Pengakuan dan Perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat (Kontribusi pemikiran untuk Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat) Ilhamdi Taufik1 Pendahuluan. Perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 18 Agustus 2000 telah membawa dampak bagi susunan pemerintahan daerah di Indonesia. Perubahan itu menyentuh isi pasal 18 UUD 1945 yang semula hanya terdiri dari satu pasal tunggal dengan judul Pemerintahan Daerah dalam Bab VI, menjadi tiga Pasal terdiri dari Pasal 18, 18A, dan 18B dan jabaran ketiga Pasal itu memuat 11 ayat. Amanat Pasal 18 UUD 1945 sebelum mengalami perubahan menyinggung dan memberikan isyarat adanya “hakhak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”2. Penjelasan Pasal 18 angka II alinia terakhir, diberikan pula keterangan: “Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Konstruksi pemikiran kita berkenaan dengan kalimat hak-hak asal usul daerah, tentulah menyangkut juga persoalan hukum yang berlaku di daerah, dan sangat relevan dengan hukum setempat (adat) yang tersebar di wilayah Negara kita nusantara. Hukum adat itu hidup dan diberlakukan di kelompok masyarakat bangsa kita di berbagai daerah, yang saat ini tengah menghadapi berbagai masalah dan tantangan. Pada bulan Maret tahun 1999, ratusan orang yang mengindentifikasi diri sebagai “masyarakat adat” dari berbagai penjuru nusantara berkumpul di Jakarta untuk menghadiri Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang pertama. Para peserta konggres ini kemudian bersepakat membentuk Aliansi Masyarakat Adat Indonesia (AMAN) sebagai wadah perjuangan mereka untuk mempertahankan dan memperkuat hak-haknya atas identitas, kepercayaan, tradisi dan wilayah kehidupan.3 Adat adalah merupakan 1 . Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, makalah disajikan pada acara Focus Group Discussion dengan Perkumpulan Qbar kerjasama dengan Epistema Institute 15 Maret 2013 di Grand Zuri Hotel Padang, versi pertama makalah disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Badan Legislasi DPR-RI 30 Januari 2013 di Jakarta. 2 . Lihat Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebelum perubahan. 3 . Yance Arizona, Antara teks dan konteks, Dinamika pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia, Seri Hukum Keadilan Sosial, HuMa 2010 hlm 1. 1 pencerminan dari pada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka tiaptiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan lainnya tidak sama.4 Apakah itu hukum adat, berikut dikemukakan beberapa devenisi tentang hukum adat : Pertama : Pasal 75 RR (regeringreglement), menurut Pasal 75 RR, hukum adat adalah peraturan-peraturan hukum yang berhubungan dengan agama-agama dan kebiasaan mereka. Kedua, Snouck Hurgronje yang pertama sekali memakai istilah hukum adat dalam bukunya Adatrechbundel I (1893: 22-24), sebagaimana dikutip van Dijk/Soehardi (1964:66-67). Snouck Hurgronje menyatakan bahwa kata adat berasal dari bahasa Arab yang lazim dipergunakan di Indonesia, adat sebagai hukum rakyat yang tak dikodifikasikan. Pada awalnya hukum adat diartikan sebagai kebiasaan, yaitu semua tingkah laku orang Indonesia Ter Haar dalam bukunya Beginselen en Stelsel van het Adatrecht (1950) menggunakan istilah adatrecht. Hukum adat itu lahir dari dan terpelihara oleh keputusan-putusan, keputusan para warga masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan hukum Kemudian, Arthur Schilleer dan Adamson Hoebel yang menterjemahkan mahakarya Ter Haar tersebut ke dalam bahasa Inggris memakai istilah adat law. Ketiga, van Vollenhoven hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturanperaturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.5 Kehadiran hukum adat tidak memikirkan dan mempertimbangkan apakah ia akan diakui atau tidak oleh kekuasaan Negara, melainkan karena ia harus muncul. Kata-kata “harus muncul” menunjukkan otensitas hukum adat. Pada dasarnya ia muncul dari dalam kandungan masyarakat sendiri secara otonom dan oleh karena itu disebut otentik. Dengan meminjam istilah Hart, maka hukum adat lebih dekat kepada orde “primary rules of obligation” dari pada hukum Negara yang dibuat dengan sengaja (pureposeful) dan oleh karena itu lebih dekat kepada orde “secondary rules of obligation”6 4 . Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan asas-Asas Hukum Adat, Penerbit PT Gunung Agung, Jakarta Cet keenam 1983 hlm 13. 5 . Lihat dan bandingkan juga dengan, Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Pustaka Justisia Cet Pertama 2002 hlm 3 6 . Satjipto Raharjo, Hukum Adat dakam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Persfektif Sosiologi Hukum) dalam, Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Publikasi kerjasama, Komisi Nasional Hak Asasi Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Departemen Dalam Negeri Desember 2005 hlm 45. 