifat terbawa benih dan dapat
ditularkan secara mekanik oleh sap tanaman dan melaui alat-alat pertanian. Virus ini
ditularkan oleh beberapa jenis kutudaun termasuk Myzus persicae, Aphis craccivora,
A.fabae, A.gossypii dan A.medicaginis secara non persisten (Shukla et al. 1994).
2.1.2
Tobaco mosaic virus (TMV)
TMV (Tobacco mosaic virus) termasuk ke dalam genus Tobamovirus. TMV
merupakan salah satu dari 14 spesies yang termasuk dalam genus Tobamovirus. TMV
memiliki ciri berbentuk batang dengan panjang 300 nm dan diameter 15 nm.
Proteinnya terdiri atas kira-kira 2130 protein subunit, dan setiap subunitnya terdiri
158 asam amino (Garry, 2002). Protein subunitnya tersusun pada sebuah helix. Asam
nukleat TMV berbentuk untai tunggal RNA dan terdiri atas kurang lebih 6400
nukleotida. Untai RNA juga berbentuk helix sejajar dengan untai protein. Berat dari
setiap partikel virus antara 3,9 x 107 dan 4 x 107 unit berat molekul.
TMV merupakan virus yang menyerang tanaman dan dapat menginfeksi lebih
dari 35 spesies tanaman sehingga dapat menyebabkan kerugian yang besar pada
tanaman tembakau. TMV dapat memperbanyak diri jika berada pada sel hidup, tapi
8
virus ini dapat tetap bertahan hidup pada fase dorman dan jaringan tanaman yang
mati selama bertahun-tahun maupun di luar tanaman baik itu di dalam tanah, di
permukaan tanah maupun pada peralatan yang telah terkontaminasi virus ini. TMV
menyebar secara mekanis tetapi serangga seperti aphids tidak dapat menjadi vektor
bagi virus ini (Garry, 2002). Tanaman yang terinfeksi TMV menunjukkan gejala
yaitu : daun-daun muda berubah menjadi warna belang kuning hijau, keriting serta
berkerut, tanaman kerdil, buah belang dan berwarna kuning. Gejala lain yang terlihat
adalah munculnya garis nekrosis pada daun yang menyebabkan terjadinya gugur
daun (Widodo dan Wiyono, 1995).
2.1.3
Cucumber mosaic virus (CMV)
CMV (Cucumber Mosaic Virus) termasuk dalam kelompok Cucumovirus,
bersama-sama dengan Peanut stunt virus (PStV) dan Cabaio aspermy virus (CAV)
(Palukaitis et al.1997). CMV mempunyai tiga RNA genom beruntai tunggal (RNA 1,
2, 3), satu RNA subgenom (RNA 4). Masing-masing RNA ini mempunyai fungsi
genomik yang berbeda (Kaper and Waterwoth, 2001). Virus ini mempunyai kisaran
inang terluas di antara virus tanaman yang diketahui saat ini, dilaporkan dapat
menginfeksi lebih dari 800 spesies tumbuhan, dapat menyebabkan kerugian besar
pada berbagai jenis tanaman (Palukaitis et al. 1997).
Lebih dari 60 isolat CMV sudah diketahui sifat-sifatnya (Kaper and
Waterwoth, 2001). CMV terdapat hampir di semua Negara, dengan strain dan sifat
biologinya yang berbeda-beda. Kisaran inang dari CMV yang luas menyebabkan
9
gejala yang ditimbulkannya pun beragam. CMV mempunyai kisaran inang yaitu :
terdapat pada tanaman sayuran, tanaman hias dan tanaman buah-buahan. CMV juga
menyerang tanaman melon, labu, cabai, bayam, tomat, mentimun, seledri, bit,
polong-polongan, pisang, tanaman famili crucifereae, delphinium, gladiol, lili,
petunia, tulip, zinia, dan beberapa jenis gulma (Agrios, 2005).
Gejala infeksi yang diakibatkan oleh virus ini adalah, mula-mula tampak pada
sebagian tulang daun menguning atau terjadinya jalur kuning sepanjang tulang daun.
Daun berubah warna menjadi belang hijau muda dan hijau tua, serta daun menjadi
kecil dan menyempit. Jika tanaman terinfeksi pada waktu masih muda tanaman akan
terhambat pertumbuhannya dan menjadi kerdil. Tanaman yang sakit menghasilkan
buah yang kecil dan sering tampak berjerawat (Semangun, 2000). Virus ini dapat
menyebabkan penurunan hasil sebesar 30-60%, bahkan jika infeksi terjadi pada fase
bibit dapat menyebabkan kerusakan sampai 100% (Duriat, 1996)
2.1.4
Mungbean yellow mosaic india virus (MYMIV)
Mungbean yellow mosaic india virus (MYMIV) merupakan famili
Geminiviridae, genus Begomovirus, yang sering menyerang tanaman budidaya dan
memiliki pasangan dua partikel virus isometrik dalam suatu susunan monogemini,
bigemini, dan hibrigemini. Tiap partikel berukuran 28 - 30 nm dan tiap pasangan
virus mengandung ss-DNA sirkuler tertutup, dengan ukuran antara 2500 - 3000 bp.
