Pengaruh Pemberian Fosfat Alam Dan Pupuk N

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Bentuk P di Dalam Tanah
Di dalam tanah fosfor di jumpai dalam bentuk organik dan anorganik.
Perbandingan jumlah antara P-organik dan P-anorganik sangat bervariasi. Pada
tanah permukaan variasi itu berkisar antara 3 persen P-organik dan 97 persen Panorganik sampai 75 persen P-organik dan 25 persen P-anorganik (Black 1968).
Dalam bentuk anorganik, satu hingga tiga atom hidrogen dari asam fosfat
digantikan oleh kation logam. Sebagai bentuk organik, satu mungkin lebih atom
hidrogen dari asam fosfat hilang karena ikatan ester. Sisa dari atom hidrogen,
seluruhnya atau sebagian digantikan kation logam. Kedua bentuk fosfor ini
merupakan sumber P yang penting untuk tanaman (Hakim et al. 1986).
Fosfor organik tanah dijumpai dalam bentuk asam nukleat, inositol fosfat,
dan fosfolipid (Havlin et al. 1999). Sedangkan fosfat anorganik menurut Chang
dan Jackson (1957) dibedakan menjadi empat kelompok utama yaitu kalsium
fosfat (Ca-P), aluminium fosfat (Al-P), besi fosfat (Fe-P), dan reductant soluble P
(RS-P) atau P larut dalam keadaan tereduksi.
Ditinjau dari segi kebutuhan tanaman, P-anorganik berperan lebih besar
dibandingkan dengan P-organik, karena P yang diambil akar tanaman paling
banyak dalam bentuk P ini (Black 1968).
Sumber utama P-anorganik tanah ialah mineral apatit. Mineral ini
mengandung 95 % P dan dapat ditemukan pada batuan beku, batuan metamorf
dan terutama pada batu kapur. Mineral ini akan semakin berkurang dengan
semakin lanjut tingkat pelapukan tanah (Black 1968; Blair 1979).
Penyebaran fosfat anorganik tanah dapat digunakan untuk mengukur tingkat
pelapukan kimia. Urutan penyebarannya sesuai dengan tingkat hancuran iklim
dari tanah yang berumur muda hingga lanjut adalah Ca-P > Al-P > Fe-P > Pterselubung (Djokosudardjo 1974). Pada tanah-tanah yang telah mengalami
hancuran iklim agak lanjut, sebagian besar P berada dalam bentuk Al-P, kemudian
Fe-P, sedangkan Ca-P relatif sedikit. Pratt dan Garber (1964) berpendapat bahwa
bentuk Al-P merupakan bentuk P yang paling penting disamping bentuk P larut
dalam air bagi tanaman pada tanah masam. Lebih lanjut Kudeyarova (1981)
menjelaskan bahwa bentuk Al-P yang mempunyai ketersediaan P yang cukup
tinggi tersebut merupakan bentuk Al-P yang baru diendapkan dan mempunyai
derajat kristalisasi yang masih rendah.
Ketersediaan Fosfor Tanah dan Jerapan P
Fosfor tanah pada umumnya berada dalam bentuk yang tidak tersedia bagi
tanaman. Tanaman akan menyerap fosfor dalam bentuk orthofosfat (H2PO4-,
HPO42-, dan PO43-). Jumlah masing-masing bentuk tergantung pada pH tanah,
tetapi umumnya bentuk H2PO4- terbanyak dijumpai pada pH tanah berkisar 5.0 –
7.2 (Hakim et al. 1986). Ketersediaan fosfat anorganik tanah sangat ditentukan
oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1) pH tanah, 2) ion Fe, Al, dan Mn larut, 3)
adanya mineral yang mengandung Fe, Al, dan Mn, 4) tersedianya Ca, 5) jumlah
dan tingkat dekomposisi bahan organik dan 6) kegiatan jasad renik.