2 Sedangkan masyarakat hukum adat didefenisikan oleh Ter Haar dan Hazairin adalah : geordende groepen van blijvend karakter met eigen meteriel en immatierieel vermogen (kelompok-kelompok teratur yang sifatnya ajeg dengan pemerintahan sendiri yang memiliki benda-benda materil dan immaterial). Hazairin menguraikan konsep masyarakat hukum adat sebagai berikut : masyarakat-masyarakat hukum adat seperti di desa Djawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, wanua di Sulawesi Selatan adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan berdasarkan hak bersama bersama atas tanah dan air bagi semua orang.7 Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa : masyarakat hukum adat tidak sama dengan kesatuan masyarakat hukum adat, hal itu perlu diperjelas, kelompok yang manakah atau yang bagaimanakah yang dapat disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat mana yang bukan. Masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup dalam lingkungan dalam pergaulan bersama sebagai suatu community atau society. Sedangkan kesatuan masyarakat menunjuk kepada pengertian masyarakat organik yang tersusun dalam kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling mengikatkan diri untuk kepentingan tujuan bersama. Dengan kata lain, kesatuan masyarakat hukum adat sebagai unit organisasi masyarakat hukum adat itu haruslah dibedakan dari masyarakat hukum adatnya sendiri sebagai isi dari kesatuan organisasinya itu. Beliau memberikan contoh bahwa nagari di Sumatera Barat adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang dimaksud. Dengan kata lain sebagai suatu kesatuan organik, masyarakat hukum adat itu dapat dinisbatkan dengan kesatuan organisasi masyarakat yang berpemerintahan hukum adat setempat.8 Republik Indonesia yang merupakan negara kesatuan, terdiri dari 1.128 suku bangsa (data BPS) dan bahasa, ragam agama dan budaya di sekitar 17.508 pulau (citra satelit terakhir menunjukkan 18.108 pulau) yang membentang dari 6*08’ LU hingga 11*15’ LS dan dari 94*45’ BT hingga 141*05’ BT (Latif 2011:251 United Nations Enviromental, UNEP 2003).9 Menurut Ethnologue website International yang dirintis oleh Summer Institute of Linguistics International (SIL, International) ada 737 macam bahasa10, sudah barang tentu terdiri dari unit-unit kecil kesatuan pemerintahan yang ada dibawahnya, desa, nagari dan sebagainya sesuai nama khas daerah masing-masing. Di pihak lain kita 7 . Membangun masa depan Minangkabau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Komisi Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Sekretariat Jenderal Masyarakat Hukum Adat hlm 105. 8 . Jimly Asshiddiqie, Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Bahan Keynote Speaker Lokakarya Nasional Perlindungan Hak Konstitsional Masyarakat Hukum Adat, Jakarta 10 Desember 2007 9 . Sekretriat Jenderal MPR, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara 2012 hlm 1 10 . Komisi Hukum Nasional, Desain Hukum Vol 12 Nomor 05. Tahun 2012 hlm 6. 3 sama mengetahui sejak dahulu, bahwa nusantara kita ini terdiri dari keragaman agama, suku, budaya, dan adat istiadat bahkan dinukilkan dengan asas/semboyan Bhineka Tunggal Ika. Menurut M Jaspan, berdasarkan kriteria bahasa, daerah, kebudayaan, dan susunan masyarakat telah ditemukan 49 suku di Sumatera, 7 di Jawa, 73 di Kalimantan, 117 di Sulawesi, 30 di Nusatenggara, 41 di Ambon Maluku, dan 49 di Irian Jaya.11 Dengan deskripsi seperti itu, maka secara demografi sungguh sangat sukar untuk menafikan keberadaan hukum adat dan masyarakat hukum adat. Masyarakat Hukum Adat dan Konstitusi. Pengakuan konstitusi kita terhadap keberadaan kelompok masyarakat yang memakai hukum adat dalam kehidupannya merupakan sesuatu yang baru, karena selama kurun waktu lebih setengah abad, minimal masa diberlakukan UUD 1945 periode pertama (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949) pasca kemerdekaan dan kedua sebelum perubahan kedua konstitusi (5 Juli 1959 s/d 18 Agustus 2000) hampir dilupakan. Keberadaan masyarakat hukum adat dan hukum adat sendiri belum mendapat tempat yang semestinya, karena alam pemikiran kita dimonopoli dengan pendekatan hukum positivis dan legalistik. Jika dibandingkan dengan hasil perubahan Pasal 18B ayat (2), maka kelihatan ketegasan soal adanya pengakuan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang-undang. Memang selama ini soal masyarakat hukum adat tersebut sudah dimuat juga dalam berbagai ketentuan, seperti UU Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, tetapi masih sebatas undang-undang dan belum dimuat kedalam konstitusi. Sekarang sudah berlalu kurang lebih 12 (dua belas) tahun diberlakukannya Pasal 18B UUD 1945 tersebut tanpa ada kriteria dan ukuran yang lebih yang harus dijabarkan, apa yang dimaksud dengan frasa “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat masyarakat, adan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia “. Prof Jimly Asshiddiqie12 menyatakan : Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA) pada hekekatnya lebih dari sekedar kesatuan masyarakat adat yang hanya bersifat tradisional. KMHA adalah kesatuan masyarakat hukum yang di dalamnya terkandung hak hukum 11 . Dikutip dari Takdir Rahmadi, Peranan Fakultas Hukum Universitas Andalas dalam pemeliharaan Identitas Kultural dan Pendinamisasian Kemajuan Masyarakat Hukum Adat Minangkabau dan suku bangsa Minangkabau Dalam Bingkai Kehidupan Berbangsa dan Bernegara hlm 104. 