FIQHI KERATON: Diskursus Hukum Islam dalam

advertisement
FIQHI KERATON:
Diskursus Hukum Islam dalam Bingkai Tradisi Lokal pada Masyarakat Buton
Abstrak
Tulisan ini adalah upaya akademik untuk menjelaskan fenomena pengamalan hukum Islam
(baca: fiqhi) yang mewujud dalam sistem social dan budaya masyarakat Keraton Buton.
Sekligus untuk memperoleh gambaran mendalam tentang implikasi sistem sosial dan budaya
terhadap pemahaman fiqhi pada ruang sejarah masyarakat Buton. Seluruh data dalam tulisan ini
diperoleh melalui serangkain wawacara mendalam, obesrvasi dan telaah dokumen. Untuk
memperoleh kesimpulan, maka data-data tentang fokus masalah dianalisis secara kritis.
Kesimpulan kajian menunjukkan bahwa; sekalipun Islam bagi masyarakat Buton telah
menjadi basis idiologi kultural mereka, namun dalam tataran empirik warna dan corak budaya
lokal masih mewarnai pengamalan keagamaan mereka. Pengalaman keagaman masyarakat
Buton secara idiologis selalu merujuk pada pemahaman keraton, yang dapat dinyatakan sebagai
fiqhi keraton. Fiqhikeraton adalah prodak ijtihad yang didesain berdasarkan karakter lokal
masyarakatnya, yang merupakan hasil dari proses pergumulan antara hukum Islam dengan tradisi
lokal. Legitimasi dari eksistensi fiqhi keraton, paling tidak dapat dirujuk pada sejarah
perkembangan pemikiran hukum Islam, yang memberikan ruang akomodasi atas tradisi, di atas
landasan paradigmatik “adat al-muhakkamat”. Fiqhi Keraton secara prinsip dikonstruksi di atas
landasan semangat pembaruan metodologis, yaitu dengan melakukan reinterpretasi, dimana teks
dipandang sebagai sesuatu yang hidup (corpus terbuka). Konten fiqhi keraton berpijak pada
asumsi pembaruan yang berada pada level etis, yang didasarkan atas prinsip kewajaran social
yang rasional dan empirik. Sedangkan dalam tataran epsitemologis, fiqhi keraton adalah
pengejawantahan dari gagasan fiqhi sebagai konsep yang terbuka dan dinamis dalam
menghadapi realitas social budaya yang berkembang.
Kata kunci: Fiqhi Keraton, Islam dan Budaya lokal.
A. Latar Belakang
Studi tentang kaitan Islam dankebudayaan dengan lokus masyarakat Buton telah banyak
dilakukan oleh para peneliti. Salah satu tulisan yang banyak dirujuk oleh para peneliti kebutonan
adalah karya Abdul Mulku Zahari:Adat Fi Darul Butuni,1yang mengurai tentang sejarah dan
adat istiadat Buton. Tulisan Zahari merupakan karya enskolopedis tentang Butonyang lebih
menitik beratkan pada aspek kesejarahan. Selain Zahari, Pim Scoorl seorang antropolog asal
Belanda juga melakukan penelitian tentang budaya dan masyarakat Buton. Demikian pula tulisan
yang merupakan hasil disertasi Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di
1
Abdul Mulku Zahari, Adat Fi Darul Butuni, (Jakarta: Proyek Pengembangan Kebudayaan,1977)
1
Kesultanan Buton Abad XIX. 2Satu lagi tulisan atau hasil penelitian tentang Islam Buton (2007)
yang dilakukan oleh Muhammad Alifuddin.3
Sejumlah tulisan di atas, mengarah pada satu kesimpulan; bahwa dalam persepektif
sejarah, Islamisasi di Buton merupakan proses yang bersifat evolusioner. Diawali oleh konversi
kekuasaan lokal ke dalam Islam pada abad ke-16, kemudian berkembang ke tingkat rakyat
bawah. Pembentukan tradisi Islam pada sistem sosial budaya masyarakat berada dalam suatu
ruang yang sarat dengan proses dialektis antara Islam dengan tradisi lokal. Oleh karena itu,
sekalipun pada abad ke-17 Islam dinyatakan sebagai landasan konstitusional atau sumber
“hukum”, tetapi tidak berarti pengaruh Islam bersifat tunggal tanpa pengaruh budaya lokal.
Dalam banyak hal eksistensi budaya lokal
masih tetap “kukuh” baik dalam sistem sosial
kemasyarakatan maupun dalam sistem religi masyarakat setempat. 4 Dalam kondisi hubungan
yang dialektis seperti yang digambarkan, maka Islam dituntut untuk mampu mendefinisikan
keberadaannya di dalam budaya lokal, dan sebaliknya budaya lokal secara bertahap
mendefinisikan keberadaannya dalam Islam. Dengan kata lain, konversi masyarakat terhadap
Islam lebih menunjukkan pada suatu proses panjang menuju “kompromi” yang lebih besar
terhadap “eksklusivisme” Islam.
Kendatipunsejumlah tulisan di atas telaahnya terkait dengan problem Islam, kesejarahan
dan budaya yang berkembang pada masyarakat Buton, namun belum ada yang secara spesifik
mengungkap tentang kaitan fiqhi dengan tradisi dan politik lokal di Buton sebagaimana yang
akan dikaji dalam tulisan ini. 5Berangkat dari kenyataan tersebut, maka penulis tertarik untuk
mendeskripsikan sekaligus menelaah diskursus dan fenomena pengamalan hukum Islam (baca:
fiqhi) yang mewujud dalam sistem social dan budaya masyarakat Keraton Buton. Dengan tema
tersebut, tulisan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mendalam tentang implikasi sistem
social dan budaya terhadap fiqhi pada ruang sejarah masyarakat Buton, sekaligus untuk
megetahui faktor-faktor yang melatari dan membentuk fiqhi keraton sebagai implikasi dari
tekanan budaya local.
2
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton Abad XIX, (Jakarta :
INIS, 1995)
3
Muhammad Alifuddin,Islam Buton (Interaksi Islam dengan Budaya Lokal),(Jakarta: Balitbang depag RI,
2007)
4
Ibid
5
Tulisan Schoorl misalnya lebih banyak mengulas tentang budaya masyarakat, sedangkan tulisan Yunus
lebih fokus pada aspek tasawuf dalam hubungannya dengan sistem kekuasaan.
2
Seluruh data yang dimuat dalam tulisan ini diperoleh melalui serangkaian wawancara,
observasi, dan telaah terhadap sejumlah dokumen/naskah klasik Buton. Data-data terkait fokus
kajian yang diperoleh di lapangan, dianalitis secara kritis sebelum dituangkan dalam tulisan.
Dengan demikian tulisan ini, diharapkan dapat memberi informasi akurat dan sistematis tentang
tema yang diangkat.
B. Determinisme Budaya Lokal dalam Tradisi Fiqhi di Buton: Beberapa contoh Kasus
Perpaduan antara nilai lokal dengan Islam di Indonesia merupakan realitas tak
terbantahkan, sehingga hal tersebut tampaknya telah menjadi kecenderungan umum,termasuk
orang Buton. Hal ini disebabkan karena sebelum Islam tiba, berbagai macam adat kuno dan
kepercayaan lokal menjadi bagian tak terpisahkan dari praktek kehidupan masyarakat dan telah
menyatu dalam sistem sosial budaya masyarakat Indonesia. Ketika Islam datang, agama ini
berhadapan atau bertemu dengan kenyataan tersebut. Menurut Geertz, kepercayaan tersebut
justru diakomodir oleh “Islam” dan pada akhirnya disinkretisasikan dengan tradisi lokal, seperti
yang dapat dilihat pada tipologi Islam abangan di Jawa. 6 Sebagaimana Geertz, Schwarz
menyebutkan; “Islam dengan segelintir pengecualian, dipraktekkan di seluruh Indonesia sebagai
agama tradisional rakyat, dimana-mana (terlihat) Islam di satukan dengan kepercayaan lokal. 7
Dalam proses selanjutnya, sebagai akibat dari “percampuran” yang sedemikian rupa,
menjadikan masyarakat sulit untuk membedakan mana yang merupakan adat dan mana yang
merupakan ajaran agama. Dalam konteks masyarakat Buton, kondisi ini semakin dikukuhkan
dengan tidak jelasnya perbedaan antara pengertian agama dan adat dalam pespektif orang Buton.
Terkadang “agama” dimaknai sebagai “adat” demikian pula sebaliknya, hal ini dapat
diperhatikan pada penerjemahan dua kata tersebut seperti yang dilakukan Zahari terhadap
tuntunan kehidupan atau etik birokrat kerajaan, yang tersimpul dalam kalimat:
“Taposangu, taposanguyaku adati. Tapoga-a, tapoga-aka adati”
Artinya ;
“Bersatu, bersatukan karena agama. Bercerai berceraikan agama” 8
Kata adati oleh Zahari diterjemahkan dengan agama. Landasan argumen dari terjemahan
tersebut didasarkan pada filosofi masyarakat Buton yang menjadikan atau menempatkan agama
6
Clifford Geertz, Islam Observed (Chicago : The University of Chicago Press, 1975), hlm. 28/Adam Scwarz,
A Nation in Waiting Indonesia in 1990s, (Australia : Allen and Unwin Pty Ltd, 1994), hlm. 165/
7
Adam Scwarz, A Nation in Waiting Indonesia in 1990s, (Australia : Allen and Unwin Pty Ltd, 1994), hlm.
165/
8
Zahari, Sejarah…..hlm. 134
3
dalam posisi terpenting bagi kehidupan mereka, yang harus didahulukan dari; harta, diri dan
negara. Penerjemahan ”adat” dengan makna agama meski tidak dapat diartikan sebagai dua hal
yang identik dan persis, tetapi dalam banyak hal keduanya hampir tidak dapat dipisahkan.
Pengaitan agama dengan adat atau sebaliknya dari sudut padang singkronis dapat dikatakan
sebagai bagian dari world view orang Buton, sedang dari sudut pandang diakronis, baik agama
dan adat keduanya telah mengalami proses kesinambungan dan perubahan. Dalam realitasnya
perpaduan antara kultur lokal dan agama (baca: Islam) dapat dilihat dalam berbagai corak yang
termanifestasi dalam kehidupan masyarakat Islam Buton. Berikut ini akan dideskripsikan
beberapa contoh kasus yang merupakan hasil ”perkawinan” adat/budaya lokal dengan hukum
Islam.
1. Kankilo : Thaharah dalam Perspektif Orang Buton
Dalam kumpulan naskah-naskah klasik peninggalan para ulama di Buton, terdapat
beberapa naskah yang menjelaskan atau membahas tentang tatacara bersuci (thaharah).Salah
satu diantaranya ditulis oleh Sultan Muhammad Idrus Qaimuddin (1824-1851), dengan
judul:fakihi (baca:Fiqhi). Sesuai dengan namanya, buku ini membahas tentang beberapa aspek
mengenai masalah fiqhi, khususnya masalah thaharah. Hal ini dapat disimak dalam kata
pengantar buku tersebut sebagai berikut :
Kupebaangi Kutula-tula Kangkilo
Aku mulai menceritakan kebersihan
Osiytumo Puuna Pai amala
Itulah pohonnya segala amal
Kapupuana Bicarana Sambaheya
Kesudahan masalah hukum sembahyang
9
Osyitumo Ariyna Islamu
Itulah tiangnya Islam
Bagi orang Buton, ritual bersuci (didalamnya tercakup wudlu, istinja, mandi janabat dan
berbagai assesorisnya) telah menjadi bagian dari tradisi mereka yang hingga kini hidup dan
dipelihara, ritual bersuci tersebut mereka namakan kankilo. Secara substansial kankilo adalah
ritual bersuci10 yang dalam tradisi Islam dapat disejajarkan dengan thaharah. Meskipun secara
teknis metodologis terdapat beberapa perbedaan antar kedua tradisi, namun bagi orang Buton
kankilo adalah thaharah, dan thaharah adalah kankilo.Kankilo sebagai konsep thaharah yang
hidup dalam kultur Buton, merupakan ijtihad ulama setempat yang berhasil mengawinkan antara
Islam dengan tradisi local.
