bab iv hasil dan pembahasan

advertisement
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembuatan Gel Cincau Hitam
Gel cincau hitam dibuat dengan bahan baku tanaman cincau hitam kering (Mesona palustris)
yang diperoleh dari penjual tanaman cincau hitam kering yang berada di desa Situ Daun, Ciampea,
Jawa Barat. Tanaman cincau hitam kering yang telah dibeli, kemudian dipisahkan dari benda asing,
misalnya rumput-rumput kering, gumpalan tanah kering, dan batu-batuan secara manual dengan
menggunakan tangan. Setelah diperoleh tanaman cincau hitam kering yang telah bebas dari benda
asing, pada tahap selanjutnya dilakukan pemisahan tiap bagian cincau, yaitu batang dan daun. Batang
yang masih panjang dipotong dengan ukuran ±5 cm agar lebih mudah dalam proses pemasakan.
Komposisi tiap bagian tanaman cincau hitam untuk setiap pemasakan yaitu 60:40, yaitu 60%
daun dan 40% batang. Gambar 7 menunjukkan bahan baku pembuatan gel cincau hitam. Menurut
Yuliawati (1995) dalam Irawan (2001) menyatakan setiap bagian-bagian tanaman cincau hitam akan
menghasilkan gel dengan kualitas yang berbeda-beda. Diantara daun, batang, dan akar tanaman
cincau hitam, daun merupakan bagian tanaman cincau hitam yang menghasilkan gel dengan kualitas
terbaik. Hal ini yang mungkin menyebabkan negara Cina, Taiwan, dan Korea, hanya menggunakan
bagian daunnya saja. Namun, harga daun cincau kering saja lebih dari dua kali lipatnya harga tanaman
cincau kering yang terdiri dari batang dan daun.
(a) Daun cincau
(b) Batang cincau
Gambar 7 (a) dan (b). Bahan baku pembuatan gel cincau hitam kaleng
36
Proses kemudian dilanjutkan dengan pencucian tanaman cincau hitam kering seperti pada
Gambar 8 sebelum dilakukan perebusan. Menurut Muchtadi (1994), pencucian berguna untuk
membuang kotoran yang melekat dan dapat mengurangi jumlah mikroba yang terdapat pada
permukaan bahan. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali secara manual dengan menggunakan air
mengalir. Bahan dimasukkan ke dalam wadah (ember) kemudian dialiri dengan air yang mengalir.
Gambar 8. Pencucian bahan baku
Bahan baku yang telah dicuci kemudian dimasukkan ke dalam panci kemudian ditambahkan
20 liter air dan 40 gram air abu Qi. Penambahan abu qi ditujukan untuk membentuk kondiri basa yang
dapat menyebabkan rusaknya dinding sel tanaman, sehingga isi sel yang terdapat dalam dinding sel
dapat terekstrak keluar. Semua bahan tersebut dipanaskan dengan api kecil selama 5-6 jam agar
menghasilkan ekstrak cincau hitam yang optimal. Lama waktu yang digunakan untuk ekstraksi dapat
meningkatkan kadar ekstrak sebab kontak bahan akan menjadi lebih lama. Semakin lama ekstraksi
dan semakin tingginya kadar abu qi akan diperoleh ekstrak yang semakin banyak (Supriharsono,
1991). Penambahan abu qi ditunjukkan oleh Gambar 9.
Gambar 9. Penambahan abu qi
Setelah pemasakan selama 5-6 jam, ekstrak tersebut kemudian disaring dengan menggunakan
saringan sehingga diperoleh ekstrak yang bersih dari campuran serat-serat tanaman cincau. Ampas
tanaman cincau hitam yang tersisa masih mengandung ekstrak, sehingga ekstrak tersebut perlu
diambil dengan bantuan pengepres seperti pada Gambar 10, agar seluruh ekstrak tanaman cincau
dapat diperoleh secara maksimal.
37
Gambar 10. Alat Pengepres
Dari pemasakan satu kilogram tanaman cincau kering dengan 20 liter air, dan 40 gram air abu
qi maka dapat diperoleh ±16 liter ekstrak cincau hitam dengan penyusutan volume sebanyak 4 liter.
Ekstrak cincau hitam yang masih panas didiamkan hingga suhunya mencapai suhu normal ruang. Hal
ini disebabkan karena jika ekstrak dalam keadaan panas dimasukkan dengan tepung (pati) maka akan
terbentuk gumpalan-gumpalan. Menurut Fardiaz dan Wahab (1985) dalam Nusantoro dan Haryadi
(2007), pati merupakan komponen penting dalam pembentukkan gel cincau hitam. Gel tidak akan
terbentuk tanpa adanya penambahan pati. Fraksi pati yang berperan dalam pembentukkan gel adalah
amilosa. Kadar amilosa yang terlalu tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat, dan
cenderung menyerap air lebih banyak. Sedangkan pati yang mengandung amilopektin tinggi biasanya
tidak membentuk gel yang kaku, tetapi hanya membentuk pasta yang lunak serta mengkerut dan pecah
(Glicksman,1969 dalam Nusantoro dan Haryadi (2007)). Gel hanya akan dapat terbentuk jika
campuran dipanaskan sampai suhu gelatinisasi pati. Tabel 4 di bawah ini memberikan gambaran
tentang perbedaan kandungan amilosa dan suhu gelatinisasi pati dalam bahan pangan. Gelatinisasi
dipengaruhi oleh jenis pati, kondisi pH, suhu, dan ukuran granula (Hariyadi dan Nusantoro (2007)).
