DAMPAK PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PEREKONOMIAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN+3 EVI JUNAIDI PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: DAMPAK PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PEREKONOMIAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN+3 adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2010 EVI JUNAIDI NRP. H151080274 Halaman ini sengaja dikosongkan ABSTRACT EVI JUNAIDI. 2010. The Macroeconomic Effects of Government Expenditure in ASEAN plus Three. Supervised by NOER AZAM ACHSANI and SATWIKO DARMESTO. Fiscal policy is one of the government policy to increase growth in a reasonable level. The impact of fiscal policy shock has different effect on each country around the world. The effect of government spending shocks led to increase growth in USA but decrease growth in Germany, as reflected by the decline in private investment. This study aims to analyze the effects of government expenditure in ASEAN plus Three, by using vector error correction model (VECM), impulse response function (IRF), forecasting error variance decomposition (FEVD) and pass-through effect. The data which is used in this research are Gross Domestic Product (GDP), government spending, consumption, investment, Consumer Price Index (CPI) and interest rates. This data is annual data from the years 1970-2008. Sources of data obtained from the Statistics Indonesia (BPS), CEIC and IFS. The result shows that the impact of government spending toward fiscal variable is the same in Asean+3 countries, except in Singapore and Japan.The government spending increase is responded positive by GDP, consumption, and investment, while in Singapore and Japan is responded negative. The biggest positive response occured in Indonesia and Philipines, while in Thailand, Malaysia and Korea have relative the same response. The shock of government spending toward monetary variable (CPI and interest rates) has a different impact in each country. Positive response of CPI occurred in Korea and Malaysia, on the other hand negative. The increase of interest as the consequence of government spending happened in Philippines, Malaysia, Thailand and Korea, while in other countries the decrease of interest is occurred. Based on the result of Variance decomposition, GDP variables more dominant explained variability in GDP, consumption, and investment. Variability in CPI and interest rates is influenced by internal factor it’s self. Keywords: Fiscal policy, VECM, IRF, FEVD and pass-through effect Halaman ini sengaja dikosongkan RINGKASAN EVI JUNAIDI. 2010. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3. Dibawah bimbingan NOER AZAM ACHSANI dan SATWIKO DARMESTO. Pemerintah mempunyai dua perangkat kebijakan makroekonomi utama yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kedua kebijakan ini dilakukan untuk membuat perekonomian tumbuh pada tingkat wajar dan tingkat inflasi yang rendah. Kebijakan tersebut juga digunakan pemerintah untuk menghadapi resesi singkat. Dalam pelaksanaannya, kebijakan stimulus fiskal dapat ditempuh melalui instrumen kenaikan belanja negara (spending increase), penurunan tarif pajak (tax cut) atau kenaikan belanja negara yang dibiayai kenaikan tarif pajak. Program stimulus fiskal telah dilakukan oleh beberapa negara yang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat dari krisis global yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008. Pengaruh guncangan (shock) dari kebijakan fiskal mempunyai dampak yang berbeda-beda terhadap masing-masing negara di dunia. Pengaruh guncangan pengeluaran pemerintah di Jerman menyebabkan pertumbuhan PDB yang negatif, yang dicerminkan oleh turunnya investasi swasta. Pengeluaran pemerintah di Italia menyebabkan efek positif yang relatif kecil terhadap PDB tetapi konsumsi dan investasi menjadi turun. Guncangan ini menyebabkan terjadinya crowding out, karena kenaikan pengeluaran pemerintah menyebabkan terjadinya inflasi. Pengeluaran pemerintah di Amerika Serikat menyebabkan kenaikan PDB yang positif tetapi relatif kecil dan tidak signifikan (Afonso 2009). Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian di Negara-negara ASEAN+3 yang meliputi: PDB, konsumsi, investasi, harga dan suku bunga. Data ini merupakan data tahunan dari tahun 1970-2008 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), CEIC dan IFS. Penelitian ini mencakup Negara ASEAN+3 yaitu: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Korea Selatan dan Jepang. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah vector autoregression (VAR) atau vector error correction model (VECM). Software yang digunakan dalam menyelesaikan penelitian ini adalah software Microsoft Excel dan Eviews 6.0. Keterbatasan dari penelitian ini adalah cakupan negara hanya Negara ASEAN-5 serta Korea dan Jepang, sedangkan negara lainnya tidak dimasukkan karena keterbatasan data. Proses yang didapat dari penelitian ini diantaranya pengujian pra estimasi meliputi pengujian akar unit, penetapan lag optimum, uji kestabilan dan uji kointegrasi. Pada pengujian stasioneritas, didapatkan data stasioner pada first different dan lag optimum untuk masingmasing negara adalah lag satu. Semua Negara mempunyai hubungan kointegrasi, sehingga dilakukan analisis VECM. Berdasarkan analisis VECM ini dapat ditentukan impulse response function (IRF), forecasting error variance decomposition (FEVD) dan pass-through effect. Hasilnya menunjukkan bahwa dampak pengeluaran pemerintah terhadap variabel fiskal sama di Negara-negara ASEAN+3, kecuali Singapura dan Jepang. Kenaikan pengeluaran pemerintah direspon positif oleh PDB, konsumsi dan investasi, sementara itu di Singapura dan Jepang kenaikan pengeluaran pemerintah direspon negatif. Respon positif terbesar terjadi di Indonesia dan Philipina, sedangkan di Thailand, Malaysia dan Korea mempunyai respon yang relatif sama. Guncangan pengeluaran pemerintah terhadap variabel moneter (IHK dan suku bunga) memberikan pengaruh yang berbeda-beda di masing-masing negara. Respon IHK yang positif terjadi di Korea dan Malaysia, sedangkan negara lainnya merespon negatif. Kenaikan suku bunga akibat pengeluaran pemerintah terjadi di Philipina, Malaysia, Thailand dan Korea, sementara itu di negara lainnya terjadi penurunan suku bunga. Berdasarkan hasil variance decomposition, variabel PDB lebih dominan menjelaskan variabilitas pada PDB, konsumsi dan investasi. Variabilitas pada IHK dan suku bunga dipengaruhi oleh faktor internal itu sendiri. Kata kunci: Pengeluaran Pemerintah, VECM, IRF, FEVD and pass-through effect © Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2 Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB Halaman ini sengaja dikosongkan DAMPAK PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PEREKONOMIAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN+3 Oleh: EVI JUNAIDI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis : Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Perekonomian di Negara-negara ASEAN +3 Nama : Evi Junaidi NRP : H151080274 Program Studi : Ilmu Ekonomi Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Noer Azam Achsani Dr. Satwiko Darmesto Ketua Anggota Diketahui Ketua Program Studi Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MSi Tanggal Ujian : 27 Maret 2010 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Lulus : KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Judul tesis ini adalah “Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. Noer Azam Achsani selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Satwiko Darmesto selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, mulai dari Dr. D.S. Priyarsono hingga Dr. Nunung Nuryartono selaku Ketua Program Studi dan Dr. Sri Mulatsih hingga Dr. Lukytawati selaku sekretaris Program Studi. Terima kasih juga disampaikan kepada penguji Tesis yaitu Prof. Hermanto Siregar yang telah memberikan banyak masukan dalam perbaikan tesis ini. Terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada istri tercinta Yuni Deldia Sari dan buah hati Ghania Aqila Nasha yang telah memberikan kekuatan luar biasa kepada penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini. Ibunda Junita Asni serta adinda Niza Anggraini dan Ikrar Satri Dinata yang selalu memberi semangat, dorongan dan doa yang tulus. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman BPS baik di BPS Provinsi Sumatera Barat serta BPS Jakarta yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga dalam menyelesaikan tesis ini. Tidak ada satupun yang sempurna, begitu juga tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya, penulis berharap bahwa apa yang telah penulis kerjakan ini dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak dan menjadi landasan yang baik menuju tahap berikutnya. Bogor, Maret 2010 Evi Junaidi RIWAYAT HIDUP Evi Junaidi, dilahirkan di Batusangkar pada tanggal 13 Juni 1976 dari pasangan Syamsir (alm) dan Junita Asni. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan Yuni Deldia Sari dan telah dikaruniai seorang putri: Ghania Aqila Nasha. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Inpres Limakaum pada tahun 1983 sampai dengan tahun 1989, Sekolah Lanjutan Tingkat Tingkat Pertama Negeri Limakaum pada tahun 1989 sampai dengan tahun 1992, dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas 1 Batusangkar pada tahun 1992 sampai dengan tahun 1995. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta sampai tahun 2000, dan memperoleh gelar Sarjana Sain Terapan (SST). Setelah tamat STIS, penulis menjalani ikatan dinas di BPS Propinsi Sumatera Barat dari tahun 2000 sampai tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Program S2 Penyelenggaraan Khusus BPS-IPB di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Halaman ini sengaja dikosongkan DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................. i DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x DAFTAR SINGKATAN .............................................................................. xii I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 3 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 4 1.4 Kegunaan Penelitian ....................................................................... 4 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .................................. 5 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ............... 7 2.1 Tinjauan Teori ................................................................................. 7 2.1.1 Peranan Pemerintah ............................................................. 7 2.1.2 Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ................... 9 2.1.3 Pengeluaran Pemerintah ...................................................... 14 2.1.4 Kurva IS-LM ....................................................................... 16 2.1.5 Model Teori Pertumbuhan ................................................... 17 2.1.6 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pengeluaran Pemerintah .......................................................................... 25 2.1.7 Crowding Out ...................................................................... 27 2.1.8 Konsep dan Definisi ............................................................ 28 2.2 Penelitian-Penelitian Terdahulu ...................................................... 30 2.3 Kerangka Pemikiran........................................................................ 39 2.4 Hipotesis Penelitian ........................................................................ 39 III. METODE PENELITIAN...................................................................... 41 3.1 Jenis dan Sumber Data .................................................................... 41 3.2 Metode Analisis Data ...................................................................... 42 3.2.1 Vector Autoregression (VAR) ........................................... 42 II. vi 3.2.2 Uji Stasioneritas................................................................... 43 3.2.3 Penetapan Lag Optimal ....................................................... 44 3.2.4 Uji Kointegrasi .................................................................... 45 3.2.5 Vector Error Correction Model (VECM) .......................... 46 3.2.6 Impulse Response Function (IRF) ....................................... 46 3.2.7 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) .............. 47 3.2.8 Derajat Pass-Through.......................................................... 47 3.3 Model Penelitian ............................................................................ 48 3.4 Kerangka Analisis Data ................................................................. 49 IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3....................................... 51 4.1 Pertumbuhan Ekonomi ASEAN+3................................................ 51 4.2 Komposisi PDB ............................................................................. 53 4.3 Konsumsi Swasta........................................................................... 55 4.4 Pengeluaran Pemerintah ................................................................ 56 4.5 Investasi ......................................................................................... 57 4.6 Inflasi ............................................................................................. 58 4.7 Suku Bunga ................................................................................... 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 61 5.1 Uji Stasioneritas Data .................................................................... 61 5.2 Penentuan Lag Optimal ................................................................. 62 5.3 Pengujian Stabilitas VAR .............................................................. 62 5.4 AnalisisKointegrasi ....................................................................... 63 5.5 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap PDB ........................ 64 5.5.1 Analisis Impulse Response Function (IRF) ......................... 64 5.5.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)......... 66 5.5.3 Derajat Pass-Through.......................................................... 68 5.5.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah tehadap PDB.. 69 5.6 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Konsumsi ................ 71 5.6.1 Analisis Impulse Response Function (IRF) ......................... 71 5.6.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)......... 73 5.6.3 Derajat Pass-Through.......................................................... 75 vii 5.6.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah tehadap Konsumsi ............................................................................................. 76 5.7 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Investasi .................. 77 5.7.1 Analisis Impulse Response Function (IRF) ......................... 77 5.7.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)......... 79 5.7.3 Derajat Pass-Through.......................................................... 81 5.7.4 Analisis Pengaruh G tehadap Investasi ............................... 82 5.8 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap IHK ......................... 83 5.8.1 Analisis Impulse Response Function (IRF) ......................... 83 5.8.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)......... 83 5.8.3 Derajat Pass-Through.......................................................... 87 5.8.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah tehadap IHK .. 88 5.9 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Suku Bunga............. 88 5.9.1 Analisis Impulse Response Function (IRF) ......................... 88 5.9.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)......... 90 5.9.3 Derajat Pass-Through.......................................................... 92 5.9.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah tehadap IHK .. 93 5.10 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah di Indonesia ......................... 93 VI. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 95 6.1 Simpulan ........................................................................................ 95 6.2 Saran .............................................................................................. 95 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 97 LAMPIRAN .................................................................................................. 101 viii DAFTAR TABEL Tabel Halaman 2.1 Rekap penelitian terdahulu ..................................................................... 34 3.1 Variabel yang digunakan dalam penelitian ............................................. 41 5.1 Analisis Kointegrasi ................................................................................ 63 5.2 Derajat Pass-Through G terhadap PDB .................................................. 69 5.3 Derajat Pass-Through G terhadap konsumsi .......................................... 76 5.4 Derajat Pass-Through G terhadap investasi............................................ 82 5.5 Derajat Pass-Through G terhadap indeks harga konsumen .................... 87 5.6 Derajat Pass-Through G terhadap suku bunga ....................................... 92 ix DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 2.1 Pertumbuhan pengeluaran pemerintah menurut wagner ..................... 11 2.2 Teori Peacock dan Wiseman ............................................................... 13 2.3 Perkembangan pengeluaran pemerintah .............................................. 14 2.4 Kenaikan belanja pemerintah dalam Model IS-LM ............................ 15 2.5 Penurunan pajak dalam Model IS-LM ................................................ 17 2.6 Investasi aktual dan break-even........................................................... 24 2.7 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB ............................................... 26 2.8 Kerangka pemikiran ............................................................................ 39 3.1 Tahapan dan metode analisis data ....................................................... 50 4.1 Perkembangan PDB riil Negara ASEAN+3 tahun 1970-2008............ 51 4.2 Tingkat pertumbuhan PDB .................................................................. 52 4.3 Perkembangan komposisi PDB masing-masing negara ...................... 54 4.4 Peranan konsumsi terhadap PDB ........................................................ 55 4.5 Peranan pengeluaran pemerintah terhadap PDB ................................. 57 4.6 Peranan investasi terhadap PDB .......................................................... 58 4.7 Tingkat inflasi Negara-negara ASEAN+3........................................... 59 4.8 Tingkat suku bunga Negara-negara ASEAN+3 .................................. 60 5.1 Respon PDB terhadap guncangan G ................................................... 65 5.2 FEVD PDB .......................................................................................... 67 5.3 Hubungan derajat pass-through dengan PDB per kapita .................... 70 5.4 Respon konsumsi terhadap guncangan G ............................................ 72 5.5 FEVD konsumsi .................................................................................. 74 5.6 Hubungan derajat pass-through dengan konsumsi per kapita ............. 77 5.7 Respon investasi terhadap guncangan G ............................................. 78 5.8 FEVD investasi .................................................................................... 80 5.9 Hubungan derajat pass-through dengan investasi per kapita .............. 82 5.10 Respon harga terhadap guncangan G .................................................. 84 5.11 FEVD harga ......................................................................................... 86 5.12 Respon suku bunga terhadap guncangan G ......................................... 89 5.13 FEVD suku bunga ............................................................................... 91 x DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Stasioneritas Data ................................................................................ 101 2. Uji Lag Optimal ................................................................................... 108 3. Pengujian Stabilitas VAR .................................................................... 111 4. Pengujian Kointegrasi (Summary) ...................................................... 114 5. Pengujian Kointegrasi (Asumsi).......................................................... 121 xi DAFTAR SINGKATAN ADF AIC APBN ART ASEAN BPS BSVAR CGE COR FEM FEVD FPE GARCH HPAEs HQ IFS IHK IHP I/O IRF LR MPC MPS MPT PDB PNB SDM SIC SVAR VAR VECM VMA : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : Augmented Dicky Fuller Akaike Information Criterion Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara Anggota Rumah Tangga Assosiation South East Asian Nation Badan Pusat Statistik Bayesian Structural Vector Autoregression Computable General Equilibrium Capital Output Rasio Fixed Effect Model Forecasting Error Variance Decomposition Final Prediction Error Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasticity High Performing East Asian Economies Hannan Quinn Criterion International Financial Statistics Indeks Harga Konsumen Indeks Harga Produsen Input/Output Impulse Response Function Likelihood Ratio Marginal Propensity to Consume Marginal Propensity to Saving Marginal Propensity to Tax Produk Domestik Bruto Produk Nasional Bruto Sumber Daya Manusia Schwarrz Information Criterion Structural Vector Autoregression Vector Autoregression Vector Error Correction Model Vector Moving Average xii Halaman ini sengaja dikosongkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada dasarnya untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, oleh karena itu sampai pada batas-batas tertentu diperlukan campur tangan pemerintah dalam mewujudkannya. Intervensi pemerintah terutama diperlukan karena adanya kegagalan pasar (market failure) yang disebabkan oleh: (i) barang publik (public goods), (ii) eksternalitas, (iii) monopoli alamiah dan (iv) informasi tidak sempurna (Stiglitz 2000). Intervensi pemerintah Amerika Serikat dalam bidang ekonomi telah berkembang makin intensif sejak tahun 1930-an, baik sebagai respon atas terjadinya depresi besar (great depression), maupun karena semakin berkembangnya peranan pemerintah dalam perekonomian dan pembangunan. Peranan pemerintah semakin besar seiring dengan semakin besarnya tantangan yang dihadapi, serta semakin kompleksnya intensitas permasalahan yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemerintah mempunyai dua perangkat kebijakan perekonomian makro yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kedua kebijakan ini dilakukan untuk membuat pertumbuhan ekonomi tumbuh dengan tingkat wajar dan tingkat inflasi serta pengangguran yang rendah. Kebijakan tersebut juga digunakan pemerintah untuk menghadapi resesi singkat, seperti yang terjadi pada tahun 1991 di Amerika Serikat dan untuk mencegah booming yang diluar kendali. Intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Salah satu bentuk intervensi pemerintah secara langsung adalah dengan intervensi anggaran (budget interventions) melalui kebijakan fiskal (fiscal policies). Kebijakan fiskal dapat dilakukan dengan kebijakan perpajakan, kebijakan bukan pajak, kebijakan anggaran belanja negara maupun kebijakan pembiayaan anggaran. Intervensi pemerintah secara tidak langsung dapat ditempuh melalui berbagai regulasi atau peraturan pemerintah. 