9
Muhammad Idrus Qaimuddin, Fakihi, (Bau-Bau : tp. t.th), hlm. 3
Kankilo, secara literal mengandung arti, suci, bersuci atau pensucian diri; JC. Anceaux, Wolio Dictionary
(Wolio-English-Indobesia) (USA Holland Providence, 1987), h.66/
10
4
Dengan demikian, kankilo pada prinsipnya adalah thaharah yang lahir dari konstruksi
masyarakat muslim lokal, yang juga didasarkan atas prinsip-prinsip norma yang termuat dalam
Qur’an dan hadis, sehingga dapat dinyatakan bahwa kankilo adalah fiqhi thaharah berbasis
budaya lokal. Berikut ini akan dideskripsikan beberapa konsep kankiloyang hidup dalam kultur
orang Buton hingga kini, yang mengurai tentang istinja dan wudlu.
a. Istinja: dalam Kangkilo Patangauna disebutkan sebagai berikut:
Setelah najis keluar, kita mengambil batu atau kayu-kayu yang tidak berguna dan kering.
Kemudian disapu sampai kering, kemudian dijaga dengan hati-hati jangan sampai najis
tersebut mengenai kulit yang lainnya. Jika najis tersebut mengenai kulit yang lainnya, tidak
sah mencebok karena gosokan merupakan istinja awal. Kemudian kita mencebok atau
membasuhnya, pertama-tama ibu jari kita membasuh pusar kita. Telunjuk kita membasuh
selangkang kita disebelah kanan, kelingking kita membasuh pangkal paha disebelah kiri
kita, jari tengah membasuh surga, jari manis kita membasuh neraka, tiga kali sebelah kanan
tiga kali sebelah kiri. Kemudian seterusnya putar kanan terus sampai hilang sisa-sia najis itu,
huruf dal asal tanah. Jika telah kesat atau bersih perasaan kita maka niatkanlah
menghilangkan sisa najis itu menjadi huruf mim asal air. Jika telah resah perasaan kita maka
pandangilah air seakan-akan menghilangkan huruf najis itu menjadi huruf Ha asal angin.
Setelah bersih perasaan kita renungkanlah menghilangkan keragu-raguan najis di alam diri
kita huruf alif asal api, kemudian mencuci zurriyyat adal tiga kali sambil
membaca:Allahumma thahri qalbi minal nifaqi wahasinu farji minalfawahisyi ( Ya Allah ya
Tuhanku sucikanlah hatiku dari sifat munafiq dan sucikanlah kemaluanku dari segala yang
kotor).11
b. Wudhu: konsep wudhudalamKangkilo Patangauna disebutkan sebagai berikut:
Kemudian membasuh tangan membersihkan daging kita, kemudian mulut membersihkan
jantung kita, kemudian membasuh hidung membersihkan nafsu kita. Kemudian membasuh
muka kita dengan niat; nawaitu raf’al hadasi asghorul istibahati shalati fardhan lillahi
ta’ala”, saya berniat berwudhu menghilangkan hadas kecil untuk mendirikan shalat wajib
karena Allah taala, bersamaan dengan tibanya air pada dahi kita, kemudian membasuh mata
11
Amapupuaka inaisi molimba itu taalamo batu atawa okau-kau, inda mokoampadea momatau. Kasimpo
tapenkuri pokawaaka omatau onajisi itu. Maka janganiya booli ajampe ikuli mosaganana najisi itu. Barangkala
ajampe ikuli mosaganana indamo osaha itu tapekaobusa karana tapenkuri itu osytumo istingga awwali. Kasimpo
tapekaobusa, baabaana onganga ogeta abanui puseta syahadata abanui puuna kalata ikana. Kancilita abanui
kancilta puuna kalata ikai lakina limata ibanui syoroga. Sosota ibanui narakaa talu wulinga palikana talu wulinga
palikaai.Kasimpo tapalipali kaanamo pokawaaka aila ipupuna najisi itu, tantomakamo paila pupuna najisi itu
hurufuna dale asala tana. Amararoaka onamisita tantomakamo paila lumuna najisi itu horofu mimu asala uwe.
Amahuhiaka onamisita tantomakamo paila bouna najisi itu horufu ha asala ngalu. Amangkiloaka onamisita
tontomakamo paila mokonamu-namu inajisi inuncana karota siy horufu alefu asala waa. Kasimpo tabanui zurriyati
aadamu taluwulinga temomubaca inciasi. Allahumma thahri qalbi minal nifaqi wahasinu farji minalfawahisyi.
(Naskah Kankilo Pantangauna (anonym))
5
untuk membersihkan hati kita. Kemudian membasuh tangan sampai siku membersihkan dara
kita. Kemudian membasuh ubun-ubun membersihkan otak kita. Kemudian membasuh
telinga membersigkan empedu kita, kemudian membasuh leher membersihkan paru-paru
kita, kemudian memabsuh kaki sampai mata kaki membersihkan malaikat; Jibril,
Mikail,Israfil dan Izrail. 12
c. Mandi Wajib dalam Tradisi Kangkilo
Kemudian ketika mandi junub pertama renungkanlah wadi masuk pada madi, madi
masuk pada mani, mani masuk pada manikam. I’tikadkanlah semua hal itu menyatu dengan
air yang akan dipakai mandi. Kemudian mulai membasuh dibagian kanan dengan niat:
nawaitu raf’al haditsil akbaru istihatisshalati fardhan lillahi ta’ala, bersamaan dengan
sampainya air pada kulit. Kemudian membasuh bagian kanan kemudian kiri kita, setelah itu
dibagian belakang kita, rambut kita diratakan semua, kulit hidung, telinga, mata, pusar,
keseluruh badan, sulbi ratakan semua lipatan dan juga jangan ada yang menghalangi
turunnya air pada diri kita. Setelah bersih renungkanlah nurul iman seperti cahaya yang
berada dipintu jantung dan meleburlah, maka sucilah diri kita seperti kesucian kita di alam
missal, itulah yang disebut dengan junub.13
d. Bingkai Islam dalam Tradisi bersuci Orang Buton: Analisis Singkat
Sebagai tradisi yang hidup dalam komunitas Orang Buton, kankilo memiliki kaitan erat
dengan pandangan hidup Orang Buton.14 Dalam konteks tersebut, maka kankilo pada prinsipnya
mengkomunikasikan ide dan gagasan masyarakat Buton tentang konsep bersuci, yang meliputi
jasad kasar dan jiwa. Peraktek bersuci sebagai wujud gagasan sebagaimana yang terdapat dalam
konsep kankilo, memiliki makna penting bagi orang Buton, dalam upaya mereka mencapai
kesucian diri dan jiwa. 15 Konsep bersuci kankilo yang hidup dalam kultur keagamaan orang
12
Kasimpo tabaho limata tapekankilo antota. Kasimpo tabaho ngangata apekankilo baketa, kasimpo tabaho
angota tapekankilo nafsuuta. Kasimpo tabaho routa niatimo, nawaitu raf’al hadasi asghorul istibahati shalati
fardhan lillahi ta’ala”, asaubawa tee tumpuna uwe ibawona routa. Kasimpo tabaho matata tapekankilo yaeta,
kasimpo tabaho limata kawana sikuta tapekankilo raata, kasimpo tabaho uwu-uwuta tapekangkilo otata. Kasimpo
tabaho talongata tapekankilo piuta, kasimpo tabaho barokota tapekankilo kumbata. Kasimpo tabaho yaeta kawana
biku-bikuta tapekangkilo Jabaraili, Mikaili,Iisrafili, Izraili. (Naskah Kankilo Pantangauna (anonym))
13
Kasimpo tabaho weta ikanata, kasimpo tabaho weta ikaita, kasimpo tabaho weta iaroata. Kasimpo tabaho
italingata tapalipua bari-baria bulata. Kasimpo tabaho ngangata, oangata, matata, opuseta, karota, isulubita,
patipua, bari-baria lapita tee moduka booli temoempe siy tumpana uwe ikarota. Amankiloaka tapebaho
tontomakamo iweitu tamangkilomo itu simbou kankilota iaalamu misali, Isyitumo isorongiaka jinubu
14
Salah satu muatan kankilo yang diwariskan secara turun temurun adalah; empat tuntunan bersuci, yaitu;
istinja yang diibaratkan sebagai kesucian di alam arwah, mandi junud diibaratkan sebagai kesucian di alam mitsal,
berwudhu diibaratkan sebagai kesucian di alam ajsam dan keyakinan yang ditempatkan dalam hati, diibaratkan
sebagai kesucian di alam insane. Jika keempat hal tersebut dilakukan maka ia akan menghasilkan pribadi yang
suci. Wawancara : LaOde Abu/13-8-013
15
Anceaux, Wolio….h. 66
6
Buton selama ini diajarkan secara turun temurun atau diwariskan melalui tradisi lisan. 16 Patut
duga bahwa sebelum Islam menapakkan pengaruhnya di wilayah ini, tradisi atau ritual bersuci
dan mensucikan diri telah menjadi bagian penting dalam tradisi hidup orang Buton. Ketika Islam
mulai menanamkan pengaruhnya, dan juga membawa konsep bersuci seperti yang termuat dalam
kitab-kitab fiqhi thaharah, maka konsep istinja, wudlu maupun mandi jinabat, kemudian
diajarkan kepada masyarakat terkait. Namun demikian agar konsep bersuci tersebut tidak
terkesan mengganti konsep bersuci “ala” kankilo, maka beberapa aspek dari tradisi kankilo yang
ada dimasukkan ke dalam muatan thaharah yang berada dalam bingkai Islam
Secara teknis metodologis, beberapa bagian dari tatacara, istinja, mandi jinabat dan wudhu
sebagaimana yang terurai dalam bagian a, b dan c, tidaklah ditemukan dalam tradisi Islam awal
atau sebagaimana yang termuat dalam teks-teks hadis yang membahas masalah terkait. Dapat
dipastikan, bahwa sebagian dari ketentuan-ketentuan bersuci sebagaimana yang termaktub di
atas adalah merupakan konstruk local. Fakta tersebut menggambarkan pada terjadinya interaksi
antar budaya yang saling menyapa.
Dari uraian tentang aspek-aspek fiqhi thaharah atau kangkilo yang berkembang dan
diajarkan di Buton sebagaimana yang telah dideskripsikan, tampak jelas terjadinya interaksi
antar budaya yang saling menyapa. Gambaran interaksi budaya yang disutradarai oleh ”Ulama”
Buton masa awal yang mengawinkan antara tradisi lokal dengan Islam, adalah pilihan “terbaik”
ketimbang mereduksi nilai-nilai lokal yang telah berurat berakar pada masyarakat setempat.