Tabel 4. Perbedaan kandungan amilosa dan suhu gelatinisasi pati dalam bahan pangan
Bahan Pangan
Suhu Gelatinisasi (˚C)
Kandungan Amilosa (%)
Jagung
62-72
22-28
Tapioka
62-73
17-22
Gamdum
58-64
17-27
Beras
68-78
16-17
Sagu
26
Sumber: Wahab (1983) dalam Rahmawansyah (2006)
Ekstrak cincau hitam yang telah dingin kemudian dicampurkan dengan tepung tapioka
sebanyak 30 gram/liter ekstrak dan gula sebanyak 150 gram/liter ekstrak. Takaran tepung tapioka dan
gula diambil berdasarkan resep pembuatan gel cincau hitam kaleng dalam buku Olahan Cincau Hitam
yang ditulis oleh Widyaningsih (2007). Tepung tapioka dipilih karena menurut Lay dan Liu (1998)
dalam Irawan (2001) menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji sensoris, gel cincau hitam yang dibuat
38
dengan pati tapioka memiliki rasa yang paling baik, elastisitas rendah, dan sineresis yang lebih nyata
dibandingkan dengan pati jagung dan pati gandum. Menurut Yuliawati (2005) dalam Hariyadi dan
Nusantoro (2007), selain pati tapioka, dapat pula digunakan pati aren, pati ganyong, pati garut, dan
pati sagu. Tepung tapioka sebelum dicampurkan ke dalam ekstrak cincau, terlebih dahulu dilarutkan
ke dalam 20 ml air per 30 gram tepung tapioka agar tidak terjadi penggumpalan pati pada cairan
ekstrak yang akan dicampurkan. Campuran tersebut kemudian dipanaskan hingga menghasilkan
massa kental. Massa kental tersebut kemudian dituang ke dalam kaleng dengan berat bersih 540 gram
gel cincau hitam per kaleng dalam keadaan panas.
B. Proses Pengalengan Gel Cincau Hitam
Gel cincau hitam yang telah dibuat, kemudian dikemas ke dalam kaleng. Penggunaan kaleng
memberikan beberapa keuntungan, antara lain : (1) dapat menjaga bahan pangan di dalamnya:
makanan di dalam wadah yang tertutup secara hermetis dapat dijaga terhadap kontaminasi oleh
mikroba, serangga, atau bahan asing lain yang mungkin dapat menyebabkan kebusukan atau
penyimpangan penampakan dan citarasanya, (2) dapat menjaga bahan pangan terhadap perubahan
kadar air yang tidak diinginkan, (3) dapat menjaga bahan pangan terhadap penyerapan gas oksigen,
gas-gas lain atau bau-bauan dan dari partikel-partikel radioaktif yang terdapat di atmosfir, (4) untuk
beberapa bahan pangan berwarna yang peka terhadap reaksi fotokimia, maka kaleng juga dapat
menjaga bahan tersebut terhadap cahaya (Muhtadi,1994), mampu melindungi makanan dari proses
produksi hingga mencapai tangan konsumen, mampu mempertahankan produk dari kerusakan fisik,
kimia, dan mikrobiologis sampai makanan tersebut dikonsumsi, serta sesuai dengan karakteristik
produk sehingga dapat mengoptimalkan fungsi kaleng dan menghindari migrasi komponen-komponen
kemasan yang dapat mebahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen (Kusnandar et al., 2006).
Pengemasan cincau hitam dalam kemasan kaleng memberikan beberapa keuntungan jika
dibandingkan dengan cincau hitam yang disimpan dalam kemasan cup propilen seperti pada penelitian
sebelumnya dalam Rahmawansyah (2006). Dari segi keamanan, kemasan logam dapat melindungi
produk di dalamnya dari kejahatan konsumen, seperti penambahan zat berbahaya tertentu ke dalam
kedalam produk misalnya melalui suntikan, sedangkan pengemasan di dalam cup propilen lebih
rentan terhadap bahaya tersebut. Selain itu, penggunaan kemasan logam (kaleng) mampu melindungi
bahan pangan yang berwarna yang peka terhadap reaksi fotokimia akibat adanya cahaya. Dalam
proses penyimpanan dan transportasi, kemasan logam (kaleng) lebih kuat dibandingkan dengan
kemasan cup propilen dalam melindungi produk terhadap guncangan, tekanan, dan gesekan sehingga
mutu produk lebih terjaga. Dari segi nilai ekonomis, gel cincau hitam kaleng ini memiliki berat bersih
yang lebih banyak (540 gram) dan dapat diaplikasikan pada berbagai jenis minuman sehingga dapat
dikonsumsi secara massal atau dapat pula dikonsumsi secara langsung. Untuk gel cincau hitam yang
dikemas dalam cup propilen memiliki berat bersih yang lebih sedikit yaitu 200 gram, sehingga hanya
cukup dikonsumsi oleh satu orang.