2 Tujuan dari kebijakan fiskal adalah untuk mencapai sasaran ekonomi makro yang lebih luas, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mencapai keseimbangan internal dan mencapai keseimbangan eksternal. Ketiga tujuan ini tidak dapat dilakukan sendiri dengan kebijakan fiskal, tetapi perlu dikoordinasikan dengan berbagai kebijakan makro lainnya yaitu kebijakan moneter dan nilai tukar (exchange rate). Kebijakan fiskal tidak hanya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sedang menurun (misalnya dalam situasi krisis atau resesi ekonomi), namun juga dapat ditujukan untuk menstabilkan perekonomian yang terlalu panas (over heating). Salah satu contohnya bila terjadi inflasi yang tinggi (over inflation). Kebijakan fiskal yang ditujukan untuk mendorong roda perekonomian sering disebut dengan kebijakan fiskal ekspansif atau deficit budget. Kebijakan ini intinya merupakan kenaikan rasio belanja negara terhadap pendapatan negara, yang pada dasarnya berupa penambahan defisit anggaran atau penurunan surplus anggaran. Kebijakan tersebut dikenal juga dengan kebijakan pemberian stimulus fiskal. Kebijakan stimulus fiskal dalam prakteknya dapat ditempuh melalui instrumen kenaikan belanja negara (spending increase), penurunan tarif pajak (tax cut) atau kenaikan belanja negara yang dibiayai kenaikan tarif pajak. Program stimulus fiskal ini dapat digunakan untuk mengantisipasi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Stimulus fiskal dimaksudkan untuk merangsang perekonomian agar tetap bergerak dan tumbuh. Program tersebut telah dilakukan oleh beberapa negara yang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat dari krisis global yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008. Besaran alokasi dana untuk kebijakan stimulus fiskal pada tahun 2008 bervariasi antar negara, contohnya India dan Korea Selatan mengalokasikan anggaran sebesar 0.9% dari Produk Domestik Bruto (PDB), Thailand 1.8%, China 0.6%, dan Malaysia 4.4% (tertinggi di Asia). Indonesia mengeluarkan dana untuk stimulus fiskal pada tahun 2009 melalui kesepakatan DPR, ditetapkan sebesar 73.3 triliun rupiah (1.6% dari PDB). Berbagai hasil kajian empiris di beberapa negara maju menunjukkan bahwa pengganda fiskal cenderung bersifat positif dengan besaran 0.6 sampai dengan 1.4, sedangkan di negara-negara berkembang, penggandanya mendekati angka satu (Hemming et al 2002). 3 Pengaruh guncangan (shock) dari kebijakan fiskal mempunyai dampak yang berbeda-beda terhadap masing-masing negara di dunia. Pengaruh guncangan dari pengeluaran pemerintah di Jerman menyebabkan pertumbuhan PDB yang negatif, yang dicerminkan oleh turunnya investasi swasta. Pengeluaran pemerintah di Italia menyebabkan efek positif yang relatif kecil terhadap PDB tetapi konsumsi dan investasi menjadi turun. Guncangan ini menyebabkan terjadinya crowding out, karena kenaikan pengeluaran pemerintah menyebabkan terjadinya inflasi. Pengeluaran pemerintah di Amerika Serikat menyebabkan kenaikan PDB yang positif tetapi relatif kecil dan tidak signifikan (Afonso dan Sousa 2009). Berdasarkan informasi di atas, terlihat bahwa dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian memang bervariasi, sehingga sulit untuk diprediksi bagaimana pengaruh kebijakan tersebut terhadap kondisi perekonomian suatu negara. Di Indonesia, kondisi ini semakin dipersulit dengan minimnya penelitian yang mengkaji pengaruh kebijakan fiskal terhadap perekonomian. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian tentang kebijakan fiskal khususnya pengeluaran pemerintah. Penelitian ini tidak hanya melihat dampak guncangan kebijakan fiskal terhadap PDB, tetapi juga melihat pengaruhnya terhadap variabel makroekonomi yang lain, diantaranya konsumsi, investasi, Indeks Harga Konsumen (IHK) dan suku bunga. Penelitian ini juga melihat pengaruh kebijakan fiskal di Negara ASEAN+3 lainnya. Hal ini akan menjadi menarik karena adanya rencana penyatuan mata uang ASEAN pada tahun 2015. Hasilnya dapat dijadikan pertimbangan dari sisi kebijakan fiskal terhadap rencana penyatuan mata uang ASEAN. 1.2 Perumusan Masalah Kebijakan fiskal tidak hanya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sedang menurun (misalnya dalam situasi krisis atau resesi ekonomi), namun juga dapat ditujukan untuk menstabilkan perekonomian yang terlalu panas (over heating). Salah satu contohnya bila terjadi inflasi yang tinggi (over inflation). Kebijakan fiskal ini diharapkan dapat memengaruhi variabelvariabel ekonomi dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengalaman 4 dari penelitian di negara-negara lain menunjukkan bahwa kebijakan fiskal mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan utama yang ingin dibahas di dalam penelitian ini adalah melihat pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap variabel-variabel makroekonomi di Negara ASEAN+3. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan dalam sebuah pertanyaan sebagai berikut: Bagaimanakah dampak pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian di Negara ASEAN+3? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian di Negara ASEAN+3 yang meliputi: 1 Pertumbuhan ekonomi (PDB) 2 Konsumsi 3 Investasi 4 Indeks Harga Konsumen (IHK) 5 Suku bunga 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri juga bagi pihak-pihak lain, antara lain: 1 Memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai dampak pengeluaran pemerintah di Negara ASEAN+3 terhadap pertumbuhan ekonomi. 2 Bagi penulis dapat meningkatkan pengetahuan, wawasan dan memberikan pemahaman yang semakin mendalam tentang pengeluaran pemerintah dan pengaruhnya terhadap variabel makro lainnya. 3 Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi masukan dalam rangka perbaikan kebijakan fiskal khususnya pengeluaran pemerintah untuk masa yang akan datang. 4 Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kondisi terkini tentang dampak pengeluaran pemerintah terhadap indikator penting dalam ekonomi. 5 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan. Pertama, memberikan gambaran secara umum mengenai kebijakan fiskal dan keadaan perekonomian Negara ASEAN+3. Kedua, melihat pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian dan variabel makro lainnya dengan menggunakan analisis vector autoregression (VAR) atau vector error correction model (VECM). Analisis ini digunakan untuk masing-masing negara dan membandingkan pengaruhnya untuk masing-masing negara tersebut. Ketiga melakukan telaah dan analisis terhadap hasil estimasi dari model ekonometrika yang dibangun serta memberikan beberapa kesimpulan. Ruang lingkup penelitian ini adalah Negara ASEAN+3 yang terdiri dari tujuh negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Korea Selatan dan Jepang. Analisis menggunakan data time series tahunan dari tahun 1970-2008. Model yang digunakan yaitu analisis VAR atau VECM untuk masingmasing negara. Variabel yang digunakan meliputi pengeluaran pemerintah, PDB, konsumsi, investasi, harga dan suku bunga. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, Negara yang dianalisis untuk kawasan ASEAN+3 hanya tujuh negara. Kedua, variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari enam variabel, yang menggunakan data time series tahunan dari tahun 1970-2008. Ketiga, variabel yang digunakan untuk melihat pengaruh kebijakan fiskal ini hanya dari sisi pengeluaran pemerintah (government expenditure). II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Peranan Pemerintah Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih baik dari swasta atau individu. Fungsi pemerintah ada tiga hal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi (Stiglitz 2000). Tiga hal yang relevan dengan keuangan negara adalah redistribusi pendapatan, penyediaan barang publik, dan perlindungan sosial (Gramlich 1990). Alasan peranan pemerintah dibutuhkan dalam perekonomian adalah: 1 Menyediakan legal system atau peraturan-peraturan yang tidak dapat disediakan oleh sektor swasta 2 Mengoreksi bila terjadi kegagalan pasar, adapun kegagalan pasar diantaranya: a. Kompetisi tidak sempurna, dalam pasar yang tidak sempurna dan cenderung monopoli, harga yang terjadi biasanya lebih tinggi dan jumlah produksi lebih sedikit. Pemerintah diharapkan dapat mengatur dan memperbaiki agar kesejahteraan masyarakat tidak berkurang. b. Barang publik mempunyai karakteristik non exludable dan non rivalry. Sifat barang publik yang seperti itu maka akan menimbulkan fenomena free rider artinya orang akan berlomba-lomba untuk tidak membayar dalam menikmati barang tersebut. Sistem penyediaan barang seperti ini tidak dapat dilakukan oleh sektor swasta, sehingga pemerintah yang menyediakannya. c. Eksternalitas pasar bersifat egois (selfish), sehingga yang dipikirkan adalah meminimalkan biaya sedangkan dampak secara tidak langsung seperti dampak sosial tidak diperhitungkan. d. Adanya kegagalan informasi, dalam beberapa hal masyarakat sangat membutuhkan informasi yang tidak dapat disediakan oleh pihak swasta, misalnya perkiraan cuaca. Bidang pertanian dan kelautan sangat membutuhkan informasi cuaca, akan tetapi pihak swasta tidak ada yang 8 menyediakannya. Pemerintah yang harus menyediakan informasi cuaca tersebut. Fungsi distribusi sebagai salah satu fungsi utama pemerintah bertujuan untuk menghasilkan distribusi pendapatan yang merata, karena kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkannya. Distribusi pendapatan yang relatif merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat secara umum. Tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat. Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran untuk meningkatkan pengeluaran agregat dalam resesi dan depresi. Pemerintah dapat memengaruhi perekonomian makro melalui dua saluran kebijakan: kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku pemerintah di bidang pengeluaran dan perpajakan, dengan kata lain kebijakan anggarannya. Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu: a kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa. b kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan c kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga. Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan mempunyai tujuan ganda, yaitu menyediakan dana untuk kepentingan umum dan memengaruhi tingkah laku ekonomi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk menurunkan permintaan apabila ekonomi sedang baik dan diturunkan kalau ingin meningkatkan permintaan pada waktu resesi. Berdasarkan sisi pengeluaran, dilihat penggunaan dari dana yang diperoleh, yang ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran dan tujuan negara. 9 Sumber-sumber penerimaan negara antara lain dari pajak, penerimaan bukan pajak serta bantuan/pinjaman dari luar negeri. Pengeluaran dibagi menjadi dua kelompok besar yakni pengeluaran yang bersifat rutin seperti membayar gaji pegawai, belanja barang serta pengeluaran yang bersifat pembangunan. Secara umum, kebijakan fiskal merupakan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara). 2.1.2 Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Pembangunan ekonomi pada dasarnya adalah upaya untuk memperluas kemampuan dan kebebasan memilih. Tercapainya hal tersebut merupakan indikator bahwa manusia secara individu maupun kolektif dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Faktor penting harus dibangun adalah: kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), sarana dan prasarana serta kelembagaan-kelembagaan ekonomi modern. Kesemuanya itu tidak bisa berlangsung dengan sendirinya jika hanya mengandalkan mekanisme pasar. Terciptanya pembangunan ekonomi sangat tergantung dari peran pemerintah antara lain dimanifestasikan lewat pengeluaran pemerintah. Teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh para ahli ekonomi dan dapat digolongkan menjadi tiga golongan (Mangkoesoebroto 1997), yaitu: 1 Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, pembangunan kesehatan, ekonomi, prasarana transportasi. Pada tahap menengah investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, karena peranan swasta yang semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus 10 menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin kompleks. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1983) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2 Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negaranegara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota diformulasikan sebagai berikut: ೖ భ భ < ೖ మ మ <…< ೖ masyarakat lainnya. Hukum Wagner 11 Keterangan: PkPP : Pengeluaran pemerintah perkapita PPK : Pendapatan per kapita (PDB / jumlah penduduk) 1, 2,…, n : jangka waktu (tahun) Hukum Wagner ditunjukkan dalam Gambar 2.1, dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponential yang ditunjukkan oleh kurva 1. 3 Teori Peacock dan Wiseman Peacock dan Wiseman adalah dua orang yang mengemukakan teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang terbaik. Teori mereka didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Teori Peacock dan Wiseman merupakan dasar teori pemungutan suara. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena. Sumber: Mangkoesoebroto 1997 Gambar 2.1 Pertumbuhan pengeluaran pemerintah menurut Wagner 12 Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Peningkatan pada PDB dalam keadaan normal menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Salah satu cara untuk meningkatkan penerimaannya tersebut adalah dengan menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak bisa dibiayai hanya dengan pajak, sehingga pemerintah juga harus meminjam ke negara lain untuk pembiayaan perang. Setelah perang selesai, sebetulnya pemerintah dapat menurunkan kembali tarif pajak pada tingkat sebelum adanya gangguan. Hal tersebut tidak dilaksanakan karena pemerintah harus mengembalikan bunga pinjaman dan angsuran utang yang digunakan untuk membiayai perang, sehingga pengeluaran pemerintah setelah perang selesai meningkat tidak hanya karena PDB naik, tetapi juga karena pengembalian utang dan bunganya. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta, ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak tidak turun kembali pada tingkat sebelum terjadinya perang, hal ini dapat dilihat dari Gambar 2.2. 13 Sumber: Mangkoesoebroto 1997 Gambar 2.2 Teori Peacock dan Wiseman Pada keadaan normal dari tahun t ke t+1, pengeluaran pemerintah dalam persentase terhadap PDB naik sebagaimana ditunjukkan garis AG. Apabila pada tahun t terjadi perang maka pengeluaran pemerintah naik sebesar AC dan kemudian naik seperti ditunjukkan garis CD. Setelah perang selesai pada tahun t+1 pengeluaran pemerintah tidak turun ke G, yaitu tingkat pengeluaran pemerintah apabila tidak terjadi perang. Hal ini disebabkan karena setelah perang pemerintah memerlukan tambahan dana untuk mengembalikan pinjaman pemerintah yang digunakan dalam pembiayaan perang. Kenaikan tarif pajak tersebut dimaklumi masyarakat, sehingga tingkat toleransi pajak naik dan pemerintah dapat memungut pajak yang lebih besar tanpa menimbulkan gangguan dalam masyarakat. Berbeda dengan pandangan Wagner, perkembangan pengeluaran pemerintah versi Peacock dan Wiseman tidak berbentuk suatu garis, tetapi berbentuk seperti tangga sebagaimana terlihat pada Gambar 2.3. Bird mengkritik hipotesa yang dikemukakan oleh Peacock dan Wiseman. Bird menyatakan bahwa selama terjadinya gangguan sosial memang terjadi pengalihan aktivitas pemerintah dari pengeluaran sebelum gangguan ke pengeluaran yang berhubungan dengan gangguan tersebut. Hal ini akan diikuti oleh peningkatan persentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB, akan tetapi setelah terjadinya gangguan, persentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB akan menurun secara perlahan-lahan kembali ke keadaan semula. Jadi menurut Bird, efek pengalihan merupakan gejala dalam jangka pendek, tetapi tidak terjadi dalam jangka panjang. 14 Sumber: Mangkoesoebroto 1997 Gambar 2.3 Perkembangan pengeluaran pemerintah Satu hal yang perlu dicatat dari teori Peacock dan Wiseman adalah bahwa mereka mengemukakan adanya toleransi pajak, yaitu suatu limit perpajakan, akan tetapi mereka tidak menyatakan pada tingkat berapa toleransi pajak tersebut. Clarke dalam Mangkoesoebroto (1997) menyatakan bahwa limit perpajakan adalah sebesar 25% dari pendapatan nasional. Inflasi dan gangguan lainnya akan terjadi apabila limit perpajakan tersebut dilampaui. 2.1.3 Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah di Indonesia mempunyai peranan besar dalam meningkatkan dan mempertahankan permintaan agregat serta pertumbuhan ekonomi. Sumber dana yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut berasal dari penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan. Penerimaan dalam negeri pemerintah Indonesia berasal dari minyak bumi dan gas, pajak dan bukan pajak, serta tabungan pemerintah di Bank Indonesia. Penerimaan pembangunan meliputi bantuan program dan bantuan proyek. Dana penerimaan pembangunan ini sebagian besar berasal dari luar negeri baik berupa kredit komersial maupun pinjaman dengan syarat pengembalian lunak. Kondisi perbandingan antara pengeluaran dan penerimaan tersebut dapat berupa (i) anggaran surplus, bila penerimaan lebih besar dari pengeluaran, (ii) anggaran berimbang, bila penerimaan sama dengan pengeluaran, dan (iii) 15 anggaran defisit bila penerimaan lebih kecil dari pengeluaran. Pemerintah mengambil kebijakan melaksanakan anggaran berimbang untuk menghindari terjadinya inflasi yang tinggi. Kebijakan tersebut tetap dianut hingga sekarang, meskipun dalam pelaksanaannya seringkali kebijakan tersebut belum direalisasikan dengan baik. i) Dampak perubahan pengeluaran pemerintah Pemerintah dapat memengaruhi tingkat output keseimbangan dengan menambah atau mengurangi pengeluarannya. Besarnya efek perubahan pengeluaran pemerintah adalah sama dengan pengaruh perubahan investasi (Io) atau konsumsi otonomous (Co), sehingga dampak perubahan pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian dapat ditulis sebagai: ΔY = ΔG / (1-b), dimana b = Marginal Propensity to Consume (MPC) ii) Pengaruh pajak terhadap keseimbangan ekonomi Kebijakan fiskal bertujuan mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik, maka dampaknya terhadap keseimbangan harus dipahami. Salah satu cara paling mudah dengan melihat pengaruh pajak terhadap output keseimbangan. Pajak nominal, pertama kali memengaruhi pendapatan disposable. Jika pendapatan adalah Y dan pajak nominal adalah T, maka pendapatan disposable adalah: Yd = Y – T (2.1) Fungsi konsumsi menurut model Keynes adalah: C = Co + b Yd (2.2) Adanya pajak nominal, maka Yd = Y - T, sehingga fungsi konsumsi menjadi: C = Co + b (Y - T), dan fungsi pengeluaran agregat menjadi: AE = Ao + bY – bT, maka fungsi keseimbangan menjadi: Y = AE = Ao – bT + bY (2.3) Y (1 - b) = Ao – bT (2.4) Y = (Ao - bT) / (1-b) (2.5) sehingga hubungan antara perubahan pajak nominal (ΔT) dengan perubahan pendapatan keseimbangan (ΔY) adalah: ΔY = - bΔT / (1-b) (2.6) 16 2.1.4 Kurva IS-LM Perubahan kebijakan fiskal (belanja pemerintah dan pajak) akan mengubah ekuilibrium jangka pendek perekonomian. Perubahan fiskal ini akan memengaruhi pengeluaran yang direncanakan dan menggeser kurva IS. Model ISLM menunjukkan bagaimana pergeseran dalam kurva IS ini memengaruhi pendapatan nasional dan tingkat bunga. i) Perubahan belanja pemerintah Kenaikan dalam belanja pemerintah misalkan terjadi sebesar ΔG. Pengganda belanja pemerintah (the government-purchases multiplier) dalam perpotongan Keynesian menyatakan bahwa, pada tingkat bunga berapapun, perubahan dalam kebijakan fiskal ini menaikan pendapatan sebesar ΔG/(1-MPC). Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2.4, kurva IS bergeser ke kanan sebesar jumlah ini. Ekuilibrium perekonomian bergerak dari titik A ketitik B, kenaikan belanja pemerintah meningkatkan pendapatan dan bunga. Pengeluaran yang direncanakan akan naik ketika pemerintah meningkatkan belanjanya atas barang dan jasa. Kenaikan pengeluaran yang direncanakan ini akan mendorong produksi barang dan jasa, yang menyebabkan pendapatan total Y meningkat. Gambar 2.4 Kenaikan belanja pemerintah dalam model IS-LM 17 Gambar 2.5 Penurunan pajak dalam model IS-LM ii) Perubahan pajak Perubahan pajak dalam model IS-LM memengaruhi perekonomian seperti halnya perubahan belanja pemerintah, kecuali bahwa pajak memengaruhi melalui konsumsi. Penurunan pajak misalnya sebesar ΔT, pemotongan pajak mendorong konsumen berbelanja lebih banyak dan karena itu meningkatkan pengeluaran yang direncanakan. Pengganda pajak dalam perpotongan Keynesian menyatakan bahwa, pada tingkat bunga berapapun, perubahan kebijakan ini menaikkan tingkat pendapatan sebesar ΔT x MPC/(1-MPC). Sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.5, kurva IS bergeser kekanan sebesar jumlah ini dan titik ekuilibrium perekonomian bergerak dari titik A ke titik B. 2.1.5 Model Teori Pertumbuhan 1 Model Ekonomi Keynesian Peran investasi termasuk investasi infrastruktur dalam aktivitas ekonomi dapat dipisahkan atas perannya sebagai komponen pengeluaran agregat dan perannya dalam proses produksi. Investasi merupakan bagian dari komponen pengeluaran agregat, sedangkan stok kapital fisik seperti infrastruktur merupakan bagian dari faktor produksi dalam fungsi produksi sektoral atau agregat. 18 Berdasarkan katagori tersebut, penjelasan teoritis mengenai peran investasi akan dilihat dari sisi permintaan dalam sebuah model makroekonomi dan sisi penawaran yang direpresentasikan oleh model pertumbuhan ekonomi. Pada bagian ini akan diuraikan teori sisi permintaan yaitu model ekonomi makro Keynesian. Model ekonomi makro Keynesian merupakan teori yang menjelaskan fluktuasi ekonomi dalam jangka pendek dengan menfokuskan perhatiannya pada sisi pengeluaran agregat. Identitas Produk Nasional Bruto (PNB) standar Keynesian, dapat diilustrasikan sebagai berikut: C + I + G + (X-M) = PNB = C + S + T + Rf (2.7) Keterangan: C : total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa I : investasi G : pengeluaran pemerintah (X – M) : ekspor bersih barang dan jasa S : tabungan swasta bruto T : penerimaan pajak bersih Rf : total pembayaran transfer ke luar negeri Identitas di atas menunjukkan bahwa kondisi ekuilibrium dicapai ketika total pengeluaran agregat sama dengan total pendapatan agregat dan keduanya sama dengan total nilai produksi barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu perekonomian. Pada posisi keseimbangan, nilai ekspor bersih sama dengan total pembayaran ke luar negeri, sehingga kedua komponen ini dapat dikeluarkan untuk penyederhanaan identitas pendapatan nasional, sebagai berikut: C + I + G = PNB = C + S + T (2.8) Seluruh komponen pengeluaran dan pendapatan agregat apabila dideflasikan terhadap tingkat harga umum yang berlaku, diperoleh identitas pendapatan nasional dalam nilai riil sebagai berikut: c+i+g =y= c+s+t (2.9) 19 Keterangan: t = t’y; t‘ > 0 c = c’yd; c’ > 0 s = s’yd ; s’ > 0 i =i ; g=g; yd = y – ty; Pada persamaan penerimaan pajak (t), total pengeluaran konsumsi (c) dan total tabungan (s) semuanya merupakan fungsi dari tingkat pendapatan, dengan kecenderungan tambahan pajak (t’) atau marginal propensity to tax (MPT), kecenderungan tambahan konsumsi (c’) atau marginal propensity to consume (MPC) dan kecenderungan tambahan tabungan (s’) atau marginal propensity to save (MPS) positif tetapi lebih kecil dari satu. Pada persamaan investasi swasta (i) dan pengeluaran pemerintah (g) diasumsikan sebagai peubah eksogenus. Seluruh komponen pengeluaran agregat apabila disubstitusikan ke sisi pengeluaran pada persamaan asal akan diperoleh pengeluaran agregat riil sebagai berikut: y = c( y − ty ) + i + g (2.10) Derivasi total pendapatan nasional, y, terhadap komponen-komponen c, t, g dan i pada persamaan diatas dan menyusunnya kembali akan menghasilkan efek pengganda (multiplier) pendapatan dari perubahan peubah eksogenus investasi swasta dan pengeluaran pemerintah sebagai berikut: dy = 1 (di + dg ) 1 − c (1 − t ) (2.11) Pada persamaan diatas, setiap perubahan peubah eksogenus investasi swasta dan pengeluaran pemerintah akan mengakibatkan perubahan pendapatan nasional sebesar hasil kali angka pengganda dengan kenaikan komponen pengeluaran tersebut. Besarnya dampak kenaikan investasi dan pengeluaran pemerintah tergantung pada MPC dan MPT. Semakin besar MPC dan semakin kecil MPT maka semakin besar dampak perubahannya terhadap pendapatan nasional. 20 2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar Model pertumbuhan Harrod dan Domar atau lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar (Harrod-Domar growth model) merupakan model pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negaranegara sedang berkembang (Todaro 2006). Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan peran ganda yang dimainkan oleh investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi memengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier, dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga memengaruhi penawaran agregat. Domar dalam hal ini hendak menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat sama dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan. Pada model Domar, dinyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat sama dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I) dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to Save=s) terhadap COR (Capital Output Rasio=k) atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: ΔY ΔK ΔI s = = = Y K I k (2.12) Keterangan: ΔY = laju pertumbuhan permintaan agregat atau output Y ΔK = laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat) K ΔI = laju peningkatan investasi I Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan atas pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan 21 aktual (the actual growth =ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan kapitaloutput (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output potensial. Laju pertumbuhan yang diinginkan adalah laju pertumbuhan yang dianggap memadai oleh para investor sehingga menjamin tercapainya kapasitas penuh atau keseimbangan permintaan dan produksi dalam jangka panjang. Permintaan agregat dianggap cukup tinggi oleh para investor pada laju pertumbuhan ini sehingga dapat menjamin terjualnya seluruh kapasitas pabrik yang ada. Output aktual akan sama dengan output potensial sehingga tidak terjadi variasi siklis dalam pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ini tercapai apabila output (aktual dan potensial), permintaan agregat, stok kapital, dan investasi tumbuh pada tingkat yang sama. Perekonomian berada pada posisi keseimbangan ketika laju pertumbuhan aktual sama dengan laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, yaitu laju pertumbuhan ekuilibrium jangka panjang. Perekonomian akan mengalami kelebihan kapasitas yang akibatnya dapat menciptakan depresi jangka panjang apabila laju pertumbuhan aktual lebih kecil daripada laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh. Jika permintaan agregat tumbuh sangat cepat sehingga laju pertumbuhan aktual melebihi laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh maka perekonomian akan mengalami inflasi tinggi jangka panjang. Ketidakseimbangan yang terjadi pada perekonomian baik karena depresi maupun inflasi, tidak ada mekanisme otomatis yang dapat membawa perekonomian pada kondisi keseimbangan. Kondisi ekuilibrium sangat jarang terjadi, sehingga Harrod sampai pada kesimpulan teorema ketidakseimbangan (disequilibrium theorem) yang menyatakan bahwa di dalam proses pertumbuhan ekonomi terkandung unsur ketidakstabilan yang sewaktu-waktu dapat mengganggu keadaan ekuilibrium. Selama proses pertumbuhan ekonomi berlangsung, tidak ada kekuatan yang secara otomatis dapat membawa penyimpangan tersebut kembali kepada kondisi ekuilibrium. 22 Stabilitas pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang hanya dapat tercapai melalui intervensi pemerintah lewat kebijakan fiskal dan moneter untuk menanggulangi gangguan penyimpangan dan ketidakstabilan. Kedua kebijakan ini sangat berperan untuk meningkatkan investasi dalam sektor infrastruktur yang akan meningkatkan permintaan agregat dalam jangka pendek dan memperluas kapasitas produksi serta menjamin keberlanjutan proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. 3 Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow Teori pertumbuhan Solow merupakan salah satu bentuk teori pertumbuhan ekonomi neoklasik yang populer. Teori ini merupakan pengembangan teori klasik yang menekankan proses pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Berdasarkan sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi merupakan proses peningkatan output atau produksi barang dan jasa per kapita yang berlangsung dalam jangka panjang (Boediono dalam Delis 2008). Peningkatan output per kapita terjadi sebagai hasil dari interaksi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Faktor produksi tersebut terdiri dari tanah dan sumber daya alam, tenaga kerja, modal dan kemajuan teknologi. Sebagian besar teori pertumbuhan ekonomi menfokuskan perhatiannya pada peran kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Secara umum pemikiran neoklasik didasarkan atas asumsi fungsi produksi kontinu yang bersifat constant returns to scale, pasar bebas yang bersaing sempurna, faktor produksi yang mobile, adanya kemungkinan substitusi di antara faktor produksi, serta anggapan tabungan yang identik dengan investasi (Todaro 2006). Berdasarkan asumsi tersebut, aktivitas perekonomian secara otomatis akan mencapai stabilitas pertumbuhan pada ekuilibriumnya dalam jangka panjang. Solow memandang proses pertumbuhan ekonomi dengan menempatkan pentingnya peran kemajuan teknologi dalam proses produksi. Model Solow diformulasikan atas anggapan bahwa unsur waktu dianggap terkandung dalam komponen kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Selain itu, kemajuan teknologi dianggap terkandung dalam tenaga kerja yang disebut tenaga kerja efektif (effective labor), labor augmenting atau Harrod-nuetral (Romer dalam Delis 2008). 23 Fungsi produksi bersifat constant returns to scale sehingga output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting input yang telah ada. Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan diasumsikan tidak penting. Berdasarkan anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu: y = f(k) (2.13) Keterangan: y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL) k= kapital per tenaga kerja efektif (K/AL) Y = output K = kapital L = tenaga kerja A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan) AL = tenaga kerja efektif (labor augmented) Menurut Solow output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara). 24 Gambar 2.6 Investasi aktual dan break-even Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.6, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Pada tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya negatif. Stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*. Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan. Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar 25 pertumbuhan ilmu pengetahuan. Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow. 2.1.6 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah yang diarahkan pada kegiatan yang relatif bersifat investasi, maka pemerintah telah menciptakan semacam input baru dalam proses produksi secara eksternal yang selanjutnya akan mendorong kegiatan usaha pada tingkat perusahaan dan pertumbuhan ekonomi pada tingkat agregat (Barro 1990). Model Barro diasumsikan bahwa aktivitas pemerintah memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Diketahui fungsi produksi Cobb Douglas sebagai berikut: y = f(k,g) = Ak1-αgα (2.14) dimana g adalah kuantitas barang dan jasa per kapita yang dibeli oleh pemerintah, yang diasumsikan tidak ada pungutan biaya apapun (user charges), y adalah output perkapita, dan k adalah stok modal perkapita serta diasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan (constant return to scale). Jika diasumsikan total pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak τ maka dapat dituliskan berikut: g = T = τy = τ Ak1-αgα (2.15) Apabila persamaan fungsi produksi diubah menjadi produktivitas marjinal modal maka: fk = A(1 - α)(g/k)α (2.16) jika total pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak pada tingkat τ di substitusikan dengan persamaan di atas maka dapat dituliskan sebagai berikut: y = kA1/1- α τ α /1- α (2.17) dimana bahwa rasio input g dan k adalah sebagai berikut: g/k = (g/y)(y/k) = τ (y/k) = (Aτ) 1- α (2.18) 26 Nilai untuk produktivitas marjinal modal dapat dituliskan kembali sebagai berikut: fk = (1 –α)A1 /1- α τ α /1- α (2.19) Solusi untuk tingkat pertumbuhan output per kapita dapat ditentukan sebagai berikut: y = c/c = (1- σ) [(1 – α)A1 /1- α τ α /1- α - ρ] (2.20) Pada persamaan di atas, bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh alokasi pembelanjaan publik dan tingkat pajak, sama halnya dengan individu memaksimalkan pertumbuhan konsumsi yang berkaitan dengan tingkat pertumbuhan dari output dan modal. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah juga digambarkan oleh kurva Scully yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gerald Scully dalam Chao (1997), yang menerangkan hubungan antara peran pengeluaran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Model kuadratik yang diformulasikan Scully, porsi pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Model dapat disimpulkan bahwa: peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol. Secara grafis dapat dilihat pada Gambar 2.7. Sumber: Chao 1997 Gambar 2.7 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB 27 2.1.7 Crowding out Dampak crowding out terjadi apabila pengeluaran pemerintah bertindak sebagai substitusi untuk pengeluaran swasta. Dampak ini bersumber dari menurunnya investasi dan apresiasi nilai mata uang, sebagai akibat dari naiknya tingkat bunga karena adanya stimulus fiskal. Besaran turunnya dampak pengganda tergantung pada hal-hal berikut (Abimanyu 2005): 1 Sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga, naiknya sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga akan menurunkan koefisien pengganda. Namun demikian, apabila investasi merupakan fungsi positif dari pendapatan, maka angka pengganda tidak terlalu berpengaruh. 2 Hubungan antara permintaan uang dengan tingkat bunga dan pendapatan. Semakin besar pengaruh tingkat bunga terhadap permintaan uang, akan semakin menekan besarnya dampak pengganda, sebaliknya dengan kenaikan pendapatan. 3 Tingkat keterbukaan ekonomi dan sistem nilai tukar yang digunakan. Keterbukaan ekonomi menimbulkan peluang substitusi permintaan, dari domestik menjadi impor, sehingga memperkecil dampak kebijakan fiskal yang diharapkan. Terkait dengan sistem nilai tukar, sistem nilai tukar fleksibel yang digunakan dapat meningkatkan crowding out, sehingga menurunkan efektivitas stimulus fiskal. 4 Flesibelitas harga berpengaruh secara negatif terhadap besarnya pengganda. 5 Rational expectation, apabila kebijakan stimulus fiskal ditempuh secara permanen, maka hal tersebut akan menimbulkan harapan akan naiknya tingkat bunga dan menguatnya nilai tukar. Sehingga stimulus fiskal menjadi kurang efektif, karena mempunyai crowding out yang cukup besar. 6 Pandangan Ricardian equivalen, kebijakan fiskal tidak memengaruhi pendapatan permanen dan pola konsumsi masyarakat. Hal ini disebabkan adanya pola pikir masyarakat yang berpendapat bahwa kenaikan pendapatan dari stimulus fiskal pasti akan diikuti dengan kenaikan pajak dimasa yang akan datang. 28 Secara teori, analisis stimulus fiskal dimulai dengan Keynesian yang meliputi kriteria negara maju atau negara berkembang, perekonomian tertutup atau terbuka, dan sistem nilai tukar tetap atau mengambang. Berdasarkan MundelFlemming Model, kebijakan fiskal tidak akan efektif pada negara dengan perekonomian terbuka dan mempunyai sistem nilai tukar tukar yang mengambang, karena crowding out melalui nilai tukar yang memengaruhi ekspor neto. 2.1.8 1 Konsep dan Definisi PDB merupakan total nilai tambah bruto yang dihasilkan unit produksi yang beroperasi disuatu wilayah negara dalam jangka waktu tertentu (BPS 2008). PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga berlaku setiap tahun, sedangkan PDB atas harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. Pendekatan dalam menghitung PDB (BPS 2008) yaitu: a Pendekatan Produksi PDB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan menjadi sembilan sektor yaitu: pertanian, pertambangan, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, transportasi, keuangan dan jasa. b Pendekatan Pendapatan PDB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi PDB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi). 29 c Pendekatan Pengeluaran PDB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok dan ekspor neto (ekspor dikurangi impor). Secara konsep ketiga pendekatan ini akan menghasilkan angka yang sama. Jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir dan harus sama dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. 2 Konsumsi rumah tangga adalah pembelanjaan barang dan jasa oleh rumah tangga. “Barang” mencakup pembelanjaan rumah tangga pada barang yang tahan lama seperti kendaraan dan perlengkapan, dan tidak tahan lama seperti makanan dan pakaian. ”Jasa” mencakup barang yang tidak berwujud konkret, seperti potong rambut dan perawatan kesehatan. Pembelanjaan rumahtangga atas pendidikan juga dimasukkan sebagai konsumsi jasa. 3 Investasi atau pembentukan modal tetap bruto adalah pembelian barang yang nantinya akan digunakan untuk memproduksi lebih banyak barang dan jasa. Investasi adalah jumlah dari pembelian peralatan modal, persediaan, dan bangunan atau struktur. Investasi pada bangunan mencakup pengeluaran untuk mendapatkan tempat tinggal baru. Menurut kesepakatan bersama, pembelian tempat tinggal baru merupakan satu bentuk pembelanjan rumah tangga yang dikategorikan sebagai investasi dan bukan sebagai konsumsi. 4 Pengeluaran pemerintah mencakup pembelanjaan barang dan jasa oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Belanja pemerintah mencakup upah pekerja pemerintah dan pembelanjaan untuk kepentingan umum. 5 Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah perbandingan nilai konsumsi bulan berjalan dengan nilai konsumsi pada tahun dasar dikalikan dengan 100. Pada tahun dasar IHK akan bernilai 100 sebab tahun berjalan sama dengan tahun dasar. IHK dipakai untuk mengukur rata-rata perubahan harga dari suatu paket komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakat/rumah tangga di suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. 30 Kegunaan IHK antara lain adalah : a sebagai barometer nilai tukar rupiah atau sebagai indikator inflasi; b sebagai landasan untuk memperbaiki/menyesuaikan gaji dan upah karyawan; c merupakan pengukur/perubahan harga konsumen; d indikator/perubahan pengeluaran rumah tangga. 6 Suku Bunga Dalam perbankan, tingkat suku bunga terbagi atas 2 jenis yaitu a Tingkat suku bunga nominal (nominal interest rate) yaitu: tingkat suku bunga yang dibayar investor untuk meminjam uang di bank atau bisa dikatakan biaya oportunitas dari memegang uang. Selain itu dapat juga berarti tingkat bunga riil dan tingkat inflasi. b Tingkat suku bunga riil (real interest rate) yaitu tingkat suku bunga nominal yang yang dikoreksi untuk menghilangkan pengaruh inflasi. Tingkat bunga riil dibedakan menjadi tingkat bunga riil ex ante (tingkat bunga riil yang diharapkan pemberi pinjaman dan peminjam ketika kesepakatan dibuat) dan tingkat bunga riil ex post (tingkat bunga riil yang terealisasi secara nyata). 2.2 Penelitian-Penelitian Terdahulu Castro (2003) dengan studinya efek kebijakan fiskal di Spanyol, penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kebijakan fiskal terhadap variabel makro yaitu PDB, inflasi, nilai tukar. Penelitian ini menggunakan metode vector autoregression (VAR), diperoleh shock fiskal mempunyai pengaruh yang lemah dan signifikan terhadap PDB, konsumsi, investasi, suku bunga dan harga. Hsing (2005) melakukan penelitian tentang pengaruh kebijakan moneter, kebijakan fiskal dan penurunan nilai mata uang terhadap output di Venezuela. Penelitian ini menggunakan metode IS-LM model dan generalized autoregressive conditional heteroskedasticity (GARCH), menggunakan data tahunan selama tahun 19592001. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa output riil berhubungan positif dengan jumlah uang beredar (M2), pengeluaran pemerintah, depresiasi mata uang Bolivar, tingkat inflasi dan harga minyak. 31 Pereira dan Sagales (2006) melihat efek kebijakan fiskal terhadap output di Portugal dengan menggunakan metode VAR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi pemerintah mempunyai efek positif yang signifikan tehadap output, tetapi pajak langsung mempunyai efek negatif yang signifikan terhadap output. Lendvai (2007) dalam studinya pengaruh kebijakan fiskal di Hungaria. Penelitian ini ingin melihat pengaruh dari perubahan pengeluaran pemerintah, menggunakan data triwulanan dari tahun 1997 sampai tahun 2005 dengan metode structural vector autoregressive (SVAR). Hasilnya memperlihatkan bahwa pergeseran dari pengeluaran pemerintah memberikan dampak campuran terhadap perekonomian. Secara khusus, rumah tangga merespon positif terhadap pengeluaran pemerintah ekspansif yang mengarah ke peningkatan pendapatan mereka, tetapi menunjukkan reaksi negatif pada perusahaan. Secara keseluruhan, peningkatan pengeluaran pemerintah menurunkan PDB. Katsimi dan Sarantides (2008) meneliti dampak kebijakan fiskal pada 19 negara maju selama tahun 1975-2000. Penelitian ini menggunakan metode fixed effect model (FEM). Hasil penelitian ini menunjukkan pengeluaran barang modal mempunyai dampak yang positif terhadap keuntungan. Pajak langsung dan tidak langsung menurunkan keuntungan. Afonso dan Sousa (2009) meneliti efek dari kebijakan fiskal menggunakan metode bayesian structural vector autoregression (BSVAR) dengan menganalisis Negara Inggris, Amerika, Jerman dan Italy. Secara umum dapat disimpulkan bahwa shock pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh: (i) efek yang kecil terhadap PDB, (ii) tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap konsumsi swasta, (iii) mempunyai efek negatif terhadap investasi swasta, (iv) mempunyai efek yang bervariasi terhadap harga rumah, (v) mendorong jatuhnya harga saham, (vii) tidak berdampak signifikan terhadap tingkat harga, (viii) efek positif dan kecil terhadap pertumbuhan tingkat agregat moneter dan (ix) mempunyai pengaruh positif terhadap produktifitas. Sementara itu shock penerimaan pemerintah berpengaruh pada (i) efek positif terhadap PDB dan investasi, (ii) efek positif terhadap harga rumah dan harga saham dan (iii) secara umum tidak ada dampak terhadap tingkat harga. Kubo (2008) meneliti dampak shock dari kebijakan moneter terhadap perekonomian, pengalaman di Thailand. Variabel yang digunakan yaitu Indeks 32 Harga Konsumen (IHK), Indeks Produksi, Indeks Harga Produsen (IHP), suku bunga pinjaman dan agregat kredit swasta, dengan menggunakan metode VAR. Dari penelitian ini diperoleh bahwa mekanisme transmisi moneter di Thailand mempunyai dampak terhadap dimensi internasional. Kontraksi moneter mempunyai efek yang negatif dan cukup kuat pada permintaan impor dalam jangka pendek walaupun harga impor turun. Gillingham, et al (2008) melihat distribusi dampak kebijakan fiskal di Honduras. Penelitian ini menggunakan data survei dari 8.175 rumah tangga dengan total anggota rumah tangga (ART) 39.500 orang. Data yang dikumpulkan adalah sumber pendapatan, belanja konsumen, akses dan penerimaan manfaat dari pengeluaran pemerintah. Hasil dari survei ini menyatakan bahwa program subsidi energi, biaya perguruan tinggi dan pensiun memberikan keuntungan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Abimanyu (2005) meneliti kebijakan fiskal dan efektifitas stimulus fiskal di Indonesia. Penelitian ini menggunakan model computable general equilibrium (CGE), menggunakan data variabel ekonomi makro yang diperoleh dari tabel input/output (I/O) tahun 2000. Penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan stimulus fiskal di Indonesia mampu memberikan hasil yang positif dan cukup signifikan. Hastuti (2007) menganalisa dampak kebijakan moneter, kebijakan fiskal dan kebijakan nilai tukar terhadap pendapatan nasional, periode sebelum dan sesudah krisis di Indonesia. Metode yang digunakan adalah VAR, dengan variabel yang diteliti adalah jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, nilai tukar dan PDB. Data merupakan data triwulanan dari Triwulan I tahun 1990 sampai Triwulan IV tahun 2006. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah uang beredar dan pengeluaran pemerintah memiliki dampak positif terhadap PDB, sedangkan dampak nilai tukar adalah negatif, dengan kata lain, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal memiliki dampak yang ekspansif, sedangkan dampak nilai tukar adalah kontraktif. Alfirman dan Sutriono (2006) menganalisis hubungan pengeluaran pemerintah dan PDB dengan menggunakan pendekatan Granger causality dan VAR. Data yang digunakan adalah data tahunan dari tahun 1970-2003. Hasilnya menunjukkan terdapat hubungan kausalitas antara total pengeluaran pemerintah 33 dengan PDB. Pengeluaran rutin tidak signifikan memengaruhi PDB karena bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti belanja untuk pembayaran bunga utang. Pengeluaran pembangunan memiliki hubungan kausalitas positif dan signifikan terhadap PDB. Indrawati (2007) melihat interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di Indonesia menggunakan pendekatan VAR. Variabel yang digunakan adalah suku bunga, pengeluaran pemerintah, IHK dan PDB. Data yang digunakan data tahunan dari tahun 1970-2006. Hasilnya memperlihatkan shock kebijakan fiskal bersifat permanen dan negatif terhadap inflasi dan direspon dengan kebijakan moneter yang ketat. Shock kebijakan moneter menyebabkan pengaruh permanen negatif pada menurunnya pertumbuhan ekonomi. Hadi (2005) menganalisis korelasi antara pendapatan nasional dan investasi pemerintah di Indonesia, 19832000, menggunakan metode VAR. Data yang digunakan data triwulanan dari tahun 1983-2000. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa investasi pemerintah di sektor fiskal, khususnya pengeluaran pembangunan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil rekapitulasi penelitian terdapat pada Tabel 2.1. 34 Tabel 2.1 Rekapitulasi penelitian terdahulu terkait dengan kebijakan fiskal di berbagai negara NO JUDUL PENELITI PENERBIT METODE VARIABEL DATA HASIL (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 Macroeconomic Impact of Monetary Policy Shocks: Evidence from Recent Experience in Thailand Akihiro Kubo. 2008 Journal of Asian Economics 19 (2008) 83-91 VAR CPI, Industrial Production Index (IP), Producer Price Index (PPI), Lending Rate (LR), Private Credit Aggregates (PCA) Data bulanan dari Mei 2000 sampai Desember 2006 (8) Mekanisme transmisi moneter di Thailand mempunyai dampak terhadap dimensi internasional. Kontraksi moneter mempunyai efek yang negatif dan cukup kuat pada permintaan impor dalam jangka pendek walaupun harga impor turun. 2 The Impact of Fiscal Policy on Profit Margarita Katsimi dan Vasilis Sarantides 2008 Fixed Effect Model profit, capital expenditure, current expenditure, pajak, surplus, upah, konsumsi, suku bunga dan pengangguran Data dari 19 negara maju selama periode 19752000 Pengeluaran barang modal mempunyai dampak yang positif terhadap keuntungan. Pajak langsung dan tidak langsung menurunkan keuntungan 3 Macroeconomic Effect of Fiscal Policy in Spain Francisco de Castro. 2003 VAR Gov expd, pajak, PDB riil, PDB deflator, interest rate data bulanan dari tahun 1980:1-2001:2 Shock fiskal mempunyai efek yang kecil terhadap PDB, konsumsi, investasi, suku bunga dan harga VAR Gov exp, current transfer (GTR), Intermediate consumption (GIC), compensation of employee (GW), public investment (GFBC), GDP, direct tax (DT) and indirect tax (TIND) Data tahunan dari tahun 1977-2004 Investasi pemerintah mempunyai efek positif yang kuat tehadap output, tetapi pajak langsung mempunyai efek negatif yang kuat terhadap output. 4 On Effect of Fiscal Policies in Portugal Alfredo M. Pereira dan Oriol Roca Sagales. 2006 Athens University of Economics and Business (AUEB) Banco de Espana. Servicio De Estudios.2003 The College of William and Mary, Department of Economics. Working Paper Number 35 35 NO JUDUL PENELITI The Impact of Fiscal in Hungaria Julia Lendvai. 2007 6 The Distributional Impact of Fiscal Policy in Honduras Robert Gillingham, , David Newhouse dan Irene Yackovlev 7 Impact of Monetary Policy, Fiscal Policy and Currency Depreciation on Output: The Case of Venezuela 5 8 What are the Effect of Fiscal Policy Shocks PENERBIT ECFIN Country Focus Vol IV, Issue 11 22.11.207 METODE SVAR IMF Working Paper, 2008 WP/08/168 Yu Hsing (2005) Briefing Notes in Economics Issue No. 65, Juli 2005 Andrew Mountford, and Harald Uhlig. SFB 649 Discussion Paper 2005039. Economic Risk Berlin. 