Pada tanah masam, fosfat yang berasal dari pupuk P akan diretensi atau
difiksasi oleh Al, Fe dan liat silikat (Tisdale et al. 1985; Tan 1998). Menurut Tan
(1998) pada tanah masam terdapat dengan jumlah yang nyata ion-ion Al, Fe, dan
Mn, baik larut maupun dapat dipertukarkan, sehingga fosfat dijerap oleh
kompleks jerapan, dimana ion-ion itu bertindak sebagai jembatan. Fosfat yang
diretensi dengan cara ini dapat digunakan tanaman. Retensi fosfat dapat pula
terjadi karena fosfat bereaksi dengan ion-ion larut tersebut, yang persamaan
reaksinya oleh Tan (1998) dinyatakan sebagai berikut :
Al3+ + 3 H2PO4-
Al (H2PO4)3
Fosfat yang terbentuk sukar larut dalam air, dan dengan waktu menjadi kurang
tersedia bagi tanaman. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa fiksasi fosfat pada
tanah masam dilakukan oleh hidro-oksida Al dan Fe serta liat silikat. Fiksasi
fosfat oleh hidro-oksida Al itu, secara sederhana digambarkan sebagai berikut:
OH
Al
OH
OH
OH
+ H2PO4
-
Al
H2PO4
OH
Hasil reaksi hidro-oksida Al dan Fe dengan fosfat pada akhirnya akan membentuk
varisit (AlPO4.2H2O) dan strengit (FePO4.2H2O). Sedangkan fiksasi fosfat oleh
liat sillikat terutama terjadi pada liat silikat yang mempunyai banyak gugus OH
yang tersembul keluar seperti kaolinit. Ion fosfat akan menggantikan kedudukan
OH yang tersembul itu, sehingga dapat bereaksi dengan Al oktahedral liat yang
bersangkutan. Fosfat yang difiksasi dengan cara ini lebih tinggi pada liat tipe 1 : 1
dibanding dengan liat tipe 2 : 1, karena liat yang disebut pertama disamping
memiliki banyak gugus OH yang tersembul, juga mempunyai nisbah SiO2 : R2O3
(seskuioksida) dan kapasitas tukar kation yang lebih rendah dari liat yang disebut
terakhir (Tan 1998).
Djokosudardjo (1974) mengemukakan bahwa pemberian pupuk fosfat ke
dalam tanah menyebabkan terjadinya perubahan kimia sehingga terbentuk
senyawa-senyawa Al-P, Fe-P, Ca-P dan P-organik. Senyawa-senyawa ini berada
dalam keseimbangan dengan fosfat dalam larutan tanah membentuk suatu sistem
keseimbangan yang kompleks. Fosfat dalam larutan tanah akan diserap tanaman,
lalu terbentuk keseimbangan baru lagi. Tanaman lebih mudah mengambil P dari
bentuk Al-P. Bila bentuk Al-P tinggal sedikit maka ia akan menggunakan P dari
bentuk Fe-P. Pada tanah masam jumlah P dalam bentuk Fe-P jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan bentuk Al-P.
Jerapan P meningkat sejalan dengan semakin tingginya kadar liat tanah. Fox
dan Kamprath (1970 dalam Sanchez dan Uehara 1980) melaporkan bahwa jerapan
P sebesar 390 ppm terjadi pada Oxisol Columbia dengan kadar liat 38 %. Oxisol
Brasil dengan kandungan liat 45 % dapat menjerap P sebesar 750 ppm, sedangkan
Oxisol Hawai dengan kadar liat 70 % dapat menjerap P sebesar 900 ppm.
Disamping kadar liat yang tinggi Oxisol dari Hawai juga didominasi oleh mineral
kaolinit.
Tanah-tanah yang memiliki mineral liat bebas Al dan Fe, jerapan P
menunjukkan pola yang sama dengan jerapan pada Al- dan Fe-oksida. Pada tahap
awal jerapan P yang terjadi mula-mula berjalan sangat cepat dan pada tahap
berikutnya jerapan ini berjalan sangat lambat. Pada kenaikan pH dari 4.5 menjadi
7.0 jerapan pada gibsit menurun secara linier, sedangkan pada goetit sifat-sifat ini
terjadi pada pH antara 4.0 – 10.0. Gejala ini sebagai akibat adanya kompetisi ion
OH pada tapak-tapak jerapan serta meningkatnya muatan negatif diatas pH 6.0.
