Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap

advertisement
DAMPAK PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP
PEREKONOMIAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN+3
EVI JUNAIDI
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
tesis saya yang berjudul:
DAMPAK PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP
PEREKONOMIAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN+3
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2010
EVI JUNAIDI
NRP. H151080274
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT
EVI JUNAIDI. 2010. The Macroeconomic Effects of Government
Expenditure in ASEAN plus Three. Supervised by NOER AZAM ACHSANI
and SATWIKO DARMESTO.
Fiscal policy is one of the government policy to increase growth in a
reasonable level. The impact of fiscal policy shock has different effect on each
country around the world. The effect of government spending shocks led to
increase growth in USA but decrease growth in Germany, as reflected by the
decline in private investment. This study aims to analyze the effects of
government expenditure in ASEAN plus Three, by using vector error
correction model (VECM), impulse response function (IRF), forecasting error
variance decomposition (FEVD) and pass-through effect. The data which is
used in this research are Gross Domestic Product (GDP), government
spending, consumption, investment, Consumer Price Index (CPI) and interest
rates. This data is annual data from the years 1970-2008. Sources of data
obtained from the Statistics Indonesia (BPS), CEIC and IFS. The result shows
that the impact of government spending toward fiscal variable is the same in
Asean+3 countries, except in Singapore and Japan.The government spending
increase is responded positive by GDP, consumption, and investment, while in
Singapore and Japan is responded negative. The biggest positive response
occured in Indonesia and Philipines, while in Thailand, Malaysia and Korea
have relative the same response. The shock of government spending toward
monetary variable (CPI and interest rates) has a different impact in each
country. Positive response of CPI occurred in Korea and Malaysia, on the
other hand negative. The increase of interest as the consequence of
government spending happened in Philippines, Malaysia, Thailand and Korea,
while in other countries the decrease of interest is occurred. Based on the
result of Variance decomposition, GDP variables more dominant explained
variability in GDP, consumption, and investment. Variability in CPI and
interest rates is influenced by internal factor it’s self.
Keywords: Fiscal policy, VECM, IRF, FEVD and pass-through effect
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN
EVI JUNAIDI. 2010. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap
Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3. Dibawah bimbingan NOER
AZAM ACHSANI dan SATWIKO DARMESTO.
Pemerintah mempunyai dua perangkat kebijakan makroekonomi utama
yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kedua kebijakan ini dilakukan
untuk membuat perekonomian tumbuh pada tingkat wajar dan tingkat inflasi
yang rendah. Kebijakan tersebut juga digunakan pemerintah untuk
menghadapi resesi singkat. Dalam pelaksanaannya, kebijakan stimulus fiskal
dapat ditempuh melalui instrumen kenaikan belanja negara (spending
increase), penurunan tarif pajak (tax cut) atau kenaikan belanja negara yang
dibiayai kenaikan tarif pajak. Program stimulus fiskal telah dilakukan oleh
beberapa negara yang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat
dari krisis global yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008.
Pengaruh guncangan (shock) dari kebijakan fiskal mempunyai dampak
yang berbeda-beda terhadap masing-masing negara di dunia. Pengaruh
guncangan pengeluaran pemerintah di Jerman menyebabkan pertumbuhan
PDB yang negatif, yang dicerminkan oleh turunnya investasi swasta.
Pengeluaran pemerintah di Italia menyebabkan efek positif yang relatif kecil
terhadap PDB tetapi konsumsi dan investasi menjadi turun. Guncangan ini
menyebabkan terjadinya crowding out, karena kenaikan pengeluaran
pemerintah menyebabkan terjadinya inflasi. Pengeluaran pemerintah di
Amerika Serikat menyebabkan kenaikan PDB yang positif tetapi relatif kecil
dan tidak signifikan (Afonso 2009).
Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk menganalisis pengaruh
pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian di Negara-negara ASEAN+3
yang meliputi: PDB, konsumsi, investasi, harga dan suku bunga. Data ini
merupakan data tahunan dari tahun 1970-2008 yang diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS), CEIC dan IFS. Penelitian ini mencakup Negara
ASEAN+3 yaitu: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Korea
Selatan dan Jepang. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
vector autoregression (VAR) atau vector error correction model (VECM).
Software yang digunakan dalam menyelesaikan penelitian ini adalah software
Microsoft Excel dan Eviews 6.0.
Keterbatasan dari penelitian ini adalah cakupan negara hanya Negara
ASEAN-5 serta Korea dan Jepang, sedangkan negara lainnya tidak
dimasukkan karena keterbatasan data. Proses yang didapat dari penelitian ini
diantaranya pengujian pra estimasi meliputi pengujian akar unit, penetapan lag
optimum, uji kestabilan dan uji kointegrasi. Pada pengujian stasioneritas,
didapatkan data stasioner pada first different dan lag optimum untuk masingmasing negara adalah lag satu. Semua Negara mempunyai hubungan
kointegrasi, sehingga dilakukan analisis VECM. Berdasarkan analisis VECM
ini dapat ditentukan impulse response function (IRF), forecasting error
variance decomposition (FEVD) dan pass-through effect.
Hasilnya menunjukkan bahwa dampak pengeluaran pemerintah terhadap
variabel fiskal sama di Negara-negara ASEAN+3, kecuali Singapura dan
Jepang. Kenaikan pengeluaran pemerintah direspon positif oleh PDB,
konsumsi dan investasi, sementara itu di Singapura dan Jepang kenaikan
pengeluaran pemerintah direspon negatif. Respon positif terbesar terjadi di
Indonesia dan Philipina, sedangkan di Thailand, Malaysia dan Korea
mempunyai respon yang relatif sama.
Guncangan pengeluaran pemerintah terhadap variabel moneter (IHK dan
suku bunga) memberikan pengaruh yang berbeda-beda di masing-masing
negara. Respon IHK yang positif terjadi di Korea dan Malaysia, sedangkan
negara lainnya merespon negatif. Kenaikan suku bunga akibat pengeluaran
pemerintah terjadi di Philipina, Malaysia, Thailand dan Korea, sementara itu
di negara lainnya terjadi penurunan suku bunga. Berdasarkan hasil variance
decomposition, variabel PDB lebih dominan menjelaskan variabilitas pada
PDB, konsumsi dan investasi. Variabilitas pada IHK dan suku bunga
dipengaruhi oleh faktor internal itu sendiri.
Kata kunci: Pengeluaran Pemerintah, VECM, IRF, FEVD and pass-through
effect
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan
suatu masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2 Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh
Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAMPAK PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP
PEREKONOMIAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN+3
Oleh:
EVI JUNAIDI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis
: Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap
Perekonomian di Negara-negara ASEAN +3
Nama
: Evi Junaidi
NRP
: H151080274
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Noer Azam Achsani
Dr. Satwiko Darmesto
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MSi
Tanggal Ujian : 27 Maret 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Judul
tesis
ini
adalah
“Dampak
Pengeluaran
Pemerintah
terhadap
Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3”. Tesis ini merupakan salah
satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar
Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. Noer Azam Achsani selaku Ketua Komisi Pembimbing
dan Dr. Satwiko Darmesto selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan
segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan
bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima
kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi
Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, mulai dari Dr.
D.S. Priyarsono hingga Dr. Nunung Nuryartono selaku Ketua Program Studi
dan Dr. Sri Mulatsih hingga Dr. Lukytawati selaku sekretaris Program Studi.
Terima kasih juga disampaikan kepada penguji Tesis yaitu Prof.
Hermanto Siregar yang telah memberikan banyak masukan dalam perbaikan
tesis ini. Terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah
mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis
selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi
IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah
banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada istri tercinta
Yuni Deldia Sari dan buah hati Ghania Aqila Nasha yang telah memberikan
kekuatan luar biasa kepada penulis mulai dari proses kuliah hingga
penyelesaian tesis ini. Ibunda Junita Asni serta adinda Niza Anggraini dan
Ikrar Satri Dinata yang selalu memberi semangat, dorongan dan doa yang
tulus.
Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada BPS yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu
Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan
kepada teman-teman BPS baik di BPS Provinsi Sumatera Barat serta BPS
Jakarta yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga
dalam menyelesaikan tesis ini.
Tidak ada satupun yang sempurna, begitu juga tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan. Akhirnya, penulis berharap bahwa apa yang telah penulis
kerjakan ini dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak dan menjadi
landasan yang baik menuju tahap berikutnya.
Bogor, Maret 2010
Evi Junaidi
RIWAYAT HIDUP
Evi Junaidi, dilahirkan di Batusangkar pada tanggal 13 Juni 1976 dari
pasangan Syamsir (alm) dan Junita Asni. Penulis merupakan anak pertama
dari tiga bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan Yuni Deldia Sari
dan telah dikaruniai seorang putri: Ghania Aqila Nasha.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Inpres Limakaum
pada tahun 1983 sampai dengan tahun 1989, Sekolah Lanjutan Tingkat
Tingkat Pertama Negeri Limakaum pada tahun 1989 sampai dengan tahun
1992, dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas 1 Batusangkar pada tahun
1992 sampai dengan tahun 1995. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan kuliah
di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta sampai tahun 2000, dan memperoleh
gelar Sarjana Sain Terapan (SST).
Setelah tamat STIS, penulis menjalani ikatan dinas di BPS Propinsi
Sumatera Barat dari tahun 2000 sampai tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Program S2 Penyelenggaraan
Khusus BPS-IPB di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen.
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
DAFTAR TABEL .........................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
x
DAFTAR SINGKATAN ..............................................................................
xii
I.
PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................
3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................
4
1.4 Kegunaan Penelitian .......................................................................
4
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ..................................
5
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...............
7
2.1 Tinjauan Teori .................................................................................
7
2.1.1 Peranan Pemerintah .............................................................
7
2.1.2 Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ...................
9
2.1.3 Pengeluaran Pemerintah ......................................................
14
2.1.4 Kurva IS-LM .......................................................................
16
2.1.5 Model Teori Pertumbuhan ...................................................
17
2.1.6 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pengeluaran
Pemerintah ..........................................................................
25
2.1.7 Crowding Out ......................................................................
27
2.1.8 Konsep dan Definisi ............................................................
28
2.2 Penelitian-Penelitian Terdahulu ......................................................
30
2.3 Kerangka Pemikiran........................................................................
39
2.4 Hipotesis Penelitian ........................................................................
39
III. METODE PENELITIAN......................................................................
41
3.1 Jenis dan Sumber Data ....................................................................
41
3.2 Metode Analisis Data ......................................................................
42
3.2.1 Vector Autoregression (VAR) ...........................................
42
II.
vi
3.2.2 Uji Stasioneritas...................................................................
43
3.2.3 Penetapan Lag Optimal .......................................................
44
3.2.4 Uji Kointegrasi ....................................................................
45
3.2.5 Vector Error Correction Model (VECM) ..........................
46
3.2.6 Impulse Response Function (IRF) .......................................
46
3.2.7 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) ..............
47
3.2.8 Derajat Pass-Through..........................................................
47
3.3 Model Penelitian ............................................................................
48
3.4 Kerangka Analisis Data .................................................................
49
IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL
MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3.......................................
51
4.1 Pertumbuhan Ekonomi ASEAN+3................................................
51
4.2 Komposisi PDB .............................................................................
53
4.3 Konsumsi Swasta...........................................................................
55
4.4 Pengeluaran Pemerintah ................................................................
56
4.5 Investasi .........................................................................................
57
4.6 Inflasi .............................................................................................
58
4.7 Suku Bunga ...................................................................................
60
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
61
5.1 Uji Stasioneritas Data ....................................................................
61
5.2 Penentuan Lag Optimal .................................................................
62
5.3 Pengujian Stabilitas VAR ..............................................................
62
5.4 AnalisisKointegrasi .......................................................................
63
5.5 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap PDB ........................
64
5.5.1 Analisis Impulse Response Function (IRF) .........................
64
5.5.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD).........
66
5.5.3 Derajat Pass-Through..........................................................
68
5.5.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah tehadap PDB..
69
5.6 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Konsumsi ................
71
5.6.1 Analisis Impulse Response Function (IRF) .........................
71
5.6.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD).........
73
5.6.3 Derajat Pass-Through..........................................................
75
vii 5.6.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah tehadap Konsumsi
.............................................................................................
76
5.7 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Investasi ..................
77
5.7.1 Analisis Impulse Response Function (IRF) .........................
77
5.7.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD).........
79
5.7.3 Derajat Pass-Through..........................................................
81
5.7.4 Analisis Pengaruh G tehadap Investasi ...............................
82
5.8 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap IHK .........................
83
5.8.1 Analisis Impulse Response Function (IRF) .........................
83
5.8.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD).........
83
5.8.3 Derajat Pass-Through..........................................................
87
5.8.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah tehadap IHK ..
88
5.9 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Suku Bunga.............
88
5.9.1 Analisis Impulse Response Function (IRF) .........................
88
5.9.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD).........
90
5.9.3 Derajat Pass-Through..........................................................
92
5.9.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah tehadap IHK ..
93
5.10 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah di Indonesia .........................
93
VI. SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
95
6.1 Simpulan ........................................................................................
95
6.2 Saran ..............................................................................................
95
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
97
LAMPIRAN ..................................................................................................
101
viii
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
2.1 Rekap penelitian terdahulu .....................................................................
34
3.1 Variabel yang digunakan dalam penelitian .............................................
41
5.1 Analisis Kointegrasi ................................................................................
63
5.2 Derajat Pass-Through G terhadap PDB ..................................................
69
5.3 Derajat Pass-Through G terhadap konsumsi ..........................................
76
5.4 Derajat Pass-Through G terhadap investasi............................................
82
5.5 Derajat Pass-Through G terhadap indeks harga konsumen ....................
87
5.6 Derajat Pass-Through G terhadap suku bunga .......................................
92
ix DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
2.1
Pertumbuhan pengeluaran pemerintah menurut wagner .....................
11
2.2
Teori Peacock dan Wiseman ...............................................................
13
2.3
Perkembangan pengeluaran pemerintah ..............................................
14
2.4
Kenaikan belanja pemerintah dalam Model IS-LM ............................
15
2.5
Penurunan pajak dalam Model IS-LM ................................................
17
2.6
Investasi aktual dan break-even...........................................................
24
2.7
Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi
pengeluaran pemerintah terhadap PDB ...............................................
26
2.8
Kerangka pemikiran ............................................................................
39
3.1
Tahapan dan metode analisis data .......................................................
50
4.1
Perkembangan PDB riil Negara ASEAN+3 tahun 1970-2008............
51
4.2
Tingkat pertumbuhan PDB ..................................................................
52
4.3
Perkembangan komposisi PDB masing-masing negara ......................
54
4.4
Peranan konsumsi terhadap PDB ........................................................
55
4.5
Peranan pengeluaran pemerintah terhadap PDB .................................
57
4.6
Peranan investasi terhadap PDB ..........................................................
58
4.7
Tingkat inflasi Negara-negara ASEAN+3...........................................
59
4.8
Tingkat suku bunga Negara-negara ASEAN+3 ..................................
60
5.1
Respon PDB terhadap guncangan G ...................................................
65
5.2
FEVD PDB ..........................................................................................
67
5.3
Hubungan derajat pass-through dengan PDB per kapita ....................
70
5.4
Respon konsumsi terhadap guncangan G ............................................
72
5.5
FEVD konsumsi ..................................................................................
74
5.6
Hubungan derajat pass-through dengan konsumsi per kapita .............
77
5.7
Respon investasi terhadap guncangan G .............................................
78
5.8
FEVD investasi ....................................................................................
80
5.9
Hubungan derajat pass-through dengan investasi per kapita ..............
82
5.10 Respon harga terhadap guncangan G ..................................................
84
5.11 FEVD harga .........................................................................................
86
5.12 Respon suku bunga terhadap guncangan G .........................................
89
5.13 FEVD suku bunga ...............................................................................
91
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1.
Stasioneritas Data ................................................................................
101
2.
Uji Lag Optimal ...................................................................................
108
3.
Pengujian Stabilitas VAR ....................................................................
111
4.
Pengujian Kointegrasi (Summary) ......................................................
114
5.
Pengujian Kointegrasi (Asumsi)..........................................................
121
xi DAFTAR SINGKATAN
ADF
AIC
APBN
ART
ASEAN
BPS
BSVAR
CGE
COR
FEM
FEVD
FPE
GARCH
HPAEs
HQ
IFS
IHK
IHP
I/O
IRF
LR
MPC
MPS
MPT
PDB
PNB
SDM
SIC
SVAR
VAR
VECM
VMA
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Augmented Dicky Fuller
Akaike Information Criterion
Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara
Anggota Rumah Tangga
Assosiation South East Asian Nation
Badan Pusat Statistik
Bayesian Structural Vector Autoregression
Computable General Equilibrium
Capital Output Rasio
Fixed Effect Model
Forecasting Error Variance Decomposition
Final Prediction Error
Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasticity
High Performing East Asian Economies
Hannan Quinn Criterion
International Financial Statistics
Indeks Harga Konsumen
Indeks Harga Produsen
Input/Output
Impulse Response Function
Likelihood Ratio
Marginal Propensity to Consume
Marginal Propensity to Saving
Marginal Propensity to Tax
Produk Domestik Bruto
Produk Nasional Bruto
Sumber Daya Manusia
Schwarrz Information Criterion
Structural Vector Autoregression
Vector Autoregression
Vector Error Correction Model
Vector Moving Average
xii
Halaman ini sengaja dikosongkan
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi pada dasarnya untuk memenuhi dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social
welfare) tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, oleh karena itu
sampai pada batas-batas tertentu diperlukan campur tangan pemerintah dalam
mewujudkannya. Intervensi pemerintah terutama diperlukan karena adanya
kegagalan pasar (market failure) yang disebabkan oleh: (i) barang publik (public
goods), (ii) eksternalitas, (iii) monopoli alamiah dan (iv) informasi tidak sempurna
(Stiglitz 2000).
Intervensi pemerintah Amerika Serikat dalam bidang ekonomi telah
berkembang makin intensif sejak tahun 1930-an, baik sebagai respon atas
terjadinya
depresi
besar
(great
depression),
maupun
karena
semakin
berkembangnya peranan pemerintah dalam perekonomian dan pembangunan.
Peranan pemerintah semakin besar seiring dengan semakin besarnya tantangan
yang dihadapi, serta semakin kompleksnya intensitas permasalahan yang muncul
dalam
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara.
Pemerintah
mempunyai dua perangkat kebijakan perekonomian makro yaitu kebijakan fiskal
dan kebijakan moneter. Kedua kebijakan ini dilakukan untuk membuat
pertumbuhan ekonomi tumbuh dengan tingkat wajar dan tingkat inflasi serta
pengangguran yang rendah. Kebijakan tersebut juga digunakan pemerintah untuk
menghadapi resesi singkat, seperti yang terjadi pada tahun 1991 di Amerika
Serikat dan untuk mencegah booming yang diluar kendali.
Intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Salah satu bentuk intervensi pemerintah secara langsung adalah dengan intervensi
anggaran (budget interventions) melalui kebijakan fiskal (fiscal policies).
Kebijakan fiskal dapat dilakukan dengan kebijakan perpajakan, kebijakan bukan
pajak, kebijakan anggaran belanja negara maupun kebijakan pembiayaan
anggaran. Intervensi pemerintah secara tidak langsung dapat ditempuh melalui
berbagai regulasi atau peraturan pemerintah.
2
Tujuan dari kebijakan fiskal adalah untuk mencapai sasaran ekonomi makro
yang lebih luas, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mencapai
keseimbangan internal dan mencapai keseimbangan eksternal. Ketiga tujuan ini
tidak dapat dilakukan sendiri dengan kebijakan fiskal, tetapi perlu dikoordinasikan
dengan berbagai kebijakan makro lainnya yaitu kebijakan moneter dan nilai tukar
(exchange rate). Kebijakan fiskal tidak hanya ditujukan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi yang sedang menurun (misalnya dalam situasi krisis atau
resesi ekonomi), namun juga dapat ditujukan untuk menstabilkan perekonomian
yang terlalu panas (over heating). Salah satu contohnya bila terjadi inflasi yang
tinggi (over inflation). Kebijakan fiskal yang ditujukan untuk mendorong roda
perekonomian sering disebut dengan kebijakan fiskal ekspansif atau deficit
budget. Kebijakan ini intinya merupakan kenaikan rasio belanja negara terhadap
pendapatan negara, yang pada dasarnya berupa penambahan defisit anggaran atau
penurunan surplus anggaran. Kebijakan tersebut dikenal juga dengan kebijakan
pemberian stimulus fiskal.
Kebijakan stimulus fiskal dalam prakteknya dapat ditempuh melalui
instrumen kenaikan belanja negara (spending increase), penurunan tarif pajak (tax
cut) atau kenaikan belanja negara yang dibiayai kenaikan tarif pajak. Program
stimulus fiskal ini dapat digunakan untuk mengantisipasi perlambatan
pertumbuhan ekonomi. Stimulus fiskal dimaksudkan untuk merangsang
perekonomian agar tetap bergerak dan tumbuh. Program tersebut telah dilakukan
oleh beberapa negara yang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat
dari krisis global yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008.
Besaran alokasi dana untuk kebijakan stimulus fiskal pada tahun 2008
bervariasi antar negara, contohnya India dan Korea Selatan mengalokasikan
anggaran sebesar 0.9% dari Produk Domestik Bruto (PDB), Thailand 1.8%, China
0.6%, dan Malaysia 4.4% (tertinggi di Asia). Indonesia mengeluarkan dana untuk
stimulus fiskal pada tahun 2009 melalui kesepakatan DPR, ditetapkan sebesar
73.3 triliun rupiah (1.6% dari PDB). Berbagai hasil kajian empiris di beberapa
negara maju menunjukkan bahwa pengganda fiskal cenderung bersifat positif
dengan besaran 0.6 sampai dengan 1.4, sedangkan di negara-negara berkembang,
penggandanya mendekati angka satu (Hemming et al 2002).
3
Pengaruh guncangan (shock) dari kebijakan fiskal mempunyai dampak yang
berbeda-beda terhadap masing-masing negara di dunia. Pengaruh guncangan dari
pengeluaran pemerintah di Jerman menyebabkan pertumbuhan PDB yang negatif,
yang dicerminkan oleh turunnya investasi swasta. Pengeluaran pemerintah di
Italia menyebabkan efek positif yang relatif kecil terhadap PDB tetapi konsumsi
dan investasi menjadi turun. Guncangan ini menyebabkan terjadinya crowding
out, karena kenaikan pengeluaran pemerintah menyebabkan terjadinya inflasi.
Pengeluaran pemerintah di Amerika Serikat menyebabkan kenaikan PDB yang
positif tetapi relatif kecil dan tidak signifikan (Afonso dan Sousa 2009).
Berdasarkan informasi di atas, terlihat bahwa dampak kebijakan fiskal
terhadap perekonomian memang bervariasi, sehingga sulit untuk diprediksi
bagaimana pengaruh kebijakan tersebut terhadap kondisi perekonomian suatu
negara. Di Indonesia, kondisi ini semakin dipersulit dengan minimnya penelitian
yang mengkaji pengaruh kebijakan fiskal terhadap perekonomian. Hal inilah yang
melatarbelakangi penulis melakukan penelitian tentang kebijakan fiskal
khususnya pengeluaran pemerintah. Penelitian ini tidak hanya melihat dampak
guncangan kebijakan fiskal terhadap PDB, tetapi juga melihat pengaruhnya
terhadap variabel makroekonomi yang lain, diantaranya konsumsi, investasi,
Indeks Harga Konsumen (IHK) dan suku bunga. Penelitian ini juga melihat
pengaruh kebijakan fiskal di Negara ASEAN+3 lainnya. Hal ini akan menjadi
menarik karena adanya rencana penyatuan mata uang ASEAN pada tahun 2015.
Hasilnya dapat dijadikan pertimbangan dari sisi kebijakan fiskal terhadap rencana
penyatuan mata uang ASEAN.
1.2
Perumusan Masalah
Kebijakan fiskal tidak hanya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi yang sedang menurun (misalnya dalam situasi krisis atau resesi
ekonomi), namun juga dapat ditujukan untuk menstabilkan perekonomian yang
terlalu panas (over heating). Salah satu contohnya bila terjadi inflasi yang tinggi
(over inflation). Kebijakan fiskal ini diharapkan dapat memengaruhi variabelvariabel ekonomi dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengalaman
4
dari penelitian di negara-negara lain menunjukkan bahwa kebijakan fiskal
mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan utama yang ingin
dibahas di dalam penelitian ini adalah melihat pengaruh pengeluaran pemerintah
terhadap variabel-variabel makroekonomi di Negara ASEAN+3. Permasalahan
tersebut dapat dirumuskan dalam sebuah pertanyaan sebagai berikut:
Bagaimanakah dampak pengeluaran pemerintah
terhadap perekonomian di
Negara ASEAN+3?
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk menganalisis pengaruh
pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian di Negara ASEAN+3 yang
meliputi:
1
Pertumbuhan ekonomi (PDB)
2
Konsumsi
3
Investasi
4
Indeks Harga Konsumen (IHK)
5
Suku bunga
1.4
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis
sendiri juga bagi pihak-pihak lain, antara lain:
1
Memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai dampak pengeluaran
pemerintah di Negara ASEAN+3 terhadap pertumbuhan ekonomi.
2
Bagi penulis dapat meningkatkan pengetahuan, wawasan dan memberikan
pemahaman yang semakin mendalam tentang pengeluaran pemerintah dan
pengaruhnya terhadap variabel makro lainnya.
3
Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi masukan dalam rangka perbaikan
kebijakan fiskal khususnya pengeluaran pemerintah untuk masa yang akan
datang.
4
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kondisi terkini tentang
dampak pengeluaran pemerintah terhadap indikator penting dalam ekonomi.
5
1.5
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan. Pertama, memberikan gambaran
secara umum mengenai kebijakan fiskal dan keadaan perekonomian Negara
ASEAN+3.
Kedua,
melihat
pengaruh
pengeluaran
pemerintah
terhadap
perekonomian dan variabel makro lainnya dengan menggunakan analisis vector
autoregression (VAR) atau vector error correction model (VECM). Analisis ini
digunakan untuk masing-masing negara dan membandingkan pengaruhnya untuk
masing-masing negara tersebut. Ketiga melakukan telaah dan analisis terhadap
hasil estimasi dari model ekonometrika yang dibangun serta memberikan
beberapa kesimpulan.
Ruang lingkup penelitian ini adalah Negara ASEAN+3 yang terdiri dari
tujuh negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Korea
Selatan dan Jepang. Analisis menggunakan data time series tahunan dari tahun
1970-2008. Model yang digunakan yaitu analisis VAR atau VECM untuk masingmasing negara. Variabel yang digunakan meliputi pengeluaran pemerintah, PDB,
konsumsi, investasi, harga dan suku bunga.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama,
Negara yang
dianalisis untuk kawasan ASEAN+3 hanya tujuh negara. Kedua, variabel yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari enam variabel, yang menggunakan data
time series tahunan dari tahun 1970-2008. Ketiga, variabel yang digunakan untuk
melihat pengaruh kebijakan fiskal ini hanya dari sisi pengeluaran pemerintah
(government expenditure).