2005 IS-LM Model and GARCH VAR VARIABEL DATA HASIL Gov exp, Tax, GDP, GDP deflator, konsumsi, investasi, pengeluaran swasta, private employment Data triwulanan dari tahun 1997:1-2005:4 Hasilnya menunjukkan bahwa shocks pengeluaran pemerintah mempunyai dampak yang berbeda terhadap perekonomian. Income rumah tangga meningkat, reaksi negatif pada sektor perusahaan sektor. Secara keseluruhan, meningkatkan pengeluaran pemerintah mengarah ke kontraksi GDP. Income, Consumer spending, access to and receipt of the benefit of government spending Menggunakan data survei dari 8.175 rumah tangga dengan total ART 39.500 orang Program subsidi energi, biaya perguruan tinggi dan pensiun memberikan keuntungan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga Data tahunan dari tahun 1959-2001 Riil output berhubungan positif dengan M2, pengeluaran pemerintah, depresiasi mata uang Bolivar, tingkat inflasi dan harga minyak Data triwulanan di Amerika Serikat dari tahun 19552000 Guncangan pengeluaran pemerintah menyebabkan peningkatan pada PDB yang kecil, tidak ada pengaruh terhadap konsumsi, penurunan pada investasi, harga dan suku bunga. real GDP, real M2, Government Spending, depreciation of the bolivar, inflation rate, world oil price. Model: Y = f(RM2, DEF,EXC,π,OIL) GDP, pivate consumption, private residential investment, non resident investment, gov expenditure, gov revenue, interest rate, adjusted reserve, producer price index for crude material, GDP deflator 36 NO 9 10 11 12 JUDUL The Macroeconomic Effect of Fiscal Policy The Effect of Fiscal Policy on Consumption and Employment: Theory and Evidence Kebijakan Fiskal dan Efektivitas Stimulus Fiskal di Indonesia Dampak Kebijakan Moneter, Kebijakan Fiskal, dan Kebijakan Nilai Tukar terhadap Pendapatan Nasional periode sebelum dan sesudah krisis di Indonesia PENELITI PENERBIT METODE VARIABEL DATA HASIL Bayesian SVAR GDP, konsumsi, investasi, wage, produktivity, G, T, GDP deflator, Housing price index, suku bunga, profit, M2, stock price, exchange rate. Data Triwulanan. USA: 1970:32007:4. Inggris: 1964:22007:4. Jerman: 1980:32006:4. Italia: 1986:2-2004:4 G mempunyai efek yang kecil thd GDP, tidak berdampak terhadap konsumsi, negatif thd investasi, bervariasi thd harga rumah, mendorong jatuhnya harga saham, tidak berdampak thd tingkat harga, efek kecil dan positif thd pertumbuhan moneter, penurunan thd nilai tukar Data triwulanan dari tahun 1960:1-1996:4 Inovasi positif dari pengeluaran pemerintah akan diikuti dengan peningkatan konsumsi dan tenaga kerja. I/O 2000 Kebijakan stimulus fiskal di Indonesia mampu memberikan hasil yang positif dan cukup signifikan 1990:1-1997:2 dan 1997:32006:4 Jumlah uang beredar dan pengeluaran pemerintah memiliki dampak positif terhadap PDB, sedangkan dampak nilai tukar adalah negatif. Secara umum, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal memiliki dampak yang ekspansif, sedangkan dampak nilai tukar adalah kontraktif Antonio Afonso dan Ricardo M.Sausa Working Paper Series. European Central Bank. No 991, Januari 2009 Antonio Fatas dan Ilian Mihov Tilburg University, 1998 VAR G, GDP, GDP deflator, Tax, Real T-bill Rate, Konsumsi dan employment Anggito Abimanyu Jurnal Ekonomi Indonesia, 2005 MOD dan CGE Variabel ekonomi makro Rini Tri Hastuti UNS VAR M2, G, Nilai Tukar, PDB 37 NO JUDUL 13 Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto dengan Menggunakan Pendekatan Granger Causality dan VAR PENELITI PENERBIT Luky Alfirman dan Edy Sutriono Jurnal Ekonomi Indonesia 4(1):25-66 14 Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia: Pendekatan VAR Yulia Indrawati 2007 Parallel Session IC: Monetary and Macroeconom y Policy 15 Analisis VAR terhadap Korelasi antara Pendapatan Nasional dan Investasi Pemerintah di Indonesia, 1983/19841999/2000 Yonathan S. Hadi. Desember 2003 Jurnal Keuangan dan Moneter, vol 6 no.2 METODE GC, VAR VAR VAR VARIABEL DATA HASIL 1970-2003 Terdapat hubungan kausalitas antara total pengeluaran pemerintah dengan PDB. Pengeluaran rutin tidak signifikan memengaruhi PDB karena bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti belanja untuk pembayaran bunga utang. Pengeluaran pembangunan memiliki hubungan kausalitas positif dan signifikan terhadap PDB. Suku bunga, G, IHK dan PDB Data tahunan 1970-2006 Shock kebijakan fiskal bersifat permanen dan negatif terhadap inflasi dan direspon dengan kebijakan moneter yang ketat. Sedangkan adanya shock kebijakan moneter menyebabkan pengaruh permanen negatif pada menurunnya pertumbuhan ekonomi PDB, pengeluaran pembangunan Data triwulanan dari 19832000 Investasi pemerintah di sektor fiskal, khususnya pengeluaran pembangunan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. G, PDB 38 NO JUDUL PENELITI PENERBIT METODE VARIABEL DATA 16 Fiscal Policy and Macroeconomic Uncertainty in Emerging Markets: The Tale of the Tormented Insurer Enrique G. Mendoza dan P. Marcelo Oviedo, 2005 University of Maryland, IMF dan NBER MPE GDP, tax, GNP, konsumsi, G, Neraca perdagangan Data Mexico. 17 A Vector Error Correction Model (VECM) of Stockmarket Return Sreedharan, Nagarathan J. April 2004 School of Economic. University of Tasmania Security Price (Close, Open, High, Low) US daily Dow Jones Industrial (DJI) index, 1990-2000 18 Fiscal Policy: Its Macroeconomics in Perspective Tobin, James. 2001 Cowles Foundation Discussion Paper No.1301 VAR, VEC HASIL 39 2.3 Kerangka Pemikiran Kerangka pikir penelitian ini mengacu pada transmisi kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal khususnya pengeluaran pemerintah akan memengaruhi variabelvariabel makro. Pengaruh variabel makro bisa secara langsung maupun tidak langsung, secara sistematis kerangka pemikiran konseptual dapat dijelaskan dalam bentuk diagram alur sebagaimana tertuang dalam Gambar 2.8. Gambar 2.8 Kerangka pemikiran 2.4 Hipotesis Penelitian Kebijakan fiskal khususnya pengeluaran pemerintah akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, konsumsi, investasi, harga dan suku bunga di Negara-negara ASEAN+3. III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah pengeluaran riil pemerintah (Gt), PBD riil (Yt), konsumsi (CCt), investasi (It), Indeks Harga Konsumen (IHKt) dan suku bunga (Rt). Keenam variabel ini merupakan bagian dari variabel makroekonomi yang diperlukan untuk studi tentang dampak dinamis perubahan kebijakan fiskal (Fatas dan Mihov 2000). Negara yang menjadi fokus penelitian adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Korea Selatan dan Jepang. Sebelum dilakukan pengolahan lebih lanjut, semua variabel dalam bentuk nominal diriilkan terlebih dahulu. Variabel yang digunakan dalam model ECM sering dalam bentuk logaritma karena dua alasan: (1) parameter variabelnya diinterpretasikan sebagai nilai elastisitas dan (2) pada variabel beda pertama (first difference) diinterpretasikan sebagai laju pertumbuhan (growth rates) dengan formula sebagai berikut (Thomas dalam Ilham 2007): ∆ (3.1) Perlakuan dengan cara ini maka semua variabel tidak memiliki satuan karena dalam bentuk laju pertumbuhan. Jika nilai parameter dikalikan 100%, satuannya menjadi seragam dalam bentuk persen. Data ini merupakan data tahunan dari tahun 1980-2008. Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), CEIC, International Financial Statistics (IFS) dan lain-lain. Secara umum variabel yang digunakan dalam penelitian ini, dirangkum dalam tabel berikut: Tabel 3.1 Variabel yang digunakan dalam penelitian No VARIABEL KETERANGAN SUMBER G riil (p=2000) CEIC, BPS PDB riil (p=2000) CEIC, BPS CC riil (p=2000) CEIC, BPS I riil (p=2000) CEIC, BPS 1 Pengeluaran pemerintah (G) 2 PDB (Y) 3 Konsumsi RT (CC) 4 Investasi (I) 5 Indeks Harga Konsumen (IHK) 2000=100 IFS 6 Suku bunga (R) Deposito IFS 42 3.2 Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis vector autoregression (VAR) jika data yang digunakan stasioner dan tidak terkointegrasi, atau menggunakan analisis vector error correction model (VECM), jika data yang digunakan stasioner, namun terkointegrasi. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Microsoft Excel 2007 dan program Eviews 6.0. 3.2.1 Vector Autoregression ( VAR) VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem. Peubah penjelas dalam VAR meliputi nilai lag seluruh peubah tak bebas dalam sistem. Pada metode VAR, variabel eksogen dan endogen tidak dapat dibedakan secara apriori. Menurut Sims (1972) hanya variabel endogen yang masuk analisis. Keunggulan metode VAR dibandingkan dengan metode ekonometri konvensional adalah (Junaidi 2008): 1 Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks (multivariate), sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan tersebut. 2 Uji VAR yang multivariate bisa menghindari parameter yang bias akibat tidak dimasukannya variabel yang relevan. 3 VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel di dalam sistem persamaan, dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogenous. 4 Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul, termasuk gejala perbedaan palsu di dalam model ekonometri konvensional, terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari penafsiran yang salah. Selain memiliki kelebihan, metode VAR juga memiliki kelemahan, adapun beberapa kelemahan yang dimiliki model VAR antara lain: 1 Model VAR lebih bersifat ateoritik karena tidak memanfaatkan informasi atau teori terdahulu. Oleh karenanya, model tersebut sering disebut model yang tidak struktural. 43 2 Mengingat tujuan utama model VAR untuk peramalan, maka model VAR kurang cocok untuk menganalisis kebijakan. 3 Pemilihan banyaknya lag yang digunakan dalam persamaaan juga dapat menimbulkan permasalahan dalam proses estimasi. Pemodelan VAR adalah bentuk pemodelan yang digunakan untuk multivariate time series. Model VAR menjadikan semua variabel bersifat endogen. Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang (lag) yang digunakan dalam model. Sesuai dengan Sims (1972), variabel yang digunakan dalam persamaan VAR dipilih berdasarkan teori ekonomi yang relevan. Pemilihan selang optimal kemudian akan menggunakan kriteria informasi seperti Akaike information criterion (AIC), Schwarz information criterion (SC), Hannan-Quinn information criterion (HQ). Model VAR secara matematis dapat diwakili oleh (Ender 2004): ∑ A (3.2) Keterangan: xt adalah vektor dari variabel-variabel endogen berdimensi (n x 1), µt adalah vektor dari variabel-variabel eksogen termasuk di dalamnya konstanta (intercept) dan tren, Ai adalah matriks-matriks koefisien berdimensi (n x n) dan ut adalah vektor dari residual-residual yang secara kontemporer berkorelasi tetapi tidak berkorelasi dengan nilai lag mereka sendiri dan juga tidak berkorelasi dengan seluruh variabel yang ada dalam sisi kanan persamaan diatas. 3.2.2 Uji Stasioneritas Data Hal penting yang berkaitan dengan studi atau penelitian yang menggunakan data time series adalah stasioneritas. Data deret waktu dikatakan stasioner jika data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu atau dengan kata lain tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data, secara kasarnya data harus horizontal sepanjang sumbu waktu. Engel dan Granger (1987) menyatakan bahwa uji akar unit dipandang sebagai uji stasioneritas, karena pada intinya uji tersebut bertujuan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model otoregresif yang ditaksir mempunyai nilai atau tidak. Jika data runtun waktu (time series) yang digunakan tidak stasioner, maka kesimpulan yang diperoleh akan menghasilkan pola hubungan regresi yang semu (spurious regression). Data yang stasioner akan 44 mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya dan berfluktuasi disekitar nilai rata-ratanya (Gujarati 2006). Ada beberapa cara untuk melakukan uji akar unit root, namun yang paling banyak adalah dengan augmented Dicky Fuller (ADF) test. Misalkan model persamaan time series sebagai berikut (Pasaribu 2003): yt = ρyt-1 + εt (3.3) Keterangan: ρ adalah parameter yang akan diestimasi dan ε diasumsikan white noise dimana variabel yang digunakan tersebut memiliki mean dan variance yang konstan dan kovarian sama dengan nol. Jika |ρ| ≥ 1, maka y adalah variabel yang tidak stasioner, dan varian dari y akan meningkat sejalan dengan peningkatan waktu dan cenderung untuk tak berhingga. Jika |ρ| < 1, maka y adalah variabel yang stasioner. Hipotesis trend stationarity dapat dievaluasi dengan menguji apakah nilai absolut dari ρ betul-betul kecil dari satu. Pengujian umum terhadap hipotesis diatas adalah: H0 : ρ = 1 dan hipotesis alternatif H1: ρ<1. Kemudian dengan mengurangi kedua sisi persamaan (3.6) dengan yt-1 didapat persamaan: Δyt = αyt-1 + εt (3.4) dimana Δ mengidentifikasikan perbedaan pertama, sedangkan α= ρ-1, sehingga hipotesis nol menjadi H0: α=0, sedangkan hipotesis alternatif menjadi H1: α<1. Sedangkan model umum dari ADF yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Pasaribu 2003): Δyt = k +αyt-1 + c1 Δyt-2 + ...+ cpΔyt-p + β trend + εt (3.5) Jika nilai t-statistik ADF lebih kecil dari t-statistik kritis MacKinnon maka keputusannya adalah menolak H0 yang menyatakan bahwa data tidak stasioner atau dengan kata lain data bersifat stasioner 3.2.3 Penetapan Lag Optimal Uji lag optimal dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah lag yang sesuai untuk model. Penetapan tingkat lag optimal dapat dilakukan dengan menggunakan fungsi kriteria informasi sebagai berikut: (a) Kriteria uji likelihood ratio (LR); (b) final prediction error (FPE); (c) Akaike information criterion 45 (AIC); (d) Schwarrz information criterion (SIC); dan (e) Hannan_Quinn criterion (HQ). Penentuan lag optimal dalam analisis VAR sangat penting dilakukan karena variabel endogen dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen (Enders 2004). Pengujian panjang lag optimal ini berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Dalam penelitian ini digunakan semua kriteria informasi untuk menentukan lag optimal. Model VAR diestimasi dengan lag yang berbeda-beda kemudian dibandingkan nilai kriterianya. Nilai lag yang optimum adalah nilai kriteria yang terkecil. 3.2.4 Uji Kointegrasi Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam VAR adalah semua peubah tak bebas bersifat stasioner. Apabila data tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji kointegrasi, dimana jika data yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier antar variabel-variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang stabil (Enders 2004). Suatu deret waktu dikatakan terintegrasi pada lag ke-d atau I(d) jika data tesebut bersifat stasioner setelah pendiferensian sebanyak d kali. Peubah-peubah tidak stasioner yang terintegrasi pada tingkat yang sama dapat membentuk kombinasi linier yang bersifar stasioner. Komponen dari vektor yt dikatakan terkointegrasi jika ada vektor β = (β1, β2,......,βn) sehingga kombinasi linier βyt bersifat stasioner, dengan syarat ada unsur matriks β bernilai tidak sama dengan nol. Vektor β dinamakan vektor kointegrasi. Rank kointegrasi (r) dari vektor adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas. Nilai (r) dapat diketahui melalui uji Johansen. Hipotesisnya adalah: H0 = rank ≤ r H1 = rank > r Apabila rank kointegrasi lebih besar dari nol, maka model yang digunakan adalah VECM dan apabila rank kointegrasi sama dengan nol, maka model yang digunakan adalah VAR dengan pendiferensian sampai lag ke d. 46 3.2.5 Vector Error Correction Model (VECM) VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi. Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner pada level namun terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keadaan dinamisasi jangka pendek. Istilah kointegrasi dikenal juga sebagai error, karena deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui series parsial penyesuaian jangka pendek. VECM standar didapat dari model VAR dikurangi dengan xt-1. Persamaan matematis ditunjukkan oleh persamaan berikut (Achsani et al 2005): k −1 Δxt-1 = µt + Πxt-1 + ∑ Γi Δxt-1 + ut (3.6) i =1 Keterangan: Π dan Γ adalah fungsi dari Ai, matriks Π bisa didekomposisi kedalam 2 matriks berdimensi (n x r) α dan β; Π = α βT, dimana α disebut matriks penyesuaian dan β sebagai vektor kointegrasi dan r adalah cointegration rank. Kerangka kointegrasi hanya sesuai jika variabel-variabel yang berhubungan terintegrasi. Hal ini bisa diuji dengan menggunakan uji akar unit. Saat tidak bisa ditemukan akar unit, maka metode ekonometrik tradisional dapat diterapkan. 3.2.6 Impuls Response Function (IRF) IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dari variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. IRF digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu standar deviasi. Vector autoregression dapat pula direpresentasikan sebagai suatu vector moving average (VMA): ∑∞ keterangan : (3.7) 47 Keempat koefisien Ø11(i), Ø12(i), Ø21(i), dan Ø22(i) merupakan impuls response function. Hasil IRF tersebut sangat sensitif terhadap pengurutan (ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan. Pengurutan variabel yang didasarkan pada faktorisasi cholesky. Variabel yang memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan di depan berdampingan satu sama lainnya. Variabel yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan paling belakang 3.2.7 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) FEVD adalah metode yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel makro ditunjukkan oleh perubahan variance error yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Metode ini dapat melihat juga kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam memengaruhi variabel lainnya pada kurun waktu yang panjang (how long/how persistent). Dekomposisi varians merinci varians dari error peramalan (forecast) menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Melalui perhitungan persentase squared prediction error k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain, dapat dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel itu sendiri dan variabel-variabel lainnya 3.2.8 Derajat Pass-Through Metode penghitungan derajat pass-through mengacu pada model Hyder dan Shah dalam Achsani (2008) dimana Cholesky decomposition digunakan untuk mengidentifikasi guncangan struktural dan menghitung derajat pass-through melalui analisis impulse response. Koefisien (derajat) pass-through dihitung berdasarkan kumulatif impulse response dari variabel shock terhadap variabel respon dan variabel shock terhadap variabel shock itu sendiri. Persamaan matematis penghitungan derajat pass-through adalah sebagai berikut: ∑ ∑ (3.8) 48 Keterangan: ∑ : kumulatif respon Y, CC, I, IHK dan R terhadap shock G dari horizon pertama sampai ke-n ∑ 3.3 : kumulatif respon G terhadap shock G dari horizon pertama sampai ke-n Model Penelitian Model penelitian ini adalah: ∑ Keterangan: (3.9) Yt : vektor variabel endogen (Gt, Yt, CCt, It, IHKt, Rt) α : konstanta β : koefisien matriks untuk lag-i ε : residual Berdasarkan model diatas, dengan memasukkan enam variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini, maka persamaan VAR yang akan terbentuk sesuai variabel yang akan dianalisis adalah: ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ Keterangan: Y CC G I IHK R ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ (3.10) ∑ (3.11) ∑ (3.12) (3.13) ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ (3.14) (3.15) : Produk Domestik Bruto (PDB) : Konsumsi rumah tangga : Government spending / pengeluaran pemerintah : Investasi : Indeks Harga Konsumen : Tingkat suku sunga deposito Persamaan umum: (3.16) 49 Keterangan: Xt A0 A1 et : Vektor yang berisi n variabel (nx1) : Vektor intersep (nx1) : Matriks koefisien (nxn) : Vektor variabel gangguan Berdasarkan persamaan di atas, maka untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan jangka panjang (hubungan jangka panjang) maka model VAR harus dikombinasikan dengan VECM sehingga persamaan akan menjadi sebagai berikut: ∆ ∑ ∆ (3.17) Error termnya (ε1t, ε2t, ε3t, … , ε6t) yaitu sisaan (dugaan error term) akan menjadi fokus utama. εit dapat diinterpretasikan sebagai inovasi atau guncangan dari variabel yang kita inginkan, sehingga dampak guncangan sebuah variabel terhadap variabel lainnya dapat dianalisis. Perestriksian persamaan VAR dan VECM di atas akan menyebabkan jumlah parameter sama dengan jumlah persamaan (exact identified) sehingga error ε1t, ε2t, ε3t, … , ε6t dapat diidentifikasi dan diperoleh pure innovation dari ε1t, ε2t, ε3t, … , ε6t. Setelah diperoleh pure innovation maka analisis selanjutnya dapat dilakukan yaitu impulse response function (IRF) dan forecast error variance decomposition (FEVD). 3.4. Kerangka Analisis Data Alat analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan Vector Autoregression (VAR) atau Vector Error Correction Model (VECM). Ini melihat pengaruh kebijakan fiskal khususnya pengeluaran pemerintah di masing-masing negara yang diteliti serta membandingkan antar negara tersebut. Secara ringkas tahapan pengolahan dapat dilihat dari Gambar 3.1 50 Gambar 3.1 Tahapan dan metode analisis data IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN+3 Potret ekonomi dikawasan ASEAN+3 hingga tahun 1990-an secara umum dinilai sangat fenomenal. Hal ini antara lain tercermin dari pergerakan PDB yang selalu mengalami kenaikan secara signifikan. Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa secara umum PDB dari enam Negara ASEAN+3 selama tahun 1970 sampai dengan tahun 1997 menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Awalnya enam Negara ASEAN+3 kecuali Jepang mempunyai nilai PDB yang relatif sama. Namun semenjak tahun 1985, Korea Selatan mengalami peningkatan PDB yang sangat signifikan. Ini terlihat pada tahun 1990, nilai PDB Korea Selatan hampir tiga kali PDB Indonesia. PDB Negara Jepang pada tahun awal penelitian yaitu tahun 1970, nilainya hampir 35 kali rata-rata nilai PDB keenam negara lainnya. World Bank dalam Arifin (2008) mengemukakan bahwa negaranegara yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan ekonomi yang mengesankan (High Performing East Asian Economies/HPAEs), mencapai pertumbuhan ekonominya yang tinggi dengan berpijak pada landasan yang tepat (getting the basics right). 9 8 Miliar US$ 7 6 5 4 3 2 1 Ind Mal Sgp Tahun Thai Phil Kor Sumber: IFS diolah (Jepang tidak dimasukkan) Gambar 4.1 Perkembangan PDB riil Negara ASEAN+3 tahun 1970-2008 2008 2006 2004 2002 2000 1998 1996 1994 1992 1990 1988 1986 1984 1982 1980 1978 1976 1974 1972 1970 ‐ 52 Dasar pijakan tersebut antara lain: 1 Kebijakan pembangunan yang tangguh secara fundamental dan konsisten dalam penerapannya. 2 Kinerja makroekonomi yang cukup baik dan stabil (antara lain PDB per kapita, tingkat inflasi, cadangan devisa, tingkat utang luar negeri dan kestabilan nilai tukar) mampu menarik arus masuk modal yang berkualitas. 3 Kebijakan restrukturisasi dan deregulasi sistem keuangan, khususnya perbankan, mampu mendorong peningkatan tabungan domestik untuk mendukung sektor pembiayaan dan investasi domestik di negara-negara HPAEs. 4 Peningkatan secara cepat kualitas dan produktivitas sumber daya manusia 5 Menurunnya tingkat pertumbuhan penduduk di HPEAs dibanding dengan negara berkembang lainnya. Berdasarkan data pertumbuhan PDB dalam rentang waktu 1990-2007 (Gambar 4.2) menunjukkan bahwa ketujuh negara tersebut rata-rata mengalami tingkat pertumbuhan PDB yang cukup bervariasi. Rata-rata tingkat PDB tertinggi diantara ketujuh Negara ASEAN+3 adalah Singapura kemudian diikuti Malaysia, Korea Selatan, Thailand, Indonesia, Philipina dan Jepang. 15 10 ‐10 ‐15 Tahun Ind Mal Sgp Thai Phil Sumber: IFS diolah Gambar 4.2 Tingkat pertumbuhan PDB Kor Jpn 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 ‐5 1991 0 1990 Persen 5 53 Tingkat pertumbuhan PDB sampai dengan tahun 1995 di Negara ASEAN+3 kecuali Jepang mencapai level tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu berada pada tingkat pertumbuhan antara 5% hingga 10%. Persentase PDB ini terus mengalami penurunan hingga mencapai titik terendah pada tahun 1998, yaitu ketika krisis ekonomi menerpa hampir seluruh negara di kawasan Asia Tenggara. Indonesia mengalami dampak krisis yang terbesar. Tanda-tanda krisis mulai nampak pada bulan Juli 2007 menyusul terjadinya gejolak nilai tukar yang meruntuhkan perekonomian Thailand. Mata uang regional mulai mengalami tekanan depresiatif dan terus bergejolak sebagai pertanda awal terjadinya efek menular (contagion effect). Faktor pemicu gejolak tersebut secara besar dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi permintaan dan sisi penawaran. enam Enam faktor yang memengaruhi dari sisi permintaan (Arifin 2008) yaitu: 1 Krisis keuangan dan moneter di Thailand memicu pelarian modal keluar dari kawasan karena menganggap ASEAN memiliki masalah yang sama. 2 Tingginya permintaan terhadap dolar yang berkaitan dengan besarnya kewajiban luar negeri negara-negara kawasan (umumnya swasta) jatuh tempo. 3 Maraknya spekulasi mata uang regional. 4 Menurunnya kepercayaan investor terhadap prospek dan kemampuan ekonomi negara-negara di kawasan dalam menghadapi gejolak keuangan. 5 Kecenderungan menguatnya nilai dolar terhadap hampir seluruh mata uang dunia sehingga mendorong investor mengalihkan dananya ke mata uang dolar. 6 Maraknya isu-isu non-ekonomis yang memicu sentimen negatif, misalnya terjadinya gejolak politik di beberapa negara kawasan. 4.2 Komposisi PDB Komposisi PDB dari sisi permintaan terdiri dari konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor neto (ekspor dikurangi impor). Pasca krisis ekonomi pada tahun 1998, faktor-faktor pertumbuhan ekonomi secara umum menunjukkan perbaikan, meskipun dengan pola dan level yang berbeda antara Negara ASEAN+3 (Gambar 4.3). 54 Indonesia Milyar Rp 16000 12000 8000 4000 0 90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 C G I Malaysia Juta Dolar Singapura 6000 Juta Ringgit 5000 4000 3000 2000 1000 X 6000 4000 3000 2000 1000 0 90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 G I X M C Thailand 60.00 Milyar Peso Milyar Bath 40.00 30.00 20.00 10.00 ‐ 30 20 10 0 90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 C G I X M 90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 C G I X M Korea Selatan Jepang 5000 4000 4000 Milyar Yen Milyar Won 90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 G I X M Philipina 40 50.00 Singapura 5000 0 C M 3000 2000 1000 0 C 3000 2000 1000 0 90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 G I X M C 90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 G I X M Gambar 4.3 Perkembangan komposisi PDB masing-masing negara Ind Mal Sgp Thai Phil Kor 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 1990 Persen 55 Jpn Sumber: IFS diolah Gambar 4.4 Peranan konsumsi terhadap PDB Komposisi PDB di Indonesia, Philipina, Korea Selatan dan Jepang masih ditandai dengan tingginya konsumsi swasta. Pada keempat negara ini pertumbuhan konsumsi tetap tinggi baik sebelum maupun sesudah krisis. Pola berbeda ditunjukkan Thailand, pasca krisis nilai ekspor mendominasi sisi permintaan, meskipun disertai dengan kenaikan signifikan impor, menggantikan konsumsi swasta. Malaysia dan Singapura menunjukkan pola yang berbeda, dengan ekspor dan impor mendominasi baik sebelum maupun setelah krisis dengan surplus trade balance makin besar. 