12 . Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sinar Grafika Cet pertama 2009 hlm 62. 4 dan kewajiban hukum masyarakat itu dengan lingkungan sekitarnya dan juga dengan Negara. Lebih lanjut ia mengatakan pula : Perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara (i) kepada eksistensi pada suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimilikinya; (ii) Eksisitensi yang diakui adalah eksistensi kesatuankesatuan masyarakat hukum adat. Artinya, pengakuan diberikan kepada satu per satu dari kesatuan-kesatuan tersebut, dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu; (iii) masyarakat hukum adat itu memang hidup (masih hidup); (iv) dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula; (v) pengakuan dan perhormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban bangsa. Misalnya, tradisi-tradisi tertentu yang memang layak lagi dipertahankan seperti “koteka” tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan sentimentil untuk menghormati tradisi kebudayaan mesyarakat hukum adat yang bersangkutan; (vi) pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai satu Negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.13 Berkaitan juga dengan uraian diatas A. Mukhtie Fajar menyatakan : Dari ketentuan konstitusi tidaklah jelas istilah “kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat” (KMHA) yang dipakai dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mempunyai makna yang sama dengan istilah “masyarakat tradisional” yang dipakai dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, yang jelas dapat didefenisikan bahwa : pertama, bahwa KMHA bernuansa pemerintahan, karena diletakkan di bawah Bab VI Pemerintahan Daerah, sedangkan “masyarakat tradisional” lebih bernuansa kultural/budaya dan terkait dengan hak asasi manusia (HAM), karena diletakkan dibawah Bab XA Hak Asasi Manusia; kedua, bahwa untuk KMHA Negara memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisionalnya, sedangkan untuk masyarakat tradisonalnya Negara hanya memberikan penghormatan. ketiga, kedua pasal konstitusi tersebut memberikan persyaratan tertentu, yaitu untuk KMHA (1) sepanjang masih hidup; (II) sesuai dengan perkembangan masyarakat; (III) sesuai dengan prinsip NKRI; dan (IV) diatur dalam undangundang. Sedangkan untuk mesyarakat tradisional, identitas budaya dan haknya baru dihormati apabila selaras dengan perkembanga zaman dan peradaban.14 13 . Jimly Asshiddiqie, Konsilidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia 2002 hlm 24 14 . A. Mukhtie Fajar, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Pemenuhan Hak Konsstitusionalnya, makalah disampaikan sebagai Keynote Speech untuk “Sarasehan Nasional Pemberdayaan Masyarakat 5 Baik Jimly Asshiddiqie maupun A. Mukhti Fajar telah berusaha memberikan penjelasan lebih lanjut dan mengeksplor ketentuan dalam konstitusi, tetapi itu bukanlah sesuatu yang bersifat mapan dan standar, mengingat pendapat tersebut akan dapat berubah dan bertambah lagi oleh para ahli lain atau bagaimana rumusan dari aturan organik nantinya sebagai penjabaran dari ketentuan yang ada dalam konstitusi. Bahkan rumusan dan pendapat itu lebih lanjut akan dapat diuji dalam memeriksa suatu kasus berkaitan dengan kedudukan hukum dan ciri masyarakat hukum adat itu di Mahkamah Konstitusi (MK). RUU Pengakuan Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Naskah yang diterima dari Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR) berjudul Rancangan Undang-Undang Pengakuan Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, terdiri dari IX Bab dan 36 (tiga puluh enam) Pasal. Sebagaimana diketahui RUU tentang dan sekitar masyarakat hukum adat sudah sering diagendakan untuk dilahirkan menjadi undang-undang. Secara universal dalam khasanah aturan tentang masyarakat hukum adat, kita ketinggalan, mengingat sudah ada Konvensi ILO Nomor 169 Tahun 1989 tentang Indigenous and Tribal Peoples dan The Declaration on Right of Indigenous Peoples yang dideklarasikan PBB 13 September 2007. M, Habib Chirzin menulis dalam makalahnya : Ketika diterimanya deklarasi Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat, disambut gembira oleh segenap masyarakat hukum adat dan para pembela HAM di dunia. Sebagaimana disampaikan oleh Ketua The International Indigenous Peoples Caucus, Les Malezer, di Majelis Umum PBB (General Assembly) yang menyambut dengan gembira adopsi Deklarasi tersebut, dengan statementnya : The Declaration does not represent solely the viewpoint of the United Nations, nor does it represent solely the viewpoint of the Indigenous Peoples. It is Declaration which combines our views and interests and which sets the framework for the future. It is a tool for peace and justice, based upon mutual recognition and mutual respect. 15 Lebih lanjut dikatakannya, bagi Indonesia yang memiliki adat yang dengan kebhinekaannya dari Aceh sampai Papua, sudah saatnya untuk melakukan penyelarasan seluruh mekanisme nasional perlindungan dan penghormatan hak masyarakat hukum adat dengan kedua deklarasi itu. Hukum Adat Melalui Pemenuhan Hak-Hak Konstitusionalnya” tanggal 13 Desember 2008 di Hotel Sheraton Media Jakarta. 