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Tinjauan Teori
2.1.1 Peranan Pemerintah
Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih
baik dari swasta atau individu. Fungsi pemerintah ada tiga hal yaitu fungsi
alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi (Stiglitz 2000). Tiga hal yang
relevan dengan keuangan negara adalah redistribusi pendapatan, penyediaan
barang publik, dan perlindungan sosial (Gramlich 1990).
Alasan peranan pemerintah dibutuhkan dalam perekonomian adalah:
1
Menyediakan legal system atau peraturan-peraturan yang tidak dapat
disediakan oleh sektor swasta
2
Mengoreksi bila terjadi kegagalan pasar, adapun kegagalan pasar
diantaranya:
a. Kompetisi tidak sempurna, dalam pasar yang tidak sempurna dan
cenderung monopoli, harga yang terjadi biasanya lebih tinggi dan jumlah
produksi lebih sedikit. Pemerintah diharapkan dapat mengatur dan
memperbaiki agar kesejahteraan masyarakat tidak berkurang.
b. Barang publik mempunyai karakteristik non exludable dan non rivalry.
Sifat barang publik yang seperti itu maka akan menimbulkan fenomena
free rider artinya orang akan berlomba-lomba untuk tidak membayar
dalam menikmati barang tersebut. Sistem penyediaan barang seperti ini
tidak dapat dilakukan oleh sektor swasta, sehingga pemerintah yang
menyediakannya.
c. Eksternalitas pasar bersifat egois (selfish), sehingga yang dipikirkan
adalah meminimalkan biaya sedangkan dampak secara tidak langsung
seperti dampak sosial tidak diperhitungkan.
d. Adanya kegagalan informasi, dalam beberapa hal masyarakat sangat
membutuhkan informasi yang tidak dapat disediakan oleh pihak swasta,
misalnya perkiraan cuaca. Bidang pertanian dan kelautan sangat
membutuhkan informasi cuaca, akan tetapi pihak swasta tidak ada yang
8
menyediakannya. Pemerintah yang harus menyediakan informasi cuaca
tersebut.
Fungsi distribusi sebagai salah satu fungsi utama pemerintah bertujuan
untuk menghasilkan distribusi pendapatan yang merata, karena kekuatan dan
mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkannya. Distribusi
pendapatan yang relatif merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh
masyarakat secara umum. Tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat
pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok
masyarakat. Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa
pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan
pengeluaran untuk
meningkatkan pengeluaran agregat dalam resesi dan depresi. Pemerintah dapat
memengaruhi perekonomian makro melalui dua saluran kebijakan: kebijakan
fiskal dan kebijakan moneter.
Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku
pemerintah di bidang pengeluaran dan perpajakan, dengan kata lain kebijakan
anggarannya. Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu:
a
kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa.
b
kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan
c
kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi
pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan
tunjangan veteran) kepada rumah tangga.
Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai
pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang
mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal
penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi
sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan
mempunyai tujuan ganda, yaitu menyediakan dana untuk kepentingan umum dan
memengaruhi tingkah laku ekonomi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk
menurunkan permintaan apabila ekonomi sedang baik dan diturunkan kalau ingin
meningkatkan permintaan pada waktu resesi. Berdasarkan sisi pengeluaran, dilihat
penggunaan dari dana yang diperoleh, yang ditujukan untuk mendukung
tercapainya sasaran dan tujuan negara.
9 Sumber-sumber penerimaan negara antara lain dari pajak, penerimaan
bukan pajak serta bantuan/pinjaman dari luar negeri. Pengeluaran dibagi menjadi
dua kelompok besar yakni pengeluaran yang bersifat rutin seperti membayar gaji
pegawai, belanja barang serta pengeluaran yang bersifat pembangunan. Secara
umum, kebijakan fiskal merupakan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan
terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang
tercantum dalam APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara).
2.1.2 Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Pembangunan ekonomi pada dasarnya adalah upaya untuk memperluas
kemampuan dan kebebasan memilih. Tercapainya hal tersebut merupakan
indikator bahwa manusia secara individu maupun kolektif dapat meningkatkan
kualitas hidupnya. Faktor penting harus dibangun adalah: kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM), sarana dan prasarana serta kelembagaan-kelembagaan ekonomi
modern. Kesemuanya itu tidak bisa berlangsung dengan sendirinya jika hanya
mengandalkan mekanisme pasar. Terciptanya pembangunan ekonomi sangat
tergantung dari peran pemerintah antara lain dimanifestasikan lewat pengeluaran
pemerintah. Teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikemukakan
oleh para ahli ekonomi dan dapat digolongkan menjadi tiga golongan
(Mangkoesoebroto 1997), yaitu:
1
Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah.
Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan
perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan
ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal
perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi
besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti
pendidikan,
pembangunan
kesehatan,
ekonomi,
prasarana
transportasi.
Pada
tahap
menengah
investasi
pemerintah
tetap
diperlukan
untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap
ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar
pada tahap menengah, karena peranan swasta yang semakin besar akan
menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus
10
menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak.
Pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan
antar sektor yang makin kompleks. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang
ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin
tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan
mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh
dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1983) berpendapat bahwa
dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap
PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan
semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa
aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan
prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program
kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.
2
Hukum Wagner
Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran
pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Wagner
mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila
pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun
akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State
Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negaranegara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Wagner menerangkan mengapa
peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena
pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan
hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori
mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya
dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic
theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas
bertindak,
terlepas
dari
anggota
diformulasikan sebagai berikut:
௉ೖ ௉௉భ
௉௉௄భ
<
௉ೖ ௉௉మ
௉௉௄మ
<…<
௉ೖ ௉௉೙
௉௉௄೙
masyarakat
lainnya.
Hukum
Wagner
11 Keterangan:
PkPP
: Pengeluaran pemerintah perkapita
PPK
: Pendapatan per kapita (PDB / jumlah penduduk)
1, 2,…, n : jangka waktu (tahun)
Hukum Wagner ditunjukkan dalam Gambar 2.1, dimana kenaikan
pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponential yang ditunjukkan oleh
kurva 1.
3
Teori Peacock dan Wiseman
Peacock dan Wiseman adalah dua orang yang mengemukakan teori
mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang terbaik. Teori mereka
didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk
memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak
yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin
besar tersebut. Teori Peacock dan Wiseman merupakan dasar teori pemungutan
suara. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa
masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana
masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh
pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Masyarakat menyadari
bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah
sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan untuk membayar pajak. Tingkat
toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan
pajak secara semena-mena.
Sumber: Mangkoesoebroto 1997
Gambar 2.1 Pertumbuhan pengeluaran pemerintah menurut Wagner
12
Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut: pertumbuhan
ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat
walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak
menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Peningkatan
pada PDB dalam keadaan normal menyebabkan penerimaan pemerintah yang
semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah. Apabila keadaan
normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah
harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Salah satu cara
untuk meningkatkan penerimaannya tersebut adalah dengan menaikkan tarif
pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang.
Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya
gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas
pemerintah.
Perang tidak bisa dibiayai hanya dengan pajak, sehingga pemerintah
juga harus meminjam ke negara lain untuk pembiayaan perang. Setelah
perang selesai, sebetulnya pemerintah dapat menurunkan kembali tarif pajak
pada tingkat sebelum adanya gangguan. Hal tersebut tidak dilaksanakan
karena pemerintah harus mengembalikan bunga pinjaman dan angsuran utang
yang digunakan untuk membiayai perang, sehingga pengeluaran pemerintah
setelah perang selesai meningkat tidak hanya karena PDB naik, tetapi juga
karena pengembalian utang dan bunganya. Ini yang disebut efek inspeksi
(inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan
terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan
ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta, ini disebut efek
konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan
aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali
normal maka tingkat pajak tidak turun kembali pada tingkat sebelum
terjadinya perang, hal ini dapat dilihat dari Gambar 2.2.
13 Sumber: Mangkoesoebroto 1997
Gambar 2.2 Teori Peacock dan Wiseman
Pada keadaan normal dari tahun t ke t+1, pengeluaran pemerintah dalam
persentase terhadap PDB naik sebagaimana ditunjukkan garis AG. Apabila
pada tahun t terjadi perang maka pengeluaran pemerintah naik sebesar AC
dan kemudian naik seperti ditunjukkan garis CD. Setelah perang selesai pada
tahun t+1 pengeluaran pemerintah tidak turun ke G, yaitu tingkat pengeluaran
pemerintah apabila tidak terjadi perang. Hal ini disebabkan karena setelah
perang pemerintah memerlukan tambahan dana untuk mengembalikan
pinjaman pemerintah yang digunakan dalam pembiayaan perang. Kenaikan
tarif pajak tersebut dimaklumi masyarakat, sehingga tingkat toleransi pajak
naik dan pemerintah dapat memungut pajak yang lebih besar tanpa
menimbulkan gangguan dalam masyarakat.
Berbeda dengan pandangan Wagner, perkembangan pengeluaran
pemerintah versi Peacock dan Wiseman tidak berbentuk suatu garis, tetapi
berbentuk seperti tangga sebagaimana terlihat pada Gambar 2.3. Bird
mengkritik hipotesa yang dikemukakan oleh Peacock dan Wiseman. Bird
menyatakan bahwa selama terjadinya gangguan sosial memang terjadi
pengalihan aktivitas pemerintah dari pengeluaran sebelum gangguan ke
pengeluaran yang berhubungan dengan gangguan tersebut. Hal ini akan diikuti
oleh peningkatan persentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB, akan
tetapi setelah terjadinya gangguan, persentase pengeluaran pemerintah
terhadap PDB akan menurun secara perlahan-lahan kembali ke keadaan
semula. Jadi menurut Bird, efek pengalihan merupakan gejala dalam jangka
pendek, tetapi tidak terjadi dalam jangka panjang.
14
Sumber: Mangkoesoebroto 1997
Gambar 2.3 Perkembangan pengeluaran pemerintah
Satu hal yang perlu dicatat dari teori Peacock dan Wiseman adalah bahwa
mereka mengemukakan adanya toleransi pajak, yaitu suatu limit perpajakan,
akan tetapi mereka tidak menyatakan pada tingkat berapa toleransi pajak
tersebut. Clarke dalam Mangkoesoebroto (1997) menyatakan bahwa limit
perpajakan adalah sebesar 25% dari pendapatan nasional. Inflasi dan
gangguan lainnya akan terjadi apabila limit perpajakan tersebut dilampaui.
2.1.3 Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah di Indonesia mempunyai peranan besar dalam
meningkatkan dan mempertahankan permintaan agregat serta pertumbuhan
ekonomi. Sumber dana yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah
tersebut berasal dari penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan.
Penerimaan dalam negeri pemerintah Indonesia berasal dari minyak bumi dan gas,
pajak dan bukan pajak, serta tabungan pemerintah di Bank Indonesia. Penerimaan
pembangunan meliputi bantuan program dan bantuan proyek. Dana penerimaan
pembangunan ini sebagian besar berasal dari luar negeri baik berupa kredit
komersial maupun pinjaman dengan syarat pengembalian lunak.
Kondisi perbandingan antara pengeluaran dan penerimaan tersebut dapat
berupa (i) anggaran surplus, bila penerimaan lebih besar dari pengeluaran, (ii)
anggaran berimbang, bila penerimaan sama dengan pengeluaran, dan (iii)
15 anggaran defisit bila penerimaan lebih kecil dari pengeluaran. Pemerintah
mengambil kebijakan melaksanakan anggaran berimbang untuk menghindari
terjadinya inflasi yang tinggi. Kebijakan tersebut tetap dianut hingga sekarang,
meskipun
dalam
pelaksanaannya
seringkali
kebijakan
tersebut
belum
direalisasikan dengan baik.
i)
Dampak perubahan pengeluaran pemerintah
Pemerintah dapat memengaruhi tingkat output keseimbangan dengan
menambah
atau
mengurangi
pengeluarannya.
Besarnya
efek
perubahan
pengeluaran pemerintah adalah sama dengan pengaruh perubahan investasi (Io)
atau konsumsi otonomous (Co), sehingga dampak
perubahan pengeluaran
pemerintah terhadap perekonomian dapat ditulis sebagai:
ΔY = ΔG / (1-b), dimana b = Marginal Propensity to Consume (MPC)
ii)
Pengaruh pajak terhadap keseimbangan ekonomi
Kebijakan fiskal bertujuan mengarahkan perekonomian ke kondisi yang
lebih baik, maka dampaknya terhadap keseimbangan harus dipahami. Salah satu
cara
paling
mudah
dengan
melihat
pengaruh
pajak
terhadap
output
keseimbangan. Pajak nominal, pertama kali memengaruhi pendapatan disposable.
Jika pendapatan adalah Y dan pajak nominal adalah T, maka pendapatan
disposable adalah:
Yd = Y – T
(2.1)
Fungsi konsumsi menurut model Keynes adalah:
C = Co + b Yd
(2.2)
Adanya pajak nominal, maka Yd = Y - T, sehingga fungsi konsumsi menjadi:
C = Co + b (Y - T), dan fungsi pengeluaran agregat menjadi:
AE = Ao + bY – bT, maka fungsi keseimbangan menjadi:
Y = AE = Ao – bT + bY
(2.3)
Y (1 - b) = Ao – bT
(2.4)
Y = (Ao - bT) / (1-b)
(2.5)
sehingga hubungan antara perubahan pajak nominal (ΔT) dengan perubahan
pendapatan keseimbangan (ΔY) adalah:
ΔY = - bΔT / (1-b)
(2.6)
16
2.1.4 Kurva IS-LM
Perubahan kebijakan fiskal (belanja pemerintah dan pajak) akan mengubah
ekuilibrium
jangka
pendek
perekonomian.
Perubahan
fiskal
ini
akan
memengaruhi pengeluaran yang direncanakan dan menggeser kurva IS. Model ISLM menunjukkan bagaimana pergeseran dalam kurva IS ini memengaruhi
pendapatan nasional dan tingkat bunga.
i)
Perubahan belanja pemerintah
Kenaikan dalam belanja pemerintah misalkan terjadi sebesar ΔG.
Pengganda belanja pemerintah (the government-purchases multiplier) dalam
perpotongan Keynesian menyatakan bahwa, pada tingkat bunga berapapun,
perubahan dalam kebijakan fiskal ini menaikan pendapatan sebesar ΔG/(1-MPC).
Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2.4, kurva IS bergeser ke kanan sebesar
jumlah ini. Ekuilibrium perekonomian bergerak dari titik A ketitik B, kenaikan
belanja pemerintah meningkatkan pendapatan dan bunga. Pengeluaran yang
direncanakan akan naik ketika pemerintah meningkatkan belanjanya atas barang
dan jasa. Kenaikan pengeluaran yang direncanakan ini akan mendorong produksi
barang dan jasa, yang menyebabkan pendapatan total Y meningkat.
Gambar 2.4 Kenaikan belanja pemerintah dalam model IS-LM
17 Gambar 2.5 Penurunan pajak dalam model IS-LM
ii)
Perubahan pajak
Perubahan pajak dalam model IS-LM memengaruhi perekonomian seperti
halnya perubahan belanja pemerintah, kecuali bahwa pajak memengaruhi melalui
konsumsi. Penurunan pajak misalnya sebesar ΔT, pemotongan pajak mendorong
konsumen berbelanja lebih banyak dan karena itu meningkatkan pengeluaran
yang direncanakan. Pengganda pajak dalam perpotongan Keynesian menyatakan
bahwa, pada tingkat bunga berapapun, perubahan kebijakan ini menaikkan tingkat
pendapatan sebesar ΔT x MPC/(1-MPC). Sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.5,
kurva IS bergeser kekanan sebesar jumlah ini dan titik ekuilibrium perekonomian
bergerak dari titik A ke titik B.
2.1.5 Model Teori Pertumbuhan
1
Model Ekonomi Keynesian
Peran investasi termasuk investasi infrastruktur dalam aktivitas ekonomi
dapat dipisahkan atas perannya sebagai komponen pengeluaran agregat dan
perannya dalam proses produksi. Investasi merupakan bagian dari komponen
pengeluaran agregat, sedangkan stok kapital fisik seperti infrastruktur merupakan
bagian dari faktor produksi dalam fungsi produksi sektoral atau agregat.
18
Berdasarkan katagori tersebut, penjelasan teoritis mengenai peran investasi akan
dilihat dari sisi permintaan dalam sebuah model makroekonomi dan sisi
penawaran yang direpresentasikan oleh model pertumbuhan ekonomi. Pada
bagian ini akan diuraikan teori sisi permintaan yaitu model ekonomi makro
Keynesian.
Model ekonomi makro Keynesian merupakan teori yang menjelaskan
fluktuasi ekonomi dalam jangka pendek dengan menfokuskan perhatiannya pada
sisi pengeluaran agregat. Identitas Produk Nasional Bruto (PNB) standar
Keynesian, dapat diilustrasikan sebagai berikut:
C + I + G + (X-M) = PNB = C + S + T + Rf
(2.7)
Keterangan:
C
: total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa
I
: investasi
G
: pengeluaran pemerintah
(X – M) : ekspor bersih barang dan jasa
S
: tabungan swasta bruto
T
: penerimaan pajak bersih
Rf
: total pembayaran transfer ke luar negeri
Identitas di atas menunjukkan bahwa kondisi ekuilibrium dicapai ketika total
pengeluaran agregat sama dengan total pendapatan agregat dan keduanya sama
dengan total nilai produksi barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu
perekonomian. Pada posisi keseimbangan, nilai ekspor bersih sama dengan total
pembayaran ke luar negeri, sehingga kedua komponen ini dapat dikeluarkan untuk
penyederhanaan identitas pendapatan nasional, sebagai berikut:
C + I + G = PNB = C + S + T
(2.8)
Seluruh komponen pengeluaran dan pendapatan agregat apabila dideflasikan
terhadap tingkat harga umum yang berlaku, diperoleh identitas pendapatan
nasional dalam nilai riil sebagai berikut:
c+i+g =y= c+s+t
(2.9)
19 Keterangan:
t = t’y;
t‘ > 0
c = c’yd;
c’ > 0
s = s’yd ;
s’ > 0
i =i ;
g=g;
yd = y – ty;
Pada persamaan penerimaan pajak (t), total pengeluaran konsumsi (c) dan
total tabungan (s) semuanya merupakan fungsi dari tingkat pendapatan, dengan
kecenderungan tambahan pajak (t’) atau marginal propensity to tax (MPT),
kecenderungan tambahan konsumsi (c’) atau marginal propensity to consume
(MPC) dan kecenderungan tambahan tabungan (s’) atau marginal propensity to
save (MPS) positif tetapi lebih kecil dari satu. Pada persamaan investasi swasta (i)
dan pengeluaran pemerintah (g) diasumsikan sebagai peubah eksogenus.
Seluruh komponen pengeluaran agregat apabila disubstitusikan ke sisi
pengeluaran pada persamaan asal akan diperoleh pengeluaran agregat riil sebagai
berikut:
y = c( y − ty ) + i + g
(2.10)
Derivasi total pendapatan nasional, y, terhadap komponen-komponen c, t, g dan i
pada persamaan diatas dan menyusunnya kembali akan menghasilkan efek
pengganda (multiplier) pendapatan dari perubahan peubah eksogenus investasi
swasta dan pengeluaran pemerintah sebagai berikut:
dy =
1
(di + dg )
1 − c (1 − t )
(2.11)
Pada persamaan diatas, setiap perubahan peubah eksogenus investasi swasta
dan pengeluaran pemerintah akan mengakibatkan perubahan pendapatan nasional
sebesar hasil kali angka pengganda dengan kenaikan komponen pengeluaran
tersebut. Besarnya dampak kenaikan investasi dan pengeluaran pemerintah
tergantung pada MPC dan MPT. Semakin besar MPC dan semakin kecil MPT
maka semakin besar dampak perubahannya terhadap pendapatan nasional.
20
2
Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar
Model pertumbuhan Harrod dan Domar atau lebih dikenal dengan model
pertumbuhan Harrod-Domar (Harrod-Domar growth model) merupakan model
pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negaranegara sedang berkembang (Todaro 2006). Domar mengkonstruksi teorinya
dengan menekankan peran ganda yang dimainkan oleh investasi dalam proses
pertumbuhan ekonomi. Investasi memengaruhi permintaan agregat melalui proses
investment multiplier, dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi
modal yang akan menambah stok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi
sehingga investasi juga memengaruhi penawaran agregat. Domar dalam hal ini
hendak menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan
agregat sama dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh
dapat dipertahankan.
Pada model Domar, dinyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat
sama dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan
pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I)
dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju
pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan
permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS
(Marjinal Propensity to Save=s) terhadap COR (Capital Output Rasio=k) atau
dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
ΔY ΔK ΔI s
=
=
=
Y
K
I
k
(2.12)
Keterangan:
ΔY
= laju pertumbuhan permintaan agregat atau output
Y
ΔK
= laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat)
K
ΔI
= laju peningkatan investasi
I
Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan atas pertumbuhan
aktual, pertumbuhan yang diinginkan dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan
21 aktual (the actual growth =ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang
besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan kapitaloutput (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi
matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual,
output aktual tidak selalu sama dengan output potensial.
Laju pertumbuhan yang diinginkan adalah laju pertumbuhan yang dianggap
memadai oleh para investor sehingga menjamin tercapainya kapasitas penuh atau
keseimbangan permintaan dan produksi dalam jangka panjang. Permintaan
agregat dianggap cukup tinggi oleh para investor pada laju pertumbuhan ini
sehingga dapat menjamin terjualnya seluruh kapasitas pabrik yang ada. Output
aktual akan sama dengan output potensial sehingga tidak terjadi variasi siklis
dalam pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ini tercapai apabila output
(aktual dan potensial), permintaan agregat, stok kapital, dan investasi tumbuh
pada tingkat yang sama.
Perekonomian berada pada posisi keseimbangan ketika laju pertumbuhan
aktual sama dengan laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, yaitu laju
pertumbuhan ekuilibrium jangka panjang. Perekonomian akan mengalami
kelebihan kapasitas yang akibatnya dapat menciptakan depresi jangka panjang
apabila laju pertumbuhan aktual lebih kecil daripada laju pertumbuhan yang
menjamin kapasitas penuh. Jika permintaan agregat tumbuh sangat cepat sehingga
laju pertumbuhan aktual melebihi laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas
penuh maka perekonomian akan mengalami inflasi tinggi jangka panjang.
Ketidakseimbangan yang terjadi pada perekonomian baik karena depresi maupun
inflasi, tidak ada mekanisme otomatis yang dapat membawa perekonomian pada
kondisi keseimbangan.
Kondisi ekuilibrium sangat jarang terjadi, sehingga Harrod sampai pada
kesimpulan
teorema
ketidakseimbangan
(disequilibrium
theorem)
yang
menyatakan bahwa di dalam proses pertumbuhan ekonomi terkandung unsur
ketidakstabilan yang sewaktu-waktu dapat mengganggu keadaan ekuilibrium.
Selama proses pertumbuhan ekonomi berlangsung, tidak ada kekuatan yang
secara otomatis dapat membawa penyimpangan tersebut kembali kepada kondisi
ekuilibrium.
22
Stabilitas pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang hanya dapat tercapai
melalui intervensi pemerintah lewat kebijakan fiskal dan moneter untuk
menanggulangi gangguan penyimpangan dan ketidakstabilan. Kedua kebijakan ini
sangat berperan untuk meningkatkan investasi dalam sektor infrastruktur yang
akan meningkatkan permintaan agregat dalam jangka pendek dan memperluas
kapasitas produksi serta menjamin keberlanjutan proses pertumbuhan ekonomi
dalam jangka panjang.
3
Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow
Teori pertumbuhan Solow merupakan salah satu bentuk teori pertumbuhan
ekonomi neoklasik yang populer. Teori ini merupakan pengembangan teori klasik
yang menekankan proses pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Berdasarkan
sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi merupakan proses peningkatan output atau
produksi barang dan jasa per kapita yang berlangsung dalam jangka panjang
(Boediono dalam Delis 2008). Peningkatan output per kapita terjadi sebagai hasil
dari interaksi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi.
Faktor produksi tersebut terdiri dari tanah dan sumber daya alam, tenaga kerja,
modal dan kemajuan teknologi. Sebagian besar teori pertumbuhan ekonomi
menfokuskan perhatiannya pada peran kapital, tenaga kerja dan kemajuan
teknologi.
Secara umum pemikiran neoklasik didasarkan atas asumsi fungsi produksi
kontinu yang bersifat constant returns to scale, pasar bebas yang bersaing
sempurna, faktor produksi yang mobile, adanya kemungkinan substitusi di antara
faktor produksi, serta anggapan tabungan yang identik dengan investasi (Todaro
2006). Berdasarkan asumsi tersebut, aktivitas perekonomian secara otomatis akan
mencapai stabilitas pertumbuhan pada ekuilibriumnya dalam jangka panjang.
Solow memandang proses pertumbuhan ekonomi dengan menempatkan
pentingnya peran kemajuan teknologi dalam proses produksi. Model Solow
diformulasikan atas anggapan bahwa unsur waktu dianggap terkandung dalam
komponen kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Selain itu, kemajuan
teknologi dianggap terkandung dalam tenaga kerja yang disebut tenaga kerja
efektif (effective labor), labor augmenting atau Harrod-nuetral (Romer dalam
Delis 2008).
23 Fungsi produksi bersifat constant returns to scale sehingga output akan
meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja
digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting input yang telah ada.
Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan diasumsikan tidak penting.
Berdasarkan anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu
hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari
kapital per tenaga kerja efektif, yaitu:
y = f(k)
(2.13)
Keterangan:
y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL)
k=
kapital per tenaga kerja efektif (K/AL)
Y = output
K = kapital
L = tenaga kerja
A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan)
AL = tenaga kerja efektif (labor augmented)
Menurut Solow output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu
konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi
bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi
menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama
mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja
efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan
investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi
pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan
kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada
tetap terpelihara).
24
Gambar 2.6 Investasi aktual dan break-even
Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur
pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika
perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even.
Sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.6, apabila tingkat stok kapital per tenaga
kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari
investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif
sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga
kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Pada tingkat stok
kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja
lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per
tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok
kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya negatif. Stok
kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di
titik k*.
Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja
efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual
sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total,
tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar
jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar
25 pertumbuhan ilmu pengetahuan. Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa
perekonomian senantiasa akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan
yang berimbang, yaitu suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat
yang konstan. Pada pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga
kerja hanya ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting
kemajuan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan
Solow.
2.1.6 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah yang diarahkan pada kegiatan yang relatif bersifat
investasi, maka pemerintah telah menciptakan semacam input baru dalam proses
produksi secara eksternal yang selanjutnya akan mendorong kegiatan usaha pada
tingkat perusahaan dan pertumbuhan ekonomi pada tingkat agregat (Barro 1990).
Model Barro diasumsikan bahwa aktivitas pemerintah memiliki pengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Diketahui fungsi produksi Cobb
Douglas sebagai berikut:
y = f(k,g) = Ak1-αgα
(2.14)
dimana g adalah kuantitas barang dan jasa per kapita yang dibeli oleh pemerintah,
yang diasumsikan tidak ada pungutan biaya apapun (user charges), y adalah
output perkapita, dan k adalah stok modal perkapita serta diasumsikan bahwa
fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan (constant return to scale).