4.3 Konsumsi Swasta Peranan konsumsi di Negara ASEAN+3 masih memegang peranan besar dalam pertumbuhan ekonomi baik sebelum maupun setelah krisis. Berdasarkan Gambar 4.4 terlihat bahwa hampir diatas 40% peranan konsumsi terhadap PDB. Pangsa konsumsi terbesar terjadi di Philipina dengan pangsa sebesar 70%, diikuti oleh Indonesia. Peranan konsumsi terhadap PDB di Indonesia lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan Jepang, Thailand dan Korea Selatan yang relatif stabil. Peranan konsumsi terendah terjadi di Singapura dengan rata-rata 42%. Khusus Indonesia, periode tahun 1990–1996 disebut juga dengan fase non oil boom. Peranan nonmigas sangat dominan dibandingkan dengan migas. Oleh 56 karena itu pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga cukup tinggi. Sementara itu pengeluaran pemerintah tidak mengalami pertumbuhan secepat konsumsi rumah tangga karena didukung oleh sektor swasta dan sekaligus investasi yang dinyatakan dalam pembentukan modal tetap bruto. Walaupun ekspor sudah cukup tinggi, namun kecepatan impor masih lebih besar daripada ekspor. Jika dilihat dari distribusi komponen penyusunnya, persentase terbesar didominasi oleh konsumsi rumahtangga, seperti halnya negara-negara lain di dunia. Pada masa ketergantungan terhadap non migas tahun 1990–1996 kontribusi pengeluaran rumah tangga mengalami kenaikan, walaupun pada tahun 1990–1993 sempat menurun, yaitu dari sebesar 54.35% tahun 1990 menjadi 52.43% tahun 1993. Kenaikan cukup tinggi terjadi pada tahun 1996 menjadi 61.13%. Persentase konsumsi rumah tangga terus meningkat hingga pada masa krisis yang terjadi pada tahun 1998. Hal ini ditunjukkan dengan konsumsi rumahtangga sebesar 73.94% pada tahun 1999. Sejalan dengan kemajuan perekonomian, pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga cenderung menurun hingga pada tahun 2008 sebesar 60.95%. 4.4 Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah mencakup pembelanjaan barang dan jasa oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Belanja pemerintah mencakup upah pekerja pemerintah dan pembelanjaan untuk kepentingan umum. Peranan terbesar pengeluaran pemerintah terhadap PDB terjadi di Jepang, peranan pengeluaran pemerintah hampir mencapai 20%. Sedangkan untuk negara yang lainnya kurang dari 15%, terlihat pada Gambar 4.5. Peranan pengeluaran pemerintah terhadap PDB di Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan negara yang lain. Kontribusi pengeluaran konsumsi pemerintah merupakan komponen yang diatur khusus dengan sistem sehingga besarnya relatif stabil, dengan flukutuasi sesuai dengan kondisi perekonomian dan sosial budaya serta politik yang sedang terjadi. Justru pada waktu krisis moneter pada tahun 1998, konsumsi pemerintah Indonesia mengalami penurunan persentase hingga mencapai 5.69% pada tahun tersebut. 57 21 19 Persen 17 15 13 11 9 7 Ind Mal Sgp Thai Phil Kor 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 1990 5 Jpn Sumber: IFS diolah Gambar 4.5 Peranan pengeluaran pemerintah terhadap PDB 4.5 Investasi Secara umum pertumbuhan tingkat investasi riil di ASEAN+3 pada saat setelah krisis mengalami perlambatan. Melambatnya pertumbuhan investasi menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut. Hal ini tercermin dari rasio pembentukan modal tetap bruto terhadap PDB yang cenderung menurun setelah terjadinya krisis ekonomi (Gambar 4.6). Negara Malaysia sempat mengalami peranan investasi terhadap PDB yang tertinggi pada tahun 1995 sampai tahun 1997 sebesar 43%. Peranan investasi terhadap PDB yang relatif stabil terjadi di Korea Selatan, dengan peranan rata-rata sebesar 30% setelah krisis ekonomi. Belum kembalinya investasi ke level sebelum krisis meskipun perekonomian sudah membaik mencerminkan efek jangka panjang dari krisis terhadap perekonomian Negara ASEAN+3. Terhadap fakta tersebut, Barro dalam Arifin (2008) mengemukakan bahwa dampak krisis terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi dan investasi dapat berlangsung dalam jangka panjang. Fenomena yang terjadi di negara-negara Asia yang terkena krisis sejalan dengan temuan Barro tersebut. Fenomena di negara-negara tersebut menunjukkan bahwa efek krisis nilai tukar dapat dengan segera terhenti namun dampak dari krisis perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi berlangsung lebih lama. 58 50 45 Persen 40 35 30 25 20 15 Ind Mal Sgp Thai Phil Kor 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 1990 10 Jpn Sumber: IFS diolah Gambar 4.6 Peranan investasi terhadap PDB 4.6 Inflasi Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, ekspor-impor, cadangan devisa, utang luar negeri dan kestabilan nilai tukar. Sebelum krisis ekonomi melanda Asia pada tahun 1997, inflasi di negara-negara ASEAN+3 relatif stabil (rata-rata dibawah 10%) dan cenderung menurun, kecuali Philipina yang tingkat inflasinya pada tahun 1991 sebesar 18.49%, terlihat pada Gambar 4.7. Tingkat inflasi pada periode 1990-an hingga tahun 1997 yang dinilai cukup stabil di kawasan ASEAN+3 pada saat itu. Ini menjadi salah satu indikator yang memberikan gambaran kepada dunia, betapa perekonomian ASEAN+3 pada saat itu dalam kondisi yang sangat baik. Kondisi ini dibuktikan dengan kemampuan negara-negara tersebut untuk terus mempertahankan tingkat inflasi pada level satu digit. Kestabilan tersebut, memberikan efek positif antara lain berupa kepastian usaha bagi para investor asing yang akan menanamkan modalnya dikawasan ASEAN+3, sehingga di era 1990-an kawasan Asia dinilai merupakan kawasan yang paling menarik dan sangat menjanjikan. 59 70 60 50 Indeks 40 30 20 10 0 ‐10 Ind Mal Sgp Thai Phil Kor Jpn Sumber: IFS diolah Gambar 4.7 Tingkat inflasi negara-negara ASEAN+3 Kondisi tersebut bertolak belakang ketika di pertengahan tahun 1997 krisis mulai menerpa negara-negara di ASEAN+3. Saat itu rata-rata seluruh nilai tukar uang lokal negara-negara di kawasan ASEAN+3 cenderung terus merosot tajam terhadap dolar Amerika (USD). Hal ini sebagai dampak dari terus membanjirnya jumlah mata uang lokal yang dilepas di pasaran secara bersamaan oleh para spekulan, sehingga menyebabkan tingkat inflasi yang sudah relatif stabil tersebut kemudian menjadi tinggi pada akhir tahun 1997 hingga akhir tahun 1999. Diantara negara-negara di kawasan ASEAN+3, Indonesia merupakan negara yang mengalami peningkatan inflasi yang paling tajam, yaitu dari 6.22% pada tahun 1997 meningkat menjadi 58.39% pada tahun 1998. Indonesia di era 1990-an dinilai mempunyai fundamental mikroekonomi yang lebih kuat dibanding Thailand pada saat itu, ternyata tidak mampu membendung dampak dari krisis ekonomi yang menghantam Thailand dengan memburuknya nilai baht Thailand terhadap USD. Tingkat inflasi di Indonesia pada tahun 1999 terus membaik dari 58.39% tahun 1998 menjadi 20.48% tahun 1999, namun belum sepenuhnya pulih ke tingkat yang lebih stabil (di bawah 10%) seperti era 1990-an. Setelah tahun 2000-an inflasi Indonesia relatif berfluktuasi, inflasi terendah terjadi pada tahun 2000 sebesar 3.72% dan terbesar pada tahun 2006 dengan inflasi 60 sebesar 13.11%. Negara-negara yang lainnya mempunyai tingkat inflasi dibawah 10%. 4.7 Suku Bunga Perkembangan suku bunga deposito dari tahun 1990-2008, Indonesia cenderung tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN+3 lainnya, seperti terlihat pada Gambar 4.8. Sebelum krisis ekonomi melanda Asia tahun 1998, pergerakan suku bunga relatif stabil, ketika terjadinya krisis ekonomi suku bunga di semua negara kecuali Jepang mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Suku bunga di Indonesia pada tahun 1998 sampai pada level 39.07%, ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lainnya. Pada tahun yang sama, tingkat suku bunga di Korea Selatan sebesar 13.29% diikuti Philipina sebesar 12.11%. Umumnya setelah krisis ekonomi, tingkat suku bunga di masing-masing negara ASEAN+3 lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelum krisis. Suku bunga terendah terjadi di Jepang, rata-rata suku bunga selama 19 tahun adalah 1.02%, selanjutnya di Singapura dengan rata-rata 2.17%. 45 40 35 Persen 30 25 20 15 10 5 Ind Mal Sgp Thai Phil Kor Jpn Sumber: IFS diolah Gambar 4.8 Tingkat suku bunga negara-negara ASEAN+3 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 1990 0 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum memasuki tahapan analisis model VAR/VECM, maka sebelumnya dilakukan pengujian-pengujian pra-estimasi. Pengujian-pengujian tersebut meliputi uji akar unit (unit root test), pengujian stabilitas VAR dan pengujian lag optimal. Pengujian-pengujian ini penting karena dalam model multivariate time series kebanyakan data yang digunakan mengandung akar unit sehingga akan membuat hasil estimasi menjadi semu dan tidak valid (Gujarati 2006). 5.1 Uji Stasioneritas Data Metode pengujian yang digunakan untuk melakukan uji stasioneritas data dalam penelitian ini adalah metode ADF (augmented Dickey Fuller) dengan menggunakan taraf nyata lima persen. Jika t-ADF lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan adalah stasioner (tidak mengandung akar unit). Pengujian akar-akar unit ini dilakukan pada tingkat level sampai dengan first difference. Hasil uji stasioneritas dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengujian akar unit menunjukkan bahwa variabel- variabel yang digunakan pada penelitian ini tidak seluruhnya stasioner pada tingkat level. Ketidakstasioneran data dapat dilihat dari nilai t-ADF yang lebih besar dari nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata lima persen. Oleh karena itu, pengujian akar unit ini perlu dilanjutkan pada tingkat first difference. Setelah dilakukan pengujian pada first difference, barulah semua data stasioner pada taraf nyata lima persen. Artinya data yang digunakan pada penelitian ini terintegrasi pada ordo satu atau dapat disingkat menjadi I(1). Menurut Sims dalam Hasanah (2007), penggunaan data perbedaan pertama tidak direkomendasikan karena akan menghilangkan informasi jangka panjang. Oleh karena itu, untuk menganalisis informasi jangka panjang akan digunakan data level sehingga model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan menjadi VECM. 62 5.2 Penentuan Lag Optimal Penentuan lag optimal sangat penting dalam pendekatan VAR karena lag dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen. Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Sehingga dengan digunakannya lag optimal diharapkan tidak muncul lagi masalah autokorelasi. Penetapan lag optimal digunakan nilai dari likelihood ratio (LR), final prediction error (FPE), Akaike information criterion (AIC), Schwarz information criterion (SC), dan Hannan-Quin criterion (HQ). Besarnya lag yang dipilih berdasarkan lag terpendek. Berdasarkan kriteria informasi yang tersedia maka lag yang dipilih untuk masing-masing negara adalah lag pertama sebagai lag optimal. Masingmasing lag ini yang akan digunakan pada persamaan VAR sebagai lag optimal. Hasil penentuan lag optimal terdapat pada Lampiran 2. 5.3 Pengujian Stabilitas VAR Stabilitas VAR perlu diuji sebelum melakukan analisis lebih jauh, karena jika hasil estimasi VAR yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan tidak stabil, maka impulse response function (IRF) dan forecasting error variance decomposition (FEVD) menjadi tidak valid. Pengujian stabil atau tidaknya estimasi VAR yang telah dibentuk, maka dilakukan VAR stability condition check berupa roots of characteristic polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari 1 (Lukepohl dalam Eviews 6 User’s Guide 2007). Ringkasan pengujian stabilitas VAR dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil pengujian menunjukkan bahwa persamaan VAR di masingmasing negara memiliki nilai modulus kurang dari satu, sehingga dapat disimpulkan bahwa model VAR yang dibentuk sudah stabil pada lag optimalnya. 63 5.4 Analisis Kointegrasi Konsep kointegrasi ini dikemukakan oleh Engle dan Granger pada tahun 1987 sebagai fenomena kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linier ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Metode pengujian kointegrasi didasarkan pada metode Johansen. Terdapat lima asumsi deterministic trend dalam uji kointegrasi, untuk menentukan pilihan trend yang digunakan bisa dilihat dari hasil summary, serta pilihan lag yang digunakan adalah lag optimal. Pemilihan asumsi dengan summary disesuaikan berdasarkan kriteria informasi AIC dan SC, dipilih salah satu. Setelah dilakukan uji kointegrasi, maka untuk hubungan antara keenam variabel yang digunakan terjadi kointegrasi, artinya secara multivariate terdapat persamaan linier jangka panjang yang dikandung dalam model. Berdasarkan Tabel 5.1 terlihat bahwa Negara Indonesia, Malaysia dan Singapura dengan nilai trace statistic terdapat dua rank kointegrasi pada taraf 5%. Negara Thailand terdapat lima rank kointegrasi. Negara Philipina ada tiga rank kointegrasi, Korea Selatan terdapat satu rank kointegrasi, sedangkan Negara Jepang terdapat empat rank kointegrasi pada taraf 5%. Jumlah rank ini digunakan sebagai model koreksi kesalahan yang akan dimasukkan kedalam model VAR menjadi VECM. Tabel 5.1 Analisis Kointegrasi No Hipotesis 1 Trace Statistics Ina Mal Sgp Thai Phil Kor Jpn Rank= 0 162.84 180.11 177.30 194.63 224.79 141.38 241.62 2 Rank=1 105.76 122.39 127.09 140.65 149.29 87.78 157.32 3 Rank=2 67.59 83.78 84.50 98.21 88.66 56.02 97.87 4 Rank=3 37.75 56.94 50.46 64.87 49.27 33.89 66.92 5 Rank=4 21.63 34.06 31.82 37.94 24.85 18.55 40.62 6 Rank=5 9.412 20.12 18.73 17.01 14.37 7.23 21.18 7 Rank=6 1.56 7.69 7.18 2.72 6.81 0.49 9.21 Sumber: lampiran Cetak tebal menunjukkan Trace statistics > 5% critical value dan terjadi kointegrasi 64 5.5 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap PDB 5.5.1 Analisis Impulse Response Function Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa pada saat terjadi guncangan pada pengeluaran pemerintah, respon PDB yang paling tinggi terjadi di Indonesia. Kenaikan satu standar deviasi pada pengeluaran pemerintah akan meningkatkan PDB sebesar 5.26% dalam jangka panjang. Pada periode awal respon PDB hanya sebesar 2.08%, respon ini cenderung meningkat secara bertahap pada setiap periode dan mencapai kestabilan pada periode ke-25. Respon positif terbesar kedua terjadi di Philipina, kenaikan pengeluaran pemerintah direspon dengan kenaikan PDB sebesar 1.74% pada awal periode dan mencapai kestabilan pada periode ke-29 dengan nilai sebesar 5.21%. Respon terbesar ketiga terjadi di Thailand, respon berfluktuasi antara 1.34% sampai 2.75%. Kenaikan satu standar deviasi pada pengeluaran pemerintah menyebabkan kenaikan pada PDB sebesar 2.75% pada periode keempat. Pada periode ini PDB merespon positif dari guncangan pengeluaran pemerintah dengan respon yang paling besar. Respon selanjutnya mengalami penurunan dan mencapai kestabilan pada periode ke-26 dengan respon sebesar 2.10% Negara Malaysia dan Korea Selatan juga mengalami respon yang positif terhadap guncangan pengeluaran pemerintah, tetapi tidak terlalu besar. Malaysia pada awal periode merespon kenaikan pengeluaran pemerintah dengan kenaikan PDB sebesar 0.78%. Respon ini cenderung mengalami peningkatan dan mencapai kestabilan pada periode ke-15 dengan respon sebesar 1.61%. Respon PDB di Korea Selatan cenderung berfluktuasi pada awal periode, pada periode kedua responnya sebesar 1.11%, setelah itu responnya cenderung berkurang dan mencapai kestabilan pada peride ke-24 sebesar 0.10%. Respon sebaliknya terjadi di Jepang dan Singapura, kenaikan pengeluaran pemerintah direspon negatif oleh PDB dikedua negara tersebut. Respon PDB di Jepang mengalami penurunan mulai dari awal periode, kestabilan baru terbentuk pada periode ke-21 dengan respon sebesar -0.20%. Penurunan PDB terbesar terjadi di Singapura, kenaikan satu standar deviasi pada pengeluaran pemerintah direspon dengan penurunan PDB sebesar 2.33% dalam jangka panjang. 65 Respon Y terhadap G di Indonesia 0.060 0.050 0.040 0.030 0.020 0.010 0.000 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 Periode Respon Y terhadap G di Malaysia Respon Y terhadap G di Singapura 0.060 0.030 0.050 0.020 0.040 0.010 0.030 0.000 0.020 ‐0.010 0.010 1 6 11 16 26 31 36 41 46 ‐0.020 0.000 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.030 Periode Periode Respon Y terhadap G di Thailand Respon Y terhadap G di Philipina 0.060 0.060 0.050 0.050 0.040 0.040 0.030 0.030 0.020 0.020 0.010 0.010 0.000 0.000 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 1 6 11 16 Periode 0.030 0.020 0.020 0.010 0.010 0.000 0.000 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.010 ‐0.020 ‐0.020 ‐0.030 ‐0.030 Periode 26 31 36 41 46 Respon Y terhadap G di Jepang 0.030 1 21 Periode Respon Y terhadap G di Korsel ‐0.010 21 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 Periode Gambar 5.1 Respon PDB terhadap guncangan G 66 5.5.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Struktur dinamis antar variabel dalam VAR dapat dilihat melalui analisis forecasting error variance decomposition (FEVD), pola dari FEVD ini mengindikasikan sifat dari kausalitas multivariat diantara variabel-variabel dalam model VAR. Pengurutan variabel dalam analisis FEVD ini didasarkan pada faktorisasi Cholesky. Berdasarkan visualisasi grafis Gambar 5.2 tampak bahwa variabilitas PDB Indonesia dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah dan PDB itu sendiri. Pada periode pertama pengaruh dari pengeluaran pemerintah sebesar 31.94%, sedangkan pengaruh dari PDB sebesar 68.06%. Pengaruh dari pengeluaran pemerintah cenderung meningkat dari 39.08% pada periode kedua menjadi 47.51% pada periode ke-15. Kontribusi PDB itu sendiri mengalami penurunan seiring dengan peningkatan kontribusi pengeluaran pemerintah. Pada periode ke15 pengaruh PDB menjadi 31.11%. Variabel IHK memberikan kontribusi sebesar 13.09% pada periode ke-15, walaupun pada periode kedua hanya sebesar 1.95%. Pada periode pertama variabilitas PDB Malaysia lebih disebabkan oleh faktor internal yaitu sebesar 95.13%. Pengaruh faktor internal ini terus turun, hingga periode ke-15 pengaruhnya hanya sebesar 62.65%. Pengaruh pengeluaran pemerintah yang pada awalnya hanya sebesar 4.87% terus meningkat menjadi 10.24 % pada periode ke-15. Hal yang sama juga terjadi di Singapura, pada periode pertama PDB mampu memengaruhi variabilitas PDB itu sendiri sebesar 85.72%. Pada periode ke-15 variabilitas PDB turun menjadi 62.17%. Pengaruh dari pengeluaran pemerintah yang pada awalnya hanya sebesar 14.28% menjadi 25.68% pada periode ke-15. Pengaruh dari variabel-variabel lain kurang dari 13% selama periode waktu tersebut. Variabilitas PDB di Thailand juga didominasi oleh pengeluaran pemerintah dan PDB itu sendiri. Variabel utama yang memengaruhi PDB adalah PDB itu sendiri yaitu sebesar 85.13% pada awal periode, pengaruh ini cenderung berkurang hingga 52.10% pada periode ke-15. Pengaruh dari pengeluaran pemerintah yang awalnya hanya sebesar 14.87% menjadi 25.00% pada periode ke-15. Variabel konsumsi memberikan pengaruh sebesar 12.41% pada periode ke-15. 67 VD of Y Indonesia 100 DM 80 Persen R 60 IHK 40 I 20 C 0 VD of Y Malaysia 100 DM 80 Persen IHK 40 I 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode C 20 C Y 0 Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode G 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode DM 80 R 60 IHK I C 20 C Y 0 Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode G VD of Y Korea Selatan 100 IHK 40 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode R 60 IHK 40 I C 20 C Y 0 I 20 DM 80 Persen Persen 100 R 60 G VD of Y Jepang DM 80 G 40 I 20 100 Persen Persen IHK 40 I R 60 0 IHK 40 DM 80 R 60 VD of Y Philipina 100 DM 80 VD of Y Thailand 100 R 60 G VD of Y Singapura Persen Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode G Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode G Gambar 5.2 FEVD PDB 68 Pada periode pertama, pengaruh dari pengeluaran pemerintah terhadap PDB di Philipina sebesar 60.50%. Pada periode kedua pengaruhnya naik menjadi 77.30%, tetapi pada periode selanjutnya pengaruhnya terus turun hingga pada periode ke-15 menjadi 63.71%. Variabilitas dari komponen PDB itu sendiri pada awalnya sebesar 39.50%, tetapi pada periode selanjutnya cenderung turun hingga pada periode ke-15 menjadi 2.03%. Pengaruh dari suku bunga terus mengalami peningkatan dari 0.94% pada periode kedua menjadi 21.49% pada periode ke-15. Komposisi PDB di Korea Selatan dipengaruhi oleh PDB itu sendiri hampir seratus persen pada periode pertama. Kemampuan PDB memengaruhi dirinya sendiri pada periode selanjutnya cenderung mengalami penurunan, hingga pada periode ke-15 pengaruhnya hanya sebesar 60.01%. Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap PDB sangat kecil sekali, pada periode ke-15 pengaruhnya hanya sebesar 1.10%. Pengaruh konsumsi dan IHK masing-masing sebesar 10.37% dan 11.29%. Komposisi PDB di Jepang sangat dipengaruhi oleh PBD itu sendiri, pada periode awal pengaruh dari PDB sendiri sebesar 98.94%. Pengaruh ini cenderung berkurang dan pada periode ke-15 pengaruhnya sebesar 70.31%. Variabilitas dari pengeluaran pemerintah tidak telalu besar, sampai pada periode ke-15 pengaruhnya hanya sebesar 1.16%. Pengaruh konsumsi pada periode kedua yang hanya sebesar 0.36% terus mengalami peningkatan hingga mencapai 16.29% pada periode ke-15. 5.5.3 Derajat Pass-Through Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa derajat pass-through terhadap variabel PDB disemua negara lebih kecil dari satu, yang mengindikasikan adanya incomplete pass-through. Pada komponen PDB, derajat pass-through terbesar terjadi di Indonesia sebesar 0.56%, selanjutnya diikuti oleh Negara Philipina sebesar 0.48%. Derajat pass-through di Malaysia dan Thailand relatif sama yaitu sebesar 0.35%. Kenaikan pengeluaran pemerintah di Indonesia sebesar satu persen akan berdampak pada peningkatan PDB sebesar 0.56%. Pada umumnya kenaikan pengeluaran pemerintah akan meningkatkan PDB kecuali di Singapura dan Jepang. Peningkatan pengeluaran pemerintah di Singapura berdampak pada penurunan PDB sebesar 0.40% dan di Jepang terjadi penurunan sebesar 0.05%. 69 Tabel 5.2 Derajat pass-through G terhadap PDB No 1 2 3 4 5 6 7 Negara Indonesia Malaysia Singapura Thailand Philipina Korea Selatan Jepang Derajat Pass-Through 0.56 0.35 -0.40 0.32 0.48 0.03 -0.05 Sumber: diolah 5.5.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap PDB Berdasarkan analisis IRF terlihat bahwa pengaruh pengeluaran pemerintah di Negara ASEAN+3 mempunyai pengaruh yang hampir sama kecuali Singapura dan Jepang. Guncangan pengeluaran pemerintah menyebabkan peningkatan pada PDB. Ini sesuai dengan teori bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah akan menyebabkan kenaikan pada PDB. Indonesia merupakan negara yang paling besar merespon kenaikan pemerintah kemudian diikuti oleh Negara Philipina, Malaysia dan Thailand. Negara Korea Selatan mempunyai pengaruh positif tetapi tidak terlalu besar. Anomali terjadi di Singapura dan Jepang, kenaikan pengeluaran pemerintah direspon dengan penurunan PDB. Berdasarkan FEVD, faktor utama yang memengaruhi PDB di Negara-negara ASEAN+3 adalah PDB itu sendiri, kecuali Indonesia dan Philipina. Pada kedua negara ini yang paling memengaruhi PDB adalah pengeluaran pemerintah. Berdasarkan teori Rostow dalam Mangkoesoebroto (1997) bahwa pada awalnya peranan pemerintah lebih dominan kemudian akan cenderung turun seiring dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Peranan pemerintah akan digantikan oleh peranan swasta, sehingga pemerintah hanya menyediakan pelayanan yang bersifat sosial, seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Afonso (2009), pengeluaran pemerintah di Jerman menyebabkan penurunan pada PDB, ini dicerminkan dengan penurunan investasi. Menurut Scully dalam Chao (1997) peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada 70 pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol atau negatif. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa negara Jepang, Singapura dan Korea Selatan sudah termasuk dalam negara maju, ini dibuktikan dengan peranan pengeluaran pemerintah yang semakin kecil terhadap perekonomian di negara tersebut. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Achsani dan Siregar (2009) mengenai pengelompokan negara ASEAN+3, sebagai berikut: (i). Singapura, Jepang, Korea Selatan dan China, (ii). Malaysia, Thailand dan Vietnam, (iii) Indonesia dan Philipina, (iv) Myanmar, Kamboja, Laos, (v). Brunei. Berdasarkan Gambar 5.3, terlihat bahwa semakin besar PDB per kapita suatu negara, maka derajat pass-through juga semakin berkurang. Indonesia dan Philipina merupakan negara yang memiliki PDB perkapita yang terkecil, tapi memiliki derajat pass-through terbesar. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia dan Thailand, pengaruh dari pengeluaran pemerintah semakin berkurang seiring dengan bertambahnya PDB per kapita. Korea Selatan, Jepang dan Singapura pada kelompok negara maju memiliki pengaruh dari pengeluaran pemerintah yang sangat kecil terhadap PDB, bahkan negatif. Grafik hubungan derajat pass‐through dengan PDB per kapita Pass‐through effect 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 ‐0.20 ‐ 10,000 20,000 30,000 40,000 ‐0.40 ‐0.60 Indonesia PDB per kapita Malaysia Singapura Thailand Philipina Korea Jepang Gambar 5.3 Hubungan derajat pass-through dengan PDB per kapita 71 5.6 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Konsumsi 5.6.1 Analisis Impulse Response Function Respon konsumsi terhadap guncangan pengeluaran pemerintah yang positif terjadi di Indonesia, Philipina, Korea Selatan, Thailand dan Malaysia. Sedangkan Singapura dan Jepang mengalami respon yang sebaliknya (Gambar 5.4). Pada periode pertama, konsumsi di Indonesia merespon kenaikan pengeluaran pemerintah sebesar 2.12%, kemudian pada periode selanjutnya terus meningkat hingga mencapai 4.49% dan mencapai kestabilan pada periode ke-17. Indonesia mengalami respon yang paling tinggi jika dibandingkan dengan negara yang lain. Negara Philipina menempati posisi kedua terbesar merespon kenaikan pengeluaran pemerintah terhadap konsumsi. Periode pertama respon konsumsi hanya sebesar 0.07%, tetapi pada periode selanjutnya responnya cenderung bertambah besar dan mencapai keseimbangan pada periode ke-20 sebesar 2.88%. Negara Thailand dan Korea Selatan mempunyai respon yang relatif sama, keseimbangan terjadi pada periode ke-20 masing-masing sebesar 1.74% dan 1.92%. Respon konsumsi akibat guncangan pengeluaran pemerintah di Malaysia pada periode pertama sebesar 2.85%, tetapi pada periode selanjutnya responnya cenderung menurun. Keseimbangan baru terbentuk pada periode ke-16 dengan respon sebesar 1.16%. Respon konsumsi akibat kenaikan pengeluaran pemerintah yang negatif juga terjadi di Jepang dan Singapura. Pada periode pertama dengan kenaikan pengeluaran pemerintah di Singapura sebesar satu standar deviasi direspon negatif oleh konsumsi sebesar 0.96%. Respon ini mencapai kestabilan pada periode ke-18 dengan nilai sebesar -0.51%. Hal yang sama juga terjadi di Jepang, kenaikan satu standar deviasi direspon dengan penurunan konsumsi sebesar 1.02% pada periode pertama. Kestabilan terbentuk pada periode ke-17 dengan nilai respon sebesar 1.38%. 72 Respon C terhadap G di Indonesia 0.050 0.040 0.030 0.020 0.010 0.000 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 Periode Respon C terhadap G di Malaysia Respon C terhadap G di Singapura 0.050 0.030 0.040 0.020 0.030 0.010 0.020 0.000 ‐0.010 1 0.010 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.020 0.000 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.030 Periode Periode Respon C terhadap G di Philipina Respon C terhadap G di Thailand 0.050 0.050 0.040 0.040 0.030 0.030 0.020 0.020 0.010 0.010 0.000 0.000 1 6 1 11 16 21 26 31 36 41 46 6 Periode Respon C terhadap G di Korsel 0.030 0.040 0.020 0.030 0.010 0.020 0.000 0.010 ‐0.010 1 0.000 ‐0.020 6 11 16 21 26 31 36 41 46 Periode Periode Respon C terhadap G di Jepang 0.050 1 11 16 21 26 31 36 41 46 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.030 Periode Gambar 5.4 Respon konsumsi terhadap guncangan G 73 5.6.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Pada Gambar 5.5 tampak bahwa variabilitas konsumsi di Indonesia dipengaruhi oleh konsumsi itu sendiri pada periode pertama sebesar 69.93%, disusul kontribusi dari pengeluaran pemerintah sebesar 21.34% dan kontribusi PDB sebesar 8.72%. Periode ke-15 pengaruh konsumsi berkurang menjadi 25.91%, sementara itu pengaruh dari pengeluaran pemerintah dan PDB terus meningkat, masing-masing dengan nilai sebesar 46.40% dan 24.71%. Pengaruh dari variabel yang lain tidak terlalu besar, sekitar 3%. Kontribusi tertinggi pada konsumsi di Malaysia disumbangkan oleh PDB. Pada periode pertama pengaruhnya terhadap konsumsi sebesar 48.26%, pengaruhnya cenderung bertambah besar dan pada periode ke-15 kontribusinya menjadi 74.73%. Pengaruh terbesar kedua yang memengaruhi konsumsi adalah pengeluaran pemerintah, pada periode awal sebesar 36.22% dan terus turun menjadi 12.81% pada periode ke-15. Pengaruh faktor internal sendiri tidak terlalu besar, yang pada awalnya 15.52% menjadi 2.33% pada periode ke-15. Pengaruh variabel yang lainnya cenderung meningkat, investasi mempunyai pengaruh 1.33%, IHK sebesar 2.52% dan suku bunga sebesar 3.02% pada periode ke-15. Variabilitas konsumsi di Singapura didominasi oleh konsumsi sendiri sebesar 71.73%. PDB memengaruhi konsumsi sebesar 19.12% sedangkan pengeluaran pemerintah hanya sebesar 9.15%. Pada periode ke-15 pengaruh dari konsumsi, PDB dan pengeluaran pemerintah cenderung mengalami penurunan menjadi 51.49%, 1.64% dan 3.90%. Variabel IHK pada periode kedua yang mempunyai pengaruh terhadap konsumsi hanya sebesar 6.08% cenderung mengalami kenaikan menjadi 29.30% pada periode ke-15. Pengaruh PDB dalam menjelaskan konsumsi di Thailand sebesar 68.10%, pengaruh ini relatif tidak banyak mengalami perubahan dan pada periode ke-15 pengaruhnya menjadi 66.18%. Pengaruh PDB ini jauh lebih besar dari pengaruh konsumsi itu sendiri yang hanya sebesar 23.61% pada periode pertama turun menjadi 1.91% pada periode ke-15. Pengaruh dari pengeluaran pemerintah menempati posisi kedua, walaupun yang pada awal periode hanya sebesar 8.29% menjadi 24.66% pada periode ke-15. Variabel–variabel yang lain mempunyai pengaruh yang relatif kecil. 74 VD of C Indonesia 100 DM 80 Persen R 60 IHK 40 I 20 C 0 Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode VD of C Malaysia 100 Persen IHK 40 I 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode Persen 40 100 G 100 Persen 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode IHK I C 20 C Y 0 Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode G G VD of C Jepang 100 DM 80 R 60 IHK 40 I C 20 C Y 0 I 20 R 60 40 IHK 40 DM 80 R 60 G VD of C Philipina DM 80 Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode VD of C Korea Selatan Y I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode C 0 IHK 0 20 R 60 20 C DM 80 IHK I VD of C Thailand 100 R 60 40 Persen DM 80 R 60 100 Persen DM 80 VD of C Singapura Persen G G Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode Gambar 5.5 FEVD konsumsi G 75 Konsumsi di Philipina sampai pada periode keenam lebih didominasi oleh pengaruh dari konsumsi itu sendiri. Pada awal periode pengaruhnya sebesar 80.01%, seiring waktu pengaruh ini cenderung mengalami penurunan, hingga periode ke-15 pengaruh dari konsumsi hanya sebesar 33.16%. Pengeluaran pemerintah yang pada periode awal menempati posisi kedua memengaruhi konsumsi menjadi pengaruh utama mulai periode ketujuh. Pada periode awal peranan pengeluaran pemerintah sebesar 13.47% menjadi 44.12% pada periode ke-15. PDB hanya mampu menjelaskan konsumsi sebesar 6.43% pada awal periode turun menjadi 2.37% pada periode ke-15. Komponen yang paling dominan memengaruhi konsumsi di Korea Selatan adalah PDB. Pada awal periode pengaruhnya hampir mencapai 46.11%. Pengaruh ini cenderung menurun dan mencapai kestabilan pada nilai 29.75%. Pengaruh dari konsumsi sendiri pada awalnya sebesar 50.04% namun pada periode ke-15 hanya sebesar 13.68%. Pengeluaran pemerintah mampu menjelaskan konsumsi sebesar 3.85% pada awal periode menjadi 22.04% pada periode ke-15. Faktor yang paling dominan memengaruhi konsumsi di Jepang adalah PDB, yang mempunyai peranan sebesar 54.77% pada periode pertama. Pengaruh ini cenderung meningkat walaupun tidak terlalu besar, pada periode ke-15 pengaruhnya menjadi 63.08%. Konsumsi sendiri mempunyai pengaruh 21.65% pada periode awal dan cenderung mengalami penurunan, sehingga pada periode ke-15 hanya sebesar 2.88%. Pengaruh dari pengeluaran pemerintah berkisar antara 23.57% pada periode awal menjadi 29.94% pada periode ke-15. 5.6.3 Derajat Pass-Through Berdasarkan Tabel 5.3, derajat pass-through untuk variabel konsumsi yang terbesar terjadi di Indonesia dengan nilai sebesar 0.48% diikuti oleh Korea Selatan sebesar 0.44%. Pass-through negatif juga terjadi di Jepang dan Singapura, kenaikan pengeluaran pemerintah di Singapura sebesar satu persen mengurangi konsumsi sebesar 0.10%, sementara itu di Jepang terjadi penurun konsumsi sebesar 0.30%. Negara Philipina, Thailand dan Malaysia mempunyai derajat passthrough yang relatif sama, dengan rata-rata kenaikan konsumsi sebesar 0.26%. 76 Tabel 5.3 Derajat pass-through G terhadap konsumsi No 1 2 3 4 5 6 7 Negara Indonesia Malaysia Singapura Thailand Philipina Korea Selatan Jepang Derajat Pass-Through 0.48 0.27 -0.10 0.26 0.26 0.44 -0.30 Sumber: diolah 5.6.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Konsumsi Pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh yang sama terhadap konsumsi di Negara ASEAN+3, kecuali Singapura dan Jepang. Indonesia adalah merupakan negara yang paling besar merespon kenaikan pengeluaran pemerintah terhadap konsumsi. Fungsi konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan disposable, yaitu pendapatan yang telah dikurangi oleh pajak. Ini sejalan dengan pengaruhnya terhadap output/PDB, bahwa pengaruh paling besar juga terjadi di Indonesia, pengaruh yang paling kecil terjadi di Singapura dan Jepang. Peningkatan konsumsi yang disebabkan oleh guncangan pengeluaran pemerintah sejalan dengan penelitian Fatas dan Mihov (2000) bahwa inovasi positif dari pengeluaran pemerintah akan diikuti dengan peningkatan konsumsi. Berdasarkan derajat pass-through, pengaruh terkecil juga terjadi di Singapura dan Jepang. Ini mengindikasikan bahwa semakin maju suatu negara maka pengaruh dari peranan pemerintah semakin kecil. Berdasarkan komponen yang memengaruhi konsumsi di Negara-negara ASEAN+3, yang utama adalah PDB, kecuali di Indonesia dan Philipina faktor pengeluaran pemerintah lebih dominan memengaruhi konsumsi. Komposisi konsumsi di Singapura lebih dipengaruhi oleh variabilitas internal, yaitu konsumsi itu sendiri. Derajat passthrough juga mengalami penurunan seiring dengan kenaikan pada konsumsi per kapita, kecuali Negara Korea Selatan, derajat pass-through untuk konsumsi tetap tinggi walaupun konsumsi per kapita sudah tinggi, terlihat pada Gambar 5.6. 77 Grafik hubungan derajat pass‐through dengan konsumsi per kapita Pass‐through effect 0.60 0.40 0.20 0.00 ‐0.20 ‐ 5,000 ‐0.40 Indonesia 10,000 15,000 20,000 25,000 Konsumsi per kapita Malaysia Singapura Thailand Philipina Korea Jepang Gambar 5.6 Hubungan derajat pass-through dengan konsumsi per kapita 5.7 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Investasi 5.7.1 Analisis Impulse Response Function Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap investasi mempunyai pengaruh yang sama dengan PDB dan konsumsi. Semua negara merespon positif pengeluaran pemerintah terhadap investasi kecuali Jepang dan Singapura. Philipina mempunyai pengaruh yang terbesar akibat dari guncangan pengeluaran pemerintah dibandingkan dengan negara lainnya. Investasi di Philipina merespon guncangan pengeluaran pemerintah berkisar antara 4.68% sampai 16.92% dan mulai terlihat stabil pada periode ke-20, terlihat pada Gambar 5.7. Indonesia mengalami respon terbesar kedua dengan respon pada awal periode sebesar 5.55% dan mencapai kestabilan pada nilai 15.08%. Negara Malaysia, Thailand dan Korea Selatan mempunyai respon yang hampir sama yang berfluktuasi antara 1.42% sampai 8.49%. Ketiga negara ini mencapai titik keseimbangan baru pada periode ke-20 dengan respon masing-masing sebesar 6.78%, 4.75% dan 3.50%. Respon investasi dengan kenaikan pengeluaran pemerintah di Jepang pada awal periode sebesar -0.40%, respon investasi ini cenderung turun sampai pada periode ke-15 dengan respon sebesar -0.21%. Respon investasi di Singapura mengalami penurunan yang relatif besar dan signifikan akibat dari guncangan pengeluaran pemerintah. Responnya cenderung menurun dari -1.66% pada awal periode menjadi -6.98% pada periode ke-17. 78 Respon I terhadap G di Indonesia 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000 ‐0.050 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.100 Periode Respon I terhadap G di Malaysia Respon I terhadap G di Singapura 0.200 0.200 0.150 0.150 0.100 0.100 0.050 0.050 0.000 0.000 ‐0.050 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.100 ‐0.050 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.100 Periode Periode Respon I terhadap G di Philipina Respon I terhadap G di Thailand 0.200 0.200 0.150 0.150 0.100 0.100 0.050 0.050 0.000 0.000 ‐0.050 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.050 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.100 ‐0.100 Periode Periode Respon I terhadap G di Korsel Respon I terhadap G di Jepang 0.200 0.200 0.150 0.150 0.100 0.100 0.050 0.050 0.000 0.000 ‐0.050 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.100 ‐0.050 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.100 Periode Periode Gambar 5.7 Respon investasi terhadap guncangan G 79 5.7.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Variabilitas investasi yang terlihat pada Gambar 5.8 menunjukkan bahwa di Indonesia pada awalnya dipengaruhi oleh investasi itu sendiri sebesar 39.39%. Pengeluaran pemerintah menempati posisi kedua dengan pengaruh sebesar 38.80%. Pada periode selanjutnya komposisinya menjadi berubah, peranan investasi sendiri menjadi berkurang sebaliknya peranan pengeluaran pemerintah menjadi meningkat. Pada periode ke-15 pengaruh investasi hanya sebesar 15.00% sedangkan peranan pengeluaran pemerintah menjadi 52.61%. Peranan PDB dan konsumsi masing-masing sebesar 16.17% dan 7.75%. Peranan terbesar dalam pembentukan investasi di Malaysia adalah PDB. Selama 15 periode waktu, peranannya relatif stabil dengan rata-rata sebesar 67.98%. Pengaruh pengeluaran pemerintah yang pada periode awal sebesar 20.67% menjadi 12.31% pada periode ke-15. Investasi sendiri memiliki peranan sebesar 8.28% pada periode awal menjadi 15.55% pada periode ke-15. Variabilitas pada invetasi di Singapura pada awalnya didominasi oleh investasi itu sendiri sebesar 70.48%, diikuti oleh PDB yang mampu memberikan kontribusi sebesar 24.81%. Pengeluaran pemerintah mampu memberikan kontribusi sebesar 4.69% pada awal periode. Pada periode ke-15 PDB naik signifikan mengungguli pengaruh dari investasi yaitu sebesar 46.23%, sementara investasi hanya 34.03%. Pengeluaran pemerintah juga mengalami kenaikan kontribusi menjadi 16.78%. Variabel konsumsi, IHK dan suku bunga tidak terlalu berpengaruh terhadap investasi. Investasi di Thailand sangat dipengaruhi oleh PDB, pada periode awal pengaruhnya sebesar 73.15% hingga periode ke-15 nilainya cenderung berkurang menjadi 29.13%, tetapi pengaruhnya masih dominan. Sementara itu investasi sendiri pada awal periode memberikan kontribusi sebesar 8.30% mengalami penurunan pada periode ke-15 menjadi 1.28%. Pengeluaran pemerintah, suku bunga dan konsumsi mengalami kenaikan kontribusi, pengeluaran pemerintah naik dari 8.47% menjadi 24.92%. Suku bunga mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari 0.10% pada periode kedua menjadi 23.61 pada periode ke-15. 80 VD of I Indonesia 100 DM 80 Persen R 60 IHK 40 I 20 C 0 Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode 100 IHK 0 80 G Persen IHK 40 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode R 60 IHK I C 20 C Y 0 Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode G 100 IHK 40 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode R 60 IHK 40 I C 20 C Y 0 I 20 DM 80 R 60 G VD of I Jepang DM 80 Persen DM 80 VD of I Korea Selatan 100 100 40 I 20 G VD of I Philipina R 60 Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode DM 0 Y 0 100 C VD of I Thailand 20 Persen C 20 IHK I I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode R 60 40 40 R 60 DM 80 Persen Persen 100 DM 80 VD of I Singapura Persen VD of I Malaysia G G Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode Gambar 5.8 FEVD investasi G 81 Variabilitas investasi di Philipina awalnya sangat dipengaruhi oleh PDB sebesar 44.69%, investasi sendiri sebesar 36.38%, sementara itu pengaruh dari pengeluaran pemerintah sebesar 14.31%. Pada periode selanjutnya PDB dan investasi mengalami penurunan kontribusi sedangkan pengeluaran pemerintah mengalami kenaikan. Pada periode ke-15 kontribusi pengeluaran pemerintah menjadi 60.45%, PDB sebesar 27.12% dan investasi menjadi 1.94%. Peranan suku bunga relatif stabil yaitu sebesar 4.80%, IHK memberikan pengaruh 4.05% dan suku bunga sebesar 1.23% pada periode ke-15. Investasi di Korea Selatan sangat dipengaruhi oleh PDB dengan nilai sebesar 60.85%, kemudian peranannya cenderung berkurang menjadi 50.81%. Investasi pada periode awal memberikan peranan sebesar 32.82% turun dengan cukup signifikan menjadi 3.30% sementara itu pengeluaran pemerintah naik dari 5.12% menjadi 16.33%. Faktor yang lainnya seperti konsumsi memengaruhi sebesar 15.93%, IHK sebesar 7.47% dan suku bunga 2.99%. Variabilitas investasi di Jepang sangat dipengaruhi oleh PDB yang awalnya sebesar 82.22% turun menjadi 49.34% pada periode ke-15. Pengaruh dari investasi sendiri mengalami peningkatan dari 15.58% menjadi 19.73% pada periode ke-15. Konsumsi juga mengalami peningkatan pengaruh dari 1.43% pada periode awal, naik menjadi 18.37% pada periode ke-15. Pengeluaran pemerintah dan suku bunga memberikan pengaruh yang sangat kecil yaitu kurang dari satu persen. 5.7.3 Derajat Pass-Through Dampak kenaikan pengeluaran pemerintah terhadap kenaikan investasi yang terbesar terjadi di Indonesia diikuti Negara Philipina dan Malaysia. Kenaikan pengeluaran pemerintah sebesar satu persen menyebabkan kenaikan pada investasi masing-masing sebesar 1.60%, 1.55% dan 1.51%. Ketiga negara ini mengalami complete pass-through. Negara Korea Selatan dan Thailand menempati posisi selanjutnya, dengan derajat pass-through sebesar 0.83% dan 0.75%. Negara Jepang dan Singapura merespon negatif kenaikan pengeluaran pemerintah. Penurunan terbesar pada investasi terjadi di Singapura sebesar 1.18%, sementara itu di Jepang 0.06%, seperti terlihat pada Tabel 5.4 82 Tabel 5.4 Derajat pass-through G terhadap investasi No Negara Derajat Pass-Through 1 2 3 4 5 6 7 Indonesia Malaysia Singapura Thailand Philipina Korea Selatan Selatan Jepang 1.60 1.51 -1.18 0.75 1.55 0.83 -0.06 Sumber: diolah 5.7.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Investasi Berdasarkan IRF, pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap investasi sama seperti pengaruhnya terhadap PDB dan konsumsi. Semua negara merespon positif guncangan pengeluaran pemerintah kecuali Singapura dan Jepang. Respon positif terbesar terjadi di Philipina dan diikuti Indonesia. Negara Malaysia, Thailand dan Korea Selatan merespon positif tetapi tidak terlalu besar. Derajat pass-through terkecil juga terjadi di Jepang dan Singapura. Ini juga mengindikasikan semakin kecilnya peranan pemerintah di kedua negara tersebut, terlihat pada Gambar 5.9. Berdasarkan FEVD, faktor utama yang memengaruhi investasi adalah PDB, kecuali di Indonesia dan Philipina. Di Indonesia dan Philipina peranan pemerintah lebih dominan. Ini mengindikasikan peranan pemerintah sangat diperlukan untuk mendorong perekonomian. Grafik hubungan derajat pass‐through dengan investasi per kapita Pass‐through effect 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 ‐0.50 ‐ 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 ‐1.00 ‐1.50 Indonesia Investasi per kapita Malaysia Singapura Thailand Philipina Korea Jepang Gambar 5.9 Hubungan derajat pass-through dengan investasi per kapita 83 5.8 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap IHK 5.8.1 Analisis Impulse Response Function Berdasarkan Gambar 5.10 terlihat bahwa kenaikan satu standar deviasi pada pengeluaran pemerintah direspon berbeda oleh IHK di masing-masing negara. Korea Selatan dan Malaysia merespon positif guncangan dari pengeluaran pemerintah tetapi negara lainnya merespon negatif. Korea Selatan merupakan negara yang terbesar merespon guncangan pengeluaran pemerintah, pada periode awal memberikan respon sebesar 1.63% dan cenderung naik mencapai kestabilan pada periode ke-25 dengan respon sebesar 5.16%. Malaysia pada dua periode awal merespon negatif, tapi pada periode selanjutnya terus naik dan menjadi positif. Kestabilan terjadi pada periode ke-19 dengan respon sebesar 1.18%. Negara Jepang, Indonesia, Thailand, Philipina dan Singapura merespon kenaikan pengeluaran pemerintah dengan penurunan pada IHK. Penurunan terbesar terjadi di Singapura dengan nilai sebesar 5.19% pada tingkat kestabilannya. Penurunan IHK di Jepang relatif kecil dengan nilai respon sebesar 1.14% pada periode ke-17. Negara Indonesia dan Thailand mempunyai respon IHK yang relatif sama terhadap kenaikan pengeluaran pemerintah, kestabilan terbentuk dengan nilai masing-masing -1.76% dan -2.24%. Pada periode kedua di Philipina, IHK mengalami penurunan terbesar akibat guncangan pengeluaran pemerintah. Respon IHK pada periode ini sebesar -6.94% dan cenderung naik sehingga mencapai kestabilan pada tingkat -5.16%. 5.8.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Variabilitas IHK di Indonesia seperti yang terlihat pada Gambar 5.11, pada awal periode kontribusi dari masing-masing variabel hampir sama. Penyumbang kontribusi terbesar yaitu pengeluaran pemerintah sebesar 32.25%, diikuti oleh IHK sendiri sebesar 29.76%, PDB sebesar 23.20% dan investasi sebesar 14.68%. Pada periode selanjutnya peranan pemerintah dan PDB mengalami penurunan sementara itu investasi dan IHK mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada periode ke-15 peranan terbesar diberikan oleh IHK itu sendiri sebesar 52.45%, diikuti oleh investasi sebesar 23.00%. Peranan PDB menjadi 9.57% dan pengeluaran pemerintah menjadi 6.49%. 84 Respon IHK terhadap G di Indonesia 0.070 0.020 ‐0.030 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.080 Periode Respon IHK terhadap G di Malaysia Respon IHK terhadap G di Singapura 0.070 0.070 0.020 0.020 ‐0.030 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.080 ‐0.030 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.080 Periode Periode Respon IHK terhadap G di Thailand Respon IHK terhadap G di Philipina 0.070 0.070 0.020 0.020 ‐0.030 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.030 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.080 ‐0.080 Periode Periode Respon IHK terhadap G di Korsel Respon IHK terhadap G di Jepang 0.070 0.070 0.020 0.020 ‐0.030 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.080 ‐0.030 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.080 Periode Periode Gambar 5.10 Respon harga terhadap guncangan G 85 Pada awal periode variabilitas IHK di Malaysia dipengaruhi oleh dirinya sendiri sebesar 96.88%. Hingga periode ke-15 pengaruhnya turun menjadi 40.00%, tetapi tetap yang paling dominan memengaruhi IHK. Pengaruh dari PDB terhadap IHK pada awal periode hanya sebesar 0.59% tetapi pada periode ke-15 menjadi 17.01%. Konsumsi memberikan peranan sebesar 14.96% pada periode ke-15 dan pengeluaran pemerintah memberikan kontribusi sebesar 4.05%. Kontribusi terbesar terhadap IHK di Singapura pada awal periode diberikan oleh IHK itu sendiri sebesar 70.45% diikuti oleh pengeluaran pemerintah sebesar 27.97%. Pada periode selanjutnya terjadi pergeseran kontribusi, pengeluaran pemerintah menjadi pengaruh terbesar terhadap IHK, yaitu sebesar 47.90% pada periode ke-15. Variabilitas selanjutnya diberikan oleh PDB sebesar 33.51% dan IHK sendiri mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi 11.75% pada periode ke-15. Konsumsi hanya memberikan kontribusi sebesar 4.93% terhadap IHK. Variabilitas IHK di Thailand pada awal periode didominasi oleh IHK sebesar 65.92%, diikuti oleh pengeluaran pemerintah sebesar 18.76% dan investasi sebesar 13.43%. Variabel pengeluaran pemerintah dan investasi mengalami penurunan kontribusi pada periode selanjutnya menjadi 14.56% dan 9.38% sementara itu IHK sendiri mengalami kenaikan kontribusi menjadi 72.68% pada periode ke-15. Pengaruh dari PDB tidak terlalu besar terhadap IHK, hanya sebesar 2.38% pada periode ke-15. Peranan IHK dan pengeluaran pemerintah mendominasi variabilitas terhadap IHK di Philipina. Pada awal periode masing-masing menyumbangkan peranan sebesar 57.33% dan 39.07% dan pada periode ke-15 menjadi 46.71% dan 28.69%. Konsumsi mengalami peningkatan kontribusi dari 1.99% pada awal periode menjadi 11.96%, sementara itu PDB memberikan kontribusi sebesar 9.29% pada periode ke-15. Hal yang sama juga terjadi di Korea Selatan, IHK dan pengeluaran pemerintah memberikan kontribusi terbesar terhadap variabilitas IHK. Pada periode ke-15, faktor internal memberikan peranan sebesar 40.90%, sedangkan pengeluaran pemerintah sebesar 38.20%. PDB dan investasi memberikan pengaruh masing-masing sebesar 7.03% dan 5.71% pada periode yang sama. 86 VD of IHK Indonesia 100 DM 80 Persen R 60 IHK 40 I 20 C 0 100 DM 80 IHK 80 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode I C C Y 0 Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode G G VD of IHK Jepang 100 DM 80 Persen IHK 20 VD of IHK Korea Selatan 100 IHK 40 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode R 60 IHK 40 I C 20 C Y 0 I 20 DM 80 R 60 0 R 60 40 I 20 G DM 80 Persen Persen IHK 40 100 R 60 Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode G DM 0 Y VD of IHK Philipina 100 C 0 VD of IHK Thailand 20 Persen C 20 IHK I I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode R 60 40 40 0 DM 80 R 60 100 Persen Persen G VD of IHK Singapura VD of IHK Malaysia Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode G Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode Gambar 5.11 FEVD harga G 87 Kondisi di Jepang hampir sama dengan negara lainnya, pada periode pertama IHK Jepang juga dipengaruhi oleh IHK itu sendiri sebesar 62.72% diikuti oleh PDB sebesar 16.91%. Investasi dan konsumsi memberikan pangaruh sebesar 10.83% dan 8.50%. Pada periode ke-15, konsumsi mengalami peningkatan peranan yang cukup signifikan dan menjadi variabel utama yang memengaruhi IHK yaitu sebesar 46.00%. Faktor internal sendiri mengalami penurunan peranan menjadi 24.04%, sementara itu variabel PDB mengalami peningkatan peranan dari 16.91% menjadi 20.51%. Peranan investasi mengalami penurunan yang cukup signifikan dari 10.83% menjadi 0.60%. 