FIQHI KERATON: Diskursus Hukum Islam dalam Bingkai Tradisi Lokal pada Masyarakat Buton Abstrak Tulisan ini adalah upaya akademik untuk menjelaskan fenomena pengamalan hukum Islam (baca: fiqhi) yang mewujud dalam sistem social dan budaya masyarakat Keraton Buton. Sekligus untuk memperoleh gambaran mendalam tentang implikasi sistem sosial dan budaya terhadap pemahaman fiqhi pada ruang sejarah masyarakat Buton. Seluruh data dalam tulisan ini diperoleh melalui serangkain wawacara mendalam, obesrvasi dan telaah dokumen. Untuk memperoleh kesimpulan, maka data-data tentang fokus masalah dianalisis secara kritis. Kesimpulan kajian menunjukkan bahwa; sekalipun Islam bagi masyarakat Buton telah menjadi basis idiologi kultural mereka, namun dalam tataran empirik warna dan corak budaya lokal masih mewarnai pengamalan keagamaan mereka. Pengalaman keagaman masyarakat Buton secara idiologis selalu merujuk pada pemahaman keraton, yang dapat dinyatakan sebagai fiqhi keraton. Fiqhikeraton adalah prodak ijtihad yang didesain berdasarkan karakter lokal masyarakatnya, yang merupakan hasil dari proses pergumulan antara hukum Islam dengan tradisi lokal. Legitimasi dari eksistensi fiqhi keraton, paling tidak dapat dirujuk pada sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam, yang memberikan ruang akomodasi atas tradisi, di atas landasan paradigmatik “adat al-muhakkamat”. Fiqhi Keraton secara prinsip dikonstruksi di atas landasan semangat pembaruan metodologis, yaitu dengan melakukan reinterpretasi, dimana teks dipandang sebagai sesuatu yang hidup (corpus terbuka). Konten fiqhi keraton berpijak pada asumsi pembaruan yang berada pada level etis, yang didasarkan atas prinsip kewajaran social yang rasional dan empirik. Sedangkan dalam tataran epsitemologis, fiqhi keraton adalah pengejawantahan dari gagasan fiqhi sebagai konsep yang terbuka dan dinamis dalam menghadapi realitas social budaya yang berkembang. Kata kunci: Fiqhi Keraton, Islam dan Budaya lokal. A. Latar Belakang Studi tentang kaitan Islam dankebudayaan dengan lokus masyarakat Buton telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Salah satu tulisan yang banyak dirujuk oleh para peneliti kebutonan adalah karya Abdul Mulku Zahari:Adat Fi Darul Butuni,1yang mengurai tentang sejarah dan adat istiadat Buton. Tulisan Zahari merupakan karya enskolopedis tentang Butonyang lebih menitik beratkan pada aspek kesejarahan. Selain Zahari, Pim Scoorl seorang antropolog asal Belanda juga melakukan penelitian tentang budaya dan masyarakat Buton. Demikian pula tulisan yang merupakan hasil disertasi Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di 1 Abdul Mulku Zahari, Adat Fi Darul Butuni, (Jakarta: Proyek Pengembangan Kebudayaan,1977) 1 Kesultanan Buton Abad XIX. 2Satu lagi tulisan atau hasil penelitian tentang Islam Buton (2007) yang dilakukan oleh Muhammad Alifuddin.3 Sejumlah tulisan di atas, mengarah pada satu kesimpulan; bahwa dalam persepektif sejarah, Islamisasi di Buton merupakan proses yang bersifat evolusioner. Diawali oleh konversi kekuasaan lokal ke dalam Islam pada abad ke-16, kemudian berkembang ke tingkat rakyat bawah. Pembentukan tradisi Islam pada sistem sosial budaya masyarakat berada dalam suatu ruang yang sarat dengan proses dialektis antara Islam dengan tradisi lokal. Oleh karena itu, sekalipun pada abad ke-17 Islam dinyatakan sebagai landasan konstitusional atau sumber “hukum”, tetapi tidak berarti pengaruh Islam bersifat tunggal tanpa pengaruh budaya lokal. Dalam banyak hal eksistensi budaya lokal masih tetap “kukuh” baik dalam sistem sosial kemasyarakatan maupun dalam sistem religi masyarakat setempat. 4 Dalam kondisi hubungan yang dialektis seperti yang digambarkan, maka Islam dituntut untuk mampu mendefinisikan keberadaannya di dalam budaya lokal, dan sebaliknya budaya lokal secara bertahap mendefinisikan keberadaannya dalam Islam. Dengan kata lain, konversi masyarakat terhadap Islam lebih menunjukkan pada suatu proses panjang menuju “kompromi” yang lebih besar terhadap “eksklusivisme” Islam. Kendatipunsejumlah tulisan di atas telaahnya terkait dengan problem Islam, kesejarahan dan budaya yang berkembang pada masyarakat Buton, namun belum ada yang secara spesifik mengungkap tentang kaitan fiqhi dengan tradisi dan politik lokal di Buton sebagaimana yang akan dikaji dalam tulisan ini. 5Berangkat dari kenyataan tersebut, maka penulis tertarik untuk mendeskripsikan sekaligus menelaah diskursus dan fenomena pengamalan hukum Islam (baca: fiqhi) yang mewujud dalam sistem social dan budaya masyarakat Keraton Buton. Dengan tema tersebut, tulisan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mendalam tentang implikasi sistem social dan budaya terhadap fiqhi pada ruang sejarah masyarakat Buton, sekaligus untuk megetahui faktor-faktor yang melatari dan membentuk fiqhi keraton sebagai implikasi dari tekanan budaya local. 2 Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton Abad XIX, (Jakarta : INIS, 1995) 3 Muhammad Alifuddin,Islam Buton (Interaksi Islam dengan Budaya Lokal),(Jakarta: Balitbang depag RI, 2007) 4 Ibid 5 Tulisan Schoorl misalnya lebih banyak mengulas tentang budaya masyarakat, sedangkan tulisan Yunus lebih fokus pada aspek tasawuf dalam hubungannya dengan sistem kekuasaan. 2 Seluruh data yang dimuat dalam tulisan ini diperoleh melalui serangkaian wawancara, observasi, dan telaah terhadap sejumlah dokumen/naskah klasik Buton. Data-data terkait fokus kajian yang diperoleh di lapangan, dianalitis secara kritis sebelum dituangkan dalam tulisan. Dengan demikian tulisan ini, diharapkan dapat memberi informasi akurat dan sistematis tentang tema yang diangkat. B. Determinisme Budaya Lokal dalam Tradisi Fiqhi di Buton: Beberapa contoh Kasus Perpaduan antara nilai lokal dengan Islam di Indonesia merupakan realitas tak terbantahkan, sehingga hal tersebut tampaknya telah menjadi kecenderungan umum,termasuk orang Buton. Hal ini disebabkan karena sebelum Islam tiba, berbagai macam adat kuno dan kepercayaan lokal menjadi bagian tak terpisahkan dari praktek kehidupan masyarakat dan telah menyatu dalam sistem sosial budaya masyarakat Indonesia. Ketika Islam datang, agama ini berhadapan atau bertemu dengan kenyataan tersebut. Menurut Geertz, kepercayaan tersebut justru diakomodir oleh “Islam” dan pada akhirnya disinkretisasikan dengan tradisi lokal, seperti yang dapat dilihat pada tipologi Islam abangan di Jawa. 6 Sebagaimana Geertz, Schwarz menyebutkan; “Islam dengan segelintir pengecualian, dipraktekkan di seluruh Indonesia sebagai agama tradisional rakyat, dimana-mana (terlihat) Islam di satukan dengan kepercayaan lokal. 7 Dalam proses selanjutnya, sebagai akibat dari “percampuran” yang sedemikian rupa, menjadikan masyarakat sulit untuk membedakan mana yang merupakan adat dan mana yang merupakan ajaran agama. Dalam konteks masyarakat Buton, kondisi ini semakin dikukuhkan dengan tidak jelasnya perbedaan antara pengertian agama dan adat dalam pespektif orang Buton. Terkadang “agama” dimaknai sebagai “adat” demikian pula sebaliknya, hal ini dapat diperhatikan pada penerjemahan dua kata tersebut seperti yang dilakukan Zahari terhadap tuntunan kehidupan atau etik birokrat kerajaan, yang tersimpul dalam kalimat: “Taposangu, taposanguyaku adati. Tapoga-a, tapoga-aka adati” Artinya ; “Bersatu, bersatukan karena agama. Bercerai berceraikan agama” 8 Kata adati oleh Zahari diterjemahkan dengan agama. Landasan argumen dari terjemahan tersebut didasarkan pada filosofi masyarakat Buton yang menjadikan atau menempatkan agama 6 Clifford Geertz, Islam Observed (Chicago : The University of Chicago Press, 1975), hlm. 28/Adam Scwarz, A Nation in Waiting Indonesia in 1990s, (Australia : Allen and Unwin Pty Ltd, 1994), hlm. 165/ 7 Adam Scwarz, A Nation in Waiting Indonesia in 1990s, (Australia : Allen and Unwin Pty Ltd, 1994), hlm. 165/ 8 Zahari, Sejarah…..hlm. 134 3 dalam posisi terpenting bagi kehidupan mereka, yang harus didahulukan dari; harta, diri dan negara. Penerjemahan ”adat” dengan makna agama meski tidak dapat diartikan sebagai dua hal yang identik dan persis, tetapi dalam banyak hal keduanya hampir tidak dapat dipisahkan. Pengaitan agama dengan adat atau sebaliknya dari sudut padang singkronis dapat dikatakan sebagai bagian dari world view orang Buton, sedang dari sudut pandang diakronis, baik agama dan adat keduanya telah mengalami proses kesinambungan dan perubahan. Dalam realitasnya perpaduan antara kultur lokal dan agama (baca: Islam) dapat dilihat dalam berbagai corak yang termanifestasi dalam kehidupan masyarakat Islam Buton. Berikut ini akan dideskripsikan beberapa contoh kasus yang merupakan hasil ”perkawinan” adat/budaya lokal dengan hukum Islam. 