Pengalengan gel cincau hitam menggunakan kaleng yang berukuran 306 x 405 yang dibuat
oleh United Can Company. Ukuran ini menunjukkan bahwa kaleng tersebut memiliki diameter
3
6
5
inci dan tingginya 4 inci. Bilangan yang pertama menunjukkan diameter kaleng, sedangkan
16
16
bilangan yang kedua menunjukkan tinggi kaleng. Kaleng kemudian disterilisasi dengan dipanaskan di
dalam air panas, sebelum digunakan. Kemudian kaleng ditiriskan untuk siap digunakan. Adonan gel
cincau hitam yang telah mengental kemudian dituangkan ke dalam kaleng sebanyak 540 gram.
Menurut Hudaya (2011), volume head space tidak lebih dari 10% kapasitas wadah. Head space
39
(ruang hampa) yang bertujuan untuk memberikan ruang bila selama sterilisasi terjadi pengembangan
isi serta membantu proses penutupan kaleng karena pada waktu uap air mengembun di dalam kaleng,
maka tekanan di dalam ruang hampa menjadi turun, sehingga tekanan atmosfir dari luar akan
menekan tutup kaleng dan penutupan menjadi kuat (Winarno et al. (1980) dalam Kusnandar (2006)).
Kaleng yang telah terisi, kemudian dilakukan exhausting (penghampaan) dengan cara
memanaskan kaleng beserta isinya dengan tutup kaleng masih terbuka yang bertujuan untuk
menghilangkan sebagian udara dan gas-gas lain dari dalam kaleng sesaat sebelum dilakukan
penutupan kaleng. Exhausting berlangsung selama 5 menit. Suhu produk ketika keluar dari exhauter
diatas 60˚C yaitu 61,2˚C untuk ulangan 1 dan 61,4˚C untuk ulangan 2. Hal ini penting diperhatikan
sebab pada suhu di bawah 60˚C dikhawatirkan terjadi pertumbuhan mikroba, baik mikroba mesofilik
maupun termofilik yang tumbuh pada kisaran suhu 35-55˚C sehingga akan menambah jumlah awal
mikroba yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan sterilisasi. Gambar 11 dibawah ini ditunjukkan
proses exhausting gel cincau hitam kaleng.
Gambar 11. Exhausting gel cincau hitam kaleng
Setelah exhausting, kaleng segera ditutup dengan suhu produk yang masih relatif tinggi dengan
menggunakan menggunakan alat double seamer. Suhu produk yang masih relatif tinggi memberikan
efek kevakuman karena semakin rendah tekanan di dalam kaleng sehingga tekanan atmosfir di luar
dapat menekan tutup kaleng dan penutupan menjadi kuat.
Proses penutupan kaleng dengan menggunakan double seamer dimulai dengan operasi pertama
yaitu meletakkan kaleng dan tutup kaleng yang akan dirapatkan di atas base plate, kemudian kaleng
akan terangkat dan bergabung dengan tutup kaleng. Setelah bergabung, maka rol 1 akan menyentuh
lekukan pada tutup kaleng sehingga tutup terlipat ke bawah lalu membengkok lagi keatas seiring
dengan perputaran mesin. Setelah itu rol 1 menjauh, kemudian dilakukan operasi kedua, yaitu rol 2
bekerja dengan menekan lipatan yang sudah terbentuk pada operasi pertama yang diikuti dengan
mesin yang terus berputar. Setelah rol 2 selesai, maka rol 2 bergerak menjauh lalu base plate bersamasama kaleng yang telah tertutup bergerak turun, dan proses penutupan kaleng selesai. Proses
penutupan kaleng ditunjukkan oleh Gambar 12.
40
Gambar 12. Proses penutupan kaleng
C. Penentuan Titik Terdingin Produk, Waktu Venting, dan Come Up Time
Setelah gel cincau hitam dikemas dalam kaleng, maka selanjutnya dilakukan proses termal
dengan melakukan sterilisasi komersial. Menurut Hariyadi (2000), sterilisasi komersial adalah suatu
kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup
lama sehingga tidak ada lagi mikroorganisme yang hidup. Bahan pangan yang telah mengalami proses
sterilisasi mungkin saja masih mengadung spora bakteri (terutama bakteri non-patogen), namun
setelah proses pemanasan tersebut spora bakteri non-patogen bersifat dorman (tidak dalam kondisi
aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan
dalam kondisi normal.
Proses termal diawali dengan pengukuran distribusi panas. Pengukuran distribusi panas
dilakukan dengan bantuan termokopel yang dihubungkan dengan recorder. Termokopel dipasang
pada 7 tempat yaitu 3 buah dipasang di dalam kaleng produk untuk menentukan titik terdingin
(coldest point) dan 4 buah dipasang di dalam retort untuk mengukur suhu lingkungan pada bagian
kanan, kiri, atas, dan bawah. Hasil uji distribusi panas dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan
hasil uji distribusi panas, titik terdingin (coldest point) pada produk terdapat pada ½ tinggi kaleng.
