1 I.PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

advertisement
I.PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Kelembaban tanah pada suatu lahan sangat
dipengaruhi oleh besarnya tingkat kadar air di
dalam tanah. Kadar air tanah adalah
banyaknya kandungan air yang tertahan di
dalam tanah. Kelembaban tanah merupakan
salah satu faktor utama dalam menentukan
tingkat kekeringan dari suatu lahan. Semakin
tinggi tingkat kelembaban tanah pada suatu
lahan maka akan semakin kecil peluang
terjadinya kekeringan pada lahan tersebut.
Pemantauan karakteristik distribusi spasial
dan temporal dari kelembaban tanah sangatlah
penting. Hal ini karena secara fakta
kelembaban tanah dapat mengendalikan
pertumbuhan tanaman, daur hidrologi tanah,
dan kemampuan tanah dalam menahan erosi
(Sanli et al., 2008).
Kelembaban tanah dapat diidentifikasi
dengan beberapa metode, antara lain: metode
Gravimetrik, metode microwave radiometer,
dan metode wind scatterometer. Dewasa ini
dengan semakin berkembangnya teknologi
penginderaan jauh, identifikasi kelembaban
tanah dapat pula dilakukan melalui teknik
pengideraan jauh (inderaja). Kelebihan dalam
penggunaan teknik inderaja ini adalah dapat
mencakup wilayah identifikasi yang lebih luas
dan sebaran kelembaban tanahnya dapat
mencerminkan karakteristik permukaan yang
ada.
Penggunaan citra satelit jenis SAR
(Synthetic Aperture Radar) yang memiliki
gelombang mikro (microwave) sangat efektif
dalam menentukan tingkat karakteristik
permukaan karena terbebas dari pengaruh
tutupan awan. SAR merupakan jenis inderaja
gelombang mikro yang sensitif terhadap kadar
air tanah karena memiliki nilai konstanta
dielektrik yang sangat berhubungan dengan
nilai kandungan air (Sonobe et al., 2008).
Konstanta dielektrik untuk air paling sedikit
sepuluh kali besarnya dibandingkan dengan
konstanta dielektrik tanah kering, oleh karena
itu adanya air pada beberapa sentimeter di
lapisan atas tanah dapat dideteksi dengan citra
SAR (Lillesand and Kiefer, 2000). Besarnya
perbedaan antara konstanta dielektrik air
dengan tanah kering pada frekuensi
gelombang mikro merupakan faktor utama
dalam pendugaan kelembaban tanah (Wang,
1980). Kesulitan utama dalam memperoleh
informasi kelembaban tanah menggunakan
citra SAR dikarenakan adanya pengaruh
kekasaran
permukaan
dan
penutupan
vegetasi.
Jenis-jenis citra SAR yang dapat
digunakan
untuk
mengidentifikasi
kelembaban tanah, antara lain adalah ERS
Envisat, Radarsat, ERS SAR, PALSAR
ALOS. Pada penelitian ini, penentuan atau
pendugaan kelembaban tanah dilakukan
dengan menggunakan citra PALSAR ALOS.
Sensor PALSAR bekerja pada gelombang Lband (23.6 cm) dengan frequensi 1.27 GHz
serta memiliki multipolarisasi. Sensor L-band
sangat sensitif terhadap kekasaran permukaan
sehingga hasil kelembaban tanah memiliki
nilai yang tidak pasti. Menurut Dubois (1995),
ratio koefisien hamburan balik σ°hh /σ°vv
meningkat dengan meningkatnya kekasaran
permukaan dan meningkatnya kelembaban
tanah.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
karakteristik dan mengidentifikasi tingkat
kelembaban tanah pada beberapa penutupan
lahan daerah Kabupaten Bekasi dan sekitarnya
menggunakan citra satelit PALSAR ALOS.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelembaban Tanah
Kelembaban tanah dipengaruhi oleh
besarnya kandungan air dalam tanah.
Kelembaban tanah merupakan salah satu
parameter yang digunakan sebagai indikasi
tingkat kekeringan. Menurut Asdak (1995)
kelembaban tanah umumnya terbentuk
melalui tiga proses :
a.
b.
c.
Kelembaban higroskopis adalah
kelembaban yang terjadi karena air
terikat pada lapisan tipis butir-buitr
tanah. Air terikat ini tidak dapat
bergerak dan oleh karenanya tidak
dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Kelembaban
kapiler
adalah
kelembaban tanah yang terjadi oleh
adanya gaya tarik-menarik antara
butir-butir
tanah.
Air
yang
dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh
tanaman.
Kelembaban
gravitasi
adalah
kelembaban yang terjadi sebagai
akibat adanya gaya tarik bumi, yaitu
air dalam posisi peralihan menuju
ke pori-pori tanah yang lebih besar.
Banyak faktor yang mempengaruhi nilai
kelembaban tanah. Hal tersebut dijelaskan
Yang dan Tian (1991) melalui rumus
kandungan air dalam tanah, sebagai berikut :
1
∂W
∂t
= 𝑃 + 𝐼 − 𝐸 − 𝑅 + 𝐷 + 𝐺……….....(1)
Dengan:
∂W
= kandungan air pada zona akar (cm)
P = presipitasi (cm)
I
= irigasi (cm)
E = evapotranspirasi (cm)
R = runoff (cm)
D = air tanah yang hilang (cm)
G = recharge air tanah (cm)
∂t
Persamaan
tersebut
menggambarkan
bahwa kelembaban tanah dipengaruhi oleh
kondisi cuaca (seperti presipitasi, suhu udara,
dan kecepatan angin) dalam memberikan
masukan dan menghilangkan kandungan air
yang ada. Presipitasi sebagai masukan
merupakan sumber air dalam meningkatkan
kelembaban tanah. Selain presipitasi, masukan
air juga berasal dari hilangnya air tanah pada
lapisan dibawahnya hasil dari evaporasi. Pada
tanah yang gundul, evaporasi ini dipengaruhi
oleh jenis tanah, difusivitas air tanah, suhu
permukaan tanah, flux pemanasan tanah, dan
albedo radiasi netto. Sedangkan evaporasi
tanah di bawah tajuk tanaman, dipengaruhi
oleh radiasi netto yang mencapai permukaan
tanah (setelah melewati tajuk), kadar air
tanah, dan sifat-sifat tanah.
Selain
masukan
dari
presipitasi,
kelembaban tanah juga dipengaruhi oleh
hilangnya air yang terkandung dalam tanah.
