I.PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kelembaban tanah pada suatu lahan sangat dipengaruhi oleh besarnya tingkat kadar air di dalam tanah. Kadar air tanah adalah banyaknya kandungan air yang tertahan di dalam tanah. Kelembaban tanah merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan tingkat kekeringan dari suatu lahan. Semakin tinggi tingkat kelembaban tanah pada suatu lahan maka akan semakin kecil peluang terjadinya kekeringan pada lahan tersebut. Pemantauan karakteristik distribusi spasial dan temporal dari kelembaban tanah sangatlah penting. Hal ini karena secara fakta kelembaban tanah dapat mengendalikan pertumbuhan tanaman, daur hidrologi tanah, dan kemampuan tanah dalam menahan erosi (Sanli et al., 2008). Kelembaban tanah dapat diidentifikasi dengan beberapa metode, antara lain: metode Gravimetrik, metode microwave radiometer, dan metode wind scatterometer. Dewasa ini dengan semakin berkembangnya teknologi penginderaan jauh, identifikasi kelembaban tanah dapat pula dilakukan melalui teknik pengideraan jauh (inderaja). Kelebihan dalam penggunaan teknik inderaja ini adalah dapat mencakup wilayah identifikasi yang lebih luas dan sebaran kelembaban tanahnya dapat mencerminkan karakteristik permukaan yang ada. Penggunaan citra satelit jenis SAR (Synthetic Aperture Radar) yang memiliki gelombang mikro (microwave) sangat efektif dalam menentukan tingkat karakteristik permukaan karena terbebas dari pengaruh tutupan awan. SAR merupakan jenis inderaja gelombang mikro yang sensitif terhadap kadar air tanah karena memiliki nilai konstanta dielektrik yang sangat berhubungan dengan nilai kandungan air (Sonobe et al., 2008). Konstanta dielektrik untuk air paling sedikit sepuluh kali besarnya dibandingkan dengan konstanta dielektrik tanah kering, oleh karena itu adanya air pada beberapa sentimeter di lapisan atas tanah dapat dideteksi dengan citra SAR (Lillesand and Kiefer, 2000). Besarnya perbedaan antara konstanta dielektrik air dengan tanah kering pada frekuensi gelombang mikro merupakan faktor utama dalam pendugaan kelembaban tanah (Wang, 1980). Kesulitan utama dalam memperoleh informasi kelembaban tanah menggunakan citra SAR dikarenakan adanya pengaruh kekasaran permukaan dan penutupan vegetasi. Jenis-jenis citra SAR yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kelembaban tanah, antara lain adalah ERS Envisat, Radarsat, ERS SAR, PALSAR ALOS. Pada penelitian ini, penentuan atau pendugaan kelembaban tanah dilakukan dengan menggunakan citra PALSAR ALOS. Sensor PALSAR bekerja pada gelombang Lband (23.6 cm) dengan frequensi 1.27 GHz serta memiliki multipolarisasi. Sensor L-band sangat sensitif terhadap kekasaran permukaan sehingga hasil kelembaban tanah memiliki nilai yang tidak pasti. Menurut Dubois (1995), ratio koefisien hamburan balik σ°hh /σ°vv meningkat dengan meningkatnya kekasaran permukaan dan meningkatnya kelembaban tanah. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik dan mengidentifikasi tingkat kelembaban tanah pada beberapa penutupan lahan daerah Kabupaten Bekasi dan sekitarnya menggunakan citra satelit PALSAR ALOS. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelembaban Tanah Kelembaban tanah dipengaruhi oleh besarnya kandungan air dalam tanah. Kelembaban tanah merupakan salah satu parameter yang digunakan sebagai indikasi tingkat kekeringan. Menurut Asdak (1995) kelembaban tanah umumnya terbentuk melalui tiga proses : a. b. c. Kelembaban higroskopis adalah kelembaban yang terjadi karena air terikat pada lapisan tipis butir-buitr tanah. Air terikat ini tidak dapat bergerak dan oleh karenanya tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Kelembaban kapiler adalah kelembaban tanah yang terjadi oleh adanya gaya tarik-menarik antara butir-butir tanah. Air yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Kelembaban gravitasi adalah kelembaban yang terjadi sebagai akibat adanya gaya tarik bumi, yaitu air dalam posisi peralihan menuju ke pori-pori tanah yang lebih besar. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai kelembaban tanah. Hal tersebut dijelaskan Yang dan Tian (1991) melalui rumus kandungan air dalam tanah, sebagai berikut : 1 ∂W ∂t = đ + đź − đ¸ − đ + đˇ + đş……….....