PENGARUH DIAMETER OOSIT SAPI BALI TERHADAP TINGKAT KEMATANGAN INTI OOSIT SECARA IN VITRO SKRIPSI oleh: RAHMI SYAMSUDDIN I 111 10 270 PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK JURUSAN PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014 PENGARUH DIAMETER OOSIT SAPI BALI TERHADAP TINGKAT KEMATANGAN INTI OOSIT SECARA IN VITRO SKRIPSI oleh: RAHMI SYAMSUDDIN I 111 10 270 Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK JURUSAN PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014 PERNYATAAN KEASLIAN 1. Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Rahmi Syamsuddin NIM : I 111 10 270 Menyatakan dengan sebenarnya bahwa: a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama dalam Bab Hasil dan Pembahasan tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan atau dikenakan sanksi akademik yang berlaku. 2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan sepenuhnya. Makassar, Juni 2014 Rahmi Syamsuddin HALAMAN PENGESAHAN JudulPenelitian : Pengaruh Diameter Oosit Sapi Bali Terhadap Tingkat Kematangan Inti Oosit Secara In Vitro Nama : Rahmi Syamsuddin No. Pokok : I 111 10 270 Program Studi : Produksi Ternak Jurusan : Produksi Ternak Fakultas : Peternakan Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh : Pembimbing Utama Prof.Dr.Ir. H. Herry Sonjaya, DEA. DES. NIP. 19570129 198003 1 001 Pembimbing Anggota Prof. Rr. Sri Rachma A. B., M.Sc., Ph.D. NIP. 19680425 199403 2 002 Dekan Fakultas Peternakan Ketua Jurusan Produksi Ternak Prof. Dr. Ir. H. Syamsuddin Hasan, M.Sc NIP. 19520923 197903 1 002 Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M. Sc NIP. 19641231 198903 1 025 Tanggal Lulus : Juni 2014 RINGKASAN Rahmi Syamsuddin (I 111 10 270), Pengaruh Diameter Oosit Sapi Bali Terhadap Tingkat Kematangan Oosit Secara In Vitro. Dibawah bimbingan Herry Sonjaya sebagai pembimbing utama dan Rr. Sri Rachma Aprilita Bugiwati sebagai pembimbing anggota. Limbah ovarium sapi Bali dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) mengandung berbagai ukuran diameter oosit untuk dimanfaatkan sebagai bahan mentah dalam proses pematangan oosit secara in vitro, namun belum diketahui apakah semua oosit ini bisa mencapai tahap pematangan akhir secara in vitro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh diameter oosit terhadap tingkat kematangan oosit. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan (diameter oosit : <110 µm, 110-120 µm, >120 µm) dan 4 ulangan. Ovarium sapi Bali disayat untuk menghasilkan oosit, lalu oosit dikoleksi berdasarkan sitoplasma yang homogen dan oosit diukur diameternya. Oosit dikelompokkan berdasarkan 3 kategori diameter, dimaturasi dan dimasukkan ke dalam inkubator 5 % CO2 dan 38,5C. Oosit diwarnai dengan aceto orcein 2%, lalu di amati dibawah mikroskop. Parameter yang diamati yaitu tahap tingkat kematangan oosit yang terdiri dari Germinal Vesical (GV), Germinal Vesical Break Down (GVBD), Metaphase-I (MI), dan Metaphase-II (MII). Data penelitian dianalisis dengan analisis ragam dan uji beda nyata terkecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap GVBD nyata (P<0.05) lebih tinggi pada oosit yang berukuran <110 µm dibandingkan 2 perlakuan diameter lainnya. Pada tahap MII nyata (P<0.05) lebih tinggi pada oosit yang berdiameter >120 µm, tetapi tahap MI tidak berbeda nyata (P>0.05) antara 3 perlakuan. Kesimpulan bahwa oosit yang berdiameter >120 µm merupakan oosit yang terbaik untuk mencapai tahap Metaphase-II (MII). Kata Kunci : Ovarium Sapi Bali, Diameter Oosit, Tingkat Kematangan Oosit. ABSTRACT Rahmi Syamsuddin (I 111 10 270), Influence of Bali cattle oocytes diameter Against Maturity Level oocytes in vitro. Under the guidance of Herry Sonjaya as main supervisor and Rr. Sri Rachma Aprilita Bugiwati as the supervising. Waste ovarian of Bali cattles in abattoirs contains some varieties of oocytes diameter sizes to be used as raw materials in the process of In Vitro Maturation (IVM), but it is not known whether all of these oocytes could reach the stage of finishing maturation in vitro. Therefore, this study aimed to determine the effects of the oocyte diameter on the persentage of oocyte maturation stage. This study used a complete randomized design (CRD) with 3 treatments (oocytes diameter : <110 µm , 110-120 µm , >120 µm) and 4 replications. The ovarium of Bali cattles were slice to produce oocytes , and the oocytes were collected based on the homogeneity of cytoplasm. The oocytes were measured and be grouped based on three categories of diameter oocyte maturation, put into incubator 5 % CO2 and 38.50C. The oocytes were stained with 2 % aceto orcein , and observed under a microscope. The parameter observed were the oocyte maturity stage that consists of Germinal Vesical (GV), Germinal Vesical Break Down (GVBD), Metaphase - I (MI), and Metaphase - II (MII). Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and the least significant difference test . The results showed that GVBD stage were significantly (P<0.05) higher in the oocytes diameter of <110 µm than the other diameter. Conversely, the oocytes diameter of >120 µm which reach MII stage were significantly (P<0.05) higher that the other diameter, but all of oocytes at all diameter were not significantly at MI stages (P>0.05). It’s concluded that the diameter of >120 µm of oocytes are the best diameter to reach the Metaphase - II stage (MII). Keywords : Ovarian of Bali Cattle, Oocytes Diameter, Maturation Stage Of Oocyte. KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tugas Akhir / Skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul ”Pengaruh Diameter Oosit Terhadap Tingkat Kematangan Inti Oosit Secara In Vitro”. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Pada kesempatan ini penulis menghanturkan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi- tingginya dengan penuh rasa hormat kepada: 1. Secara khusus penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. Ir. H. Herry Sonjaya, DEA., DES. Selaku Pembimbing Utama dan Prof. Rr. Sri Rachma Aprilita Bugiwati, M.Sc, Ph.D. selaku Pembimbing Anggota, atas segala bantuan dan keikhlasannya untuk memberikan bimbingan, nasehat dan saran sejak awal penelitian sampai selesainya penulisan skripsi ini. 2. Kedua orang tua, ayahanda Drs. Syamsuddin Jama dan ibunda Hj. Rukmisah, S.Pd SD tercinta, dan adikku tersayang Rizqullah Asyraf Syamsuddin, serta keluarga besarku yang terus mendidik dan mendukung baik materil maupun moril, dan atas segala limpahan doa, kasih sayang, kesabaran, pengorbanan, dan segala bentuk motivasi yang telah diberikan tanpa henti kepada penulis. 3. Secara khusus penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesarbesarnya kepada bapak Hasbi, S.Pt, M.Si, ibu Sri Gustina, S.Pt, M.Si, dan i kanda Dzulyadaeni, S.Pt yang telah mengajarkan teknik mengkultur oosit sapi Bali secara in vitro dan membantu kami dalam penelitian ini.. 4. Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M. Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, dan Bapak wakil Dekan I, II, III, yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama menjadi mahasiswa. 5. Dr. Muhammad Yusuf S.Pt, selaku Penasehat Akademik penulis yang telah bersedia meluangkan waktunya selama penulis duduk dibangku perkuliahan dan senantiasa memberikan motivasi dan nasehat yang sangat berarti bagi penulis. 6. Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M. Sc selaku Ketua Jurusan Produksi Ternak beserta seluruh dosen dan staf Jurusan Produksi Ternak atas segala bantuan kepada penulis selama menjadi mahasiswa. 