Beberapa anggota Begomovirus mengandung genom yang berukuran sama, terpisah
menjadi dua molekul DNA, tetapi urutan nukleotidanya tidak sama (Wahyuni, 2005).
10
Gejala yang ditimbulkan oleh MYMIV berbeda-beda, tergantung pada genus
dan spesies tanaman yang terinfeksi. Gejala pada umumnya muncul pada daun muda
atau pucuk berupa bercak kuning di sekitar tulang daun, kemudian berkembang
menjadi urat daun berwarna kuning (vein clearing), cekung dan mengkerut dengan
warna mosaik ringan atau kuning. Gejala berlanjut hingga hampir seluruh daun muda
atau pucuk berwarna kuning cerah, dan ada pula yang berwarna kuning bercampur
dengan hijau, daun cekung dan mengkerut berukuran lebih kecil dan lebih tebal
(Wahyuni, 2005).
Virus ini ditularkan oleh kutu kebul (Bemisia tabaci). Penularan oleh
serangga vektor B. tabaci sangat dipengaruhi oleh lamanya masa akuisisi serangga
pada tanaman sakit, jumlah serangga dan lamanya periode inokulasi yang terjadi pada
tanaman sehat. Vektor B. tabaci menularkan MYMIV secara persisten (tetap) artinya
sekali B. tabaci makan tanaman yang mengandung MYMIV, maka selama hidupnya
dapat menularkan virus. Periode makan akuisisi (makan tanaman sakit untuk
memperoleh virus) selama 48 jam dapat menghasilkan tingkat penularan yang paling
efisien (Gunaeni dkk. 2008).
2.2
Begomovirus Penyebab Penyakit Kuning
Begomovirus merupakan salah satu patogen penting yang menginfeksi
beberapa komoditas hortikultura utama di Negara tropis dan sub-tropis. Penularan
Begomovirus di lapangan sebagian besar melalui vektornya Bemisia tabaci Gen.
(Hemiptera: Aleyrodidae) secara persisten sirkulatif. Begomovirus tidak dapat
11
ditularkan baik secara mekanis maupun benih. Kisaran inang yang luas dan
penyebaran melalui vektor membuat kejadian penyakit Begomovirus tinggi dan sulit
dikendalikan.
Dilaporkan oleh Pratap et al. (2011) dan Green et al. (2003) bahwa tanaman
terung di India dan Thailand terinfeksi oleh berturut-turut Tomato leaf curl virus
(ToLCV) dan Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV). Kedua virus tersebut termasuk
anggota Begomovirus, famili Geminiviridae. Navas- Castillo, et al (1999)
menyebutkan, terdapat pula beberapa spesies Begomovirus yang menyebabkan
penyakit kuning pada tanaman hortikultura lainnya yaitu, African cassava mosaic
virus (ACMV), Bean dwarf mosaic virus (BDMV), Bean golden mosaic virus
(BGMV), Abutilon mosaic virus (AbMV), Cotton leaf crumple virus (CLCV), Squash
leaf curl virus (SLCV), Tomato golden mosaic virus (TGMV), Potato yellow mosaic
virus (PYMV), Mungbean yellow mosaic virus (MYMV), Euphorbia mosaic virus
(EuMV), dan Indian cassava mosaic virus (ICMV).
2.2.1
Karakter molekuler begomovirus
Begomovirus merupakan salah satu genus dari family Geminiviridae .
Geminiviridae ini merupakan kelompok kelompok virus patogen tumbuhan terbesar.
Nama Geminviridae berasal dari karakteristik morfologi partikel virus berupa
isometrik kembar yang selalu berpasangan (twinned-geminate) dengan ukuran
berkisar 20-30 nm. Secara genetik Geminiviridae memiliki genom berupa DNA utas
tunggal (ssDNA) yang berbentuk sirkuler (Harrison dan Robinson 1999).