15 . M. Habib Chirzin, Perlindungan dan Penghormatan Hak Masyarakat Hukum Adat Di Inonesia : Menuju Bangsa Yang Adil, Sejahtera dan Bermartabat, makalah disampaikan pada Sarasehan Nasional Pemerdayaan Masyarakat Hukum Adat Melalui Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional 10 Desember 2008 di Hotel Sheraton Media Jakarta. 6 Berbekal dua instrumen internasional yang bersifat universal tersebut menurut hemat kami, mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri dalam melahirkan produk hukum tentang masyarakat hukum adat. Pemerintah dan DPR sebanyak mungkin harus mengabsorbsi kandungan yang terdapat dalam kedua naskah, agar terhindar dari cemoohan masyarakat dunia. Selain itu, tentu saja isi/materinya jangan sampai bertentangan dengan konstitusi, sehingga dapat dianulir lagi oleh MK. Setelah dibaca naskah yang tersedia berkenaan dengan RUU, terdapat beberapa masalah yang dapat dikomentari, yakni : 1. Judul RUU. Sebaiknya judul RUU tetap dengan nama pokok : RUU tentang Masyarakat Hukum Adat. Karena dengan judul sekarang : Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, terkesan pengaturan yang bersifat cabangan, atau bahagian dari sesuatu yang sebenarnya harus diatur dalam judul UU Masyarakat Hukum Adat. Dengan kata lain soal pengakuan dan perlindungan merupakan bagian dari satu Bab pembahasan. Dimuatnya soal Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Bab II Pasal 4 merupakan penempatan yang sudah tepat dan proposional. Dalam Pasal 1 tentang Ketentuan Umum dan pasal-pasal RUU banyak dipakai istilah masyarakat hukum adat, dengan demikian dominasi istilah dalam RUU sebaiknya diangkat menjadi judul RUU sehingga terdapat konsistensi judul dengan isi. Jika RUU berjudul Masyarakat Hukum Adat, maka berbagai soal, tentang dan sekitar masyarakat hukum adat akan dapat ditampung secara komprehensif, baik dalam waktu dekat maupun jika ada perubahan pada masa datang. 2. Defenisi masyarakat hukum adat. Dalam berbagai kesempatan pertemuan soal masyarakat hukum adat, persoalan defenisi termasuk hal yang menonjol untuk dibahas. Beberapa pendapat tidak mempermasalahkan dengan dua istilah apakah akan memakai “masyarakat adat atau masyarakat hukum adat”. Di Indonesia sendiri terdapat berbagai istilah yang merujuk pada kategori “masyarakat adat”. Istilah yang dipakai bermula dari istilah bumi putera, masyarakat asli, masyarakat adat, masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat suku terasing, komunitas adat terpencil, dan masyarakat tradisional. Berbagai istilah yang berkonsekwensi pada perbedaan unsur keberadaan masyarakat adat menunjukkan belum adanya suatu kesepahaman tentang defenisi masyarakat adat Indonesia.16 Enny Soeprapto mengatakan : sejarah timbulnya masyarakat adat tidak terlepas dari masa lalu, 16 . Yance Arizona, loc op cit hlm3. 7 ketika para migran Eropah datang ke benua Amerika, mereka berangsur-angsur mendesak rakyat sebelumnya sudah ada dan hidup secara turun temurun di negeri-negeri yang bersangkutan. Kelompok orang tersebut itulah yang oleh komunitas internasional lazim disebut sebagai “indigenous peoples”, (rakyat indigenos), “tribal peoples” (rakyat persekutuan), “aboriginals” (rakyat asli), “natives” (penduduk asli), “first peoples” (rakyat mula-mula), atau “autochtons” (rakyat pribumi). Menurut catatan PBB terdapat sekurang-kurangnya 5000 kelompok orang demikian dengan jumlah sekitar 300 juta dan tersebar di sekitar 70 negara di lima benua.17 Di dunia akademik sekalipun ada kegalauan dalam mempergunakan istilah-istilah yang maknanya saling bertumpang tindih tapi mempunyai konotasi yang berbeda-beda. Kegalauan ini kebetulan juga berjumpa dengan kita membicarakan mangenai masalahmasalah yang ada kaitannya dengan masyarakat hukum adat yang diakui keberadaannya oleh UUD 1945.18 Menurut hemat kami semua persoalan defenisi akan dapat diselesaikan dengan memuat unsur yang menonjol dari isi defenisi, unsur apakah yang harus dimuat dalam defenisi dari masyarakat hukum adat itu ? Saafroedin Bahar19 menulis dalam makalahnya, bahwa soal merumuskan defenisi lebih dipengaruhi kepentingan politik, bukan soal defenisi itu sendiri. Tetapi kaitan dan implikasinya defenisi itu sendiri dengan bidang-bidang lainnya yang jauh lebih penting, khususnya dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat itu sebagai bagian menyeluruh dari pihak komunalnya. Suatu indikasi kontemporer dari adanya keterkaitan defenisi tersebut dengan bidangbidang lainnya tercermin dalam draft Aide Memoire African Group United Nations Declaration on the Right of the Indigenous People, 9 November 2006, New York. Yang mempersoalkan lima hal yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. the definition of indigenous peoples; Self determination ownership of land and recources; establishment of distinct political and economis institution; and national and territorial integrity. 17 . Enny Soeprapto, Naskah Akademis 31 Oktober 2008 Menuju Pengesahan Convention (N0. 