7. Semua dosen-dosen Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin yang telah memberi ilmunya kepada penulis. 8. LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) selaku Lembaga yang memberikan bantuan baik berupa alat maupun bahan yang menunjang dalam penelitian ini. 9. Bapak Direktur Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Tamangapa, Makassar, terkhusus kepada Bapak Syarir, Bapak Firman dan para pegawai RPH yang telah membantu kami untuk mendapatkan bahan utama yaitu Ovarium Sapi Bali. 10. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sepenelitian Andi Mutmainna, Andi Fausiah, dan Ahmad Mujahid yang telah ii mencurahkan segenap tenaga dan perhatiannya, sekali lagi terima kasih banyak yang sebesar-besarnya. 11. Secara khusus penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada Restiawan AR., Drs. Abd. Rakhman Rasyid, Dra. Siti Kusuma dan Muh. Rum Ramadhan yang telah membantu baik baik secara moril dan material. 12. Kepada sahabat-sahabatku yang terbaik saudari Inna, Uchi, Tenri, Weny, Iyan, Nurmi, Ifa, Dhian, Putri, Lili, Vivi, dan saudara Alam, Farid, David, Aldes, Yafet, Ibnu, Ichwan, Iccank, Herman terkhusus Angkatan 2010 L10N, yang telah membantu baik material maupun moril. 13. Serta tak lupa pula menghanturkan banyak terima kasih kepada teman-teman MATADOR 10 dan SITUASI 2010, dan kepada para senior terutama RUMPUT 07, BAKTERI 08, MERPATI 09, dan Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, terima kasih atas bantuannya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan tapi penulis membuka diri terhadap kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini dan demi kemajuan ilmu pengetahuan nantinya. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi diri penulis sendiri. Amin. Makassar, Juni 2014 Penulis iii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR……………………………………………………. i DAFTAR ISI …………............................................................................... iv DAFTAR TABEL ……………………………………………………… vi ………………………………………………….. vii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. viii …………………………………………………… 1 DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA Ovarium ………………………………………………………….. Folikulogenesis …………………………………………………… Oogenesis ………………………………………………………….. Pematangan Oosit secara in vitro(In Vitro Maturation, IVM) …….. Diameter Oosit ……………………………………………………… 3 4 5 8 10 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat …………………………………………………. Materi Penelitian …………………………………………………… Metode Penelitian ………………………………………………….. Parameter yang Diamati ……………………………………………. Analisis Data ……………………………………………………….. 12 12 13 18 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Diameter Oosit terhadap Tingkat Kematangan Oosit ....... 21 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan …………………………………………………………. Saran …………………………………………………….................. 28 28 iv DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 29 LAMPIRAN ……………………………………………………………… 33 RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………… 47 v DAFTAR TABEL No. Halaman Teks 1. Nama-nama Larutan …………………………………………….. 13 vi DAFTAR GAMBAR No. Halaman Teks 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Proses Oogenesis .......................................................................... Proses Pembelahan Meiosis padaOosit ......................................... Skema Prosedur Penelitian ........................................................... Diameter Oosit ............................................................................. Perkembangan Oosit Sapi Bali .................................................... Status Inti Oosit setelah Pematangan in vitro ............................... Histogram Pengaruh Diameter Oosit Sapi Bali terhadap Rata-rata persentase Tingkat Kematangan Oosit .......................... 5 7 14 16 17 19 21 vii DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman Teks 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Jumlah Oosit yang Memiliki Beberapa Diameter ......................... Pengaruh Diameter Oosit terhadap Tingkat Kematangan Oosit In Vitro ................................................................................ Pengaruh Diameter Oosit terhadap Tingkat Kematangan Oosit In Vitro (%) ................................................................................... Analysis of variance (ANOVA) pada tahap GVBD ..................... Analysis of variance (ANOVA) pada tahap MI ............................ Analysis of variance (ANOVA) pada tahap MII .......................... Dokumentasi Penelitian ................................................................ 33 33 34 36 38 39 41 viii PENDAHULUAN Salah satu upaya peningkatan produktivitas reproduksi ternak dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, yaitu dengan menerapkan teknologi reproduksi seperti Produksi Embrio In Vitro (PEIV). Produksi embrio in vitro (PEIV) adalah salah satu assited reproductive technology (ART) yang terdiri atas in vitro maturation (IVM), in vitro fertilization (IVF) dan in vitro culture (IVC) (Rahman, et al., 2008 ; Hegab, et al., 2009). Dengan teknik PEIV materi genetik dari hewan-hewan yang fungsi reproduksinya tidak normal masih dapat diselamatkan. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses PEIV antara lain materi genetik yang digunakan dan sistem kultur akan sangat menentukan kualitas oosit yang dihasilkan. Sistem kultur seperti pemilihan jenis medium yang digunakan untuk setiap tahapan produksi embrio yang berkaitan dengan pH, suhu dan osmolaritas, lingkungan untuk PEIV, lama inkubasi dan sebagainya akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan produksi embrio (Sumantri dan Anggraeini, 1999). Materi genetik seperti kualitas oosit yang berasal dari ovarium sapi betina untuk menghasilkan embrio. Salah satu faktor yang menentukan kualitas oosit adalah diameter oosit (Arlotto, et al., 1996). Oosit yang mempunyai diameter lebih besar akan mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mencapai meiosis I, oosit yang berasal dari folikel yang lebih besar mempunyai peluang yang lebih besar untuk mencapai metaphase II dibanding oosit yang berasal dari folikel yang berdiameter lebih kecil. Hal tersebut terlihat pada 1 penelitian yang menggunakan misalnya oosit babi (Tsafriri,1985), oosit domba (Lonergan, et al., 1994), serta oosit sapi yang berasal dari folikel antrum yang kecil ternyata mempunyai kemampuan yang rendah untuk mengalami germinal vesicle breakdown (GVBD) dan metaphase I (Pavlok, et al., 1992). Lonergan, et al., (1992) menyatakan bahwa diameter oosit mempunyai hubungan yang kuat dengan kualitas oosit yang dihasilkan. Ketersediaan sapi Bali betina produktif yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Tamangapa Makassar memungkinkan untuk pemanfaatan ovariumnya, yang biasanya dibuang namun masih mempunyai oosit yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan mentah dalam proses In Vitro Maturation (IVM) atau pematangan oosit secara in vitro. Oosit dalam ovarium sapi Bali betina mempunyai diameter yang berbeda-beda, dan diameter oosit merupakan salah satu indikator penentu tingkat keberhasilan pematangan inti oosit secara in vitro. Studi dan informasi ilmiah mengenai pengaruh diameter oosit terhadap tingkat kematangan khususnya untuk sapi Bali masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas pematangan oosit yang dikultur secara in vitro dengan berbagai ukuran diameter oosit sapi Bali. 2 TINJAUAN PUSTAKA Ovarium Ovarium adalah organ reproduksi betina yang terletak di