Sekaligus menegaskan terjadinya determinasi budaya local dalam bagunan konsep fiqhi thaharah
di Buton.
2. Konsep Shalat dalam Fiqhi Keraton
LaOde Muchiru dalam Sara Patanguna menulis; tradisi Buton masa lalu mengenal
empat pembagian salat yaitu ;(1).Salât al-nafs atau salat al-jasad, sesuai hukum, salat ini
merupakan kewajiaban yang telah ditetapkan waktunya. (2), Salât Jum’at/ jamâ’ah, sesuai
hukum, salat ini merupakan kewajiban mingguan, yang dilaksanakan secara beramai-ramai di
Masjid. (3). Salât al-wusta yaitu salat sunat termasuk di dalamnya salat layl. Dan (4). Salâtazmi
yaitu salat para nabi-nabi dan awliya.17 Untuk kepentingan melihat determinisme budaya local
16
Meskipun terdapat buku yang secara khusus mengurai tentang tradisi kankilo, namun kini sangat sulit
ditemukan
17
Muchiru, Sara…hlm.167
7
dalam fiqhi shalat di Keraton Buton, maka pada tulisan ini penulis memilih untuk
mendeskripsikan tentang Salât al-nafsdan Salât Jum’at/ jamâ’ah pada masyarakat Keraton.
i). Salât al-Nafs
Salah satu kewajiban mendasar yang diharuskan bagi umat Islam adalah sembahyang
lima waktu atau biasa juga disebut dengan salat fardu. Tradisi propetik Muhammad SAW.,
meletakkan salat fardu sebagai tiang agama. Bahkan dalam sebuah pernyataan yang lebih keras
dinyatakan, bagi seorang muslim yang dengan sengaja meninggalkan kewajiban ini dapat
dianggap sebagai orang yang kufur. Itulah sebabnya para orang tua memiliki tanggung jawab
sekaligus diperintahkan untuk memperkenalkan ibadah ini kepada anak-anak mereka sejak
berusia tujuh tahun.
Meskipun di tanah Buton ajaran Islam yang mula-mula berkembang banyak dipengaruhi
oleh tradisi tasawuf yang berafiliasi pada ajaran Martabat Tujuh dengan nuansa paham
wujûdiyah yang sangat “kental”, namun tidak berarti pengamalan aspek-aspek esotorik atau
syariah menjadi suatu hal yang diabaikan. Yunus menyebutkan hal tersebut sebagai berikut :
Ajaran tasawuf yang dianut di Buton pada abad ke-19, yang diajarkan oleh para tokoh
sufi tampaknya tidak demikian. Pelaksanaan syariat di samping tasawuf, tetap dipentingkan.
Hal ini ditandai dengan perhatian mereka pada pelaksanaan perbuatan lahiriah seperti salat,
puasa, dan haji, sebagaimana yang terungkap dalam tulisan-tulisan mereka (para ulama
Buton; pen.) Dalam hal ini Idrus (Kobadiana / Sultan ke-29 berkuasa th. 1824-1851; pen.)
menyatakan bahwa nikmat yang paling tinggi adalah pada saat melihat Tuhan dalam
mushâhadah. Tetapi ini dapat dicapai setelah segala perintah Tuhan seperti salat, puasa, dan
zakat dilaksanakan…18
Dalam perspektif sejarah kesultanan Buton dipastikan pernah ada penekanan yang keras
bagi masyarakat untuk menjalankan ibadah salat. Hal ini dibuktikan dalam sejarah Buton pernah
terjadi seorang anggota masyarakat dihukum mati lantaran meninggalkan salat. Peristiwa
tersebut terjadi pada masa kekuasaan Sultan Muhammad Idrus Qaimuddin. Dari kabanti yang
ditulisnya, tampak jelas bahwa Idrus sangat menekankan kepada rakyatnya untuk memelihara
dan menjalankan ibadah salat, sehingga bagi mereka yang melanggar
atau sengaja
meninggalkan ibadah salat, maka mereka harus menerima konsekuensi hukum yang berat. Idrus
menyebutkan sebagai berikut;
Barang siapa yang tidak menjalankan sembahyang
Maka sesungguhnya orang itu telah kufur
18
Yunus, Posisi…..hlm. 100
8
Tiada berdosa orang yang membunuhnya
Kepada mereka yang melawan itu
Yaitu yang melawan perintah TuhanNya
Yang tidak taat kepada nabiNya
Barang siapa yang melawan Quran atau hadis
Sesungguhnya orang itu dalah kafir
Wajib bagi kita berani menyembelinya
Sangat banyak pahala menyembeli (orang yang tidak sembahyang)
Yang menyembelih yang menebang batang lehernya.
Teks di atas secara jelas menunjukkan penekanan yang kuat oleh sultan terhadap rakyatnya
agar memelihara ibadah salat, sehingga bagi mereka yang melanggar aturan tersebut dapat
dikenakan hukuman mati, sedangkan bagi pelaku eksekusi tidak memiliki konsekuensi dosa
dengan sebab mengeksekusi pelaku pelanggar syariat dimaksud (salat). Sekaitan dengan masalah
tersebut, dalam sejarah masyarakat Buton dikenal satu istilah masubu yang dinisbahkan kepada
seorang yang dieksekusi mati pada zaman Idrus, lantaran meninggalkan ibadah salat subuh.19
ii.Shalat Jumat
Pada bagian penjelasan mengenai kewajiban menjalankan ibadah salat, telah diterangkan,
bahwa dipastikan terdapat suatu perintah yang bersifat instruktif dari pihak kesultanan,
khususnya pada masa berkuasanya Sultan Idrus Qaimuddin atau Kobadiana, mengenai
pentingnya salat sebagai kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap warga masyarakat. Bagian
ini secara khusus akan mendeskripsikan tentang upacara Shalat Jumat yang dalam kategorisasi
Muchiru disebut sebagi salat jama’ah atau kewajiban mingguan.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis selama melakukan penelitian, secara umum teknis
pelaksanaan salat Jumat di Kabupaten Buton diselenggarakan dengan mengikuti pola tradisi
ritual Jumat yang berlaku sejak zaman Khalifah Usman, yaitu dengan menggunakan dua kali
adzan yang didahului dengan pembacaan salawat Nabi sebelum muadzzin melakukan azan.
Sesaat sebelum khatib naik ke mimbar seorang petugas sara membacakan sebuah hadis yang
intinya menyerukan agar jamaah diam (tidak berisik apalagi berkata-kata) apabila khatib sedang
berkhutbah. Dibeberapa masjid yang penulis kunjungi tidak jarang para ibu atau jamaah wanita
turut serta dalam Shalat Jumat.
19
Hasinu Da’a (seorang tungguna abba jabatan yang merupakan rujukan dalam menanyakan segala halihwal mengenai adat istiadat di Kesultanan Buton) wawancara.
9
Salat Jumat di keraton Buton hingga kini proses atau tata cara pelaksanaannya masih
mengikuti tradisi masa kesultanan. Tradisi salat Jumat ini meskipun secara substansial tidak
berbeda dengan pelaksanaan Jumat di tempat lain, yang terdiri dari khutbah dan dua rakaat salat,
tetapi jelas terlihat dalam beberapa aspek terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya. Berikut ini
penulis deskripsikan suasana ritual Jumat yang penulis hadiri pada tanggal 23Agustus 2013.
“Menjelang Jumattungguna ganda memukul beduk sebagai tanda atau panggilan bagi
masyarakat sekitar untuk siap-siap menjalankan ibadah Jumat. Memasuki masjid Agung
Keraton, di sudut pintu masuk diletakkan masing-masing enam buah tongkat, sementara
dibagian pendopo bagian kanan terlihat imam masjid duduk bersila sambil berdoa dan
berzikir. Imam ini baru masuk ke masjid manakala waktu Jumat sudah masuk dan
pelaksanaan ritual akan dimulai kira-kira lima menit sebelum azan pertama dikumandangkan.
Pada bagian depan pintu masuk ke ruang utama masjid, duduk empat orang tungguna ganda,
yang bertugas menyambut para jamaah yang hadir. Di bagian depan masjid terdapat ruang
mihrab dan terletak sebuah mimbar yang tidak persis disudut tetapi menyisahkan sedikit
ruang kira-kira berukuran satu meter. Tempat bagian depan mihrab adalah tempat imam, dan
sedikit bergeser ke belakang (masih dalam wilayah mihrab) adalah tempat para khatib yang
terdiri dari empat orang dan lakina agama. Sementara di samping bagian utara masjid adalah
tempat kedudukan sultan, tempat ini sejajar dengan tempat duduk khatib tetapi diantarai oleh
sebuah mimbar.
Di belakang para khatib atau di bagian tubuh masjid duduk sepuluh orang moji yang
seluruhnya memakai pakaian surban berwarna putih. Empat dari sepuluh orang moji bertugas
untuk mengumandangkan azan pertama, sementara di bagian kanan arah utara duduk lagi
seorang muazzin yang bertugas mengumandangkan azan kedua dan di ujung paling kanan
duduk seorang petugas yang menyerahkan tongkat pada seorang khatib menjelang khutbah
akan dimulai.
Menjelang pelaksanaan salat Jumat, masuklah imam masjid dengan didampingi oleh
tungguna ganda menuju tempat khusus yang berada pada bagian terdepan dari mihrab.
Segera setelah imam berada pada tempatnya, maka empat orang moji mengumandangkan
azan secara bersamaan, sebelum azan dikumandangkan, keempat moji terlebih dahulu duduk
berdoa dengan meletakkan tangan di atas lantai, dan menjelang azan dikumandangkan
terlebih dahulu mereka membaca salawat.
Tradisi empat orang muazzin yang mengumandangkan azan secara bersamaan, menurut
masyarakat setempat didasarkan pada empat orang Imam mazhab. Menurut Hazirun simbol
tersebut menandakan pada adanya pengakuan terhadap ke empat Imam mazhab tersebut
sekaligus sebagai simbol toleransi intern di antara umat beragama. 20 Sumber lain
menyebutkan tradisi tersebut disimbolkan dengan empat orang sahabat utama nabi, yaitu Abu
Bakar,Umar,Usman dan Ali.
Setelah dikumandangkan azan, para jama’ah serentak melakukan salat sunat dua rakaat,
dan dilanjutkan dengan pembacaan salawat dan seruan yang intinya agar jamaah tidak gaduh
dan berbicara disaat khatib sedang berkhutbah.21 Sesaat menjelang khatib naik ke mimbar,
20
Hazirun, wawancara,
Seruan tersebut adalah hadis yang bersimber dari Abu Hurairah, yang menyebutkan, bahwasanya nabi
SAW bersabda ; Apabila engkau katakan diam pada temanmu pada hari jumat sewaktu imam berkhutbah, maka
21
10
maka salah seorang di antara moji berdiri dan mengambil tongkat yang diletakkan di bagian
kanan mimbar.Tongkat tersebut diambil terlebih dahulu oleh moji yang bertugas, maju dan
menghadap ke arah tongkat yang diikat dan diletakkan pada bagian kanan mimbar, sesaat
sebelum tali pengikat tongkat dilepas, sang moji berhenti sejenak sambil berdoa. Tongkat
kemudian dilepaskan dari tali pengikatnya dan dipegang oleh moji. Selanjutnya moji yang
mengambil tongkat tersebut perlahan lahan berbalik kiri sambil menggerakkan tongkat yang
di isaratkan dengan menulis kalimat Lâ Ilâha Illâ Allâh, hingga perputaran tersebut 180
derajat dan akhirnya berhadapan dengan jamaah.