1. Kankilo : Thaharah dalam Perspektif Orang Buton Dalam kumpulan naskah-naskah klasik peninggalan para ulama di Buton, terdapat beberapa naskah yang menjelaskan atau membahas tentang tatacara bersuci (thaharah).Salah satu diantaranya ditulis oleh Sultan Muhammad Idrus Qaimuddin (1824-1851), dengan judul:fakihi (baca:Fiqhi). Sesuai dengan namanya, buku ini membahas tentang beberapa aspek mengenai masalah fiqhi, khususnya masalah thaharah. Hal ini dapat disimak dalam kata pengantar buku tersebut sebagai berikut : Kupebaangi Kutula-tula Kangkilo Aku mulai menceritakan kebersihan Osiytumo Puuna Pai amala Itulah pohonnya segala amal Kapupuana Bicarana Sambaheya Kesudahan masalah hukum sembahyang 9 Osyitumo Ariyna Islamu Itulah tiangnya Islam Bagi orang Buton, ritual bersuci (didalamnya tercakup wudlu, istinja, mandi janabat dan berbagai assesorisnya) telah menjadi bagian dari tradisi mereka yang hingga kini hidup dan dipelihara, ritual bersuci tersebut mereka namakan kankilo. Secara substansial kankilo adalah ritual bersuci10 yang dalam tradisi Islam dapat disejajarkan dengan thaharah. Meskipun secara teknis metodologis terdapat beberapa perbedaan antar kedua tradisi, namun bagi orang Buton kankilo adalah thaharah, dan thaharah adalah kankilo.Kankilo sebagai konsep thaharah yang hidup dalam kultur Buton, merupakan ijtihad ulama setempat yang berhasil mengawinkan antara Islam dengan tradisi local. 9 Muhammad Idrus Qaimuddin, Fakihi, (Bau-Bau : tp. t.th), hlm. 3 Kankilo, secara literal mengandung arti, suci, bersuci atau pensucian diri; JC. Anceaux, Wolio Dictionary (Wolio-English-Indobesia) (USA Holland Providence, 1987), h.66/ 10 4 Dengan demikian, kankilo pada prinsipnya adalah thaharah yang lahir dari konstruksi masyarakat muslim lokal, yang juga didasarkan atas prinsip-prinsip norma yang termuat dalam Qur’an dan hadis, sehingga dapat dinyatakan bahwa kankilo adalah fiqhi thaharah berbasis budaya lokal. Berikut ini akan dideskripsikan beberapa konsep kankiloyang hidup dalam kultur orang Buton hingga kini, yang mengurai tentang istinja dan wudlu. a. Istinja: dalam Kangkilo Patangauna disebutkan sebagai berikut: Setelah najis keluar, kita mengambil batu atau kayu-kayu yang tidak berguna dan kering. Kemudian disapu sampai kering, kemudian dijaga dengan hati-hati jangan sampai najis tersebut mengenai kulit yang lainnya. Jika najis tersebut mengenai kulit yang lainnya, tidak sah mencebok karena gosokan merupakan istinja awal. Kemudian kita mencebok atau membasuhnya, pertama-tama ibu jari kita membasuh pusar kita. Telunjuk kita membasuh selangkang kita disebelah kanan, kelingking kita membasuh pangkal paha disebelah kiri kita, jari tengah membasuh surga, jari manis kita membasuh neraka, tiga kali sebelah kanan tiga kali sebelah kiri. Kemudian seterusnya putar kanan terus sampai hilang sisa-sia najis itu, huruf dal asal tanah. Jika telah kesat atau bersih perasaan kita maka niatkanlah menghilangkan sisa najis itu menjadi huruf mim asal air. Jika telah resah perasaan kita maka pandangilah air seakan-akan menghilangkan huruf najis itu menjadi huruf Ha asal angin. Setelah bersih perasaan kita renungkanlah menghilangkan keragu-raguan najis di alam diri kita huruf alif asal api, kemudian mencuci zurriyyat adal tiga kali sambil membaca:Allahumma thahri qalbi minal nifaqi wahasinu farji minalfawahisyi ( Ya Allah ya Tuhanku sucikanlah hatiku dari sifat munafiq dan sucikanlah kemaluanku dari segala yang kotor).11 b. Wudhu: konsep wudhudalamKangkilo Patangauna disebutkan sebagai berikut: Kemudian membasuh tangan membersihkan daging kita, kemudian mulut membersihkan jantung kita, kemudian membasuh hidung membersihkan nafsu kita. Kemudian membasuh muka kita dengan niat; nawaitu raf’al hadasi asghorul istibahati shalati fardhan lillahi ta’ala”, saya berniat berwudhu menghilangkan hadas kecil untuk mendirikan shalat wajib karena Allah taala, bersamaan dengan tibanya air pada dahi kita, kemudian membasuh mata 11 Amapupuaka inaisi molimba itu taalamo batu atawa okau-kau, inda mokoampadea momatau. Kasimpo tapenkuri pokawaaka omatau onajisi itu. Maka janganiya booli ajampe ikuli mosaganana najisi itu. Barangkala ajampe ikuli mosaganana indamo osaha itu tapekaobusa karana tapenkuri itu osytumo istingga awwali. Kasimpo tapekaobusa, baabaana onganga ogeta abanui puseta syahadata abanui puuna kalata ikana. Kancilita abanui kancilta puuna kalata ikai lakina limata ibanui syoroga. Sosota ibanui narakaa talu wulinga palikana talu wulinga palikaai.Kasimpo tapalipali kaanamo pokawaaka aila ipupuna najisi itu, tantomakamo paila pupuna najisi itu hurufuna dale asala tana. Amararoaka onamisita tantomakamo paila lumuna najisi itu horofu mimu asala uwe. Amahuhiaka onamisita tantomakamo paila bouna najisi itu horufu ha asala ngalu. Amangkiloaka onamisita tontomakamo paila mokonamu-namu inajisi inuncana karota siy horufu alefu asala waa. Kasimpo tabanui zurriyati aadamu taluwulinga temomubaca inciasi. Allahumma thahri qalbi minal nifaqi wahasinu farji minalfawahisyi. (Naskah Kankilo Pantangauna (anonym)) 5 untuk membersihkan hati kita. Kemudian membasuh tangan sampai siku membersihkan dara kita. Kemudian membasuh ubun-ubun membersihkan otak kita. Kemudian membasuh telinga membersigkan empedu kita, kemudian membasuh leher membersihkan paru-paru kita, kemudian memabsuh kaki sampai mata kaki membersihkan malaikat; Jibril, Mikail,Israfil dan Izrail. 12 c. Mandi Wajib dalam Tradisi Kangkilo Kemudian ketika mandi junub pertama renungkanlah wadi masuk pada madi, madi masuk pada mani, mani masuk pada manikam. I’tikadkanlah semua hal itu menyatu dengan air yang akan dipakai mandi. Kemudian mulai membasuh dibagian kanan dengan niat: nawaitu raf’al haditsil akbaru istihatisshalati fardhan lillahi ta’ala, bersamaan dengan sampainya air pada kulit. Kemudian membasuh bagian kanan kemudian kiri kita, setelah itu dibagian belakang kita, rambut kita diratakan semua, kulit hidung, telinga, mata, pusar, keseluruh badan, sulbi ratakan semua lipatan dan juga jangan ada yang menghalangi turunnya air pada diri kita. Setelah bersih renungkanlah nurul iman seperti cahaya yang berada dipintu jantung dan meleburlah, maka sucilah diri kita seperti kesucian kita di alam missal, itulah yang disebut dengan junub.13 d. Bingkai Islam dalam Tradisi bersuci Orang Buton: Analisis Singkat Sebagai tradisi yang hidup dalam komunitas Orang Buton, kankilo memiliki kaitan erat dengan pandangan hidup Orang Buton.14 Dalam konteks tersebut, maka kankilo pada prinsipnya mengkomunikasikan ide dan gagasan masyarakat Buton tentang konsep bersuci, yang meliputi jasad kasar dan jiwa. Peraktek bersuci sebagai wujud gagasan sebagaimana yang terdapat dalam konsep kankilo, memiliki makna penting bagi orang Buton, dalam upaya mereka mencapai kesucian diri dan jiwa. 15 Konsep bersuci kankilo yang hidup dalam kultur keagamaan orang 12 Kasimpo tabaho limata tapekankilo antota. Kasimpo tabaho ngangata apekankilo baketa, kasimpo tabaho angota tapekankilo nafsuuta. Kasimpo tabaho routa niatimo, nawaitu raf’al hadasi asghorul istibahati shalati fardhan lillahi ta’ala”, asaubawa tee tumpuna uwe ibawona routa. Kasimpo tabaho matata tapekankilo yaeta, kasimpo tabaho limata kawana sikuta tapekankilo raata, kasimpo tabaho uwu-uwuta tapekangkilo otata. Kasimpo tabaho talongata tapekankilo piuta, kasimpo tabaho barokota tapekankilo kumbata. Kasimpo tabaho yaeta kawana biku-bikuta tapekangkilo Jabaraili, Mikaili,Iisrafili, Izraili. (Naskah Kankilo Pantangauna (anonym)) 13 Kasimpo tabaho weta ikanata, kasimpo tabaho weta ikaita, kasimpo tabaho weta iaroata. Kasimpo tabaho italingata tapalipua bari-baria bulata. Kasimpo tabaho ngangata, oangata, matata, opuseta, karota, isulubita, patipua, bari-baria lapita tee moduka booli temoempe siy tumpana uwe ikarota. Amankiloaka tapebaho tontomakamo iweitu tamangkilomo itu simbou kankilota iaalamu misali, Isyitumo isorongiaka jinubu 14 Salah satu muatan kankilo yang diwariskan secara turun temurun adalah; empat tuntunan bersuci, yaitu; istinja yang diibaratkan sebagai kesucian di alam arwah, mandi junud diibaratkan sebagai kesucian di alam mitsal, berwudhu diibaratkan sebagai kesucian di alam ajsam dan keyakinan yang ditempatkan dalam hati, diibaratkan sebagai kesucian di alam insane. Jika keempat hal tersebut dilakukan maka ia akan menghasilkan pribadi yang suci. Wawancara : LaOde Abu/13-8-013 15 Anceaux, Wolio….h. 66 6 Buton selama ini diajarkan secara turun temurun atau diwariskan melalui tradisi lisan. 16 Patut duga bahwa sebelum Islam menapakkan pengaruhnya di wilayah ini, tradisi atau ritual bersuci dan mensucikan diri telah menjadi bagian penting dalam tradisi hidup orang Buton. Ketika Islam mulai menanamkan pengaruhnya, dan juga membawa konsep bersuci seperti yang termuat dalam kitab-kitab fiqhi thaharah, maka konsep istinja, wudlu maupun mandi jinabat, kemudian diajarkan kepada masyarakat terkait. Namun demikian agar konsep bersuci tersebut tidak terkesan mengganti konsep bersuci “ala” kankilo, maka beberapa aspek dari tradisi kankilo yang ada dimasukkan ke dalam muatan thaharah yang berada dalam bingkai Islam Secara teknis metodologis, beberapa bagian dari tatacara, istinja, mandi jinabat dan wudhu sebagaimana yang terurai dalam bagian a, b dan c, tidaklah ditemukan dalam tradisi Islam awal atau sebagaimana yang termuat dalam teks-teks hadis yang membahas masalah terkait. Dapat dipastikan, bahwa sebagian dari ketentuan-ketentuan bersuci sebagaimana yang termaktub di atas adalah merupakan konstruk local. Fakta tersebut menggambarkan pada terjadinya interaksi antar budaya yang saling menyapa. Dari uraian tentang aspek-aspek fiqhi thaharah atau kangkilo yang berkembang dan diajarkan di Buton sebagaimana yang telah dideskripsikan, tampak jelas terjadinya interaksi antar budaya yang saling menyapa. Gambaran interaksi budaya yang disutradarai oleh ”Ulama” Buton masa awal yang mengawinkan antara tradisi lokal dengan Islam, adalah pilihan “terbaik” ketimbang mereduksi nilai-nilai lokal yang telah berurat berakar pada masyarakat setempat. Sekaligus menegaskan terjadinya determinasi budaya local dalam bagunan konsep fiqhi thaharah di Buton. 