ruang abdomen seekor hewan.Ovarium dapat bekerja sebagai organ eksokrin (menghasilkan sel telur) dan endokrin (menghasilkan hormon) (Thomas, and Joanna, 2002) yang berfungsi untuk memproduksi hormon-hormon pada siklus reproduksi (Turner, and Bagnara, 1988). Ovarium terdiri atas bagian medula yang mengandung jalinan vaskular luas di dalam jaringan ikat selular longgar dan bagian korteks merupakan tempat dijumpai folikel ovarium, yang mengandung oosit (Junqueira, et al., 1995). Pada saat fetus, ovarium menghasilkan oogonia melalui pembelahan mitosis. Sekitar 1 (satu) juta oosit berkembang setelah fetus dilahirkan namun hanya beberapa ratus oosit yang akan diovulasikan. Umumnya oosit akan berkurang karena mengalami degenerasi dan atresia (Schatten, and Gheorghe, 2007). Sel gamet pada betina dinamakan ovum. Ovum mengandung deutoplasma atau yolk yaitu cadangan makanan yang terdiri dari butiran-butiran lemak, karbohidrat dan protein. Ovum dilapisi tiga macam selaput pelindung yaitu selaput primer dihasilkan oleh ovum itu sendiri disebut membran vitteline, selaput sekunder pada mamalia disebut zona pellusida yang dihasilkan oleh oosit dan selsel folikel (Yatim, 1994) dan selaput tersier yang terbentuk setelah pembuahan dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar saluran kelamin betina. 3 Folikulogenesis Folikulogenesis adalah suatu perkembangan folikel dalam ovarium dari sudut besarnya, jumlah lapisan sel granulosa, perkembangan sel teka interna dan eksterna, posisi sel telur di sekeliling kumulus oophorusnya, dan peningkatan volume cairan rongga folikel. Oosit berada di dalam folikel yang terdapat pada bagian korteks ovarium. Folikel mengalami berbagai tahap perkembangan yang berawal dari terbentuknya folikel primordial sampai berkembang menjadi folikel matang dan oosit siap diovulasikan. Berdasarkan perubahan morfologisnya, folikel di klasifikasikan dalam 3 kelompok yaitu folikel primer, folikel sekunder dan folikel tersier atau Degraaf. Folikel primer terdiri dari oosit yang dikelilingi oleh selapis sel epitel sedangkan sel teka belum terbentuk, sebagian besar folikel primer tersebut akan mengalami regresi atau tetap tidak berkembang sama sekali. Lapisan sel-sel yang mengelilingi folikel primer disebut stratum granulosum atau lapisan granulosa. Telur berada pada satu sisi folikel dalam gundukan sel-sel granulosa yang disebut kumulus oophorus dan lapisan sel granulose yang langsung menyelubungi sel telur disebut korona radiata (Partodiharjo, 1980). Tingkat kedua adalah folikel sekunder yang mengandung oosit dalam volume maksimal dan letaknya eksentrik atau agak ke pinggir seperti pada folikel primer. Sel-sel granulose terdiri dari 612 lapis sel.Pada folikel sekunder ovum sudah dilengkapi zona pelusida yang bergerak menuju korteks (Yatim, 1994). Stadium terakhir adalah perkembangan folikel tersier, yang juga disebut folikel de graaf. Sel-sel folikel yang melengkapi 4 oogonia akan membentuk antrum atau membentuk ruangan yang berisi cairan. Ruangan ini dikelilingi oleh sel-sel yang disebut membran granulosa. Pengelompokan folikel berdasarkan ukuran diameternya terbagi menjadi tiga kelompok yaitu dilakukan oleh tiga kelompok folikel tersebut adalah folikel ukuran kecil (2-3 mm), folikel ukuran sedang (3,1 – 5 mm), folikel ukuran besar (>5 mm) (Crozet, et al., 1995). Oogenesis Oogenesis adalah proses pembentukan sel telur (ovum) di dalam ovarium. Oogenesis dimulai dengan pembentukan bakal sel-sel telur yang disebut oogonia (tunggal: oogonium). Pertumbuhan oosit antara lain berupa peningkatan diameter oosit, pertambahan ukuran dari organel-organel, dan disertai dengan perubahan atau perkembangan pada inti dan sitoplasma (Telfer, 2008). Gambar 1. Proses Oogenesis Sumber: Campbell, et al. (2000) Proses oogenesis (Gambar 1) terdiri dari beberapa tahap yaitu oogonium mengalami pembelahan mitosis berubah menjadi oosit primer, yang memiliki 46 5 kromosom. Oosit primer melakukan meiosis (tahap I), yang menghasilkan dua sel anak yang ukurannya tidak sama. Sel anak yang lebih besar adalah oosit sekunder yang bersifat haploid (n). Ukurannya lebih besar dari yang lain karena berisi lebih banyak sitoplasma dari oosit primer yang lain. Sel anak yang lebih kecil disebut badan polar pertama yang kemudian membelah lagi. Oosit sekunder meninggalkan folikel ovarium menuju tuba fallopi. Apabila oosit sekunder dibuahi oleh sel sperma (fertilisasi), maka akan mengalami pembelahan meiosis yang kedua, begitu pula dengan badan polar pertama membelah menjadi dua badan polar kedua yang akhirnya mengalami degenerasi. Namun apabila tidak terjadi fertilisasi, menstruasi dengan cepat akan terjadi dan siklus oogenesis diulang kembali. Selama pemebelahan meiosis kedua, oosit sekunder menjadi bersifat haploid (n) dengan 30 kromosom dan selanjutnya disebut dengan oosit. Ketika inti nukleus sperma dan ovum siap melebur menjadi satu, saat itu juga oosit kemudian mencapai perkembangan akhir atau finalnya menjadi ovum yang matang. Peristiwa pengeluaran sel telur dikenal dengan istilah ovulasi. Pada setiap ovulasi hanya satu telur yang matang dan dapat hidup 24 jam. Jika ovum yang matang tersebut tidak dibuahi, maka sel telur tersebut akan mati dan luruh bersama dengan dinding rahim pada awal siklus menstruasi (Campbell, et al., 2000). Perkembangan oosit terdiri dari tiga tahap yaitu proliferasi, pertumbuhan, dan pematangan. Pada tahap proliferasi terjadi proses mitosis oogonium menjadi beberapa oogonia yang terjadi pada saat pralahir atau sesaat setelah lahir kemudian oogonia berdiferensiasi menjadi oosit primer dengan inti tahap profase 6 I. Inti oosit pada tahap ini disebut Germinal Vesicle (GV) yang ditandai dengan adanya membrane inti yang utuh dan nucleus yang jelas. Selanjutnya oosit akan memasuki tahap pertumbuhan dan pematangan yang berlangsung bersamaan dengan proses perkembangan folikel. Pertumbuhan oosit ditandai dengan peningkatan diameter oosit dan pertambahan ukuran dari organel-organel seperti kompleks golgi, retikulum endoplasmik halus, butir lemak, peningkatan proses transkip untuk sintesis protein. Tahap pematangan oosit ditandai dengan beberapa proses perkembangan inti oosit (Hafez and Hafez, 2000). Gambar 2. Proses Pembelahan Meiosis pada Oosit Sumber : Citra (2013). Proses pembelahan oosit secara meiosis pada Gambar 2, menjelaskan tentang mekanisme pengaturan dan fisiologi perkembangan oosit primer secara singkat. Awal pembelahan meiosis dimulai dari janin, pada saat itu inti oosit berada pada tahap pembelahan profase I, atau tahap dictyate (fase istirahat). Proses pembelahan meiosis pada oosit dilanjutkan kembali setelah individu hewan 7 mengalami pubertas (Hafez and Hafez, 2000). Kelanjutan pembelahan meiosis berturut-turut akan melewati tahap diakinesis (awal pemisahan dan kondensasi pasangan kromosom), metafase (semua kromosom berada pada pusat pembelahan) dan anaphase (pemisahan masing-masing kromosom sepanjang pusat belahan spindle) dan telofase (pembagian kromosom selesai). Pembelahan meiosis yang pertama menghasilkan 2 sel telur yang masing-masing berisi setengah komplemen kromosom. Salah satu dari sel telur tersebut yang mendapatkan hampir seluruh sitoplasma disebut oosit sekunder dan oosit sekunder inilah yang nantinya akan menjalani proses pembelahan lebih lanjut. Pada saat inti berada pada tahap metaphase II oosit diovulasikan dari folikel, namun proses maturasi oosit masih berlanjut hingga terjadi proses fertilisasi antara ovum dengan sperma dan badan kutub kedua terbentuk. Pematangan Oosit secara in vitro (In Vitro