Di saat berhadapan dengan jamaah, tongkat yang dipegang kemudian digoyangkan sebagai
isarat yang bertuliskan Muhammad, sambil menulis kata Muhammad, sang moji berniat di
dalam hati yang intinya mengumpulkan seluruh keinginan-keinginan buruk dan jahat para
penjahat. Kumpulan dari segala niat buruk tersebut selanjutnya diletakkan ke dalam simbol
huruf mim, yang merupakan huruf awal dari nama Muhammad, untuk selanjutnya ditusuk
dengan tombak, sebagai simbol, bahwa segala niat jahat manusia yang akan membuat
kerusakan dimusnahkan dari wilayah Buton.22
Setelah prosesi doa pemberian tongkat selesai, lalu majulah seorang khatib ke depan dan
moji yang menyerahkan tongkat kepada khatib membacakan sebuah hadis nabi yang intinya
menyerukan agar para jamaah diam dan mendengar khutbah yang akan dibacakan oleh
khatib. Tongkatpun diberikan dan diterima oleh khatib dengan penuh khusyuk, seterusnya
khatib dengan khusyuk naik ke tangga mimbar hingga sampai di atas dan mengucapkan
salam sebelum kemudian duduk. Dan seketika itu pula seorang moji kembali berdiri dan
mengumandangkan azan ke dua, sebagai pertanda ritual inti dari Jumat segera akan dimulai.
Khatib kemudian berkhutbah dengan memegang tongkat yang dibawanya. Khutbah yang
dibaca tersebut ditulis pada secarik kertas yang panjang dan tergulung.Oleh karena itu, ketika
membaca konsep tersebut perlahan lahan gulungan khutbah diulurkan hingga selesai.
Menjelang khutbah kedua dibacakan, seorang moji membaca salawat, dan setelah pembacaan
doa selanjutnya khatib kembali berdiri dan membaca khutbah kedua. Isi dari khutbah kedua
adalah doa yang dipanjatkan untuk keselamtan negeri dan penduduknya. Dengan berakhirnya
khutbah kedua berarti salat akan dimulai, yang didahului dengan mengumandangkan iqamat.
Imam kemudian berdiri dan memimpin salat Jumat.
Berakhirnya salat Jumat tidak berarti tugas para perangkat sara berakhir, tetapi masih terus
berlanjut hingga menjelang Asar. Para petugas sara setelah selesai salat Jumat dan para
jamaah kembali ke rumah masing-masing, mengadakan doa dan zikir-zikir tertentu. Mereka
duduk membujur menghadap ke barat dengan letak Imam berada paling depan. Para petugas
sara berdoa bagi keselamatan rakyat dan penduduk negeri baik dari serangan wabah penyakit
pada manusia maupun wabah tanaman yang dapat menyebabkan kelaparan bagi para
penduduk. Demikian pula doa agar masyarakat dihindarkan dari gangguan keamanan baik
yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar”.Ritual doa setelah Jumat ini
dilakukan hingga menjelang waktu Asar.23
sesungghunya engkau telah menghapus pahala salah Jumatmu ( HR. Bukhari), Bukhari, Sah ih Bukhâry
II,….hlm. 16
22
Zadi, wawancara, selain Zadi hal yang sama juga disebutkan oleh beberapa informan penulis, yaitu
Tahir.
23
Deskripsi diatas adalah hasil observasi penulis/ /Model salat Jumat yang dideskripsikan di atas, adalah
model salat Jumat yang dilakukan sejak masa masih aktifnya kesultanan. Corak salat Jumat tersebut di masa
berkuasanya pemerintahan Orde Baru, tepatnya pada masa berkuasanya Bupati Zainal Arifin Sugianto tahun 1977
dilarang untuk dipraktekkan, dan selanjutnya diseragamkan dengan cara Jumat yang berlaku umum di tengah
11
Ritual Jumat sebagai ritual mingguan dapat dipandang sebagai ritual komunal yang
diselenggarakan tidak saja semata-mata untuk tujuan ibadah vertikal an-sich, tetapi juga sebagai
upaya untuk membangun solidaritas sosial. Oleh karena itu, di antara doa penutup yang sering
dikumandangkan oleh khatib adalah doa memohon keselamatan kepada seluruh komponen
masyarakat muslim baik bagi mereka yang masih eksis di dunia nyata, maupun mereka yang
telah lebih dahulu menghadap Tuhan (meninggal dunia).
Penyelenggaraan salat Jumat di keraton sebagaimana yang telah dideskripsikan
menunjukkan pada kuatnya penekanan bagi terciptanya kesadaran komunal. Apa yang tergambar
pada tradisi “penancapan” ujung tombak dalam prosesi menjelang salat Jumat di dalam simbol
huruf mim dengan disertai niat untuk mengenyahkan semua maksud buruk yang ingin dijalankan
oleh para “penjahat”, secara eksplisit menunjukkan pada kesadaran untuk membangun
keselamatan komunal. Meskipun ritual ini dalam persepktif sejarah kesultanan merupakan
ekspresi politik etis penguasa untuk melindungi dan mengamankan negeri dari ancaman
serangan para penjahat, tetapi dalam perkembangan selanjutnya (yaitu di masa tidak berkuasanya
lagi para sultan), ibadah mohon keselamatan yang terdapat dalam rangkaian prosesi ritual Jumat
di keraton dewasa ini, lebih tertuju pada aspek sosial kemasyarakatan tanpa dilatar belakangi
oleh tendensi politik.
Selain itu sebagai masyarakat agraris, maka pesan-pesan “agraris” dalam bentuk doa bagi
kesuksesan panen juga include dalam ritual Jumat yang masih tampak terlihat di keraton hingga
kini. Doa bagi keselamatan negeri yang meliputi permohonan untuk mendapatkan hasil tanam
yang memadai dalam bentuk keterhindaran dari wabah penyakit tanaman menjadi bagian dari
salah satu rangkaian yang dimasukkan dalam ritual Jumat di tempat ini. Demikian pula dengan
permohonan untuk terhindar dari wabah penyakit yang mengancam kehidupan manusia.
Seluruh ritual dalam bentuk doa bagi keselamatan negeri, demikian pula untuk
menghindari wabah (kalele), adalah doa kolektif bagi seluruh masyarakat Buton. Itulah sebabnya
masyarakat. Menurut Riha Madi, pelarangan tersebut terkait erat dengan situasi dan kodisi politik pada waktu itu.
Lebih lanjut Madi, menyebutkan bahwa aparat sara agama keraton dan penduduk keraton umumnya berafiliasi pada
tradisi NU, dan pada masa itu saluran politik NU lebih dekat dengan PPP, sementara pemerintah pada sisi lain
merupakan perpanjangan tangan dari Golkar. Beranjak dari aspek politis tersebut, maka sistem ritual Jumat di
keraton sejak tahun 1977 dihentikan. Ritual Jumat seperti yang dijelaskan di atas kembali dihidupkan atas usulan
beberapa tokoh agama pada masa Bupati Hamzah, yaitu setelah PEMILU 1982. Perlu juga dijelaskan, bahwa di
masa kesultanan, salat Jumat di Buton dipusatkan pada satu tempat, yaitu di masjid Agung Keraton.Riha Madi,
Hazirun dan Zadi, wawancara
12
tradisi salat Jumat seperti yang terdapat di masjid keraton hanya dilakukan di keraton. Hal ini
juga tidak lepas dari keyakinan masyarakat setempat tentang sakralitas masjid Agung Keraton,
demikian pula dengan kedudukannya di antara masjid-masjid lainnya yang dianggap berbeda,
sehingga masjid ini dalam tradisi setempat dinamakan dengan masjid poago. Adapun mengenai
kesakralan masjid ini dapat ditelaah pada pernyataan Muchiru sebagai berikut :
“Masjid Keraton adalah suatu tempat yang secara mistik dipercayai sebagai masjid para
ahli tahkik. Dalam kaitan ini Muchiru menyebutkan, bahwa masjid keraton Buton adalah
masjid tempat muraqabah para ahli sufi dalam menjaga dan membentengi keselamatan
negeri dan seluruh masyarakat secara ijtihad bathiniyah atau yang dikenal dengan istilah;
masjid al-murâqabah shafi shaf’ul mu’minîn.24
3. Warisan
Dalam perspektif historis, Buton secara formal pernah menerapkan hukum Islam, tepatnya
pada masa Sultan Muhammad Idrus Qaimuddin atau sultan yang ke-29. Sultan yang dikenal
cakap ini, pada masa pemerintahannya pernah berusaha memformalkan hukum Islam sebagai
hukum negara.25 Maskipun kecenderungan formalistik tersebut ingin diterapkan dalam wilayah
kekuasaannya, namun dalam kasus-kasus tertentu sultan ini memiliki pemikiran yang sangat
moderat dan liberal. Pemikirannya dalam bidang waris yang dituangkan dalam sebuah buku
mawaris dijadikan sebagai salah satu perundang-undangan di wilayah kesultanan Buton hingga
berakhirnya masa kesultanan. Buku yang membahas tentang hukum pembagian waris tersebut
menunjukkan kecenderungan dan gaya berpikir Idrus yang moderat, khususnya dalam
memahami hak-hak wanita dalam sistem pewarisan.26
Pemikiran Idrus tentang waris memberikan ruang yang sangat besar bagi kesetaraan antara
pria dan wanita. Gagasan tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar dan pegangan oleh
masyarakat Buton, hingga sebelum berakhirnya masa kesultanan. Konsep waris dalam
perundangan-undangan yang ditulis oleh Idrus memberikan hak yang sama antara pria dan
24
Muchiru, Sara Patangauna…. hlm. 44 /Masjid ini hingga sebelum terbakarnya zâwiyah yang berada di
keraton hanya digunakan untuk salat Jumat dan dua hari raya. Bagi sebagian masyarakat Buton masjid ini memiliki
nilai kesakralan tersendiri. Muchiru menyebutnya sebagi masjid tahkik, atau dalam bahasa setempat disebut sebagai
masjid poago,maksudnya yang didalamnya dilakukan ibadah untuk meminta keselamtan negeri, atau bila terjadi
kekurangan rezki, wabah penyakit atau bila negeri mendapat ancaman dari serangan musuh. Ritual khusus untuk
mendoakan keselamatan negeri pada ritual jumat dapat dilihat pada upacara penyerahan tongkat dari seorang moji
kepada khatib. Keterangan diperoleh dari LaOde Zadi, wawancara.