2. Konsep Shalat dalam Fiqhi Keraton LaOde Muchiru dalam Sara Patanguna menulis; tradisi Buton masa lalu mengenal empat pembagian salat yaitu ;(1).Salât al-nafs atau salat al-jasad, sesuai hukum, salat ini merupakan kewajiaban yang telah ditetapkan waktunya. (2), Salât Jum’at/ jamâ’ah, sesuai hukum, salat ini merupakan kewajiban mingguan, yang dilaksanakan secara beramai-ramai di Masjid. (3). Salât al-wusta yaitu salat sunat termasuk di dalamnya salat layl. Dan (4). Salâtazmi yaitu salat para nabi-nabi dan awliya.17 Untuk kepentingan melihat determinisme budaya local 16 Meskipun terdapat buku yang secara khusus mengurai tentang tradisi kankilo, namun kini sangat sulit ditemukan 17 Muchiru, Sara…hlm.167 7 dalam fiqhi shalat di Keraton Buton, maka pada tulisan ini penulis memilih untuk mendeskripsikan tentang Salât al-nafsdan Salât Jum’at/ jamâ’ah pada masyarakat Keraton. i). Salât al-Nafs Salah satu kewajiban mendasar yang diharuskan bagi umat Islam adalah sembahyang lima waktu atau biasa juga disebut dengan salat fardu. Tradisi propetik Muhammad SAW., meletakkan salat fardu sebagai tiang agama. Bahkan dalam sebuah pernyataan yang lebih keras dinyatakan, bagi seorang muslim yang dengan sengaja meninggalkan kewajiban ini dapat dianggap sebagai orang yang kufur. Itulah sebabnya para orang tua memiliki tanggung jawab sekaligus diperintahkan untuk memperkenalkan ibadah ini kepada anak-anak mereka sejak berusia tujuh tahun. Meskipun di tanah Buton ajaran Islam yang mula-mula berkembang banyak dipengaruhi oleh tradisi tasawuf yang berafiliasi pada ajaran Martabat Tujuh dengan nuansa paham wujûdiyah yang sangat “kental”, namun tidak berarti pengamalan aspek-aspek esotorik atau syariah menjadi suatu hal yang diabaikan. Yunus menyebutkan hal tersebut sebagai berikut : Ajaran tasawuf yang dianut di Buton pada abad ke-19, yang diajarkan oleh para tokoh sufi tampaknya tidak demikian. Pelaksanaan syariat di samping tasawuf, tetap dipentingkan. Hal ini ditandai dengan perhatian mereka pada pelaksanaan perbuatan lahiriah seperti salat, puasa, dan haji, sebagaimana yang terungkap dalam tulisan-tulisan mereka (para ulama Buton; pen.) Dalam hal ini Idrus (Kobadiana / Sultan ke-29 berkuasa th. 1824-1851; pen.) menyatakan bahwa nikmat yang paling tinggi adalah pada saat melihat Tuhan dalam mushâhadah. Tetapi ini dapat dicapai setelah segala perintah Tuhan seperti salat, puasa, dan zakat dilaksanakan…18 Dalam perspektif sejarah kesultanan Buton dipastikan pernah ada penekanan yang keras bagi masyarakat untuk menjalankan ibadah salat. Hal ini dibuktikan dalam sejarah Buton pernah terjadi seorang anggota masyarakat dihukum mati lantaran meninggalkan salat. Peristiwa tersebut terjadi pada masa kekuasaan Sultan Muhammad Idrus Qaimuddin. Dari kabanti yang ditulisnya, tampak jelas bahwa Idrus sangat menekankan kepada rakyatnya untuk memelihara dan menjalankan ibadah salat, sehingga bagi mereka yang melanggar atau sengaja meninggalkan ibadah salat, maka mereka harus menerima konsekuensi hukum yang berat. Idrus menyebutkan sebagai berikut; Barang siapa yang tidak menjalankan sembahyang Maka sesungguhnya orang itu telah kufur 18 Yunus, Posisi…..hlm. 100 8 Tiada berdosa orang yang membunuhnya Kepada mereka yang melawan itu Yaitu yang melawan perintah TuhanNya Yang tidak taat kepada nabiNya Barang siapa yang melawan Quran atau hadis Sesungguhnya orang itu dalah kafir Wajib bagi kita berani menyembelinya Sangat banyak pahala menyembeli (orang yang tidak sembahyang) Yang menyembelih yang menebang batang lehernya. Teks di atas secara jelas menunjukkan penekanan yang kuat oleh sultan terhadap rakyatnya agar memelihara ibadah salat, sehingga bagi mereka yang melanggar aturan tersebut dapat dikenakan hukuman mati, sedangkan bagi pelaku eksekusi tidak memiliki konsekuensi dosa dengan sebab mengeksekusi pelaku pelanggar syariat dimaksud (salat). Sekaitan dengan masalah tersebut, dalam sejarah masyarakat Buton dikenal satu istilah masubu yang dinisbahkan kepada seorang yang dieksekusi mati pada zaman Idrus, lantaran meninggalkan ibadah salat subuh.19 ii.Shalat Jumat Pada bagian penjelasan mengenai kewajiban menjalankan ibadah salat, telah diterangkan, bahwa dipastikan terdapat suatu perintah yang bersifat instruktif dari pihak kesultanan, khususnya pada masa berkuasanya Sultan Idrus Qaimuddin atau Kobadiana, mengenai pentingnya salat sebagai kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap warga masyarakat. Bagian ini secara khusus akan mendeskripsikan tentang upacara Shalat Jumat yang dalam kategorisasi Muchiru disebut sebagi salat jama’ah atau kewajiban mingguan. Berdasarkan hasil pengamatan penulis selama melakukan penelitian, secara umum teknis pelaksanaan salat Jumat di Kabupaten Buton diselenggarakan dengan mengikuti pola tradisi ritual Jumat yang berlaku sejak zaman Khalifah Usman, yaitu dengan menggunakan dua kali adzan yang didahului dengan pembacaan salawat Nabi sebelum muadzzin melakukan azan. Sesaat sebelum khatib naik ke mimbar seorang petugas sara membacakan sebuah hadis yang intinya menyerukan agar jamaah diam (tidak berisik apalagi berkata-kata) apabila khatib sedang berkhutbah. Dibeberapa masjid yang penulis kunjungi tidak jarang para ibu atau jamaah wanita turut serta dalam Shalat Jumat. 19 Hasinu Da’a (seorang tungguna abba jabatan yang merupakan rujukan dalam menanyakan segala halihwal mengenai adat istiadat di Kesultanan Buton) wawancara. 9 Salat Jumat di keraton Buton hingga kini proses atau tata cara pelaksanaannya masih mengikuti tradisi masa kesultanan. Tradisi salat Jumat ini meskipun secara substansial tidak berbeda dengan pelaksanaan Jumat di tempat lain, yang terdiri dari khutbah dan dua rakaat salat, tetapi jelas terlihat dalam beberapa aspek terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya. Berikut ini penulis deskripsikan suasana ritual Jumat yang penulis hadiri pada tanggal 23Agustus 2013. “Menjelang Jumattungguna ganda memukul beduk sebagai tanda atau panggilan bagi masyarakat sekitar untuk siap-siap menjalankan ibadah Jumat. Memasuki masjid Agung Keraton, di sudut pintu masuk diletakkan masing-masing enam buah tongkat, sementara dibagian pendopo bagian kanan terlihat imam masjid duduk bersila sambil berdoa dan berzikir. Imam ini baru masuk ke masjid manakala waktu Jumat sudah masuk dan pelaksanaan ritual akan dimulai kira-kira lima menit sebelum azan pertama dikumandangkan. Pada bagian depan pintu masuk ke ruang utama masjid, duduk empat orang tungguna ganda, yang bertugas menyambut para jamaah yang hadir. Di bagian depan masjid terdapat ruang mihrab dan terletak sebuah mimbar yang tidak persis disudut tetapi menyisahkan sedikit ruang kira-kira berukuran satu meter. Tempat bagian depan mihrab adalah tempat imam, dan sedikit bergeser ke belakang (masih dalam wilayah mihrab) adalah tempat para khatib yang terdiri dari empat orang dan lakina agama. Sementara di samping bagian utara masjid adalah tempat kedudukan sultan, tempat ini sejajar dengan tempat duduk khatib tetapi diantarai oleh sebuah mimbar. Di belakang para khatib atau di bagian tubuh masjid duduk sepuluh orang moji yang seluruhnya memakai pakaian surban berwarna putih. Empat dari sepuluh orang moji bertugas untuk mengumandangkan azan pertama, sementara di bagian kanan arah utara duduk lagi seorang muazzin yang bertugas mengumandangkan azan kedua dan di ujung paling kanan duduk seorang petugas yang menyerahkan tongkat pada seorang khatib menjelang khutbah akan dimulai. Menjelang pelaksanaan salat Jumat, masuklah imam masjid dengan didampingi oleh tungguna ganda menuju tempat khusus yang berada pada bagian terdepan dari mihrab. Segera setelah imam berada pada tempatnya, maka empat orang moji mengumandangkan azan secara bersamaan, sebelum azan dikumandangkan, keempat moji terlebih dahulu duduk berdoa dengan meletakkan tangan di atas lantai, dan menjelang azan dikumandangkan terlebih dahulu mereka membaca salawat. Tradisi empat orang muazzin yang mengumandangkan azan secara bersamaan, menurut masyarakat setempat didasarkan pada empat orang Imam mazhab. Menurut Hazirun simbol tersebut menandakan pada adanya pengakuan terhadap ke empat Imam mazhab tersebut sekaligus sebagai simbol toleransi intern di antara umat beragama. 