Hilangnya
air
ini
disebabkan
oleh
evapotranpirasi dan juga masuknya air ke
dalam lapisan tanah di bawahnya (baik
infiltrasi maupun perkolasi). Hilangnya air ini
menyebabkan kelembaban tanah menurun.
Menurut Hanson (1991) dalam Hadiyanto
(2007), sebagai bagian dari siklus hidrologi,
evapotranspirasi
merupakan
komponen
penting
dalam
sistem
neraca
air.
Evapotranspirasi merupakan jumlah air yang
menguap akibat proses penguapan (evaporasi)
dari permukaan air yang terbuka, permukaan
tanah basah, lipatan salju, lapisan tanah, dan
transpirasi yaitu air yang menguap dari
vegetasi. Unsur iklim yang paling dominan
terhadap evapotranspirasi adalah radiasi
matahari dan kecepatan angin.
2.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kelembaban Tanah
2.2.1 Neraca Air
Air merupakan kebutuhan yang sangat
esensial bagi kelangsungan kehidupan.
Masukan air terbesar ke bumi berasal dari
presipitasi. Pada suatu areal pertanian
penyedian air tanaman berasal dari presipitasi
(P) dan irigasi (I), sedangkan kehilangan air
dapat berupa drainase (D), limpasan
permukaan (runoff, Ro), evaporasi (E) dan
transpirasi (T). Sedangkan air disimpan
sebagai cadangan dalam tanah (∆S).
Keseluruhan masukan (input) dan keluaran
(output) air ini dapat dirumuskan sebagai
neraca air, yaitu :
P + I = D + Ro + E + T +∆S…………..…(2)
Semua unsur dinyatakan dalam satuan yang
sama, misalnya mm hari-1 atau m3 ha-1 hari-1.
Salah satu faktor yang mengakibatkan
hilangnya air pada permukaan yaitu
evapotranspirasi. Kehilangan air melalui
evaporasi mempunyai akibat terhadap
fisiologi tanaman secara tidak langsung,
seperti mempercepat penurunan kadar air pada
lapisan atas dan memodifikasi iklim mikro di
sekitar tanaman (Tanner, 1981).
2.2.2 Suhu Permukaan Tanah
Suhu pemukaan merupakan suhu bagian
terluar dari suatu objek yang dihasilkan dari
suatu tanggapan terhadap berbagai fluks
energi yang melalui permukaan. Kelembaban
tanah memiliki hubungan yang erat dengan
suhu permukaan tanah. Tingginya suhu
permukaan tanah akan meningkatkan laju
evaporasi. Hilangnya air karena evaporasi
menyebabkan berkurangnya kandungan air
dalam tanah.
2.2.3 Kapasitas Panas
Jumlah panas pada suatu benda tergantung
dari seberapa besar kapasitas panasnya.
Semakin besar kapasitas panas pada suatu
benda maka akan semakin besar jumlah panas
yang dibutuhkan oleh benda tersebut.
Berdasarkan Tabel 1, nilai kapasitas panas
pada lahan basah lebih besar dibandingkan
dengan lahan kering dan konduktifitas bahang
pada lahan basah lebih besar dibandingkan
dengan lahan kering. Sifat fisik molekulmolekul air yang tidak teratur menyebabkan
molekul air mudah tertarik oleh ion-ion
elektrostatik. Semakin banyaknya gaya tarik
magnet yang tercipta oleh ion-ion elektrostatik
maka akan meningkatnya medan listrik pada
daerah tersebut. Tingginya medan listrik akan
meningkatkan
konduktifitas
bahang.
Berdasarkan pernyataan tersebut, tingginya
kandungan air pada suatu lahan akan
meningkatkan medan listrik pada area tersebut
sehingga konduktifitas bahang akan semakin
tinggi.
2
Tabel 1 Perbedaan panas pada objek yang berbeda (Sumber : Geiger et al., 1961)
Benda
Lahan basah
Lahan kering
Tanah liat basah
Massa jenis
Panas jenis
Kapasitas panas
Konduktivitas bahang
(g m-3)
(J g-1 oC-1)
(J m-3 oC-1)
(W m-1 oC-1)
-
2.51x10-6-3.35 x10-6
2.93x10-2-4.18 x10-2
-
0.42 x10-6-0.84x10-6
0.42 x10-2-1.26 x10-2
0.71-0.84
1.25 x10-6-1.67x10-6
8.37 x10-2-20.93x10-2
8 x10-71 x 10
-6
3x10-76x10-7
1.7x10-72.2x10-6
Difusivitas
bahang
(cm2 sec-1)
0.9x10-41.6 x10-4
0.5 x10-43 x10-4
5 x10-417 x10-4
0.5 x10-4-
Tanah liat kering
-
0.71-0.84
0.42 x10-6-1.67x10-6
0.84 x10-2-6.28 x10-2
Pasir basah
-
0.84
0.84 x10-6-2.51x10-6
8.37 x10-2-25.12x10-2
0.84
0.42 x10-6-1.67x10-6
0.075 x10-2-2.93x10-2
0.71-0.84
1.79 x10-6-2.42x10-6
16.75x10-2-41.87x10-2
0.44
3.42 x10-6
879.27 x10-2
256 x10-4
0.88
2.17 x10-6
46.057 x10-2
22 x10-4
4.18
4.18 x10-6
5.44 x10-2-6.28 x10-2
Pasir kering
Batu
Besi
Beton
Air tenang
Udara tenang
1.4x10-61.7x10-6
2.5x10-62.9x10-6
7.9x10-6
2.2x10-62.5x10-6
1x10-6
1x10-91.4x10
-9
1.0046
0.001 x10-6-0.0014
2.2.4 Radiasi
Radiasi yang dipancarkan oleh suatu
permukaan berbanding lurus dengan pangkat
empat suhu mutlak permukaan tersebut
(hukum Stefan Boltzman). Energi radiasi
gelombang panjang yang dipancarkan
permukaan bumi sebagian diserap atmosfer
dan sisanya akan keluar dari sistem atmosfer
bumi. Energi radiasi yang datang ke bumi
adalah 1368 Mw-2. Radiasi yang diteruskan ke
permukaan bumi sekitar 50% dari radiasi yang
datang ke bumi. Radiasi yang tinggi akan
meningkatkan suhu udara. Besarnya nilai
evapotranspirasi cenderung mengikuti pola
suhu udara maksimum selama bulan-bulan
musim panas dan suhu udara minimum
selama musim dingin. Fluktuasi nilai
evapotransiprasi selama musim panas sangat
tergantung pada nilai kelembaban udara pada
awal musim kering dan panjang musim
keringnya. Selama musim panas penguapan
x10
-6
0.21 x10-2-0.25 x10-2
15 x10-4
3 x10-412 x10-4
1 x10-47 x10-4
7 x10-423 x10-4
1.3 x10-41.5 x10-4
147 x10-4250 x10-4
dari permukaan air terbuka akan meningkat,
sedangkan transpirasi oleh tanaman pada
umumnya menurun. Sebaliknya pada musim
dingin penguapan dari permukaan air terbuka
akan berkurang namun transpirasi meningkat.
