Jangan Korbankan Hak Pekerja Hendri T Asworo

advertisement
Jangan Korbankan Hak Pekerja
Sebut saja Ardiansyah. Dia adalah ketua serikat pekerja salah satu perusahaan swasta di bilangan
Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dalam beberapa pekan terakhir dia pusing tujuh keliling melakukan
negosiasi asuransi karyawan. Apa pasal?
Menjelang implementasi program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bagi
pekerja korporasi pada 1 Januari 2015, karyawan harus memilih, melanjutkan asuransi swasta atau
ikut program BPJS Kesehatan saja. Perusahaan tempat Ardiansyah bekerja memiliki keterbatasan
finansial apabila harus membayar dua iuran, yakni asuransi swasta dan BPJS Kesehatan.
Sebenarnya kantor Ardiansyah ingin mendaftarkan skema koordinasi manfaat (Coordination of
Benefit /CoB). Namun, perusahaan asuransi masih belum siap memakai skema tersebut, meskipun
sudah ada 30 perusahaan yang teken kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Akhirnya, Ardiansyah bersama jajaran pengurus serikat pekerja meminta agar kantornya
melanjutkan asuransi swasta. Adapun, iuran BPJS ditanggung karyawan dengan cara potong gaji.
“Mau bagaimana lagi dari pada kami harus antre menggunakan BPJS,” ujarnya.
Berdasarkan ketentuan Perpres No. 111/2013 mengenai perubahan Perpres No. 12/2013 tentang
Jaminan Kesehatan iuran BPJS Kesehatan ditanggung korporasi sebesar 4% dan 0,5% ditanggung
pekerja.
Potret kegalauan tersebut tidak hanya dialami Ardiansyah. Sejumlah pekerja di Indonesia mengalami
hal serupa. Hal tersebut disampaikan oleh sejumlah serikat pekerja, seperti Organisasi Pekerja
Seluruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, dan Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia, beberapa waktu lalu.
Mereka satu suara dengan pengusaha—Asosiasi Pengusaha Indonesia dan Kadin Indonesia—yang
meminta penundaan pendaftaran pekerja ke dalam program BPJS Kesehatan. Kalangan
perasuransian, melalui Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia dan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia, pun
meminta hal serupa.
Dari kalangan pekerja menilai benefit kesehatan yang mereka dapatkan akan menurun dibandingkan
dengan fasilitas asuransi swasta yang diperoleh selama ini. Belum lagi, mereka harus mengantre ke
fasilitas kesehatan tingkat pertama karena tidak semua klinik menjadi rujukan BPJS Kesehatan. Klinik
di pabrik yang biasa digunakan pekerja pun tidak bisa digunakan tanpa rekomendasi BPJS Kesehatan.
Adapun, dari kalangan pengusaha khawatir apabila program BPJS Kesehatan dipaksakan akan terjadi
gesekan hubungan industrial, karena benefit kesehatan yang didapatkan terancam turun dari yang
diperoleh selama ini.
Satu sisi, pengusaha pun akan mendapatkan beban tambahan biaya kesehatan yang ditaksir naik
60%. Kalangan pengusaha sebenarnya berharap dengan skema CoB yang ditawarkan oleh BPJS
Kesehatan dengan perusahaan asuransi swasta.
Melalui skema CoB beban premi kesehatan tidak naik signifikan, bahkan dinilai bisa turun. Pasalnya,
ada tanggung renteng dalam pembayaran klaim. Namun, perusahaan asuransi yang semula setuju
dengan skema CoB, tiba-tiba menolak dengan skema tersebut. Pasalnya, menjelang ketentuan
tersebut diterapkan BPJS Kesehatan merevisi skema CoB.
Dengan skema baru perusahaan asuransi dinilai akan dirugikan, misalnya, seperti pembayaran iuran
harus langsung melalui BPJS Kesehatan, skema pembayaran klaim, hingga tidak ada layanan CoB
untuk individu.
BPJS Kesehatan pun bergeming. Mereka menilai skema CoB adalah produk tambahan. Artinya,
bukan prioritas utama, sehingga layanan kesehatan tetap melalui skema BPJS.
Padahal, kalangan pengusaha dan pekerja sangat berharap dengan skema tersebut, karena menjadi
jalan tengah agar tidak menurunkan benefit kesehatan pekerja.
Belakangan diketahui bahwa, apabila BPJS Kesehatan tidak menjaring kepesertaan pekerja
korporasi, klaim yang melonjak saat ini tidak bisa ditutup dari iuran yang ada.
Menurut informasi Dewan Jaminan Sosial Nasional, klaim mencapai 101% pada posisi Desember
2014, meskipun BPJS Kesehatan belum mengkonfirmasi angka itu.
Besarnya kue iuran dari pekerja korporasi dianggap akan menutupi defisit klaim BPJS Kesehatan.
Namun, sangat ironis apabila pekerja dari korporasi hanya menjadi objek menangguk premi besar
tanpa melihat kualitas layanan yang akan diberikan. (Bisnis.com-22/12/2014)
Download