BAB II Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian 2.1 Landasan Teori

advertisement
BAB II
Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Stakeholder Theory
Teori Stakeholder digunakan untuk menjelaskan bagaimana memelihara
hubungan Stakeholder yang mencakup semua bentuk hubungan antara perusahaan
dengan seluruh stakeholder, perusahaan yang anggota utamanya adalah
customers, pekerja, masyarakat, pemasok, dan shareholder (Hadiwijaya, 2013).
Teori Stakeholder menunjukkan bahwa komunitas, atau masyarakat baik secara
keseluruhan maupun secara parsial memiliki hubungan serta kepentingan terhadap
perusahaan (Efandiana, 2010).
Teori stakeholder lebih mempertimbangkan posisi para stakeholder yang
dianggap powerfull daripada hanya posisi shareholder saja. Menurut teori ini,
manajemen sebuah organisasi diharapkan melakukan aktivitas yang dianggap
penting oleh para stakeholder mereka dan kemudian melaporkan kembali
aktivitas-aktivitas tersebut kepada para stakeholder. Kelompok stakeholder inilah
yang menjadi bahan pertimbangan utama bagi manajemen perusahaan dalam
mengungkapkan atau tidak mengungkapkan suatu informasi di dalam laporan.
Kelompok-kelompok stakeholder tersebut meliputi pemegang saham, pelanggan,
pemasok, kreditor, pemerintah, dan masyarakat (Pramelasari, 2010).
Tujuan utama dari teori stakeholder adalah untuk membantu manajer
korporasi mengerti lingkungan stakeholder mereka dan melakukan pengelolaan
dengan lebih efektif di antara keberadaan hubungan-hubungan di lingkungan
perusahaan mereka. Namun demikian, tujuan yang lebih luas dari teori
stakeholder adalah untuk membantu manajer korporasi dalam meningkatkan nilai
dari dampak aktifitas-aktifitas mereka, dan meminimalkan kerugian-kerugian bagi
stakeholder. Pada kenyataannya, inti keseluruhan teori stakeholder terletak pada
apa yang akan terjadi ketika korporasi dan stakeholder menjalankan hubungan
bisnis (Mumpuni, 2013).
Stakeholder dalam hal ini, memiliki kewenangan untuk mempengaruhi
manajemen dalam proses pemanfaatan seluruh potensi yang dimiliki oleh
organisasi. Karena hanya dengan pengelolaan yang baik dan maksimal atas
seluruh potensi inilah organisasi akan dapat menciptakan value added untuk
kemudian mendorong kinerja keuangan dan nilai perusahaan yang merupakan
orientasi para stakeholder dalam mengintervensi manajemen (Widarjo, 2011).
Pihak perusahaan meyakini bahwa hubungan saling mempengaruhi antara
manajer dan stakeholder seharusnya dikelola dalam rangka untuk mencapai
kepentingan perusahaan yang semestinya tidak dibatasi pada asumsi konvensional
yaitu mencari keuntungan saja. Bagi perusahaan semakin penting stakeholder
maka semakin banyak usaha yang dilakukan untuk mengelola hubungan tersebut.
Perusahaan memandang informasi merupakan elemen utama yang dapat
digunakan untuk mengelola stakeholder dalam rangka mencari dukungan dan
persetujuan mereka atau untuk mengalihkan perlawanan dan ketidaksetujuan
mereka (Hadiwijaya, 2013).
Dalam konteks Intellectual Capital (IC), teori stakeholder memberikan
argumen bahwa seluruh stakeholder memiliki hak untuk diperlakukan secara adil
dan manajer harus mengelola organisasi untuk keuntungan seluruh stakeholder.
Dengan memanfaatkan seluruh potensi perusahaan, baik karyawan (human
capital), aset fisik (capital employed), maupun structural capital, maka
perusahaan akan mampu menciptakan value added bagi perusahaan. Dengan
meningkatkan value added tersebut, maka kinerja keuangan perusahaan akan
meningkat sehingga kinerja keuangan di mata stakeholder juga akan meningkat
(Wicaksana, 2011).
2.1.2 Resources Based Theory (RBT)
Resource Based Theory adalah suatu pemikiran yang berkembang dalam
teori manajemen strategik dan keunggulan kompetitif perusahaan yang meyakini
bahwa perusahaan akan mencapai keunggulan apabila memiliki sumber daya yang
unggul (Solikhah, 2010).