Pada gibsit nilai ini akan meningkat apabila di dalam tanah terdapat garam-garam
Ca dan dengan adanya ion Al, Ca, dan O akan terbentuk krandalit
[CaAl3(PO4)2(OH)5.H2O] atau senyawa deltait [Ca2Al2(PO4)2(OH)4.H2O] (Sample
et al. 1986).
Sumber, Sifat Kimia dan Kelarutan Fosfat Alam
Fosfat alam merupakan produk yang berasal dari deposit alam yang
kemudian digiling/dihaluskan dengan ukuran tertentu. Penggunaan fosfat alam
sebagai sumber pupuk P yang digunakan secara langsung perlu memperhatikan
beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi efektifitasnya, diantaranya
yaitu: sifat mineralogi dan kimia fosfat alam, kelarutannya dalam tanah,
kandungan P, tanggap tanaman, dan efisiensi penggunaannya.
Tiga sumber primer fosfat alam adalah marine fosforit, apatit dari batuan
beku dan endapan guano. Endapan sekunder juga ditemukan dan merupakan
turunan dari ketiga bahan tersebut (Cathcart 1987). Diantara ketiga deposit
tersebut deposit sedimen marine yang paling banyak ditemukan (Khasawneh dan
Doll 1978; Cathcart 1987).
Deposit fosfat alam dari batuan beku dijumpai di alam sebagai terobosan
magma dari batuan alkalin. Fosfat alam sedimen umumnya tersusun dari karbonat
fluorapatit yang mempunyai kristal berukuran mikro dan dikenal sebagai frankolit
(Khasawneh dan Doll 1978). Endapan fosforit ini umumnya ditemukan pada
formasi-formasi tua. Fosfat alam tersebut dideposisikan di perairan dangkal di
lempeng benua atau perairan yang lebih dalam di perbatasan lempeng benua dan
samudra. Endapan guano merupakan endapan yang lebih sedikit dijumpai diantara
ketiganya. Fosfat guano terbentuk melalui perembesan fosfat dari guano (kotoran
burung laut atau kelelawar) ke batuan kapur atau batuan beku dibawahnya. Pada
umumnya deposit ini kecil dan tersebar tidak merata (Catchart 1987).
Cadangan deposit fosfat alam di Indonesia sekitar 7 - 8 juta ton. Di Jawa dan
Madura, sebagian besar fosfat alam terdapat di daerah pegunungan karang, batu
gamping atau dolomitik. Eksplorasi tahun 1990 oleh Direktorat Geologi dan
Mineral, Departemen Pertambangan menemukan cadangan baru fosfat alam dari
endapan laut di Kalipucang Ciamis, Jawa Barat dengan kadar 20 – 38 % P2O5.
Besarnya cadangan fosfat alam tersebut adalah sebesar 2 juta ton. Stratifikasi
fosfat alam pada lokasi tersebut adalah batu gamping masif, batu gamping
bioklastik, berpasir, dan terakhir adalah batu gamping berkarbon dengan kadar
P2O5 secara berurutan adalah 0.39 – 3.22, 27.8 – 39.1, 3.0 – 18.3, dan 0.1 – 11.6
% (Moersidi 1999).
Berdasarkan komposisi umum mineral penyusun yang ditemukan dalam
tambang, fosfat alam dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok yaitu: besialuminium fosfat; kalsium-aluminium-besi-fosfat dan kalsium fosfat (McClellan
1978; Khasawneh dan Doll 1978).
Kelompok kalsium fosfat merupakan kelompok fosfat alam komersial
terpenting. Kelompok ini mempunyai ciri umum bersusun ion-ion menyerupai
mineral-mineral yang dikategorikan sebagai apatit. Diluar kemiripan struktur,
mineral-mineral dalam kelompok tersebut berbeda dan fluorapatit diasumsikan
sebagai komposisi umum fosfat alam (McClellan 1978; Khasawneh dan Doll
1978).