Jika diasumsikan total pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak τ
maka dapat dituliskan berikut:
g = T = τy = τ Ak1-αgα
(2.15)
Apabila persamaan fungsi produksi diubah menjadi produktivitas marjinal modal
maka:
fk = A(1 - α)(g/k)α
(2.16)
jika total pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak pada tingkat τ
di substitusikan dengan persamaan di atas maka dapat dituliskan sebagai berikut:
y = kA1/1- α τ α /1- α
(2.17)
dimana bahwa rasio input g dan k adalah sebagai berikut:
g/k = (g/y)(y/k) = τ (y/k) = (Aτ) 1- α
(2.18)
26
Nilai untuk produktivitas marjinal modal dapat dituliskan kembali sebagai
berikut:
fk = (1 –α)A1 /1- α τ α /1- α
(2.19)
Solusi untuk tingkat pertumbuhan output per kapita dapat ditentukan sebagai
berikut:
y = c/c = (1- σ) [(1 – α)A1 /1- α τ α /1- α - ρ]
(2.20)
Pada persamaan di atas, bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh
alokasi pembelanjaan publik dan tingkat pajak, sama halnya dengan individu
memaksimalkan
pertumbuhan
konsumsi
yang
berkaitan
dengan
tingkat
pertumbuhan dari output dan modal.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah juga
digambarkan oleh kurva Scully yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Gerald Scully dalam Chao (1997), yang menerangkan hubungan antara peran
pengeluaran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Model kuadratik
yang diformulasikan Scully, porsi pengeluaran pemerintah menjadi variabel
independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Model dapat
disimpulkan bahwa: peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB
sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada
pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal)
maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat
mencapai nol. Secara grafis dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Sumber: Chao 1997
Gambar 2.7 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi
pengeluaran pemerintah terhadap PDB
27 2.1.7 Crowding out
Dampak crowding out terjadi apabila pengeluaran pemerintah bertindak
sebagai substitusi untuk pengeluaran swasta. Dampak ini bersumber dari
menurunnya investasi dan apresiasi nilai mata uang, sebagai akibat dari naiknya
tingkat bunga karena adanya stimulus fiskal. Besaran turunnya dampak
pengganda tergantung pada hal-hal berikut (Abimanyu 2005):
1
Sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga, naiknya sensitivitas investasi
terhadap tingkat bunga akan menurunkan koefisien pengganda. Namun
demikian, apabila investasi merupakan fungsi positif dari pendapatan, maka
angka pengganda tidak terlalu berpengaruh.
2
Hubungan antara permintaan uang dengan tingkat bunga dan pendapatan.
Semakin besar pengaruh tingkat bunga terhadap permintaan uang, akan
semakin menekan besarnya dampak pengganda, sebaliknya dengan kenaikan
pendapatan.
3
Tingkat keterbukaan ekonomi dan sistem nilai tukar yang digunakan.
Keterbukaan ekonomi menimbulkan peluang substitusi permintaan, dari
domestik menjadi impor, sehingga memperkecil dampak kebijakan fiskal
yang diharapkan. Terkait dengan sistem nilai tukar, sistem nilai tukar
fleksibel yang digunakan dapat meningkatkan crowding out, sehingga
menurunkan efektivitas stimulus fiskal.
4
Flesibelitas harga berpengaruh secara negatif terhadap besarnya pengganda.
5
Rational expectation, apabila kebijakan stimulus fiskal ditempuh secara
permanen, maka hal tersebut akan menimbulkan harapan akan naiknya
tingkat bunga dan menguatnya nilai tukar. Sehingga stimulus fiskal menjadi
kurang efektif, karena mempunyai crowding out yang cukup besar.
6
Pandangan Ricardian equivalen, kebijakan fiskal tidak memengaruhi
pendapatan permanen dan pola konsumsi masyarakat. Hal ini disebabkan
adanya pola pikir masyarakat yang berpendapat bahwa kenaikan pendapatan
dari stimulus fiskal pasti akan diikuti dengan kenaikan pajak dimasa yang
akan datang.
28
Secara teori, analisis stimulus fiskal dimulai dengan Keynesian yang
meliputi kriteria negara maju atau negara berkembang, perekonomian tertutup
atau terbuka, dan sistem nilai tukar tetap atau mengambang. Berdasarkan MundelFlemming Model, kebijakan fiskal tidak akan efektif pada negara dengan
perekonomian terbuka dan mempunyai sistem nilai tukar tukar yang
mengambang, karena crowding out melalui nilai tukar yang memengaruhi ekspor
neto.
2.1.8
1
Konsep dan Definisi
PDB merupakan total nilai tambah bruto yang dihasilkan unit produksi yang
beroperasi disuatu wilayah negara dalam jangka waktu tertentu (BPS 2008).
PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa
yang dihitung menggunakan harga berlaku setiap tahun, sedangkan PDB atas
harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang
dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai
dasar.
Pendekatan dalam menghitung PDB (BPS 2008) yaitu:
a
Pendekatan Produksi
PDB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan
oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu
tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam
penyajiannya dikelompokkan menjadi sembilan sektor yaitu: pertanian,
pertambangan, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan,
transportasi, keuangan dan jasa.
b
Pendekatan Pendapatan
PDB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor
produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam
jangka waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah
upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya
sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam
definisi PDB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto
(pajak tak langsung dikurangi subsidi).
29 c
Pendekatan Pengeluaran
PDB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari:
pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba, konsumsi
pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok
dan ekspor neto (ekspor dikurangi impor). Secara konsep ketiga
pendekatan ini akan menghasilkan angka yang sama. Jumlah pengeluaran
akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir dan harus sama dengan
jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi.
2
Konsumsi rumah tangga adalah pembelanjaan barang dan jasa oleh rumah
tangga. “Barang” mencakup pembelanjaan rumah tangga pada barang yang
tahan lama seperti kendaraan dan perlengkapan, dan tidak tahan lama seperti
makanan dan pakaian. ”Jasa” mencakup barang yang tidak berwujud konkret,
seperti potong rambut dan perawatan kesehatan. Pembelanjaan rumahtangga
atas pendidikan juga dimasukkan sebagai konsumsi jasa.
3
Investasi atau pembentukan modal tetap bruto adalah pembelian barang yang
nantinya akan digunakan untuk memproduksi lebih banyak barang dan jasa.
Investasi adalah jumlah dari pembelian peralatan modal, persediaan, dan
bangunan atau struktur.
Investasi pada bangunan mencakup pengeluaran
untuk mendapatkan tempat tinggal baru. Menurut kesepakatan bersama,
pembelian tempat tinggal baru merupakan satu bentuk pembelanjan rumah
tangga yang dikategorikan sebagai investasi dan bukan sebagai konsumsi.
4
Pengeluaran pemerintah mencakup pembelanjaan barang dan jasa oleh
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Belanja pemerintah mencakup upah
pekerja pemerintah dan pembelanjaan untuk kepentingan umum.
5
Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah perbandingan nilai konsumsi bulan
berjalan dengan nilai konsumsi pada tahun dasar dikalikan dengan 100. Pada
tahun dasar IHK akan bernilai 100 sebab tahun berjalan sama dengan tahun
dasar.
IHK dipakai untuk mengukur rata-rata perubahan harga dari suatu paket
komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakat/rumah tangga di suatu daerah
dalam kurun waktu tertentu.
30
Kegunaan IHK antara lain adalah :
a sebagai barometer nilai tukar rupiah atau sebagai indikator inflasi;
b sebagai landasan untuk memperbaiki/menyesuaikan gaji dan upah
karyawan;
c merupakan pengukur/perubahan harga konsumen;
d indikator/perubahan pengeluaran rumah tangga.
6
Suku Bunga
Dalam perbankan, tingkat suku bunga terbagi atas 2 jenis yaitu
a Tingkat suku bunga nominal (nominal interest rate) yaitu: tingkat suku
bunga yang dibayar investor untuk meminjam uang di bank atau bisa
dikatakan biaya oportunitas dari memegang uang. Selain itu dapat juga
berarti tingkat bunga riil dan tingkat inflasi.
b Tingkat suku bunga riil (real interest rate) yaitu tingkat suku bunga
nominal yang yang dikoreksi untuk menghilangkan pengaruh inflasi.
Tingkat bunga riil dibedakan menjadi tingkat bunga riil ex ante (tingkat
bunga riil yang diharapkan pemberi pinjaman dan peminjam ketika
kesepakatan dibuat) dan tingkat bunga riil ex post (tingkat bunga riil yang
terealisasi secara nyata).
2.2 Penelitian-Penelitian Terdahulu
Castro (2003) dengan studinya efek kebijakan fiskal di Spanyol, penelitian
ini bertujuan untuk melihat pengaruh kebijakan fiskal terhadap variabel makro
yaitu PDB, inflasi, nilai tukar. Penelitian ini menggunakan metode vector
autoregression (VAR), diperoleh shock fiskal mempunyai pengaruh yang lemah
dan signifikan terhadap PDB, konsumsi, investasi, suku bunga dan harga. Hsing
(2005) melakukan penelitian tentang pengaruh kebijakan moneter, kebijakan
fiskal dan penurunan nilai mata uang terhadap output di Venezuela. Penelitian ini
menggunakan metode IS-LM model dan generalized autoregressive conditional
heteroskedasticity (GARCH), menggunakan data tahunan selama tahun 19592001. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa output riil berhubungan positif
dengan jumlah uang beredar (M2), pengeluaran pemerintah, depresiasi mata uang
Bolivar, tingkat inflasi dan harga minyak.
31 Pereira dan Sagales (2006) melihat efek kebijakan fiskal terhadap output di
Portugal dengan menggunakan metode VAR. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa investasi pemerintah mempunyai efek positif yang signifikan tehadap
output, tetapi pajak langsung mempunyai efek negatif yang signifikan terhadap
output. Lendvai (2007) dalam studinya pengaruh kebijakan fiskal di Hungaria.
Penelitian ini ingin melihat pengaruh dari perubahan pengeluaran pemerintah,
menggunakan data triwulanan dari tahun 1997 sampai tahun 2005 dengan metode
structural vector autoregressive (SVAR). Hasilnya memperlihatkan bahwa
pergeseran dari pengeluaran pemerintah memberikan dampak campuran terhadap
perekonomian. Secara khusus, rumah tangga merespon positif terhadap
pengeluaran pemerintah ekspansif yang mengarah ke peningkatan pendapatan
mereka, tetapi menunjukkan reaksi negatif pada perusahaan. Secara keseluruhan,
peningkatan pengeluaran pemerintah menurunkan PDB.
Katsimi dan Sarantides (2008) meneliti dampak kebijakan fiskal pada 19
negara maju selama tahun 1975-2000. Penelitian ini menggunakan metode fixed
effect model (FEM). Hasil penelitian ini menunjukkan pengeluaran barang modal
mempunyai dampak yang positif terhadap keuntungan. Pajak langsung dan tidak
langsung menurunkan keuntungan. Afonso dan Sousa (2009) meneliti efek dari
kebijakan fiskal menggunakan metode bayesian structural vector autoregression
(BSVAR) dengan menganalisis Negara Inggris, Amerika, Jerman dan Italy.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa shock pengeluaran pemerintah
mempunyai pengaruh: (i) efek yang kecil terhadap PDB, (ii) tidak mempunyai
pengaruh signifikan terhadap konsumsi swasta, (iii) mempunyai efek negatif
terhadap investasi swasta, (iv) mempunyai efek yang bervariasi terhadap harga
rumah, (v) mendorong jatuhnya harga saham, (vii) tidak berdampak signifikan
terhadap tingkat harga, (viii) efek positif dan kecil terhadap pertumbuhan tingkat
agregat moneter dan (ix) mempunyai pengaruh positif terhadap produktifitas.
Sementara itu shock penerimaan pemerintah berpengaruh pada (i) efek positif
terhadap PDB dan investasi, (ii) efek positif terhadap harga rumah dan harga
saham dan (iii) secara umum tidak ada dampak terhadap tingkat harga.
Kubo (2008) meneliti dampak shock dari kebijakan moneter terhadap
perekonomian, pengalaman di Thailand. Variabel yang digunakan yaitu Indeks
32
Harga Konsumen (IHK), Indeks Produksi, Indeks Harga Produsen (IHP), suku
bunga pinjaman dan agregat kredit swasta, dengan menggunakan metode VAR.
Dari penelitian ini diperoleh bahwa mekanisme transmisi moneter di Thailand
mempunyai dampak terhadap dimensi internasional. Kontraksi moneter
mempunyai efek yang negatif dan cukup kuat pada permintaan impor dalam
jangka pendek walaupun harga impor turun.
Gillingham, et al (2008) melihat distribusi dampak kebijakan fiskal di
Honduras. Penelitian ini menggunakan data survei dari 8.175 rumah tangga
dengan total anggota rumah tangga (ART) 39.500 orang. Data yang dikumpulkan
adalah sumber pendapatan, belanja konsumen, akses dan penerimaan manfaat dari
pengeluaran pemerintah. Hasil dari survei ini menyatakan bahwa program subsidi
energi, biaya perguruan tinggi dan
pensiun memberikan keuntungan untuk
meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Abimanyu (2005) meneliti kebijakan fiskal dan efektifitas stimulus fiskal di
Indonesia. Penelitian ini menggunakan model computable general equilibrium
(CGE), menggunakan data variabel ekonomi makro yang diperoleh dari tabel
input/output (I/O) tahun 2000. Penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan
stimulus fiskal di Indonesia mampu memberikan hasil yang positif dan cukup
signifikan. Hastuti (2007) menganalisa dampak kebijakan moneter, kebijakan
fiskal dan kebijakan nilai tukar terhadap pendapatan nasional, periode sebelum
dan sesudah krisis di Indonesia. Metode yang digunakan adalah VAR, dengan
variabel yang diteliti adalah jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, nilai
tukar dan PDB. Data merupakan data triwulanan dari Triwulan I tahun 1990
sampai Triwulan IV tahun 2006. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah uang
beredar dan pengeluaran pemerintah memiliki dampak positif terhadap PDB,
sedangkan dampak nilai tukar adalah negatif, dengan kata lain, kebijakan moneter
dan kebijakan fiskal memiliki dampak yang ekspansif, sedangkan dampak nilai
tukar adalah kontraktif.
Alfirman dan Sutriono (2006) menganalisis hubungan pengeluaran
pemerintah dan PDB dengan menggunakan pendekatan Granger causality dan
VAR. Data yang digunakan adalah data tahunan dari tahun 1970-2003. Hasilnya
menunjukkan terdapat hubungan kausalitas antara total pengeluaran pemerintah
33 dengan PDB. Pengeluaran rutin tidak signifikan memengaruhi PDB karena
bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif
seperti belanja untuk pembayaran bunga utang. Pengeluaran pembangunan
memiliki hubungan kausalitas positif dan signifikan terhadap PDB.
Indrawati (2007) melihat interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di
Indonesia menggunakan pendekatan VAR. Variabel yang digunakan adalah suku
bunga, pengeluaran pemerintah, IHK dan PDB. Data yang digunakan data
tahunan dari tahun 1970-2006. Hasilnya memperlihatkan shock kebijakan fiskal
bersifat permanen dan negatif terhadap inflasi dan direspon dengan kebijakan
moneter yang ketat. Shock kebijakan moneter menyebabkan pengaruh permanen
negatif pada menurunnya pertumbuhan ekonomi. Hadi (2005) menganalisis
korelasi antara pendapatan nasional dan investasi pemerintah di Indonesia, 19832000, menggunakan metode VAR. Data yang digunakan data triwulanan dari
tahun 1983-2000. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa investasi pemerintah di
sektor fiskal, khususnya pengeluaran pembangunan tidak mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil rekapitulasi penelitian
terdapat pada Tabel 2.1.
34
Tabel 2.1
Rekapitulasi penelitian terdahulu terkait dengan kebijakan fiskal di berbagai negara
NO
JUDUL
PENELITI
PENERBIT
METODE
VARIABEL
DATA
HASIL
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1
Macroeconomic
Impact of Monetary
Policy Shocks:
Evidence from
Recent Experience
in Thailand
Akihiro Kubo.
2008
Journal of
Asian
Economics 19
(2008) 83-91
VAR
CPI, Industrial Production
Index (IP), Producer Price
Index (PPI), Lending Rate
(LR), Private Credit
Aggregates (PCA)
Data bulanan
dari Mei 2000
sampai
Desember
2006
(8)
Mekanisme transmisi moneter di
Thailand mempunyai dampak terhadap
dimensi internasional. Kontraksi moneter
mempunyai efek yang negatif dan cukup
kuat pada permintaan impor dalam
jangka pendek walaupun harga impor
turun.
2
The Impact of
Fiscal Policy on
Profit
Margarita
Katsimi dan
Vasilis
Sarantides
2008
Fixed Effect
Model
profit, capital expenditure,
current expenditure, pajak,
surplus, upah, konsumsi,
suku bunga dan
pengangguran
Data dari 19
negara maju
selama
periode 19752000
Pengeluaran barang modal mempunyai
dampak
yang
positif
terhadap
keuntungan. Pajak langsung dan tidak
langsung menurunkan keuntungan
3
Macroeconomic
Effect of Fiscal
Policy in Spain
Francisco de
Castro. 2003
VAR
Gov expd, pajak, PDB riil,
PDB deflator, interest rate
data bulanan
dari tahun
1980:1-2001:2
Shock fiskal mempunyai efek yang kecil
terhadap PDB, konsumsi, investasi, suku
bunga dan harga
VAR
Gov exp, current transfer
(GTR), Intermediate
consumption (GIC),
compensation of employee
(GW), public investment
(GFBC), GDP, direct tax
(DT) and indirect tax
(TIND)
Data tahunan
dari tahun
1977-2004
Investasi pemerintah mempunyai efek
positif yang kuat tehadap output, tetapi
pajak langsung mempunyai efek negatif
yang kuat terhadap output.
4
On Effect of Fiscal
Policies in Portugal
Alfredo M.
Pereira dan
Oriol Roca
Sagales. 2006
Athens
University of
Economics
and Business
(AUEB)
Banco de
Espana.
Servicio De
Estudios.2003
The College of
William and
Mary,
Department of
Economics.
Working
Paper Number
35
35
NO
JUDUL
PENELITI
The Impact of
Fiscal in Hungaria
Julia Lendvai.
2007
6
The Distributional
Impact of Fiscal
Policy in Honduras
Robert
Gillingham, ,
David
Newhouse dan
Irene
Yackovlev
7
Impact of Monetary
Policy, Fiscal
Policy and
Currency
Depreciation on
Output: The Case of
Venezuela
5
8
What are the Effect
of Fiscal Policy
Shocks
PENERBIT
ECFIN
Country Focus
Vol IV, Issue
11
22.11.207
METODE
SVAR
IMF Working
Paper, 2008
WP/08/168
Yu Hsing
(2005)
Briefing Notes
in Economics
Issue No. 65,
Juli 2005
Andrew
Mountford,
and Harald
Uhlig.
SFB 649
Discussion
Paper 2005039.
Economic
Risk Berlin.
2005
IS-LM
Model and
GARCH
VAR
VARIABEL
DATA
HASIL
Gov exp, Tax, GDP, GDP
deflator, konsumsi,
investasi, pengeluaran
swasta, private
employment
Data
triwulanan
dari tahun
1997:1-2005:4
Hasilnya menunjukkan bahwa shocks
pengeluaran pemerintah mempunyai
dampak
yang
berbeda
terhadap
perekonomian. Income rumah tangga
meningkat, reaksi negatif pada sektor
perusahaan sektor. Secara keseluruhan,
meningkatkan pengeluaran pemerintah
mengarah ke kontraksi GDP.
Income, Consumer
spending, access to and
receipt of the benefit of
government spending
Menggunakan
data survei
dari 8.175
rumah tangga
dengan total
ART 39.500
orang
Program subsidi energi, biaya perguruan
tinggi dan
pensiun memberikan
keuntungan
untuk
meningkatkan
pendapatan rumah tangga
Data tahunan
dari tahun
1959-2001
Riil output berhubungan positif dengan
M2, pengeluaran pemerintah, depresiasi
mata uang Bolivar, tingkat inflasi dan
harga minyak
Data
triwulanan di
Amerika
Serikat dari
tahun 19552000
Guncangan pengeluaran pemerintah
menyebabkan peningkatan pada PDB
yang kecil, tidak ada pengaruh terhadap
konsumsi, penurunan pada investasi,
harga dan suku bunga.
real GDP, real M2,
Government Spending,
depreciation of the bolivar,
inflation rate, world oil
price.
Model: Y = f(RM2,
DEF,EXC,π,OIL)
GDP, pivate consumption,
private residential
investment, non resident
investment, gov
expenditure, gov revenue,
interest rate, adjusted
reserve, producer price
index for crude material,
GDP deflator
36
NO
9
10
11
12
JUDUL
The
Macroeconomic
Effect of Fiscal
Policy
The Effect of Fiscal
Policy on
Consumption and
Employment:
Theory and
Evidence
Kebijakan Fiskal
dan Efektivitas
Stimulus Fiskal di
Indonesia
Dampak Kebijakan
Moneter, Kebijakan
Fiskal, dan
Kebijakan Nilai
Tukar terhadap
Pendapatan
Nasional periode
sebelum dan
sesudah krisis di
Indonesia
PENELITI
PENERBIT
METODE
VARIABEL
DATA
HASIL
Bayesian
SVAR
GDP, konsumsi, investasi,
wage, produktivity, G, T,
GDP deflator, Housing
price index, suku bunga,
profit, M2, stock price,
exchange rate.
Data
Triwulanan.
USA: 1970:32007:4.
Inggris:
1964:22007:4.
Jerman:
1980:32006:4. Italia:
1986:2-2004:4
G mempunyai efek yang kecil thd GDP,
tidak berdampak terhadap konsumsi,
negatif thd investasi, bervariasi thd harga
rumah, mendorong jatuhnya harga
saham, tidak berdampak thd tingkat
harga, efek kecil dan positif thd
pertumbuhan moneter, penurunan thd
nilai tukar
Data
triwulanan
dari tahun
1960:1-1996:4
Inovasi
positif
dari
pengeluaran
pemerintah
akan
diikuti
dengan
peningkatan konsumsi dan tenaga kerja.
I/O 2000
Kebijakan stimulus fiskal di Indonesia
mampu memberikan hasil yang positif
dan cukup signifikan
1990:1-1997:2
dan 1997:32006:4
Jumlah uang beredar dan pengeluaran
pemerintah memiliki dampak positif
terhadap PDB, sedangkan dampak nilai
tukar adalah negatif. Secara umum,
kebijakan moneter dan kebijakan fiskal
memiliki dampak yang ekspansif,
sedangkan dampak nilai tukar adalah
kontraktif
Antonio
Afonso dan
Ricardo
M.Sausa
Working
Paper Series.
European
Central Bank.
No 991,
Januari 2009
Antonio Fatas
dan Ilian
Mihov
Tilburg
University,
1998
VAR
G, GDP, GDP deflator,
Tax, Real T-bill Rate,
Konsumsi dan
employment
Anggito
Abimanyu
Jurnal
Ekonomi
Indonesia,
2005
MOD dan
CGE
Variabel ekonomi makro
Rini Tri
Hastuti
UNS
VAR
M2, G, Nilai Tukar, PDB
37
NO
JUDUL
13
Analisis Hubungan
Pengeluaran
Pemerintah dan
Produk Domestik
Bruto dengan
Menggunakan
Pendekatan Granger
Causality dan VAR
PENELITI
PENERBIT
Luky
Alfirman dan
Edy Sutriono
Jurnal
Ekonomi
Indonesia
4(1):25-66
14
Interaksi Kebijakan
Fiskal dan Moneter
di Indonesia:
Pendekatan VAR
Yulia
Indrawati
2007
Parallel
Session IC:
Monetary and
Macroeconom
y Policy
15
Analisis VAR
terhadap Korelasi
antara Pendapatan
Nasional dan
Investasi
Pemerintah di
Indonesia,
1983/19841999/2000
Yonathan S.
Hadi.
Desember
2003
Jurnal
Keuangan dan
Moneter, vol 6
no.2
METODE
GC, VAR
VAR
VAR
VARIABEL
DATA
HASIL
1970-2003
Terdapat hubungan kausalitas antara
total pengeluaran pemerintah dengan
PDB. Pengeluaran rutin tidak signifikan
memengaruhi PDB karena bersifat
konsumtif dan tidak produktif serta
sebagian besar bersifat kontraktif seperti
belanja untuk pembayaran bunga utang.
Pengeluaran pembangunan memiliki
hubungan
kausalitas
positif
dan
signifikan terhadap PDB.
Suku bunga, G, IHK dan
PDB
Data tahunan
1970-2006
Shock kebijakan fiskal bersifat permanen
dan negatif terhadap inflasi dan direspon
dengan kebijakan moneter yang ketat.
Sedangkan adanya shock kebijakan
moneter
menyebabkan
pengaruh
permanen negatif pada menurunnya
pertumbuhan ekonomi
PDB, pengeluaran
pembangunan
Data
triwulanan
dari 19832000
Investasi pemerintah di sektor fiskal,
khususnya pengeluaran pembangunan
tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan
terhadap
pertumbuhan
ekonomi.
G, PDB
38
NO
JUDUL
PENELITI
PENERBIT
METODE
VARIABEL
DATA
16
Fiscal Policy and
Macroeconomic
Uncertainty in
Emerging Markets:
The Tale of the
Tormented Insurer
Enrique G.
Mendoza dan
P. Marcelo
Oviedo, 2005
University of
Maryland,
IMF dan
NBER
MPE
GDP, tax, GNP, konsumsi,
G, Neraca perdagangan
Data Mexico.
17
A Vector Error
Correction Model
(VECM) of
Stockmarket Return
Sreedharan,
Nagarathan J.
April 2004
School of
Economic.
University of
Tasmania
Security Price (Close,
Open, High, Low)
US daily Dow
Jones
Industrial
(DJI) index,
1990-2000
18
Fiscal Policy: Its
Macroeconomics in
Perspective
Tobin, James.
2001
Cowles
Foundation
Discussion
Paper No.1301
VAR, VEC
HASIL
39
2.3
Kerangka Pemikiran
Kerangka pikir penelitian ini mengacu pada transmisi kebijakan fiskal.
Kebijakan fiskal khususnya pengeluaran pemerintah akan memengaruhi variabelvariabel makro. Pengaruh variabel makro bisa secara langsung maupun tidak
langsung, secara sistematis kerangka pemikiran konseptual dapat dijelaskan dalam
bentuk diagram alur sebagaimana tertuang dalam Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Kerangka pemikiran
2.4
Hipotesis Penelitian
Kebijakan fiskal khususnya pengeluaran pemerintah akan berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi, konsumsi, investasi, harga dan suku bunga di
Negara-negara ASEAN+3.