169) Concerning Indogenous And Tribal Peoples In Independent Countries, 1989 hlm 2 18 . Mochtar Naim, Identikkah Masyarakat Hukum Adat dengan Indigenous People ? Makalah disampaikan pada Sarasehan Nasional Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Melalui Pemenuhan HakHak Konstitusionalnya, Hotel Sheraton Media Jakarta 13-14 Desember 2007 19 . Saafroedin Bahar, Mengapa demikian sulit mencapai kesepakatan tentang defenisi Masyarakat Hukum Adat ? makalah disampaikan pada Diskusi Akademik : “Mendefenisikan Masyarakat Hukum Adat” diselenggarakan Laboratorium Konstitusi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara tanggal 12 Juli 2008 di Hotel Madani Medan. 8 Saafroedin Bahar menambahkan informasi yang berguna bahwa : Pada tanggal 2 Agustus 2007 satu bulan sebelum pengesahannya Deklarasi PBB Tentang Hak Masyarakat Hukum Adat ini, Ketua U.N Permanent Forum on Indigenous People Issues, Ms Victoria Tauli-Corpuz masih mencatat sembilan key areas of concern, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. self determination, self government and indigenous institutions; land, territories, and resources; redress and restitutions; free, prior, and informed consebtm or a veto power; lack of clarity as to who are “indigenous peoples”; military defence issues; protection for the rights of others; education; Dengan kata lain, yang menjadi pokok masalah adalah eksistensi, hak tradisional dan posisi ketatanegaraan masyarakat hukum adat. Dalam kertas posisi Hak Masyarakat Hukum Adat yang diterbitkan bertepatan untuk memperingati hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia 9 Agustus 2006, disebutkan pengertian masyarakat hukum adat adalah : “suatu komunitas antropologis yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan histories dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal dari satu nenek moyang yang sama, dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun sejarah selanjutnya, serta tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada.20 Menyimak defenisi yang dimuat dalam RUU tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 angka 1 berbunyi : Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Rumusan itu terasa sangat sumir, ada beberapa unsur penting yang tidak terkandung di dalam defenisi, antara lain soal, kepemilikan atas sumber daya (ownership of land resources, lands, territories, and resources) atau soal menentukan nasib/pemerintahan sendiri (self determination, self government and indigenous institutions). 20 . Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Himpounan dokumen Sekitar Acara Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia 9 Agustus 2006, Komisi Hak Asasi Manusia 2007 hlm 9. 9 3. Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 2 dan 3 serta Bab II Pasal 4 memuat soal pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, Negara menjadi institusi penentu soal eksistensi masyarakat hukum adat, namun Negara dimaksud menjadi termanifestasi kepada kekuasaan pemerintah sebagaimana dimuat dalam Bab II Pasal 4 yang menyatakan : Pengaturan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Hal tersebut sangat bertentangan dengan asas keberadaan masyarakat hukum adat sendiri yang sejak dahulu tidak memerlukan pengakuan dari pihak luar dalam hal ini pihak pemerintah. Empat kriteria diakuinya masyarakat hukum adat yang diatur dalam konstitusi yakni : (i) sepanjang masih hidup21, (ii) sesuai perkembangan masyarakat, (iii) sesuai atau tidak bertentangan dengan prinsip NKRI, dan, (iv) sesuai dengan apa yang diatur dalam undang-undang. Soetandiyo Wignjo soebroto mengatakan : Keempat syarat itu sudah jelas merupakan tolok yuridis yang harus diperhatikan oleh pemerintah tatkala akan memberikan pengakuan kepada eksistensi masyarakat hukum adat, dan nyata jelas pula bahwa keempat syarat itu mengisyaratkan bahwa kepentingan Negara nasional sebagaimananya yang harus dijaga oleh pemerintah nasional dengan posisinya yang sentral, tetap harus didahulukan.22 Ia menambahkan, tak pelak lagi “pengakuan” yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan, baik ipso jure maupun ipso facto akan gampang ditafsirkan sebagai “pengakuan” yang harus dimohonkan, dengan beban pembuktian akan masih eksisnya masyarakat hukum adat. Itu oleh masyarakat hukum adat itu sendiri, dengan kebijakan untuk mengakui atau tak mengakui secara sepihak berada ditangan kekuasaan pemerintah pusat. Berhubungan juga dengan itu, Maria S. W. Soemardjono23 menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menetapkan unsur penentu keberadaan masyarakat hukum adat sebagai berikut : a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; 21 . Berkenaan dengan unsur sepanjang masih hidup, Frans Matruty anggota MPR dari F-PDIP sempat mempertanyakan dan ahkirnya mengusulkan agar itu dihilangkan saja. Lihat Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku IV Jilid II Edisi Revisi 2010 hlm 1410 22 . Soetandyo Wignjosoebroto, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Empat Syarat Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat, Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Publikasi kerjasama Komisi Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi RI, Departemen Dalam Negeri Desember 2006 hlm 39. 