Resources Based Theory membahas mengenai sumber daya yang dimiliki
perusahaan
dan
bagaimana
perusahaan
tersebut
dapat
mengelola
dan
memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya. Kemampuan perusahaan dalam
mengelola sumber dayanya dengan baik dapat menciptakan keunggulan
kompetitif sehingga dapat menciptakan nilai bagi perusahaan. Chang et al. (2011)
menjelaskan bahwa dalam teori RBT (Resources Based Theory) ini, untuk
mengembangkan keunggulan kompetitif, perusahaan harus memiliki sumber daya
dan kemampuan yang superior dan melebihi para kompetitornya. Hal inilah yang
membuat intellectual capital sebagai sumber daya bagi perusahaan untuk
menciptakan value added bagi perusahaan dan nantinya akan tercapai keunggulan
kompetitif perusahaan (Pramelasari, 2010). Resource-Based Theory menyebutkan
bahwa keunggulan kompetitif perusahaan diperoleh dari kemampuan perusahaan
untuk merakit dan memanfaatkan kombinasi sumber daya yang tepat (Chang et
al., 2011).
Sumber daya harus memenuhi kriteria “VRIN” agar dapat memberikan
keunggulan kompetitif dan kinerja yang berkelanjutan (Madhani, 2009). Kriteria
“VRIN” adalah:
1)
Valuable (V): sumber daya berharga jika memberikan nilai strategis bagi
perusahaan. Sumber daya memberikan nilai jika membantu perusahaan
dalam memanfaatkan peluang pasar atau membantu dalam mengurangi
ancaman pasar. Tidak ada keuntungan dari memiliki sumber daya jika tidak
menambah atau meningkatkan nilai perusahaan.
2)
Rare (R): sumber daya yang sulit atau langka untuk ditemukan di antara
pesaing dan menjadi potensi perusahaan. Oleh karena itu sumber daya harus
langka atau unik untuk menawarkan keunggulan kompetitif. Sumber daya
yang dimiliki oleh beberapa perusahaan di pasar tidak dapat memberikan
keunggulan kompetitif, karena mereka tidak dapat merancang dan
melaksanakan strategi bisnis yang unik dibandingkan dengan kompetitor
lain.
3)
Imperfect Imitability (I): sumber daya dapat menjadi dasar keunggulan
kompetitif yang berkelanjutan hanya jika perusahaan yang tidak memegang
sumber daya ini tidak dapat meniru sumber daya tersebut.
4)
Non-Substitutability (N): non-substitusi sumber daya menunjukkan bahwa
sumber daya tidak dapat diganti dengan alternatif sumber daya lain. Di sini,
pesaing tidak dapat mencapai kinerja yang sama dengan mengganti sumber
daya dengan sumber daya alternatif lainnya.
Teori ini menyatakan bahwa Intellectual Capital memenuhi kriteria-kriteria
sebagai sumber daya yang unik untuk menciptakan keunggulan kompetitif bagi
perusahaan sehingga mampu menciptakan nilai bagi perusahaan dan dapat
menguasai serta memanfaatkan Intellectual Capital, maka perusahaan akan dapat
memperoleh keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Peran Intellectual
Capital semakin strategis, bahkan Intellectual Capital dikatakan memiliki peran
penting dalam upaya melakukan peningkatan nilai di berbagai perusahaan, hal ini
disebabkan adanya kesadaran bahwa Intellectual Capital merupakan landasan
bagi perusahaan untuk unggul dan bertumbuh (Murti, 2010).
2.1.3 Teori Legitimasi
Menurut Guthrie et al., (dalam Marisanti, 2012), legitimacy theory
berhubungan erat dengan pelaporan intellectual capital. Perusahaan lebih
mungkin untuk melaporkan intangible asset mereka, jika mereka memiliki
kebutuhan yang spesifik untuk melakukannya. Mereka tidak dapat melegitimasi
status mereka hanya lewat hard asset yang diakui sebagai simbol kesuksesan
tradisional perusahaan.
Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan
tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan tempat
perusahaan beroperasi. hal ini sejalan dengan teori legitimasi yang menyatakan
bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan
kegiatan berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi
berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Teori
legitimasi menyatakan bahwa organisasi harus secara terus menerus mencoba
untuk meyakinkan bahwa mereka melakukan kegiatan sesuai dengan batasan dan
norma-norma masyarakat (Rustiarini, 2010).
Dasar pemikiran teori ini adalah organisasi atau perusahaan akan terus
berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa organisasi beroperasi
untuk sistem nilai yang sepadan dengan sistem nilai masyarakat itu sendiri. Teori
legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan
kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Perusahaan menggunakan laporan
tahunan mereka untuk menggambarkan kesan tanggung jawab lingkungan,
sehingga mereka diterima oleh masyarakat.
2.1.4 Kinerja Keuangan Perusahaan
2.1.4.1 Pengertian Kinerja Keuangan Perusahaan
Kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat
sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan menggunakan aturanaturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar. Seperti dengan membuat
suatu laparan keuangan yang telah memenuhi standar dan ketentuan dalam SAK
(Standar Akutansi Keuangan) atau GAAP (General Acepted Accouting Principle)
(Fahmi, 2011: 2).