20 Sumber lain menyebutkan tradisi tersebut disimbolkan dengan empat orang sahabat utama nabi, yaitu Abu Bakar,Umar,Usman dan Ali. Setelah dikumandangkan azan, para jama’ah serentak melakukan salat sunat dua rakaat, dan dilanjutkan dengan pembacaan salawat dan seruan yang intinya agar jamaah tidak gaduh dan berbicara disaat khatib sedang berkhutbah.21 Sesaat menjelang khatib naik ke mimbar, 20 Hazirun, wawancara, Seruan tersebut adalah hadis yang bersimber dari Abu Hurairah, yang menyebutkan, bahwasanya nabi SAW bersabda ; Apabila engkau katakan diam pada temanmu pada hari jumat sewaktu imam berkhutbah, maka 21 10 maka salah seorang di antara moji berdiri dan mengambil tongkat yang diletakkan di bagian kanan mimbar.Tongkat tersebut diambil terlebih dahulu oleh moji yang bertugas, maju dan menghadap ke arah tongkat yang diikat dan diletakkan pada bagian kanan mimbar, sesaat sebelum tali pengikat tongkat dilepas, sang moji berhenti sejenak sambil berdoa. Tongkat kemudian dilepaskan dari tali pengikatnya dan dipegang oleh moji. Selanjutnya moji yang mengambil tongkat tersebut perlahan lahan berbalik kiri sambil menggerakkan tongkat yang di isaratkan dengan menulis kalimat Lâ Ilâha Illâ Allâh, hingga perputaran tersebut 180 derajat dan akhirnya berhadapan dengan jamaah. Di saat berhadapan dengan jamaah, tongkat yang dipegang kemudian digoyangkan sebagai isarat yang bertuliskan Muhammad, sambil menulis kata Muhammad, sang moji berniat di dalam hati yang intinya mengumpulkan seluruh keinginan-keinginan buruk dan jahat para penjahat. Kumpulan dari segala niat buruk tersebut selanjutnya diletakkan ke dalam simbol huruf mim, yang merupakan huruf awal dari nama Muhammad, untuk selanjutnya ditusuk dengan tombak, sebagai simbol, bahwa segala niat jahat manusia yang akan membuat kerusakan dimusnahkan dari wilayah Buton.22 Setelah prosesi doa pemberian tongkat selesai, lalu majulah seorang khatib ke depan dan moji yang menyerahkan tongkat kepada khatib membacakan sebuah hadis nabi yang intinya menyerukan agar para jamaah diam dan mendengar khutbah yang akan dibacakan oleh khatib. Tongkatpun diberikan dan diterima oleh khatib dengan penuh khusyuk, seterusnya khatib dengan khusyuk naik ke tangga mimbar hingga sampai di atas dan mengucapkan salam sebelum kemudian duduk. Dan seketika itu pula seorang moji kembali berdiri dan mengumandangkan azan ke dua, sebagai pertanda ritual inti dari Jumat segera akan dimulai. Khatib kemudian berkhutbah dengan memegang tongkat yang dibawanya. Khutbah yang dibaca tersebut ditulis pada secarik kertas yang panjang dan tergulung.Oleh karena itu, ketika membaca konsep tersebut perlahan lahan gulungan khutbah diulurkan hingga selesai. Menjelang khutbah kedua dibacakan, seorang moji membaca salawat, dan setelah pembacaan doa selanjutnya khatib kembali berdiri dan membaca khutbah kedua. Isi dari khutbah kedua adalah doa yang dipanjatkan untuk keselamtan negeri dan penduduknya. Dengan berakhirnya khutbah kedua berarti salat akan dimulai, yang didahului dengan mengumandangkan iqamat. Imam kemudian berdiri dan memimpin salat Jumat. Berakhirnya salat Jumat tidak berarti tugas para perangkat sara berakhir, tetapi masih terus berlanjut hingga menjelang Asar. Para petugas sara setelah selesai salat Jumat dan para jamaah kembali ke rumah masing-masing, mengadakan doa dan zikir-zikir tertentu. Mereka duduk membujur menghadap ke barat dengan letak Imam berada paling depan. Para petugas sara berdoa bagi keselamatan rakyat dan penduduk negeri baik dari serangan wabah penyakit pada manusia maupun wabah tanaman yang dapat menyebabkan kelaparan bagi para penduduk. Demikian pula doa agar masyarakat dihindarkan dari gangguan keamanan baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar”.Ritual doa setelah Jumat ini dilakukan hingga menjelang waktu Asar.23 sesungghunya engkau telah menghapus pahala salah Jumatmu ( HR. Bukhari), Bukhari, Sah ih Bukhâry II,….hlm. 16 22 Zadi, wawancara, selain Zadi hal yang sama juga disebutkan oleh beberapa informan penulis, yaitu Tahir. 23 Deskripsi diatas adalah hasil observasi penulis/ /Model salat Jumat yang dideskripsikan di atas, adalah model salat Jumat yang dilakukan sejak masa masih aktifnya kesultanan. Corak salat Jumat tersebut di masa berkuasanya pemerintahan Orde Baru, tepatnya pada masa berkuasanya Bupati Zainal Arifin Sugianto tahun 1977 dilarang untuk dipraktekkan, dan selanjutnya diseragamkan dengan cara Jumat yang berlaku umum di tengah 11 Ritual Jumat sebagai ritual mingguan dapat dipandang sebagai ritual komunal yang diselenggarakan tidak saja semata-mata untuk tujuan ibadah vertikal an-sich, tetapi juga sebagai upaya untuk membangun solidaritas sosial. Oleh karena itu, di antara doa penutup yang sering dikumandangkan oleh khatib adalah doa memohon keselamatan kepada seluruh komponen masyarakat muslim baik bagi mereka yang masih eksis di dunia nyata, maupun mereka yang telah lebih dahulu menghadap Tuhan (meninggal dunia). Penyelenggaraan salat Jumat di keraton sebagaimana yang telah dideskripsikan menunjukkan pada kuatnya penekanan bagi terciptanya kesadaran komunal. Apa yang tergambar pada tradisi “penancapan” ujung tombak dalam prosesi menjelang salat Jumat di dalam simbol huruf mim dengan disertai niat untuk mengenyahkan semua maksud buruk yang ingin dijalankan oleh para “penjahat”, secara eksplisit menunjukkan pada kesadaran untuk membangun keselamatan komunal. Meskipun ritual ini dalam persepktif sejarah kesultanan merupakan ekspresi politik etis penguasa untuk melindungi dan mengamankan negeri dari ancaman serangan para penjahat, tetapi dalam perkembangan selanjutnya (yaitu di masa tidak berkuasanya lagi para sultan), ibadah mohon keselamatan yang terdapat dalam rangkaian prosesi ritual Jumat di keraton dewasa ini, lebih tertuju pada aspek sosial kemasyarakatan tanpa dilatar belakangi oleh tendensi politik. Selain itu sebagai masyarakat agraris, maka pesan-pesan “agraris” dalam bentuk doa bagi kesuksesan panen juga include dalam ritual Jumat yang masih tampak terlihat di keraton hingga kini. Doa bagi keselamatan negeri yang meliputi permohonan untuk mendapatkan hasil tanam yang memadai dalam bentuk keterhindaran dari wabah penyakit tanaman menjadi bagian dari salah satu rangkaian yang dimasukkan dalam ritual Jumat di tempat ini. Demikian pula dengan permohonan untuk terhindar dari wabah penyakit yang mengancam kehidupan manusia. Seluruh ritual dalam bentuk doa bagi keselamatan negeri, demikian pula untuk menghindari wabah (kalele), adalah doa kolektif bagi seluruh masyarakat Buton. Itulah sebabnya masyarakat. Menurut Riha Madi, pelarangan tersebut terkait erat dengan situasi dan kodisi politik pada waktu itu. Lebih lanjut Madi, menyebutkan bahwa aparat sara agama keraton dan penduduk keraton umumnya berafiliasi pada tradisi NU, dan pada masa itu saluran politik NU lebih dekat dengan PPP, sementara pemerintah pada sisi lain merupakan perpanjangan tangan dari Golkar. Beranjak dari aspek politis tersebut, maka sistem ritual Jumat di keraton sejak tahun 1977 dihentikan. Ritual Jumat seperti yang dijelaskan di atas kembali dihidupkan atas usulan beberapa tokoh agama pada masa Bupati Hamzah, yaitu setelah PEMILU 1982. Perlu juga dijelaskan, bahwa di masa kesultanan, salat Jumat di Buton dipusatkan pada satu tempat, yaitu di masjid Agung Keraton.Riha Madi, Hazirun dan Zadi, wawancara 12 tradisi salat Jumat seperti yang terdapat di masjid keraton hanya dilakukan di keraton. Hal ini juga tidak lepas dari keyakinan masyarakat setempat tentang sakralitas masjid Agung Keraton, demikian pula dengan kedudukannya di antara masjid-masjid lainnya yang dianggap berbeda, sehingga masjid ini dalam tradisi setempat dinamakan dengan masjid poago. Adapun mengenai kesakralan masjid ini dapat ditelaah pada pernyataan Muchiru sebagai berikut : “Masjid Keraton adalah suatu tempat yang secara mistik dipercayai sebagai masjid para ahli tahkik. Dalam kaitan ini Muchiru menyebutkan, bahwa masjid keraton Buton adalah masjid tempat muraqabah para ahli sufi dalam menjaga dan membentengi keselamatan negeri dan seluruh masyarakat secara ijtihad bathiniyah atau yang dikenal dengan istilah; masjid al-murâqabah shafi shaf’ul mu’minîn.24 3. Warisan Dalam perspektif historis, Buton secara formal pernah menerapkan hukum Islam, tepatnya pada masa Sultan Muhammad Idrus Qaimuddin atau sultan yang ke-29. Sultan yang dikenal cakap ini, pada masa pemerintahannya pernah berusaha memformalkan hukum Islam sebagai hukum negara.25 Maskipun kecenderungan formalistik tersebut ingin diterapkan dalam wilayah kekuasaannya, namun dalam kasus-kasus tertentu sultan ini memiliki pemikiran yang sangat moderat dan liberal. Pemikirannya dalam bidang waris yang dituangkan dalam sebuah buku mawaris dijadikan sebagai salah satu perundang-undangan di wilayah kesultanan Buton hingga berakhirnya masa kesultanan. Buku yang membahas tentang hukum pembagian waris tersebut menunjukkan kecenderungan dan gaya berpikir Idrus yang moderat, khususnya dalam memahami hak-hak wanita dalam sistem pewarisan.26 Pemikiran Idrus tentang waris memberikan ruang yang sangat besar bagi kesetaraan antara pria dan wanita. Gagasan tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar dan pegangan oleh masyarakat Buton, hingga sebelum berakhirnya masa kesultanan. Konsep waris dalam perundangan-undangan yang ditulis oleh Idrus memberikan hak yang sama antara pria dan 24 Muchiru, Sara Patangauna…. hlm. 44 /Masjid ini hingga sebelum terbakarnya zâwiyah yang berada di keraton hanya digunakan untuk salat Jumat dan dua hari raya. Bagi sebagian masyarakat Buton masjid ini memiliki nilai kesakralan tersendiri. Muchiru menyebutnya sebagi masjid tahkik, atau dalam bahasa setempat disebut sebagai masjid poago,maksudnya yang didalamnya dilakukan ibadah untuk meminta keselamtan negeri, atau bila terjadi kekurangan rezki, wabah penyakit atau bila negeri mendapat ancaman dari serangan musuh. Ritual khusus untuk mendoakan keselamatan negeri pada ritual jumat dapat dilihat pada upacara penyerahan tongkat dari seorang moji kepada khatib. Keterangan diperoleh dari LaOde Zadi, wawancara. 