12
Harison
and
Robinson
(1999)
menjelaskan
bahwa
Begomovirus
diklasifikasikan ke dalam famili Geminiviridae yang dibagi ke dalam tiga genus yaitu
Mastrevirus, Curtovirus, dan Begomovirus yang didasarkan atas perbedaan kisaran
inang, serangga vektor dan genomnya. Mastrevirus adalah Begomovirus yang
menginfeksi tanaman inang monokotil, ditularkan oleh serangga vektor wereng daun
dan memiliki struktur genom monopartit. Curtovirus, menginfeksi tanaman dikotil
dengan vektor dan struktur genom sama dengan genus pertama. Begomovirus,
menginfeksi tanaman dikotil dan ditularkan oleh kutukebul (Bemisia tabaci) memiliki
struktur genom monopartit atau bipartit dengan sifat penularan persisten, sirkulatif
dan non-propagatif.. Menurut Van Regenmortel (2004) selain ketiga genus tersebut,
ada satu genus lainnya yang termasuk ke dalam famili Geminiviridae yaitu
Topocuvirus yang menginfeksi tanaman dikotil, ditularkan oleh wereng pohon dan
memiliki genom monopartit.
Diantara genus-genus tersebut di atas, Begomovirus merupakan genus dengan
jumlah anggota terbesar. Genus Begomovirus terdiri dari virus-virus dengan genom
bipartit atau monopartit. Sebagian besar anggota genus Begomovirus memiliki genom
bipartit yang terdiri dari dua molekul DNA utas tunggal sirkuler yang berbeda yaitu
DNA A dan DNA B dengan masing-masing berukuran 2,7-2,8 kb (Gambar 1).
Begomovirus dengan genom monopartit, semua gennya terletak pada satu DNA utas
tunggal sirkuler yang berukuran 2,8 kb. Komponen DNA Begomovirus baik
monopartit maupun bipartit mengandung gen-gen yang menyandikan protein dengan
fungsi yang khusus (Tabel 1). Gen penyandi protein selubung virus merupakan
13
daerah genom yang mempunyai runutan DNA dengan derajat kesamaan yang tinggi
antara anggota Begomovirus dalam satu genus (Rojas et al. 1997).
Gambar 2.2. Organisasi genom DNA-A dan DNA-B Begomovirus
Keterangan : DNA-A memiliki enam open reading frame (ORF), yaitu CP (gen AR1;
protein selubung, CP) dan MP (gen AR2; protein untuk perpindahan
virus, MP) pada salah satu untai; REP (gen AL1; protein replikasi, Rep);
AC2 (gen AL2; protein activator transkripsi, TrAP); AC3 (gen AL3,
peningkat replikasi, REn) dan AC4 (gen AL4; protein AC4) pada untai
komplementer. DNA-B mengandung 2 protein pengkode ORF yang
terlibat dalam perpindahan virus, yaitu NSP (gen BL1; protein selubung
inti) pada salah satu untai dan BC1 (gen BL1; protein untuk perpindahan
virus) pada untai komplementer (Fauquet et al. 2005; Seal et al. 2006).
14
Tabel 2.1.
Jenis dan Fungsi Gen Begomovirus
Monopartit
Bipartit
Protein dan Fungsi
V1
AV1
V2
AV2
C1
AC1
C2
AC2
C3
AC3
C4
AC4
-
BV1
Protein selubung virus (coat protein), berperan dalam
penyebaran virus, pergerakan virus di dalam inangnya
dan berperan dalam penularan yaitu melindungi
partikel virus dari degradasi pada saat masuk sistem
pencernaan kutukebul (Briddon et al.1989; Morin et al.
2000; Hull, 2002; Harrison & Robinson, 1999)
virus dalam tanaman terinfeksi (Hull 2002; Harrison &
Robinson 1999)
Replication-associated protein (Rep), berperan
dalam proses replikasi virus (Desbiez et al. 1995; Hull,
2002)
Transcriptional activator protein (TrAP), protein yang
terlibat dalam pengaktifan transkripsi dari promoter
protein selubung. Protein ini ditemukan pada inti dan
berperan dalam patogenisitas virus (van Wezel et al.
2001)
Replication enhancer protein (REn), protein ini
berinteraksi dengan protein C1 dan meningkatkan
akumulasi DNA virus (Hanleybowdoin et al. 2000)
Berinteraksi dengan C1 dan V2, berperan dalam
penentu gejala dan terlibat dalam inisiasi pembelahan
sel (Krake et al. 1998), pergerakan DNA virus dari sel
ke sel (Rojas et al. 2001), mematahkan mekanisme
pertahanan tanaman (van Wezel et al. 2001),
Nuclear shuttle protein (NSP) dan menyandikan
virion DNA B (Hull, 2002; Salati, 2002)
-
BC1
2.2.2
Movement protein (MP), berperan dalam pergerakan
virus di dalam tanaman terinfeksi (Hull, 2002; Salati,
2002).