III. METODE PENELITIAN
3.1
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah pengeluaran riil pemerintah
(Gt), PBD riil (Yt), konsumsi (CCt), investasi (It), Indeks Harga Konsumen (IHKt)
dan suku bunga (Rt). Keenam variabel ini merupakan bagian dari variabel
makroekonomi yang diperlukan untuk studi tentang dampak dinamis perubahan
kebijakan fiskal (Fatas dan Mihov 2000). Negara yang menjadi fokus penelitian
adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Korea Selatan dan
Jepang. Sebelum dilakukan pengolahan lebih lanjut, semua variabel dalam bentuk
nominal diriilkan terlebih dahulu. Variabel yang digunakan dalam model ECM
sering dalam bentuk logaritma karena dua alasan: (1) parameter variabelnya
diinterpretasikan sebagai nilai elastisitas dan (2) pada variabel beda pertama (first
difference) diinterpretasikan sebagai laju pertumbuhan (growth rates) dengan
formula sebagai berikut (Thomas dalam Ilham 2007):
∆
(3.1)
Perlakuan dengan cara ini maka semua variabel tidak memiliki satuan
karena dalam bentuk laju pertumbuhan. Jika nilai parameter dikalikan 100%,
satuannya menjadi seragam dalam bentuk persen. Data ini merupakan data
tahunan dari tahun 1980-2008. Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS), CEIC, International Financial Statistics (IFS) dan lain-lain.
Secara umum variabel yang digunakan dalam penelitian ini, dirangkum dalam
tabel berikut:
Tabel 3.1 Variabel yang digunakan dalam penelitian
No
VARIABEL
KETERANGAN
SUMBER
G riil (p=2000)
CEIC, BPS
PDB riil (p=2000)
CEIC, BPS
CC riil (p=2000)
CEIC, BPS
I riil (p=2000)
CEIC, BPS
1
Pengeluaran pemerintah (G)
2
PDB (Y)
3
Konsumsi RT (CC)
4
Investasi (I)
5
Indeks Harga Konsumen (IHK)
2000=100
IFS
6
Suku bunga (R)
Deposito
IFS
42
3.2
Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis vector autoregression (VAR) jika data
yang digunakan stasioner dan tidak terkointegrasi, atau menggunakan analisis
vector error correction model (VECM), jika data yang digunakan stasioner,
namun terkointegrasi. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Microsoft Excel 2007 dan program Eviews 6.0.
3.2.1 Vector Autoregression ( VAR)
VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah
sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari peubah itu sendiri
serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem. Peubah penjelas dalam
VAR meliputi nilai lag seluruh peubah tak bebas dalam sistem. Pada metode
VAR, variabel eksogen dan endogen tidak dapat dibedakan secara apriori.
Menurut Sims (1972) hanya variabel endogen yang masuk analisis.
Keunggulan metode VAR dibandingkan dengan metode ekonometri
konvensional adalah (Junaidi 2008):
1
Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang
kompleks (multivariate), sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan
variabel di dalam persamaan tersebut.
2
Uji VAR yang multivariate bisa menghindari parameter yang bias akibat
tidak dimasukannya variabel yang relevan.
3
VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel di dalam sistem persamaan,
dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogenous.
4
Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan
teori ekonomi yang sering muncul, termasuk gejala perbedaan palsu di dalam
model ekonometri konvensional, terutama pada persamaan simultan, sehingga
menghindari penafsiran yang salah.
Selain memiliki kelebihan, metode VAR juga memiliki kelemahan, adapun
beberapa kelemahan yang dimiliki model VAR antara lain:
1
Model VAR lebih bersifat ateoritik karena tidak memanfaatkan informasi
atau teori terdahulu. Oleh karenanya, model tersebut sering disebut model
yang tidak struktural.
43
2
Mengingat tujuan utama model VAR untuk peramalan, maka model VAR
kurang cocok untuk menganalisis kebijakan.
3
Pemilihan banyaknya lag yang digunakan dalam persamaaan juga dapat
menimbulkan permasalahan dalam proses estimasi.
Pemodelan VAR adalah bentuk pemodelan yang digunakan untuk
multivariate time series. Model VAR menjadikan semua variabel bersifat
endogen. Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya
selang (lag) yang digunakan dalam model. Sesuai dengan Sims (1972), variabel
yang digunakan dalam persamaan VAR dipilih berdasarkan teori ekonomi yang
relevan. Pemilihan selang optimal kemudian akan menggunakan kriteria informasi
seperti Akaike information criterion (AIC), Schwarz information criterion (SC),
Hannan-Quinn information criterion (HQ).
Model VAR secara matematis dapat diwakili oleh (Ender 2004):
∑
A
(3.2)
Keterangan: xt adalah vektor dari variabel-variabel endogen berdimensi (n x 1), µt
adalah vektor dari variabel-variabel eksogen termasuk di dalamnya konstanta
(intercept) dan tren, Ai adalah matriks-matriks koefisien berdimensi (n x n) dan ut
adalah vektor dari residual-residual yang secara kontemporer berkorelasi tetapi
tidak berkorelasi dengan nilai lag mereka sendiri dan juga tidak berkorelasi
dengan seluruh variabel yang ada dalam sisi kanan persamaan diatas.
3.2.2 Uji Stasioneritas Data
Hal penting yang berkaitan dengan studi atau penelitian yang menggunakan
data time series adalah stasioneritas. Data deret waktu dikatakan stasioner jika
data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu atau dengan kata lain
tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data, secara kasarnya data harus
horizontal sepanjang sumbu waktu.
Engel dan Granger (1987) menyatakan bahwa uji akar unit dipandang
sebagai uji stasioneritas, karena pada intinya uji tersebut bertujuan untuk
mengamati apakah koefisien tertentu dari model otoregresif yang ditaksir
mempunyai nilai atau tidak. Jika data runtun waktu (time series) yang digunakan
tidak stasioner, maka kesimpulan yang diperoleh akan menghasilkan pola
hubungan regresi yang semu (spurious regression). Data yang stasioner akan
44
mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya dan berfluktuasi
disekitar nilai rata-ratanya (Gujarati 2006). Ada beberapa cara untuk melakukan
uji akar unit root, namun yang paling banyak adalah dengan augmented Dicky
Fuller (ADF) test. Misalkan model persamaan time series sebagai berikut
(Pasaribu 2003):
yt = ρyt-1 + εt
(3.3)
Keterangan: ρ adalah parameter yang akan diestimasi dan ε diasumsikan white
noise dimana variabel yang digunakan tersebut memiliki mean dan variance yang
konstan dan kovarian sama dengan nol. Jika |ρ| ≥ 1, maka y adalah variabel yang
tidak stasioner, dan varian dari y akan meningkat sejalan dengan peningkatan
waktu dan cenderung untuk tak berhingga. Jika |ρ| < 1, maka y adalah variabel
yang stasioner. Hipotesis trend stationarity dapat dievaluasi dengan menguji
apakah nilai absolut dari ρ betul-betul kecil dari satu. Pengujian umum terhadap
hipotesis diatas adalah:
H0 : ρ = 1 dan hipotesis alternatif H1: ρ<1.
Kemudian dengan mengurangi kedua sisi persamaan (3.6) dengan yt-1
didapat persamaan:
Δyt = αyt-1 + εt
(3.4)
dimana Δ mengidentifikasikan perbedaan pertama, sedangkan α= ρ-1, sehingga
hipotesis nol menjadi H0: α=0, sedangkan hipotesis alternatif menjadi H1: α<1.
Sedangkan model umum dari ADF yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut (Pasaribu 2003):
Δyt = k +αyt-1 + c1 Δyt-2 + ...+ cpΔyt-p + β trend + εt
(3.5)
Jika nilai t-statistik ADF lebih kecil dari t-statistik kritis MacKinnon maka
keputusannya adalah menolak H0 yang menyatakan bahwa data tidak stasioner
atau dengan kata lain data bersifat stasioner
3.2.3 Penetapan Lag Optimal
Uji lag optimal dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah lag yang sesuai
untuk model. Penetapan tingkat lag optimal dapat dilakukan dengan
menggunakan fungsi kriteria informasi sebagai berikut: (a) Kriteria uji likelihood
ratio (LR); (b) final prediction error (FPE); (c) Akaike information criterion
45
(AIC); (d) Schwarrz information criterion (SIC); dan (e) Hannan_Quinn criterion
(HQ).
Penentuan lag optimal dalam analisis VAR sangat penting dilakukan karena
variabel endogen dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan
sebagai variabel eksogen (Enders 2004). Pengujian panjang lag optimal ini
berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Dalam
penelitian ini digunakan semua kriteria informasi untuk menentukan lag optimal.
Model VAR diestimasi dengan lag yang berbeda-beda kemudian dibandingkan
nilai kriterianya. Nilai lag yang optimum adalah nilai kriteria yang terkecil.
3.2.4 Uji Kointegrasi
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam VAR adalah semua peubah
tak bebas bersifat stasioner. Apabila data tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji
kointegrasi, dimana jika data yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi
linier antar variabel-variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat
diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang stabil (Enders 2004).
Suatu deret waktu dikatakan terintegrasi pada lag ke-d atau I(d) jika data
tesebut bersifat stasioner setelah pendiferensian sebanyak d kali. Peubah-peubah
tidak stasioner yang terintegrasi pada tingkat yang sama dapat membentuk
kombinasi linier yang bersifar stasioner. Komponen dari vektor yt dikatakan
terkointegrasi jika ada vektor β = (β1, β2,......,βn) sehingga kombinasi linier βyt
bersifat stasioner, dengan syarat ada unsur matriks β bernilai tidak sama dengan
nol. Vektor β dinamakan vektor kointegrasi. Rank kointegrasi (r) dari vektor
adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas. Nilai (r) dapat diketahui
melalui uji Johansen. Hipotesisnya adalah:
H0 = rank ≤ r
H1 = rank > r
Apabila rank kointegrasi lebih besar dari nol, maka model yang digunakan adalah
VECM dan apabila rank kointegrasi sama dengan nol, maka model yang
digunakan adalah VAR dengan pendiferensian sampai lag ke d.
46
3.2.5 Vector Error Correction Model (VECM)
VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi. Restriksi tambahan ini
harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner pada level
namun terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi
kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. VECM sering disebut sebagai desain
VAR bagi series non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi.
Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel
endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap
membiarkan keadaan dinamisasi jangka pendek. Istilah kointegrasi dikenal juga
sebagai error, karena deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang dikoreksi
secara bertahap melalui series parsial penyesuaian jangka pendek.
VECM standar didapat dari model VAR dikurangi dengan xt-1. Persamaan
matematis ditunjukkan oleh persamaan berikut (Achsani et al 2005):
k −1
Δxt-1 = µt + Πxt-1 + ∑ Γi Δxt-1 + ut
(3.6)
i =1
Keterangan: Π dan Γ adalah fungsi dari Ai, matriks Π bisa didekomposisi
kedalam 2 matriks berdimensi (n x r) α dan β; Π = α βT, dimana α disebut matriks
penyesuaian dan β sebagai vektor kointegrasi dan r adalah cointegration rank.
Kerangka kointegrasi hanya sesuai jika variabel-variabel yang berhubungan
terintegrasi. Hal ini bisa diuji dengan menggunakan uji akar unit. Saat tidak bisa
ditemukan akar unit, maka metode ekonometrik tradisional dapat diterapkan.
3.2.6 Impuls Response Function (IRF)
IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang
waktu terhadap kejutan dari variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. IRF
digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel dependen
jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu
standar deviasi. Vector autoregression dapat pula direpresentasikan sebagai suatu
vector moving average (VMA):
∑∞
keterangan :
(3.7)
47
Keempat koefisien Ø11(i), Ø12(i), Ø21(i), dan Ø22(i) merupakan impuls
response function. Hasil IRF tersebut sangat sensitif terhadap pengurutan
(ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan. Pengurutan variabel yang
didasarkan pada faktorisasi cholesky. Variabel yang memiliki nilai prediksi
terhadap variabel lain diletakkan di depan berdampingan satu sama lainnya.
Variabel yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan
paling belakang
3.2.7 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
FEVD adalah metode yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana
perubahan dalam suatu variabel makro ditunjukkan oleh perubahan variance error
yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Metode ini dapat melihat juga
kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam memengaruhi
variabel lainnya pada kurun waktu yang panjang (how long/how persistent).
Dekomposisi varians merinci varians dari error peramalan (forecast) menjadi
komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen
dalam model. Melalui perhitungan persentase squared prediction error k-tahap ke
depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain, dapat
dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel
itu sendiri dan variabel-variabel lainnya
3.2.8 Derajat Pass-Through
Metode penghitungan derajat pass-through mengacu pada model Hyder dan
Shah dalam Achsani (2008) dimana Cholesky decomposition digunakan untuk
mengidentifikasi guncangan struktural dan menghitung derajat pass-through
melalui analisis impulse response. Koefisien (derajat) pass-through dihitung
berdasarkan kumulatif impulse response dari variabel shock terhadap variabel
respon dan variabel shock terhadap variabel shock itu sendiri.
Persamaan matematis penghitungan derajat pass-through adalah sebagai berikut:
∑
∑
(3.8)
48
Keterangan:
∑
: kumulatif respon Y, CC, I, IHK dan R terhadap shock G dari horizon
pertama sampai ke-n
∑
3.3
: kumulatif respon G terhadap shock G dari horizon pertama sampai ke-n
Model Penelitian
Model penelitian ini adalah:
∑
Keterangan:
(3.9)
Yt : vektor variabel endogen (Gt, Yt, CCt, It, IHKt, Rt)
α : konstanta
β : koefisien matriks untuk lag-i
ε : residual
Berdasarkan model diatas, dengan memasukkan enam variabel yang akan
digunakan dalam penelitian ini, maka persamaan VAR yang akan terbentuk sesuai
variabel yang akan dianalisis adalah:
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
Keterangan:
Y
CC
G
I
IHK
R
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
(3.10)
∑
(3.11)
∑
(3.12)
(3.13)
∑
∑
∑
∑
∑
∑
(3.14)
(3.15)
: Produk Domestik Bruto (PDB)
: Konsumsi rumah tangga
: Government spending / pengeluaran pemerintah
: Investasi
: Indeks Harga Konsumen
: Tingkat suku sunga deposito
Persamaan umum:
(3.16)
49
Keterangan:
Xt
A0
A1
et
: Vektor yang berisi n variabel (nx1)
: Vektor intersep (nx1)
: Matriks koefisien (nxn)
: Vektor variabel gangguan
Berdasarkan persamaan di atas, maka untuk mendapatkan jawaban dari
permasalahan jangka panjang (hubungan jangka panjang) maka model VAR harus
dikombinasikan dengan VECM sehingga persamaan akan menjadi sebagai
berikut:
∆
∑
∆
(3.17)
Error termnya (ε1t, ε2t, ε3t, … , ε6t) yaitu sisaan (dugaan error term) akan menjadi
fokus utama. εit dapat diinterpretasikan sebagai inovasi atau guncangan dari
variabel yang kita inginkan, sehingga dampak guncangan sebuah variabel
terhadap variabel lainnya dapat dianalisis. Perestriksian persamaan VAR dan
VECM di atas akan menyebabkan jumlah parameter sama dengan jumlah
persamaan (exact identified) sehingga error ε1t, ε2t, ε3t, … , ε6t dapat diidentifikasi
dan diperoleh pure innovation dari ε1t, ε2t, ε3t,
… ,
ε6t. Setelah diperoleh pure
innovation maka analisis selanjutnya dapat dilakukan yaitu impulse response
function (IRF) dan forecast error variance decomposition (FEVD).
3.4. Kerangka Analisis Data
Alat analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan Vector
Autoregression (VAR) atau Vector Error Correction Model (VECM). Ini melihat
pengaruh kebijakan fiskal khususnya pengeluaran pemerintah di masing-masing
negara yang diteliti serta membandingkan antar negara tersebut. Secara ringkas
tahapan pengolahan dapat dilihat dari Gambar 3.1
50
Gambar 3.1 Tahapan dan metode analisis data
IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL
MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3
4.1
Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN+3
Potret ekonomi dikawasan ASEAN+3 hingga tahun 1990-an secara umum
dinilai sangat fenomenal. Hal ini antara lain tercermin dari pergerakan PDB yang
selalu mengalami kenaikan secara signifikan. Berdasarkan Gambar 4.1 dapat
dilihat bahwa secara umum PDB dari enam Negara ASEAN+3 selama tahun 1970
sampai dengan tahun 1997 menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun.
Awalnya enam Negara ASEAN+3 kecuali Jepang mempunyai nilai PDB yang
relatif sama. Namun semenjak tahun 1985, Korea Selatan mengalami peningkatan
PDB yang sangat signifikan. Ini terlihat pada tahun 1990, nilai PDB Korea
Selatan hampir tiga kali PDB Indonesia.
PDB Negara Jepang pada tahun awal
penelitian yaitu tahun 1970, nilainya hampir 35 kali rata-rata nilai PDB keenam
negara lainnya. World Bank dalam Arifin (2008) mengemukakan bahwa negaranegara yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan ekonomi yang mengesankan
(High Performing East Asian Economies/HPAEs), mencapai pertumbuhan
ekonominya yang tinggi dengan berpijak pada landasan yang tepat (getting the
basics right).
9 8 Miliar US$
7 6 5 4 3 2 1 Ind
Mal
Sgp
Tahun
Thai
Phil
Kor
Sumber: IFS diolah (Jepang tidak dimasukkan)
Gambar 4.1 Perkembangan PDB riil Negara ASEAN+3 tahun 1970-2008
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
1978
1976
1974
1972
1970
‐
52 Dasar pijakan tersebut antara lain:
1
Kebijakan pembangunan yang tangguh secara fundamental dan konsisten
dalam penerapannya.
2
Kinerja makroekonomi yang cukup baik dan stabil (antara lain PDB per
kapita, tingkat inflasi, cadangan devisa, tingkat utang luar negeri dan
kestabilan nilai tukar) mampu menarik arus masuk modal yang berkualitas.
3
Kebijakan restrukturisasi dan deregulasi sistem keuangan, khususnya
perbankan, mampu mendorong peningkatan tabungan domestik untuk
mendukung sektor pembiayaan dan investasi domestik di negara-negara
HPAEs.
4
Peningkatan secara cepat kualitas dan produktivitas sumber daya manusia
5
Menurunnya tingkat pertumbuhan penduduk di HPEAs dibanding dengan
negara berkembang lainnya.
Berdasarkan data pertumbuhan PDB dalam rentang waktu 1990-2007
(Gambar 4.2) menunjukkan bahwa ketujuh negara tersebut rata-rata mengalami
tingkat pertumbuhan PDB yang cukup bervariasi. Rata-rata tingkat PDB tertinggi
diantara ketujuh Negara ASEAN+3 adalah Singapura kemudian diikuti Malaysia,
Korea Selatan, Thailand, Indonesia, Philipina dan Jepang.
15
10
‐10
‐15
Tahun
Ind
Mal
Sgp
Thai
Phil
Sumber: IFS diolah
Gambar 4.2 Tingkat pertumbuhan PDB
Kor
Jpn
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
‐5
1991
0
1990
Persen
5
53
Tingkat pertumbuhan PDB sampai dengan tahun 1995 di Negara ASEAN+3
kecuali Jepang mencapai level tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu
berada pada tingkat pertumbuhan antara 5% hingga 10%. Persentase PDB ini
terus mengalami penurunan hingga mencapai titik terendah pada tahun 1998,
yaitu ketika krisis ekonomi menerpa hampir seluruh negara di kawasan Asia
Tenggara. Indonesia mengalami dampak krisis yang terbesar.
Tanda-tanda krisis mulai nampak pada bulan Juli 2007 menyusul terjadinya
gejolak nilai tukar yang meruntuhkan perekonomian Thailand. Mata uang regional
mulai mengalami tekanan depresiatif dan terus bergejolak sebagai pertanda awal
terjadinya efek menular (contagion effect). Faktor pemicu gejolak tersebut secara
besar dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi permintaan dan sisi penawaran. enam
Enam faktor yang memengaruhi dari sisi permintaan (Arifin 2008) yaitu:
1
Krisis keuangan dan moneter di Thailand memicu pelarian modal keluar dari
kawasan karena menganggap ASEAN memiliki masalah yang sama.
2
Tingginya permintaan terhadap dolar yang berkaitan dengan besarnya
kewajiban luar negeri negara-negara kawasan (umumnya swasta) jatuh
tempo.
3
Maraknya spekulasi mata uang regional.
4
Menurunnya kepercayaan investor terhadap prospek dan kemampuan
ekonomi negara-negara di kawasan dalam menghadapi gejolak keuangan.
5
Kecenderungan menguatnya nilai dolar terhadap hampir seluruh mata uang
dunia sehingga mendorong investor mengalihkan dananya ke mata uang
dolar.
6
Maraknya isu-isu non-ekonomis yang memicu sentimen negatif, misalnya
terjadinya gejolak politik di beberapa negara kawasan.
4.2
Komposisi PDB
Komposisi PDB dari sisi permintaan terdiri dari konsumsi, pengeluaran
pemerintah, investasi dan ekspor neto (ekspor dikurangi impor). Pasca krisis
ekonomi pada tahun 1998, faktor-faktor pertumbuhan ekonomi secara umum
menunjukkan perbaikan, meskipun dengan pola dan level yang berbeda antara
Negara ASEAN+3 (Gambar 4.3).
54 Indonesia
Milyar Rp
16000
12000
8000
4000
0
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08
C
G
I
Malaysia
Juta Dolar Singapura
6000
Juta Ringgit
5000
4000
3000
2000
1000
X
6000
4000
3000
2000
1000
0
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08
G
I
X
M
C
Thailand
60.00 Milyar Peso
Milyar Bath
40.00 30.00 20.00 10.00 ‐
30
20
10
0
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08
C
G
I
X
M
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08
C
G
I
X
M
Korea Selatan
Jepang
5000
4000
4000
Milyar Yen
Milyar Won
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08
G
I
X
M
Philipina
40
50.00 Singapura
5000
0
C
M
3000
2000
1000
0
C
3000
2000
1000
0
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08
G
I
X
M
C
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08
G
I
X
M
Gambar 4.3 Perkembangan komposisi PDB masing-masing negara
Ind
Mal
Sgp
Thai
Phil
Kor
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
80
75
70
65
60
55
50
45
40
35
30
1990
Persen
55
Jpn
Sumber: IFS diolah
Gambar 4.4 Peranan konsumsi terhadap PDB
Komposisi PDB di Indonesia, Philipina, Korea Selatan dan Jepang masih ditandai
dengan tingginya konsumsi swasta. Pada keempat negara ini pertumbuhan
konsumsi tetap tinggi baik sebelum maupun sesudah krisis. Pola berbeda
ditunjukkan Thailand, pasca krisis nilai ekspor mendominasi sisi permintaan,
meskipun disertai dengan kenaikan signifikan impor, menggantikan konsumsi
swasta. Malaysia dan Singapura menunjukkan pola yang berbeda, dengan ekspor
dan impor mendominasi baik sebelum maupun setelah krisis dengan surplus trade
balance makin besar.
4.3
Konsumsi Swasta
Peranan konsumsi di Negara ASEAN+3 masih memegang peranan besar
dalam pertumbuhan ekonomi baik sebelum maupun setelah krisis. Berdasarkan
Gambar 4.4 terlihat bahwa hampir diatas 40% peranan konsumsi terhadap PDB.
Pangsa konsumsi terbesar terjadi di Philipina dengan pangsa sebesar 70%, diikuti
oleh Indonesia. Peranan konsumsi terhadap PDB di Indonesia lebih berfluktuasi
jika dibandingkan dengan Jepang, Thailand dan Korea Selatan yang relatif stabil.
Peranan konsumsi terendah terjadi di Singapura dengan rata-rata 42%.
Khusus Indonesia, periode tahun 1990–1996 disebut juga dengan fase non
oil boom. Peranan nonmigas sangat dominan dibandingkan dengan migas. Oleh
56 karena itu pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga cukup tinggi.
Sementara itu pengeluaran pemerintah tidak mengalami pertumbuhan secepat
konsumsi rumah tangga karena didukung oleh sektor swasta dan sekaligus
investasi yang dinyatakan dalam pembentukan modal tetap bruto. Walaupun
ekspor sudah cukup tinggi, namun kecepatan impor masih lebih besar daripada
ekspor.
Jika dilihat dari distribusi komponen penyusunnya, persentase terbesar
didominasi oleh konsumsi rumahtangga, seperti halnya negara-negara lain di
dunia. Pada masa ketergantungan terhadap non migas tahun 1990–1996 kontribusi
pengeluaran rumah tangga mengalami kenaikan, walaupun pada tahun 1990–1993
sempat menurun, yaitu dari sebesar 54.35% tahun 1990 menjadi 52.43% tahun
1993. Kenaikan cukup tinggi terjadi pada tahun 1996 menjadi 61.13%. Persentase
konsumsi rumah tangga terus meningkat hingga pada masa krisis yang terjadi
pada tahun 1998. Hal ini ditunjukkan dengan konsumsi rumahtangga sebesar
73.94% pada tahun 1999. Sejalan dengan kemajuan perekonomian, pengeluaran
untuk konsumsi rumahtangga cenderung menurun hingga pada tahun 2008
sebesar 60.95%.
4.4
Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah mencakup pembelanjaan barang dan jasa oleh
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Belanja pemerintah mencakup upah
pekerja pemerintah dan pembelanjaan untuk kepentingan umum. Peranan terbesar
pengeluaran pemerintah terhadap PDB terjadi di Jepang, peranan pengeluaran
pemerintah hampir mencapai 20%. Sedangkan untuk negara yang lainnya kurang
dari 15%, terlihat pada Gambar 4.5.
Peranan pengeluaran pemerintah terhadap PDB di Indonesia relatif lebih
kecil dibandingkan negara yang lain. Kontribusi pengeluaran konsumsi
pemerintah merupakan komponen yang diatur khusus dengan sistem sehingga
besarnya relatif stabil, dengan flukutuasi sesuai dengan kondisi perekonomian dan
sosial budaya serta politik yang sedang terjadi. Justru pada waktu krisis moneter
pada tahun 1998, konsumsi pemerintah Indonesia mengalami penurunan
persentase hingga mencapai 5.69% pada tahun tersebut.
57
21
19
Persen
17
15
13
11
9
7
Ind
Mal
Sgp
Thai
Phil
Kor
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
5
Jpn
Sumber: IFS diolah
Gambar 4.5 Peranan pengeluaran pemerintah terhadap PDB
4.5
Investasi
Secara umum pertumbuhan tingkat investasi riil di ASEAN+3 pada saat
setelah krisis mengalami perlambatan. Melambatnya pertumbuhan investasi
menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut. Hal
ini tercermin dari rasio pembentukan modal tetap bruto terhadap PDB yang
cenderung menurun setelah terjadinya krisis ekonomi (Gambar 4.6). Negara
Malaysia sempat mengalami peranan investasi terhadap PDB yang tertinggi pada
tahun 1995 sampai tahun 1997 sebesar 43%. Peranan investasi terhadap PDB
yang relatif stabil terjadi di Korea Selatan, dengan peranan rata-rata sebesar 30%
setelah krisis ekonomi.
