alkitab - Momentum Christian Literature

advertisement
SIAPA YANG MEMBUAT
ALKITAB
Mengenai
Penyelesaian dan Kewibawaan
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Jakob van Bruggen
MOMENTUM
LITINDO
2002
Copyright © momentum.or.id
Siapa yang Membuat Alkitab? Mengenai Penyelesaian dan
Kewibawaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Oleh:
Jakob van Bruggen
Penerjemah: J. P. D. Groen
Pengoreksi: Hendry Ongkowidjojo
Tata Letak: Djeffry
Desain Sampul: Bing Fei
Editor Umum: Solomon Yo
Originally published in Dutch under the title,
Wie Maakte de Bijbel © by Jakob van Bruggen
Translated and printed by permission of Uitgeversmij J. H. Kok B. V.,
IJsseldijk 31, 8266 AD Kampen, the Netherlands
Hak cipta terbitan bahasa Indonesia © 2002 pada
Penerbit Momentum (Momentum Christian Literature)
Andhika Plaza C/5-7, Jl. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya 60275, Indonesia.
Telp. +62-31-5472422; Faks.: +62-31-5459275
e-mail: [email protected]
Buku ini diterbitkan atas kerja sama dengan LITINDO
website: www.litindo.org
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
van Bruggen, Jakob,
Siapa yang membuat Alkitab? / Jakob van Bruggen, terj. J. P. D. Groen
– cet. 2 – Surabaya: Momentum, 2006.
xiv + 182 hlm.; 14 cm.
ISBN 979-8131-31-2
1. Alkitab
2006
220.1–dc20
Cetakan pertama: Agustus 2002
Cetakan kedua: November 2006
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip, menerbitkan kembali, atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis
dari penerbit, kecuali kutipan untuk keperluan akademis, resensi, publikasi, atau kebutuhan nonkomersial dengan
jumlah tidak sampai satu bab.
Copyright © momentum.or.id
DAFTAR ISI
Prakata Penerbit
v
Kata Pengantar dari Lembaga Penerjemahan
vii
Kata Pengantar
xiii
Bab 1. Kanon
1
Bab 2. Umur Perjanjian Lama
19
Bab 3. Pengakuan terhadap Perjanjian Baru
29
Bab 4. Kewibawaan Alkitab
69
Bab 5. Wahyu dan Kritik
85
Bab 6. Ilmu Pengetahuan Alkitab Modern
103
Bab 7. Bisa Salah, Tanpa Salah, atau Layak Dipercaya?
123
Ekskursus A: Kitab Suci dan Tangan-tangan yang Najis
147
Ekskursus B: Origen dan Kanon Perjanjian Baru
155
Ekskursus C: Eusebius dan Kanon Perjanjian Baru
167
Copyright © momentum.or.id
KATA PENGANTAR
DARI LEMBAGA PENERJEMAH
anyak teologi yang setelah menyelidiki Alkitab kemudian
menolak kewibawaannya. Menurut mereka, Allah memang
memakai Alkitab, tetapi Alkitab adalah hasil pekerjaan manusia
yang mengandung banyak kesalahan dan kekeliruan. Ada ahli teologia yang mendaftarkan semua kesalahan dan pertentangan yang
menurut pendapat mereka terdapat dalam Alkitab. Berdasarkan
daftar itu maka otoritas Alkitab dibahas dan dilemahkan.
Anggapan-anggapan semacam itu juga dipublikasikan dalam
buku-buku teologi yang dipasarkan di Indonesia. Siapa yang membuka salah satu buku-buku “pengantar” Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru yang diterbitkan masa kini akan menemukan pandangan bahwa hanya naskah-naskah yang terdaftar dalam kanon,
dan kemudian semua naskah itu membentuk Alkitab, yakni Kitabkitab Suci yang berwibawa, pada umumnya tidak diterima lagi.
Selanjutnya, anggapan-anggapan itu mempengaruhi penafsiran setiap kitab dalam Alkitab.