Maturation, IVM) Pematangan oosit in vitro adalah pematangan oosit pada medium di luar tubuh dan dikultur secara in vitro (Gotto, et al., 1995). Melalui tehnik pematangan in vitro dimungkinkan untuk memperoleh oosit matang dalam jumlah besardengan cara menanam telur yang belum diovulasikan dalam medium pematangan (Bavister, 1992). Shamsudin, et al., (1993) menyatakan bahwa pematangan oosit primer dapat berkembang menjadi oosit sekunder yang akan melakukan proses pembelahan meiosis dengan normal dan sempurna sehingga menghasilkan sel telur yang siap untuk dibuahi. Lima faktor yang sangat berkompeten dalam keberhasilan pematangan oosit adalah morfologi kumulus, 8 ukuran dan kesehatan folikel, stimulasi ovarium dan prosedur pematangan oosit dari sebelum mulai diinkubasi (Sirard, and Blondin, 1996). Laju proses maturasi oosit sapi, domba, dan babi lambat karena membutuhkan waktu untuk melakukan sintesa protein aktif untuk persiapan permulaan meiosis. Pada sapi proses maturasi inti secara in vivo membutuhkan waktu selama ± 24 jam (Gordon, 1994). Pematangan ini meliputi berbagai perubahan kronologi tahapan meiosis (Gordon, 2003). Proses pematangan inti berhubungan dengan aktivitas sintesis RNA, ditandai dengan perubahan inti dari fase diploten ke metaphase II. Membran inti akan mengadakan penyatuan dengan vesicle membentuk Germinal Vesicle (GV) dan kemudian akan mengalami pelepasan membran inti membentuk Germinal Vesicle Break Down (GVBD). Setelah GVBD terjadi, kromosom dibungkus oleh mikrotubulus dan mikrofilamen yang sangat mempengaruhi keberhasilan pembelahan meiosis. Oosit yang telah mengalami GVBD selanjutnya akan mencapai tahap metaphase I (MI). Pada oosit sapi, metaphase I terjadi setelah 12-14 jam inkubasi dan diikuti oleh tahap anaphase (AI) dan telophase (TI) yang berlangsung relatife singkat (14-18 jam) setelah masa inkubasi (Chohan, and Hunter, 2003). Tahap metaphase II (MII) akan terjadi dan ditandai dengan terbentuknya badan kutub I dan oosit yang sudah matang siap untuk difertilisasi (Pawshe, et al., 1994). Kemampuan inti oosit untuk dapat membelah secara meiosis selama proses maturasi oosit sangat bergantung pada stimulasi hormonal terhadap oosit yang berkumulus kompak. Analisa mekanisme rangsangan hormonal terhadap pembelahan meiosis tidak terlepas dari peran gonadotropin, steroid, prostaglandin, 9 siklus AMP, sintesa makromolekular dan energi metabolisme folikular (Tsafriri, 1985). Penentuan kualitas oosit dilakukan dengan melakukan beberapa evaluasi terhadap oosit yang akan digunakan pada proses PEIV. Seleksi oosit yang banyak digunakan adalah pemilihan oosit berdasarkan morfologi sel kumulus yang berada disekitar oosit (Alvarez, et al., 2009). Wood, and Wildt (1997) melaporkan bahwa teknik grading dengan mengevaluasi sel-sel kumulus oosit yang kompleks dapat mengidentifikasi kualitas oosit yang lebih mudah dan objektif. Keberadaan sel kumulus mendukung pematangan oosit sampai pada tahap matefase II dan berkaitan dengan pematangan sitoplasma yang diperlukan untuk kemampuan perkembangan setelah fertilisasi (Abeydeera, 2002). Umumnya oosit dengan kumulus yang multilayer digunakan dalam produksi embrio secara in vitro (Qian, et al.,2005). Diameter Oosit Oosit dapat diambil langsung dengan berbagai cara seperti aspirasi, puncture dan penyayatan (slicing) dari folikel dengan diameter <2 mm akan mencapai metafase II dengan persentase yang rendah. Oosit dengan diameter 110-125 m, memiliki kemampuan mencapai tahap M-II lebih tinggi dan dapat dikoleksi dari folikel berukuran 3-4 dan > 4 mm (Ferreira, 2009). Oosit dengan diameter <110 m tidak dapat melakukan sintesis RNA maternal dan beberapa protein esensial dengan sempurna sehingga tidak dapat mencapai tahap M-II 10 (Otoi, et al., 1997). Pada oosit kambing, kompetensi meiosis diperoleh ketika diameter oosit lebih besar dari 136 m. Beberapa studi menyimpulkan bahwa diameter oosit adalah berbanding lurus dengan diameter folikel, karena keduanyameningkatkan kemampuan perkembangan oosit pada sapi (Gandolfi, et al., 1997). Menurut Hyttel, et al., (1987) bahwa pada sapi oosit yang berdiameter 100 m memiliki kemampuan untuk memulai meiosis dan oosit dengan diameter 110 m memiliki kemampuan penuh untuk menyelesaikan pematangan dan untuk mempertahankan perkembangan embrio. Sesuai dengan klasifikasi diameter oosit menyimpulkan bahwa oosit sapi yang lebih besar dari 110 m telah mencapai kemampuan meiosis, tetapi untuk memperoleh kemampuan perkembangan embrio harus memiliki diameter lebih besar dari 120 m. Kompetensi perkembangan oosit ke tahap selanjutnya sengat dipengaruhi oleh kualitas oosit yang digunakan pada proses produksi embrio secara in vitro. Oosit yang berkualitas baik tidak hanya akan berhasil mencapai tahap pematangan inti namun juga akan mampu melewati berbagai tahap dalam pematangan sitoplasma yang dibutuhkan untuk dapat mencapai tahap fertilisasi. Kualitas oosit memberi pengaruh terhadap pematangan oosit (maturasi), perkembangan dan kemampuan embrio untuk tetap bertahan hidup dan pemeliharaan pada kebuntingan dan perkembangan fetus (Krisher, et al., 2007). 11 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu Pusat Kegiatan Penelitian (PKP), Universitas Hasanuddin pada bulan Desember 2013sampai Januari 2014. Materi Penelitian Bahan yang digunakan adalah ovarium sapi Bali sebanyak 10-12 pasang yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH) Tamangapa, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Oosit diseleksi berdasarkan keadaan sitoplasma yang homogen dan sel-sel kumulus yang kompak. Alat yang digunakan adalah syringe, kaca arloji , petri dish, inkubator CO2 5% 38,5 C, pipet, wadah sampel, mikropipet yang berukuran 2,5 µl, 50 µl, dan 1000 µl, cawan petri, objek glass, cover glass, gunting bedah, scalpel, gelas kimia, labu ukur 1 liter dan 500 ml, autoclaf, timbangan electrik, oven dengan suhu 65 C, wadah larutan yang berukuran 2 ml, 1 ml, dan 0,5 ml, dan mikroskop Axio Cam. Medium yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas tiga yaitu medium transportasi, medium koleksi, dan medium maturasi. Adapun larutan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. 12 Tabel 1. Nama-nama Larutan yang digunakan dalam Penelitian Volume/ No. Nama Larutan Ket. Satuan 1. Larutan NaCl 0,9% 2. Fetal Bovine Serum (FBS) 10% Gibco, Grand Island, NY, USA 3. Enzim hyaluronidase 0,25% 4. KCl 0,7% Sigma, USA 5. Aceto orcein 2% 6. Asam asetat 25% 7. Penicillin 100 IU/ml 8. Streptomycin sulfate 100 µ/ml 9. Gentamycin 50 µg/ml Sigma, USA 10. Phosphate buffered saline (PBS) 22,5 ml Gibco, Grand Island, NY, USA 11. Tissue culture medium (TCM) 1800 µl Sigma, USA 199 12. Pregnant mare serum 200 µl Intergonan, Intervet gonadotrophin (PMSG) Deutschland GmbH 13. Human chorionic gonadotrophin 100 µl Chorulon, Intervet (hCG) international B.V. 14. Parafin dan vaselin 1:9 Boxmeer-Holland 15. Ethanol dan asam asetat 3:1 16. Ethanol absolute Secukupnya 17. Mineral oil Secukupnya Sigma Chemical Co. St. Louis MO, USA 18. Larutan kuteks bening Secukupnya Metode Penelitian 1. Rancangan Penelitian Penelitian menggunakan metode eksperimental laboratorium berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yaitu 3 perlakuan dan 4 ulangan. Jenis perlakuan antara lain : D1 : Oosit yang berdiameter <110 m D2 : Oosit yang berdiameter 110-120 m D3 : Oosit yang berdiamater >120 m 13 2. Prosedur Penelitian Adapun secara rinci prosedur kerja penelitian disajikan pada Gambar 3 Ovarium Sapi Bali dari RPH Tamangapa Ukur diameter oosit dengan mikroskop Maturasi Oosit in vitro ±24 jam Laboratorium (larutan 0,9% NaCl + 100 IU/ml penicillin+ 100 µ/ml streptomycin sulfate + 50 µg/ml Gentamycin Koleksi Oosit Pembuatan Medium Maturasi ±1 jam Oosit yang sudah dimaturasi sel kumulus dihilangkan dengan menggunakan enzim Pewarnaan Oosit Evaluasi Tingkat Kematangan Oosit in vitro Gambar 3. Skema Prosedur Penelitian Pembuatan Medium Maturasi Pertama-tama yang dilakukan sebelum membuat medium maturasi, terlebih dahulu dilakukan pengenceran TCM-199 (50 ml), dengan cara menimbang TCM-199 sebanyak 0,475 gram ditambah dengan 0,11 gram NaHCO3 yang diencerkan dengan aquades 50 ml. Setelah itu larutan TCM-199 difilter dengan menggunakan saringan. Untuk membuat medium maturasi larutan yang 14 dicampurkan adalah Tissue culture medium (TCM) 199 sebanyak 1800 µl, Pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) 200 µl, Fetal Bovine Serum (FBS) 10%, human Chorionic Gonadotrophin (hCG) 100 µl, dan 2,5 µl Gentamycindengan menggunakan mikropipet. Lalu ditampung dalam wadah yang berukuran 2 ml. setelah itu medium maturasi diinkubasi selama 2 jam, tetapi pembuatan medium maturasi dilakukan 1 jam sebelum oosit dikoleksi. Koleksi oosit Koleksi oosit dilakukan dengan menyayat/mencacah (slicing) folikel yang ada di permukaan ovarium sehingga cairan folikel keluar. Selanjutnya dilakukan pembilasan (flushing) dengan penyemprotan NaCl 0,9% menggunakan syringe ke dalam folikel bekas sayatan, agar oosit dapat keluar. Selanjutnya oosit diseleksi menggunakan mikroskop (hanya oosit dengan keadaan sitoplasma yang homogen dan dikelilingi ≥ 3 lapis sel kumulus yang digunakan) dan ditampung dalam petri dish yang berisi media phosphate buffered saline yang disuplementasi dengan Fetal Bovine Serum 10%. Oosit hasil koleksi dicuci dalam medium koleksi yang terdiri atas PBS ditambah 10% FBS. Selanjutnya, diukur diameter oosit dengan menggunakan mikroskop dan oosit dicuci dengan medium maturasi masingmasing sebanyak dua kali. Adapun diameter oosit di kelompok menjadi tiga yakni diameter <110 µm, 110-120 µm, dan diameter >120 µm (Gambar 4). 15 A. B. C. Gambar 4. A. Oosit yang berdiameter Bar <110 µm; B. Oosit yang berdiameter Bar 110-120 µm; C. Oosit yang berdiameter >120 µm. Morfologi oosit dikategorikan atas empat kelompok (Lonergan, et al., 1992), yaitu (1) Complete, terdapat sel-sel kumulus oophorus, terdiri lebih dari tiga lapisan tebal (lima lapisan), oosit kelihatan kompak. (2) Expanded, terdapat sel-sel kumulus oophorus, terdiri dari tiga (3-5) lapisan tebal, dengan salah satu bagian tidak utuh. (3) Partial, terdapat hanya dua lapisan sel-sel kumulus oophorus. (4) Nude, tidak ada sel-sel yang mengelilingi oosit, oosit hanya dikelilingi zona pellucida secara merata. Salah satu contoh morfologi oosit dari keempat kelompok tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. 16 A B Gambar 5. Perkembangan oosit sapi Bali in vitro. A : Oosit sebelum pematangan B : Oosit setelah pematangan O : Oosit SK : Sel-sel kumulus ESK : Eskpansi sel kumulus Maturasi oosit in vitro Sebelum dilakukan maturasi terlebih dahulu membuat empat tetesan (drop) pada petri dish (50 µL/drop) dan ditutup dengan mineral oil. Oosit yang diseleksi dan telah melalui dua kali pencucian menggunakan PBS, FBS dan Gentamicyhin, di masukkan kedalam drop yang telah dibuat. Kemudian dimasukkan dalam inkubator CO2 5%, temperatur 38,5oC selama 24 jam. Evaluasi Tingkat Pematangan Inti Oosit Oosit yang telah dimaturasi dibersihkan dari sel-sel kumulusnya (denudase) dengan batuan enzim hyaluronidase (Sigma, USA) 0,25% dengan cara dipipet berulang-ulang menggunakan pipet berdiameter yang sesuai dengan ukuran oosit. Oosit yang memiliki ukuran diameter yang samadiletakkan pada 17 drop KCl 0.7% diatas kaca objek, lalu difiksir dengan kaca penutup yang memiliki bantalan parafin dan vaselin (1:9) pada keempat sudutnya. Preparat oosit yang telah jadi, difiksasi pada ethanol dan asam asetat dengan perbandingan (3:1) selama 3-4 hari pada temperatur kamar. Setelah difiksasi preparat direndam terlebih dahulu dalam larutan ethanol absolute selama satu jam. Perwarnaan Oosit Sebelum oosit diwarnai, preparat dikeringkan menggunakan tissue.Lalu oosit diwarnai dengan aceto orcein 2% selama 5 menit.Kemudian zat pewarna dibersihkan dengan asam asetat 25% dan keempat sisi kaca penutup diberi larutan kuteks bening untuk selanjutnya dilakukan pengamatan dibawah mikroskop fase kontras. Parameter yang diamati Parameter yang diamati untuk mengetahui tingkat pematangan oosit yaitu : 1. Menghitung jumlah oosit dengan diameter yang berbeda-beda 2. Melihat tahap perkembangan meiosis, meliputi : a. Fase germinal vesicle (GV) ditandai dengan adanya membran inti dan nukleolus terlihat jelas ditepi. b. Fase germinal vesicle breaking down (GVBD) ditandai dengan robeknya membran inti sehingga nukleolus tidak terlihat jelas. 18 c. Fase metaphase–I (M-I) ditandai dengan adanya kromosom homolog yang berpasangan dan berderet di bidang equator. d. Fase metaphase-II (M-II) ditandai adanya badan kutub I dan susunan kromosom yang sama dengan tahap M-I, fase anaphase dan telofase. A B C D Pembesaran : 400 kali Gambar 6.Status inti oosit setelah pematangan in vitro. A : Germinal Vesicle (GV) B : Germinal Vesicle Break Down (GVBD) C :Metaphase I (MI) D:Metaphase II (MII) (tanda panah) Tingkat pematangan oosit dapat dihitung berdasarkan rumus dibawah ini : Rumus = 19 Analisis Data Tingkat kematangan oosit dianalisis menggunakan Rancangan Acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Data penelitian sebelum dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) terlebih dahulu ditransformasi dengan Arsin √ untuk memperoleh penyebaran data distribusi normal (Gaspersz, 1991) dan apabila terdapat perngaruh diantara perlakuan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) (Steel and Torrie, 1981). Data diolah menggunakan software SPSS 18.0 for windows. Model matematika yang digunakan adalah : Yij Keterangan : Yij = µ = ᴛi = ɛ = = µ + ᴛi + ɛi i = 1,2,3, j = 1,2,3,4 Hasil pengamatan dari tingkat pematangan oosit dengan ukuran diameter oosit ke-i dengan ulangan ke-j Rata-rata pengamatan Pengaruh diameter oosit ke-i Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Diameter Oosit Terhadap Tingkat Kematangan Oosit Hasil pengamatan tingkat kematangan oosit disajikan pada Gambar 7: Tingkat Kematangan Oosit (%) 80 b 70 60 ab 50 Diameter Oosit 40 <110 µm 110-120 µm a 30 >120 µm a 20 10 ab b 0 GV GVBD MI MII Tahap Perkembangan Oosit Gambar 7. Histogram Pengaruh Diameter Oosit Sapi Bali terhadap Ratarata persentase Tingkat Kematangan Oosit. GV: germinal vesicle, GVBD: germinal vesicle breakdown, MI: metaphase I, MII: metaphase II. Huruf yang berbeda pada grafik batang yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). Hasil analisis ragam (Lampiran 5 dan 7) menunjukan bahwa perlakuan diameter berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kematangan oosit pada tahap Germinal Vesicle Break Down (GVBD) dan Metaphase-II (MII), tetapi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) pada tahap Germinal Vesicle (GV) dan Metaphase-I (MI) (Lampiran 6). Pada tahap Germinal Vesicle Break Down (GVBD) persentase tingkat kematangan oosit yang tertinggi pada oosit yang berdiameter <110 µm dan oosit 21 yang berdiameter >120 µm tidak mengalami tahap GVBD. Hal ini mungkin disebabkan oleh laju pertumbuhan oosit. Oosit yang berdiameter <110 µm memiliki persentase yang tinggi, disebabkan baru mengalami tahap meiosis dan laju pertumbuhan oosit untuk mencapai meiosis I agak lambat, sehingga oosit yang dikultur banyak