Gejala infeksi Begomovirus
Sumber inokulum Begomovirus berada pada tanaman inang, sisa-sisa tanaman
dan inang alternatif. Secara alamiah Begomovirus dapat sampai ke tanaman atau
berpindah dari satu tanaman ke tanaman lainnya apabila ada serangga vektor
15
kutukebul (B. tabaci Gen) karena virus ini tidak ditularkan melalui biji ataupun secara
mekanik. Setelah virus sampai pada inang yang sesuai maka virus akan melepaskan
selubung protein kemudian memanfaatkan DNA tanaman untuk bereplikasi kemudian
berpindah dari satu sel ke sel lainnya mengikuti aliran nutrisi dan air tumbuhan
sehingga gejala akan bersifat sistemik (Hull 2002).
Gejala yang ditimbulkan Begomovirus bervariasi tergantung pada strain virus,
jenis tanaman, fase pertumbuhan tanaman dan beberapa faktor lainnya. Gejala infeksi
virus berupa daun menggulung, penebalan tulang daun,bercak-bercak klorotik pada
daun, klorosis di antara tulang daun, malformasi daun, belang dan menguning
(Lotrakul et al. 2000). Menurut Sulandari (2006) gejala awal yang ditimbulkan pada
daun berupa penjernihan tulang daun (vein clearing) yang kemudian berkembang
menjadi warna kuning, penebalan tulang daun, dan penggulungan daun (cupping).
Infeksi lanjut Begomovirus menyebabkan daun-daun mengecil, berwarna kuning
cerah dan tanaman menjadi kerdil.
Sedangkan infeksi pada gulma A. conyzoides yang terinfeksi Begomovirus
menunjukkan gejala vein clearing atau penjernihan tulang daun (Sukamto et al.
2005). Haerani dan Hidayat (2003), menyebutkan infeksi Begomovirus menghasilkan
gejala yang beragam pada studi penularan Begomovirus asal A. conyzoides terhadap
beberapa tanaman Solanaceae (tomat, tembakau dan cabai rawit). Daun tanaman
tomat yang terinfeksi mengeriting ke arah bawah, tulang daun menebal, dan tangkai
daun melengkung ke bawah. Tanaman tembakau yang terinfeksi menunjukkan gejala
berupa daun yang menggulung terutama daun muda, tulang daun menebal dan daun
16
melengkung ke arah bawah. Tanaman cabai rawit yang terinfeksi menunjukkan gejala
daun yang melepuh, tulang daun menebal dan daun melengkung ke atas. Gulma yang
terinfeksi Begomovirus menunjukkan gejala yang bervariasi tetapi gejala yang banyak
ditemukan pada gulma adalah penguningan tulang daun (netting) (Sukamto et al.
2005).
2.2.3
Kisaran inang Begomovirus
Begomovirus memiliki kisaran inang yang cukup luas baik pada tanaman
budidaya maupun gulma. Tomat, cabai, tembakau, mentimun, terung, ubi kayu dan
kacang-kacangan adalah inang Begomovirus dari tanaman budidaya. Babadotan (A.
conyzoides) merupakan gulma yang telah dilaporkan sebagai inang Begomovirus di
daerah tropis dan subtropis (Sukamto et al. 2005). Gulma lainnya yang dapat menjadi
inang Begomovirus adalah Sida spp., Macroptilium lathyroides, dan Wissadula
amplissima yang ditemukan di Jamaika.
Malvastrum coromandelianum merupakan gulma yang dapat menjadi inang
Begomovirus di Guangdong, Cina (Wu et al. 2007). Achyranthes aspera, Euphorbia
heterophylla, Nicandra physaloides, Commelina erecta, Amaranthus spinosus,
Erigeron floribundus, A. conyzoides, Bidens pilosa, Sida acuta, Ipomoea batatas,
Amaranthus viridis, Portulaca oleracea, Cassia obtusifolia, Euphorbia hirta,
Calopogonium
mucunoides,
Clotalaria
retusa,
Trianthema
portulacastrum,
Alternanthera sessilis, Celosia trigyna, Commelina diffusa, Chromolaena odorata,
Eclipta prostrata, Synedrella nodiflora, Cassia occidentalis, Spigelia anthelmia,
17
Boerhavia diffusa, Physalis angulata dan Acanthospermum hispidis adalah 28 spesies
gulma yang potensial sebagai sumber tomato yellow leaf curl Begomovirus (TYLCV)
di Tanzania. H. brevipes, P. floridana, C. juncea, A. conyzoides bunga putih dan ungu
adalah gulma yang rentan terhadap Begomovirus isolat Segunung pada pengujian di
rumah kaca (Sulandari et al. 2005). Brown and Nelson (1988) melaporkan terdapat
beberapa spesies tanaman termasuk gulma, famili Solanaceae, Leguminosae,
Malvaceae dan Asclepiadaceae yang merupakan inang TYLCV di Meksiko.