Belum
kembalinya
investasi
ke
level
sebelum
krisis
meskipun
perekonomian sudah membaik mencerminkan efek jangka panjang dari krisis
terhadap perekonomian Negara ASEAN+3. Terhadap fakta tersebut, Barro dalam
Arifin (2008) mengemukakan bahwa dampak krisis terhadap penurunan
pertumbuhan ekonomi dan investasi dapat berlangsung dalam jangka panjang.
Fenomena yang terjadi di negara-negara Asia yang terkena krisis sejalan dengan
temuan Barro tersebut. Fenomena di negara-negara tersebut menunjukkan bahwa
efek krisis nilai tukar dapat dengan segera terhenti namun dampak dari krisis
perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi berlangsung lebih lama.
58 50
45
Persen
40
35
30
25
20
15
Ind
Mal
Sgp
Thai
Phil
Kor
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
10
Jpn
Sumber: IFS diolah
Gambar 4.6 Peranan investasi terhadap PDB
4.6
Inflasi
Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu
negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,
ekspor-impor, cadangan devisa, utang luar negeri dan kestabilan nilai tukar.
Sebelum krisis ekonomi melanda Asia pada tahun 1997, inflasi di negara-negara
ASEAN+3 relatif stabil (rata-rata dibawah 10%) dan cenderung menurun, kecuali
Philipina yang tingkat inflasinya pada tahun 1991 sebesar 18.49%, terlihat pada
Gambar 4.7. Tingkat inflasi pada periode 1990-an hingga tahun 1997 yang dinilai
cukup stabil di kawasan ASEAN+3 pada saat itu. Ini menjadi salah satu indikator
yang memberikan gambaran kepada dunia, betapa perekonomian ASEAN+3 pada
saat itu dalam kondisi yang sangat baik. Kondisi ini dibuktikan dengan
kemampuan negara-negara tersebut untuk terus mempertahankan tingkat inflasi
pada level satu digit. Kestabilan tersebut, memberikan efek positif antara lain
berupa kepastian usaha bagi para investor asing yang akan menanamkan
modalnya dikawasan ASEAN+3, sehingga di era 1990-an kawasan Asia dinilai
merupakan kawasan yang paling menarik dan sangat menjanjikan.
59
70
60
50
Indeks
40
30
20
10
0
‐10
Ind
Mal
Sgp
Thai
Phil
Kor
Jpn
Sumber: IFS diolah
Gambar 4.7 Tingkat inflasi negara-negara ASEAN+3
Kondisi tersebut bertolak belakang ketika di pertengahan tahun 1997 krisis mulai
menerpa negara-negara di ASEAN+3. Saat itu rata-rata seluruh nilai tukar uang
lokal negara-negara di kawasan ASEAN+3 cenderung terus merosot tajam
terhadap dolar Amerika (USD). Hal ini sebagai dampak dari terus membanjirnya
jumlah mata uang lokal yang dilepas di pasaran secara bersamaan oleh para
spekulan, sehingga menyebabkan tingkat inflasi yang sudah relatif stabil tersebut
kemudian menjadi tinggi pada akhir tahun 1997 hingga akhir tahun 1999.
Diantara negara-negara di kawasan ASEAN+3, Indonesia merupakan
negara yang mengalami peningkatan inflasi yang paling tajam, yaitu dari 6.22%
pada tahun 1997 meningkat menjadi 58.39% pada tahun 1998. Indonesia di era
1990-an dinilai mempunyai fundamental mikroekonomi yang lebih kuat
dibanding Thailand pada saat itu, ternyata tidak mampu membendung dampak
dari krisis ekonomi yang menghantam Thailand dengan memburuknya nilai baht
Thailand terhadap USD. Tingkat inflasi di Indonesia pada tahun 1999 terus
membaik dari 58.39% tahun 1998 menjadi 20.48% tahun 1999, namun belum
sepenuhnya pulih ke tingkat yang lebih stabil (di bawah 10%) seperti era 1990-an.
Setelah tahun 2000-an inflasi Indonesia relatif berfluktuasi, inflasi terendah terjadi
pada tahun 2000 sebesar 3.72% dan terbesar pada tahun 2006 dengan inflasi
60 sebesar 13.11%. Negara-negara yang lainnya mempunyai tingkat inflasi dibawah
10%.
4.7
Suku Bunga
Perkembangan suku bunga deposito dari tahun 1990-2008, Indonesia
cenderung tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN+3 lainnya,
seperti terlihat pada Gambar 4.8. Sebelum krisis ekonomi melanda Asia tahun
1998, pergerakan suku bunga relatif stabil, ketika terjadinya krisis ekonomi suku
bunga di semua negara kecuali Jepang mengalami kenaikan yang cukup tinggi.
Suku bunga di Indonesia pada tahun 1998 sampai pada level 39.07%, ini jauh
lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lainnya. Pada tahun yang sama,
tingkat suku bunga di Korea Selatan sebesar 13.29% diikuti Philipina sebesar
12.11%. Umumnya setelah krisis ekonomi, tingkat suku bunga di masing-masing
negara ASEAN+3 lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelum krisis. Suku
bunga terendah terjadi di Jepang, rata-rata suku bunga selama 19 tahun adalah
1.02%, selanjutnya di Singapura dengan rata-rata 2.17%.
45
40
35
Persen
30
25
20
15
10
5
Ind
Mal
Sgp
Thai
Phil
Kor
Jpn
Sumber: IFS diolah
Gambar 4.8 Tingkat suku bunga negara-negara ASEAN+3
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
0
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum memasuki tahapan analisis model VAR/VECM, maka sebelumnya
dilakukan
pengujian-pengujian
pra-estimasi.
Pengujian-pengujian
tersebut
meliputi uji akar unit (unit root test), pengujian stabilitas VAR dan pengujian lag
optimal. Pengujian-pengujian ini penting karena dalam model multivariate time
series kebanyakan data yang digunakan mengandung akar unit sehingga akan
membuat hasil estimasi menjadi semu dan tidak valid (Gujarati 2006).
5.1
Uji Stasioneritas Data
Metode pengujian yang digunakan untuk melakukan uji stasioneritas data
dalam penelitian ini adalah metode ADF (augmented Dickey Fuller) dengan
menggunakan taraf nyata lima persen. Jika t-ADF lebih kecil dari nilai kritis
MacKinnon, maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan adalah
stasioner (tidak mengandung akar unit). Pengujian akar-akar unit ini dilakukan
pada tingkat level sampai dengan first difference. Hasil uji stasioneritas dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Pengujian akar unit menunjukkan bahwa variabel-
variabel yang digunakan pada penelitian ini tidak seluruhnya stasioner pada
tingkat level. Ketidakstasioneran data dapat dilihat dari nilai t-ADF yang lebih
besar dari nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata lima persen. Oleh karena itu,
pengujian akar unit ini perlu dilanjutkan pada tingkat first difference.
Setelah dilakukan pengujian pada first difference, barulah semua data
stasioner pada taraf nyata lima persen. Artinya data yang digunakan pada
penelitian ini terintegrasi pada ordo satu atau dapat disingkat menjadi I(1).
Menurut Sims dalam Hasanah (2007), penggunaan data perbedaan pertama tidak
direkomendasikan karena akan menghilangkan informasi jangka panjang. Oleh
karena itu, untuk menganalisis informasi jangka panjang akan digunakan data
level sehingga model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan
menjadi VECM.
62 5.2
Penentuan Lag Optimal
Penentuan lag optimal sangat penting dalam pendekatan VAR karena lag
dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel
eksogen. Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan
masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Sehingga dengan digunakannya lag
optimal diharapkan tidak muncul lagi masalah autokorelasi. Penetapan lag
optimal digunakan nilai dari likelihood ratio (LR), final prediction error (FPE),
Akaike information criterion (AIC), Schwarz information criterion (SC), dan
Hannan-Quin criterion (HQ). Besarnya lag yang dipilih berdasarkan lag
terpendek. Berdasarkan kriteria informasi yang tersedia maka lag yang dipilih
untuk masing-masing negara adalah lag pertama sebagai lag optimal. Masingmasing lag ini yang akan digunakan pada persamaan VAR sebagai lag optimal.
Hasil penentuan lag optimal terdapat pada Lampiran 2.
5.3
Pengujian Stabilitas VAR
Stabilitas VAR perlu diuji sebelum melakukan analisis lebih jauh, karena
jika hasil estimasi VAR yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan
tidak stabil, maka impulse response function (IRF) dan forecasting error variance
decomposition (FEVD) menjadi tidak valid. Pengujian stabil atau tidaknya
estimasi VAR yang telah dibentuk, maka dilakukan VAR stability condition check
berupa roots of characteristic polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika
seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari 1 (Lukepohl dalam Eviews 6
User’s Guide 2007). Ringkasan pengujian stabilitas VAR dapat dilihat pada
Lampiran 3. Hasil pengujian menunjukkan bahwa persamaan VAR di masingmasing negara memiliki nilai modulus kurang dari satu, sehingga dapat
disimpulkan bahwa model VAR yang dibentuk sudah stabil pada lag optimalnya.
63 5.4
Analisis Kointegrasi
Konsep kointegrasi ini dikemukakan oleh Engle dan Granger pada tahun
1987 sebagai fenomena kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak
stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linier ini dikenal dengan istilah
persamaan
kointegrasi
dan
dapat
diinterpretasikan
sebagai
hubungan
keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Metode pengujian kointegrasi
didasarkan pada metode Johansen.
Terdapat lima asumsi deterministic trend dalam uji kointegrasi, untuk
menentukan pilihan trend yang digunakan bisa dilihat dari hasil summary, serta
pilihan lag yang digunakan adalah lag optimal. Pemilihan asumsi dengan
summary disesuaikan berdasarkan kriteria informasi AIC dan SC, dipilih salah
satu. Setelah dilakukan uji kointegrasi, maka untuk hubungan antara keenam
variabel yang digunakan terjadi kointegrasi, artinya secara multivariate terdapat
persamaan linier jangka panjang yang dikandung dalam model.
Berdasarkan Tabel 5.1 terlihat bahwa Negara Indonesia, Malaysia dan
Singapura dengan nilai trace statistic terdapat dua rank kointegrasi pada taraf 5%.
Negara Thailand terdapat lima rank kointegrasi. Negara Philipina ada tiga rank
kointegrasi, Korea Selatan terdapat satu rank kointegrasi, sedangkan Negara
Jepang terdapat empat rank kointegrasi pada taraf 5%. Jumlah rank ini digunakan
sebagai model koreksi kesalahan yang akan dimasukkan kedalam model VAR
menjadi VECM.
Tabel 5.1 Analisis Kointegrasi
No
Hipotesis
1
Trace Statistics
Ina
Mal
Sgp
Thai
Phil
Kor
Jpn
Rank= 0
162.84
180.11
177.30
194.63
224.79
141.38
241.62
2
Rank=1
105.76
122.39
127.09
140.65
149.29
87.78
157.32
3
Rank=2
67.59
83.78
84.50
98.21
88.66
56.02
97.87
4
Rank=3
37.75
56.94
50.46
64.87
49.27
33.89
66.92
5
Rank=4
21.63
34.06
31.82
37.94
24.85
18.55
40.62
6
Rank=5
9.412
20.12
18.73
17.01
14.37
7.23
21.18
7
Rank=6
1.56
7.69
7.18
2.72
6.81
0.49
9.21
Sumber: lampiran
Cetak tebal menunjukkan Trace statistics > 5% critical value dan terjadi kointegrasi
64 5.5
Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap PDB
5.5.1 Analisis Impulse Response Function
Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa pada saat terjadi guncangan pada
pengeluaran pemerintah, respon PDB yang paling tinggi terjadi di Indonesia.
Kenaikan satu standar deviasi pada pengeluaran pemerintah akan meningkatkan
PDB sebesar 5.26% dalam jangka panjang. Pada periode awal respon PDB hanya
sebesar 2.08%, respon ini cenderung meningkat secara bertahap pada setiap
periode dan mencapai kestabilan pada periode ke-25. Respon positif terbesar
kedua terjadi di Philipina, kenaikan pengeluaran pemerintah direspon dengan
kenaikan PDB sebesar 1.74% pada awal periode dan mencapai kestabilan pada
periode ke-29 dengan nilai sebesar 5.21%.
Respon terbesar ketiga terjadi di Thailand, respon berfluktuasi antara 1.34%
sampai 2.75%. Kenaikan satu standar deviasi pada pengeluaran pemerintah
menyebabkan kenaikan pada PDB sebesar 2.75% pada periode keempat. Pada
periode ini PDB merespon positif dari guncangan pengeluaran pemerintah dengan
respon yang paling besar. Respon selanjutnya mengalami penurunan dan
mencapai kestabilan pada periode ke-26 dengan respon sebesar 2.10%
Negara Malaysia dan Korea Selatan juga mengalami respon yang positif
terhadap guncangan pengeluaran pemerintah, tetapi tidak terlalu besar. Malaysia
pada awal periode merespon kenaikan pengeluaran pemerintah dengan kenaikan
PDB sebesar 0.78%. Respon ini cenderung mengalami peningkatan dan mencapai
kestabilan pada periode ke-15 dengan respon sebesar 1.61%. Respon PDB di
Korea Selatan cenderung berfluktuasi pada awal periode, pada periode kedua
responnya sebesar 1.11%, setelah itu responnya cenderung berkurang dan
mencapai kestabilan pada peride ke-24 sebesar 0.10%.
Respon sebaliknya terjadi di Jepang dan Singapura, kenaikan pengeluaran
pemerintah direspon negatif oleh PDB dikedua negara tersebut. Respon PDB di
Jepang mengalami penurunan mulai dari awal periode, kestabilan baru terbentuk
pada periode ke-21 dengan respon sebesar -0.20%. Penurunan PDB terbesar
terjadi di Singapura, kenaikan satu standar deviasi pada pengeluaran pemerintah
direspon dengan penurunan PDB sebesar 2.33% dalam jangka panjang.
65 Respon Y terhadap G di Indonesia
0.060
0.050
0.040
0.030
0.020
0.010
0.000
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
Periode
Respon Y terhadap G di Malaysia
Respon Y terhadap G di Singapura
0.060
0.030
0.050
0.020
0.040
0.010
0.030
0.000
0.020
‐0.010
0.010
1
6
11
16
26
31
36
41
46
‐0.020
0.000
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
‐0.030
Periode
Periode
Respon Y terhadap G di Thailand
Respon Y terhadap G di Philipina
0.060
0.060
0.050
0.050
0.040
0.040
0.030
0.030
0.020
0.020
0.010
0.010
0.000
0.000
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
1
6
11
16
Periode
0.030
0.020
0.020
0.010
0.010
0.000
0.000
6
11
16
21
26
31
36
41
46
‐0.010
‐0.020
‐0.020
‐0.030
‐0.030
Periode
26
31
36
41
46
Respon Y terhadap G di Jepang
0.030
1
21
Periode
Respon Y terhadap G di Korsel ‐0.010
21
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
Periode
Gambar 5.1 Respon PDB terhadap guncangan G
66 5.5.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)
Struktur dinamis antar variabel dalam VAR dapat dilihat melalui analisis
forecasting error variance decomposition (FEVD),
pola dari FEVD ini
mengindikasikan sifat dari kausalitas multivariat diantara variabel-variabel dalam
model VAR. Pengurutan variabel dalam analisis FEVD ini didasarkan pada
faktorisasi Cholesky.
Berdasarkan visualisasi grafis Gambar 5.2 tampak bahwa variabilitas PDB
Indonesia dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah dan PDB itu sendiri. Pada
periode pertama pengaruh dari pengeluaran pemerintah sebesar 31.94%,
sedangkan pengaruh dari PDB sebesar 68.06%. Pengaruh dari pengeluaran
pemerintah cenderung meningkat dari 39.08% pada periode kedua menjadi
47.51% pada periode ke-15. Kontribusi PDB itu sendiri mengalami penurunan
seiring dengan peningkatan kontribusi pengeluaran pemerintah. Pada periode ke15 pengaruh PDB menjadi 31.11%. Variabel IHK memberikan kontribusi sebesar
13.09% pada periode ke-15, walaupun pada periode kedua hanya sebesar 1.95%.
Pada periode pertama variabilitas PDB Malaysia lebih disebabkan oleh
faktor internal yaitu sebesar 95.13%. Pengaruh faktor internal ini terus turun,
hingga periode ke-15 pengaruhnya hanya sebesar 62.65%. Pengaruh pengeluaran
pemerintah yang pada awalnya hanya sebesar 4.87% terus meningkat menjadi
10.24 % pada periode ke-15. Hal yang sama juga terjadi di Singapura, pada
periode pertama PDB mampu memengaruhi variabilitas PDB itu sendiri sebesar
85.72%. Pada periode ke-15 variabilitas PDB turun menjadi 62.17%. Pengaruh
dari pengeluaran pemerintah yang pada awalnya hanya sebesar 14.28% menjadi
25.68% pada periode ke-15. Pengaruh dari variabel-variabel lain kurang dari 13%
selama periode waktu tersebut. Variabilitas PDB di Thailand juga didominasi oleh
pengeluaran pemerintah dan PDB itu sendiri. Variabel utama yang memengaruhi
PDB adalah PDB itu sendiri yaitu sebesar 85.13% pada awal periode, pengaruh
ini cenderung berkurang hingga 52.10% pada periode ke-15. Pengaruh dari
pengeluaran pemerintah yang awalnya hanya sebesar 14.87% menjadi 25.00%
pada periode ke-15. Variabel konsumsi memberikan pengaruh sebesar 12.41%
pada periode ke-15.
67 VD of Y Indonesia
100
DM
80
Persen
R
60
IHK
40
I
20
C
0
VD of Y Malaysia
100
DM
80
Persen
IHK
40
I
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
C
20
C
Y
0
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
G
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
DM
80
R
60
IHK
I
C
20
C
Y
0
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
G
VD of Y Korea Selatan
100
IHK
40
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
R
60
IHK
40
I
C
20
C
Y
0
I
20
DM
80
Persen
Persen
100
R
60
G
VD of Y Jepang
DM
80
G
40
I
20
100
Persen
Persen
IHK
40
I
R
60
0
IHK
40
DM
80
R
60
VD of Y Philipina
100
DM
80
VD of Y Thailand
100
R
60
G
VD of Y Singapura
Persen
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
G
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
G
Gambar 5.2 FEVD PDB
68 Pada periode pertama, pengaruh dari pengeluaran pemerintah terhadap PDB
di Philipina sebesar 60.50%. Pada periode kedua pengaruhnya naik menjadi
77.30%, tetapi pada periode selanjutnya pengaruhnya terus turun hingga pada
periode ke-15 menjadi 63.71%. Variabilitas dari komponen PDB itu sendiri pada
awalnya sebesar 39.50%, tetapi pada periode selanjutnya cenderung turun hingga
pada periode ke-15 menjadi 2.03%. Pengaruh dari suku bunga terus mengalami
peningkatan dari 0.94% pada periode kedua menjadi 21.49% pada periode ke-15.
Komposisi PDB di Korea Selatan dipengaruhi oleh PDB itu sendiri hampir
seratus persen pada periode pertama. Kemampuan PDB memengaruhi dirinya
sendiri pada periode selanjutnya cenderung mengalami penurunan, hingga pada
periode ke-15 pengaruhnya hanya sebesar 60.01%. Pengaruh pengeluaran
pemerintah terhadap PDB sangat kecil sekali, pada periode ke-15 pengaruhnya
hanya sebesar 1.10%. Pengaruh konsumsi dan IHK masing-masing sebesar
10.37% dan 11.29%. Komposisi PDB di Jepang sangat dipengaruhi oleh PBD itu
sendiri, pada periode awal pengaruh dari PDB sendiri sebesar 98.94%. Pengaruh
ini cenderung berkurang dan pada periode ke-15 pengaruhnya sebesar 70.31%.
Variabilitas dari pengeluaran pemerintah tidak telalu besar, sampai pada periode
ke-15 pengaruhnya hanya sebesar 1.16%. Pengaruh konsumsi pada periode kedua
yang hanya sebesar 0.36% terus mengalami peningkatan hingga mencapai 16.29%
pada periode ke-15.
5.5.3 Derajat Pass-Through
Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa derajat pass-through terhadap
variabel PDB disemua negara lebih kecil dari satu, yang mengindikasikan adanya
incomplete pass-through. Pada komponen PDB, derajat pass-through terbesar
terjadi di Indonesia sebesar 0.56%, selanjutnya diikuti oleh Negara Philipina
sebesar 0.48%. Derajat pass-through di Malaysia dan Thailand relatif sama yaitu
sebesar 0.35%. Kenaikan pengeluaran pemerintah di Indonesia sebesar satu persen
akan berdampak pada peningkatan PDB sebesar 0.56%. Pada umumnya kenaikan
pengeluaran pemerintah akan meningkatkan PDB kecuali di Singapura dan
Jepang. Peningkatan pengeluaran pemerintah di Singapura berdampak pada
penurunan PDB sebesar 0.40% dan di Jepang terjadi penurunan sebesar 0.05%.
69 Tabel 5.2 Derajat pass-through G terhadap PDB
No
1
2
3
4
5
6
7
Negara
Indonesia
Malaysia
Singapura
Thailand
Philipina
Korea Selatan
Jepang
Derajat Pass-Through
0.56
0.35
-0.40
0.32
0.48
0.03
-0.05
Sumber: diolah
5.5.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap PDB
Berdasarkan analisis IRF terlihat bahwa pengaruh pengeluaran pemerintah
di Negara ASEAN+3 mempunyai pengaruh yang hampir sama kecuali Singapura
dan Jepang. Guncangan pengeluaran pemerintah menyebabkan peningkatan pada
PDB. Ini sesuai dengan teori bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah akan
menyebabkan kenaikan pada PDB. Indonesia merupakan negara yang paling besar
merespon kenaikan pemerintah kemudian diikuti oleh Negara Philipina, Malaysia
dan Thailand. Negara Korea Selatan mempunyai pengaruh positif tetapi tidak
terlalu besar. Anomali terjadi di Singapura dan Jepang, kenaikan pengeluaran
pemerintah direspon dengan penurunan PDB. Berdasarkan FEVD, faktor utama
yang memengaruhi PDB di Negara-negara ASEAN+3 adalah PDB itu sendiri,
kecuali Indonesia dan Philipina. Pada kedua negara ini yang paling memengaruhi
PDB adalah pengeluaran pemerintah.
Berdasarkan teori Rostow dalam Mangkoesoebroto (1997) bahwa pada
awalnya peranan pemerintah lebih dominan kemudian akan cenderung turun
seiring dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Peranan pemerintah akan
digantikan oleh peranan swasta, sehingga pemerintah hanya menyediakan
pelayanan yang bersifat sosial, seperti program kesejahteraan hari tua dan
pelayanan kesehatan masyarakat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Afonso (2009), pengeluaran pemerintah di Jerman menyebabkan
penurunan pada PDB, ini dicerminkan dengan penurunan investasi. Menurut
Scully dalam Chao (1997) peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap
PDB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada
70 pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal)
maka akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol atau negatif.
Hal ini sekaligus membuktikan bahwa negara Jepang, Singapura dan Korea
Selatan sudah termasuk dalam negara maju, ini dibuktikan dengan peranan
pengeluaran pemerintah yang semakin kecil terhadap perekonomian di negara
tersebut. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Achsani dan Siregar (2009)
mengenai pengelompokan negara ASEAN+3, sebagai berikut:
(i). Singapura, Jepang, Korea Selatan dan China,
(ii). Malaysia, Thailand dan Vietnam,
(iii) Indonesia dan Philipina,
(iv) Myanmar, Kamboja, Laos,
(v). Brunei.
Berdasarkan Gambar 5.3, terlihat bahwa semakin besar PDB per kapita
suatu negara, maka derajat pass-through juga semakin berkurang. Indonesia dan
Philipina merupakan negara yang memiliki PDB perkapita yang terkecil, tapi
memiliki derajat pass-through terbesar. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia
dan Thailand, pengaruh dari pengeluaran pemerintah semakin berkurang seiring
dengan bertambahnya PDB per kapita. Korea Selatan, Jepang dan Singapura pada
kelompok negara maju memiliki pengaruh dari pengeluaran pemerintah yang
sangat kecil terhadap PDB, bahkan negatif.
Grafik hubungan derajat pass‐through dengan PDB per kapita
Pass‐through effect
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
‐0.20 ‐
10,000 20,000 30,000 40,000 ‐0.40
‐0.60
Indonesia
PDB per kapita
Malaysia
Singapura
Thailand
Philipina
Korea
Jepang
Gambar 5.3 Hubungan derajat pass-through dengan PDB per kapita
71 5.6
Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Konsumsi
5.6.1 Analisis Impulse Response Function
Respon konsumsi terhadap guncangan pengeluaran pemerintah yang positif
terjadi di Indonesia, Philipina, Korea Selatan, Thailand dan Malaysia. Sedangkan
Singapura dan Jepang mengalami respon yang sebaliknya (Gambar 5.4). Pada
periode pertama, konsumsi di Indonesia merespon kenaikan pengeluaran
pemerintah sebesar 2.12%, kemudian pada periode selanjutnya terus meningkat
hingga mencapai 4.49% dan mencapai kestabilan pada periode ke-17. Indonesia
mengalami respon yang paling tinggi jika dibandingkan dengan negara yang lain.
Negara Philipina menempati posisi kedua terbesar merespon kenaikan
pengeluaran pemerintah terhadap konsumsi. Periode pertama respon konsumsi
hanya sebesar 0.07%, tetapi pada periode selanjutnya responnya cenderung
bertambah besar dan mencapai keseimbangan pada periode ke-20 sebesar 2.88%.
Negara Thailand dan Korea Selatan mempunyai respon yang relatif sama,
keseimbangan terjadi pada periode ke-20 masing-masing sebesar 1.74% dan
1.92%. Respon konsumsi akibat guncangan pengeluaran pemerintah di Malaysia
pada periode pertama sebesar 2.85%, tetapi pada periode selanjutnya responnya
cenderung menurun. Keseimbangan baru terbentuk pada periode ke-16 dengan
respon sebesar 1.16%.
Respon konsumsi akibat kenaikan pengeluaran pemerintah yang negatif
juga terjadi di Jepang dan Singapura. Pada periode pertama dengan kenaikan
pengeluaran pemerintah di Singapura sebesar satu standar deviasi direspon negatif
oleh konsumsi sebesar 0.96%. Respon ini mencapai kestabilan pada periode ke-18
dengan nilai sebesar -0.51%. Hal yang sama juga terjadi di Jepang, kenaikan satu
standar deviasi direspon dengan penurunan konsumsi sebesar 1.02% pada periode
pertama. Kestabilan terbentuk pada periode ke-17 dengan nilai respon sebesar 1.38%.