25
Zahari, Adat…III, hlm. 28-30/ Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, terj. G.Widya, (Jakarta :
Jambatan, 2003), h. 145
26
Buku Idrus tentang waris atau faraid diterjemahkan oleh Zahari, dengan judul : SoalPembagian Harta
Pusaka Menurut Hadat Negeri Keradjaan Buton,(Bau-Bau: tp., 1955)
13
wanita, yaitu 1:1. Dalam Bab IV yang membahas bahagian anak sama satu sama lain, disebutkan
sebagai berikut :
“Bab ini menyatakan bahagian anak itu sama satu sama lain berdasarkan wasiat, karena
sebelumnya bahagian anak itu berbeda antara anak laki-laki dan perempuan, yaitu bahagian
anak laki-laki sebagai dua orang perempuan. Peraturan yang menyatakan berbeda antara
bahagian anak laki-laki dan perempuan itu adalah sebagai yang ternyata dalam buku
faraid”.27
Landasan argumen yang dijadikan sandaran berpijak bagi legalitas undang-undang
tersebut, bersumber dari konsepsi Quran yang menyatakan, bahwa manusia diciptakan dari satu
asal, seperti bunyi ayat; wa khalaq al-insân min mâin mahîn. Pencipataan manusia dari sumber
asal yang sama, dipahami oleh Idrussebagai prinsip kesetaraan, dan oleh karena itu dalam
pembagian warisan tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan.28
Selain bersandar pada argumen wahyu, Idrus juga mendasari pikirannya atas kondisi aktual
kehidupan masyarakat Buton pada saat itu. Bahwa kebiasaan masyarakat Buton untuk merantau
dalam rangka mencari penghidupan baik sebagai pedagang maupun pelaut, berkonsekuensi pada
kedudukan isteri yang ditinggalkan. Dalam kondisi yang demikian seorang isteri, selain
berkedudukan sebagai ibu bagi anak-anak mereka, sekaligus mengambil alih peran seorang ayah
sebagai kepala rumah tangga yang berkewajiban menghidupi anak dan keluarganya hingga sang
suami kembali ke tempat asal.29
Kondisi seorang ibu yang ditinggalkan kadang bertahun-tahun oleh suaminya menjadikan
peran mereka sangat signifikan dalam kehidupan rumah tangga, demikian pula dalam kaitannya
dengan pengumpulan harta bersama. Atas dasar kondisi tersebut Idrus berijtihad, bahwa selama
menyangkut harta warisan antara laki-laki dan wanita ditetapkan 1:1.Demikian pula dengan
kedudukan anak dalam sebuah keluarga, baik pria maupun wanita memiliki hak waris yang
sama. Sebagai dasar argumen dari pandangannya yang seolah-olah bertentangan dengan nash
Quran, beliau menyatakan dalam pembangunan kerajaan baik anak perempuan maupun pria
memiliki andil yang sama besarnya, demikian pula kewajiban mereka atas kerajaan sebangun
dan sefungsi. Buktinya terlihat dari masing-masing tugas mereka, kewajiban yang diemban
seorang permaisuri dalam membangun bangsa dan negeri tidak berbeda dengan kewajiban yang
27
28
Idrus, Soal…..hlm. 9
Ibid / Hazirun, wawancara,
29
Hazirunadan Zadi, wawancara,
14
diemban oleh sultan. Dengan demikian, adalah wajar dan rasional bila hak pembagian waris
antara keduanya adalah satu berbanding satu.30
Pandangan dan ijtihad Idrus pada awal abad ke-19 mengenai hak waris yang memberikan
porsi seimbang antara pria dan wanita dapat dikategorikan sebagai ijtihad yang luar biasa dan
melampaui pemikiran zamannya. Pemikiran serupa di zaman modern pernah dilontarkan oleh
mantan Menteri Agama Munawir Dzadzali, yaitu sekitar akhir tahun 80-an. Upaya Munawir
menawarkan gagasanya kontan mendapat tanggapan penolakan dari berbagai pihak, khususnya
kalangan tradisionalis.Berbanding dengan upaya Munawir, ijtihad dan gagasan Idrus tentang
keseimbangan dalam porsi pembagian waris antara pria dan wanita pada masanya mendapat
respon positif atau minimal tidak mengalami rintangan. Hal ini diduga kuat terjadi karena
gagasan tersebut dilontarkan oleh seorang sultan yang berkuasa dan dipuja oleh rakyatnya.
C. Akar Paradigma Fiqhi Keraton dalam Tradisi Islam: Landasan Legitimasi
Sebagai sebuah kenyataan, agama (termasuk didalamnya masail al-fiqhiyah) dan
kebudayaan dapat saling mempengaruhi, sebab keduanya merupakan nilai dan simbol. Agama
adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan terhadap kekuatan yang adikodrati, sedangkan
kebudayaan adalah nilai dan simbol yang mengarahkan manusia agar bisa hidup di
lingkungannya. Berbeda dengan kebudayaan yang sifatnya dapat berubah, agama seperti yang
diyakini oleh sebagian besar pemeluknya bersifat “final” dan tidak mengenal perubahan. Tetapi
meskipun agama disebut bersifat “abadi” atau “final”, karena ia berada dalam ruang dan proses
sejarah maka dapat saja kedudukan agama itu tergeser oleh kebudayaan. Interaksi dua arah itu
terjadi karena baik agama dan kebudayaan merupakan kenyataan sejarah. 31
Kenyataan seperti yang digambarkan di atas tampaknya terjadi pada tradisi fiqhi
masyarakat Buton. Orang Buton sebagai masyarakat yang berbudaya, sudah barang tentu
memiliki ciri dan karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan etnik atau masyarakat
lain. Perbedaan tersebut terbangun beriringan dengan proses perjalanan sejarah peradaban
mereka, dan agama sebagai sekumpulan nilai yang hidup dalam masyarakat tanpa terelakkan ikut
dalam arus sejarah yang terbangun. Atas dasar realitas kesejarahan itulah maka nuansa nilai-nilai
lokal dalam konsep keagamaan yang terbangun dalam suatu komunitas sulit untuk dapat
dihindari, karena ia lahir dari proses budaya masyarakat terkait. Dengan demikian, fenomena
30
31
Idrus, Soal…..hlm. 31
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2005). h. .201
15
lokalitas dalam suatu agama (baca: fiqhi) seperti yang tergambar dalam pemahaman dan
pengamalan orang Buton merupakan gejala umum dan alami yang dapat ditemukan dalam setiap
masyarakat, etnik dan agama manapun.
Perpaduan antara warna lokal dengan Islam dalam tradisi keberagamaan orang Buton
merupakan suatu fakta yang tak terbantahkan dalam praktek kehidupan beragama mereka.
Sebagai implikasi dari terjadinya proses perpaduan tersebut, terlihat bahwa dalam tataran
empirik perpaduan antara kultur local dengan Islam “ideal” dapat diperhatikan dalam berbagai
bentuk yang membumi dalam kultur keberagamaan masyarakat Buton. Karena itulah kadangkala
untuk tidak mengatakan selalu, sebagian besar orang Buton tidak dapat membedakan secara
tegas antara nilai-nilai local dengan ajaran Islam.
Dari uraian tentang aspek-aspek fiqhi thaharah atau kangkilo, ritual Jumatan maupun
hukum waris yang berkembang dan diajarkan di Buton sebagaimana yang telah dideskripsikan,
menggambarkan pada terjadinya interaksi antar budaya yang saling menyapa. Fenomena yang
terjadi di Buton merupakan gejala local, dan lokalitas tersebut sekaligus mengglobal. Artinya
dimensi lokalitas dalam tradisi fiqhi dapat ditemukan disemua tempat dan telah berlangsung
melintasi zaman. Pandangan tersebut sangat beralasan, jika disepakti bahwa fiqhi pada
hakikatnya adalah prodak pemahaman yang dihasilkan melalui proses interpretasi.
Fiqhi secara faktual adalah aktivitas nalar yang bertujuan untuk memahami ketentuanketentuan terinci (al-mufasshalat) dan ketentuan yang bersifat garis besar (al-mujamalat) untuk
mendorong serta menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam ajaran agama. Dalam
konteks tersebut, maka fiqhi pada hakikatnya adalah merupakan hasil dari tafsiran para fuqaha
terhadap teks-teks keagamaan (baca: Qur’an dan hadis), yang terkait dengan masalah hukum.
Dalam proses selanjutnya makna teks yang diproduksi tersebut kemudian menjelma menjadi
konsep hukum yang kemudian mengakar dalam ruang sejarah umat Islam dan selanjutnya
diperaktekkan oleh pemeluk agama sebagai pemilik teks.
Oleh karena itu, ketentuan fiqhi
sebagai hasil dari proses intrepretasi, sesungguhnya bukanlah prodak yang sepenuhnya “steril”
dari pengaruh faktor sosial, budaya bahkan politik yang berkembang ketika difatwakan oleh
seorang mujtahid. Salah contoh klasik untuk memperkokoh pandangan di atas adalah konsep
qawl jadid dan qawl qadim dalam pandangan-pandangan keagamaan Imam Syafi’i, yang secara
jelas menunjukkan adanya faktor “determinisme” budaya terhadap penafsiran teks-teks hukum
keagamaan.
16
Sebagai prodak tafsir atas teks, fiqhi sesungguhnya tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi
oleh banyak faktor, diantaranya; faktor lingkungan, politik, sosial dan budaya yang mengitari
penafsirnya. Dengan demikian, dialektika antara hasil tafsir dengan lingkungan yang mengitari
penafsir menjadi sesuatu yang niscaya. Dalam konteks di atas jelas telah terjadi tarik ulur antar
kedua elemen yaitu; antara teks dengan lingkungan yang mengitari penafsir. Keadaan tarik
menarik tersebut diyakini akan mendorong terciptanya akomodasi antar nilai yang dibawa oleh
teks dengan penafsir. Kondisi ini jelas (akan) berimplikasi pada hasil penafsiran terhadap suatu
teks.
Dalam konteks Buton, hal ini dapat dilihat dari fiqhi mawaris yang dikembangkan oleh
Sultan Idrus Qaimuddin. Fatwa Idrus tentang pola pembagian harta waris yang memberikan
keseimbangan antara hak laki-laki dan perempuan tidak berdiri sendiri, tetapi didasari oleh
argumentasi yang sarat dengan pertimbangan sosial budaya atau bahkan politik. Sehingga dalam
konteks tersebut, Idrus secara jelas dan nyata tidak terjebak dengan makna tekstual ayat mawaris
yang terkesan membedakan antara jata laki-laki dan perempuan (2:1). Memperhatikan padangan
Idrus sebagaimana yang telah dideskripsikan, maka paling tidak Idrus dalam kebijkannya telah
melakukan tiga hal yaitu: Pertama, Idrus secara prinsip melakukan pembaruan metodologis
dalam memahami ayat mawaris, dengan melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks fiqih klasik,
yang dipandangnya sebagai teks yang hidup (corpus terbuka). Kedua, fiqhi keraton tentang
mawaris, berupaya melakukan pembaruan pada level etis, yang didasarkan atas prinsip
kewajaran social yang rasional dan empirik. Ketiga, pembaruan pada tataran epsitemologis,
dengan menjadikan fiqhi sebagai konsep terbuka dinamis dalam menghadapi realitas social
budaya yang berkembang.