2.2.4
Penularan Begomovirus
Brown and Nelson (1988) melaporkan bahwa penyakit pada tanaman tomat di
Meksiko yang disebabkan oleh Begomovirus tidak dapat ditularkan secara mekanik
dengan cairan perasan, tetapi melalui serangga vektor. Hal ini didukung juga oleh
Hull (2002) yang menyatakan bahwa Begomovirus tidak dapat menular secara
mekanik atau pun melalui benih, hanya dapat menular dengan cara penyambungan
tanaman sakit pada tanaman sehat serta melalui serangga vektor B. tabaci.
Penularan di alam secara alami diketahui hanya melalui vektor B. tabaci
sehingga perannya menjadi sangat penting dalam penyebaran Begomovirus.
Berdasarkan hasil penelitian Rusli et al. (2000), Begomovirus isolat Segunung yang
ditularkan secara mekanik pada tanaman cabai besar dan cabai rawit tidak
menghasilkan gejala sedangkan penularan dengan cara penyambungan menghasilkan
gejala dengan kejadian penyakit sebesar 71,4% pada tanaman cabai besar dan 57,1%
pada cabai rawit. Keefektifan penularan tertinggi diperoleh pada perlakuan penularan
18
melalui serangga vektor yaitu mencapai 70-80%. Hubungan antara B. tabaci dan
Begomovirus berdasarkan lamanya virus bertahan pada vektor bersifat persisten
sirkulatif non propagatif yaitu virus tersebut berada dalam tubuh serangga untuk
kemudian akan ditularkan pada tanaman sehat melalui proses makan (Harrison dan
Robinson 1999).
Efisiensi penularan Begomovirus dengan B. tabaci melalui proses makan
sangat dipengaruhi oleh lamanya masa akuisisi serangga tersebut, selain oleh jumlah
serangga yang menularkan Begomovirus pada tanaman sehat (Rachmawati, 2003).
Periode akuisisi minimum B. tabaci untuk menularkan TYLCV adalah selama 15
menit dan terus meningkat hingga mencapai tingkat maksimum setelah akuisisi
selama 24 jam (Mehta et al.1994). Menurut Aidawati (2006) B. tabaci yang melalui
periode makan akuisisi (PMA) dan periode makan inokulasi (PMI) masing-masing
selama 15 menit mampu menularkan Begomovirus walaupun dengan efisiensi
penularan yang berbeda-beda untuk tiap kombinasi biotipe B. tabaci dan strain
Begomovirus yang berbeda. Pada PMA dan PMI tiga dan enam jam strain
Begomovirus isolat Bogor menghasilkan efisiensi penularan 80 − 100% dengan masa
inkubasi 9 hari.
B. tabaci termasuk ke dalam ordo Hemiptera dengan famili Aleyrodidae
(Henneberry dan Castle 2001). Serangga ini memiliki kisaran inang meliputi berbagai
tanaman budidaya dan gulma, dapat berkembang dengan baik di daerah tropis dan
subtropis (Kalshoven, 1981). Menurut Henneberry dan Castle (2001) ada 500 jenis
tanaman yang dapat menjadi inang B. tabaci dengan preferensi yang berbeda. Salah
19
satu faktor yang mempengaruhinya adalah permukaan daun, serangga tersebut
umumnya memiliki preferensi yang tinggi pada permukaan daun yang berambut
(hirsute) dibandingkan dengan daun yang permukaannya tidak berambut (glabrous).
Basu (1995) melaporkan ada 540 spesies dari 77 famili tanaman yang dapat menjadi
inang B. tabaci. Menurut Bezerra et al. (2004) gulma Acanthospernum hispidum
paling banyak terinfestasi B. tabaci pada lahan tomat di daerah Brazil dibandingkan
dengan Amaranthus reflexus, Datura stramonium dan Euphorbia heterophylla.
2.3
Metode Identifikasi Begomovirus
Metode serologi merupakan cara yang paling sering digunakan untuk
mendeteksi virus tumbuhan, baik menggunakan antibodi poliklonal maupun antibodi
monoklonal. Kekurangan pada metode serologi untuk mendeteksi kelompok
Begomovirus. Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan titer virus yang cukup untuk
digunakan dalam deteksi serologi. Sifat fisik dan kimia partikel Begomovirus sulit
dimurnikan dalam bentuk stabil, sifat imunogenik dari virion yang lemah, dan protein
selubung terutama untuk virus-virus yang ditularkan B. tabaci tidak dapat dibedakan
melalui antiserum poliklonal maupun monoklonal (Robert et al. 1984).