yang mengalami tahap Germinal Vesicle Break Down (GVBD). Persentase oosit yang tinggi pada stadium GVBD tanpa diikuti oleh persentase oosit yang meningkat pada stadium meiosis selanjutnya menandakan bahwa oosit kurang memiliki kompetensi untuk melanjutkan meiosis dalam kultru in vitro (Hirao, et al., 1994). Tingkat kematangan inti oosit yang berdiameter <110 µm dan 110-120 µm sama, namun oosit yang berdiameter <110 µm dan >120 µm berbeda nyata. Pada oosit yang berdiameter >120 µm tidak terdapat oosit yang mengalami tahap GVBD. Hal ini disebabkan bahwa oosit yang berdiameter >120 µm pada saat dikultur sudah mencapai tahap meiosis selanjutnya. Pada tingkat kematangan tahap Metaphase-II (MII) oosit yang berdiameter >120 µm memiliki persentase tertinggi dan yang terendah <110 µm (Gambar 4). Hal ini disebakan pada oosit yang berdiameter <110 µm memiliki persentase yang rendah untuk mencapai tahap MII belum mampu secara maksimal untuk mencapai tahap MII dan membutuhkan waktu yang lama untuk perkembangan oosit. Oosit yang memiliki diameter >120 µm lebih berkompeten untuk mencapai tahap meiosis II dan siap untuk dibuahi dan memiliki kemampuan mencapai tahap M-II lebih tinggi dan dapat dikoleksi dari folikel berukuran 3-4 dan > 4 mm (Ferreira, 2009). Oosit dengan diameter <110 m tidak dapat melakukan sintesis RNA 22 maternal dan beberapa protein esensial dengan sempurna sehingga tidak dapat mencapai tahap M-II (Otoi, et al., 1997). Hasil yang didapatkan tidak terdapat oosit yang mengalami tahap pada tingkat kematangan GV (germinal vesical). Hal ini disebabkan oosit yang dikoleksi sudah mengalami pembelahan meiosis dan pematangan ooplasmic. Menurut Rahman, et al., (2008), secara in vivo sama seperti oosit mamalia lainnya maka oosit kambing dan domba akan beristirahat setelah memasuki fase dictyate atau fase germinal vesicle (GV) hingga kambing dan domba memasuki masa pubertas. Secara in vitro oosit akan mengalami pertumbuhan yang optimal setelah keluar dari folikel dan ketika dikultur dalam media maturasi secara spontan akan mengalami pembelahan meiosis dan pematangan ooplasmic. Diameter tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap tingkat kematangan inti oosit tahap Metaphase-I (MI) (Lampiran 6). Persentase tingkat kematangan MI antara tiga kategori diameter oosit hampir sama untuk mencapai MI. Namun, demikian secara deskriptif ada perbedaan nilai yaitu tertinggi pada oosit yang berdiameter <110 µm dan terendah >120 µm. Hal ini disebabkan oosit yang dikultur secara in vitro pada tahap Metaphase-I (MI) memiliki persentase tingkat kematangan oosit yang tinggi pada oosit yang berdiameter <110 µm, karena laju pertumbuhan agak lambat untuk mencapai tahap meiosis II dan membutuhkan waktu lam untuk mencapai tahap meiosis selanjutnya. Oosit yang berdiameter >120 µm baru mulai tahap Metaphase-I (MI). Hal ini diduga hampir semua diameter oosit memiliki kemampuan yang sama untuk mencapai tahap MI dan 23 disebabkan oleh laju perkembangan oosit yang dikultur secara in vitro sudah mencapai tahap meiosis II. Persentase tingkat kematangan oosit yang berdiameter >120 µm mempunyai nilai 0 % pada tahap GV dan GVDB, tetapi tahap pematangan inti oosit pada Metaphase-I dan Metaphase-II terdapat nilai oosit yang mengalami MI dan MII. Hal ini disebabkan karena oosit yang dikultur pada kategori diatemer >120 µm sudah mencapai tahap meiosis I dan meiosis II. Yang, et al., (1990) melaporkan bahwa kemampuan oosit dengan diameter >125 µm nyata lebih tinggi (78,02 %) untuk mencapai tahap MII dibandingkan dengan oosit berdiameter <110 µm (20,96 %), 110-125 µm (57,97 %) pada kondisi prepubertas. Gambar 7 menunjukkan oosit yang memiliki diameter <110 µm mencapai tingkat kematangan GVBD, MI, sampai MII, hal ini sama dengan diameter 110120 µm tingkat kematangan inti oosit dimulai dari tahap GVBD, MI, sampai MII. Pada diameter >120 µm tahap tingkat kematangan inti oosit dimulai dari MI, sampai MII. Hal ini menunjukan bahwa diameter oosit sapi Bali berpengaruh (P<0.05) terhadap tingkat kematangan oosit. Menurut Hyttel, et al., (1987) bahwa pada sapi oosit yang berdiameter 100 m memiliki kemampuan untuk memulai meiosis memiliki kemampuan penuh untuk menyelesaikan pematangan dan untuk mempertahankan perkembangan embrio. Oosit sapi yang lebih besardari 115 m telah mencapai kemampuan meiosis, tetapi untuk memperoleh kemampuan perkembangan embrio harus memiliki diameter lebih besar dari 120 m. 24 Berdasarkan kondisi tingkat kematangan pada tahap MII, terihat bahwa diameter oosit >120 µm memiliki persentase peningkatan tingkat kematangan oosit terbesar diikuti dengan oosit yang berdiameter 110-120 µm dan <110 µm.Secara keseluruhan <110 µm memiliki laju pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan oosit yang berdiameter 110-120 µm dan >120 µm. Beberapa studi menyimpulkan bahwa diameter oosit adalah berbanding lurus dengan diameter folikel, karena keduanya meningkatkan kemampuan perkembangan oosit pada sapi (Gandolfi, et al., 1997). Perbedaan ukuran diameter dari 125 oosit dalam ovarium sapi Bali tersebut disebabkan oleh laju pertumbuhan oosit, proses pertumbuhan folikel, keadaan populasi folikel dalam ovarium sapi Bali, dan pada waktu pengambilan ovarium dari RPH di Tamangapa. Arlotto, et al. (1996) telah menguji hubungan antara diameter oosit dengan pertumbuhan folikel. Oosit terus bertumbuh setelah pembentukan antrum, yang melibatkan oosit yang berasal dari folikel berukuran 10-15 mm. Perbedaan diameter oosit yang berasal dari folikel besar dengan folikel kecil sekitar 5%. Perbedaan diameter oosit akan berpengaruh terhadap perkembangan oosit mulai perkembangan dini sampai blastosis. Pengaruh diameter oosit terhadap kemampuannya untuk berkembang mungkin berhubungan dengan lama pembentukan polar bodi pertama. Semakin cepat polar bodi pertama terbentuk (matang lebih awal) akan meningkatkan keberhasilan dalam pembentukan blastosis (Dominko dan First, 1992). Oosit yang 25 matang lebih awal cenderung pada oosit yang memiliki diameter lebih besar (Arlotto, et al., 1996). Sel-sel kumulus berperan penting dalam proses pematangan oosit secara in vitro (Setiadi, 2002), yang selanjutnya juga akan mempengaruhi kualitas embrio yang dihasilkan. Saat pematangan, sel-sel kumulus berperan dalam menyediakan nutrisi bagi oosit serta membantu sintesis protein untuk pembentukan zona pelusida (Mayes, 2002). Apabila sel-sel kumulus dilepaskan sebelum pematangan, maka akan terjadi keterlambatan dalam proses pematangan oosit atau bahkan tidak terjadi pematangan. Menurut Mayes (2002) ekspansi kumulus berkorelasi dengan Germinal Vesicle Break Down (GVBD). Berdasarkan hal tersebut, terjadinya ekspansi sel-sel kumulus dapat digunakan untuk memperkirakan terjadinya pematangan oosit secara in vitro (Setiadi, 2002).Tingkat pematangan oosit secara in vitro juga dipengaruhi oleh kualitas oosit yang digunakan. Bilodeau, and Panich (2002) menyatakan persentase tingkat pembelahan sel yang berasal dari oosit yang memiliki lebih dari lima lapis sel kumulus mencapai angka yang lebih tinggi dan berbeda nyata daripada tingkat pembelahan sel yang berasal dari oosit dengan lapisan sel kumulus kurang dari lima lapis, walaupun sitoplasmanya homogen. Keberadaan sel kumulus dapat mendukung pematangan oosit melalui zat metabolit yang dihasilkan dan disekresikan melalui mekanisme gap junction ke sel oosit. Ekspansi sel-sel kumulus dapat dijadikan indikator terjadinya pematangan oosit (Setiadi, 2002). Menurut Vanderhyden, et al., (1990) bahwa terdapat hubungan antara perkembangan oosit untuk melalui GVBD, kemampuan oosit 26 untuk mensekresikan faktor penyebab ekpansi sel-sel kumulus dan terjadinya ekspansi sel-sel kumulus. Akibat terjadinya ekspansi sel-sel kumulus tidak lagi sebagai penghambat dalam proses pematangan oosit atau Oocyte Maturation Inhibitor (OMI). Sel-sel kumulus disebut sebagai OMI, karena mensekresikan Cyclic Adenosine Monophosphate (cAMP) yang merupakan faktor penghambat pematangan oosit (Sirard and Blondin, 1996). 