Fiqhi sebagai aktivitas nalar yang mewujud sebagai model-model pengetahuan yang
digunakan untuk mengintrepretasi dan memahamai serta mendorong bagi terciptanya tindakantindakan yang diperlukan, selain dipengaruhi oleh tradisi juga rentan dengan “persilungkuhan
politik”. Dalam konteks tersebut Michel Foucalt, menyebutkan, bahwa diskursus kebenaran
berada dalam relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan
menjaga kebenaran itu. Dengan demikian kebenaran adalah kekuasaan, lebih lanjut ia
menyebutkan:
Dalam setiap masyarakat, terdapat sejumlah hubungan kekuasaan yang merasuki,
mencirikan dan membentuk sendi masyarakat . Hubungan kekuasaan itu sendiri tak dapat
disusun, dimapankan dan diwujudkan tanpa penimbunan, pengedaran, serta berfungsinya
17
wacana tertentu. Adalah mustahil kekuasaan terlaksana tanpa adanya suatu ekonomi
wacana kebenaran yang beroperasi melalui dan berdasarkan relasinya dengan kekuasaan
itu. Kita ditundukkan untuk memproduksi kebenaran melalui dengan kekuasaan, dan kita
juga tak dapat melaksanakan kekuasaan tanpa melalui suatu produksi kebenaran. 32
Foucault berpendapat bahwa “kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling
menyatakan antara satu dan yang lainnya. Tidak ada relasi kekuasaan tanpa dinyatakan dalam
hubungannya dengan pengetahuan. Subyek yang mengetahui harus dipandang sebagai akibat
dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan/kekuasaan dan transformasi-transformasi
historis mereka. Dengan kata lain, kekuasaan dan pengetahuan saling bertautan dan berkaitan
erat. Oleh karena itu munculnya sebuah diskursus dalam wilayah sosial dan budaya manusia
menurut Foucault adalah merupakan usaha untuk menguatkan klaim-klaim kekuasaan dan
pengetahuan para profesional dan ahli.33
Upacara shalat Jumat di Keraton Buton yang merupakan kesinambungan dari sejarah masa
lalu, dapat ditelaah atau dibaca melalui perspektif Foucault. Fiqhi Keraton tentang shalat Jumat
sebagaimana yang diurai sebelumnya menunjukkan pada relasi antara bentuk ritual yang
diarahkan untuk memperkuat basis kekuasaan kesultanan pada masanya.Penyelenggaraan salat
Jumat di keraton sebagaimana yang telah dideskripsikan menunjukkan pada kuatnya penekanan
bagi terciptanya kesadaran komunal. Apa yang tergambar pada tradisi “penancapan” ujung
tombak dalam prosesi menjelang salat Jumat di dalam simbol huruf “mim” dengan disertai niat
untuk mengenyahkan semua maksud buruk yang ingin dijalankan oleh para “penjahat”, secara
eksplisit menunjukkan pada kesadaran untuk membangun keselamatan komunal disatu sisi, dan
pada sisi lain dapat dibaca sebagai upaya untuk memperkuat basis kekuasaan politik Sultan yang
sedang berkuasa. Dalam konteks Buton, seorang sultan yang di masa kekuasaannya tidak dapat
memberikan layanan stabilitas kepada rakyatnya, niscaya untuk lenser sebagai bentuk
pertanggung jawaban social.
Sebagaimana dalam tradisi kankilo, determinisme budaya local dalam tradisi ritual Jumat
dalam fiqhi keraton juga kasat pandang. Adanya permohonan yang berbasis pada pesan-pesan
“agraris” dalam bentuk doa bagi kesuksesan panen juga include dalam ritual Jumat yang masih
tampak terlihat di keraton hingga kini. Doa bagi keselamatan negeri yang meliputi permohonan
32
Michel Foucalt, Power/Knowledge: Selected Inteviews and Other Writings, ed. Colin Gordon, (Great
Britain: The Harvester Press, 1972), h. 52
33
Alaxander Aur, “ Pasca Strukturalisme Michel Foucault, dalam ,Teori-Teori Kebudayaan, Ed. Muji
Sutrisno, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 147
18
untuk mendapatkan hasil tanam yang memadai dalam bentuk keterhindaran dari wabah penyakit
tanaman menjadi bagian dari salah satu rangkaian yang dimasukkan dalam ritual Jumat di tempat
ini. Demikian pula dengan permohonan untuk terhindar dari wabah penyakit yang mengancam
kehidupan manusia.
Kental pekatnya nilai-nilai lokal dalam tradisi fiqhi keraton sebagaimana yang tergambar
dalam tradisi kankilo maupun pada upacara Jumatan, bukanlah dalil yang serta merta dapat
diklaim sebagai tradisi yang terkontaminasi oleh aroma “bid’ah”.Nurcholis Majid menyebutkan,
bahwa pengaruh kondisi obyektif seseorang/masyarakat dengan lingkungannya, termasuk model
pilihan keberagamaan tidaklah bermakna sebagai pembatalan segi universal suatu agama (Islam).
Lebih lanjut Majid menyatakan; kondisi tersebut hanyalah membawa akibat adanya realitas
keragamaan dalam penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama, yaitu keaneka
ragaman berkaitan dengan tatacara atau technicalities. 34 Dengan demikian mereka yang
melakukan praktek-praktek keagamaan yang seolah-olah “menyimpang” tidak perlu dituduh
sebagai keluar dari Islam, selama ajaran yang terumus dalam rukun iman dan rukun Islam
tampak jelas dalam ungkapan religius mereka.35
Secara historis, pertautan antara adat di satu sisi dengan Islam di sisi lain sebagai sebuah
paradigma, bukanlah merupakan suatu yang asing dalam konteks sejarah Islam masa awal.
Dalam sistem jurisprudensi Islam keberadaan dan sumbangan ide budaya lokal atau adat sangat
dimungkinkan, hal ini paling tidak terungkap pada istilah al-adat al-muhakkamah yang sangat
populer dalam ilmu ushul fiqih. Dengan demikian, dalam konteks tertentu adat atau budaya lokal
diakui keberadaannya sebagi sumber hukum. Tentu saja dengan catatan, bahwa budaya lokal
yang layak untuk dijadikan sumber hukum ialah yang tidak bertentangan secara diametral
dengan prinsip-prinsip Islam.
Sebagai sebuah keniscayaan, dapat dinyatakan, bahwa proses hubungan yang dialektis dan
timbal balik antara agama dan budaya lokal merupakan fenomena umum yang terjadi di manamana, sehingga apa yang terjadi di Buton dapat dinyatakan sebagai hal yang lumrah. Dalam
kaitan ini Amin Abdullah menyatakan, bahwa dalam banyak hal, penyimpangan-penyimpangan
atau kelainan-kelainan lokal yang terjadi pada pengamalan Islam di suatu daerah berfungsi sama
34
35
Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarata :Para Madinah, 2000), hlm. 545
Alfani Daud, Islam Masyarakat Banjar, (Jakarta: Rajawali,1997), h. 581
19
dengan agama-agama yang tidak memiliki tradisi tulis. 36 Menurut Geertz; Agama adalah satu
sistem kebudayaan yang memerlukan penafsiran akan makna melalui simbol-simbol yang
ditampilkannya. Islam tidak memandang wilayah teritorial, dan agama memang berasal dari
Firman Allah, akan tetapi penafsiran manusia tentang ajaran agama berhubungan erat dengan
kondisi sosio kultural masyarakat dimana Islam dipraktekan oleh masyarakatnya. 37
Oleh karena itu, seperti apapun pemaksaan Islam dalam bentuk purifikasi oleh
pemeluknya, sejarah membuktikan bahwa masyarakat memiliki rasionalitasnya sendiri. Varianvarian Islam yang ditampilkan oleh wajah Islam di Indonesia termasuk fenomena fiqhi keraton di
Buton, membuktikan bahwa masyarakat memiliki pemaknaan sendiri tentang ajaran agama yang
berasal dari Tuhan yang satu. Perbedaan akan varian-varian Islam tersebut disebabkan oleh
bangunan idiologi kultural masyarakat yang bersangkutan, historisitas masuknya agama dalam
wilayah tersebut, tingkat penerimaan masyarakat terhadap ajaran agama yang datang kemudian,
serta unsur-unsur luar yang menjadikan agama tersebut bisa diterima atau ditolak oleh
masyarakatnya.
D. Penutup
Fiqhi Keraton sebagai prodak ijtihad sebagaimana yang dideskripsikan pada beberapa
contoh kasus, secara prinsip dikonstruksi di atas landasan semangat pembaruan metodologis, yaitu
dengan melakukan reinterpretasi, dalam konteks tersebut teks yang ada dipandang sebagai teks yang
hidup (corpus terbuka). Dalam kasus mawaris misalnya, konten fiqhi keraton berpijak pada asumsi
pembaruan yang berada pada level etis, yang didasarkan atas prinsip kewajaran social yang rasional dan
empirik. Dalam tataran epsitemologis, fiqhi keraton adalah pengejawantahan dari gagasan fiqhi sebagai
konsep yang terbuka dan dinamis dalam menghadapi realitas social budaya yang berkembang.
Pada akhirnya dapat dinyatakan bahwa; “Fiqh Keraton” adalah prodak pemikiran fiqh yang
didesain berdasarkan karakter lokal masyarakatnya. Lokalitas yang kasat pandang pada muatan
fiqhi keraton, adalah hal yang tak terhindarkan, mengingat kualitas individu dan budaya dimana
sebuah hukum agama tumbuh bukanlah merupakan kaset kosong atau ruang hampa budaya,
sehingga agama (baca: fiqhi) dan budaya pada akhirnya merupakan dua hal yang selalu
bersekutu membentuk dan menggagas hidup bersama, dan oleh karena itu agama tidak dapat
menghindar dari lokalitas kultur yang bersifat relatif dan particular. Legitimasi dari eksistensi
36
M. Amin Abdullah, “ Kata Pengantar” dalam, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Ed. Zakiyuddin
Badhawy, (Surakarta : UMS Press, 2003), hlm. xviii-xix
37
Cilifford Geertz, The Interpretation of Cultures,(New York: Basic Books, 1973)
20
fiqhi keraton, paling tidak dapat dirujuk pada sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam,
yang memberikan ruang akomodasi atas tradisi, di atas landasan paradigmatik “adat almuhakkamat”
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar ,
1996
______Dinamika Islam Kultural, Bandung : Mizan , 1999
Alifuddin, Muhammad, Islam Buton (Interaksi Islam dengan Budaya Lokal), Jakarta: Balitbang
Depag RI, 2007
Anceaux, JC. , Wolio Dictionary (Wolio-English-Indobesia), USA Holland Providence, 1987
Aur, Alaxander “ Pasca Strukturalisme Michel Foucault, dalam ,Teori-Teori Kebudayaan, Ed.