Berdasarkan pernyataan tersebut, tingginya
radiasi akan meningkatkan evapotranspirasi
sehingga
kelembaban
tanah
semakin
berkurang.
2.2.5
Pengaruh Jenis Tanah Terhadap
kelembaban tanah
Kecepatan laju infiltrasi maupun perkolasi
air dan evaporasi pada tanah tergantung
kepada sifat kelulusan lapisan tanah atau
lapisan batuan yang akan dilaluinya. Sifat
kelulusan lapisan batuan adalah daya lapisan
batuan untuk menyerap dan ditembus air atau
tingkat kekedapan terhadap air, disebut
dengan permeabilitas. Tanah dengan tekstur
liat atau debu memiliki permeabilitas lebih
3
tinggi dibandingkan dengan tanah bertekstur
pasir. Ukuran-ukuran yang digunakan untuk
mengetahui permeabilitas suatu lapisan tanah
dan batuan adalah porositas dan koefisien
permeabilitas (Seyhan, 1990). Porositas
adalah persentase volume
ruang-ruang
kosong antara partikel-partikel batuan yang
membentuk lapisan. Sedangkan, koefisien
permeabilitas adalah kuantifikasi kecepatan
aliran air tanah selama melintasi pori-pori
(celah, retakan, dan rekahan) batuan dalam
satuan waktu. Namun porositas yang lebih
besar tidak selalu disertai oleh permeabilitas
yang lebih baik (Sosrodarsono & Takeda,
1993). Sebagai contoh adalah lempung.
Porositas lapisan batuan yang tersusun atas
lempung sangat besar, tetapi permeabilitasnya
kecil karena ukuran ruang-ruang porinya
sangat kecil. Pada Tabel 2 dan 3 terdapat nilai
porositas
dan
koefisien
permeabilitas
berdasarkan tipe-tipe tanah.
Tabel 2
kisaran-kisaran porositas beberapa
batuan (Sumber: Todd (1959)
dalam Seyhan (1990))
No
Batuan
1
2
3
Liat
Debu
Pasir campuran medium
hingga kasar
Pasir yang seragam
Pasir campuran halus
hingga médium
Kerikil
Kerikil dan pasir
Batu pasir
Serpihan
Batuan kapur
Batuan granit
4
5
6
7
8
9
10
11
Tabel
Porositas
(%)
45-55
40-50
Debu
Pasir sangat halus
Pasir halus
Pasir kasar
Kerikil dan pasir
Kerikil
Ukuran partikel
efektif (mm)
0.002-0.02
0.02-0.2
0.02-0.02
0.2-2
>2
2.3.1 Panci Klas A
Cara yang paling sederhana untuk
menduga evapotranspirasi potensial (ETp)
adalah dengan menggunakan panci klas A :
ETp = Kp · Eo………………………….….(3)
dengan :
Eo
Kp
= Evaporasi panci klas A (mm)
= koefisien panci, berkisar 0.7-0.8
2.3.2
Pendugaan
Evapotranspirasi
dengan Rumus-Rumus Empirik
2.3.2.1 Model Penman (1948)
Model Penman (1948) dalam Handoko
(1995) ini menggunakan dua komponen yaitu
radiasi
dan
aerodinamik.
Penman
menggunakan nilai albedo α = 0.25 untuk
permukaan vegetasi (ETp) dan α = 0.05 untuk
permukaan air (Eo). Berikut adalah model
pendugaan menurut Penman :
35-40
ETp = {∆ Qn + γ f(u) (es - ea)}/{ λ (∆ + γ)}…..(4)
30-40
dengan :
30-35
∆
30-40
20-35
10-20
1-10
1-10
1-5
3
Harga
perkiraan
koefisien
permeabilitas bahan-bahan granular
penyusun lapisan tanah (Sumber:
Damm (1966) dalam Seyhan (1990))
Tipe tanah
2.3 Pendugaan nilai Evapotranspirasi
Terdapat
beberapa
metode
untuk
menghitung
nilai
evapotranspirasi,
diantaranya yaitu melalui metode panci klas
A, model-model empiris, dan model
evapotranspirasi pertanaman.
Koefisien
permeabilitas
0.01
0.1
0.1-0.001
0.1-0.001
0.0001
0.00001
= gradien tekanan uap air jenuh
terhadap suhu udara (Pa K-1)
Qn
= radiasi netto (MJ m-2)
γ
= konstanta psikrometer (66.1 Pa k-1)
f(u)
= fungsi aerodinamik (MJ m-2 Pa-1)
(es – ea) = defisit tekanan uap air atau vpd
(Pa)
λ
= panas spesifik untuk penguapan
(2.454 MJ kg-1)
Model ini mengalami beberapa modifikasi
yang sebagian besar didasarkan pada neraca
energi, dan dikoreksi dengan beberapa faktor
untuk menghitung pengaruh termal (radiasi)
dan aerodinamik. Sampai saat ini, modelmodel tersebut terus mengalami modifikasi
dan perbaikan. Nilai-nilai peubah dalam
persamaan diatas dapat diukur langsung
ataupun diduga seperti yang dijelaskan oleh
Meyer et al. (1987) dalam Handoko (1995).
Gradien tekanan uap air jenuh terhadap suhu
udara dapat diduga berdasarkan :
∆ = 0.1 e{21.255 – 5304/(T + 273.1)} x { 5304 /(T
+273.1)2}...................................................(5)
4
T = (Tmax + Tmin)/2, Tmax dan Tmin adalah
nilai maksimum dan minimum suhu harian
(oC).