Menurut Munawir (2010: 30), kinerja keuangan perusahaan merupakan
satu diantara dasar penilaian mengenai kondisi keuangan perusahaan yang
dilakukan berdasarkan analisa terhadap rasio keuangan perusahaan. Pihak yang
berkepentingan sangat memerlukan hasil dari pengukuran kinerja keuangan
perusahaan untuk dapat melihat kondisi perusahaan dan tingkat keberhasilan
perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasionalnya.
Kinerja merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap perusahaan.
Kinerja dapat menjadi tolak ukur kemampuan perusahaan dalam mengelola dan
mengalokasikan segala sumber daya yang dimilikinya. Perusahaan harus terus
melakukan peningkatan terhadap kualitas dan kinerja perusahaan, agar tujuan
perusahaan tercapai. Laporan tahunan perusahaan merupakan informasi yang
memberikan gambaran tentang kinerja perusahaan yang diberikan oleh
manajemen perusahaan kepada stakeholder (Hadiwijaya, 2013).
Kinerja keuangan perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh
suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan mengacu pada standar yang telah
ditetapkan sebelumnya. Hendaknya kinerja perusahaan merupakan hasil yang
dapat diukur dan menggambarkan kondisi empirik suatu perusahaan dari berbagai
ukuran yang disepakati. Untuk mengetahui kinerja yang telah dicapai maka
dilakukan penilaian kinerja (Danu, 2011).
2.1.4.2 Tujuan Kinerja Keuangan Perusahaan
Tujuan penilaian kinerja perusahaan menurut Munawir (2010: 31) adalah
sebagai berikut:
1)
Untuk mengetahui tingkat likuiditas, yaitu kemampuan perusahaan untuk
memperoleh kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi atau
kemampuan perusahaan untuk memenuhi keuangannya pada saat ditagih.
2)
Untuk mengetahui tingkat solvabilitas, yaitu kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kewajiban keuangannya apabila perusahaan tersebut dilikuidasi
baik kewajiban keuangan jangka pendek maupun jangka panjang.
3)
Untuk mengetahui tingkat rentabilitas atau profitabilitas, yaitu menunjukkan
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu.
4)
Untuk mengetahui tingkat stabilitas usaha, yaitu kemampuan perusahaan
untuk
melakukan
usahanya
dengan
stabil,
yang
diukur
dengan
mempertimbangkan kemampuan perusahaan untuk membayar beban bunga
atas hutang-hutangnya termasuk membayar kembali pokok hutangnya tepat
pada waktunya serta kemampuan membayar deviden secara teratur kepada
para pemegang saham tanpa mengalami hambatan atau krisis keuangan.
Penelitian ini menggunakan rasio profitablitas, dimana rasio ini merupakan
perhitungan keuangan yang digunakan oleh para investor untuk mengevaluasi
kinerja perusahaan go public serta untuk menilai kemampuan perusahaan dan
mencari keuntungan. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektifitas
manajemen suatu perusahaan. Menurut Fahmi (2012), adapun manfaat yang bisa
diambil dengan dipergunakan rasio keuangan, yaitu:
1)
Analisis rasio keuangan sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai alat
menilai kinerja dan prestasi perusahaan.
2)
Analisis rasio keuangan sangat bermanfaat bagi pihak manajemen sebagai
rujukan untuk membuat perencanaan.
3)
Analisis rasio keuangan dapat dijadikan sebagai alat untuk mengevaluasi
kondisi suatu perusahaan dari perspektif keuangan.
4)
Analisis rasio keuangan juga bermanfaat bagi para kreditur dapat digunakan
untuk memperkirakan potensi resiko yang akan dihadapi dikaitkan dengan
adanya jaminan kelangsungan pembayaran bunga dan pengembalian pokok
pinjaman.
5)
Analisis rasio keuangan dapat dijadikan sebagai penilaian bagi pihak
stakeholder organisasi.
2.1.4.3 Profitabilitas
Rasio profitabilitas menurut Weston dan Copeland (2010:237) adalah
mengukur efektivitas manajemen berdasarkan hasil pengembalian yang dihasilkan
dari penjualan dan investasi. Profitabilitas merupakan suatu indikator kinerja yang
dilakukan manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan yang ditunjukkan
oleh laba yang dihasilkan perusahaan tersebut. Profitabilitas adalah kemampuan
perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva,
maupun modal sendiri (Sartono, 2010:122). Menurut Kasmir (2011:196) rasio
profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam
mencari keuntungan.