Menurut pandangan itu, Kanon Alkitab adalah hasil penilaian
gereja. Yesus dan para murid belum “mempunyai pandangan yang
kuat dan tajam atas kitab-kitab apa yang harus dianggap sebagai
Kitab Suci.” 1 Permulaan proses kanonisasi tak dapat lagi ditentukan, tetapi “sekitar tahun 90 M, guru-guru agama Yahudi di bawah
pimpinan Johannan ben Zakkai mengadakan sidang di Jamnia (Jab-
B
John Barton, Umat Berkitab? Wibawa Alkitab dalam Kekristenan, Jakarta
(BPK) 1993, hal. 34.
1
Copyright © momentum.or.id
viii/ SIAPA YANG MEMBUAT ALKITAB ?
neh). Mereka meninjau, menimbang tulisan-tulisan itu dan membakukan Kitab Suci mereka. Mereka memutuskan untuk menerima
39 buku yang merupakan Kitab Suci, serta menolak kitab tambahan yang dimuat dalam Septuaginta, yaitu terjemahan pertama Kitab Suci ke dalam bahasa Yunani.” 2 Alkitab adalah bentuk akhir
yang telah disusun oleh Gereja, dan kanonitas (dimasukkannya
sebuah kitab ke dalam kanon–pemeriksa) dari kitab-kitab ini “bukanlah merupakan satu fakta tentang struktur internal kitab-kitab
atau tentang hubungan mereka satu sama lain, tetapi tentang kesesuaian mereka dengan norma eksternal, yaitu iman Gereja.” 3 Penerimaan kitab-kitab dalam kanon “tak menyatakan bahwa kitabkitab itu sendiri adalah baik dan berguna, tetapi bahwa mereka
membentuk satu kumpulan tulisan yang dapat diacu sebagai yang
menentukan iman Kristen”. 4
Dengan demikian, Perjanjian Lama dipandang sebagai hasil
seleksi kesusastraan Israel kuno 5 , sedangkan “Perjanjian Baru terdiri dari 27 buku yang merupakan seleksi dari sejumlah kesusastraan agama baru, yaitu agama Kristen. Seleksi tersebut sebenarnya
agaknya bersifat ‘asal pilih’ saja, sebab keadaan pada waktu itu ikut
menentukan juga. Buku-buku yang tidak hilang, serta yang dirasa
perlu oleh jemaat waktu itu cenderung lolos dalam seleksi tersebut.
Jadi, pada waktu itu ada kitab-kitab yang dibuang atau hilang demikian saja, tetapi ada pula kitab-kitab yang diperdebatkan untuk
ditolak atau diterima dalam seleksi tersebut”. 6
Daud H. Soesilo (Penyunting), Mengenal Alkitab Anda, Jakarta (LAI) 1990,
hal. 14. Bnd. J. Blommendaal, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama, Jakarta
(BPK) 19832, hal. 11.
3
Barton, o.c., hal. 43.
4
Barton, o.c., hal. 33.
5
S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan
Mengajarkan Alkitab, Jakarta (BPK) 19944, hal. 472.
6
S. Wismoady Wahono, o.c., hal. 17-18.
2
Copyright © momentum.or.id
Kata Pengantar dari Lembaga Penerjemah / ix
Anggapan-anggapan semacam ini jelas tidak mengindahkan
Alkitab sebagai Firman Tuhan. Perjanjian Baru dipandang sebagai
dokumen sejarah perkembangan dogma Kristen. 7 “Dokumen-dokumen itu seharusnya tak dibaca sebagai dokumen yang ditujukan
pada masa kini sebagai ‘Firman Allah kepada kita’, melainkan
sebagai saksi dari zamannya sendiri”. 8 Injil dipandang sebagai hasil
karya jemaat mula-mula. Isinya bukan hanya cerita-cerita tentang
Yesus, melainkan cerita-cerita yang “berkaitan erat dengan teologi
para penulis”. 9 Dan apakah Injil dapat dipercaya, tergantung dari
hasil penelitian sumber yang digunakan oleh para penulis Injil! 10
Surat-surat dalam Perjanjian Baru juga dianggap sebagai surat
dari manusia belaka. Paulus bukan lagi rasul dan suratnya tak ditulis “oleh kehendak Yesus Kristus”. Hingga tidak heran kalau ada
yang berkata bahwa Paulus “gagal untuk memerdekakan orangorang Kristen sepenuhnya dari dominasi Perjanjian Lama seperti
yang seharusnya terjadi”. 11
Akibatnya, kita harus merekonstruksikan ajaran Yesus 12 , dan
tidak dapat lagi menerima begitu saja apa yang disampaikan dalam
Firman Tuhan, karena sifat ilahi dari Alkitab dan kanon disangkal 13 . “Tulisan-tulisan itu bukan Firman Allah, tapi mengandung
keyakinan bahwa isinya adalah Firman Allah bagi orang-orang
yang menerimanya pada saat itu”. 14
Sebenarnya penganut anggapan teologi modern kritis itu agak
sombong dalam ucapannya: “kita akan mampu untuk pertama kali7
Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru; Pendekatan Kritis terhadap
Masalah-masalahnya, Jakarta (BPK) 19962, hal. xx.