Muji Sutrisno, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 147
Azra ,Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam, (Jakarta:: Paramadina,
1999
Connoly, Peter (ed). Approaches to The Study of Religion, terj. Imam Khoiri, Berbagai
Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002
Cortesao, Arnando (ed.) The Suma Oriented of Tom Pires Jilid I. London : Hukluyt Society,
1944
Foucalt, Michel, Power/Knowledge: Selected Inteviews and Other Writings, ed. Colin Gordon,
Great Britain: The Harvester Press, 1972
Ganiu, H. Abdul, Ajonga Ynda Malusa, terj. A.Mulku Zahari, (Bau-Bau, tp. t.th)
Geertz, Clifford, “Religion as a Culture System” dalam, Michael Banton (ed.), Anthropological
Approaches to the Study of Religion, (London, 1965)
--------The Religion of Java, terj. Aswab Mahasin (Jakarta : Pustaka Jaya, 1983)
--------Islam Observed, Religious Development in Marocco and Indonesia, (Chicago and
London: The University of Chicago Press, 1975)
Khaldum, Ibnu, Muqaddimah Ibnu Khaldum, Beirut : Dar el-Fikri, 1981
Koentjaranigrat, PengantarAntropologi, Jakarta : Dian Rakyat, 1974
______Sejarah Teori Antropologi I &II ,Jakarta ; UI Press, 1990
Kuntowijoyo, PMuslim Tanpa MasjidBandung: Mizan
Majid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992
Mulder, Niels ,Agama Hidup Sehari-Hari dan Perubahan Budaya, Jakarta : Gramedia, 1999,
Scwarz, Adam , A Nation in Waiting Indonesia in 1990s, Australia : Allen and Unwin Pty Ltd,
1994
Schoorl, J.W., Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, terj. G.Widya, Jakarta : Jambatan, 2003
21
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali Press, 2001
Yunus, Abdul Rahim, Posisis Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan Kesultanan Buton Abd. XIX,
Jakarta: INIS
Zahari, A. Mulku, Adat Fi Darul Butubi, Jakarta: Proyek Pengembangan Kebudayaan, 1975
BIODATA PENULIS
Nama
Tempat / Tgl. Lahir
Pekerjaan
NIP
Jabatan
Alamat
:
:
:
:
:
:
No KTP
E-mail
Pendidikan
:
:
Muhammad Alifuddin
Ujungpandang, 7 Juli 1968
Dosen STAIN Kendari
196807072000031002
Lektor Kepala/V/a
Jln. Haeba Dalam No. 32 Kendari
Telp. (0401) 3190697/HP.O81341842799/081341984075
7471030707680004
[email protected]
-
Sekolah Dasar Negeri Komplek Tanggul Patompo
Ujungpandang, th. 1975-1981
-
Madrasah Tsanawiyah Negeri, Ujungpandang, 1981-1984
SMA Muhammadiyah IV Ujungpandang, 1984-1987
IAIN Alauddin Ujungpandang, 1995 (S1)
Ma’had al-Lugah al-Arabiyah “al-Bir” 1998
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999 (S2)
Sandwich Scholarship Program, Internasional Islamic University, Malaysia,
2002
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007 (S3)
Short Course, Uni Melb Australia, 2009
Short Course Ethnography, Diktis Kemenag RI, 2012
Penelitian
-
Urgensi Ilmu Kritik Hadis dalam Menetapkan Hadis sebagai Dasar Berhujjah (1998)
Kritik Matan Hadis (Studi terhadap Pemikiran Hadis Muhammad al-Ghazali) (1999)
Analisis atas Metode Pemahaman Hadis Muhammad Yususf al-Qardhawi (2000)
Studi terhadap Pemikiran Tafsir Muhammad Abduh (P3M STAIN Kendari 2001)
Karakteristik dan Tipologi Islam Buton; Pendekatan Historis dan Antropologis (kompetitif nasional,
2003)
Mutabah Tujuh Kesultanan Buton (kompetitif nasional, 2004)
Islam dan Pluralisme (Studi terhadap Pandangan Tokoh Agama Kota Kendari ( kompetitif nasional,
2006)
Religiositas Lokal dalam Muhammadiyah (Respon Komunitas Muhammadiyah Buton terhadap
Tradisi Lokal) Kompettif Diktis, 2007
Upacara Siklus Posuo dalam Masyarakat Buton (P3M STAIN Kendari 2005)
Konsep Syuhada dalam Quran ( P3M STAIN Kendari 2006/ anggota tim)
22
-
Integrasi Nilai-nilai Islam dalam Upacara Siklus Heddasena pada Masayarakat Buton (P3M STAIN
Kendari, 2009)
Tradisi Lisan Keagamaan Masyarakat Buton, Balitbang Makassar, 2011
Paralelisme Keimanan: Relasi Kesepahaman antar Iman pada Masyarakat Tolaki Lambuya
(Kompetitif Diktis; 2011)
Determinisme Budaya Lokal dalam Tafsir Teks Keagamaan pada Masyarakat Buton (Penenlitian
P3M STAIN Kendari, 2013)
Islam dan Pluraslisme: Respon Masyarakat Tolaki Lambuya dan Wolasi tentang Paradigma
Keragaman ( Kompetitif Puslitbang Kemenag, 2013)
Dll.
Buku
1.
2.
3.
4.
5.
Islam Buton (Interaksi Islam dengan Budaya Lokal), Jakarta :Balitbang Depag RI, 2007
Sejarah dan Pengantar Ulumul Quran, Makassar: Bumi Bulat Bundar, 2008
Sketsa Pemikiran Hadis, Makassar: Bumi Bulat Bundar, 2009
Tradisi Lisan Keagamaan Masyarakat Buton, Kendari: LPSK Quantum, 2012
Pemikiran Muhammad Al-Ghazali tentang Kritik Matan Hadis, Kendari: LPSK Quantum, 2012
Kendari, 18 Agt. 2013
Muhammad Alifuddin
23
KEMENTERIANAGAMA RI
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM
Jln. Lapangan Banteng Barat No. 3-4 Jakarta
Telpon/Fax : 021 -3812344 I 3 4833981
JAKARTA
PENGUMUMAN
NOMOR : DJ.I/DLI.N
II
lPP.00.9
1259
412013
Tentang
PENETAPAN MAKALATI/ PAPER
ANNAAL INTERNATIONAL CONFEKENCE ON ISI-AMIC STUDIES (AICIS) KE-13
TAHUN 2013
Ass
alqmu' alaikum wr. wb.
Berdasarkan hasil penilaian tim seleksi makalah (call for papers) yang diajukan
kepada panitia Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-13, dan
mempertimbangkan kelayakan, kekhasan dan kesesuaian dengan grand thema AICIS ke-13,
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama zu dengan ini mengumumkan nama-nama peserta yang makalah/paper-nya
dinyatakan layak/lulus seleksi, untuk selanjutnya akan dipresentasikan pada Forum AICIS
ke-13 Tahun 2013 diMataram tanggal 18-21 November 2013.
Selanjutnya kami sampaikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Tim Penilai Makalah Annual International Conference on [slamic Studies (AICIS) ke-l3
terdiri dari:
a) Prof. Dr. Amin Abdullah
b) Prof. Dr. Azhar Arsyad, M.A
c) Prof. Dr. Amany Lubis, M.A
d) Prof. Muhammad Sirozi, Ph.D
e) Prof. Dr. Taufik
0 Noorhaidi Hasan, Ph.D
g) Dr. Jamhari
h) Masdar Hilmy, Ph.D.
i) Dr. Oman F. Rachman
j)
k)
Dr. Amir Aziz,M.A
Dr. Suprapto, M.A
2. Makalah yang dinyatakan layak/lulus seleksi, diharapkan melakukan revisi
makalah
dengan ketentuan sebagai berikut:
a)
b)
c)
Standar Penulisan Jurnal Ilmiah (Bibliography, footnote, font Times New Roman 12,
spasi 1.5, margin Kanan : 3 cm - Kiri; : 4 cm-Atas : 4 cm-Bawah : 3 cm) disimpan
dalam format rtf. (Rich Text Format).
Biography singkat maksimal I halaman.
Paper maksimal20 halarnan.
d)
e)
0
g)
a
J.
4.
5.
Paper berbahasa Arab dan Inggris agar diedit lembaga bahasa atau ahli bahasa.
Makalah yang sudah direvisi dikirim ke email Panitia dengan menuliskan subject "
Makalah Revisi AICIS XIII", paling lambat 05 November 2013.
Menyiapkan presentasi dalam bentuk Powerpoint untuk durasi 7 - 10 menit (max 10
slides Ms. Powerpoint), dan dikirim ke E-mail: [email protected] dan
subdit akademik@)zahoo.com dengan menggunakan subject "Presentasi Makalah
I
Revisi AICIS XIII" paling lambat 10 November 2013.
Untuk kepentingan publikasi, panitia akan melakukan penyesuaian terhadap beberapa
judul makalah.
Peserta yang tercantum namanya akan diundang
untuk
mempresentasikan
makalailpapers sesuai jadwal yang akan ditetapkan oleh panitia.
Bagi Pemakalah yang dinyatakan lulus dan di undang untuk presentasi pada forum AICIS
seluruh btaya Akomodasi, Konsumsi dan Transportasi dari tempat asal ke Mataram PP
ditanggung oleh Panitia Penyelenggarc dengan ketentuan membawa Surat Tugas dari
Instansi terkait dan bukti tiket perjalanan (PesawatlKereta Api/Bus/Taksi) sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Untuk konfirmasi dapat menghubungi : Sdr. Mustakim, HP No.
0813-14161567 danAbd Quddus 0817-5727787
Hal-hal lain yang belum diatur pada pengumuman ini akan ditentukan kemudian.
Demikianpengurnurnan ini disampaikan, atasperhatiannyadiucapkan terima kasih.
Wass alamu' alailanm
wr. wb.
22 Oktober 2013
dikan Tinggi Islarn
5 198703
I
003
The Announcement of Acceptance Papers
AICIS 13th Lombok IAIN Mataram,2013
November lBrh till
zt't,2073
Paper
ciw
No.
Name
Institute
1
Aksin Wijaya
STAIN Ponorogo
Ponorogo
2
Muhammad
STAI Miftahul Ula
Nganjuk
Ahmad Sururi
STAI Darussalam
Sukabumi
4
Ariza Fuadi
Sukabumi
Asosiasi Hukum dan
Syari'ah Indonesia
fogjakarta
5
H.
r
Anthropocentrism flntegration of Islam, Philosophy and
Sciencel
Thoyib
3
Iftitah Jafar
Universitas Islam
Negeri Alauddin,
Makasar
Contemporary Integration Model of Science and Religion
John F, Haught and Mehdi
Golshani:Philosophical Foundation for Strengthening
Islamic Hieher Education in Indonesia
Alternatif Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Perspektif
Etika Islam dan Etika Ekofeminisme
slamic Philanthropy on Social Media: New Way to
nform. to Communicate, and to Promote Social Welfare
n Indonesia [The Case #Sedekah Rombonean'l
Qur'anic Translation of Ministry of Religious Affairs of
Republic of Indonesia. [Reviewing and Improving the
in the Perspective of
Meaning
Makassar
of
Qur'anic Terms
of
Embryology and
Astronomvl
,.*tll: alJl t* &lS:lt a.*!