Menurut Kusnandar et al. (2006), untuk produk yang kental sehingga transfer panas terjadi secara
konduksi, sehingga titik terdingin terletak pada pusat geometri kaleng. Gambar 13 menunjukkan
kurva perbandingan suhu pada titik-titik yang diramalkan sebagai coldest point. Hasil pengujian
penentuan titik terdingin dapat dilihat pada Lampiran 2.
41
Gambar 13. Kurva penentuan titik terdingin (coldest point).
Venting adalah proses pengeluaran udara yang terdapat di dalam retort sebelum proses
sterilisasi dimulai yang bertujuan untuk menghindari terjadinya penghambatan penetrasi panas dari
retort ke dalam kaleng yang akan mempengaruhi keberhasilan proses sterilisasi. Selain itu, venting
juga bertujuan untuk menyeimbangkan antara suhu dengan tekanan, serta meningkatkan suhu awal
kaleng agar sesuai dengan suhu retort (Kusnandar et al., 2006). Berdasarkan kurva distribusi panas
pada Gambar 14 dan Gambar 15 dapat dilihat waktu venting dan come up time pada ulangan 1 dan
ulangan 2.
Gambar 14. Kurva distribusi panas ulangan 1
42
Gambar 15. Kurva distribusi panas ulangan 2
Dari kurva diatas, dapat diketahui bahwa waktu venting ulangan 1 yaitu 4 menit pada suhu
retort 114,1˚C dan pada ulangan 2 waktu venting berada pada menit ke 4 pada suhu 113,5˚C. Menurut
Kusnandar et al. (2006), venting berlangsung kira-kira 8 menit hingga suhu retort mencapai 110˚C.
Setelah venting selesai, saluran klep venting ditutup, sedangkan saluran uap panas tetap dalam
keadaan terbuka.
Setelah mencapai suhu venting, saluran uap panas masih dalam keadaan terbuka, sehingga
suhu retort semakin meningkat hingga mencapai suhu proses yang diinginkan. Suhu proses pada
ulangan 1 mencapai 120,1˚C. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu retort yang diinginkan
yaitu 10 menit yang dinamakan sebagai come up time. Pada ulangan 2, suhu proses yang digunakan
yaitu 117,7˚C. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu retort tersebut yaitu 12 menit. Menurut
Kusnandar et al. (2006), come up time (CUT) adalah waktu yang diperlukan untuk menaikkan suhu
retort sampai mencapai suhu proses yang dikehendaki. Dengan demikian CUT dihitung dari mulai
saat pertama pipa uap dibuka sampai akhirnya retort mencapai suhu retort. Dari pengalaman empiris,
diketahui bahwa hanya 40% dari CUT mempunyai efek letal yang signifikan bagi tercapainya
sterilitas. Perbedaan suhu proses antara ulangan 1 dengan ulangan 2 disebabkan oleh adanya
kebocoran pada retort pada saat ulangan 2 dilakukan, sehingga suhu proses yang digunakan tidak
dapat sesuai yang direncanakan.
D. Penentuan Kecukupan Panas Pada Proses Sterilisasi Gel Cincau Hitam
Kaleng
Pada uji distribusi panas yang telah dilakukan, maka telah diketahui titik yang paling lambat
menerima panas (coldest point) yaitu pada titik geometris kaleng (1/2 tinggi kaleng). Suhu pada titik
inilah yang dijadikan acuan dalam perhitungan kecukupan panas pada proses sterilisasi gel cincau
hitam kaleng. Penentuan kecukupan panas pada proses sterilisasi dihitung dengan menggunakan dua
macam metode yaitu metode umum (improved general methods) dan metode formula. Dalam
pelaksanaannya, terdapat perbedaan suhu antara suhu recorder dengan suhu termometer pada retort.
Suhu yang terbaca pada termometer pada retort lebih besar dibandingkan dengan suhu pada recorder.
Namun, suhu yang terbaca oleh recorder yang dijadikan sebagai acuan.
43
Untuk menghitung kecukupan panas perlu ditentukan mikroba yang akan dijadikan target,
dalam hal ini target mikroba yang akan dimusnahkan adalah Clostridium botulinum. Menurut
Muchtadi (2008), Clostridium botulinum memiliki nilai D pada suhu 250˚F sebesar 0,2 menit dan nilai
z sebesar 18˚C. Pada penelitian kali, ini jumlah siklus yang akan diturunkan sebanyak 12 siklus
logaritma (12D), sehingga dari nilai yang telah ditetapkan tersebut, dapat dirancang nilai F0 dalam
proses sterilisasi sebesar 12 x 0,2 = 2,4 menit. F0 merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
memusnahkan mikroba dengan z =18.
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan metode umum (trapezoidal), pada ulangan 1,
waktu yang dibutuhkan untuk memusnahkan mikroba dengan nilai z =18 atau waktu untuk mencapai
tingkat sterilitas yang diinginkan adalah 24 menit pada suhu 120,1˚C atau dapat disebut dengan F120,1 .