8
Marxsen, o.c., hal. xxvi.
John Drane, Memahami Perjanjian Baru; Pengantar Historis-teologis, Jakarta
(BPK) 1996, hal. 186.
10
John Drane, o.c., hal. 229 dst.
11
Barton, o.c., hal. 10.
12
Barton, o.c., hal. 10.
13
Willi Marxsen, o.c., hal. xvii.
14
Willi Marxsen, o.c., hal. xxii.
9
Copyright © momentum.or.id
x / SIAPA YANG MEMBUAT ALKITAB ?
nya menangkap makna surat itu sepenuhnya”. 15 “Hanya dalam
zaman modernlah, dengan mengucapkan terima kasih kepada kritik
Alkitab, bahwa disiplin yang sadar untuk memperlihatkan arti asli
dari kitab-kitab itu, dan bukannya arti yang sudah diberikan oleh
tradisi jemaat kepada mereka, telah memungkinkan lagi untuk
menanyakan apakah, misalnya, Injil keempat mungkin tidak terlalu
bersifat docetis atau Surat-surat Pastoral bersifat kaku dan biasa”. 16
Buku-buku “pengantar” Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
menguraikan secara panjang lebar mengenai cara kritik bentuk.
Pentateukh tidak diterima lagi sebagai karangan Musa, tetapi dipandang sebagai suatu campuran bahan dari pelbagai sumber, yakni
sumber Y (Yahwist) yang bersifat nubuat orang yang percaya kepada
Yahweh (TUHAN), sumber E (Elohist) yang adalah kesaksian dari
orang purbakala yang mengaku Allah dengan nama Elohim, sumber P (Priester Codex, sumber Imamat) dari para imam tentang
peraturan kebaktian, dan sumber D (Deuteronomist) dari aliran
orang yang menyelidiki sejarah Israel secara kritis. Seluruh penyelidikan Perjanjian Lama diganggu oleh “teori sumber” ini, dan banyak ahli Perjanjian Lama menyibukkan diri dalam hal apakah ayat
ini berasal dari P, E, Y atau D, dan sebagainya. 17
Sama halnya di bidang Perjanjian Baru. Menurut ilmu kesusastraan ini, Injil disusun dari pelbagai sumber. Sumber utama yang
dibayangkan ialah Q (Quelle = Sumber), yang diduga memuat banyak perkataan Yesus. 18 Sumber lain ialah Proto-Markus, yaitu
Markus asali yang dianggap sebelum Injil Markus, yang mengandung riwayat singkat tentang kehidupan Yesus. Kemudian seseorang menulis Injil “menurut Markus” atas dasar dua sumber itu,
tetapi penulis itu pasti bukan Markus. Masih ada dugaan sumber
15
Willi Marxsen, o.c., hal. xxvii.
Barton, o.c., hal. 37.
17
J. Blommendaal, o.c., hal. 17-22; Wismoady Wahono, o.c., hal. 57-74.
18
Wismoady Wahono, o.c., 357.