(1) Dengan: ∂W = kandungan air pada zona akar (cm) P = presipitasi (cm) I = irigasi (cm) E = evapotranspirasi (cm) R = runoff (cm) D = air tanah yang hilang (cm) G = recharge air tanah (cm) ∂t Persamaan tersebut menggambarkan bahwa kelembaban tanah dipengaruhi oleh kondisi cuaca (seperti presipitasi, suhu udara, dan kecepatan angin) dalam memberikan masukan dan menghilangkan kandungan air yang ada. Presipitasi sebagai masukan merupakan sumber air dalam meningkatkan kelembaban tanah. Selain presipitasi, masukan air juga berasal dari hilangnya air tanah pada lapisan dibawahnya hasil dari evaporasi. Pada tanah yang gundul, evaporasi ini dipengaruhi oleh jenis tanah, difusivitas air tanah, suhu permukaan tanah, flux pemanasan tanah, dan albedo radiasi netto. Sedangkan evaporasi tanah di bawah tajuk tanaman, dipengaruhi oleh radiasi netto yang mencapai permukaan tanah (setelah melewati tajuk), kadar air tanah, dan sifat-sifat tanah. Selain masukan dari presipitasi, kelembaban tanah juga dipengaruhi oleh hilangnya air yang terkandung dalam tanah. Hilangnya air ini disebabkan oleh evapotranpirasi dan juga masuknya air ke dalam lapisan tanah di bawahnya (baik infiltrasi maupun perkolasi). Hilangnya air ini menyebabkan kelembaban tanah menurun. Menurut Hanson (1991) dalam Hadiyanto (2007), sebagai bagian dari siklus hidrologi, evapotranspirasi merupakan komponen penting dalam sistem neraca air. Evapotranspirasi merupakan jumlah air yang menguap akibat proses penguapan (evaporasi) dari permukaan air yang terbuka, permukaan tanah basah, lipatan salju, lapisan tanah, dan transpirasi yaitu air yang menguap dari vegetasi. Unsur iklim yang paling dominan terhadap evapotranspirasi adalah radiasi matahari dan kecepatan angin. 2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelembaban Tanah 2.2.1 Neraca Air Air merupakan kebutuhan yang sangat esensial bagi kelangsungan kehidupan. Masukan air terbesar ke bumi berasal dari presipitasi. Pada suatu areal pertanian penyedian air tanaman berasal dari presipitasi (P) dan irigasi (I), sedangkan kehilangan air dapat berupa drainase (D), limpasan permukaan (runoff, Ro), evaporasi (E) dan transpirasi (T). Sedangkan air disimpan sebagai cadangan dalam tanah (âS). Keseluruhan masukan (input) dan keluaran (output) air ini dapat dirumuskan sebagai neraca air, yaitu : P + I = D + Ro + E + T +âS…………..…(2) Semua unsur dinyatakan dalam satuan yang sama, misalnya mm hari-1 atau m3 ha-1 hari-1. Salah satu faktor yang mengakibatkan hilangnya air pada permukaan yaitu evapotranspirasi. Kehilangan air melalui evaporasi mempunyai akibat terhadap fisiologi tanaman secara tidak langsung, seperti mempercepat penurunan kadar air pada lapisan atas dan memodifikasi iklim mikro di sekitar tanaman (Tanner, 1981). 2.2.2 Suhu Permukaan Tanah Suhu pemukaan merupakan suhu bagian terluar dari suatu objek yang dihasilkan dari suatu tanggapan terhadap berbagai fluks energi yang melalui permukaan. Kelembaban tanah memiliki hubungan yang erat dengan suhu permukaan tanah. Tingginya suhu permukaan tanah akan meningkatkan laju evaporasi. Hilangnya air karena evaporasi menyebabkan berkurangnya kandungan air dalam tanah. 2.2.3 Kapasitas Panas Jumlah panas pada suatu benda tergantung dari seberapa besar kapasitas panasnya. Semakin besar kapasitas panas pada suatu benda maka akan semakin besar jumlah panas yang dibutuhkan oleh benda tersebut. Berdasarkan Tabel 1, nilai kapasitas panas pada lahan basah lebih besar dibandingkan dengan lahan kering dan konduktifitas bahang pada lahan basah lebih besar dibandingkan dengan lahan kering. Sifat fisik molekulmolekul air yang tidak teratur menyebabkan molekul air mudah tertarik oleh ion-ion elektrostatik. Semakin banyaknya gaya tarik magnet yang tercipta oleh ion-ion elektrostatik maka akan meningkatnya medan listrik pada daerah tersebut. Tingginya medan listrik akan meningkatkan konduktifitas bahang. Berdasarkan pernyataan tersebut, tingginya kandungan air pada suatu lahan akan meningkatkan medan listrik pada area tersebut sehingga konduktifitas bahang akan semakin tinggi. 2 Tabel 1 Perbedaan panas pada objek yang berbeda (Sumber : Geiger et al., 1961) Benda Lahan basah Lahan kering Tanah liat basah Massa jenis Panas jenis Kapasitas panas Konduktivitas bahang (g m-3) (J g-1 oC-1) (J m-3 oC-1) (W m-1 oC-1) - 2.51x10-6-3.35 x10-6 2.93x10-2-4.18 x10-2 - 0.42 x10-6-0.84x10-6 0.42 x10-2-1.26 x10-2 0.71-0.84 1.25 x10-6-1.67x10-6 8.37 x10-2-20.93x10-2 8 x10-71 x 10 -6 3x10-76x10-7 1.7x10-72.2x10-6 Difusivitas bahang (cm2 sec-1) 0.9x10-41.6 x10-4 0.5 x10-43 x10-4 5 x10-417 x10-4 0.5 x10-4- Tanah liat kering - 0.71-0.84 0.42 x10-6-1.67x10-6 0.84 x10-2-6.28 x10-2 Pasir basah - 0.84 0.84 x10-6-2.51x10-6 8.37 x10-2-25.12x10-2 0.84 0.42 x10-6-1.67x10-6 0.075 x10-2-2.93x10-2 0.71-0.84 1.79 x10-6-2.42x10-6 16.75x10-2-41.87x10-2 0.44 3.42 x10-6 879.27 x10-2 256 x10-4 0.88 2.17 x10-6 46.057 x10-2 22 x10-4 4.18 4.18 x10-6 5.44 x10-2-6.28 x10-2 Pasir kering Batu Besi Beton Air tenang Udara tenang 1.4x10-61.7x10-6 2.5x10-62.9x10-6 7.9x10-6 2.2x10-62.5x10-6 1x10-6 1x10-91.4x10 -9 1.0046 0.001 x10-6-0.0014 2.2.4 Radiasi Radiasi yang dipancarkan oleh suatu permukaan berbanding lurus dengan pangkat empat suhu mutlak permukaan tersebut (hukum Stefan Boltzman). Energi radiasi gelombang panjang yang dipancarkan