Tabel hasil perhitungan penentuan waktu sterilisasi optimum dengan metode umum ulangan 1
terdapat pada Lampiran 3a. Nilai F120,1 setara dengan nilai F0 yaitu 3,05 menit. Artinya pada suhu
250˚C tingkat sterilitas yang diinginkan dapat tercapai selama 3,05 menit. Nilai 3,05 dianggap cukup
karena telah melebihi waktu yang ditargetkan sebelumnya. Gambar 16 menggambarkan hubungan Lr
dengan waktu hingga mencapai tingkat sterilisasi yang diinginkan.
Pada ulangan 2, berdasarkan perhitungan dengan metode umum, waktu yang dibutuhkan untuk
memusnahkan mikroba dengan nilai z = 18 adalah 22 menit yang dilakukan pada suhu 117,7˚C
( F117,7 ). Nilai F117,7 setara dengan nilai F0 yang menunjukkan nilai 2,41, artinya pada suhu 250˚C
tingkat sterilitas yang diinginkan dapat tercapai selama 2,41 menit. Nilai 2,41 dianggap cukup karena
sudah mencapai waktu yang ditargetkan sebelumnya. Gambar 17 menunjukkan grafik hubungan
letalitas (Lr) dengan waktu hingga mencapai tingkat sterilisasi yang diinginkan. Lampiran 3b
menunjukkan tabel hasil perhitungan waktu sterilisasi optimum dengan metode umum pada ulangan 2.
Gambar 16. Kurva hubungan antara Lr dengan waktu (menit) pada ulangan 1
44
Gambar 17. Kurva hubungan antara Lr dengan waktu (menit) pada ulangan 2
Pada pengukuran dengan menggunakan metode formula, data penetrasi panas produk pada
titik terdingin terlebih dahulu diplotkan pada kertas semilog. Dari hasil plotting, diperoleh kurva yang
tidak sama seperti pada kurva pemanasan biasa (simple curve). Kurva pemanasan gel cincau hitam
kaleng tergolong pada broken heating curves. Broken heating curves dapat terjadi bila produk di
dalam kaleng mengalami perubahan fisik (padat-cair atau cair-padat) sehingga mengubah karakteristik
pindah panasnya. Tabel 5 menunjukkan nilai parameter penetrasi panas pada metode formula.
Tabel 5. Nilai dari parameter penetrasi panas pada metode formula
Parameter
tbh (menit)
Ulangan 1
14
Ulangan 2
14
f h1 (menit)
12.2
9.1
f h2 (menit)
24.5
21.5
gbh
I
j
18.5
108.4
8.9
103.36
2.4
2.99
t (menit)
G
43.92
3.5
34.009
1.05
 fh

U


g
2.33
1.061
 fh

U


 g bh
20,28
5.26
U
10.13
18.51
Fi (menit)
1.026
2.19
F0 (menit)
9,87
8.45
45
Pada ulangan 1, berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode formula untuk
perhitungan pada broken heating curves, diperoleh nilai F0 keseluruhan proses adalah 9,87 menit.
Kurva dan langkah perhitungan F0 dengan menggunakan metode formula dapat dilihat pada Lampiran
4a. Nilai ini berbeda jauh dengan nilai F0 keseluruhan proses yang dihitung dengan metode umum
yaitu 24 menit.
Pada ulangan 2, nilai F0 yang diperoleh dari perhitungan dengan metode formula adalah 8,45
menit. Nilai F0 ini berbeda jauh dengan nilai F0 keseluruhan proses yang diperoleh pada perhitungan
dengan metode umum, yaitu 22 menit. Kurva dan langkah perhitungan F0 pada ulangan 2, dapat
dilihat pada Lampiran 4b. Perbedaan suhu proses yang digunakan mengakibatkan perbedaan yang
cukup signifikan terhadap nilai F0. Selain itu, perbedaan nilai F0 antara ulangan 1 dengan ulangan 2
disebabkan oleh komponen pembentuk gel pada ulangan 2 telah mengalami sineresis akibat
penyimpanan terlalu lama pada udara terbuka sehingga air keluar akibat tekanan yang terjadi pada air
yang berada diantara rantai polisakarida (McCabe 2008 dalam Karni 2011). Hal ini menyebabkan
viskositas lebih rendah yang berpengaruh pada proses perambatan panas dan tekstur gel lebih lunak
karena sineresis yang sudah lebih dahulu terjadi saat masih dalam ekstrak gel, sehingga nilai F0 pada
ulangan 2 lebih kecil dibanding ulangan 1 walaupun suhu proses lebih rendah dibanding ulangan ke 2.
Metode umum biasanya digunakan untuk mengevaluasi suatu proses termal, sedangkan metode
formula digunakan untuk merancang suatu proses termal. Faktor keamanan pada metode formula
dapat bertanggungjawab pada perhitungan kecukupan panas di dalam industri pangan yang bertujuan
menghilangkan bahaya botulisme pada makanan kaleng olahan komersial (Toledo, 2007).