25 Zahari, Adat…III, hlm. 28-30/ Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, terj. G.Widya, (Jakarta : Jambatan, 2003), h. 145 26 Buku Idrus tentang waris atau faraid diterjemahkan oleh Zahari, dengan judul : SoalPembagian Harta Pusaka Menurut Hadat Negeri Keradjaan Buton,(Bau-Bau: tp., 1955) 13 wanita, yaitu 1:1. Dalam Bab IV yang membahas bahagian anak sama satu sama lain, disebutkan sebagai berikut : “Bab ini menyatakan bahagian anak itu sama satu sama lain berdasarkan wasiat, karena sebelumnya bahagian anak itu berbeda antara anak laki-laki dan perempuan, yaitu bahagian anak laki-laki sebagai dua orang perempuan. Peraturan yang menyatakan berbeda antara bahagian anak laki-laki dan perempuan itu adalah sebagai yang ternyata dalam buku faraid”.27 Landasan argumen yang dijadikan sandaran berpijak bagi legalitas undang-undang tersebut, bersumber dari konsepsi Quran yang menyatakan, bahwa manusia diciptakan dari satu asal, seperti bunyi ayat; wa khalaq al-insân min mâin mahîn. Pencipataan manusia dari sumber asal yang sama, dipahami oleh Idrussebagai prinsip kesetaraan, dan oleh karena itu dalam pembagian warisan tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan.28 Selain bersandar pada argumen wahyu, Idrus juga mendasari pikirannya atas kondisi aktual kehidupan masyarakat Buton pada saat itu. Bahwa kebiasaan masyarakat Buton untuk merantau dalam rangka mencari penghidupan baik sebagai pedagang maupun pelaut, berkonsekuensi pada kedudukan isteri yang ditinggalkan. Dalam kondisi yang demikian seorang isteri, selain berkedudukan sebagai ibu bagi anak-anak mereka, sekaligus mengambil alih peran seorang ayah sebagai kepala rumah tangga yang berkewajiban menghidupi anak dan keluarganya hingga sang suami kembali ke tempat asal.29 Kondisi seorang ibu yang ditinggalkan kadang bertahun-tahun oleh suaminya menjadikan peran mereka sangat signifikan dalam kehidupan rumah tangga, demikian pula dalam kaitannya dengan pengumpulan harta bersama. Atas dasar kondisi tersebut Idrus berijtihad, bahwa selama menyangkut harta warisan antara laki-laki dan wanita ditetapkan 1:1.Demikian pula dengan kedudukan anak dalam sebuah keluarga, baik pria maupun wanita memiliki hak waris yang sama. Sebagai dasar argumen dari pandangannya yang seolah-olah bertentangan dengan nash Quran, beliau menyatakan dalam pembangunan kerajaan baik anak perempuan maupun pria memiliki andil yang sama besarnya, demikian pula kewajiban mereka atas kerajaan sebangun dan sefungsi. Buktinya terlihat dari masing-masing tugas mereka, kewajiban yang diemban seorang permaisuri dalam membangun bangsa dan negeri tidak berbeda dengan kewajiban yang 27 28 Idrus, Soal…..hlm. 9 Ibid / Hazirun, wawancara, 29 Hazirunadan Zadi, wawancara, 14 diemban oleh sultan. Dengan demikian, adalah wajar dan rasional bila hak pembagian waris antara keduanya adalah satu berbanding satu.30 Pandangan dan ijtihad Idrus pada awal abad ke-19 mengenai hak waris yang memberikan porsi seimbang antara pria dan wanita dapat dikategorikan sebagai ijtihad yang luar biasa dan melampaui pemikiran zamannya. Pemikiran serupa di zaman modern pernah dilontarkan oleh mantan Menteri Agama Munawir Dzadzali, yaitu sekitar akhir tahun 80-an. Upaya Munawir menawarkan gagasanya kontan mendapat tanggapan penolakan dari berbagai pihak, khususnya kalangan tradisionalis.Berbanding dengan upaya Munawir, ijtihad dan gagasan Idrus tentang keseimbangan dalam porsi pembagian waris antara pria dan wanita pada masanya mendapat respon positif atau minimal tidak mengalami rintangan. Hal ini diduga kuat terjadi karena gagasan tersebut dilontarkan oleh seorang sultan yang berkuasa dan dipuja oleh rakyatnya. C. Akar Paradigma Fiqhi Keraton dalam Tradisi Islam: Landasan Legitimasi Sebagai sebuah kenyataan, agama (termasuk didalamnya masail al-fiqhiyah) dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi, sebab keduanya merupakan nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan terhadap kekuatan yang adikodrati, sedangkan kebudayaan adalah nilai dan simbol yang mengarahkan manusia agar bisa hidup di lingkungannya. Berbeda dengan kebudayaan yang sifatnya dapat berubah, agama seperti yang diyakini oleh sebagian besar pemeluknya bersifat “final” dan tidak mengenal perubahan. Tetapi meskipun agama disebut bersifat “abadi” atau “final”, karena ia berada dalam ruang dan proses sejarah maka dapat saja kedudukan agama itu tergeser oleh kebudayaan. Interaksi dua arah itu terjadi karena baik agama dan kebudayaan merupakan kenyataan sejarah. 31 Kenyataan seperti yang digambarkan di atas tampaknya terjadi pada tradisi fiqhi masyarakat Buton. Orang Buton sebagai masyarakat yang berbudaya, sudah barang tentu memiliki ciri dan karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan etnik atau masyarakat lain. Perbedaan tersebut terbangun beriringan dengan proses perjalanan sejarah peradaban mereka, dan agama sebagai sekumpulan nilai yang hidup dalam masyarakat tanpa terelakkan ikut dalam arus sejarah yang terbangun. Atas dasar realitas kesejarahan itulah maka nuansa nilai-nilai lokal dalam konsep keagamaan yang terbangun dalam suatu komunitas sulit untuk dapat dihindari, karena ia lahir dari proses budaya masyarakat terkait. Dengan demikian, fenomena 30 31 Idrus, Soal…..hlm. 31 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2005). h. .201 15 lokalitas dalam suatu agama (baca: fiqhi) seperti yang tergambar dalam pemahaman dan pengamalan orang Buton merupakan gejala umum dan alami yang dapat ditemukan dalam setiap masyarakat, etnik dan agama manapun. Perpaduan antara warna lokal dengan Islam dalam tradisi keberagamaan orang Buton merupakan suatu fakta yang tak terbantahkan dalam praktek kehidupan beragama mereka. Sebagai implikasi dari terjadinya proses perpaduan tersebut, terlihat bahwa dalam tataran empirik perpaduan antara kultur local dengan Islam “ideal” dapat diperhatikan dalam berbagai bentuk yang membumi dalam kultur keberagamaan masyarakat Buton. Karena itulah kadangkala untuk tidak mengatakan selalu, sebagian besar orang Buton tidak dapat membedakan secara tegas antara nilai-nilai local dengan ajaran Islam. Dari uraian tentang aspek-aspek fiqhi thaharah atau kangkilo, ritual Jumatan maupun hukum waris yang berkembang dan diajarkan di Buton sebagaimana yang telah dideskripsikan, menggambarkan pada terjadinya interaksi antar budaya yang saling menyapa. Fenomena yang terjadi di Buton merupakan gejala local, dan lokalitas tersebut sekaligus mengglobal. Artinya dimensi lokalitas dalam tradisi fiqhi dapat ditemukan disemua tempat dan telah berlangsung melintasi zaman. Pandangan tersebut sangat beralasan, jika disepakti bahwa fiqhi pada hakikatnya adalah prodak pemahaman yang dihasilkan melalui proses interpretasi. Fiqhi secara faktual adalah aktivitas nalar yang bertujuan untuk memahami ketentuanketentuan terinci (al-mufasshalat) dan ketentuan yang bersifat garis besar (al-mujamalat) untuk mendorong serta menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam ajaran agama. Dalam konteks tersebut, maka fiqhi pada hakikatnya adalah merupakan hasil dari tafsiran para fuqaha terhadap teks-teks keagamaan (baca: Qur’an dan hadis), yang terkait dengan masalah hukum. Dalam proses selanjutnya makna teks yang diproduksi tersebut kemudian menjelma menjadi konsep hukum yang kemudian mengakar dalam ruang sejarah umat Islam dan selanjutnya diperaktekkan oleh pemeluk agama sebagai pemilik teks. Oleh karena itu, ketentuan fiqhi sebagai hasil dari proses intrepretasi, sesungguhnya bukanlah prodak yang sepenuhnya “steril” dari pengaruh faktor sosial, budaya bahkan politik yang berkembang ketika difatwakan oleh seorang mujtahid. Salah contoh klasik untuk memperkokoh pandangan di atas adalah konsep qawl jadid dan qawl qadim dalam pandangan-pandangan keagamaan Imam Syafi’i, yang secara jelas menunjukkan adanya faktor “determinisme” budaya terhadap penafsiran teks-teks hukum keagamaan. 