permukaan bumi sebagian diserap atmosfer dan sisanya akan keluar dari sistem atmosfer bumi. Energi radiasi yang datang ke bumi adalah 1368 Mw-2. Radiasi yang diteruskan ke permukaan bumi sekitar 50% dari radiasi yang datang ke bumi. Radiasi yang tinggi akan meningkatkan suhu udara. Besarnya nilai evapotranspirasi cenderung mengikuti pola suhu udara maksimum selama bulan-bulan musim panas dan suhu udara minimum selama musim dingin. Fluktuasi nilai evapotransiprasi selama musim panas sangat tergantung pada nilai kelembaban udara pada awal musim kering dan panjang musim keringnya. Selama musim panas penguapan x10 -6 0.21 x10-2-0.25 x10-2 15 x10-4 3 x10-412 x10-4 1 x10-47 x10-4 7 x10-423 x10-4 1.3 x10-41.5 x10-4 147 x10-4250 x10-4 dari permukaan air terbuka akan meningkat, sedangkan transpirasi oleh tanaman pada umumnya menurun. Sebaliknya pada musim dingin penguapan dari permukaan air terbuka akan berkurang namun transpirasi meningkat. Berdasarkan pernyataan tersebut, tingginya radiasi akan meningkatkan evapotranspirasi sehingga kelembaban tanah semakin berkurang. 2.2.5 Pengaruh Jenis Tanah Terhadap kelembaban tanah Kecepatan laju infiltrasi maupun perkolasi air dan evaporasi pada tanah tergantung kepada sifat kelulusan lapisan tanah atau lapisan batuan yang akan dilaluinya. Sifat kelulusan lapisan batuan adalah daya lapisan batuan untuk menyerap dan ditembus air atau tingkat kekedapan terhadap air, disebut dengan permeabilitas. Tanah dengan tekstur liat atau debu memiliki permeabilitas lebih 3 tinggi dibandingkan dengan tanah bertekstur pasir. Ukuran-ukuran yang digunakan untuk mengetahui permeabilitas suatu lapisan tanah dan batuan adalah porositas dan koefisien permeabilitas (Seyhan, 1990). Porositas adalah persentase volume ruang-ruang kosong antara partikel-partikel batuan yang membentuk lapisan. Sedangkan, koefisien permeabilitas adalah kuantifikasi kecepatan aliran air tanah selama melintasi pori-pori (celah, retakan, dan rekahan) batuan dalam satuan waktu. Namun porositas yang lebih besar tidak selalu disertai oleh permeabilitas yang lebih baik (Sosrodarsono & Takeda, 1993). Sebagai contoh adalah lempung. Porositas lapisan batuan yang tersusun atas lempung sangat besar, tetapi permeabilitasnya kecil karena ukuran ruang-ruang porinya sangat kecil. Pada Tabel 2 dan 3 terdapat nilai porositas dan koefisien permeabilitas berdasarkan tipe-tipe tanah. Tabel 2 kisaran-kisaran porositas beberapa batuan (Sumber: Todd (1959) dalam Seyhan (1990)) No Batuan 1 2 3 Liat Debu Pasir campuran medium hingga kasar Pasir yang seragam Pasir campuran halus hingga médium Kerikil Kerikil dan pasir Batu pasir Serpihan Batuan kapur Batuan granit 4 5 6 7 8 9 10 11 Tabel Porositas (%) 45-55 40-50 Debu Pasir sangat halus Pasir halus Pasir kasar Kerikil dan pasir Kerikil Ukuran partikel efektif (mm) 0.002-0.02 0.02-0.2 0.02-0.02 0.2-2 >2 2.3.1 Panci Klas A Cara yang paling sederhana untuk menduga evapotranspirasi potensial (ETp) adalah dengan menggunakan panci klas A : ETp = Kp Î Eo………………………….….(3) dengan : Eo Kp = Evaporasi panci klas A (mm) = koefisien panci, berkisar 0.7-0.8 2.3.2 Pendugaan Evapotranspirasi dengan Rumus-Rumus Empirik 2.3.2.1 Model Penman (1948) Model Penman (1948) dalam Handoko (1995) ini menggunakan dua komponen yaitu radiasi dan aerodinamik. Penman menggunakan nilai albedo α = 0.25 untuk permukaan vegetasi (ETp) dan α = 0.05 untuk permukaan air (Eo). Berikut adalah model pendugaan menurut Penman : 35-40 ETp = {â Qn + γ f(u) (es - ea)}/{ λ (â + γ)}…..(4) 30-40 dengan : 30-35 â 30-40 20-35 10-20 1-10 1-10 1-5 3 Harga perkiraan koefisien permeabilitas bahan-bahan granular penyusun lapisan tanah (Sumber: Damm (1966) dalam Seyhan (1990)) Tipe tanah 2.3 Pendugaan nilai Evapotranspirasi Terdapat beberapa metode untuk menghitung nilai evapotranspirasi, diantaranya yaitu melalui metode panci klas A, model-model empiris, dan model evapotranspirasi pertanaman. Koefisien permeabilitas 0.01 0.1 0.1-0.001 0.1-0.001 0.0001 0.00001 = gradien tekanan uap air jenuh terhadap suhu udara (Pa K-1) Qn = radiasi netto (MJ m-2) γ = konstanta psikrometer (66.1 Pa k-1) f(u) = fungsi aerodinamik (MJ m-2 Pa-1) (es – ea) = defisit tekanan uap air atau vpd (Pa) λ = panas spesifik untuk penguapan (2.454 MJ kg-1) Model ini mengalami beberapa modifikasi yang sebagian besar didasarkan pada neraca energi, dan dikoreksi dengan beberapa faktor untuk menghitung pengaruh termal (radiasi) dan aerodinamik. Sampai saat ini, modelmodel tersebut terus mengalami modifikasi dan perbaikan. Nilai-nilai peubah dalam persamaan diatas dapat diukur langsung ataupun diduga seperti yang dijelaskan oleh Meyer et al. (1987) dalam Handoko (1995). Gradien tekanan uap air jenuh terhadap suhu udara dapat diduga berdasarkan : â = 0.1 e{21.255 – 5304/(T + 273.1)} x { 5304 /(T +273.1)2}...................................................