Dari
beberapa
pendapat
para
ahli
diatas,
maka
penulis
dapat
menyimpulkan bahwa profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam
memperoleh keuntungan untuk kelangsungan kegiatan operasional perusahaan
dimasa yang akan datang. Dimana profitabilitas dapat memberikan informasi
tentang keadaan ataupun pertumbuhan dari perusahaan dilihat dari laba
perusahaan. Umumnya profitabilitas diukur dengan membandingkan antara laba
yang diperoleh perusahaan dan beberapa perkiraan yang menjadi tolak ukur
keberhasilan perusahaan. Menurut Riyanto (2010:335) Rasio profitabilitas terdiri
dari beberapa jenis, yaitu Return on Equity (ROE), Return on Asset (ROA), dan
Net Profit Margin.
Penilaian kinerja dalam penelitian ini menggunakan ROA karena salah satu
indikator kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dalam kegiatan
operasi merupakan fokus utama dalam penilaian prestasi perusahaan. Laba
menjadi indikator kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban kepada
kreditur dan investor, serta merupakan bagian dalam proses penciptaan nilai
perusahaan berkaitan dengan prospek perusahaan di masa depan. Return on asset
(ROA) lebih dipilih daripada return on equity (ROE) karena total ekuitas yang
merupakan denominator ROE adalah salah satu komponen dari Value added of
Capital Employed (VACA). Jika menggunakan ROE, maka akan terjadi double
counting atas akun yang sama (yaitu ekuitas), dimana VACA (yang dibangun dari
akun ekuitas dan laba bersih) sebagai variabel independen dan ROE (yang juga
dibangun dari akun ekuitas dan laba bersih) menjadi variabel dependen (Ulum
dkk. 2008). Dewi (dalam Hadiwijaya, 2013) menjelaskan bahwa ROA mengukur
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan total
asset yang dimiliki perusahaan. Semakin tinggi nilai ROA, semakin efisien
perusahaan dalam menggunakan asetnya, baik aset fisik maupun aset non-fisik
(intellectual capital) akan menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.
2.1.4.4 Keunggulan Return on Asset (ROA)
Keunggulan ROA menurut Linawati (dalam Setiawan, 2011) adalah
sebagai berikut:
1)
ROA merupakan pengukuran yang komprehensif, dimana seluruhnya
mempengaruhi laporan keuangan yang tercermin dari rasio ini.
2)
ROA mudah dihitung, dipahami, dan sangat berarti dalam nilai absolut.
3)
ROA merupakan denominator yang dapat diterapkan pada setiap unit
organisasi yang bertanggungjawab terhadap profitabilitas dan unit usaha.
Bagi para pemodal yang akan melakukan transaksi pembelian saham suatu
perusahaan, penilaian terhadap kemapuan perusahaan dalam menghasilkan laba
merupakan suatu hal yang sangat penting, hal ini dikarenakan apabila laba
perusahaan meningkat, maka harga saham perusahaan juga akan meningkat
dengan kata lain, profitabilitas akan mempengaruhi harga saham.
2.1.5 Intellectual Capital
2.1.5.1 Pengertian Intellectual Capital (IC)
Intellectual Capital pertama kali diperkenalkan oleh Jon Kenneth
Galbraith pada tahun 1969 (Chang et al., 2011). Kozak (2011) menyatakan bahwa
Intellectual Capital Masih dalam tahap pengembangan dan belum ada
keseragaman definisi yang diterima untuk mengidentifikasi sub komponennya.
Aset tidak berwujud pada umumnya merupakan properti intelektual perusahaan
(seperti paten, hak cipta dan lainnya), goodwill serta pengakuan merek (Chang et
al., 2011).
Intellectual Capital mencakup semua pengetahuan karyawan, organisasi
dan kemampuan mereka untuk menciptakan nilai tambah dan menyebabkan
keunggulan kompetitif berkelanjutan. Modal intelektual telah di identifikasi
sebagai seperangkat tak berwujud (sumber daya, kemampuan, dan kompetensi)
yang menggerakkan kinerja organisasi dan penciptaan nilai (Pangestika, 2010).
Zéghal dan Maaloul (2010) menyatakan bahwa saat ini beberapa
perusahaan menginvestasikan dalam pelatihan karyawan, penelitian dan
pengembangan, hubungan pelanggan, sistem komputer dan administrasi, dll.
Investasi ini sering disebut sebagai intellectual capital yang bertumbuh dan
bersaing dengan investasi modal fisik dan keuangan.
Intellectual Capital merupakan suatu konsep yang dapat memberikan
sumber daya berbasis pengetahuan baru dan mendeskripsikan aset tak berwujud
yang jika digunakan secara optimal memungkinkan perusahaan untuk
menjalankan strateginya dengan efektif dan efisien. Dengan demikian intellectual
capital merupakan pengetahuan yang memberikan informasi tentang nilai tak
berwujud perusahaan yang dapat mempengaruhi daya tahan dan keunggulan
bersaing (Hadiwijaya, 2013).