E. Keasaman Gel Cincau Hitam Dalam Kaleng
Faktor penting tentang karakteristik produk pangan yang berhubungan dengan proses sterilisasi
adalah nilai pH. Menurut McGlynn (2003), pH dalam makanan menunjukkan kehadiran ion hidrogen
dalam makanan, yang dihasilkan dari asam yang terdapat pada makanan. Suatu bahan pangan disebut
pangan pH rendah disebabkan oleh konsentrasi ion hidrogen yang meningkat, karena meningkatnya
asam. Menurut Muhtadi (1991), berdasarkan nilai pH-nya, produk pangan dapat dikelompokkan
menjadi 3 kelompok, yaitu bahan pangan berasam rendah (pH˃4,5), bahan pangan asam (pH 4,0-4,5),
dan bahan pangan berasam tinggi (pH˂4,0). Dari hasil pengukuran dengan menggunakan pH meter,
maka dapat diketahui bahwa pH gel cincau hitam dalam kaleng adalah 5,6 untuk ulangan 1 dan 5,9
untuk ulangan 2. Hasil pengukuran pH gel cincau hitam dalam kaleng dapat dilihat pada Tabel 6.
Hasil pengukuran pH menunjukkan bahwa gel cincau hitam dalam kaleng tergolong dalam bahan
pangan berasam rendah (low –acid foods).
Tabel 6. Hasil pengukuran pH gel cincau hitam dalam kaleng
Ulangan 1
Ulangan 2
1
5,7
5,7
2
5,5
6,1
Rataan
5,6
5,9
Menurut Hariyadi (2000), untuk produk pangan berasam rendah, kondisi anaerob pada kaleng
adalah kondisi yang tepat bagi Clostridium botulinum untuk tumbuh, berkembang, dan membentuk
racun. Clostridium botulinum ini juga tahan panas dan membentuk spora. Oleh karena itu, proses
sterilisasi komersial produk pangan berasam rendah harus mampu menginaktivasi spora Clostridium
botulinum.
46
Menurut Kusnandar et al. (2006) dalam Surya (2011), aplikasi sterilisasi pada produk pangan
tepat dilakukan jika produk pangan memenuhi empat kriteria : (1) produk tergolong berasam rendah
(pH ≥4,6), (2) produk memiliki aktifitas air relatif tinggi (a w ≥ 0,85), (3) produk akan dikemas secara
anaerob, dan (4) produk akan disimpan pada suhu ruang.
Clostridium botulinum merupakan mikroorganisme yang harus diperhatikan oleh para pelaku
proses pengalengan, karena dapat memproduksi toksin yang mematikan, yaitu botulin dan terdapat
pada tanah dan air sehingga bahan pangan dapat dengan mudah terkontaminasi. Beberapa strain C.
botulinum bersifat proteotik dan putrefaktif, yaitu membentuk bau karena degradasi protein.
Miroorganisme ini tumbuh baik pada suhu 30˚C sampai 37˚C, walaupun dapat tumbuh pada suhu
10˚C dan 38˚C. Strain yang lainnya menggunakan karbohidrat seperti gula dan pati dan tidak
menghasilkan senyawa yang menyebabkan bau. Beberapa strain ini diasosiasikan dengan lingkungan
laut, dapat tumbuh pada suhu 4˚C dan lebih toleran terhadap oksigen. Strain C. Botulinum tertentu
sangat resisten terhadap pemanasan pada suhu 100˚C selama 10 jam. Akan tetapi, toksin botulinnya
tidak tahan panas. Toksin tersebut dalam makanan dapat diinaktivasi dengan mendidihnya makanan
tersebut (Hariyadi, 2000).
F. Sineresis Gel Cincau Hitam Kaleng
Kemampuan sineresis merupakan sifat terpenting pati, yang merupakan pelepasan air dari pasta
selama pendinginan, sineresis pati cenderung meningkat selama penyimpanan (Aini dan Hariyadi,
2007). Pengamatan sineresis dilakukan pada 24 jam, 48 jam, dan 72 jam untuk ulangan 1 dan ulangan
2. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, baik ulangan 1 maupun ulangan 2 menunjukkan
peningkatan sineresis pati tiap harinya seperti pada Gambar 18. Perhitungan laju sineresis ditunjukkan
pada Lampiran 5.
Gambar 18. Hasil pengukuran sineresis gel cincau hitam kaleng
Menurut Perera dan Hoover dalam Aini dan Hariyadi (2007), peningkatan sineresis pati yang
terjadi selama penyimpanan, disebakan oleh adanya interaksi antara keluarnya rantai amilosa dan
amilopektin yang berkembang ke zona junction, memantulkan sejumlah cahaya. Agregasi dan
47
kristalisasi amilosa terjadi pada beberapa jam pertama penyimpanan, sementara agregasi dan
kristalisasi amilopektin terjadi pada tahap-tahap terakhir.
G. Kekuatan Gel Cincau Hitam Kaleng
Menurut Aini dan Hariyadi (2007), kekuatan gel menunjukkan besarnya beban untuk
melakukan deformasi gel sebelum gel menjadi sobek. Deformasi adalah perubahan bentuk, dimensi
dan posisi dari suatu materi baik merupakan bagian dari alam ataupun buatan manusia dalam skala
ruang dan waktu (Anonim, 2007).