Pendekatan secara molekuler telah banyak dilakukan untuk menentukan
infeksi Begomovirus yang terjadi di lapang dan mengidentifikasi Begomovirus secara
umum. Penggunaan polymerase chain reaction (PCR) merupakan teknik yang sangat
sensitif dan spesifik untuk deteksi dan identifikasi patogen tanaman. Metode ini dapat
digunakan untuk menunjukkan dengan tepat komposisi populasi patogen dan
20
keragaman genetik virus. PCR dan degenerate oligonucleotide primer telah
digunakan untuk deteksi dan identifikasi genus Begomovirus (Farag et al. 2005).
Polymerase chain reaction (PCR) merupakan reaksi invitro untuk
menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis
molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target dengan bantuan
enzim dan oligonukleotida sebagai primer, serta dilakukan di dalam thermocycler.
Panjang target DNA berkisar antara puluhan sampai ribuan nukleotida yang posisinya
diapit sepasang primer. Primer yang berada sebelum target disebut primer forward
dan primer yang berada setelah target disebut primer reverse. Enzim sebagai pencetak
rangkaian molekul DNA baru disebut sebagai enzim polymerase. Untuk mencetak
rangkaian tersebut dalam teknik PCR, diperlukan juga dNTPs yang mencakup dATP
(nukleotida berbasa Adenine), dCTP (nukleotida berbasa Cytosine), dGTP (nukleotida
berbasa Guanin) dan dTTP (nukleotida berbasa Thymine) (Muladno, 2002). PCR
merupakan suatu metode yang menggunakan komponenā€komponen replikasi DNA
untuk mereplikasi suatu fragmen DNA yang spesifik di dalam tabung reaksi.
PCR dikembangkan untuk mempercepat isolasi DNA spesifik tanpa membuat
dan melakukan pustaka genom. Dua primer oligonukleotida pendek digunakan untuk
mengapit daerah DNA yang akan diamplifikasi. Primer menguatkan dan mencangkok
target sekuen, satu dari setiap rantai DNA. Primer menentukan fragmen yang akan
diamplifikasi dan DNA polymerase mereplikasi DNA dengan memanfaatkan empat
deoksiribonukelotida (dGTP, dATP, dCTP, dTTP) yang disediakan di dalam tabung
21
reaksi (Nurulita, 2011). Pada sebuah siklus amplifikasi, DNA didenaturasi pada
temperatur tinggi, annealing primer dilakukan dengan menurunkan temperatur dan
DNA polymerase memperpanjang DNA dari primer.
Pengulangan siklus denaturasi, annealing primer, dan sintesis DNA
menghasilkan DNA melalui amplifikasi secara eksponensial. Sekitar 25 sampai 40
siklus pada umumnya digunakan di dalam thermalcycler, yaitu sebuah alat yang
secara otomatis mengontrol temperatur dan waktu. Suatu DNA polymerase khusus
yaitu Taq polymerase stabil pada suhu tinggi, yang diisolasi dari suatu bakteri
thermofilik, Thermus aquaticus, yang hidup di sumber air panas. Produk hasil PCR
dianalisis menggunakan elektroforesis gel (Barnum, 2005).
Identifikasi secara tepat spesies yang menginfeksi tanaman sangat penting
untuk tindakan yang akan diterapkan dalam hal mengendalikan penyakit tersebut.
Analisis perunutan nukleotida dan asam amino saat ini memiliki peranan yang tidak
kalah penting didalam melakukan deteksi dan karakterisasi virus. Berdasarkan hasil
analisis perunutan nukleotida dan asam amino dapat diketahui tingkat kesamaan
nukleotida dan dapat menentukan kelompok suatu virus maupun strain-strain dari
virus yang sama (Shukla et al. 1994). Analisis tersebut digunakan sebagai pelengkap
proses identifikasi dan karakterisasi virus. Tujuan paling penting DNA sequencing
adalah mencari pattern yang diketahui di dalam sekuen. Pattern ini bisa terlibat di
fungsi biologis yaitu mengkode protein dan RNA serta mengontrol eskpresi gen dan
replikasi DNA.
22
2.4
Analisis Filogenetika
Filogenetika adalah bidang ilmu yang berkaitan dengan biologi yang
menyediakan fasilitas dalam bidang genetika, ekologi, dan evolusi biologi.
Filogenetik merupakan cara melihat sejarah evolusi populasi, alat untuk memahami
proses biologis, menggambarkan hipotesis hubungan antar taksa (genus, spesies,
individu) yang diilustrasikan sebagai pohon.