(5) 4 T = (Tmax + Tmin)/2, Tmax dan Tmin adalah nilai maksimum dan minimum suhu harian (oC). Fungsi aerodinamik (MJ m-2 Pa-1) didekati dari : F(u) = 4.84 + 0.0472 u……………...……(6) u adalah kecepatan angin ketinggian 2 m (km hari-1). harian pada 2.3.2.2 Model Penman-Monteith (1964) Persamaan yang dikembangkan Monteith (1964) dalam Handoko (1995) merupakan modifikasi persamaan Penman. Dalam persamaan ini secara eksplisit dimasukkan faktor tahanan aerodinamik (ra) dan tahanan kanopi (rc). Persamaan tersebut adalah seperti berikut : ETp = {( âQn + ρwcp (es – ea) / ra) / (( â + γ) λ + rc / ra )}λ………………..…(7) cpadalah panas jenis udara pada tekanan tetap dan ρw adalah kerapatan udara lembab. Persamaan Penman-Monteith ini lebih menekankan kegunaannya pada skala penelitian karena membutuhkan lebih banyak parameter tajuk tanaman yang memerlukan pengukuran tersendiri. 2.3.2.3 Model Makkink (1957) dan Priestly Taylor (1972) Model Makking (1957) dan Priestly Taylor (1972) dalam Handoko (1995) hanya menyederhanakan bentuk model persamaan Penman, sehingga hanya didasarkan pada komponen radiasi dan suatu konstantata yang mewakili nilai iklim dan sifat tumbuhan suatu wilayah. Persamaan yang digunakan : Model makkink : ETp = k1(â/(â+γ) Qs λ………………...(8) Model Priestly-Taylor : ETp = k2 (â / (â + γ) Qn / λ…………..…(9) Nilai k1 dan k2 untuk beberapa jenis tanaman adalah : untuk kedelai nilai k1 antara 0.72-0.78 dengan rata-rata k1 = 0.75 (Sakuratani, 1987). Nilai rata-rata untuk semua tanaman adalah k1 = 1.26 (Priestly-Taylor, 1972). Khusus untuk kedelai, nilai k2 antara 1.05-1.32 (Sakuratani, 1987) dan untuk jagung k2 = 1.35 (Rosenthal et al. 1977 dalam Handoko (1995)). 2.3.3 Evapotranspirasi Tanaman Istilah evapotranspirasi tanaman (ETc) umumnya digunakan untuk perencanaan irigasi. Nilai ETc selalu berubah-ubah menurut umur dan fase perkembangan tanaman. Perubahan tersebut berkaitan dengan luas penutupan tajuk tanaman sebagai bidang penguapan. ETc bukan merupakan kehilangan air aktual melalui evapotranspirasi (ETa) karena ETc tidak memperhitungkan pengaruhpengaruh seperti fluktuasi kadar air tanah dan kejadian presipitasi yang mempengaruhi laju evaporasi tanah. ETc dianggap merupakan kebutuhan air optimum dalam perencanaan irigasi tanaman yang didekati dari : ETc = Kc Î ETo………………………….(10) dengan : Kc = koefisien tanaman yang tergantung umur dan fase perkembangan tanaman ETo = Evapotarnspirasi aktual (mm) 2.4 Estimasi Kelembaban Tanah 2.4.1 Perhitungan Kelembaban Tanah di Lapangan ( Metode Gravimetrik ) Kelembaban tanah dapat dinyatakan dalam jumlah air (% massa dan % volume) atau dalam energi potensialnya (water potential) dalam satuan bar, atm, atau Pa. Kelembaban tanah yang dinyatakan dalam % massa (gravimetrik) selalu berdasarkan massa kering massa tanah yang telah dikeringkan dalam oven (105oC) selama 24 jam. Kadar air tanah berdasarkan % massa (gravimetrik) : Ó¨m = {Mw/Ms}100%................................(11) Kadar air tanah berdasarkan % volume (volumetrik ) : Ó¨v = {Vw/Vt} 100% = {Vw/(Vw + Va + Vs)}100%...............................................(12) dengan : Ms = massa tanah kering (g) Mw = massa air (g) Vt = volume total (cm3) Vs = volume padatan tanah kering (cm3) Va = volume udara (cm3) Vw = volume air (cm3) Pengukuran kadar air tanah secara gravimetrik dan volumetrik dapat dilakukan dengan mengambil contoh tanah dari lapang kemudian dilakukan penimbangan dan pengeringan dengan oven. Pengukuran secara volumetrik, volume air dihitung berdasarkan massa air yang terukur dengan menganggap kerapatan air sebesar 1 g cm-3. Sedangankan, volume tanah total sama dengan volume ring sampler yang digunakan untuk mengambil contoh tanah tersebut. 5 Tabel 4 Spesifikasi beberapa satelit SAR (Sumber : Moran. M. S. et al., 2004 yang telah dimodifikasi) Spesifikasi Satelit SAR Besar sudut (°) Panjang gelombang (cm) SAR band Polarisasi Resolusi (m) Pengulangan (hari) RADARSAT ERS SAR 20-50 5.7 C 23 5.7 C ERS ENVISAT ASAR 15-45 5.7 C HH VV HH, VV, VH, HV 10-100 24 30 35 10-100 35 2.4.2 Estimasi Kelembaban Tanah dengan Sistem Satelit SAR Satelit yang memiliki resolusi tinggi yang dapat memberikan informasi tentang pengelolaan batas DAS (Daerah Aliran Sungai) saat ini hanya dapat ditemui pada satelit yang memiliki sensor gelombang mikro aktif. Bentuk pencitraan gelombang mikro aktif terdapat pada sistem satelit SAR (Synthetic Aperture Radar). Prinsip dasar dari pencitraan SAR adalah pemancaran energi gelombang elektromagnetik (EM yang selanjutnya disebut sebagai sinar radar atau energi radar) ke permukaan bumi, dan merekam energi balik dari bumi ke radar melalui pencatatan kuantitas energi balik dan waktu tunda