72 Respon C terhadap G di Indonesia
0.050
0.040
0.030
0.020
0.010
0.000
1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
Periode
Respon C terhadap G di Malaysia
Respon C terhadap G di Singapura
0.050
0.030
0.040
0.020
0.030
0.010
0.020
0.000
‐0.010 1
0.010
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.020
0.000
1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.030
Periode
Periode
Respon C terhadap G di Philipina
Respon C terhadap G di Thailand
0.050
0.050
0.040
0.040
0.030
0.030
0.020
0.020
0.010
0.010
0.000
0.000
1
6
1
11 16 21 26 31 36 41 46
6
Periode
Respon C terhadap G di Korsel
0.030
0.040
0.020
0.030
0.010
0.020
0.000
0.010
‐0.010 1
0.000
‐0.020
6
11 16 21 26 31 36 41 46
Periode
Periode
Respon C terhadap G di Jepang
0.050
1
11 16 21 26 31 36 41 46
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.030
Periode
Gambar 5.4 Respon konsumsi terhadap guncangan G
73 5.6.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)
Pada Gambar 5.5 tampak bahwa variabilitas konsumsi di Indonesia
dipengaruhi oleh konsumsi itu sendiri pada periode pertama sebesar 69.93%,
disusul kontribusi dari pengeluaran pemerintah sebesar 21.34% dan kontribusi
PDB sebesar 8.72%. Periode ke-15 pengaruh konsumsi berkurang menjadi
25.91%, sementara itu pengaruh dari pengeluaran pemerintah dan PDB terus
meningkat, masing-masing dengan nilai sebesar 46.40% dan 24.71%. Pengaruh
dari variabel yang lain tidak terlalu besar, sekitar 3%. Kontribusi tertinggi pada
konsumsi di Malaysia disumbangkan oleh PDB. Pada periode pertama
pengaruhnya terhadap konsumsi sebesar 48.26%, pengaruhnya cenderung
bertambah besar dan pada periode ke-15 kontribusinya menjadi 74.73%. Pengaruh
terbesar kedua yang memengaruhi konsumsi adalah pengeluaran pemerintah, pada
periode awal sebesar 36.22% dan terus turun menjadi 12.81% pada periode ke-15.
Pengaruh faktor internal sendiri tidak terlalu besar, yang pada awalnya 15.52%
menjadi 2.33% pada periode ke-15. Pengaruh variabel yang lainnya cenderung
meningkat, investasi mempunyai pengaruh 1.33%, IHK sebesar 2.52% dan suku
bunga sebesar 3.02% pada periode ke-15.
Variabilitas konsumsi di Singapura didominasi oleh konsumsi sendiri
sebesar 71.73%. PDB memengaruhi konsumsi sebesar 19.12% sedangkan
pengeluaran pemerintah hanya sebesar 9.15%. Pada periode ke-15 pengaruh dari
konsumsi, PDB dan pengeluaran pemerintah cenderung mengalami penurunan
menjadi 51.49%, 1.64% dan 3.90%. Variabel IHK pada periode kedua yang
mempunyai pengaruh terhadap konsumsi hanya sebesar 6.08% cenderung
mengalami kenaikan menjadi 29.30% pada periode ke-15. Pengaruh PDB dalam
menjelaskan konsumsi di Thailand sebesar 68.10%, pengaruh ini relatif tidak
banyak mengalami perubahan dan pada periode ke-15 pengaruhnya menjadi
66.18%. Pengaruh PDB ini jauh lebih besar dari pengaruh konsumsi itu sendiri
yang hanya sebesar 23.61% pada periode pertama turun menjadi 1.91% pada
periode ke-15. Pengaruh dari pengeluaran pemerintah menempati posisi kedua,
walaupun yang pada awal periode hanya sebesar 8.29% menjadi 24.66% pada
periode ke-15. Variabel–variabel yang lain mempunyai pengaruh yang relatif
kecil.
74 VD of C Indonesia
100
DM
80
Persen
R
60
IHK
40
I
20
C
0
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
VD of C Malaysia
100
Persen
IHK
40
I
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
Persen
40
100
G
100
Persen
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
IHK
I
C
20
C
Y
0
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
G
G
VD of C Jepang
100
DM
80
R
60
IHK
40
I
C
20
C
Y
0
I
20
R
60
40
IHK
40
DM
80
R
60
G
VD of C Philipina
DM
80
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
VD of C Korea Selatan
Y
I
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
C
0
IHK
0
20
R
60
20
C
DM
80
IHK
I
VD of C Thailand
100
R
60
40
Persen
DM
80
R
60
100
Persen
DM
80
VD of C Singapura
Persen
G
G
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
Gambar 5.5 FEVD konsumsi
G
75 Konsumsi di Philipina sampai pada periode keenam lebih didominasi oleh
pengaruh dari konsumsi itu sendiri. Pada awal periode pengaruhnya sebesar
80.01%, seiring waktu pengaruh ini cenderung mengalami penurunan, hingga
periode ke-15 pengaruh dari konsumsi hanya sebesar 33.16%. Pengeluaran
pemerintah yang pada periode awal menempati posisi kedua memengaruhi
konsumsi menjadi pengaruh utama mulai periode ketujuh. Pada periode awal
peranan pengeluaran pemerintah sebesar 13.47% menjadi 44.12% pada periode
ke-15.
PDB hanya mampu menjelaskan konsumsi sebesar 6.43% pada awal
periode turun menjadi 2.37% pada periode ke-15.
Komponen yang paling dominan memengaruhi konsumsi di Korea Selatan
adalah PDB. Pada awal periode pengaruhnya hampir mencapai 46.11%. Pengaruh
ini cenderung menurun dan mencapai kestabilan pada nilai 29.75%. Pengaruh dari
konsumsi sendiri pada awalnya sebesar 50.04% namun pada periode ke-15 hanya
sebesar 13.68%. Pengeluaran pemerintah mampu menjelaskan konsumsi sebesar
3.85% pada awal periode menjadi 22.04% pada periode ke-15. Faktor yang paling
dominan memengaruhi konsumsi di Jepang adalah PDB, yang mempunyai
peranan sebesar 54.77% pada periode pertama. Pengaruh ini cenderung meningkat
walaupun tidak terlalu besar, pada periode ke-15 pengaruhnya menjadi 63.08%.
Konsumsi sendiri mempunyai pengaruh 21.65% pada periode awal dan cenderung
mengalami penurunan, sehingga pada periode ke-15 hanya sebesar 2.88%.
Pengaruh dari pengeluaran pemerintah berkisar antara 23.57% pada periode awal
menjadi 29.94% pada periode ke-15.
5.6.3
Derajat Pass-Through
Berdasarkan Tabel 5.3, derajat pass-through untuk variabel konsumsi yang
terbesar terjadi di Indonesia dengan nilai sebesar 0.48% diikuti oleh Korea Selatan
sebesar 0.44%. Pass-through negatif juga terjadi di Jepang dan Singapura,
kenaikan pengeluaran pemerintah di Singapura sebesar satu persen mengurangi
konsumsi sebesar 0.10%, sementara itu di Jepang terjadi penurun konsumsi
sebesar 0.30%. Negara Philipina, Thailand dan Malaysia mempunyai derajat passthrough yang relatif sama, dengan rata-rata kenaikan konsumsi sebesar 0.26%.
76 Tabel 5.3 Derajat pass-through G terhadap konsumsi
No
1
2
3
4
5
6
7
Negara
Indonesia
Malaysia
Singapura
Thailand
Philipina
Korea Selatan
Jepang
Derajat Pass-Through
0.48
0.27
-0.10
0.26
0.26
0.44
-0.30
Sumber: diolah
5.6.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Konsumsi
Pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh yang sama terhadap
konsumsi di Negara ASEAN+3, kecuali Singapura dan Jepang. Indonesia adalah
merupakan negara yang paling besar merespon kenaikan pengeluaran pemerintah
terhadap konsumsi. Fungsi konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan disposable,
yaitu pendapatan yang telah dikurangi oleh pajak. Ini sejalan dengan pengaruhnya
terhadap output/PDB, bahwa pengaruh paling besar juga terjadi di Indonesia,
pengaruh yang paling kecil terjadi di Singapura dan Jepang. Peningkatan
konsumsi yang disebabkan oleh guncangan pengeluaran pemerintah sejalan
dengan penelitian Fatas dan Mihov (2000) bahwa inovasi positif dari pengeluaran
pemerintah akan diikuti dengan peningkatan konsumsi.
Berdasarkan derajat pass-through, pengaruh terkecil juga terjadi di
Singapura dan Jepang. Ini mengindikasikan bahwa semakin maju suatu negara
maka pengaruh dari peranan pemerintah semakin kecil. Berdasarkan komponen
yang memengaruhi konsumsi di Negara-negara ASEAN+3, yang utama adalah
PDB, kecuali di Indonesia dan Philipina faktor pengeluaran pemerintah lebih
dominan memengaruhi konsumsi. Komposisi konsumsi di Singapura lebih
dipengaruhi oleh variabilitas internal, yaitu konsumsi itu sendiri. Derajat passthrough juga mengalami penurunan seiring dengan kenaikan pada konsumsi per
kapita, kecuali Negara Korea Selatan, derajat pass-through untuk konsumsi tetap
tinggi walaupun konsumsi per kapita sudah tinggi, terlihat pada Gambar 5.6.
77 Grafik hubungan derajat pass‐through dengan konsumsi per kapita
Pass‐through effect
0.60
0.40
0.20
0.00
‐0.20
‐
5,000 ‐0.40
Indonesia
10,000 15,000 20,000 25,000 Konsumsi per kapita
Malaysia
Singapura
Thailand
Philipina
Korea
Jepang
Gambar 5.6 Hubungan derajat pass-through dengan konsumsi per kapita
5.7
Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Investasi
5.7.1 Analisis Impulse Response Function
Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap investasi mempunyai pengaruh
yang sama dengan PDB dan konsumsi. Semua negara merespon positif
pengeluaran pemerintah terhadap investasi kecuali Jepang dan Singapura.
Philipina mempunyai pengaruh yang terbesar akibat dari guncangan pengeluaran
pemerintah dibandingkan dengan negara lainnya. Investasi di Philipina merespon
guncangan pengeluaran pemerintah berkisar antara 4.68% sampai 16.92% dan
mulai terlihat stabil pada periode ke-20, terlihat pada Gambar 5.7.
Indonesia mengalami respon terbesar kedua dengan respon pada awal
periode sebesar 5.55% dan mencapai kestabilan pada nilai 15.08%. Negara
Malaysia, Thailand dan Korea Selatan mempunyai respon yang hampir sama yang
berfluktuasi antara 1.42% sampai 8.49%. Ketiga negara ini mencapai titik
keseimbangan baru pada periode ke-20 dengan respon masing-masing sebesar
6.78%, 4.75% dan 3.50%. Respon investasi dengan kenaikan pengeluaran
pemerintah di Jepang pada awal periode sebesar -0.40%, respon investasi ini
cenderung turun sampai pada periode ke-15 dengan respon sebesar -0.21%.
Respon investasi di Singapura mengalami penurunan yang relatif besar dan
signifikan akibat dari guncangan pengeluaran pemerintah. Responnya cenderung
menurun dari -1.66% pada awal periode menjadi -6.98% pada periode ke-17.
78 Respon I terhadap G di Indonesia
0.200
0.150
0.100
0.050
0.000
‐0.050 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.100
Periode
Respon I terhadap G di Malaysia
Respon I terhadap G di Singapura
0.200
0.200
0.150
0.150
0.100
0.100
0.050
0.050
0.000
0.000
‐0.050 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.100
‐0.050 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.100
Periode
Periode
Respon I terhadap G di Philipina
Respon I terhadap G di Thailand
0.200
0.200
0.150
0.150
0.100
0.100
0.050
0.050
0.000
0.000
‐0.050 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.050 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.100
‐0.100
Periode
Periode
Respon I terhadap G di Korsel
Respon I terhadap G di Jepang
0.200
0.200
0.150
0.150
0.100
0.100
0.050
0.050
0.000
0.000
‐0.050 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.100
‐0.050 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.100
Periode
Periode
Gambar 5.7 Respon investasi terhadap guncangan G
79 5.7.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)
Variabilitas investasi yang terlihat pada Gambar 5.8 menunjukkan bahwa di
Indonesia pada awalnya dipengaruhi oleh investasi itu sendiri sebesar 39.39%.
Pengeluaran pemerintah menempati posisi kedua dengan pengaruh sebesar
38.80%. Pada periode selanjutnya komposisinya menjadi berubah, peranan
investasi sendiri menjadi berkurang sebaliknya peranan pengeluaran pemerintah
menjadi meningkat. Pada periode ke-15 pengaruh investasi hanya sebesar 15.00%
sedangkan peranan pengeluaran pemerintah menjadi 52.61%. Peranan PDB dan
konsumsi masing-masing sebesar 16.17% dan 7.75%. Peranan terbesar dalam
pembentukan investasi di Malaysia adalah PDB. Selama 15 periode waktu,
peranannya relatif stabil dengan rata-rata sebesar 67.98%. Pengaruh pengeluaran
pemerintah yang pada periode awal sebesar 20.67% menjadi 12.31% pada periode
ke-15. Investasi sendiri memiliki peranan sebesar 8.28% pada periode awal
menjadi 15.55% pada periode ke-15.
Variabilitas pada invetasi di Singapura pada awalnya didominasi oleh
investasi itu sendiri sebesar 70.48%, diikuti oleh PDB yang mampu memberikan
kontribusi sebesar 24.81%. Pengeluaran pemerintah mampu memberikan
kontribusi sebesar 4.69% pada awal periode. Pada periode ke-15 PDB naik
signifikan mengungguli pengaruh dari investasi yaitu sebesar 46.23%, sementara
investasi hanya 34.03%. Pengeluaran pemerintah juga mengalami kenaikan
kontribusi menjadi 16.78%. Variabel konsumsi, IHK dan suku bunga tidak terlalu
berpengaruh terhadap investasi. Investasi di Thailand sangat dipengaruhi oleh
PDB, pada periode awal pengaruhnya sebesar 73.15% hingga periode ke-15
nilainya cenderung berkurang menjadi 29.13%, tetapi pengaruhnya masih
dominan. Sementara itu investasi sendiri pada awal periode memberikan
kontribusi sebesar 8.30% mengalami penurunan pada periode ke-15 menjadi
1.28%. Pengeluaran pemerintah, suku bunga dan konsumsi mengalami kenaikan
kontribusi, pengeluaran pemerintah naik dari 8.47% menjadi 24.92%. Suku bunga
mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari 0.10% pada periode kedua
menjadi 23.61 pada periode ke-15.
80 VD of I Indonesia
100
DM
80
Persen
R
60
IHK
40
I
20
C
0
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
100
IHK
0
80
G
Persen
IHK
40
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
R
60
IHK
I
C
20
C
Y
0
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
G
100
IHK
40
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
R
60
IHK
40
I
C
20
C
Y
0
I
20
DM
80
R
60
G
VD of I Jepang
DM
80
Persen
DM
80
VD of I Korea Selatan
100
100
40
I
20
G
VD of I Philipina
R
60
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
DM
0
Y
0
100
C
VD of I Thailand
20
Persen
C
20
IHK
I
I
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
R
60
40
40
R
60
DM
80
Persen
Persen
100
DM
80
VD of I Singapura
Persen
VD of I Malaysia
G
G
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
Gambar 5.8 FEVD investasi
G
81 Variabilitas investasi di Philipina awalnya sangat dipengaruhi oleh PDB
sebesar 44.69%, investasi sendiri sebesar 36.38%, sementara itu pengaruh dari
pengeluaran pemerintah sebesar 14.31%. Pada periode selanjutnya PDB dan
investasi mengalami penurunan kontribusi sedangkan pengeluaran pemerintah
mengalami kenaikan. Pada periode ke-15 kontribusi pengeluaran pemerintah
menjadi 60.45%, PDB sebesar 27.12% dan investasi menjadi 1.94%. Peranan
suku bunga relatif stabil yaitu sebesar 4.80%, IHK memberikan pengaruh 4.05%
dan suku bunga sebesar 1.23% pada periode ke-15.
Investasi di Korea Selatan sangat dipengaruhi oleh PDB dengan nilai
sebesar 60.85%, kemudian peranannya cenderung berkurang menjadi 50.81%.
Investasi pada periode awal memberikan peranan sebesar 32.82% turun dengan
cukup signifikan menjadi 3.30% sementara itu pengeluaran pemerintah naik dari
5.12% menjadi 16.33%. Faktor yang lainnya seperti konsumsi memengaruhi
sebesar 15.93%, IHK sebesar 7.47% dan suku bunga 2.99%. Variabilitas investasi
di Jepang sangat dipengaruhi oleh PDB yang awalnya sebesar 82.22% turun
menjadi 49.34% pada periode ke-15. Pengaruh dari investasi sendiri mengalami
peningkatan dari 15.58% menjadi 19.73% pada periode ke-15. Konsumsi juga
mengalami peningkatan pengaruh dari 1.43% pada periode awal, naik menjadi
18.37% pada periode ke-15. Pengeluaran pemerintah dan suku bunga memberikan
pengaruh yang sangat kecil yaitu kurang dari satu persen.
5.7.3 Derajat Pass-Through
Dampak kenaikan pengeluaran pemerintah terhadap kenaikan investasi yang
terbesar terjadi di Indonesia diikuti Negara Philipina dan Malaysia. Kenaikan
pengeluaran pemerintah sebesar satu persen menyebabkan kenaikan pada
investasi masing-masing sebesar 1.60%, 1.55% dan 1.51%. Ketiga negara ini
mengalami complete pass-through. Negara Korea Selatan dan Thailand
menempati posisi selanjutnya, dengan derajat pass-through sebesar 0.83% dan
0.75%. Negara Jepang dan Singapura merespon negatif kenaikan pengeluaran
pemerintah. Penurunan terbesar pada investasi terjadi di Singapura sebesar 1.18%,
sementara itu di Jepang 0.06%, seperti terlihat pada Tabel 5.4
82 Tabel 5.4 Derajat pass-through G terhadap investasi
No
Negara
Derajat Pass-Through
1
2
3
4
5
6
7
Indonesia
Malaysia
Singapura
Thailand
Philipina
Korea Selatan Selatan
Jepang
1.60
1.51
-1.18
0.75
1.55
0.83
-0.06
Sumber: diolah
5.7.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Investasi
Berdasarkan IRF, pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap investasi sama
seperti pengaruhnya terhadap PDB dan konsumsi. Semua negara merespon positif
guncangan pengeluaran pemerintah kecuali Singapura dan Jepang. Respon positif
terbesar terjadi di Philipina dan diikuti Indonesia. Negara Malaysia, Thailand dan
Korea Selatan merespon positif tetapi tidak terlalu besar. Derajat pass-through
terkecil juga terjadi di Jepang dan Singapura. Ini juga mengindikasikan semakin
kecilnya peranan pemerintah di kedua negara tersebut, terlihat pada Gambar 5.9.
Berdasarkan FEVD, faktor utama yang memengaruhi investasi adalah PDB,
kecuali di Indonesia dan Philipina. Di Indonesia dan Philipina peranan pemerintah
lebih dominan. Ini mengindikasikan peranan pemerintah sangat diperlukan untuk
mendorong perekonomian.
Grafik hubungan derajat pass‐through dengan investasi per kapita
Pass‐through effect
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
‐0.50 ‐
2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 ‐1.00
‐1.50
Indonesia
Investasi per kapita
Malaysia
Singapura
Thailand
Philipina
Korea
Jepang
Gambar 5.9 Hubungan derajat pass-through dengan investasi per kapita
83 5.8
Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap IHK
5.8.1 Analisis Impulse Response Function
Berdasarkan Gambar 5.10 terlihat bahwa kenaikan satu standar deviasi pada
pengeluaran pemerintah direspon berbeda oleh IHK di masing-masing negara.
Korea Selatan dan Malaysia merespon positif guncangan dari pengeluaran
pemerintah tetapi negara lainnya merespon negatif. Korea Selatan merupakan
negara yang terbesar merespon guncangan pengeluaran pemerintah, pada periode
awal memberikan respon sebesar 1.63% dan cenderung naik mencapai kestabilan
pada periode ke-25 dengan respon sebesar 5.16%. Malaysia pada dua periode
awal merespon negatif, tapi pada periode selanjutnya terus naik dan menjadi
positif. Kestabilan terjadi pada periode ke-19 dengan respon sebesar 1.18%.
Negara Jepang, Indonesia, Thailand, Philipina dan Singapura merespon
kenaikan pengeluaran pemerintah dengan penurunan pada IHK. Penurunan
terbesar terjadi di Singapura dengan nilai sebesar 5.19% pada tingkat
kestabilannya. Penurunan IHK di Jepang relatif kecil dengan nilai respon sebesar 1.14% pada periode ke-17. Negara Indonesia dan Thailand mempunyai respon
IHK yang relatif sama terhadap kenaikan pengeluaran pemerintah, kestabilan
terbentuk dengan nilai masing-masing -1.76% dan -2.24%. Pada periode kedua di
Philipina, IHK mengalami penurunan terbesar akibat guncangan pengeluaran
pemerintah. Respon IHK pada periode ini sebesar -6.94% dan cenderung naik
sehingga mencapai kestabilan pada tingkat -5.16%.
5.8.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)
Variabilitas IHK di Indonesia seperti yang terlihat pada Gambar 5.11, pada
awal periode kontribusi dari masing-masing variabel hampir sama. Penyumbang
kontribusi terbesar yaitu pengeluaran pemerintah sebesar 32.25%, diikuti oleh
IHK sendiri sebesar 29.76%, PDB sebesar 23.20% dan investasi sebesar 14.68%.
Pada periode selanjutnya peranan pemerintah dan PDB mengalami penurunan
sementara itu investasi dan IHK mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Pada periode ke-15 peranan terbesar diberikan oleh IHK itu sendiri sebesar
52.45%, diikuti oleh investasi sebesar 23.00%. Peranan PDB menjadi 9.57% dan
pengeluaran pemerintah menjadi 6.49%.
84 Respon IHK terhadap G di Indonesia
0.070
0.020
‐0.030 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.080
Periode
Respon IHK terhadap G di Malaysia
Respon IHK terhadap G di Singapura
0.070
0.070
0.020
0.020
‐0.030 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.080
‐0.030 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.080
Periode
Periode
Respon IHK terhadap G di Thailand
Respon IHK terhadap G di Philipina
0.070
0.070
0.020
0.020
‐0.030 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.030 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.080
‐0.080
Periode
Periode
Respon IHK terhadap G di Korsel
Respon IHK terhadap G di Jepang
0.070
0.070
0.020
0.020
‐0.030 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.080
‐0.030 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.080
Periode
Periode
Gambar 5.10 Respon harga terhadap guncangan G
85 Pada awal periode variabilitas IHK di Malaysia dipengaruhi oleh dirinya
sendiri sebesar 96.88%. Hingga periode ke-15 pengaruhnya turun menjadi
40.00%, tetapi tetap yang paling dominan memengaruhi IHK. Pengaruh dari PDB
terhadap IHK pada awal periode hanya sebesar 0.59% tetapi pada periode ke-15
menjadi 17.01%. Konsumsi memberikan peranan sebesar 14.96% pada periode
ke-15 dan pengeluaran pemerintah memberikan kontribusi sebesar 4.05%.
Kontribusi terbesar terhadap IHK di Singapura pada awal periode diberikan oleh
IHK itu sendiri sebesar 70.45% diikuti oleh pengeluaran pemerintah sebesar
27.97%. Pada periode selanjutnya terjadi pergeseran kontribusi, pengeluaran
pemerintah menjadi pengaruh terbesar terhadap IHK, yaitu sebesar 47.90% pada
periode ke-15. Variabilitas selanjutnya diberikan oleh PDB sebesar 33.51% dan
IHK sendiri mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi 11.75% pada
periode ke-15. Konsumsi hanya memberikan kontribusi sebesar 4.93% terhadap
IHK.
Variabilitas IHK di Thailand pada awal periode didominasi oleh IHK
sebesar 65.92%, diikuti oleh pengeluaran pemerintah sebesar 18.76% dan
investasi sebesar 13.43%. Variabel pengeluaran pemerintah dan investasi
mengalami penurunan kontribusi pada periode selanjutnya menjadi 14.56% dan
9.38% sementara itu IHK sendiri mengalami kenaikan kontribusi menjadi 72.68%
pada periode ke-15. Pengaruh dari PDB tidak terlalu besar terhadap IHK, hanya
sebesar 2.38% pada periode ke-15.
Peranan IHK dan pengeluaran pemerintah mendominasi variabilitas
terhadap IHK di Philipina. Pada awal periode masing-masing menyumbangkan
peranan sebesar 57.33% dan 39.07% dan pada periode ke-15 menjadi 46.71% dan
28.69%. Konsumsi mengalami peningkatan kontribusi dari 1.99% pada awal
periode menjadi 11.96%, sementara itu PDB memberikan kontribusi sebesar
9.29% pada periode ke-15. Hal yang sama juga terjadi di Korea Selatan, IHK dan
pengeluaran pemerintah memberikan kontribusi terbesar terhadap variabilitas
IHK. Pada periode ke-15, faktor internal memberikan peranan sebesar 40.90%,
sedangkan pengeluaran pemerintah sebesar 38.20%. PDB dan investasi
memberikan pengaruh masing-masing sebesar 7.03% dan 5.71% pada periode
yang sama.
86 VD of IHK Indonesia
100
DM
80
Persen
R
60
IHK
40
I
20
C
0
100
DM
80
IHK
80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
I
C
C
Y
0
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
G
G
VD of IHK Jepang
100
DM
80
Persen
IHK
20
VD of IHK Korea Selatan
100
IHK
40
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
R
60
IHK
40
I
C
20
C
Y
0
I
20
DM
80
R
60
0
R
60
40
I
20
G
DM
80
Persen
Persen
IHK
40
100
R
60
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
G
DM
0
Y
VD of IHK Philipina
100
C
0
VD of IHK Thailand
20
Persen
C
20
IHK
I
I
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
R
60
40
40
0
DM
80
R
60
100
Persen
Persen
G
VD of IHK Singapura
VD of IHK Malaysia
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
G
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
Gambar 5.11 FEVD harga
G
87 Kondisi di Jepang hampir sama dengan negara lainnya, pada periode
pertama IHK Jepang juga dipengaruhi oleh IHK itu sendiri sebesar 62.72% diikuti
oleh PDB sebesar 16.91%. Investasi dan konsumsi memberikan pangaruh sebesar
10.83% dan 8.50%. Pada periode ke-15, konsumsi mengalami peningkatan
peranan yang cukup signifikan dan menjadi variabel utama yang memengaruhi
IHK yaitu sebesar 46.00%. Faktor internal sendiri mengalami penurunan peranan
menjadi 24.04%, sementara itu variabel PDB mengalami peningkatan peranan
dari 16.91% menjadi 20.51%. Peranan investasi mengalami penurunan yang
cukup signifikan dari 10.83% menjadi 0.60%.
5.8.3 Derajat Pass-Through
Berdasarkan Tabel 5.5, pengeluaran pemerintah memberikan dampak
negatif terhadap harga (IHK) hampir seluruh Negara ASEAN+3, kecuali di
Malaysia dan Korea Selatan. Peningkatan IHK terbesar terjadi di Korea Selatan
yaitu sebesar 1.15% akibat kenaikan pengeluaran pemerintah sebesar satu persen
dan Malaysia merespon kenaikan pengeluaran pemerintah sebesar 0.24%.