16 Sebagai prodak tafsir atas teks, fiqhi sesungguhnya tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya; faktor lingkungan, politik, sosial dan budaya yang mengitari penafsirnya. Dengan demikian, dialektika antara hasil tafsir dengan lingkungan yang mengitari penafsir menjadi sesuatu yang niscaya. Dalam konteks di atas jelas telah terjadi tarik ulur antar kedua elemen yaitu; antara teks dengan lingkungan yang mengitari penafsir. Keadaan tarik menarik tersebut diyakini akan mendorong terciptanya akomodasi antar nilai yang dibawa oleh teks dengan penafsir. Kondisi ini jelas (akan) berimplikasi pada hasil penafsiran terhadap suatu teks. Dalam konteks Buton, hal ini dapat dilihat dari fiqhi mawaris yang dikembangkan oleh Sultan Idrus Qaimuddin. Fatwa Idrus tentang pola pembagian harta waris yang memberikan keseimbangan antara hak laki-laki dan perempuan tidak berdiri sendiri, tetapi didasari oleh argumentasi yang sarat dengan pertimbangan sosial budaya atau bahkan politik. Sehingga dalam konteks tersebut, Idrus secara jelas dan nyata tidak terjebak dengan makna tekstual ayat mawaris yang terkesan membedakan antara jata laki-laki dan perempuan (2:1). Memperhatikan padangan Idrus sebagaimana yang telah dideskripsikan, maka paling tidak Idrus dalam kebijkannya telah melakukan tiga hal yaitu: Pertama, Idrus secara prinsip melakukan pembaruan metodologis dalam memahami ayat mawaris, dengan melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks fiqih klasik, yang dipandangnya sebagai teks yang hidup (corpus terbuka). Kedua, fiqhi keraton tentang mawaris, berupaya melakukan pembaruan pada level etis, yang didasarkan atas prinsip kewajaran social yang rasional dan empirik. Ketiga, pembaruan pada tataran epsitemologis, dengan menjadikan fiqhi sebagai konsep terbuka dinamis dalam menghadapi realitas social budaya yang berkembang. Fiqhi sebagai aktivitas nalar yang mewujud sebagai model-model pengetahuan yang digunakan untuk mengintrepretasi dan memahamai serta mendorong bagi terciptanya tindakantindakan yang diperlukan, selain dipengaruhi oleh tradisi juga rentan dengan “persilungkuhan politik”. Dalam konteks tersebut Michel Foucalt, menyebutkan, bahwa diskursus kebenaran berada dalam relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan menjaga kebenaran itu. Dengan demikian kebenaran adalah kekuasaan, lebih lanjut ia menyebutkan: Dalam setiap masyarakat, terdapat sejumlah hubungan kekuasaan yang merasuki, mencirikan dan membentuk sendi masyarakat . Hubungan kekuasaan itu sendiri tak dapat disusun, dimapankan dan diwujudkan tanpa penimbunan, pengedaran, serta berfungsinya 17 wacana tertentu. Adalah mustahil kekuasaan terlaksana tanpa adanya suatu ekonomi wacana kebenaran yang beroperasi melalui dan berdasarkan relasinya dengan kekuasaan itu. Kita ditundukkan untuk memproduksi kebenaran melalui dengan kekuasaan, dan kita juga tak dapat melaksanakan kekuasaan tanpa melalui suatu produksi kebenaran. 32 Foucault berpendapat bahwa “kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling menyatakan antara satu dan yang lainnya. Tidak ada relasi kekuasaan tanpa dinyatakan dalam hubungannya dengan pengetahuan. Subyek yang mengetahui harus dipandang sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan/kekuasaan dan transformasi-transformasi historis mereka. Dengan kata lain, kekuasaan dan pengetahuan saling bertautan dan berkaitan erat. Oleh karena itu munculnya sebuah diskursus dalam wilayah sosial dan budaya manusia menurut Foucault adalah merupakan usaha untuk menguatkan klaim-klaim kekuasaan dan pengetahuan para profesional dan ahli.33 Upacara shalat Jumat di Keraton Buton yang merupakan kesinambungan dari sejarah masa lalu, dapat ditelaah atau dibaca melalui perspektif Foucault. Fiqhi Keraton tentang shalat Jumat sebagaimana yang diurai sebelumnya menunjukkan pada relasi antara bentuk ritual yang diarahkan untuk memperkuat basis kekuasaan kesultanan pada masanya.Penyelenggaraan salat Jumat di keraton sebagaimana yang telah dideskripsikan menunjukkan pada kuatnya penekanan bagi terciptanya kesadaran komunal. Apa yang tergambar pada tradisi “penancapan” ujung tombak dalam prosesi menjelang salat Jumat di dalam simbol huruf “mim” dengan disertai niat untuk mengenyahkan semua maksud buruk yang ingin dijalankan oleh para “penjahat”, secara eksplisit menunjukkan pada kesadaran untuk membangun keselamatan komunal disatu sisi, dan pada sisi lain dapat dibaca sebagai upaya untuk memperkuat basis kekuasaan politik Sultan yang sedang berkuasa. Dalam konteks Buton, seorang sultan yang di masa kekuasaannya tidak dapat memberikan layanan stabilitas kepada rakyatnya, niscaya untuk lenser sebagai bentuk pertanggung jawaban social. Sebagaimana dalam tradisi kankilo, determinisme budaya local dalam tradisi ritual Jumat dalam fiqhi keraton juga kasat pandang. Adanya permohonan yang berbasis pada pesan-pesan “agraris” dalam bentuk doa bagi kesuksesan panen juga include dalam ritual Jumat yang masih tampak terlihat di keraton hingga kini. Doa bagi keselamatan negeri yang meliputi permohonan 32 Michel Foucalt, Power/Knowledge: Selected Inteviews and Other Writings, ed. Colin Gordon, (Great Britain: The Harvester Press, 1972), h. 52 33 Alaxander Aur, “ Pasca Strukturalisme Michel Foucault, dalam ,Teori-Teori Kebudayaan, Ed. Muji Sutrisno, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 147 18 untuk mendapatkan hasil tanam yang memadai dalam bentuk keterhindaran dari wabah penyakit tanaman menjadi bagian dari salah satu rangkaian yang dimasukkan dalam ritual Jumat di tempat ini. Demikian pula dengan permohonan untuk terhindar dari wabah penyakit yang mengancam kehidupan manusia. Kental pekatnya nilai-nilai lokal dalam tradisi fiqhi keraton sebagaimana yang tergambar dalam tradisi kankilo maupun pada upacara Jumatan, bukanlah dalil yang serta merta dapat diklaim sebagai tradisi yang terkontaminasi oleh aroma “bid’ah”.Nurcholis Majid menyebutkan, bahwa pengaruh kondisi obyektif seseorang/masyarakat dengan lingkungannya, termasuk model pilihan keberagamaan tidaklah bermakna sebagai pembatalan segi universal suatu agama (Islam). Lebih lanjut Majid menyatakan; kondisi tersebut hanyalah membawa akibat adanya realitas keragamaan dalam penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama, yaitu keaneka ragaman berkaitan dengan tatacara atau technicalities. 34 Dengan demikian mereka yang melakukan praktek-praktek keagamaan yang seolah-olah “menyimpang” tidak perlu dituduh sebagai keluar dari Islam, selama ajaran yang terumus dalam rukun iman dan rukun Islam tampak jelas dalam ungkapan religius mereka.35 Secara historis, pertautan antara adat di satu sisi dengan Islam di sisi lain sebagai sebuah paradigma, bukanlah merupakan suatu yang asing dalam konteks sejarah Islam masa awal. Dalam sistem jurisprudensi Islam keberadaan dan sumbangan ide budaya lokal atau adat sangat dimungkinkan, hal ini paling tidak terungkap pada istilah al-adat al-muhakkamah yang sangat populer dalam ilmu ushul fiqih. Dengan demikian, dalam konteks tertentu adat atau budaya lokal diakui keberadaannya sebagi sumber hukum. Tentu saja dengan catatan, bahwa budaya lokal yang layak untuk dijadikan sumber hukum ialah yang tidak bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip Islam. Sebagai sebuah keniscayaan, dapat dinyatakan, bahwa proses hubungan yang dialektis dan timbal balik antara agama dan budaya lokal merupakan fenomena umum yang terjadi di manamana, sehingga apa yang terjadi di Buton dapat dinyatakan sebagai hal yang lumrah. Dalam kaitan ini Amin Abdullah menyatakan, bahwa dalam banyak hal, penyimpangan-penyimpangan atau kelainan-kelainan lokal yang terjadi pada pengamalan Islam di suatu daerah berfungsi sama 34 35 Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarata :Para Madinah, 2000), hlm. 545 Alfani Daud, Islam Masyarakat Banjar, (Jakarta: Rajawali,1997), h. 581 19 dengan agama-agama yang tidak memiliki tradisi tulis. 36 Menurut Geertz; Agama adalah satu sistem kebudayaan yang memerlukan penafsiran akan makna melalui simbol-simbol yang ditampilkannya. Islam tidak memandang wilayah teritorial, dan agama memang berasal dari Firman Allah, akan tetapi penafsiran manusia tentang ajaran agama berhubungan erat dengan kondisi sosio kultural masyarakat dimana Islam dipraktekan oleh masyarakatnya. 37 Oleh karena itu, seperti apapun pemaksaan Islam dalam bentuk purifikasi oleh pemeluknya, sejarah membuktikan bahwa masyarakat memiliki rasionalitasnya sendiri. Varianvarian Islam yang ditampilkan oleh wajah Islam di Indonesia termasuk fenomena fiqhi keraton di Buton, membuktikan bahwa masyarakat memiliki pemaknaan sendiri tentang ajaran agama yang berasal dari Tuhan yang satu. Perbedaan akan varian-varian Islam tersebut disebabkan oleh bangunan idiologi kultural masyarakat yang bersangkutan, historisitas masuknya agama dalam wilayah tersebut, tingkat penerimaan masyarakat terhadap ajaran agama yang datang kemudian, serta unsur-unsur luar yang menjadikan agama tersebut bisa diterima atau ditolak oleh masyarakatnya. D. Penutup Fiqhi Keraton sebagai prodak ijtihad sebagaimana yang dideskripsikan pada beberapa contoh kasus, secara prinsip dikonstruksi di atas landasan semangat pembaruan metodologis, yaitu dengan melakukan reinterpretasi, dalam konteks tersebut teks yang ada dipandang sebagai teks yang hidup (corpus terbuka). Dalam kasus mawaris misalnya, konten fiqhi keraton berpijak pada asumsi pembaruan yang berada pada level etis, yang didasarkan atas prinsip kewajaran social yang rasional dan empirik. Dalam tataran epsitemologis, fiqhi keraton adalah pengejawantahan dari gagasan fiqhi sebagai konsep yang terbuka dan dinamis dalam menghadapi realitas social budaya yang berkembang. Pada akhirnya dapat dinyatakan bahwa; “Fiqh Keraton” adalah prodak pemikiran fiqh yang didesain berdasarkan karakter lokal masyarakatnya. Lokalitas yang kasat pandang pada muatan fiqhi keraton, adalah hal yang tak terhindarkan, mengingat kualitas individu dan budaya dimana sebuah hukum agama tumbuh bukanlah merupakan kaset kosong atau ruang hampa budaya, sehingga agama (baca: fiqhi) dan budaya pada akhirnya merupakan dua hal yang selalu bersekutu membentuk dan menggagas hidup bersama, dan oleh karena itu agama tidak dapat menghindar dari lokalitas kultur yang bersifat relatif dan particular. Legitimasi dari eksistensi 36 M. Amin Abdullah, “ Kata Pengantar” dalam, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Ed. Zakiyuddin Badhawy, (Surakarta : UMS Press, 2003), hlm. xviii-xix 37 Cilifford Geertz, The Interpretation of Cultures,(New York: Basic Books, 1973) 20 fiqhi keraton, paling tidak dapat