Fungsi aerodinamik (MJ m-2 Pa-1) didekati
dari :
F(u) = 4.84 + 0.0472 u……………...……(6)
u adalah kecepatan angin
ketinggian 2 m (km hari-1).
harian pada
2.3.2.2 Model Penman-Monteith (1964)
Persamaan yang dikembangkan Monteith
(1964) dalam Handoko (1995) merupakan
modifikasi persamaan Penman. Dalam
persamaan ini secara eksplisit dimasukkan
faktor tahanan aerodinamik (ra) dan tahanan
kanopi (rc). Persamaan tersebut adalah seperti
berikut :
ETp = {( ∆Qn + ρwcp (es – ea) / ra)
/ (( ∆ + γ) λ + rc / ra )}λ………………..…(7)
cpadalah panas jenis udara pada tekanan tetap
dan ρw adalah kerapatan udara lembab.
Persamaan Penman-Monteith ini lebih
menekankan kegunaannya pada skala
penelitian karena membutuhkan lebih banyak
parameter tajuk tanaman yang memerlukan
pengukuran tersendiri.
2.3.2.3 Model Makkink (1957) dan Priestly
Taylor (1972)
Model Makking (1957) dan Priestly
Taylor (1972) dalam Handoko (1995) hanya
menyederhanakan bentuk model persamaan
Penman, sehingga hanya didasarkan pada
komponen radiasi dan suatu konstantata yang
mewakili nilai iklim dan sifat tumbuhan suatu
wilayah. Persamaan yang digunakan :
Model makkink :
ETp = k1(∆/(∆+γ) Qs λ………………...(8)
Model Priestly-Taylor :
ETp = k2 (∆ / (∆ + γ) Qn / λ…………..…(9)
Nilai k1 dan k2 untuk beberapa jenis tanaman
adalah : untuk kedelai nilai k1 antara 0.72-0.78
dengan rata-rata k1 = 0.75 (Sakuratani, 1987).
Nilai rata-rata untuk semua tanaman adalah k1
= 1.26 (Priestly-Taylor, 1972). Khusus untuk
kedelai, nilai k2 antara 1.05-1.32 (Sakuratani,
1987) dan untuk jagung k2 = 1.35 (Rosenthal
et al. 1977 dalam Handoko (1995)).
2.3.3 Evapotranspirasi Tanaman
Istilah evapotranspirasi tanaman (ETc)
umumnya digunakan untuk perencanaan
irigasi. Nilai ETc selalu berubah-ubah
menurut umur dan fase perkembangan
tanaman. Perubahan tersebut berkaitan dengan
luas penutupan tajuk tanaman sebagai bidang
penguapan. ETc bukan merupakan kehilangan
air aktual melalui evapotranspirasi (ETa)
karena ETc tidak memperhitungkan pengaruhpengaruh seperti fluktuasi kadar air tanah dan
kejadian presipitasi yang mempengaruhi laju
evaporasi tanah. ETc dianggap merupakan
kebutuhan air optimum dalam perencanaan
irigasi tanaman yang didekati dari :
ETc = Kc · ETo………………………….(10)
dengan :
Kc
= koefisien tanaman yang tergantung
umur dan fase perkembangan
tanaman
ETo = Evapotarnspirasi aktual (mm)
2.4
Estimasi Kelembaban Tanah
2.4.1 Perhitungan Kelembaban Tanah di
Lapangan ( Metode Gravimetrik )
Kelembaban tanah dapat dinyatakan dalam
jumlah air (% massa dan % volume) atau
dalam energi potensialnya (water potential)
dalam satuan bar, atm, atau Pa. Kelembaban
tanah yang dinyatakan dalam % massa
(gravimetrik) selalu berdasarkan massa kering
massa tanah yang telah dikeringkan dalam
oven (105oC) selama 24 jam.
Kadar air tanah berdasarkan % massa
(gravimetrik) :
Ó¨m = {Mw/Ms}100%................................(11)
Kadar air tanah berdasarkan % volume
(volumetrik ) :
Ó¨v = {Vw/Vt} 100% = {Vw/(Vw + Va
+ Vs)}100%...............................................(12)
dengan :
Ms
= massa tanah kering (g)
Mw
= massa air (g)
Vt
= volume total (cm3)
Vs
= volume padatan tanah kering (cm3)
Va
= volume udara (cm3)
Vw
= volume air (cm3)
Pengukuran kadar air tanah secara
gravimetrik dan volumetrik dapat dilakukan
dengan mengambil contoh tanah dari lapang
kemudian dilakukan penimbangan dan
pengeringan dengan oven. Pengukuran secara
volumetrik, volume air dihitung berdasarkan
massa air yang terukur dengan menganggap
kerapatan air sebesar 1 g cm-3. Sedangankan,
volume tanah total sama dengan volume ring
sampler yang digunakan untuk mengambil
contoh tanah tersebut.
5
Tabel 4
Spesifikasi beberapa satelit SAR (Sumber : Moran. M. S. et al., 2004 yang telah
dimodifikasi)
Spesifikasi Satelit SAR
Besar sudut (°)
Panjang gelombang (cm)
SAR band
Polarisasi
Resolusi (m)
Pengulangan (hari)
RADARSAT
ERS SAR
20-50
5.7
C
23
5.7
C
ERS ENVISAT
ASAR
15-45
5.7
C
HH
VV
HH, VV, VH, HV
10-100
24
30
35
10-100
35
2.4.2
Estimasi
Kelembaban
Tanah
dengan Sistem Satelit SAR
Satelit yang memiliki resolusi tinggi yang
dapat
memberikan
informasi
tentang
pengelolaan batas DAS (Daerah Aliran
Sungai) saat ini hanya dapat ditemui pada
satelit
yang memiliki sensor gelombang
mikro aktif. Bentuk pencitraan gelombang
mikro aktif terdapat pada sistem satelit SAR
(Synthetic Aperture Radar). Prinsip dasar dari
pencitraan SAR adalah pemancaran energi
gelombang elektromagnetik (EM yang
selanjutnya disebut sebagai sinar radar atau
energi radar) ke permukaan bumi, dan
merekam energi balik dari bumi ke radar
melalui pencatatan kuantitas energi balik dan
waktu tunda dari energi balik yang sampai ke
radar (relatif terhadap waktu transmisinya).
Energi pantulan ini disebut hamburan balik
(backscatter) radar.
Menurut Ulaby et al. (1982) terdapat
beberapa
alasan
untuk
menggunakan
gelombang mikro sebagai sumber energi
untuk pencitraan data SAR. Alasan utama dan
sangat penting adalah bahwa kemampuan
gelombang mikro untuk menembus awan,
hujan, dan gelombang mikro aktif dapat
memberikan energinya sendiri dan tidak
tergantung pada cahaya matahari. Pengaruh
hujan terhadap atenuasi (pemadaman) sinyal
terjadi jika panjang gelombang lebih kecil dari
2 cm. Saat ini, ada beberapa sistem satelit
SAR dengan frequensi yang dapat digunakan
untuk mendeteksi kadar air tanah, diantaranya
seperti pada Tabel 4. Sistem SAR
menyediakan resolusi dengan cakupan liputan
10-100 m sampai piksel yang memiliki lebar
liputan 50-500 km yang merupakan syarat
untuk aplikasi skala batas DAS.