23 . Maria SW Soemardjono, Pengaturan tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-Undangan hlm 5, Makalah, disajikan pada Saresehan Nasional Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Melalui Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional 10 Desember 2008 di Hotel Sheraton Media Jakarta 10 d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat; yang masih ditaati; dan e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Kumulatif patokan syarat diatas, tidak melihatkan adanya proses pengakuan dari Negara/pemerintah, semua beranjak dari kenyataan objektif dan dapat dilihat dilapangan, dengan demikian dalam penentuan ada tidaknya masyarakat hukum adat kemungkinan besar akan luput dari infiltirasi politik dan kepentingan. Dalam RUU ini ditemui beberapa fase yang sangat mengedepankan kekuasaan Pemerintah dalam meloloskan suatu masyarakat hukum adat di daerah dengan cara : a. identifikasi masyarakat hukum adat; b. verifikasi masyarakat hukum adat; dan c. pengesahan masyarakat hukum adat. Berkenaan dengan hal tersebut, kami sependapat dengan apa yang disampaikan Soetandyo Wignyosoebroto, bahwa kebijakan dan kenyataan yang tersimak amat state oriented di tengah kehidupan republik yang nyata kalau hendak lebih mendahulukan kepentingan the newly emerging new nation dari pada the old still existing natieves seperti itu-amat berbeda dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah kolonial. Apapun alasannya, entah karena alasan etis harus menghormati hak-hak sosiokultural yang asasi van de inlandse volken, entah pula karena alasan pragmatik yang hendak menghemat jumlah pengeluaran jelajahan ini, pemerintah kolonial dengan Decentralisatie Wet 1903 jo Decentralisatie Besluit 1904, Locale Raden Ordonantie 1905 jo Inlandsche Gemeente Ordonantie 1906, mengakui desa-desa adat sebagai masyarakat hukum adat.24 Mengedepankan cara legalisasi bertingkat dan dengan menempatkan peranan pemerintah melalui keputusan Presiden untuk menentukan ada tidaknya masyarakat hukum adat pada suatu daerah, dapat mengundang penyakit dan persoalan di kemudian hari. Memang dibuka ruang untuk melakukan bantahan dan protes terhadap apa yang sudah diputuskan pemerintah dengan upaya hukum keberatan, namun mekanisme ini tidak jelas. Aturan penutup soal pengakuan dan perlindungan ini memberikan konsensi yang besar bagi pihak eksekutif untuk menyelesaikan segala sesuatu tentang eksistensi masyarakat hukum adat. 24 . Soetandyo Wignjosoebroto loc op cit hlm 40. 11 Hak untuk Menjalankan Hukum dan Peradilan Adat. Dalam RUU dicantumkan adanya pengakuan terhadap peradilan adat sebagaimana dimuat pada Paragraf 5 Pasal 18 dengan redaksi : (1) Masyarakat hukum adat berhak untuk menyelenggarakan sistem peradilan adat dalam penyelesaian sengketa terkait dengan hak-hak adat dan pelanggaran atas hukum adat. (2) Pengaturan lebih lanjut mengenai hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undangundang. Rumusan tentang peradilan adat ini disatu sisi menggembirakan dan dilain pihak dipenuhi rasa pesimis untuk dapat dijalankan. Harapan terhadap eksistensi peradilan adat di Indonesia sudah sangat lama sekali dirindukan masyakat kita, walaupun di beberapa daerah peradilan adat ada yang berjalan, namun kenerja dan keberadaannya belum memenuhi hasrat masyarakat, terutama dalam penerapan hukum adat dalam menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan sengketa dan pelanggaran hukum adat. Di Sumatera Barat (Minangkabau) peradilan adat yang ada di nagari-nagari masih terus menangani kasus-kasus sengketa adat, baik bersifat pidana maupun perdata, namun juga tidak menghalangi kasus itu untuk diajukan terus kepada peradilan Negara (umum) jika salah satu pihak merasa tidak puas dengan putusan lembaga peradilan adat. Lima macam peradilan yang diwarisi dari zaman penjajahan Belanda (Peradilan Gubernemen, Peradilan Pribumi, Peradilan Swapradja, Peradilan Agama dan, Peradilan Desa) sekarang yang tersisa yakni Peradilan Gubernemen (Gourvernemen-rehstpraak sekarang Pengadilan Negeri), Peradilan Agama (Godsdienstige Rechtspraak), dan Peradilan Desa (Dorpjustitie). Artinya masih ada tersisa sebuah peradilan yang bukan tergolong peradilan Negara sebagai wadah bagi masyarakat untuk menyelesaikan persengketaan secara internal, di luar peradilan.25 Sejak lama pengadilan desa yang dulu disebut pengadilan adat dinegasikan oleh Negara. Alasannya tidak professional, di luar system hukum nasional formal. Faktanya memang Negara melihat desa sebagai bagian dari Negara yang tidak masuk skema Negara modern. Masyarakat adat dianggap terlalu beragam dan tidak sejalan dengan prinsip 25 . Hedar Laudjeng, Mempertimbangkan Peradilan Adat, HuMa Seri Pengembangan Wacana 2003 hlm 7 dapat juga dilihat, Madjloes, Beberapa Petunjuk Bagi Kepala Desa Selaku Hakim Perdamaian Desa, CV Pantjuran Tudjuh Jakarta 1979. 