dirujuk pada sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam, yang memberikan ruang akomodasi atas tradisi, di atas landasan paradigmatik “adat almuhakkamat” DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 1996 ______Dinamika Islam Kultural, Bandung : Mizan , 1999 Alifuddin, Muhammad, Islam Buton (Interaksi Islam dengan Budaya Lokal), Jakarta: Balitbang Depag RI, 2007 Anceaux, JC. , Wolio Dictionary (Wolio-English-Indobesia), USA Holland Providence, 1987 Aur, Alaxander “ Pasca Strukturalisme Michel Foucault, dalam ,Teori-Teori Kebudayaan, Ed. Muji Sutrisno, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 147 Azra ,Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam, (Jakarta:: Paramadina, 1999 Connoly, Peter (ed). Approaches to The Study of Religion, terj. Imam Khoiri, Berbagai Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002 Cortesao, Arnando (ed.) The Suma Oriented of Tom Pires Jilid I. London : Hukluyt Society, 1944 Foucalt, Michel, Power/Knowledge: Selected Inteviews and Other Writings, ed. Colin Gordon, Great Britain: The Harvester Press, 1972 Ganiu, H. Abdul, Ajonga Ynda Malusa, terj. A.Mulku Zahari, (Bau-Bau, tp. t.th) Geertz, Clifford, “Religion as a Culture System” dalam, Michael Banton (ed.), Anthropological Approaches to the Study of Religion, (London, 1965) --------The Religion of Java, terj. Aswab Mahasin (Jakarta : Pustaka Jaya, 1983) --------Islam Observed, Religious Development in Marocco and Indonesia, (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1975) Khaldum, Ibnu, Muqaddimah Ibnu Khaldum, Beirut : Dar el-Fikri, 1981 Koentjaranigrat, PengantarAntropologi, Jakarta : Dian Rakyat, 1974 ______Sejarah Teori Antropologi I &II ,Jakarta ; UI Press, 1990 Kuntowijoyo, PMuslim Tanpa MasjidBandung: Mizan Majid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992 Mulder, Niels ,Agama Hidup Sehari-Hari dan Perubahan Budaya, Jakarta : Gramedia, 1999, Scwarz, Adam , A Nation in Waiting Indonesia in 1990s, Australia : Allen and Unwin Pty Ltd, 1994 Schoorl, J.W., Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, terj. G.Widya, Jakarta : Jambatan, 2003 21 Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali Press, 2001 Yunus, Abdul Rahim, Posisis Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan Kesultanan Buton Abd. XIX, Jakarta: INIS Zahari, A. Mulku, Adat Fi Darul Butubi, Jakarta: Proyek Pengembangan Kebudayaan, 1975 BIODATA PENULIS Nama Tempat / Tgl. Lahir Pekerjaan NIP Jabatan Alamat : : : : : : No KTP E-mail Pendidikan : : Muhammad Alifuddin Ujungpandang, 7 Juli 1968 Dosen STAIN Kendari 196807072000031002 Lektor Kepala/V/a Jln. Haeba Dalam No. 32 Kendari Telp. (0401) 3190697/HP.O81341842799/081341984075 7471030707680004 [email protected] - Sekolah Dasar Negeri Komplek Tanggul Patompo Ujungpandang, th. 1975-1981 - Madrasah Tsanawiyah Negeri, Ujungpandang, 1981-1984 SMA Muhammadiyah IV Ujungpandang, 1984-1987 IAIN Alauddin Ujungpandang, 1995 (S1) Ma’had al-Lugah al-Arabiyah “al-Bir” 1998 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999 (S2) Sandwich Scholarship Program, Internasional Islamic University, Malaysia, 2002 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007 (S3) Short Course, Uni Melb Australia, 2009 Short Course Ethnography, Diktis Kemenag RI, 2012 Penelitian - Urgensi Ilmu Kritik Hadis dalam Menetapkan Hadis sebagai Dasar Berhujjah (1998) Kritik Matan Hadis (Studi terhadap Pemikiran Hadis Muhammad al-Ghazali) (1999) Analisis atas Metode Pemahaman Hadis Muhammad Yususf al-Qardhawi (2000) Studi terhadap Pemikiran Tafsir Muhammad Abduh (P3M STAIN Kendari 2001) Karakteristik dan Tipologi Islam Buton; Pendekatan Historis dan Antropologis (kompetitif nasional, 2003) Mutabah Tujuh Kesultanan Buton (kompetitif nasional, 2004) Islam dan Pluralisme (Studi terhadap Pandangan Tokoh Agama Kota Kendari ( kompetitif nasional, 2006) Religiositas Lokal dalam Muhammadiyah (Respon Komunitas Muhammadiyah Buton terhadap Tradisi Lokal) Kompettif Diktis, 2007 Upacara Siklus Posuo dalam Masyarakat Buton (P3M STAIN Kendari 2005) Konsep Syuhada dalam Quran ( P3M STAIN Kendari 2006/ anggota tim) 22 - Integrasi Nilai-nilai Islam dalam Upacara Siklus Heddasena pada Masayarakat Buton (P3M STAIN Kendari, 2009) Tradisi Lisan Keagamaan Masyarakat Buton, Balitbang Makassar, 2011 Paralelisme Keimanan: Relasi Kesepahaman antar Iman pada Masyarakat Tolaki Lambuya (Kompetitif Diktis; 2011) Determinisme Budaya Lokal dalam Tafsir Teks Keagamaan pada Masyarakat Buton (Penenlitian P3M STAIN Kendari, 2013) Islam dan Pluraslisme: Respon Masyarakat Tolaki Lambuya dan Wolasi tentang Paradigma Keragaman ( Kompetitif Puslitbang Kemenag, 2013) Dll. Buku 1. 2. 3. 4. 5. Islam Buton (Interaksi Islam dengan Budaya Lokal), Jakarta :Balitbang Depag RI, 2007 Sejarah dan Pengantar Ulumul Quran, Makassar: Bumi Bulat Bundar, 2008 Sketsa Pemikiran Hadis, Makassar: Bumi Bulat Bundar, 2009 Tradisi Lisan Keagamaan Masyarakat Buton, Kendari: LPSK Quantum, 2012 Pemikiran Muhammad Al-Ghazali tentang Kritik Matan Hadis, Kendari: LPSK Quantum, 2012 Kendari, 18 Agt. 2013 Muhammad Alifuddin 23 KEMENTERIANAGAMA RI DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM Jln. Lapangan Banteng Barat No. 3-4 Jakarta Telpon/Fax : 021 -3812344 I 3 4833981 JAKARTA PENGUMUMAN NOMOR : DJ.I/DLI.N II lPP.00.9 1259 412013 Tentang PENETAPAN MAKALATI/ PAPER ANNAAL INTERNATIONAL CONFEKENCE ON ISI-AMIC STUDIES (AICIS) KE-13 TAHUN 2013 Ass alqmu' alaikum wr. wb. Berdasarkan hasil penilaian tim seleksi makalah (call for papers) yang diajukan kepada panitia Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-13, dan mempertimbangkan kelayakan, kekhasan dan kesesuaian dengan grand thema AICIS ke-13, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama zu dengan ini mengumumkan nama-nama peserta yang makalah/paper-nya dinyatakan layak/lulus seleksi, untuk selanjutnya akan dipresentasikan pada Forum AICIS ke-13 Tahun 2013 diMataram tanggal 18-21 November 2013. Selanjutnya kami sampaikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Tim Penilai Makalah Annual International Conference on [slamic Studies (AICIS) ke-l3 terdiri dari: a) Prof. Dr. Amin Abdullah b) Prof. Dr. Azhar Arsyad, M.A c) Prof. Dr. Amany Lubis, M.A d) Prof. Muhammad Sirozi, Ph.D e) Prof. Dr. Taufik 0 Noorhaidi Hasan, Ph.D g) Dr. Jamhari h) Masdar Hilmy, Ph.D. i) Dr. Oman F. Rachman j) k) Dr. Amir Aziz,M.A Dr. Suprapto, M.A 2. Makalah yang dinyatakan layak/lulus seleksi, diharapkan melakukan revisi makalah dengan ketentuan sebagai berikut: a) b) c) Standar Penulisan Jurnal Ilmiah (Bibliography, footnote, font Times New Roman 12, spasi 1.5, margin Kanan : 3 cm - Kiri; : 4 cm-Atas : 4 cm-Bawah : 3 cm) disimpan dalam format rtf. (Rich Text Format). Biography singkat maksimal I halaman. Paper maksimal20 halarnan. d) e) 0 g) a J. 4. 5. Paper berbahasa Arab dan Inggris agar diedit lembaga bahasa atau ahli bahasa. Makalah yang sudah direvisi dikirim ke email Panitia dengan menuliskan subject " Makalah Revisi AICIS XIII", paling lambat 05 November 2013. Menyiapkan presentasi dalam bentuk Powerpoint untuk durasi 7 - 10 menit (max 10 slides Ms. Powerpoint), dan dikirim ke E-mail: [email protected] dan subdit akademik@)zahoo.com dengan menggunakan subject "Presentasi Makalah I Revisi AICIS XIII" paling lambat 10 November 2013. Untuk kepentingan publikasi, panitia akan melakukan penyesuaian terhadap beberapa judul makalah. Peserta yang tercantum namanya akan diundang untuk mempresentasikan makalailpapers sesuai jadwal yang akan ditetapkan oleh panitia. Bagi Pemakalah yang dinyatakan lulus dan di undang untuk presentasi pada forum AICIS seluruh btaya Akomodasi, Konsumsi dan Transportasi dari tempat asal ke Mataram PP ditanggung oleh Panitia Penyelenggarc dengan ketentuan membawa Surat Tugas dari Instansi terkait dan bukti tiket perjalanan (PesawatlKereta Api/Bus/Taksi) sesuai dengan peraturan yang berlaku. Untuk konfirmasi dapat menghubungi : Sdr. Mustakim, HP No. 0813-14161567 danAbd Quddus 0817-5727787 Hal-hal lain yang belum diatur pada pengumuman ini akan ditentukan kemudian. Demikianpengurnurnan ini disampaikan, atasperhatiannyadiucapkan terima kasih. Wass alamu' alailanm wr. wb. 22 Oktober 2013 dikan Tinggi Islarn 5 198703 I 003 The Announcement of Acceptance Papers AICIS 13th Lombok IAIN Mataram,2013 November lBrh till zt't,2073 Paper ciw No. Name Institute 1 Aksin Wijaya STAIN Ponorogo Ponorogo 2 Muhammad STAI Miftahul Ula Nganjuk Ahmad Sururi STAI Darussalam Sukabumi 4 Ariza Fuadi Sukabumi Asosiasi Hukum dan Syari'ah Indonesia fogjakarta 5 H. r Anthropocentrism flntegration of Islam, Philosophy and Sciencel Thoyib 3 Iftitah Jafar Universitas Islam Negeri Alauddin, Makasar Contemporary Integration Model of Science and Religion John F, Haught and Mehdi Golshani:Philosophical Foundation for Strengthening Islamic Hieher Education in Indonesia Alternatif Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Perspektif Etika Islam dan Etika Ekofeminisme slamic Philanthropy on Social Media: New Way to nform. to Communicate, and to Promote Social Welfare n Indonesia [The Case #Sedekah Rombonean'l Qur'anic Translation of Ministry of Religious Affairs of Republic of Indonesia. [Reviewing and Improving the in the Perspective of Meaning Makassar of Qur'anic Terms of Embryology and Astronomvl ,.