5.8.3 Derajat Pass-Through Berdasarkan Tabel 5.5, pengeluaran pemerintah memberikan dampak negatif terhadap harga (IHK) hampir seluruh Negara ASEAN+3, kecuali di Malaysia dan Korea Selatan. Peningkatan IHK terbesar terjadi di Korea Selatan yaitu sebesar 1.15% akibat kenaikan pengeluaran pemerintah sebesar satu persen dan Malaysia merespon kenaikan pengeluaran pemerintah sebesar 0.24%. Penurunan terbesar IHK akibat kenaikan pengeluaran pemerintah terjadi Singapura dan Philipina dengan nilai sebesar -0.88% dan -0.45%. Indonesia dan Jepang memiliki derajat pass-through yang relatif sama, yaitu sebesar -0.22% akibat guncangan pengeluaran pemerintah sebesar satu persen. Tabel 5.5 Derajat pass-through G terhadap indeks harga konsumen No 1 2 3 4 5 6 7 Negara Indonesia Malaysia Singapura Thailand Philipina Korea Selatan Jepang Derajat Pass-Through -0.22 0.24 -0.88 -0.33 -0.45 1.15 -0.23 Sumber: diolah 88 5.8.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap IHK Berdasarkan teori, kenaikan pengeluaran pemerintah akan meningkatkan harga secara umum, tetapi pengaruh guncangan pengeluaran pemerintah direspon secara berbeda di masing-masing Negara ASEAN+3. Kenaikan harga hanya terjadi di Korea Selatan dan Malaysia, sedangkan negara lainnya merespon negatif kenaikan dari pengeluaran pemerintah terhadap IHK. Berdasarkan derajat passthrough, pengaruh terbesar terjadi di Korea Selatan dan terkecil di Singapura. Berdasarkan variabilitas yang memengaruhi IHK di Negara ASEAN+3, variabel yang dominan adalah IHK itu sendiri, kecuali di Singapura dan Jepang. Variabel utama yang memengaruhi IHK di Singapura adalah pengeluaran pemerintah, sementara itu di Jepang lebih disebabkan oleh konsumsi. Pengaruh yang berbeda ini juga terdapat di dalam penelitian Afonso dan Sousa (2009), bahwa guncangan pengeluaran pemerintah di respon positif di Amerika Serikat, Inggris dan Italia, tapi direspon negatif di Jerman. 5.9 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Suku Bunga 5.9.1 Analisis Impulse Response Function Pada Gambar 5.12 terlihat bahwa di Singapura, Jepang dan Indonesia respon suku bunga negatif, dan respon negatif yang paling besar adalah di Jepang. Respon suku bunga di Jepang pada periode awal dengan kenaikan pengeluaran pemerintah sebesar satu standar deviasi direspon positif sebesar 1.44%. Pada periode selanjutnya respon ini cenderung turun dan mencapai kestabilan pada periode ke-20 sebesar -14.63%. Respon suku bunga di Indonesia pada periode awal mencapai -17.37% kemudian pada periode kedua turun lagi pada level 23.88% dan periode selanjutnya mulai stabil dengan nilai sebesar -14.20% pada periode ke-14. Respon suku bunga di Singapura pada periode awal hanya sebesar -1.78%, respon ini cenderung turun dan mencapai kestabilan pada periode ke-15 sebesar 9.06%. 89 Respon R terhadap G di Indonesia 0.300 0.200 0.100 0.000 ‐0.100 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.200 ‐0.300 Periode Respon R terhadap G di Malaysia Respon R terhadap G di Singapura 0.300 0.300 0.200 0.200 0.100 0.100 0.000 0.000 ‐0.100 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.100 1 6 ‐0.200 ‐0.200 ‐0.300 ‐0.300 Periode Periode Respon R terhadap G di Thailand Respon R terhadap G di Philipina 0.300 0.300 0.200 0.200 0.100 0.100 0.000 0.000 ‐0.100 11 16 21 26 31 36 41 46 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.200 ‐0.100 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.200 ‐0.300 ‐0.300 Periode Periode Respon R terhadap G di Korsel Respon R terhadap G di Jepang 0.300 0.300 0.200 0.200 0.100 0.100 0.000 ‐0.100 1 0.000 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.200 ‐0.100 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 ‐0.200 ‐0.300 ‐0.300 Periode Periode Gambar 5.12 Respon suku bunga terhadap guncangan G 90 Respon suku bunga tertinggi terjadi di Philipina, walaupun pada awal periode responnya -4.45% tetapi pada periode selanjutnya terus naik dan mencapai kestabilan pada periode ke-20 dengan respon sebesar 10.60%. Respon suku bunga di Malaysia pada awalnya 2.73%, kemudian sempat naik pada periode ketiga sebesar 8.73%, tetapi pada periode selanjutnya cenderung berkurang dan mencapai keseimbangan pada periode ke-15 sebesar 7.90%. Thailand dan Korea Selatan mempunyai pergerakkan respon yang hampir sama. Pada periode awal merespon negatif guncangan dari pengeluaran pemerintah tetapi pada periode selanjutnya positif, dan mencapai keseimbangan pada periode ke-24 dengan respon masing-masing sebesar 1.61% dan 0.30%. 5.9.2 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Berdasarkan Gambar 5.13, variabilitas suku bunga di Indonesia dipengaruhi oleh suku bunga sendiri sebesar 51.90% pada periode pertama. Pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh sebesar 36.43%, variabel konsumsi dan investasi memberikan pengaruh masing-masing 5%. Pengaruh dari suku bunga tidak banyak mengalami perubahan, hingga periode ke-15 menjadi 52.79%, sementara itu pengaruh dari pengeluaran pemerintah turun menjadi 20.90%. Variabilitas PDB menjadi bertambah dari 0.31% pada periode pertama menjadi 15.85% pada periode ke-15, sementara itu konsumsi turun menjadi 2.80%. Variabilitas suku bunga di Malaysia pada periode pertama lebih disebabkan oleh suku bunga itu sendiri sebesar 64.93%, IHK sebesar 23.91% dan investasi sebesar 5.73%. Pada periode ke-15 suku bunga turun menjadi 25.72% , IHK turun menjadi 4.74% sedangkan PDB mengalami kenaikan yang cukup signifikan menjadi 52.00%. Pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh sebesar 8.71% pada periode ke-15. Hal yang sama juga di Singapura, variabilitas suku bunga di Singapura didominasi oleh suku bunga sendiri sebesar 87.92% pada periode pertama, tetapi pada periode selanjutnya kontribusinya berkurang menjadi 19.53% pada periode ke-15. PDB mengalami peningkatan pengaruh yang signifikan, peranan PDB menjadi yang paling utama memengaruhi suku bunga menjadi 65.96%. Pengeluaran pemerintah pada periode awal memberikan peranan sebesar 0.67%, naik menjadi 8.36%. 91 VD of R Indonesia 100 DM 80 Persen R 60 IHK 40 I 20 C 0 VD of R Malaysia 100 DM 80 Persen IHK 40 I 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode 100 80 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode Persen R 60 IHK I C 20 C Y 0 Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode G G VD of R Jepang 100 DM 80 R 60 IHK 40 I C 20 C Y 0 I 20 DM 80 40 IHK 40 G VD of R Philipina R 60 Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode G DM 0 Y VD of R Korea Selatan C 0 I 0 20 IHK 40 C R 60 Persen I Persen IHK 40 DM 80 R 60 VD of R Thailand 100 DM 80 Persen 100 R 60 G VD of R Singapura Persen Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode G Y 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Periode G Gambar 5.13 FEVD suku bunga 92 Variabilitas suku bunga di Thailand pada awalnya juga dipengaruhi oleh suku bunga itu sendiri sebesar 77.43%, tetapi kontribusi tersebut mengalami penurunan hingga mencapai 46.09% pada periode ke-15. Pengaruh investasi naik dari 3.21% pada periode awal menjadi 8.92% pada periode ke-15. Peranan pengeluaran pemerintah menjadi berkurang dari 12.03% pada periode awal menjadi 2.10% pada periode ke-15, sementara itu peranan IHK naik dari 4.10% menjadi 27.97% pada periode yang sama. Variabel dari suku bunga itu sendiri masih dominan memberikan kontribusi dalam menjelaskan variabilitas suku bunga di Philipina untuk setiap periode peramalan. Pada periode pertama memberikan kontribusi sebesar 66.99% dan periode ke-15 turun menjadi 32.74%. Kontribusi IHK pada periode pertama sebesar 11.66% menjadi 31.52% pada periode ke-15, hal yang sama juga terjadi pada pengeluaran pemerintah dari 4.55% menjadi 22.53%. Variabilitas suku bunga di Korea Selatan pada periode pertama lebih didominasi oleh suku bunga itu sendiri sebesar 90.74%, diikuti oleh investasi sebesar 4.16% dan PDB sebesar 2.85%. Pada periode ke-15, walaupun suku bunga tetap mendominasi sebesar 67.32% namun komposisinya berbeda. Pengaruh terbesar kedua disebabkan oleh PDB sebesar 11.95% diikuti oleh konsumsi dengan nilai sebesar 6.56%. Variabilitas suku bunga di Jepang pada awal periode dipengaruhi oleh suku bunga itu sendiri sebesar 95.31%, diikuti oleh PDB sebesar 2.10%. Pada periode ke-15 pengaruh terbesar masih diberikan oleh suku bunga yakni sebesar 64.31% kemudian diikuti oleh PDB dan investasi masing-masing sebesar 26.39% dan 2.78%. Tabel 5.6 Derajat pass-through G terhadap suku bunga No 1 2 3 4 5 6 7 Negara Indonesia Malaysia Singapura Thailand Philipina Korea Selatan Jepang Sumber: diolah Derajat Pass-Through -1.59 1.74 -1.53 0.27 0.93 0.12 -3.06 93 5.9.3 Derajat Pass-Through Tabel 5.6 menunjukkan derajat pass-through suku bunga akibat guncangan dari pengeluaran pemerintah. Dampak negatif terjadi di Jepang, Indonesia dan Singapura dengan nilai -3.06%, -1.59% dan -1.53%. Kenaikan pengeluaran pemerintah sebesar satu persen direspon dengan penurunan suku bunga di ketiga negara tersebut. Kenaikan suku bunga terbesar terjadi di Malaysia dengan dampak sebesar 1.74% diikuti oleh Philipina sebesar 0.93%. Thailand dan Korea Selatan mempunyai dampak yang relatif kecil, pengeluaran pemerintah sebesar satu persen menyebabkan suku bunga naik menjadi 0.27% dan 0.12%. 5.9.4 Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Suku Bunga Respon suku bunga akibat guncangan pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh yang berbeda di masing-masing negara. Respon positif tertinggi terjadi di Philipina dan diikuti oleh Malaysia. Respon positif juga terjadi di Thailand dan Korea Selatan dengan nilai yang relatif sama. Penurunan suku bunga terjadi di Indonesia, Jepang dan Singapura, ini terlihat juga pada derajat pass-through. Variabel yang paling dominan memengaruhi suku bunga adalah adalah suku bunga itu sendiri, kecuali di Malaysia dan Singapura. Pengaruh PDB terhadap suku bunga lebih dominan di kedua negara ini. Penurunan suku bunga ini juga ditemukan dalam penelitian Mountford dan Uhlig (2005), bahwa guncangan pengeluaran pemerintah di Amerika Serikat menyebabkan penurunan pada suku bunga. 5.10 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah di Indonesia Pengeluaran pemerintah di Indonesia masih sangat dominan mempengaruhi perekonomian. Respon terhadap PDB dan konsumsi akibat kenaikan dari pengeluaran pemerintah masih sangat dominan jika dibandingkan dengan Negaranegara ASEAN+3 lainnya. Pengaruh terbesar kedua untuk kedua variabel tersebut terjadi di Philipina, ini membuktikan bahwa Indonesia dan Philipina memiliki tingkat perekonomian yang sama. Respon investasi akibat guncangan pengeluaran pemerintah, Indonesia menempati posisi kedua setelah Philipina. Kenaikan investasi akibat kenaikan tersebut masih relatif lebih besar jika 94 dibandingkan dengan negara lainnya. Pengaruh terhadap IHK dan suku bunga menjadi negatif. Kebijakan fiskal khususnya pengeluaran pemerintah di Indonesia masih sangat diperlukan. VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang ditelah dilakukan mengenai dampak pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian di Negara-negara ASEAN+3, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1 Dampak pengeluaran pemerintah terhadap variabel makroekonomi sama di Negara-negara ASEAN+3, kecuali Singapura dan Jepang. Kenaikan pengeluaran pemerintah direspon positif oleh PDB, konsumsi dan investasi, sementara itu di Singapura dan Jepang kenaikan pengeluaran pemerintah direspon negatif. Respon positif terbesar terjadi di Indonesia dan Philipina, sedangkan di Thailand, Malaysia dan Korea mempunyai respon yang relatif sama. 2 Guncangan pengeluaran pemerintah terhadap variabel moneter (IHK dan suku bunga) memberikan pengaruh yang berbeda-beda di masing-masing negara. Respon IHK yang positif terjadi di Korea, sebaliknya yang negatif terjadi Singapura, Thailand dan Philipina. Pengaruh yang sangat kecil dan tidak signifikan terjadi di Malaysia, Indonesia dan Jepang. Kenaikan suku bunga akibat pengeluaran pemerintah terjadi di Philipina, Malaysia, Thailand dan Korea, sementara itu di negara lainnya terjadi penurunan suku bunga. 3 Berdasarkan hasil variance decomposition, variabel PDB lebih dominan menjelaskan variabilitas pada PDB, konsumsi dan investasi. Variabilitas pada IHK dan suku bunga dipengaruhi oleh faktor internal itu sendiri. 6.2. Saran 1 Penelitian ini menunjukkan bahwa peranan kebijakan fiskal khususnya pengeluaran pemerintah masih sangat dominan mempengaruhi perekonomian di negara berkembang. Perlu peran aktif dari Pemerintah terhadap perbaikan kebijakan fiskal dimasa yang akan datang. 96 2 Level perekonomian di kawasan ASEAN+3 masih belum seragam, ini terlihat dari respon variabel makroekonomi terhadap guncangan pengeluaran pemerintah yang berbeda antara negara maju dengan negara berkembang. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pembentukan Asian Currency Unit (ACU) dari sisi fiskal. 3 Disarankan untuk menggunakan variabel moneter lainnya seperti jumlah uang beredar, sehingga dapat melihat guncangan dari variabel tersebut terhadap variabel makro lainnya. DAFTAR PUSTAKA Abimanyu A. 2005. Kebijakan Fiskal dan Efektivitas Stimulus Fiskal di Indonesia. Jurnal Ekonomi Indonesia 1:1-35. Achsani N.A, Nababan HF. 2007. Dampak Perubahan Kurs (Pass-Through Effect) terhadap Tujuh Kelompok Indeks Harga Konsumen di Indonesia. Bogor: InterCAFE. Achsani N.A, Siregar H. 2010. Classification of the ASEAN+3 Economies Using Fuzzy Clustering Approach. European Journal of Scientific Research 39:489-497. Afonso A, Sousa RM. 2009. The Macroeconomic Effect of Fiscal Policy. Working Paper Series No.991. European Central Bank. Alfirman L, Sutriono E. 2006. Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto dengan Menggunakan Pendekatan Granger Causality dan VAR. Jurnal Ekonomi Indonesia 4:25-66. Arifin S, editor. 2008. Bangkitnya Perekonomian Asia Timur: Satu Dekade Setelah Krisis. Bank Indonesia. Jakarta: Gramedia. Barro R. 1990. Government Spending in a Simple Model of Endogenous Growth. Journal of Political Economy, 98: S103-S125. Blanchard O. 2006. Macroeconomics. New York: Prentice Hall Business Publishing. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kerangka Teori dan Analisis Tabel InputOutput. Jakarta: BPS. Chao, J.C.P. 1997. The Optimum Levels of Spending and Taxation in Canada. Unpublished paper. Department of Economics, Simon Fraser University. Castro F de. 2003. The Macroeconomic Effect of Fiscal Policy in Spain. Working Paper. Banco de Espana. Servicio De Estudios. Delis A. 2008. Dampak Alokasi Dana Pembangunan Infrastruktur terhadap Kinerja Ekonomi di Indonesia: Suatu Pendekatan Model Keseimbangan Umum [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Dornbusch R, Fisher S, Startz R. 2004. Makroekonomi, Ed ke-8.Yusuf W, Roy IM, penerjemah; Jakarta: Media Global. Terjemahan dari: Macroeconomics. 98 Enders W. 2004. Applied Econometrics Time Series. Ed ke-2 New York: John Willey and Sons, Inc. Engel RF, CWJ Granger. 1987. Cointegration and Error Correction: Representation, Estimation and Testing. Econometrica 55:12-16. Fatas A, Mihov I. 2000. The Effect of Fiscal Policy on Consumption and Employment: Theory and Evidence, CEPR Discussion Paper No.2760. Gillingham R, Newhouse D, Yackovlev I. 2008. The Distributional Impact of Fiscal Policy in Honduras. IMF Working Paper WP/08/168. Gramlich EM. 1990. Fiscal Indicators, OECD Department of Economics and Statistics Working Paper No.80. Gujarati D. 2006. Ekonometrika Dasar. Sumarno Z, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Hadi YS. 2003. Analisis Vector Autoregression (VAR) terhadap Korelasi antara Pendapatan dan Investasi Pemerintah di Indonesia, 1983/19841999/2000. Jurnal Keuangan dan Moneter 6:107-121. Hasanah H. 2007. Stabilitas Moneter pada Sistem Perbankan Ganda di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Hastuti RT. 2007. Dampak Kebijakan Moneter, Kebijakan Fiskal, dan Kebijakan Nilai Tukar terhadap Pendapatan Nasional periode sebelum dan sesudah krisis di Indonesia. Solo: UNS. Hemming R, Kell M, Mahfouz S. 2002. The Effectiveness of Fiscal Policy in Stimulating Economic Activity – A Review of Literature. IMF Working Paper WP/02/208. Hsing Y. 2005. Impact of Monetary Policy, Fiscal Policy and Currency Depreciation on Output: The Case of Venezuela. Briefing Notes in Economics No.65. Hsiao C. 2003. Analysis of Panel Data 2nd Edition. Cambridge: Cambridge University Press. Ilham N, Siregar H. 2007. Dampak Kebijakan Harga Pangan dan Kebijakan Moneter terhadap Stabilitas Ekonomi Makro. Jurnal Agro Ekonomi 25:55-83. Indrawati Y. 2007. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia: Pendekatan VAR. Parallel Session IC: Monetary and Macroeconomy. 99 Junaidi E. 2008. Analisis Kausalitas antara Harga Premium dengan Permintaan Sepeda Motor dan Mobil di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Katsimi M, Sarantides V. 2008. The Impact of Fiscal Policy on Profit. Athens: University of Economics and Business (AUEB). Kubo A. 2008. Macroeconomic Impact of Monetary Policy Shocks: Evidence from Recent Experience in Thailand. Journal of Asian Economics 19: 83-91. Lendvai J. 2007. The Impact of Fiscal in Hungaria. ECFIN Country Focus. Volume IV, Issue 11. Mangkosoebroto G. 1997. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE. Mankiw NG. 2007. Teori Makroekonomi, Ed ke-6 Liza F, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomics theory. Mendoza EG, Oviedo PM. 2005. Fiscal Policy and Macroeconomic Uncertainty in Emerging Market: The Tale of the Tormented Insurer. International Monetary Fund & NBER. Mountford A, Uhlig H. 2005. What are the Effect of Fiscal Policy Shocks?. Discussion Paper 2005-039. Musgrave RA. 1983. “Who Should Tax, Where, and What ?“ Dalam: Wallace E Oates (Ed) The Economics of Fiscal Federalism and Local Finance. Edward Elgar, Centelham, United Kingdom. Pasaribu SH. 2003. Eviews untuk Analisis Runtun Waktu (Times Series Analysis). Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Modul Pelatihan (Paket C). Pereira AM, Sagales OR. 2006. On Effect of Fiscal Policies in Portugal. Working Paper No.35. Department of Economics, College of William and Mary. Quantitative Micro Software. 2007. E-Views 4 User’s Guide. United State of America. Revised for Eviews 6.1. Sims CA.1972. Money, Income and Causality. American Economic Review Vol.62. Stiglitz J. 2000. Economics of The Public Sector. Third Edition. New York: WW Norton. 100 Tobin J. 2001. Fiscal Policy: Its Macroeconomics in Perspective. Discussion Paper No. 1301. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Ed ke-9. Munandar H, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Economic Development. Lampiran 1 : Uji Stasioneritas Data INDONESIA Level ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL (1) (2) 1 log (Y) -2.327 0.169 Tidak Stasioner 2 log (CC) -0.501 0.880 Tidak Stasioner 3 log (G) -1.730 0.408 Tidak Stasioner 4 log (I) -1.288 0.625 Tidak Stasioner 5 log (IHK) -1.364 0.590 Tidak Stasioner 6 log (R) -2.194 0.212 Tidak Stasioner HASIL (5) First Difference ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -4.225 0.002 Stasioner 2 log (CC) -7.424 0.000 Stasioner 3 log (G) -7.220 0.000 Stasioner 4 log (I) -3.692 0.008 Stasioner 5 log (IHK) -4.492 0.001 Stasioner 6 log (R) -5.732 0.000 Stasioner (5) 102 MALAYSIA Level ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -1.702 0.422 Tidak Stasioner 2 log (CC) -0.769 0.816 Tidak Stasioner 3 log (G) -0.570 0.865 Tidak Stasioner 4 log (I) -1.620 0.462 Tidak Stasioner 5 log (IHK) -1.108 0.699 Tidak Stasioner 6 log (R) -2.409 0.146 Tidak Stasioner (5) First Difference ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL (1) (2) 1 log (Y) -5.022 0.000 Stasioner 2 log (CC) -5.356 0.000 Stasioner 3 log (G) -4.210 0.002 Stasioner 4 log (I) -4.492 0.001 Stasioner 5 log (IHK) -4.049 0.004 Stasioner 6 log (R) -4.873 0.000 Stasioner HASIL (5) 103 SINGAPURA Level ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -1.999 0.286 Tidak Stasioner 2 log (CC) -0.480 0.884 Tidak Stasioner 3 log (G) -0.680 0.840 Tidak Stasioner 4 log (I) -0.678 0.840 Tidak Stasioner 5 log (IHK) -0.752 0.819 Tidak Stasioner 6 log (R) 0.143 0.965 Tidak Stasioner (5) First Difference ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -4.448 0.001 Stasioner 2 log (CC) -5.375 0.000 Stasioner 3 log (G) -6.167 0.000 Stasioner 4 log (I) -3.382 0.018 Stasioner 5 log (IHK) -2.584 0.011 Stasioner 6 log (R) -4.926 0.000 Stasioner (5) 104 THAILAND Level ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -1.368 0.587 Tidak Stasioner 2 log (CC) -1.279 0.629 Tidak Stasioner 3 log (G) -0.816 0.803 Tidak Stasioner 4 log (I) -1.437 0.553 Tidak Stasioner 5 log (IHK) -3.008 0.043 Stasioner 6 log (R) -0.855 0.791 Tidak Stasioner (5) First Difference ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -3.295 0.022 Stasioner 2 log (CC) -4.777 0.000 Stasioner 3 log (G) -4.116 0.003 Stasioner 4 log (I) -4.026 0.003 Stasioner 5 log (IHK) 6 log (R) (5) Stasioner -4.722 0.000 Stasioner 105 PHILIPINA Level ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -0.404 0.898 Tidak Stasioner 2 log (CC) -0.496 0.881 Tidak Stasioner 3 log (G) -1.167 0.678 Tidak Stasioner 4 log (I) -2.551 0.112 Tidak Stasioner 5 log (IHK) -3.414 0.017 Stasioner 6 log (R) -1.428 0.558 Tidak Stasioner (5) First Difference ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -3.625 0.010 Stasioner 2 log (CC) -3.833 0.006 Stasioner 3 log (G) -4.132 0.003 Stasioner 4 log (I) -4.076 0.003 Stasioner 5 log (IHK) 6 log (R) (5) Stasioner -5.736 0.000 Stasioner 106 KOREA SELATAN Level ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -2.264 0.188 Tidak Stasioner 2 log (CC) -0.578 0.864 Tidak Stasioner 3 log (G) -1.162 0.681 Tidak Stasioner 4 log (I) -2.926 0.052 Stasioner* 5 log (IHK) -3.421 0.017 Stasioner 6 log (R) -1.799 0.375 Tidak Stasioner (5) First Difference ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -4.987 0.000 Stasioner 2 log (CC) -6.410 0.000 Stasioner 3 log (G) -5.857 0.000 Stasioner 4 log (I) -4.375 0.001 Stasioner 5 log (IHK) 6 log (R) (5) Stasioner -5.441 0.000 Stasioner 107 JEPANG Level ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL HASIL (1) (2) 1 log (Y) -2.852 0.061 Tidak Stasioner 2 log (CC) -4.952 0.000 Stasioner 3 log (G) -3.413 0.017 Stasioner 4 log (I) -2.190 0.213 Tidak Stasioner 5 log (IHK) -2.153 0.226 Tidak Stasioner 6 log (R) -1.664 0.441 Tidak Stasioner (5) First Difference ADF STATISTIC t‐statistik Probability (3) (4) No VARIABEL (1) (2) 1 log (Y) 2 log (CC) Stasioner 3 log (G) Stasioner 4 log (I) -4.170 0.002 Stasioner 5 log (IHK) -1.870 0.050 Stasioner 6 log (R) -3.110 0.034 Stasioner -3.331 0.020 HASIL (5) Stasioner 108 Lampiran 2: Uji Lag Optimal INDONESIA Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R)) D(DM) Exogenous variables: C Date: 03/28/10 Time: 08:48 Sample: 1970 2008 Included observations: 35 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 269.1536 353.9875 407.9801 488.7941 NA 130.8866* 61.70582 60.03324 7.36e-16 1.01e-16 1.08e-16 5.44e-17* -14.98020 -17.02786 -17.31315 -19.13109* -14.66913* -14.53930 -12.64710 -12.28756 -14.87282 -16.16881 -15.70243 -16.76870* MALAYSIA Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R)) D(DM) Exogenous variables: C Date: 03/28/10 Time: 09:14 Sample: 1970 2008 Included observations: 35 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 352.4147 411.9798 447.9235 505.5351 NA 91.90054* 41.07848 42.79723 6.32e-18 3.66e-18* 1.10e-17 2.09e-17 -19.73798 -20.34170* -19.59563 -20.08772 -19.42691* -17.85315 -14.92958 -13.24419 -19.63060* -19.48265 -17.98491 -17.72534 SINGAPURA Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R)) D(DM) Exogenous variables: C Date: 03/28/10 Time: 09:31 Sample: 1970 2008 Included observations: 36 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 320.7792 373.1311 417.9467 NA 81.43639* 52.28487 6.34e-17 5.55e-17* 9.69e-17 -17.43218 -17.61840* -17.38593 -17.12427* -15.15514 -12.76733 -17.32471* -16.75865 -15.77391 109 THAILAND Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R)) D(DM) Exogenous variables: C Date: 03/28/10 Time: 09:44 Sample: 1970 2008 Included observations: 35 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 352.2416 422.0096 464.1417 533.6796 NA 107.6421* 48.15097 51.65670 6.38e-18 2.06e-18* 4.36e-18 4.19e-18 -19.72809 -20.91484 -20.52238 -21.69598* -19.41702* -18.42628 -15.85634 -14.85244 -19.62071 -20.05579* -18.91167 -19.33359 PHILIPINA Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R)) D(DM) Exogenous variables: C Date: 03/28/10 Time: 19:15 Sample: 1970 2008 Included observations: 35 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 323.8961 382.5839 438.6963 488.9243 NA 90.54700* 64.12841 37.31223 3.22e-17 1.96e-17 1.87e-17* 5.40e-17 -18.10835 -18.66194 -19.06836 -19.13853* -17.79728* -16.17338 -14.40231 -12.29500 -18.00096* -17.80289 -17.45764 -16.77614 110 KOREA SELATAN Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R)) D(DM) Exogenous variables: C Date: 03/28/10 Time: 19:25 Sample: 1970 2008 Included observations: 35 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 344.8006 420.8800 459.9052 523.7796 NA 117.3797* 44.60023 47.44952 9.76e-18 2.20e-18* 5.56e-18 7.37e-18 -19.30289 -20.85029 -20.28030 -21.13026* -18.99182* -18.36173 -15.61426 -14.28673 -19.19551 -19.99124* -18.66958 -18.76788 JEPANG Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R)) D(DM) Exogenous variables: C Date: 03/28/10 Time: 10:07 Sample: 1970 2008 Included observations: 35 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 383.9837 468.1095 519.6679 596.7960 NA 129.7941* 58.92390 57.29515 1.04e-18 1.48e-19 1.83e-19 1.14e-19* -21.54193 -23.54912 -23.69531 -25.30263* -21.23086* -21.06056 -19.02927 -18.45910 -21.43455 -22.69007 -22.08459 -22.94024* 111 Lampiran 3: Pengujian Stabilitas VAR INDONESIA Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R)) D(DM) Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 03/28/10 Time: 08:48 Root Modulus 0.729748 -0.262730 - 0.348904i -0.262730 + 0.348904i 0.269648 - 0.166821i 0.269648 + 0.166821i -0.123849 -0.068635 0.729748 0.436762 0.436762 0.317079 0.317079 0.123849 0.068635 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. MALAYSIA Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R)) D(DM) Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 03/28/10 Time: 09:15 Root 0.553079 0.134944 - 0.503775i 0.134944 + 0.503775i 0.288768 - 0.271551i 0.288768 + 0.271551i -0.215571 - 0.172564i -0.215571 + 0.172564i Modulus 0.553079 0.521535 0.521535 0.396392 0.396392 0.276133 0.276133 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. 