Intellectual Capital adalah perangkat yang diperlukan untuk menemukaan
peluang dan mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang
mengatakan bahwa Intellectual Capital sangat besar peranannya di dalam
menambah nilai suatu kegiatan, Intellectual Capital terletak pada kemampuan
untuk berfikir dan kemampuan untuk memikirkan sesuatu yang baru (Putera,
2014).
Intellectual Capital merupakan aset tidak berwujud, termasuk informasi
dan pengetahuan yang dimiliki badan usaha yang harus dikelola dengan baik
untuk memberikan keunggulan kompetitif bagi badan usaha (Gunawan dkk.,
2013). Intellectual Capital adalah ilmu pengetahuan atau daya pikir yang dimiliki
oleh perusahaan, tidak memiliki bentuk fisik (tidak berwujud), dan dengan adanya
modal intelektual tersebut, perusahaan akan mendapatkan tambahan keuntungan
atau kemapanan proses usaha serta memberikan perusahaan suatu nilai lebih
dibanding dengan kompetitor atau perusahaan lain (Puspitasari, 2011).
Berdasarkan Pengertian-pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
Intellectual Capital merupakan suatu modal tak berwujud yang terdiri dari elemen
human capital, structural capital dan customer capital yang dapat memberikan
nilai lebih atau keuntungan bagi perusahaan serta pengetahuan yang harus
dikelola oleh perusahaan dengan baik untuk memberikan keunggulan kompetitif.
2.1.5.2 Komponen Utama Intellectual Capital
Secara umum komponen Intellectual Capital adalah sebagai berikut:
1)
Human Capital
Human capital adalah kompetensi, pengetahuan, keterampilan, dan
kepribadian yang dimiliki oleh karyawan untuk melakukan kegiatan yang
bermanfaat sehingga menghasilkan nilai ekonomi bagi perusahaan
(Pramudita, 2012). Perusahaan yang mempunyai sumber daya manusia
dengan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang unggul, maka
dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan sehingga mencapai
keunggulan kompetitif. Apabila human capital dapat diolah dan
dimanfaatkan dengan baik, maka human capital akan menjadi sumber daya
kunci perusahaan (Kusumo, 2012). Sebagai human capital, seorang
karyawan harus bisa mengimplementasikan pengetahuan dan kemampuan
mereka menjadi tindakan yang sejalan dengan strategi bisnis dan
berkontribusi menjadi pencipta value yang berwujud maupun tidak
berwujud bagi perusahaan.
2)
Structural capital
Structural capital meliputi struktur organisasi, strategi, rangkaian
proses, budaya kerja yang baik, serta kemampuan perusahaan dalam
memenuhi seluruh rutinitas perusahaan. Amiri et al., (2010) berpendapat
bahwa structural capital adalah pengetahuan yang diciptakan oleh
organisasi dan tidak dapat dipisahkan dari entitas organisasi tersebut.
Seseorang mungkin dapat mempunyai intelektualitas yang tinggi, tetapi jika
perusahaan mempunyai sistem dan prosedur yang buruk maka intellectual
capital tidak dapat mencapai kinerja yang baik dan potensi yang ada tidak
dapat digunakan secara optimal (Tarigan, 2011).
3)
Customer Capital / Capital Employed
Chang et al., (2011) menyatakan Customer Capital merupakan
pengetahuan yang berhubungan dengan stakeholder yang mempengaruhi
perusahaan. Customer capital merupakan Pihak diluar perusahaan yang
berbisnis dengan perusahaan dan mempunyai hubungan baik dengan
perusahaan (Pramudita, 2012). Customer capital berbasis pada hubungan
antara organisasi dan konsumen (Khalique et al., 2011). Dengan demikian
customer capital merupakan komponen penting dari Intellectual Capital
(IC) dan customer capital berbasis pada kepuasan konsumen, loyalitas, dan
jaringan kerja atau network.
2.1.5.3 Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM)
Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) adalah sebuah metode
yang dikembangkan oleh Pulic (2000), untuk menyajikan informasi tentang value
creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tak berwujud
(intangible asset) yang dimiliki oleh perusahaan. VAIC merupakan alat untuk
mengukur kinerja intellectual capital perusahaan. Model ini relatif mudah dan
sangat mungkin untuk dilakukan karena dikonstruksikan dari akun-akun dalam
laporan keuangan (neraca, laporan laba rugi). Perhitungannya dimulai dengan
kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA). VA adalah
indikator paling obyektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan
kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai (value creation). Value added
didapat dari selisih antara output dan input. Metode ini menggunakan pendekatan
tidak langsung untuk mengukur Intellectual Capital (IC) dengan mengukur
efisiensi dari nilai tambah sebagai hasil kemampuan intelektual perusahaan.