dari energi balik yang sampai ke radar (relatif terhadap waktu transmisinya). Energi pantulan ini disebut hamburan balik (backscatter) radar. Menurut Ulaby et al. (1982) terdapat beberapa alasan untuk menggunakan gelombang mikro sebagai sumber energi untuk pencitraan data SAR. Alasan utama dan sangat penting adalah bahwa kemampuan gelombang mikro untuk menembus awan, hujan, dan gelombang mikro aktif dapat memberikan energinya sendiri dan tidak tergantung pada cahaya matahari. Pengaruh hujan terhadap atenuasi (pemadaman) sinyal terjadi jika panjang gelombang lebih kecil dari 2 cm. Saat ini, ada beberapa sistem satelit SAR dengan frequensi yang dapat digunakan untuk mendeteksi kadar air tanah, diantaranya seperti pada Tabel 4. Sistem SAR menyediakan resolusi dengan cakupan liputan 10-100 m sampai piksel yang memiliki lebar liputan 50-500 km yang merupakan syarat untuk aplikasi skala batas DAS. 2.4.2.1 Model-Model Empiris 2.4.2.1.1 Model Oh Pengembangan model empiris ini dilakukan oleh Y. Oh, K. Sarabandi, dan F. T. Ulaby di Universitas Michigan tahun 1992. ALOS PALSAR 10-51 23.6 L HH, VV, HH, HV, VV, VH 10-100 46 Pengukuran radar digunakan dalam pengembangan model ini yaitu dengan menggunakan operasi scatterometer (LCX POLARSCAT) pada tiga frekuensi (1.5, 4.5, 9.5 GHz) dalam mode full polarimetrik dengan sudut yang terbentuk antara 10o sampai 70o. Berdasarkan hasil pengukuran scatterometer dan pengukuran tanah tersebut, dihasilkan sebuah model empiris yang menyatakan fungsi untuk rasio hamburan balik antara HH dengan VV (co-polarised) dan hamburan balik silang (cross-polarised) antara HV dan VV sebagai berikut: p= q= 2 1 đ đđťđť = đ đđđ đ đđťđ 1− 2đ 3Γ o đ .đ −đđ ……(13) = 0.23 Γ đ 1 − đ −đđ ………...(14) đ đđđ p dan q menunjukkan rasio hamburan balik antara HH dengan VV (co-polarised) dan hamburan balik silang (cross polarized). θ adalah sudut yang terbentuk, ks adalah besar RMS yang dinormalisasi terhadap panjang gelombang, dan Γ o koefisien reflektifitas Fresnel pada nadir (jika θ = 0). Berdasarkan rasio hamburan balik co-polarised dan crosspolarised tersebut, maka nilai Γ đ dapat diduga dengan persamaan berikut : 1 2đ Γ đ đ 1− đ 0.23 Γ đ + đ − 1 …………(15) Pendugaan nilai Γ đ juga dapat menggunakan pendekatan teknik iterasi Newton, yaitu : đĽđ = đ đĽ đ −1 2 3 1−đâ đĽ đ −1 +đ 2âđĽ đ −1 âln đ â 1−đâđĽ đ −1 −đ đ 3 đĽ đ −1 2 3 …………..(16) dengan : đĽ= 1 Γ đ , đ= 2đ , đ đ= đ , 0.23 đ= đ−1 6 Selanjutnya, nilai Γ đ digunakan untuk menduga konstanta dielektrik ( đ′) dengan persamaan : đ′ = 1 + Γđ ………………………...…(17) 1− Γ o nilai Γ đ digunakan kembali untuk menduga nilai ks (kekasaran permukaan) berdasarkan persamaan : đ+1 đđ = đđ 1 2đ 3Γ đ đ ………………….….(18) 2.4.2.1.2 Model Dubois Inversi algoritma empiris model Dubois et al. (1995) lebih sederhana dibandingkan dengan inversi algoritma empiris model Oh et al. (1992). Nilai konstanta dielektrik maupun kekasaran permukaan dapat diketahui dari model yang menggunakan hamburan balik antara HH dan VV (co-polarised) dan sudut yang terbentuk. Nilai konstanta dielektrik dapat diduga dengan persamaan : đ′ = đđđ10 (đ đ đťđť )0.7857 đ đđđ 10−0.19 đđđ 1.82 đđ đđ0.93 đđ0.15 −0.042 tan đ ……………………………………………………...(19) dengan : ε’ = konstanta dielektrik σo = koefisien hamburan balik (db) θ = sudut yang terbentuk (o) λ = panjang gelombang (23.6 cm) Selanjutnya, nilai konstanta dielektrik dapat pula digunakan untuk menduga nilai kekasaran permukaan : đ 1 2.75 đđ = đđťđť1.4 10 1.4 ks ε’ σo θ λ đ đđ 2.57 đ đđđ 1.07 đ 10−0.02 đ ′ tan đ đ−0.5 …(20) = kekasaran permukaan = konstanta dielektrik = koefisien hamburan balik (db) = sudut yang terbentuk (o) = panjang gelombang (23.6 cm) Algoritma ini cukup baik digunakan untuk area yang bervegetasi jarang pada frekuensi rendah. Rasio σ°VH / σ°VV baik untuk digunakan dalam mengindikasikan area bervegetasi dengan nilai rasio σ°VH / σ°VV < 11 db. Inversi algoritma tersebut tidak memperhitungkan penutupan kanopi pada suatu area. Sangat penting untuk ditekankan bahwa pada model Dubois et, al. (1995) kondisi penutupan oleh kanopi yang memiliki permukaan yang kasar (ks> 3) dapat menyebabkan kekeliruan dalam menginterpretasikan kelembaban permukaan. Nilai konstanta dielektrik (ε’) yang telah diestimasi dapat dimasukan ke dalam persamaan polinomial Top et al. (1980) untuk mengkonversi nilai dielektrik konstanta ke dalam nilai kadar air tanah (mv) : mv = -5.3 10-2 + 2.29 10-2ε’ – 5.5 10-4ε’2 + 4.3 10-6ε’3…………………….………...