Penilaian kualitas fosfat alam sebagai pupuk dapat dilakukan secara kimia
yang ditetapkan dengan pengekstrak asam lemah, seperti asam sitrat 2% atau
asam format 2% atau dapat juga ditetapkan dengan asam kuat seperti HCl untuk
mengetahui kadar total P2O5.
Hughes dan Gilkes (1984) mengembangkan metode untuk memperkirakan
kelarutan fosfat alam dari peningkatan Ca dapat ditukar (ΔCa) dari tanah yang
dipupuk dengan fosfat alam dikurangi dengan tanpa fosfat alam. Pada metode ini
diasumsikan bahwa Ca yang dilepas oleh fosfat alam terakumulasi dalam tanah
sebagai Ca yang dapat dipertukarkan yang diekstrak dengan pengekstrak tertentu.
Hughes dan Gilkes (1984) menyarankan menggunakan pengekstrak BaCl2 yang
disangga pada pH 8.2. Penggunaan pengekstrak yang tidak disangga pada pH
alkalin dapat melarutkan Al dapat dipertukarkan atau H dapat dipertukarkan ke
dalam tanah pada saat dilakukan ekstraksi. Metoda ΔCa adalah metoda yang
sederhana dan tidak disarankan digunakan pada percobaan rumah kaca, lapang
atau inkubasi yang terbuka yang dimungkinkannya Ca dapat dipertukarkan dapat
hilang diserap tanaman ataupun tercuci (Rajan et al. 1996).
Kelarutan fosfat alam dapat juga ditentukan dengan pengekstrak 0.5 M
NaHCO3 (Olsen dan Watanabe 1957). Kelarutan fosfat alam ditetapkan berdasar
selisih kadar P dari tanah yang diperlakukan dengan fosfat alam dan tanpa fosfat
alam (ΔBicp-P). Metode ini kemudian dimodifikasi dan dikembangkan Hughes
dan Gilkes (1994) untuk menilai kelarutan fosfat alam pada tanah di Barat Daya
Australia.
Fosfat alam yang digunakan secara langsung reaktifitasnya dipengaruhi oleh
ukuran butir. Makin halus ukuran butir fosfat alam makin reaktif, karena semakin
tinggi permukaan fosfat alam yang bersentuhan dengan permukaan koloid tanah.
Hammond dan Diamond ( 1987) menegaskan bahwa penggunaan fosfat alam
yang digiling halus umumnya direkomendasikan hanya di tanah dengan pH
kurang dari 5.5.
McClellan dan Kauwenberg (1992), Chien (1992), dan Moersidi (1999)
mengemukakan bahwa besarnya karbonat yang mensubstitusi fosfat berpengaruh
besar terhadap kelarutan fosfat alam apatit. Semakin tinggi jumlah karbonat yang
mensubstitusi
fosfat
menyebabkan
reaktivitas
semakin
tinggi.
Hal
ini
berhubungan dengan panjang sumbu a dari kristal hexagonal mineral apatit, makin
banyak substitusi karbonat makin pendek sumbu a-nya. Substitusi karbonat pada
batuan apatit bila diurut dari rendah ke tinggi adalah fluorapatit, batuan metamorf,
dan tertinggi adalah batuan sedimen.
Disamping sifat internal, faktor lingkungan juga menentukan tingkat
kelarutan fosfat alam. Ditegaskan oleh Khasawneh dan Doll (1978) bahwa ada
tiga faktor utama yang mempengaruhi pelarutan fosfat alam di dalam tanah yaitu
pH tanah, konsentrasi Ca dan P di dalam larutan tanah. Disamping itu pelarutan
fosfat alam juga dipengaruhi oleh besarnya immobilisasi P-labil dan sifat dari
fosfat alam. Dalam tanah P-labil dapat berubah menjadi P-non labil atau diserap
oleh tanaman, sehingga menurunkan konsentrasi P larutan tanah. Hammond et al.