16
Copyright © momentum.or.id
Kata Pengantar dari Lembaga Penerjemah / xi
lain lagi, yang disebut L (Logia), yang dianggap memuat kata-kata
Yesus saja. Lalu Matius dan Lukas menyusun bahan mereka yang
diambil dari sumber-sumber itu menurut pendapat “teologis” masing-masing penyusun. Lukas “mengambil bahan-bahan dari Markus, lalu mengkombinasikannya dengan bahan-bahan yang diambilnya dari sumber lain (Q dan L)”. 19
Dengan demikian, terjadi banyak perbedaan di antara kitabkitab Injil. “Dan perbedaan-perbedaan yang ditemukan hampir selalu harus dipahami sebagai hasil perkembangan pemahaman yang
lebih kemudian”. Cerita-cerita dalam Injil “merupakan campuran
antara cerita tentang peristiwa dan sekaligus tafsiran tentang peristiwa itu”. 20 Menurut kritik sastra, terjadi perbedaan besar antara
kitab-kitab Injil tersebut yang tidak dapat disesuaikan.
Segala usaha itu membungkus presaposisi mereka, yaitu bahwa
isi Injil tak lagi diterima sebagai Firman Allah yang benar. Mereka
menyangkal benarnya sejarah yang ditulis oleh para penulis Injil,
dan oleh karena itu, mereka ingin menyelamatkan Injil dengan menekankan “kesaksian iman” tentang Yesus yang “sekarang hidup
secara baru”. Kita “tak akan pernah bisa merekonstruksi Yesus historis itu. Sebaliknya, kita seyogianya mengakui bahwa Yesus dalam
iman itu adalah Yesus yang karya penyelamatanNya dihayati oleh
para penulis Injil”. 21 “Injil adalah ‘benar’ dalam hal apa? ‘Benar’
bukan dalam arti bahwa isinya merupakan laporan yang senetral
dan seobjektif mungkin, melainkan ‘benar’ dalam arti: menyatakan
Yesus Kristus dengan sungguh-sungguh serta arti-Nya bagi kita.
Jadi, Injil adalah benar pula dalam hal memberi keterangan dan
bimbingan bagi hidup kita; kitab-kitab ini tidak menyesatkan
Wismoady Wahono, o.c., hal. 375. B.F. Drewes, Satu Injil, Tiga Pekabar.
Terjadinya dan Amanat Injil-Injil Matius, Markus dan Lukas. Jakarta (BPK) 19862,
19
hal. 26-60. Marxsen, o.c., 133-140.
20
Wismoady Wahono, o.c., 367.
21
Wismoady Wahono, o.c., 368.
Copyright © momentum.or.id
xii/ SIAPA YANG MEMBUAT ALKITAB ?
kita!” 22 Menurut mereka tidak penting apakah data-data dalam
Injil sesuai dengan sejarah atau tidak, atau apakah data Injil yang
satu dapat disesuaikan dengan data Injil yang lain. Yang penting
maksud dan beritanya jelas. “Kita masa kini memerlukan bukan
hanya Yesus yang historis, tetapi khususnya adalah Yesus dalam
iman itu. Kita perlu bertemu ‘muka dengan muka’ dengan Yesus
yang hidup itu”. 23
Dengan demikian, teori, gagasan dan pendapat manusia tentang sejarah Kekristenan kuno itu memutuskan tentang isi masingmasing Kitab Injil. Dalam hal ini, terjadi campuran antara penelitian kritis tentang sejarah dan dunia Alkitab, dengan ilmu sastra
kritis.
Memang benar bahwa para penulis Injil tidak senetral dan seobyektif mungkin, tetapi data-data yang mereka sampaikan harus
diterima sebagai data-data historis yang benar. Iman kita tidak berdasarkan pada pandangan para penulis Injil, tetapi berdasarkan Yesus yang historis.
Pada intinya, pandangan kritis ini sangat berbahaya bagi umat
Kristen di Indonesia, karena melemahkan otoritas Alkitab. Oleh
karena itu, kami berpendapat bahwa tulisan ini cukup penting,
baik bagi komunitas teologia maupun bagi para pembaca Alkitab
umumnya di Indonesia pada masa kini. Supaya kita jangan membatasi kewibawaan Alkitab, tetapi menerimanya sebagai Kitab
Suci.
J.P.D. Groen
LITINDO
22
23
Drewes, o.c., hal 18-19.
Wismoady Wahono, o.c., hal. 368.
Copyright © momentum.or.id
1
KANON
1. AGAMA KRISTEN DAN KITAB-KITAB SUCI
gama Kristen bukanlah agama kitab. Seseorang menjadi
Kristen karena Roh Kudus menanamkan iman di dalam hatinya. Sebab itu, orang Kristen tidak menyembah Alkitab, tetapi
menyembah Juruselamat mereka yang hidup, yang ada di surga.