(21) dengan : mv = kadar air tanah (%) ε’ = konstanta dielektrik 2.5 Sifat Konstanta Dielektrik Kompleks Fenomena dielektrika yang diteliti pertama kali oleh M. Faraday adalah fenomena yang terjadi akibat material non-konduktor terpengaruhi oleh medan elektrik. Parameter utama yang menggambarkan perilaku material non-konduktor dalam sebuah medan elektrik disebut konstanta dielektrik kompleks. Konstanta dielektrik ini bergantung pada banyak faktor parameter seperti frequensi, suhu, salinitas, dan kandungan ferromagnetik. Pada teori gelombang elektromagnetik, komponen nyata dari konstanta dielektrik kompleks digambarkan sebagai gelombang yang di refraktif atau reflektif antara dua media yang berbeda (Hukum Snellius). Indeks refraktif merupakan sebuah fungsi dari sudut yang terbentuk dan kecepatan dari gelombang yang ditransmisikan. Indeks refraktif ini memiliki hubungan dengan sudut refraktif dan kecepatan dari perambatan pada lapisan perbatas gelombang. Indeks refraktif didefinisikan sebagai akar kuadrat dari konstanta dielektrik kompleks berdasarkan ketebalan media jika dalam ruang hampa atau udara. Konstanta dielektrik kompleks diukur dari respon medium terhadap gelombang elektromagnetik. Respon ini terdiri dari 2 bagian yaitu real dan imaginer (Stratton 1941, Von Hippel 1954), dimana persamaan konstanta dielektrik kompleks : ε = ε’ – jε’’…………………………….…(22) ε’ adalah permitifitas dari material dan ε’’ adalah faktor kehilangan dielektrik dari material dan menggambarkan feasibilitas dari sebuah medium terhadap adsorbsi gelombang dan terhadap perpindahan energi ke dalam bentuk lain. Umumnya untuk permukaan natural ε’’ << ε’. Konstanta dielektrik media natural umumnya antara 1 sampai 6, dan meningkat dengan meningkatnya kadar air. Air bebas 7 mempunyai nilai dielektrik diatas media natural sampai 81 dan menunjukkan frequensi yang rendah (Ulaby, 1986). Hal ini menunjukkan tingkat sensitifitas gelombang mikro terhadap kandungan air pada benda yang diamati. Sensitifitas ini juga dipengaruhi oleh perputaran molekul-molekul, pembekuan, dan kerapatan partikel tanah yang dapat mengurangi konstanta dielektrik kompleks (ε) terhadap air. Perilaku konstanta dielektrik kompleks (ε) dalam media homogen seperti pada air murni dan es penting diketahui. Frekuensi konstanta dielektrik pada air murni berdasarkan persamaan Debye (1929) dalam Von Hippel (1954) : εw= εw + đ đ¤ 0 −εw ∞ 1+đ 2đđ đ 𤠅…………………...……(23) εw0 adalah konstanta dielektrik statis dari air murni dan εw∞ adalah tinggi limit frekuensi (atau optikal) dari εw. τw adalah waktu jeda dari kadar air murni dalam menit dan f adalah frekuensi elektromagnetik dalam Hz. Pada keadaan tanah kering, nilai konstanta dielektrik yang nyata memiliki variasi pada kisaran nilai 2-4, sedangkan nilai konstanta dielektrik imaginer dibawah 0.05 (Ulaby, 1986). Nilai konstanta dielektrik kompleks meningkat dengan semakin tingginya pergerakan molekul-molekul air karena gaya matriks yang bekerja pada molekul-molekul air. 2.6 Hubungan Konstanta Dielektrik dengan Kelembaban Tanah Banyak model-model empiris maupun teoritis yang menjelaskan hubungan konstanta dielektrik dengan kelembaban tanah. hubungan tersebut telah banyak dituangkan dalam persamaan-persamaan polinomial yang bergantung pada volumetrik kandungan air tanah dan persentase pasir dan liat yang terisi di dalam tanah. Persamaan-persamaan tersebut beracuan pada jenis klasifikasi tanah berdasarkan USGS (United State Classification System). Tetapi, persamaanpersamaan polinomial tersebut tidak dapat secara langsung diterapkan pada tipe-tipe tanah Asia karena memiliki sistem klasifikasi tanah yang berbeda dengan US. Untuk menghilangkan ketergantungan pada parameter-parameter yang sesuai, Dobson et al. (1985) mengembangkan sebuah model fisik tanah yang bergantung hanya pada pengukuran karakteristik tanah dan tidak memerlukan parameter-parameter yang sesuai untuk mendapatkan data pengukuran eksperimen yang baik. Model tersebut berdasarkan pada dua parameter yaitu fraksi air terkekang dan fraksi air bebas menurut ukuran distribusi pori-pori dari ukuran distribusi partikel. Menurut Top et al. (1980), De Loor (1982), Shivola (1989), dan Stacheder (1996) pada permitivitas campuran dielektrik menunjukkan bahwa untuk frequensi 1 sampai 10 GHz pada indeks refraktif volumetrik bahan kering dan air bebas merupakan pendekatan yang cukup baik untuk kebanyakan tipe-tipe tanah. Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut, dibangun hubungan polinomial oleh Top et al. (1980) yang digunakan untuk mengkonversi volumetric soil water (mv) ke bagian nyata dari konstanta dielektrik ε’. Pengukuran dan penilaian bagian imaginer ε’’ dari konstanta dielektrik kompleks tidak dipertimbangkan dalam studi ini karena hal itu memberikan pengaruh yang hampir tak berarti pada jumlah total ε. 2.7 Satelit ALOS ALOS (Advanced Land Observation Satellite) adalah satelit penginderaan jauh (inderaja) Jepang yang diutamakan untuk pengamatan daratan dengan menggunakan teknologi terdepan. Satelit ALOS diprogramkan untuk meneruskan dan meningkatkan fungsi satelit JERS-1 (Japanese Earth Resources Satellite-1) dan setelit ADEOS (Advanced Earth Observing satellite). Satelit ALOS adalah satelit pengamatan bumi terbesar yang pernah dibangun di Jepang. Panjangnya satelit ALOS lebih-kurang 9 meter, lebarnya 28 m, dan massanya 4000 kg. Satelit inderaja ALOS telah berhasil diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 dengan pesawat peluncur roket H-IIA, dari lokasi peluncuran Tanegashima Space Center di Jepang bagian selatan (NASDA, 2006). Gambar 1 Satelit ALOS (Sumber :http://www.eorc.jaxa.jp/) 8 Satelit ALOS mempunyai 5 misi utama, yaitu : a. b. c. d. e. Untuk memperlengkapi peta-peta Jepang dan Negara-negara lain yang termasuk wilayah AsiaPasifik ( Kartografi ). Untuk melakukan pengamatan regional dalam rangka pengembangan berkesinambungan (pengamatan regional ). Untuk melakukan pemantauan bencana alam seluruh dunia (pemantauan bencana alam ). Untuk mmelakukan penelitian sumbar daya alam ( penelitian sumber daya alam ), dan Untuk mengembangkan teknologi satelit pengamatan bumi masa depan ( pengembangan teknologi ) (NASDA, 2004 ; JAXA, 2004 ). Satelit ALOS bergerak pada orbit sinkron matahari pada ketinggian 691,65 km pada equator, inklinasi 98, 16 derajat. Periode (siklus) pengulangaan orbit adalah 46 hari, dengan suatu potensi kemampuan pengulangan 2 hari untuk sensor pandangan sisi (side-looking). Satelit dirancang untuk dapat tetap beroperasi pada orbitnya di dalam kurun waktu 3-5 tahun. Satelit tersebut melintas ekuator pada pukul 10.30 waktu lokal pada posisi satelit arah kutub selatan atau mode menurun (descending mode) dan pukul 22.30 pada posisi satelit arah kutub utara atau mode menaik (ascending mode). Satelit ALOS dilengkapi tiga sensor inderaja dengan kemampuan pandangan sisi. Tiga sensor inderaja tersebut terdiri dari dua sensor optik yaitu sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) dan sensor AVNIR-2 (advanced Visible and Nera Infrared Radiometer type-2), dan sebuah sensor gelombang mikro (radar) yaitu PALSAR (Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar ) (NASDA, 2004b). Sensorsensor pengamatan pada satelit ALOS dilengkapi dengan subsistem pendukung misi, yaitu : a. b. c. subsistem pengontrol orbit dan kedudukan satelit. Subsistem penentu kedududkan satelit dan posisi secara otomatis. Subsistem penanganan data misi. 2.8 Sensor AVNIR-2 dan Karakteristik Datanya AVNIR-2 adalah suatu sensor yang dirancang untuk meneruskan dan meningkatkan sensor VNIR/OPS pada satelit JERS-1 dan AVNIR pada satelit ADEOS. Satelit JERS-1 adalah satelit Jepang untuk pengamatan daratan, banyak data yang tersedia di EOC Jepang untuk pengguna. AVNIR/ADEOS adalah sensor optik dengan 4 kanal spectral, mempunyai resolusi spasial 16 m untuk pengamatan daratan dan zona-zona garis pantai. Sensor AVNIR-2 merupakan peningkatan dari sensor AVNIR/ADEOS. Bagian utama yang dimodifikasi adalah detektor dan elektroniknya. Sensor AVNIR-2 melakukan scanning dengan metode push broom dengan 1 buah CCD untuk masing-masing kanal spectral. Kemampuan elektroniknya dan dan detektor CCD pada AVNIR/ADEOS (mempunyai 5000 piksel setiap CCD), ditingkatkan menjadi 7000 piksel setiap CCD pada AVNIR-2/ALOS. Berdasarkan modifikasi ini, maka akan dihasilkan peningkatan resolusi spasial dari 16 m pada AVNIR/ADEOS menjadi 10 m dengan lebar liputan satuan citra sebesar 70 km pada AVNIR-2/ALOS. Gambar 2 Sensor AVNIR-2 (Sumber : http: // www.eorc.jaxa.jp/) Modifikasi yang lain adalah pada kemampuan pointing AVNIR-2 yaitu dengan suatu kemampuan pandangan menyilang jejak satelit pada +44o sampai -44o (+/- 44o) dari nadir. Kemampuan pandangan sisi dan kemampuan pointing dari sensor AVNIR-2 ini merealisasikan pengamatan yang dilakukan berulang kali yaitu setiap 48 jam (2 hari) pada daerah dengan garis lintang bumi yang lebih tinggi. Berdasarkan kemampuan pointing AVNIR-2 juga dapat pula diperoleh daerah pengamatan yang lebih lebar sampai dengan 1500 km (lebar pointing maksimum dari AVNIR-2). Kemampuan ini efektif untuk pengamatan global (Osawa, 2005). 9 Tabel 5. Karakteristik teknis sensor dan data citra AVNIR-2 (sumber : Sitanggang, 2008) PARAMETER Jumlah kanal spectral Metode scanning Panjang gelombang FOV IFOV Lebar liputan satuan citra Resolusi spasial S/N MTF@ Frekuensi Nyquist Jumlah detector Sudut pengarahan titik (pointing angle) Kuantisasi Berdasarkan kemampuan tersebut, tujuan utama dari AVNIR-2 untuk pemantauan bencana alam dan pemetaan penutupan lahan di dalam pemantauan lingkungan regional dapat direalisasikan dan pengamatan daerahdaerah bencana alam dalam waktu pengulangan 2 hari dapat dilakukan. Kemampuan pandangan sisi dari sensorsensor ALOS juga memungkinkan observasi AVNIR-2 secara serentak dengan PALSAR, hal ini merupakan suatu sifat unik yang diharapkan dapat memberikan kontribusi aplikasi fusi data optik (AVNIR-2) dan gelombang mikro (PALSAR ). 