2.4.2.1 Model-Model Empiris
2.4.2.1.1 Model Oh
Pengembangan
model
empiris
ini
dilakukan oleh Y. Oh, K. Sarabandi, dan F. T.
Ulaby di Universitas Michigan tahun 1992.
ALOS PALSAR
10-51
23.6
L
HH, VV, HH,
HV,
VV, VH
10-100
46
Pengukuran
radar
digunakan
dalam
pengembangan model ini yaitu dengan
menggunakan operasi scatterometer (LCX
POLARSCAT) pada tiga frekuensi (1.5, 4.5,
9.5 GHz) dalam mode full polarimetrik
dengan sudut yang terbentuk antara 10o
sampai 70o. Berdasarkan hasil pengukuran
scatterometer dan pengukuran tanah tersebut,
dihasilkan sebuah model empiris yang
menyatakan fungsi untuk rasio hamburan
balik antara HH dengan VV (co-polarised)
dan hamburan balik silang (cross-polarised)
antara HV dan VV sebagai berikut:
p=
q=
2
1
𝜎 𝑜𝐻𝐻
=
𝜎 𝑜𝑉𝑉
𝜎 𝑜𝐻𝑉
1−
2𝜃 3Γ o
𝜋
.𝑒
−𝑘𝑠
……(13)
= 0.23 Γ đ‘œ 1 − 𝑒 −𝑘𝑠 ………...(14)
𝜎 𝑜𝑉𝑉
p dan q menunjukkan rasio hamburan balik
antara HH dengan VV (co-polarised) dan
hamburan balik silang (cross polarized). θ
adalah sudut yang terbentuk, ks adalah besar
RMS yang dinormalisasi terhadap panjang
gelombang, dan Γ o koefisien reflektifitas
Fresnel pada nadir (jika θ = 0). Berdasarkan
rasio hamburan balik co-polarised dan crosspolarised tersebut, maka nilai Γ đ‘œ dapat diduga
dengan persamaan berikut :
1
2𝜃 Γ đ‘œ
𝜋
1−
𝑞
0.23 Γ đ‘œ
+
𝑝 − 1 …………(15)
Pendugaan nilai Γ đ‘œ juga dapat menggunakan
pendekatan teknik iterasi Newton, yaitu :
𝑥𝑛 =
𝑎
𝑥 𝑛 −1 2
3
1−𝑏∙ 𝑥 𝑛 −1 +𝑐
2∙𝑥 𝑛 −1
∙ln 𝑎 ∙ 1−𝑏∙𝑥 𝑛 −1 −𝑏 𝑎
3
𝑥 𝑛 −1 2
3
…………..(16)
dengan :
𝑥=
1
Γ
𝑜
,
𝑎=
2𝜃
,
𝜋
𝑏=
𝑞
,
0.23
𝑐=
𝑝−1
6
Selanjutnya, nilai Γ đ‘œ digunakan untuk
menduga konstanta dielektrik ( 𝜀′) dengan
persamaan :
𝜀′ =
1 + Γ𝑜
………………………...…(17)
1− Γ o
nilai Γ đ‘œ digunakan kembali untuk menduga
nilai ks (kekasaran permukaan) berdasarkan
persamaan :
𝑝+1
𝑘𝑠 = 𝑙𝑛
1
2𝜃 3Γ đ‘œ
𝜋
………………….….(18)
2.4.2.1.2 Model Dubois
Inversi algoritma empiris model Dubois et
al. (1995) lebih sederhana dibandingkan
dengan inversi algoritma empiris model Oh et
al. (1992). Nilai konstanta dielektrik maupun
kekasaran permukaan dapat diketahui dari
model yang menggunakan hamburan balik
antara HH dan VV (co-polarised) dan sudut
yang terbentuk. Nilai konstanta dielektrik
dapat diduga dengan persamaan :
𝜀′ =
𝑙𝑜𝑔10
(𝜎 𝑜 𝐻𝐻 )0.7857
𝑜
𝜎𝑉𝑉
10−0.19 𝑐𝑜𝑠1.82 𝜃𝑠𝑖𝑛0.93 𝜃𝜆0.15
−0.042 tan 𝜃
……………………………………………………...(19)
dengan :
ε’
= konstanta dielektrik
σo
= koefisien hamburan balik (db)
θ
= sudut yang terbentuk (o)
λ
= panjang gelombang (23.6 cm)
Selanjutnya, nilai konstanta dielektrik dapat
pula digunakan untuk menduga nilai
kekasaran permukaan :
𝑜
1
2.75
𝑘𝑠 = 𝜎𝐻𝐻1.4 10 1.4
ks
ε’
σo
θ
λ
𝑠𝑖𝑛 2.57 𝜃
𝑐𝑜𝑠 1.07 𝜃
10−0.02 𝜀
′ tan
𝜃 𝜆−0.5 …(20)
= kekasaran permukaan
= konstanta dielektrik
= koefisien hamburan balik (db)
= sudut yang terbentuk (o)
= panjang gelombang (23.6 cm)
Algoritma ini cukup baik digunakan untuk
area yang bervegetasi jarang pada frekuensi
rendah. Rasio σ°VH / σ°VV baik untuk
digunakan dalam mengindikasikan area
bervegetasi dengan nilai rasio σ°VH / σ°VV < 11 db. Inversi algoritma tersebut tidak
memperhitungkan penutupan kanopi pada
suatu area. Sangat penting untuk ditekankan
bahwa pada model Dubois et, al. (1995)
kondisi penutupan oleh kanopi yang memiliki
permukaan yang kasar (ks> 3) dapat
menyebabkan
kekeliruan
dalam
menginterpretasikan kelembaban permukaan.