Dharmayanti (2011) menyatakan, pohon filogenetik adalah diagram berbentuk
pohon berakar atau tanpa akar yang terdiri atas cabang luar atau daun (berarti taksa
(jamak, takson untuk tunggal), titik-titik dan cabang mewakili hubungan di antara
taksa. Pohon filogenetik merupakan grafik dua dimensi yang menunjukkan hubungan
antar organisme berdasarkan data genetik dan lainnya yang dihasilkan melalui
analisis filogenetika.
Proses evolusi melibatkan mutasi genetik dan proses rekombinan dalam
spesies untuk membentuk spesies yang baru. Sejarah evolusi organisme dapat
diidentifikasi dari perubahan karakternya. Karakter yang sama adalah dasar untuk
menganalisis hubungan satu spesies dengan spesies lainnya. Pohon filogenetik adalah
pendekatan logis untuk menunjukkan hubungan evolusi antara organisme
(Dharmayanti, 2011). Filogenetika diartikan sebagai model untuk merepresentasikan
sekitar hubungan nenek moyang organisme, sekuen molekul atau keduanya
(Brinkman and Leipe, 2001). Salah satu tujuan dari penyusunan filogenetika adalah
untuk mengkonstruksi dengan tepat hubungan antara organisme dan mengestimasi
perbedaan yang terjadi dari satu nenek moyang kepada keturunannya (LI et al. 1999).
23
Menurut Hidayat dan Pancoro (2006), terdapat tiga tahap yang dilakukan
dalam melakukan proses analisis filogenetika molekuler, yaitu sequence alignment,
rekonstruksi pohon filogenetika, dan evaluasi pohon filogenetika dengan uji statistik.
2.4.1 Sequence alignment
Tahap ini merupakan tahap pennetuan tingkat homolog dari satu sekuen DNA
atau protein dengan pembanding lainnya yang ada pada Gen Bank. Tahap ini
melibatkan dua sekuen yang homolog disebut pairwise alignment, sedangkan yang
melibatkan banyak sekuen yang homolog disebut multiple alignment. Keberhasilan
analisis filogenetika sangat tergantung kepada akurasi proses alignment. Pada tahap
alignment sering ditemukan adanya gap, yang ditandai oleh garis putus-putus. Gap
terjadi karena adanya insersi dan atau delesi. Dalam prakteknya, gap bisa dianggap
sebagai data yang hilang, walaupun dalam banyak kasus gap dapat dilibatkan dalam
analisis karena bisa bersifat informative (Dharmayanti, 2011).
.
2.4.2
Rekonstruksi pohon filogenetika
Membangun sebuah pohon filogenetika berdasarkan karakter (menggunakan
urutan nukleotida atau asam amino secara langsung dalam rekonstruksi pohon), dapat
menggunakan empat metode yaitu Distance method (DM), Maximum Likelihood
(ML), Bayessian Inference (BI), MP (Maximum parsimony).
24
2.4.2.1 Distance method
Metode jarak pertama kali ditemukan oleh Feng dan Doolitle; pengelompokan
program oleh penulis tersebut menghasilkan sebuah penjejeran dan pohon dari set
sekuen protein (Feng and Doolitle, 1996). Program CLUSTALW, digunakan untuk
neighborjoining distance method sebagai panduan untuk multiple sequence
alignment. Program PAUP versi 4 merupakan pilihan untuk membentuk sebuah
analisis filogenetika dengan distance method. Program PHYLIP package yang
membentuk analisis distance termasuk program yang secara otomatis dibaca dalam
sekuen dalam PHYLIP infile format dan secara otomatis menghasilkan file yang
disebut dengan tabel distance. Metode jarak bekerja pada jumlah perubahan diantara
masing-masing pasangan dalam kelompok untuk mengkonstruksi pohon filogenetika
dalam kelompok.
Pasangan sekuen yang mempunyai jumlah perubahan terkecil diantara
mereka disebut neighbors. Pada pohon, sekuen-sekuen ini menggunakan secara
bersama-sama satu titik atau posisi common ancestor dan masing-masing
dihubungkan titik oleh sebuah cabang. Tujuan dari metode jarak adalah metode untuk
mengidentifikasi pohon pada posisi neighbors dengan benar, dan juga mempunyai
cabang yang menghasilkan data orisinil sedekat mungkin. Penemuan neighbors
terdekat diantara kelompok sekuen dengan metode jarak biasanya langkah pertama
dalam memproduksi sebuah multiple sequence alignment.
25
2.4.2.2 Maximum likelihood dan bayessian inference
Metode maximum likehood menampilkan kesempatan penambahan untuk
mengevaluasi pohon dengan variasi dalam rata-rata mutasi dalam lineage yang
berbeda. Metode ini dapat digunakan untuk mengekplorasi hubungan antara sekuen
yang lebih beragam, dimana kondisi ini tidak dapat dilakukan dengan baik jika
menggunakan metode maximum persimony (LI et al. 1999; Dharmayanti, 2011).