*tll: alJl t* &lS:lt a.*! 6 A. Ilyas Ismail Universitas Islam Asvafiivah lakarta fakarta 7 H. Mohammad STAIN Pamekasan Pamekasan I Kosim Khairunnas Rajab UIN Suska Riau Pekanbaru 9 Noviandy STAI Teungku Meulaboh Integrasi Etika Sosial Politik untuk Syariat Islam di Aceh Palembang Model Integrasi Keilmuan pada Kurikulum di Universitas Islam fSebuah Desain, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum Integratif di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Iakartal What Psychology Can Owe from Islamic Studies? fDialectic and Challenge of Integration between Menyoal Islamisasi Sains di Madrasah (Studi Atas Buku Aiar Sains di Madrasah') Islamic Psychotherapy : a Islamic Solution for Mental Health Dirundeng Meulaboh Ramadhanita Mustika Sari IAIN Raden Fattah t7 Subhani Kusuma Dewi UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta fogjakarta t2 Susiknan Azhari UIN Sunan Kalijaga fogjakarta 13 Muchammadun Iosiakarta IAIN Mataram Mataram L4 MuhammadAdib STAI AI-Qolam Malang Amirah Diniaty Gondanglegi Malang Iawa Timur UIN Suska Riau Pekanbaru 10 Palembang Psychology and Islam in Indonesial 15 Penyatuan Kalender Islam; Mendialogkan Wujudul Hilal dan Visibilitas Hilal Derivasi Paradigma Integrasi dan Interkoneksi pada Social Work Sumbangan Pendidikan Tinggi Agama pada Pilar Kearifan Sosial Relasi Fikih dan Sains : Wacana Tematik Integrasi Agama dan Sains The Usage of Cell Phone as Individual Counseling Media Teenagers and Islamic to Solve Personal Problems of Counselins Persnective 76 Armawati Arbi UIN Syarif Jakarta T7 18 Muhmidayeli UIN Suska Riau Pekanbaru Reza Fahmi Haji IAIN Imam Bonjol Padang Abdurrachim Padang 1lP*ge Integration of Spiritual Communication, Islamic Communication, and Environmental Communication : Study cases, Management on Waste in Religious Affair Department Complex, Bambu Apus, Pamulang in Hidayatullah Iakarta Tangerang Selatan, Banten Indonesia Character-Based Curriculum; Psychological Study of the Islamic Education in SLTA The Correlation Betvyeen Character Building and Peaceful Thinking of Students At Darussalam Modern Islamic Boardine School in East Iava No. Name L9 Amirulloh Syarbini 20 Asep Ahmad 2T Fathurrohman Tobroni Institute UIN Sunan Gunung Diati, Banduns Universitas Islam Nusantara Banduns Universitas Muhammadiyah ciw Parrer fawa Barat Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Suku Baduy Bandung g,u Banten Malang Lr\ "e.r" Ll;l) drt-lCl3 cr!:-:ll O# 4.lryl 4+J1l dlil* (&Jtt-33il:+rFll Prophetic Character Transformation for Development of Peace Culture in School Malane 22 Zaenal Abidin Eko Putro Universitas Politeknik Negeri Iakarta The Guardian of Tolerant Islam a Study of Understanding On Islam for Islamic Religious Education (lRE) Course Teachers Jakarta At the Diponegoro University Semarang, Central Iava 23 24 d A*F !i-_r (UNDIPJ, +!t liIl l+ +"F Idrus Muhsin bin IAIN Sunan Ampel Surabaya l{*" Akil Surabava IAIN Mataram Mataram Model Manajemen Kelas Berbasis Character Building Syamsul Arifin i-l_.p) p)SJt t_rk- +$_,,,.l (Leryb;iJl Jlr fStudi Kasus di Jurusan Matematika Fak. Tarbiyah dan Ilmu Kependidikan IAIN Mataraml 25 Hj. Evi Fatimatur 26 Hj, Hurriyah Saleh 27 Isep Ali Sandi IAIN Sunan Ampel Surabava IAIN Syekh Nurjati Cirebon STAI Sukabumi 28 M. Nur Ghufron STAIN Kudus Kudus 29 AndikWahyun Muqoyyidin Universitas Pesantren Tinggi fombang Rusvdivah Surabaya Cirebon Sukabumi Mengawal Pendidikan Karakter Melalui Implementasi Kurikulum 2013 New Paradigm of Islamic Education With Concentration on Learning Program Development Character and Moral Education Based Psychology of Religion in Islamic Religious Education Apakah Religiusitas Berpengaruh Terhadap Kesuksesan Akademik ? Studi Meta Analisis Deradikalisasi Pendidikan Islam dan Tantangannya di Indonesia Darul'Ulum Iombang 30 H. Abdullah K. STAIN Watampone Watampone Pelaksanaan Pendidikan Islam Berbasis Budaya Lokal Keindonesiaan [Studi Terhadap Suku Bajo 31 Hasyim Asyari Jakarta STAIN Syaikh Bangka Pendidikan Kesetaraan Gender Abdurrahman Belitung Pendidikan Agama Islam Sekolah Dasar Minority Rights UIN Syarif Hidavatullah lakarta 32 Noblana Adib Yang Berorientasi Hidup di Laut Kabuoaten Bone'l Implementasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 di UIN Maulana Malik Ibrahim Malans : Analisis pada Buku siddik 33 Raihani UIN Suska Riau Pekanbaru 34 Atun Wardatun IAIN Mataram Mataram to Access Religion Classes: Three Different Cases Revisiting the Concept of Kafa'a [Equality or Suitability?) in the Marriage Payment Practice 35 Muhammad Ansor 36 Rosita Tandos 37 Eko Suprayitno 3B Muhammad STAIN Zawiyah Cot Kala Lanssa IAIN Syekh Nurjati Cirebon UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Aceh among Bimanese Muslims Eastern Indonesia Pakaian Ketat di Negeri Syariat Politik Tubuh, Kesalehan dan Reistensi Perempuan Lanssa Cirebon Malang Enhancing Prosperity and Justice for Indonesian Female Domestic Workers Zakat as a Deductable Income Tax: the Effect on Tax Revenues and Social Justice in the Federal Territory of Malaysia STAIN Kendari Kendari Fiqhi Keraton: Diskursus Hukum Islam dalam Bingkai Cirebon Tradisi Lokal pada Masyarakat Buton Islamics Courts and Legal Reasoning Alifuddin 39 40 Ahmad Rofii IAIN Syekh Nurjati Muhammad Yasir Cirebon IAIN Ar-Raniry Aceh Banda Aceh Shofiyullah UIN Sunan Kalijaga fogjakarta Muzammil Iosiakarta UIN Syarif Hidavatullah Iakarta fakarta Yusuf 4t 42 Melina Ernomo dkk 2lPage in Contemporary Indonesia The Principles of Islamic Corporate Social Responsibility for Social lustice Perjalanan Panjang Ushul Fikih: dari lllah Menuju Maqashid Sebagai Teori Sistem The Analysis Recognition Transaction of Murabahah fBased PSAK 102 and Technical Bulletin 9l 43 Institute Name No. Nofrianto IAIN Sulthan Thaha Paper City lambi Jambi Aspek Shari'ah Non Compliance pada Mekanisme Transaksi Saham Syariah Jakarta Islamic Index Bursa Efek Indonesia 44 H. Abbas Arfan 45 Ahmad Fuad Fanani Lalu Muhammad UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Malang Dari Illah ke Maqashid: Perbandingan Klasik Al-Ghazali, Al-Thufi dan Al-Syatibi Dengan Konsep Maqashiq Kontemporer lasser Auda dan Mashood A. Baderin 46 UIN Syarif Hidavatullah lakarta IAIH Pancor fakarta The Implementation of Shari'a By Laws and Its Impacts on Indonesian Women Lombok Manuscripts and Acculturation Timur Indonesian Islamic Civilization of Syariah Values in 47 Mutawalli IAIN Mataram Mataram Study on Fikih Manuscriot in Lombok'l Maqashid al-Syari'ah : Paradigma Istinbath Hukum Islam 48 Khaeron Sirin PTIQ Jakarta Jakarta Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Kejahatan Korupsi Ariadi di [A Indonesia: Analisis Pendekatan Teori MaqAshid Al- Svari'ah 49 50 Hermansyah M. Sholihin IAI Qamarul Huda Lombok Baeu Tensah IAIN Imam Bonjol Padang Padang 51 Rahman El Junusi IAIN Walisongo Semarang 5Z Elis Ratna Wulan IAIN Sunan Gunung Djati Bandung Bandung 53 Helfi STAIN Bukittinggi Padang 54 M. Ridwan IAIN Sumatera Medan M. Subandi Utara Medan UIN Sunan Gunung Bandung Air di Indonesia (Kajian Undang-Undang Sumberdaya Air dan Ekonomi Islaml Ekonomi Indonesia, Islamikah? Economic Islamicity Index (EI2) dan Ekonomi Indonesia dalam Perspektif Maqashid Svariah Strategi Peningkatan Kinerja Koperasi Pondok Pesantren Melalui Partisipasi Komitmen dan Kemampuan Privatisasi Berinovasi 55 Influence Level of Indonesian Bank Interest Rate and Profit Sharing to Growth of Time Deposit Mudharabah At Islamic Banking in Indonesia Buruh Tani Wanita Panggilan dan Eksistensinya Menurut Adat Minanekabau Islamic Banking in Indonesia: a Study of Model and Method to Increase Market Share Developing Islamic Economic Production Iati Banduns 56 H. 57 Nur Kholis Distinctive Islamic Microfinance Application in Indonesia as An Alternative Model of Islamic Finance Renaissance Existence of Syaria Micro Financial Institution as a Economic'S Pillar With Social Justice: Lesson Learned From the Efforts of Bmt'S Agam Madani in Kab Agam Sumatera Barat in Revitalizins Rill Sector Islamic Banking in Global Economic Context [Critical Studies of Operational System and Performance of Islamic Bankinsl Determinant of Povery Using Islamic Value Approach: a Contrubution to Economy Policy for OIC Member Countries and Non Member Countries in Southeast Asia The Role of Islamic Rural Bank 0n Developing Rural Economy in Indonesia Before and After Financial Crisis of UII Jogjakarta !ogjakarta Hesi Eka Puteri STAIN Bukittinggi Padang 58 famal Abdul Aziz STAIN Purwokerto Purwokerto 59 Rozi Fery Setiyaningsih Bogor 60 Siti Amaroh Tazkia University College of Islamic Economics, Bosor STAIN Kudus 6L Naqiyah Mukhtar STAIN Purwokerto Purwokerto 2008 The Family Planning in the Highlight 62 Fitriyah UIN Maulana Malik Malang Sustainability CSR Disclosure Fahrul Ulum Ibrahim Malans IAIN Sunan Ampel 53 Kudus Surabaya 64 Ahmad Roziq Universitas fember Jember 65 Ahmad Najib LIPI lakarta Jakarta 3lPage Islamik Banks in Balancing Prosperity and Social f ustice I Islamic Economic Svstem Aoproach I Surabaya Burhani in Indonesia Kompetensi Account Officier Syariah Risiko dan Kinerja Serta Kendala Pembiayaan Mudharabah pada Bmt di Kabunaten Iember The Arab Spring and the Reformasi '98: a Comparative Studv of Popular Uprisinss in Tunisia and Indonesia