Nilai konstanta dielektrik (ε’) yang telah
diestimasi dapat dimasukan ke dalam
persamaan polinomial Top et al. (1980) untuk
mengkonversi nilai dielektrik konstanta ke
dalam nilai kadar air tanah (mv) :
mv = -5.3 10-2 + 2.29 10-2ε’ – 5.5 10-4ε’2
+ 4.3 10-6ε’3…………………….………...(21)
dengan :
mv
= kadar air tanah (%)
ε’
= konstanta dielektrik
2.5 Sifat Konstanta Dielektrik Kompleks
Fenomena dielektrika yang diteliti pertama
kali oleh M. Faraday adalah fenomena yang
terjadi
akibat
material
non-konduktor
terpengaruhi oleh medan elektrik. Parameter
utama yang menggambarkan perilaku material
non-konduktor dalam sebuah medan elektrik
disebut konstanta dielektrik kompleks.
Konstanta dielektrik ini bergantung pada
banyak faktor parameter seperti frequensi,
suhu, salinitas, dan kandungan ferromagnetik.
Pada teori gelombang elektromagnetik,
komponen nyata dari konstanta dielektrik
kompleks digambarkan sebagai gelombang
yang di refraktif atau reflektif antara dua
media yang berbeda (Hukum Snellius).
Indeks refraktif merupakan sebuah fungsi
dari sudut yang terbentuk dan kecepatan dari
gelombang yang ditransmisikan. Indeks
refraktif ini memiliki hubungan dengan sudut
refraktif dan kecepatan dari perambatan pada
lapisan perbatas gelombang. Indeks refraktif
didefinisikan sebagai akar kuadrat dari
konstanta dielektrik kompleks berdasarkan
ketebalan media jika dalam ruang hampa atau
udara.
Konstanta dielektrik kompleks diukur dari
respon
medium
terhadap
gelombang
elektromagnetik. Respon ini terdiri dari 2
bagian yaitu real dan imaginer (Stratton 1941,
Von Hippel 1954), dimana persamaan
konstanta dielektrik kompleks :
ε = ε’ – jε’’…………………………….…(22)
ε’ adalah permitifitas dari material dan ε’’
adalah faktor kehilangan dielektrik dari
material dan menggambarkan feasibilitas dari
sebuah medium terhadap adsorbsi gelombang
dan terhadap perpindahan energi ke dalam
bentuk lain. Umumnya untuk permukaan
natural ε’’ << ε’.
Konstanta dielektrik media natural
umumnya antara 1 sampai 6, dan meningkat
dengan meningkatnya kadar air. Air bebas
7
mempunyai nilai dielektrik diatas media
natural sampai 81 dan menunjukkan frequensi
yang rendah (Ulaby, 1986). Hal ini
menunjukkan tingkat sensitifitas gelombang
mikro terhadap kandungan air pada benda
yang diamati. Sensitifitas ini juga dipengaruhi
oleh
perputaran
molekul-molekul,
pembekuan, dan kerapatan partikel tanah yang
dapat mengurangi konstanta dielektrik
kompleks (ε) terhadap air.
Perilaku konstanta dielektrik kompleks (ε)
dalam media homogen seperti pada air murni
dan es penting diketahui. Frekuensi konstanta
dielektrik pada air murni berdasarkan
persamaan Debye (1929) dalam Von Hippel
(1954) :
εw= εw +
𝜀 𝑤 0 −εw ∞
1+𝑗 2𝜋𝑓 𝜏 𝑤
……………………...……(23)
εw0 adalah konstanta dielektrik statis dari air
murni dan εw∞ adalah tinggi limit frekuensi
(atau optikal) dari εw. τw adalah waktu jeda
dari kadar air murni dalam menit dan f adalah
frekuensi elektromagnetik dalam Hz.
Pada keadaan tanah kering, nilai konstanta
dielektrik yang nyata memiliki variasi pada
kisaran nilai 2-4, sedangkan nilai konstanta
dielektrik imaginer dibawah 0.05 (Ulaby,
1986). Nilai konstanta dielektrik kompleks
meningkat
dengan
semakin tingginya
pergerakan molekul-molekul air karena gaya
matriks yang bekerja pada molekul-molekul
air.
2.6 Hubungan
Konstanta
Dielektrik
dengan Kelembaban Tanah
Banyak model-model empiris maupun
teoritis yang menjelaskan hubungan konstanta
dielektrik
dengan
kelembaban
tanah.
hubungan tersebut telah banyak dituangkan
dalam persamaan-persamaan polinomial yang
bergantung pada volumetrik kandungan air
tanah dan persentase pasir dan liat yang terisi
di dalam tanah. Persamaan-persamaan
tersebut beracuan pada jenis klasifikasi tanah
berdasarkan
USGS
(United
State
Classification System). Tetapi, persamaanpersamaan polinomial tersebut tidak dapat
secara langsung diterapkan pada tipe-tipe
tanah Asia karena memiliki sistem klasifikasi
tanah yang berbeda dengan US. Untuk
menghilangkan
ketergantungan
pada
parameter-parameter yang sesuai, Dobson et
al. (1985) mengembangkan sebuah model
fisik tanah yang bergantung hanya pada
pengukuran karakteristik tanah dan tidak
memerlukan parameter-parameter yang sesuai
untuk
mendapatkan
data
pengukuran
eksperimen yang baik.
Model tersebut berdasarkan pada dua
parameter yaitu fraksi air terkekang dan fraksi
air bebas menurut ukuran distribusi pori-pori
dari ukuran distribusi partikel. Menurut Top et
al. (1980), De Loor (1982), Shivola (1989),
dan Stacheder (1996) pada permitivitas
campuran dielektrik menunjukkan bahwa
untuk frequensi 1 sampai 10 GHz pada
indeks refraktif volumetrik bahan kering dan
air bebas merupakan pendekatan yang cukup
baik untuk kebanyakan tipe-tipe tanah.
Berdasarkan
kesimpulan-kesimpulan
tersebut, dibangun hubungan polinomial oleh
Top et al. (1980) yang digunakan untuk
mengkonversi volumetric soil water (mv) ke
bagian nyata dari konstanta dielektrik ε’.
Pengukuran dan penilaian bagian imaginer ε’’
dari konstanta dielektrik kompleks tidak
dipertimbangkan dalam studi ini karena hal itu
memberikan pengaruh yang hampir tak berarti
pada jumlah total ε.
2.7 Satelit ALOS
ALOS (Advanced Land Observation
Satellite) adalah satelit penginderaan jauh
(inderaja) Jepang yang diutamakan untuk
pengamatan daratan dengan menggunakan
teknologi
terdepan.