(1986) menggambarkan reaksi pelarutan fosfat alam sebagai berikut :
Ca10(PO4)6F2
+ 12 H+
10 Ca2+ + 6 H2PO4 + 2 F-
Pada pH rendah kelarutan fosfat alam lebih tinggi dibandingkan pada pH
tinggi. Engelstad et al. (1974) melaporkan bahwa pada pH tanah rendah (sekitar
4.6) kelarutan fosfat alam (dicerminkan oleh efektivitas agronomik) lebih tinggi
dibanding pada pH tanah tinggi (sekitar 8).
Karena pelarutan fosfat alam melepaskan ion Ca, maka tanah dengan
kandungan Ca-dapat ditukar tinggi akan menurunkan kelarutan fosfat alam sesuai
dengan hukum aksi massa (Hammond et al. 1986). Untuk beberapa tanah tropik
masam, Ca-dapat ditukar umumnya rendah, sehingga memberikan kondisi yang
baik untuk pemberian fosfat alam. Faktor lain yang berhubungan dengan kelarutan
fosfat alam adalah KTK tanah. Tanah berpasir dengan KTK rendah, tidak
merangsang pelepasan Ca dari fosfat alam. Oleh karena itu pelarutan fosfat alam
menjadi rendah yang pada akhirnya menurunkan efektivitas agronomik fosfat
alam (Kanabo dan Gilkes 1988; Khasawneh dan Doll 1978).
Kapasitas fiksasi P dari tanah menentukan kelarutan fosfat alam yang
diberikan. Smyth dan Sanchez (1982) melaporkan bahwa kapasitas fiksasi P yang
tinggi pada tanah mendorong pelarutan fosfat alam, namun pada saat yang sama
konsentrasi P dalam larutan tanah tetap rendah. Hammond dan Leon (1983) juga
melaporkan bahwa efektivitas fosfat alam dengan reaktivitas rendah memiliki
efektivitas agronomik yang lebih tinggi jika diberikan pada tanah dengan fiksasi P
rendah dibanding pada tanah dengan kapasitas fiksasi P tinggi.
Pengaruh Fosfat Alam terhadap Sifat Kimia Tanah
dan Pertumbuhan Tanaman
Pemberian fosfat alam langsung pada tanah merupakan salah satu alternatif
penggunaan pupuk P pada tanah masam di daerah tropik. Dikarenakan adanya
residu dari fosfat alam, maka pemberian fosfat alam memiliki tujuan untuk
perbaikan status P-tanah yang lebih langgeng yakni sebagai pemeliharaan
pemupukan (Van der Paauw 1965). Pemberian fosfat alam akan meningkatkan pH
tanah, Ca dan Mg dapat ditukar lebih tinggi, dan menurunkan lebih rendah Al
dapat ditukar dibanding pupuk superfosfat (Yost et al. 1982).
Pemberian fosfat alam Christmas pada takaran 38 kg P/ha yang diberikan
setiap musim tanam dapat meningkatkan kadar P-Olsen walaupun peningkatannya
lebih rendah dibandingkan pemberian SP 36 yang disertai kapur (Santoso et al.
2000). Penggunaan fosfat alam Lamongan dan fosfat alam Bogor yang diberikan
pada tanah masam Jasinga dan Sitiung IV dapat menurunkan Al-dd,
meningkatkan pH tanah, P-Olsen, Ca-dd, serta menurunkan kapasitas jerapan P,
dan konstanta energi pengikatan P (Idris 1995).
Hammond dalam Chien (1992) dalam penelitiannya menggunakan empat
macam fosfat alam melaporkan bahwa terdapat korelasi sangat nyata antara PBray I dengan kelarutan fosfat alam dalam asam sitrat 2 %. Peningkatan takaran
fosfat alam meningkatkan P-Bray I atau sebaliknya penurunan takaran fosfat alam
yang diberikan menurunkan kadar P-Bray I. Semakin lama waktu inkubasi
menyebabkan kadar P-Bray I semakin meningkat.