Dialah yang kedatanganNya mereka nantikan. Agama Kristen
sering digolongkan ke dalam agama-agama kitab. Akibatnya, keunikan agama Kristen semakin pudar. Orang Kristen memang punya kitab, tetapi mereka percaya kepada satu Pribadi. Yang amat
mencolok, Pengakuan Iman Rasuli yang terdiri dari 12 pokok itu
mampu menguraikan apa yang dipercaya orang Kristen tanpa menyebutkan Alkitab.
Hal itu tidak berarti bahwa agama Kristen tidak mempunyai
kitab. Gereja Kristen yang Am di sepanjang masa mempunyai Rajanya di Surga, Roh Allah di hatinya, dan Alkitab di tangannya.
Dengan demikian, yang pertama-tama dilihat dari luar ialah Alkitab sehingga dapat dimengerti bahwa bila dilihat dari permukaan,
agama Kristen disebut agama kitab. Firman Tuhan terdiri dari sejumlah naskah, yang terikat menjadi satu kesatuan. Dan pada
waktu itu, ada beberapa kata yang dipakai untuk menyebut kesa-
A
Copyright © momentum.or.id
2
/ SIAPA YANG MEMBUAT ALKITAB ?
tuan yang merupakan bacaan inti gereja itu. Kata yang paling
banyak tersebar ialah kata Alkitab.
Sejarah terbentuknya kata itu jelas sekali. Tulisan-tulisan
yang dibacakan di dalam gereja, disebut sebagai kitab-kitab, yaitu
Ta biblia dalam bahasa Yunani. Demikianlah terbentuk kata Biblia. Di dalam Alkitab kuno masih dapat ditemukan keterangan
ini, “Biblia, itulah seluruh Kitab Suci, yang memuat semua buku
kanon Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru”. Tulisan-tulisan
yang disebut Biblia dipandang sebagai suatu kesatuan, sehingga
istilah Biblia yang berbentuk jamak itu lambat laun diganti dengan kata Alkitab yang berbentuk tunggal. Kata Alkitab bagi semua orang mengandung arti satu kitab. Kata yang lebih teknis untuk hal yang sama ialah kanon. Kata itu menunjukkan kumpulan
naskah para nabi, yang dalam bentuk yang final dan terinci menjadi milik agama Kristen yang memberi pedoman dan pengarahan.
Gereja tidak mungkin mempunyai satu kesatuan pendapat untuk
mengakui ke-12 pasal iman Kristen, seandainya mereka tidak memiliki Alkitab sebagai tolok ukur iman.
Yang menarik ialah bahwa dalam Alkitab sendiri, kita tidak
menjumpai satu pun kata atau penunjuk tentang asal mula istilah
Alkitab dan kanon. Jadi, sebutan itu diberikan kepada kumpulan
tulisan itu di kemudian hari. Namun kita keliru bila berkesimpulan bahwa hal yang disebut sebagai Alkitab atau kanon itu, tidak
dapat ditemukan di dalam Alkitab itu sendiri. Tulisan-tulisan dalam Alkitab memang tidak mendiktekan istilah khusus, tetapi akan mengantar kita ke pemakaian kata yang bertumbuh di kemudian hari. Kita ditempatkannya pada jejak “Kitab-kitab suci”.
Pertama, kita melihat di dalam Alkitab bahwa bagian-bagian
wahyu yang sudah ditulis, selalu disebut dengan cara khusus. Dari
kata yang dipilih kita melihat bahwa para penulis sedang merujuk
Copyright © momentum.or.id
Kanon / 3
kepada suatu milik yang mempunyai batas dan yang normatif. Selain itu, mereka juga memakai kata yang bersifat meringkas, padahal milik itu disusun dari tulisan yang terus bertambah, hasil karya
dari orang-orang yang berbeda dan dari jaman yang berbeda pula.