12 Negara moderen Indonesia. Dalam sistem Negara moderen Indonesia dianggap penyeragaman atau uniformitas begitu penting bagi pemerintah pusat.26 Dalam kenyataannya peradilan adat di Sumatera Barat dijalankan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) versi Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1983, kemudian melalui Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000 dan terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007, suatu lembaga yang keberadaannya sejak dulu sudah diakui oleh pemerintah, sebelumnya peradilan itu dijalankan oleh Kerapatan Nagari (KN) Dari sisi keberadaan lembaga peradilan desa di Sumatera Barat, telah mengalami metamorfosa dalam kurun waktu kurang hampir empat puluh tahun sejak awal Orde Baru berkuasa, ketika diberlakukannya SK Gubernur Kepala Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat Nomor 155-156/GSB/1974 tanggal 24 Desember 1974 (SK Gub 155-156/1974). Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang ada sekarang didasarkan pada peraturan daerah masing-masing daerah dengan landasan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000.27 (Perda 9/2000) diganti dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari (Perda 2/2007)28 sebagai ketentuan payungnya merupakan bentuk metamorfosa gelombang ketiga. Sedangkan yang kedua ketika Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1983 tentang Nagari Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Sumatera Barat (Perda 13/1983) yang dibentuk guna mengakomodasi soal adat istiadat di nagari ketika UU 5/79 diberlakukan. Bahkan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat melalui Surat Edarannya No. W3.DA,HT04.02-3633 tanggal 27 Mei 1985 tentang Pemberlakuan Hukum Adat Minangkabau mengenai sengketa Tanah Pusako Tinggi. Hal demikian juga didukung Gubernur dan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) dengan surat Edarannya No 07/LKAAM-SB-VI-1985 tanggal 10 Juni 1985 perihal peyelesaian Persengketaan Perdata Adat. Menurut SE KPT tersebut, setiap Pengadilan Negeri yang menerima perkara tanah adat/pusaka tinggi harus menanyakan kepada pemohon/penggugat apakah perkaranya sudah diselesaikan terlebih dahulu pada tingkat KAN. Kalau belum, maka Pengadilan Negeri belum dapat memeriksa perkara tersebut.29 26 . Zen Zanibar MZ, Pengadilan Desa Menyosong Keadilan Hukum Masa Depan, Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 38 tahun 2012 hlm 38. 27 . Lihat Ilhamdi Taufik, Kearah Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat, Seminar (Kajian Sumir Fungsionalisasi Kerapatan Adat Nagari) makalah disampaikan pada Seminar Nasional ICMI Orwil SumBar tgl 22-23 Januari 2000 di Bukittinggi 28 . Eksistensi KAN saat ini sering menimbulkan konflik dengan Wali Nagari, misalnya soal pengelolaan asset nagari, lihat Ilhamdi Taufik, Peralihan Hak Atas Kekayaan Nagari, makalah disampaikan pada Rapat Kordinasi Pembina Pemerintahan Terdepan Kab/Kota diadakan Pemerintah Propinsi Sumatera Barat tgl 2829 November 2011 di Hotel Hayam Wuruk Padang. 29 . Kurnia Warman loc op cit hlm 3 13 Pemerintah Propinsi Sumatera Barat bahkan sudah melengkapi peraturan daerah nomor 13/1983 dengan melahirkan Keputusan Gubernur Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pedoman Acara Penyelesaian Sengketa Adat di Lingkungan Kerapatan Adat Nagari (KAN) Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat yang ditetapkan pada tanggal 24 Juni 1994. Baik bentuk pertama yang disebut Kerapatan Nagari (KN versi Sk Gub 155-156/1974) di satu sisi dan Kerapatan Adat Nagari (KAN versi Perda 13/1983) serta Kerapatan Adat Nagari (KAN versi Perda 2/2007) di sisi lain punya kedudukan, fungsi dan kewenangan yang berbeda. Kerapatan Nagari (KN versi Sk Gub 155-156/1974) bisa dikatakan superbody di nagari, tiga kekuasaan ala trias politika berada ditangannya dan dalam menjalankan urusan pemerintahan nagari Wali Nagari bertanggungjawab kepadanya. Rumusan Pasal 18 RUU yang dijadikan landasan keberadaan peradilan adat, mendatangkan komplikasi hukum, jika berhadapan dengan ketentuan Pasal 24 UUD 1945 ayat (2) yang memberikan limitasi jelas tentang jenis peradilan, begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK), karena itu keberadaan Pasal 18 RUU posisinya lemah secara asas hukum. Pasal 2 ayat (3) UU KK juga menyatakan : “Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara yang diatur dengan undang-undang”. Sedangkan dalam Pasal 18 dan penjelasan umum UU KK dinyatakan pula : kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Tafsirnya menghendaki, keberadaan sebuah peradilan adat harus merupakan suatu peradilan (sub sistem) yang berada dibawah naungan peradilan umum, sebagaimana keberadaan peradilan khusus sekarang ini (Hubungan Industrial, Perikanan, dan Tipikor) Keberadaan peradilan adat akan semakin lemah posisinya, disebabkan pengaturan Pasal 18 ayat (2) yang menyatakan : Peraturan lebih lanjut mengenai hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selain itu jika dicermati pula Bab VI tentang Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pasal 24, terdapat semacam dualisme antara peradilan adat dengan lembaga adat dalam penyelesaian sengketa adat. Kemungkinan untuk menyelesaikan setelah putusan Lembaga Adat tetap masih dilaksanaan, baik disebabkan tidak diterimanya putusan itu oleh salah satu pihak dalam kasus hukum privat maupun disebabkan jenis