Purnomo et al. (2001) melaporkan bahwa pemberian fosfat alam Christmas
dan SP-36 takaran 38 kg P/ha pada Oxic Dystrudept selama 7 musim tanam
menghasilkan kadar Fe-P, Al-P, dan Ca-P tanah lebih tinggi dibandingkan tanpa
P.
Chien et al. (1987) mengemukakan bahwa transformasi bentuk-bentuk P
dalam tanah setelah 5 tahun dari 6 macam fosfat alam dan TSP pada Oxisols
Columbia menghasilkan kadar Fe-P, Al-P dan Ca-P lebih besar dibandingkan
tanpa P. Diantara bentuk-bentuk P tersebut, kadar P yang terikat Fe lebih besar
dibandingkan kadar Al-P maupun Ca-P. Sekitar 80 – 98 % fosfat alam yang
diberikan sudah dapat terdekomposisi, sedangkan TSP sudah semuanya
terdekomposisi dalam lima tahun.
Kadar P dalam keseimbangan atau dalam larutan dapat digunakan untuk
menentukan takaran P. Menurut Fox dan Kamprath (1970), Smyth dan Sanchez
(1980), dan Iyamurenye et al. (1996) kebutuhan eksternal P sebesar 0.2 mg P L-1
atau setara dengan 0.0064 mmol L-1 (P0,2) dalam larutan tanah merupakan kadar P
optimum untuk pertumbuhan tanaman. Kebutuhan pupuk P untuk mencapai P0,2
dipengaruhi oleh tekstur, kadar bahan organik, pemberian bahan amandemen,
pemupukan P, kadar dan jenis liat.
Pemberian fosfat alam Ciamis 80 kg P/ha pada tanah Plintic Kandiudult
Lampung dapat meningkatkan hasil jagung 125 % dan nilai RAE menjadi 188 %
lebih tinggi dari perlakuan tanpa fosfat alam. Fosfat alam Ciamis dan fosfat alam
Hubei memberikan efek residu yang lebih baik pada musim tanam berikutnya
dibandingkan SP 36 (Kasno et al. 1998).
Penelitian menggunakan fosfat alam Maroko dan fosfat alam North Carolina
dengan takaran 1 ton/ha pada Ultisol di Terbanggi, Lampung selama 5 tahun
menunjukkan bahwa pada musim tanam pertama efektivitas fosfat alam lebih
rendah dibandingkan dengan perlakuan 400 kg TSP + 1 ton kapur/ha, namun pada
musim-musim tanam selanjutnya fosfat alam memberikan efek residu yang lebih
baik (Puslittanak 1993).
Pemberian fosfat alam takaran 150 kg P2O5/ha dari deposit Lamongan dan
Bojonegoro nyata meningkatkan bobot kering tanaman tebu varietas PS 77-1553
yang ditumbuhkan dalam pot dan hasil dari penggunaan fosfat alam ini setara
dengan penggunaan SP-36. Respon positif tanaman tebu pada Ultisol, Subang
disebabkan oleh peningkatan ketersediaan P dan Ca dalam tanah (Idris et al.
1997).
Pengaruh Pupuk N terhadap Tanah dan Tanaman
Nitrogen adalah salah satu unsur makro yang sangat essensial untuk
pertumbuhan tanaman dan pada umumnya diambil oleh tanaman dalam bentuk
ammonium dan nitrat. Ion-ion ammonium dan beberapa karbohidrat disintesis
dalam daun yang akan diubah menjadi asam-asam amino terutama terjadi dalam
daun yang berwarna hijau. Pengaruh nitrogen dalam meningkatkan pertumbuhan
tidak hanya berpengaruh pada daun saja, tetapi makin tinggi nitrogen yang
diberikan makin cepat sintesis karbohidrat yang akan diubah menjadi protein dan
protoplasma. Oleh karena itu nitrogen mempunyai peranan penting dalam
pertumbuhan vegetatif maupun generatif tanaman.
Jumlah nitrogen di dalam tanah tidak mencukupi kebutuhan nitrogen
tanaman. Oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhan tersebut diperlukan
pemupukan nitrogen. Pupuk nitrogen umumnya mudah larut dalam tanah, bersifat
higroskopis dan mudah tercuci.