Konsep nilai tambah adalah indikator objektif secara keseluruhan dari kesuksesan
bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai dengan
memasukkan investasi sumber daya termasuk gaji dan bunga untuk aset
keuangan, deviden, pajak serta biaya research and development (Solikhah, 2010).
Nilai output (OUT) adalah revenue dan mencakup seluruh produk dan jasa
yang dihasilkan perusahaan untuk dijual, sedangkan input (IN) meliputi seluruh
beban yang digunakan perusahaan untuk memproduksi barang atau jasa dalam
rangka menghasilkan revenue. Namun, yang perlu diingat adalah bahwa beban
karyawan tidak termasuk dalam IN, karena karyawan berperan penting dalam
proses penciptaan nilai.
Proses value creation dipengaruhi oleh efisiensi dari Human Capital (HC),
Capital Employed (CE), dan Structural Capital (SC).
1)
Value added of Capital Employed (VACA)
Value Added of Capital Employed (VACA) adalah indikator untuk
VA yang diciptakan oleh satu unit dari physical capital. Pulic (1998)
mengasumsikan bahwa jika 1 unit dari CE (Capital Employed)
menghasilkan return yang lebih besar daripada perusahaan yang lain, maka
berarti perusahaan tersebut lebih baik dalam memanfaatkan CE-nya.
Dengan demikian, pemanfaatan (Intellectual Capital) IC yang lebih baik
merupakan bagian dari (Intellectual Capital) IC perusahaan.
2)
Value Added Human Capital (VAHU)
Value Added Human Capital (VAHU) menunjukkan berapa banyak
VA dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja.
Hubungan antara VA dengan HC mengindikasikan kemampuan HC untuk
menciptakan nilai di dalam perusahaan.
3)
Structural Capital Value Added (STVA)
Structural Capital Value Added (STVA) menunjukkan kontribusi
structural capital (SC) dalam penciptaan nilai. STVA mengukur jumlah SC
yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan
indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai. SC bukanlah
ukuran yang independen sebagaimana HC dalam proses penciptaan nilai.
Artinya, semakin besar kontribusi HC dalam value creation, maka akan
semakin kecil kontribusi SC dalam hal tersebut. Lebih lanjut Pulic
menyatakan bahwa SC adalah VA dikurangi HC.
2.1.6 Intellectual Capital Disclosure
2.1.6.1 Konsep Intellectual Capital Disclosure
Intellectual Capital Disclosure merupakan cara untuk mengatasi kendala
pelaporan modal intelektual dalam laporan keuangan (Sir dkk. 2010). Intellectual
Capital Disclosure diperlukan untuk mengurangi asimetri informasi sehingga
membantu investor untuk memutuskan tujuan investasinya. Pengungkapan
meliputi ketersediaan informasi keuangan dan nonkeuangan berkaitan dengan
interaksi organisasi dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya, yang dapat
dibuat dalam laporan tahunan perusahaan (Guthrie dan Parker dalam Suhardjanto
dan Wardhani, 2010).
Menurut
Hendriksen
(dalam
Suhardjanto
dan
Wardhani,
2010),
pengungkapan adalah pemberian informasi dalam laporan tahunan, yang berisi
pernyataan, catatan mengenai pernyataan, dan tambahan pengungkapan informasi
yang terkait dengan catatan. Tiga konsep disclosure yang umumnya dikemukakan
yaitu adequate, fair dan full disclosure (Hendriksen, dalam Suhardjanto dan
Wardhani, 2010).
Singhvi dan Desai (dikutip dari Suhardjanto dan Wardhani, 2010)
menunjukkan bahwa bentuk pengungkapan yang sangat penting adalah melalui
laporan tahunan, yang berguna bagi investor dalam hal pengambilan keputusan
investasi. Pengungkapan IC sampai saat ini sebagian masih bersifat sukarela
karena hanya physical capital yang telah diatur oleh profesi akuntansi (Yuniasih,
2011). Bila perusahaan tidak mengungkapkan informasi mengenai aktiva tidak
berwujudnya maka akan ada beberapa konsekuensi negatif yang ditimbulkan.
Misalnya terjadi volatilitas harga saham karena investor kurang memiliki
informasi mengenai aktiva tidak berwujud perusahaan sehingga keputusan yang
dibuat tidak akurat.