27 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Persentase tingkat kematangan oosit tertinggi pada tahap GVBD dihasilkan oleh oosit yang berdiameter <110 µm, sedangkan untuk tahap MII dicapai oleh oosit yang berdiameter >120 µm. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kemampuan oosit dari 3 kategori ukuran diameter, untuk tahap perkembangan fertilisasi sampai tahap menjadi embrio. 28 DAFTAR PUSTAKA Abeydeera, L. R. 2002. In vitro production of embryos in swine. Theriogenology. 57(7):256-273. Alvarez G. M. 2009. Immature oocyte quality and maturational competence of porcine cumulusoocyte complexes subpopulations.Biocell.33:167-177. Arlotto, T., J. L. Schwarctz, and N. L. First. 1996. Aspect follicle and oocyte stage that affect in vitro maturation and development of bovine oocytes. Theriogenology. 45:943–956. Bavister, B. D. 1992. Analysis of Culture Media for in Vitro Fertilization and Criteria for Success.in L. Mastroianni Jr. and J. D. Biggers (Eds.). Fertilization andEmbrionic Development in Vitro. Plenum Press. New York. Bilodeau-Goeseels, S., and P. Panich. 2002. Effects of oocyte quality on development and transcriptional activity in early bovine embryos. Anim. Reprod. Sci. 71:143-155. Campbell, N.A., Reece J. B., and Mitchel L. G. 2000. Biologi. Wasmen Manali. Erlangga. Jakarta. Chohan, K. R., dan Hunter A. G. 2003. Meiotic competence of bovine fetal oocytes following in vitro maturation.Anim. Reprod. Sci. 76:43-51. Citra, S. R. 2013. Proses Oogenesis Manusia.http://bioedulima.blogspot.com/2013/04/oogenesis-padamanusia-2_8.html. Di akses 2 Desember 2013. pada Crozet, N., Ali A., and M. P. Dubos. 1995. Developmental competence of goat oocytes from follicles of different size categories following maturation, fertilization and culture in vitro. Reprod. Fertil. 103(2):293-298. Dominko, T. and N. Fisrt. 1992. Kinetics of bovine oocyte maturation and is affected by gonadotropins. Theriogenology. 37:203-209. Ferreira. 2009. Cytoplasmic maturation of bovine oocytes: Structural and biochemical modifications and acquisition of developmental competence. Theriogenology. 71:837-848. 29 Gandolfi, F., A. M. Luciano, S. Modina, A. Ponzini, P. Pocar, D. T. Armstrong, and A. Lauria. 1997. The in vitro developmental competence of bovine oocytes can be related to the morphology of the ovary. Theriogenology. 48(7):1153-1160. Gordon, I. 1994 Autocrine, paracrine and environmental factors influencing embryonic development from zygote to blastocyst. Theriogenology. 41(1): 95-100. Gordon, I. R. 2003. Laboratory Production of Cattle Embryos.CABI Publishing; Wallingford UK. Gotto, K., T. Yasuyuki, T. Wartaru, T. Shinichiro, T. Kazuhisa, Y. Kichi, Syojio, and N. Yoshihiki, 1995. Evaluation of once-versus twice weeklytransvaginal ultarsound guided folicular oocyte aspiration with orwithout FSH stimulation from the same Cows. J. Anim. Reprod. Sci. 4:41-47. Hafez, B., and E. S. E, Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th Ed. Lea and Febiger, Philadelphia. 96-107. Hegab, A.O., Montasser, A.E., Hamma, A.M., Abu El-Naga E.M.A., Zaabel, S.M. 2009. Improving in vitro maturation and cleavage rates of buffalo oocytes.Anim. Reprod. 6(2):416-421. Hirao, R. H. F. 1994. In vitro growth and maturation of pig oocytes. J. Reprod. Fertil. 100: 333-339. Hyttel, P. H., Callensen, and T. Greve, 1987. Ultra Structural Features of Preovulatory Oocytes Maturation in Superovulation Catlle.J.Repod., and Fert. 76:645-656. Junqueira, C., Jose C., and Robert K. 1995.Histologi Dasar.Jakarta : EGC. Krisher, R. L., A. M. Brad, J. R. Herrick, M. L. Sperman, and J. E. Swain. 2007. A comparative analysis of metabolisme and viability in porcine oocytes during in vitro maturation. Anim. Reprod. Sci. 98:72-96. Lanzendorf, S.E., P.M. Gliessman, A.E. Archibong, M. Alexander dan D.D. Wolf. 1990. Collection and quality of rhesus monkey semen. 25:61-66. Lonergan, P., Sharif, H., Monaghan P., Wahid H., Gallaghar M. and Gordon I. 1992. Effect of size on bovine oocytes morphology and embrios yield following maturation, fertilization and culture in vitro. Theriogenology 54:1420-1429. 30 Lonergan, P., P. Monaghan, D. Rizos, M.P. Boland, and I. Gordon. 1994. Effect of follicle size on bovine oocyte quality and developmental competence following maturation, fertilization, and culture in vitro. Mol. Reprod. and Developm. 37:48-53. Mayes. 2002. Ovary. http://www.theses.ulayal.ca/2002/20201.html. Diakses 13 Februari 2014. Otoi, T., K. Yamamoto, N. Koyama, Tachikawa S, and Suzuki T. 1997.Bovine oocyte diameter in relation to developmental competence.Theriogenology. 48:769-774. Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta. Pavlok, A., A. Lucas-Hahn, and H. Nieman. 1992. Fertilization and developmental competence of bovine oocytes derived from different categories of antral follicles. Mol. Reprod. and Developm. 31:63-67. Pawshe, C. H., K. B. C. Appa Rao, S. K. Jain, and S. M. Totey. 1994. Biochemical studies on goat oocytes timing of nuclear progresian, effect of protein inhibitor and pattern of polypeptide synthesis during in vitro maturation. Theriogenology. 42(2):307-320. Qian, H., Nihorimbere, and Venant. 2005. Antioxidant power of phytochemichals from psidium guajava leaf. Journal of Zhejiang University Science 5(6):23-28. Rahman, A., Abdullah R. B., and Wan Khadijah W. E., 2008. In vitro maturation of oocytes with special reference to goat: A review. Biotechnology 7(4):599-611 Schatten, H., and M. Gheorghe. 2007. Comparative Reproduction Biology. Iowa, USA: Blaswell Pub. Setiadi, M.A., 2002. Effect of co-cultur with follicle shell on cumulus expansion and nuclear maturation porcine oocytes in vitro. Reprotech. I(2):87-91. Shamsuddin, M. B., H.R. Larrson, and Martinez, 1993. Maturation related changes in bovine oocytes under different culture condition. J. Anim. Reprod. Sci.31: 49-58. Sirard, M.A., and P. Blondin. 1996. Oocytes maturation and IVF cattle. Anim. Reprod. Sci. 42(1):417-426. 31 Sumantri, C. dan A. Anggraeini. 1999. Hubungan jumlah folikel per ovari dengan kualitas oosit dan lama hari terbentuknya blastosit fertilisasi invitro pada sapi Fries Holland. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 4(4):142-149. Telfer, D. J., and R. S. Sharpley. 2008. Tourisme and Development in The Development in The USA and Canada by Routledge, 270 Madison Ave, New York. Thomas, C., and M. B. Joanna. 2002. Clinical Anatomy and Fisiologi for Veterinary technicians. United State of America: Mosby, Inc. Tsafriri, A. 1985.The control of meiotic maturation in mamalias. Biology of Fertilization, 1:221-252. Turner, C. D., and J. T. Bagnara. 1988. Endokrinologi Umum. Edisi ke-6. Surabaya: Airlangga University Press. Vanderhyden, B.C., and D.T. Amstrong. 1990. Role of the cumulus cells and serum on the in vitro maturation,fertilization, and sub sequent development of rat oocytes. Biol. Reprod. 40:720-728. Wood, T. C., and D. E. Wildt. 1997. Effect of the quality of the cumulus-oocyte complex in the domestic cat on the ability of oocytes to mature, fertilize and develop into blastocysts in vitro. J. Reprod. Fertil. 