Pengukuran kekuatan gel dilakukan dengan menggunakan alat Sun Rheometer CR-300 dan
recorder seperti pada Gambar 19 (a) dan (b). Pengujian kekuatan gel dengan menggunakan alat ini
akan menghasilkan sebuah kurva tegangan regangan bahan biologis seperti Gambar 20, yang puncak
(peak) menunjukkan batas lelah biologis (biological yield point). Batas lelah biologis (biological
yield point) merupakan awal dari proses terputusnya hubungan antar sel (cell rupture) yang sangat
berpengaruh terhadap sensitifitas bahan terhadap kerusakan. Apabila beban bahan tidak mencapai
biological yield point, maka sistem sel bahan tidak mengalami kerusakan.
(a) Sun Rheometer CR-300
(b) Recorder
Gambar 19 (a) dan (b). Pengukuran kekuatan gel
Normal stress, N cm-2
Deformation, mm
Gambar 20. Kurva tegangan regangan bahan biologis
48
Pengujian dilakukan untuk membandingkan kekuatan gel cincau hitam yang belum disterilisasi
dengan kekuatan gel cincau hitam yang telah disterilisasi. Pengujian menghasilkan nilai Fmax yang
menggambarkan nilai gaya yang dicapai tepat pada saat gel pecah akibat penekanan. Pengujian
menghasilkan nilai Fmax yang berbeda antara sebelum dan sesudah pemanasan. Nilai F max sebelum
sterilisasi lebih kecil dibandingkan dengan F max sesudah sterilisasi. Perubahan nilai Fmax dapat terlihat
pada Gambar 21. Perhitungan kekuatan gel dapat dilihat pada Lampiran 6.
Gambar 21. Perbandingan Fmax sebelum dan sesudah sterilisasi
Modulus secant merupakan kemiringan garis penghubung antara titik awal dengan titik A
pada kurva tegangan dan regangan (Gambar 22).
a
c
Stress
b
B
A
Strain
a : Initial tangent modulus
b : Secant modulus
c : Tangent modulus
Gambar 22. Kurva Tegangan Regangan
Nilai modulus secant yang dihasilkan pada sebelum dan sesudah sterilisasi mengalami
perbedaan. Nilai modulus secant pada setelah sterilisasi lebih besar dibandingkan dengan sebelum
49
sterilisasi. Hal ini menunjukkan bahwa gaya yang diperlukan untuk deformasi gel cincau hitam yang
telah disterilisasi lebih besar dibandingkan dengan sebelum disterilisasi. Hal ini dapat disebabkan oleh
pemasakan yang kurang sehingga terjadi penggelembungan pati pada gel cincau yang tidak di
sterilisasi. Selain itu, dari grafik dapat terlihat bahwa, kekuatan gel pada ulangan 1 lebih tinggi
dibandingkan dengan ulangan 2, hal ini disebabkan karena ekstrak gel ulangan 2 telah disimpan
dalam waktu yang cukup lama pada udara terbuka sehingga mengakibatkan terjadinya sineresis akibat
tekanan yang terdapat pada air yang berada diantara rantai polisakarida (McCabe 2008 dalam Karni
2011).
Gambar 23. Perbandingan modulus secant sebelum dan sesudah sterilisasi
Menurut Fardiaz dan Wahab (1985) dalam Kartikaningrum, et al. (2001), kekerasan gel cincau
hitam ditentukan oleh keseimbangan antara jumlah ekstrak komponen pembentuk gel, tapioka, dan air
yang digunakan.
H. Total Padatan Terlarut Gel Cincau Hitam Kaleng
Menurut Muchtadi dan Sugiono (1992) dalam Rahmawansyah (2006), total padatan terlarut
merupakan bahan bukan air dan terdiri dari gula, lemak protein, atau abu serta komponen lain yang
larut di dalamnya. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan hand refractometer Atago PR-201
seperti Gambar 24.
50
Gambar 24. Refractometer Atago PR-201
Pengamatan dilakukan untuk mengukur kadar gula sebelum dan setelah pemanasan.
Berdasarkan pengamatan, gel cincau hitam kaleng sebelum dilakukan pemanasan (sterilisasi)
memiliki nilai total padatan terlarut 15,1 ˚Brix untuk ulangan 1 dan 15,0 ˚Brix untuk ulangan 2. Nilai
total padatan terlarut setelah pemanasan memiliki sedikit kenaikan sekitar 0,7 menjadi 15,8˚Brix
untuk ulangan 1 dan 0,8 menjadi 15,8˚Brix untuk ulangan 2. Data pengujian total padatan terlarut
dapat dilihat pada Lampiran 7. Diagram perubahan nilai TPT dapat dilihat pada Gambar 25 di bawah
ini.
Gambar 25. Perubahan nilai total padatan terlarut pada gel cincau hitam
sebelum dan sesudah sterilisasi
Perubahan nilai total padatan terlarut yang terjadi sebelum dan sesudah sterilisasi dapat
disebabkan oleh adanya interaksi antara pati dengan gula. Adanya interaksi antara pati dengan gula
dapat menyebabkan berubahnya pola kemanisan dan memperlambat gelatinisasi pati. Gula bersifat
higroskopis maka gula akan mengikat sebagian air dalam suspensi pati. Semakin tinggi konsentrasi
gula dalam suspensi pati dalam air, maka suhu gelatinisasi semakin tinggi (Kusnandar, 2010).