Di Indonesia, Intellectual Capital Disclosure merupakan pengungkapan
yang bersifat sukarela (voluntary), dan belum ada standar akuntansi yang
mengatur mengenai tata cara pengungkapan informasi Intellectual Capital
perusahaan. Hal ini mengakibatkan masih kurangnya kesadaran perusahaan dalam
menyampaikan informasi ini kepada para stakeholder (Yulistina, 2011).
2.I.6.2 Komponen Intelectual Capital Disclosure
Menurut Guthrie et al., (dalam Puasanti, 2013) Komponen-komponen
Intellectual Capital Disclosure adalah sebagai berikut:
1)
Merk terdiri dari 5 komponen meliputi: Merk, Pengakuan Merk,
Perkembangan Merk, Goodwill, dan Trademark semua ini berkaitan dan
berhubungan dengan nama logo ataupun merk yang dimiliki oleh
perusahaan dan memiliki nilai instrinstik didalamnya.
2)
Kompetisi
terdiri
dari
11
komponen
meliputi:
kecerdasan,
ilmu
pengetahuan, keterampilan, pendidikan, competence, motivasi, keahliah,
intangible skills, daya pikir, spesialisasi, dan training semua komponen ini
berhubungan dengan kualitas yang dimiliki oleh pegawai. “pelatihan”
merupakan komponen yang secara logis terpisah tetapi memiliki konsep
terkait (seperti halnya proses yang terus berlangsung dalam perusahaan, dan
tidak hanya sekedar atribut pegawai).
3)
Budaya perusahaan terdiri dari 4 komponen meliputi: budaya perusahaan,
filosofi manajemen, kepemimpinan, dan komunikasi semua komponen ini
merupakan komponen lingkungan yang memberikan fasilitas berupa
lingkungan kerja yang produktif dan kreatif.
4)
Konsumen terdiri dari 8 komponen meliputi: kepuasan konsumen,
pengakuan konsumen, loyalitas konsumen, customer base, mempertahankan
konsumen, customer service, customer support dan market share semua
komponen ini berhubungan dengan faktor konsumen sebagai asset
perusahaan.
5)
Teknologi informasi terdiri dari 7 komponen meliputi: teknologi informasi,
jaringan, computer software, operating system, electronic data interchange,
semua ini berhubungan dengan perangkat keras ataupun perangkat lunak
dari sebuah manajemen informasi. Telekomunikasi dan infrastruktur
berhubungan dengan teknologi informasi, tetapi tidak secara khusus, jadi hal
ini akan diikutsertakan dalam kategori ini.
6)
Intellectual property terdiri dari 7 komponen meliputi: intellectual property,
hak paten, hak cipta, assets perusahaan semua komponen ini dalam lembar
neraca perusahaan yang konvensional akan disertakan dalam intangibles,
yang secara khusus didefinisikan dan dinyatakan sebagai asset dilindungi
dan juga disertakan dalam kategori ini sebagai kesepakatan pemberian surat
ijin dan kesepakatan untuk melakukan franchising yang terpisah tetapi
memiliki konsep terkait.
7)
Partnership dan rekanan terdiri dari 2 komponen meliputi: rekanan dan join
venture. Kategori ini mengacu pada perjanjian pekerjaan dengan entitas lain
yang menghasilkan suatu produk dimana entitas lain tidak dapat
memproduksinya secara individual. Masing-masing entitas ini memberikan
sejumlah pengaruh dalam literatur yang mendukung nilainya sebagai
kategori tunggal.
8)
Personil terdiri dari 7 komponen meliputi: sumber daya manusia, kepuasan
pegawai,
personil,
employee
retention,
fleksibilitas
waktu,
telecommunication, pemberdayaan semua ini merupakan komponen yang
berhubungan dengan asset tenaga kerja atau asset sumber daya manusia bagi
perusahaan, baik secara langsung maupun mengacu pada kebijakan
spesifikasi yang dapat membantu untuk mempertahankan konsumen yang
berkualitas.
9)
Proses kepemilikan terdiri dari 6 komponen meliputi: inovasi, inovatif,
proses kepemilikan, rahasia dagang, dan metodologi lainnya. Semua
komponen ini berhubungan dengan cara pengiriman produk berupa barang
atau jasa yang lebih baik oleh perusahaan. Semua ini termasuk dalam
kategori yang disebut dengan nilai tambah yang merupakan konsep terpisah
tetapi berkaitan.
10)
Resource & Development komponen ini merupakan kategori tunggal yang
berhubungan dengan usaha penelitian secara terus menerus untuk
menghasilkan produk atau jasa terbaru. Hal ini juga merupakan konsep
penting yang seringkali disebutkan dalam literatur yang merupakan
komponen terpisah secara logis dari semua komponen modal intelektual
lainnya.