110:355-360. Yang, N.S., K. H. Luand, I. Gordon. 1990. In vitro fertilization (IVF) and cultur (IVC) of bovine oocytes from stored ovaries. Theriogenology. 333:352. Yatim, W, 1994. Reproduksi dan Embriologi. Penerbit Tarsito. Bandung. 32 Lampiran 1. Jumlah oosit yang memiliki beberapa diameter ULANGAN I II III IV TOTAL PERLAKUAN (DIAMETER OOSIT) <110 110-120 >120 8 11 12 6 11 10 7 10 13 10 14 13 31 46 48 JUMLAH OOSIT 31 27 30 37 125 Lampiran 2. Pengaruh Diameter Oosit Terhadap Tingkat Kematangan Oosit In Vitro DIAMETER ULANGAN OOSIT <110 µm I II III IV TOTAL Rata-rata 110-120 µm I II III IV TOTAL Rata-rata >120 µm TOTAL Rata-rata TOTAL I II III IV TINGKAT KEMATANGAN OOSIT GV - GVBD 2 1 2 5 1.25 1 1 2 0.5 - MI 5 4 4 4 17 4.25 2 8 5 6 21 5.25 3 6 3 3 15 3.75 MII 3 2 4 9 2.25 8 3 5 7 23 5.75 9 4 10 10 33 8.25 - 7 53 65 JUMLAH OOSIT 8 6 7 10 31 7.75 11 11 10 14 46 11.5 12 10 13 13 48 12 125 33 Lampiran 3. Pengaruh Diameter Oosit Terhadap Tingkat Kematangan Oosit In Vitro (%) DIAMETER OOSIT ULANGAN <110 mm I II III IV Total Rata-rata 110-120 mm I II III IV Total Rata-rata >120 mm Total Rata-rata I II III IV TINGKAT KEMATANGAN OOSIT (%) GV GVBD MI MII - 33.33 14.29 20 67.62 16.90 9.09 7.14 16.23 4.06 - 62.5 66.67 57.14 40 226.31 56.58 18.18 72.73 50 42.86 183.77 45.94 25 60 23.08 23.08 131.15 32.79 37.5 0 28.57 40 106.07 26.52 72.73 27.27 50 50 200 50 75 40 76.92 76.92 268.85 67.21 34 Lampiran 4. Pengaruh Diameter Oosit Terhadap Tingkat Kematangan Oosit In Vitro (Transformasi) DIAMETER OOSIT ULANGAN <110 mm I II III IV Total Rata-rata 110-120 mm I II III IV Total Rata-rata >120 mm Total Rata-rata I II III IV TINGKAT KEMATANGAN OOSIT GV GVBD MI MII 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 35.25 22.21 26.56 84.02 21.01 17.56 0 0 15.49 33.05 8.26 0 0 0 0 0 0 52.24 54.74 49.09 39.23 195.3 48.83 25.23 58.5 45 40.92 169.65 42.41 30 50.77 28.71 28.71 138.19 34.55 37.76 0 32.33 39.23 109.32 27.33 58.51 31.5 45 45 180.01 45.00 60 39.23 61.27 61.27 221.77 55.44 35 LAMPIRAN 5 UNIANOVA GVBD BY Diameter /METHOD=SSTYPE(3) /INTERCEPT=INCLUDE /POSTHOC=Diameter(LSD) /EMMEANS=TABLES(Diameter) /PRINT=DESCRIPTIVE /CRITERIA=ALPHA(.05) /DESIGN=Diameter. Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Diameter D1 4 D2 4 D3 4 Descriptive Statistics Dependent Variable: GVBD Diameter Mean D1 21.0050 15.01599 4 D2 8.2625 9.57807 4 D3 .0000 .00000 4 9.7558 12.95958 12 Total Std. Deviation N Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: GVBD Source Type III Sum of df Mean Square F Sig. Squares Corrected Model 895.800a 2 447.900 4.236 .051 Intercept 1142.115 1 1142.115 10.801 .009 Diameter 895.800 2 447.900 4.236 .050 Error 951.658 9 105.740 Total 2989.574 12 Corrected Total 1847.458 11 a. R Squared = .485 (Adjusted R Squared = .370) 36 Estimated Marginal Means Diameter Dependent Variable: GVBD Diameter Mean Std. Error 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound D1 21.005 5.141 9.374 32.636 D2 8.263 5.141 -3.368 19.893 D3 2.264E-015 5.141 -11.631 11.631 Post Hoc Tests Diameter Multiple Comparisons Dependent Variable: GVBD LSD (I) Diameter (J) Diameter Mean Difference Std. Error Sig. (I-J) Lower Bound Upper Bound D2 12.7425 7.27117 .114 -3.7060 29.1910 D3 21.0050 * 7.27117 .018 4.5565 37.4535 D1 -12.7425 7.27117 .114 -29.1910 3.7060 D3 8.2625 7.27117 .285 -8.1860 24.7110 D1 * 7.27117 .018 -37.4535 -4.5565 -8.2625 7.27117 .285 -24.7110 8.1860 D1 D2 95% Confidence Interval -21.0050 D3 D2 Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 105.740. *. The mean difference is significant at the .05 level. 37 LAMPIRAN 6 UNIANOVA M1 BY Diameter /METHOD=SSTYPE(3) /INTERCEPT=INCLUDE /POSTHOC=Diameter(LSD) /EMMEANS=TABLES(Diameter) /PRINT=DESCRIPTIVE /CRITERIA=ALPHA(.05) /DESIGN=Diameter. Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Diameter D1 4 D2 4 D3 4 Descriptive Statistics Dependent Variable: M1 Diameter Mean Std. Deviation N D1 48.8250 6.80156 4 D2 42.4125 13.69877 4 D3 34.5475 10.83208 4 Total 41.9283 11.53199 12 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: M1 Source Type III Sum of Df Mean Square F Sig. Squares 409.101a 2 204.550 1.747 .229 Intercept 21095.822 1 21095.822 180.177 .000 Diameter 409.101 2 204.550 1.747 .229 Error 1053.754 9 117.084 Total 22558.677 12 1462.855 11 Corrected Model Corrected Total a. R Squared = .280 (Adjusted R Squared = .120) 38 LAMPIRAN 7 UNIANOVA M2 BY Diameter /METHOD=SSTYPE(3) /INTERCEPT=INCLUDE /POSTHOC=Diameter(LSD) /EMMEANS=TABLES(Diameter) /CRITERIA=ALPHA(.05) /DESIGN=Diameter. Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Diameter D1 4 D2 4 D3 4 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: M2 Source Type III Sum of Df Mean Square F Sig. Squares Corrected Model 1615.498a 2 807.749 4.181 .052 Intercept 21768.601 1 21768.601 112.685 .000 Diameter 1615.498 2 807.749 4.181 .050 Error 1738.629 9 193.181 Total 25122.728 12 3354.127 11 Corrected Total a. R Squared = .482 (Adjusted R Squared = .366) 39 Estimated Marginal Means Diameter Dependent Variable: M2 Diameter Mean Std. Error 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound D1 27.330 6.949 11.609 43.051 D2 45.003 6.949 29.282 60.723 D3 55.442 6.949 39.722 71.163 Post Hoc Tests Diameter Multiple Comparisons Dependent Variable: M2 LSD (I) Diameter (J) Diameter Mean Difference Std. Error Sig. (I-J) Lower Bound Upper Bound D2 -17.6725 9.82805 .106 -39.9051 4.5601 D3 * 9.82805 .019 -50.3451 -5.8799 D1 17.6725 9.82805 .106 -4.5601 39.9051 D3 -10.4400 9.82805 .316 -32.6726 11.7926 D1 * 9.82805 .019 5.8799 50.3451 10.4400 9.82805 .316 -11.7926 32.6726 D1 D2 95% Confidence Interval -28.1125 28.1125 D3 D2 Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 193.181. *. The mean difference is significant at the .05 level. 40 Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian Ovarium Sapi Bali Alat Reproduksi Sapi Bali Betina Pengambilan Ovarium di RPH Tamangapa, Makassar Proses Sciling Alat dan Bahan yang Digunakan untuk Koleksi Oosit Mikroskop 41 Alat dan bahan yang Digunakan untuk Medium Maturasi Mineral Oil, Medium Maturasi, dan empat tetesan (drop) pada petri dish (50 µL/drop) Tempat pembuatan medium 42 Mikroskop yang Digunakan untuk Mengukur Diameter Oosit Medium Koleksi Inkubator CO2 5 %, 38,5C Pipet yang Dimodifikasi 43 Pembuatan Pipet Pengkoleksian Oosit Pengkoleksian Oosit dibawah mikroskop Pembuatan empat tetesan drop (50 µL/drop) 44 Preprat Oosit Preparat Oosit yang difiksasi Alat dan bahan yang Digunakan untuk Pewarnaan Oosit 45 Proses Fiksasi Oosit Proses Pewarnaan Oosit Oosit yang telah di denudase 46 RIWAYAT HIDUP RAHMI SYAMSUDDIN, Lahir di Barru, 18 Agustus 1992. Anak pertama dari pasangan Drs. Syamsuddin Jama dan Hj. Rukmisah, S. Pd SD, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN No. 5 Mareto, Barru pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya pada salah satu SMP di Barru yaitu SMP Negeri 3 Tanete Rilau, Kab. Barru . Kemudian pada tahun 2007 Ia melanjutkan sekolah di salah satu Sekolah Menengah Atas SMA NEG. 1 Barru Kab. Barru dan lulus pada tahun 2010, Kemudian di tahun yang sama penulis diterima pada salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Makassar yaitu pada Universitas Hasanuddin Makassar dan di terima di Fakultas Peternakan pada program studi Produksi Ternak. Selama mengikuti perkuliah penulis aktif disalah satu himpunan di Fakultas Peternakan yaitu Himpunan Produksi Ternak (HIMAPROTEK) dan aktif sebagai asisten di Laboratorium Fisiologi Ternak Dasar dan Laboratorium Kesehatan Ternak. Penulis menyelesaikan kuliah pada tahun 2014. 47