2.9 Sensor PALSAR dan Karakteristik Datanya PALSAR adalah suatu sensor gelombang mikro aktif pada L-band (frekuensi-pusat 1270 MHz/23,6 cm) untuk pengamatan siang dan malam hari, bebas awan dan cuaca. Sensor PALSAR merupakan peningkatan dari SAR/JERS-1 (polarisasi HH, sudut off nadir 35o, beroperasi pada L-band), dikembangkan oleh JAXA bekerja sama dengan JAROS (Japan Resources Observation Systems Oganization). Antenna PALSAR terdiri dari 4 segmen dengan ukuran total 8.9 m bila disebarkan. Sensor PALSAR mempunyai suatu kemampuan off-nadir yang variable antara 10o sampai 51o (sudut datang 8o-60o) dengan menggunakan teknik phased array aktif dengan 80 modul untuk mentransmisikan / penerimaan. PALSAR adalah suatu instrument yang secara penuh merupakan KARAKTERISTIK TEKNIS 4 Push broom dengan 1 CCD untuk masingmasing kanal Kanal 1 : 0.42-0.50 µm Kanal 2 : 0.52-0.60 µm Kanal 3 : 0.61-0.69 µm Kanal 4 : 0.76-0.0.89 µm 5.8o 14.28 µ rad 70 km (pada nadir) 10 m (pada nadir) >200 Kanal 1 s.d. 3 : >0.25 Kanal 4 : >0.20 7000/kanal spectral (+/-44o) dari nadir 8 bit polarimetrik, bekerja dengan salah satu dari mode, yaitu : a. Polarisasi tunggal (HH atau VV) b. Polarisasi rangkap 2 (HH+HV VV+VH) c. Polarimetrik penuh atau Polarisasi diubah dalam setiap pulsa dari sinyal transmisi dan sinyal polarisasi ganda diterima secara simultan. Operasi dibatasi dalam sudut dating yang lebih rendah untuk mencapai hasil guna yang lebih baik. Pada (terjadi pada kondisi kecepatan data 240 Mbps. mode polarisasi, lebar liputan satuan citra adalah 30 km dengan resolusi spasial 30 m Gambar 3 Sensor PALSAR (Sumber :http://www.csrsr.ncu.edu.tw) 10 Tabel 6 Karakteristik teknis sensor dan data citra PALSAR (Sumber : Sitanggang, 2008) Mode operasi Chirp Bandwidth Polarisasi Sudut datang Resolusi spasial Range Lebar liputan satuan citra Panjang bit Kecepatan data Akurasi radiometrik Titik tengah kisaran spektrum Fine beam single pol(fbs) 28 MHz HH, VV 8o-60 o 7-44 m Fine beam dual pol(fbd) 14 MHz HH+HV, VV+VH 8 o-60 o 14-88 m 40-70 km 40-70 km 5 bit 5 bit 240 Mbps 240 Mbps Citra (scene) : 1 dB/ orbit : 1.5 dB L-band (1270 MHz) Scansar Polarimetrik 14 MHz, 28 MHz HH, VV 18 o-43 o 100 m (multi look) 14 MHz HH+VV+HV+VH 8 o-30 o 24-89 m 250-350 km 5 bit 120 Mbps, 240 Mbps 20-65 km 3/5 bit 240 Mbps Tabel 7 Mode Observasi Default PALSAR (Sumber : Sitanggang, 2008) Polarisasi HH VV HH + VV HH + HV HH + HV + VH + VV ScanSAR 5PALSAR secara teknik dapat dioperasikan dalam 132 mode yang berbeda. Akan tetapi, dari titik pandang aplikasi, sejumlah besar dari kombinasi mode potensial menjadi agak kontra-produktif. tujuh mode operasi telah diidentifikasi sebagai default modes yang ditujukan pada Tabel 9 Untuk meminimalkan konflik-konflik dari mode yang demikian, Pemilihan default mode dibuat sebagai suatu kompromi kriteria ilmiah, aspek-aspek programatik, dan pembatasan-pembatasan operasional satelit menjadi pertimbangan. Kecepatan perekaman data 240 Mbps dalam mode tunggal, mode rangkap dua (dual), dan mode polarimetrik penuh. Oleh karenanya diperlukan aliran data dari satelit ke stasiun bumi (down-linking) melalui DRTS. Akan tetapi, mode scanSAR beroperasi pada 120 Mbps, yang memungkinkan aliran data secara langsung dari satelit ke berbagai stasiun bumi local (di dalam jaringan stasiun bumi ALOS). Data PALSAR dapat digunakan untuk bermacam aplikasi seperti pembuatan citra DEM, interferometri dari pergerakan lahan, biomassa hutan, pemantauan kebakaran hutan, pertanian, pemantauan polusi minyak, pemantauan banjir, kelembaban tanah, dan pemantauan kapal ( NASDA, 2005 ). Sudut Off-Nadir (Lebar Liputan Satuan Citra, Resolusi) 34.3o (70 km, 10 m) 43.4o (70 km, 10 m) 34.3o (70 km, 20 m) 43.4o (70 km, 20 m) 21.5o (30 km, 30 m) Beam mode (350 km, 100 m) III. METODOLOGI 3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2009 hingga September 2009 dilaksanakan di Laboratorium meteorologi dan kualitas udara serta di Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) Pekayon Jakarta Timur. 3.2 Bahan dan Alat Data yang digunakan adalah data citra PALSAR ALOS level 1.1 pada tanggal 11 April 2007 pukul 15: 34: 59 WIB dan data citra AVNIR-2 tanggal 5 Oktober 2007 diperoleh dari Pusbangja (Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh) LAPAN, Pekayon, Jakarta. Alat yang digunakan adalah perangkat lunak (software) Polsar pro versi 4.0, Envi versi 4.3, Er Mapper versi 7.0, Adobe Photoshop CS3 dan Microsoft office 2007. 3.3 3.3.1 Metode Penelitian Pengolahan Awal Data Citra PALSAR ALOS Data citra PALSAR ALOS yang digunakan merupakan citra wilayah Kabupaten Bekasi dan sekitarnya yang diambil pada tanggal 11 april 2007. Data citra 11