2.1.6.3 Manfaat Intellectual Capital Disclosure
Manfaat Intellectual Capital Disclosure antara lain dapat mendongkrak
reputasi,
meningkatkan
akuntabilitas dan transparansi
perusahaan,
serta
memberikan informasi yang lebih komprehensif untuk membuat keputusan
investasi. Intellectual Capital Disclosure merupakan informasi privat yang
penting (Aboody dan Lev, 2000) sehingga dapat dijadikan sebagai dasar
keputusan investasi, menurunkan risiko estimasi, mencapai harga saham yang
tepat, serta menurunkan biaya ekuitas. Beberapa perusahaan memilih untuk tidak
mengungkapkan modal intelektual secara komprehensif karena manajer khawatir
jika pesaing dapat mengetahui letak keunggulan perusahaan (Mangena et al.,
2010). Hal ini terjadi pada perusahaan kelas menengah kebawah yang masih
rentan tergilas persaingan bisnis.
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) terhadap
Kinerja Keuangan Perusahaan.
Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) sebagai ukuran efisiensi
intellectual capital yang terdiri dari tiga komponen yaitu Human Capital,
Structural Capital, dan Capital Employed. Kombinasi dari ketiga komponen
tersebut akan menghasilkan nilai perusahaan. Perusahaan dalam mengelola
pengetahuan, keterampilan dan keahlian modal manusia dengan didukung oleh
modal struktural yang memudahkan dalam kegiatan operasional perusahaan,
ditambah pula dengan modal yang digunakan akan meningkatkan aset perusahaan
tersebut. Semakin baik perusahaan dalam mengelola ketiga komponen intellectual
capital, menunjukkan semakin baik perusahaan dalam mengelola aset
(Wahdikorin, 2010).
Return on assets (ROA) merupakan rasio profitabilitas yang mengukur
jumlah laba yang diperoleh dari tiap rupiah aset yang dimiliki oleh perusahaan.
Return on assets (ROA) menunjukkan kemampuan perusahaan dalam melakukan
efisiensi penggunaan total aset untuk operasional perusahaan. Semakin tinggi
Return on assets (ROA) suatu perusahaan semakin tinggi pula keuntungan yang
dicapai perusahaan tersebut dan semakin baik posisi perusahaan dari segi
penggunaan aset. Return on assets (ROA) juga memberikan gambaran tentang
bagaimana perusahaan mengkonversikan dana yang telah diinvestasikan menjadi
laba bersih kepada para investor.
Sesuai dengan resource based theory, dimana dengan memiliki sumber
daya dan pengetahuan yang dikelola dengan baik akan meningkatkan kinerja
perusahaan. Apabila perusahaan memiliki intellectual capital yang baik maka
nilai kinerja perusahaan dalam laporan keuangan meningkatkan kepercayaan para
stakeholder terhadap perusahaan, karena stakeholder percaya dengan perusahaan
sehingga stakeholder mau berinvestasi pada perusahaan tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Zuliyati (2011), Kumukama et al., (2011),
Kumalasari dan Astika (2011), Comepa et al., (2011) menunjukkan bahwa
Intellectual Capital (IC) berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan yang
diproksikan dengan Return on assets (ROA). Berdasarkan penjelasan diatas, maka
hipotesis penelitian ini adalah
H1: Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) berpengaruh positif terhadap
kinerja keuangan.
2.2.2 Pengaruh Intellectual Capital Disclosure terhadap kinerja keuangan
perusahaan.
Legitimacy theory mendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan
sukarela sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban terhadap kontrak sosial
yang dimiliki antara perusahaan dengan komunitas disekitarnya (Guthrie et al.,
2004). Selain pengungkapan sukarela, aset tidak berwujud berupa Intellectual
Capital, perusahaan juga mengungkapkan hasil kinerja finansial atau hasil kinerja
ekonomi (Utomo, 2015).
Rasio
profitabilitas
memberikan
informasi
mengenai
kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan tingkat pengembalian dan mengukur tingkat
efisiensi dan efektivitas dari aktivitas operasional perusahaan akan penggunaan
asset yang dimiliki perusahaan dalam pengkreasian nilai perusahaan. Kestabilan
rasio ini menunjukkan stabilitas tingkat pengembalian atas modal yang ditanam
oleh investor (Wardhani, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Ulum (2009) dan Wardhani (2009) yang
menyatakan bahwa Intellectual Capital Disclosure berpengaruh positif signifikan
pada kinerja perusahaan di BEI, namun hasil yang berbeda penelitian yang
dilakukan oleh Nugroho (2015) menyatakan bahwa Intellectual Capital
Disclosure tidak berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan (ROA).
Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis penelitan ini adalah:
H2: Intellectual Capital Disclosure berpengaruh Positif terhadap kinerja
keuangan.
Download