Satelit
ALOS
diprogramkan
untuk
meneruskan
dan
meningkatkan fungsi satelit JERS-1 (Japanese
Earth Resources Satellite-1) dan setelit
ADEOS
(Advanced
Earth
Observing
satellite). Satelit ALOS adalah satelit
pengamatan bumi terbesar yang pernah
dibangun di Jepang. Panjangnya satelit ALOS
lebih-kurang 9 meter, lebarnya 28 m, dan
massanya 4000 kg. Satelit inderaja ALOS
telah berhasil diluncurkan pada tanggal 24
Januari 2006 dengan pesawat peluncur roket
H-IIA, dari lokasi peluncuran Tanegashima
Space Center di Jepang bagian selatan
(NASDA, 2006).
Gambar
1
Satelit
ALOS
(Sumber
:http://www.eorc.jaxa.jp/)
8
Satelit ALOS mempunyai 5 misi utama,
yaitu :
a.
b.
c.
d.
e.
Untuk memperlengkapi peta-peta
Jepang dan Negara-negara lain
yang termasuk wilayah AsiaPasifik ( Kartografi ).
Untuk melakukan pengamatan
regional
dalam
rangka
pengembangan berkesinambungan
(pengamatan regional ).
Untuk melakukan pemantauan
bencana alam seluruh dunia
(pemantauan bencana alam ).
Untuk mmelakukan penelitian
sumbar daya alam ( penelitian
sumber daya alam ), dan
Untuk mengembangkan teknologi
satelit pengamatan bumi masa
depan ( pengembangan teknologi )
(NASDA, 2004 ; JAXA, 2004 ).
Satelit ALOS bergerak pada orbit sinkron
matahari pada ketinggian 691,65 km pada
equator, inklinasi 98, 16 derajat. Periode
(siklus) pengulangaan orbit adalah 46 hari,
dengan
suatu
potensi
kemampuan
pengulangan 2 hari untuk sensor pandangan
sisi (side-looking). Satelit dirancang untuk
dapat tetap beroperasi pada orbitnya di dalam
kurun waktu 3-5 tahun. Satelit tersebut
melintas ekuator pada pukul 10.30 waktu
lokal pada posisi satelit arah kutub selatan
atau mode menurun (descending mode) dan
pukul 22.30 pada posisi satelit arah kutub
utara atau mode menaik (ascending mode).
Satelit ALOS dilengkapi tiga sensor
inderaja dengan kemampuan pandangan sisi.
Tiga sensor inderaja tersebut terdiri dari dua
sensor
optik
yaitu
sensor
PRISM
(Panchromatic Remote Sensing Instrument
for Stereo Mapping) dan sensor AVNIR-2
(advanced Visible and Nera Infrared
Radiometer type-2), dan sebuah sensor
gelombang mikro (radar) yaitu PALSAR
(Phased Array Type L-band Synthetic
Aperture Radar ) (NASDA, 2004b). Sensorsensor pengamatan pada satelit ALOS
dilengkapi dengan subsistem pendukung misi,
yaitu :
a.
b.
c.
subsistem pengontrol orbit dan
kedudukan satelit.
Subsistem penentu kedududkan
satelit dan posisi secara otomatis.
Subsistem penanganan data misi.
2.8 Sensor AVNIR-2 dan Karakteristik
Datanya
AVNIR-2 adalah suatu sensor yang
dirancang
untuk
meneruskan
dan
meningkatkan sensor VNIR/OPS pada satelit
JERS-1 dan AVNIR pada satelit ADEOS.
Satelit JERS-1 adalah satelit Jepang untuk
pengamatan daratan, banyak data yang
tersedia di EOC Jepang untuk pengguna.
AVNIR/ADEOS adalah sensor optik
dengan 4 kanal spectral, mempunyai resolusi
spasial 16 m untuk pengamatan daratan dan
zona-zona garis pantai. Sensor AVNIR-2
merupakan
peningkatan
dari
sensor
AVNIR/ADEOS. Bagian utama
yang
dimodifikasi
adalah
detektor
dan
elektroniknya. Sensor AVNIR-2 melakukan
scanning dengan metode push broom dengan
1 buah CCD untuk masing-masing kanal
spectral. Kemampuan elektroniknya dan dan
detektor
CCD
pada
AVNIR/ADEOS
(mempunyai 5000 piksel setiap CCD),
ditingkatkan menjadi 7000 piksel setiap CCD
pada
AVNIR-2/ALOS.
Berdasarkan
modifikasi ini, maka akan dihasilkan
peningkatan resolusi spasial dari 16 m pada
AVNIR/ADEOS menjadi 10 m dengan lebar
liputan satuan citra sebesar 70 km pada
AVNIR-2/ALOS.
Gambar 2 Sensor AVNIR-2 (Sumber : http: //
www.eorc.jaxa.jp/)
Modifikasi yang lain adalah pada
kemampuan pointing AVNIR-2 yaitu dengan
suatu kemampuan pandangan menyilang jejak
satelit pada +44o sampai -44o (+/- 44o) dari
nadir. Kemampuan pandangan sisi dan
kemampuan pointing dari sensor AVNIR-2 ini
merealisasikan pengamatan yang dilakukan
berulang kali yaitu setiap 48 jam (2 hari) pada
daerah dengan garis lintang bumi yang lebih
tinggi. Berdasarkan kemampuan pointing
AVNIR-2 juga dapat pula diperoleh daerah
pengamatan yang lebih lebar sampai dengan
1500 km (lebar pointing maksimum dari
AVNIR-2). Kemampuan ini efektif untuk
pengamatan global (Osawa, 2005).
9
Tabel 5. Karakteristik teknis sensor dan data citra AVNIR-2 (sumber : Sitanggang, 2008)
PARAMETER
Jumlah kanal spectral
Metode scanning
Panjang gelombang
FOV
IFOV
Lebar liputan satuan citra
Resolusi spasial
S/N
MTF@ Frekuensi Nyquist
Jumlah detector
Sudut pengarahan titik (pointing angle)
Kuantisasi
Berdasarkan kemampuan tersebut, tujuan
utama dari AVNIR-2 untuk pemantauan
bencana alam dan pemetaan penutupan lahan
di dalam pemantauan lingkungan regional
dapat direalisasikan dan pengamatan daerahdaerah bencana alam dalam waktu
pengulangan 2 hari dapat dilakukan.
Kemampuan pandangan sisi dari sensorsensor ALOS juga memungkinkan observasi
AVNIR-2 secara serentak dengan PALSAR,
hal ini merupakan suatu sifat unik yang
diharapkan dapat memberikan kontribusi
aplikasi fusi data optik (AVNIR-2) dan
gelombang mikro (PALSAR ).