Penurunan terbesar IHK akibat kenaikan pengeluaran pemerintah terjadi
Singapura dan Philipina dengan nilai sebesar -0.88% dan -0.45%. Indonesia dan
Jepang memiliki derajat pass-through yang relatif sama, yaitu sebesar -0.22%
akibat guncangan pengeluaran pemerintah sebesar satu persen.
Tabel 5.5 Derajat pass-through G terhadap indeks harga konsumen
No
1
2
3
4
5
6
7
Negara
Indonesia
Malaysia
Singapura
Thailand
Philipina
Korea Selatan
Jepang
Derajat Pass-Through
-0.22
0.24
-0.88
-0.33
-0.45
1.15
-0.23
Sumber: diolah
88 5.8.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap IHK
Berdasarkan teori, kenaikan pengeluaran pemerintah akan meningkatkan
harga secara umum, tetapi pengaruh guncangan pengeluaran pemerintah direspon
secara berbeda di masing-masing Negara ASEAN+3. Kenaikan harga hanya
terjadi di Korea Selatan dan Malaysia, sedangkan negara lainnya merespon negatif
kenaikan dari pengeluaran pemerintah terhadap IHK. Berdasarkan derajat passthrough, pengaruh terbesar terjadi di Korea Selatan dan terkecil di Singapura.
Berdasarkan variabilitas yang memengaruhi IHK di Negara ASEAN+3,
variabel yang dominan adalah IHK itu sendiri, kecuali di Singapura dan Jepang.
Variabel utama yang memengaruhi IHK di Singapura adalah pengeluaran
pemerintah, sementara itu di Jepang lebih disebabkan oleh konsumsi. Pengaruh
yang berbeda ini juga terdapat di dalam penelitian Afonso dan Sousa (2009),
bahwa guncangan pengeluaran pemerintah di respon positif di Amerika Serikat,
Inggris dan Italia, tapi direspon negatif di Jerman.
5.9
Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Suku Bunga
5.9.1 Analisis Impulse Response Function
Pada Gambar 5.12 terlihat bahwa di Singapura, Jepang dan Indonesia
respon suku bunga negatif, dan respon negatif yang paling besar adalah di Jepang.
Respon suku bunga di Jepang pada periode awal dengan kenaikan pengeluaran
pemerintah sebesar satu standar deviasi direspon positif sebesar 1.44%. Pada
periode selanjutnya respon ini cenderung turun dan mencapai kestabilan pada
periode ke-20 sebesar -14.63%. Respon suku bunga di Indonesia pada periode
awal mencapai -17.37% kemudian pada periode kedua turun lagi pada level 23.88% dan periode selanjutnya mulai stabil dengan nilai sebesar -14.20% pada
periode ke-14. Respon suku bunga di Singapura pada periode awal hanya sebesar
-1.78%, respon ini cenderung turun dan mencapai kestabilan pada periode ke-15
sebesar 9.06%.
89 Respon R terhadap G di Indonesia
0.300
0.200
0.100
0.000
‐0.100 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.200
‐0.300
Periode
Respon R terhadap G di Malaysia
Respon R terhadap G di Singapura
0.300
0.300
0.200
0.200
0.100
0.100
0.000
0.000
‐0.100 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.100 1
6
‐0.200
‐0.200
‐0.300
‐0.300
Periode
Periode
Respon R terhadap G di Thailand
Respon R terhadap G di Philipina
0.300
0.300
0.200
0.200
0.100
0.100
0.000
0.000
‐0.100
11 16 21 26 31 36 41 46
1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.200
‐0.100 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.200
‐0.300
‐0.300
Periode
Periode
Respon R terhadap G di Korsel
Respon R terhadap G di Jepang
0.300
0.300
0.200
0.200
0.100
0.100
0.000
‐0.100 1
0.000
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.200
‐0.100
1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.200
‐0.300
‐0.300
Periode
Periode
Gambar 5.12 Respon suku bunga terhadap guncangan G
90 Respon suku bunga tertinggi terjadi di Philipina, walaupun pada awal
periode responnya -4.45% tetapi pada periode selanjutnya terus naik dan
mencapai kestabilan pada periode ke-20 dengan respon sebesar 10.60%. Respon
suku bunga di Malaysia pada awalnya 2.73%, kemudian sempat naik pada periode
ketiga sebesar 8.73%, tetapi pada periode selanjutnya cenderung berkurang dan
mencapai keseimbangan pada periode ke-15 sebesar 7.90%. Thailand dan Korea
Selatan mempunyai pergerakkan respon yang hampir sama. Pada periode awal
merespon negatif guncangan dari pengeluaran pemerintah tetapi pada periode
selanjutnya positif, dan mencapai keseimbangan pada periode ke-24 dengan
respon masing-masing sebesar 1.61% dan 0.30%.
5.9.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)
Berdasarkan Gambar 5.13, variabilitas suku bunga di Indonesia dipengaruhi
oleh suku bunga sendiri sebesar 51.90% pada periode pertama. Pengeluaran
pemerintah memberikan pengaruh sebesar 36.43%, variabel konsumsi dan
investasi memberikan pengaruh masing-masing 5%. Pengaruh dari suku bunga
tidak banyak mengalami perubahan, hingga periode ke-15 menjadi 52.79%,
sementara itu pengaruh dari pengeluaran pemerintah turun menjadi 20.90%.
Variabilitas PDB menjadi bertambah dari 0.31% pada periode pertama menjadi
15.85% pada periode ke-15, sementara itu konsumsi turun menjadi 2.80%.
Variabilitas suku bunga di Malaysia pada periode pertama lebih disebabkan
oleh suku bunga itu sendiri sebesar 64.93%, IHK sebesar 23.91% dan investasi
sebesar 5.73%. Pada periode ke-15 suku bunga turun menjadi 25.72% , IHK turun
menjadi 4.74% sedangkan PDB mengalami kenaikan yang cukup signifikan
menjadi 52.00%. Pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh sebesar 8.71%
pada periode ke-15. Hal yang sama juga di Singapura, variabilitas suku bunga di
Singapura didominasi oleh suku bunga sendiri sebesar 87.92% pada periode
pertama, tetapi pada periode selanjutnya kontribusinya berkurang menjadi 19.53%
pada periode ke-15. PDB mengalami peningkatan pengaruh yang signifikan,
peranan PDB menjadi yang paling utama memengaruhi suku bunga menjadi
65.96%. Pengeluaran pemerintah pada periode awal memberikan peranan sebesar
0.67%, naik menjadi 8.36%.
91 VD of R Indonesia
100
DM
80
Persen
R
60
IHK
40
I
20
C
0
VD of R Malaysia
100
DM
80
Persen
IHK
40
I
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
20
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
100
80
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
Persen
R
60
IHK
I
C
20
C
Y
0
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
G
G
VD of R Jepang
100
DM
80
R
60
IHK
40
I
C
20
C
Y
0
I
20
DM
80
40
IHK
40
G
VD of R Philipina
R
60
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
G
DM
0
Y
VD of R Korea Selatan
C
0
I
0
20
IHK
40
C
R
60
Persen
I
Persen
IHK
40
DM
80
R
60
VD of R Thailand
100
DM
80
Persen
100
R
60
G
VD of R Singapura
Persen
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
G
Y
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Periode
G
Gambar 5.13 FEVD suku bunga
92 Variabilitas suku bunga di Thailand pada awalnya juga dipengaruhi oleh
suku bunga itu sendiri sebesar 77.43%, tetapi kontribusi tersebut mengalami
penurunan hingga mencapai 46.09% pada periode ke-15. Pengaruh investasi naik
dari 3.21% pada periode awal menjadi 8.92% pada periode ke-15. Peranan
pengeluaran pemerintah menjadi berkurang dari 12.03% pada periode awal
menjadi 2.10% pada periode ke-15, sementara itu peranan IHK naik dari 4.10%
menjadi 27.97% pada periode yang sama. Variabel dari suku bunga itu sendiri
masih dominan memberikan kontribusi dalam menjelaskan variabilitas suku
bunga di Philipina untuk setiap periode peramalan. Pada periode pertama
memberikan kontribusi sebesar 66.99% dan periode ke-15 turun menjadi 32.74%.
Kontribusi IHK pada periode pertama sebesar 11.66% menjadi 31.52% pada
periode ke-15, hal yang sama juga terjadi pada pengeluaran pemerintah dari
4.55% menjadi 22.53%.
Variabilitas suku bunga di Korea Selatan pada periode pertama lebih
didominasi oleh suku bunga itu sendiri sebesar 90.74%, diikuti oleh investasi
sebesar 4.16% dan PDB sebesar 2.85%. Pada periode ke-15, walaupun suku
bunga tetap mendominasi sebesar 67.32% namun komposisinya berbeda.
Pengaruh terbesar kedua disebabkan oleh PDB sebesar 11.95% diikuti oleh
konsumsi dengan nilai sebesar 6.56%. Variabilitas suku bunga di Jepang pada
awal periode dipengaruhi oleh suku bunga itu sendiri sebesar 95.31%, diikuti oleh
PDB sebesar 2.10%. Pada periode ke-15 pengaruh terbesar masih diberikan oleh
suku bunga yakni sebesar 64.31% kemudian diikuti oleh PDB dan investasi
masing-masing sebesar 26.39% dan 2.78%.
Tabel 5.6 Derajat pass-through G terhadap suku bunga
No
1
2
3
4
5
6
7
Negara
Indonesia
Malaysia
Singapura
Thailand
Philipina
Korea Selatan
Jepang
Sumber: diolah
Derajat Pass-Through
-1.59
1.74
-1.53
0.27
0.93
0.12
-3.06
93 5.9.3 Derajat Pass-Through
Tabel 5.6 menunjukkan derajat pass-through suku bunga akibat guncangan
dari pengeluaran pemerintah. Dampak negatif terjadi di Jepang, Indonesia dan
Singapura dengan nilai -3.06%, -1.59% dan -1.53%. Kenaikan pengeluaran
pemerintah sebesar satu persen direspon dengan penurunan suku bunga di ketiga
negara tersebut. Kenaikan suku bunga terbesar terjadi di Malaysia dengan dampak
sebesar 1.74% diikuti oleh Philipina sebesar 0.93%. Thailand dan Korea Selatan
mempunyai dampak yang relatif kecil, pengeluaran pemerintah sebesar satu
persen menyebabkan suku bunga naik menjadi 0.27% dan 0.12%.
5.9.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Suku Bunga
Respon suku bunga akibat guncangan pengeluaran pemerintah mempunyai
pengaruh yang berbeda di masing-masing negara. Respon positif tertinggi terjadi
di Philipina dan diikuti oleh Malaysia. Respon positif juga terjadi di Thailand dan
Korea Selatan dengan nilai yang relatif sama. Penurunan suku bunga terjadi di
Indonesia, Jepang dan Singapura, ini terlihat juga pada derajat pass-through.
Variabel yang paling dominan memengaruhi suku bunga adalah adalah suku
bunga itu sendiri, kecuali di Malaysia dan Singapura. Pengaruh PDB terhadap
suku bunga lebih dominan di kedua negara ini. Penurunan suku bunga ini juga
ditemukan dalam penelitian Mountford dan Uhlig (2005), bahwa guncangan
pengeluaran pemerintah di Amerika Serikat menyebabkan penurunan pada suku
bunga.
5.10 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah di Indonesia
Pengeluaran pemerintah di Indonesia masih sangat dominan mempengaruhi
perekonomian. Respon terhadap PDB dan konsumsi akibat kenaikan dari
pengeluaran pemerintah masih sangat dominan jika dibandingkan dengan Negaranegara ASEAN+3 lainnya. Pengaruh terbesar kedua untuk kedua variabel tersebut
terjadi di Philipina, ini membuktikan bahwa Indonesia dan Philipina memiliki
tingkat perekonomian yang sama.
Respon investasi akibat guncangan
pengeluaran pemerintah, Indonesia menempati posisi kedua setelah Philipina.
Kenaikan investasi akibat kenaikan tersebut masih relatif lebih besar jika
94 dibandingkan dengan negara lainnya. Pengaruh terhadap IHK dan suku bunga
menjadi negatif. Kebijakan fiskal khususnya pengeluaran pemerintah di Indonesia
masih sangat diperlukan.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang ditelah dilakukan mengenai dampak
pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian di Negara-negara ASEAN+3,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1
Dampak pengeluaran pemerintah terhadap variabel makroekonomi sama di
Negara-negara ASEAN+3, kecuali Singapura dan Jepang. Kenaikan
pengeluaran pemerintah direspon positif oleh PDB, konsumsi dan investasi,
sementara itu di Singapura dan Jepang kenaikan pengeluaran pemerintah
direspon negatif. Respon positif terbesar terjadi di Indonesia dan Philipina,
sedangkan di Thailand, Malaysia dan Korea mempunyai respon yang relatif
sama.
2
Guncangan pengeluaran pemerintah terhadap variabel moneter (IHK dan
suku bunga) memberikan pengaruh yang berbeda-beda di masing-masing
negara. Respon IHK yang positif terjadi di Korea, sebaliknya yang negatif
terjadi Singapura, Thailand dan Philipina. Pengaruh yang sangat kecil dan
tidak signifikan terjadi di Malaysia, Indonesia dan Jepang. Kenaikan suku
bunga akibat pengeluaran pemerintah terjadi di Philipina, Malaysia,
Thailand dan Korea, sementara itu di negara lainnya terjadi penurunan suku
bunga.
3
Berdasarkan hasil variance decomposition, variabel PDB lebih dominan
menjelaskan variabilitas pada PDB, konsumsi dan investasi. Variabilitas
pada IHK dan suku bunga dipengaruhi oleh faktor internal itu sendiri.
6.2. Saran
1
Penelitian ini menunjukkan bahwa peranan kebijakan fiskal khususnya
pengeluaran
pemerintah
masih
sangat
dominan
mempengaruhi
perekonomian di negara berkembang. Perlu peran aktif dari Pemerintah
terhadap perbaikan kebijakan fiskal dimasa yang akan datang.
96
2
Level perekonomian di kawasan ASEAN+3 masih belum seragam, ini
terlihat
dari
respon
variabel
makroekonomi
terhadap
guncangan
pengeluaran pemerintah yang berbeda antara negara maju dengan negara
berkembang. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam
pembentukan Asian Currency Unit (ACU) dari sisi fiskal.
3
Disarankan untuk menggunakan variabel moneter lainnya seperti jumlah
uang beredar, sehingga dapat melihat guncangan dari variabel tersebut
terhadap variabel makro lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu A. 2005. Kebijakan Fiskal dan Efektivitas Stimulus Fiskal di
Indonesia. Jurnal Ekonomi Indonesia 1:1-35.
Achsani N.A, Nababan HF. 2007. Dampak Perubahan Kurs (Pass-Through Effect)
terhadap Tujuh Kelompok Indeks Harga Konsumen di Indonesia.
Bogor: InterCAFE.
Achsani N.A, Siregar H. 2010. Classification of the ASEAN+3 Economies Using
Fuzzy Clustering Approach. European Journal of Scientific Research
39:489-497.
Afonso A, Sousa RM. 2009. The Macroeconomic Effect of Fiscal Policy.
Working Paper Series No.991. European Central Bank.
Alfirman L, Sutriono E. 2006. Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan
Produk Domestik Bruto dengan Menggunakan Pendekatan Granger
Causality dan VAR. Jurnal Ekonomi Indonesia 4:25-66.
Arifin S, editor. 2008. Bangkitnya Perekonomian Asia Timur: Satu Dekade
Setelah Krisis. Bank Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Barro R. 1990. Government Spending in a Simple Model of Endogenous Growth.
Journal of Political Economy, 98: S103-S125.
Blanchard O. 2006. Macroeconomics. New York: Prentice Hall Business
Publishing.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kerangka Teori dan Analisis Tabel InputOutput. Jakarta: BPS.
Chao, J.C.P. 1997. The Optimum Levels of Spending and Taxation in Canada.
Unpublished paper. Department of Economics, Simon Fraser
University.
Castro F de. 2003. The Macroeconomic Effect of Fiscal Policy in Spain. Working
Paper. Banco de Espana. Servicio De Estudios.
Delis A. 2008. Dampak Alokasi Dana Pembangunan Infrastruktur terhadap
Kinerja Ekonomi di Indonesia: Suatu Pendekatan Model
Keseimbangan Umum [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Dornbusch R, Fisher S, Startz R. 2004. Makroekonomi, Ed ke-8.Yusuf W, Roy
IM, penerjemah; Jakarta: Media Global. Terjemahan dari:
Macroeconomics.
98 Enders W. 2004. Applied Econometrics Time Series. Ed ke-2 New York: John
Willey and Sons, Inc.
Engel RF, CWJ Granger. 1987. Cointegration and Error Correction:
Representation, Estimation and Testing. Econometrica 55:12-16.
Fatas A, Mihov I. 2000. The Effect of Fiscal Policy on Consumption and
Employment: Theory and Evidence, CEPR Discussion Paper No.2760.
Gillingham R, Newhouse D, Yackovlev I. 2008. The Distributional Impact of
Fiscal Policy in Honduras. IMF Working Paper WP/08/168.
Gramlich EM. 1990. Fiscal Indicators, OECD Department of Economics and
Statistics Working Paper No.80.
Gujarati D. 2006. Ekonometrika Dasar. Sumarno Z, penerjemah; Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Hadi YS. 2003. Analisis Vector Autoregression (VAR) terhadap Korelasi antara
Pendapatan dan Investasi Pemerintah di Indonesia, 1983/19841999/2000. Jurnal Keuangan dan Moneter 6:107-121.
Hasanah H. 2007. Stabilitas Moneter pada Sistem Perbankan Ganda di Indonesia
[skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian
Bogor.
Hastuti RT. 2007. Dampak Kebijakan Moneter, Kebijakan Fiskal, dan Kebijakan
Nilai Tukar terhadap Pendapatan Nasional periode sebelum dan
sesudah krisis di Indonesia. Solo: UNS.
Hemming R, Kell M, Mahfouz S. 2002. The Effectiveness of Fiscal Policy in
Stimulating Economic Activity – A Review of Literature. IMF Working
Paper WP/02/208.
Hsing Y. 2005. Impact of Monetary Policy, Fiscal Policy and Currency
Depreciation on Output: The Case of Venezuela. Briefing Notes in
Economics No.65.
Hsiao C. 2003. Analysis of Panel Data 2nd Edition. Cambridge: Cambridge
University Press.
Ilham N, Siregar H. 2007. Dampak Kebijakan Harga Pangan dan Kebijakan
Moneter terhadap Stabilitas Ekonomi Makro. Jurnal Agro Ekonomi
25:55-83.
Indrawati Y. 2007. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia:
Pendekatan VAR. Parallel Session IC: Monetary and Macroeconomy.
99
Junaidi E. 2008. Analisis Kausalitas antara Harga Premium dengan Permintaan
Sepeda Motor dan Mobil di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas
Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Katsimi M, Sarantides V. 2008. The Impact of Fiscal Policy on Profit. Athens:
University of Economics and Business (AUEB).
Kubo A. 2008. Macroeconomic Impact of Monetary Policy Shocks: Evidence
from Recent Experience in Thailand. Journal of Asian Economics 19:
83-91.
Lendvai J. 2007. The Impact of Fiscal in Hungaria. ECFIN Country Focus.
Volume IV, Issue 11.
Mangkosoebroto G. 1997. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE.
Mankiw NG. 2007. Teori Makroekonomi, Ed ke-6 Liza F, penerjemah; Jakarta:
Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomics theory.
Mendoza EG, Oviedo PM. 2005. Fiscal Policy and Macroeconomic Uncertainty
in Emerging Market: The Tale of the Tormented Insurer. International
Monetary Fund & NBER.
Mountford A, Uhlig H. 2005. What are the Effect of Fiscal Policy Shocks?.
Discussion Paper 2005-039.
Musgrave RA. 1983. “Who Should Tax, Where, and What ?“ Dalam: Wallace E
Oates (Ed) The Economics of Fiscal Federalism and Local Finance.
Edward Elgar, Centelham, United Kingdom.
Pasaribu SH. 2003. Eviews untuk Analisis Runtun Waktu (Times Series Analysis).
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor. Modul Pelatihan (Paket C).
Pereira AM, Sagales OR. 2006. On Effect of Fiscal Policies in Portugal. Working
Paper No.35. Department of Economics, College of William and
Mary.
Quantitative Micro Software. 2007. E-Views 4 User’s Guide. United State of
America. Revised for Eviews 6.1.
Sims CA.1972. Money, Income and Causality. American Economic Review
Vol.62.
Stiglitz J. 2000. Economics of The Public Sector. Third Edition. New York: WW
Norton.
100 Tobin J. 2001. Fiscal Policy: Its Macroeconomics in Perspective. Discussion
Paper No. 1301.
Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Ed ke-9. Munandar
H, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Economic
Development.