51
I. Analisis Mikroba Gel Cincau Hitam Kaleng
Analisis mikroba dilakukan bertujuan mengetahui jumlah mikroba yang terdapat dalam gel
cincau hitam kaleng. Analisis mikroba yang dilakukan adalah pengukuran total plate count (angka
lempeng total) yaitu pengukuran jumlah mikroba secara keseluruhan (total mikroba) baik bakteri,
kapang, maupun khamir. Sebagai media pertumbuhannya adalah PCA (plate count agar).
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan sebelum sterilisasi dan sesudah sterilisasi pada
hari pertama dan hari ke-14, diperoleh hasil seperti pada Tabel 7 dibawah ini. Gel cincau hitam kaleng
setelah melalui proses sterilisasi mengalami penurunan jumlah mikroorganisme dari keadaan awalnya.
Pada hari ke-14 setelah sterilisasi jumlah mikroba mengalami peningkatan dari jumlah mikroba pada
hari pertama. Namun, peningkatan tersebut masih berada pada batas normal. Menurut SNI 01-40331996 tentang rebung bambu dalam kaleng yang memiliki pH minimum 4, batas maksimum angka
lempeng total adalah 1x102 koloni/gram. Sedangkan menurut SNI 01-2741-1992 tentang jamur
kancing dalam kaleng dengan pH minimum medium 5, batas maksimum angka lempeng total adalah
1x102 koloni/gram. Berdasasarkan data tersebut, maka gel cincau hitam kaleng yang dihasilkan, masih
berada dalam standar beberapa produk yang sejenisnya. Oleh karena itu, proses pemanasan yang
dilakukan, mampu mengurangi, dan menekan pertumbuhan mikroba pada gel cincau hitam kaleng.
Tabel 7. Hasil uji mikroba gel cincau hitam kaleng
Kode
Tingkat Pengenceran
10
1
10
2
10
Hasil Rataan
3
Koloni/gram
SIM
S II M
IM
II M
18/20
56/55
1/0
1/1
3/1
8/6
0/0
0/0
0/0
0/0
0/0
0/0
1,9 x 102 (< 25 x 101)
5,6 x 102
1,0 x 101 (< 25 x 101)
1,1 x 101 (< 25 x 101)
I M 14
4/6
0/0
0/0
5.0 x 101 (< 25 x 101)
II M 14
2/3
0/0
0/0
2.5 x 101 (< 25 x 101)
Keterangan
Sebelum Pemanasan U 1
Sebelum Pemanasan U 2
Setelah Pemanasan U 1
Setelah Pemanasan U 2
Hari ke 14 sesudah
pemanasan U1
Hari ke 14 sesudah
pemanasan U2
Peningkatan jumlah mikroba (bakteri) memiliki kurva seperti pada Gambar 26. Apabila suatu
bakteri tunggal diinokulasikan pada suatu medium dan memperbanyak diri dengan laju yang
konstan/tetap, maka pada suatu waktu pertumbuhannya akan berhenti yang disebabkan oleh
ketersediaan nutrisi yang tidak memadai, sehingga terjadi penurunan jumlah sel akibat banyaknya sel
yang sudah tidak mendapatkan nutrisi lagi. Hingga pada akhirnya pada titik ekstrim menyebabkan
terjadinya kematian total bakteri (Anonim, 2012).
52
Gambar 26. Kurva Pertumbuhan Bakteri
J. Penilaian Organoleptik Gel Cincau Hitam Kaleng
Cincau hitam adalah salah satu pangan tradisional masyarakat Indonesia yang memiliki beberapa
khasiat kesehatan tertentu, sehingga termasuk ke dalam pangan fungsional. Pangan Fungsional adalah
makanan yang mempunyai khasiat kesehatan tertentu berdasarkan pengetahuan yang dikonsumsi
sebagaimana layaknya makanan sehari-hari, berupa makanan atau minuman (Sampoerno dan Fardiaz,
2001). Gel cincau hitam kaleng merupakan salah satu pengembangan produk makanan cincau hitam
yang dikemas dalam kaleng sehingga dapat meningkatkan nilai jual produk.
Sebagai produk pengembangan baru, maka perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui
penerimaan masyarakat terhadap produk tersebut. Penilaian organoleptik atau penilaian sensorik
merupakan suatu cara penilaian dengan menggunakan indera yang banyak digunakan untuk menilai
mutu hasil pertanian dan makanan. Pengujian organoleptik dilakukan dengan uji hedonik, yang
melihat tanggapan pribadi yang menyangkut kesan senang atau tidak senang.
Dari hasil pengujian sensoris yang melibatkan 30 panelis tidak terlatih, diperoleh hasil bahwa
produk dapat diterima oleh konsumen. Hal ini diperlihatkan oleh hasil pengujian aroma, kekerasan
(tekstur), rasa, warna, dan keseluruhan berada di batas penolakan yang ditetapkan yaitu 3,5 baik
ulangan 1 maupun ulangan 2. Berdasarkan penilaian konsumen, baik aroma, rasa, warna, tekstur, dan
keseluruhan menghasilkan nilai rataan diatas 5,00 (skala 7,00) yang tergolong pada kategori “suka”.
Data hasil uji organoleptik ditunjukkan pada Lampiran 9.
53
Download