sengketa berada di lapangan hukum publik. Tidak ada penjelasan lebih lanjut yang bersifat komprehensif dari RUU terhadap keberadaan kedua pasal yang mengatur penyelesaian sengketa adat. 14 Dengan tetap diberikannya kewenangan pengadilan untuk penyelesaian sengketa di wilayah hukum publik pada masyarakat hukum adat, dapat berakibat duplikasi penyelesaian kasus. Jika sebuah kasus pidana kecil sedang diproses/diperiksa oleh lembaga adat atas keinginan kedua belah pihak yang terlibat, saban waktu dapat saja diambil alih oleh penegak hukum berdasarkan keberadaan pasal ini. Jalan keluar yang ditawarkan dalam rangka menjamin keberadaan peradilan adat, adalah dengan mengakomodir substansi dan mekanismenya pelaksanaan kewenangan dalam perubahan Undang-Undang Kehakiman atau dengan membuat undang-undang tersendiri tentang Peradilan Adat. 15 DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Buku Jimly Asshiddiqie, 2009. Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sinar Grafika, Jakarta. , 2002. Konsilidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia 2002. Komisi Hak Asasi Manusia, 2007, Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Himpunan dokumen Sekitar Acara Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia. Nico Ngani, 2002, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Pustaka Justisia. Sekretariat Jenderal MPR, 2012, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta. Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Buku IV Jilid II Edisi Revisi. Soerojo Wignjodipoero, 1983, Pengantar Dan asas-Asas Hukum Adat, PT Gunung Agung, Jakarta. Soetandyo Wignjosoebroto, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Emoat Syarat Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat, Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Publikasi kerjasama Komisi Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi RI, Departemen Dalam Negeri Desember 2006. Yance Arizona, 2010, Antara teks dan konteks, Dinamika pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia, Seri Hukum Keadilan Sosial, HuMa. Makalah dan Jurnal 16 A. Mukhtie Fajar, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Konsstitusionalnya, makalah disampaikan sebagai “Sarasehan Nasional Pemberdayaan Masyarakat Pemenuhan Hak-Hak Konstitusionalnya” tanggal Hotel Sheraton Media Jakarta. dan Pemenuhan Hak Keynote Speech untuk Hukum Adat Melalui 13 Desember 2008 di Enny Soeprapto, 1989, Naskah Akademis 31 Oktober 2008 Menuju Pengesahan Convention (N0. 169) Concerning Indogenous And Tribal Peoples In Independent Countries. Jimly Asshiddiqie,2007, Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Bahan Keynote Speaker Lokakarya Nasional Perlindungan Hak Konstitsional Masyarakat Hukum Adat, Jakarta 10 Desember 2007Komisi Hukum Nasional, Desain Hukum Vol 12 Nomor 05. Tahun 2012. M. Habib Chirzin, Perlindungan dan Penghormatan Hak Masyarakat Hukum Adat Di Inonesia : Menuju Bangsa Yang Adil, Sejahtera dan Bermartabat, makalah disampaikan pada Sarasehan Nasional Pemerdayaan Masyarakat Hukum Adat Melalui Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional 10 Desember 2008 di Hotel Sheraton Media Jakarta. Mahkamah Konstitusi, Membangun masa depan Minangkabau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Komisi Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Sekretariat Jenderal Masyarakat Hukum Adat. Maria SW Soemardjono, Pengaturan tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-Undangan, Makalah disajikan pada Saresehan Nasional Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Melalui Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional 10 Desember 2008 di Hotel Sheraton Media Jakarta. Mochtar Naim, Identikkah Masyarakat Hukum Adat dengan Indigenous People?, Makalah disampaikan pada Sarasehan Nasional Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Melalui Pemenuhan Hak-Hak Konstitusionalnya, Hotel Sheraton Media Jakarta 13-14 Desember 2007. Saafroedin Bahar, Mengapa demikian sulit mencapai kesepakatan tentang defenisi Masyarakat Hukum Adat? makalah disampaikan pada Diskusi Akademik : “Mendefenisikan Masyarakat Hukum Adat” diselenggarakan Laboratorium Konstitusi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara tanggal 12 Juli 2008 di Hotel Madani Medan. 17 Takdir Rahmadi, Peranan Fakultas Hukum Universitas Andalas dalam pemeliharaan Identitas Kultural dan Pendinamisasian Kemajuan Masyarakat Hukum Adat Minangkabau dan suku bangsa Minangkabau Dalam Bingkai Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Zen Zanibar MZ, Pengadilan Desa Menyosong Keadilan Hukum Masa Depan, Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 38 Tahun 2012. Makalah Ilhamdi Taufik, Kearah Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat, Seminar (Kajian Sumir Fungsionalisasi Kerapatan Adat Nagari) makalah disampaikan pada Seminar Nasional ICMI Orwil SumBar tgl 22-23 Januari 2000 di Bukittinggi ___________, Peralihan Hak Atas Kekayaan Nagari, makalah disampaikan pada Rapat Kordinasi Pembina Pemerintahan Terdepan Kab/Kota diadakan Pemerintah Propinsi Sumatera Barat tgl 28-29 November 2011 di Hotel Hayam Wuruk Padang. 18