Dalam Kitab Ulangan, bangsa Israel diwanti-wanti supaya mentaati semua titah dan peraturan TUHAN. Ketika Daniel ingin mengetahui apa yang dikatakan oleh Nabi Yeremia mengenai berapa
lama Yerusalem harus berwujud puing-puing, ia membaca “kumpulan Kitab” (Dan. 9:2). Apa yang dicatat oleh Barukh dari mulut
Yeremia dalam berbagai kesempatan, dianggap sebagai satu keseluruhan yang berwibawa, yang sama tingkatnya dengan, misalnya,
hukum Musa mengenai makanan (bdk. Yer. 25:13; 30:2; 36:32;
51:60; Dan. 1:8; 9:10-11). Waktu Yesus berada di bumi, Dia berkata bahwa Dia tidak datang untuk meniadakan “hukum Taurat
atau kitab para nabi” (Mat. 5:17). Dia merujuk kepada “Kitabkitab Suci” sebagai sesuatu yang mempunyai batas dan mempunyai kewibawaan (Yoh. 5:39). Yesus menyebut kanon Ibrani sebagai ''Kitab Taurat Musa dan Kitab Nabi-nabi dan Kitab Mazmur"
(Luk. 24:44); itu adalah Alkitab Ibrani dengan tiga bagiannya
yang terkenal, yaitu Hukum, Kitab-kitab para nabi, dan naskahnaskah (tenach). Orang-orang boleh memakai norma itu untuk
mengukur pemenuhan nubuat yang terjadi berkenaan dengan kedatangan Yesus. Timotius yang saleh itu sudah mengenal Kitabkitab Suci itu sejak kanak-kanak (2Tim. 3:15). Oleh Petrus, Suratsurat Paulus diberi tempat yang setingkat dengan “tulisan-tulisan
yang lain” (2Pet. 3:15-16). Terminologi yang diberi batasan di
atas mendapatkan wibawa keagamaan, dan inilah yang kemudian
menjadi lahan tempat tumbuhnya istilah Alkitab dan kanon di
kemudian hari. Dalam kata-kata tersebut di atas, bentuk tunggalnya dominan. Tetapi di dalam Alkitab, kita juga melihat bahwa
Copyright © momentum.or.id
4
/ SIAPA YANG MEMBUAT ALKITAB ?
istilah-istilah yang bersifat jamak, seperti “Kitab-kitab Suci”, dapat juga berfungsi untuk menerangkan apa yang dengan bentuk
tunggal juga dapat disebut ''Kitab Suci". Petrus menyebut keseluruhan Kitab Suci dengan ''nubuat-nubuat dalam Kitab Suci''
(2Ptr. 1:20).
Kedua, kita perlu menunjuk pada keyakinan teguh di balik
kelaziman bahasa yang khusus ini, yaitu keyakinan bahwa di balik
kitab-kitab para nabi yang banyak jumlahnya itu, ada satu Pengarang. Pada jaman dulu berulang kali terjadi pembicaraan dengan
para nenek moyang dalam berbagai cara, tetapi dalam semua kesempatan itu, Allah sendirilah yang berbicara (Ibr. 1:1). Petrus
mengatakan bahwa nubuat tidak pernah dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah (2Petr. 1:21). Oleh karena itu, Paulus mengatakan bahwa seluruh Kitab Suci diilhami oleh Roh Allah (theopneustos: 2Tim. 3:16). Dalam Perjanjian Lama, para nabi diperkenankan untuk menyampaikan kata-kata Allah sendiri, “Demikianlah firman TUHAN....” Dalam Yesus, Allah sendiri yang berbicara, “Amin, Amin, Aku mengatakan kepadamu....” Dan para rasul tahu bahwa mereka menulis sebagai rasul “oleh kehendak
Allah”. Perasaan hormat kepada hukum Taurat dan para nabi,
terhadap Kitab-kitab Suci, tidak berdasarkan rasa hormat bagi usia
tua atau tradisi, tetapi berdasarkan rasa takut kepada Allah yang
hidup, yang membuat semua orang memusatkan perhatian kepada-Nya. “Singa telah mengaum – siapakah yang tidak takut? Tuhan ALLAH telah berfirman, siapakah yang tidak bernubuat?”
(Am. 3:8).
Ketiga, Alkitab berisi perintah Allah untuk memelihara apa
yang telah diwahyukan. Bila Allah berfirman maka firman-Nya
itu tidak akan sekedar bersifat intervensi yang stimulatif dalam
Copyright © momentum.or.id
Download