Lampiran 1 : Uji Stasioneritas Data
INDONESIA
Level ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL (1) (2) 1 log (Y) -2.327
0.169
Tidak Stasioner 2 log (CC) -0.501
0.880
Tidak Stasioner 3 log (G) -1.730
0.408
Tidak Stasioner 4 log (I) -1.288
0.625
Tidak Stasioner 5 log (IHK) -1.364
0.590
Tidak Stasioner 6 log (R) -2.194
0.212
Tidak Stasioner HASIL (5) First Difference ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -4.225
0.002
Stasioner 2 log (CC) -7.424
0.000
Stasioner 3 log (G) -7.220
0.000
Stasioner 4 log (I) -3.692
0.008
Stasioner 5 log (IHK) -4.492
0.001
Stasioner 6 log (R) -5.732
0.000
Stasioner (5) 102 MALAYSIA
Level ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -1.702
0.422
Tidak Stasioner 2 log (CC) -0.769
0.816
Tidak Stasioner 3 log (G) -0.570
0.865
Tidak Stasioner 4 log (I) -1.620
0.462
Tidak Stasioner 5 log (IHK) -1.108
0.699
Tidak Stasioner 6 log (R) -2.409
0.146
Tidak Stasioner (5) First Difference ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL (1) (2) 1 log (Y) -5.022
0.000
Stasioner 2 log (CC) -5.356
0.000
Stasioner 3 log (G) -4.210
0.002
Stasioner 4 log (I) -4.492
0.001
Stasioner 5 log (IHK) -4.049
0.004
Stasioner 6 log (R) -4.873
0.000
Stasioner HASIL (5) 103 SINGAPURA
Level ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -1.999
0.286
Tidak Stasioner 2 log (CC) -0.480
0.884
Tidak Stasioner 3 log (G) -0.680
0.840
Tidak Stasioner 4 log (I) -0.678
0.840
Tidak Stasioner 5 log (IHK) -0.752
0.819
Tidak Stasioner 6 log (R) 0.143
0.965
Tidak Stasioner (5) First Difference ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -4.448
0.001
Stasioner 2 log (CC) -5.375
0.000
Stasioner 3 log (G) -6.167
0.000
Stasioner 4 log (I) -3.382
0.018
Stasioner 5 log (IHK) -2.584
0.011
Stasioner 6 log (R) -4.926
0.000
Stasioner (5) 104 THAILAND
Level ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -1.368
0.587
Tidak Stasioner 2 log (CC) -1.279
0.629
Tidak Stasioner 3 log (G) -0.816
0.803
Tidak Stasioner 4 log (I) -1.437
0.553
Tidak Stasioner 5 log (IHK) -3.008
0.043
Stasioner 6 log (R) -0.855
0.791
Tidak Stasioner (5) First Difference ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -3.295
0.022
Stasioner 2 log (CC) -4.777
0.000
Stasioner 3 log (G) -4.116
0.003
Stasioner 4 log (I) -4.026
0.003
Stasioner 5 log (IHK) 6 log (R) (5) Stasioner -4.722
0.000
Stasioner 105 PHILIPINA
Level ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -0.404
0.898
Tidak Stasioner 2 log (CC) -0.496
0.881
Tidak Stasioner 3 log (G) -1.167
0.678
Tidak Stasioner 4 log (I) -2.551
0.112
Tidak Stasioner 5 log (IHK) -3.414
0.017
Stasioner 6 log (R) -1.428
0.558
Tidak Stasioner (5) First Difference ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -3.625
0.010
Stasioner 2 log (CC) -3.833
0.006
Stasioner 3 log (G) -4.132
0.003
Stasioner 4 log (I) -4.076
0.003
Stasioner 5 log (IHK) 6 log (R) (5) Stasioner -5.736
0.000
Stasioner 106 KOREA SELATAN
Level ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -2.264
0.188
Tidak Stasioner 2 log (CC) -0.578
0.864
Tidak Stasioner 3 log (G) -1.162
0.681
Tidak Stasioner 4 log (I) -2.926
0.052
Stasioner* 5 log (IHK) -3.421
0.017
Stasioner 6 log (R) -1.799
0.375
Tidak Stasioner (5) First Difference ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -4.987
0.000
Stasioner 2 log (CC) -6.410
0.000
Stasioner 3 log (G) -5.857
0.000
Stasioner 4 log (I) -4.375
0.001
Stasioner 5 log (IHK) 6 log (R) (5) Stasioner -5.441
0.000
Stasioner 107 JEPANG
Level ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -2.852
0.061
Tidak Stasioner 2 log (CC) -4.952
0.000
Stasioner 3 log (G) -3.413
0.017
Stasioner 4 log (I) -2.190
0.213
Tidak Stasioner 5 log (IHK) -2.153
0.226
Tidak Stasioner 6 log (R) -1.664
0.441
Tidak Stasioner (5) First Difference ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL (1) (2) 1 log (Y) 2 log (CC) Stasioner 3 log (G) Stasioner 4 log (I) -4.170
0.002
Stasioner 5 log (IHK) -1.870
0.050
Stasioner 6 log (R) -3.110
0.034
Stasioner -3.331
0.020
HASIL (5) Stasioner 108 Lampiran 2: Uji Lag Optimal
INDONESIA
Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R))
D(DM)
Exogenous variables: C
Date: 03/28/10 Time: 08:48
Sample: 1970 2008
Included observations: 35
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
269.1536
353.9875
407.9801
488.7941
NA
130.8866*
61.70582
60.03324
7.36e-16
1.01e-16
1.08e-16
5.44e-17*
-14.98020
-17.02786
-17.31315
-19.13109*
-14.66913*
-14.53930
-12.64710
-12.28756
-14.87282
-16.16881
-15.70243
-16.76870*
MALAYSIA
Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R))
D(DM)
Exogenous variables: C
Date: 03/28/10 Time: 09:14
Sample: 1970 2008
Included observations: 35
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
352.4147
411.9798
447.9235
505.5351
NA
91.90054*
41.07848
42.79723
6.32e-18
3.66e-18*
1.10e-17
2.09e-17
-19.73798
-20.34170*
-19.59563
-20.08772
-19.42691*
-17.85315
-14.92958
-13.24419
-19.63060*
-19.48265
-17.98491
-17.72534
SINGAPURA
Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R))
D(DM)
Exogenous variables: C
Date: 03/28/10 Time: 09:31
Sample: 1970 2008
Included observations: 36
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
320.7792
373.1311
417.9467
NA
81.43639*
52.28487
6.34e-17
5.55e-17*
9.69e-17
-17.43218
-17.61840*
-17.38593
-17.12427*
-15.15514
-12.76733
-17.32471*
-16.75865
-15.77391
109 THAILAND
Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R))
D(DM)
Exogenous variables: C
Date: 03/28/10 Time: 09:44
Sample: 1970 2008
Included observations: 35
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
352.2416
422.0096
464.1417
533.6796
NA
107.6421*
48.15097
51.65670
6.38e-18
2.06e-18*
4.36e-18
4.19e-18
-19.72809
-20.91484
-20.52238
-21.69598*
-19.41702*
-18.42628
-15.85634
-14.85244
-19.62071
-20.05579*
-18.91167
-19.33359
PHILIPINA
Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R))
D(DM)
Exogenous variables: C
Date: 03/28/10 Time: 19:15
Sample: 1970 2008
Included observations: 35
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
323.8961
382.5839
438.6963
488.9243
NA
90.54700*
64.12841
37.31223
3.22e-17
1.96e-17
1.87e-17*
5.40e-17
-18.10835
-18.66194
-19.06836
-19.13853*
-17.79728*
-16.17338
-14.40231
-12.29500
-18.00096*
-17.80289
-17.45764
-16.77614
110 KOREA SELATAN
Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R))
D(DM)
Exogenous variables: C
Date: 03/28/10 Time: 19:25
Sample: 1970 2008
Included observations: 35
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
344.8006
420.8800
459.9052
523.7796
NA
117.3797*
44.60023
47.44952
9.76e-18
2.20e-18*
5.56e-18
7.37e-18
-19.30289
-20.85029
-20.28030
-21.13026*
-18.99182*
-18.36173
-15.61426
-14.28673
-19.19551
-19.99124*
-18.66958
-18.76788
JEPANG
Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R))
D(DM)
Exogenous variables: C
Date: 03/28/10 Time: 10:07
Sample: 1970 2008
Included observations: 35
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
383.9837
468.1095
519.6679
596.7960
NA
129.7941*
58.92390
57.29515
1.04e-18
1.48e-19
1.83e-19
1.14e-19*
-21.54193
-23.54912
-23.69531
-25.30263*
-21.23086*
-21.06056
-19.02927
-18.45910
-21.43455
-22.69007
-22.08459
-22.94024*
111 Lampiran 3: Pengujian Stabilitas VAR
INDONESIA
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R))
D(DM)
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 03/28/10 Time: 08:48
Root
Modulus
0.729748
-0.262730 - 0.348904i
-0.262730 + 0.348904i
0.269648 - 0.166821i
0.269648 + 0.166821i
-0.123849
-0.068635
0.729748
0.436762
0.436762
0.317079
0.317079
0.123849
0.068635
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
MALAYSIA
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R))
D(DM)
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 03/28/10 Time: 09:15
Root
0.553079
0.134944 - 0.503775i
0.134944 + 0.503775i
0.288768 - 0.271551i
0.288768 + 0.271551i
-0.215571 - 0.172564i
-0.215571 + 0.172564i
Modulus
0.553079
0.521535
0.521535
0.396392
0.396392
0.276133
0.276133
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
112 SINGAPURA
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R))
D(DM)
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 03/28/10 Time: 09:32
Root
Modulus
0.496370
0.117906 - 0.420136i
0.117906 + 0.420136i
0.285206 - 0.245340i
0.285206 + 0.245340i
0.161079
-0.106642
0.496370
0.436367
0.436367
0.376210
0.376210
0.161079
0.106642
THAILAND
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R))
D(DM)
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 03/30/10 Time: 20:40
Root
Modulus
0.613904 - 0.195574i
0.613904 + 0.195574i
0.160861 - 0.273272i
0.160861 + 0.273272i
0.266117
-0.195425 - 0.047261i
-0.195425 + 0.047261i
0.644304
0.644304
0.317102
0.317102
0.266117
0.201058
0.201058
PHILIPINA
Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R))
D(DM)
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 03/28/10 Time: 19:15
Root
0.551280
0.103021 - 0.406689i
0.103021 + 0.406689i
0.070137 - 0.375356i
0.070137 + 0.375356i
0.283531
-0.124378
Modulus
0.551280
0.419534
0.419534
0.381852
0.381852
0.283531
0.124378
113 KOREA SELATAN
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R))
D(DM)
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 03/28/10 Time: 19:25
Root
Modulus
0.858639
0.199314 - 0.591424i
0.199314 + 0.591424i
0.480119
0.119075 - 0.356861i
0.119075 + 0.356861i
-0.352046
0.858639
0.624106
0.624106
0.480119
0.376203
0.376203
0.352046
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
JEPANG
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R))
D(DM)
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 03/28/10 Time: 10:07
Root
0.912449
0.532791
0.247351 - 0.409553i
0.247351 + 0.409553i
-0.053799 - 0.310151i
-0.053799 + 0.310151i
-0.071753
Modulus
0.912449
0.532791
0.478452
0.478452
0.314782
0.314782
0.071753
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
114 Lampiran 4: Pengujian Kointegrasi (Summary)
INDONESIA
Date: 03/28/10 Time: 08:50
Sample: 1970 2008
Included observations: 37
Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM
Lags interval: 1 to 1
Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model
Data Trend:
Test Type
Trace
Max-Eig
None
No Intercept
No Trend
3
0
None
Intercept
No Trend
4
1
Linear
Intercept
No Trend
2
1
Linear
Intercept
Trend
3
1
Quadratic
Intercept
Trend
4
1
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999)
Information Criteria by Rank and Model
Data Trend:
Rank or
No. of CEs
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
None
No Intercept
No Trend
None
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
Trend
Quadratic
Intercept
Trend
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns)
330.0336
330.0336
342.5319
342.5319
350.2801
358.5859
371.0711
372.6031
365.4865
378.7005
390.1555
391.7751
379.1499
393.8729
405.0767
407.3411
388.5138
407.1122
413.1394
420.8219
393.8467
414.9395
419.2470
428.1914
397.7533
420.0922
423.1723
433.5922
397.9896
423.9532
423.9532
437.2035
345.2690
375.3199
394.0522
409.3890
421.1687
428.5252
433.8577
437.2035
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-15.19101
-15.19101
-15.48821
-15.48821
-15.25778
-15.52865
-15.92356
-16.27411
-16.30287
-16.12540
-15.59386
-16.20003
-16.54895
-16.52838
-16.38120
-15.57567
-16.20935
-16.59874*
-16.55898
-16.45346
-15.32507
-16.11417
-16.27781
-16.47686
-16.33344
-14.85658
-15.72646
-15.85119
-16.06440
-15.97434
-14.31099
-15.19417
-15.30661
-15.54553
-15.50582
-13.56700
-14.59206
-14.59206
-14.92992
-14.92992
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-13.05763
-13.05763
-13.05006
-13.05006
-12.78574
-13.13711
-13.22643*
-13.21165
-12.24141
-12.76050
-12.89173
-12.78409
-11.61368
-12.11674
-12.33198
-12.16161
-10.75354
-11.36850
-11.40152
-11.42641
-9.675520
-10.32770
-10.36536
-10.36088
-8.520392
-9.142347
-9.211246
-9.188931
-7.166871
-7.887161
-7.887161
-7.920248
-12.51487
-12.77295
-12.41922
-11.88194
-11.15238
-10.18374
-9.105690
-7.920248
115 MALAYSIA
Date: 03/28/10 Time: 09:17
Sample: 1970 2008
Included observations: 37
Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM
Lags interval: 1 to 1
Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model
Data Trend:
Test Type
Trace
Max-Eig
None
No Intercept
No Trend
3
1
None
Intercept
No Trend
2
2
Linear
Intercept
No Trend
2
1
Linear
Intercept
Trend
2
1
Quadratic
Intercept
Trend
2
1
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999)
Information Criteria by Rank and Model
Data Trend:
Rank or
No. of CEs
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
None
No Intercept
No Trend
None
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
Trend
Quadratic
Intercept
Trend
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns)
404.4662
404.4662
430.2818
430.2818
443.0373
443.3300
455.6064
459.1415
456.7123
467.4439
472.4922
478.4462
468.2548
478.9955
484.0000
491.8662
476.7374
489.0368
492.9831
503.3090
482.6975
496.4698
499.9512
510.2802
486.6873
501.6219
504.1678
516.4928
487.7628
505.0268
505.0268
520.3389
434.6483
462.9573
482.2143
495.4552
506.8318
513.4700
518.6793
520.3389
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-19.21439
-19.21439
-20.23145
-20.23145
-20.08910
-20.54256
-20.50432
-20.84359
-20.98062
-20.86256
-20.52499
-20.99697
-20.99958
-21.21331*
-21.14672
-20.39215
-20.81057
-20.86486
-21.12790
-21.10569
-20.09392
-20.54253
-20.59368
-20.93562
-20.96388
-19.65932
-20.13351
-20.21358
-20.50163
-20.56595
-19.11823
-19.60119
-19.68475
-20.02664
-20.09077
-18.41961
-18.97442
-18.97442
-19.42372
-19.42372
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-17.08101
-17.08101
-17.79330
-17.79330
-17.79964
-17.71787
-17.79591
-17.88940*
-17.17254
-17.55744
-17.34236
-17.46901
-16.43016
-16.71796
-16.59811
-16.73053
-15.52239
-15.79685
-15.71739
-15.88518
-14.47826
-14.73475
-14.72775
-14.79811
-13.32764
-13.54936
-13.58938
-13.67004
-12.01948
-12.26952
-12.26952
-12.41405
-17.34618
-17.51010
-17.18473
-16.53416
-15.78282
-14.77535
-13.69064
-12.41405
116 SINGAPURA
Date: 03/28/10 Time: 09:33
Sample: 1970 2008
Included observations: 37
Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM
Lags interval: 1 to 1
Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model
Data Trend:
Test Type
Trace
Max-Eig
None
No Intercept
No Trend
4
2
None
Intercept
No Trend
4
3
Linear
Intercept
No Trend
3
2
Linear
Intercept
Trend
2
0
Quadratic
Intercept
Trend
2
0
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999)
Information Criteria by Rank and Model
Data Trend:
Rank or
No. of CEs
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
None
No Intercept
No Trend
None
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
Trend
Quadratic
Intercept
Trend
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns)
362.1359
362.1359
382.8246
382.8246
391.2171
394.6229
407.4783
407.9298
411.7257
415.2804
427.8526
429.2281
425.2857
433.5937
444.5998
446.2482
436.6785
446.9339
451.6988
455.5676
443.6082
453.8640
458.0786
462.1112
447.7438
459.9392
462.8252
467.8876
448.0656
463.7865
463.7865
471.4771
389.4145
413.9213
434.7458
451.7357
460.0901
466.1608
469.7515
471.4771
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-16.92627
-16.92627
-17.66620
-17.66620
-17.64403
-17.74146
-17.87151
-18.24207
-18.21242
-18.21196
-18.09328
-18.17732
-18.58662
-18.55287
-18.58085
-18.06950
-18.35642
-18.73512
-18.66207
-18.74247*
-17.92857
-18.26670
-18.36210
-18.35501
-18.43730
-17.54639
-17.83048
-17.95019
-17.89790
-18.00869
-17.01318
-17.34806
-17.45001
-17.39933
-17.44603
-16.27382
-16.74522
-16.74522
-16.78254
-16.78254
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-14.79289
-14.79289
-15.22805*
-15.22805*
-14.99855
-15.08506
-15.19439
-15.12120
-14.74083
-14.73779
-14.92941
-14.80857
-14.10751
-14.26382
-14.46837
-14.26470
-13.35704
-13.52102
-13.48581
-13.30456
-12.36533
-12.43173
-12.46437
-12.19438
-11.22258
-11.29624
-11.35465
-11.04274
-9.873685
-10.04031
-10.04031
-9.772874
-14.90111
-14.85951
-14.61887
-14.17095
-13.25624
-12.21809
-11.04589
-9.772874
117 THAILAND
Date: 03/30/10 Time: 20:41
Sample: 1970 2008
Included observations: 37
Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM1
Lags interval: 1 to 1
Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model
Data Trend:
Test Type
Trace
Max-Eig
None
No Intercept
No Trend
5
3
None
Intercept
No Trend
7
3
Linear
Intercept
No Trend
7
3
Linear
Intercept
Trend
5
1
Quadratic
Intercept
Trend
5
1
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999)
Information Criteria by Rank and Model
Data Trend:
Rank or
No. of CEs
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
None
No Intercept
No Trend
None
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
Trend
Quadratic
Intercept
Trend
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns)
398.6947
398.6947
405.7794
405.7794
429.3151
429.3354
432.8887
432.8889
450.1521
450.2669
453.7078
454.5510
467.4883
467.7113
470.8760
471.7376
478.0752
481.3620
484.3690
485.2830
485.1357
491.4047
494.3799
495.8327
491.0231
498.1160
499.3364
503.7940
491.0830
502.8054
502.8054
508.7157
411.3983
438.3893
459.6121
476.2802
489.7459
500.2084
507.3540
508.7157
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-18.90242
-18.90242
-18.90699
-18.90699
-18.83234
-19.80082
-19.74786
-19.61560
-19.56156
-19.53456
-20.17038
-20.06848
-19.98421
-19.92167
-19.92498
-20.35072*
-20.20061
-20.15546
-20.03987
-20.06920
-20.16623
-20.12767
-20.12805
-19.96125
-20.04032
-19.79112
-19.85972
-19.91243
-19.72069
-19.84910
-19.35260
-19.41168
-19.42359
-19.34021
-19.47859
-18.59908
-18.85434
-18.85434
-18.79545
-18.79545
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-16.76904
-16.76904
-16.46885
-16.46885
-17.05790*
-16.96140
-16.56792
-16.47034
-16.81793
-16.62895
-16.32699
-16.17738
-16.38873
-16.10801
-15.88870
-15.64250
-15.59471
-15.38200
-15.25176
-14.91080
-14.61006
-14.46096
-14.42660
-14.01717
-13.56200
-13.35985
-13.32822
-12.98362
-12.19895
-12.14944
-12.14944
-11.78578
-16.08943
-16.18210
-15.96299
-15.49768
-14.85926
-14.05851
-13.07846
-11.78578
118 PHILIPINA
Date: 03/28/10 Time: 19:16
Sample: 1970 2008
Included observations: 37
Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM
Lags interval: 1 to 1
Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model
Data Trend:
Test Type
Trace
Max-Eig
None
No Intercept
No Trend
3
2
None
Intercept
No Trend
3
3
Linear
Intercept
No Trend
3
3
Linear
Intercept
Trend
4
4
Quadratic
Intercept
Trend
4
1
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999)
Information Criteria by Rank and Model
Data Trend:
Rank or
No. of CEs
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
None
No Intercept
No Trend
None
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
Trend
Quadratic
Intercept
Trend
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns)
378.7701
378.7701
393.3165
393.3165
415.0851
416.5187
425.4182
425.4383
439.6282
446.8324
450.6308
450.7664
454.6675
466.5290
470.3161
470.7127
463.2667
478.7415
482.4161
488.1539
467.2095
483.9803
487.6542
499.8107
470.9628
487.7615
491.1468
505.0038
474.0691
491.1646
491.1646
508.3817
403.5332
435.6033
455.7361
473.4759
490.9151
501.0351
505.1933
508.3817
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-17.82541
-17.82541
-18.23332
-18.23332
-18.40720
-19.03163
-19.05506
-19.21179
-19.15883
-19.38396
-19.60153
-19.88283
-19.81788
-19.71710
-19.71547
-19.65770
-20.13670*
-20.12519
-19.98447
-19.91762
-19.36577
-19.98603
-20.02249
-20.11643
-20.10352
-18.82213
-19.45840
-19.54888
-19.93571
-19.89379
-18.26826
-18.85197
-18.98091
-19.40561
-19.36180
-17.67941
-18.22512
-18.22512
-18.77739
-18.77739
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-15.69203
-15.69203
-15.79518
-15.79518
-16.28871
-16.26861
-16.16411
-16.06761
-16.24907
-16.44330*
-16.16066
-15.97281
-15.69572
-16.04410
-15.85844
-15.58710
-14.79424
-15.24035
-15.14620
-15.06598
-13.64107
-14.05965
-14.06305
-14.23219
-12.47766
-12.80015
-12.88555
-13.04902
-11.27928
-11.52021
-11.52021
-11.76772
-15.66429
-16.03151
-15.75348
-15.34609
-14.92246
-14.10319
-12.96167
-11.76772
119 KOREA SELATAN
Date: 03/28/10 Time: 19:26
Sample: 1970 2008
Included observations: 37
Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM
Lags interval: 1 to 1
Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model
Data Trend:
Test Type
Trace
Max-Eig
None
No Intercept
No Trend
3
1
None
Intercept
No Trend
2
1
Linear
Intercept
No Trend
2
1
Linear
Intercept
Trend
1
1
Quadratic
Intercept
Trend
1
1
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999)
Information Criteria by Rank and Model
Data Trend:
Rank or
No. of CEs
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
None
No Intercept
No Trend
None
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
Trend
Quadratic
Intercept
Trend
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns)
428.4992
428.4992
436.6202
436.6202
454.5148
454.5751
461.6653
465.8534
470.3786
471.9606
478.3793
484.5289
481.4884
483.5040
488.2487
495.6951
490.5146
493.1946
494.8334
504.7386
496.5768
499.6882
501.3006
511.2927
500.9621
505.6040
506.7574
516.9070
500.9648
509.9880
509.9880
520.2696
449.5789
476.3792
492.2593
503.3236
510.9920
516.6534
520.0237
520.2696
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-20.51347
-20.51347
-20.57407
-20.57407
-20.89616
-21.16296
-21.11217
-21.17110
-21.34342
-21.58806
-21.26371
-21.24112
-21.31780
-21.54210
-21.68969*
-21.10748
-21.05427
-21.09452
-21.33487
-21.53101
-20.83862
-20.76727
-20.69370
-21.01290
-21.18876
-20.40956
-20.30747
-20.28652
-20.55636
-20.73802
-19.88984
-19.81643
-19.82472
-20.04903
-20.16344
-19.13323
-19.24259
-19.24259
-19.41998
-19.41998
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-18.38009
-18.38009
-18.13592
-18.13592
-18.42005*
-18.32572
-18.12341
-18.25220
-17.91126
-17.80159
-17.66058
-17.79781
-17.14549
-16.96167
-16.82777
-16.93750
-16.26710
-16.02160
-15.81740
-15.96245
-15.22850
-14.90872
-14.80069
-14.85284
-14.09925
-13.76460
-13.72936
-13.69243
-12.73310
-12.53769
-12.53769
-12.41031
-18.15324
-18.23561
-17.72770
-16.95948
-16.00769
-14.94742
-13.76331
-12.41031
120 JEPANG
Date: 03/28/10 Time: 10:08
Sample: 1970 2008
Included observations: 37
Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM
Lags interval: 1 to 1
Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model
Data Trend:
Test Type
Trace
Max-Eig
None
No Intercept
No Trend
4
1
None
Intercept
No Trend
5
1
Linear
Intercept
No Trend
7
1
Linear
Intercept
Trend
4
2
Quadratic
Intercept
Trend
4
2
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999)
Information Criteria by Rank and Model
Data Trend:
Rank or
No. of CEs
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
None
No Intercept
No Trend
None
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
Trend
Quadratic
Intercept
Trend
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns)
470.4377
470.4377
481.9309
481.9309
493.4495
503.6368
511.7196
524.0795
510.8113
521.0013
527.8389
553.8063
525.2671
535.4647
541.4381
569.2820
537.4255
549.0066
551.1874
582.4336
543.8722
557.8083
559.1185
592.1494
547.5960
563.9548
564.2499
598.1367
548.0189
567.5418
567.5418
602.7414
488.9600
530.5058
559.4108
574.3244
586.2391
593.7352
599.6722
602.7414
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-22.78042
-22.78042
-23.02329
-23.02329
-23.02487
-23.26754
-23.76415
-23.87674
-24.49079
-24.51383
-23.44926
-23.89196
-23.99129
-25.28683
-25.31950
-23.47390
-23.86296
-23.96963
-25.31254
-25.36889*
-23.37435
-23.78414
-23.73986
-25.21262
-25.25617
-22.96606
-23.44910
-23.41181
-24.92699
-24.90461
-22.41059
-22.97053
-22.93243
-24.43982
-24.46877
-21.67670
-22.35361
-22.35361
-23.87791
-23.87791
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-20.64704
-20.64704
-20.58514
-20.58514
-20.52463
-20.97770
-20.82905
-21.39956
-20.09681
-20.45244
-20.33408
-21.54253*
-19.51191
-19.77036
-19.70287
-20.91517
-18.80283
-19.03847
-18.86357
-20.16218
-17.78500
-18.05035
-17.92598
-19.22347
-16.62000
-16.91870
-16.83706
-18.08323
-15.27656
-15.64871
-15.64871
-16.86824
-20.28195
-21.16138
-21.35752
-20.79736
-20.07511
-19.11401
-18.06863
-16.86824
121 Lampiran 5: Pengujian Kointegrasi (Asumsi)
INDONESIA
Date: 03/28/10 Time: 08:51
Sample (adjusted): 1972 2008
Included observations: 37 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
0.786189
0.643560
0.553605
0.353268
0.281174
0.191182
0.041330
162.8426
105.7641
67.59528
37.75293
21.62745
9.412413
1.561709
125.6154
95.75366
69.81889
47.85613
29.79707
15.49471
3.841466
0.0000
0.0086
0.0743
0.3129
0.3197
0.3286
0.2114
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
0.786189
0.643560
0.553605
0.353268
0.281174
0.191182
0.041330
57.07845
38.16884
29.84235
16.12548
12.21504
7.850704
1.561709
46.23142
40.07757
33.87687
27.58434
21.13162
14.26460
3.841466
0.0025
0.0808
0.1407
0.6551
0.5266
0.3941
0.2114
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
122 MALAYSIA
Date: 03/28/10 Time: 09:18
Sample (adjusted): 1972 2008
Included observations: 37 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted)
Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
0.789861
0.647778
0.515871
0.461265
0.313963
0.285246
0.187706
180.1141
122.3946
83.78535
56.94538
34.05972
20.11727
7.692051
150.5585
117.7082
88.80380
63.87610
42.91525
25.87211
12.51798
0.0004
0.0244
0.1090
0.1668
0.2858
0.2200
0.2779
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
0.789861
0.647778
0.515871
0.461265
0.313963
0.285246
0.187706
57.71951
38.60927
26.83997
22.88565
13.94246
12.42522
7.692051
50.59985
44.49720
38.33101
32.11832
25.82321
19.38704
12.51798
0.0079
0.1898
0.5380
0.4265
0.7274
0.3766
0.2779
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
123 SINGAPURA
Date: 03/28/10 Time: 09:35
Sample (adjusted): 1972 2008
Included observations: 37 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted)
Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
0.742577
0.683761
0.601485
0.395739
0.297920
0.268193
0.176362
177.3049
127.0946
84.49801
50.45763
31.81889
18.73172
7.178893
150.5585
117.7082
88.80380
63.87610
42.91525
25.87211
12.51798
0.0006
0.0111
0.0982
0.3937
0.3983
0.2969
0.3262
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None
At most 1
At most 2
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
0.742577
0.683761
0.601485
0.395739
0.297920
0.268193
0.176362
50.21028
42.59657
34.04038
18.63873
13.08717
11.55283
7.178893
50.59985
44.49720
38.33101
32.11832
25.82321
19.38704
12.51798
0.0548
0.0793
0.1434
0.7559
0.7969
0.4579
0.3262
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
124 THAILAND
Date: 03/30/10 Time: 20:43
Sample (adjusted): 1972 2008
Included observations: 37 after adjustments
Trend assumption: Quadratic deterministic trend
Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM1
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2 *
At most 3 *
At most 4 *
At most 5
At most 6
0.767525
0.682470
0.593827
0.517067
0.431947
0.320397
0.070964
194.6348
140.6529
98.20717
64.87109
37.93962
17.01463
2.723485
139.2753
107.3466
79.34145
55.24578
35.01090
18.39771
3.841466
0.0000
0.0001
0.0010
0.0056
0.0236
0.0772
0.0989
Trace test indicates 5 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
0.767525
0.682470
0.593827
0.517067
0.431947
0.320397
0.070964
53.98192
42.44574
33.33608
26.93147
20.92499
14.29114
2.723485
49.58633
43.41977
37.16359
30.81507
24.25202
17.14769
3.841466
0.0165
0.0636
0.1293
0.1388
0.1298
0.1243
0.0989
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
125 PHILIPINA
Date: 03/28/10 Time: 19:17
Sample (adjusted): 1972 2008
Included observations: 37 after adjustments
Trend assumption: No deterministic trend (restricted constant)
Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2 *
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
0.870032
0.805744
0.655163
0.483220
0.246615
0.184854
0.168025
224.7892
149.2920
88.66457
49.27132
24.84623
14.36859
6.806235
134.6780
103.8473
76.97277
54.07904
35.19275
20.26184
9.164546
0.0000
0.0000
0.0049
0.1254
0.4096
0.2648
0.1370
Trace test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2 *
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
0.870032
0.805744
0.655163
0.483220
0.246615
0.184854
0.168025
75.49718
60.62741
39.39325
24.42509
10.47764
7.562357
6.806235
47.07897
40.95680
34.80587
28.58808
22.29962
15.89210
9.164546
0.0000
0.0001
0.0132
0.1556
0.7961
0.6006
0.1370
Max-eigenvalue test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
126 KOREA SELATAN
Date: 03/28/10 Time: 19:27
Sample (adjusted): 1972 2008
Included observations: 37 after adjustments
Trend assumption: Quadratic deterministic trend
Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
0.765116
0.576153
0.450129
0.339334
0.263629
0.166549
0.013204
141.3814
87.78085
56.02066
33.89202
18.55528
7.232485
0.491809
139.2753
107.3466
79.34145
55.24578
35.01090
18.39771
3.841466
0.0375
0.4627
0.7232
0.8095
0.7934
0.7597
0.4831
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
0.765116
0.576153
0.450129
0.339334
0.263629
0.166549
0.013204
53.60056
31.76019
22.12864
15.33673
11.32280
6.740676
0.491809
49.58633
43.41977
37.16359
30.81507
24.25202
17.14769
3.841466
0.0182
0.5028
0.7894
0.8846
0.8179
0.7409
0.4831
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
127 JEPANG
Date: 03/28/10 Time: 10:09
Sample (adjusted): 1972 2008
Included observations: 37 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted)
Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2 *
At most 3 *
At most 4
At most 5
At most 6
0.897542
0.799482
0.566785
0.508797
0.408550
0.276489
0.220345
241.6211
157.3237
97.87017
66.91889
40.61569
21.18407
9.209427
150.5585
117.7082
88.80380
63.87610
42.91525
25.87211
12.51798
0.0000
0.0000
0.0095
0.0271
0.0834
0.1718
0.1679
Trace test indicates 4 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
0.897542
0.799482
0.566785
0.508797
0.408550
0.276489
0.220345
84.29731
59.45358
30.95128
26.30320
19.43162
11.97465
9.209427
50.59985
44.49720
38.33101
32.11832
25.82321
19.38704
12.51798
0.0000
0.0006
0.2739
0.2171
0.2773
0.4176
0.1679
Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Download