2.9 Sensor PALSAR dan Karakteristik
Datanya
PALSAR adalah suatu sensor gelombang
mikro aktif pada L-band (frekuensi-pusat
1270 MHz/23,6 cm) untuk pengamatan siang
dan malam hari, bebas awan dan cuaca.
Sensor PALSAR merupakan peningkatan dari
SAR/JERS-1 (polarisasi HH, sudut off nadir
35o, beroperasi pada L-band), dikembangkan
oleh JAXA bekerja sama dengan JAROS
(Japan Resources Observation Systems
Oganization). Antenna PALSAR terdiri dari 4
segmen dengan ukuran total 8.9 m bila
disebarkan.
Sensor PALSAR mempunyai suatu
kemampuan off-nadir yang variable antara 10o
sampai 51o (sudut datang 8o-60o) dengan
menggunakan teknik phased array aktif
dengan 80 modul untuk mentransmisikan /
penerimaan.
PALSAR
adalah
suatu
instrument yang secara penuh merupakan
KARAKTERISTIK TEKNIS
4
Push broom dengan 1 CCD untuk masingmasing kanal
Kanal 1 : 0.42-0.50 µm
Kanal 2 : 0.52-0.60 µm
Kanal 3 : 0.61-0.69 µm
Kanal 4 : 0.76-0.0.89 µm
5.8o
14.28 µ rad
70 km (pada nadir)
10 m (pada nadir)
>200
Kanal 1 s.d. 3 : >0.25
Kanal 4 : >0.20
7000/kanal spectral
(+/-44o) dari nadir
8 bit
polarimetrik, bekerja dengan salah satu dari
mode, yaitu :
a. Polarisasi tunggal (HH atau VV)
b. Polarisasi rangkap 2 (HH+HV
VV+VH)
c. Polarimetrik penuh
atau
Polarisasi diubah dalam setiap pulsa dari
sinyal transmisi dan sinyal polarisasi ganda
diterima secara simultan. Operasi dibatasi
dalam sudut dating yang lebih rendah untuk
mencapai hasil guna yang lebih baik. Pada
(terjadi pada kondisi kecepatan data 240
Mbps.
mode polarisasi, lebar liputan satuan citra
adalah 30 km dengan resolusi spasial 30 m
Gambar
3
Sensor PALSAR (Sumber
:http://www.csrsr.ncu.edu.tw)
10
Tabel 6 Karakteristik teknis sensor dan data citra PALSAR (Sumber : Sitanggang, 2008)
Mode operasi
Chirp Bandwidth
Polarisasi
Sudut datang
Resolusi spasial
Range
Lebar liputan satuan citra
Panjang bit
Kecepatan data
Akurasi radiometrik
Titik
tengah
kisaran
spektrum
Fine beam
single pol(fbs)
28 MHz
HH, VV
8o-60 o
7-44 m
Fine beam dual
pol(fbd)
14 MHz
HH+HV, VV+VH
8 o-60 o
14-88 m
40-70 km
40-70 km
5 bit
5 bit
240 Mbps
240 Mbps
Citra (scene) : 1 dB/ orbit : 1.5 dB
L-band (1270 MHz)
Scansar
Polarimetrik
14 MHz, 28 MHz
HH, VV
18 o-43 o
100 m (multi look)
14 MHz
HH+VV+HV+VH
8 o-30 o
24-89 m
250-350 km
5 bit
120 Mbps, 240 Mbps
20-65 km
3/5 bit
240 Mbps
Tabel 7 Mode Observasi Default PALSAR (Sumber : Sitanggang, 2008)
Polarisasi
HH
VV
HH + VV
HH + HV
HH + HV + VH + VV
ScanSAR 5PALSAR secara teknik dapat dioperasikan
dalam 132 mode yang berbeda. Akan tetapi,
dari titik pandang aplikasi, sejumlah besar dari
kombinasi mode potensial menjadi agak
kontra-produktif. tujuh mode operasi telah
diidentifikasi sebagai default modes yang
ditujukan pada Tabel 9 Untuk meminimalkan
konflik-konflik dari mode yang demikian,
Pemilihan default mode dibuat sebagai suatu
kompromi kriteria ilmiah, aspek-aspek
programatik, dan pembatasan-pembatasan
operasional satelit menjadi pertimbangan.
Kecepatan perekaman data 240 Mbps
dalam mode tunggal, mode rangkap dua
(dual), dan mode polarimetrik penuh. Oleh
karenanya diperlukan aliran data dari satelit
ke stasiun bumi (down-linking) melalui
DRTS. Akan tetapi, mode scanSAR
beroperasi
pada
120
Mbps,
yang
memungkinkan aliran data secara langsung
dari satelit ke berbagai stasiun bumi local (di
dalam jaringan stasiun bumi ALOS).
Data PALSAR dapat digunakan untuk
bermacam aplikasi seperti pembuatan citra
DEM, interferometri dari pergerakan lahan,
biomassa hutan, pemantauan kebakaran hutan,
pertanian, pemantauan polusi minyak,
pemantauan banjir, kelembaban tanah, dan
pemantauan kapal ( NASDA, 2005 ).
Sudut Off-Nadir
(Lebar Liputan Satuan Citra, Resolusi)
34.3o (70 km, 10 m)
43.4o (70 km, 10 m)
34.3o (70 km, 20 m)
43.4o (70 km, 20 m)
21.5o (30 km, 30 m)
Beam mode (350 km, 100 m)
III. METODOLOGI
3. 1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan
Februari 2009 hingga September 2009
dilaksanakan di Laboratorium meteorologi
dan kualitas udara serta di Lembaga
Penerbangan dan Antariksa (LAPAN)
Pekayon Jakarta Timur.
3.2 Bahan dan Alat
Data yang digunakan adalah data citra
PALSAR ALOS level 1.1 pada tanggal 11
April 2007 pukul 15: 34: 59 WIB dan data
citra AVNIR-2 tanggal 5 Oktober 2007
diperoleh
dari
Pusbangja
(Pusat
Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi
Penginderaan Jauh) LAPAN, Pekayon,
Jakarta. Alat yang digunakan adalah
perangkat lunak (software) Polsar pro versi
4.0, Envi versi 4.3, Er Mapper versi 7.0,
Adobe Photoshop CS3 dan Microsoft office
2007.
3.3
3.3.1
Metode Penelitian
Pengolahan Awal Data Citra
PALSAR ALOS
Data citra PALSAR ALOS yang
digunakan
merupakan
citra
wilayah
Kabupaten Bekasi dan sekitarnya yang
diambil pada tanggal 11 april 2007. Data citra
11
Download