Menurut Tisdale et al. (1985) dan Follet et al. (1981) proses nitrifikasi cepat
terjadi pada pH 5.5 – 10.0 dengan pH optimum sekitar 8.5, walaupun proses ini
mulai terjadi pada pH 4.5.
Menurut Murphy dalam Follet et al. (1981) bahwa pemberian pupuk Urea
pada tanah lempung berdebu di Weldon, Amerika Serikat, meningkatkan pH
tanah dari 6.0 menjadi 7.8 dalam waktu dua minggu setelah pemberian, setelah itu
pH tanah menurun dari 7.8 menjadi 5.8 selama sepuluh minggu.
Hasil penelitian lapang selama 9 tahun dari Bouman et al. (1995) yang
menggunakan pupuk Urea dan NH3-anhydrous menunjukkan bahwa pemberian
kedua jenis pupuk tersebut dapat menurunkan pH tanah, kapasitas tukar kation, Ca
dapat dipertukarkan, dan Mg dapat dipertukarkan.
Hasil penelitian Grunes (1959) menunjukkan bahwa penempatan pupuk N
bersama pupuk P dalam satu alur disamping tanaman jagung, lebih meningkatkan
serapan P oleh jagung dibandingkan dengan pupuk N dan pupuk P ditempatkan
dalam alur terpisah disamping jagung. Menurut Mengel dan Kirkby (1981) serta
Barber (1984) penyerapan ion NH4+ akan memacu serapan P oleh tanaman.
Sedangkan ion NO3- akan menekan serapan P oleh tanaman tetapi memacu
serapan kation Ca2+, Mg2+, dan K+.
Tidak berimbangnya N dan P dalam tanaman jagung sangat mempengaruhi
kenampakan gejala kekurangan N (Nelson 1956). Jika kadar N dan P rendah,
maka pertumbuhan jagung lambat, tetapi gejala kekurangan N tidak tampak.
Bilamana kebutuhan P dicukupi, maka gejala kekurangan akan jelas. Seringkali
gejala kekurangan N tampak lebih jelas pada musim panas. Tanaman yang
mengandung N yang cukup, sel-sel vegetatifnya tidak menebal sebab banyak
karbohidrat yang diubah menjadi protein, sehingga banyak pula protoplasma yang
terbentuk.
Untuk dapat diserap akar tanaman maka unsur hara N harus mencapai
permukaan akar melalui aliran massa dan difusi (Soepardi 1977). Pada tanah
berdrainase dan beraerasi baik, aliran massa menyediakan sebagian besar hara N
dalam bentuk ion NO3- dan sebagian kecil disediakan dalam bentuk ion NH4+
melalui difusi. Serapan air yang berlangsung terus-menerus menyebabkan air
yang ada disekitar massa tanah bergerak ke daerah perakaran sambil membawa
ion-ion hara terlarut.
Nelson (1956) mengemukakan bahwa perolehan kembali N-pupuk oleh
tanaman akan menurun dengan meningkatnya takaran N-pupuk yang diberikan ke
tanah. Demikian pula perolehan N-pupuk akan rendah apabila pupuk N diberikan
pada tanah permukaan lahan kering, tanah-tanah yang berkemampuan
menyediakan N yang tinggi, maupun tanah-tanah yang berkemampuan pencucian
tinggi. Menurut Nelson (1956), perolehan kembali N-pupuk oleh tanaman jagung
berkisar 20 % hingga 50 % dari dosis N-pupuk yang digunakan.
Pada tanah-tanah yang sangat kekurangan N, pemberian 160 pound N per
acre atau setara dengan 340 kg urea per hektare akan menghasilkan pipilan jagung
maksimum (Nelson 1956). Menurut Efendi (1982) jumlah N yang diberikan ke
tanah tergantung pada varietas tanaman dan kesuburan tanah, jumlahnya
bervariasi dari 150 kg hingga 300 kg Urea per hektar.
Download