6
A. Ilyas Ismail
Universitas Islam
Asvafiivah lakarta
fakarta
7
H. Mohammad
STAIN Pamekasan
Pamekasan
I
Kosim
Khairunnas Rajab
UIN Suska Riau
Pekanbaru
9
Noviandy
STAI Teungku
Meulaboh
Integrasi Etika Sosial Politik untuk Syariat Islam di Aceh
Palembang
Model Integrasi Keilmuan pada Kurikulum di Universitas
Islam fSebuah Desain, Pengembangan dan Implementasi
Kurikulum Integratif di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Iakartal
What Psychology Can Owe from Islamic Studies?
fDialectic and Challenge of Integration between
Menyoal Islamisasi Sains di Madrasah (Studi Atas Buku
Aiar Sains di Madrasah')
Islamic Psychotherapy : a Islamic Solution for Mental
Health
Dirundeng
Meulaboh
Ramadhanita
Mustika Sari
IAIN Raden Fattah
t7
Subhani Kusuma
Dewi
UIN Sunan Kalijaga
Jogjakarta
fogjakarta
t2
Susiknan Azhari
UIN Sunan Kalijaga
fogjakarta
13
Muchammadun
Iosiakarta
IAIN Mataram
Mataram
L4
MuhammadAdib
STAI AI-Qolam
Malang
Amirah Diniaty
Gondanglegi Malang
Iawa Timur
UIN Suska Riau
Pekanbaru
10
Palembang
Psychology and Islam in Indonesial
15
Penyatuan Kalender Islam; Mendialogkan Wujudul Hilal
dan Visibilitas Hilal
Derivasi Paradigma Integrasi dan Interkoneksi pada
Social Work Sumbangan Pendidikan Tinggi Agama pada
Pilar Kearifan Sosial
Relasi Fikih dan Sains : Wacana Tematik Integrasi Agama
dan Sains
The Usage of Cell Phone as Individual Counseling Media
Teenagers and Islamic
to Solve Personal Problems of
Counselins Persnective
76
Armawati Arbi
UIN Syarif
Jakarta
T7
18
Muhmidayeli
UIN Suska Riau
Pekanbaru
Reza Fahmi Haji
IAIN Imam Bonjol
Padang
Abdurrachim
Padang
1lP*ge
Integration
of Spiritual
Communication, Islamic
Communication, and Environmental Communication :
Study cases, Management on Waste in Religious Affair
Department Complex, Bambu Apus, Pamulang in
Hidayatullah Iakarta
Tangerang Selatan, Banten Indonesia
Character-Based Curriculum; Psychological Study of the
Islamic Education in SLTA
The Correlation Betvyeen Character Building and
Peaceful Thinking of Students At Darussalam Modern
Islamic Boardine School in East Iava
No.
Name
L9
Amirulloh Syarbini
20
Asep Ahmad
2T
Fathurrohman
Tobroni
Institute
UIN Sunan Gunung
Diati, Banduns
Universitas Islam
Nusantara Banduns
Universitas
Muhammadiyah
ciw
Parrer
fawa Barat
Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Suku Baduy
Bandung
g,u
Banten
Malang
Lr\
"e.r"
Ll;l)
drt-lCl3 cr!:-:ll O#
4.lryl 4+J1l dlil*
(&Jtt-33il:+rFll
Prophetic Character Transformation for Development of
Peace Culture in School
Malane
22
Zaenal Abidin Eko
Putro
Universitas
Politeknik Negeri
Iakarta
The Guardian of Tolerant Islam a Study of Understanding
On Islam for Islamic Religious Education (lRE) Course
Teachers
Jakarta
At the
Diponegoro University
Semarang, Central Iava
23
24
d A*F !i-_r
(UNDIPJ,
+!t liIl l+ +"F
Idrus Muhsin bin
IAIN Sunan Ampel
Surabaya
l{*"
Akil
Surabava
IAIN Mataram
Mataram
Model Manajemen Kelas Berbasis Character Building
Syamsul Arifin
i-l_.p) p)SJt t_rk-
+$_,,,.l
(Leryb;iJl
Jlr
fStudi Kasus di Jurusan Matematika Fak. Tarbiyah dan
Ilmu Kependidikan IAIN Mataraml
25
Hj. Evi Fatimatur
26
Hj, Hurriyah Saleh
27
Isep Ali Sandi
IAIN Sunan Ampel
Surabava
IAIN Syekh Nurjati
Cirebon
STAI Sukabumi
28
M. Nur Ghufron
STAIN Kudus
Kudus
29
AndikWahyun
Muqoyyidin
Universitas
Pesantren Tinggi
fombang
Rusvdivah
Surabaya
Cirebon
Sukabumi
Mengawal Pendidikan Karakter Melalui Implementasi
Kurikulum 2013
New Paradigm of Islamic Education With Concentration
on Learning Program Development
Character and Moral Education Based Psychology of
Religion in Islamic Religious Education
Apakah Religiusitas Berpengaruh Terhadap Kesuksesan
Akademik ? Studi Meta Analisis
Deradikalisasi Pendidikan Islam dan Tantangannya di
Indonesia
Darul'Ulum
Iombang
30
H.
Abdullah
K.
STAIN Watampone
Watampone
Pelaksanaan Pendidikan Islam Berbasis Budaya Lokal
Keindonesiaan [Studi Terhadap Suku Bajo
31
Hasyim Asyari
Jakarta
STAIN Syaikh
Bangka
Pendidikan Kesetaraan Gender
Abdurrahman
Belitung
Pendidikan Agama Islam Sekolah Dasar
Minority Rights
UIN Syarif
Hidavatullah lakarta
32
Noblana Adib
Yang
Berorientasi Hidup di Laut Kabuoaten Bone'l
Implementasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 di
UIN Maulana Malik Ibrahim Malans
:
Analisis pada Buku
siddik
33
Raihani
UIN Suska Riau
Pekanbaru
34
Atun Wardatun
IAIN Mataram
Mataram
to Access Religion Classes: Three
Different Cases
Revisiting the Concept of Kafa'a [Equality or Suitability?)
in the Marriage Payment Practice
35
Muhammad Ansor
36
Rosita Tandos
37
Eko Suprayitno
3B
Muhammad
STAIN Zawiyah Cot
Kala Lanssa
IAIN Syekh Nurjati
Cirebon
UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang
Aceh
among Bimanese
Muslims Eastern Indonesia
Pakaian Ketat di Negeri Syariat Politik Tubuh, Kesalehan
dan Reistensi Perempuan Lanssa
Cirebon
Malang
Enhancing Prosperity and Justice for Indonesian Female
Domestic Workers
Zakat as a Deductable Income Tax: the Effect on Tax
Revenues and Social Justice in the Federal Territory of
Malaysia
STAIN Kendari
Kendari
Fiqhi Keraton: Diskursus Hukum Islam dalam Bingkai
Cirebon
Tradisi Lokal pada Masyarakat Buton
Islamics Courts and Legal Reasoning
Alifuddin
39
40
Ahmad Rofii
IAIN Syekh Nurjati
Muhammad Yasir
Cirebon
IAIN Ar-Raniry Aceh
Banda Aceh
Shofiyullah
UIN Sunan Kalijaga
fogjakarta
Muzammil
Iosiakarta
UIN Syarif
Hidavatullah Iakarta
fakarta
Yusuf
4t
42
Melina Ernomo
dkk
2lPage
in
Contemporary
Indonesia
The Principles of Islamic Corporate Social Responsibility
for Social lustice
Perjalanan Panjang Ushul Fikih: dari lllah Menuju
Maqashid Sebagai Teori Sistem
The Analysis Recognition Transaction of Murabahah
fBased PSAK 102 and Technical Bulletin 9l
43
Institute
Name
No.
Nofrianto
IAIN Sulthan Thaha
Paper
City
lambi
Jambi
Aspek Shari'ah Non Compliance pada
Mekanisme
Transaksi Saham Syariah Jakarta Islamic Index Bursa Efek
Indonesia
44
H. Abbas
Arfan
45
Ahmad Fuad
Fanani
Lalu Muhammad
UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang
Malang
Dari Illah ke Maqashid: Perbandingan Klasik Al-Ghazali,
Al-Thufi dan Al-Syatibi Dengan Konsep Maqashiq
Kontemporer lasser Auda dan Mashood A. Baderin
46
UIN Syarif
Hidavatullah lakarta
IAIH Pancor
fakarta
The Implementation of Shari'a By Laws and Its Impacts
on Indonesian Women
Lombok
Manuscripts and Acculturation
Timur
Indonesian Islamic Civilization
of
Syariah Values in
47
Mutawalli
IAIN Mataram
Mataram
Study on Fikih
Manuscriot in Lombok'l
Maqashid al-Syari'ah : Paradigma Istinbath Hukum Islam
48
Khaeron Sirin
PTIQ Jakarta
Jakarta
Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Kejahatan Korupsi
Ariadi
di
[A
Indonesia: Analisis Pendekatan Teori MaqAshid Al-
Svari'ah
49
50
Hermansyah
M.
Sholihin
IAI Qamarul Huda
Lombok
Baeu
Tensah
IAIN Imam Bonjol
Padang
Padang
51
Rahman El Junusi
IAIN Walisongo
Semarang
5Z
Elis Ratna Wulan
IAIN Sunan Gunung
Djati Bandung
Bandung
53
Helfi
STAIN Bukittinggi
Padang
54
M. Ridwan
IAIN Sumatera
Medan
M. Subandi
Utara Medan
UIN Sunan Gunung
Bandung
Air di Indonesia (Kajian Undang-Undang
Sumberdaya Air dan Ekonomi Islaml
Ekonomi Indonesia, Islamikah? Economic Islamicity Index
(EI2) dan Ekonomi Indonesia dalam Perspektif Maqashid
Svariah
Strategi Peningkatan Kinerja Koperasi Pondok Pesantren
Melalui Partisipasi Komitmen dan Kemampuan
Privatisasi
Berinovasi
55
Influence Level of Indonesian Bank Interest Rate and
Profit Sharing to Growth of Time Deposit Mudharabah At
Islamic Banking in Indonesia
Buruh Tani Wanita Panggilan dan Eksistensinya Menurut
Adat Minanekabau
Islamic Banking in Indonesia: a Study of Model and
Method to Increase Market Share
Developing Islamic Economic Production
Iati Banduns
56
H.
57
Nur Kholis
Distinctive Islamic Microfinance Application in Indonesia
as An Alternative Model of Islamic Finance Renaissance
Existence of Syaria Micro Financial Institution as a
Economic'S Pillar With Social Justice: Lesson Learned
From the Efforts of Bmt'S Agam Madani in Kab Agam
Sumatera Barat in Revitalizins Rill Sector
Islamic Banking in Global Economic Context [Critical
Studies of Operational System and Performance of Islamic
Bankinsl
Determinant of Povery Using Islamic Value Approach: a
Contrubution to Economy Policy for OIC Member
Countries and Non Member Countries in Southeast Asia
The Role of Islamic Rural Bank 0n Developing Rural
Economy in Indonesia Before and After Financial Crisis of
UII Jogjakarta
!ogjakarta
Hesi Eka Puteri
STAIN Bukittinggi
Padang
58
famal Abdul Aziz
STAIN Purwokerto
Purwokerto
59
Rozi Fery
Setiyaningsih
Bogor
60
Siti Amaroh
Tazkia University
College of Islamic
Economics, Bosor
STAIN Kudus
6L
Naqiyah Mukhtar
STAIN Purwokerto
Purwokerto
2008
The Family Planning in the Highlight
62
Fitriyah
UIN Maulana Malik
Malang
Sustainability CSR Disclosure
Fahrul Ulum
Ibrahim Malans
IAIN Sunan Ampel
53
Kudus
Surabaya
64
Ahmad Roziq
Universitas fember
Jember
65
Ahmad Najib
LIPI lakarta
Jakarta
3lPage
Islamik Banks in
Balancing Prosperity
and Social f ustice I
Islamic
Economic Svstem Aoproach I
Surabaya
Burhani
in
Indonesia
Kompetensi Account Officier Syariah Risiko dan Kinerja
Serta Kendala Pembiayaan Mudharabah pada Bmt di
Kabunaten Iember
The Arab Spring and the Reformasi '98: a Comparative
Studv of Popular Uprisinss in Tunisia and Indonesia
Download