Kekurangan metode maximum likehood adalah membutuhkan pekerjaan komputer
yang sangat intensif. Jika menggunakan komputer yang lebih cepat, metode maximum
likehood dapat digunakan untuk model evolusi yang lebih komplek. Metode ini juga
dapat digunakan untuk menganalisa mutasi pada overlapping reading frame pada
virus
(SCHADT et al. 1998).
Metode ini mirip dengan metode maximum
parsimony dalam analisis yang dibentuk pada masing-masing kolom dalam multiple
sequence alignment. Semua kemungkinan pohon yang terbentuk dipertimbangkan,
sehingga metode ini hanya cocok untuk sekuen dalam jumlah kecil. Metode ini
mempertimbangkan untuk masing-masing pohon, jumlah perubahan sekuen atau
mutasi yang terjadi yang memberikan variasi sekuen maximum likehood.
Untuk Bayessian Inference
merupakan metode yang mengartikan bahwa
perubahan-perubahan diantara semua basa nukleotida adalah sebanding. Masalah
serius dari metode ini adalah waktu perhitungan yang lama, walaupun telah
dikembangkan algoritma baru yang dianggap dapat mempercepat proses perhitungan
(Hidayat dan Pancoro, 2006). Pada dasarnya metode ini adalah sama dengan
26
likelihood methode, hanya berbeda dalam penghitungan distribusi prior untuk
membangun pohon filogenetika. Salah satu metode untuk menghitung distribusi prior
adalah metode MCMC (Markov chain Monte Carlo).
2.4.2.3 Maximum parsimony
Parsimony atau metode minimum evolution pertama kali digunakan dalam
filogenetik oleh Camin and Sokal pada tahun 1965 (Felsenstein, 1978). Metode ini
memprediksikan pohon evolusi/ evolutionary tree yang meminimalkan jumlah
langkah yang dibutuhkan untuk menghasilkan variasi yang diamati dalam sekuen.
Untuk alasan ini, metode ini juga sering disebut sebagai metode evolusi
minimum/minimum evolution method (Dharmayanti, 2011). Sebuah multiple
sequence alignment dibutuhkan untuk memprediksi posisi sekuen yang sepertinya
berhubungan. Posisi ini akan menampilkan kolom vertikal dalam multiple sequence
alignment. Untuk masing-masing posisi yang disejajarkan, pohon filogenetika
membutuhkan perubahan evolusi dalam jumlah terkecil untuk menghasilkan
pengamatan perubahan sekuen yang diidentifikasi (Mount, 2001 ). Analisis ini terus
menerus dilakukan terhadap masing-masing posisi dalam penjejeran sekuen.
Akhirnya, pohon yang menghasilkan jumlah perubahan terkecil secara keseluruhan
dihasilkan untuk semua posisi sekuen yang diidentifikasi (Dharmayanti, 2011).
Dari keempat metode di atas, PM sangat sering dipilih, antara lain karena
pohon yang dibentuk lebih menggambarkan perubahan evolusioner yang terjadi
setiap waktu, mengandung asumsi bahwa proses evolusi akan menempuh jalan yang
27
paling singkat (parsimonious), dan perhitungan relatif lebih sederhana dan cepat
dengan tingkat realibilitas yang tinggi.
2.4.3
Evaluasi pohon filogenetika
Menurut Hidayat dan Pancoro (2006), evaluasi pohon filogeni ini bertujuan
untuk memastikan tingkat kepercayaan dari pohon tersebut. Proses ini dilakukan
dengan menerapak beberapa metode yaitu interior branch test (IB) dan Felsentein’s
bootstrap test (FB). Secara umum prinsip kerja dari metode evaluasi IB adalah
estimasi pohon dengan menguji reliabilitas setiap cabang sebelah dalam (interior
branch).
Felsentein’s bootstrap test (FB), menguji tingkat reliabilitas dengan
menggunakan metode Efron’s bootstrap. Evaluasi pohon dilakukan menggunakan
analisis bootsrap sebanyak 1.000 ulangan, dimana sebuah set dari site basa
nukleotida diambil secara acak dan dilakukan secara berulang, kemudian dilakukan
konsensus, sehingga hanya satu pohon filogenetika yang dihasilkan. Pada dasarnya
pola perubahan basa nukleotida sangat rumit dan sering berubah sejalan dengan
waktu evolusi, sehingga metode FB sangat baik digunakan dalam mengevaluasi
pohon filogenetika (Hidayat dan Pancoro, 2006).
Download