112 SINGAPURA Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R)) D(DM) Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 03/28/10 Time: 09:32 Root Modulus 0.496370 0.117906 - 0.420136i 0.117906 + 0.420136i 0.285206 - 0.245340i 0.285206 + 0.245340i 0.161079 -0.106642 0.496370 0.436367 0.436367 0.376210 0.376210 0.161079 0.106642 THAILAND Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R)) D(DM) Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 03/30/10 Time: 20:40 Root Modulus 0.613904 - 0.195574i 0.613904 + 0.195574i 0.160861 - 0.273272i 0.160861 + 0.273272i 0.266117 -0.195425 - 0.047261i -0.195425 + 0.047261i 0.644304 0.644304 0.317102 0.317102 0.266117 0.201058 0.201058 PHILIPINA Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R)) D(DM) Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 03/28/10 Time: 19:15 Root 0.551280 0.103021 - 0.406689i 0.103021 + 0.406689i 0.070137 - 0.375356i 0.070137 + 0.375356i 0.283531 -0.124378 Modulus 0.551280 0.419534 0.419534 0.381852 0.381852 0.283531 0.124378 113 KOREA SELATAN Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R)) D(DM) Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 03/28/10 Time: 19:25 Root Modulus 0.858639 0.199314 - 0.591424i 0.199314 + 0.591424i 0.480119 0.119075 - 0.356861i 0.119075 + 0.356861i -0.352046 0.858639 0.624106 0.624106 0.480119 0.376203 0.376203 0.352046 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. JEPANG Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(LOG(G)) D(LOG(Y)) D(LOG(CC)) D(LOG(I)) D(LOG(IHK)) D(LOG(R)) D(DM) Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 03/28/10 Time: 10:07 Root 0.912449 0.532791 0.247351 - 0.409553i 0.247351 + 0.409553i -0.053799 - 0.310151i -0.053799 + 0.310151i -0.071753 Modulus 0.912449 0.532791 0.478452 0.478452 0.314782 0.314782 0.071753 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. 114 Lampiran 4: Pengujian Kointegrasi (Summary) INDONESIA Date: 03/28/10 Time: 08:50 Sample: 1970 2008 Included observations: 37 Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM Lags interval: 1 to 1 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig None No Intercept No Trend 3 0 None Intercept No Trend 4 1 Linear Intercept No Trend 2 1 Linear Intercept Trend 3 1 Quadratic Intercept Trend 4 1 *Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 None No Intercept No Trend None Intercept No Trend Linear Intercept No Trend Linear Intercept Trend Quadratic Intercept Trend Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 330.0336 330.0336 342.5319 342.5319 350.2801 358.5859 371.0711 372.6031 365.4865 378.7005 390.1555 391.7751 379.1499 393.8729 405.0767 407.3411 388.5138 407.1122 413.1394 420.8219 393.8467 414.9395 419.2470 428.1914 397.7533 420.0922 423.1723 433.5922 397.9896 423.9532 423.9532 437.2035 345.2690 375.3199 394.0522 409.3890 421.1687 428.5252 433.8577 437.2035 Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -15.19101 -15.19101 -15.48821 -15.48821 -15.25778 -15.52865 -15.92356 -16.27411 -16.30287 -16.12540 -15.59386 -16.20003 -16.54895 -16.52838 -16.38120 -15.57567 -16.20935 -16.59874* -16.55898 -16.45346 -15.32507 -16.11417 -16.27781 -16.47686 -16.33344 -14.85658 -15.72646 -15.85119 -16.06440 -15.97434 -14.31099 -15.19417 -15.30661 -15.54553 -15.50582 -13.56700 -14.59206 -14.59206 -14.92992 -14.92992 Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -13.05763 -13.05763 -13.05006 -13.05006 -12.78574 -13.13711 -13.22643* -13.21165 -12.24141 -12.76050 -12.89173 -12.78409 -11.61368 -12.11674 -12.33198 -12.16161 -10.75354 -11.36850 -11.40152 -11.42641 -9.675520 -10.32770 -10.36536 -10.36088 -8.520392 -9.142347 -9.211246 -9.188931 -7.166871 -7.887161 -7.887161 -7.920248 -12.51487 -12.77295 -12.41922 -11.88194 -11.15238 -10.18374 -9.105690 -7.920248 115 MALAYSIA Date: 03/28/10 Time: 09:17 Sample: 1970 2008 Included observations: 37 Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM Lags interval: 1 to 1 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig None No Intercept No Trend 3 1 None Intercept No Trend 2 2 Linear Intercept No Trend 2 1 Linear Intercept Trend 2 1 Quadratic Intercept Trend 2 1 *Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 None No Intercept No Trend None Intercept No Trend Linear Intercept No Trend Linear Intercept Trend Quadratic Intercept Trend Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 404.4662 404.4662 430.2818 430.2818 443.0373 443.3300 455.6064 459.1415 456.7123 467.4439 472.4922 478.4462 468.2548 478.9955 484.0000 491.8662 476.7374 489.0368 492.9831 503.3090 482.6975 496.4698 499.9512 510.2802 486.6873 501.6219 504.1678 516.4928 487.7628 505.0268 505.0268 520.3389 434.6483 462.9573 482.2143 495.4552 506.8318 513.4700 518.6793 520.3389 Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -19.21439 -19.21439 -20.23145 -20.23145 -20.08910 -20.54256 -20.50432 -20.84359 -20.98062 -20.86256 -20.52499 -20.99697 -20.99958 -21.21331* -21.14672 -20.39215 -20.81057 -20.86486 -21.12790 -21.10569 -20.09392 -20.54253 -20.59368 -20.93562 -20.96388 -19.65932 -20.13351 -20.21358 -20.50163 -20.56595 -19.11823 -19.60119 -19.68475 -20.02664 -20.09077 -18.41961 -18.97442 -18.97442 -19.42372 -19.42372 Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -17.08101 -17.08101 -17.79330 -17.79330 -17.79964 -17.71787 -17.79591 -17.88940* -17.17254 -17.55744 -17.34236 -17.46901 -16.43016 -16.71796 -16.59811 -16.73053 -15.52239 -15.79685 -15.71739 -15.88518 -14.47826 -14.73475 -14.72775 -14.79811 -13.32764 -13.54936 -13.58938 -13.67004 -12.01948 -12.26952 -12.26952 -12.41405 -17.34618 -17.51010 -17.18473 -16.53416 -15.78282 -14.77535 -13.69064 -12.41405 116 SINGAPURA Date: 03/28/10 Time: 09:33 Sample: 1970 2008 Included observations: 37 Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM Lags interval: 1 to 1 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig None No Intercept No Trend 4 2 None Intercept No Trend 4 3 Linear Intercept No Trend 3 2 Linear Intercept Trend 2 0 Quadratic Intercept Trend 2 0 *Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 None No Intercept No Trend None Intercept No Trend Linear Intercept No Trend Linear Intercept Trend Quadratic Intercept Trend Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 362.1359 362.1359 382.8246 382.8246 391.2171 394.6229 407.4783 407.9298 411.7257 415.2804 427.8526 429.2281 425.2857 433.5937 444.5998 446.2482 436.6785 446.9339 451.6988 455.5676 443.6082 453.8640 458.0786 462.1112 447.7438 459.9392 462.8252 467.8876 448.0656 463.7865 463.7865 471.4771 389.4145 413.9213 434.7458 451.7357 460.0901 466.1608 469.7515 471.4771 Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -16.92627 -16.92627 -17.66620 -17.66620 -17.64403 -17.74146 -17.87151 -18.24207 -18.21242 -18.21196 -18.09328 -18.17732 -18.58662 -18.55287 -18.58085 -18.06950 -18.35642 -18.73512 -18.66207 -18.74247* -17.92857 -18.26670 -18.36210 -18.35501 -18.43730 -17.54639 -17.83048 -17.95019 -17.89790 -18.00869 -17.01318 -17.34806 -17.45001 -17.39933 -17.44603 -16.27382 -16.74522 -16.74522 -16.78254 -16.78254 Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -14.79289 -14.79289 -15.22805* -15.22805* -14.99855 -15.08506 -15.19439 -15.12120 -14.74083 -14.73779 -14.92941 -14.80857 -14.10751 -14.26382 -14.46837 -14.26470 -13.35704 -13.52102 -13.48581 -13.30456 -12.36533 -12.43173 -12.46437 -12.19438 -11.22258 -11.29624 -11.35465 -11.04274 -9.873685 -10.04031 -10.04031 -9.772874 -14.90111 -14.85951 -14.61887 -14.17095 -13.25624 -12.21809 -11.04589 -9.772874 117 THAILAND Date: 03/30/10 Time: 20:41 Sample: 1970 2008 Included observations: 37 Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM1 Lags interval: 1 to 1 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig None No Intercept No Trend 5 3 None Intercept No Trend 7 3 Linear Intercept No Trend 7 3 Linear Intercept Trend 5 1 Quadratic Intercept Trend 5 1 *Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 None No Intercept No Trend None Intercept No Trend Linear Intercept No Trend Linear Intercept Trend Quadratic Intercept Trend Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 398.6947 398.6947 405.7794 405.7794 429.3151 429.3354 432.8887 432.8889 450.1521 450.2669 453.7078 454.5510 467.4883 467.7113 470.8760 471.7376 478.0752 481.3620 484.3690 485.2830 485.1357 491.4047 494.3799 495.8327 491.0231 498.1160 499.3364 503.7940 491.0830 502.8054 502.8054 508.7157 411.3983 438.3893 459.6121 476.2802 489.7459 500.2084 507.3540 508.7157 Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -18.90242 -18.90242 -18.90699 -18.90699 -18.83234 -19.80082 -19.74786 -19.61560 -19.56156 -19.53456 -20.17038 -20.06848 -19.98421 -19.92167 -19.92498 -20.35072* -20.20061 -20.15546 -20.03987 -20.06920 -20.16623 -20.12767 -20.12805 -19.96125 -20.04032 -19.79112 -19.85972 -19.91243 -19.72069 -19.84910 -19.35260 -19.41168 -19.42359 -19.34021 -19.47859 -18.59908 -18.85434 -18.85434 -18.79545 -18.79545 Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -16.76904 -16.76904 -16.46885 -16.46885 -17.05790* -16.96140 -16.56792 -16.47034 -16.81793 -16.62895 -16.32699 -16.17738 -16.38873 -16.10801 -15.88870 -15.64250 -15.59471 -15.38200 -15.25176 -14.91080 -14.61006 -14.46096 -14.42660 -14.01717 -13.56200 -13.35985 -13.32822 -12.98362 -12.19895 -12.14944 -12.14944 -11.78578 -16.08943 -16.18210 -15.96299 -15.49768 -14.85926 -14.05851 -13.07846 -11.78578 118 PHILIPINA Date: 03/28/10 Time: 19:16 Sample: 1970 2008 Included observations: 37 Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM Lags interval: 1 to 1 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig None No Intercept No Trend 3 2 None Intercept No Trend 3 3 Linear Intercept No Trend 3 3 Linear Intercept Trend 4 4 Quadratic Intercept Trend 4 1 *Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 None No Intercept No Trend None Intercept No Trend Linear Intercept No Trend Linear Intercept Trend Quadratic Intercept Trend Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 378.7701 378.7701 393.3165 393.3165 415.0851 416.5187 425.4182 425.4383 439.6282 446.8324 450.6308 450.7664 454.6675 466.5290 470.3161 470.7127 463.2667 478.7415 482.4161 488.1539 467.2095 483.9803 487.6542 499.8107 470.9628 487.7615 491.1468 505.0038 474.0691 491.1646 491.1646 508.3817 403.5332 435.6033 455.7361 473.4759 490.9151 501.0351 505.1933 508.3817 Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -17.82541 -17.82541 -18.23332 -18.23332 -18.40720 -19.03163 -19.05506 -19.21179 -19.15883 -19.38396 -19.60153 -19.88283 -19.81788 -19.71710 -19.71547 -19.65770 -20.13670* -20.12519 -19.98447 -19.91762 -19.36577 -19.98603 -20.02249 -20.11643 -20.10352 -18.82213 -19.45840 -19.54888 -19.93571 -19.89379 -18.26826 -18.85197 -18.98091 -19.40561 -19.36180 -17.67941 -18.22512 -18.22512 -18.77739 -18.77739 Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -15.69203 -15.69203 -15.79518 -15.79518 -16.28871 -16.26861 -16.16411 -16.06761 -16.24907 -16.44330* -16.16066 -15.97281 -15.69572 -16.04410 -15.85844 -15.58710 -14.79424 -15.24035 -15.14620 -15.06598 -13.64107 -14.05965 -14.06305 -14.23219 -12.47766 -12.80015 -12.88555 -13.04902 -11.27928 -11.52021 -11.52021 -11.76772 -15.66429 -16.03151 -15.75348 -15.34609 -14.92246 -14.10319 -12.96167 -11.76772 119 KOREA SELATAN Date: 03/28/10 Time: 19:26 Sample: 1970 2008 Included observations: 37 Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM Lags interval: 1 to 1 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig None No Intercept No Trend 3 1 None Intercept No Trend 2 1 Linear Intercept No Trend 2 1 Linear Intercept Trend 1 1 Quadratic Intercept Trend 1 1 *Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 None No Intercept No Trend None Intercept No Trend Linear Intercept No Trend Linear Intercept Trend Quadratic Intercept Trend Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 428.4992 428.4992 436.6202 436.6202 454.5148 454.5751 461.6653 465.8534 470.3786 471.9606 478.3793 484.5289 481.4884 483.5040 488.2487 495.6951 490.5146 493.1946 494.8334 504.7386 496.5768 499.6882 501.3006 511.2927 500.9621 505.6040 506.7574 516.9070 500.9648 509.9880 509.9880 520.2696 449.5789 476.3792 492.2593 503.3236 510.9920 516.6534 520.0237 520.2696 Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -20.51347 -20.51347 -20.57407 -20.57407 -20.89616 -21.16296 -21.11217 -21.17110 -21.34342 -21.58806 -21.26371 -21.24112 -21.31780 -21.54210 -21.68969* -21.10748 -21.05427 -21.09452 -21.33487 -21.53101 -20.83862 -20.76727 -20.69370 -21.01290 -21.18876 -20.40956 -20.30747 -20.28652 -20.55636 -20.73802 -19.88984 -19.81643 -19.82472 -20.04903 -20.16344 -19.13323 -19.24259 -19.24259 -19.41998 -19.41998 Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -18.38009 -18.38009 -18.13592 -18.13592 -18.42005* -18.32572 -18.12341 -18.25220 -17.91126 -17.80159 -17.66058 -17.79781 -17.14549 -16.96167 -16.82777 -16.93750 -16.26710 -16.02160 -15.81740 -15.96245 -15.22850 -14.90872 -14.80069 -14.85284 -14.09925 -13.76460 -13.72936 -13.69243 -12.73310 -12.53769 -12.53769 -12.41031 -18.15324 -18.23561 -17.72770 -16.95948 -16.00769 -14.94742 -13.76331 -12.41031 120 JEPANG Date: 03/28/10 Time: 10:08 Sample: 1970 2008 Included observations: 37 Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM Lags interval: 1 to 1 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig None No Intercept No Trend 4 1 None Intercept No Trend 5 1 Linear Intercept No Trend 7 1 Linear Intercept Trend 4 2 Quadratic Intercept Trend 4 2 *Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 None No Intercept No Trend None Intercept No Trend Linear Intercept No Trend Linear Intercept Trend Quadratic Intercept Trend Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 470.4377 470.4377 481.9309 481.9309 493.4495 503.6368 511.7196 524.0795 510.8113 521.0013 527.8389 553.8063 525.2671 535.4647 541.4381 569.2820 537.4255 549.0066 551.1874 582.4336 543.8722 557.8083 559.1185 592.1494 547.5960 563.9548 564.2499 598.1367 548.0189 567.5418 567.5418 602.7414 488.9600 530.5058 559.4108 574.3244 586.2391 593.7352 599.6722 602.7414 Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -22.78042 -22.78042 -23.02329 -23.02329 -23.02487 -23.26754 -23.76415 -23.87674 -24.49079 -24.51383 -23.44926 -23.89196 -23.99129 -25.28683 -25.31950 -23.47390 -23.86296 -23.96963 -25.31254 -25.36889* -23.37435 -23.78414 -23.73986 -25.21262 -25.25617 -22.96606 -23.44910 -23.41181 -24.92699 -24.90461 -22.41059 -22.97053 -22.93243 -24.43982 -24.46877 -21.67670 -22.35361 -22.35361 -23.87791 -23.87791 Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -20.64704 -20.64704 -20.58514 -20.58514 -20.52463 -20.97770 -20.82905 -21.39956 -20.09681 -20.45244 -20.33408 -21.54253* -19.51191 -19.77036 -19.70287 -20.91517 -18.80283 -19.03847 -18.86357 -20.16218 -17.78500 -18.05035 -17.92598 -19.22347 -16.62000 -16.91870 -16.83706 -18.08323 -15.27656 -15.64871 -15.64871 -16.86824 -20.28195 -21.16138 -21.35752 -20.79736 -20.07511 -19.11401 -18.06863 -16.86824 121 Lampiran 5: Pengujian Kointegrasi (Asumsi) INDONESIA Date: 03/28/10 Time: 08:51 Sample (adjusted): 1972 2008 Included observations: 37 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 0.786189 0.643560 0.553605 0.353268 0.281174 0.191182 0.041330 162.8426 105.7641 67.59528 37.75293 21.62745 9.412413 1.561709 125.6154 95.75366 69.81889 47.85613 29.79707 15.49471 3.841466 0.0000 0.0086 0.0743 0.3129 0.3197 0.3286 0.2114 Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Max-Eigen Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 0.786189 0.643560 0.553605 0.353268 0.281174 0.191182 0.041330 57.07845 38.16884 29.84235 16.12548 12.21504 7.850704 1.561709 46.23142 40.07757 33.87687 27.58434 21.13162 14.26460 3.841466 0.0025 0.0808 0.1407 0.6551 0.5266 0.3941 0.2114 Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values 122 MALAYSIA Date: 03/28/10 Time: 09:18 Sample (adjusted): 1972 2008 Included observations: 37 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 0.789861 0.647778 0.515871 0.461265 0.313963 0.285246 0.187706 180.1141 122.3946 83.78535 56.94538 34.05972 20.11727 7.692051 150.5585 117.7082 88.80380 63.87610 42.91525 25.87211 12.51798 0.0004 0.0244 0.1090 0.1668 0.2858 0.2200 0.2779 Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Max-Eigen Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 0.789861 0.647778 0.515871 0.461265 0.313963 0.285246 0.187706 57.71951 38.60927 26.83997 22.88565 13.94246 12.42522 7.692051 50.59985 44.49720 38.33101 32.11832 25.82321 19.38704 12.51798 0.0079 0.1898 0.5380 0.4265 0.7274 0.3766 0.2779 Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values 123 SINGAPURA Date: 03/28/10 Time: 09:35 Sample (adjusted): 1972 2008 Included observations: 37 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 0.742577 0.683761 0.601485 0.395739 0.297920 0.268193 0.176362 177.3049 127.0946 84.49801 50.45763 31.81889 18.73172 7.178893 150.5585 117.7082 88.80380 63.87610 42.91525 25.87211 12.51798 0.0006 0.0111 0.0982 0.3937 0.3983 0.2969 0.3262 Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Max-Eigen Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None At most 1 At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 0.742577 0.683761 0.601485 0.395739 0.297920 0.268193 0.176362 50.21028 42.59657 34.04038 18.63873 13.08717 11.55283 7.178893 50.59985 44.49720 38.33101 32.11832 25.82321 19.38704 12.51798 0.0548 0.0793 0.1434 0.7559 0.7969 0.4579 0.3262 Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values 124 THAILAND Date: 03/30/10 Time: 20:43 Sample (adjusted): 1972 2008 Included observations: 37 after adjustments Trend assumption: Quadratic deterministic trend Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM1 Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 * At most 3 * At most 4 * At most 5 At most 6 0.767525 0.682470 0.593827 0.517067 0.431947 0.320397 0.070964 194.6348 140.6529 98.20717 64.87109 37.93962 17.01463 2.723485 139.2753 107.3466 79.34145 55.24578 35.01090 18.39771 3.841466 0.0000 0.0001 0.0010 0.0056 0.0236 0.0772 0.0989 Trace test indicates 5 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Max-Eigen Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 0.767525 0.682470 0.593827 0.517067 0.431947 0.320397 0.070964 53.98192 42.44574 33.33608 26.93147 20.92499 14.29114 2.723485 49.58633 43.41977 37.16359 30.81507 24.25202 17.14769 3.841466 0.0165 0.0636 0.1293 0.1388 0.1298 0.1243 0.0989 Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values 125 PHILIPINA Date: 03/28/10 Time: 19:17 Sample (adjusted): 1972 2008 Included observations: 37 after adjustments Trend assumption: No deterministic trend (restricted constant) Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 * At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 0.870032 0.805744 0.655163 0.483220 0.246615 0.184854 0.168025 224.7892 149.2920 88.66457 49.27132 24.84623 14.36859 6.806235 134.6780 103.8473 76.97277 54.07904 35.19275 20.26184 9.164546 0.0000 0.0000 0.0049 0.1254 0.4096 0.2648 0.1370 Trace test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Max-Eigen Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 * At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 0.870032 0.805744 0.655163 0.483220 0.246615 0.184854 0.168025 75.49718 60.62741 39.39325 24.42509 10.47764 7.562357 6.806235 47.07897 40.95680 34.80587 28.58808 22.29962 15.89210 9.164546 0.0000 0.0001 0.0132 0.1556 0.7961 0.6006 0.1370 Max-eigenvalue test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values 126 KOREA SELATAN Date: 03/28/10 Time: 19:27 Sample (adjusted): 1972 2008 Included observations: 37 after adjustments Trend assumption: Quadratic deterministic trend Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 0.765116 0.576153 0.450129 0.339334 0.263629 0.166549 0.013204 141.3814 87.78085 56.02066 33.89202 18.55528 7.232485 0.491809 139.2753 107.3466 79.34145 55.24578 35.01090 18.39771 3.841466 0.0375 0.4627 0.7232 0.8095 0.7934 0.7597 0.4831 Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Max-Eigen Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 0.765116 0.576153 0.450129 0.339334 0.263629 0.166549 0.013204 53.60056 31.76019 22.12864 15.33673 11.32280 6.740676 0.491809 49.58633 43.41977 37.16359 30.81507 24.25202 17.14769 3.841466 0.0182 0.5028 0.7894 0.8846 0.8179 0.7409 0.4831 Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values 127 JEPANG Date: 03/28/10 Time: 10:09 Sample (adjusted): 1972 2008 Included observations: 37 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: LOG(G) LOG(Y) LOG(CC) LOG(I) LOG(IHK) LOG(R) DM Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 * At most 3 * At most 4 At most 5 At most 6 0.897542 0.799482 0.566785 0.508797 0.408550 0.276489 0.220345 241.6211 157.3237 97.87017 66.91889 40.61569 21.18407 9.209427 150.5585 117.7082 88.80380 63.87610 42.91525 25.87211 12.51798 0.0000 0.0000 0.0095 0.0271 0.0834 0.1718 0.1679 Trace test indicates 4 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Max-Eigen Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 0.897542 0.799482 0.566785 0.508797 0.408550 0.276489 0.220345 84.29731 59.45358 30.95128 26.30320 19.43162 11.97465 9.209427 50.59985 44.49720 38.33101 32.11832 25.82321 19.38704 12.51798 0.0000 0.0006 0.2739 0.2171 0.2773 0.4176 0.1679 Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values